Anda di halaman 1dari 24

KOMPLIKASI PASCACEDERA KEPALA

Diatri Nari Lestari

PENDAHULUAN

Komplikasi pascacedera pada kasus-kasus neurologi dapat terjadi segera ataupun kemudian.
Kerusakan sekunder sel saraf akibat cedera kepala traumatik dapat terjadi dalam hitungan menit
hingga hitungan hari setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera,
serangkaian perubahan terjadi pada kompartemen intra maupun ekstraseluler. Perubahan inilah
yang pada akhirnya akan menimbulkan komplikasi akut maupun kronis. Semakin berat cedera,
tentunya akan meningkatkan risiko serta besar maslah komplikasi yang terjadi.
Secara garis besar, komplikasi pascacedera di bidang neurologi terbagi menjadi komplikasi
neurologis yang terdiri dari komplikasi kognitif dan nonkognitif, serta komplikasi metabolik.
Komplikasi metabolik yang sering muncul dan menimbulkan gangguan adalah hiponatremia dan
koagulopati pascacedera yang akan dibahas dalam bab ini.

KOMPLIKASI NEUROLOGIS

1. Komplikasi Kognitif Pascacedera Kepala

Masalah neurobehavior sering terjadi setelah cedera kepala, di antaranya gejala neuropsikiatrik,
masalah kognitif, dan agresi. Gangguan kognitif sering terjadi sekitar 40-60% dalam 1 sampai 3
bulan pascacedera. Jenis gangguan ini berbeda-beda tergantung dari berat-ringannya cedera,
tetapi secara umum dibagi menjadi adanya perubahan kesadaran, gangguan atensi, memori, dan
fungsi eksekutif. Gangguan atensi, kecepatan proses pikir, memori episodik, dan fungsi eksekutif
merupakan gangguan yang paling sering terjadi pada periode cedera subakut.
Gangguan kognitif merupakan sekuele yang akan menghambat proses rehabilitasi dan
penyembuhan serta memengaruhi keluaran yang buruk. Hal ini dapat mengganggu kualitas
hidup, kemampuan kembali kerja dan hilangnya produktivitas, serta hilangnya komunikasi
terhadap keluarga.

Patofisiologi

Trauma kepala menyebabkan otak bersentuhan dengan tulang tengkorak atau objek luar, akibat
proses akselerasi-deselerasi. Momen inersia akibat mekanisme tersebut berhubungan dengan
tarikan, robekan, dan penekanan yang menyebabkan kerusakan akson.

Cedera akibat mekanisme tersebut terjadi segera (cedera primer) dan berlangsung seterusnya,
sehingga menyebabkan pelepasan neurotransmitter yang dipicu oleh kaskade kerusakan
eksitotoksik dan hal lain seperti hipoksia, edema, dan peningkatan tekanan intrakranial (cedera
sekunder). Lokasi yang paling sering terlibat dalam cedera kepala adalah lobus temporal anterior,
inferior, dan lateral, serta lobus frontal. Terdapat keterlibatan perubahan neurotransmitter pada
sekuele neurobehavior, termasuk gangguan fungsi kognitif. Perubahan yang terjadi melibatkan
katekolamin, kolinergik, dan serotonin.

Area frontal-subkortikal dengan tiga sirkuit utamanya berperan penting pada pengaturan
perilaku. Area ini tumpang tindih dengan area yang rentan terhadap cedera yang menyebabkan
perubahan perilaku dan emosional pascacedera. Setiap sirkuit memulai perjalanan dari korteks di
frontal dan diproyeksikan secara sekuensial ke striatum, globus palidus, talamus, dan kembali ke
korteks frontal. Sirkuit yang terlibat adalah:

 Frontal/prefrontal-subkortikal dorsolateral akan mengganggu fungsi eksekutif seperti


memori, pengambilan keputusan, penyelesaian masalah, dan fleksibilitas mental.
 Orbitofrontal-subkortikal lateral akan mengganggu intuisi, perilaku sosial, dan
mekanisme kontrol diri.
 Medial frontal-subkortikal anterior akan meyebabkan gangguan motivasi dan inisiasi.
Gambar 3. Sirkuit Frontal-Subkortikal

Gejala dan Tanda Klinis

Modalitas atau ranah kognitif dibagi menjadi atensi, fungsi eksekutif, memori, bahasa,
visuospasial-visuokonstruksi, dan keterampilan motorik serta persepsi sensorik. Gangguan fungsi
kognitif pada cedera kepala dapat berupa cedera difus atau fokal tergantung dari mekanisme
cedera. Cedera otak difus sering mengikuti cedera otak tertutup akibat mekanisme akselerasi-
deselerasi, akan melibatkan banyak ranah kognitif. Gangguan yang besifat fokal biasanya akibat
cedera kepala penetrasi/laserasi.

Ranah kognitif yang terganggu mengikuti cedera kepala:


1. Atensi dan kecepatan proses pikir

Gangguan atensi sering mengikuti cedera kepala dan berkaitan dengan kerusakan difus atau
struktur dan sistem otak multipel termasuk korteks parietal inferior, korteks frontal, dan sistem
limbik. Walaupun terdapat banyak tipe atensi, yang paling sering terkena adalah atensi
fokus/selektif, sustained attention/konsentrasi, atensi terbagi (distraktibilitas) dan alternating
attention/set shifting (kesulitan tugas jamak pada satu waktu).

Penting untuk menilai kemampuan atensi karena gangguan atensi mempunyai efek pada
kemampuan kognitif lain, terutama memori dan fungsi eksekutif.

2. Memori

Gangguan memori merupakan salah satu gangguan tersering pada cedera kepala, dan hal ini
berkaitan dengan kerusakan lobus temporal medial, struktur talamus medial dan garis tengah,
basal frontal, serta sistem koneksi frontal. Perbedaan antara amnesia anterograd dan retrograd
penting pada klinis. Amnesia anterograd atau posttraumatic amnesia (PTA) merupakan
ketidakmampuan untuk mempelajari informasi baru atau pengetahuan sejak terjadinya cedera
otak, sedankgan amnesia retrograd merupakan ketidakmampuan untuk memanggil/recall kejadia
yang mendahului onset cedera otak. Fungsi memori yang sering terganggu adalah proses memori
deklaratif, seperti recall kejadian dan waktu, serta subranah yang berkaitan seperti encoding dan
retrieval.

3. Fungsi eksekutif

Gangguan fungsi eksekutif dapat meliputi, (1) gangguan kemampuan penalaran/reasoning, (2)
perencanaan, (3) inhibisi, (4) organisasi, dan (5) sequencing. Gangguan fungsi eksekutif
(sindrom diseksekutif) pada awalnya dipikirkan merupakan kerusakan lobus frontal., namun
berdasarkan penelitian saat ini gejala lobus frontal dapat terjadi pada kerusakan area lain yang
mempunyai hubungan dengan lobus frontal. Hilangnya inisiasi dan motivasi, apati, serta
hilangnya kemampuan tilikan (insight) juga berkaitan dengan gangguan fungsi eksekutif yang
mengakibatkan masalah keluarga dalam proses rehabilitasi.

Pemeriksaan Neurobehavior

1. Pra-tata laksana

Derajat keparahan cedera otak, prediksi prognosis jangka pendek dan panjang, dapat ditentukan
oleh durasi PTA. PTA dan gangguan orientasi dapat dinilai dengan pemeriksaan Tes Orientasi
dan Amnesia Galvaston (TOAG). Pada pasien rawat inap yang sudah pulih kesadarannya, harus
dilakukan pemeriksaan TOAG serial/harian sampai mencapai nilai minimal 75 untuk
memperkirakan durasi PTA. Hasil pemeriksaan klinis ini diselaraskan dengan gambaran
pencitraan untuk menilai keparahan cedera kepala.
2. Pascacedera

Pemeriksaan kognitif dengan MMSE dan frontal battery assessment (FBA) diperlukan untuk
menentukan strategi restorasi kognitif.

Diagnosis dan Diagnosis Banding

Evaluasi menyeluruh merupakan prasyarat sebelum melakukan penatalaksanaan terhadap


gangguan fungsi kognitif pascacedera. Harus dipastikan bahwa gangguan tersebut memang
terkait dengan cedera otak, bukan oleh penyebab lain karena gangguan kognitif yang terjadi pada
masa akut dan kronik setelah cedera kepala dapat disebabkan dan dipengaruhi oleh faktor lain,
seperti:

 Fungsi kognitif dan intelektual premorbid


 Penyakit neurologis lain
 Masalah metabolik yang menyertai
 Masalah psikiatrik
 Adanya riwayat penggunaan atau penghentian tiba-tiba obat dan zat adiktif
 Malingering

Selain melakukan pemeriksaan klinis, baik anamnesis maupun pemeriksaan fisik serta
neuropsikologik yang cermat, penentuan gangguan fungsi kognitif pascacedera dapat ditunjang
dengan penggunaan pencitraan.

Tata Laksana

1. Medikamentosa

Belum ada hasil studi yang memadai mengenai efek penggunaaan medikamentosa terhadap
gangguan fungsi kognitif pascacedera, namun beberapa penelitian menunjukkan potensi
perbaikan. Dianjurkan menggunakan pendekatan start-low, go slow, but go. Selanjutnya perlu
penilaian ulang berkesinambungan untuk mengetahui manfaat, efek samping, dan interaksi obat.
Titrasi dilakukan sampai tercapai dosis yang diinginkan atau jika terdapat efek samping obat.

a. Antagonis reseptor n-metil-d-aspartat (NMDA antagonis) nonkompetitif

Antagonis glutaminergic berguna untuk menghambat input pada neuron dopaminergik


presinaptik dan memperkuat neurotransmisi dopaminergik sekunder. Memantin dan amantadin
merupakan contoh dari jenis ini dan bekerja secara antagonis nonkompetitif terhadap kompleks
reseptor NMDA melalui ikatan phencyclidine di dalam kanal ion reseptor. Pemberian pada
beberapa hari pertama akan meningkatkan kesadaran di minggu pertama setelah cedera (kelas
IV). Pada fase subakut, penggunaan amantadin menunjukkan perbaikan pada atensi, fungsi
visuospasial (praksis konstruksi), fungsi eksekutif, dan fungsi kognitif umum pascacedera kepala
sedang sampai berat (kelas IV).
b. Augmentasi katekolamin

Metilfenidat dapat meningkatkan kadar dopamin serebral melalui peningkatan pelepasannya dan
memblokade ambilan monoamin pada dosis tinggi serta inhibisi monoamin oksidase. (kelas I),
atensi, kecepatan proses pikir (kelas II) dan fungsi kognitif umum (kelas IV). Selain
memperbaiki fungsi kognitif, metilfenidat juga menurunkan rasa kantuk siang hari pada depresi
(kelas II).

c. Augmentasi kolinergik

1) Donepezil

Donepezil meningkatkan gangguan atensi dan memori pada periode subakut (kelas I). Pada
periode kronik, meningkatkan gangguan memori dan atensi (kelas II), gangguan sensori (kelas
II), gangguan memori deklaratif (kelas III), dan gangguan perilaku yang terkait (kelas IV).

2) Rivastigmin

Rivastigmin menghambat asetilkolinesterase dan butiril-kolinesterase yang mempengaruhi kerja


fungsi kolinergik serebral. Pengobatan degan rivastigmin pada periode kronik dapat
meningkatkan atensi dan working memory (kelas I). Pada gangguan memori persisten
pascacedera, rivastigmin meningkatkan memori deklaratif, juga atensi, kecepatan proses pikir,
fungsi eksekutif dan status neuropsikiatrik (kelas IV). Peningkatan subyektif pada atensi,
memori, motivasi, dan fatigue juga dilaporkan (kelas IV).

d. Augmentasi kombinasi katekolamin dan kolinergik

Cytidine 5-diphosphocoline (sitikolin atau CDP-choline) merupakan obat intermediate essential


dalam jaras biosintetik fosfolipid ke dalam membran sel. Pengobatan dengan sitikolin selama
periode awal cedera ringan dan sedang dapat menurunkan post-concussion syndrome dan
meningkatkan memori rekognisi (kelas I).

e. Pertimbangan penggunaan obat golongan lain

Obat antiepilepsi berkontribusi terhadap gangguan kognitif pada cedera kepala (kelas IV).
Pengobatan profilaksis dengan fenitoin atau karbamazepin setelah minggu pertama cedera
menyebabkan gangguan kognitif. Valproat memperlihatkan fungsi kognitif yang stabil (kelas I).
Benzodiazepin sebagai agonis GABA dapat menyebabkan eksaserbasi gangguan kognitif pada
pasien dengan cedera kepala. Agonis GABA dapat berdampak negatif pada neuroplastisitas.

2. Nonmedikamentosa

Rehabilitasi kognitif merupakan program intervensi sistematis yang dirancang untuk


meningkatkan kemampuan kognitif dan aplikasinya ditujukan untuk aktivitas fungsi sehari-hari.
Rehabilitasi neuro-psikologi secara komprehensif-holistik direkomendasikan selama pascaakut
untuk memperbaiki gangguan kognitif dan disabilitas fungsional pada pasien cedera kepala
sedang dan berat (kelas I).

2. Komplikasi Nonkognitif Pascacedera

A. Cedera Saraf Kranialis

Cedera yang terjadi pada saraf kranial merupakan defisit neurologis yang paling sering terjadi
akibat trauma kepala. Patel dan Cotello menyebutkan bahwa cedera saraf kranial pascacedera
lebih banyak merupakan lesi tunggal. (67-77,6%) dibandingkan lesi multipel (22,4-32%).
Separuh diantaranya diakibatkan oleh cedera kepala ringan. Insidens cedera saraf kranial
bervariasi antara 5-23%. Secara umum nervus olfaktorius, fasialis, dan akustikus merupakan 3
saraf kranial yang paling sering terkena, diikuti nervus optikus dan okulomotorius. Nervus
trigeminus dan saraf-saraf kranial bawah paling jarang terlibat.

1.N I (Olfaktorius)

Lamina cribrosa merupakan bagian dari tulang ethmoid yang memiliki foramen foramen kecil
tempat keluarnya serabut saraf dari N. Olfaktorius. Fraktur pada daerah ini akan menyebabkan
disrupsi serabut saraf halus n. Olfaktorius, sehingga terjadi hilangnya kemampuan penghidu.
Trauma pada daerah oksipital lebih sering menyebabkan gangguan penciuman dibandingkan
trauma langsung di daerah frontal. Setiap benturan pada kepala bahkan benturan ringan sekali
pun tetap akan berpotensi menyebabkan gangguan penghidu permanen, tetapi secara umum
insiden anosmia bersifat paralel dengan derajat cedera.

Gejala klinis gangguan penciuman dapat berupa anosmia, hiposmia, ataupun


parosmia. Seringkali pasien tidak menyadari adanya gangguan ini, tetapi mengeluhkan adanya
perubahan sensasi pengecapan. Kecurigaan cedera pada nervus olfaktorius bila didapatkan
adanya rinorea karena kebocoran cairan serebrospinal, perdarahan dari dalam cavum nasi,
ekimosis periorbital, dan ptosis. Pemeriksaan rinorea akibat kebocoran CSS dilakukan dengan
melakukan tes halo. Diperlukan CT scan kepala dengan bone window pada trauma untuk menilai
ada tidaknya fraktur cranium khususnya daerah basis cranii anterior. Seringkali pemeriksaan
terhadap nervus olfaktorius terlewatkan oleh klinisi, terutama pada pasien dengan penurunan
kesadaran. Biasanya gangguan baru diketahui ketika pasien sadar ataupun saat sudah pulang
perawatan.

2. N II (Optikus)

Cedera pada N. Optikus dikenal dengan traumatic optic neuropathy (TON). Trauma ini dapat
akibat trauma langsung dan tidak langsung. Trauma langsung pada TON umumnya berupa
disrupsi anatomis serabut saraf optikus. Sekitar satu dari empat penyebabnya diakibatkan oleh
luka tembus dan tersering berupa luka tembak. Bentuk disrupsi yang terjadi dapat berupa avulsi,
kompresi, dan transeksi
Berbeda dengan trauma langsung, trauma N. Optikus tidak langsung atau ITON diakibatkan oleh
transmisi energi trauma tumpul di daerah supraorbital ipsilateral ke kanalis optikus. Mekanisme
ini secara tidak langsung akan menyebabkan konkusi, laserasi, maupun kontusio N. Optikus.
Selain itu, edema, iskemia, trombosis mikrovaskular, dan infark dari N. Optikus juga turut
berperan dalam ITON sebagai faktor cedera sekunder.

Keluhan utama pada trauma N. Optikus adalah kebutaan monokular, tetapi gangguan visus juga
biasa terjadi. Pada cedera parsial, seringkali terdapat defek altitudinal inferior. Gangguan lapang
pandang terjadi pada 10% kasus akibat kerusakan kiasma pada cedera kepala berat. Banyak
cedera di daerah kiasma yang sifatnya asimetris, disertai neuropati optikus unilateral yang berat
berkaitan dengan hemianopsia temporal kontralateral.

Gangguan penglihatan yang terjadi dapat terjadi segera ataupun tertunda. Gangguan penglihatan
tertunda biasanya memiliki prognosis yang lebih baik karena masih dapat reversibel
dibandingkan tipe segera. Sebagian kecil kasus mengalami perburukan dalam hitungan jam
sampai dengan hari setelah trauma, diduga akibat edema atau iskemia dalam kanal atau kompresi
oleh hematom subperiosteal orbita.

Diagnosis menjadi sulit ditegakkan pada pasien dengan penurunan kesadaran, tetapi apabila
ditemukan kelainan pada refleks cahaya berupa pupil Marcus-Gunn, dapat dijadikan sebagai
penanda adanya TON. Pemeriksaan funduskopi di awal kejadian dapat tidak menunjukkan
kelainan, karena papil atrofi baru dapat terlihat dalam 4-6 minggu. Trauma bola mata dengan
avulsi N. Optikus dapat disertai gambaran funduskopi berupa perdarahan dan disrupsi.

Pemeriksaan penunjang yang perlu dikerjakan adalah visual evoked potential (VEP) dan MRI
kepala.VEP berperan dalam manajemen penatalaksaan dan prognosis, sedangkan MRI
menunjukkan gambaran perubahan kontinuitas saraf berupa peningkatan intensitas sinyal di N.
Optikus.

3) N III (Okulomotorius)

Paralisis N. Okulomotorius akibat trauma biasanya terjadi pada cedera kepala yang berat disertai
hilang kesadaran, atau fraktur tulang kranium. Penyebab tersering adalah peningkatan
intrakranial disertai herniasi unkus sehingga menyebabkan kompresi saraf kranial ipsilateral.
Pupil abnormal merupakan tanda awal adanya paralisis saraf ini. Biasanya N. Okulomotorius
terdesak pada tulang tengkorak yang tajam dari tentorium sisi berlawanan. Paralisis terjadi pada
sisi yang kontralateral dari herniasi, kecuali lesi pada daerah otak tengah bagian rostral, seperti
transtentorial dapat mempengaruhi saraf ini bilateral.
Gambar 4. Paralisis Gerak Bola Mata

Secara umum, trauma saraf kranialis III, IV, dan VI akan memberikan gambaran gangguan gerak
bola mata berupa diplopia. Perbedaan ketiganya terletak pada gerakan bola mata ke arah mana
yang terganggu. Adanya pupil yang berdilatasi dan eksotropia unilateral merupakan klinis utama
yang ditemukan pada paralisis N. Okulomotorius, bahkan pada pasien dengan penurunan
kesadaran.

Pasien dengan penurunan kesadaran perlu dilakukan pemeriksaan gerak bola mata segera setelah
perbaikan kesadaran. Pada proptosis yang disertai pembengkakan kelopak mata, sebaiknya beri
waktu sampai pembengkakan tidak terlalu berat, agar penilaian gerakan bola mata lebih akurat.

4) N IV (Troklearis)

N. Troklearis memiliki struktur anatomis yang ramping dan panjang, sehingga rentan cedera.
Trauma kepala memang merupakan penyebab tersering cedera saraf kranialis ini dan biasanya
unilateral. Nukleus saraf ini terletak di mesensefalon. Fasikulus menyilang di dorsum
mesensefalon pada saat keluar dari batang otak, sehingga lesi di nukleus dan fasikulus akan
memberi gambaran kontralateral, berbeda dengan lesi di ruang subarakhnoid, sinus kavernosus,
ataupun orbita.

Gejala yang dikeluhkan pasien berupa diplopia saat menaiki tangga, membaca koran atau buku.
Pasien atau keluarga juga mengeluhkan bila saat membaca, pasien cenderung memiringkan
kepalanya ke arah yang sehat.

Pemeriksaan cedera N. Troklearis umumnya hanya dapat dilakukan pada pasien dengan
kesadaran penuh dan kooperatif. Pemeriksaan fisik terhadap klinis dengan diplopia pada cedera
N. troklearis adalah dengan memiringkan kepala ke arah bawah ipsilateral lesi. Terdapat
hipertropia yang memberat saat melirik ke arah kontralateral.

5) N V (Trigeminus)

Cedera cabang dari N. trigeminus seringkali terlibat pada laserasi wajah dan fraktur tulang
wajah, terutama daerah maksilofasial dan basis kranii, karena percabangan nervus ini keluar
melalui beberapa foramen dari tulang kranium.

N. Trigeminus cabang infra dan supraorbita biasanya mengalami cedera pada trauma daerah
dahi, kavum orbita, dan maksila. Cedera cabang ketiga nervus ini biasa terjadi pada fraktur
mandibula. Foramen rotundum dan ovale merupakan tempt keluarnya percabangan nervus ini.
Trauma tertutup maupun trauma tembus juga berpotensi menyebabkan cedera pada ganglion
trigeminal.

Gejala yang dikeluhkan oleh pasien biasanya sensasi nyeri sesuai cabang penjalaran dari N.
Trigeminus yang termasuk dalam neuralgia trigeminal simtomatik. Terkadang disertai juga
keluhan berupa hiperpati sesuai distribusi saraf tersebut. Setiap pasien dengan kecurigaan trauma
kepala di daerah wajah dan sekitar telinga, perlu diperhatikan kemungkinan adanya paralisis
saraf ini. Berikut ini merupakan kriteria diagnosis dari neuralgia trigeminal simtomatik
berdasarkan Konsensus Nyeri Kepala Perdossi dan The International Classification of Headache
Disorders

1) serangan nyeri paroksismal beberapa detik sampai dua menit dengan atau tanpa nyeri
persisten di antara serangan, melibatkan satu atau lebih cabang N. trigeminus

2) memenuhi paling sedikit karakteristik nyeri sebagai berikut:

 Kuat, tajam, superfisial atau rasa seperti ditikam


 Dipresipitasi dari area pencetus atau oleh faktor pencetus

3) jenis serangan stereotipik pada setiap individu

4) etiologi adalah selain kompresi pembuluh darah, berdasarkan pemeriksaan khusus dan atau
eksplorasi fossa posterior

Pemeriksaan refleks kornea perlu dikerjakan. Adanya anestesi kornea atau hilangnya refleks
kornea membuat pasien rentan mengalami keratitis eksposur hingga terjadinya ulkus kornea.
Gambar 5. Anatomi N. Trigeminus

6) N VI (Abdusens)

Paralisis N. abdusens akibat trauma cukup sering terjadi dan kebanyakan dapat pulih sempurna.
Kenaikan tekanan intrakranial pada trauma kepala menyebabkan penekanan batang otak
kebawah berakibat peregangan berelebihan pada N. Abdusens di daerah ujung petrosus, sehingga
terjadi paralisis.

Pada paralisis total nervus ini, bola mata tidak dapat melakukan abduksi dan seringkali terfiksasi
pada posisi aduksi. Diplopia horizontal yang memberat saat melihat jauh merupakan gejala dari
paralisis inkomplit yang lebih sering terjadi. Selain itu juga didapatkan strabismus paralitik yang
akan tampak jelas bila melirik ke arah otot yang terlibat pada pemeriksaan. Kelemahan ringan
akan menunjukkan esotropia pada pemeriksaan cover uncover.

Pasien dengan kesadaran penuh akan mengeluhkan diplopia saat melihat jauh. Pada pemeriksaan
gerak bola mata, dalam posisi primer sisi yang terganggu akan tampak berkonvergensi ke arah
aksis. Pada saat melirik ke arah lateral, akan terdapat paralisis di sisi yang terganggu.

7) N VII (Fasialis)

Trauma N. Fasialis terjadi pada sekitar 50% kasus. Cedera pada nervus ini terbagi menjadi
trauma langsung dan tidak langsung. Pada trauma langsung, komponen fraktur menyebabkan
kerusakan pada saraf. Lain halnya dengan trauma langsung, trauma tidak langsung diakibatkan
oleh adanya edema atau hematoma jaringan lunak sekitar saraf yang menyebabkan kompresi
pada saraf.
Fraktur tulang petrosa pada trauma kepala dapat melukai daerah labirin dan saraf fasialis. Garis
fraktur dapat terjadi longitudinal ke bawah mengikuti aksis piramid petrosus, atau pun
transversal melintasi tulang tersebut. Kedua mekanisme fraktur tersebut dapat mengakibatkan
perlukaan nervus fasialis. Fraktur longitudinal lebih sering terjadi, mengakibatkan edema pada
nervus fasialis.

Gejala yang timbul pada cedera nervus ini dapat segera setelah trauma maupun kemudian. Pada
gejala yang tidak timbul segera biasanya cenderung sembuh spontan. Berbeda dengan paralisis
pada fraktur transversal, N. fasialis seringkali mengalami laserasi, kontusio, ataupun cedera yang
berat. Paralisis yang timbul biasanya segera pada cedera jenis ini.

Gejala cedera nervus ini bergantung pada lokasi lesi berdasarkan anatominya. Hilangnya fungsi
pengecapan pada dua pertiga anterior terjadi pada cedera segmen vertikal mastoid. Pada cedera
segmen horizontal (N. fasialis segmen telinga tengah) akan menyebabkan hilangnya refleks
stapedius, sehingga terjadi hiperakusis dan hilangnya pengecapan ipsilateral. Meski demikian,
hilangnya fungsi gustatorik setelah trauma kepala sebenarnya jarang terjadi. Gejala klinis lain
yang dapat terjadi pada cedera nervus ini yaitu gangguan lakrimasi ipsilateral yang diakibatkan
oleh adanya lesi pada segmen labirin.

Gambar 6. Anatomi N. Fasialis


8) N VIII (Vestibulokoklearis)

Cedera nervus ini terutama diakibatkan oleh trauma tumpul langsung pada daerah parietal dan
temporal. Cedera yang terjadi biasanya bersamaan dengan paralisis nervus VII akibat trauma
yang mengenai kanalis auditorik interna, yaitu pada:

a) Fraktur basis kranii

Fraktur tulang temporal paling sering diakibatkan oleh trauma tumpul langsung pada tengkorak
bagian parietal. Fraktur biasanya terjadi di sekitar foramen mayor basis kranii karena kapsula
otik yang meliputi telinga bagian dalam sangat tebal. Fraktur biasanya terjadi di sekitar akar
meatus akustikus eksternus dan berjalan paralel dengan apeks petrosus, kemudian menjalar ke
bagian depan foramen laserum dan arteri karotis. Kadangkala melibatkan regio sendi
temporomandibular.

Fraktur longitudinal terjadi antara 70-90% dari total fraktur tulang temporal. Kurang dari 20%
diantaranya berupa fraktur transversal, tetapi paling sering dikaitkan dengan kerusaka saraf VII
dan VIII. Biasanya fraktur ini akan melintas daerah telinga dalam, merobek membran labirin dan
menimbulkan laserasi saraf vestibularis dan koklearis, sehingga menyebabkan hilangnya fungsi
vestibular dan koklear secara komplit. Oleh karena membran timpani umumnya tetap intak,
mekanisme di atas akan menyebabkan perdarahan tertimbun pada daerah telinga tengah.

b) Labyrinthine concussion

Mekanisme ini disebabkan oleh energi yang dihasilkan ole trauma dan kemudian dihantarkan
oleh tulang ke koklea seperti gelombang tekanan melalui mekanisme kondusi udara. Sesuai
dengan studi eksperimental pada hewan percobaan, terdapat perubahan patologis dalam koklea
akibat stimulus suara keras. Perubahan ini ditandai dengan degenerasi sel rambut dan neuron
koklear pada tengah koklea dan menyebabkan penurunan pendengaran nada murni. Nada yang
hilang biasanya pada 4000-8000 Hz.

Gejala dan tanda klinis:

 Labyrinthine concussion; berupa keluhan auditorik dan vestibuler yang menyertai fraktur
tulang temporal. Ketiadaan keluhan dan tanda batang otak, merupakan pembeda
terhadap cedera perifer dengan sentral. Ketulian mendadak dapat terjadi tanpa harus
disertai dengan keluhan vestibuler. Hal ini dapat bersifat reversibel, baik parsial maupun
total.
 Posttraumatic positional vertigo; terjadi kurang dari satu menit, namun pasien akan
merasakan pusing disertai mual dan sempoyongan. Sebuah penelitian melaporkan
vertigo posisional terjadi pada 47% trauma kepala terkait fraktur temporal dan 21%
trauma kepala berat tanpa fraktur tulang tengkorak. Mekanisme terjadinyaakibat kristal
kalsium karbonat terlepas dari makula utrikulus, memasuki kanalis semisirkularis
posterior.
 Traumatic perilymph fistula; trauma ini akan mengakibatkan hilangnya pendengaran,
vertigo, atau tinitus segera setelah trauma kepala, terutama bila gejala berfluktuasi dari
waktu ke waktu. Trauma ini karena disrupsi pada labirin, biasanya jendela oval ataupun
bulat.

Oleh karena itu, perlu dicurigai adanya lesi pada N. VIII terutama pada pasien dengan ganguan
pendengaran, perdarahan telinga, otorea CSS, dan gambaran tanda Battle. Pemeriksaan otoskopi
dapat menunjukkan adanya gambaran kerusakan membran timpani, hemotimpanium, atau
adanya CSS dalam rongga telinga tengah. Pemeriksaan audiometri, tes kalori (bila tidak
ditemukan tanda-tanda perforasi membran timpani), dan brain auditory evoked potential (BAEP)
dapat dikerjakan bila pasien stabil.

9) N. IX, X, XI (Glosofaringeus, Vagus, Asesorius)

Ketiga saraf ini merupakan trio saraf kranial bawah yang sering yang sering mengalami cedera.
Cedera N. IX, X, XI terutama akibat trauma ekstrakranial seperti trauma tusuk ataupun tembak.
Adanya mekanisme cedera di area craniocervical junction, terutama N. IX dan X. Insidens lebih
tinggi pada cedera kepala berat. Cedera N. XI khususnya akibat trauma kepala terhitung jarang
terjadi. Avulsi yang dapat terjadi lebih banyak dikaitkan dengan trauma spinal ataupun tindakan
operatif.

Gejala-gejala yang dapat dikeluhkan atau ditemukan pada pasien dengan cedera ketiga saraf
kranial ini berupa disfonia, disfagia, hilangnya refleks muntah, kelemahan palatum ipsilateral,
dan hilangnya kemampuan pengecapan seprtiga posterior lidah. Disfungsi vagal pascacedera
juga harus dicurigai pada pasien dengan pengosongan lambung yang terlambat dan hilangnya
respons kardiak terhadap suction trakeal.
Pasien dengan gejala dan tanda klinis tersebut perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan
laringoskop indirek untuk menemukan adanya paralisis plika vokalis ipsilateral. Dapat juga
ditemukan klinis sindrom Horner bila cedera mengenai saraf simpatis daerah servikal.

10) N. XII (Hipoglosus)

N. Hipoglosus merupakan salah satu dari saraf kranial yang paling jarang mengalami cedera
akibat trauma kepala. Penyebab terseringnya adalah akibat trauma iatrogenik, terutama
pascaoperasi carotid end-arterectomy. Serabut saraf ini keluar dari intrakranial melalui kanalis
hipoglosus, medial dari kondilus oksipitalis. Penyebab akibat trauma biasanya akibat
hiperekstensi leher dengan atau tanpa fraktur tuberkel hipoglosus maupun kondilus oksipitalis.

Penyebab tersering cedera nervus ini adalah akibat trauma pembedahan. Tetapi cedera ini dapat
disebabkan oleh luka tembak ataupun luka tusuk. Keluhan biasanya berupa kesulitan
mengendalikan makanan padat di dalam mulut dan bicara pelo.

Diagnosis ditegakkan bila didapatkan klinis adanya parese N. XII perifer. Keadaan ini dibedakan
dengan parese sentral dengan menemukan adanya tanda-tanda klinis perifer pada lidah berupa
papil atrofi, fasikulasi otot lidah, flaksid, dan lateralisasi lidah ipsilateral trauma bila lidah
dijulurkan.

Tatalaksana

Seperti halnya penanganan pada cedera sistem saraf lainnya, tidak ada tatalaksana yang dinilai
cukup efektif terhadap cedera saraf kranialis. Secara umum penatalaksanaan dibagi menjadi
medikamentosa dan nonmedikamentosa. Beberapa cedera saraf kranial dapat dilakukan koreksi
dengan tindakan pembedahan maupun konservatif. Tindakan pembedahan biasanya meliputi
tindakan dekompresi, penyambungan saraf yang avulsi, dan pembedahan korektif (seperti pada
cedera N. okulomotorius). Penanganan konservatif meliputi tindakan rehabilitasi-fisioterapi,
penggunaan penutup mata dan kacamat lensa prisma, serta penggunaan alat bantu dengar.

a. Medikamentosa

1) Kortikosteroid

Kortikosteroid dapat diberikan pada trauma akibat benturan, yang pemulihannya tergantung pada
fungsi respon imun. Namun terdapat beberapa keadaan yang pemberian steroid tidak dapat
memberikan dampak positif yang berarti. Beberapa kepustakaaan menyebutkan penggunaan
kortikosteroid pada ITON seperti halnya pemberian steroid pada cedera medula spinalis, yaitu
metilprednisolon dosis tinggi. Adapula studi lain yang menyebutkan penggunaan deksametason
dengan dosis inisial 0,75mg/kg setiap 6 jam selama 24 jam. Steroid diberikan pada paralisis N.
fasialis tipe tunda. Seperti halnya penggunaan steroid pada cedera N. optikus, tidak ada pedoman
khusus pemberian dosis steroid. Beberapa kepustakaanpun menyebutkan tanpa pemberian steroid
klinis dapat membaik dengan sendirinya.
2) Medikamentosa lainnya

Pada cedera N. trigeminus yang menetap, biasanya pasien akan membutuhkan pengobatan
simtomatik untuk mengurangi gejala hiperalgesia. Dosis dan lama penggunaannya dapat
bervariasi pada masing-masing individu. Jenis obat-obatan yang digunakan biasanya merupakan
golongan antikonvulsan dan adjuvan. Dosis pemberian dimulai dari dosis terkecil dikarenakan
golongan antikonvulsan berisiko menimbulkan efek samping. Jika penggunaan antikonvulsan
dan adjuvan yang tidak berhasil pada hiperalgesia n. trigeminus, dapat dipertimbangkan tindakan
ablasi ganglion.

Adanya tuli sensorineural terkait cedera N. VIII biasanya akan sulit mengalami pemuihan,
terutama bila ketulian sampai dengan nol. Tinitus dan manifestasi klinis vertigo biasanya dapat
sembuh total. Jika keluhan menetap, dapat dipertimbangkan penggunaan vestibulosupresan.

b. Nonmedikamentosa

Pada cedera saraf kranialis okulomotor digunakan penutup mata secara bergantian dari satu mata
dengan mata yang lain. Selain itu, dapat digunakan lensa prisma untuk mengoreksi keluhan
diplopia. Tindakan pembedahan dapat menjadi pilihan bila pemulihan tidak sempurna. Tindakan
dekompresi merupakan pilihan utama pada cedera n. fasialis segera dan n. trigeminus, tetapi
prognosis perbaikannya tergantung dari berat-ringannya cedera saraf yang terjadi. Jika telah
terjadi avulsi saraf, paralisis yang terjadi biasanya menetap.

B. Bangkitan Pascacedera Kepala

Bangkitan pascacedera kepala (posttraumatic seizure/PTS) biasanya berkaitan dengan cedera


kepala berat dan dapat terjadi segera setelah cedera maupun tertunda. Bangkitan yang terjadi
segera setelah trauma kepala dalam waktu 24 jam memerlukan terapi medikamentosa segera.
Insidens terjadinya epilepsi pascacedera kepala berat tanpa disrupsi duramater berkisar 7-39%.
Angka ini dapat lebih tinggi pada kondisi cedera kepala yang disertai disrupsi duramater, yaitu
sekitar 20-57%. Berikut adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan insidens
terjadinya epilepsi tunda
Patofisiologi

Bangkitan yang terjadi segera setelah adanya cedera kepala dalam 24 jam dipikirkan sebagai
bangkitan akibat gegar (convulsive concussion). Keadaan ini terjadi karena adanya mekanisme
trauma singkat pada otak yang menyebabkan gangguan inhibisi kortikal dan bukan merupakan
peristiwa epileptik.

Epileptogenesis pascacedera kepala terjadi akibat adanya perubahan molekular dan seluler
setelah adanya cedera jaringan otak. Kejadian ini yang akhirnya meningkatkan proses
eksitabilitas. Cedera kepala akibat trauma tembus akan menyebabkan terbentuknya sikatrik pada
lapisan korteks dan berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya epilepsi sampai dengan
50%. Mekanisme awalnya akan terjadi disrupsi jaringan disertai proses iskemik dan perdarahan.

Pada cedera otak nonpenetratif, seperti kontusio fokal dan perdarahan intrakranial,
epileptogenesis sebagian terjadi akibat adanya efek toksik dari pemecahan produk hemoglobin
terhadap fungsi neuron. Cedera kepala tertutup akan menyebabkan cedera aksonal difus disertai
peregangan akson, edema difus, dan iskemia. Lokasi yang paling sering terlibat adalah di gray-
matter junction terutama di daerah frontal dan temporal.

Proses tersebut di atas akan memicu pelepasan asam amino, sitokin, lipid bioaktif, dan mediator
toksik lainnya, sehingga menyebabkan cedera seluler sekunder. Epileptogenesis diduga dipicu
mempertinggi kejadian eksitasi, tetapi juga menurunkan ambang inhibisi yang akhirnya
mengakibatkan hipersinkronasi. Peningkatan sitokin proinflamasi dan aktivasi imun pada
akhrinya akan menyebabkan serangkaian proses termasuk di dalamnya kematian sel,
terbentuknya kaskade inflamasi, dan transkripsi gen baru. Proses ini terjadi setelah beberapa hari
sampai dengan minggu, memicu terbentuknya tunas aksonal, dan modifikasi dendritik.

Gejala dan Tanda Klinis

Bentuk bangkitan pascacedera kepala dapat berupa bangkitan fokal maupun umum. Berdasarkan
studi Wiedemayer dkk, sebagian besar bangkitan pascacedera kepala berupa bangkitan umum
(63,3%). Early-PTS dapat terjadi berulang pada 53,2% kasus. Adanya bangkitan ini dapat
menyebabkan peningkatan morbiditas berupa penurunan fungsi neurokognitif, fungsi status
pasien secara umum, luaran buruk terhadap defisit neurologis yang ada, terjadi status epileptikus,
dan yang terburuk adalah kematian.

Diagnosis dan Diagnosis Banding

Bangkitan pascacedera dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Early-posttraumatic seizure

Bangkitan terjadi dalam kurun waktu 7 hari setelah cedera kepala. Sekitar 25% kasus berisiko
mengalami rekurensi dalam beberapa bulan atau tahun kemudian.
2. Late-posttraumatic seizure

Bangkitan yang terjadi di atas 7 hari setelah cedera kepala. Sebagian besar bangkitan yang terjadi
(80%) akan berisiko mengalami bangkitan berulang.

3. Posttraumatic epilepsy

Didefinisikan seperti epilepsi pada umumnya berdasarkan definisi menurut ILAE. Epilepsi
pascacedera terjadi biasanya merupakan kelanjutan dari late-posttraumatic seizure.

Adapun kriteria lain menurut Brain Injury Special Interest Group (1998) adalah:

1. Early-posttraumatic seizure: bangkitan terjadi kurang dari 24 jam pascacedera.

2. Immediate-posttraumatic seizure: bangkitan terjadi dalam kurun waktu 7 hari pascacedera.

3. Late-posttraumatic seizure: bangkitan terjadi diatas 7 hari pascacedera.

4. Posttraumatic epilepsy: bangkitan berulang yang merupakan kelanjutan dari late-


posttraumatic seizure, tetapi tidak berkaitan dengan penyebab selain cedera kepala.

5. Non-epileptic seizures: suatu klinis yang bukan termasuk dalam bangkitan akibat adanya
aktivitas paroksismal di otak (brain origin).

Seperti halnya penegakkan diagnosis epilepsi pada umumnya, penegakkan diagnosis didaptkan
dari gejala klinis dan pemeriksaan penunjang berupa:

 Elektroensefalografi
 Pencitraan (CT scan atau MRI kepala)
 Pemeriksaan lab darah; untuk menyingkirkan gangguan metabolik lain yang dapat
berkontribusi terhadap terjadinya bangkitan
 Lain-lain (EKG, pungsi lumbal)

Tatalaksana

Terdapat beberapa kontroversi dalam pemberian antikonvulsan sebagai profilaksis bangkitan


pascacedera. Sebagian menyebutkan pemberian profilaksis karena tingginya insidens bangkitan
pada pasien cedera kepala berat. Namun hal ini bukanlah tanpa risiko, terutama bila pemberian
antikonvulsan tidak efektif dalam mencegah terjadinya bangkitan.

Berdasarkan rekomendasi dari brain trauma foundation, pemberian profilaksis bangkitan


pascacedera termasuk dalam level IIA:

 Penggunaan fenitoin atau valproat tidak direkomendasikan untuk pencegahan late-PTS


 Fenitoin direkomendasikan untuk menurunkan insidens early-PTS bila manfaatnya dirasa
lebih banyak dibandingkan komplikasi yang dapat terjadi. Obat ini diberikan selama 7
hari pertama.

Beberapa studi terbaru juga menyatakan bahwa selain fenitoin, levatirasetam dinilai memiliki
efektivitas yang sama dengan fenitoin sebagai profilaksis bangkitan. Adapun penggunaan
antikonvulsan golongan lama juga dapat diberikan untuk mengurangi terjadinya epilepsi
pascacedera yaitu fenitoin, valproat, dan karbamazepin.

KOMPLIKASI METABOLIK PASCA CEDERA

A. Hiponatremia pascacedera

Gangguan elektrolit terjadi pada hampir 60% kasus cedera kepala berat, terutama hiponatremia.
syndrome Of inappropriate antidiuretic Hormone secretion (SIADH) dan cerebral salt wasting
syndrome (CSWS) merupakan dua gangguan yang umumnya terjadi pada kasus hiponatremia
pascacedera kepala.

Patofisiologi

1. Syndrome Of inappropriate antidiuretic Hormone secretion (SIADH)

Stres akibat trauma menyebabkan pelepasan hormon antidiuretik (antidiuretic hormone/ADH)


dan aldosteron. Peningkatan tekanan intrakranial dan tekanan positif pada pernafasan juga dapat
memicu pelepasan ADH. Adanya pelepasan ADH menyebabkan konsentrasi urin dengan
meningkatkan reabsorpsi cairan dari distal tubulus Renal dan duktus kolektifus. SIADH juga
menyebabkan terjadinya dilusi hiponatremia oleh ekspansi volume cairan ekstraseluler.

2. Cerebral salt wasting syndrome

Mekanisme yang mendasari CSWS pada cedera kepala belum diketahui secara pasti dan belum
ada etiologi yang jelas bertanggungjawab menyebabkan keadaan ini. Dihipotesiskan bahwa
CSWS terjadi akibat kenaikan peptida natriuretik dan adanya perubahan pada sistem saraf
simpatis, sistem renin-angiotensin aldosterone, dan adrenomedullin.

Gejala dan Tanda Klinis

Secara umum gejala klinis dari SIADH dan CSWS dapat berupa letargi, linglung, fatigue,
anoreksia, muntah, keram otot, dan hilangnya refleks peregangan otot. Pada keadaan lebih berat
dapat ditemukan klinis hipotermia, bangkitan, pernafasan Cheyne-Stoke, stupor, dan yang
terburuk kematian. Manifestasi keduanya sulit untuk dibedakan sehingga membutuhkan
pemeriksaan penunjang untuk dapat menegakkan diagnosis.
Diagnosis dan diagnosis banding

Kedua jenis hiponatremia ini merupakan diagnosis banding antara satu dengan yang lain.
Penegakan diagnosis didapatkan berdasarkan pemeriksaan kadar natrium dalam darah dan urin
(tabel 3).

Tata Laksana

Perbedaan temuan klinis dan mekanisme yang mendasari antara kedua sindrom tersebut menjadi
landasan adanya perbedaan tatalaksana. Pada SIADH restriksi cairan merupakan penanganan
utama, sedangkan rehidrasi dengan normal salin merupakan penanganan utama terhadap CSWS.
kegagalan klinis dalam menentukan terapi yang akan diberikan berakibat kondisi kedua
gangguan tersebut tidak teratasi dan dapat memperburuk kondisi cedera otak yang ada.

1. Penatalaksanaan SIADH

Terdapat perbedaan dari kepustakaan mengenai jumlah cairan yang direstriksi, tetapi
diperkirakan jumlahnya berkisar antara 800-1000 mL/24 jam. medikamentosa lain yang dapat
diberikan adalah sebagai berikut :

 Vasopresin (belum tersedia di Indonesia).

 Diuretik : golongan loop diuretik (furosemid), golongan agen osmotik(urea, manitol).

 Urea : urea diberikan dalam jangka panjang dengan dosis 0,5 gr/kgbb hati-hati dalam
pemberian urea.
2. Penatalaksanaan CSWS

Koreksi cairan dan hiponatremia dengan salin hipertonik intravena diberikan selama 24 jam tetes
lambat. Selama pemberian salin hipertonik, tetesan infus harus dipantau ketat, karena pemberian
salin hipertonik yang terlalu cepat dapat menyebabkan terjadinya Central Pontine Myelinolysis
(CPM). Beberapa studi menyebutkan bahwa penggunaan steroid golongan mineralokortikoid
dinilai memberikan respons yang cukup baik. Dapat dipertimbangkan pemberian suplemen
garam setelah kondisi pasien dinilai stabil.

B. Koagulasi Pascacedera

Selain gangguan elektrolit, gangguan koagulasi juga menjadi salah satu masalah yang dapat
terjadi pada cedera kepala, yaitu berkisar 10-90%. Beberapa studi menyatakan koagulopati dapat
digunakan sebagai prediktor luaran perawatan pasca cedera kepala koagulopati pascacedera
kepala. dapat berupa keadaan hiperkoagulasi atau hipokoagulasi. Keduanya dapat menyebabkan
cedera jaringan sekunder baik dengan cara menginduksi mikrotrombosis atau dengan memicu
terjadinya lesi perdarahan di otak.

Patofisiologi

Cedera otak akibat trauma akan menimbulkan kerusakan endotel pembuluh darah dan jaringan
otak itu sendiri. Kerusakan endotel ini akan mengaktifkan faktor pembekuan darah XII dan
kaskade koagulasi, sedangkan kerusakan jaringan otak akan memicu pelepasan tromboplastin di
jaringan otak. Kedua mekanisme tersebut mengaktifkan faktor pembekuan X yang bekerja
sebagai katalisator pemecah protrombin menjadi trombin.

Trombin menyebabkan tiga proses : membantu pembentukan fibrin, mengaktivasi plasminogen,


dan menyebabkan degradasi trombosit. Pembentukan fibrin akan menyebabkan terjadinya
trombosis, sehingga terjadi keadaan hiperkoagulasi. Baik aktivasi plasminogen dan degradasi
trombosit akan berakibat timbulnya tanda-tanda perdarahan akibat hipokoagulasi kedua.
Keadaan ini merupakan status koagulasi pada koagulopati (Gambar 9)

Gejala dan Tanda Klinis

Klinis yang tampak pada pasien dengan koagulopati pasca cedera kepala secara umum dinilai
berdasarkan parameter klinisnya, yaitu :

 Perdarahan masif dari lokasi intravena dan luka terbuka lainnya.

 Adanya tanda perdarahan spontan dan mengancam nyawa, termasuk perdarahan


intrakranial.

 Adanya tanda trombosis difus atau lokal.

 Manifestasi pada kulit dapat berupa petekie, purpura, ekimosis, dan lain-lain.
Diagnosis dan Diagnosis Banding

Parameter klinis adalah adanya manifestasi klinis dan kelainan pada pemeriksaan profil
hemostasis (hitung jenis platelet, kadar prothrombin time (PT), activated prothrombin time
(APTT), International normalized ratio (INR), fibrinogen, dan d-dimer), yaitu :

 Trombositopenia sedang sampai dengan berat ditemukan pada hitung platelet.

 Pemanjangan PT dan aPTT. peningkatan aPTT ringan di awal pemeriksaan merupakan


indikator adanya koagulopati Dini pada cedera kepala. Meskipun demikian nilai PT dan
aPTT yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan terjadinya koagulopati.

 Fibrinogen merupakan reaktan fase akut yang akan meningkat pada keadaan inflamasi.
Kadarnya akan menurun seiring dengan perkembangan penyakit.

 Terdapat peningkatan d-Dimer yang berkaitan dengan pemecahan fibrin. d-Dimer dinilai
sebagai parameter terbaik untuk mengetahui adanya tanda-tanda koagulasi atau tidak.

 Penilaian terhadap nilai INR biasanya digunakan untuk memantau efek dari pemakaian
antikoagulan warfarin.

Gambar 7. Patofisiologi Terjadinya Koagulopati pada Cedera Kepala


Tata Laksana

1. Fresh Frozen Plasma (FFP) atau kriopresipitat.

2. Agen antifibrinolitik asam traneksamat dapat diberikan, walaupun studi dari Clinical
Randomization of Antifibrinolytic in Significant Hemorrhage (CRASH-2) menyimpulkan bahwa
penggunaan asam traneksamat tidak bermanfaat pada pasien trauma kepala. Meski demikian,
asam traneksamat masih dapat diberikan pada keadaan akut dan dalam waktu singkat.

3. Rekombinan faktor VIIa; akan menginisiasi pembentukan trombus dengan cara mengikat
tissue factor (TF). Sebuah studi menyebutkan bahwa penggunaan rekombinan faktor VIIa pada
perdarahan akibat trauma kepala dapat mengurangi perkembangan hematom, tetapi tidak
memberikan manfaat klinis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Evans RW. Neurology and Trauma. Edisi ke-2. New York: Oxford; 2006.
2. Prawiroharjp P. Patofisiologi peningkatan tekanan intrakranial pada cedera otak traumatik
in Neurotrauma. Edisi ke-1. Jakarta: Badan penerbit FKUI; 2015.
3. Lastri DN. Pharmacology treatment for improving cognitive impairment in post-traumatic
brain injury is it benefit? Dalam: Ramli Y, Lastri DN, Prawiroharjo P. Neurotrauma. Edisi
ke-1. Jakarta. Badan Penerbit FKUI; 2015.
4. Scanlon VC, Sanders T. Essentials of anatomy and physiology. Edisi ke-5. Philadelphia. F.
A. Davis Company; 2007.
5. Bhatoe HS. Trauma to the cranial nerves. IJNT. 2007; 4(2): 89-100.
6. Coello AF, Canals AG, Gonzalez JM, Martin JJA. Cranial nerve injury after minor head
trauma. J Neurosurg. 2010; 113(3): 547-55.
7. Schofield PW, Moore TM, Gardner A. Traumatic brain injury and olfaction: a systematic
review. Frontiers Neurol. 2014, 5:1-22.
8. Wilkinson I, Lennox G. Essential Neurology. Edisi ke-4. Massachussets: Blackwells; 2005.
9. Lamar CD, Hurley RA, Rowland JA, Taber KH. Posttraumatic epilepsy: review of risks,
pathophysiology, and potential biomarkers. J Neuropsychiatry Clin Neursci. 2014; 26(2):
108-13.
10. Carney N, Totten AM, O’Reilly C, Ullman JS, Bell MJ, Bratton SL, dkk. Guidelines for
the management of severe traumatic brain injury. Brain Trauma Foundation. 2016; Edisi
ke-4: 120-8.
11. Szafilarski JP, Nazzal Y, Dreer LE. Posttraumatic epilepsy; current and emerging
treatment options. Neuropsy Disease and Treatment. 2014: 10; 1469-77.
12. Kirkman MA, Albert AF, Ibrahim A, Doberenz D. Hyponatremia and brain injury:
historical and contemporary perspectives. Neurocrit Care. 2013; 18(3): 406-16.
13. Kumar S, Fowler M, Gonzalez-Toledo E, Jaffe SL. Central pontine myelinolysis, an
update. Neurol res. 2006; 28(3): 360-6.
14. Laroche M, Kutcher ME, Huang MC, Cohen mJ, Manley GT. Coagulopathy after
traumatic brain injury. Neurosurgery. 2012; 70(6): 1334-45.
15. Harlean E. Pengaruh koagulopati dengan keluaran perawatan pasien cedera kepala sedang-
berat dan faktor yang berhubungan (analisis kasus kontrol) (tesis). Jakarta: Universitas
Indonesia; 2016.

Anda mungkin juga menyukai