Anda di halaman 1dari 35

I.

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. M
Umur : 61 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Purwanegara RT 01/04 Purwokerto Utara
Agama : Islam
Diagnosis : Obstructive Jaundice
Pro : Laparotomi Eksplorasi
DPJP Anestesi : dr. Dudik Haryadi, Sp.An
No. CM : 02047224
Tanggal masuk RSMS : Selasa, 24 Juli 2018
Tanggal Operasi : Senin, 30 Juli 2018

B. Follow up Pra Anestesi


1. Anamnesis Pra Anestesi
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien.
a. Keluhan Utama
Pasien saat ini mengeluhkan perut sebelah kanan nyeri. Badan terasa
lemas dan nafsu makan menurun. BAB (+) seperti dempul. BAK (+)
pekat.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik bedah digestif RSUD Margono Soekarjo pada
hari Selasa, 24 Juli 2018 untuk melakukan kontrol kesehatan atas
penyakit kolestasis yang dideritanya. Pasien mengeluhkan badan terasa
lemas, nafsu makan menurun, kadang-kadang muntah, serta badan
berwarna kekuningan. Selain itu, pasien juga kesulitan buang air besar
sejak terakhir pulang dari RSMS pada tanggal 16 Juli 2018. Pasien

1
dirawat di bangsal Edelweiss karena keluhannya tidak membaik dan
dokter menyatakan perlu dilakukan operasi pada pasien.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Alergi (-), Asma (-), DM (-), Ginjal (-), Lambung (+), Hipertensi (+),
Jantung (+) CHF, Liver (-), Trauma (-), dan Operasi (+) Pengangkatan
Tumor Tiroid 30 Tahun yll.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Alergi (-), Asma (-), DM (-), Ginjal (-), Hipertensi (-), Jantung (-), dan
Liver (-)
e. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga dengan pendidikan
terakhir SMP. Suami pasien bekerja sebagai pedagang dan pasien
memiliki 4 orang anak, pasien tinggal bersama salah seorang anaknya.
Pembiayaan kesehatan menggunakan BPJS non PBI kelas 3.
2. Pemeriksaan Pra Anestesi
a. Tanda vital
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Heart Rate : 82 x/menit, denyut kuat, isi cukup, reguler
Respiratory Rate : 20 x/menit
Suhu : 37,4oC
b. Status Antropometri
Berat Badan : 33 kg
Tinggi Badan : 148 cm
BMI : 15.07 (Underweight)
c. Status Generalis
a. Kepala : Mesochepal
b. Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik +/+, Reflek cahaya +/+,
pupil isokor diameter 3mm/3mm, lensa keruh +/+
c. Hidung : Discharge (-) epistaksis (-), deviasi septum (-)

2
d. Mulut : Lidah Kotor (-) bibir kering (+), hiperemis (-), pembesaran
tonsil (-), buka mulut 3 jari, mallampati kelas II.
e. Gigi : Karies gigi (+), gigi tanggal (+), gigi goyang (-), gigi palsu (-),
massa jalan nafas (-).
f. Telinga : Discharge (-), tidak ada kelainan bentuk
g. Leher : Simetris, trakea di tengah, pembesaran tiroid dan kelenjar
getah bening (-), Thyromental distance (TMD) 5-6 cm.
h. Thorax: simetris, retraksi (-)
Paru:
Inspeksi : simetris (+), retraksi(-), ketinggalan gerak (-), jejas (-)
Palpasi : vocal fremitus dextra sama dengan vocal fremitus sinistra
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : SD vesikuler +N/+N, RBK -/-, RBH -/-, Wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V LMCS 2 jari ke kiri, tidak kuat
angkat
Perkusi : batas jantung
kanan atas di SIC II LPSD
kanan bawah di SIC IV LPSD
kiri atas di SIC II LPSS
kiri bawah di SIC VI LMCS 2 jari ke kiri
Auskultasi :s1>s2, murmur -, gallop -
i. Abdomen
Inspeksi : Cembung, distensi (-)
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Nyeri tekan (+)
Hepar : Batas bawah hepar teraba 4 jari dibawah arcus costae
dextra, konsistensi lunak, tepi tumpul

3
Lien : tidak teraba
j. Ekstremitas : Akral hangat, edema superior (-/-) edema inferior (+/+),
parese (-/-).
k. Integumen: ikterik (+), turgor kulit < 2 detik.
l. Pemeriksaan Vertebrae
Tidak didapatkan kelainan
d. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium Kimia Klinik Tanggal 07/07/2018
Bilirubin Direk 14,4 (H)
Bilirubin Indirek 8,85 (H)
Laboratorium Darah Lengkap dan Kimia Klinik Tanggal 24/07/2018
Hb : 7.9 g/dL (L)
Leukosit : 9430 U/L
Ht : 20 % (L)
Eritrosit : 2,9 juta/µL (L)
Trombosit : 253.000 µL
PT : 13,5 detik (H)
APTT : 51,3 detik (H)
Albumin : 1,73 g/dL (L)
Globulin : 3,89 g/dL (H)
Ureum : 27,22 mg/dL
Kreatinin : 0,50 mg/dL (L)
GDS : 118 mg/dl
Natrium : 134 mmol/L
Kalium : 2,7 mmol/L (L)
HbsAg : Non Reaktif

Laboratorium Kimia Klinik Tanggal 25/07/2018


Albumin : 1,58 g/dL (L)
Globulin : 3,82 g/dL (H)

4
Laboratorium Darah Lengkap dan Kimia Klinik Tanggal 26/07/2018
Hb : 9,4 g/dL (L)
Leukosit : 10470 U/L
Ht : 25 % (L)
Eritrosit : 3,3 juta/µL (L)
Trombosit : 207.000 µL
Albumin : 1,48 g/dL (L)
Globulin : 3,49 g/dL (H)

Laboratorium Darah Lengkap Tanggal 28/07/2018


Hb : 10.5 g/dL (L)
Ht : 35 %

Hasil EKG (25/07/2018)

5
Hasil Ro Thorax (22/06/2018)

Hasil USG Abdomen (26/06/2018)

6
3. Terapi pra Anestesi
- IVFD RL 20 tpm
4. Kesimpulan
a) Assesment
- Obstructive Jaundice
- ASA III
b) Rencana operasi: Pro Laparotomi Eksplorasi
c) Rencana anestesi: General Anestesi – FM
C. Laporan Anestesi
1. Persiapan Anestesi
o Informed consent
o Puasa minimal 6 jam sebelum operasi
o Albumin dan kadar elektrolit diperbaiki
2. Durante Operasi
a. Tanggal operasi : 30/07/2018
b. Jam mulai anestesi : 10.30 WIB
c. Jam selesai anestesi : 12.50 WIB
d. Kondisi prainduksi
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Heart rate : 90x/menit, denyut kuat, isi cukup, reguler
RR : 20 x/menit, pola napas thoracoabdominal
Suhu : 37,00C
e. Teknik anestesia
Anestesi : General Anestesi
Premedikasi : Ondansentron
Inhalasi : Sevofluran
Intravena : - Propofol 100 mg
- Ketamin 50 mg

7
- Recuronium 50 mg
- Atropin 0,25 mg
- Prostigmin 0,5 mg
Airway : Face mask no 3
Intubasi : Sulit Intubasi (menggunakan maccoy dan
gladescope tidak berhasil kemudian operasi
ditunda)

f. Monitoring
1. Tekanan darah, SpO2, dan HR
Tabel 2.1. Monitoring Durante Operasi
Waktu TD (mmHg) SpO2 HR
10.30 130/80 100% 90
11.00 130/80 100% 100
11.30 130/80 100% 100

2. Cairan yang masuk


- RL 500 ml
3. Cairan yang keluar
- Darah :-
- Urine :-
4. Terapi cairan
Rumus:
Maintenance = 2kgBB/jam
Pengganti Puasa (PP) = Puasa (jam) x M
Stress Operasi (SO) = 6cc/kgBB (operasi sedang)
Jam I = ½ PP + M + SO
Jam II = ¼ PP + M + SO
EBV = (Wanita) 65 x BB

8
Perhitungan (BB= 33 kg):
Maintenance (M) = 2 x 33 = 66 ml/jam
Pengganti puasa (PP) = 6 x 66 = 396 ml
EBV = 65 x 33 = 2145 ml
D. Follow up Post Operasi
Perkembangan Pasien
Selasa, 31 Juli 2018 pukul 16.00 WIB (ICU)
Subject :
Pasien sadar, mengeluh sedikit pusing, mual dan muntah (-)
Object :
Ku/ kes: tampak sakit/ E4M6V5
TD: 120/80 mmhg
N: 90x/menit
RR: 20 x/ menit
T: 37,0 C
a. Kepala : Mesochepal
b. Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik +/+, reflek cahaya +/+,
pupil isokor diameter 3mm/3mm
c. Hidung : Discharge (-), epistaksis (-), deviasi septum (-)
d. Mulut : Terpasang kanul mulut, lidah Kotor (-), bibir kering (+),
hiperemis (-), pembesaran tonsil (-), buka mulut 3 jari, mallampati kelas
II
e. Gigi : Karies gigi (+), gigi tanggal (+), gigi goyang (-), gigi palsu (-),
massa jalan nafas (-)
f. Telinga : Discharge (-), tidak ada kelainan bentuk
g. Leher : Simetris, trakea di tengah, pembesaran tiroid dan kelenjar getah
bening (-), Thyromental distance (TMD) 5-6 cm
h. Thorax: simetris, retraksi (-)
Paru:
Inspeksi : simetris (+), retraksi (-), ketinggalan gerak (-)

9
Palpasi : vocal fremitus dextra sama dengan vocal fremitus sinistra
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : SD vesikuler +N/+N, RBK -/-, RBH -/-, Wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V LMCS, tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung
kanan atas di SIC II LPSD
kanan bawah di SIC IV LPSD
kiri atas di SIC II LPSS
kiri bawah di SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2, murmur -, gallop -
i. Abdomen
Inspeksi : Datar, distensi (-)
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) di seluruh lapang
Hepar : tidak terdapat pembesaran
Lien : tidak terdapat pembesaran
j. Ekstremitas : Akral hangat, edema superior (-/-) edema inferior (-/-),
parese (-/-).
k. Integumen : ikterik (+) seluruh tubuh, turgor kulit < 2 detik.
l. Pemeriksaan Vertebrae: Tidak didapatkan kelainan
Assessment :
Obstructive jaundice dengan tunda operasi (sulit intubasi), perdarahan
Planning :
 Inj. Ceftriaxone 2x1
 Inj. Dexamethasone 3x1 amp
 Inf. RL
 Inj. NS

10
 Awasi KU/Kes, Tanda vital, TD, Nadi, RR
 Observasi baik pindah bangsal
Rabu, 1 Agustus 2018 pukul 19.00 WIB
Subject :
Pasien mengeluh sakit di seluruh lapang abdomen. Mual (+), muntah 2 kali,
BAK berwarna keruh, BAB (+) kecil-kecil
Object :
Ku/ kes: tampak sakit/ E4M6V5
TD: 100/60 mmhg
N: 87x/menit
RR: 16 x/ menit
T: 37.0 C
a. Kepala : Mesochepal
b. Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik +/+, reflek cahaya +/+,
pupil isokor diameter 3mm/3mm
c. Hidung : Discharge (-), epistaksis (-), deviasi septum (-)
d. Mulut : Lidah Kotor (-), bibir kering (+), hiperemis (-), pembesaran tonsil
(-), buka mulut 3 jari, mallampati kelas II
e. Gigi : Karies gigi (+), gigi tanggal (+), gigi goyang (-), gigi palsu (-),
massa jalan nafas (-)
f. Telinga : Discharge (-), tidak ada kelainan bentuk
g. Leher : Simestris, trakea di tengah, pembesaran tiroid dan kelenjar getah
bening (-), Thyromental distance (TMD) 5-6 cm
h. Thorax: simetris, retraksi (-)
Paru:
Inspeksi : simetris (+), retraksi (-), ketinggalan gerak (-)
Palpasi : vocal fremitus dextra sama dengan vocal fremitus sinistra
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : SD vesikuler +N/+N, RBK -/-, RBH -/-, Wheezing -/-
Jantung :

11
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V LMCS, tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung
kanan atas di SIC II LPSD
kanan bawah di SIC IV LPSD
kiri atas di SIC II LPSS
kiri bawah di SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2, murmur -, gallop -
i. Abdomen
Inspeksi : Datar, distensi (-)
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) di seluruh lapang
j. Ekstremitas : Akral hangat, edema superior (-/-) edema inferior (-/-),
parese (-/-).
k. Integumen : ikterik (+), turgor kulit < 2 detik.
l. Pemeriksaan Vertebrae : Tidak didapatkan kelainan
Assessment : Obstructive Jaundice (Cholelitiasis)
Planning :
 Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
 Inj. Dexametason 3x1 amp
 Inf RL
 Konsul alih kelola Penyakit Dalam
 Awasi KU/Kes, Tanda vital, TD, Nadi, RR
Kamis, 2 Agustus 2018 pukul 12.00 WIB
Subject :
Pasien mengeluhkan pusing dan sulit tidur, serta BAB (+) kecil-kecil
berwarna hitam. BAK (+)
Object :
Ku/ kes: tampak sakit/ E4M6V5

12
TD: 100/70 mmhg
N: 100x/menit
RR: 16 x/ menit
T: 36.6 C
a. Kepala : Mesochepal
b. Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik +/+, reflek cahaya +/+, pupil
isokor diameter 3mm/3mm
c. Hidung : Discharge (-), epistaksis (-), deviasi septum (-)
d. Mulut : Lidah Kotor (-), bibir kering (+), hiperemis (-), pembesaran tonsil
(-), buka mulut 3 jari, mallampati kelas II
e. Gigi : Karies gigi (+), gigi tanggal (+), gigi goyang (-), gigi palsu (-),
massa jalan nafas (-)
f. Telinga : Discharge (-), tidak ada kelainan bentuk
g. Leher : Simestris, trakea di tengah, pembesaran tiroid dan kelenjar getah
bening (-), Thyromental distance (TMD) 5-6 cm
h. Thorax: simetris, retraksi (-)
Paru:
Inspeksi : simetris (+), retraksi (-), ketinggalan gerak (-)
Palpasi : vocal fremitus dextra sama dengan vocal fremitus sinistra
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : SD vesikuler +N/+N, RBK -/-, RBH -/-, Wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V LMCS, tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung
kanan atas di SIC II LPSD
kanan bawah di SIC IV LPSD
kiri atas di SIC II LPSS
kiri bawah di SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2, murmur -, gallop -

13
i. Abdomen
Inspeksi : Datar, distensi (-)
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) di hampir seluruh lapang
j. Ekstremitas : Akral hangat, edema superior (-/-) edema inferior (-/-),
parese (-/-).
k. Integumen : ikterik (+), turgor kulit < 2 detik.
l. Pemeriksaan Vertebrae : Tidak didapatkan kelainan
Assessment : Cholelitiasis (Obstructive jaundice)
Planning :
 Inj. Ceftriaxone 2x1
 VIP albumin 3x1
 Curcuma 2x1
 BLPL

14
II. PEMBAHASAN

A. Obstructive Jaundice
1. Definisi
Ikterus (jaundice) berasal dari bahasa Greek, yang berarti kuning.
Ikterus adalah gambaran klinis berupa perubahan warna pada kulit dan
mukosa yang menjadi kuning karena adanya peningkatan konsentrasi bilirubin
dalam plasma, yang mencapai lebih dari 2 mg/dl. Terdapat 3 jenis ikterus
berdasarkan lokasi penyebabnya, yaitu ikterus prahepatik (hemolitik), ikterus
intrahepatik (parenkimatosa), dan ikterus ekstrahepatik (obstruktif). Ikterus
obstruktif merupakan ikterus yang disebabkan oleh adanya obstruksi pada
sekresi bilirubin pada jalur post hepatik, yang dalam keadaan normal
seharusnya dialirkan ke traktus gastrointestinal (Sulaiman, 2007).

2. Etiologi
Penyebab ikterus obstruktif secara garis besar terbagi menjadi 2
bagian, yaitu ikterus obstruksi intrahepatik dan ikterus obstruktif
ekstrahepatik. Ikterus obstruktif intrahepatik pada umumnya terjadi pada
tingkat hepatosit atau membran kanalikuli bilier sedangkan ikterus obstruktif
ekstrahepatik, terjadinya ikterus disebabkan oleh karena adanya sumbatan
pada saluran atau organ diluar hepar. Adapun penyakit yang menyebabkan
terjadinya ikterus obstruktif adalah sebagai berikut (Sulaiman, 2007; Longo et
al., 2010) :
Ikterus obstruktif intrahepatik :
a. Penyebab tersering ikterus obstruktif intrahepatik adalah hepatitis,
penyakit hati karena alkohol, serta sirosis hepatis. Peradangan intrahepatik
mengganggu ekskresi bilirubin terkonjugasi dan menyebabkan ikterus.
b. Ikterus obstruktif ekstrahepatik :
1.) Kolelitiasis dan koledokolitiasis

15
Batu saluran empedu mengakibatkan retensi pengaliran bilirubin
terkonjugasi ke dalam saluran pencernaan sehingga mengakibatkan
aliran balik bilirubin ke dalam plasma menyebabkan tingginya kadar
bilirubin direk dalam plasma.
2.) Tumor ganas saluran empedu
Insidens tumor ganas primer saluran empedu pada penderita dengan
kolelitiasis dan tanpa kolelitiasis, pada penderita laki-laki dan
perempuan tidak berbeda. Umur kejadian rata-rata 60 tahun, tetapi
tidak jarang didapatkan pada usia muda. Jenis tumor kebanyakan
adenokarsinoma pada duktus hepatikus atau duktus koledokus.
3.) Atresia biliaris
Terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga
menyebabkan hambatan aliran empedu, sehingga terjadi peningkatan
kadar bilirubin direk. Atresia bilier merupakan penyebab kolestatis
ekstrahepatik neonatal yang terbanyak. Terdapat dua jenis atresia
biliaris, yaitu ekstrahepatik dan intrahepatik. Bentuk intrahepatik lebih
jarang dibandingkan dengan ekstrahepatik.
4.) Tumor kaput pankreas
Tumor eksokrin pankreas pada umumnya berasal dari sel duktus dan
sel asiner. Sekitar 90% merupakan tumor ganas jenis adenokarsinoma
duktus pankreas, dan sebagian besar kasus (70%) lokasi kanker adalah
pada kaput pankreas. Pada stadium lanjut, kanker kaput pankreas
sering bermetastasis ke duodenum, lambung, peritoneum, hati, dan
kandung empedu.
3. Patofisiologi
Ikterus secara umum terbagi menjadi 3, yaitu ikterus prehepatik,
ikterus hepatik, dan ikterus posthepatik atau yang disebut ikterus obstruktif.
Ikterus obstruktif disebut juga ikterus posthepatik karena penyebab terjadinya
ikterus ini adalah pada daerah posthepatik, yaitu setelah bilirubin dialirkan

16
keluar dari hepar. Pada ikterus obstruktif, terjadi obstruksi dari pasase
bilirubin direk sehingga bilirubin tidak dapat diekskresikan ke dalam usus
halus dan akibatnya terjadi aliran balik ke dalam pembuluh darah. Akibatnya
kadar bilirubin direk meningkat dalam aliran darah dan penderita menjadi
ikterik (Silbernagl & Lang, 2012). Ikterik paling pertama terlihat adalah pada
jaringan ikat longgar seperti sublingual dan sklera. Karena kadar bilirubin
direk dalam darah meningkat, maka sekresi bilirubin dari ginjal akan
meningkat sehingga urine akan menjadi gelap dengan bilirubin urin positif.
Sedangkan karena bilirubin yang diekskresikan ke feses berkurang, maka
pewarnaan feses menjadi berkurang dan feses akan menjadi berwarna pucat
seperti dempul (Longo et al., 2010).

4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang dikeluhkan oleh pasien dengan ikterus
obstruktif, bergantung pada jenis penyakit yang menyebabkan obstruksi
sehingga menyebabkan terjadinya ikterus. Warna kuning pada sklera mata,
sublingual, dan jaringan lainnya diakibatkan oleh karena adanya peningkatan
kadar bilirubin dalam plasma yang terdeposit pada jaringan ikat longgar, salah
satu diantaranya adalah sklera dan sublingual. Warna urin gelap seperti teh
disebabkan adanya peningkatan kadar bilirubin direk yang larut dalam air,
menyebabkan tingginya kadar bilirubin dalam plasma, sehingga kadar
bilirubin yang berlebih dalam plasma tersebut akan diekskresikan melalui urin
dan menyebabkan warna urin menjadi lebih gelap seperti teh. Warna feses
seperti dempul disebabkan karena berkurangnya ekskresi bilirubin ke dalam
saluran pencernaan (Lesmana, 2006).
Pada penyakit batu empedu, umumnya sebagian besar pasien tidak
menunjukan gejala klinis yang dalam perjalanan penyakitnya dapat tetap
asimptomatik selama bertahun-tahun dan sebagian kecil dapat berkembang
menjadi simptomatik. Kurang dari 50% penderita batu empedu mempunyai
gejala klinis. Manifestasi klinis yang sering terjadi diantaranya adalah

17
mengeluhkan adanya kolik biliaris dan nyeri hebat pada epigastrium dan
kuadran kanan atas abdomen yang menjalar hingga ke punggung atau bahu
kanan, terutama setelah makan. Serangan kolik bilier ini disebabkan oleh
kontraksi kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar
akibat tersumbatnya saluran oleh empedu, menyebabkan tekanan di duktus
biliaris meningkat dan terjadi peningkatan kontraksi di tempat penyumbatan
yang mengakibatkan timbulnya nyeri visera pada daerah epigastrium dan
kuadran kanan atas abdomen. Nyeri pada kuadran kanan atas abdomen
dikarenakan implikasi pada saraf yang mempersarafi vesika felea, yaitu
plexus coeliacus. Nyeri yang akan diterima oleh saraf aferen mengikuti saraf
simpatis. Nyeri ini akan berjalan melui plexus coeliacus dan nervus
sphlangnicus mayor menuju ke medulla spinalis. Nyeri hebat ini sering
disertai dengan rasa mual dan muntah (Lesmana, 2006). Perangsangan mual
dapat diakibatkan oleh karena adanya obstruksi saluran empedu sehingga
mengakibatkan aliran balik cairan empedu ke hepar menyebabkan terjadinya
proses peradangan pada sekitar hepatobilier yang bersifat iritatif di saluran
cerna sehingga merangsang nervus vagal dan menekan rangsangan sistem
saraf parasimpatis sehingga terjadi penurunan pergerakan peristaltik sistem
pencernaan di usus dan lambung, menyebabkan makanan tertahan di lambung
dan peningkatan rasa mual yang mengaktifkan pusat muntah di medulla
oblongata (Mcphee et al., 2007).
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan adanya nyeri tekan
epigastrium dan daerah kuadran kanan atas abdomen. Tanda Murphy positif
positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu pasien menarik napas panjang
karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa
dan pasien berhenti menarik napas. Koledokolitiasis dapat terjadi apabila batu
berpindah tempat dari kandung empedu dan menyumbat duktus koledokus.
Sumbatan ini dapat menyebabkan kolangitis atau pankreatitis akut. Pasien
dengan koledokolitiasis sering menunjukan gejala jaundice dan demam, selain
nyeri. Pasien juga dapat mengeluhkan adanya feses yang berwarna dempul

18
akibat retensi aliran bilirubin ke dalam saluran cerna akibat adanya obstruksi,
serta keluhan berupa urin berwarna cokelat gelap seperti teh karena
meningkatnya kadar ekskresi bilirubin ke dalam urin (Febyan et al., 2017).
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium (Sulaiman, 2007 ; Al Hijjah et al., 2017)
1.) Pemeriksaan Rutin
 Darah : Perlu diperhatikan jumlah leukosit, bila jumlahnya
meningkat, maka berarti terdapat infeksi. Perhatikan juga apakah
terdapat peningkatan protrombin time (PT) atau tidak, karena
apabila prothrombin time meningkat, maka perlu dicurigai adanya
penyakit hepar, atau obstruksi bilier.
 Urin : Penting untuk mengetahui apakah warna urin merah
kecoklatan seperti teh secara makroskopis, serta terdapat
kandungan bilirubin dalam urin atau tidak. Apabila urin berwarna
gelap kecoklatan, perlu dicurigai adanya peningkatan kadar
bilirubin direk yang diekskresikan melalui urin yang mengarah
pada ikterus obstruktif.
 Feses : untuk mengetahui apakah feses berwarna dempul atau
tidak. Feses yang berwarna dempul, menandakan bahwa
terdapatnya gangguan aliran bilirubin direk ke dalam saluran
intestinal akibat adanya suatu sumbatan pada aliran empedu.
2.) Tes Faal Hati (Sulaiman, 2007)
Tes untuk mengetahui gambaran kemampuan hati untuk mensintesa
protein dan memetabolisme zat yang terdapat dalam darah, meliputi
albumin, globulin, SGOT, SGPT, Gamma GT, alkali fosfatase, dan
bilirubin.
3.) Pemeriksaan USG (Sulaiman, 2007)

19
B. Laparotomi dan Anestesinya
Laparotomi merupakan salah satu prosedur pembedahan mayor,
dengan melakukan penyayatan pada lapisan-lapisan dinding abdomen untuk
mendapatkan bagian organ abdomen yang mengalami masalah. Laparotomi
dilakukan pada kasus-kasus seperti apendisitis, perforasi, hernia inguinalis,
kanker lambung, kanker colon dan rectum, obstruksi usus, inflamasi usus
kronis, kolestisitis dan peritonitis (Sjamsuhidajat, 2010). Tindakan laparotomi
dapat dilakukan dengan beberapa arah sayatan: (1) median untuk operasi perut
luas, (2) paramedian (kanan) umpamanya untuk massa appendiks, (3)
pararektal, (4) McBurney untuk appendektomi, (5) Pfannenstiel untuk operasi
kandung kemih atau uterus, (6) transversal, (7) subkostal kanan untuk
kolesistektomi (Ditya, 2016).
Laparotomi merupakan tindakan operasi yang memerlukan anestesi
sebelumnya. Anestesi umum sering digunakan dalam tindakan laparotomi.
Obat-obatan anestesi yang umumnya digunakan antara lain premedikasi
fentanil 1μg/kgBB, midazolam 0,07 mg/kgBB, kemudian diberikan
deksametason 5 mg iv, setelah itu pasien di induksi dengan propofol 2
mg/kgBB dan atrakurium 0,5 mg/kgBB dengan pemeliharaan menggunakan
02+N2O dan isofluran 1-2% vol. Pada anestesi umum sering terjadi mual dan
muntah pasca operasi atau post operative nausea and vomiting (PONV) akibat
dari agen inhalasi, N2O, dan pemakaian opioid selama operasi. Oleh karena itu
perlu diberikan obat antiemetik sebelum atau sesudah operasi (Yanhil, 2016).
Obat antiemetik yang sering digunakan antara lain kombinasi ondansetron 4 mg
dan deksametason 8 mg atau granisetron 1 mg. Ondansetron merupakan
antagonis selektif reseptor 5-hidroksi-triptamin (5-HT3), dosis intravena
ondansetron adalah 0,1 mg/kgBB. Deksametason merupakan golongan
glukokortikoid yang digunakan sebagai tambahan antiemetik karena dapat
mengontrol PONV melalui inhibisi sintesis prostaglandin, menurunkan 5HT3 di
sistem saraf pusat, dan aktivitas anti-inflamasi pada daerah operasi. Sedangkan
granisetron merupakan antagonis reseptor serotonin lebih selektif dan masa

20
kerja lebih lama. Dosis efektif untuk mencegah PONV adalah 10 μg/kgBB.
Namun, harga granisetron yang mahal membatasi penggunaannya dalam
aplikasi klinis (Sudjito et al., 2018).
Pada pasien pasca laparotomi eksplorasi akan didapatkan luka operasi
yang dapat menimbulkan infeksi bila tidak ditangani dengan baik. Angka
kejadian infeksi luka operasi lebih sedikit pada pemberian oksigen 80% bila
dibandingkan dengan 30%. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian oksigen
80% pascaoperasi lebih baik untuk menurunkan angka kejadian infeksi luka
operasi dibandingkan dengan oksigen 30% pada penderita yang mengalami
laparotomi eksplorasi (Djaya et al., 2012).
C. Persiapan Pre Anestesi
Pemeriksaan pre operatif dilakukan pada saat pre operatif visit.
Pemeriksaan ini dilakukan seperti pemeriksaan pada umumnya yaitu
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya. Secara
umum pemeriksaan pre operatif meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang dan menentukan prognosis dari operasi (Roizen, 2005):
1. Anamnesis
Anamnesis dapat dilakukan secara langsung kepada pasien (autoanamnesa) atau
dengan keluarga pasien (alloanamnesa). Yang harus diperhatikan dan
ditanyakan dalam melakukan anamnesia di antaranya adalah Identitas pasien,
keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, riwayat obat-
obatan, riwayat anestesi atau operasi sebelumnya, riwayat kebiasaan dan
konsumsi makan terakhir (Roizen, 2005).
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan secara umum adalah pemeriksaan
antropometri berupa tinggi badan dan berat badan, kesadaran, keadaan umum,
tanda tanda anemia, ikterus, sianosis, dehidrasi, edema, dan tanda vital berupa
tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi napas, suhu tubuh.setelah dilakukan

21
pemeriksaan secara umum, maka dilakukan pemeriksaan 5B yaitu: Breath,
Blood, Bowel, Bladder, dan Bone (Roizen, 2005).
Pada pemeriksaan Breath yang dinilai adalah jalan napas, pola napas,
suara napas, dan anatomi fungsi paru. Selain itu juga dilakukan evaluasi tentang
penyulit dalam intubasi seperti panjang leher, gangguan membuka mulut,
kekakuan otot leher, masalah gigi (gigi tanggal, gigi goyang, gigi palsu) dan
lidah relatif besar. Pada pemeriksaan blood yang dinilai adalah tekanan darah,
suara jantung dan kelalinan anatomis fungsi jantung. Pada pemeriksaan brain
yang dinilai diantaranya adalah GCS dan kelainan pada saraf pusat dan perifer.
Pemeriksaan Bowel dapat dinilai dengan cara menanyakan makan minum
terakhir, memeriksa biisng usus, gangguan peristaltik dan gangguan lambung
dan kehamilan. Sedangkan pada pemeriksaan Bladder yang dicek adalah
prosuksi urine untuk mengetahui apakah ada gangguan ginjal atau tidak.
Pemeriksaan yang terakhir adalah Bone. Pada pemeriksaan Bone yang dinilai
adalah kelainan postur, kelainan neuromuskuler dan ada atau tidaknya patah
tulang (Fleisher, 2009).
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang adalah pemeriksaan yang dilakukan apabila
pemeriksaan fisik dirasa masih meragukan sehingga untuk mendapatkan
kepastian perlu dilakukan pemeriksaan penunjang seperti radiologi, EKG atau
pemeriksaan laboratorium. Ada pemeriksaan penujang yang rutin harus
dilakukan ada juga yangdilakukan berdasarkan indikasi. Adapun indikasi
dilakukan pemeriksaan penunjang antara lain: usia, penyakit yang diderita,
penyakit penyerta, penyakit dahulu, penyakit keluarga herediter dan lalin lain
(Roizen, 2005).
Adapun pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan adalah pemeriksaan
darah rutin (Hb, leukosit, trombosit, hematokrit) dan pemeriksaan kimia klinik
seperti fungsi hepar (SGOT, SGPT, albumin), fungsi ginjal (urine lengkap,
BUN, serum kreatinin), fungsi hemostasis (PT, APTT), dan serum elektrolit
(Na, K, Cl). Sedangkan pemeriksaan fisik yang dilakukan berdasarkan indikasi

22
di antaranya adalah pemeriksaan radiologi (foto thorak, BOF, CT scan, USG,
dan lain lain), laboratorium (gula darah), dan EKG (Roizen, 2005).
Apabila pemeriksaan pre operatif dilakukan dan telah memeroleh
gambaran tentang keadaan fisik dan mental pasien beserta masalah-masalah
yang ada, selanjutnya menentukan prognosis dari operasi, membuat rencana
mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan (Roizen, 2005).
4. Menentukan prognosis, morbiditas dan mortalitas operasi
Prognosis suatu operasi dapat ditentukan melalui status kalsifikasi fisik
ASA (American Society of Anesthesiology) dengan kategori sebagai berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi Status Fisik ASA (American Society of
Anaesthesiologists, 2014)

Klasifikasi Definisi Contoh Kasus


ASA Pasien sehat Pasien sehat, tidak merokok,
1 dan normal. atau konsumsi alkohol minimal.
ASA Pasien dengan Asma ringan atau hipertensi
2 penyakit terkontrol, pasien perokok,
sistemik hipertensi dan DM terkontrol.
ringan yang
tidak
berpengaruh
terhadap
aktivitas
sehari-hari.
ASA Pasien dengan Diabetes dan hipertensi yang
3 penyakit tidak terkontrol dengan baik,
sistemik berat PPOK, obesitas parah (IMT ≥
atau secara 40), hepatitis aktif,
bermakna ketergantungan/penyalahgunaan
membatasi alkohol, gagal ginjal dengan
aktivitas hemodialysis terjadwal, dll.
sehari-hari.
ASA Pasien dengan Infark miokardial akut, gagal
4 penyakit berat nafas yang membutuhkan
yang ventilasi mekanik.
mengancam
nyawa atau
membutuhkan
terapi intensif.

23
ASA Pasien hampir Rupture aneurisma
5 meninggal abdomen/thoraks, trauma
yang mungkin massif, perdarahan intrakranial
akan dengan efek massa.
meninggal
dalam 24 jam
dengan atau
tanpa tindakan
operasi
ASA Pasien sudah
6 dinyatakan
mati batang
otak dan
organnya ingin
didonorkan.
“E” ditambahkan pada status di atas, menunjukkan operasi
emergensi yang bila tidak segera dilakukan dapat meningkatkan
bahaya pada hidup pasien atau bagian tubuh pasien.

Tabel 2.1 Klasifikasi ASA


Selain itu, untuk memprediksi keadaan buruk yang spesifik yang akan
berpengaruh pada kelancaran operasi seperti:
a. Masalah dengan jalan napas
Masalah dengan jalan napas berhubungan dengan kesulitan intubasi pada
proses operasi, sehingga pemeriksaan pre operasi harus tepat. Identifikasi
pasien yang potensial diduga akan terjadi kesulitan dalam melakukan intubasi
harus dilakukan untuk menentukan tindakan atau teknik anestesi yang tepat
harus dilakukan. Pada penatalaksanaan pre operasi, salah satu penilaian klinik
yang dapat dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya kesulitan intubasi
adalah tes Mallampati dan Thyromental Distance (TMD).
Tes mallampati dilakukan dengan cara pasien membuka mulut
semaksimal mungkin yang dapat dilakukan disertai dengan lidah menjulur ke
depan, dan pada saat itu yang dilihat adalah daerah bagian faring posterior.
Apabila pada tes Mallampati ditemukan bagian faring posterior tidak dapat

24
terlihat, maka kemungkinan akan terjadi kesulitan dalam intubasi. Adapun
interpretasi dari tes Mallampati adalah (Downing, 2008):
- Grade I: Faring posterior, uvula, dan palatum mole terlihat jelas, seluruh
tonsil terlihat jelas
- Grade II: faring posterior tidak terlihat, uvula dan palatum mole terlihat
sedangkan, setengah keatas dari fossa tonsil terlihat
- Grade III: faring posterior tidak terlihat, uvulu hanya terlihat bagian basis,
palatum mole dan palatum durum masih terlihat
- Grade IV: Faring posterior, uvula dan palatum mole tidak terlihat, hanya
palatum durum yang terlihat.

Gambar 3.1 Mallampati Score


Thyromental Distance (TMD) adalah jarak yang diukur dari bagian
mentum sampai ke kartilago tiroid dengan posisi kepala ekstensi maksimal.
Hasil pengukuran TMD > 6,5 cm dapat dikategorikan mudah untuk dilakukan
intubasi, TMD 6-6,5 cm sulit intubasi tapi masih bisa dilakukan dengan
menggunakan bantuan optical stylet, sedangkan TMD < 6 cm merupakan
indikasi sulit dilakukan intubasi dan pemasangan laringoskop (Baker, 2009).

25
.
Gambar 3.2 Thyromental Distance (TMD)
b. Kondisi jantung yang tidak baik
Untuk menilai kondisi jantung yang tidak baik pada operasi non kardiak dapat
dilakukan menggunakan penghitungan indeks Goldman (Morgan, 2002).
Faktor Risiko Nilai
Suara jantung III atau distensi vena 11
jugularis
MI dalam 6 bulan terakhir 10
Irama selain sinus atau kontraksi prematur 7
atrial
Lebih dari 5 denyutan ventrikel ektopik 7
dalam 1 menit
Operasi abdomen, toraks, atau aorta 3
Usia > 70 tahun 5
Important cardiac stenosis 3
Tindakan pembedahan darurat 4
Kondisi buruk yang ditandai salah satu 3
dari:
- PaO2 < 8 kPa
- PaCo2 > 6,5 kPa
- Kalium < 3 mmol/L
- HCO3 < 20 mmol/L

26
- Urea > 7,5 mmol/L
- Kreatinin > 270 µmol/L
- SGOT abnormal
- Penyakit hepar kronis
Total nilai 53

Tabel 2.2 indeks Goldman dari risiko kardiak pada prosedur non-kardiak
5. Kejadian Sulit Intubasi
Menurut The American Society of Anesthesiology, kesulitan intubasi
adalah dibutuhkannya > 3 kali usaha intubasi atau usaha intubasi yang terakhir
membutuhkan > 10 menit. Kesulitan intubasi sehubungan dengan manajemen
saluran nafas, riwayat sebelum intubasi seperti riwayat anestesi, alergi obat, dan
penyakit lain yang dapat menghalangi akses jalan napas. Insiden sulit intubasi
pasien bedah yang dilakukan dengan anestesi umum ditemukan sebanyak 1–18%
dan didapatkan pasien dengan gagal intubasi sebanyak 0,05–0,35%. Sulit
intubasi dapat menyebabkan mortalitas sebanyak 600 orang di dunia setiap
tahunnya, bahkan sampai 28% dari keseluruhan tindakan anestesi yang
berhubungan dengan kematian akibat ketidakmampuan dalam ventilasi atau
intubasi (Dalimunthe et al., 2018).
Prediksi sulit intubasi pada evaluasi preoperasi telah dicoba oleh banyak
peneliti menggunakan pemeriksaan fisik berdasar atas tanda anatomi seperti
Mallampati, jarak interincisive, thyromental distance (TMD), jarak sternomental,
upper lip bite test (ULBT), dan rasio jarak hyomental yang semuanya
menunjukkan perbedaan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing. Pasien
dapat diprediksi kesulitan intubasi dapat diidentifikasi sebagai Mallampati III
atau IV. Penelitian lain menyebutkan acromio axillo suprasternal notch index
(AASI) dapat digunakan untuk memprediksi kesulitan intubasi pada pasien
operasi elektif di Labbafinejad Hospital (Iran). Dari hasil penelitian secara
statistik didapatkan AASI yang lebih sensitif dan akurat dibanding dengan
Mallampati (Dalimunthe et al., 2018).

27
Untuk melengkapi skor Mallampati yang telah digunakan sebelumnya,
rumah sakit di Amerika Serikat dan Inggris memperkenalkan kriteria yang
disebut sebagai kriteria LEMON untuk memprediksi kesulitan intubasi pada
pasien yang masing-masing memiliki arti L (look externally), E (evaluate 3-3-2
rule), M (Mallampati), O (obstruction), dan N (neck mobility) (Reed et al., 2005).

Tabel 3.3 Kriteria LEMON


Selain menggunakan kriteria LEMON, temuan fisik lainnya telah terbukti
menjadi prediktor yang baik dari kesulitan saluran nafas.Faktor lain yang
digunakan untuk memprediksi kesulitan intubasi meliputi (Morgan, 2013):
- Lidah besar
- Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
- Mandibula menonjol

28
- Maksila atau gigi depan menonjol
- Mobilitas leher terbatas
- Pertumbuhan gigi tidak lengkap
- Langit-langit mulut sempit
- Pembukaan mulut kecil
- Anafilaksis saluran napas
- Arthritis dan ankilosis cervical
- Sindrom kongenital (Klippel-Feil (leher pendek, leher menyatu), Pierre Robin
(micrognathia, belahan langit-langit, glossoptosis),Treacher Collins
(mandibulofacialdysostosis)
- Endokrinopati (Kegemukan, Acromegali, Hipotiroid macroglossia,Gondok)
- Infeksi (Ludwig angina (abses pada dasar mulut), peritonsillar abses,
retropharyngeal abses,epiglottitis)
- Massa pada mediastinum
- Myopati menunjukkan myotoniaatau trismus
- Jaringan parut luka bakar atau radiasi
- Trauma dan hematoma
- Tumor dan kista
- Benda asing pada jalan napas
Kesulitan intubasi atau intubasi berulang mempengaruhi timbulnya
komplikasi intubasi endotrakeal. Pada pasien dengan kesulitan intubasi,
penatalaksanaan jalan napas menjadi lebih sulit sehingga lebih mudah terjadi
cedera pada jalan napas yang menyebabkan nyeri tenggorok. Prosedur intubasi
dengan menekankan krikoid selama laringoskopi memfasilitasi visualisasi pita
suara sehingga manuver ini bisa membantu menghindari kerusakan sekitar pita
suara yang disebabkan oleh intubasi yang dipaksakan (Morgan, 2013).
Berdasarkan British Journal of Anaesthesia, terdapat empat rencana
tatalaksana ketika intubasi sulit terjadi, yaitu (Frerk et al., 2015):

29
a. Rencana A (Mask Ventilation and Tracheal Intubation)
Tujuan dari rencana A adalah untuk mempertahankan patensi jalan nafas
pada intubasi yang berhasil dalam sekali percobaan dan meminimalisir
penggunaan laringoskop berulang pada intubasi yang gagal dalam satu kali
percobaan. Jika pada percobaan pertama penggunaan laringoskop gagal,
penggunaan laringoskop berulang direkomendasikan untuk dilakukan
maksimal tiga kali percobaan. Penggunaan laringoskop yang berulang
merupakan penyebab tersering trauma jalan nafas, selain itu dapat
menyebabkan pasien berada dalam situasi CICO (Cannot Intubate, Cannot
Ventilate).
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan petugas anestesi untuk
menghindari kejadian intubasi sulit, seperti posisi kepala pasien dijaga supaya
cukup terekstensi sehingga patensi jalan nafas terjaga dan juga memudahkan
pemasangan alat bantu pernapasan pada pasien saat tindakan anestesi
berlangsung. Selain itu, pasien harus dipasangkan sungkup oksigen dengan O2
100% segera setelah induksi dimulai. Pemilihan ukuran laringoskop dan ETT

30
yang sesuai juga merupakan hal perlu diperhatikan petugas anestesi. Tindakan
manipulasi laring eksternal dapat pula dilakukan untuk memudahkan tindakan
intubasi, yaitu dengan menekan kartilago tiroid pasien dengan tangan kanan
petugas atau disebut juga dengan BURP (Backward, Upward, and Rightward
Pressure).
b. Rencana B (Supraglotic airway device insertion)
Hal yang perlu diperhatikan dalam rencana B adalah pemasangan SAD
(Supraglotic Airway Device). Ketika pasien sulit untuk dilakukan pemasangan
intubasi trakea, SAD merupakan pilihan selanjutnya dalam menjaga jalan
napas pasien. Keberhasilan pemasangan SAD merupakan indikator bagi
petugas anestesi untuk berpikir apakah pasien akan dibangunkan, melanjutkan
tindakan intubasi, melanjutkan anestesi tetapi tanpa ETT, atau jarang sekali
yaitu dilakukannya tindakan trakeostomi atau krikotiroidotomi. Jika
pemasangan SAD tidak dapat dilakukan setelah tiga kali percobaan, maka
rencana C dapat dilakukan.
c. Rencana C (Facemask ventilation)
Jika ventilasi yang efektif masih belum tercapai setelah tiga kali
percobaan pemasangan SAD, rencana C segera dilakukan yaitu dengan
menggunakan face mask. Pada rencana A dan B, sudah dapat ditentukan
apakah pasien dapat diberikan face mask ventilation, tetapi hal ini berbeda
pada kasus-kasus intubasi sulit yang membutuhkan pengulangan dalam
intubasi karena percobaan berulang dan penggunaan SAD dapat membuat
pasien mengalami trauma jalan napas.
d. Rencana D (Emergency front of neck access)
Ketika pemasangan ETT, SAD, dan face mask gagal dilakukan, pasien
dapat digolongkan ke dalam situasi CICO (Cannot Intubate, Cannot Ventilate).
Hal tersebut harus segara ditatalaksana karena jika tidak pasien dapat
mengalami hipoksia otak. Krikotiroidotomi adalah upaya yang dapat dilakukan
petugas anestesi jika rencana-rencana sebelumnya gagal. Jenis teknik

31
krikotiroidotomi yang dilakukan yaitu scalpel chricotiroidotomy dan scalpel-
finger-bougie.

32
III. KESIMPULAN

1. Pasien Ny.M 61 tahun dengan diagnosis obstruksi jaundice pro laparotomi


eksplorasi gagal dilakukan intubasi dan menyebabkan penundaan operasi.

2. Obstruksi jaundice pada pasien diakibatkan oleh kolelitiasis atau sumbatan pada
kantung empedu dan menyebabkan kadar bilirubin pasien meningkat.

3. Pemeriksaan pre operatif adalah pemeriksaan yang dilakukan pada pasien


yang akan dioperasi satu hari sebelum operasi dilakukan berupa anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
4. Penentuan prognosis dan prediksi morbiditas serta mortalitas dilakukan setelah
pemeriksaan pre operatif yang dapat dinilai berdasarkan status fisik ASA,
adanya masalah dengan jalan napas diukur dengan Mallampati score, TMD,
atau AASI, serta adanya masalah kardiovaskuler dan masalah respirasi.
5. Prediktor kesulitan intubasi lain yang sering digunakan adalah kriteria LEMON
yang memiliki arti L (look externally), E (evaluate 3-3-2 rule), M
(Mallampati), O (obstruction), dan N (neck mobility).

33
DAFTAR PUSTAKA

Al Hijjah, F., Yaswir, R., Syah, NA. 2017. Gambaran Jumlah Trombosit Berdasarkan
Berat Ringannya Penyakit pada Pasien Sirosis Hati dengan Perdarahan di
RSUP Dr.M.Djamil Padang. Jurnal FK Unand. 6(3):609-614.

Baker, P. A., A. Depuydt, J.M. Thompson. 2009. Thyromental Distance


Measurement. Anesthesia. 64(8): 878-882.

Dalimunthe, A., Lubis, A., Mursin, C. 2018. Perbandingan Acromio Axillo


Suprasternal Notch Index dengan Tes Mallampati dalam Prediksi Sulit
Intubasi di RSUP Haji Adam Malik Medan. Jurnal Anestesi Perioperatif.
6(1):1-6

Ditya, W. 2016. Hubungan Mobilisasi Dini dengan Proses Penyembuhan Luka pada
Pasien Pasca Laparotomi di Bangsal Bedah Pria dan Wanita RSUP Dr. M.
Djamil Padang. Jurnal FK Unand. 5(3):724-729.

Djaya, W, Rudiman, R, Lukman, K. 2012. Efek Oksigen Konsentrasi Tinggi


Pascaoperasi Laparotomi pada Peritonitis terhadap tingkat Infeksi Luka
Operasi. MKB. 44(3):165-170.

Downing, J.W., M.D.C. Baysinger. 2008. The Mallampati Score. Anesthesiology.


11(109): 931-932.

Febyan, Dhilion, HRS, Ndraha, S., Tendean, M. 2017. Karakteristik Penderita


Kolelitiasis Berdasarkan Faktor Risiko di Rumah Sakit Umum Daerah
Koja. Jurnal Kedokteran Meditek. 23(63):50-56.
Fleisher, L.A., et al., 2009. ACCF/AHA focused update on perioperative beta
blockade incorporated into the ACC/AHA 2007 guidelines on
perioperative cardiovascular evaluation and care for noncardiac surgery.
Journal of the American College of Cardiology, 54(22): p. e13-e118.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Petunjuk Teknis Pelayanan


Intensive Care Unit di Rumah Sakit. http://www.perdici.org/guidelines/.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Pelayanan Intensive Care Unit di
Rumah Sakit. http://www.perdici.org/guidelines/.
Lesmana LA. 2006. Penyakit Batu Empedu. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FK.UI.

Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, et al. 2010. The Liver Bilirubinemias. In:
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. United States of
America: Mc Graw Hill.

34
McPhee S. J, Papadakis M. A, Tierney L. M. 2007. Biliary Obstruction. In : Current
Medical Diagnosis and Treatment. San Fransisco : Mc Graw Hill.

Morgan, G.E., M.S. Mikhail, M.J. Murray, C.P. Larson. 2002. Clinical
Anesthesiology. 3rd ed. New York, Lange Medical Books.

Morgan, G.E., M.S. Mikhail, M.J. Murray, C.P. Larson. 2013. Clinical
Anesthesiology. 5th ed. New York, Lange Medical Books.

Reed, MJ, Dunn, MJ, McKeown, DW. 2005. Can An Airway Assessment Score
Predict Difficulty at Intubation in the Emergency Department. Emergency
Medicine Journal. 22(1):99-102.

Roizen MF, Foss JF, Fischer SP. 2005. Preoperative evaluation. In: Miller RD,
editor. Anesthesia. 6th Edition. Philadelphia: Churchill-Livingstone.

Silbernagl , S., Lang, F. 2012. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: Penerbit
buku kedokteran EGC.

Sjamsuhidajat, R. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. 3th Ed. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC.

Sudjito, MH, Mulyata, Setyawati, T. 2018. Kejadian Mual Muntah Pasca Laparotomi
Setelah Pemberian Granisetron Dibandingkan Setelah Pemberian
Kombinasi Ondanseron-Deksametason. CDK. 45(3):172-176.

Sulaiman, A. 2007. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. In: Aru W Sudoyo, et al.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. 5th Ed. Jakarta: Penerbit FKUI.

Yanhil, SI. 2016. Perbandingan Antara Ondansetron 4 mg IV dan Deksametason 5


mg IV dalam Mencegah Mual-Muntah pada Pasien Laparotomi dengan
Anestesia Umum. Jurnal e-clinic. 4(2):1-7.

35

Anda mungkin juga menyukai