Anda di halaman 1dari 39

MINI CLINICAL EXAMINATION

“Anak L Usia 11 tahun Post Laparotomi Tutup Colostomi Atas Indikasi TB


Peritonitis dengan Anemia dan Hipoalbuminemia”

Oleh:
Dita Yulianti G4A017045
Hesti Triyuliani G4A017049

Pembimbing:
dr. Hermin Prihartini, Sp.An-KIC

SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2018

1
LEMBAR PENGESAHAN
MINI CLINICAL EXAMINATION

“Anak L Usia 11 tahun Post Laparotomi Tutup Colostomi Atas Indikasi TB


Peritonitis dengan Anemia dan Hipoalbuminemia”

Disusun oleh:
Dita Yulianti G4A017045
Hesti Tri Yuliani G4A017049

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian


Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui,
Pada tanggal, Maret 2018

Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Hermin Prihartini, Sp.An-KIC


NIP 1960101019880320006

2
I. LAPORAN KASUS

A. Identitas
1. Nama : An. Lany Anindya Permana
2. Umur : 11 tahun
3. Pendidikan : SD
4. Pekerjaan :-
5. No. CM : 02013862
6. Tanggal masuk RSMS : 10 Maret 2018
7. Tanggal Operasi : 12 Maret 2018
8. Pro : Laparotomi tutup colonostomy
9. Diagnosis : Peritonitis TB
B. Laporan Pre Operatif
1. Subjektif :
Pasien post colostomy, keluhan perih pada bekas operasi, BB turun,
lemas (+), batuk (-), pilek (-), Demam (-).
RPD :
- Riwayat Persalinan normal (+)
- Prematur BB 1,9 kg
- Riwayat Penurunan BB
- Riwayat gangguan Ginjal (-)
- Riwayat Operasi (+)
- Alergi (-)
- Riw. Asma (-)
- kejang (-)

2. Objektif
Ku/Kes : tampak lemas/CM,E4V5M6
TD : 110/50mmhg
Nadi : 80x/mnt reguler, isi tekanan cukup

1
RR : 20 x/mnt simetris
S : 36 C
BB : 24 kg
TB : 140 cm
Airway: clear (+), snorling (-), gurgling (-), buka 2 jari, TMD 4-5 cm,
mallampati (II), gitang(-), karies (-), gisu (-), giyang (-), massa jalan
napas(-), massa leher(-)
Status Generalis:
- Kepala : mesocephal (+)
- Mata : CA -/-,SI -/-, RC +/+, isokor 3mm/3mm
- Telinga : bloody otore -/-
- Hidung : bloody rhinore -/-
- Mulut : discharge -
- Leher : deviasi trakea -
- Thoraks : simetris, jejas -,
P/ SDV +/+, RBK -/-, RBH -/-, Whz -/-,
C/ S1 > S2, M -, G -
- Abdomen : datar, terdapat kantung colostomy
-Ekstremitas : AH ++/++ edema - -/ - -

3. Pemeriksaan Laboratorium darah RSMS


Hemoglobin : 14,4
Leukosit : 7420
Hematokrit : 42
Eritrosit : 4,9
Trombosit : 309000
PT : 10,6
APTT : 68,6 (H)
GDS : 112
Albumin : 3,69

2
Globulin : 4,32 (H)
Ureum : 14,9 (L)
Kreatinin : 0,72
Natrium : 140
Kalium : 4,1
Klorida : 101
4. Assesment : Post Colostomi atas Indikasi Peritonitis dengan ASA II
5. Plan : Laparotomy tutup colostomi dengan GA

C. Laporan Durante Operasi


1. Tanggal operasi : Senin, 12 Februari 2018
2. Jam mulai anestesi : 09.45 WIB
3. Jam selesai anestesi : 12.15 WIB
4. Kondisi prainduksi
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Heart rate : 81 x/menit, reguler, isi tekanan cukup
RR : 16 x/menit, reguler, pola napas thorakoabdominal
Suhu : 360C
5. Teknik Anestesi
Anestesi : General Anestesi
Premedikasi : Midazolam 25 mg
Preemptive analgesia : fentanyl 25 µg
Sedasi : 1) Induksi: intravena propofol 50 mg
2) Rumatan: inhalasi sevofluran
Pelumpuh otot : Atracurium 15 mg
Airway : 1) ET Kinking no 5,5
2) Laringoskop Macintosh

3
6. Monitoring Durante Operasi
 Tekanan darah, SpO2, dan HR
Waktu TD (mmHg) SpO2 HR (x/min)
09.45 130/90 100% 100
10.00 120/80 100% 105
10.15 110/60 100% 90
10.30 100/60 100% 100
10.45 100/60 100% 80
11.00 10060 100% 85
11.15 100/60 100% 80
11.30 110/60 100% 80
11.45 100/60 100% 90
12.00 100/60 100% 80
12.15 100/60 100% 80
 Obat yang masuk
a. Midazolam 25 mg
b. Fentanyl 25 µg
c. Propofol 50 mg
d. Atracurium 15 mg
 Cairan yang masuk
Ringer laktat : 700 ml
Tutofusin Ops : 500 ml
 Perdarahan: 200 ml
 Urine output: -

D. Terapi Cairan
Rumus :
Maintenance = 2 x kgBB/ jam
Pengganti Puasa (PP) = Puasa (jam) x M
Stres Operasi (SO) = 6cc/kgBB (operasi sedang)

4
Jam I = ½ PP + M + SO
Jam II = ¼ PP + M + SO
Jam III = Jam II
EBV = 65 x BB
Perhitungan (BB= 24 Kg) :
Maintenance (M) = 2 x 24 kg = 48 cc
Stress Operasi (SO) = 6 x 24 kg = 144 cc
Pengganti Puasa (PP) = 8 x 48cc = 384 cc
EBV = 65 x 24 = 1560 cc
Lama Operasi ( 150 menit)
Kebutuhan Cairan durante operasi
Jam I = ½ PP + M + SO
= ½ 384 + 48 + 144
= 384 cc
Jam II = ¼ PP + M + SO
= ¼ 384 + 48 + 144
= 288 cc
30 menit = ½ Jam II
= ½ 288
= 144
Output durante operasi
Jumlah perdarahan = 200 cc
Urin output = 50 cc
Total output durante operasi = 250 cc

Tabel 1.3. Keseimbangan Cairan Durante Operasi


Output Cairan Input Cairan
Perdarahan + urin output Durante operasi = 1200 cc
= 200 + 50 cc

5
Output cairan D.O. = 250 cc Input cairan D.O. = 1200 cc
Kebutuhan durante operasi
150 menit : 816 cc
Total Cairan Output Total Cairan Input
250 cc + 816 cc 1200 cc
= 1066 cc = 1200cc
Balance Cairan: + 134 cc

E. Laporan ICU
1. Subjek
Mual (+) muntah (+), pinggang terasa pegal, nyeri (-)
2. Objektif
Ku/Kes : tampak lemas/CM,E4V5M6
TD : 109/77mmhg
Nadi : 123x/mnt reguler, isi tekanan cukup
RR : 18 x/mnt simetris
S : 36,6 C
BB : 24 kg
TB : 140 cm
Airway: clear (+), snorling (-), gurgling (-), buka 2 jari, TMD 4-5 cm,
mallampati (II), gitang(-), karies (-), gisu (-), giyang (-), massa jalan
napas(-), massa leher(-)
Status Generalis:
- Kepala : mesocephal (+)
- Mata : CA -/-,SI -/-, RC +/+, isokor 3mm/3mm
- Telinga : bloody otore -/-
- Hidung : discharge (-) NGT (+)
- Mulut : discharge (-) ET (+)
- Leher : deviasi trakea -
- Thoraks : simetris, jejas -,

6
P/ SDV +/+, RBK -/-, RBH -/-, Whz -/-,
C/ S1 > S2, M -, G -
- Abdomen : datar, perban bekas operasi (+)
-Ekstremitas : AH ++/++ edema - -/ - -
3. Hasil pemeriksaan Laboratorium
Hemoglobin : 10,9 (L)
Leukosit : 15920 (H)
Hematokrit : 32 (L)
Eritrosit : 3,8
Trombosit : 268000
GDS : 234 (H)
Albumin : 2,59 (L)
Globulin : 3,23 (H)
Natrium : 142
Kalium : 3,2 (L)
Klorida : 8,6
4. Assesment : Post Tutup Colostomy H+0
5. Plan :
ceftriaxone 2 x 1 gr
metronidazole 3 x 500mg
ketorolac 3 x 30 mg
ranitidin 3 x 50 mg
bubur saring 600 kkal
6. Monitoring
Waktu TD (mmHg) SpO2 HR (x/min)
12.00 98/76 100% 107
13.00 101/82 100% 106
14.00 108/80 100% 119
15.00 97/72 100% 120
16.00 114/68 100% 110

7
17.00 121/88 100% 118
18.00 118/78 100% 125
19.00 110/84 100% 130
20.00 121/79 100% 144
21.00 103/87 100% 136
22.00 109/73 100% 125
23.00 115/87 100% 145
24.00 111/78 100% 244

F. Laporan Bangsal
Hari, Subjektif dan Objektif Assessment Planning
tanggal
Selasa, S: Pasien merasakan Peritonitis TB - IVFD NaCl 0,9%
13-03- cemas dan nyeri pada luka post tutup 20 tpm
2018 pkl bekas tutup colostomy. colostomy H+1 - Inj. Ceftriaxon 2 x
13.00 di Batuk (+) mual (-) 1 gram
bangsal - Metronidazol 3 x
Seruni O: 500 mg
TD : 110/60 mmHg - Inj. Ketorolac 3 x
Nadi : 108 x/menit 30 mg
RR : 23 x/menit - Inj. Ranitidin 2 x
S: 37 C 50 mg
SaO2 : 99%
Rabu, 14- S: Pasien merasakan nyeri Peritonitis TB - IVFD NaCl 0,9%
03-2018 pada luka bekas tutup post tutup 20 tpm
pkl 14.00 colostomy dan punggung . colostomy H+2 - Inj. Ceftriaxon 2 x
di Bangsal Demam (+) Batuk (+) 1 gram
Seruni mual (-) - Metronidazol 3 x
500 mg
O: - Inj. Ketorolac 3 x

8
TD : 110/60 mmHg 30 mg
Nadi : 90 x/menit - Inj. Ranitidin 2 x
RR : 20 x/menit 50 mg
S: 37,8 C
SaO2 : 97%

9
II. PEMBAHASAN

A. TB Peritonitis
1. Definisi
Peritonitis TB merupakan bentuk TB anak yang jarang dijumpai,
yaitu sekitar 1—5% dari kasus TB anak. Umumnya terjadi pada dewasa
dengan perbandingan perempuan lebih sering dari laki-laki (2:1). Pada
peritonium terbentuk tuberkel dengan massa perkijuan yang dapat
membentuk satu kesatuan (konfluen). Pada perkembangan selanjutnya,
omentum dapat menggumpal di daerah epigastrium dan melekat pada
organ-organ abdomen, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan
obstruksi usus. Di lain pihak, kelenjar limfe yang terinfeksi dapat
membesar, menyebabkan penekanan pada vena porta dengan akibat
pelebaran vena dinding abdomen dan asites. Umumnya, selain gejala
khusus peritonitis TB, dapat timbul gejala klinis umum TB anak. Tanda
yang dapat terlihat adalah ditemukannya massa intraabdomen dan adanya
asites. Kadang-kadang ditemukan fenomena papan catur, yaitu pada
perabaan abdomen didapatkan adanya massa yang diselingi perabaan
lunak, kadang-kadang didapat pada obstruksi usus dan asites
(Kementerian Kesehatan RI, 2013).
2. Etiologi dan Patofisiologi
Tuberkulosis peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum
parietal atau visceral yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis, dan terlihat penyakit ini juga sering mengenai seluruh
peritoneum, alat-alat system gastroinbtestinal, mesenterium dan organ
genetalia interna. Penyakit ini jarang bersiri sendiri dan biasanya
merupakan kelanjutan proses tuberkulosa di tempat lain terutama dari
tuberkulosa paru, namun sering ditemukan bahwa pada waktu diagnosa
ditegakkan proses tuberkulosa di paru sudah tidak kelihatan lagi. Hal ini
bisa terjadi karena proses tuberkulosa di paru mungkin sudah menyembuh

10
terlebih dahulu sedangkan penyebaran masih berlangsung di tempat lain
(Zain, 1996).
Tuberculosis dapat menyebar pada peritonium melalui beberapa
cara, yaitu melalui penyebaran hematogen terutama dari paru-paru,
melalui dinding usus yang terinfeksi, dari kelenjar limfe mesenterium,
dan melalui tuba falopi yang terinfeksi. Pada kebanyakan kasus
tuberkulosis peritoneal terjadi bukan sebagai akibat penyebaran
perkontinuitatum tapi sering karena reaktifasi proses laten yang terjadi
pada peritoneum yang diperoleh melalui penyebaran hematogen proses
primer terdahulu (infeksi laten “Dorman infection”) (Sulaiman, 1990).
Berdasarkan mekanismenya, terdapat 3 bentuk TB peritonitis, yaitu:
a. Bentuk eksudatif
Bentuk ini dikenal juga sebagai bentuk yang basah atau bentuk asites
yang banyak, gejala menonjol ialah perut membesar dan berisi cairan
(asites). Pada bentuk ini perlengketan tidak banyak dijumpai. Tuberkel
sering dijumpai kecil-kecil berwarna putih kekuning-kuningan milier,
nampak tersebar di peritoneum atau pada alat-alat tubuh yang berada
di rongga peritoneum. Disamping partikel yang kecil-kecil yang
dijumpai tuberkel yang lebih besar sampai sebesar kacang tanah.
Disekitar tuberkel terdapat reaksi jaringan peritoneum berupa kongesti
pembuluh darah. Eksudat dapat terbentuk cukup banyak, menutupi
tuberkel dan peritoneum sehingga merubah dinding perut menjadi
tegang, Cairan asites kadang-kadang bercampur darah dan terlihat
kemerahan sehingga mencurigakan kemungkinan adanya keganasan.
Omentum dapat terkena sehingga terjadi penebalan dan teraba seperti
benjolan tumor (Sulaiman, 1990).
b. Bentuk adhesif
Disebut juga sebagai bentuk kering atau plastik dimana cairan tidak
banyak dibentuk. Pada jenis ini lebih banyak terjadi perlengketan.
Perlengketan yang luas antara usus dan peritoneum sering memberikan

11
gambaran seperti tumor, kadangkadang terbentuk fistel. Hal ini
disebabkan karena adanya perlengketanperlengketan. Kadang-kadang
terbentuk fistel, hal ini disebabkan karena perlengketan dinding usus
dan peritoneum parintel kemudian timbul proses necrosis. Bentuk ini
sering menimbulkan keadaan ileus obstruksi . Tuberkel-tuberkel
biasanya lebih besar (Sulaiman, 1990).
c. Bentuk campuran
Bentuk ini kadang-kaadang disebut juga kista, pembengkakan kista
terjadi melalui proses eksudasi bersama-sama dengan adhesi sehingga
terbentuk cairan dalam kantong-kantong perlengketan tersebut.
Beberapa penulis menganggap bahwa pembagian ini lebih bersifat
untuk melihat tingkat penyakit, dimana pada mulanya terjadi bentuk
exudatif dan kemudian bentuk adhesif (2) Pemberian hispatologi
jaringan biopsy peritoneum akan memperlihatkan jaringan granulasi
tuberkulosa yang terdiri dari sel-sel epitel dan sel datia langerhans, dan
pengkejutan umumnya ditemukan (Spiro, 1993).
3. Penegakan diagnosis
Gejala klinis yang dapat dilihat pada penderita TB peritonitis
bervariasi. Pada umumnya keluhan dan gejala timbul perlahan-lahan
sampai berbulan bulan dansering tidak disadari oleh penderita. Keluhan
dari TB peritonitis diantaranya adalahnyeri perut, pembengkakan pada
perut, batuk, demam, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
dan gangguan BAB seperti diare cair. Keadaan umum pasien bisa masih
cukup baik sampai pada keadaan kurus dan kahexia. Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan asites pada abdomen, hepatomegali, ronki pada
paru, splenomegali limfadenopati dan fenomena papan catur (Chong,
2009).
Ada beberapa kriteria diagnostik klinis untuk TB intestinal yang
perlu diperhatikan. Beberapa kriteria tersebut yaitu: kultur positif jaringan
atau kelenjar getah bening, istopatologik menunjukkan menunjukkan

12
batang tahan asam M. tuberculosis di lesi, ditemukan tuberkel dan
nekrosis perkijuan dari gambaran histologik, gambaran endoskopi dan
histologik sesuai dengan infeksi TB, dan respon baik dengan terapi OAT
(Chong, 2009).
Adapun Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis diantaranya adalah:
 Laboratorium
Pada pemeriksaan darah tepi sering dijumpai anemia penyakit kronis,
leukositosis ringan atau leukositopeni, trombositosis, gangguan faal
hati dan sering dijumpai LED yang meningkat, sedangkan
pemeriksaan tes tuberkulin hasilnya sering negatif (Murwaningrum,
2016).
 Pemeriksan rontgen thoraks dan abdomen
Rontgen toraks mungkin dapat membantu diagnosis TB intestinal,
namun hasil yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan TB
intestinal. Hanya 20% TB paru aktif yang dikaitkan dengan TB saluran
cerna (Murwaningrum, 2016).
 Ultrasonografi
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat dilihat adanya cairan
dalam rongga peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk
kantong-kantong). Gambaran sonografi tuberculosis yang sering
dijumpai antara lain cairan yang bebas atau terlokalisasi dalam rongga
abdomen, abses dalam rongga abdomen, masa didaerah ileosaecal dan
pembesaran kelenjar limfe retroperitoneal, adanya penebalan
mesenterium, perlengketan lumen usus dan penebalan omentum,
mungkin bisa dilihat dan harus diperiksa dengan seksama
(Murwaningrum, 2016).
 CT Scan
Pemeriksaan computer tomography scan (CT scan) mungkin
menunjukkan inflitrasi omentum, peritoneum dan mesenteium pada

13
penebalan lapisan peritoneum dan adanya cairan peritoneum yang
berdensitas tinggi. Gambaran yang paling umum ditemui dari CT scan
adalah penebalan dinding sirkumferensial saekum dan terminal ileum
serta asimetris dari ileosaekal (Murwaningrum, 2016).
 Biopsi dan pemeriksaan histologi
Gambaran histologis TB intestinal yang khas adalah konfluen,
granuloma caseosa yang mengandung basil tahan asam dan dikelilingi
limfoid cuff. Hal tersebut ditemukan pada semua lapisan dinding usus
dan kelenjar getah bening regional. Granuloma awal kadang hanya
ditemukan di jaringan limfoid, namun dapat juga ditemukan
metaplasia pilorik ekstensif, ulkus fisura superfisial yang melas sampai
ke submukosa dan penyembuhan terjadi melalui fibrosis dan
regenerasi epitel yang dimulai dari tepi. Granuloma penyembuhan
dikelilingi jaringan fibrosis di kelenjar limfe namun tidak pada dinding
intestinal (Murwaningrum, 2016).
4. Penatalaksanaan
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan
profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB,
sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB
(profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB
(profilaksis sekunder). Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak
adalah:
• Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai
monoterapi.
• Pemberian gizi yang adekuat.
• Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.
Prinsip pengobatan TB anak:
• OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk
mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman
intraseluler dan ekstraseluler

14
• Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka
panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya kekambuhan
• Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:
o Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif,
diberikan minimal 3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan
bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
o Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil
pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit. Selama
tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari
untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering
terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.
• Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun
ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan
lainlain dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.
• Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis
TB, TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan
kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi
dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh
dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan
pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan
mencegah terjadi perlekatan jaringan.
• Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah: o Kategori Anak
dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR o Kategori Anak dengan 4 macam
obat: 2HRZE(S)/4-10HR
• Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan

15
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk
satu pasien.
• OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek
samping OAT KDT
(Kemenkes RI, 2013).

B. Hipoalbuminemia
Serum albumin merupakan indeks nutrisi yang banyak dipakai sebagai
pemeriksaan pada populasi karena mudah diukur dan berhubungan dengan
risiko mortalitas pada berbagai penyakit. Kadar albumin yang rendah
berhubungan dengan risiko peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien
yang dirawat. Pada anak denagn gizi buruk terjadi penurunan sintesis dan
pemecahan protein total tubuh. Hal tersebut disebabkan proses adaptasi
terhadap keadaan energi yang kurang pada anak gizi buruk (Mannary, 1997).
Albumin merupakan serum protein cadangan dalam tubuh yang
diproduksi oleh hati. Secara normal, albumin merupakan 55% dari semua
protein plasma. Jumlah albumin untuk penilaian status nutrisi adalah normal
3,5-4,7 g/dL kekurangan ringan 2,8-3,4 g/dL kekurangan sedang 2,1-2,7 g/dL,
kekurangan berat < 2,1 g/dL (Shenkin, 2006).
Pertahanan sistem alamiah tubuh terdiri dari protein yang dapat dipecah
dan berikatan dengan produk bakteri. Sirkulasi protein tersebut penting untuk
mengenali produk bakteri oleh leukosit yang berfungsi untuk fagositosis dan
membunuh bakteri. Anak gizi buruk mempunyai rerata penurunan sintesis
protein total dan peningkatan pemecahan yang menyebabkan penurunan kadar
albumin dalam tubuh. Penurunan kadar albumin dalam tubuh berhubungan
dengan peningkatan risiko infeksi (Hughes, 2006).
Faktor lain yang berpengaruh adalah adanya infeksi dapat menurunkan
metabolisme dan sintesis plasma protein akibat stimulasi sintesis sitokin
seperti tumor necrosis factor a (TNF-a), interleukin 1 (IL-l), and IL-6. ).

16
Sintesis sitokin ini dapat distimulasi endotoksin, eksotoksin bakteri, jamur,
dan virus, atau peningkatan konsentrasi sitokin lain (Schaibel, 2007).
C. Anemia
Anemia adalah keadaan berkurangnya jumlah eritrosit atau hemoglobin
(protein pembawa O2) dari nilai normal dalam darah sehingga tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk membawa O2 dalam jumlah yang cukup ke
jaringan perifer sehingga pengiriman O2 ke jaringan menurun (Longo,2011).
Anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain (Loscalzo, 2011):
1) Gangguan pembentukan eritrosit
Gangguan pembentukan eritrosit terjadi apabila terdapat defisiensi
substansi tertentu seperti mineral (besi, tembaga), vitamin (B12, asam
folat), asam amino, serta gangguan pada sumsum tulang.
2) Perdarahan
Perdarahan baik akut maupun kronis mengakibatkan penurunan total sel
darah merah dalam sirkulasi.
3) Hemolisis
Hemolisis adalah proses penghancuran eritrosit.
Berdasarkan gambaran morfologik, anemia diklasifikasikan menjadi tiga
jenis yaitu:
1) Anemia normositik normokrom.
Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena perdarahan akut,
hemolisis, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum
tulang. Terjadi penurunan jumlah eritrosit tidak disertai dengan
perubahan konsentrasi hemoglobin (Indeks eritrosit normal pada anak:
MCV 73 – 101 fl, MCH 23 – 31 pg , MCHC 26 – 35 %), bentuk dan
ukuran eritrosit.
2) Anemia makrositik hiperkrom
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan
hiperkrom karena konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal. (Indeks
eritrosit pada anak MCV > 73 fl, MCH = > 31 pg, MCHC = > 35 %).

17
Ditemukan pada anemia megaloblastik (defisiensi vitamin B12, asam
folat), serta anemia makrositik non-megaloblastik (penyakit hati, dan
myelodisplasia).
3) Anemia mikrositik hipokrom
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan
mengandung konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal. (Indeks
eritrosit : MCV < 73 fl, MCH < 23 pg, MCHC 26 - 35 %). Penyebab
anemia mikrositik hipokrom diantaranya adalah berkurangnya zat besi
(Anemia Defisiensi Besi), berkurangnya sintesis globin (Thalasemia dan
Hemoglobinopati), berkurangnya sintesis heme (Anemia Sideroblastik)
(Longo, 2011).
Tanda-tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah pucat,
takikardi, sakit dada, dyspnea, nafas pendek, cepat lelah, pusing, kelemahan,
tinitus, penderita defisiensi yang berat mempunyai rambut rapuh dan halus,
kuku tipis rata mudah patah, atropi papila lidah mengakibatkan lidah tampak
pucat, licin, mengkilat, merah daging meradang dan sakit (Longo, 2011).

D. Persiapan Pre Anestesi


Pemeriksaan pre operatif dilakukan pada saat pre operatif visit.
Pemeriksaan ini dilakukan seperti pemeriksaan pada umumnya yaitu
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya. Secara
umum pemeriksaan pre operatif meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang dan menentukan prognosis dari operasi (Roizen,
2005):
1. Anamnesis
Anamnesis dapat dilakukan secara langsung kepada pasien (autoanamnesa)
atau dengan keluarga pasien (alloanamnesa). Yang harus diperhatikan dan
ditanyakan dalam melakukan anamnesia di antaranya adalah Identitas
pasien, keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga,

18
riwayat obat-obatan, riwayat anestesi atau operasi sebelumnya, riwayat
kebiasaan dan konsumsi makan terakhir (Roizen, 2005).
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan secara umum adalah pemeriksaan
antropometri berupa tinggi badan dan berat badan, kesadaran, keadaan
umum, tanda tanda anemia, ikterus, sianosis, dehidrasi, edema, dan tanda
vital berupa tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi napas, suhu
tubuh.setelah dilakukan pemeriksaan secara umum, maka dilakukan
pemeriksaan 5B yaitu: Breath, Blood, Bowel, Bladder, dan Bone (Roizen,
2005).
Pada pemeriksaan Breath yang dinilai adalah jalan napas, pola napas,
suara napas, dan anatomi fungsi paru. Selain itu juga dilakukan evaluasi
tentang penyulit dalam intubasi seperti panjang leher, gangguan membuka
mulut, kekakuan otot leher, masalah gigi (gigi tanggal, gigi goyang, gigi
palsu) dan lidah relatif besar. Pada pemeriksaan blood yang dinilai adalah
tekanan darah, suara jantung dan kelalinan anatomis fungsi jantung. Pada
pemeriksaan brain yang dinilai diantaranya adalah GCS dan kelainan pada
saraf pusat dan perifer. Pemeriksaan Bowel dapat dinilai dengan cara
menanyakan makan minum terakhir, memeriksa biisng usus, gangguan
peristaltik dan gangguan lambung dan kehamilan. Sedangkan pada
pemeriksaan Bladder yang dicek adalah prosuksi urine untuk mengetahui
apakah ada gangguan ginjal atau tidak. Pemeriksaan yang terakhir adalah
Bone. Pada pemeriksaan Bone yang dinilai adalah kelainan postur,
kelainan neuromuskuler dan ada atau tidaknya patah tulang (Fleisher,
2005).
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang adalah pemeriksaan yang dilakukan apabila
pemeriksaan fisik dirasa masih meragukan sehingga untuk mendapatkan
kepastian perlu dilakukan pemeriksaan penunjang seperti radiologi, EKG
atau pemeriksaan laboratorium. Ada pemeriksaan penujang yang rutin

19
harus dilakukan ada juga yangdilakukan berdasarkan indikasi. Adapun
indikasi dilakukan pemeriksaan penunjang antara lain: usia, penyakit yang
diderita, penyakit penyerta, penyakit dahulu, penyakit keluarga herediter
dan lalin lain (Roizen, 2005).
Adapun pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan adalah
pemeriksaan darah rutin (Hb, leukosit, trombosit, hematokrit) dan
pemeriksaan kimia klinik seperti fungsi hepar (SGOT, SGPT, albumin),
fungsi ginjal (urine lengkap, BUN, serum kreatinin), fungsi hemostasis
(PT, APTT), dan serum elektrolit (Na, K, Cl). Sedangkan pemeriksaan fisik
yang dilakukan berdasarkan indikasi di antaranya adalah pemeriksaan
radiologi (foto thorak, BOF, CT scan, USG, dan lain lain), laboratorium
(gula darah), dan EKG (Roizen, 2005).
Apabila pemeriksaan pre operatif dilakukan dan telah memeroleh
gambaran tentang keadaan fisik dan mental pasien beserta masalah-
masalah yang ada, selanjutnya menentukan prognosis dari operasi,
membuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan
(Roizen, 2005).
4. Menentukan prognosis, morbiditas dan mortalitas operasi
Prognosis suatu operasi dapat ditentukan melalui status kalsifikasi
fisik ASA (American Society of Anesthesiology) dengan kategori sebagai
berikut:
Tabel 3.2 Klasifikasi Status Fisik ASA (American Society of
Anaesthesiologists, 2014)

Klasifikasi Definisi Contoh Kasus


ASA 1 Pasien sehat dan normal. Pasien sehat, tidak merokok,
atau konsumsi alkohol minimal.
ASA 2 Pasien dengan penyakit Asma ringan atau hipertensi
sistemik ringan yang terkontrol, pasien perokok,
tidak berpengaruh hipertensi dan DM terkontrol.
terhadap aktivitas sehari-
hari.
ASA 3 Pasien dengan penyakit Diabetes dan hipertensi yang

20
sistemik berat atau secara tidak terkontrol dengan baik,
bermakna membatasi PPOK, obesitas parah (IMT ≥
aktivitas sehari-hari. 40), hepatitis aktif,
ketergantungan/penyalahgunaan
alkohol, gagal ginjal dengan
hemodialysis terjadwal, dll.
ASA 4 Pasien dengan penyakit Infark miokardial akut, gagal
berat yang mengancam nafas yang membutuhkan
nyawa atau ventilasi mekanik.
membutuhkan terapi
intensif.

ASA 5 Pasien hampir meninggal Rupture aneurisma


yang mungkin akan abdomen/thoraks, trauma massif,
meninggal dalam 24 jam perdarahan intrakranial dengan
dengan atau tanpa efek massa.
tindakan operasi
ASA 6 Pasien sudah dinyatakan
mati batang otak dan
organnya ingin
didonorkan.
“E” ditambahkan pada status di atas, menunjukkan operasi emergensi
yang bila tidak segera dilakukan dapat meningkatkan bahaya pada hidup
pasien atau bagian tubuh pasien.

Selain itu, untuk memprediksi keadaan buruk yang spesifik yang


akan berpengaruh pada kelancaran operasi seperti:
a. Masalah dengan jalan napas
Masalah dengan jalan napas berhubungan dengan kesulitan
intubasi pada proses operasi, sehingga pemeriksaan pre operasi harus
tepat. Identifikasi pasien yang potensial diduga akan terjadi kesulitan
dalam melakukan intubasi harus dilakukan untuk menentukan tindakan
atau teknik anestesi yang tepat harus dilakukan. Pada penatalaksanaan
pre operasi, salah satu penilaian klinik yang dapat dilakukan untuk
menilai kemungkinan terjadinya kesulitan intubasi adalah tes
Mallampati dan Thyromental Distance (TMD).
Tes mallampati dilakukan dengan cara pasien membuka mulut
semaksimal mungkin yang dapat dilakukan disertai dengan lidah

21
menjulur ke depan, dan pada saat itu yang dilihat adalah daerah bagian
faring posterior. Apabila pada tes Mallampati ditemukan bagian faring
posterior tidak dapat terlihat, maka kemungkinan akan terjadi kesulitan
dalam intubasi. Adapun interpretasi dari tes Mallampati adalah
(Downing, 2008):
- Grade I: Faring posterior, uvula, dan palatum mole terlihat jelas,
seluruh tonsil terlihat jelas
- Grade II: faring posterior tidak terlihat, uvula dan palatum mole
terlihat sedangkan, setengah keatas dari fossa tonsil terlihat
- Grade III: faring posterior tidak terlihat, uvulu hanya terlihat bagian
basis, palatum mole dan palatum durum masih terlihat
- Grade IV: Faring posterior, uvula dan palatum mole tidak terlihat,
hanya palatum durum yang terlihat.

Gambar 3.1 Mallampati Score


Thyromental Distance (TMD) adalah jarak yang diukur dari
bagian mentum sampai ke kartilago tiroid dengan posisi kepala
ekstensi maksimal. Hasil pengukuran TMD > 6,5 cm dapat
dikategorikan mudah untuk dilakukan intubasi, TMD 6-6,5 cm sulit
intubasi tapi masih bisa dilakukan dengan menggunakan bantuan
optical stylet, sedangkan TMD < 6 cm merupakan indikasi sulit
dilakukan untubasi dan pemasangan laringoskop (Baker, 2009).

22
.
Gambar 3.2 Thyromental Distance (TMD)
b. Kondisi jantung yang tidak baik
Untuk menilai kondisi jantung yang tidak baik pada operasi non
kardiak dapat dilakukan menggunakan penghitungan indeks Goldman
(Morgan, 2002).
Tabel 3.3 indeks Goldman dari risiko kardiak pada prosedur Non-
kardiak
Faktor Risiko Nilai
Suara jantung III atau distensi vena jugularis 11
MI dalam 6 bulan terakhir 10
Irama selain sinus atau kontraksi prematur atrial 7
Lebih dari 5 denyutan ventrikel ektopik dalam 1 7
menit
Operasi abdomen, toraks, atau aorta 3
Usia > 70 tahun 5
Important cardiac stenosis 3
Tindakan pembedahan darurat 4
Kondisi buruk yang ditandai salah satu dari: 3
- PaO2 < 8 kPa
- PaCo2 > 6,5 kPa
- Kalium < 3 mmol/L

23
- HCO3 < 20 mmol/L
- Urea > 7,5 mmol/L
- Kreatinin > 270 µmol/L
- SGOT abnormal
- Penyakit hepar kronis
Total nilai 53

c. Komplikasi respirasi
Pada pasien dengan kebiasaan merokok, penyakit paru sebelumnya,
obesitas dan pasien yang menjalani operasi daerah toraks atau
abdomen memunyai kemungkinan untuk timbulnya komplikasi
masalah respirasi secara operasi. Tetapi untuk mempresiksi hal ini
adalah sesuatu yang sulit. Diperlukan pemeriksaan lain seperti Analisa
Gas Darah preoperasi. Bila nila PaO2 preoperasi kurang dari 9 kPa,
ditambah dengan dispneu saat istirahat, hampir dapat dipastikan
diperlukan bantuan ventilasi mekanik pasca bedah (Morgan, 2002).

E. Terapi Cairan
Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan
ini mengisi intravaskular dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume
vaskular dengan cara menggantikan cairan berikutnya ke dalam ruang
interstitial dan intraselular. Larutan ringer laktat adalah cairan pilihan
pertama. NaCl fisiologis adalah pilihan kedua. Walupun NaCl fisiologis
merupakan pengganti yang baik namun cair ini memiliki potensi untuk
terjadinya asidosis hiperkloremik. Kemungkinan ini bertambah besar bila
fungsi ginjalnya kurang baik. Pada saat awal, cairan hangat diberikan dengan
tetesan cepat sebagai bolus. Dosis awal adalah 1 sampai 2 liter pada dewasa
dan 20 ml/kg pada anak. Respons penderita terhadap pemberian cairan ini
dipantau, dan keputusan pemeriksaan diagnostik atau terapi lebih lebih lanjut
akan tergantung pada respons ini (Steven, 2004).

24
Larutan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau dextrosa,
tidak mengandung molekul besar. Kristaloid dalam waktu singkat sebagian
besar akan keluar dari intravaskular, sehingga volume yang diberikan harus
lebih banyak (2,5-4 kali) dari volume darah yang hilang. Kristaloid
mempunyai waktu paruh intravaskular 20-30 menit. Ekspansi cairan dari
ruang intravaskular ke interstisial berlangsung selama 30-60 menit sesudah
infus dan akan keluar dalam 24 - 48 jam sebagai urin. Secara umum kristaloid
digunakan untuk meningkatkan volume ekstrasel dengan atau tanpa
peningkatan volume intrasel (Mulyono, 2009).
Tabel 1. Berbagai Cairan Kristaloid
Cairan Na+ K+ Cl- Ca++ HCO3 Tekanan
(mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) Osmotik
(mOsm/L)
Ringer 130 4 190 3 28* 273
Laktat
Ringer 130 4 109 3 28# 273
Asetat
NaCl 154 0 0 0 0 308
0,9%
*
sebagai laktat
#
sebagai asetat

Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik.


Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah
dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi dan sedikit efek samping. Kelebihan
cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh
sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah intrasel (Martin, 2005).
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok
hipovolemik dengan hiponatremia, hipokhloremia atau alkalosis metabolik.
Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan
ekstraselular. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar kepada
pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik,
kombustio dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5%

25
digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan
insensible intrasel (Wirjoatmodjo, 2000).
Ringer Asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat
metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal,
sedangkan asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan
otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan
resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat
seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer
Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati
menjadi bikarbonat intrasel (Udeani, 2010).
Jenis cairan berdasarkan tujuan terapi:
1. Cairan rumatan (maintenance).
Bersifat hipotonis: konsentrasi partikel terlarut kurang dari konsentrasi
cairan intraselular/Intracellular Fluid (ICF); menyebabkan air berdifusi ke
dalam sel. Tonisitas < 270 mOsm/kg; misal: Dekstrosa 5%, Dekstrosa 5%
dalam Saline ¼ / NaCl 0,22%
2. Cairan pengganti (resusitasi, substitusi)
Bersifat isotonis: konsentrasi partikel terlarut = ICF; tidak ada perpindahan
cairan melalui membran sel semipermeabel. Tonisitas 275 – 295 mOsm/kg;
misal : NaCl 0,9%, Ringer Laktat, koloid
3. Cairan khusus
Bersifat hipertonis: konsentrasi partikel terlarut > ICF; menyebabkan air
keluar dari sel, menuju daerah dengan konsentrasi lebih tinggi. Tonisitas >
295 mOsm/kg; misal: NaCl 3 %, Manitol, Natrium-bikarbonat, Natrium
laktat hipertonik.

F. Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat-obatan pada periode 1-2 jam
sebelum induksi anestesi dilakukan. Pemberian premedikasi harus
dipertimbangkan setelah faktor-faktor yang berhubungan untuk diberikan

26
premedikasi dapat diidentifikasi. Adapun tujuan dari premedikasi adalah
sebagai berikut:
1. Menghilangkan kecemasan dan ketakutan
Pasien yang akan dilakukan pembedahan memiliki insiden kecemasan yang
tinggi yangberhubungan dengan kelancaran induksi anestesi. Penanganan
kecemasan yang paling efektif adalah dengan cara non-farmakologis yaitu
dengan psikoterapi dengan diberikan penjelasan tentang segala hal yang
akan dilakukan selama pembedahan. Pada pasien yang tetap cemas dapat
diberikan obat anxiolitik seperti benzodiazepin (Traber, 1997).
2. Mengurangi sekresi
Untuk mengurangi produksi sekresi dari glandula yang ada di faring dan
bronkial dapat diberikan obat antikolinergik. Obat antikolinergik yang
sering digunakan pada praktik anestesi adalah atropin, hyosin, dan
glikopironium (Baxendale, 2002).
3. Mengurangi mual dan mutah pasca operasi
Efek mual dan muntah biasanya disebabkan karena efek pemberian obat
obatan opioid selama dan setelah tindakan bedah. Untuk mengatasi hal
tersebut biasanya diberikan premedikasi berupa antiemetik (Traber, 1997).
Obat antiemetik yang sering digunakan adalah ondansentron golongan 5-
HT antagonis dengang dosis pada dewasa yang biasa diberikan adalah 4-8
mg (Baxendale, 2002).
4. Menimbulkan amnesia
Pada beberapa keadaan terutama pada anak anak perlu dibuat suatu
keadaan amnesia selama proses perioperasi agar tidak menimbulkan
trauma yang membekas pada anak. Anterograde amnesia dapat dihasilkan
oleh obat golongan benzodiazepin seperti midazolam, lorazepam dan
diazepam. Obat golongan ini memberikan manfaat di antaranya adalah efek
anxiolitik, sedasi dan amnesia. Diazepam adalah obat golongan ini yang
pertama dan sering digunakan, namun yang sering digunakan adalah

27
temazepam karena durasi aksinya lebih pendek. Obat golongan ini dapat
diberikan secara intramuskuler (Traber, 1997).
5. Mengurangi volume dan meningkatkan keasaman isi lambung
Pada pasien yang berisiko terjadi muntah dan regurgutasi misal pada pasien
darurat dengan kondisi lambung penuh atau pasien elektif dengan hernia
hiatus perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pengosongan lambung dan
meningkatkan PH dari sisa isi lambung. Pengosongan lambung dapat
diperkuat denagn pemberian gastrokinetik yaitu metoklopramid sedangkan
untuk meningkatkan PH isi lambung dapat digunakan sodium sitrat
(Baxendale, 2002).
6. Menghindari terjadinya vagal reflek
Induksi anestesi dengan beberapa obat seperti propofol dan induksi anestesi
dengan halotan dapat menyebabkan vagal bradikardi. Premedikasi dengan
menggunakan antikolinergik dapat dipertimbangkan pada situasi khusus.
Obat antikolinergik yang digunakan pada praktik anestesi adalah atropin,
hyosin dan glikopironium. Selain itu antikolinergik juga memiliki efek
sedasi dan amnestik yang kuat. Hyosin jika dikombinasikan dengan morfin
akan memberikan efek yang semakin kuat (Baxendale, 2002).

G. General Anestesi
Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara
sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Perbedaan
dengan anestesi lokal antara lain pada anestesi lokal hingnya rasa sakit
setempat sedangkan pada anestesi umum seluruh tubuh. Pada anestesi lokal
yang terpengaruh adalah perifer sedangkan pada anestesi umum yang
terpengaruh adalah sistem saraf pusat dan pada anestesi lokal tidak terjadi
kehilangan kesadaran (Soenarjo, 2013).
Adapun metode anestesi general dilihat dari cara pemberian obat di
antaranya adalah (Muhardi, 1989):
1) Parenteral

28
Anestesi general yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun
intramuskuler biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk
induksi anestesi.
2) Perektal
Anestesi general yang diberikan perektal kebanyakan dipakai pada anak,
terutama untuk induksi anestesi atau tindakan singkat.
3) Perinhalasi
Anestesi inhalasi adalah anestesi dengan menggunakan gas atau cairan
anestetika yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetika
melalui udara pernapasan. Obat yang dapat digunakan contohnya adalah
sevoflurane dan isoflurane.
Berdasarkan respirasinya, beberapa teknik pemberian anestesi general
dapat diberikan dengan napas spontan dengan face mask, napas spontan
dengan pipa endotrakea, dengan pipa endotrakea dan napas kendali. Pada fase
pemeliharaan dapat dipakai obat inhalasi atau intravena. Obat intravena bisa
diberikan secara intermitten atau continuous drip. Kadang-kadang dipakai
gabungan obat inhalasi dan intravena agar dosis masing-masing obat dapat
diperkecil (Latief, 2002).

H. Monitoring Post Operasi


Perawatan penderita post operasi dengan anestesi umum merupakan
salah satu faktor yang menentukan dalam pembedahan, hal ini disebabkan
secara bermakna dapat menurunkan komplikasi dan angka kematian pasca
operasi. Komplikasi post operasi pasca anestesi umum dapat terjadi
komplikasi ringan sampai dengan berat, yang berupa hipovolemia, kegagalan
napas, pengelolaan pasca bedah yang tidak adekuat bahkan bisa terjadi
kematian (Soenarjo, 2010).
Setelah operasi selesai pasien biasanya dibawa menuju ruang pemulihan
untuk dilakukan monitoring post operasi. Adapun tugas penerima pasien di
ruang pemulihan (RR) adalah identifikasi pasien, pemberian obat-obatan,

29
prosedur anestesi, keseimbanan cairan dan melakukan intruksi khusus dengan
3 langkah dasar, yaitu oksigenasi, vital sign, monitoring. Sedangkan kriteria
pasien diperbolehkan keluar dari ruang pemulihan (RR) biasanya diukur
menggunakan Apsgar Score (AS), Steward Score (SS), dan Bromage Score
(BS) (Smith, 1996).
Apsgar Score
Activity
Moves 4 extremities voluntarily or on command 2
Moves 2 extremities voluntarily or on command 1
Unable to move extremities voluntarily or on command 0
Respiration
Able to breath deeply, cough and or cry 2
Dyspneic on limited breathing 1
Apneic 0
Circulation
Blood pressure +- 20% of praanasthetic value 2
Blood pressure +- 20-49% of praanasthetic value 1
Blood pressure +- 50% of praanasthetic value 0
Conciosness
Fully awake 2
Anousable to stimulate 1
Unresponsive 0
Oxygen saturation
Able to maintain oxygen saturation > 92% on room air 2
Needs oxygen inhalation to maintain oxygen saturation >90% 1
Oxygen saturation < 90% even with oxygen suplementation 0
(Thomas, 2005)

Steward Score
Tanda Kriteria Score
Kesadaran Bangun 2
Respon terhadap rangsang 1
Tidak ada respon 0
Pernapasan Batuk/menangis 2
Pertahankan jalan napas 1
Perlu bantuan napas 0
Motorik Gerak bertujuan 2
Gerak tanpa tujuan 1
Tidak bergerak 0
Score >= 5 boleh keluar dari RR (Thomas, 2005)

30
Bromage Score
Kriteria Score
Gerak penuh dari tungkai 0
Tidak mampu ekstensi tungkai 1
Tidak mampu fleksi lutut 2
Tidak mampu fleksi pergelangan kaki 3
Score <=2 boleh keluar dari RR (Thomas, 2005)

I. Perawatan ICU
a. Definisi
Ruang Perawatan Intensif (Intensive Care Unit=ICU) adalah bagian
dari bangunan rumah sakit dengan kategori pelayanan kritis, selain instalasi
bedah dan instalasi gawat darurat (Kemenkes RI 2012). Menurut Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010
tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan ICU di rumah sakit, ICU
digunakan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan observasi, perawatan dan
terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau penyulit-penyulit
yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa dengan prognosis
dubia yang diharapkan masih reversible (Kemenkes RI, 2011).
b. Klasifikasi ICU
• Pelayanan ICU primer
Mampu melakukan resusitasi dan memberikan ventilasi bantu kurang dari
24 jam serta mampu melakukan pemantauan jantung
• Pelayanan ICU sekunder
Mampu memberikan ventilasi Bantu lebih lama, melakukan bantuan
hidup lain tetapi tidak terlalu kompleks
• Pelayanan ICU tersier
Mampu melaksanakan semua aspek perawatan/terapi intensif
c. Indikasi Masuk ICU
Berdasarkan Prioritas

31
1) Prioritas 1
Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis dan tidak stabil yang
memerlukan terapi intensif seperti dukungan ventilasi, infus obat-obat
vasoaktif kontinu, dll. Contoh pasien kelompok ini antara lain adalah
pasien pascabedah atau pasien syok sepsis.
2) Prioritas 2
Pasien pada kelompok ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih di
ICU karena sangat berisiko untuk menjadi tidak stabil sehingga
memerlukan terapi intensif segera. Contoh jenis pasien ini antara lain
mereka yang menderita penyakit dasar jantung, paru, atau ginjal dan
kemudian mengalami penyakit akut yang parah
3) Prioritas 3
Pasien pada kelompok ini adalah pasien yang keadaannya sangat
mengurangi kemungkinan kesembuhan dan manfaat dari terapi di ICU.
Contoh pasien ini antara lain pasien dengan keganasan metastasis disertai
penyulit infeksi, pericardial tamponade, sumbatan jalan napas, atau
pasien yang menderita penyakit jantung atau paru terminal disertai
komplikasi penyakit akut berat.
Berdasarkan Diagnosis
1) Sistem Kardiovaskular
- Infark miokard akut dengan komplikasi
- Syok kardiogenik
- Aritmia kompleks
- Gagal jantung akut dengan gagal nafas dan atau memerlukan bantuan
hemodinamik
- Hipertensi emergensi
- Unstable angina disertai aritmia, hemodinamik yang tidak stabil, atau
nyeri dada yang presisten
- Henti jantung
- Tamponade jantung dengan hemodinamik yang tidak stabil

32
- Diseksi aneurisma aorta
- Blok jantung total
2) Overdosis obat
- Hemodinamik yang tidak stabil
- Defisit mental dengan gangguan jalan nafas
- Kejang yang tidak dapat teratasi dengan perawatan biasa
3) Pembedahan
Pasien post operasi yang memerlukan pengawasan hemodinamik atau
dukungan ventilator atau perawatan intensif lainnya.
Berdasarkan parameter objektif
1) Tanda Vital
a) Nadi < 40 atau > 150 kali/menit
b) Tekanan darah Sistolik < 80 mmHg atau 20 mmHg dibawah tekanan
darah normal pasien
c) Mean arterial pressure < 60 mmHg
d) Tekanan diastolik > 120 mm Hg
e) Respiratory rate > 35 kali/menit
2) Laboratorium
a) Natrium serum < 110 mEq/L atau > 170 mEq/L
b) Kalium serum < 2,0 mEq/L atau > 7,0 mEq/L
c) PaO2 < 50 mmHg
d) pH < 7,1 atau > 7,7
e) Glukosa serum > 800 mg/dl
f) Kalsium serum > 15 mg/dl
3) Radiografi, USG, tomografi
4) Elektrokardiogram
5) Pemeriksaan fisik lainnya(onset akut)

d. Indikasi Keluar ICU


Pasien prioritas 1

33
• Pasien prioritas 1 dikeluarkan dari ICU bila kebutuhan untuk terapi intensif
telah tidak ada lagi atau bila terapi secara intensif telah gagal atau tidak
bermanfaat sehingga prognosis jangka pendek jelek.
• Contoh: pasien dengan tiga atau lebih gagal sistim organ yang tidak
respons terhadap pengelolaan agresif.
Pasien prioritas 2
• Pasien prioritas 2 dikeluarkan bila kemungkinan untuk mendadak
memerlukan terapi intensif telah berkurang.
Pasien prioritas 3
• Pasien prioritas 3 dikeluarkan dari ICU bila kebutuhan untuk terapi intensif
telah tidak ada lagi. Namun, mungkin pasien demikian dikeluarkan lebih
dini bila kemungkinan sembuh atau manfaat terapi intensif kontinu kecil.
Contohnya: pasien dengan penyakit lanjut yang telah tidak berespon
terhadap terapi ICU untuk penyakit akutnya yang secara statistik
mempunyai prognosis jangka pendek jelek, dan yang tidak ada terapi yang
potensial untuk memperbaiki prognosisnya.
(Kemenkes RI, 2011)

34
III. KESIMPULAN
1. Tuberkulosis peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau
visceral yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, dan terlihat
penyakit ini juga sering mengenai seluruh peritoneum, alat-alat system
gastroinbtestinal, mesenterium dan organ genetalia interna.
2. Hipoalbuminemia yang terjadi pada pasien berhubungan dengan status gizi
buruk pada pasien yang menyebabkan terjadinya penurunan sintesis protein dan
peningkatan pemecahan protein untuk mencukupi kebutuhan energi tubuh.
3. Pemeriksaan pre operatif adalah pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang
akan dioperasi satu hari sebelum operasi dilakukan berupa anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
4. Penentuan prognosis dan prediksi morbiditas serta mortalitas dilakukan setelah
pemeriksaan pre operatif yang dapat dinilai berdasarkan status fisik ASA,
adanya masalah dengan jalan napas diukur dengan Mallampati score dan TMD,
adanya masalah kardiovaskuler dan masalah respirasi.
5. Saat operasi perlu diperhatikan input dan output cairan pada pasien, termasuk
pemilihan jenis cairan yang diberikan.

35
DAFTAR PUSTAKA
Baker, P. A., A. Depuydt, J.M. Thompson. 2009. Thyromental Distance Measurement.
Anesthesia. 64(8): 878-882.
Baxendale, B., G. Smith. 2002. Prepoperative Assestment and Premedication. London:
Textbook of Anesthesia.
Chong V.H., Lim KS. 2009. Gastrointestinal Tuberculosis. Singapore Med J. 50(6):638.
Downing, J.W., M.D.C. Baysinger. 2008. The Mallampati Score. Anesthesiology. 11(109):
931-932.
Fleisher, L.A., et al., 2009. ACCF/AHA focused update on perioperative beta blockade
incorporated into the ACC/AHA 2007 guidelines on perioperative cardiovascular
evaluation and care for noncardiac surgery. Journal of the American College of
Cardiology, 54(22): p. e13-e118.
Goldman, L., Assessment of perioperative cardiac risk. New England Journal of
Medicine, 1994. 330(10): p. 707-709.
Hughes, Kelly. Interactions of malnutrition and immune impairment, with specific reference
to immunity against parasites.Parasite Immunol 2006;28:577-88.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Petunjuk Teknis Managemen TB
Pada Anak. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2013

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Petunjuk Teknis Pelayanan


Intensive Care Unit di Rumah Sakit. http://www.perdici.org/guidelines/.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Pelayanan Intensive Care Unit di


Rumah Sakit. http://www.perdici.org/guidelines/.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2008 Standar pelayanan ICU. Jakarta:


Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Latief, S, Suryadi, K, Dachlan, M. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Bagian


Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Longo, D, Fauci, A.2011.Harrison Internal Medicine. Penerbit Buku Kedokteran EGC,


Jakarta

Loscalzo, J.2011.Kardiologi dan Pembuluh Darah.Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

36
Manary MJ, Brewster DR, Broadhead RL, Crowley JR, Fjeld CR, Yarasheski KE. 1997.
Protein metabolism in children with edematous malnutrition and acute respiratory
infection. Am J Clin Nutr, 65:1005-10.
Morgan, G.E., M.S. Mikhail, M.J. Murray, C.P. Larson. Clinical Anesthesiology. 3rd ed.
New York, Lange Medical Books.
Murwaningrum, A., M. Abdullah, D. Makmun. 2016. Pendekatan Diagnosis dan
Tatalaksana Tuberkulosis Intestinal. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 3 (2):
165-173.
Schaible UE, Kauffmann SH. 2007. Malnutrition and Infection: Complex mechanism and
global impact. Journal pmed, 4:806-12.
Shenkin. 2006. Serum Prealbumin:Marker of status or risk?. Clinical Chemistry,
52:2177-79.
Smith, G., A.R. Aitkenhead. 1992. Postoperative Care In: Clinical Anesthesiology, 1 ed.
California: Appleton & Lange.
Soenarjo., Marwoto., Witjaksono., Hariyo S., Uripno B., Abdul L et al. 2013.
Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP.
Spiro HM. 1993. Peritoneal tuberculosis : clinical gastroenterologi 4th ed New York ;
Mc Graw hill INC 1993 : 551-2.
Sulaiman A. 1990. Peritonitis tuberkulosa. Dalam : Sulaiman A, Daldiyono, Akbar N,
Rani A Buku ajar gartroenterologi hepatologi Jakarta : Infomedika 1990: 456-
61.
Thomas, W.F., Alex, M. The Post Anesthesia Care Unit Hiller’s Anesthesia Sixth Edition.
USA: Churchill Livingstone.
Traber, K.B. 1997. Preoperative Evaluation. Philadelphia: W.B. Saunders Company.
Zain LH. 1996. Tuberkulosis peritoneal. Dalam : Noer S ed. Buku ajar ilmu penyakit dalam
Jakarta Balai penerbit FKUI, 1996: 403-6

37

Anda mungkin juga menyukai