Anda di halaman 1dari 18

TEXT BOOK READING

Update managemenet Seizure in Emergency Unit

Disusun oleh:
Ajeng Oktri Dewanti G4A016129
Azhar Naufaldi Saputra G4A017093

Pembimbing:

dr. Tutik Ermawati, Sp.S

SMF ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2018
LEMBAR PENGESAHAN

TEXT BOOK READING

Update managemenet Seizure in Emergency Unit

Disusun oleh:

Ajeng Oktri Dewanti G4A016129


Azhar Naufaldi Saputra G4A017093

Text book reading ini telah dipresentasikan dan disahkan


sebagai salah satu syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di
Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Purwokerto, November 2018

Pembimbing:

dr. Tutik Ermawati, Sp.S


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kejang adalah perubahan aktivitas motorik abnormal yang tanpa atau
disertai dengan perubahan perilaku yang sifatnya sementara yang disebabkan
akibat perubahan aktivitas elektrik di otak (Sampson, 2007). Ada proses
diagnostik untuk mengevaluasi kejang umum. Berbagai kondisi klinis dapat
menyebabkan peristiwa yang menyerupai kejang konvulsif. Contohnya
termasuk tersentak singkat atau berirama ritmik yang kadang-kadang
menyertai sinkop, kejang nonepilepsi psikogenik, dan banyak kondisi klinis
lainnya.
Terminologi untuk kejang dan epilepsi tidak secara pasti dijelaskan
dan terus berkembang. Kejang konvulsif umum, atau hanya kejang, mengacu
pada gerakan umum dengan tidak responsif yang mencerminkan aktivitas
listrik kortikal sinkron yang berlebihan. Pasien di IGD mungkin disebabkan
oleh kejang sekunder karena penyebab seperti gangguan elektrolit, substance
withdrawal, toksin, infeksi, lesi massa sistem saraf pusat (SSP), atau etiologi
lainnya; ini diklasifikasikan sebagai gejala kejang akut atau diprovokasi.
Menurut definisi, gejala kejang akut terjadi pada saat atau dalam 7 hari dari
kelianan akut neurologis, sistemik, metabolisme, atau intoksikasi. Gejala
kejang kronik dari CNS atau gangguan sistemik yang terjadi lebih dari 7 hari.
Unprovoke zeisure terjadi tanpa adanya faktor pencetus akut dan termasuk
kejang simptomatik kronik, serta kejang yang tidak memiliki penyebab (Huff
et al, 2014).
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Kejang adalah perubahan aktivitas motorik abnormal yang tanpa atau disertai
dengan perubahan perilaku yang sifatnya sementara yang disebabkan akibat
perubahan aktivitas elektrik di otak (Sampson, 2007). Epilepsi adalah kondisi
dimana terjadi kejang berulang karena ada proses yang mendasari (Fauci,2008).

B. Klasifikasi Kejang
Menurut International League against Epilepsy, kejang dapat diklasifikasikan
menjadi (Fauci,2008) :
1. Kejang parsial
Kejang parsial adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibatan
satu hemisfer serebri. Kejang parsial dapat berkembang menjadi kejang umum
pada 30% anak yang mengalami kejang. Pada umumnya kejang ini ditemukan
pada anak berusia 3 hingga 13 tahun8. Kejang parsial dapat dikelompokkan
menjadi :
a. Kejang parsial simpleks
Kejang parsial simpleks adalah bentuk kejang parsial yang tanpa
disertai dengan perubahan status mental. Kejang ini sering ditandai
dengan perubahan aktivitas motorik yang abnormal, sering terlihat pola
aktivitas motorik yang tetap pada wajah dan ekstremitas atas saat episode
kejang terjadi. Walaupun kejang parsial simpleks sering ditandai dengan
perubahan abnormal dari aktivitas motorik, perubahan abnormal dari
sensorik, autonom, dan psikis
b. Kejang parsial kompleks
Kejang parsial kompleks ditandai dengan perubahan abnormal dari
persepsi dan sensasi, dan disertai dengan perubahan kesadaran. Pada saat
kejang, pandangan mata anak tampak linglung, mulut anak seperti
mengecap – ngecap, jatuhnya air liur keluar dari mulut, dan seringkali
disertai mual dan muntah.
c. Kejang parsial dengan kejang umum sekunder
Kejang parsial dapat melibatkan kedua hemisfer serebri dan menimbulkan
gejala seperti kejang umum. Kejang parsial dengan kejang umum sekunder
biasanya menimbulkan gejala seperti kejang tonik klonik. Hal ini sulit dibedakan
dengan kejang tonik – klonik.

2. Kejang Umum
Kejang umum adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibata kedua
hemisfer serebri. Kejang umum disertai dengan perubahan kesadaran. Kejang
umum dapat dikelompokkan menjadi :
a. Kejang tonik klonik (grand mal seizure)
Kejang tonik klonik adalah bentuk kejang umum yang paling sering
terjadi pada anak. Kebanyakan kejang ini memiliki onset yang tiba – tiba,
namun pada beberapa anak kejang ini didahului oleh aura (motorik atau
sensorik). Pada awal fase tonik, anak menjadi pucat, terdapat dilatasi
kedua pupil, dan kontraksi otot – otot yang disertai dengan rigiditas otot
yang progresif. Sering juga disertai dengan inkontinensia urin atau
inkontinensia tinja. Kemudian pada fase klonik, terjadi gerakan
menghentak secara ritmik dan gerakan fleksi yang disertai spasme pada
ekstremitas. Terjadi perubahan kesadaran pada anak selama episode
kejang berlangsung dan bisa berlanjut hingga beberapa saat setelah kejang
berhenti.
b. Kejang tonik
Bentuk kejang ini sama seperti kejang tonik klonik pada fase tonik.
Anak tiba – tiba terdiam dengan seluruh tubuh menjadi kaku akibat
rigiditas otot yang progresif.

c. Kejang mioklonik
Kejang mioklonik ditandai dengan gerakan kepala seperti terjatuh
secara tiba – tiba dan disertai dengan fleksi lengan. Kejang tipe ini dapat
terjadi hingga ratusan kali per hari.
d. Kejang atonik
Kejang atonik ditandai dengan kehilangan tonus otot secara tiba – tiba.
e. Kejang absens
Kejang absens dapat dibagi menjadi kejang absens simpel (tipikal)
atau disebut juga petit mal dan kejang absens kompleks (atipikal). Kejang
absens tipikal ditandai dengan berhentinya aktivitas motorik anak secara
tiba – tiba, kehilangan kesadaran sementara secara singkat, yang disertai
dengan tatapan kosong. Sering tampak kedipan mata berulang saat episode
kejang terjadi. Episode kejang terjadi kurang dari 30 detik. Kejang ini
jarang dijumpai pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Kejang absens
atipikal ditandai dengan gerakan seperti hentakan berulang yang bisa
ditemukan pada wajah dan ekstremitas, dan disertai dengan perubahan
kesadaran (Friedman, 2006).
3. Kejang tak terklasifikasi
Kejang ini digunakan untuk mengklasifikasikan bentuk kejang yang
tidak dapat dimasukkan dalam bentuk kejang umum maupun kejang parsial.
Kejang ini termasuk kejang yang terjadi pada neonatus dan anak hingga usia 1
tahun (Fauci,2008).
Pedoman penggunaan klasifikasi operasional (ILAE 2017) :

1. Onset: tentukan onset kejang apakah fokal atau umum


2. Awareness: untuk kejang fokal, tentukan tingkat
kesadaran. Focal aware seizure merujuk pada simple partial seizure pada
klasifikasi sebelumnya dan focal impaired awareness seizure merujuk
pada complex partial seizure
3. Gangguan kesadaran: kejang fokal menjadi focal impaired awareness seizure
bila terdapat gangguan kesadaran pada titik manasaja selama periode kejang.
4. Onset yang mendominasi: klasifikasikan kejag fokal dengan gejala atau tanda
pertama yang menonjol dengan tidak termasuk transient behavior arrest.
5. Behavior arrest: focal behavior arrest seizure menunjukkan penghentian
aktivitas sebagai gejala yang paling menonjol selama kejang.
6. Motor/non motor: subklasifikasi selanjutnya setelah menentukan tingkat
kesadaran. Pada kejang fokal, bila kesadaran sulit ditentukan, jenis kejang
fokal dapat ditentukan hanya dengan karakteristik motor atau non motor.
7. Deskripsi tambahan: setelah menentukan jenis kejang, dapat menambahkan
deskripsi dari gejala dan tanda. Hal ini tidak mengganggu jenis kejang yang
sudah ditentukan sebelumnya. Sebagai contoh: focal emotional
seizure dengan tonik pada lengan kanan dan hiperventilasi.
8. Bilateral berbanding umum: penggunaan istilah bilateral untuk kejang tonik-
klonik yang menyebar ke kedua hemisfer dan istilah umum untuk kejang yang
secara simultan berasal dari kedua hemisfer.
9. Absans atipikal: disebut absans atipikal bila onset lambat atau offset,
terdapat perubahan tonus, atau < 3 gelombang spike per detik di EEG.
10. Klonik berbanding myoklonik: klonik merujuk pada gerakan menyentak
ritmik yang terus menerus dan myoklonik adalah gerakan menyentak yang
regular tidak berkelanjutan.
11. Myoklonik palpebra: absans dengan myoklonik palpebra merujuk pada
gejakan mengedip selama kejang absans

C. Etiologi
Penyebab kejang secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu intrakranial
dan ekstrakranial (Breton,2013).
1. Intrakranial
Penyebab intrakranial dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu primer dan
sekunder. Penyebab intrakranial primer disebut juga idiopatik. Sedangkan
sekunder dapat disebabkan karena neoplasma intrakranial, kelainan kongenital
seperti hidrosefalus, infeksi seperti meningitis dan ensefalitis, dan trauma
kepala.
2. Ekstrakranial
Penyebab ekstrakranial biasa disebabkan karena gangguan
metabolisme seperti hipoglikemia, hipokalsemia, hepatik ensefalopati, uremia,
hiperproteinemia, hiperlipidemia, hipotiroid, dan hipoksia. Penyebab
ekstrakranial dapat juga disebabkan oleh metastasis keganasan ke otak.

Kejang dapat dibagi berdasarkan dua kategori yang berbeda: etiologi impuls
listrik abnormal di dalam otak (Huff et sl, 2014):
1. Provoked Seizure
Provoked Seizure juga disebut sebagai gejala kejang akut, karena
muncul dalam 7 hari dari adanya gangguan sistemik, apakah itu sekunder
akibat kelainan elektrolit (misalnya, hiponatremia, hipoglikemia,
hiperkalsemia), substance withdrawal (misalnya, alkohol, benzodiazepin),
keracunan, infeksi, lesi sistem saraf pusat, atau cedera kepala.

2. Unprovoked Seizure
Jenis kejang ini umumnya lebih konsisten dengan epilepsi atau karena
gangguan sistemik lebih dari 7 hari. Contohnya termasuk pasien yang
memiliki riwayat stroke, cedera otak traumatis, atau malformasi otak bawaan.

D. Diagnosis
1. Anamnesa
Anamnesis dapat memunculkan informasi tentang trauma kepala
dengan kehilangan kesadaran, ensefalitis, malformasi vaskuler,
meningitis, gangguan metabolik dan obat-obatan tertentu. Penjelasan
dari pasien mengenai segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan
sesudah serangan meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan
informasi yang sangat penting dan merupakan kunci diagnosis (Setiaji,
2014).
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :
a. Pola / bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat terjadinya serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh. Tanda –
tanda vital meliputi denyut nadi, laju pernapasan, dan terutama suhu
tubuh harus diperiksa, karena demam merupakan penyebab utama
kejang pada anak – anak. Periksa kepala apakah ada kelainan bentuk,
tanda – tanda trauma kepala, serta tanda – tanda peningkatan tekanan
intrakranial. Periksa leher apakah terdapat kaku kuduk. Pemeriksaan
neurologis secara menyeluruh juga penting dilakukan.

3. Pemeriksaan Penunjang
Penentuan ada tidaknya kejang ditentukan oleh kondisi klinis
pasien yang tepat sesuai klinis, tetapi pemeriksaan penunjang juga
dapat membantu dalam mempertajam diagnosis dari kejang tersebut.
Pemeriksaan penunjang yang dapat di lakukan adalah :
a. Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal tidak dianjurkan pada anak-anak dengan
hemodinamik yang tidak stabil. Sangat dipertimbangkan untuk
melakukan pungsi lumbal pada anak kurang dari 12 bulan dan
anak kurang dari 18 bulan. Pungsi lumbal dianjurkan pada :
1) Anak yang telah menerima antibiotik sebelum kejang dan
didiagnosa sebagai meningitis, dalam kasus ini dilakukan
pungsi lumbal tanpa memandang usia. Bahkan jika pungsi
lumbal dilakukan dan hasilnya negatif, dapat
dipertimbangkan untuk pemberian pengobatan meningitis,
karena cairan cerebrospinal (CSF) mungkin normal pada
fase awal perjalanan penyakit meningitis (Britsh Columbia
Medical Association, 2010).
2) Iritasi meningens didefinisikan sebagai adanya Brudzinski
sign (fleksi leher menyebabkan fleksi dari pinggul pasien
dan lutut), Kernig sign (nyeri muncul ketika adanya fleksi
90◦ dari fleksi sendi pinggul dan ekstensi sendi lutut),
kaku kuduk yaitu kekakuan leher pada anak yang lebih tua
dari usia 1 tahun. Pada anak-anak berusia kurang dari 1
tahun, tanda-tanda iritasi meningens adalah tanda-tanda di
atas atau rasa gelisah atau rewel selama manipulasi kepala
atau kaki oleh dokter dan atau menggembungnya fontanel.
Perlu ditekankan bahwa tanda-tanda klinis meningitis tidak
sensitif dan jika klinisi curiga bahwa meningitis positif,
pungsi lumbal tidak boleh ditunda sampai tanda-tanda ini
muncul (Britsh Columbia Medical Association, 2010).
b. Pencitraan
Neuroimaging tidak diindikasikan setelah episode kejang
demam sederhana, tapi bisa dipertimbangkan ketika ada fitur
klinis dari gangguan neurologis, misalnya mikrosefali atau
makrosefali, defisit neurologis yang sudah ada, defisit
neurologis post-iktal bertahan selama lebih dari beberapa jam,
atau ketika ada kejang demam berulang yang kompleks, atau
kejang yang dicurigai bukan kejang demam Magnetic
Resonance Imaging lebih sensitif dibandingkan Computed
Tomography untuk mendeteksi proses intrakranial yang dapat
menyebabkan kejang (Britsh Columbia Medical Association,
2010). Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai
pemeriksaan radiologis bertujuan untuk melihat struktur otak
dengan melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan yang sering
digunakan Computer Tomography Scan (CT Scan) dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan
dengan CT Scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik
akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hippocampus kiri dan kanan (PERDOSSI,
2016).

c. Electroencephalography (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang
yang paling sering dilakukan dan harus dilakukan pada semua
pasien epilepsi untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Terdapat
dua bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak.
Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
d. Laboratorium
1) Darah lengkap
2) Ureum, kreatinin
3) SGOT/SGPT
4) Elektrolit (Na, K, Ca, Mg)

E. Tatalaksana
1. Penilaian Awal
Langkah pertama dalam pengelolaan pasien yang mengalami kejang
adalah untuk menilai dan mendukung saluran napas, pernapasan dan
sirkulasi. Ini akan memastikan bahwa kejang tidak membahayakan
pasokan darah beroksigen ke otak dan tidak menyebabkan cedera
sekunder terhadap hipoksia dan atau iskemia (NSW, 2018). Penilaian
awal terdiri dari :
a. Airway
Saluran napas yang bebas adalah syarat pertama. Lakukan
penilaian patensi jalan napas dengan metode look, listen dan feel. Jika
jalan napas tidak bebas, maka kita harus membuka dan menjaganya
dengan cara head tilt- chin lift atau jaw thrust manuver dan
memberikan ventilasi dengan bag-valve-mask jika perlu. Jika jalan
napas terganggu karena kejang, mengendalikan kejang dengan
antikonvulsan umumnya akan mengontrol jalan napas. Bahkan jika
jalan napas telah bebas, orofaring mungkin perlu dibersihkan dari
sekret oleh suction (NSW, 2018).
b. Breathing
Penilaian kemampuan pernapasan dilihat dari laju pernapasan,
suara napas yang merintih, ekspansi dada, denyut jantung dan warna
kulit. Pemantauan saturasi oksigen dilakukan dengan menggunakan
pulse oksimetry. Jika anak menderita hipoventilasi, respirasi harus
didukung dengan oksigen melalui perangkat bag-valve – mask (NSW,
2018).
c. Circulation
Menilai kecukupan sirkulasi dilakukan dengan palpasi denyut
nadi. Capillary refill time yang lebih dari dua detik, pucat, sianosis
serta akral yang dingin menunjukkan sirkulasi perifer yang tidak
adekuat. Jika perlu, lakukan pemberian cairan intravena. Jika akses
pembuluh darah tidak dapat diperoleh, pemberian antikonvulsan
harus diberikan melalui rektal, intramuskular atau rute bukal.
Intraosseous acces (IO) dipergunakan pada anak-anak dengan tanda-
tanda syok jika akses intravena tidak dapat diperoleh. Akses IO
mungkin dibutuhkan untuk administrasi long acting antikonvulsan
jika tidak ada akses intravena setelah dua dosis benzodiazepin.
Berikan 20 mL/kg BB bolus cepat normal saline untuk setiap pasien
dengan tanda-tanda syok, lalu periksa tekanan darah segera setelah
pemberian normal saline atau setelah kejang selesai. Pengambilan
tes glukosa darah dan uji laboratorium tetap diperlukan. Jika terdapat
hipoglikemi berikan dextrose 10% sebanyak 5 mL/kg untuk pasien
yang hipoglikemi tersebut(NSW, 2018).
d. Disability
Menilai fungsi neurologis dengan skor AVPU (Alert, Voice,
Pain, Responsive) tidak dapat diukur secara bermakna selama kejang
yang disertai dengan penurunan kesadaran. Ukuran dan reaksi pupil
harus diperhatikan. Perubahan pupil dapat terjadi selama kejang
tetapi mungkin juga hasil dari keracunan opiat, amfetamin, atropin
dan trisiklik atau peningkatan tekanan intrakranial (NSW, 2018).
Perhatikan tanda-tanda defisit neurologis fokal, baik selama atau
setelah kejang dan perhatikan postur anak, apakah terdapat
dekortikasi atau deserebrasi sikap dimana sebelumnya postur anak
normal. Hal ini menunjukan bahwa terdapat peningkatan tekanan
intrakranial, tetapi postur ini kadang dapat keliru untuk fase tonik-
klonik. Carilah kaku kuduk pada anak dan fontanelle yang
membubung pada bayi, yang dapat menunjukkan tanda – tanda
meningitis. Perlu diingat bahwa penggunaan berkepanjangan atau
berulang-ulang dari obat anti konvulsan dapat menyebabkan depresi
kesadaran (NSW, 2018).
e. Exposure
Carilah ruam dan memar sebagai tanda-tanda cedera (NSW, 2018).
2. Menilai kembali ABC
Tanda-tanda vital harus dinilai ulang setiap 15 menit sementara kejang
berlangsung atau setiap 30 menit setelah kejang sampai tingkat kesadaran
kembali ke normal atau setelah setiap pemberian dosis obat anti –
epilepsi. Jika memungkinkan beri pula pemantauan dengan ECG dan
pulse-oksimetri (NSW, 2018).

3. Medikasi pada kejadian akut (first dan second line anticonvulsant)


Pengobatan dengan obat anti kejang diberikan setelah ABC di
stabilisasi. Dahulu di tahun 1960an obat antiepilepsiyang digunakan
dalam pengelolaan kejang telah berkembang karena ketersediaan obat
diazepam intravena. Sekarang obat anti kejang yang menjadi pilihan
pertama adalah benzodiazepin. Hal ini dikarenakan benzodiazepin dapat
dengan cepat mengkontrol kejang dengan efek samping yang minimal.
Selain itu benzodiazepin dapat diberikan dari beberapa rute dan dapat
diberikan kembali dalam waktu singkat (NSW, 2018)
Obat anti kejang yang menjadi pilihan kedua, untuk kejang refrakter
harus kompatibel dengan obat pilihan pertama. Idealnya bekerja secara
sinergis tanpa efek samping dan menjadi lebih efektif dalam mencegah
berkelanjutan kejang. Pilihan obat lini kedua tersebut adalah fenitoin dan
fenobarbital (NSW, 2018).
Dalam pemilihan obat anti konvulsan, hasil yang diinginkan adalah
yang paling cepat menghentikan kejang akut dengan efek samping
terkecil dan biaya yang minimal. Persyaratan obat tersebut belumlah
cukup karena harus pula meliputi kemudahan pemberian dan tersedianya
obat tersebut di pasaran. Pengobatan dini sangat penting,karena setelah
kejang ditetapkan selama lebih dari 15 menit, penangannanya akan lebih
sulit. Protokol penanganan kejang berbasis lini ini digunakan di tiga
rumah sakit anak-anakdi New South Wales. Protokol inipun telah di akui
oleh Advance Paediatric Life Support (APLS) di Inggris pada tahun 2000
(NSW, 2018).
a. Terapi lini pertama:
1) Diazepam
Digunakan secara intravena dan rectal sejak 1965. Pemberian
intravena menghasilkan kontrol kejang yang cepat pada sekitar
80% pasien. Setelah pemberian rektal, kadar serum terapeutik
terlihat dalam lima menit dan kontrol kejang yang cepat terjadi
pada hingga 80%. Sementara mungkin ada manfaat dari diazepam
intravena berikutnya di pasien yang tidak responsif terhadap
terapi, kejang menetap terhadapdosis rektal tunggal (kejang
resisten) maka pasien tersebut membutuhkan pengobatan lini
kedua (NSW, 2018).

2) Midazolam
Midazolam sekarang telah menggantikan diazepam sebagai
obat pilihan pertama sebelum akses vena dapat diperoleh, karena
rute pemberian yang lebih disukai yaitu melalui bukal tidak
seperti diazepam yang melalui rektal. Midazolam sangat efektif
sebagai lini pertama antikonvulsan karena menghentikan
sebagian besar kejang dalam satu menit setelah injeksi intravena
dari 0,1-0,3 mg/kg dan secara intramuskular dalam waktu 5-10
menit. Dosis tunggal midazolam bukal 0,5mg /kg telah terbukti
meminimalisir risiko depresi pernapasan (NSW, 2018).
3) Paraldehyde
Paraldehyde telah digunakan sebagai supposituria untuk
pengobatan kejang sejak awal 1930. Paraldehyde sekarang
diberikan secara rektal Administrasi dubur dapat ditoleransi
dengan baik dan menghasilkan onset kontrol kejang yang cepat
dan efek depresi pernafasan yang kurang minimal (NSW, 2018)

b. Terapi lini kedua (epilepsi status refraktori) :


1) Fenitoin
Fenitoin dikenal sebagai non sedating anti - convulsant
pertama. Dalam dosis intravena 20 mg/kg untuk anak-anak,
kejang terkontrol dengan baik di 60-80% pasien dalam 20 menit.
Fenitoin memiliki efek depresi pernapasan yang lebih kecil
daripada fenobarbital. Fenitoin telah diakui sebagai pilihan
pertama anti konvulsan lini kedua oleh British Working Party
(NSW, 2018).
2) Fenobarbital
Fenobarbital telah digunakan dalam kontrol kejang sejak tahun
1912 dan digunakan di seluruh dunia. Jika dibandingkan dengan
anti konvulsan yang lainnya, fenobarbital dianggap lebih murah
dan sangat efektif. Setelah pemberian intravena terdapat
distribusi bifasik dan sangat menyebar melalui seluruh pembuluh
darah termasuk pembuluih darah otak. Meskipun penetrasi ke
otak telah dilaporkan terjadi 12-60 menit setelah pemberian,
penetrasi ini terjadi lebih cepat dalam status epileptikus
karenapeningkatan aliran darah otak. Fenibarbital digunakan
sebagai anti konvulsan lini kedua pada periode neonatal. Dosis
pemberian adalah 5-10 mg/kg (NSW, 2018).

DAFTAR PUSTAKA

Allan Krumholz, Samuel Wiebe, Gary S. Gronseth, David S. Gloss, Ana


M. Sanchez, Arif A. Kabir, Aisha T. Liferidge, Justin P. Martello, Andres
M. Kanner, Shlomo Shinnar, Jennifer L. Hopp, Jacqueline A. 2015.
Evidence-based guideline: Management of an unprovoked first seizure in
adults. French Neurology. 84 (16) 1705-
1713; DOI:10.1212/WNL.0000000000001487
Guidelines and Protocols Advisory Committe. Febrile Seizure. British Columbia
Medical Association. 2010.
Children and Infants with Seizures-Acute Management Clinical Guidelines. NSW
Department of Health. 2018.
Sampson HA dan Leung D. Seizures in Childhood. Di dalam: Kliegman et al. Nelson
Textbook of Pediatrics, 18th edition. Philadelphia: Elsevier Inc; 2007.
Fauci A, Braunwald E, Kasper D, Hauser S, Longo D, Jameson J, et al. Epilepsy. Di
Dalam: Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition: McGraw
Hill. 2008.
Friedman M.J, Sharrieff G. Q. Seizures in Children. Pediatric Clin N Am.
2006;53:257-277
Breton A. N. Seizures: Stages, Types, and Care. 10th Emergency & Critical Care UK
Annual Congress. 2013
Huff JS, Melnick ER, Tomaszewski CA, ThiessenME, Jagoda AS, Fesmire FM;
American College of Emergency Physicians. Clinical policy: critical
issues in the evaluation and management of adult patients presenting to
the emergency department with seizures. Ann Emerg Med.
2014;63(4):437-447.e15. doi:10.1016/j.annemergmed.2014.01.018.

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2016. Panduan Praktis


Klinis Neurologi : Epilepsi. Jakarta
Setiaji, Adrian. 2014. Epilepsi. Skripsi. Semarang : Universitas Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai