Anda di halaman 1dari 32

LEMBAR PENGESAHAN REFERAT PENGGUNAAN RELAKSAN OTOT PADA NYERI PUNGGUNG BAWAH

Penyusun NIM Kepanitraan Tempat Kepanitraan Periode Pembimbing

: Novi Lutfiyanti : 030.06.182 : Ilmu Penyakit Saraf : RSUD Dr.Soesilo Slawi : 09 April 2012 12 Mei 2012 : dr. Fachry Uzer, Sp.S

Slawi, ...................................... 2012 Pembimbing

(Dr.Fachry Uzer, Sp.S)

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahNya saya dapat menyelesaikan referat tentang Penggunaan Relaksan Otot pada Nyeri Pungung Bawah. Referat ini dapat terselesaikan sebagai salah satu syarat menyelesaikan kepanitraan klinik ilmu penyakit saraf RSUD Dr. Soeselo Slawi. Banyak terima kasih saya sampaikan kepada pembimbing, dr. Fachry Uzer, Sp.S., atas segenap waktu, tenaga, dan pikiran telah diberikan selama proses pembuatan referat ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh rekan-rekan kepaniteraan klinik ilmu penyakit saraf RSUD Dr. Soeselo Slawi periode 9 April 12 Mei 2012 atas kebersamaan dan kerja sama yang telah terjalin selama ini. Seiring dengan perkembangan jaman, banyak sekali perubahan di bidang pengetahuan medis yang mengarah kepada kemajuan dan perbaikan kualitas kesehatan, banyak data, dan fakta yang signifikan perlu diketahui oleh tenaga medis untuk menegakkan diagnosa dengan baik. Sebagai tenaga medis yang berkualitas, diperlukan pengetahuan yang cukup agar dapat memberikan penanganan yang tepat. Untuk itu melalui referat ini saya mencoba untuk sedikit menjabarkan mengenai Penggunaan Relaksan Otot pada Nyeri Pungung Bawah. Akhir kata, saya menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun akan sangat diharapkan demi penyempurnaannya. Semoga referat ini dapat memberi informasi yang berguna bagi para pembaca.

Jakarta, 24 April 2012, Penyusun

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan

.............................................................................................................. i

Kata Pengantar ..................................................................................................................... ii Daftar Isi ............................................................................................................................... iii BAB I Pendahuluan ............................................................................................................. 1

BAB II Nyeri Punggung Bawah.............................................................................................. 2 II.1 Definisi II.2 Anatomi .............................................................................................................. 2 .............................................................................................................. 2 .................................................................................................. 6

II.3 Epidemilogi II.4 Etiologi

.............................................................................................................. 6 .................................................................................................. 7

II.5 Faktor Resiko

II.6 Klasifikasi .............................................................................................................. 8 II.7 Patofisiologi ................................................................................................. 11

II.8 Diagnosis ............................................................................................................. 12 II.9 Pemeriksaan Penunjang ..................................................................................... 16 II.10 Penatalaksanaan ................................................................................................. 17 BAB III Relaksan Otot III.1 Faemakologi ` ................................................................................................. 19 ................................................................................................. 19

III.2 Farmakokinetik ................................................................................................. 20 III.3 Indikasi dan Mekanisme Kerja ......................................................................... 21

BAB IV Penggunaan Relaksan Otot pada NPB

............................................................. 24

IV.1 Khasiat Relaksan Otot pada Pengobatan NPB ................................................. 24 IV.2 Khasiat Analgesik Relaksan Otot ...................................................................... 24 IV.3 Relaksan Otot Eperisone ................................................................................... 25 IV.5 Efek Samping Relaksan Otot ............................................................................. 26

BAB V Kesimpulan .............................................................................................................. 27

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri punggung bagian bawah (NPB / low back pain / LBP) sangat umum terjadi. LBP bukanlah suatu penyakit yang spesifik, tetapi merupakan sebuah gejala yang terjadi dari beberapa proses penyakit yang berbeda-beda dimana pada beberapa kasus gejalanya sesuai dengan diagnosis patologisnya dengan ketepatan yang tinggi, namun di sebagian besar kasus, diagnosis tidak pasti dan berlangsung lama. Dengan demikian maka LBP yang timbulnya sementara dan hilang timbul adalah sesuatu yang dianggap biasa. Namun bila LBP terjadi mendadak dan berat maka akan membutuhkan pengobatan, walaupun pada sebagian besar kasus akan sembuh dengan sendirinya. LBP yang rekuren membutuhkan lebih banyak perhatian, karena harus merubah pula cara hidup penderita dan bahkan juga perubahan pekerjaan.1 Nyeri Punggung bawah (NPB) paling banyak menjadi penyebab anggota masyarakat untuk mangkir kerja. Penderita NPB selalu menyampaikan keluhan gejala: nyeri, spasme (kejang) otot dan gangguan fungsi. Kejang otot sendiri akan menimbulkan keluhan nyeri yang pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya lingkaran setan yang semakin memperburuk keadaan, kejang otot nyeri - kejang otot nyeri dan seterusnya.5 Oleh karena itu cukup beralasan untuk menggunakan relaksan otot pada pengobatan NPB bila kejadiannya diawali oleh spasme otot. Karena efek samping relaksan otot cukup banyak, penggunaannya harus hati-hati. Berbagai sediaan terbukti mampu melemaskan otot dengan mekanisme berbeda-beda. Apakah semua sediaan yang mampu melemaskan otot dapat digolongkan sebagai relaksan otot dan digunakan dalam pengobatan NPB yang selalu diderita anggota masyarakat? Pada referat ini akan disampaikan pendekatan farmakologik tentang penggunan sediaan relaksan otot pada pengobatan nyeri punggung bawah (NPB).12,15

BAB II NYERI PUNGGUNG BAWAH

II.1 Definisi Nyeri Punggung bawah (NPB) adalah nyeri yang dirasakan di daerah punggung bawah, dapat berupa nyeri lokal (inflamasi), maupun nyeri radikuler atau keduanya. Nyeri ini terasa diantara tepi iga terbawah dan lipat bokong bawah yaitu di daerah lumbal atau lumbosakral dan sering disertai dengan perjalanan nyeri kearah tungkai dan kaki.5 Nyeri punggung bawah bukanlah diagnosis, tapi hanya merupakan keluhan atau gejala akibat dari penyebab yang sangat beragam. Nyeri yang berasal dari punggung bawah dapat dirujuk kedaerah lain, atau sebaliknya nyeri yang berasal dari daerah lain dirasakan di daerah punggung bawah (reffered pain).5 II.2 Anatomi Struktur utama dari tulang punggung adalah vertebrae, discus invertebralis, ligamen antara spina, spinal cord, saraf, otot punggung, organ-organ dalam disekitar pelvis, abdomen dan kulit yang menutupi daerah punggung.12 Columna vertebralis (tulang punggung) terdiri atas : 1. Vertebrae cervicales 2. Vertebrae thoracalis 3. Vertebrae lumbales 4. Vertebrae sacrales 5. Vertebrae coccygeus 7 buah 12 buah 5 buah 5 buah 4-5 buah

Vertebra cervicales, thoracalis dan lumbalis termasuk golongan true vertebrae. Pada vertebrae juga terdapat otot-otot yang terdiri atas :

1. Musculus trapezius 2. Muskulus latissimus dorsi 3. Muskulus rhomboideus mayor 4. Muskulus rhomboideus minor 5. Muskulus levator scapulae 6. Muskulus serratus posterior superior 7. Muskulus serratus posterior inferior 8. Muskulus sacrospinalis 9. Muskulus erector spinae 10. Muskulus transversospinalis 11. Muskulus interspinalis Otot-otot tersebut yang menghubungkan bagian punggung ke arah ekstrremitas maupun yang terdapat pada bagian punggung itu sendiri.Otot pada punggung memiliki fungsi sebagai pelindung dari columna spinalis, pelvis dan ekstremitas. Otot punggung yang mengalami luka mungkin dapat menyebabkan terjadinya low back pain. Sistem Persarafan Setelah menembus kantong duramater radiks anterior dan posterior bersatu membentuk nervus spinalis di foramen intervertebralis, mengisi 35%-50% ruang foramen bagian atas. Radiks posterior terletak di posterior dan superior radiks anterior. Didalam foramen radiks terbungkus arahnoid dan dura berlanjut sepanjang saraf sebagai perineum. N.Spinalis bercabang dua yitu ventralis dan dorsalis.5 Ramus ventralis n.spsinalis memberi cabang yaitu: Cabang otot, mempersarafi m.psoas, m.kuadratus dan m.intertransversarii

Cabang skelet, mempersarafi lig.longitudinalis anterior, anulus fibrosus bagian posterolateral dan periosteum

N.sinuvertebralis. Saraf ini bergabung dengan cabang saraf simpatis dari ramus komunikan grisea dan kembali melalui foramen intervertebralis mempersarafi lig.longitudinalis posterior, lapisan luar anulus fibrosus bagian posterior, duramater anterior dan yang melapisi radiks, periosteum bagian posterior dan pembuluh darah korpus vertebra serta epidural. N.sinuvertebralis kadang dianggap sebagai cabang langsung n.spinalis. Bergabungnya aferen saraf lumbal (L) bawah dan saraf simpatis tersebut memungkinkan saraf simpatis dan radiks saraf L1 dan L2 untuk target meredakan nyeri diskogenik lumbal bawah.

Ramus dorsalis n.spinalis bercabang: Cabang lateralis mempersarafi m.iliokostalis lumborum Cabang intermedialis mempersarafi m.longisimus Cabang medialis mempersarafi m.multifidus, m.interspinalis, m.interspinosus. Mempersarafi pula sendi faset di atas dan bawahnya, lig.flavum, fasia dan kulit. (Bogduk, 1981, Finneosn, 1981, Bogduk, 1983)

II.3 Epidemiologi LBP sering dijumpai dalam praktek sehari-hari, terutama di negara-negara industri. Diperkirakan 70-85% dari seluruh populasi pernah mengalami episode ini selama hidupnya. Prevalensi tahunannya bervariasi dari 15-45%, dengan point prevalencerata-rata 30%. Di AS nyeri ini merupakan penyebab yang urutan paling sering dari pembatasan aktivitas pada penduduk dengan usia <45 tahun, urutan ke 2 untuk alasan paling sering berkunjung ke dokter, urutan ke 5 alasan perawatan di rumah sakit, dan alasan penyebab yang paling sering untuk tindakan operasi.2 Data epidemiologi mengenai LBP di Indonesia belum ada, namun diperkirakan 40% penduduk pulau Jawa Tengah berusia diatas 65 tahun pernah menderita nyeri pinggang, prevalensi pada laki-laki 18,2% dan pada wanita 13,6%. Insiden berdasarkan kunjungan pasien ke beberapa rumah sakit di Indonesia berkisar antara 3-17%. 1 II.4 Etiologi Penyebab LBP dapat dibagi menjadi: 1. Diskogenik (sindroma spinal radikuler). 2. Non-diskogenik 1. Diskogenik Sindroma radikuler biasanya disebabkan oleh suatu hernia nukleus pulposus yang merusak saraf-saraf disekitar radiks. Diskus hernia ini bisa dalam bentuk suatu protrusio atau prolaps dari nukleus pulposus dan keduanya dapat menyebabkan

kompresi pada radiks. Lokalisasinya paling sering di daerah lumbal atau servikal dan jarang sekali pada daerah torakal. Nukleus terdiri dari megamolekul proteoglikan yang dapat menyerap air sampai sekitar 250% dari beratnya. Sampai dekade ke tiga, gel dari nukleus pulposus hanya mengandung 90% air, dan akan menyusut terus sampai dekade ke empat menjadi kira-kira 65%. Nutrisi dari anulus fibrosis bagian dalam tergantung dari difusi air dan molekul-molekul kecil yang melintasi tepian vertebra. Hanya bagian luar dari anulus yang menerima suplai darah dari ruang epidural. Pada trauma yang berulang menyebabkan robekan serat-serat anulus baik secara melingkar maupun radial. Beberapa robekan anular dapat menyebabkan pemisahan lempengan, yang menyebabkan berkurangnya nutrisi dan hidrasi nukleus. Perpaduan robekan secara melingkar dan radial menyebabkan massa nukleus berpindah keluar dari anulus lingkaran ke ruang epidural dan menyebabkan iritasi ataupun kompresi akar saraf.3 2. Non-diskogenik Biasanya penyebab LBP yang non-diskogenik adalah iritasi pada serabut sensorik saraf perifer, yang membentuk n. iskiadikus dan bisa disebabkan oleh neoplasma, infeksi, proses toksik atau imunologis, yang mengiritasi n. iskiadikus dalam perjalanannya dari pleksus lumbosakralis, daerah pelvik, sendi sakro-iliaka, sendi pelvis sampai sepanjang jalannya n. iskiadikus (neuritis n. iskiadikus).4 II.5 Faktor risiko Faktor risiko terjadinya LBP adalah usia, jenis kelamin, kondisi kesehatan yang buruk, masalah psikologik dan psikososial, artritis degeneratif, merokok, skoliosis mayor (kurvatura >80o), obesitas, tinggi badan yang berlebihan, hal yang berhubungan pekerjaan seperti duduk dan mengemudi dalam waktu lama, duduk atau berdiri berjam-jam (posisi tubuh kerja yang statik), getaran, mengangkat, membawa beban, menarik beban, membungkuk, memutar, dan kehamilan. 1,6 Pada laki-laki resiko nyeri pinggang meningkat sampai usia 50 tahun kemudian menurun, tetapi pada wanita tetap terus meningkat. Peningkatan insiden pada wanita lebih 50 tahun kemungkinan berkaitan dengan osteoporosis. II.6 Klasifikasi Low Back Pain menurut perjalanan kliniknya dibedakan menjadi dua yaitu :

A. Acute low back pain Rasa nyeri yang menyerang secara tiba-tiba, rentang waktunya hanya sebentar, antara beberapa hari sampai beberapa minggu. Rasa nyeri ini dapat hilang atau sembuh. Acute low back pain dapat disebabkan karena luka traumatic seperti kecelakaan mobil atau terjatuh, rasa nyeri dapat hilang sesaat kemudian. Kejadian tersebut selain dapat merusak jaringan, juga dapat melukai otot, ligamen dan tendon. Pada kecelakaan yang lebih serius, fraktur tulang pada daerah lumbal dan spinal dapat masih sembuh sendiri. Sampai saat ini penatalaksanan awal nyeri pinggang acute terfokus pada istirahat dan pemakaian analgesik.12 B. Chronic low back pain Rasa nyeri yang menyerang lebih dari 3 bulan atau rasa nyeri yang berulang-ulang atau kambuh kembali. Fase ini biasanya memiliki onset yang berbahaya dan sembuh pada waktu yang lama. Chronic low back pain dapat terjadi karena osteoarthritis, rheumatoidarthritis, proses degenerasi discus intervertebralis dan tumor.12 Disamping hal tersebut diatas terdapat juga klasifikasi patologi yang klasik yang juga dapat dikaitkan LBP. Klasifikasi tersebut adalah :12 1. Trauma Trauma dan gngguan mekanis merupakan penyebab utama nyeri pinggang bawah. Pada orang-orang yang tidak biasa melakukan pekerjaan otot atau sudah lama tidak melakukan kegiatan ini dapat menderita nyeri pinggang bawah yang akut. Cara bekerja di pabrik atau di kantor dengan sikap yang salah lama-lama nenyebabkan nyeri pinggang bawah yang kronis. Patah tulang, pada orang yang umurnya sudah agak lanjut sering oleh karena trauma kecil saja dapat menimbulkan fraktur kompresi pada korpus vertebra. Hal ini banyak ditemukan pada kaum wanita terutam yang sudah sering melahirkan. Dalam hal ini tidak jarang osteoporosis menjadi sebab dasar daripada fraktur kompresi. Fraktur pada salah satu prosesus transversus terutama ditemukan pada orang-orang lebih muda yang melakukan kegiatan olahraga yang terlalu dipaksakan. Pada penderita dengan obesitas mungkin perut yang besar dapat menggangu keseimbangan statik dan kinetik dari tulang belakang sehingga timbul nyeri pinggang. Ketegangan mental terutama ketegangan dalam bidang seksual atau frustasi seksual

dapat ditransfer kepada daerah lumbal sehingga timbul kontraksi otot-otot paraspinal secara terus menerus sehingga timbul rasa nyeri pinggang. Analog dengan tension headache maka nyeri pinggang semacam ini dapat dinamakan tension backache. 2. Infeksi Artritis rematoid dapat melibatkan persendian sinovial pada vertebra. Artritis rematoid merupakan suatu proses yang melibatkan jaringan ikat mesenkimal. Penyakit Marie-Strumpell Penyakit Marie-Strumpell, yang juga dikenal dengan nama spondilitis ankilosa atau bamboo spine terutama mengenai pria dan teruta mengenai kolum vertebra dan persendian sarkoiliaka. Gejala yang sering ditemukan ialah nyeri lokal dan menyebar di daerah pnggang disertai kekakuan ( stiffness ) dan kelainan ini bersifat progresif. 3. Neoplasma Tumor vertebra dan medula spinalis dapat jinak atau ganas. Tumor jinak dapat mengenai tulang atau jaringan lunak. Contoh gejala yang sering dijumpai pada tumor vertebra ialah adanya nyeri yang menetap. Sifat nyeri lebih hebat dari pada tumor ganas daripada tumor jinak. Contoh tumor tulang jinak ialah osteoma osteoid, yang menyebabkan nyeri pinggang terutama waktu malam hari. Tumor ini biasanya sebesar biji kacang, dapat dijumpai di pedikel atau lamina vertebra. Hemangioma adalah contoh tumor benigna di kanalis spinal yang dapat menyebabkan nyeri pinggang bawah. Meningioma adalah tumor intradural dan ekstramedular yang jinak, namun bila ia tumbuh membesar dapat mengakibatkan gejala yang besar seperti kelumpuhan 4. Degenerasi Spondylosis lumbal lumbal dan discus

Penyakit sendi degeneratif yang mengenai vertebra intervertebralis, yang menyebabkan nyeri dan kekakuan. Spondylitis.

Suatu bentuk degeneratif sendi yang mengenai tulang belakang. Ini merupakan penyakit sistemik yang etiologinya tidak diketahui, terutama mengenai orang muda

dan menyebabkan rasa nyeri dan kekakuan sebagai akibat peradangan sendi-sendi dengan osifikasi dan ankilosing sendi tulang belakang. 5. Kongenital Kelainan kongenital tidak merupakan penyebab nyeri pinggang bawah yang penting. Kelainan kongenital yang dapat menyebabkan nyeri pinggang bawah adalah : a) Spondilolisis dan spondilolistesis Pada Spondilolisis tampak bahwa sewaktu pembentukan korpus vertebrae (in utero ) arkus vertebrae tidak bertemu dengan korpus vertebraenya sendiri. Pada spondilolistesis korpus vertebrae itu sendiri ( biasanya L5 ) tergeser ke depan. Walaupun kejadian ini terjadi sewaktu bayi itu masih berada dalam kandungan, namun ( oleh karena timbulnya kelinankelainan degeneratif ) sesudah berumur 35 tahun, barulah timbul keluhan nyeri pinggang. Nyeri pinggang ini berkurang / hilang bila penderita duduk atau tidur. Dan akan bertambah, bila penderita itu berdiri atau berjalan. Spondilolitesis dapat mengakibatkan tertekuknya radiks L5 sehingga timbul nyeri radikuler. b) Spina Bifida Bila di daerah lumbosakral terdapat suatu tumor kecil yang ditutupi oleh kulit yang berbulu, maka hendaknya kita waspada bahwa didaerah itu ada tersembunyi suatu spina bifida okulta. Pada foto rontgen tampak bahwa terdapat suatu hiaat pada arkus spinosus di daerah lumbal atau sakral. Karena adanya defek tersebut maka pada tempat itu tidak terbentuk suatu ligamentum interspinosum. Keadaan ini akan menimbulkan suatu lumbo-sakral strain yang oleh si penderita dirasakan sebagai nyeri pinggang. c) Stenosis kanalis vertebralis Diagnosis penyakit ini ditegakkan secara radiologis. Walaupun penyakit telah ada sejak lahir, namun gejala-gejalanya baru tampak setelah penderita berumur 35 tahun. Gejala yang tampak adalah timbulnya nyeri radikuler bila si penderita jalan dengan sikap tegak. Nyeri hilang begitu penderita berhenti jalan atau bila ia duduk. Untuk menghilangkan rasa nyerinya maka penderita lantas jalan sambil membungkuk.

II.7 Patofisiologi Jaringan peka nyeri di daerh lumbo sakral adalah sebagai berikut (Wyke, 1982, Calliet, 1984).5 Kulit, jaringan subkutan termasuk lemak Kapsul sendi faset dan sendi sakroiliaka Lig. Longitudinalis anterior dan posterior, lig. Interspinosus, lig. Flavum, dan lig. Sakroiliaka. Periosteum vertebra dan fasia, tendon, aponeurosis korpus vertebra Lapisan luar anulus fibrous Duramater bagian anterior dan jaringan epidural fibroadiposa, terutama duramater yang melapisi radiks Dinding pembuluh darah sendi spinal, sendi sakroiliaka dan vertebra. Dinding arteri pad otot lumbosakral. Ada yang berpendapat lig. Interspinosus, lig.flavum, walau mengandung nosiseptor dianggap tidak peka nyeri. Lain dengan anulus fibrosus, pada nukleus pulposus diskus inervertebralis tidak mengandung persarafan. Reseptor nyeri pada jaringan peka nyeri merupakan reseptor tidak aktif ( silent nociceptor) dan dapat teraktivasi atau alami sensitisasi oleh mediator inflamasi yang timbul akibat trauma mayor atau trauma kumulatif berhubungan dengan pekerjaan sehingga menimbulkan persepsi nyeri di daerah pungggung bawah. Sebagai contoh nyeri akibat inflamasi, fraktur atau terjebaknya meniskus pada sendi faset yang di persarafi ramus dorsalis n.spinalis. Sendi sakroiliaka akan menjadi sumber nyeri bila mengalami inflamasi. Suntikan anastetik lokal pada sendi ini diharapkan mengurangi nyeri. Nyri diskogenik timbul apabila nukleus pulposus mengalami degradasi yang meluas ke anulus fibrosus. Bahkan dapat nukleasi anulus ke kanalis spinalis. Akibat berkurangnya tinggi diskus menyebabkan perubahan biomekanik dan strain ligamentum sekitar yang mungkin sebagai penyebab NPB mekanik. Ligamentum sebenarnya membantu menjaga integritas tulang belakang sehingga memungkinkan gerakan arah tertentu terbataas, menjaga agar tidak terjadi gerakan berlebihan dan berperan dalam mengurangi beban yang besar. Nyeri diatas apabila ada peran mediator inflamasi disebut nyeri inflamasi atau dianggap nyeri nosiseptif. Kadang timbul respon berlebih seperti hiperaglesia atau alodinia akibat stimulasi yang datang bertubi-tubi pada medulla spinalis sehingga kornu dorsalis lebih sensitif disebut sensitisasi sentral. Pemberian analgetik sedini

mungkin akan mencegah hal ini. Selain nosiseptor ditemukan juga mekaniseptor pada kulit, jaringan subkutan, kapsul sendi faset, periosteum vertebra, dan otot lumbosakral yang berguna dalam terapi seperti Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation(TENS), masase (Wyke, 1982). Sebagai proteksi nyeri dapat timbul spasme otot paraspinal dan timbul iskemia yang lebih memperburuk keadaan. II.8 Diagnosis A. AnamnesisAnamnesis Harus dilakukan anamnesis yang teliti yang nantinya akan dilengkapi oleh pemeriksaan fisik, disertai pemeriksaan radiologis dan elektrodiagnosis. Nyeri pinggang bawah dapat dibagi dalam 6 jenis nyeri, yaitu:7 1. Nyeri pinggang lokal Jenis ini paling sering ditemukan. Biasanya terdapat di garis tengah dengan radiasi ke kanan dan ke kiri. Nyeri ini dapat berasal dari bagian-bagian di bawahnya seperti fasia, otot-otot paraspinal, korpus vertebra, sendi dan ligamen. 2. Iritasi pada radiks Rasa nyeri dapat berganti-ganti dengan parestesi dan dirasakan pada dermatom yang bersangkutan pada salah satu sisi badan. Kadang-kadang dapat disertai hilangnya perasaan atau gangguan fungsi motoris. Iritasi dapat disebabkan oleh proses desak ruang pada foramen vertebra atau di dalam kanalis vertebralis. 3. Nyeri rujukan somatis Iritasi serabut-serabut sensoris dipermukaan dapat dirasakan lebih dalam pada dermatom yang bersangkutan. Sebaliknya iritasi di bagian-bagian dalam dapat dirasakan di bagian lebih superfisial. 4. Nyeri rujukan viserosomatis Adanya gangguan pada alat-alat retroperitonium, intraabdomen atau dalam ruangan panggul dapat dirasakan di daerah pinggang. 5. Nyeri karena iskemia Rasa nyeri ini dirasakan seperti rasa nyeri pada klaudikasio intermitens yang dapat dirasakan di pinggang bawah, di gluteus atau menjalar ke paha. Dapat disebabkan oleh penyumbatan pada percabangan aorta atau pada arteri iliaka komunis. 6. Nyeri psikogen Rasa nyeri yang tidak wajar dan tidak sesuai dengan distribusi saraf dan dermatom dengan reaksi wajah yang sering berlebihan.

Harus dibedakan antara LBP dengan nyeri tungkai, mana yang lebih dominan dan intensitas dari masing-masing nyerinya, yang biasanya merupakan nyeri radikuler. Nyeri pada tungkai yang lebih banyak dari pada LBP dengan rasio 80-20% menunjukkan adanya radikulopati dan mungkin memerlukan suatu tindakan operasi. Bila nyeri LBP lebih banyak daripada nyeri tungkai, biasanya tidak menunjukkan adanya suatu kompresi radiks dan juga biasanya tidak memerlukan tindakan operatif. Gejala LBP yang sudah lama dan intermiten, diselingi oleh periode tanpa gejala merupakan gejala khas dari suatu LBP yang terjadinya secara mekanis. Walaupun suatu tindakan atau gerakan yang mendadak dan berat, yang biasanya berhubungan dengan pekerjaan, bisa menyebabkan suatu LBP, namun sebagian besar episode herniasi diskus terjadi setelah suatu gerakan yang relatif sepele, seperti membungkuk atau memungut barang yang enteng. Harus diketahui pula gerakan-gerakan mana yang bisa menyebabkan bertambahnya nyeri LBP, yaitu duduk dan mengendarai mobil dan nyeri biasanya berkurang bila tiduran atau berdiri, dan setiap gerakan yang bisa menyebabkan meningginya tekanan intraabdominal akan dapat menambah nyeri, juga batuk, bersin dan mengejan sewaktu defekasi. Selain nyeri oleh penyebab mekanik ada pula nyeri non-mekanik. Nyeri pada malam hari bisa merupakan suatu peringatan, karena bisa menunjukkan adanya suatu kondisi terselubung seperti adanya suatu keganasan ataupun infeksi. Faktor-faktor lain yang penting adalah gangguan pencernaan atau gangguan miksi-defekasi, karena bisa merupakan tanda dari suatu lesi di kauda ekuina dimana harus dicari dengan teliti adanya hipestesi peri-anal, retensio urin, overflow incontinence dan tidak adanya perasaan ingin miksi dan gejala-gejala ini merupakan suatu keadaan emergensi yang absolut, yang memerlukan suatu diagnosis segera dan dekompresi operatif segera, bila ditemukan kausa yang menyebabkan kompresi. Suatu radikulopati tanpa nyeri menandakan kemungkinan adanya suatu penyakit metabolik seperti polineuropati diabetik, namun juga harus diingat bahwa hilangnya nyeri tanpa terapi yang adekuat dapat menandakan adanya suatu penyembuhan, namun dapat pula berarti bahwa serabut nyeri hancur sehingga perasaan nyeri hilang, walaupun kompresi radiks masih ada. Suatu nyeri yang berkepanjangan akan menyebabkan dan dapat diperberat dengan adanya depresi sehingga harus diberi pengobatan yang sesuai. Terdapat 5 tanda depresi yang

menyertai nyeri yang hebat, yaitu anergi (tak ada energi), anhedonia (tak dapat menikmati diri sendiri), gangguan tidur, menangis spontan dan perasaan depresi secara umum. 6 B. Pemeriksaan Fisik Inspeksi : Pemeriksaan fisik dimulai dengan inspeksi dan bila pasien tetap berdiri dan menolak untuk duduk, maka sudah harus dicurigai adanya suatu herniasi diskus. Gerakan aktif pasien harus dinilai, diperhatikan gerakan mana yang membuat nyeri dan juga bentuk kolumna vertebralis, berkurangnya lordosis serta adanya skoliosis. Berkurang sampai hilangnya lordosis lumbal dapat disebabkan oleh spasme otot paravertebral. Gerakan-gerakan yang perlu diperhatikan pada penderita: Keterbatasan gerak pada salah satu sisi atau arah. Ekstensi ke belakang (back extension) seringkali menyebabkan nyeri pada tungkai bila ada stenosis foramen intervertebralis di lumbal dan artritis lumbal, karena gerakan ini akan menyebabkan penyempitan foramen sehingga menyebabkan suatu kompresi pada saraf spinal. Fleksi ke depan (forward flexion) secara khas akan menyebabkan nyeri pada tungkai bila ada HNP, karena adanya ketegangan pada saraf yang terinflamasi diatas suatu diskus protusio sehingga meninggikan tekanan pada saraf spinal tersebut dengan jalan meningkatkan tekanan pada fragmen yang tertekan di sebelahnya (jackhammer effect). Lokasi dari HNP biasanya dapat ditentukan bila pasien disuruh membungkuk ke depan ke lateral kanan dan kiri. Fleksi ke depan, ke suatu sisi atau ke lateral yang meyebabkan nyeri pada tungkai yang ipsilateral menandakan adanya HNP pada sisi yang sama. Palpasi : Adanya nyeri (tenderness) pada kulit bisa menunjukkan adanya kemungkinan suatu keadaan psikologis di bawahnya (psychological overlay). Kadang-kadang bisa ditentukan letak segmen yang menyebabkan nyeri dengan menekan pada ruangan intervertebralis atau dengan jalan menggerakkan ke kanan ke kiri prosesus spinosus sambil melihat respons pasien.

Pada spondilolistesis yang berat dapat diraba adanya ketidak-rataan (step-off) pada palpasi di tempat/level yang terkena. Penekanan dengan jari jempol pada prosesus spinalis dilakukan untuk mencari adanya fraktur pada vertebra. Pemeriksaan fisik yang lain memfokuskan pada kelainan neurologis. Refleks yang menurun atau menghilang secara simetris tidak begitu berguna pada diagnosis LBP dan juga tidak dapat dipakai untuk melokalisasi level kelainan, kecuali pada sindroma kauda ekuina atau adanya neuropati yang bersamaan. Refleks patella terutama menunjukkan adanya gangguan dari radiks L4 dan kurang dari L2 dan L3. Refleks tumit predominan dari S1. Harus dicari pula refleks patologis seperti babinski, terutama bila ada hiperefleksia yang menunjukkan adanya suatu gangguan upper motor neuron (UMN). Dari pemeriksaan refleks ini dapat membedakan akan kelainan yang berupa UMN atau LMN. C. Pemeriksaan motoris Harus dilakukan dengan seksama dan harus dibandingkan kedua sisi untuk menemukan abnormalitas motoris yang seringan mungkin dengan memperhatikan miotom yang mempersarafinya. D. Pemeriksaan sensorik Pemeriksaan sensorik akan sangat subjektif karena membutuhkan perhatian dari penderita dan tak jarang keliru, tapi tetap penting arti diagnostiknya dalam membantu menentukan lokalisasi lesi HNP sesuai dermatom yang terkena. Gangguan sensorik lebih bermakna dalam menunjukkan informasi lokalisasi dibanding motoris.6 E. Tanda-tanda perangsangan meningeal : Tanda Laseque atau modifikasinya yang positif menunjukkan adanya ketegangan pada saraf spinal khususnya L5 atau S1. Tanda Laseque adalah tanda pre-operatif yang terbaik untuk suatu HNP, yang terlihat pada 96,8% dari 2157 pasien yang secara operatif terbukti menderita HNP dan pada hernia yang besar dan lengkap tanda ini malahan positif pada 96,8% pasien. Adanya tanda Laseque lebih menandakan adanya lesi pada L4-5 atau L5S1 daripada herniasi lain yang lebih tinggi (L1-4), dimana tes ini hanya positif pada 73,3% penderita.7 Harus diketahui bahwa tanda Laseque berhubungan dengan usia dan tidak begitu sering dijumpai pada penderita yang tua dibandingkan dengan yang muda (<30 tahun).

Karena tanda Laseque tidak patognomonis untuk suatu HNP, maka bila tidak dijumpai pada seseorang yang umurnya kurang dari 30 tahun dengan sangat mungkin akan menyingkirkan diagnosis HNP. II.9 Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: Pada pemeriksaan laboratorium rutin penting untuk melihat; laju endap darah (LED), kadar Hb, jumlah leukosit dengan hitung jenis, dan fungsi ginjal. Pemeriksaan Radiologis : Foto rontgen biasa (plain photos) sering terlihat normal atau kadang-kadang dijumpai penyempitan ruangan intervertebral, spondilolistesis, perubahan degeneratif, dan tumor spinal. Penyempitan ruangan intervertebral kadang-kadang terlihat bersamaan dengan suatu posisi yang tegang dan melurus dan suatu skoliosis akibat spasme otot paravertebral. CT scan adalah sarana diagnostik yang efektif bila vertebra dan level neurologis telah jelas dan kemungkinan karena kelainan tulang. Mielografi berguna untuk melihat kelainan radiks spinal, terutama pada pasien yang sebelumnya dilakukan operasi vertebra atau dengan alat fiksasi metal. CT mielografi dilakukan dengan suatu zat kontras berguna untuk melihat dengan lebih jelas ada atau tidaknya kompresi nervus atau araknoiditis pada pasien yang menjalani operasi vertebra multipel dan bila akan direncanakan tindakan operasi terhadap stenosis foraminal dan kanal vertebralis.3 MRI (akurasi 73-80%) biasanya sangat sensitif pada HNP dan akan menunjukkan berbagai prolaps. Namun para ahli bedah saraf dan ahli bedah ortopedi tetap memerlukan suatu EMG untuk menentukan diskus mana yang paling terkena.

Elektromiografi (EMG) : Pemeriksaan EMG dilakukan untuk : Menentukan level dari iritasi atau kompresi radiks Membedakan antara lesi radiks dengan lesi saraf perifer Membedakan adanya iritasi atau kompresi radiks

Pemeriksaan EMG adalah suatu pemeriksaan yang non-invasif, Motor Unit Action Potentials (MUAP) pada iritasi radiks terlihat sebagai : Potensial yang polifasik

Amplitudo yang lebih besar dan Durasi potensial yang lebih panjang, pada otot-otot dari segmen yang terkena.

Pada kompresi radiks, selain kelainan-kelainan yang telah disebut diatas, juga ditemukan aktivitas spontan pada pemeriksaan EMG berupa fibrilasi di otot-otot segmen terkena atau di otot paraspinal atau interspinal dari miotoma yang terkena. Sensifitas pemeriksaan EMG untuk mendeteksi penderita radikulopati lumbal sebesar 92,47%.10 EMG lebih sensitif dilakukan pada waktu minimal 10-14 hari setelah onset defisit neurologis, dan dapat menunjukkan tentang kelainan berupa radikulopati, fleksopati ataupun neuropati.6 II.10 Penatalaksanaan Penanganan konservatif ` `Tujuan penatalaksanaan secara konservatif adalah menghilangkan nyeri dan melakukan restorasi fungsional. Harus diberikan penerangan yang jelas tentang perjalanan penyakitnya, tes-tes diagnostik, cara-cara pencegahan, peran pembedahan sehingga pasien dapat menilai keadaan dirinya dan mengerti tindakan yang diambil oleh dokter dengan konsekuensi dari terapi yang dipilih. Dalam penanganan umum penderita diberikan informasi dan edukasi tentang hal-hal seperti: sikap badan, tirah baring dan mobilisasi.12 Medikamentosa diberikan terutama untuk mengurangi nyeri yaitu dengan analgetika. Untuk LBP akut secara fakta didapatkan bahwa tidak terdapat NSAID spesifik yang lebih efektif terhadap yang lainnya. Medikasi lain yang dapat diberikan sebagai tambahan adalah relaksan otot, antidepresan trisiklik, dan antiepileptika seperti fenitoin, karbamazepin, gabapentin, dan topiramat. 13 Pada NPB kronik dilakukan terapi perilaku (behaviour therapy) berupa terapi relaksasi dan cognitive behaviour therapy dan harus dilakukan multidisiplin. Dengan cara ini dalam satu tahun diharapkan nyeri terkendali dan secara fungsional meningkat walau secara keseluruhan hanya bersifat paliatif. Pemberian antibiotik jangka pendek asetaminofen, OAINS seperti valdekoksib, diflunisal, willow bark dan relaksan otot seperti tetrasepam, siklo benzaprin berguna pada NPB rekuren yang relaps.5

Penanganan operatif Skiatika dengan terapi konservatif selama lebih 4 minggu: nyeri

Tindakan operatif pada HNP harus berdasarkan alasan yang kuat yaitu berupa: 14 berat/intractable/ menetap/ progresif.

Defisit neurologik memburuk Sindroma kauda ekuina. Stenosis kanal; setelah terapi konservatif tak berhasil. Terbukti adanya kompresi radiks berdasarkan pemeriksaan neurofisiologik dan radiologik.

BAB III RELAKSAN OTOT III.1 Farmakologi Relaksan Otot Pembagian Obat-obat Pelumpuh Otot Berdasarkan perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya,obat-obat pelumpuh otot dapatdibagi menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat pelumpuh otot nondepolarisasi (mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dibagimenjadi 3grup lagi yaitu obat kerja lama, sedang, dan singkat. Obat-obat pelumpuh otot dapat berupasenyawa benzilisokuinolin atau aminosteroid. Obat- obat pelumpuh otot membentuk blokade sarafotot faseIdepolarisasi, blokade saraf-otot fase II depolarisasi atau nondepolarisasi. Struktur KimiaSemua obat pelumpuhotot memiliki kemiripan struktur dengan asetilkolin. Sebagai contoh,suksinilkolin adalah dua molekul asetilkolin yang berikatan pada kedua ujungnya. Sebaliknya, obat-obat nondepolarisasi (misal pancuronium) mempunyai struktur ganda asetilkolin dalam satu dari dua tipe sistem cincin besar dan semi-kaku. Ciri kimiawi lain yang dimiliki oleh semua pelumpuh otot adalahkeberadaan satu atau dua atom amonium kuartener yang memberi muatan positif pada nitrogen untuk berikatanpada reseptor nikotinik membuat obat-obat ini sulit larut dalam lemak dan menghambat entrinya ke sistem saraf pusat. Mekanisme kerja seperti yang telah disebut sebelumnya, obat pelumpuh otot depolarisasi sangat mirip dengan asetilkolin dan dapat segera berikatan pada reseptor asetilkolin dan membentuk potensial aksi otot. Namun, obat-obat ini tidak di metabolisme oleh asetilkolinesterase dan konsentrasinya dalam celah sinaptik tidak turun dengan cepat sehingga memperpanjang depolarisasi end-plate otot. Depolarisasi end-plate secara kontinu menimbulkan relaksasi otot karena pembukaan lower gate di sekitar persimpangan channel natrium sangat singkat. Setelah eksitasi awal dan pembukaan, channel natrium akan menutup dan tidak dapat membuka kembali sampai repolarisasi end-plate. End-plate tidak dapat berepolarisasi sepanjang pelumpuh otot depolarisasi terus mengikatkan diri pada reseptor asetilkolin; disebut blok fase I. Setelah beberapa waktu, pemanjangan depolarisasi end-plate dapat menyebabkan perubahan ionik dan konformasional di dalam reseptor

asetilkolin, inisiasi depolarisasi end-plate akan menurun dan membran mengalami repolarisasi. Meskipun membran mengalami repolarisasi, membran tidak dapat dengan mudah mengalami depolarisasi lagi karena telah mengalami desensitisasi. Mekanisme fase desensitisasi tidak di ketahui, namun beberapa bukti mengindikasikan bahwa blok channel mungkin lebih penting dari pada aksi agonis pada reseptor dalam fase II aksi blok suksinilkolin. Blok fase II secara klinis menyerupai blok obat pelumpuh otot non depolarisasi. Obat pelumpuh otot non depolarisasi mengikat diri ke reseptor asetilkolin tapi tidak mampu menginduksi perubahan konformasional yang dibutuhkan untuk pembukaan channel. Karena asetilkolin dicegah untuk berikatan dengan reseptornya, tidak tercetus potensialend-plate. Blokade saraf-otot terjadi bila hanya satu sub unit yang di blok. Oleh sebab itu obat pelumpuh otot depolarisasi bekerja sebagai agonis reseptor, sedangkan obat pelumpuh otot nondepolarisasi berfungsi sebagai antagonis kompetitif. III.2 Farmakokinetik Relaksan Otot Obat pelumpuh otot adalah kelompok amonium kuartener yang merupakan senyawa larut dalam air yang mudah terionisasi pada pH fisiologis, dan memiliki kelarutan yang terbatas dalam lipid. Volume distribusi obat-obat ini terbatas dan sama dengan volume cairan ekstraseluler (kira-kira 200 mL/kg). Sebagai tambahan, obat pelumpuhotot tidak dapat dengan mudah melewati sawar membran lipid seperti sawar darah otak, epitel tubulus renal, epitel gastrointestinal, atau plasenta. Oleh karena itu, obat pelumpuh otot tidak dapat mempengaruhi sistem saraf pusat, reabsorpsinya di tubulus renal minimal, absorpsi oral yang tidak efektif dan pemberian pada ibu hamil yang tidak mempengaruhi fetus. Redistribusi obat pelumpuh otot nondepolarisasi juga memainkan peran dalam farmakokinetik obat-obat ini. Klirens plasma, volume distribusi, dan waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot dapat dipengaruhi oleh usia, anestesi volatil, dan penyakit hati atau ginjal. Eliminasi renal dan hepatik dibantuoleh fraksi pemberian obat yang besar karena sifatnya yang mudah mengalami ionisasi sehingga mempertahankan konsentrasi plasma obat yang tinggi dan juga mencegah reabsorpsi renal obat yang dieksresi. Penyakit ginjal sangat mempengaruhi farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi kerja lama. Obat pelumpuh otot tidak terlalu kuat terikat pada protein plasma (sampai 50%) dan tampaknya bila ada perubahan ikatan protein tidak akan menimbulkan efek yang signifikan pada eksresi ginjal obat pelumpuh otot. Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung setelah pemberian cepat intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang hilang dari

plasma dicirikan dengan penurunan inisial cepat (distribusi ke jaringan) diikutipenurunan yang lebih lambat (klirens). Meskipun terdapat perubahan distribusi dalamaliran darah, anestesi inhalasi memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada farmakokinetik obat pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi volatil mencerminkan aksi farmakodinamik, seperti dimanifestasikan oleh penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi volatil. Bila volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein, dehidrasi, atau perdarahan akut, dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi plasma yang lebih tinggi dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan durasi kerja obat-obat ini saat diberikan sebagai injeksi cepat intravena III.3 Indikasi dan Mekanisme Kerja Relaksan Otot Relaksan otot adalah salah satu dari sekian macam obat-obatan yang digunakan dalam pengobatan NPB. Namun istilah relaksan otot mengandung pengertian yang luas termasuk sederetan obat-obatan yang berbeda indikasi dan mekanisme kerjanya. Relaksan otot tertentu digunakan untuk maksud tertentu, misalnya:15 Golonga neuromuskular blocker Mendapatkan relaksasi otot selama pembedahan Mencegah terjadinya pencederaan pada penderita yang akan mendapat terapi elektrokonvulsi Golongan antispasmodik Mengurangi spasme otot tanpa mempengaruhi gerakannya, misalnya pada NPB, rematik dengan kekakuan otot dan keadaan spastik lainnya. Berdasarkan sedian yang tersedia di Indonesia dan tergolong relaksan otot, menurut IMS edisi 2004 dapat dilihat pada tabel: Relaksan oto Dosis Untuk intubasi/anestesi Golongan neuromuscular blocker Succinylcholine 1mg/kg Atracurium 0,4-0,5 mg/kgIV besylate Pancuronium Br 0,05-0,08 mg/kg IV Rocuronium Br 0,6 mg/kg IV Vecuronium Br 80-100 mg/kg IV Untuk spasme otot golongan antispasmodik Efek samping Gangguan Kardiovaskuler Bronchospasm, takikardi Kontra Indikasi

Gangguan kardiovaskular

Baclofein Chlorzoxazone Eperisone HCl Tizanidine HCl

3 x 5 mg, PO 3 x (100-200) mg, PO 3 x 50 mg, PO 3 x (2-4) mg, PO

Mengantuk, penekanan SSP Mengantuk, gangguan saluran cerna Lemah, gangguan saluran cerna Mengantuk, gangguan hati

Hipersensitif Hipersensitif Gangguan hati & ginjal Hamil

Golongan neuromuscular blocker Bila impuls menjalar ke ujung syaraf motorik akan menyebabkan pembebasan Ach yang pada gilirannya akan mengaktifkan reseptor, membuka saluran ion, masuknya ion Na dan mulai terjadi depolarisasi dan kontraksi otot. Berdasarkan cara kerjanya, sediaan dari golongan ini dibagi atas 2 kelompok, yaitu: Antagonis kompetitif dengan Ach sehingga tidak timbul depolarisasi dan akibatnya terjadi flaccid paralysis, contohnya: atracurium, cisatracurium, mivacurium, pancurium, rocuronium, dan vecuronium. Sediaan yang paling potn dari golongan ini dan tidak digunakan lagi adalah tubocurarine. Agonis terhadap reseptor Ach dan menimbulkan depolarisasi contohnya: suxamethonium dan succinylcholin. Setelah pemberiaan sediaan agonis Ach ini terjadi fasciculasi otot. Golongan antispasmodik Banyak sediaan yang termasuk golongan anti spasmodik yang tercantum dalam IMS, misalnya dantrolene, sediaan yang bekerja langsung pada otot dengan cara mencegah pembebasan calcium dari gudang sarcoplasma. Antispasmodik digunakan untuk mengurangi spasme otot yang dikaitkan dengan nyeri seperti pada NPB. Antispasmodik dibagi atas dua kelompok, yaitu golongan benzodiazepin dan non-benzodiazepin (Jackson & Ryan, 1993). Benzodiazepin (misalnya diazepam, tetrazepam) digunakan sebagai anti-anxiety, sedativa hipnotika, anti-konvulsan dan relaksan otot. Secara umum, tidak ada perbedaan diantara derivat benzodiazepin dalam efektivitasnya, namun perbedaan farmakokinetik diantara sediaan ini menjadi perimbangan penting dalam peresepannya. Non-benzodiazepin terdiri dari beragam sediaan yang bekerja di otak atau medula spinalis, misalnya:

Cyclobenzaprine memiliki struktur kimia mirip dengan anti-depresan trisiklik, bekerja di SSP dengan efek samping sedasi paling nyata (Lofland dkk, 2011). Cyclobenzaprine dan orphenadrine memiliki kerja antikolinergik. Carisoprodol menghambat aktivitas interneuron formatio reticularis desenden dan medulla spinalis. Sediaan ini di metabolisme menjadi meprobamat yang berkhasiat sebagai anti-anxiety. Penggunaan yang berlebihan akan menimbulkan ketagihan. Kelihatannya carisoprodol telah menjadi sediaan yang tak dikenal untuk disalah gunakan di masyaraka kita (Bailey &Briggs, 2002). Carisoprodol dan metaxalone menunjukkan khasiat anti spasmodik yang sedang. Chlorzoxazone bekerja ditingkat subcortical dan medulla spinalis, menghambat refleks multisynaptik. Tolperisone memiliki aktifitas seperti lidocaine dan menstabilkan membran syaraf. Sediaan ini menghambat refleks mono- dan polysynaptik di medulla spinalis tanpa efek sedasi (Pratzel dkk, 1996). Dantrolene sebagai anti spastisitas bekerja pada sistem syaraf tepi yaitu dengan cara menghambat saluran calcium reticulum sarcoplasma. Hal ini akan mengurangi kadar calcium yang diikuti dengan berkurangnya interaksi actin-myosin. Baclofen secara kimiawi memiliki struktur gama-amino-butyric acid (GABA), inhibitor transmitter SSP, menghambat aktivitas refleks terutama di medulla spinalis dan juga menekan SSP.

Berdasarkan mekanisme kerjanya, sediaan relaksan otot golongan anti spasmodik terbagi atas (Abruzzese, 2002): Antidepresant, misalnya cyclobenzaprine dan orphenadrine GABA agonist, misalnya baclofen Alpha-2 agonist, misalnya eperisone, tolperisone dan tizanidine Na-channel blocker, misalnya eperisone dan tolperisone Ca-channel blocker, misalnya dantrolene

BAB IV PENGGUNAAN RELAKSAN OTOT PADA NYERI PUNGGUNG BAWAH

III.1 Khasiat Relaksan Otot pada Pengobatan NPB Van Tulder dkk (2003) mengkaji secara sistematis khasiat relaksan otot pada pengobatan NPB dibandingkan dengan placebo, paracetamol, AINS, atau relaksan otot lain dan perbandingan khasiat kombinasi relaksan otot dan analgetik/AINS dengan kombinasi placebo dengan analgeitk AINS. Dibandingkan dengan placebo, diazepam menunjukkan khasiat yang nyata pada pengobatan NPB akut namun dengan efek samping SSSP yang menonjol pula. Berbagai sediaan non-benzodiazepin terbukti menunjukkan khasiat yang nyata pada pengobatan NPB akut dibandingkan placebo. Bukti yang kurang meyakinkan khasia sediaan non-benzodiazepin untuk mengobati NPB khronis dan sediaan benzodiazepin untuk mengobati NPB akut. Kelompok studi ini tidak menemukan laporan uji klinik tercak membandingkan relaksan otot dengan analgetik parasetamol atau AINS. Kombinasi relaksan otot dengan analgetik atau AINS memberikan khasiat yang lebih nyata dibandingkan dengan analgetik atau AINS saja pada pengobatan NPB akut. Kelompok peneliti ini secara berkesinambungan mencari bukti khasiat relaksan otot pada pengobatan NPB. Dari kajian meta analisis terkhir van Tulder dkk (2004) menyatakan bahwa relaksan otot merupakan sediaan yang efektif dalam menanggulangi NPB nonspesifik. Kelompok ini menganjurkan untuk membandingkan relaksan otot dengan analgetika atau AINS. Kelompok peneliti lain (Chou dkk, 2004) juga mendapatkan hasil kajian meta analisis yang sama, dimana relaksan otot non-benzodiazepin berkhasiat dalam pengobatan NPB akut.15 III.2 Khasiat Analgesik Relaksan Otot Nyeri merupakan keluhan utama NPB disamping spasme otot. Sediaan analgetik antiinflamasi non-steroid telah terbukti khasiatnya dan menempati level 1 pada pengobatan NPB

(van Tudler dkk, 2004).9 Beberapa relaksan otot dalam sediannya selalu digabungkan dengan analgetik parasetamol, misalnya carisoprodol, chlorzoxazone dan orphenadrine. Tetapi ada sedian relaksan ototyang tidak perlu digabungkan dengan analgetik yaitu dari sediaan yang bekerja sebagai alpha-2 adrenoceptor agonist (eperisone, tolperisone, dan tizanidin). Jain dkk (2002) mendapatkan bahwa tizanidin seperti clonidin, secara bermakna meningkatkan khasiat analgetik dan anti-inflamasi AINS. Dari pengkajian pada hewan coba diperlihatkan bahwa sodium channel blocker eperisone dan tolperisone menunjukkan khasiat analgetika yang dikaitkan dengan kerja anestesi lokalnya (Sakaue dkk, 2004).15 Sediaan relaksan otot yang selalu digunakan (Gow, 2003) Kandungan bahan aktif Carisoprodol 175mg + Paracetamol 350mg Chlorzoxazone 250mg + paracetamol 300mg Orphenadrine citrate 35mg + paracetamol 500mg Eperisone hydrochloride 50mg Tolperisone hydrochloride 50mg Tizanidine hydrochloride 4mg

III.3 Relaksan Otot Eperisone Relaksan otot pada umumnya dibedakan menjadi 2 kelas: (1) yang hanya bekerja pada neurmuscular junction, dengan cara menstabilkan sistem neuromuskular dan menghambat sistem kolinergik, dan (2) relaksan otot yang kerja sentral. Eperisone HCL merupakan salah satu contoh relaksan otot yang bekerja dengan cara: (1) menghambat aktivitas motor neuron, (2) menghmbat kontraksi otot dengan cara antagonis pada reseptor nikotinik (3) blokade saluran Ca pada otot polos (terutama pembulu darah), hal ini akan memperbaiki aliran darah ke otot dan (4) antagonis substansia P yang dihasilkan oleh motor neuron dan bradikinin (ITF,1996)15 Eperisone sebagai relaksan otot bekerja secara sentral dan perifer. Eperisone mampu: Menghambat influks natrium dengan cara memblock Na-channel sehingga potensial aksi tidak berlangsung. Merangsang reseptor alfa-2 adrenergik di synap sehingga pembebasan neurotransmiter nyeri (Substansia P, glutamat) terhalang Antagonis mediator inflamasi bradikinin Kenyataan ini menyebabkan eperisone mampu merelaksasi otot, mengurangi nyeri spasme dan memberikan efek seperti anastesi lokal. Selain itu sebagai penghambat

reseptor alfa-2 adrenergik akan mendilatasi pembuluh darah dan pada gilirannya berguna dalam memobilisasi asam laktat yang tertumpuk di otot. Meskipun hasil uji klinik telah terbukti bahwa eperisone berkhasiat pada pengobatan NPB, namun ketersediaan hayatinya pasca pemberian per-oral ckup rendah. Hal ini dikarenakan eperisone mengalami metabolisme lintas pertama yang hebat di saluran cerna. Yang dkk (2004) mencoba memberikan eperisone dengan cara lain yaitu secara transdermal. Kelompok peneliti ini menemukan bahwa eperisone meningkat sesuai dengan pertamnbahan dosis. Selain itu khasiatnya bertahan lebih lama, yaitu lebih dari 24 jam dibandingkan bila diberikan peroral khasiatnya berlangsung sekitar 2 jam.15 III.4 Efek Samping Relaksan Otot Berbagai hasil kajian melaporkan efek samping relaksan otot yang paling sering adalah mengantuk dan pening. Salerno dkk (2002) sebelumnya juga telah melaporkan bahwa antidepresan memberikan khasiat yang nyata dalam mengurangi nyeri pada penderita NPB kronis, tapi dengan efek samping SSP yang bermakna pula dibandingkan denga placebo. 15 Chlorzoxazone dapat menimbulkan hepatotoksik yang fatal, meskipun kejadiannya jarang. Chou dkk (2004) menjumpai bahwa penggunaan tizanidin disertai dengan keluhan mulut kering yang nyata, sementara penggunaan baclofen disertai dengan kelemahan yang bermakna. Enam minggu setelah pemberian tizanidin untuk mengobati spasme otot tungkai bawah terjadi efusi pleura yang hebat, efusi menghilang 4 minggu setelah pemberian tizanidine dihentikan (Moufarrage dkk, 2003).15

BAB V KESIMPULAN Pemahaman mekanisme nyeri pada penderita NPB sangat bermanfaat dalam pemilihan terapi yang efektif. Pemilihan terapi farmakologik ditentukan oleh sifat akut atau kronik. Tergantung pula pada berat ringannya nyeri dan mekanisme yang mendasari nyeri. Analgetik maupun OAINS dapat digunakan untuk nyeri inflamasi. Spasme otot yang sering terlihat padapenderita NPB dapat diterapi dengan muscle relaxant. Pasien nyeri neuropatik dapat diberikan anti depressan, dan anti konvulsan.5,15 Relaksan otot dari golongan non-benzodiazepin terbukti nyata berkhasiat dalam pengobatan NPB akut, tetapi terhadapNPB kronis belum bermakna. Sampai saat ini belum diketahui apakah relaksan otot lebih efektif daripada analgetika atau AINS dalam penanggulangan NPB karena belum ada kajian yang pernah dilakukan. Relaksan otot harus digunakan hati-hati mengingat efek samppingnya yang berhubungan dengan mekanisme kerjanya dalam mendapatkan terapi. Relaksan otot lebih dianjurkan untuk digunakan menjelang tidur.15

DAFTAR PUSTAKA 1. Sadeli HA, Tjahjono B. Nyeri punggung bawah. Dalam: Nyeri Neuropatik, patofisioloogi dan penatalaksanaan. Editor: Meliala L, Suryamiharja A, Purba JS, Sadeli HA. Perdossi, 2001:145-167. 2. 3. 4. 5. 6. Anderson GBJ. Epidemiological features of chronic low back pain. Lancet 1999; 354:581-5. Wheeler AH, Stubbart JR. Pathophysiology of Chronic Back Pain. (Cited Jan 2004) Available from: URL http://www.emedicine.com/neuro/topic516.htm . Sidharta P. Anamnesa kasus nyeri di ekstermitas dan pinggang. Sakit pinggang. In: Tata pemeriksaan klinis dalam neurologi. Jakarta : Pustaka universitas, 1980: 64-75. Meliala L, Suryamiharja A, Wirawan RB, Sadeli A, Amir D. Nyeri neuropatik. Yogyakarta: Press Medikagama, 2008: 159-173. Feske SK, Greenberg SA. Degenerative and compressive structural disorders. In: Textbook of Clinical Neurology. 2nd Ed., Ed. Goetz CG. Philadelphia: Saunders 2003; 583-600. 7. Rumawas RT. Nyeri pinggang bawah (Pandangan umum). Kumpulan makalah lengkap Kongres Nasional Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia (PERDOSSI). Palembang, 8-12 Desember 1996. 8. 9. Cohen RI, Chopra P, Uphshur C. Low back pain, part 1: Primary care work-up of acute and chronic symptoms. Geriatrics 2001; 11: 26-37. Van Tulder MW, Touray T, Furland AD, Solway S, Bouter LM. Muscle relaxants for non-spesific low-back pain ( Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue 2, 2004 10. 11. Wibowo BS, Tonam.. Evaluasi elektromiografik pada nyeri pinggang bawah. Neurona 2002: 4: 11-17. Widjaja S. Aspek rehabilitasi low back pain. Kumpulan makalah lengkap Kongres Nasional Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia (PERDOSSI). Palembang, 8-12 Desember 1996. 12. Bimaariotejo. Low Back Pain. Available at:
http://bimaariotejo.wordpress.com/2009/07/07/low-back-pain-lbp/

13. 14. 15.

Cohen RI, Chopra P, Uphshur C. Low back pain, part 2: Guide to conservative, medical, and procedural therapies. Geriatrics 2001; 11: 38-47. Meliala L, Suryamiharja A, Purba JS, Anggraini H. Penuntun praktis penanganan nyeri neuropatik. Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI 2000. Maham J, Runtuwane TH, Siwi RC, Karema W, Wagiu SA. Pertemuan Ilmiah Nasional I Klompok Studi Nyeri PERDOSSI. Menado, 29-30 April 2005: 49-57.

Anda mungkin juga menyukai