Anda di halaman 1dari 49

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA PELVIS


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat
Dosen : Ns. Riani,S.Kep,M.Kes

Disusun Oleh:

1. YENI EKA PRASETYA


2. NURUL WAHIDA
3. RENNY RESKI PUTRI
4. NOVITA DIAN SARI
5. DHEA NURAFIFAH
6. MELANI PUTRIYA
7. LARA SANTRI
8. AYU LESTARI
9. PAZIRA
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PAHLAWAN TUANKU TAMBUSAI
T.A 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa berkat

limpahan rahmat dan hidayahNya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan

makalah ini. Makalah yang berjudul Asuhan Keperawatan Trauma Pelvis ini

disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat tahun

akademik 2021. Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini tanpa adanya

bimbingan, dorongan, motivasi, dan doa, makalah ini tidak akan terwujud.Untuk

itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ns. Riani,S.Kep,M.Kes , selaku

dosen mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat yang telah membimbing dalam

kegiatan belajar mengajar. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi

pembacanya khususnya mahasiswa dan masyarakat umum.

Akhir kata penulis menyadari makalah ini masih banyak kesalahan, baik

dalam penulisan maupun informasi yang terkandung didalam makalah ini, oleh

karena itu penulis mengharapkan kritik maupun saran yang membangun demi

perbaikan dan kesempurnaan dimasa yang akan datang.

Bangkinang, April 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI          

KATA PENGANTAR.................................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................1
1.3 Tujuan...............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Anatomi Pelvis.................................................................................................3
2.2 Klasifikasi Trauma Pelvis................................................................................8
2.3 Mekanisme Injuri Yang Menyebabkan Trauma Plevis.................................11
2.4 Manifestasi Klinis..........................................................................................12
2.5 Penilaian Untuk Fraktur Pelvis......................................................................13
2.6 Komplikasi ....................................................................................................16
2.7 Penatalaksanaan.............................................................................................17
2.8 Pemeriksaan Diagnosis..................................................................................18
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN......................................................................19
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ...................................................................................................45
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................46

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fraktur pelvis berkekuatan tinggi merupakan cedera yang membahayakan
jiwa. Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum namun
terutama lazim dengan fraktur berkekuatan tinggi. Kira-kira 15–30% pasien
dengan cedera pelvis berkekuatan tinggi tidak stabil secara hemodinamik, yang
mungkin secara langsung dihubungkan dengan hilangnya darah dari cedera pelvis.
Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan fraktur
pelvis, dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35% pada fraktur pelvis
berkekuatan-tinggi rangkaian besar (chris jack, 2009).
Karena trauma multipel biasanya terjadi pada pasien dengan fraktur
pelvis,hipotensi yang terjadi belum tentu berasal dari fraktur pelvis yang terjadi.
Pasien dengan fraktur pelvis mempunyai 4 daerah potensial perdarahan
hebat,yaitu permukaan tulang yang fraktur, trauma pada arteri di pelvis, trauma
pada plexusvenosus pelvis, sumber dari luar pelvis.
Berdasarkan uraian diatas kelompok akan menjelaskan bagaimana
mekanisme fraktur pelvis sehingga menyebabkan gangguan serta bagaimana
penangan yang dapat dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana anatomi pelvis?
2. Apa saja klasifikasi trauma pelvis?
3. Bagaimana mekanisme injuri yang menyebabkan trauma pelvis?
4. Apa sitem penilaian fraktur pelvis?
5. Apa saja komplikasi trauma pelvis?
6. Bagaimana penatalaksanaan trauma pelvis?
7. Apa saja pemeriksaan diagnosis trauma pelvis?

1
1.3 Tujuan
Tujuan makalah ini dibuat adalah:
1. Mengetahui bagaimana anatomi pelvis.
2. Mengetahui apasaja klasifikasi trauma pelvis.
3. Mengetahui bagaimana mekanisme injuri yang menyebabkan trauma pelvis.
4. Mengetahui apa sitem penilaian fraktur pelvis.
5. Mengetahui apasaja komplikasi trauma pelvis.
6. Mengetahui bagaimana penatalaksanaan trauma pelvis.
7. Mengetahui apasaja pemeriksaan diagnosis trauma pelvis.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Anatomi Pelvis


Pelvis adalah daerah batang tubuh yang berada di sebelah dorso kaudal
terhadap abdomen dan merupakan daerah peralihan dari batang tubuh ke
extremitas inferior. Pelvis bersendi dengan vertebra lumbalis ke-5 di bagian atas
dan dengan caput femoris kanan dan kiri pada acetabulum yang sesuai. Pelvis
dibatasi oleh dinding yang dibentuk oleh tulang, ligamentum, dan otot. Kavitas
pelvis yang berbentuk seperti corong, memberi tempat kepada vesica urinaria, alat
kelamin pelvic, rectum,pembuluh darah dan limfe, dan saraf (Syaifuddin,2014).
Pelvis merupakan struktur mirip cincin yang terbentuk dari tiga tulang
yaitu sacrum dan dua tulang innominata, yang masing-masing terdiri dari ilium,
ischium dan pubis. Tulang-tulang innominata menyatu dengan sacrum di bagian
posterior pada dua persendian sacroiliaca di bagian anterior, tulang-tulang ini
bersatu pada simfisis pubis. Simfisis bertindak sebagai penopang sepanjang
memikul beban berat badan untuk mempertahankan struktur cincin pelvis.
Kerangka pelvis terdiri dari:dua os coxae yang masing-masing dibentuk oleh tiga
tulang : os ilii, os ischii, dan os pubis,os sacrum (Syaifuddin, 2014).
1. Os sacrum terdiri dari lima vertebrae rudimenter yang bersatu membentuk
tulang berbentuk baji yang cekung ke arah anterior. Pinggir atas atau basis
os sissacri bersendi dengan vertebra lumbalis V. Pinggir inferior yang
sempit bersendi dengan oscoceygis. Dilateral,os sacrum bersendi dengan
kedua osc oxae membentuk articulation sacroiliaca. Pinggir anterior dan
atas vertebra sacralis pertama menonjol ke depan sebagai batas posterior
apertura pelvis superior,disebut promontorium os sacrum,yang merupakan
bagian penting bagi ahli kandungan untuk menentukan ukuran pelvis.
Foramina vertebralia bersama-sama membentuk canalis sacralis. Canalis
sacralis berisi radix anterior dan posterior nervilumbales, sacrales, dan
coccygeus filum terminale dan lemak fibrosa. Oscoccygis berarti kulasi

3
dengan sacrum di superior. Tulang ini terdiri dari empat vertebra
rudimenter yang bersatu membentuk tulang segitiga kecil yang basisnya
bersendi dengan ujung bawah sacrum. Vertebra koksigeus hanya terdiri
atas korpus, namun vertebra pertama mempunyai processus transverses
rudimenter dan cornu coccygeum. Kornu adalah sisa pedikulus dan
processus articularis superior yang menonjol ke atas untuk bersendi
dengan kornu sakral. Saat dewasa tulang innominata menyatu seluruhnya
pada asetabulum.
2. Ilium. Batas atas tulang ini adalah Krista iliaka. Krista iliaka berjalan ke
belakang dari spina iliaka anterior superior menuju spina iliaka posterior
superior. Dibawah tonjolan tulang ini terdapat spina inferior nya.
Permukaan aurikulari silium disebut permukaan glutealis karena disitulah
pelekatan gluteus. Linea glutealis inferior, anterior, dan posterior
membatasi pelekatan glutei ketulang. Permukaan dalam ilium halus dan
berongga membentuk fosa iliaka. Fosa iliaka merupakan tempat melekat
nya m.iliakus. Permukaan aurikularis ilium berarti kulasi dengan sacrum
pada sendi sakro iliaka (sendi sinovial). Ligamentum sakro iliaka
posterior,interoseus,dan anterior memperkuat sendi sakro iliaka. Linea
iliopektinealis berjalan disebelah anterior permukaan dalam ilium dari
permukaan aurikularis menuju pubis.
3. Iskium. Iskium terdiri dari spina di bagian posterior yang membatasi insi
surai skiadika mayor (atas) dan minor (bawah). Tuber ositasiskia adalah
penebalan bagian bawah korpus iskium yang menyangga berat badan saat
duduk. Ramus iskium menonjol ke depan dari tuber ositas ini dan bertemu
serta menyatu dengan ramus pubis inferior.
4. Pubis,terdiri dari korpus serta rami pubis superior dan inferior. Tulang ini
berarti kulasi dengan tulang pubis di tiap sisi simfisis pubis. Permukaan
superior dari korpus memiliki krista pubikum dan tuber kulum pubikum.
(Syaifuddin,2014 dan Rabe,2003).
Foramen obturatorium merupakan lubang besar yang dibatasi oleh rami
pubis dan iskium. Tiga tulang dan tiga persendian tersebut menjadikan cincin

4
pelvis stabil oleh struktur ligamentosa,yang terkuat dan paling penting adalah
ligamentum-ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum-ligamentum ini
terbuat dari serat oblik pendek yang melintang dari tonjolan posterior sacrum
sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan spina iliaca posterior inferior
(SIPI) seperti hal nya serat longitudinal yang lebih panjang melintang dari sacrum
lateral sampai ke spina iliaca posterior superior ( SIPS ) yang bergabung dengan
ligamentum sacrotuberale ( Rabe,2003 ).
Gambar 1.Pandangan posterior (A) dan anterior (B) dari ligamentum
pelvis.

Ligamentum sacro iliaca anterior jauh kurang kuat dibandingkan dengan


ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum sacro tuberale adalah sebuah
jalinan kuat yang melintang dari sacrum postero lateral dan aspek dorsal spina
iliaca posterior sampai ke tuberischiadicum. Ligamentum ini,bersama dengan
ligamentum sacro iliaca posterior,memberikan stabilitas vertikal pada pelvis.
Ligamentum sacro spinosum melintang dari batas lateral sacrum dan coccygeus
sampai ke ligamentum sacrotuberale dan masuk ke spina ischiadica. Ligamentum
iliolumbale melintang dari processus transversus lumbalis ke empat dan ke lima
sampai ke crista iliaca posterior;ligamentum lumbosacrale melintang dari
processus transversus lumbalis ke lima sampai ke ala ossissacri
(Syaifuddin,2014).

5
Gambar 2. Aspek internal pelvis yang memperlihatkan pembuluh darah mayor yang terletak pada dinding
dalam pelvis.

Arteri iliaca communis terbagi, menjadi arteri iliaca externa, yang terdapat
pada pelvis anterior di atas pinggiran pelvis. Arteri iliaca interna terletak di atas
pinggiran pelvis. Arteri tersebut mengalir ke anterior dan dalam dekat dengan
sendi sacrol iliaca. Cabang posterior arteri iliaca interna termasuk arteri
iliolumbalis, arteri glutea superior dan arteri sacralis lateralis. Arteri glutea
superior berjalan ke sekeliling menuju bentuk panggul lebih besar, yang terletak
secara langsung di atas tulang. Cabang anterior arteri iliaca interna termasuk arteri
obturatoria,arteri umbilicalis, arterivesicalis, arteri pudenda, arteriglutea inferior,
arteri rectalis dan arteri hemoroidalis. Arteri pudenda dan obturatoria secara
anatomis berhubungan dengan rami pubis dan dapat cedera dengan fraktur atau
perlukaan pada struktur ini. Arteri-arteri ini dan juga vena-vena yang menyertai
nya seluruhnya dapat cedera selama adanya disrupsi pelvis. Arteri iliaca externa
memperdarah otot dan tulang paha,kulit genetalia externa, dan dinding abdomen
bagian luar ( Rabe,2003 ).
Pemahaman tentang anatomi pelvis akan membantu untuk mengenali pola
fraktur mana yang lebih mungkin menyebabkan kerusakan langsung terhadap
pembuluh darah mayor dan mengakibatkan perdarahan retroperitoneal signifikan.
Dinding pelvis dapat dibedakan atas dinding ventral, dua dinding lateral,
dinding dorsal,dan sebuah dasar pelvis.
1. Dinding pelvis ventral pertama-tama dibentuk oleh kedua corpus ossis
pubis dan ramusossis pubis serta symphisis pubica.

6
2. Dinding-dinding pelvis lateral memiliki kerangka tulang yang dibentuk
oleh bagian-bagian os coxae. Musculus obturator internus menutupi hampir
seluruh dinding-dinding ini. Medial terhadap musculus obtura torinternuster dapat
nervus obturatorius dan pembuluh obturatoria, dan cabang lain dari pembuluh
iliaca interna. Masing-masing musculus obtura torinternus meninggalkan pelvis
melalui foramen ischiadicum minus dan melekat pada femur (osfemoris).
Dinding pelvis dorsal dibentuk oleh sacrum,bagian-bagian osischii yang
berdekatan, dan articulation sacro iliaca serta ligamen tasacro iliaca. Musculus
piriformis melapisi dinding ini disebelah lateral. Masing-masing musculus
piriformis meninggalkan pelvis minor melalui foramen ischiadicum (sciaticum)
majus. Medial terhadap musculus piriformis terdapat saraf-saraf dari plexus
sacralis dan pembuluh iliaca interna serta cabangnya.
3. Dasar pelvis dibentuk oleh diaphragma pelvis yang dibentuk oleh
musculus levatorani dan musculus coccygeus serta fascia-fascia yang menutupi
permukaan cranial dan permukaan kaudal otot tersebut.
Diaphragma pelvis terbentang antara os pubis disebelah ventral,dan
oscoccyges di sebelah dorsal, dan dari dinding-dinding pelvis lateral yang satu ke
dinding-dinding pelvis lateral di seberangnya. Karena itu, diaphragma pelvis
menyerupai sebuah corong yang tergantung pada tempat perlekatan tadi (Rabe,
2003).

7
Berikut perbedaan bentuk panggul pria dan wanita.
Pria Wanita
Dinding pelvis spurium tajam/curam, Dinding pelvis spurium
SIAS menghadap ke medial dangkal,SIAS menghadap ke ventra

Apertura pelvis superior berbentuk heart- Apertura pelvis superior berbentuk


shaped,lengkung,dengan promontorium oval.
Ossacrum menonjol ke anterior.
Pelvis verum merupakan segmen panjang Pelvis verum merupakan segmen
Suatu kerucut pendek. Pendek suatu kerucut panjang.

Rongga panggul lebih kecil 0,5-1,5cm di Pada wanita,ukuran-ukuran diameter


bandingkan wanita. rongga panggul lebih besar
(perbedaan sampai sebesar 0.5-1.5
cm).
Apertura pelvis inferior berbentuk Apertura pelvis inferior berbentuk
Lonjong dan kecil. bundar,diameter lebih besar.

Angulussub pubicus merupakan sudut Angulussub pubicus adalah sudut


tajam/kecil. lebar/besar.

Kelenjar prostat, vesikula Organ genetalia yang berada di


seminalis,penis,testis. cavum pelvis yaitu ovarium,tuba
uteri falopii,uterus,monsveneris,
labia mayor kanan dan kiri,labia
Minora kanan dan kiri diatas
bertemu membentuk
klitoris,O.U.E(orivisium uretra
externum) di bawah nya terdapat
orivisium vagina( lubang vagina).

8
2.2. Klasifikasi Trauma Pelvis
1. Klafikasi Tile
Menurut Tile (1988) ia membagi fraktur pelvis ke dalam cidera yang stabil,
cidera yang secara rotasi tak stabil dan cidera yang secara rotasi dan vertikal tak
stabil.
a Tipe A/stabil
Tipe A/stabil ini temasuk avulse dan fraktur pada cincin pelvis dengan sedikit atau
tanpa pergeseran.

b Tipe B/rotasi tak stabil


Tipe B/ rotasi tak stabil yaitu secara rotasi tidak stabil tapi secara vertikal stabil.
Daya rotasi luar yang mengena pada satu sisi pelvis dapat merusak dan membuka
simfisis biasa disebut fraktur open book atau daya rotasi internal yaitu tekanan
lateral yang dapat menyebabkan fraktur pada rami iskio pubik pada salah satu atau
kedua sisi juga disertai cidera posterior tetapi tidak ada pembukaan simfisis.

9
c Tipe C/secara rotasi dan vertikal tak stabil
Tipe C yaitu secara rotasi dan vertical tak stabil, terdapat kerusakan pada ligament
posterior yang keras dengan cidera pada salah satu atau kedua sisi dan pergeseran
vertical pada salah satu sisi pelvis, mungkin juga terdapat fraktur acetabulum.

2. Klasifikasi Young dan Burgess


Klasifikasi Young-Burgess membagi disrupsi pelvis ke dalam cedera-cedera
kompresi anterior-posterior (APC),kompresi lateral (LC),shear vertikal (VS), dan
mekanisme kombinasi (CM). Kategori APC dan LC lebih lanjut di subklasifikasi
dari tipe I – III berdasarkan pada meningkat nya perburukan cedera yang
dihasilkan oleh peningkatan tekanan besar.
a Cedera APC
Cedera APC disebabkan oleh tubruk ananterior terhadap pelvis,sering mendorong
ke arah diastase simfisis pubis. Ada cedera “open book” yang mengganggu
ligamentum sacroiliaca anterior seperti hal nya ligamentum sacro spina leipsi
lateral dan ligamentum sacrotuberale. Cedera APC dipertimbangkan menjadi
penanda radiografi yang baik untuk cabang-cabang pembuluh darah iliaca interna,
yang berada dalam penjajaran dekat dengan persendian sacro iliaca anterior.
1) Tipe APC I(diastasis simfisis<2,5cm dengan sisi posterior yang intak)
cedera yang stabil.
2) Tipe APC II(Diastasis simfisis>2,5cm dengan terbukanya Sijoint tapi tidak
terdapat instabilitas vertikal).

10
3) Tipe APC III(Disrupsi komplit dari anterior dan posterior pelvis dengan
kemungkinan adanya pergeseran vertikal).

b Cedera LC
Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar pelvis
pada sisi benturan ke arah midline. Ligamentum sacro tuberale dan ligamentum
sacro spinale, serta pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena
gaya tarik. Disrupsi pembuluh darah besar bernama (misal,arteri iliaca interna,
arteri glutea superior) relatif luar biasa dengan cedera LC;ketika hal ini terjadi,di
duga sebagai akibat dari laserasi fragmen fraktur dibedakan dari pemindahan
vertikal hemi pelvis. Perpindahan hemi pelvis mungkin dibarengi dengan cedera
vaskuler lokal yang parah.
1) Tipe LC I(impaksi sakral dengan fraktur ramus pubis sisi yang sama(ipsi
lateral)—cedera yang stabil.
2) Tipe LC II(impaksi sakral dengan fraktur iliac wingipsi lateral atau
terbukanya SI joint posterior dan fraktur ramus pubis)
3) Tipe LC III(sama dengan tipe A II dengan tambahan cedera rotasi onal
eksterna dengan SI joint kontra lateral dan fraktur ramus pubis)

c Cedera VS
Cedera VS dibedakan dari pemindahan vertikal hemi pelvis. Perpindahan hemi

11
pelvis mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah.
d Cedera CM
Pola cedera CM meliputi fraktur pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh
kombinasi dua vektor tekanan terpisah. (FrakesdanEvan,2004)

2.3. Mekanisme Injury Yang Menyebabkan Terjadinya Trauma Pelvis

Pada saat seseorang mengalami kecelakaan,hantaman,jatuh dari


ketinggian,dsb secara langsung akan menekan tulang pelvis. Tulang tidak mampu
meredam energi yang terlalu besar sehingga terjadi fraktur. Karena fraktur
terbentuk, terjadi pergeseran fragmen tulang sehingga merusak jaringan,
otot,vaskuler di sekitar pelvis.
Trauma langsung bisa menembus kulit sehingga mengalami perlukaan maka
terjadi pelepasan mediator inflamasi lalu terjadilah vasodilatasi yang
mengakibatkan peningkatan aliran darah dan permeabelitas kapiler lalu terjadilah
kebocoran interstisial dan terbentuk oedema. Oedema ini akan menekan pembuluh
darah sehingga terjadilah inefektif perfusi jaringan perifer. Penekanan pembuluh
darah perifer menyebabkan pelepasan mediator nyeri (histamine,
prostaglandine,dan bradikinin) yang ditangkap oleh reseptor nyeri perifer lalu
terjadi implus ke otak yang menyebabkan persepsi nyeri oleh penderita. Perlukaan
tadi juga mengakibatkan kerusakan integritas kulit sehingga pertahanan primer
tubuh terhadap infeksi rusak yang dapat menyebabkan port de entry kuman resiko
syok sepsis.
Pada saat trauma langsung pada pelvis juga mengakibatkan deformitas
yang menyebabkan hambatan mobilitas tubuh. Trauma langsung pada pelvis juga
menyebabkan gangguan pada arteri dan vena disekitar sehingga terjadilah
perdarahan yang tidak terkontrol yang mengakibatkan kehilangan volume cairan
dan elektrolit sehingga terjadilah resiko syok hipovolemic.
Jika fraktur parah, tubuht idak mampu menahan beban energi dari
luar,maka di lakukanlah prosedur pembedahan. Sebelum prosedur pembedahan
terkadang pasien kurang terpapar informasi terkait pembedahan yang akan
dilakukan sehingga pasien mengalami kecemasan.

12
2.4. Manifestasi Klinis

1. Fraktur pelvis sering merupakan bagian dari salah satu trauma multiple
yang dapat mengenai organ-organ lain dalam panggul. Keluhan berupa
gejala pembengkakan, deformitas serta perdarahan subkutan sekitar
panggul. Pasien datang dalam keadaan anemi dan syok karena perdarahan
yanghebat. Terdapat gangguan fungsi anggota gerak bawah.
2. Pada cedera tipe A pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri
bila berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan lokal tetapi jarang terdapat
kerusakan pada visera pelvis.
3. Pada tipe cedera B dan C pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan
tak dapat berdiri, pasien mungkin juga tidak dapat kencing. Mungkin
terdapat darah dimeatus eksternus. Nyeri tekan dapat bersifat lokal tetapi
sering meluas.

2.5. Penilaian Untuk Fraktur Pelvis

Penilaian paling praktis untuk penilaian trauma pada kondisi gawat darurat
dan paling sederhana adalah GCS dan RTS. Kedua nya dapat di kerjakan oleh
dokter dan perawat, dan dapat digunakan untuk menentukan tatalaksana dan
memantau perubahan klinis. Namun,sulit untuk menilai GCS pada pasien ter
intubasi atau paralisis. Metode kombinasi mengusahakan cara terbaik karena
membutuhkan data yang banyak. Untuk tujuan penelitian,pembelajaran dan
kontrol kualitas,TRISS dapat diterapkan karena dapat memperkirakan probabilitas
kelangsungan hidup dan telah banyak digunakan dari pada sistem penilaian lain
dan dinilai cukup efektif karena memasukkan penilaian
anatomis,fisiologis,usia,dan mekanisme cedera. ASCOT dikatakan lebih baik dari
pada TRISS, namun perhitungan nya kompleks (Carolina, 2015).
1. Penilaian menggunakan GCS
Sistem ini merupakan system penilaian fisiologis pertama dan diperkenalkan pada
tahun 1974 oleh Teasdale dan Jennett. Nilai membuka mata, respons verbal, dan

13
motorik di jumlah nilai berkisar antara 3 dan 15. Perhitungan GCS cepat dan
sederhana,dan pengulangan perhitungan dapat menginformasikan perkembangan
atau perburukan pasien. GCS adalah metode yang diakui untuk cedera kepala.
Cedera kepala yang dapat disebabkan oleh gangguan anatomi atau fisiologi tubuh
yang lainnya. GCS di klasifikasikan menjadi 3 yaitu ringan (GCS13-15), sedang
(GCS 9-12), atau berat (GCS 3-8). Nilai rendah menggambarkan cedera yang
lebih berat dan memiliki risiko mortalitas yang lebih tinggi.

2. Penilaian menggunakan RTS


Sistem ini paling banyak digunakan sebagai sistem penilaian fisiologis. Sistem ini
menggabungkan nilai GCS dengan laju respirasi dan tekanan darah sistolik. RTS
lebih sensitif dari pada TS. Berikut penghitungan TS:

Terdapat dua tipe, untuk triase dan penelitian. RTS triase digunakan sebagai
instrumen tenaga kesehatan pra-rumah sakit untuk membantu memutuskan apakah

14
pasien trauma harus dibawa ke fasilitas pelayanan primer atau ke pusat trauma.
Untuk tenaga kesehatan rumah sakit,RTS membantu memutuskan tingkat respons
yang diaktifkan. RTS≤11 berhubungan dengan mortalitas 30% dan harus segera di
bawa ke pusat trauma. RTS penelitian berbeda dari triase dalam hal penggunaan
faktor pemberat dan di desain untuk pengumpulan data retrospektif di bandingkan
penilaian prospektif. Faktor pemberat tersebut berupa komponen respirasi
dikalikan dengan koefisien 0,2908,tekanan darah sistolik dikalikan 0,7326, dan
GCS dikalikan 0,9368. Koefisien di peroleh dari regresi logistik data MTOS
(Major Trauma Outcome Study), dan jika di jumlahkan memberikan nilai berkisar
dari 0 hingga 7,8408,nilai rendah menunjukkan cedera lebih berat.

3. Penilaian menggunakan TRISS


Sistem penilaian kombinasi digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem
anatomis dan fisiologis. Nilai trauma dan nilai keparahan cedera di gabung dalam
metodologi TRISS (Trauma Score-Injury Severity Score) yang di kembangkan
pada tahun 1987 oleh Champion, dkk. Sistem ini menggabungkan usia,
ISS,mekanisme cedera,dan komponen RTS penelitian untuk menghitung
kemungkinan hidup (Ps/Probability of survival). Ps hanya gambaran statistik dan
bukan prediksi dampak yang akurat,namun dapat memberikan dasar perhitungan
probabilitas hidup.
4. Penilaian menggunakan ASCOT
ASCOT adalah sistem penilaian kombinasi yang menggunakan GCS, AIS,
usia,tekanan darah sistolik,dan laju respirasi untuk memperkirakan probabilitas
hidup. ASCOT diperkenalkan oleh Champion, dkk. Pada tahun 1996 untuk
mengurangi kelemahan TRISS. ASCOT menggunakan AP menggantikan ISS dan
menggolongkan usia ke dalam bilangan desimal. ASCOT tampaknya dapat

15
memberikan prediksi kematian yang lebih baik dari pada TRISS, tetapi memiliki
kompleksitas perhitungan lebih besar.
5. Penilaian menggunakan KTS
Di negara berkembang KTS paling banyak digunakan. KTS merupakan
penyerdehanaan ISS dan RTS,serta mirip dengan TRIS. KTS dapat di gunakan
pada dewasa dan anak-anak. KTS dan RTS dapat memperkirakan kematian.
Cedera berat <11,cedera sedang11-13, dan cedera ringan14-16.

Sistem penilaian diatas dapat digunakan untuk prioritaskan masalah apa yang
akan kita berikan tindakan terlebih dahulu untuk mempertahankan kelangsungan
hidup pasien.

2.6. Komplikasi

1. Komplikasi awal
a. Shock Hipovolemik/traumatik
Fraktur (ekstremitas,vertebra,pelvis,femur)→perdarahan kehilangan cairan ekstra
sel ke jaringan yang rusak → shock hipovolemi.
b. Emboli lemak
c. Trombo emboli vena
Berhubungan dengan penurunan aktivitas/kontraksi otot/bedrest.

16
d. Infeksi
Fraktur terbuka:kontaminasi infeksi sehingga perlu monitor tanda infeksi dan
terapi antibiotik.
e. Sindrom kompartemen

2. Komplikasi lambat
a. Delayedunion
Proses penyembuhan fraktur sangat lambat dari yang diharapkan biasanya lebih
dari 4 bulan. Proses ini berhubungan dengan proses infeksi. Distraksi/tarikan
bagian fragmen tulang.
b. Non union
Proses penyembuhan gagal meskipun sudah diberi pengobatan. Hal ini disebabkan
oleh fibrousunion atau pseudoarthrosis.
c. Malunion
Proses penyembuhan terjadi tetapi tidak memuaskan(ada perubahan bentuk).
d. Nekrosis avaskuler ditulang
Karena suplai darah menurun sehingga menurunkan fungsi tulang.

2.7. Penatalaksanaan

1. Rekognisi
Menyangkut diagnosa fraktur pada tempat kejadian kecelakaan dan kemudian
dirumah sakit.
a.Riwayat kecelakaan
b.Parah tidaknya luka
c.Diskripsi kejadian oleh pasien
d.Menentukan kemungkinan tulang yang patah
e.Krepitus
2. Reduksi
Reposisi fragmen fraktur sedekat mungkin dengan letak normalnya. Reduksi
terbagi menjadi dua yaitu:
a. Reduksi tertutup: untuk mensejajarkan tulang secara manual dengan traksi atau
gips
b. Reduksi terbuka:dengan metode insisi dibuat dan diluruskan melalui
pembedahan,biasanya melalui internal fiksasi dengan alat misalnya;pin,plat
yang langsung ke dalam medula tulang.
3. Retensi
Menyatakan metode-metode yang dilaksanakan untuk mempertahankan fragmen-

17
fragmen tersebut selama penyembuhan (gips/traksi)
4. Rehabilitasi
Langsung di mulai segera dan sudah di laksanakan bersamaan dengan pengobatan
fraktur karena sering kali pengaruh cedera dan program pengobatan hasil nya
kurang sempurna( latihan gerak dengan kruck ).
Untuk penanganan fraktur,sebagai berikut:
a) Fraktur tipe A
Hanya membutuhkan istirahat total di tempat tidur, di kombinasi dengan traksi
tungkai bawah kurang lebih 4-6 minggu.
b) Fraktur tipe B
Apabila cidera open book kurang dari 2,5 cm biasanya dapat di terapi dengan
bedrest total dengan pemasangan korset elastic bermanfaat untuk mengembalikan
ke posisi semula. Apabila lebih dari 2,5 cm dapat dicoba dengan membaringkan
pasien miring dan menekan ala os sisilii. Selain itu juga dapat dilakukan fiksasi
internal apabila fiksasi eksternal tidak berhasil di lakukan.
c) Fraktur tipe C
Merupakan fraktur yang paling berbahaya dan paling sulit di terapi. Pasien harus
bedrest total kurang lebih selama 10 minggu. Operasi berbahaya di lakukan
karena bisa terjadi perdarahan masif dan infeksi. Pemakaian traksi kerangka dan
fiksasi luar mungkin lebih aman.

2.8. Pemeriksaan Diagnosis

1.Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma


2.Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal
3.Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemo konsentrasi) atau
menurun(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma
multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah respons stress normal setelah trauma.
4.CT scan merupakan pemeriksaan diagnostic yang perlu dilakukan untuk
mengkaji injuri intrra abdomen Angiografi,pielografi intravena dan pemeriksaan
lain dapat di lakukan untuk mengkaji derajat trauma pada organ yang berbeda.

18
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA TRAUMA PELVIS

3.1. Pengkajian

A. Primary Survey
Primary survey di lakukan melalui beberapa tahapan (Gilbert,2009):
1. General Impressions
a. Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum
b. Menentukan keluhan utama atau mekanisme cidera
c. Menentukan status mental dan orientasi (waktu,tempat,orang)
2. Airway dengan kontrol servikal
Tindakan pertama kali yang harus di lakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidak nya
sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka
jalan nafas pasien terbuka. Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan
airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus di lindungi selama intubasi
endotrakeal jika di curigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi
jalan nafas paling sering di sebabkan oleh obstruks ilidah pada kondisi pasien
tidak sadar.
Yang perlu di perhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain:
 Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas
dengan bebas?
 Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
 Adanya snoring atau gurgling
 Stridor atau suara napas tidak normal
 Agitasi (hipoksia)
 Penggunaan otot bantu pernafasan/paradoxical chest movements
 Sianosis
 Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
 Muntahan
 Perdarahan
 Gigi lepas atau hilang
 Gigi palsu
 Trauma wajah

19
 Jika terjadi obstruksi jalan nafas,maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
 Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang
berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
 Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
 Chin lift / jaw thrust
 Lakukan suction (jika tersedia)
 Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway,Laryngeal Mask Airway
 Lakukan intubasi
3. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas
dan ke adekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak
memadai, maka langkah-langkah yang harus di pertimbangkan adalah :
dekompresi dan drainase tension pneumo thorax/haemo thorax, closure of open
chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner,2000).
Yang perlu di perhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
 Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi
pasien.
 Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda
sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest
wounds,dan penggunaan otot bantu pernafasan.
 Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea,fraktur ruling iga,subcutan
eousemphysema,perkusi berguna untuk diagnosis haemo thorax dan pneumo
toraks.
 Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
 Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
 Tentukan laju dan tingkat ke dalaman nafas pasien;kaji lebih lanjut mengenai
karakter dan kualitas pernafasan pasien.
 Penilaian kembali status mental pasien.
 Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
 Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan/atau oksigenasi:
 Pemberian terapi oksigen
 Bag-Valve Masker
 Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang

20
benar),jika di indikasikan
 Catatan:defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures
 Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan
terapi sesuai kebutuhan.
4. Circulation Dengan Kontrol Perdarahan

Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien,antara lain :


 Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika di perlukan.
 CPR harus terus di lakukan sampai defibrilasi siap untuk di gunakan.
 Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
 Palpasi nadi radial jika di perlukan:
 Menentukan ada atau tidak nya
 Menilai kualitas secara umum(kuat/lemah)
 Identifikasi rate(lambat, normal,atau cepat)
 Regularity
 Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipo perfusi atau
hipoksia(capillary refill).
 Lakukan treatment terhadap hipo perfusi
5. Disability
Pada primary survey,disability di kaji dengan menggunakan skala AVPU:
 A-alert,yaitu merespon suara dengan tepat,misalnya mematuhi perintah yang di
berikan
 V-vocalises,mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa di
mengerti
 P-responds to pain only (harus di nilai semua ke empat tungkai jika ekstremitas
awal yang di gunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
 U-unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
6. Exposure/Environment
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika
pasien di duga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line
penting untuk di lakukan.Lakukan logroll ketika melakukan pemeriksaan pada
punggung pasien. Yang perlu di perhatikan dalam melakukan pemeriksaan
pada pasien adalah mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal.

21
Setelah semua pemeriksaan telah selesai di lakukan,tutup pasien dengan
selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika di perlukan pemeriksaan
ulang.
Dalam situasi yang di duga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam
jiwa,maka Rapid Trauma Assessment harus segera di lakukan:
 Lakukan pemeriksaan kepala,leher,dan ekstremitas pada pasien
Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka

dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau

kritis.

B. Secondary Survey

1. Anamnesa
a. Identitas Klien
Meliputi nama,jenis kelamin,umur,alamat,agama,bahasa,status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, no registrasi, tanggal MRS, diagnosa medis.
b. KeluhanUtama
Pada umumnya keluhan utama pada fraktur adalah nyeri. Nyeri bisa akut
maupun kronik, tergantung lamanya serangan.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada umum nya pasien mengeluh nyeri saat bergerak, adanya deformitas atau
gerakan abnormal setelah terjadi trauma langsung yang mengenai tulang.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah pasien pernah mengalami fraktur sebelumnya,apakah klien mempunyai
penyakit tulang seperti osteoporosis,kanker tulang,atau penyakit penyerta
lainnya. Penyakit tulang merupakan faktor resiko terjadinya fraktur pelvis klien
dengan kecelakaan.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Apakah keluarga ada yang mengalami hal serupa dengan pasien,dan apakah
keluarga memiliki penyakit tulang/penyakit lainnya yang diturunkan.
f. Riwayat Psikososial
Merupakan respon emosi klien terhadap penyakit yang di deritanya dan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon dan pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari,baik dalam keluarga maupun masyarakat.

22
g. Riwayat AMPLE
A : Alergi(adakah alergi pada pasien,seperti obat-obatan,plester,makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang di minum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi,kencing manis,jantung,dosis,atau penyalah gunaan obat.
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah
di derita, obat nya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L: Last meal (obat atau makanan yang baru saja di konsumsi, di konsumsi berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama). (Emergency Nursing Association, 2007).
2. Pemeriksaanfisik
Meliputi inspeksi,palpasi,perkusi dan auskultasi pada:
a. Kulit Kepala
b. Wajah
c. Vertebra Servikalis danLeher
d. Thoraks
e. Abdomen
1) Inspeksi : abdomen bagian depan dan belakang untuk melihat adanya trauma
tajam atau tumpul serta lihat apakah ada perdarahan
2) Auskultasi : auskultasi apabila adanya penurunan bising usus
3) Palpasi : untuk mengetahui adanya nyeri tekan,defans muskuler,nyeri lepas
yang jelas
4) Perkusi : untuk mengetahui adanya nyeri ketok,timpani akibat dilatasi lambung
akut atau redup bila ada hemo peritoneum.
5) Bila ragu akan adanya perdarahan intra abdominal dapat di lakukan
pemeriksaan DPL (diagnostic peritoneal lavage)
f. Pelvis
Cedera pelvis yang berat akan tampak pada pemeriksaan fisik, yaitu pelvis
menjadi tidak stabil. Pada cidera berat, kemungkinan penderita akan masuk
dalam keadaan syok yang harus segera di atasi. Bila ada indikasi pasang PASG/
gurita untuk mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis.
Pelvis dan perineum di periksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi,edema,atau

kontusio,hematoma,dan perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum

23
memasang kateter uretra. Harus di teliti akan kemungkinan adanya darah dari

lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum

dan tonus musculos finkterani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat

menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat perdarahan

vagina di catat, karakter dan jumlah kehilangan darah harus di laporkan (pada

tampon yang penuh memegang 20 sampai 30 mL darah).

Juga harus dilakukan tes kehamilan pada semua wanita usia subur. Permasalahan
yang ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra padawanita, walaupun jarang
dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle injury. Bila terjadi,kelainan ini sulit
di kenali,jika pasien hamil,denyut jantung janin(pertama kali mendengar dengan
Doppler ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang di
nilai untuk frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus di
tanya tentang rasa sakit atau terbakar dengan buang air kecil,frekuensi, hematuria,
kencing berkurang, sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis.
g. Ekstremitas
Pemeriksaan di lakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan lupa
untuk memeriksa adanya luka dekat daerah fraktur terbuka, pada saat palpasi
jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur dan jangan
dipaksakan untuk bergerak apabila sudah jelas mengalami fraktur.
C. Focused Assessment
Focused assessment adalah tahap pengkajian pada area keperawatan yang
dilakukan setelah primary dan secondary survey. Pengkajian ini dilakukan untuk
melengkapi data secondary sesuai masalah yang ditemukan atau tempat dimana
injury ditemukan. Yang paling banyak dilakukan dalam tahapan ini adalah
beberapa pemeriksaan penunjang diagnostik atau bahkan dilakukan pemeriksaan
ulang dengan tujuan segera dapat dilakukan tindakan definitif.
D. Reassessment
Mengkaji ulang untuk melengkapi primary survey

24
Komponen Pertimbangan
Airway Pastikan bahwa peralatan airway : Oro
Pharyngeal Airway,Laryngeal Mask Airway ,
maupun Endotracheal Tube (salah satu dari
peralatan airway) tetap efektif untuk menjamin
kelancaran jalan napas. Pertimbangkan
penggunaaan peralatan
Dengan manfaat yang optimal dengan risiko
yang minimal.
Breathing Pastikan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan
pasien:
Pemeriksaan definitive rongga dada dengan
rontgen foto thoraks, untuk meyakinkan ada
tidaknya masalah seperti Tension pneumo
thoraks, hemato toraks atau trauma pelvis yang
bisa mengakibatkan gangguan oksigenasi tidak
adekuat Penggunaan ventilator mekanik.
Circulation Pastikan bahwa dukungan sirkulasi menjamin
perfusi jaringan
Khususnya organvital tetap terjaga,hemo
dinamik tetap.
Termonitor serta menjamin tidak terjadi over
hidrasi pada saat penanganan resusitasi cairan.
Pemasangan cateter vena central
Pemeriksaan analisa gas darah
Balance cairan
Pemasangan kateter urin(jika memungkinkan)
Disability Setelah pemeriksaan GCS pada primary
survey,perlu di dukung dengan:
Pemeriksaan spesifik neurologic yang lain
seperti reflex patologis, deficit neurologi,
pemeriksaan persepsi sensori dan pemeriksaan
yang lainnya.
CT scan kepala,atau MRI
Exposure Konfirmasi hasil data primary survey dengan

25
Rontgen foto pada daerah yang mungkin di
curigai trauma atau fraktur
USG abdomen atau pelvis

3.2. NANDA NOC NIC

Pada kejadian trauma pelvis hebat biasanya seluruh asuhan keperawatan


dilakukan dalam waktu singkat sehingga pendokumentasian dilakukan pada akhir
setelah melakukan tindakan dan evaluasi terhadap pasien.
Berikut NANDA NOC NIC klien dengan trauma pelvis ringan:
Diagnosa NOC NIC
Resiko Keseimbangan cairan Pencegahan pendarahan
Kekurangan Indikator: Aktivitas:
Volume Cairan
b.d perdarahan
- Tekanan a.Monitor kemungkinan
darah:DBH terjadinya
- Tekanan arteri rata- Perdarahan pada pasien
rata:
DBN b.Catat kadar HB dan Ht setelah
pasien
- Tekanan vena Mengalami kehilangan banyak darah
sentral:
DBH c.Pantau gejala dan tanda timbulnya
perdarahan yang berkelanjutan
(cek
Kesimbangan intake & Sekresi pasien baik yang terlihat
maupun yang tidak disadari perawat)
output
d. Pantau factor koagulasi,termasuk
Rasa haus abnormal(-)
protrombin(Pt),waktu paruh trombo
Perubahan suara
plastin(PTT),fibrinogen,degrada
napas(-)
sifibrin,dan kadar platelet dalam
Elektrolit serum:DBN
Hemoglobin:DBN darah)
Hematokrit:DBN
e. Pantau tanda-tanda
Kontrol Resiko vital,osmotic,termasuk TD
Indikator:
f. Atur pasien agar pasien tetap bedrest
Pantau faktor resiko
jika masih ada indikasi pendarahan
lingkungan

26
Pantau faktor resiko g. Atur kepatenan/ kualitas produk /
prilaku personal alat yang berhubungan dengan
Atur strategi kontrol perdarahan
resiko sesuai kebutuhan
h. Lindungi pasien dari hal-hal yang
Gunakan sistem menimbulkan trauma dan bisa
pendukung personal menimbulkan perdarahan
untuk mengontrol Pengurangan pendarahan
Aktivitas:
resiko.
a. Identifikasi etiologi perdarahan
Pantau perubahan status
b. Monitor
kesehatan. pasiensecaraketatakanperdarahan
c. Monitor jumlah dan karakter
(nature) kehilangan darah pasien
d. Catat kadar Hb/Ht sebelum dan
setelah kehilangan darah sebagai
indikasi
e. Monitor TD dan parameter hemo
dinamik,jika tersedia(contoh:tekanan
vena sentral dan kapiler
paru/tekanan arteri temporalis)
f. Monitor status/keadaan cairan
termasuk
Intake dan output
g. Kaji koagulasi,termasuk
prothrombin time(PT),partial
thomboplas tintime(PTT),
fibrinogen, degradasi fibrin/split
products,dan jumlah platelet jika
diperlukan
Pengontrolan perdarahan
Aktivitas:
Mengenal penyebab perdarahan
Monitor jumlah dan sifat darah yang
hilang
Catat nilai hemoglobin/hematokrit
sebelum dan sesudah kehilangan

27
darah sesuai indikasi
Evaluasi respon psikologi pasien
terhadap perdarahan dan persepsi
terhadap peristiwa yang terjadi
Monitor tanda dan gejala perdarahan
persisten
- Monitor fungsi neurologi
Manajemen Cairan Aktivitas:
Monitor status hidrasi
(seperti
:kelebapan mukosa membrane,nadi)
Monitor TTV
Monitor respon pasien untuk
meresepkan terapi elektrolit
Konsultasi dengan dokter,jika gejala
dan tanda kehilangan cairan makin
buruk
Kaji ketersediaan produk darah
untuk transfusi
- Berikan resusitasi
cairan IV
Nyeri Akut b.dKokontrol nyeri indikator: Manajemen nyeri
Cidera Pelvic Aktivitas:
- Menggunakan buku
Lakukan penilaian nyeri secara
harian untuk memantau
komprehensif dimulai dari
gejala dari waktu ke
lokasi,karakteristik, durasi,
waktu
frekuensi, kualitas,intensitas dan
- Menggunakan langkah-
penyebab.
langkah pencegahan
Kaji ketidaknyamanan secara
gejala nyeri
nonverbal,terutama untuk pasien
- Menggunakan langkah-
yang tidak bisa mengkomunikasikan
langkah bantuan non
nya secara efektif
analgesik
Pastikan pasien mendapatkan
- Menggunakan analgesik
perawatan dengan analgesic

28
seperti Tentukan dampak nyeri terhadap
dirrekomendasikan kehidupan sehari-hari(tidur,nafsu
- Mengenali gejala nyeri makan,aktivitas,kesadaran,mood,hub
- Laporan nyeri dikontrol
ungan sosial, performance kerja dan
melakukan tanggung jawab sehari-
hari)
Tittingkat nyeri
Kontrol faktor lingkungan yang
Iniindikator:
dapat menimbulkan
Klien melaporkan nyeri
ketidaknyamanan pada pasien(suhu
yang dirasakan telah
ruangan,pencahayaan,keributan)
berkurang
Pertimbangkan tipe dan sumber
ataumenghilang
nyeri ketika memilih metoda
Panjangnya episode
mengurangi nyeri
nyeri berkurang
Menyediakan analgesic yang
Klien tidak lagi
dibutuhkan dalam mengatasi nyeri
mengekpresikan wajah
Gunakan pendekatan dari berbagai
nyeri
disiplin ilmu dalam manajemen
Klien tidak merasa
nyeri
gelisah lagi
Monitor kepuasan pasien terhadap
TTV dalam batas
normal manajemen nyeri yang diberikan
dalam interval yang ditetapkan.
Nafsu makan klien Pemberian analgesic
Aktivitas:
diharapkan meningkat.
Menentukan
lokasi,karakteristik,mutu,dan
intensitas nyeri sebelum mengobati
pasien
Periksa order/pesanan media suntik
obat,dosis,dan frekuensi yang
ditentukan analgesik
Cek riwayat alergi obat
Tentukan analgesik yang cocok,rute

29
pemberian dan dosis optimal.
Tentukan jenis analgesik yang
digunakan (narkotik, non narkotik
atau NSAID) berdasarkan tipe dan
tingkat nyeri.
Monitor TTV sebelum dan sesudah
pemberian obat narkotik dengan
dosis pertama atau jika ada catatan
luar biasa.
Cek pemberian analgesik selama 24
jamu ntuk mencegah terjadinya
puncak nyeri tanpa rasa sakit,
terutama dengan nyeri yang
menjengkelkan
Dokumentasikan respon pasien
tentang analgesik,catat efek yang
merugikan
Kolaborasikan dengan dokter jika
terjadi perubahan obat, dosis, rute
pemberian,atau interval,serta
membuat rekomendasi spesifik
berdasar pada prinsip equianalgesic.
Resiko tinggi Kokontrol Risiko Kontrol Infeksi
infeksi b.d luka Aktivitas:
indikator:
terbuka Bersihkan lingkungan secara tepat
 Mengetahui faktor setelah digunakan oleh pasien
risiko
 Memonitor faktor risiko Ganti peralatan pasien setiap selesai
lingkungan tindakan
 Mengembangkan Ajarkan cuci tangan untuk menjaga
strategi pengendalian kesehatan individu
risiko yang efektif Anjurkan pengunjung untuk
 Menghindari paparan mencuci tangan sebelum dan setelah

30
ancaman kesehatan meninggalkan ruangan pasien
 Memantau perubahan Cuci tangan sebelum dan sesudah
status kesehatan kontak dengan pasien
NtKontrol Risiko:Proses Lakukan universal precautions
Gunakan sarung tangan steril
Infeksi
Lakukan perawatan aseptic pada
Indikator:
semua jalur IV
 Mencari validasi risiko
Lakukan teknik perawatan luka yang
infeksi yang dirasakan
tepat
 Memonitor lingkungan
Tingkatkan asupan nutrisi
untuk faktor yang Anjurkan asupancairan
terkait dengan risiko Anjurkan istirahat
m. Berikan terapi antibiotik
infeksi
 Mempertahankan Infection Protection
Aktivitas:
lingkungan yang bersiha. Monitor tanda dan gejala infeksi
 Menggunakan sistemik dan lokal
kewaspadaan universalb. Monitor kerentanan terhadap infeksi
 Memantau perubahan c. Monitor angka granulosit, WBC dan
status kesehatan umum hasil yang berbeda
d. Partahankan teknik aspesis pada
pasien
Yang beresiko
e. Berikan perawatan kulit yang tepat
pada area edematous
f. Inspeksi kulit dan membran mukosa
terhadap kemerahan, panas, atau
drainase
g. Ispeksi kondisi luka
h. Dukungan masukkan nutrisi yang
cukup
i. Dukungan masukan cairan
j. Dukungan istirahat
k. Instruksikan pasien untuk minum
antibiotik sesuai resep
Perawatan luka

31
Aktivitas:
a. Monitor karakteristik luka meliputi
drainase,warna,ukuran dan bau
b. Bersihkan luka dengan NaCl(normal
saline)
c. Pertahankan teknik steril dalam
perawatan luka
d. Inspeksi luka setiap melakukan
pergantian dreesing
e. Bandingkan dan laporkan adanya
perubahan pada luka secara reguler
f. Atur posisi untuk mencegah tekanan
pada daerah luka
g. Tingkatkan intake cairan
h. Ajarkan pada pasien/anggota
keluarga tentang prosedur perawatan
luka
i. Ajarkan pada pasien/anggota
keluarga
Tentang tanda dan gejala infeksi
Dokumentasikan lokasi
luka,ukuran,dan penampakannya.

KASUS

Trauma Pelvis Perempuan riwayat KLL dengan terlempar dari becak


sejauh 5m, ditemukan di pinggiran pagar selokan. Mengeluh nyeri pada perut
bagian bawah, ada luka aberasi di sekitar tonjolan tulang panggul. Pada saat

32
dilakukan pemeriksaan palpasi pada psias kanan kiri, teraba krepitasi. Respirasi :
28x/menit, N : 120x/menit, TD : 110/90 mmHg.
A.     Pengkajian
1.        Data subyektif
-         Pasien mengalami trauma pada pelvis
-         Pasien mengeluh nyeri pada perut bagian bawah
2.        Data obyektif
-         Respirasi : 28x/menit
-         Nadi : 120x/menit
-         TD : 110/90 mmHg
-         Teraba krepitasi pada psias kanan kiri
-         Ada luka di sekitar tonjolan tulang panggul

B.     Diagnosa keperawatan


1.        Nyeri akut (00132)
Domain 12 : comfort
Class 1 : physical comfort
Definisi : sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional
yang timbul dari kerusakan jaringan aktual atau potensial atau penggambaran
dari kerusakan (International association for the study of pain); yang terjadi
tiba-tiba atau secara pelan-pelan dari intensitas ringan hingga berat dengan
diantisipasi atau dapat diprediksi dan dalam waktu kurang dari 6 bulan.
Defining characteristics :
a.                   Perubahan respirasi (normalnya 12-20x/menit)
b.                  Laporan secara verbal dari pasien
Faktor yang berhubungan :
Agen injuri

  NOC (Nursing Outcome Classifications) :


a.        Comfort level (tingkat kenyamanan)
Definisi : Perasaan fisik dan psikologi yang tenang

33
Indikator :
-           Melaporkan kesejahteraan fisik
-           Melaporkan kepuasan dengan kontrol gejala
-           Melaporkan kesejahteraan psikologis
-           Mengekspresikan kepuasan dengan kontrol nyeri
b.        Pain Control (kontrol nyeri)
Definisi : Tindakan seseorang untuk mengatasi nyeri
Indikator
-           Mengenal penyebab nyeri
-           Mengenal onset nyeri
-           Menggunakan tindakan pencegahan
-           Menggunakan pertolongan non-analgetik
-           Menggunakan analgetik dengan tepat
-           Mengenal tanda-tanda pencetus nyeri untuk mencari pertolongan
-           Menggunakan sumber-sumber yang ada
-           Mengenal gejala nyeri
-           Melaporkan gejala-gejala kepada tenaga kesehatan profesional
-           Melaporkan kontrol nyeri
c.         Pain Level (Tingkat nyeri)
Definisi : Gambaran nyeri atau nyeri yang ditunjukkan
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam pada
pasien dengan gangguan nyeri akut dapat teratasi dengan kriteria :
-         Melaporkan nyeri berkurang
-         Tidak menununjukkan ekspersi wajah menahan nyeri
-         Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
-         Tidak mual
-         Tanda vital dalam rentang normal

  Nursing Intervention Classification (NIC) Pain Acute


a.         Pemberian Analgetik

34
Definisi: Menggunakan agen farmakologi untuk mengurangi atau
menghilangkan nyeri
Aktivitas
-           Tentukan lokasi nyeri, karakteristik, kualitas, dan berat nyeri sebelum
memberikan pengobatan
-           Cek catatan medis untuk jenis obat, dosis, dan frekuensi pemberian analgetik
-           Kaji adanya alergi obat
-           Pilih analgetik atau kombinasi analgetik yang sesuai ketika menggunakan
lebih dari satu obat.
-           Tentukan pilihan jenis analgetik (narkotik, non-narkotik, atau NSAID/obat
anti inflamasi non steroid) bergantung dari tipe dan beratnya nyeri
-           Pilih rute, IV,IM untuk pemberian pengobatan injeksi
-           Berikan tanda pada narkotik dan obat terbatas lain, sesuai dengan protokol
-           Monitor tanda vital sebelum dan sesudah pemberian analgetik narkotik saat
pertama kali atau jika muncul tanda yang tidak biasanya
-           Berikan analgetik lain dan atau pengobatan lain jika diperlukan untuk
memperkuat reaksi analgetik
-           Evaluasi keefektifan analgetik dengan frekuensi interval teratur setiap
pemberian, tetapi terutama setelah dosis awal, observasi tanda dan gejala
serta efek obat (misalnya depresi pernafasan, mual muntah, mulut kering, dan
konstipasi)
-           Dokumentasikan respon analgetik dan efek yang muncul
-           Evaluasi dan dokumentasikan tingkat sedasi pasien yang mendapatkan
opioid.
-           Lakukan tindakan untuk mengurangi efek analgetik (misal konstipasi dan
iritasi lambung)
-           Kolaborasikan dengan dokter jika obat, dosis, dan rute pemberian, atau
perubahan interval diindikasikan, buat rekomendasi spesifik berdasar pada
prinsip kesamaan analgetik
b.        Cutaneus stimulation : stimulasi pada kutan

35
Definisi:  Stimulasi pada kulit dan dibawah jaringan untuk menurunkan
tanda dan gejala yang tidak diinginkan seperti nyeri, spasme otot, atau
inflamasi
Aktivitas
-           Diskusikan variasi metode pada stimulasi kulit, efeknya terhadap sensasi, dan
harapan pasien selama kegiatan
-           Seleksi strategi stimulasi kutan yang spesifik, berdasar pada keinginan
pasien, kemampuan untuk berrpartisipasi, kesukaan, dukungan orang dekat,
dan kontraindikasi
-           Lakukan sesuai indikasi, frekuensi, dan prosedur aplikasi
-           Aplikasikan stimulasi secara langsung disekitar area yang dipakai
-           Pilih tempat stimulasi, pertimbangkan alternatif tempat lain jika aplikasi
langsung tidak memungkinkan
-           Pertimbangkan titik penekanan pada area yang distimulasi, jika mungkin
-           Tentukan lama dan frekuensi stimulasi, sesuai metode yang dipakai
-           Anjurkan untuk menggunakan stimulasi yang teratur, jika mungkin
-           Ajak keluarga untuk berpartisipasi, jika mungkin
-           Seleksi metode atau tempat alternatif untuk stimulasi, jika tujuan tidak dapat
tercapai 
-           Hentikan stimulasi, jika nyeri bertambah atau terjadi iritasi kulit
-           Evaluasi dan dokumentasikan respon klien selama stimulasi
c.         Pemberian Medikasi
Definisi:  Menyiapkan, memberikan, dan mengevaluasi keefektifan obat yag
diresepkan dan yang tidak diresepkan dokter
Aktivitas
-           Kembangkan kebijakan dan prosedur untuk keakuratan dan keamanan
pemberian pengobatan
-           Kembangkan dan gunakan lingkungan yang aman dan efisien dalam
pemberian pengobatan
-           Lakukan prinsip 5 benar
-           Verifikasi peresepan obat sebelum memberikan pengobatan

36
-           Menentukan dan atau merekomendasikan pengobatan, jika sesuai, menurut
kewenangan peresepan dokter
-           Monitor alergi, interaksi, dan kontraindikasi dari pengobatan
-           Catat jika pasien alergi terhadap pengobatan dan hentikan pengobatan
-           Pastikan hipnotik, narkotik, dan antibiotik tidak diteruskan atau diorderkan
kembali setiap hari
-           Siapkan pengobatan menggunakan peralatan yang tepat dan teknik
pemberian obat yang benar
-           Hindari memberikan obat yang tidak terlabel dengan baik
-           Monitor tanda vital dan hasil laboratorium sebelum pemberian obat
-           Berikan obat sesuai teknik dan rutenya
-           Monitor efek samping pada pasien, toksisitas, dan interaksi dari pemberian
obat
-           Dokumentasikan pemberian obat dan respon pasien, menurut pedoman yang
ada
d.        Manajemen Nyeri
Definisi: Teknik mengurangi nyeri sampai tingkat nyaman yang dapat
diterima oleh pasien
Aktivitas
-           Kaji secara komphrehensif tentang nyeri, meliputi: lokasi, karakteristik dan
onset, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor
presipitasi
-           Observasi isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan, khususnya dalam
ketidakmampuan untuk komunikasi secara efektif
-           Berikan analgetik sesuai dengan anjuran
-           Gunakan komunikasi terapeutik agar pasien dapat mengekspresikan nyeri
-           Tentukan dampak dari ekspresi nyeri terhadap kualitas hidup: pola tidur,
nafsu makan, aktifitas kognisi, mood, relationship, pekerjaan, tanggungjawab
peran
-           Kaji pengalaman individu terhadap nyeri,  keluarga dengan nyeri kronis

37
-           Evaluasi  tentang keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri yang telah
digunakan
-           Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa lama terjadi, dan
tindakan pencegahan
-           Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien
terhadap ketidaknyamanan  (ex: temperatur ruangan, penyinaran, dll)
-           Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi (ex: relaksasi, guided imagery,
terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin, massase, TENS, hipnotis, terapi
bermain, terapi aktivitas, akupresusure)
-           Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
-           Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup
-           Anjurkan pasien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri secara tepat
-           Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau terjadi keluhan
-           Monitor kenyamanan pasien terhadap manajemen nyeri
-           Lakukan pengkajian terhadap pasien dengan nyaman dan lakukan monitoring
dari rencana yang dibuat
-           Pertimbangkan keinginan pasien untuk berpartisipasi, dukungan dari
keluarga dekat dan kontraindikasi ketika strategi penurun nyeri telah dipilih
-           Pertimbangkan tipe dan sumber nyeri ketika strategi penurun nyeri telah
dipilih
-           Kolaborasikan dengan pasien, orang terdekat dan tenaga profesional lain
unntuk memilh tenik non farmakologi
-           Berikan analgetik yang berguna optimal
-           Gunakan PCA (Patient Controlled Analgesia)
-           Berikan pengobatan sebelum aktivitas untuk meningkatkan partisipasi
-           Berikan analgetik sebelum perawatan dan atau strategi nonfarmakologi
sebelum prosedur yang menyakitkan
-           Modifikasi kontrol nyeri sesuai respon pasien
-           Gunakan pendekatan multidisiplin dalam penanganan nyeri
-           Berikan informasi yang akurat untuk meningkatkan pengetahuan keluarga
dan respon terhadap pengalaman nyeri

38
-           Libatkan keluarga untuk mengurangi nyeri

2.        Gangguan mobilitas fisik (00085)


Domain 4 : activity/rest
Class 2 : activity/exercise
Definisi : keterbatasan pada kemandirian, pergerakan fisik dari tubuh dengan
maksud tertentu atau dari salah satu atau lebih dari ekstremitas.
Defining characteristics :
-                     Keterbatasan pergerakan
-                     Keterbatasan kemampuan untuk melakukan gerak yang benar
Faktor yang berhubungan :
-                     Intoleransi aktivitas
-                     Kehilangan integritas dari struktur tulang
-                     Gangguan musculoskeletal
-                     Nyeri
-                     Pembatasan bergerak sesuai medikasi dari medis

  NOC (Nursing Outcome Classifications):


a.         Joint Movement : Active
Range of Motion pada sendi
b.        Mobility Level
Kemampuan untuk bergerak dengan tujuan tertentu
c.         Transfer performance
Setelah dilakukan tindakan keperawatan gangguan mobilitas fisik
teratasi dengan kriteria hasil:
        Klien meningkat dalam aktivitas fisik
        Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
        Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan
kemampuan berpindah
        Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi (walker)
  Nursing Intervention Classification (NIC) Gangguan Mobilitas Fisik

39
a.       Perawatan Bed Rest
b.      Pengaturan posisi

a.       Perawatan Bed Rest


Definisi: dukungan kenyamanan dan keamanan dan pencegahan
komplikasi pada pasien yang tidak mampu untuk turun dari tempat tidur
Aktivitas
-           Jelaskan alasan mengapa pasien perlu bed rest
-           Letakkan pada bed yang tepat
-           Hindari penggunaan kasur yang teksturnya kasar
-           Jaga linen kasur tetap bersih, kering dan bebas dari kerutan
-           Gunakan perlengkapan pelindung bagi pasien pada bed
-           Monitor kondisi kulit
-           Melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif
-           Tingkatkan kebersihan
-           Bantu aktivitas sehari-hari pasien
-           Monitor fungsi perkemihan
-           Monitor terhadap konstipasi
-           Monitor status pernafasan
b.      Pengaturan posisi
Definisi: penentuan penempatan pasien atau bagian tubuh pasien untuk
mendukung fisik dan psikologis yang baik
Aktivitas
-           Meletakkan pasien pada tempat tidur yang sesuai
-           Membantu pasien dalam perubahan posisi
-           Monitor status oksigen/ pernafasan sebelum dan setelah perubahan posisi
dilakukan
-           Pemberian dukungan pada bagian tubuh yang perlu diimobilisasikan
-           Fasilitasi posisi yang mendukung ventilasi/ perfusi
-           Lakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif
-           Cegah penempatan pasien pada posisi yang dapat meningkatkan nyeri

40
-           Minimalkan gesekan ketika positioning
-           Posisikan pasien pada posisi yang mendukung drainase perkemihan
-           Posisikan pada posisi yang dapat mencegah penekanan pada luka
-           Instruksikan pasien terkait bagaimana postur yang baik
-           Atur jadwal perubahan posisi pada pasien

c.         Resiko infeksi (00004)


Domain 11 : safety/protection
Class 1 : infection
Definisi : terjadi peningkatan resiko terhadap terjangkitnya organisme
patogenik
Faktor resiko :
-                     Pertahanan primer yang inadekuat ( kerusakan kulit, jaringan
traumatis)
-                     Prosedur invasif
-                     Trauma
  NOC (Nursing Outcome Classifications):
1). Immune Status : ketahanan (natural dan didapat) yang adekuat terhadap
antigen eksternal dan internal.
2). Knowledge : Infection control
Peningkatan pemahaman mengenai pencegahan dan kontrol infeksi
3). Risk control
Tindakan untuk menghilangkan dan mengurangi ancaman kesehatan yang
aktual, personal, dan modifikasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien tidak mengalami infeksi
dengan kriteria hasil:
                    Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
                    Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
                    Jumlah leukosit dalam batas normal
                    Menunjukkan perilaku hidup sehat
                    Status imun, gastrointestinal, genitourinaria dalam batas normal

41
  Nursing Intervention Classification (NIC) Resiko Infeksi
a.       Kontrol Infeksi
Definisi: Meminimalkan paparan dan transmisi agen infeksi
Aktivitas
-           Bersikan lingkungan secara tepat setelah digunakan oleh pasien
-           Ganti peralatan pasien setiap selesai tindakan
-           Ajarkan cuci tangan untuk menjaga kesehatan individu
-           Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan sebelum dan setelah
meninggalkan ruangan pasien
-           Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien
-           Lakukan universal precautions
-         Gunakan sarung tangan steril
-         Lakukan perawatan aseptic pada semua jalur IV
-         Lakukan teknik perawatan luka yang tepat
-         Tingkatkan asupan nutrisi
-         Anjurkan asupan cairan
-         Anjurkan istirahat
-         Berikan terapi antibiotik
b.        Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)
Definisi: Pencegahan dan deteksi dini infeksi pada pasien yang beresiko
Aktivitas
-           Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
-           Monitor kerentanan terhadap infeksi
-           Monitor angka granulosit, WBC dan hasil yang berbeda
-           Partahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko
-           Berikan perawatan kulit yang tepat pada area edematous
-           Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, atau
drainase
-           Ispeksi kondisi luka
-           Dukungan masukkan nutrisi yang cukup
-           Dukungan masukan cairan

42
-           Dukungan istirahat
-           Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep
c.       Skin surveillance/ pengawasan terhadap kulit
Definisi: Mengkoleksi dan menganalisis data pasien untuk mempertahankan
integritas kulit dan membran mukosa
Aktivitas
-           Mengamati ekstremitas terhadap kemerahan, panas, bengkak, tekanan,
tekstur, edema dan ulserasi
-           Mengamati kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas yang
ekstrim, atau drainase
-           Monitor kulit pada area yang kemerahan dan mengalami kerusakan
-           Monitor terhadap sumber penekanan dan friksi/ gesekan
-           Monitor terhadap infeksi
-           Monitor kulit dan membran mukosa terhadap area yang mengalami
perubahan warna dan memar
-           Monitor kulit terhadap kekeringan dan kelembaban yang berlebihan
-           Monitor warna kulit
d.      Perawatan luka
Definisi: Mencegah komplikasi luka dan meningkatkan kesembuhan
Aktivitas
-           Monitor karakteristik luka meliputi drainase, warna, ukuran dan bau
-           Bersihkan luka dengan NaCl (normal saline)
-           Pertahankan teknik steril dalam perawatan luka
-           Inspeksi luka setiap melakukan pergantian dreesing
-           Bandingkan dan laporkan adanya perubahan pada luka secara reguler
-           Atur posisi untuk mencegah tekanan pada daerah luka
-           Tingkatkan intake cairan
-           Ajarkan pada pasien/anggota keluarga tentang prosedur perawatan luka
-           Ajarkan pada pasien/anggota keluarga tentang tanda dan gejala infeksi
-           Dokumentasikan lokasi luka, ukuran, dan penampakannya.

43
BAB IV
PENUTUP

44
4.1. Kesimpulan

Penyebab dari fraktur pelvis di antaranya karena trauma langsung, trauma


tidak langsung, proses penyakit, compresion force dan, muscle (otot). Komplikasi
yang mungkin terjadi pada fraktur pelvis adalah shock hipovolemik,emboli
lemak,trombo emboli vena, infeksi dan kompartemen.
Dalam penatalaksanaan, prinsip utama yang harus di perhatikan adalah
airway,breathing, circulation, disability dan exposure. Diagnosa keperawatan yang
bisa di angkat dalam kasus fraktur pelvis di antaranya resiko perdarahan,nyeri
akut,gangguan mobilitas fisik dan resiko infeksi.

DAFTAR PUSTAKA

Chris,Jack.2009.Assessment and Management of Trauma.University of Southern


California:Division of Trauma and Surgical Critical Care.

45
Emergency Nurses Association (2007).Sheehy`s manual of emergency
care6thedition.
St.Louis Missouri:Elsevier Mosby.
Frakes dan Evan.2004. Major Pelvic Fractures.Journal of Critical Care Nurse
Gilbert,Gregory.,D’Souza,Peter.,Pletz,Barbara.(2009).Patient assessment routine
medical care primary and secondary survey.San Mateo County EMS Agency.
Musliha.(2010).Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika.
Muttaqin,Arif.(2008).Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal.Jakarta : EGC.
Purwadianto, Agus, dkk. (2000). Kedaruratan Medik. Jakarta Barat : Binarupa
Aksara.Rabe,Thomas. 2003.Buku Saku Ilmu Kandungan.Jakarta: Hipokrates
Salim,Carolina.2015.Sistem Penilaian Trauma.CDK-232/vol.42no.9,th,2015
Syaifuddin.2014. Anatomi Fisiologi Ed. 4.Jakarta: EGC
Thomas,Mark A. (2011). Terapi dan rehabilitasi Fraktur. Jakarta: EGC.

46

Anda mungkin juga menyukai