Anda di halaman 1dari 119

TEXT BOOK READING II

Neuraxial Anesthesia

Oleh :

dr. Andika Hami Imamunanda

NIM 04102781923007

Pembimbing :

dr. Rizal Zainal, SpAn. KMN. FIPM

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FK UNSRI/RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2020
HALAMAN PENGESAHAN

Sebuah tugas ilmiah Text Book Reading yang berjudul “Neuraxial


Anesthesia ”telah dipresentasikan oleh:

Nama : dr. Andika Hami Imamunanda

NIM : 04102781923007

Tanggal : 2020

Dosen Pembimbing : dr. Rizal Zainal, SpAn. KMN. FIPM

Sebagai syarat ilmiah semester I PPDS Anestesiologi dan Terapi


Intensif FK UNSRI.

Dosen Pembimbing

dr. Rizal Zainal, SpAn. KMN. FIPM

NIP 19671208 200501 1 001

ii
CHAPTER 22
Anatomi Neuraxial

Pendahuluan
Kolumna vertebra membentuk poros tubuh manusia,, memanjang di garis
tengah tubuh dari bagian bawah tengkorak hingga pelvis. Empat fungsi utamanya
adalah melindungi medula spinalis, menopang kepala, titik perlekatan ekstremitas
atas, dan sebagai pengantar berat tubuh ke ekstremitas bawah. Terkait dengan
anestesi regional, kolumna vertebra merupakan bagian yang memiliki banyak
variasi untuk berbagai teknik anestesi regional. Karena itu penting bagi ahli
anestesi untuk dapat mengembangkan gambaran tiga dimensi dari struktur
kolumna vertebra.

Anatomic Considerations
Kolumna vertebra terdiri dari 33 vertebra (7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5
sakral, dan 4 tulang koksiks atau tulang ekor) (Gambar 22-1). Pada fase embrio,
tulang belakang membentuk kurva menyerupai huruf C, membentuk dua
lengkungan primer dengan bagian cembung mengarah ke posterior. Lengkungan
ini bertahan sampai dewasa sebagai kurva torakal dan sakral. Servikal dan lumbal
yang membentuk lengkungan ke arah dalam (lordosis) adalah lengkungan
sekunder yang berkembang setelah lahir sebagai hasil dari pertumbuhan kepala
dan ekstremitas bawah saat sudah dapat berdiri tegak. Lenkukan sekunder tersebut
akan melengkung dengan bagian cembung ke arah anterior dan menambah
fleksibilitas tulang belakang.

Vertebra
Secara khusus, vertebra terdiri dari lengkung vertebra posterior dan korpus
anterior. Ini berlaku untuk semua vertebra kecuali C1. Dua pedikel muncul pada
bagian posterolateral dari setiap vertebra dan bergabung dengan dua lamina yang
mengelilingi foramen vertebral1 (Gambar 22–2A, 22–2B). Struktur ini
membentuk kanalis vertebra, yang berisi medula spinalis, saraf tulang belakang,

1
dan epidural space. Lempeng fibrokartilago yang mengandung nucleus pulposus,
korpus gelatin avaskular yang dikelilingi oleh lamela berkolagen dari ligamentum
annular, bergabung dengan korpus vertebra. Prosesus transversus terbentuk dari
lamina yang mengarah ke lateral, sedangkan proses spinosus mengarah ke
posterior dari garis tengah penyatuan lamina (Gambar 22–2A, 22–2B). Prosesus
spinosus seringkali terbagi dua pada bagian servikal dan berfungsi sebagai
perlekatan untuk otot dan ligamen.

Gambar 22-1. Kolumna vertebra orang dewasa, tampak lateral

C1 (atlas), C2 (aksis), dan C7 (vertebra prominens) digambarkan sebagai


vertebra servikal atipikal karena bentuknya yang unik. C1 adalah tulang berbentuk
seperti cincin yang tidak memiliki korpus atau prosesus spinosus. C1 dibentuk
oleh dua massa lateral dengan sisi anterior terhubung ke lengkungan pendek dan
sisi posterior terhubung ke yang lengkungan panjang. Lengkungan anterior

2
berartikulasi dengan prosesus odontoid, dan lengkungan posterior memiliki alur
dimana lewatnya arteri vertebra (Gambar 22-3A). Prosesus odontoid (dens) dari
C2 menonjol ke arah superior, yang dinamakan dengan axis (Gambar 22-3B).
Atlas dan aksis bersama-sama membentuk sumbu rotasi untuk sendi atlantoaxial.
C7 (vertebra prominens) memiliki proses spinosus yang panjang, nonbifid yang
berfungsi sebagai tempat untuk berbagai prosedur anestesi (Gambar 22-3C).
Proses transversus dari C7 berukuran besar dan hanya memiliki satu tuberkulum
posterior.

Gambar 22-2. A: L5 tampak superior B: L5 tampak posterior

Ruang interlaminar (interlaminar space) pada vertebra torakal sempit dan


lebih sulit untuk dilalui jarum karena lamina yang tumpang tindih. Sebaliknya,
lamina dari lima vertebra lumbal tidak tumpang tindih. Ruang interlaminar antara
vertebra lumbal juga lebih besar besar.2

Sendi vertebral facet (zygapophyseal) merupakan artikulasi posterior dari

3
bagian-bagian vertebra yang berdekatan. Pertemuan lamina dan pedikel
membentuk artikulasio prosesus inferior dan superior (Gambar 22–2A, 22–2B).
Artikulasio prosesus inferior menonjol secara kaudal dan tumpang tindih dengan
vertebra yang berdekatan dengan artikulasio prosesus superior. Alignment ini
penting untuk dipahami ketika melakukan prosedur intervensi nyeri seperti injeksi
sendi facet, injeksi steroid intra-artikular atau denervasi radio-frekuensi.
Permukaan sendi di servikal mengarah dipertengahan antara aksial dan coronal
plane. Alignment ini memungkinkan gerakan rotasi, fleksi, dan ekstensi yang
cukup, tetapi sedikit resistensi pada gerakan maju dan mundur. Sendi facet di
bagian torakal berorientasi pada bidang yang lebih koronal, yang memberikan
perlindungan lebih besar terhadap kekuatan gerak geser tetapi berkurang pada
gerakan rotasi, fleksi dan ekstensi.

4
Gambar 22-3 A: C1 (atlas) tampak superior, B: C2 (aksis) tampak superior
dengan bifid, C: C7 tampak superior nonbifid

Gambar 22-4. Sakrum dan Koksiks A: sakrum tampak posterior, B: Base dari
sakrum, C: koksiks tampak anterior

Pada lumbal, permukaan sendi melengkung, dengan bagian koronal


berorientasi pada bagian anterior dan bagian sagital berorientasi pada bagian

5
posterior.3 Sendi facet pada torakal terletak di bagian anterior prosesus
transversus, sedangkan sendi facet servikal dan lumbal terletak di belakang
prosesus transversus. Lima vertebra sakral menyatu membentuk sakrum
berbentuk baji, yang menghubungkan tulang belakang dengan sayap iliaka pelvis4
(Gambar 22-4A, 22-4B). Pada masa kanak-kanak, vertebra sakral dihubungkan
oleh kartilago, yang berkembang menjadi osseus fusion setelah pubertas, dengan
hanya tersisa diskus sakrum saat dewasa. Penyatuan (fusion) umumnya selesai
sampai level S5, meskipun mungkin ada penyatuan yang tidak lengkap pada atap
tulang posterior di atas kanalis vertebra sakral. Celah sakral (sacral hiatus) adalah
celah yang terbentuk dari penyatuan tidak lengkap bagian posterior vertebra sakral
kelima. Itu terletak di puncak tulang ekor (koksiks), yang dibentuk oleh gabungan
dari empat vertebra terakhir (Gambar 22-4C). Celah ini menyediakan akses yang
mudah ke bagian ujung caudal dari ruang epidural, terutama pada anak-anak.
Sacral cornu adalah penonjolan tulang yang ada di setiap sisi celah yang mudah
teraba pada anak kecil dan berfungsi sebagai tempat untuk caudal epidural block.

Ligamen Intervertebral
Kolomna vertebra distabilkan oleh serangkaian ligamen. Ligamen
longitudinal anterior dan posterior berjalan di sepanjang permukaan anterior dan
posterior dari korpus vertebra, yang memperkuat kolumna vertebra. Ligamen
supraspinosus, jaringan ikat tebal membentang di sepanjang ujung prosesus
spinosus, yang menjadi lebih tipis pada bagian lumbal (Gambar 22-5). Ligamen
ini berlanjut menjadi ligamen nuchae di atas T7 dan melekat pada tonjolan
oksipital eksternal di dasar tengkorak.5 Ligamen interspinosus adalah jaringan ikat
kecil yang menempel diantara prosesus spinosus; menyatu dengan ligamentum
flavum pada bagian anterior dan ligamentum supraspinous bagian pada posterior
(Gambar 22-5).

Ligamentum flavum adalah struktur padat, homogen, yang sebagian besar


terdiri dari elastin, menghubungkan lamina antar vertebra5,6 (Gambar 22-5). Tepi
lateral ligamentum flavum mengelilingi bagian anterior sendi facet, yang

6
memperkuat kapsul sendi. Saat jarum dimasukkan ke arah ruang epidural, ada
peningkatan resistensi yang jelas dirasakan ketika menemukan ligamentum
flavum. Penting untuk diketahui ahli anestesi neuraxial, resistensi akan hilang
tiba-tiba saat ujung jarum melewati ligamentum dan memasuki ruang epidural.

Ligamentum flavum terdiri dari dua bagian, kanan dan kiri yang menyatu
(fusion) membentuk sudut kurang dari 90°. Hal penting, fusi ini bisa tidak
ditemukan dan dapat membentuk sudut yang bervariasi, tergantung pada level
vertebra.2 Celah pada fusi tersebut memungkinkan vena terhubung pada pleksus
vena vertebralis.7 Celah fusi lebih banyak ditemkan pada servikal dan torakal.
Yoon et al melaporkan bahwa celah pada midline C3 dan T2 terjadi pada 87%
-100% individu. Insiden celah pada midline berkurang pada vertebra bagian
bawah, dengan persentase terendah pada T4 – T5 (8%) .7 Secara teori, celah pada
midline menimbulkan risiko gagal untuk mengenali hilangnya resistensi pada
servikal dan torakal saat menggunakan pendekatan midline, menghasilkan tusukan
dural yang inadvertent.

Ligamentum flavum paling tipis pada bagian servikal dan torakal bagian
atas dan paling tebal pada torakal bawah dan lumbal.8,9 Akibatnya, resistensi
terhadap tusukan jarum lebih mudah dirasakan saat jarum ditusukkan pada bagian
vertebra bawah (misalnya lumbal).7,8 Pada ruang antar L2-L3, tebal ligamentum
flavum adalah 3 hingga 5 mm. Pada level ini, jarak dari ligamentum ke meninges
spinal adalah 4-6 mm.6 Akibatnya, insersi jarum epidural pada level ini adalah
insersi yang paling sedikit menyebabkan inadvertent dalam epidural anestesi-
analgesia.

Dinding lateral kanalis vertebral memiliki celah di antara pedikel yang


dikenal sebagai foramina intervertebralis (Gambar 22-1A). Karena pedikel
lebih banyak menempel pada bagian tengah korpus vertebra, foramina
intervertebralis terletak berlawanan dengan bagian bawah korpus vertebra, dengan
diskus vertebra berada di ujung kauda foramen. Akibatnya, batas foramina

7
intarvertebralis adalah pedikel di korpus vertebra dan ujung kaudal, pada bagian
anterior yaitu korpus vertebra (cephalad) dan diskus (bagian kaudal), pada bagian
inferior yaitu sebagian dari korpus vertebra lainnya, dan pada bagian posterior
yaitu lamina, sendi facet, dan ligamentum flavum.

Gambar 22-5. Gambaran cross-sectional dari kolumna vertebra dengan ligamen,


korpus vertebra, dan prosesus spinosus.

Meninges Spinalis
Medulla spinalis adalah perpanjangan dari medula oblongata. Medulla
spinalis belakang memiliki tiga selaput pembungkus: dura, arachnoid, dan
piamater (Gambar 22–6A). Membran ini secara konsentris membagi kanalis
vertebra menjadi tiga kompartemen yang berbeda: epidural, ruang subdural, dan
subarachnoid. Ruang epidural mengandung lemak, vena epidural, akar saraf
spinalis, dan jaringan ikat (Gambar 22–6B). Ruang subdural adalah ruang
“potensial” antara dura dan arachnoid dan mengandung cairan serosa.
Kompartemen subdural dibentuk oleh sel neuroepitelial datar yang memiliki
cabang panjang yang saling berhubungan. Sel-sel ini berdekatan dengan lapisan

8
dural bagian dalam. Ruang ini dapat diperluas dengan memotong hubungan
lapisan sel neuroepitelial dengan serat kolagen dari dura mater. Perluasan ruang
subdural ini dapat disebabkan secara mekanik dengan menyuntikkan udara atau
cairan seperti media kontras atau anestesi lokal, yang menimbulkan tekanan dalam
ruang, sehingga memisahkan lapisan sel.10 Ruang subarachnoid dilintasi oleh
benang-benang jaringan ikat yang memanjang dari arachnoid mater ke pia mater.
Ruang subarachnoid berisi medula spinalis, akar saraf dorsal dan ventral, dan
cairan serebrospinal (CSF). Ruang subarachnoid berakhir pada vertebra S2.

Gambar 22-6. A: Tampak sagital dari medula spinalis dengan meningeal layers,
dorsal root ganglia, spinal nerves, dan sympathetic trunk. B. Tampak
crosssectional dari medulla spinalis.

9
Medulla Spinalis
Ada delapan segmen saraf servikal. Segmen ke-8 saraf tersebut muncul
antara servikal ketujuh dan torakal pertama vertebra, sedangkan saraf servikal
yang lainnya muncul di atas vertebra servikal dengan nomor yang sama. Saraf
torakal, lumbal, dan sakral muncul di bawah kolomna vertebra yang memiliki
normor yang sama1 (Gambar 22-6A). Bagian anterior dan posterior akar saraf
spinalis timbul dari akar saraf di sepanjang medula spinalis. Akar saraf dari
pleksus ekstremitas atas dan bawah (brakialis dan lumbosakral) secara signifikan
lebih besar dibandingkan dengan yang lain.
Dural sac berawal dari foramen magnum ke regio sakral, yang
penyebarannya secara distal menutupi filum termina. Pada anak-anak, dural sac
berakhir lebih rendah, dan pada beberapa orang dewasa, dural sac berakhir
setinggi L5. Kanalis vertebralis berisi dural sac, yang pada bagian superior nya
melekat pada foramen magnum, pada bagian anterior nya ke ligamentum
longitudinal posterior, pada bagian posterior ke ligamentum flavum dan lamina,
dan pada bagian lateral ke pedikel.

Gambar 22-7 A: Tampak sagital dari lumbal B. Suplai arteri pada medula

10
spinalis

Medulla spinalis mengecil dan berakhir sebagai conus medullaris di tingkat


diskus intervertebra L1-L2 (Gambar 22-7A). Filum terminal, perpanjangan
jaringan fibrosa dari medulla spinalis, meluas secara kaudal ke tulang ekor
(koksiks). Cauda equina adalah kumpulan saraf di bagian distal ruang
subarachnoid sampai conus medullaris12 (Gambar 22-7A).

Medulla spinalis menerima darah terutama dari satu arteri anterior dan dua
arteri posterior spinalis yang berasal dari arteri vertebralis (Gambar 22-7B).
Arteri besar lainnya yang menyuplai darah ke medulla spinalis termasuk
vertebra, servikal asenden, interkostal posterior, lumbal, dan arteri sakral
lateral. Arteri spinalis anterior tunggal dan dua arteri spinalis posterior berjalan
secara longitudinal di sepanjang medulla spinalis dan bersama dengan arteri
segmental di setiap regionya. Arteri segmental mayor (Adamkiewicz) adalah
arteri segmental terbesar dan ditemukan antara vertebra T8 dan L1. Arteri
Adamkiewicz adalah pemasok darah utama untuk dua pertiga dari medulla
spinalis. Cidera arteri ini dapat menyebabkan sindrom arteri spinalis anterior,
yang ditandai dengan hilangnya kontrol urin dan fekal serta gangguan fungsi
motorik kaki.1 Arteri radikular adalah cabang arteri spinalis dan berjalan di
dalam kanalis vertebralis dan menyuplai kolumna vertebralis. Vena radikular
mengalirkan darah dari pleksus vena vertebralis dan akhirnya mengalir ke sistem
vena utama: vena cava superior dan inferior dan sistem vena azygos thorax.1

Pergerakan Tulang Belakang


Pergerakan dasar dari kolumna vertebra adalah fleksi, ekstensi, rotasi, dan
fleksi lateral pada servikal dan lumbal. Gerakan antar masing-masing vertebra
relatif terbatas, meskipun efeknya compounded disepanjang seluruh tulang
belakang. Vertebra torakal, khususnya, memiliki mobilitas terbatas karena tulang
rusuk. Gerakan fleksi paling luas pada bagian servikal sedangkan gerakan ekstensi
pada bagian lumbar. Bagian torakal dan sakral adalah bagian yang paling stabil.

11
Special Considerations
Di Amerika Serikat dan sebagian besar negara maju, ada peningkatan pada
populasi lansia. Tren ini disertai dengan peningkatan prevalensi deformitas tulang
belakang, seperti stenosis tulang belakang, skoliosis, hiperkifosis, dan
hiperlordosis. Pada pasien lanjut usia, memiliki tantangan dalam melakukan
enestesi teknik neuraxial. Dengan bertambahnya usia, ketebalan diskus
intervertebralis semakin menipis, menghasilkan penurunan tinggi kolumna
vertebra. Ligamen yang menebal dan osteofit juga berkontribusi dalam sulitnya
akses ke ruang subaraknoid dan epidural. Frekuensi deformitas tulang belakang
pada orang dewasa yang lebih tua dapat mencapai 70% .13

Skoliosis pada orang dewasa, khususnya, sering dijumpai pada lansia.


Faktanya, Schwab dkk menunjukkan skoliosis itu hadir di 68% dari populasi
tanpa gejala yang berusia lebih dari 60 tahun. Pemahaman yang menyeluruh
tentang skoliosis tulang belakang akan membantu dalam blokade neuraxial sentral
pada populasi pasien ini. Pada skoliosis tulang belakang, corpus vertebra berputar
ke arah cembung kurva, dan prosesus spinosusnya menghadap ke cekungan
kurva.14 (Gambar 22–8).

Gambar 22-8 Skoliosis pada orang dewasa A: S-shaped skoliosis pada


torakolumbal B. sudut Cobb 500

12
Diagnosis skoliosis dibuat ketika sudut Cobb lebih besar dari 10° di bidang
koronal dari tulang belakang pada pasien skletal matur.15 Sudut Cobb, yang
digunakan untuk mengukur besarnya skoliosis, terbentuk di antara garis yang
ditarik sejajar dengan endplate superior dari satu ruas vertebra di atas lekukan
deformitas dan garis yang digambar sejajar dengan endplate inferior dari satu ruas
vertebra di atas lekukan deformitas16 (Gambar 22–8). Pada pasien yang tidak
ditatalaksana, terdapat hubungan yang erat antara sudut Cobb dan derajat rotasi
lekukan vertebra di torakal dan lumbal, dengan maksimum rotasi berada pada
apeks (puncak) lekukan.17,18 Lekukan kompensasi selalu berlawanan dengan arah
lekukan dari skoliosis.

Skoliosis biasanya timbul pada masa kanak-kanak atau remaja dan dapat
didiagnosis selama pemeriksaan fisik rutin. Apabila tidak ditatalaksana, skoliosis
dapat menjadi progresif dan menyebabkan gangguan pernapasan dan gangguan
gaya berjalan. Skoliosis juga dapat tidak terdiagnosis dan muncul dikemudian hari
sebagai nyeri punggung.15,19

Pengobatan tergantung pada derajat keparahan skoliosis. Skoliosis ringan


(11° –25°) biasanya hanya diobservasi. Skoliosis sedang (25° –50°) pada pasien
yang skeletal belum matur sering semakin berkembang dan karena itu paling
sering menggunakan brace. Pasien dengan skoliosis berat (>50°) biasanya
ditatalaksana dengan operasi.20

Gambar 22-9 Paramedian approach in a scoliotic spine.

13
Derajat rotasi korpus vertebral di sepanjang aksis tulang belakang
memengaruhi insersi jarum pada anestesi neuraxial. Pada pasien dengan skoliosis,
korpus vertebra berputar ke arah sisi cembung lekukan. Karena rotasi ini, prosesus
spinosus mengarah ke midline (sisi cekung). Sehingga membuat ruang
interlaminar yang lebih besar di sisi cembung tulang belakang.21,22 Jalur langsung
ke ruang neuraxial dibuat oleh rotasi korpus vertebra ini, memungkinkan
penggunaan pendekatan paramedian dari sisi cembung lekukan (Gambar 22-9).
Pada bagian permukaan, khususnya prosesus spinosus, mungkin sulit
diidentifikasi pada skoliosis berat. X-ray dan preprosedural USG terbaru, dapat
digunakan untuk menentukan angulasi longitudinal tulang belakang, lokasi dan
orientasi prosesus spinosus, serta kedalaman lamina.23-25

CHAPTER 23
ANESTESIA SPINAL

Sejarah Anestesia Spinal


Carl Koller, seorang dokter mata dari Wina, adalah orang pertama yang
menggunakan kokain sebagai analgesia lokal pada mata pada tahun 1884. 1
William Halsted dan Richard Hall, ahli bedah di Rumah Sakit Roosevelt di kota
New York, mencetuskan ide anestesi lokal dengan menyuntikkan kokain ke
jaringan manusia dan saraf pada prosedur anestesi untuk operasi.2 James Leonard
Corning, seorang ahli saraf di kota New York, pada tahun 1885 menggunakan
kokain untuk anestesi spinal.3 Karena Corning sering menjadi pengamat di Rumah
Sakit Roosevelt, ide untuk menggunakan kokain di ruang subarachnoid mungkin
berasal dari mengamati Halsted dan Hall saat melakukan penyuntikkan kokain.
Corning pertama kali menyuntikkan kokain secara intratekal pada seekor anjing
dan dalam beberapa menit anjing tersebut mengalami kelemahan pada kaki bagian
belakang 4. Selanjutnya, Corning menyuntikkan kokain ke seorang pria di ruang
antara T11-T12 yang dia pikirkan sebagai ruang subarachnoid. Karena Corning
tidak melihat efek apa pun setelah 8 menit penyuntikkan, ia mengulang kembali
penyuntikannya. Sepuluh menit setelah injeksi kedua, pasien mengeluh
kelemahan pada kakinya tetapi masih bisa berdiri dan berjalan. Karena Corning

14
tidak menyebutkan adanya cairan serebrospinal (CSF) yang keluar, kemungkinan
besar dia secara tidak melakukan injeksi epidural daripada injeksi spinal.

Adanya cairan neuraxial pertama kali ditemukan oleh Galen di 200 M, dan
dipelajari pada 1500-an oleh Antonio Valsalva.5 Pungsi dural dijelaskan pada
tahun 1891 oleh Essex Wynter6 diikuti segera oleh Heinrich Quincke 6 bulan
kemudian.7 Augustus Karl Gustav Bier, seorang ahli bedah Jerman, menggunakan
kokain intratekal pada tahun 1898 pada enam pasien untuk operasi ekstremitas
bawah.8,9 Berdasarkan ilmu ilmiah yang benar, Bier memutuskan untuk
bereksperimen pada dirinya sendiri dan mengembangkan Postdural Puncture
Headache (PDPH). Asistennya, Dr. Otto Hildebrandt, menawarkan diri sebagai
sukarelawan untuk melanjutkan prosedur setelah Bier tidak dapat melanjutkan
karena PDPH. Setelah injeksi kokain tulang belakang yang dilakukan
Hildebrandt, Bier melakukan percobaan pada bagian bawah tubuh Hildebrandt.
Bier menggambarkan tusukan jarum dan luka bakar pada kaki, insisi di paha,
avulsi rambut pubis, pukulan palu ke tulang kering, dan torsio testis. Hildebrandt
melaporkan merasakan nyeri minimal hingga tidak merasa nyeri selama
percobaan; Namun, setelah itu dia menderita mual, muntah, PDPH, memar dan
nyeri di kakinya. Bier mengaitkan PDPH dan kehilangan CSF dan merasa bahwa
penggunaan jarum kecil akan membantu mencegah nyeri kepala.10

Dudley Tait dan Guido Caglieri melakukan anestesi spinal pertama kali di
Amerika Serikat di San Francisco pada tahun 1899. Studi mereka termasuk mayat,
hewan, dan pasien hidup untuk menentukan manfaat pungsi lumbal, terutama
dalam perawatan sifilis. Tait dan Caglieri menyuntikkan garam merkuri dan
iodida ke dalam CSF, tetapi hal ini memperburuk kondisi satu pasien dengan
sifilis tersier.11 Rudolph Matas, seorang ahli bedah vaskular di New Orleans,
menggambarkan penggunaan kokain spinal pada pasien dan mungkin merupakan
yang pertama menggunakan morfin di ruang subarachnoid.12,13 Matas juga
menyebutkan komplikasi kematian setelah pungsi lumbal. Theodore Tuffier,
seorang ahli bedah Prancis di Paris, mempelajari anestesi spinal dan

15
melaporkannya pada tahun 1900. Tuffier merasa bahwa kokain tidak boleh
disuntikkan sampai CSF dikenali.14 Tuffier mengajar di Universitas Paris yang
sedangkan, Tait seorang mahasiswa kedokteran di sana dan kemungkinan besar
adalah salah satunya guru Tait. Demonstrasi Tuffier di Paris membantu
mempopulerkan anestesi spinal di Eropa.

Arthur Barker, seorang profesor bedah di Universitas London, melaporkan


kemajuan teknik spinal di tahun 1907, termasuk penggunaan anestesi lokal spinal
hiperbarik, penekanan pada sterilitas, dan kemudahan pungsi dural midline hingga
paramedian.15 Kemajuan sterilitas dan pengamatan penurunan tekanan darah
setelah injeksi membantu membuat anestesi spinal lebih aman dan lebih populer.
Gaston Labat adalah seorang pendukung kuat anestesi spinal di Amerika Serikat
dan melakukan studi awal tentang efek posisi Trendelenburg pada tekanan darah
setelah anestesi spinal.16 George Pitkin mencoba menggunakan anestesi lokal
hipobarik untuk mengontrol tingkat blokade spinal dengan mencampurkan
prokain dengan alkohol.17 Lincoln Sise, seorang ahli anestesi di Klinik Lahey di
Boston, menggunakan teknik anestesi spinal hiperbarik Barker dengan prokain
dan tetrakain.18-20

Anestesi spinal menjadi lebih populer sebagai perkembangan yang baru,


termasuk dikeanlkannya tentang saddle blok anestesi oleh Adriani dan Roman-
Vega pada 1946.21 Namun, di tahun 1947 kasus Woolley and Roe (United
Kingdom) menjadikan dua pasien menjadi lumpuh dalam satu hari.22 Di Atlantik,
laporan paraplegia seperti di Amerika Serikat juga menyebabkan ahli anestesi
untuk menghentikan penggunaan anestesi spinal.23 Perkembangan agen anestesi
intravena dan blockade neuromuskuler bertepatan dengan penurunan penggunaan
anestesi spinal. Pada tahun 1954, Dripps dan Vandam menyebutkan keamanan
anestesi spinal di lebih dari 10.000 pasien,24 dan anestesi spinal mulai dipakai
kembali.

Di bidang obstetri, lebih dari 500.000 spinal telah dilakukan pada wanita

16
Amerika pada pertengahan 1950.25 Meskipun anestesi spinal menjadi teknik yang
paling sering digunakan untuk persalinan pervaginam dan operasi caesar pada
1950-an, perbaikan dalam teknologi epidural menghasilkan penurunan
penggunaan anestesi spinal obstetri pada akhir 1960-an. Third National Audit
Project (NAP3) memperkirakan 133.525 anestesi spinal pada kasus obstetri
dilakukan pada 2006 di Inggris Raya.26

Perkembangan awal jarum spinal selaras dengan perkembangan awal anestesi


spinal. Corning memilih jarum emas yang memiliki titik bevel pendek, kanula
fleksibel, dan set sekrup yang yang mengatur kedalaman jarum pada penetrasi
dural. Corning juga menggunakan introduser dengan kemiringan yang tepat.
Quincke menggunakan jarum bevel yang tajam dan berongga. Bier
mengembangkan jarum tajamnya sendiri yang tidak membutuhkan introduser.
Jarumnya dengan rongga yang lebih besar (15 atau 17 gauge) dengan bevel yang
panjang dan tajam. Masalah utama dari jarum Bier adalah rasa sakit saat insersi
dan hilangnya anestesi lokal karena lubang besar di dura setelah pungsi dural.
Jarum Barker tidak memiliki kanula bagian dalam, terbuat dari nikel, dan
memiliki bevel tajam, panjang bevelnya medium-panjang dengan stylet. Labat
mengembangkan jarum nikel yang tidak bisa dipecahkan, yang memiliki bevel
tajam dan pendek dengan stylet yang serasi. Labat percaya bahwa bevel pendek
dapat meminimalkan kerusakan pada jaringan saat dimasukkan.

Herbert Greene menyadari bahwa kehilangan CSF adalah masalah utama


dalam anestesi spinal dan mengembangkan ujung jarum yang halus dan lebih
kecil akan menurunkan insiden PDPH.27 Barnett Greene menyebutkan penggunaan
jarum spinal 26-gauge dalam obstetri dapat menurunkan insiden PDPH.28 Jarum
Greene menjadi populer sampai diperkenalkannya Jarum Whitacre. Hart dan
Whitacre29 menggunakan pencil-point dan mengurangi PDPH dari 5% -10%
menjadi 2%. Sprotte memodifikasi jarum Whitacre dan pada tahun 1987
mencobanya pada lebih dari 34.000 anestesi spinal.30 Modifikasi Jarum sprotte
dilakukan tahun 1990-an dan digunakan hari sekarang.31

17
Anestesi spinal telah berkembang pesat sejak 1885. Setiap aspek, dari
perkembangan peralatan dan agen farmakologis, mendalami fisiologi dan
anatomi, membuat anestesi spinal semakin aman digunakan. Berubahnya
pengetahuan klinis telah membuat hal-hal apa saja yang dianggap sebagai
kontraindikasi untuk anestesi spinal, dan perkembangan teknik baru, seperti
penggunaan ultrasound, telah membuat anestesi spinal dapat dilakukan di situasi
yang dulunya dianggap mustahil. Meskipun demikian, tidak ada teknik yang
bebas risiko, dan setiap upaya harus dilakukan dibuat untuk mencegah
komplikasi. Belajar bagaimana melakukan anestesi spinal adalah keterampilan
yang sangat berharga bagi semua ahli anestesi yang harus ada di armamentarium
mereka.

Risiko Dan Manfaat Dari Spinal Anestesi


Sebelum menawarkan anestesi spinal pada pasien, ahli anestesi tidak hanya
mempertimbangkan indikasi dan kontraindikasi dari anestesi spinal tetapi juga
harus dapat mempertimbangkan risiko dan manfaat dari anastesi spinal. Ini
membutuhkan pemahaman menyeluruh mengenai evidence yang ada, khususnya
bagaimana perbandingan risiko-manfaat dibandingkan dengan alternatif lain, dan
kemampuan untuk menerapkan evidence pada kasus yang dihadapi.
Dengan demikian, informasi yang diberikan oleh ahli anestesi dapat memfasilitasi
pasien dalam membuat keputusan.

Kontraindikasi dan Risiko Anestesi Spinal


Kontraindikasi Anestesi Spinal
Terdapat kontraindikasi absolut dan relatif pada anestesi spinal (lihat Tabel
23–1). Kontraindikasi absolut termasuk penolakan pasien; infeksi di tempat
injeksi; hipovolemia berat atau belum dikoreksi; alergi terhadap obat; dan
peningkatan tekanan intrakranial, kecuali dalam kasus pseudo-tumor cerebri
(hipertensi intrakranial idiopatik). Tekanan intrakranial yang tinggi dapat
meningkatkan risiko herniasi uncal ketika CSF keluar melalui jarum. Anestesi

18
spinal juga kontraindikasi pada operasi yang diperkirakan akan memakan waktu
lebih lama dari waktu durasi blok atau mengakibatkan kehilangan darah sehingga
perkembangan dapat menimbulkan hipovolemia berat.
Tabel 23-1. Kontraindikasi anastesi spinal

Koagulopati, yang sebelumnya dianggap sebagai kontraindikasi absolut, dapat


dipertimbangkan tergantung pada tingkat kerusakan. Kontraindikasi relatif lain
dari anestesi spinal adalah sepsis yang bukan berasal dari tempat insersi
(misalnya, korioamnionitis atau infeksi ekstremitas bawah). Jika pasien sedang
aktif mengonsumsi antibiotik dan tanda vitalnya stabil, anestesi spinal dapat
dipertimbangkan. Anestesi spinal juga memiliki kontraindikasi relatif pada
penyakit jantung dengan fixed cardiac output (CO) states. Aorta stenosis, pernah
dianggap sebagai kontraindikasi absolut untuk anestesi spinal, tetapi tidak selalu
menjadi kontraindikasi pada anestesi spinal yang dilakukan dengan hati-hati.32-34

Beberapa penyakit neurologis adalah kontraindikasi relatif. Multiple sclerosis


dan penyakit demielinasi lainnya cukup menantang dalam kasus anestesi spinal.
Pada eksperimen in vitro menunjukkan bahwa demielinisasi saraf lebih rentan
terhadap toksisitas anestesi lokal. Namun, tidak ada studi klinis yang secara
meyakinkan menunjukkan anestesi spinal memperburuk penyakit neurologis
tersebut. Memang dengan pengetahuan bahwa rasa sakit, stres, demam, dan
kelelahan dapat memperburuk penyakit-penyakit ini, maka dari itu blokade stress-
free central neuraxial block (CNB) lebih sering digunakan untuk operasi.35-39
Anestesi spinal pada pasien immunocompromised juga menjadi tantangan

19
bagi ahli anestesi dan merupakan salah satu pernyataan dalam konsensus.40
Meskipun pernyataan konsensus ini tidak memberikan saran preskriptif untuk
setiap situasi, pernyataan ini juga tidak merangkum evidence yang tersedia.
Sebelumnya, operasi tulang belakang pernah dianggap sebagai kontraindikasi.
Pungsi dural mungkin sulit, dan penyebaran anestesi lokal dapat dibatasi oleh
bekas luka jaringan. Namun, ada laporan kasus anestesi spinal yang berhasil
dalam kasus seperti ini, terutama dengan bantuan USG.41–43 Ada risiko teoritis
dalam memasukkan jarum berongga melalui kulit yang bertato.44 Namun, tidak
ada laporan mengenai komplikasi dari insersi jarum spinal atau epidural melalui
tato.45 Stylet dapat mengurangi kemungkinan transmisi jaringan ke ruang
subaraknoid, dan jika khawatir, sayatan kulit kecil dapat dibuat sebelum jarum
diinsersi. Introduser berfungsi untuk mencegah kontaminasi pada CSF dengan
potongan epidermis kecil, yang bisa mengarah ke pembentukan tumor dermoid
medulla spinalis.

Risiko Anestesi Spinal: Komplikasi


Komplikasi blokade spinal sering dibagi menjadi komplikasi mayor dan
komplikasi minor. Kebanyakan komplikasi mayor jarang dijumpai. Komplikasi
minor, lebih sering dijumpai dan karena itu tidak boleh diremehkan. Komplikasi
minor termasuk mual, muntah, hipotensi ringan, menggigil, gatal, gangguan
pendengaran, dan retensi urin. PDPH dan gagal blokade spinal adalah komplikasi
yang signifikan, dan tidak jarang pada anestesi spinal. Karena itu kami
menganggap hal tersebut sebagai komplikasi moderat (lihat Tabel 23–2).
Kegagalan anestesi spinal telah disebutkan antara 1% dan 17% dan dibahas lebih
lanjut dalam bab ini.
Tabel 23-2. Komplikasi anastesi spinal

20
Komplikasi Minor Anestesi Spinal
Mual dan Muntah
Mual dan muntah muncul setelah anestesi spinal menyusahkan bagi pasien
dan dapat menyulitkan ahli bedah. Kejadian mual dan muntah intraoperatif atau
intraoperative nausea and vomiting (IONV) dalam operasi nonobstetric dapat
mencapai 42% dan mungkin setinggi 80% pada ibu melahirkan.46

Penyebabnya kompleks dan multifaktorial. Penyebab yang tidak terkait


dengan spinal, mencakup faktor-faktor pasien (misalnya, kecemasan,
berkurangnya tonus sphincter esofagus bagian bawah, meningkatnya tekanan
lambung, hiperaktif vagal, perubahan hormonal); faktor bedah (eksteriorisasi
rahim, traksi peritoneum); dan faktor lainnya (misalnya, opioid sistemik, obat
uterotonik, antibiotik, pergerakan).46,47 Anestesi spinal sendiri dapat menyebabkan
IONV atau mual dan muntah pasca operasi/postoperative nausea and vomiting
(PONV) melalui berbagai mekanisme, termasuk hipotensi, aditif intratekal,
blokade yang tidak adekuat, atau blokade yang tinggi. Faktor risiko untuk IONV
pada spinal adalah blokade yang tingginya lebih tinggi dari T6, baseline denyut
jantung (HR) 60 denyut/menit atau lebih, riwayat mabuk perjalanan, dan hipotensi
sebelumnya setelah blokade spinal.48

Hipotensi harus menjadi pertimbangan pertama ketika seorang pasien


mengeluh mual, terutama segera setelah anestesi spinal. Hal ini sudah lama
diketahui. Evans, pada teksbook nya pada tahun 1929 tentang anestesi spinal,

21
mencatat bahwa "menurunnya tekanan darah secara tiba-tiba diikuti dengan
49
mual”. Mekanisme dan manajemen hipotensi dibahas secara lebih rinci di
bagian lain (lihat bagian tentang efek kardiovaskular anestesi spinal).

Berbagai aditif intratekal telah menunjukkan peningkatan IONV atau PONV.


Morfin intratekal, diamorfin, clonidine, dan neostigmine semuanya meningkatkan
mual dan muntah. Namun, fentanil intratekal mengurangi IONV, baik dengan
meningkatkan kualitas blokade, mengurangi opioid tambahan, ataupun
mengurangi hipotensi.

Blokade spinal bagian bawah dapat menyebabkan mual akibat stimulasi


pembedahan, sedangkan blokade spinal pada bagian yang lebih tinggi (dengan
parasimpatis relatif yang overaktif) juga dapat menyebabkan mual. Glikopirrolat
terbukti lebih baik daripada plasebo dalam mengurangi mual selama operasi
caesar, meskipun tingkat mual masih tinggi (42%).50 Namun, profilaksis
glikoprolrolat dapat meningkatkan hipotensi setelah anestesi spinal.46

Sebuah meta-analisis terbaru menyarankan metoclopramide (10 mg) efektif


dan aman untuk pencegahan IONV dan PONV pada kasus kelahiran sesar dengan
blokade neuraxial.47

Meta-analisis lain menunjukkan reseptor antagonis serotonin 5-HT3


mengurangi kejadian mual dan muntah dan perlunya antiemetik pasca operasi saat
intratekal morfin yang digunakan untuk operasi caesar.51

Meskipun beberapa penelitian menunjukkan manfaat stimulasi P6


(pericardium 6 nei guan point), berdasarkan akupunktur Cina, sebuah systematic
review tahun 2008 menemukan hasil yang tidak konsisten dalam mencegah IONV
dan PONV.52

22
Hipotensi
Mekanisme dan manajemen hipotensi dibahas di bagian lain (lihat bagian
tentang efek kardiovaskular anestesi spinal).

Menggigil
Crowley et al membahas tentang menggigil dan anestesi neuraxial.53 Anestesi
spinal dan epidural, dan anestesi umum, dapat menyebabkan menggigil. Insiden
menggigil sekunder karena blokade neuraxial sulit untuk dinilai mengingat
heterogenitas studi sekitar 55%. Dalam 30 menit pertama setelah blokade, anestesi
spinal menurunkan suhu tubuh lebih cepat dari anestesi epidural. Setelah 30
menit, kedua teknik menyebabkan suhu turun pada tingkat yang sama. Meskipun
terjadi penurunan suhu, menggigil setelah anestesi spinal intensitasnya tidak lebih
besar dibandingkan dengan anestesi epidural.54 Memang, intensitas menggigil
tampaknya lebih tinggi dengan epidural. Mekanisme yang dikemukakan mengenai
hal ini termasuk ketidakmampuan untuk menggigil karena blokade motorik
dengan anestesi spinal dan ambang batas menggigil yang menurun dengan lebih
banyak dermatom (dan karenanya aferen termoregulasi) tersumbat selama anestesi
spinal. Beberapa strategi telah disarankan untuk mengurangi menggigil neuraxial
(lihat Tabel 23-3).
Tabel 23-3. Strategi untuk mencegah dan menatalaksana menggigil karena
anastesi spinal

23
Pruritus/Gatal
Pruritis atau gatal adalah efek samping opiat yang terkenal dan lebih banyak
umum melalui rute spinal (46%) dibandingkan dengan epidural (8,5%) dan rute
sistemik.55 Keparahan pruritis sebanding dengan dosis morfin intratekal tetapi
tidak untuk dosis morfin epidural. Pruritis yang berhubungan dengan neuraxial
opioid sering dirasakan di sekitar hidung dan wajah. Meskipun mungkin gejala
yang timbul tidak dimediasi melalui reseptor opioid, pruritis dapat ditatalaksana
dengan antagonis reseptor opioid nalokson.55

Ada laporan bahwa ondansetron digunakan untuk opioid-induced pruritis,


menunjukkan peran reseptor serotonin dalam morfin-induced pruritis yang
diinduksi pruritis.57 Meta-analisis pasien kebidanan tahun 2009 yang telah
dilakukan morfin intratekal menunjukkan bahwa reseptor antagonis 5-HT3 tidak
mengurangi kejadian pruritis tetapi memang mengurangi keparahan gatal dan
kebutuhan untuk mengobati pruritis. Reseptor antagonis 5-HT3 bermanfaat dalam
pengobatan pruritis (jumlah yang dibutuhkan untuk mengobati [NNT] = 3) .51

Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran, khususnya di rentang frekuensi rendah, telah
dilaporkan setelah anestesi spinal. Insiden yang tercatat sangat bervariasi (3%-
92%).58 Otoacoustic emissions, pengukuran obyektif yang mencerminkan fungsi
rambut sel luar, menunjukkan gangguan pendengaran menjadi lebih umum
daripada yang diduga, tetapi bersifat sementara, dengan pemulihan penuh terjadi
dalam 15 hari.59 Penulis lain juga menyimpulkan hal yang sama bahwa gangguan
pendengaran biasanya menghilang secara spontan.58 Perbandingan gangguan
pendengaran setelah anestesi umum dan anastesi spinal menyimpulkan bahwa
gangguan pendengaran terjadi terlepas dari teknik yang digunakan.58 Gangguan
pendengaran dapat berkaitan atau tidak dengan PDPH dan dapat membaik dengan
epidural blood patch.60 Kehilangan pendengaran setelah blokade spinal mungkin
berkaitan dengan ukuran jarum61 dan mungkin jarang dijumpai pada kasus
obstetri.62 Finegold menunjukkan bahwa gangguan pendengaran tidak terjadi pada

24
wanita yang menjalani sesar elektif dengan menggunakan jarum Sprotte 24-gauge
atau Quincke 25-gauge.62 Telah disarankan bahwa persetujuan untuk anestesi
spinal harus mencakup diskusi untuk medikolegal karena kemungkinan terjadinya
gangguan pendengaran.59,63

Retensi Urin Pasca Operasi


Miksi adalah interaksi fisiologis yang kompleks. Postoperative urinary
retention (POUR), awalnya seringkali multifaktorial. Faktor risiko pasien untuk
POUR adalah jenis kelamin laki-laki dan sudah memiliki disfungsi urologis
sebelumnya. Faktor risiko bedah adalah operasi pada panggul atau operasi yang
lama. Faktor anestesi adalah obat-obatan antikolinergik, opioid, dan pemberian
cairan (> 1000 mL).64 POUR dapat terjadi pada anestesi neuraxial dan umum.

Terjadinya POUR setelah blokade neuraxial disebabkan karena gangguan


saraf refleks berkemih serta overdistensi kandung kemih. Opioid neuraxial
memberikan efek pada medulla spinalis dan pusat miksi pontine. Blokade
parasimpatis yang diinduksi oleh anestesi spinal harus berakhir sebelum terjadi
kekosongan. Hal ini biasanya sesuai dengan pengembalian segmen S2-S4.64 Jenis
dan dosis anestesi lokal, serta penggunaan opioid neuraxial, memengaruhi
kembalinya miksi spontan. Waktu miksi tercepat adalah pada penggunaan 2-
chloroprocaine dan paling lambat pada penggunaan bupivacaine.65

Systematic review terbaru menemukan enam studi yang membandingkan efek


anestesi neuraxial dengan teknik lain.65 Empat studi membandingkan infiltrasi
lokal dengan anestesi intratekal; tiga di antaranya menemukan bahwa insiden
retensi urin yang lebih rendah dengan infiltrasi lokal. Dua penelitian lain yang
membandingkan anestesi intratekal dengan anestesi umum, dan anestesi intratekal
dengan blokade saraf perifer, menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan waktu
miksi dari teknik anestesi tersebut.

25
Postdural Puncture Headache
Postdural Puncture Headache, sering diklasifikasikan sebagai komplikasi
minor66 (atau setidaknya bukan mayor26), bisa menjadi lebih berat dan
melemahkan dan telah dianggap sebagai komplikasi neurologis dari anestesi
spinal.67 Hal ini adalah penyebab umum untuk tuntutan medikolegal. Kejadian
PDPH dipengaruhi oleh demografi pasien dan jarang terjadi pada pasien usia
lanjut.68 Pada kelompok risiko tinggi, seperti pasien obstetri, risiko setelah pungsi
lumbal dengan jarum Whitacre Jarum 27-gauge adalah sekitar 1,7% .69 Ukuran
dan tipe jarum berpengaruh pada kejadian PDPH. Faktor risiko lain termasuk
indeks massa tubuh (BMI) rendah, jenis kelamin perempuan, riwayat sakit kepala
berulang, dan riwayat PDPH sebelumnya.5

PDPH seharusnya dianggap bukan komplikasi "minor" yang umum atau


komplikasi "mayor" yang jarang terjadi, tetapi sebagai komplikasi moderate yang
umum terjadi. Pembaca disarankan ke Bab 27 untuk rincian informasi lebih lanjut.

Komplikasi Mayor Anestesi Spinal


Komplikasi mayor anestesi spinal diantaranya, direct needle trauma, infeksi
(meningitis atau abses), hematoma kanalis vertebra, iskemia medulla spinalis,
sindrom cauda equina (CES), arachnoiditis, dan cedera saraf perifer. Hasil akhir
dari komplikasi ini dapat menjadi gangguan neurologis permanen. Komplikasi
mayor lain ialah total anestesi spinal (TSA), kolaps kardiovaskular, dan kematian.

Direct needle trauma


Cedera neurologis dapat terjadi setelah jarum dimasukkan ke medulla
spinalis atau saraf. Meskipun elisitasi parestesia selama anestesi spinal telah
terlibat sebagai faktor risiko terjadinya cedera neurologis persisten, tidak
diketahui apakah intervensi setelah paresthesia dapat mencegah terjadinya
komplikasi neurologis.70 Sebuah analisis retrospektif menemukan 298 dari 4767
(6,3%) pasien mengalami parestesia selama insersi jarum spinal. Dari 298, empat
pasien mengalami parestesia persisten pasca operasi. Lalu dua pasien dengan

26
paresthesia pasca operasi tidak mengalami paresthesia selama insersi jarum spinal.
Keenam pasien mengalami perbaikan gejala dalam 24 bulan.71 Ketika paresthesia
terjadi, jarum spinal mungkin berdekatan atau menembus jaringan saraf; jika hal
ini terjadi, injeksi anestesi lokal pada saraf spinal dapat menyebabkan kerusakan
neurologis permanen. Sejalan dengan kontroversi blokade saraf perifer; implikasi
teknik paresthesia dan injeksi ekstraneural dan intraneural adalah hal yang banyak
diperdebatkan.72

Meningitis
Meningitis, baik karena bakteri atau aseptik, dapat terjadi setelah
dilakukannya anestesi spinal.73 Sumber infeksi diantaranya dari spinal tray dan
obat-obatan yang terkontaminasi, oral flora dari ahli anestesi, dan infeksi pada
pasien. Kebanyakan kasus meningitis pasca anestesi spinal pada pertengahan abad
ke-20 adalah kasus meningitis aseptik dan dapat ditelusuri dari kontaminasi bahan
kimia dan deterjen.74,75 Marinac menunjukkan bahwa meningitis yang diinduksi
oleh obat dan bahan kimia dapat disebabkan oleh obat antiinflamasi nonsteroid,
antibiotik tertentu, agen radiografi, dan muromonab-CD3. Terdapat pula
hubungan antara tipe reaksi hipersensitivitas dan kolagen, vaskular, atau penyakit
reumatologis.76 Carp dan Bailey melakukan pungsi lumbal pada tikus bakteremia,
dan hanya Escherichia coli yang bersirkulasi dengan jumlah lebih besar dari 50
CFU / mL yang dapat menyebabkan meningitis.77 Meskipun meningitis pasca
pungsi lumbal juga telah dijelaskan dalam bakteremia anak-anak,78 kejadian
meningitis pasca pungsi lumbal tidak berbeda secara signifikan pada pasien
bakteria dibandingkan dengan kejadian meningitis spontan.79 Oral flora dapat
mengontaminasi CSF ketika anestesi spinal dilakukan, mendasari pentingnya
penggunaan masker. Streptococcus salivarius, Streptococcus viridans,
Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter, dan
Mycobacterium tuberculosis semuanya telah diisolasi dalam kasus meningitis
bakteri pasca anestesi spinal atau pungsi lumbal.80-83

27
Hematoma Kanalis Vertebra
Terbentuknya hematoma kanalis vertebra jarang terjadi tetapi merupakan
devastating complication pasca anastesi spinal. Meskipun sebagian besar
hematomata spinal terjadi di ruang epidural karena pleksus vena epidural yang
menonjol, beberapa laporan menyebutkan bahwa perdarahan subaraknoid sebagai
penyebab dari defisit neurologis. Sumber perdarahan dapat berasal dari arteri
ataupun vena yang terluka. Hematoma spinal dan iskemia medula spinalis
memiliki prognosis yang lebih buruk daripada komplikasi infeksi.26 Jika timbul
gejala neurologis baru atau progresif, segera konsultasi dengan ahli bedah saraf
dan dilakukan pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) spinal sesegera
mungkin.

Iskemia Medulla Spinalis (Korda Spinalis)


Sistem arteri superfisial dari medulla spinalis terdiri dari tiga arteri
longitudinal (arteri spinalis anterior dan dua arteri spinalis posterior) dan pleksus
pial.84 Korda posterior relatif terlindungi dari iskemia karena banyaknya
anastomosis. Area tengah medula spinalis anterior bergantung pada arteri spinal
anterior dan karena itu lebih rentan terhadap iskemia. Mekanisme iskemia korda
spinalis sekunder karena blokade spinal diantaranya hipotensi yang
berkepanjangan, penambahan vasokonstriktor untuk anestesi lokal, dan kompresi
arteri oleh hematoma kanalis vertebra.70

Sindrom Cauda Equina


Sindrom Cauda Equina (CES) telah dilaporkan berkaitan dengan penggunaan
mikrokateter spinal terus menerus.85-88 Penggunaan lidokain 5% hiperbarik untuk
anestesi spinal berkaitan dengan peningkatan insiden CES,89-91 meskipun anestesi
lokal lainnya juga terlibat.92-95 Faktor risiko lain untuk CES diantaranya posisi
litotomi, pengulangan dosis larutan anestesi lokal melalui kateter spinal terus
menerus, dan mungkin beberapa single-injection anestesi spinal. Saran untuk
mencegah CES pada anestesi spinal adalah melakukan aspirasi CSF sebelum dan
sesudah injeksi anestesi lokal. Beberapa saran menyebutkan bahwa ketika CSF

28
tidak dapat diaspirasi setelah setengah dosis disuntikkan, dosis penuh tidak
diberikan. Membatasi jumlah anestesi lokal yang diberikan dalam subarachnoid
ruang dapat membantu mencegah CES.

Arachnoiditis
Arachnoiditis dapat terjadi setelah injeksi spinal larutan anestesi lokal tetapi
juga dapat terjadi setelah injeksi steroid intratekal.96-99 Penyebab arachnoiditis
diantaranya infeksi; mielogram dari pewarna berbasis minyak; darah di ruang
intratekal; zat neuroirritant, neurotoxic, atau neurolytic; tindakan bedah tulang
belakang; kortikosteroid intratekal; dan trauma. Arachnoiditis telah dilaporkan
terjadi setelah trauma pungsi dural dan setelah injeksi anestesi lokal intratekal
yang tidak disengaja, deterjen, antiseptik, atau zat lain.100

Cedera Saraf Perifer


Anestesi spinal dapat secara tidak langsung mengakibatkan cedera saraf
perifer. Blokade sensorik yang diinduksi dengan anestesi spinal dapat
menghilangkan refleks protektif normal secara temporer (sementara). Karena itu,
perawatan dilakukan dengan pemosisian yang tepat, menghindari gips ketat, dan
observasi sirkulasi distal. Karena itu, sangat penting untuk menyediakan asuhan
keperawatan yang baik untuk ekstremitas yang dilemahkan pada saat anestesi
spinal.

Total Spinal Anesthesia (TSA)


Total Spinal Anesthesia menyebabkan depresi pernapasan, gangguan
kardiovaskular, dan hilangnya kesadaran. Hal ini dapat didahului atau tidak oleh
mati rasa, paresthesia, atau kelemahan tungkai atas; nafas dangkal; mual; atau
cemas. Mekanisme terjadinya TSA tidak jelas.

Pentingnya memberikan bantuan kardiorespirasi dan ansiolisis disebutkkan


dalam manajemen intentional TSA. Total Spinal Anesthesia digunakan secara
terapeutik untuk intractable pain.101 Setelah injeksi 20 mL lidokain 1,5% di level

29
L3-L4, kepala pasien dimiringkan ke bawah. Thiopental diberikan untuk
mencegah sensasi yang tidak menyenangkan. Setelah kesadaran hilang, paralisis
(tanpa relaksan otot), dan pelebaran pupil, masukkan laryngeal mask airway
(LMA) dan berikan ventilasi tekanan positif. Efedrin dan atropin sebagai support
kardiovaskular diberikan jika perlu. Ventilasi mekanik diperlukan sekitar satu
jam, setelah LMA dilepas.

Cardiovascular Collapse
Cardiovascular Collapse dapat terjadi pasca anestesi spinal, meskipun jarang
terjadi. Auroy dkk melaporkan 9 kasus cardiac arrest pada 35.439 kasus anestesi
spinal.102 Lihat bagian tentang Efek Kardiovaskular dari Anestesi Spinal.

Memperkirakan Risiko Mayor dari Anestesi Spinal


Sementara risiko minor sering dianggap sebagai efek samping, komplikasi
mayor menjadi perhatian bagi dokter dan pasien. Persepsi risiko dapat
dipengaruhi oleh laporan kasus sensasional, seperti laporan oleh Woolley dan
Roe.22 Upaya awal untuk menilai risiko terhambat karena kurangnya data
pembilang yang baik (jumlah komplikasi) dan data penyebut (jumlah blokade
spinal). Vandam dan Dripps, dalam upaya untuk memperbaiki “unsubstantiated
clinical impressions” di pertengahan abad ke-20, memeriksa 10.000 catatan
anestesi spinal dari ahli anastesi.103 Mereka menyimpulkan bahwa objection
tersebut tidak sebanding untuk anestesi spinal. Retrospective evidence dari
Finlandia tahun 1987-1993 memperkirakan risiko komplikasi mayor setelah
anestesi spinal adalah 1 banding 22.000.104 No-fault compensation scheme
dianggap meningkatkan kebenaran data. Data Swedia (Moen)92 tahun 1990-1999
menemukan risiko yang sama yaitu 1 dari 20.000-30.000. Meski data yang
diperoleh saat itu baik, evidence Skandinavia dikritik karena desain retrospektif,
yang berisiko tidak dilaporkan. Bahkan, data pembilang yang bersumber dari
database administratif mungkin tidak mengindikasikan penyebab atau outcome.

30
Auroy berusaha untuk mengatasi kelemahan dari studi sebelumnya105 dengan
mengatur hotline telepon, menilai hubungan sebab-akibat.102 Penelitian prospektif
ini dari tahun 1998 hingga 1999 meneliti komplikasi dari semua regio anestesi.
Hasil Auroy bergantung pada kontribusi sukarela oleh ahli anestesi Perancis (<6%
tingkat partisipasi) dan dapat condong pada perbedaan tingkat komplikasi pada
mereka yang mau. Sebuah tinjauan tahun 2007 menemukan insiden komplikasi
neurologis yang jauh lebih tinggi pasca anestesi spinal pada studi Auroy (3,7-11,8
per 10.000) dibandingkan dengan studi Moen (0,4 per 10.000).106 Tidak seperti
Moen, Auroy memasukkan neuropati perifer dan radiculopathy dalam data
pembilang.

Merancang studi prospektif secara akurat untuk mengukur risiko anestesi


spinal sulit dilakukan karena rendahnya insiden komplikasi mayor. Data NAP3
dari Royal College of Anesthetists adalah evidence terbaik untuk komplikasi
mayor setelah CNB.26 NAP3 terkenal karena berbagai alasan: Ini adalah
prospektif audit tersbesar dari CNB sampai saat ini; itu mencapai return rate
hingga 100%; dan mengumpulkan data pembilang dan penyebut dari banyak
sumber. Ini juga menyelidiki hubungan sebab dan akibat.

Data pembilang dalam NAP3 berkaitan dengan komplikasi mayor selama 12


bulan (2006–2007). Laporan datang dari wartawan rumah sakit lokal dan dokter.
Otoritas litigasi, organisasi pertahanan medis, jurnal, dan bahkan pencarian
Google dari laporan media ditinjau untuk mengidentifikasi komplikasi yang
terlewat. Komplikasi diklasifikasikan sebagai infeksi, hematomata, cedera saraf,
cardiovascular collapse, dan kesalahan rute. PDPH tidak dimasukkan sebagai
komplikasi mayor. Data penyebut bersumber dari sensus 2 minggu dan divalidasi
dengan menghubungi menghubungi beberapa organisasi dan basis data.

Temuan kerusakan permanen disajikan secara optimistic atau pesimistic (lihat


Tabel 23–4). Data optimistic mengekslusi komplikasi yang mungkin mengalami
pemulihan atau memiliki hubungan sebab-akibat yaang lemah. Kerusakan

31
permanen setelah semua jenis CNB yang bersifat pesimistic adalah 1:23.500 dan
optimistic 1:50.500. Risiko kematian atau paraplegia setelah semua jenis CNB
yang bersifat pesimistic adalah 1: 54.500 dan secara optimistic 1:141.500. Insiden
komplikasi spinal dan caudal setidaknya setengah dari jumlah epidural dan
gabungan blokade spinal-epidural (CSE). Sekitar 700.000 CNB, 46% adalah
spinal. Meskipun penulis mengingatkan tentang analisis subkelompok, kasus
obstetri ditemukan memiliki insidensi komplikasi yang rendah, sedangkan kasus
perioperatif dewasa memiliki komplikasi yang tertinggi. Pemulihan sempurna
atau hampir sempurna pada komplikasi neurologis terjadi pada 61% kasus.
Tabel 23-4. Angka Optimistic dan Pessimistic kerusakan permanen akibat
komplikasi anastesi spinal

NAP3 tidak memasukkan komplikasi minor atau komplikasi besar tanpa


kerusakan permanen. Sebagai contoh, pasien mungkin mengalami cardiovascular
collapse yang membutuhkan perawatan intensif atau mengalami meningitis, tetapi
ketika pasien tersebut mengalami pemulihan sempurna, ia dikeluarkan dari
perhitungan pesimistic. Ini adalah komplikasi yang dianggap serius oleh pasien.
Penulis mengakui data mereka mewakili seminimal mungkin insiden komplikasi;
Namun, yang lain berspekulasi bahwa mereka mungkin telah melebih-lebihkan
risiko.107 Karena tidak ada kontrol grup, NAP3 tidak dapat menjawab jika CNB
merupakan teknik yang lebih aman dari teknik lainnya seperti anestesi umum.

Studi NAP3 meyakinkan kita bahwa kerusakan permanen sebagai outcome


anestesi spinal jarang terjadi. Lingkup besar dan metodologi luar biasa NAP3

32
mengartikan bahwa audit serupa mungkin tidak dilakukan ulang dalam waktu
dekat. Upaya harus dilakukan dalam memperbaiki komplikasi "minor" dan
"moderate" yang lebih cenderung bermasalah pasien. Secara khusus, PDPH patut
mendapat perhatian khusus.

Komplikasi besar, bagaimanapun, bisa terjadi, dan setiap upaya harus


dilakukan untuk mencegahnya. Pengetahuan akan risiko rendah terjadinya
komplikasi serius seharusnya tidak menimbulkan rasa puas diri. Memang,
komplikasi yang diberikan mungkin sangat langka sehingga ahli anestesi mungkin
tidak akan menemukan hal tersebut seumur hidupnya. Namun, mengingat dampak
komplikasi tersebut, kewaspadaan sangat penting.

Indikasi dan Manfaat dari Anestesi Spinal


Indikasi
Anestesi spinal memberikan kondisi yang sangat baik untuk tindakan bedah di
bawah umbilikus. Dengan demikian, telah digunakan pada tindakan bedah
urologis, ginekologi, obstetri, dan perut bagian bawah dan bedah umum perineal.
Demikian juga, anastesi spinal telah digunakan untuk ekstremitas bawah dan
bedah ortopedi. Baru-baru ini, anestesi spinal telah digunakan dalam operasi di
atas umbilikus (lihat bagian tentang operasi laparoskopi).108-113

Manfaat Anestesi Spinal


Meskipun anestesi spinal adalah teknik yang umum digunakan, dengan
perkiraan 324.950 dilakukan anestesi spinal setiap tahun di Amerika Serikat,26
mortalitas dan morbiditas beneftt sulit untuk dibuktikan atau dibantah. Hal ini
dihipotesiskan karena manfaat modulasi respon stres, anestesi regional akan lebih
aman daripada anestesi umum. Namun, ada kontradiksi pada uji klinis
kontradiktif, dan terdapat perdebatan tentang keunggulan satu teknik
dibandingkan dengan teknik yang lain. Evaluasi manfaat blokade spinal
bermasalah karena heterogenitas studi dan argumen apakah analisis harus
mencakup tujuan dari teknik tersebut.114 Selain itu, banyak evidence tentang

33
manfaat blokade neuraxial berkaitan dengan epidural, dan beberapa ulasan yang
tidak membedakan antara anestesi spinal dan epidural. Sebagai contoh, CNB telah
terbukti mengurangi kehilangan darah115 dan peristiwa tromboemboli.116 Namun,
penulis studi ini, tidak menganalisis anestesi spinal dan epidural secara individual,
tetapi dengan ukuran sampel subkelompok tidak memadai. Penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk menjelaskan manfaat dari masing-masing teknik.

Manfaat yang jelas dari anestesi spinal adalah untuk menghindari banyak
risiko dari anestesi umum. Namun, harus diingat bahwa selalu ada kemungkinan
konversi ke anestesi umum, dan anestesi umum yang muncul mungkin lebih
berisiko daripada anestesi umum yang direncanakan. Anestesi spinal
menguntungkan dalam kasus klinis tertentu. Sekarang sudah umum bagi wanita
yang menjalani persalinan sesar untuk mendapatkan blok neuraxial. Anestesi
spinal menghindari masalah yang terkait dengan anestesi umum pada pasien
wanita hamil, terutama risiko kesulitan jalan napas, kesadaran, dan aspirasi.
Kehilangan darah pada ibu telah ditemukan lebih rendah pada anastesi spinal
dibandingkan dengan anestesi umum.117 Tingkat kematian ibu dikaitkan dengan
peningkatan penggunaan teknik anestesi regional. Apalagi anestesi regional
memungkinkan ibu tetap sadar saat melahirkan dan dapat didampingi pasangan
apabila diperlukan. Namun, ulasan Cochrane tidak menemukan evidence dari
keunggulan anestesi regional dibandingkan dengan anestesi umum mengenai
mayor outcome ibu atau bayi yang lahir.117 Demikian juga, metaanalisis tahun
2005 menunjukkan bahwa pH tali pusat, sebagai indikator kesejahteraan janin,
lebih rendah pada anastesi spinal dibandingkan dengan anestesi umum dan
epidural, walaupun ini mungkin ada karena penggunaan efedrin dalam penelitian
yang dianalisis.118 Meskipun demikian, anestesi spinal tetap menjadi teknik yang
paling banyak dipilih oleh banyak ahli anestesi obstetri karena keselamatan,
keandalan, dan harapan bagi pasien.

Ulasan tahun 2005 tentang "praktik terbaik" untuk fraktur pinggul ditemukan
bahwa anestesi spinal memiliki manfaat yang konsisten, dan direkomendasikan

34
untuk menggunakan anestesi regional "bila memungkinkan."119 Manfaat yang
didapatkan diantaranya penurunan angka kematian, deep vein thrombosis (DVT),
kebutuhan transfusi, dan komplikasi pada paru. Namun, rekomendasi ini,
berdasarkan dua ulasan, menggambarkan kekurangan dari evidence yang tersedia.
Ulasan pertama memiliki populasi yang heterogen dan daya terbatas untuk
subkelompok yang dianalisis; mengekstrapolasi temuan anestesi spinal untuk
bedah fraktur pinggul.120 Ulasan kedua menemukan perbedaan yang tidak terlalu
jauh pada mortalitas pada waktu 1 bulan dan tidak ada perbedaan pada waktu 3
bulan. Selain itu, semua studi yang dimasukkan memiliki kekurangan dalam
metodologi.121

Respons stres terhadap pembedahan jantung berkurang dengan intratekal


bupivacaine dalam kombinasi dengan anestesi umum122 dan sebagian dilemahkan
oleh morfin intratekal.123 Dosis rendah morfin intratekal (259 ± 53 ug) telah
terbukti memudahkan ekstubasi dini setelah operasi jantung. Meta analisis dari
morfin intratekal dalam operasi jantung menunjukkan penggunaan morfin yang
lebih sedikit dan skor nyeri yang lebih rendah, meskipun ekstubasi dini hanya
terlihat pada sebagian pasien yang mendapat morfin intratekal kurang dari 500
μg.125

Ketika anestesi modern dan perawatan perioperatif menjadi lebih aman, hal
ini akan menjadi semakin sulit untuk membuktikan keunggulan dari satu teknik ke
teknik lainnya. Teknik yang ideal mungkin sebenarnya menjadi permutasi dari
anestesi umum, blokade neuraxial, blokade saraf perifer, atau analgesia infiltrasi
lokal.

Anestesi Spinal: Analisis Akhir Risiko-Manfaat


Begitu dibekali dengan evidence mengenai risiko dan manfaatnya anestesi
spinal, ahli anestesi harus memutuskan apakah evidence tersebut dapat diterapkan
pada pasien dan situasi klinis yang dihadapi. Meskipun komplikasinya dapat
merusak, NAP3 meyakinkan kita bahwa komplikasi mayor dari anestesi spinal

35
sangat jarang terjadi. Manfaat lebih sulit untuk dibuktikan, namun ada keuntungan
dalam situasi klinis tertentu. Selanjutnya, rasio risiko-manfaat harus dibandingkan
dengan rasio risiko-manfaat alternatif yang tersedia. Sejaran peningkatan
keamanan anestesi spinal selaras dengan peningkatan keamanan teknik alternatif,
termasuk anestesi epidural, blokade saraf tepi, analgesia infiltrasi lokal, dan tentu
saja anestesi umum. Persaingan antara teknik alternatif ini kemungkinan akan
berlanjut. Selain itu, berbagai modalitas dapat digunakan dalam conjunction, dan
mempersulit keputusan akhir. Ahli anestesi modern harus mempertimbangkan
rasio risiko-manfaat ini, yang berada di luar cakupan bab ini.

Fungsi Anatomi pada Blokade Spinal


Dalam meninjau kembali fungsi anatomi pada blokade spinal, pengetahuan
mendalam tentang tulang belakang, medulla spinalis, dan saraf tulang belakang
harus dipahami. Bab ini mengulas secara singkat anatomi, anatomi permukaan,
dan sonoanatomi korda spinalis.

Kolumna vertebra terdiri dari 33 vertebra: 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5


sakral, dan 4 koksiks. Kolumna vertebra biasanya terdiri dari tiga lekukan.
Lekukan servikal dan lumbal berbentuk cembung ke arah anterior, dan lekukan
torakal cembung ke arah posterior. Lekukan kolumna vertebra, bersama dengan
gravitasi, baricity anestesi lokal, dan posisi pasien, memengaruhi penyebaran
anestesi lokal di ruang subaraknoid. Gambar 23–1 menggambarkan kolumna
vertebra, vertebra, diskus intervertebra dan foramina.

Lima ligamen menyatukan kolumna vertebra (Gambar 23-2). Ligamen


supraspinous menghubungkan apeks dari prosesus spinosus dari vertebra servikal
ketujuh (C7) ke sakrum. Ligamentum supraspinosus dikenal sebagai ligamentum
nuchae di area atas C7. Ligamen interspinosus menghubungkan antar prosesus
spinosus. Ligamentum flavum, atau ligamentum kuning, menghubungkan lamina
atas dan bawah. Ligamen longitudinal posterior dan anterior mengikat antar
korpus vertebral.

36
Gambar 23-1. Kolumna vertebra Spinal column, vertebra diskus intervertebral
dan foramina.

Tiga membran yang melindungi medulla spinalis adalah dura mater,


arachnoid mater, dan pia mater. Dura mater, atau tough mother, adalah lapisan
terluar. Dural sac meluas ke vertebra sakral kedua (S2). Arachnoid mater adalah
lapisan tengah, dan ruang subdural terletak diantara dural mater dan arachnoid
mater. Mater arachnoid, atau cobweb mother, juga berakhir di S2, seperti dural
sac. Pia mater, atau soft mother, menempel pada permukaan medulla spinalis dan
berakhir di filum terminale, yang membantu menopang medulla spinalis hingga
ke sakrum. Ruang antara arachnoid dan pia mater dikenal sebagai ruang
subarachnoid, dan saraf spinal berjalan di ruang ini, begitu pula CSF. Gambar
23–3 menggambarkan medulla spinalis, ganglia akar dorsal dan ventral rootlets,

37
saraf spinal, sympathetic trunk, rami communicantes, dan pia, arachnoid, dan dura
mater.

Saat melakukan anestesi spinal menggunakan pendekatan midline, lapisan-


lapisan anatomi yang dilalui (dari posterior ke anterior) adalah kulit, lemak
subkutan, ligamentum supraspinous, ligamentum interspinous, ligamentum
flavum, dura mater, ruang subdural, arachnoid mater, dan akhirnya ruang
subarachnoid. Ketika menggunakan teknik paramedian, jarum spinal harus
melintasi kulit, lemak subkutan, paraspinous otot, ligamentum flavum, dura mater,
ruang subdural, dan arachnoid mater dan kemudian masuk ke ruang subarachnoid.

Gambar 23-2. Gambaran cross-sectional dari kolumna vertebra dan ligamen.


Anatomi ruang subdural membutuhkan perhatian khusus. Ruang subdural
adalah bidang meningeal yang terletak di antara dura dan arachnoid mater,
membentang dari rongga cranium ke vertebra sakral kedua.126 Pemeriksaan
ultrastruktural telah menunjukkan bahwa ini adalah ruang yang akan terlihat jelas
setelah merobek sel-sel neurothelial dalam ruang tersebut.127 Ruang subdural
memanjang ke lateral di sekitar dorsal nerve root dan ganglion. Terdapat

38
kapasitas ruang yang kurang potensial dari ruang subdural ruang yang berdekatan
dengan ventral nerve root. Hal ini mungkin menjelaskan sparing motor anterior
dan serat simpatis saat subdural blok (SDB) (Gambar 23-4).126

Gambar 23-3. Spinal cord,meningeal layers, dorsal root ganglia, dan


sympathetic nerve trunk.

Gambar 23-4. Epidural catheter pada ruang subdural.

Panjang medulla spinalis bervariasi sesuai dengan usia. Dalam trimester


pertama, medulla spinalis meluas ke ujung kolumna vertebra, tetapi dengan
bertambahnya usia janin, kolumna vertebra memanjang melebihi dari medulla
spinalis. Saat lahir, medulla spinalis berakhir pada sekitar L3. Pada orang dewasa,
ujung terminal dari kora, dikenal sebagai conus medullaris, terletak di sekitar L1.

39
Namun, dari studi MRI dan kadaver telah melaporkan bahwa conus medullaris
terdapat di bawah L1 di 19% –58% dan di bawah L2 di 0% –5%. 128 Conus
medullaris dapat terletak di mana saja antara T12 dan L3. 129 Gambar 23–5
menunjukkan penampang vertebra lumbal dan medulla spinalis. Digambarkan
posisi khas conus medullaris, cauda equina, terminasi dural sac, dan filum
terminal. Medula spinalis sakral pada orang dewasa telah dilaporkan, meskipun
ini sangat langka.130 Panjang medulla spinalis harus selalu diingat ketika
melakukan anestesi neuraxial, karena injeksi ke korda dapat menyebabkan
kerusakan besar dan mengakibatkan kelumpuhan.131

Gambar 23-5. Cross section dari lumbal

Ada delapan saraf servikal dan tujuh vertebra servikal. Saraf servikal 1 hingga
7 diberi nomor sesuai dengan nomor korpus vertebra yang ada dibawahnya Saraf
serviks kedelapan keluar dari bawah korpus vertebra servikal ketujuh.
Dibawahnya, saraf tulang belakang diberi nomor sesuai dengan korpus vertebra
diatasnya. Akar saraf spinal dan medulla spinalis berfungsi sebagai target untuk
tempat anestesi spinal.

40
Surface Anatomy
Saat mempersiapkan blokade anestesi spinal, penting untuk mengidentifikasi
secara akurat tempat injeksi pada pasien. Midline diidentifikasi dengan meraba
prosesus spinosus. Krista iliaka biasanya memiliki ketinggian vertikal yang sama
dengan proses spinosus lumbal keempat atau interspace antara vertebra lumbar
keempat dan kelima. Intercristal line bisa ditarik di antara krista iliaka untuk
membantu menemukan interspace ini. Ditekankan untuk merasakan area lunak
antara spinosus proses untuk menemukan interspace. Hal ini tergantung pada
tingkat anestesi yang diperlukan dan kemampuan untuk rasakan interspace,
interspace L3-L4 atau L4-L5 dapat digunakan untuk tempat insersi jarum spinal.
Karena medula spinalis biasanya berakhir pada level L1-ke-L2, secara
konvensional, tidak dianjurkan untuk melakukan anastesi spinal pada wilayah ini
atau wilayah diatasnya. Baru-baru ini, anestesi spinal segmen torakal telah
dijabarkan.108.109

41
Gambar 23-5. Dermatome

Akan tidak lengkap apabila membahas surface anatomy tanpa menyebutkan


dermatom yang penting untuk anestesi spinal. Dermatom adalah area kulit yang
dipersarafi oleh serabut sensorik dari saraf spinal tunggal. Dermatom pada torakal
kesepuluh (T10) berhubungan dengan umbilikus, dermatom torakal keenam (T6)
mempersarafi xiphoid, dan dermatom thorakal keempat (T4) mempersarafi puting.
Gambar 23–6 menggambarkan dermatom tubuh manusia. Untuk prosedur
anestesi pada tindakan operasi tertentu, tingkat anestesi spinal harus mencapai
tingkat dermatomal tertentu. Tingkat dermatomal anestesi spinal untuk prosedur
bedah umum tercantum pada Tabel 23–5.
Tabel 23-5. Level dermatom anastesi spinal untuk bedah umum

Sonoanatomy
"Surface" anatomi mengacu pada struktur yang cukup dekat dengan
integumen yang dapat diraba. Namun karena habitus tubuh, hal ini mungkin akan
menjadi sulit.128.132 USG neuraxial memungkinkan visualisasi sonoanatomical dari
struktur tersebut dan menunjukkan struktur yang lebih dalam. Namun, karena
sinar ultrasonik tidak bisa menembus tulang vertebra, ultrasonik khusus
diperlukan untuk memvisualisasikan neuraxis. Teknik USG neuraxial dibahas di

42
bagian lain (lihat bagian recent developments in spinal anesthesia).

PHARMACOLOGY
Pilihan obat anestesi lokal didasarkan pada kerja obat, onset dan durasi obat
anestesi, dan efek samping dari obat anestesi. Dua kelompok obat anestesi lokal
yang berbeda digunakan pada spinal anestesi, ester dan amida, yang ditandai
dengan ikatan yang menghubungkan bagian aromatik dan rantai perantara. Ester
mengandung hubungan antara bagian aromatik dan rantai perantara, dan
contohnya termasuk prokain, kloroprokain, dan tetrakain. Amida mengandung
hubungan amida antara bagian aromatik dan rantai perantara, contohnya termasuk
bupivacaine, ropivacaine, etidocaine, lidocaine, mepivacaine, dan prilocaine.
Metabolisme penting untuk menentukan aktivitas obat anestesi lokal, kelarutan
lemak, sebagai pengikatan protein, pKa.

Kelarutan lemak berhubungan dengan potensi obat anestesi lokal. Kelarutan


lemak yang rendah menunjukkan bahwa konsentrasi obat anestesi lokal yang lebih
tinggi harus diberikan untuk mendapatkan blokade saraf. Sebaliknya, kelarutan
lemak yang tinggi menghasilkan anestesi pada konsentrasi obat anestesi local
yang rendah. Pengikatan pada protein mempengaruhi durasi kerja obat anestesi
lokal. Pengikatan protein yang lebih tinggi menghasilkan durasi kerja obat yang
lebih lama. PKa dari anestesi lokal adalah pH di mana terionisasi dan bentuk yang
tidak terionisasi hadir secara merata dalam larutan, yang penting karena bentuk
nonionisasi memungkinkan anestesi lokal berdifusi melintasi selubung saraf
lipofilik dan mencapai saluran natrium di membran saraf. Permulaan tindakan
berkaitan dengan jumlah anestesi lokal yang tersedia dalam bentuk dasar.
Kebanyakan obat anestesi lokal mengikuti aturan bahwa semakin rendah pKa,
semakin cepat kerja obat dan sebaliknya. Silakan

43
Farmakokinetik dari Obat Anestesi Lokal di Ruang Subarachnoid
Farmakokinetik dari obat anestesi lokal mencangkup penggunaan dan
eliminasi obat. Empat faktor yang berperan dalam penyerapan obat anestesi lokal
dari ruang subaraknoid ke dalam jaringan neuron: (1) konsentrasi anestesi lokal di
CSF, (2) luas permukaan jaringan saraf yang terpapar CSF, (3) kadar lipid dari
jaringan saraf , dan (4) aliran darah ke jaringan saraf.

Penyerapan obat anestesi lokal terbesar dengan konsentrasi tinggi dalam CSF
terletak disini. Seperti yang dibahas sebelumnya, penyerapan dan penyebaran obat
anestesi local setelah injeksi pada tulang belakang ditentukan oleh beberapa
faktor, termasuk dosis, volume, dan barisitas obat anestesi lokal dan posisi pasien.
Akar saraf dan sumsum tulang belakang menyerap obat anestesi lokal setelah
injeksi ke ruang subaraknoid. Semakin luas permukaan akar saraf yang terekspos,
semakin besar penyerapan obat anestesi lokal. Sumsum tulang belakang memiliki
dua mekanisme dalam penyerapan obat anestesi lokal. Mekanisme pertama adalah
dengan difusi dari CSF ke pia mater dan ke sumsum tulang belakang, yang
merupakan proses yang lambat. Hanya bagian tulang belakang yang paling
dangkal yang dipengaruhi oleh difusi anestesi lokal. Metode Kedua dari
penggunaan obat anestesi local adalah dengan memperluas ke dalam ruang
Virchow-Robin, yang merupakan area pia mater yang mengelilingi pembuluh

44
darah yang menembus system saraf pusat. Ruang-ruang Virchow-Robin
terhubung dengan celah perineuronal yang mengelilingi tubuh sel saraf di sumsum
tulang belakang dan menembus ke daerah yang lebih dalam dari sumsum tulang
belakang. Gambar 23-7 adalah representasi ruang Virchow periarterial di sekitar
sumsum tulang belakang.

Kandungan lipid menentukan penggunaan obat anestesi lokal. Jaringan mielin


yang sangat berat di ruang subarachnoid mengandung konsentrasi obat anestesi
local lebih tinggi setelah injeksi. Semakin tinggi tingkat mielinisasi, semakin
tinggi konsentrasi obat lokal anestesi, karena ada kandungan lipid yang tinggi
dalam mielin. Jika daerah akar saraf tidak mengandung mielin, terjadi
peningkatan resiko kerusakan saraf.

Aliran darah menentukan tingkat pembuangan obat anestesi lokal dari


jaringan sumsum tulang belakang. Semakin cepat darah mengalir dalam sumsum
tulang belakang, semakin cepat obat anestesi terbuang. Sebagian hal ini dapat
menjelaskan mengapa konsentrasi obat anestesi lokal lebih besar di medula
spinalis posterior dibandingkan medula spinalis anterior, meskipun medulla
spinalis anterior lebih mudah diakses oleh ruang Virchow-Robin. Setelah obat
anestesi tulang belakang diberikan, aliran darah dapat meningkat atau menurun ke

45
sumsum tulang belakang, tergantung pada obat anestesi lokal yang diberikan;
misalnya, tetrakain meningkatkan aliran pada sumsum tulang belakang, tetapi
lidokain dan bupivacaine menguranginya, yang mempengaruhi pembuangan pada
obat anestesi local.

Pembuangan obat anestesi lokal dari ruang subarachnoid dengan penyerapan


vaskular di ruang epidural dan ruang subarachnoid. Obat anestesi lokal berjalan
melintasi ruang dura di kedua arah. Di ruang epidural, penyerapan vaskular bisa
terjadi, seperti di ruang subarachnoid. Pasokan vaskular ke sumsum tulang
belakang terdiri dari pembuluh yang terletak di sumsum tulang belakang dan di
pia mater. Karena perfusi vaskular ke tulang belakang bervariasi, tingkat
pembuangan obat anestesi lokal bervariasi.

Distribution
Penyaluran dan penurunan konsentrasi obat anestesi lokal didasarkan pada
area konsentrasi tertinggi, yang dapat terlepas dari tempat injeksi. Banyak faktor
yang mempengaruhi penyaluran obat anestesi lokal di ruang subaraknoid. Tabel
23–6 mencantumkan beberapa faktor ini.
Barisitas berperan penting dalam menentukan penyebaran obat anestesi lokal di
ruang tulang belakang dan sama dengan kepadatan obat anestesi lokal dibagi

46
dengan kepadatan CSF pada suhu 37 ° C. Obat anestesi lokal dapat menjadi
hiperbarik, hipobarik, atau isobarik jika dibandingkan dengan CSF, dan barisitas
adalah penentu utama bagaimana obat anestesi lokal didistribustribusikan ketika
disuntikkan ke CSF. Tabel 23–7 membandingkan kepadatan, berat jenis, dan
barisitas dari berbagai zat dan obat lokal anestesi.

Hipobarik Solution kurang padat dari CSF dan cenderung meningkat melawan
gravitasi. Isobarik solution sama padatnya dengan CSF dan cenderung untuk tetap
pada tingkat di mana mereka diinjeksi. Hiperbarik solution lebih padat dari pada
CSF dan cenderung mengikuti gravitasi setelah diinjeksi.

Hipobarik solution memiliki baarisitas kurang dari 1,0 relatif ke CSF dan
biasanya dibuat dengan menambahkan air steril suling ke obat anestesi lokal.
Tetracaine, dibucaine, dan bupivacaine semuanya telah digunakan sebagai
hipobarik solution dalam obat anestesi spinal. Posisi pasien penting setelah injeksi
obat anestesi spinal hipobarik karena itu adalah beberapa menit pertama yang
menentukan penyebaran obat anestesi. Jika pasien dalam posisi Trendelenburg
setelah injeksi, obat anestesi akan menyebar ke arah ekor (bawah) dan jika pasien
dalam posisi terbalik Trendelenburg, obat anestesi akan menyebar kea rah sefalad
(atas) setelah injeksi.

Barisitas dari isobarik solution sama dengan 1.0. Tetracaine dan bupivacaine
keduanya digunakan dengan sukses untuk obat anestesi spinal isobarik. Gravitasi
tidak berperan dalam penyebaran larutan isobarik, tidak seperti dengan anestesi
lokal hipo atau hiperbarik. Karena itu, posisi pasien tidak mempengaruhi
penyebaran isobarik solution. Injeksi dapat dilakukan pada posisi apa pun, dan
kemudian pada pasien dapat ditempatkan ke posisi yang diperlukan untuk operasi.
Hiperbarik solution memiliki barisitas lebih besar dari 1,0. Solution anestesi local
dapat dibuat hiperbarik dengan menambahkan dekstrosa atau glukosa.
Bupivacaine, lidocaine, dan tetracaine semuanya telah digunakan sebagai
hiperbarik solution dalam anestesi spinal. Posisi pasien mempengaruhi

47
penyebaran obat anestesi. Seorang pasien dalam posisi Trendelenburg obat
anestesi mengalir ke arah cephalad dan sebaliknya.

Dosis dan volume keduanya berperan dalam distribusi obat anestesi local
setelah injeksi pada tulang belakang. Untuk informasi lebih lanjut, lihat bagian
volume, konsentrasi, dan dosis anestesi lokal.

Effects of the Volume of the Lumbar Cistern on Block Height


Cairan serebrospinal diproduksi di otak pada 0,35 mL / menit dan mengisi
ruang subarachnoid. Cairan jernih dan tidak berwarna ini memiliki volume
dewasa sekitar 150 mL, setengahnya ada di tempurung kepala dan setengahnya di
kanal tulang belakang. Namun, volume CSF sangat bervariasi, dan penurunan
volume CSF dapat disebabkan oleh obesitas, kehamilan, atau penyebab lain dari
peningkatan tekanan perut. Hal ini disebabkan oleh kompresi foramen
intervertebralis foramen, yang menggantikan CSF.

Banyak faktor yang mempengaruhi peyaluran obat anestesi lokal setelah


blokade pada tulang belakang, satu menjadi volume CSF. Carpenter
menunjukkan bahwa volume CSF lumbosakral berkorelasi dengan tinggi blok
sensoris dan durasi anestesi pada pembedahan. Kepadatan CSF terkait dengan

48
tinggi blok sensorik, onset, dan durasi blok motor. Namun, karena variabilitas
yang luas dalam volume CSF, kemampuan untuk memprediksi tingkat blokade
tulang belakang setelah injeksi obat anestesi lokal buruk, bahkan jika BMI
dihitung dan digunakan.

Local Anesthetics
Kokain adalah anestesi spinal pertama yang digunakan, dan prokain dan
tetrakain setelahnya. Lidocaine, 2-chloroprocaine, bupivacaine, mepivacaine, dan
ropivacaine juga digunakan secara intratekal. Selain itu, ada minat yang tumbuh
pada obat-obatan yang menghasilkan anestesi dan analgesia sambil membatasi
efek samping. Variasi obat, termasuk vasokonstriktor, opioid, α2-adrenergik
agonis, dan inhibitor asetilkolinesterase, telah ditambahkan pada pengobatan
tulang belakang untuk meningkatkan analgesia sekaligus mengurangi blokade
motorik yang diproduksi oleh obat anestesi lokal.

Lidocaine pertama kali digunakan sebagai anestesi tulang belakang pada


tahun 1945, dan telah menjadi salah satu anestesi spinal yang paling banyak
digunakan sejak saat itu. Onset anestesi terjadi dalam 3 sampai 5 menit dengan
durasi anestesi yang berlangsung selama 1 hingga 1,5 jam. Anestesi spinal
lidocain telah digunakan untuk kasus operasi pendek sampai menengah di kamar
operasi. Kelemahan utama dari lidokain adalah asosiasi dengan gejala neurologis
sementara transient neurologic symptoms (TNSs), yang timbul sebagai nyeri
punggung bawah dan disestesia ekstremitas bawah dengan penjalaran ke bokong,
paha, dan anggota tubuh bagian bawah setelah pemulihan dari anestesi spinal.
TNSs terjadi pada sekitar 14% pasien menerima anestesi spinal lidokain. Posisi
Litotomi dikaitkan dengan insiden TNSs yang lebih tinggi, sebagian besar
lidocain telah digantikan oleh obat anestesi local lainnya.

Penggunaan intratekal 2-kloroprokain dijelaskan pada tahun 1952. Pada 1980-


an, muncul kekhawatiran tentang neurotoksisitas dengan penggunaan 2-
kloroprokain. Penelitian menunjukkan bahwa natrium bisulfit, antioksidan yang

49
digunakan dalam kombinasi dengan 2-kloroprokain menjadi penyebabnya. Defisit
neurologis kronis telah dilaporkan pada kelinci ketika natrium bisulfit
diinjeksikan ke dalam ruang subaraknoid, 2-kloroprokain bebas disuntikkan, tidak
ada gejala neurologis permanen. Hasil dari uji klinis 2-kloroprokain bebas
pengawet, kerja pendek, dan dapat diterima untuk operasi rawat jalan. Namun,
penambahan epinefrin tidak dianjurkan karena asosiasi dengan gejala seperti flu
dan sakit punggung. Intratekal 2-kloroprokain saat ini tidak disetujui oleh
makanan dan administrasi obat (FDA), meskipun menyatakan label paket itu
dapat digunakan untuk anestesi epidural. Waktu onsetnya cepat, dan durasinya
sekitar 100 hingga 120 menit. Dosis dari 20 hingga 60 mg, dengan dosis 40 mg
sebagai dosis biasa.

Procaine adalah ester lokal kerja cepat. Procaine punya waktu mulai 3 hingga
5 menit dan durasi 50 hingga 60 menit. Dosis 50 hingga 100 mg telah disarankan
untuk perineal dan operasi ekstremitas bawah. Namun, ada insiden 14%
kegagalan blok yang terkait dengan prokain 10% 0, Kekhawatiran tentang
neurotoksisitas prokain membatasi penggunaannya.Namun, prokain saat ini jarang
digunakan untuk anestesi spinal.

Bupivacaine adalah salah satu anestesi lokal yang paling banyak digunakan
untuk anestesi spinal dan memberikan anestesi dan analgesia yang memadai
selama di ruang operasi dengan durasi menengah hingga panjang. Bupivacaine
memiliki insiden TNSs yang rendah. Onset anestesi

terjadi dalam 5 hingga 8 menit, dengan durasi anestesi yang berlangsung dari
90 hingga 150 menit. Untuk anestesi spinal rawat jalan, Bupivacaine dosis kecil
dianjurkan untuk menghindari pengguaanyang lama karena durasi blok.
Bupivacaine sering dikemas sebagai 0,75% dalam dekstrosa 8,25%. Bentuk lain
dari bupivacaine untuk tulang belakang termasuk 0,5% dengan atau tanpa
dekstrosa dan 0,75% tanpa dekstrosa.
Tetracaine memiliki onset anestesi 3 hingga 5 menit dan durasi 70 hingga 180

50
menit, seperti bupivacaine, digunakan untuk lama kasus operasi jangka menengah
hingga lama. Solution 1% dapat dicampur dengan glukosa 10% dalam bagian
yang sama untuk membentuk anestesi spinal hiperbarik yang digunakan untuk
pembedahan perineum dan operasi perut. Dengan tetracaine, TNSs terjadi pada
tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan anestesi spinal lidokain.
Penambahan fenilefrin dapat berperan dalam pengembangan TNSs.

Mepivacaine mirip dengan lidokain dan telah digunakan sejak tahun 1960-an
untuk anestesi spinal. Insiden TNSs dilaporkan setelah anestesi spinal
mepivacaine sangat bervariasi, dengan angka dari 0% hingga 30% .

Ropivacaine diperkenalkan pada 1990-an. Untuk aplikasi dalam anestesi


spinal, ropivacaine kurang kuat dari pada bupivacaine. Studi penemuan tentang
dosis telah menunjukkan ED95 ropivacaine pada tulang belakang, pada operasi
ekstremitas bawah (11,4 mg), 176 pasien hamil (26,8 mg), dan neonatus (1,08
mg / kg) . Penggunaan ropivacaine intratekal tidak tersebar luas dan data
keamanan berskala besar ditunggu. Sebuah studi awal mengidentifikasi nyeri
punggung pada 5 dari 18 sukarelawan yang disuntik ropivacaine hiperbarik
intratekal. TNSs telah dilaporkan dengan ropivacaine spinal, walaupun
insidensinya tidak sama seperti yang terlihat dengan lidokain. Penelitian kecil
lainnya belum menunjukkan efek samping.

Tabel 23–8 menunjukkan beberapa anestesi lokal yang digunakan anestesi


spinal dan durasi, dosis, serta konsentrasi untuk berbagai tingkat blokade tulang
belakang.

51
Additives to Local Anesthesia
Vasokonstriktor telah ditambahkan ke obat anestesi lokal, dan epinefrin dan
fenilefrin telah dipelajari. Anestesi diintensifkan dan diperpanjang dengan dosis
kecil obat anestesi lokal

ketika epinefrin atau fenilefrin ditambahkan. Jaringan vasokonstriksi


diproduksi, sehingga membatasi reabsorpsi sistemik dari obat anestesi lokal dan
memperpanjang durasi tindakan dengan menjaga obat anestesi lokal terhubung
dengan serat saraf. Namun, komplikasi iskemik dapat terjadi setelah penggunaan
vasokonstriktor dalam anestesi spinal. Dalam beberapa penelitian, epinefrin
terlibat sebagai penyebab CES karena iskemia arteri spinal anterior. Terlepas dari
itu, banyak penelitian tidak menunjukkan hubungan antara penggunaan
vasokonstriktor untuk anestesi spinal dan kejadian CES. Fenilefrin telah terbukti
meningkatkan risiko TNSs dan dapat mengurangi ketinggian blok.

Epinefrin dianggap bekerja dengan mengurangi obat anestesi lokal dan


memperpanjang blokade tulang belakang dari beberapa obat anestesi lokal.
Namun, vasokonstriktor dapat menyebabkan iskemia, dan ada kekhawatiran
teoritis iskemia sumsum tulang belakang ketika epinefrin ditambahkan ke anestesi
spinal. Pada hewan percobaan tidak menunjukkan penurunan aliran darah sumsum
tulang belakang atau peningkatan iskemia sumsum tulang belakang ketika
epinefrin diberikan untuk blokade sumsum tulang belakang, meskipun beberapa
komplikasi neurologis terkait dengan penambahan epinefrin ada.

52
Pengenceran epinefrin dengan obat anestesi lokal kesalahan sangat potensial,
dengan kesalahan yang berpotensi dengan faktor 10 atau 100. Jika menggunakan
epinefrin dikemas dalam 1 mL, yang merupakan solusi 1: 1000, aturan sederhana
dapat diikuti. Menambahkan 0,1 mL epinefrin ke 10 mL obat lokal anestesi
menghasilkan konsentrasi epinefrin 1: 100.000. Menambahkan 0,1 mL epinefrin
ke 20 mL obat anestesi lokal menghasilkan konsentrasi 1: 200.000, dan seterusnya
(0,1 mL dalam 30 mL = 1: 300.000).

Epinefrin memperpanjang durasi anestesi spinal. Di masa lalu, diperkirakan


bahwa epinefrin tidak berpengaruh pada bupivacaine hiperbarik spinal
menggunakan regresi dua segmen untuk test neural blockade. Namun, penelitian
lain menunjukkan epinefrin memperpanjang durasi bupivakain hiperbarik spinal
ketika diinjeksi, transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) setara
dengan stimulasi bedah, dan toleransidari tourniquet paha pneumatik digunakan
untuk menentukan blockade saraf. Ada kontroversi mengenai perpanjangan
blokade saraf bupivacaine spinal ketika epinefrin ditambahkan. Kontroversi yang
sama ada tentang perpanjangan dari lidokain tulang spinal dengan epinefrin.

Keempat jenis reseptor opioid ditemukan di tanduk dorsal medulla spinalis


dan berfungsi sebagai target untuk injeksi opioid. Reseptor terletak di neuron
sumsum tulang belakang dan terminal aferen yang berasal dari ganglion akar
dorsal. Fentanyl, sufentanil, meperidine, dan morfin semua telah digunakan secara
intratekal. Efek samping yang mungkin terlihat termasuk pruritus, mual dan
muntah, dan depresi pernapasan.

Agonis α2-adrenergik dapat ditambahkan ke injeksi obat spinal anestesi lokal


untuk meningkatkan penghilang rasa sakit dan memperpanjang sensorik dan blok
motorik. Analgesia postoperatif yang ditingkatkan telah ditunjukkan dalam
persalinan sesar, fiksasi fraktur femur, dan arthroskopi lutut ketika clonidine
ditambahkan ke solution obat anestesi lokal. Clonidine memperpanjang blokade
sensorik dan motorik obat anestesi lokal setelah injeksi tulang belakang. Blokade

53
sensorik dianggap dimediasi oleh kedua mekanisme presinaptik dan postsinaps.
Clonidine menginduksi hiperpolarisasi di tanduk ventral dari sumsum tulang
belakang dan memfasilitasi aksi obat anestesi lokal, sehingga memperpanjang
blokade motorik bila digunakan sebagai aditif. Namun, saat digunakan sendirian
dalam injeksi intratekal, clonidine tidak menyebabkan blok motorik atau
kelemahan. Efek samping dapat terjadi dengan penggunaan klonidin spinal
termasuk hipotensi, bradikardia, dan sedasi. Neuraxial klonidine telah digunakan
untuk perawatan rasa sakit.

Inhibitor asetilkolinesterase mencegah kerusakan asetilkolin dan


menghasilkan analgesia ketika disuntikkan secara intratekal. Efek antinosiseptif
disebabkan oleh peningkatan asetilkolin dan pembentukan oksida nitrat. Telah
ditunjukkan pada tikus bahwa neuropati diabetes dapat dikurangi setelah injeksi
neostigmine intratekal. Efek samping neostigmin intratekal termasuk mual dan
muntah, bradikardia membutuhkan atropin, kecemasan, agitasi, gelisah, dan
kelemahan ekstremitas bawah. Meskipun neostigmine spinal memberikan control
nyeri yang lama, efek samping yang terjadi tidak memungkinkan menggunakan
secara meluas.

PHARMACODYNAMICS OF SPINAL ANESTHESIA


Farmakodinamik injeksi spinal obat anestesi lokal sangat beragam.
kardiovaskular, pernapasan, pencernaan, hati, dan ginjal. Efek samping akibat
obat anestesi spinal dibahas selanjutnya.

Efek Kardiovaskular dari Anestesi Spinal


Telah diketahui bahwa anestesi spinal menyebabkan hipotensi. Bahkan,
tingkat hipotensi sering meyakinkan ahli anestesi bahwa blok tersebut memang
akibat anestesi spinal. Namun, hipotensi dapat menyebabkan mual dan muntah,
iskemia organ kritis, kolaps kardiovaskular, dan dalam kasus ibu hamil bisa
membahayakan janin. Secara historis, ada pergeseran dalam definisi, mekanisme
yang disarankan, dan manajemen hipotensi.

54
Mendefinisikan hipotensi menyusahkan. Satu studi ditemukan 15 definisi berbeda
dari hipotensi dalam 63 publikasi. Beberapa definisi menggunakan kriteria
tunggal (penurunan 80% dari baseline), sementara yang lain menggunakan
kombinasi (penurunan 80% dari baseline atau tekanan darah sistolik kurang dari
100 mm Hg). Insiden hipotensi dalam satu kelompok pasien bervariasi dari 7,4%
hingga 74,1% tergantung pada definisi yang digunakan.

Ada banyak mekanisme yang disarankan untuk hipotensi yang diinduksi


anestesi spinal, termasuk sirkulasi peredaran darah dari efek obat anestesi lokal,
insufisiensi adrenal relatif, kelumpuhan otot skeletal, peningkatan blok vasomotor
meduler asenden, dan insufisiensi pernapasan yang bersamaan. Bagaimanapun,
blok simpatis preganglionik yang dihasilkan oleh obat anestesi spinal. Karena itu
tinggi blok menentukan tingkat blokade simpatik, hal ini menentukan jumlah
perubahan dalam kardiovaskular. Namun, hubungan ini tidak dapat diprediksi.
Blok simpatik mungkin bervariasi antara dua level sensorik dan enam dermatom
tidak lengkap di bawah level ini. Blok saraf simpatis dengan obat anestesi spinal
memberi sedikit waktu untuk kompensasi kardiovaskular, yang dapat menjelaskan
blok simpatis serupa dengan anestesi epidural, tetapi lebih sedikit hipotensi.

Blok simpatis menyebabkan hipotensi melalui efeknya pada preload,


afterload, kontraktilitas, dan nadi, dengan kata lain, penentuan cardiac output
(CO) dan dengan mengurangi resistensi vaskular sistemik(SVR). Preload
diturunkan dengan venodilasi yang dimediasi simpatik, menghasilkan
pengumpulan darah di perifer dan penurunan aliran balik vena. Selama blok
simpatis, sistem vena dimaksimalkan secara maksimal dan dengan demikian
bergantung pada gravitasi untuk mengembalikan darah ke jantung. Dengan
demikian, posisi pasien, dan kompresi aortocaval pada kasus uterus yang berat,
sangat mempengaruhi aliran balik vena selama anestesi spinal.

Denyut arteri vasomotor arteri juga dapat menurun dengan blok simpatik,
penurunan SVR, dan afterload. Vasodilatasi arteri, tidak seperti venodilasi, tidak

55
maksimal setelah blokade spinal, dan otot polos pembuluh darah terus
mempertahankan otonom setelah denervasi simpatik. Sisa denyut vaskular ini bisa
hilang sasat hipoksia dan asidosis, yang dapat menyebabkan kardiovaskular
menjadi kolaps setelah blokade tinggi anestesi spinal tanpa dukungan
kardiorespirasi. Meskipun ada vasodilatasi di bawah tingkat blokade tulang
belakang, ada kompensasi vasokonstriksi di atas, dimediasi oleh karoresid dan
baroreseptor lengkung aorta. Ini penting karena dua alasan. Pertama, blokade pada
tingkat dermatom yang lebih tinggi dapat menghasilkan lebih sedikit kompensasi.
Kedua, penggunaan obat vasodilatasi seperti gliseril trinitrate (GTN), sodium
nitroprusside, atau anestesi volatil dapat menghapuskan mekanisme kompensasi
ini dan memperburuk hipotensi atau bahkan menyebabkan henti jantung.

Mungkin ada peningkatan awal CO terkait dengan penurunan afterload atau


CO dapat jatuh ke penurunan preload. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
CO tidak berubah atau sedikit berkurang selama onset anestesi spinal. Yang lain,
pada pasien usia lanjut, telah menunjukkan perubahan biphasic pada CO dengan
peningkatan awal dalam 7 menit pertama, diikuti oleh penurunan (Gambar 23–8)
Ini mungkin diebabkan dengan penurunan afterload sebelum penurunan preload.

56
Kontraktilitas dapat dipengaruhi oleh blokade saraf simpatik toraks atas.
Menariknya, sebuah penelitian menyelidiki fenomena umum ST depresi wanita
yang menjalani operasi sesar (25-60%) menemukan depresi ST untuk dikaitkan
dengan keadaan kontraktil hiperkinetik, efek anestesi spinal pada HR adalah
kompleks. HR mungkin meningkatkan (efek sekunder terhadap hipotensi melalui
refleks baroreseptor) atau menurun (baik dari blok simpatis akselerator serat
jantung yang berasal dari segmen tulang belakang T1-T4, atau melalui reflek
bainbridge terbalik) . Reflek bainbridge terbalik adalah penurunan dalam HR
karena penurunan aliran balik vena, terdeteksi oleh reseptor peregangan di atrium
kanan, dan lebih lemah dari reflek baroreseptor. Refleks Bezold-Jarisch (BJR)
adalah refleks lain menurunkan HR. BJR telah terlibat sebagai penyebabnya
bradikardia, hipotensi, dan kolaps kardiovaskular setelah anestesi neuraxial
sentral, khususnya anestesi spinal. BJR adalah refleks cardioinhibitory dan
biasanya bukan reflek dominan. Hubungan dengan anestesi spinal mungkin
lemah. BJR sebagai penyebab bradikardi setelah anestesi spinal, terutama setelah
perdarahan. Kontraksi yang kuat dari jantung yang kurang terisi dapat memicu
BJR. Ini lebih mirip dengan penggunaan efedrin daripada fenilefrin.
Muda, sehat (Perhimpunan Ahli Anestesi Amerika kelas 1) pasien memiliki
risiko bradikardia yang lebih tinggi. Penggunaan beta-bloker juga meningkatkan
risiko bradikardi. Kejadian bradikardi pada populasi tidak hamil adalah sekitar
13%. Meskipun bradikardia biasanya ditoleransi dengan baik, dapat terjadi asistol
dan blok jantung derajat kedua dan ketiga sehingga harus waspada saat memantau
pasien sesudah anestesi spinal dan segera obati.
Factor resiko yang terkait dengan hipotensi meliputi hipovolemi, hipertensi
pra operasi, tinggi blok sensorik tinggi, usia lebih dari 40 tahun, obesitas,
kombinasi anestesi umum dan spinal, konsumsi alkohol kronis, peningkatan BMI,
dan urgensi pembedahan nonobstetrik. kemungkinan pada wanita yang dalam
persalinan dibandingkan dengan mereka yang berusia dibawah 89 tahun.
Hipotensi jarang terjadi pada operasi caesar elektif.

57
Management of Hypotension After Spinal Anesthesia Changing Beliefs
Pergeseran keyakinan dalam landasan teori hipotensi yang diinduksi anestesi
spinal telah berubah dalam tatalaksana. Misalnya, jika preload yang menurun
diyakini menjadi hal penting, maka posisi dan terapi cairan adalah pengobatan
pilihan, dan juga jika vasodilatasi adalah penyebabnya, maka vasokonstriktor
harus menjadi lini pertama. Hal ini telah menyebabkan perdebatan yang hebat.
Pada 1970-an, disarankan untuk tidak memberikan vasopresor sampai “semua
metode lain untuk membuktikan hipotensi ”digunakan, menggarisbawahi
pentingnya preload. Bukti untuk mendukung ini diekstrapolasi dari penelitian
yang cacat pada domba betina hamil yang menjalani anestesi umum, yang
menunjukan vasopreso mberpengaruh buruk terhadap sirkulasi uteroplasenta.
Judul vasopressor pilihan juga telah menghasilkan banyak kontroversi. Ephedrine
secara tradisional dinominasikan karena mempertahankan aliran darah uterus
(pada percobaan hewan diatas). Pekerjaan oleh Ngan Kee, antara lain, telah
menyarankan fenilefrin dapat menjadi vasopresor pilihan, setidaknya dalam
pengaturan obstetri elektif.

Management
Tatalaksana hipotensi setelah spinal anestesi harus dilakukan pemantauan
tekanan darah setiap menit pada awalnya, selain elektrokardiogram (EKG),
saturasi oksigen, dan pemantauan janin dalam kasus pasien hamil. Pertimbangan
harus diberikan pada pemantauan tekanan darah invasive jika pasien memiliki
komorbid jantung yang signifikan. Terapi cairan harus digunakan dalam keadaan
pasien dehidrasi untuk mengembalikan volume sebelum memulai anestesi spinal.
Metode nonfarmakologis untuk mengobati hipotensi meliputi posisi, kompresi
tungkai, dan perpindahan uterus. Posisi trendelenburg dapat meningkatkan aliran
balik vena ke jantung. Posisi ini tidak boleh melebihi 20 ° karena posisi
trendelenburg ekstrim dapat menyebabkan penurunan perfusi otak dan aliran
darah karena peningkatan tekanan vena jugularis. Jika tingkat anestesi spinal tidak
tetap, posisi trendelenburg dapat mengubah tingkat anestesi spinal dan
menyebabkan blok tinggi spinal pada pasien yang menerima solution hiperbarik

58
anestesi lokal. Hal ini dapat diminimalkan dengan menaikkan bagian atas tubuh
dengan bantal di bawah bahu sambil menjaga bagian bawah tubuh terangkat di
atas jantung. Ulasan Cochrane pada wanita hamil menemukan kompresi tungkai
bawah memiliki beberapa manfaat, meskipun metode yang berbeda memiliki
khasiat yang berbeda. Kompresi aortocaval dari rahim yang berat harus dihindari.
Posisi lateral menghasilkan hipotensi pada kemiringan lateral kiri, walaupun ini
mungkin tidak praktis. Irisan di bawah pinggul kanan, atau meja miring, dapat
digunakan untuk mencapai kemiringan lateral kiri. Namun, tingkat kemiringan
yang optimal tidak diketahui, dan mungkin ada yang cukup besar variabilitas di
antara pasien yang berbeda.

Ada pendapat yang bertentangan tentang manajemen cairan yang tepat selama
anestesi spinal. Studi awal menunjukkan “preloading” sebelum blokade tulang
belakang efektif. Pekerjaan yang lebih baru menunjukkan efek minimal
preloading. Preloading koloid tampaknya efektif, meskipun harus seimbang
terhadap risiko reaksi alergi dan peningkatan biaya. "Coloading" (pemberian
cairan yang cepat segera setelah anestesi spinal) dengan kristaloid lebih baik dari
preloading untuk mencegah hipotensi.

Hipotensi dapat dibatasi dengan menurunkan dosis obat anestesi spinal. Satu
review menemukan 5-7 mg bupivacaine cukup untuk operasi cesar. Namun, blok
motoric total jarang terjadi, durasinya terbatas, dan kateter epidural untuk dosis
top-up awal sangat penting. Sebuah meta-analisis pada tahun 2011 menemukan
dosis bupivacaine yang lebih rendah dikaitkan dengan kemanjuran tambahan yang
lebih rendah lebih sedikit hipotensi dan mual.

Ada pendapat yang bertentangan tentang vasopressor pilihan untuk hipotensi


yang diinduksi spinal. Efedrin dan fenilefrin telah menjadi dua pesaing utama.
Namun, yang lainnya telah digunakan. Efedrin adalah α-gonisreseptor langsung
dan β agonis reseptor tak langsung. Hal itu terasa lebih aman daripada fenilefrin
karena membatasi vasokonstriksi sirkulasi uteroplase pada hewan peliharaan.

59
Namun, efedrin memiliki onset yang lambat, mengalami takifilaksis, dan
kemanjuran terbatas dalam mengobati hipotensi. Yang lebih memprihatinkan
adalah peningkatan risiko asidosis janin. Apakah ini berarti hasil klinis yang lebih
buruk tidak pasti.

Fenilefrin adalah agonis reseptor α1 langsung. Berhasil digunakan pada 1960-


an untuk anestesi spinal di New York, tetapi tidak disukai karena kekhawatiran
tentang perfusi jaringan yang buruk. Secara khusus, vasokonstriksi uteroplasenta
dicatat pada percobaan hewan hamil (agak cacat). Pekerjaan terbaru telah
menunjukkan bahwa asidosis janin tidak terjadi ketika dosis biasanya digunakan.
Selain itu, fenilefrin tampaknya lebih unggul daripada efedrin dalam mengurangi
hipotensi dan mual. Fenilefrin telah digunakan sebagai bolus atau sebagai infus
dan telah digunakan untuk mengobati hipotensi sebagai profilaksis maupun reaktif
(Tabel 23-9). Regimen dosis optimal belum ditetapkan. Ngan Kee secara efektif
mencegah hipotensi pada pasien obstetri elektif dengan menggunakan kombinasi
coloid kristaloid dengan profilaksis infus fenilefrin.

60
Fenilefrin adalah vasopresor pilihan saat ini untuk hipotensi spinal, setidaknya
dalam operasi obstetri elektif. Namun, kekurangannya. Pertama, fenilefrin
menghasilkan penurunan CO, meskipun tidak signifikan. Kedua, intravena
fenilefrin telah terbukti mengurangi ketinggian blok spinal pada pasien hamil dan
pasien tidak hamil. Ketiga, Cooper merujuk pada dua laporan kasus krisis
hipertensi yang melibatkan fenilefrin dan atropin, menghasilkan morbiditas yang
signifikan. Disasrankan bahwa hipertensi yang disebabkan oleh vasopresor
dibatasi oleh penurunan refleks dalam HR. Atropin dalam hal ini, menyebabkan
krisis hipertensi. Akhirnya, presentasi fenilefrin biasa sangat terkonsentrasi (10
mg / mL) dan perlu diencerkan dalam kantung saline 100 mL (100 μg / mL). Ahli

61
anestesi lebih akrab dengan efedrin mungkin menemukan ini melelahkan atau,
lebih buruk lagi, mungkin melakukan kesalahan konsentrasi obat. Apalagi seperti
kasus biasa membutuhkan jauh lebih sedikit dari 100 mL fenilefrin, ada risiko
kontaminasi silang jika bekas digunakan kembali.

Kolaps kardiovaskular dapat terjadi setelah anestesi spinal, meskipun itu


adalah peristiwa langka. Auroy dan rekan kerjanya melaporkan 9 henti jantung
pada 35.439 dilakukannya anestesi spinal. Bradikardi biasanya mendahului henti
jantung, dan awalnya, pengobatan bradikardia diperlukan. Pengobatan bradikardia
termasuk atropin intravena, efedrin, dan epinefrin. Dalam kasus henti jantung
setelah anestesi spinal, epinefrin harus digunakan lebih hati hati, dan protocol
Advanced Cardiac Life Support (ACLS) harus dimulai.

Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang hipotensi yang diinduksi spinal.


Meskipun pengobatan biasanya ditujukan untuk tekanan darah sistolik, berarti
tekanan darah mungkin menjadi target yang lebih baik. Reseptor yang berbeda
mungkin juga ditargetkan. Misalnya profilaksis intravena ondansetron telah
terbukti mengurangi hipotensi, mungkin dengan memodulasi BJR. Subpopulasi
pasien yang berbeda mungkin memerlukan terapi yang berbeda. Sebagian besar
bukti berkaitan dengan pengaturan kebidanan yang sehat, dan sejauh mana yang
ini dapat diekstrapolasi ke kelompok lain masih harus dilihat. Terakhir, terlepas
dari bukti yang dipublikasikan tentang manfaat fenilefrin lebih dari efedrin untuk
operasi sesar elektif, ada keengganan untuk mengubah praktik. Hambatan
psikologis dan institusional untuk perubahan perlu diatasi.

Respiratory Effects of Spinal Anesthesia


Pada pasien dengan fisiologi paru normal, anestesi spinal memiliki sedikit
efek pada fungsi paru. Volume paru, resting minute ventilation, dead space,
tekanan gas darah arteri, dan fraksi shunt menunjukkan perubahan minimal
setelah anestesi spinal. Pengaruh pernapasan utama anestesi spinal terjadi selama
tinggi blokade spinal ketika pernafasan aktif terpengaruh karena kelumpuhan otot

62
perut dan interkostal. Selama tinggi blokade spinal, volume cadangan ekspirasi,
aliran ekspirasi puncak, dan ventilasi menit maksimum berkurang. Penderita
penyakit paru obstruktif yang mengandalkan penggunaan otot tambahan untuk
ventilasi yang memadai harus dipantau hati-hati setelah blokade spinal. Pasien
dengan normal fungsi paru dan tinggi blokade spinal dapat mengeluhkan dispnea,
tetapi jika mereka dapat berbicara dengan jelas dengan suara normal, ventilasi
biasanya memadai. Dispnea biasanya disebabkan oleh ketidakmampuan untuk
merasakan dinding dada bergerak selama respirasi, dan jaminan sederhana
biasanya efektif dalam menghilangkan tekanan pasien.

Pengukuran gas darah arteri tidak berubah selama blokade tinggi anestesi
spinal pada pasien yang bernapas spontan. Efek utama blokade tinggi anestesi
spinal adalah pada ekspirasi, karena otot-otot pernafasan terganggu. Karena tinggi
tulang belakang biasanya tidak mempengaruhi daerah serviks, saraf frenikus dan
fungsi diafragma normal terjadi, dan inspirasi minimal terpengaruh. Meskipun
Steinbrook dan rekannya menemukan bahwa anestesi spinal tidak berhubungan
dengan perubahan signifikan dalam kapasitas vital, tekanan inspirasi maksimal,
atau resting end-tidal PCO2, ventilasi yang meningkat responsif terhadap CO2
dengan anestesi spinal bupivacaine terlihat.

Gastrointestinal Effects of Spinal Anesthesia


Persarafan simpatis terhadap organ perut muncul dari T6 ke L2. Karena
blokade simpatik dan aktivitas parasimpatis yang tidak terhambat setelah blokade
tulang belakang, sekresi meningkat, sfingter rileks, dan usus menjadi menyempit.
Peningkatan aktivitas vagal setelah blok simpatis menyebabkan peningkatan gerak
peristaltik pada saluran pencernaan, yang dapat menyebabkan mual. Mual juga
bisa terjadi akibat iskemi usus yang diinduksi hipotensi, yang menghasilkan
serotonin dan zat emetogenik lainnya. Insiden IONV dalam operasi nonobstetrik
Dapat mencapai 42% dan mungkin setinggi 80% pada ibu melahirkan.

63
Hepatic and Renal Effects of Spinal Anesthesia
Aliran darah hepatik berkorelasi dengan aliran darah arteri. Tidak ada
autoregulasi aliran darah hati, dengan demikian, ketika aliran aliran darah arteri
berkurang setelah anestesi spinal, begitu pula aliran darah hati. Jika tekanan arteri
rata-rata (MAP) setelah menempatkan anestesi spinal dipertahankan, aliran darah
hati juga akan ddipertahankan. Penderita penyakit hati harus hati-hati dipantau,
dan tekanan darah mereka harus dikontrol selama anestesi untuk mempertahankan
perfusi hati. Tidak ada penelitian yang menunjukkan keunggulan anestesi
regional atau umum pada pasien dengan penyakit hati. Pada pasien dengan
penyakit hati, baik anestesi regional atau umum dapat diberikan, selama MAP
terjaga.

Aliran darah ginjal diautoregulasi. Ginjal tetap difusi ketika MAP tetap di atas
50 mmHg. Penurunan aliran darah ginjal dapat terjadi ketika MAP kurang dari
50 mmHg, tetapi bahkan setelah lama menurun pada MAP, fungsi ginjal
kembali normal ketika tekanan darah kembali normal. Sekali lagi, perhatian
terhadap tekanan darah penting setelah menempatkan anestesi spinal, dan MAP
harus sedekat mungkin dengan garis dasar. Anestesi spinal tidak mempengaruhi
autoregulasi aliran darah ginjal. Telah ditunjukkan pada domba bahwa perfusi
ginjal sedikit berubah setelah anestesi spinal.

FACTORS AFFECTING LEVEL OF SPINAL BLOCKADE


Banyak faktor telah disarankan sebagai faktor penentu yang memungkinkan
tinggi blokade spinal. Empat kategori utama faktor adalah (1) karakteristik larutan
anestesi lokal, (2) karakteristik pasien, (3) teknik blokade spinal, dan (4) difusi.
Karakteristik larutan anestesi lokal menunjukkan barisitas, dosis, konsentrasi, dan
volume yang disuntikkan. Karakteristik pasien meliputi umur, berat badan, tinggi,
jenis kelamin, tekanan intraabdomen, anatomi tulang belakang, karakteristik
cairan tulang belakang, dan posisi pasien. Teknik blokade tulang belakang
termasuk tempat injeksi, kecepatan injeksi, arah bevel jarum, kekuatan injeksi,
dan penambahan vasokonstriktor. Meskipun semua faktor ini ada telah

64
dikemukakan sebagai pengaruh penyebaran anestesi spinal, tidak banyak
telah terbukti mengubah distribusi blokade dijaga tetap konstan.

Site of Injection
Tempat injeksi anestesi lokal untuk anestesi spinal dapat menentukan tingkat
blokade. Dalam beberapa penelitian, bupivacaine 0,5% spinal isobarik
menghasilkan blokade sensorik yang berkurang dua dermatoma per ruang saat
injeksi di L2-L3, L3-L4, dan dibandingkan L4-L5 interspaces. Namun, tidak ada
perbedaan ketinggian blok ada saat bupivacaine atau dibucaine hiperbarik
disuntikkan sebagai anestesi spinal di interspaces berbeda.

Usia
Beberapa penelitian telah melaporkan perubahan ketinggian blok setelah
anestesi spinal pada pasien lansia dibandingkan dengan pasien muda, tetapi
penelitian lain melaporkan tidak ada perbedaan pada ketinggian blok. Studi ini
dilakukan dengan bupivakain isobarik dan hiperbarik 0,5%.

Bupivacaine isobarik tampaknya meningkatkan tinggi blokade, dan


bupivacaine hiperbarik tampaknya tidak mengubah tinggi blokade dengan
bertambahnya usia. Jika ada korelasi antara bertambahnya usia dan tinggi anestesi
spinal, itu tidak kuat cukup dengan sendirinya menjadi prediktor yang dapat
diandalkan dalam pengaturan klinis. Sama seperti dengan tempat injeksi,
tampaknya barisitas memainkan peran utama dalam menentukan tinggi blok
setelah anestesi spinal pada populasi yang lebih tua, dan usia bukan merupakan
faktor independen.

Posisi
Posisi pasien penting untuk menentukan tinggi blokade setelah anestesi spinal
hiperbarik dan hipobarik, tetapi tidak untuk isobarik solution. Posisi duduk,
Trendelenburg, dan posisi jackknife rentan sangat dapat mengubah penyebaran
obat anestesi lokal karena efek gravitasi.

65
Kombinasi barisitas dari larutan obat anestesi lokal dan penentuan posisi
pasien menentukan tinggi blok tulang belakang. Posisi duduk dalam kombinasi
dengan larutan hiperbarik bisa menghasilkan analgesia di perineum. Penempatan
posisi trendelenburg juga akan mempengaruhi penyebaran anestesi lokal
hiperbarik dan hipobarik karena efek dari gravitasi. Posisi tengkurap jackknife
rentan digunakan untuk prosedur rektal, perineum, dan lumbal dengan obat
anestesi lokal hipobarik. Ini mencegah penyebaran rostral blokade spinal setelah
injeksi. Kelenturan pinggul dan lutut pasien telentang meratakan lumbal lordosis
dan mengurangi pengumpulan obat anestesi kearah sakral. Dikombinasikan
dengan posisi Trendelenburg, ini dapat membantu penyebaran kearah cephalad.
Posisi ini mungkin secara tidak sengaja tercapai ketika kateter kemih ditempatkan
setelah insersi tulang belakang.

Speed of Injection
Kecepatan injeksi telah dilaporkan mempengaruhi ketinggian blok tulang
belakang, tetapi data yang tersedia dalam literatur saling bertentangan. Dalam
penelitian yang menggunakan bupivacain isobarik, tidak ada perbedaan di
ketinggian blok spinal dengan kecepatan injeksi yang berbeda. Meskipun
ketinggian blok spinal tidak berubah dengan kecepatan injeksi, injeksi halus,
lambat harus digunakan ketika memberikan anestesi spinal. Jika kuat injeksi
diberikan dan jarum suntik tidak terhubung erat jarum tulang belakang, jarum
mungkin terputus dari sambungan jarum suntik dengan kehilangan anestesi lokal.

Volume, Konsentrasi, dan Dosis obat Anestesi Lokal


Sulit untuk mempertahankan volume, konsentrasi, atau dosis konstanta obat
anestesi lokal tanpa mengubah variable lainnya, dengan demikian, sulit untuk
menghasilkan penelitian berkualitas tinggiyang menyelidiki variabel-variabel ini
secara sendiri-sendiri. Axelsson dan rekannya menunjukkan bahwa volume
anestesi lokal dapat mempengaruhi ketinggian blokade spinal ketika dosis setara
digunakan.

66
Peng dan rekan kerja menunjukkan bahwa konsentrasi obat anestesi lokal
berhubungan langsung dengan dosis ketika menentukan anestesi efektif. Namun,
dosis anestesi lokal paling berperan dalam menentukan durasi blokade spinal,
karena volume atau konsentrasi isobarik bupivacaine atau tetracaine tidak
mengubah durasi blokade spinal ketika dosis dipertahankan konstan. Penelitian
telah berulang kali menunjukkan bahwa durasi blokade spinal lebih lama ketika
dosis yang lebih tinggi dari obat anestesi lokal diberikan. Saat melakukan anestesi
spinal, waspadai tidak hanya dosis obat anestesi lokal tetapi juga volume dan
konsentrasi sehingga pasien tidak overdosis atau underdosis.

Penggunaan hiperbarik solution meminimalkan kepentingan dosis dan volume


kecuali ketika dosis bupivacaine hiperbarik sama dengan atau kurang dari 10 mg
digunakan. Dalam kasus tersebut, ada lebih sedikit penyebaran ke arah cephalad
dan durasi aksi yang lebih pendek. Dosis bupivacaine hiperbarik antara 10 dan 20
mg menghasilkan ketinggian blok yang sama saat menggunakan hiperbarik
solution, itu penting untuk dicatat bahwa posisi pasien dan barisitas faktor yang
paling berpengaruh pada tinggi blok, kecuali ketika dosis bupivacaine hiperbarik
yang rendah digunakan.

EQUIPMENT FOR SPINAL ANESTHESIA


Maintaining Asepsis
Tidak ada intervensi tunggal yang menjamin asepsis. Karena itu, pendekatan
multiprong disarankan. Di masa lalu, sebagian besar institusi memiliki nampan
yang dapat digunakan kembali untuk anestesi spinal. Baki-baki ini memerlukan
persiapan oleh ahli anestesi atau anestesi untuk memastikan bahwa kontaminasi
bakteri dan bahan kimia tidak akan terjadi. Saat ini, nampan spinal sekali pakai
tersedia dan sedang digunakan oleh kebanyakan institusi. Baki ini portabel, steril,
dan mudah menggunakan. Gambar 23–9 menunjukkan isi nampan anestesi spinal
standar yang disiapkan.

Solusi persiapan kulit yang ideal harus bersifat bakterisidal dan memiliki

67
onset cepat dan durasi yang lama. Klorheksidin lebih unggul dari povidone iodine
dalam semua hal ini. Selain itu, obat yang ideal tidak boleh neurotoksik.
Sayangnya, obat bakterisida bersifat neurotoksik. Oleh karena itu untuk
menggunakan konsentrasi efektif terendah dan biarkan persiapan mengering.
Meski bisa diperdebatkan, klorheksidin 0,5% dalam alkohol 70% saat ini
direkomendasikan oleh beberapa kelompok.310 Kontaminasi peralatan dengan
persiapan kulit secara teoritis dapat menyebabkan pengenalan zat neurotoksik ke
dalam jaringan saraf. Yang lebih memprihatinkan adalah injeksi antiseptik
neuraxial yang tidak disengaja, mungkin dari larutan antiseptik dan obat anestesi
lokal ditempatkan di pot yang berdekatan. Karena itu, setelah persiapan kulit,
antiseptik yang tidak digunakan harus dibuang sebelum dimulainya prosedur (dan
obat intratekal harus diambil langsung dari ampul steril). Larutan antiseptik
berwarna mungkin mengurangi kemungkinan kesalahan obat dan memudahkan
identifikasi kulit yang terlewat saat tindakan.

Membuktikan manfaat dari langkah langkah pengendalian infeksi individu


adalah sulit karena kelangkaan komplikasi infeksi. Bukti masa lalu telah
bertentangan. Sebagai contoh, telah disarankan itu Kerontokan sisik kulit dari
topeng "geli" dapat terjadi, meningkatan kontaminasi bakteri. Namun, pada 1995
ada permintaan penggunaan masker wajah rutin setelah terbukti secara jelas,
menggunakan sidik jari polymerase chain reaction (PCR), bahwa kasus
meningitis Streptococcus salivarius berasal dari tenggorokan dokter yang telah
melakukan pungsi lumbal. Ini adalah keyakinan kami bahwa pemakaian masker
harus diwajibkan saat melakukan anestesi spinal. Perhimpunan praktik American
Society of Regional Anestesi dan Medicine (ASRA) merekomendasikan
pemakaian masker selain melepas perhiasan, mencuci tangan secara menyeluruh,
dan sarung tangan bedah steril untuk semua teknik anestesi regional. Komponen
utama dari teknik aseptik juga termasuk topi bedah dan tirai steril. Badan
Profesional internasional lainnya memiliki pedoman yang sama.

68
Antibiotik profilaksis tidak diperlukan untuk anestesi spinal. Jika, seperti
yang terjadi, profilaksis antibiotik diperlukan untuk pencegahan infeksi sdi tempat
pembedahan, mungkin lebih bijaksana berikan antibiotik sebelum memasukkan
jarum tulang belakang. Pembaca dirujuk ke Bab 16 (Pengendalian Infeksi di
Anestesi Regional) untuk informasi lebih lanjut.

Resuscitation and Monitoring


Resusitasi dan pemantauan resusitasi harus tersedia setiap kali anestesi spinal
dilakukan. Ini termasuk peralatan dan obat-obatan diperlukan untuk
mengamankan jalan napas, menyediakan ventilasi, dan dukungan fungsi jantung.
Semua pasien menerima anestesi spinal harus memiliki jalur intravena. Pasien
harus dimonitor selama penempatan anestesi spinal dengan oksimeter nadi,
manset tekanan darah, dan EKG. Pemantauan janin harus digunakan dalam kasus
pasien hamil.

Tekanan darah noninvasif harus diukur pada Interval 1 menit pada awalnya,
karena hipotensi mungkin terjadi mendadak. Menggigil dan habitus tubuh dapat
membuat pengukuran tekanan darah noninvasif menjadi sulit. Pertimbangan harus
diberikan kepada pemantauan tekanan darah invasif jika pasien memiliki penyakit
kardiovaskular.

69
Jarum
Jarum dengan diameter dan bentuk yang berbeda telah dikembangkan untuk
anestesi spinal. Yang saat ini digunakan memiliki stylet yang dapat dilepas, yang
mencegah kulit dan jaringan adiposa menyumbat jarum memasuki ruang
subarachnoid. Gambar 23-10 menunjukkan berbagai jenis jarum yang digunakan
bersama dengan jenis lubang di ujung jarum. Jarum titik pensil (Sprotte dan
Whitacre) memiliki bevel bulat, tidak terpotong dengan ujung padat. Pembukaan
adalah terletak di sisi jarum 2-4 mm proksimal ke ujung dari jarum. Jarum dengan
bevel pemotongan termasuk Jarum Quincke dan Pitkin. Jarum Quincke memiliki
lubang tajam dengan jarum pemotong sedang, dan Pitkin memiliki lubang tajam
dan bevel pendek dengan cutting edge. Akhirnya, Jarum spinal Greene memiliki
lubang bulat dan bevel bulat tidak terpotong. Jika kateter tulang belakang terus
menerus akan ditempatkan, Jarum tuyohy dapat digunakan untuk menemukan
ruang subarachnoid sebelum penempatan kateter.

Jarum lobang pensil memberikan sensasi taktil yang lebih baik pada lapisan
ligamen yang dijumpai tetapi membutuhkan kekuatan lebih untuk memasukkan
dari jarum bevel-tip. Bevel jarum seharusnya diarahkan secara longitudinal untuk
mengurangi kejadian PDPH. Jarum pengukur kecil dan jarum dengan bevel bulat,
tidak memotong juga mengurangi kejadian PDPH tetapi lebih mudah dibelokkan
dari jarum pengukur yang lebih besar. Pembaca dirujuk ke Bab 6 (Anatomi
Ultrastruktural dari Mening Spinal dan Struktur Terkait) dan Bab 23 (Sakit kepala
tusukan postdural).

70
Introduser telah dirancang untuk membantu penempatan jarum spinal ke ruang
subarachnoid karena kesulitan dalam mengarahkan jarum bor kecil melalui
jaringan. Introduser juga berfungsi untuk mencegah kontaminasi CSF dengan
potongan-potongan kecil epidermis, yang dapat menyebabkan pembentukan
tumor sumsum tulang belakang dermoid. Introduser ditempatkan ke dalam
ligamen interspinous ke arah yang diinginkan dari jarum spinal, dan jarum tulang
belakang kemudian ditempatkan melalui Introduser.

POSISI PASIEN
Posisi pasien yang tepat untuk anestesi spinal sangat penting untuk
kberhasilan blokade. Telah terbukti menjadi prediktor independen untuk
percobaan pertama yang berhasil pada blokade neuraxial. Banyak faktor ikut
berperan untuk penentuan posisi pasien. Sebelum memulai prosedur, baik pasien
maupun ahli anestesi harus nyaman. Ini termasuk penentuan posisi ketinggian
meja ruang operasi, menyediakan selimut atau penutup untuk pasien, memastikan
suhu ruangan nyaman, dan sedasi untuk pasien jika dibutuhkan. Personil yang
terlatih dalam memposisikan pasien sangat berharga, dan perangkat pemosisian
komersial mungkin berguna.

71
Saat memberikan sedasi, penting untuk menghindari sedasi berlebih. Pasien
harus dapat bekerja sama sebelum, selama, dan setelah pemberian anestesi spinal.
Ada tiga posisi utama untuk pemberian anestesi spinal: posisi lateral dekubitus,
duduk, dan tengkurap.

Posisi Lateral Dekubitus


Posisi yang biasa digunakan untuk menempatkan anestesi spinal adalah posisi
lateral dekubitus lateral. Posisi ideal terdiri dari memiliki bagian belakang pasien
sejajar dengan tepi tempat tidur terdekat dengan ahli anestesi, dengan lutut pasien
tertekuk ke perut dan leher tertekuk. Gambar 23-11 menunjukkan seorang pasien
posisi lateral dekubitus. Manfaat untuk memiliki asisten untuk membantu
memegang dan mendorong pasien untuk tetap dalam posisi ini. Tergantung pada
tempat operasi dan posisi operasi, hipo-, iso-, atau hiperbarik larutan anestesi
lokal dapat disuntikkan.

Posisi Duduk dan "Saddle Block"


Sebenarnya, posisi duduk paling baik digunakan untuk anestesi lumbal atau
sakral dan dalam kasus ketika pasien mengalami obesitas dan ada kesulitan dalam
menemukan garis tengah. Namun dalam praktiknya, banyak ahli anestesi lebih
suka posisi duduk pada semua pasien yang bisa diposisikan dengan cara ini. Posisi
duduk menghindari potensi rotasi tulang belakang yang dapat terjadi dengan
posisi lateral dekubitus lateral. Menggunakan bangku untuk sandaran kaki dan

72
bantal untuk dipegang pasien dapat bermanfaat dalam posisi ini. Pasien harus
tekuk leher dan dorong punggung bawah untuk membuka ruang intervertebral
lumbal. Gambar 23–12 menggambarkan seorang pasien dalam keadaan posisi
duduk, dan interspace L4-L5 ditandai. Saat melakukan "sadle block," pasien harus
tetap dalam posisi duduk setidaknya 5 menit setelah obat anestesi spinal
hiperbarik diinjeksi untuk memungkinkan obat anestesi spinal untuk menetap di
wilayah itu. Jika tingkat blokade yang lebih tinggi diperlukan, pasien harus segera
terlentang setelah injeksi spinal dan meja disesuaikan.

73
Posisi Tengkurap
Posisi tengkurap dapat dimanfaatkan untuk induksi anestesi spinal jika pasien
perlu dalam posisi ini untuk operasi, seperti untuk operasi rektal, perineum, atau
lumbal. Suatu hipobarik atau isobarik solution obat anestesi lokal lebih disukai di
posisi jackknife untuk prosedur ini. Ini menghindari penyebaran rostral obat
anestesi local dan mengurangi risiko blokade tinggi anestesi spinal.
Solusi lain yang kurang elegan adalah menyuntikkan hiperbarik solution obat
anestesi lokal dengan pasien dalam posisi duduk dan tunggu sampai anestesi
spinal "mulai", yang biasanya 15-20 menit setelah injeksi. Pasien kemudian
diposisikan dalam posisi tengkurap dengan pemantauan waspada, termasuk sering
komunikasi verbal dengan pasien.

TECHNIQUE OF LUMBAR PUNCTURE


Saat melakukan anestesi spinal, monitor yang sesuai harus ditempatkan, dan
jalan nafas dan peralatan resusitasi harus tersedia. Semua peralatan untuk blokade
spinal harus siap digunakan, dan semua obat yang diperlukan harus disiapkan
sebelum memposisikan pasien anestesi spinal. Persiapan yang memadai untuk
spinal mengurangi jumlah waktu yang dibutuhkan untuk melakukan blokade dan
membantu membuat pasien nyaman.

Posisi yang tepat adalah kunci untuk membuat anestesi spinal cepat dan
sukses. Setelah pasien diposisikan dengan benar, garis tengah harus diraba.
Puncak iliaka teraba, dan garis ditarik di antara mereka untuk menemukan tubuh
L4 atau L4 – L5 interspace. Antar-tempat lain dapat diidentifikasi, tergantung di
mana jarum harus dimasukkan.

Kulit harus dibersihkan dengan larutan seperti klorheksidin 0,5%, dan area
tersebut harus dibungkus dengan steril. Larutan pembersih kulit harus dibiarkan
sampai kering, dan larutan persiapan kulit yang tidak digunakan harus
disingkirkan dari ruang kerja ahli anestesi. Jarum lokal anestesi local disuntikkan

74
ke kulit di tempat insersi yang direncanakan. Lebih banyak obat bius lokal
kemudian diberikan di sepanjang tempat yang dimaksudkan dari insersi jarum
spinal ke estimasi kedalaman ligamentum supraspinous. Ini memiliki tujuan
ganda: anestesi tambahan untuk pemasangan jarum spinal dan identifikasi jalur
yang benar dari jalur yang benar untuk penempatan jarum spinal. Perawatan
harus diambil pada pasien kurus untuk menghindari tusukan dural, dan anestesi
spinal yang tidak disengaja, pada tahap ini.

Midline Approach
Jika midline approach digunakan, raba interspace yang diinginkan dan
menyuntikkan obat anestesi lokal ke kulit dan jaringan subkutan. Introduser jarum
ditempatkan sedikit kearah cephalad sudut 10 ° hingga 15 °. Selanjutnya, jarum
spinal dilewatkan melalui introduser. Jarum melewati jaringan subkutan,
ligamentum supraspinous, ligamentum interspinous, ligamentum flavum, ruang
epidural, dura mater, dan subarachnoid mater untuk mencapai ruang
subarachnoid.

Resistensi berubah ketika jarum spinal melewati masing-masing tingkat


dalam perjalanan ke ruang subarachnoid. Jaringan subkutan lebih sedikit resistensi
terhadap jarum tulang belakang daripada ligamen. Ketika jarum spinal menembus
dura mater, "pop" sering dihargai. Setelah pop ini dirasakan, stiletnya harus
dilepas dari jarum untuk memeriksa aliran CSF. Untuk jarum spinal pengukur
yang lebih tinggi (pengukur 26-29), ini biasanya membutuhkan 5-10 detik, tetapi
pada beberapa pasien, ini bisa memakan waktu satu menit atau lebih lama. Jika
tidak ada aliran, beberapa menyarankan untuk memutar jarum 90 ° karena lubang
jarum mungkin terhalang. Serpihan dapat menghalangi lubang jarum spinal. Jika
perlu, tarik jarum dan bersihkan lubang sebelum mencoba spinal lagi. Penyebab
umum kegagalan untuk mendapatkan aliran CSF adalah jarum spinal berada di
luar garis tengah. Garis tengah harus ditinjau kembali dan jarum diposisikan
ulang.

75
Jika jarum spinal menyentuh tulang, kedalaman jarum harus diperhatikan dan
jarum ditempatkan lebih kearah cephalad. Jika tulang dihubungi lagi, kedalaman
jarum harus dibandingkan dengan kontak tulang terakhir untuk menentukan
struktur apa yang terhubung. Misalnya, jika kontak tulang lebih dalam dari yang
pertama, jarum harus diarahkan lebih kearah cephalad untuk menghindari
prosesus spinosus inferior. Jika mengnai tulang kira-kira pada kedalaman sama
dengan penyisipan awal, mungkin lamina sedang terhubung, dan garis tengah
harus dinilai ulang. Jika kontak tulang lebih dangkal dari pada insersi semula,
jarum harus dialihkan kearah kaudal untuk menghindari prosesus spinosus
superior.

Ketika jarum spinal perlu dimasukkan kembali, itu penting untuk menarik
jarum kembali ke lapisan kulit sebelum diarahkan. Hanya lakukan perubahan kecil
pada arah sudut saat memasukkan kembali jarum spinal sebagai perubahan kecil
di permukaan menyebabkan perubahan besar dalam arah ketika jarum mencapai
kedalaman yang lebih besar. Membungkuk dan melengkungnya jarum spinal saat
masuk melalui kulit atau introducer juga bisa mengarahkan jarum saat berusaha
memasuki ruang subarachnoid.

Parestesi dapat timbulkan ketika melewati jarum spinal. Stylet harus


dikeluarkan dari jarum spinal, dan jika CSF terlihat dan paresthesia tidak lagi ada,
aman untuk menyuntikkan obat anestesi lokal. Mungkin akar saraf cauda equina
telah dijumpai. Jika tidak ada aliran CSF, ada kemungkinan bahwa jarum spinal
telah menyentuh akar saraf tulang belakang yang melintasi ruang epidural. Jarum
harus dilepas dan diarahkan menuju sisi yang berlawanan dengan paresthesia.
Setelah CSF mengalir bebas, suntikkan anestesi lokal perlahan dengan kecepatan
kurang dari 0,5 mL / s. Aspirasi tambahan dari CSF di titik tengah dan akhir
injeksi untuk mengkonfirmasi pemberian ke ruang subarachnoid yang
berkelanjutan tetapi mungkin tidak selalu memungkinkan ketika jarum kecil
digunakan. Sekali injeksi anestesi lokal selesai, introduser dan jarum spinal
dibuang dalam satu unit. Pasien kemudian harus diposisikan sesuai dengan

76
prosedur bedah dan barisitas anestesi lokal yang diberikan. Meja dapat
dimiringkan baik di salah satu posisi Trendelenburg atau membalikkan posisi
Trendelenburg sesuai kebutuhan untuk menyesuaikan ketinggian blok setelah
menguji level sensorik. Ahli anestesi harus memantau dan memonitor tanda-tanda
vital dengan cermat.

Paramedian (Lateral) Approach


Jika pasien memiliki ligamentum interspinous yang terkalsifikasi atau
kesulitan dalam meregangkan tulang belakang, pendekatan paramedian untuk
mencapai anestesi spinal dapat digunakan. Pasien dapat berada dalam posisi apa
pun untuk pendekatan ini: posisi duduk, lateral, atau prone jackknite. Setelah
palpasi proses spinosus lumbalis superior dan inferior interspace yang diinginkan,
anestesi lokal diinfiltrasi 1 cm lateral ke superior dari prosesus spinosus inferior.
Jarumnya harus diarahkan sedikit medial. Angulasi medial 10 ° dan 15 ° jarum
akan mencapai garis tengah pada kedalaman sekitar 5,7 cm (tan 80 °) dan 3,7 cm
(tan 75 °). Ini menunjukkan bahwa perubahan kecil dalam angulasi dapat
memiliki efek yang jelas pada penempatan ujung jarum. Meskipun sedikit
angulasi ke cephalad juga diperlukan, kesalahan umum adalah pendekatan awal
yang terlalu dalam. Jika lamina dihubungi, jarum kemudian harus miring ke
cephalad dan lamina ke ruang subarachnoid.

77
Metode lain telah dijelaskan. Semua teknik melibatkan sumbu vertikal yang
serupa untuk lokasi tusukan (1-1,5 cm dari garis tengah). Mereka berbeda dalam
sumbu horisontal (misalnya, 1 cm lateral keprosesus spinosus, 1 cm lateral ke
interspace, 1 cm lateral dan 1 cm lebih rendah dari interspace, 1 cm lateral dan 1
cm inferior lebih rendah dari proses spinosus superior) dan tingkat angulasi
cephalad diperlukan.

Gambar 23–13 menunjukkan landmark yang digunakan untuk seorang


paramedian pendekatan untuk anestesi spinal. Gambar 23–14 menggambarkan
sukses kinerja anestesi spinal paramedian.

78
Taylor Approach
Taylor Approach, atau lumbosacral, untuk anestesi spinal adalah pendekatan
paramedian diarahkan menuju ruang antar L5-S1. Karena ini adalah interspace
terbesar, Taylor Approach dapat digunakan ketika pendekatan lain tidak berhasil
atau tidak bisa dilakukan. Seperti pendekatan paramedian, pasien bisa berada
dalam posisi apa pun untuk pendekatan ini: duduk, lateral, atau tengkurep. Jarum
harus dimasukkan pada titik medial 1 cm dan lebih rendah ke posterior iliac spine
superior, kemudian kea rah cephalad miring 45 ° –55 ° dan medial. Sudut ini
harus cukup medial mencapai garis tengah di ruang L5-S1. Setelah memasukkan
jarum, resistensi signifikan pertama yang dirasakan adalah ligamentum flavum,
dan kemudian dura mater tertusuk untuk memungkinkan aliran bebas CSF sebagai
penanda ruang subarachnoid untuk anestesi spinal. Gambar 23–15 menunjukkan
pendekatan Taylor untuk anestesi spinal. Dipandu USG real-time anestesi spinal
melalui pendekatan Taylor telah dijelaskan dan dapat meningkatkan kenyamanan
dan kepatuhan pasien selama prosedur.

79
CONTINUOUS CATHETER TECHNIQUES
Kateter yang berada di dalam dapat ditempatkan untuk anestesi spinal
kontinu. Anestesi lokal dapat dilakukan berulang-ulang melalui kateter dan
tingkat serta durasi anestesi disesuaikan dengan diperlukannya untuk prosedur
bedah. Penempatan yang kateter kontinu kateter tulang belakang terjadi dengan
cara yang sama seperti anestesi spinal biasa yang digunakan untuk memungkinkan
lewatnya kateter. Setelah memsukkan jarum Tuohy, ruang subarachnoid
ditemukan, dan kateter spinal dilewatkan 2-3 cm ke ruang subarachnoid. Jika ada
kesulitan dalam melewati kateter, upaya untuk memutar jarum Tuohy 180 °.
Jangan sekali-kali menarik kateter kembali ke poros jarum karena ada risiko
kateter tercabut dan meninggalkan sepotong di ruang subarachnoid. Jika kateter
perlu ditarik, tarik kateter dan jarum bersama dan mencoba spinal terus menerus
di tempat lain. Komunikasi sangat penting untuk menghindari kateter spinal
disalahartikan sebagai kateter epidural yang lebih umum. Ini melibatkan
pelabelan, dokumentasi, serah terima, dan kewaspadaan.

Karena jarum yang digunakan untuk melewati spinal kateter adalah jarum
lobang besar, ada risiko PDPH lebih tinggi, terutama pada pasien wanita muda.
Sindrom Sindrom Cauda equina bisa terjadi dengan kateter spinal kecil, sehingga
FDA telah menyarankan terhadap menggunakan kateter yang lebih kecil dari 24
untuk kontinu anestesi spinal.

Pada tahun 2008, uji klinis acak (FDA Investigational Device Exemption)
melaporkan keamanan tulang belakang kontinu "Microcatheters" pada pasien
kebidanan. Kateter 28-gauge adalah ditempatkan pada 329 pasien; tidak ada
neurologis permanen yang dilaporkan. Percobaan membandingkan spinal
analgesia dengan analgesia epidural dan ditemukan skor nyeri awal yang lebih
rendah, kepuasan pasien lebih tinggi, dan lebih sedikit blok motorik di kelompok
spinal, tanpa perbedaan dalam hasil neonatal atau kebidanan. Namun, kelompok
spinal memiliki skor pruritis yang lebih tinggi dan cenderung menuju lebih
banyak PDPH (9% dibandingkan dengan 4% di kelompok epidural). Kateter

80
intratekal lebih sulit lepaskan dari kateter epidural. Satu pasien mengalami kateter
rusak saat dilepas, meskipun oleh orang yang tidak terlatih, meninggalkan
fragmen di punggung pasien.

CLINICAL SITUATIONS ENCOUNTERED INTHE PRACTICE OF SPINAL


ANESTHESIA
The Difficult and Failed Spinal
Anestesi spinal telah lama dianggap sebagai blok yang dapat diandalkan,
dengan tingkat kegagalan kurang dari 19%. Konversi ke anestesi umum serendah
0,5% dalam studi kohort prospektif pasien kebidanan. Namun, tingkat kegagalan
setinggi 17% telah di laporkan. Anestesi spinal yang gagal dapat dianggap sama
sekali tidak ada blok, blok sebagian, atau durasi tidak memadai dari blok.
Meskipun keahlian dapat mengurangi kemungkinan gagal spinal, bahkan dokter
yang berpengalaman akan dihadapkan dengan gagal blok spinal. Setelah
diyakinkan oleh keluarnya CSF, selanjutnya blok gagal spinal dapat membuat ahli
anestesi frustrasi dan bingung. Diperlukan pendekatan metode saat mengelola
blokade gagal spinal.

Dalam ulasan artikel ulasan yang sangat baik, Fettes dkk mengklasifikasikan
kegagalan anestesi spinal menjadi lima kelompok: kegagalan lumbal pungsi,
kegagalan injeksi larutan, penyebaran larutan di CSF, obat tindakan pada akar dan
serabut saraf, dan manajemen pasien. Ulasan mereka dirangkum berikutnya

Lumbal Pungsi yang gagal


Setiap kali ada masalah dengan anestesi spinal, ahli anestesi harus menilai
kembali posisi pasien. Seorang anggota personel ruang operasi yang dilatih untuk
membantu penempatan pasien. Kalau tidak, pemosisian pasien dapat ditingkatkan
perangkat pemosisian yang tersedia. Perangkat ini dapat membantu menjaga fleksi
tulang belakang dan menciptakan posisi yang stabil untuk pasien, yang dapat
berguna jika tidak ada personel ruang operasi terlatih yang tersedia untuk
membantu penentuan posisi.

81
Jika interspace yang diusulkan tidak dapat ditemukan, interspace di atas atau
di bawah situs asli injeksi tulang belakang dapat dicoba. Ketika posisi duduk tidak
dapat digunakan atau tidak berhasil, posisi lateral dekubitus dapat digunakan.
Entah itu garis tengah atau teknik paramedian lateral dapat dicoba. Ruang
antarlaminer terbesar ada di L5, dan ini bisa dicari melalui pendekatan Taylor,
yang dijelaskan sebelumnya dalam bab ini.
Tiga prediktor independen kesuksesan ketika melakukan blok neuraxial telah
diidentifikasi: posisi yang tidak tepat, pengalaman ahli anestesi, dan kemampuan
meraba landmark anatomi. Posisi yang tidak tepat mungkin disebabkan oleh
ketidakmampuan pasien untuk menekuk tulang belakang daripada kegagalan ahli
anestesi dalam mendorog jarumnya. Punggung yang sulit diprediksi tidak
digunakan untuk mengajar pesertadidik yang tidak berpengalaman. Jika landmark
anatomi tak terlihat, dapat digunakan ultrasonografi untuk membantu pungsi
lumbal (lihat bagian tentang USG neuraxial).

Failure of Solution Injection


Karena volume kecil injeksi yang digunakan dalam anestesi spinal,
pengurangan volume yang nmpaknya sepele dapat mengakibatkan blok yang
kurang cukuip. Pengurangan dalam larutan yang diinjeksi ketika jarum spinal
terpasang ke hub jarum atau hilang ke jaringan berdekatan dengan ruang
subaraknoid karena migrasi lubang jarum atau lubang melewati sejumlah ruang
potensial (misalnya, ruang subarachnoid dan subdural atau epidural). Pengurangan
dosis yang disengaja, biasanya untuk mengurangi efek samping, mungkin juga
mengakibatkan penurunan fungsi obat.

Failure of Solution Spread Within the CSF


Kegagalan penyebaran solution spinal dalam CSF mungkin disebabkan oleh
kelainan bentuk tulang seperti kyphosis atau scoliosis, operasi sebelumnya, septa
spinal transversal atau longitudinal, stenosis spinal, atau kista ekstradural. Kista
Tarlov adalah jenis kista ekstradural yang terlihat pada pemindaian MRI dan
memiliki insiden setinggi 9%. Meskipun biasanya tanpa gejala, mereka

82
mengandung CSF dan mungkin aspirasi positif CSF namun kegagalan blok total.
Volume CSF Lumbal adalah penentu penting dari kegagalan aksi obat.

Failure of Drug Action


Kegagalan obat dapat disebabkan oleh obat yang salah diberikan. Obat yang
tepat mungkin tidak aktif akibat dari ketidakstabilan fisikokimia (kurang mungkin
dengan agen modern) atau mungkin terganggu karena ketidaksesuaian bahan
kimia ketika dua atau lebih banyak obat digunakan. Fenomena resistensi anestesi
lokal telah dipertanyakan dalam literatur.

Kegagalan Penatalaksanaan Pasien


Gambaran klasik abad ke-17 Descartes menunjukkan hubungan antara kaki
anak laki-laki yang terbakar dan otaknya melalui bagian tengah punggungnya
“sama seperti ketika kamu menarik satu ujung tali, Anda menyebabkan lonceng
menggantung di ujung yang lain berdering ” loncengnya membuat orang percaya
anestesi spinal dapat menyembuhkan semua rasa sakit. Namun, persepsi sakit
jauh lebih kompleks, dan meskipun blok spinal yang sempurna, seorang pasien
mungkin mengalami ketidaknyamanan atau rasa sakit. Pasien harus dikonseling
sebelum operasi tentang yang diharapkan "normal" sensasi seperti menarik,
mendorong, dan meregangkan. Pengujian blokade spinal preoperasi untuk
meyakinkan pasien dan ahli anestesi dapat secara paradoks menekan pasien jika
dilakukan terlalu hati hati. Intraoperatif, pasien mungkin memerlukan ansiolisis
tambahan dan analgesia atau anestesi umum.

Pengelolaan blok spinal yang gagal akan bergantung pada apakah itu terjadi
sebelum operasi atau intraoperatif. Opsi untuk mengoptimalkan anestesi spinal
termasuk mengubah posisi pasien untuk meningkatkan penyebaran dan
mengulangi blok spinal. Dua prinsip penting yang harus dingat ketika mengulangi
blok spinal. Pertama, kedua usaha tidak boleh identik dengan yang pertama. Ini
bukan hanya untuk menghindari kegagalan berulang tetapi juga mungkin untuk
mencegah dosis kedua obat anestesi lokal terakumulasi dalam ruang terbatas, yang

83
dapat menyebabkan cedera neurologis. Kedua, dosis berulang mungkin
mengakibatkan penyebaran anestesi lokal yang berlebihan. Alternatif seperti
anestesi epidural, blokade saraf tepi, infiltrasi lokal, analgesia sistemik, dan
anestesi umum harus dipertimbangkan berdasarkan kemampuan kasus dan berada
di luar batas ruang lingkup bab ini.

Inadvertent Subdural Block


Blok subarachnoid yang gagal mungkin merupakan hasil dari
ketidaksengajaan injeksi subdural dan patut mendapat perhatian khusus. Ruang
subdural adalah ruang potensial yang nyata setelah merobek sel-sel neurothelial
dalam ruang sebagai hasil dari iatrogenik insersi jarum dan injeksi cairan (lihat
Gambar 23–4). Ciri dari SDB adalah tingkat sensorik dan motoric yang tinggi
dengan simpatik. Ini mungkin hasil dari yang terbatas kapasitas ventral ruang,
yang menghasilkan hemat dari motorik anterior dan serat simpatis. Namun, SDB
mungkin juga hadir dalam sejumlah cara berbeda: blok gagal, blok unilateral,
sindrom Horner, kelumpuhan saraf trigeminal, isufiensi pernapasan, atau
ketidaksadaran karena keterlibatan batang otak. Timbulnya blokade saraf lebih
lambat dari blok subarachnoid tetapi lebih cepat dari blok epidural dan biasanya
sembuh setelah 2 jam.

Insiden injeksi subdural setelah kontras mikroskopik berkisar antara 1% dan


13%. Insiden SDB setelah percobaan anestesi spinal tidak diketahui. Karena dura
sengaja terkena selama percobaan anestesi spinal, kejadian SDB mungkin lebih
tinggi dibandingkan dengan blok epidural (berbagai dikutip antara 0,024% dan
0,82%). Ukuran dari ruang subdural yang diperoleh mungkin sebanding dengan
volume cairan yang disuntikkan. Oleh karena itu, volume tipikal digunakan
bersama anestesi spinal mungkin tidak sepenting volume yang digunakan anestesi
epidural.

84
Outpatient Spinal Anesthesia
Setiap tahun, jumlah operasi meningkat, dan lebih banyak dilakukan secara
rawat jalan. Sebagai ahli anestesi, kami selalu mencari cara baru untuk
memberikan perawatan anestesi yang efisien,yang aman, mengontrol rasa sakit,
memungkinkan pasien untuk dipulangkan rumah secara tepat waktu sesuai
protokol unit perawatan post anestesi, dan mudah dilakukan dan direproduksi.
Sebelumnya telah disarankan bahwa anestesi spinal dapat dimasukkan ke dalam
model operasi rawat jalan.

Block Spinal Unilateral


Penggunaan blok spinal unilateral untuk pasien usia lanjut dan rawat jalan
operasi telah mengalami kemajuan. Anestesi spinal unilateral dijelaskan pada
tahun 1950 oleh Ruben dan Kamsler. Mereka melaporkan 116 pasien untuk
reduksi bedah fraktur pinggul dilakukan di bawah blokade anestesi spinal
unilatera. Tidak ada kematian dilaporkan, dan tidak ada peningkatan bahaya
operasi ditemukan. Baru-baru ini, perhatian telah kembali ke penggunaan anestesi
spinal unilateral pada pasien lansia dan untuk operasi rawat jalan operasi.

Penggunaan anestesi spinal unilateral menyebabkan penurunan perubahan


tekanan sistolik, rata-rata dan diastolik, atau oksigen saturasi pada pasien trauma
lansia (misalnya, fraktur panggul). Menjaga posisi operasi dan menggunakan
hipobarik solution spinal dosis rendah untuk kasus-kasus ini menghasilkan
anestesi yang sangat baik dan hemostabilitas luar biasa ketika pasien diposisikan
lateral selama 5-10 menit sebelum memposisikan kembali telentang.

Operasi rawat jalan menggunakan bupivakain hiperbarik 0,5% membutuhkan


waktu sekitar 16 menit untuk tercapainnya anestesi pembedahan dari waktu
injeksi dengan anestesi spinal unilateral dan 13 menit dengan anestesi spinal
bilateral tradisional. Perubahan hemodinamik yang lebih sedikit ditemukan pada
anestesi spinal unilateral, untuk pasien rawat jalan. Dibandingkan dengan operasi
rawat jalan lainnya, blok motorik lebih sedikit untuk artroskopi lutut. Dosis

85
bupivacaine hiperbarik 4-5 mg efektif bila dikombinasikan dengan posisi
unilateral. Dosis yang lebih tinggi menunda pemulihan. Penambahan opioid
intratekal meningkatkan analgesia tetapi meningkatkan efek samping yang
berhubungan dengan opioid. Ropivacaine tidak meningkatkan waktu pemulihan.

Dalam melakukan anestesi spinal unilateral, gunakan pencil point Jarum 25-
gauge atau 27-gauge dengan lubang disarankan diarahkan pada sisi operasi.
Bupivacaine dosis rendah digunakan dengan bupivakain hiperbarik (operasi
bagian bawah) operasi rawat jalan dan bupivacaine hipobarik (operasi bagian atas)
pada pasien trauma lansia. Laju injeksi lambat harus digunakan untuk
menghasilkan aliran laminar yang akan membantu dalam menghasilkan blokade
unilateral. Ada sedikit bukti yang menjaga seorang pasien dalam posisi lateral
selama lebih dari 15 menit bermanfaat.

Pasien Kebidanan
Pada tahun 1901, Krels menggambarkan anestesi spinal pertama untuk
persalinan pervaginam. Tahun berikutnya, Hopkins melakukan anestesi spinal
pertama yang berhasil untuk operasi caesar pada wanita dengan plasenta previa.
Meskipun banyak argumen dibuat terhadap anestesi umum pada wanita hamil
karena peningkatan risiko aspirasi dan sulit intubasi, ahli anestesi harus siap untuk
menginduksi obat anestesi umum dalam menghadapi anestesi spinal yang gagal.
Anestesi regional kebidanan merupakan topik tersendiri, dan karena itu tercakup
dalam Bab 41 (Anestesi Regional Obstetri). Contoh bagaimana anestesi spinal
berbeda dalam populasi obstetri tercantum dalam Tabel 23-10.

Pasien Antikoagulan
Seiring pertambahan usia, semakin banyak pasien yang datang untuk operasi
dengan persyaratan pre-, intra-, atau pasca operasi dengan pengobatan antiplatelet,
terapi antikoagulan, atau trombolitik. Obat baru terus untuk dikembangkan,
menimbulkan kekhawatiran pada pasien yang menjalani anestesi spinal.

86
Kekhawatiran ini mengarah pada evolusi Pedoman berbasis bukti ASRA
mengenai anestesi regional di Australia pada pasien yang menerima terapi
antitrombotik atau trombolitik, sekarang hingga edisi ketiganya. Pembaca dirujuk
ke Bab 52 (Anestesi Neuraxial Blok Saraf Perifer pada Pasien dengan
Antikoagulan) untuk diskusi mendalam tentang penggunaan anestesi neuraxial di
pada pasien antikoagulan.

Situasi Klinis Lainnya


Anestesi spinal pada pasien anak dan pasien dengan neurologi yang sudah ada
sebelumnya dibahas masing masing dalam Bab 43 dan 49.

PERKEMBANGAN TERKINI PADA SPINAL ANESTESI


Neuraxial Ultrasound
Palpasi konvensional permukaan anatomi telah terbukti menjadi tidak dapat
diandalkan. USG Neuraxial bertujuan untuk mengatasi ketidakakuratan
permukaan anatomi dengan sonoanatomy. Pertama deskripsi pungsi lumbal
dibantu ultrasound pada 1971. Baru-baru ini, USG neuraxial telah digunakan
sebagai pemindaian preprocedure dan untuk penempatan jarum spinal. Banyak
bukti tentang USG neuraxial berkaitan dengan preprosedural pemindaian sebelum
pemindaian epidural, terutama di bagian pengaturan anestesi obstetrik, dan telah
diproduksi oleh beberapa center khusus. Bukti ini menunjukkan bahwa
pemindaian mengurangi trauma akibat penusukan jarum, secara akurat
memprediksi kedalaman jarum ke ruang epidural, dan dapat meningkatkan tingkat
keberhasilan peserta didik.

Ultrasonografi spinal dalam pengaturan anestesi spinal kurang diteliti dengan


baik. Ultrasonografi memungkinkan peningkatan akurasi dalam mengidentifikasi
interspace lumbal. Ini penting karena palpasi tulang belakang lumbal cenderung
menghasilkan interspace yang lebih tinggi dari yang diharapkan, dan conus
medullaris telah terbukti pada waktu lebih rendah dari pada L1 yang diajarkan
secara tingkat konvensional. Dua fakta ini tidak hanya menimbulkan risiko

87
teoretis tetapi juga telah mengakibatkan cedera neurologis persisten. Sebuah
penelitian observational pada pasien ortopedi menunjukkan prediksi
ultrasonografi yang akurat kedalaman ke dura sebelum injeksi spinal.
Ultrasonografi preprosedural telah digunakan untuk mencapai anestesi spinal
dalam situasi yang sulit secara klinis seperti obesitas, kyphoscoliosis, dan operasi
tulang belakang sebelumnya, termasuk batang Harrington. Dipandu USG real-
time anestesi spinal secara teknis pada pasien telah dijelaskan sulit dan dalam
posisi tengkurap melalui pendekatan Taylor. Uji coba acak membandingkan
pemindaian preprosedural dengan palpasi standar untuk anestesi spinal pada
pasien dengan kesulitan landmark anatomi permukaan menunjukkan perbedaan
dua kali lipat dalam upaya percobaan pertama (62% ultrasound vs 32% kontrol).

Pemindaian ultrasonik pada neuraxis paling baik dipelajari dalam lokakarya


dan simulasi yang disesuaikan. Kemajuan USG real-time dari jarum spinal ke
ruang subarachnoid adalah keterampilan ahli, dan praktisi harus memiliki keahlian
yang terampil pada probe dan jarum. Pemindaian dan penandaan preprocedure
dari punggung pasien membutuhkan koordinasi tangan-mata yang lebih sedikit
tetapi mungkin juga sulit dipelajari. Kompetensi dalam mengidentifikasi yang
ditunjuk proses spinosus telah dicapai setelah pemindaian 22-36 pasien. Di sini,
kami menguraikan enam pandangan sonoanatomical dari spinal lumbar dan
metode yang disederhanakan untuk melakukan pemindaian preprocedure
neuraxial dan garis besar untuk pemula.

Sonoanatomi
Peneliti yang berbeda telah menggambarkan berbagai jumlah pandangan
sonografi yang diperlukan, sering dikaitkan dengan monikers fantastis. Karmakar
mengacu pada "kepala kuda," "punuk unta," dan "trisula" tanda-tanda (pandangan
paramedian longitudinal), sedangkan Carvalho mengacu pada "gergaji" (tampilan
memanjang) dan "kelelawar terbang" (tampilan melintang). Pemula tidak boleh
bingung oleh berbagai nomenklatur, karena mereka hanyalah alat pengenalan
pola.

88
Diperlukan jendela ultrasonik khusus untuk memvisualisasikan neuraxis
karena struktur tulang yang membungkusnya. Enam dasar pandangan ditampilkan
pada Tabel 23–11. Kompleks anterior dan posterior adalah istilah yang berguna
untuk mengidentifikasi struktur. Kompleks anterior mewakili dura anterior,
ligamentum longitudinal posterior, dan tulang vertebral posterior tubuh.
Kompleks posterior mewakili ligamentum flavum, ruang epidural, dan dura
posterior. Sementara "target" anestesi spinal adalah kompleks posterior, yaitu
visualisasi kompleks anterior menunjukkan ultrasonografi yang jelas jendela
melalui ruang antarlaminar.

89
Neuraxial Ultrasound Preprocedure Scan
1. Setelah memposisikan pasien dengan cara konvensional, oleskan probe array
melengkung frekuensi rendah (2- hingga 5-MHz) menyelidiki bagian tengah
punggung bawah pasien di orientasi melintang.
2. Optimalkan gambar untuk kedalaman, frekuensi, dan perolehan waktu.
3. Tandai garis tengah. Ini dilakukan dengan hanya menyelaraskan Probe
berorientasi transversely sedemikian rupa sehingga ada simetri penampilan
ultrasound (sisi kiri layar menjadi cermin dari sisi kanan). Ini akan sesuai dengan
apakah prosesus spinosus melintang atau interlaminar transversal. Geser probe
yang diterapkan secara melintang kearah sefalad, pena menandai digunakan pada
interval untuk menandai kulit yang berdekatan dengan bagian tengah dari ujung
probe yang panjang. Secara praktis, ini membantu untuk memulai menandai di
atas probe pada kulit yang bebas gel ultrasound. Teknik ini mengasumsikan
anatomi pasien yang simetris (tidak ada skoliosis, rotasi, atau logam).
4. Identifikasi persimpangan lumbosakral. Probe dirancang untuk mendapatkan
tampilan laminar sagital paramedian. Setelah mengidentifikasi lamina, probe
digeser secara kaudal sampai terlihat garis hyperechoic (sakrum) yang terlihat
terus menerus. Sebuah komplek anterior harus terlihat antara sakrum dan lamina
lumbal (lihat Gambar 23–16).
5. Tandai lamina L1 – L5. Probe, pertahankan paramedian, kemudian kearah
cephalad dapat dipindahkan sebagai penanda pena, probe berada di tengah, dan
digunakan untuk menandai ruangan lamina atau interlaminar.
6. Dapatkan tampilan interlaminar transversal pada tinggi yang diinginkan. Probe
diputar secara melintang pada tinggi yang diinginkan (misalnya, L3-L4). Miring
dan geser kea rah cephalad-caudal diperlukan untuk mengoptimalkan tampilan
posterior dan anterior yang komplek.
7. Identifikasi dura (kompleks posterior) dan tandai kedalaman dengan kaliper.
8. Perhatikan kemiringan probe (biasanya sedikit kearah cephalad). Ini
menunjukkan angulasi yang diperlukan pada jarum setelah dimasukkan pada titik
insreksi optimal.
9. Tandai titik penyisipan jarum yang optimal. Sebuah pena

90
digunakan untuk menandai empat titik tengah yang panjang dan pendek tepi
probe. Probe diletakkan, dan garis horizontal dan vertikal dibangun. Dimana
mereka bersinggung adalah titik ppemasukan jarum yang optimal. Garis vertikal
harus sesuai dengan garis tengah yang ditandai sebelumnya.
10. Periksa titik penyisipan optimal dengan menerapkan kembali probe dan
memastikan pandangan yang baik dari kompleks anterior.

Pandangan tambahan dari tulang belakang dapat diperoleh dengan


menempatkan probe dalam orientasi sagital paramedian dan meluncur ke lateral
melalui laminar paramedian, proses artikular, dan pandangan proses transversal.
Pandangan miring paramedian diperoleh dengan memiringkan probe secara
medial, bertujuan untuk menyoroti kompleks posterior dan anterior melalui ruang
interlaminar. Pandangan ini dapat digunakan untuk anestesi spinal dipandu USG
real-time.

91
Jebakan
Jebakan yang paling signifikan adalah, setelah pelatihan awal, menunggu
pasien yang sulit sebelum mencoba USG neuraxial. Pemindaian ultrasound
membutuhkan pengenalan pola, dan keterampilan perlu dicapai dengan memindai
punggung "mudah". Penanda kulit yang tidak tepat telah dipostulatkan sebagai
alasan kegagalan. Perawatan harus diambil untuk memastikan probe array
melengkung tegak lurus ke kulit saat menggunakan spidol penanda. Kompleks
anterior yang membingungkan untuk kompleks posterior berisiko terlalu tinggi
kedalaman ke dura (posterior). Saat mengukur kedalaman dura, probe dapat
membuat kulit masuk, sehingga kedalaman terganggu. Kesalahan identifikasi

92
persimpangan lumbosakral atau gagal untuk mengenali anomali dari
persimpangan, terdapat pada 12% dari populasi, akan menghasilkan pelabelan
ruang interlaminar yang salah. Terakhir, gel ultrasonik harus dibersihkan dari kulit
sebelum melakukan blok neuraxial.

Laparoscopic Surgery With Lumbar Spinal Anesthesia


Anestesi spinal lumbal telah digunakan dalam pengaturan perbaikan
laparoskopi extraperitoneal dan intraperitoneal hernia inguinal, laparoskopi
ginekologi rawat jalan, laparoskopi kolesistektomi, dan perbaikan hernia ventral
laparoskopi. Pembedahan laparoskopi dengan pasien yang sadar membutuhkan
beberapa tindakan pertimbangan khusus. Pertama, seleksi dan pendidikan adalah
yang terpenting. Perhatian harus digunakan ketika menafsirkan umum tingkat
konversi anestesi dalam uji klinis sebagai pasien yang menyetujui uji coba lebih
mungkin untuk mentolerir prosedur terjaga. Anxiolysis harus ditawarkan, dan
pasien harus diberi konseling tentang sensasi yang diharapkan.
Pneumoperitoneum dianggap sebagai beban pada perut. Kemungkinan konversi
ke anestesi umum, yang sering disebabkan oleh nyeri ujung bahu, harus
didiskusikan.

Teknik bedah dan tempat trocar mungkin perlu dimodifikasi.


Pneumoperitoneum dengan insuflasi nitro oksida telah ditingkatkan untuk
menghindari iritasi peritoneum dan rasa sakit yang diduga terkait dengan insuflasi
karbon dioksida. Namun, insuflasi karbon dioksida kemudian terjadi digunakan.
Penghindaran kemiringan lateral kiri head-up yang terkait dengan iritasi
diafragma telah disarankan. Beberapa studi memiliki insuflasi terbatas hingga
kurang dari 11 mm Hg dan menggunakan tabung nasogastrik untuk
mendekompresi lambung dan mengurangi risiko aspirasi. Yang lain tidak
memodifikasi teknik bedah kecuali insuflasi aliran rendah (pipa nasogastrik
dihindari dan mempertahankan insuflasi karbon dioksida pada 15 mm Hg) .
Penambahan fentanyl intratekal atau clonidine dapat menurunkan nyeri pada
ujung bahu.

93
Dua kelemahan utama anestesi spinal untuk laparoskopi kolesistektomi
merupakan nyeri pada ujung bahu dan pada ketidakpuasan pasien atau konversi ke
anestesi umum dan tingkat tinggi PDPH (hingga 10%) . Karena kecil angka dan
teknik heterogen dalam penelitian sebelumnya, hal itu membuat sulit untuk
membangun teknik yang ideal.

Tzovaras dan rekan-rekannya pada tahun 2008 menerbitkan analisis uji coba
acak sementara. Seratus pasien diacak untuk anestesi umum atau spinal untuk
laparoskopi kolesistektomi. Kedua lengan penelitian memiliki nasogastrik tabung
dan insuflasi karbon dioksida hingga maksimum 10 mm Hg. Kelompok spinal
memiliki 3 mL bupivacaine hiperbarik 0,5%, morfin 250 mg, dan fentanyl 20 mg
disuntikkan di tingkat L2-L3 melalui jarum pensil-titik 25-gauge pada posisi
dekubitus lateral kanan. Pasien kemudian ditempatkan dalam posisi
Trendelenburg selama 3 menit. Meskipun terjadi ketidaknyamanan atau nyeri
ujung bahu intraoperatif pada 43% pasien spinal, hanya setengah dari pasien ini
membutuhkan fentanyl, dan tidak ada pasien yang membutuhkan konversi ke
anestesi umum.

Dari mereka yang berada dalam kelompok anestesi spinal dan umum, 96%
dan 94%, masing-masing, sangat atau cukup puas dengan prosedur mereka. Selain
itu, rasa sakit pasca operasi kurang pada kelompok anestesi spinal dibandingkan
dengan anestesi umum . Percobaan dihentikan sebagai titik akhir (Nyeri) tercapai
dengan 100 pasien pertama. Tidak ada pasien di kelompok tulang belakang
memiliki PDPH klasik (G. Tzovaras,komunikasi pribadi, 2012).

Thoracic Spinal Anesthesia


Anestesi spinal toraks dijelaskan pada awal 1900-an oleh Profesor Thomas
Jonnesco, meskipun dia dikritik oleh orang-orang sezaman, termasuk Profesor
Bier. Dia menyebut tekniknya "Analgesia tulang belakang umum" dan
menggambarkan dua tusukan situs, T1 – T2 dan T12 – L1 interspaces, tergantung
pada operasi yang diperlukan. Dalam artikelnya, dia membuat klaim mengejutkan

94
mampu melakukan operasi kepala dan leher, termasuk total laringotomi, di bawah
analgesia toraks tinggi dan salah meramalkan pada tahun 1909 bahwa tekniknya
akan “dalam waktu singkat diterima secara universal. " Pada tahun 2006, anestesi
spinal thoraks untuk pasien kolesistektomi laparoskopi dilaporkan. Anestesi spinal
segmental toraks untuk kolesistektomi laparoskopi terbukti efektif dalam
sejumlah kecil pasien yang sehat, meskipun penulis mengingatkan bahwa teknik
ini, masih dalam pengembangan, tidak boleh digunakan dalam praktik rutin.

Anestesi spinal secara tradisional dilakukan di lumbar di bawah tingkat conus


medullaris untuk menghindari cedera ke sumsum tulang belakang. Namun,
gambar MRI, meskipun dalam posisi terlentang, telah menunjukkan bahwa
segmen toraks menengah ke bawah dari garis terletak di anterior, sehingga ada
ruang yang diisi CSF antara dura dan kabelnya (lihat Gambar 23–17).

95
RINGKASAN
Anestesi spinal adalah bentuk anestesi yang handal, aman, dan efektif.
Banyak yang telah berubah sejak awal di akhir abad ke-19. Penguasaan anestesi
spinal disertai dengan latihan, ketekunan, dan pengetahuan fisiologi, farmakologi,
dan anatomi. Keselamatan pasien harus selalu menjadi yang terdepan saat
mempertimbangkan melakukan anestesi spinal. Anestesi spinal adalah tekhnik
sangat yang sangat diperlukan dalam praktek anestesi modern.

CHAPTER 23A
Mekanisme dan Manajemen Gagal Anestesi Spinal
PENDAHULUAN
Dalam praktik klinis, tidak jarang injeksi intratekal anestesi lokal dalam
upaya mencapai anestesi spinal, mengalami kegagalan. Memang terlepas dari
keandalan tekniknya, kemungkinan kegagalan tidak pernah bisa sepenuhnya
dihilangkan. Menangani pasien dengan anestesi spinal yang tidak efektif atau
memadai dapat menjadi tantangan, dan pencegahan lebih baik daripada
mengobati.

Dalam bab ini, kita membahas potensi secara sistematis mekanisme anestesi
spinal dapat gagal: strategi detail untuk mengurangi tingkat kegagalan dan
protokol untuk menangani anestesi spinal inkomplit.

Blokade neuraxial yang didapat dari injeksi spinal (intratekal) anestesi lokal
secara luas dianggap sebagai salah satu teknik regional yang paling dapat
diandalkan. Anatomi biasanya mudah diraba dan diidentifikasi, teknik untuk
memasukkan jarum sederhana dan mudah untuk diajarkan, dan keberadaan CSF
bertindak sebagai titik akhir yang pasti untuk penusukan jarum dan media untuk
distribusi anestesi lokal di dalam ruang subarachnoid. Kesederhanaan prosedur ini
dijelaskan oleh Labat, salah satu pelopor anestesi regional, hampir 100 tahun yang
lalu.1

96
Karena itu, dua syarat mutlak diperlukan dalam menghasilkan spinal anestesi:
Tusukan dura mater dan injeksi agen anestesi subarachnoid Gaston Labat, 1922

Namun, di samping kesederhanaan ini, kegagalan bukanlah hal yang tidak


biasa. Apa yang dimaksud kegagalan? Pada level paling dasar, anestesi spinal
telah dicoba tetapi kondisi yang memuaskan untuk melanjutkan operasi tidak
diperoleh. Kegagalan mencakup spektrum diantaranya, tidak adanya blok
neuraxial atau pengembangan blok parsial yang cukup tinggi, durasi, atau
kualitas.

Di tangan yang berpengalaman, sebagian besar ahli anestesi akan berharap


tingkat kegagalan anestesi spinal menjadi rendah, mungkin kurang dari 1%.
Analisis retrospektif dari hampir 5.000 anestesi spinal oleh Horlocker dkk.
melaporkan anestesi yang tidak adekuat pada kurang dari 2% kasus, dan tingkat
kegagalan di bawah 1% telah dijelaskan.3 Namun, "spinal yang gagal"
menunjukkan variasi yang luar biasa, dan dalam beberapa laporan yang
diterbitkan, itu mungkin jauh lebih tinggi. Salah satu rumah sakit pendidikan
Amerika mengutip bahwa tingkat kegagalan mengejutkan sebesar 17%, dengan
sebagian besar kegagalan dianggap "dapat dihindari."4 Lembaga kedua
melaporkan kegagalan 4% tingkat — lebih sesuai dengan harapan, tetapi tetap
saja signifikan.5 Menganalisis kegagalan tersebut, "kesalahan penilaian" dirasakan
sebagai faktor penyebab utama. Saran dari laporan ini adalah dengan perhatian
cermat terhadap detail dan penanganan yang tepat, sebagian besar kegagalan
anestesi spinal bisa dicegah.

Pasien yang menjalani operasi dengan spinal block diharapkan memiliki


anestesi yang adekuat, dan blok yang tidak adekuat akan menimbulkan kecemasan
bagi pasien dan dokter. Selain itu, dengan melakukan prosedur invasif, seperti
anestesi spinal, kita memberi pasien risiko kecil namun well-established. Oleh
karena itu, untuk meningkatkan praktik klinis kita sendiri, kita harus berusaha
untuk meminimalkan timbulnya kegagalan, dan untuk melakukan ini kita harus

97
mengerti mengapa kegagalan tersebut terjadi. Secara umum, ada tiga hal di mana
kekurangan mungkin terjadi: teknik yang salah, pengalaman yang kurang
memadai dan kurangnya perhatian pada detail.6 Sangatlah membantu untuk
menyaring prosedur menjadi lima fase yang berbeda dan menganalisis kunci
keberhasilan di setiap tahap. Secara berurutan, fase-fase ini adalah pungsi lumbal,
injeksi lokal cairan anestesi, penyebaran cairan melalui CSF, drug action pada
jaringan saraf, dan manajemen pasien.

MECHANISM OF FAILURE
 Unsuccesful Lumbar Puncture
Penyebab kegagalan yang paling jelas adalah ketidakmampuan untuk
mengakses ruang subarachnoid. Ini dapat terjadi karena kesalahan teknik
penusuan jarum, posisi pasien yang buruk, kelainan anatomi, atau faktor yang
berhubungan dengan peralatan. Dua faktor pertama tergantung pada operator dan
pengalaman yang oleh karena itu dapat dianggap sebagai faktor yang dapat
dimodifikasi. Kesulitan anatomi seperti skoliosis, kyphosis, kolaps vertebra,
kalsifikasi ligamen, atau obesitas dapat meningkatkan kesulitan pungsi lumbal,
khususnya di populasi geriatri, tetapi dapat diatasi setidaknya oleh beberapa hal
seperti posisi yang baik dan pengalaman klinis. Masalah dengan peralatan dapat
mengakibatkan kurangnya aliran CSF meskipun penempatan jarum di dalam
ruang subaraknoid sudah benar. Masalah yang menyebabkan lumen jarum
tersumbat merupakan kemungkinan teoretis, tetapi obstruksi lumen dapat
disebabkan oleh gumpalan atau jaringan. Untuk alasan ini, jarum dan stylet harus
diperiksa secara visual sebelum memulai prosedur, dan untuk mencegah
penyumbatan, stylet harus selalu ada di tempatnya saat jarum sudah masuk.

Positioning
Penempatan yang optimal sangat penting untuk memfasilitasi penempatan
jarum, khususnya dalam kasus yang lebih menantang. Pilihan duduk atau posisi
lateral adalah pilihan personal. Duduk memungkinkan identifikasi midline yang
lebih mudah, terutama pada obesitas, dan sering dilihat sebagai posisi pilihan

98
untuk “sulit” spinal; Namun, kebalikannya mungkin juga benar. Bagaimanapun,
pasien harus di tempat tidur, tandu, atau tempat tidur yang bisa disesuaikan
tingginya untuk kemudahan ergonomis. Pasien harus diminta untuk curl up,
melenturkan seluruh tulang belakang untuk memaksimalkan ruang untuk
penyisipan jarum diantara prosesus spinosus. Meregangkan pinggul, lutut, dan
leher meningkatkan efektivitas prosedur ini. Kehadiran dari asisten yang terampil
untuk "melatih" pasien dan mencegah setiap gerakan lateral atau rotasi sangat
diperlukan.7

Needle Insertion
Tempat yang dideskripsikan secara klasik untuk pungsi lumbal ada di midline
antara prosesus spinosus dari ketiga dan keempat vertebra lumbar. Level ini dapat
diperkirakan dengan menggambar garis antara iliaka anterior superior iliac
spines: garis Tuffier. Bukti telah menunjukkan bahwa cara ini mungkin sangat
akurat untuk memperkirakan tingkat penyisipan jarum,8 dan palpasi yang lebih
detail dan pastikan bahwa dugaan level L3/4 sudah benar ("pemeriksaan realitas").
Harus ditekankan bahwa perhatian yang baik harus diberikan saat memasukkan
jarum di bawah conus medullaris, yang pada beberapa individu mungkin serendah
sela lumbar kedua. Jarum harus tegak lurus dengan kulit di kedua plane dan maju
dengan hati-hati. Penyesuaian untuk sudut jarum mungkin diperlukan jika ada
obstruksi, paling umum dengan sedikit angulasi cephalad. Mungkin diperlukan
perubahan lateral pada sudut jarum, terutama pada pasien dengan skoliosis yang
signifikan dan ketika terjadi needle-bone contact pada kedalaman yang lebih besar
(di luar prosesus spinal), disarankan kontak jarum dengan lamina dan penyesuaian
kembali jalur jarum lateral-medial. Pengetahuan yang jelas tentang anatomi ruang
vertebral-3D dan mental image dimana ujung jarum diletakkan akan membantu
operator dalam mengartikan taktil feedback dari jarum dan memandu perubahan
pada sudut jarum.
Selain teknik pendekatan midline, pendekatan lateral atau paramedian juga
dapat digunakan. Hal ini memiliki keuntungan karena menghindari ligamen
midline yang mengeras, terutama masalah pada geriatri, tetapi prosedurnya lebih

99
menantang secara teknis. Jika kesulitan dijumpai, prinsip-prinsip dasar yang sama
berlaku: Memastikan pasien diposisikan secara optimal dan pemahaman yang
menyeluruh dari jalur jarum dan kemungkinan kendala lain yang dapat
memengaruhi hasil.

Adjuncts
Sarana ideal untuk mencapai posisi spinal optimal adalah dengan seorang
pasien yang nyaman dan tenang, mengerti apa yang diminta kepadanya, dan
memiliki kepercayaan penuh pada provider anestesi. Konseling persiapan awal,
membangun rapor, cara meyakinkan dan tindakan profesional dapat memfasilitasi
hal ini selama prosedur spinal. Dosis kecil obat ansiolitik dapat membantu proses,
tetapi sedasi harus dititrasi dengan hati-hati atas dasar bahwa lebih mudah untuk
memberikan lebih banyak obat daripada mengurangi efek dari overdosis.
Perhatian harus diberikan saat infiltrasi anestesi lokal untuk memberikan analgesia
yang efektif tanpa mengganggu anatomi spinal; injeksi intradermal awal akan
membantu memfasilitasi hal ini. Tujuan dari tambahan ini adalah untuk mencapai
posisi ideal, meredakan kekhawatiran pasien, dan meminimalkan gerakan,
sehingga memberikan kondisi terbaik untuk pungsi lumbal.

Ultrasound
Penggunaan ultrasound dalam anestesi regional belum diadopsi sebagai
prosedur neuraxial rutin tetapi memiliki beberapa keuntungan yang lebih dari
landmark technique. Sebuah preprosedur scan bermanfaat pada pasien yang
memiliki anatomi abnormal atau sulit untuk mengidentifikasi midline, tingkat
injeksi dan menilai kedalaman dura dari kulit. Penggunaannya dalam teknik
epidural telah terbukti meningkatkan tingkat keberhasilan, mengurangi tusukan
multipel, dan meningkatkan kenyamanan pasien; kelihatannya logis bahwa ini
akan diterjemahkan untuk meningkatkan keberhasilan anestesi spinal.9 Real-time
scanning dari penempatan jarum untuk penyisipan epidural telah dijelaskan tetapi
tidak pada penggunaan luas. Hambatan utama untuk penyerapan ultrasound di
blok neuraxial adalah kurangnya kesadaran teknik dan terbatasnya pelatihan di

100
bidang ini, dengan teknik yang membutuhkan pengetahuan dari sonoanatomy
tulang belakang dan ketangkasan yang tinggi.

Pseudosuccessful Lumbar Puncture


Jarang terjadi, aliran cairan bening yang berasal dari noncerebrospinal melalui
jarum spinal dapat meniru pungsi lumbal yang berhasil. Ada dua skenario yang
mungkin terjadi. "Topping up" epidural lumbal di praktik kebidanan untuk operasi
caesar dapat menghasilkan reservoir anestesi lokal di ruang epidural. Penyebaran
injeksi epidural juga telah dilaporkan setelah blok pleksus lumbal.10 Ini mungkin
keliru untuk CSF pada injeksi spinal berikutnya.

Secara tradisional, bedside testing untuk glukosa telah dianjurkan untuk


membedakan cairan ini dari CSF; Namun, glukosa positif pada tes tersebut tidak
secara pasti mengonfirmasi keberadaan CSF sebagai cairan di ruang epidural yang
akan cepat menyeimbangkan dengan cairan ekstraseluler. Sumber potensial lain
yang mirip CSF adalah kista arachnoid bawaan. Kista Tarlov adalah dilatasi
meningeal dari akar saraf spinal posterior, dilaporkan ada pada 4,5% -9% dari
populasi.12 Kista seperti itu bisa mengakibatkan aliran CSF melalui jarum, tetapi
obat bius yang disuntikkan mungkin gagal menghasilkan anestesi. Relevansi
klinis aktual dan terjadinya anestesi spinal yang gagal karena "CSF palsu" aliran
dari kista arachnoidal tidak diketahui.

Solution Injection Errors


Tusukan lumbal yang berhasil adalah syarat mutlak untuk anestesi spinal
tetapi tidak mencegah kegagalan karena mekanisme lainnya. Untuk memastikan
blok cocok untuk operasi, penyediaam dosis anestesi lokal harus dihitung,
disiapkan, dan diberikan ke tempat tindakan.

Dose Selection
Penelitian terhadap penyebaran obat intratekal telah menunjukkan hal ini,
penyediaan dosis dalam rentang terapi harus dipilih, perubahan dalam dosis obat

101
memiliki peran yang relatif kecil di ketinggian blok spinal yanng ingin dicapai
tetapi signifikan dalam mengatur durasi dan kualitas hasilnya.13,14 Dosis yang
dipilih ditentukan oleh sejumlah faktor, diantaranya pilihan anestesi lokal,
baricity of solution, posisi pasien, sifat blok yang diinginkan, luas dan panjang
operasi yang direncanakan. Untuk memilih dosis yang cocok, dokter harus
memiliki pengetahuan tentang karakteristik klinis dan farmakokinetik lokal obat
yang akan disuntikkan secara intratekal.

Uji coba dosis obat selama anestesi intratekal terus menerus telah
menunjukkan bahwa blok yang memuaskan dapat dicapai dengan dosis anestesi
yang relatif rendah.15 Mengingat bahwa kegagalan “Single-shot” spinal sangat
menyusahkan bagi pasien dan bisa juga berkaitan dengan peningkatan morbiditas
(misalnya, persyaratan untuk anestesi umum dan manajemen jalan nafas selama
operasi sesar), dosis yang digunakan dalam praktik sering sengaja melebihi
minimum yang diperlukan. Dokter harus memmpertimbangkan kesulitan
menangani hipotensi atau anestesi yang berkepanjangan versus risiko kegagalan
blok.

Penelitian telah menunjukkan bahwa dalam banyak keadaan, penggunaan


dosis yang lebih rendah dari dosis yang umum digunakan (yaitu, 5-10 mg
daripada 15 mg bupivacaine hiperbarik) dapat digunakan cukup untuk mencapai
blokade yang efektif.16 Ini memiliki keuntungan yaitu berpotensi utuk mengurangi
hipotensi dan, dengan meningkatkan kecepatan regresi blok, membantu mobilitas
pasca operasi atau mengurangi kebutuhan kateterisasi urin. Sementara teknik ini
bisa berhasil digunakan di tangan yang berpengalaman dan kasus yang dipilih
dengan tepat, margin untuk kesalahan berkurang secara signifikan. Itu menjadi
keharusan bahwa seluruh volume jarum suntik berhasil dimasukkan ke ruang
subarachnoid. Kehilangan bahkan dalam jumlah kecil dari suntikan baik melalui
tumpahan (lihat bagian selanjutnya) atau masuk ke dead space dari jarum dan hub
dapat berakibat pada anestesi yang tidak efektif.

102
Loss of Injectate
Kebocoran dapat terjadi pada koneksi Luer antara jarum dan syringe atau dari
defisiensi pada sendi antara hub jarum dan shaft.17 Mempertimbangkan volume
kecil yang terlibat, bahkan kebocoran terkecil dapat menyebabkan penurunan
yang signifikan dalam dosis obat yang diberikan. Hal ini dapat dihindari dengan
memastikan koneksi yang baik antara syringe dan needle hub dan melihat tidak
ada kebocoran yang terjadi.

Misplaced Injection
Sangat penting bahwa selama proses memastikan koneksi antara needle dan
syringe, perhatian cermat diperlukan untuk menghindari gerakan jarum yang tidak
disengaja. Setelah jarum suntik terhubung dengan aman, aspirasi CSF dapat
digunakan untuk mengonfirmasi bahwa ujungnya masih dalam ruang
subarachnoid. Manuver ini sendiri berpotensi menyebabkan perpindahan jarum,
seperti saat injeksi larutan anestesi. Untuk alasan inilah sangat penting bahwa
operator mengamankan posisi jarum sebelum manipulasi lebih lanjut. Hal ini
dapat dicapai dengan menstabilkan bagian dorsum tangan menempel pada
punggung pasien dan hub needle antara ibu jari dan telunjuk sementara sisi lain
memiliki kendali terhadap syringe.18 Banyak ahli anestesi akan mengadvokasi
aspirasi CSF pasca - injeksi untuk memastikan posisi jarum tidak bergerak selama
proses tersebut. Meskipun tidak ada bukti yang menunjukkan hal ini mengurangi
tingkat kegagalan, setidaknya bisa mengingatkan ahli anestesi tentang
kemungkinan bahwa tidak semua obat telah mencapai tujuannya.

Stabilisasi jarum selama injeksi penting dengan semua jenis jarum spinal
tetapi terutama dengan jarum "pencil point" yang biasa digunakan. Di jarum ini,
munculnya pembukaan injeksi adalah pada beberapa jarak proksimal dari ujung
jarum; oleh karena itu, perpindahan posterior minimal dari jarum dapat
menyebabkan lubang ini berada di luar ruang subarachnoid dan dapat
menyebabkan kegagalan blok.19 Panjang pembukaan jarum "pencil point" secara

103
signifikan lebih panjang dari bevel jarum Quincke, yang juga mungkin bagi dura
untuk menjembatani pembukaan ini20 (Gambar 23A – 1). Masalah ini dapat
diperparah oleh dura mater yang bekerja sebagai katup penutup. Tekanan
pembukaan CSF menghasilkan aliran awal CSF yang berhasil melalui jarum
(Gambar 23A – 2a), tetapi pada injeksi, dura bergerak maju dan sebagian larutan
mengalir ke ruang epidural (Gambar 23A – 2b). Seperti halnya kebocoran antara
jarum dan syringe, mengingat volume kecil yang terlibat, kehilangan jumlah kecil
dari cairan anestesi dapat secara substansial memengaruhi kualitas blok.

Jika ujung jarum salah tempat sehingga mater arachnoid bertindak sebagai
katup penutup, anestesi lokal akan menyebar ke ruang subdural (Gambar 23A –
2c). Blok subdural dikenal dengan baik sebagai efek samping potensial anestesi
epidural21 (yang kemungkinkan menghasilkan efek yang lebih luas,
berkepanjangan, atau tidak terduga karena volume anestesi lokal yang lebih besar
digunakan untuk epidural anestesi), tetapi juga telah dicatat sebagai konsekuensi
dari percobaan anestesi spinal.22,23 Injeksi subdural terlihat relatif sering selama
mielografi dan kejadiannya di praktik klinis harian anestesiologi mungkin
diremehkan.24

Karena aliran awal CSF dan jarak antara lapisan dura, kesalahan penempatan
ini sulit untuk mengidentifikasi atau mengeliminasi. Satu solusi yang disarankan,
begitu CSF telah berhasil ditemukan, adalah memutar jarum 360° penuh sebelum
aspirasi. Secara teoritis, ini dapat mengurangi peluang lapisan dura menangkap
pada pembukaan jarum.

104
Inadequate Intrathecal Spread
Bahkan ketika seluruh volume suntikan berhasil dikirim ke ruang intratekal,
penyebaran solusi dalam CSF mungkin agak tidak dapat diprediksi. 25 Praktisi
harus memiliki pemahaman tentang faktor-faktor umum yang mempengaruhi
penyebaran intratekal dan sejauh mana mereka mungkin dimanipulasi.

Anatomy Abnormality
Dispersi injeksi dalam CSF ditentukan oleh interaksi kompleks antara
anatomi kanalis spinal, physical properties dari cairan, dan gravitasi.
Kelengkungan kifosis dan lordosis kolumna vertebra normal adalah faktor
anatomi penting yang mempengaruhi penyebaran cairan, dan adanya kelainan
anatomi, termasuk skoliosis, akan mengubah hal ini. Pemeriksaan pra operasi

105
pasien dapat memungkinkan identifikasi kelainan anatomi tersebut. Efek aktual
penyimpangan anatomis pada kualitas blok tidak dapat diprediksi; variabilitas
dalam ketinggian blok mungkin lebih umum daripada kegagalan blok.

Untuk mencapai blok simetris yang seragam, anestesi lokal harus menyebar
secara bebas di dalam CSF, tanpa hambatan anatomi. Sebagai contoh, ligamen
juga bisa mendukung sumsum tulang belakang membentuk penghalang
penyebaran anestesi dalam ruang subarachnoid. Dengan bertindak sebagai septa,
anomali ini, meskipun jarang, dapat menyebabkan blok unilateral,26 atau
penyebaran cephalad terbatas. Contoh patologi tulang belakang lainnya yang
dapat menghambat penyebaran atau efek dari injeksi diantaranya stenosis tulang
belakang dan adhesi dari operasi tulang belakang atau pemberian kemoterapi
intratekal sebelumnya.27,28

Dalam satu laporan kasus, dua kejadian anestesi spinal yang gagal pada
pasien yang sama diselidiki dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan
mengungkapkan volume CSF lebih besar dari normal di kantung dural di bawah
termination of the cord.29 Volume CSF dalam ruang subarachnoid sejak itu telah
terbukti menjadi penyebab penting variasi interindividual pada tingkat penyebaran
sefalad anestesi.30 Studi MRI menemukan korelasi negatif antara volume CSF
lumbosakral dan tinngi puncak blok sensorik. Gambar serupa mungkin ditemui
pada pasien dengan connective tissue disease, termasuk sindrom Marfan, yang
mungkin mengembangkan ektasia dural, pembesaran patologis dura.31

Density of the Local Anesthetic Solution


Densitas larutan relatif yang disuntikkan terhadap CSF adalah hal penting lain
yang menentukan penyebaran intratekal. "Plain" bupivacaine umumnya dianggap
sebagai isobarik, meskipun dalam kenyataannya sedikit hipobarik dibandingkan
dengan CSF pada 37° C. Penyebarannya melalui CSF adalah oleh arus turbulen
lokal dan difusi, yang hasil bloknya agak tak terduga (dalam beberapa tidak lebih
tinggi dari dermatom lumbar kedua) dengan onset yang relatif lambat hingga

106
ketinggian blok maksimal. Namun, itu cenderung untuk memberikan anestesi
yang dapat diandalkan untuk ekstremitas bawah dengan terbatas menyebar ke
tingkat toraks. Kombinasi dari onset lambat dan tinggi blok yang lebih rendah
menghasilkan risiko ketidakstabilan kardiovaskular yang lebih rendah.33

Penggunaan cairan hiperbarik untuk mempengaruhi penyebaran dalam CSF


telah dideskripsikan lebih dari 100 tahun yang lalu oleh Barker, pendukung awal
blokade neuraxial di United Kingdom.34 Hal ini biasanya dicapai dengan
penambahan dekstrosa untuk mencapai densitas lebih tinggi dari CSF. Persiapan
komersial anestesi lokal hiperbarik mengandung hingga 8% glukosa, walaupun
persiapan yang mengandung glukosa 1% akan menghasilkan predictable block.
Setelah injeksi larutan hiperbarik di tingkat L3/L4 pada posisi supinasi, cairan ini
bergerak terutama oleh bulk flow dibawah pengaruh gravitasi "ke arah bawah"
sepanjang kelengkungan tulang belakang. Hal itu secara alami bergerak ke
lengkungan kurva torakal (Gambar 23A-3), mengekspos jaringan neuraxial ke
anestesi lokal. Namun, jika tingkat injeksi lebih kearah kaudal, cairan hiperbarik
mungkin turun di bawah ini lumbosis lumbalis dan gagal untuk menyebarkan
lebih banyak cephalad (Gambar 23A – 4), terutama jika injeksi dilakukan saat
duduk dan pasien tidak cepat terlentang.

Ini bermanifestasi secara klinis sebagai blok hanya pada sacral nerve root,
seperti yang dilaporkan dengan kateter spinal yang ditempatkan secara kaudal.35
Dalam beberapa keadaan, blok "sadel" sengaja dicari.

Drug Failure
Dengan asumsi pungsi lumbal yang sukses, pemberian obat yang adekuat, dan
anatomi normal, kemungkinan penyebab terakhir tidak efektif anestesi spinal
adalah kegagalan obat untuk menunjukkan blokade pada jaringan saraf.

107
Penyuntikan Obat yang tidak benar
Anestesi untuk penggunaan intratekal biasanya tersedia dalam ampul
berbentuk cair, siap digunakan. Persiapan anestesi lokal khusus dibuat untuk
digunakan dalam anestesi spinal meminimalkan kemungkinan kesalahan selama
persiapan obat. Namun, adalnya solution lain yang jelas pada nampan spinal
memberi potensi kebingungan dan injeksi yang obat yang salah secara tidak
disengaja, dengan kegagalan blok yang diakibatkannya atau neurotoksisitas.
Anestesi lokal yang digunakan untuk persiapan pada kulit adalah penyebab umum
chlorhexidine solution juga, meskipun pedoman terbaru menyarankan untuk
memisahkan ini dari area prosedural karena risiko kontaminasi dan kemungkinan
arachnoiditis. Insiden yang relatif tinggi dari pertukaran jarum suntik dalam
praktik anestesi umum telah menyebabkan penggunaan label jarum suntik yang
hampir universal. Potensi penukaran jarum sunti dapat lebih jauh dikurangi
dengan persiapan yang teliti, mengurangi jumlah ampul obat yang tidak perlu
pada nampan, dan mengadopsi sistem yang konsisten untuk menyusun solution.
Misalnya, selalu menggunakan jarum suntik ukuran tertentu untuk masing-masing
obat.

Physicochemical Incompatibility
Praktek umum menggunakan adjuvan untuk anestesi lokal dalam injeksi
spinal mengharuskan pencampuran solusi, memperkenalkan kemungkinan reaksi
kimia, berpotensi berkurangnya fungsi obat. Pengalaman klinis telah
menunjukkan bahwa opioid yang umum digunakan tampaknya kompatibel dengan

108
anestesi lokal, tetapi ada ada beberapa data yang sulit untuk mendukung ini dan
bahkan lebih sedikit untuk pencampuran dengan tambahan lainnya, seperti
midazolam, clonidine, atau ketamine.

Pencampuran tiga zat untuk injeksi intratekal, tidak jarang dalam praktik
sekarang, harus semakin meningkatkan peluang untuk interaksi kimia. Reaksi ini
dapat mengakibatkan pembentukan endapan, yang akan terlihat jelas di dalam
jarum suntik, tetapi kurang jelas akan menjadi penurunan larutan pH. Hal ini
dapat mengurangi fraksi obat yang digabungkan dalam injeksi, sehingga
mengurangi massa obat anestesi lokal yang mampu menyebar ke jaringan saraf
dan tersedia untuk blokade saraf. Salah satu contoh efek ini dapat diilustrasikan
oleh laporan kasus dari tingkat kegagalan yang lebih tinggi setelah penambahan
vasokonstriktor untuk larutan anestesi lokal.

Inactive Local Anesthetic Solution


Di antara anestesi lokal amida seperti bupivacaine, ropivacaine, dan lidokain
adalah senyawa stabil, yang disterilkan dengan panas dalam larutan dan dapat
disimpan selama bertahun-tahun tanpa berdampak signifikan pada kemanjuran
mereka. Bagaimanapun, beberapa kasus kegagalan anestesi spinal dianggap
terkait dengan aktivitas anestesi lokal telah dipublikasikan. Ketidakaktifan
anestesi lokal lebih umum terjadi dengan agen anestesi tipe ester, yang kurang
stabil secara kimiawi dan lama kelamaan dapat mengalami hidrolisis, menurunkan
keefektifannya.

Local Anesthetic Resistance


Beberapa kasus anestesi spinal yang gagal telah dikaitkan dengan resistensi
anestesi lokal. Para penulis ini mendalilkan bahwa penyebabnya adalah perubahan
aktivitas anestesi lokal pada saluran natrium sebagai akibat mutasi saluran
natrium. Namun, aktivitas yang diubah ini belum diperlihatkan pada tingkat sel,
juga tidak ditemukan mutasi pada pasien. Mutasi saluran natrium
(channelopathies) memang terjadi tetapi jarang, dan berhubungan dengan

109
penyakit neurologis yang signifikan.

Secara khusus, mutasi Na 1.1 berhubungan dengan epilepsy yang tidak dapat
diatasi dan Na 1.7 berhubungan dengan nyeri kronis. Sepengetahuan kami, mutasi
saluran natrium, tidak ada pada individu tanpa gejala.
Failure of Subsequent Management
Anestesi spinal yang dilakukan dengan baik biasanya menghasilkan anestesi
yang baik. Namun, manajemen perioperatif pasien di bawah anestesi spinal sama
pentingnya untuk keberhasilan. Sebagai contohnya, pasien dapat merasakan
sensasi gerakan, tekanan, atau traksi yang tidak di blokir muncul selama
intraoperatif sebagai pengalaman yang menyakitkan atau tidak nyaman.
Kemungkinan ini meningkat dengan kesadaran akan lingkungan dan pandangan
yang mendasari pasien, ketakutan, dan harapan pasien akan peraturan rumah sakit,
diperkuat oleh stres selama prosedur operasi. Kegagalan untuk mengatasi aspek
psikologis anestesi spinal dapat menyebabkan kecemasan, kesulitan, dan
kebutuhan untuk mengubah anestesi spinal menjadi anestesi umum.

Bahkan untuk pasien yang paling tenang, berbaring terlentang dalam ruang
operasi benar-benar terjaga saat menjalani operasi mungkin menjadi pengalaman
yang tidak wajar dan memicu kecemasan. Operasi yang dilakukan mungkin
mengharuskan pasien untuk berbaring dengan posisi yang canggung untuk waktu
yang cukup lama (misalnya, selama artroplasti pinggul). Meja operasi dirancang
untuk memberikan posisi pembedahan yang baik dan seringkali sempit dan tidak
nyaman. Manipulasi viscera intraabdomen dapat mengakibatkan aktivasi saraf
parasimpatis yang tidak terhalang dan pengalaman sensasi yang tidak

110
menyenangkan. Pemilihan pasien dan manajemen juga penting untuk
keberhasilan. Konseling pasien preprocedure, saran positif, dan cara yang
mendukung dan meyakinkan semuanya penting untuk kesuksesan intraoperatif.
Penggunaan obat penenang secara bijaksana seperti benzodiazepin, infus
propofol, dan remifentanil selanjutnya dapat berkontribusi pada pasien yang
menerima anestesi spinal, kepuasan dan meningkatkan pengalaman perioperatif
secara keseluruhan. Dengan pemantauan yang tepat dan dosis yang hati hati, ada
beberapa situasi di luar anestesi obstetri dimana sedasi akan dikontraindikasikan.
Beberapa pasien juga dapat mengambil manfaat atau lebih suka teknik pengalih
perhatian, seperti mendengarkan musik.

Menguji Blokade
Ada banyak variasi dalam praktik mengenai penilaiankecukupan anestesi
spinal, tetapi beberapa bentuk tes umumnya dilakukan, terutama dalam anestesi
obstetri. Tekhnik umum meliputi pengujian untuk efek motorik dengan
menanyakan pasien untuk menggerakkan kakinya dan kemudian menguji yang
berbeda modalitas sensorik, seperti sentuhan ringan, dingin, atau sensasi tusukan
jarum. Dilakukan dengan baik, ini bisa menjadi prosedur membangun
kepercayaan, Namun, itu juga dapat menanamkan keraguan pada pasien tentang
kualitas blok atau anestesi. Jika pengujian dimulai sebelum waktunya, tanpa
memberikan waktu yang cukup untuk anestesi spinal untuk "diatur", pasien dapat
menganggap bahwa anestesi gagal dan menjadi cemas. Untuk alasan yang sama,
disarankan bahwa pengujian harus dimulai pada dermatom yang lebih rendah, di
mana permulaan blok akan menjadi yang paling cepat. Dengan bergerak ke
cepalad dari titik ini, pengembangan anestesi dapat ditunjukkan dan kecemasan
dapat dicegah.

Perlu dicatat bahwa pencapaian ketinggian blok yang adekuat untuk operasi
tidak menjamin kualitas blok cukup untuk operasi, terutama ketika pinprick atau
persepsi terhadap dingin digunakan sebagai modalitas pengujian. Asalkan pasien
tidak terlalu dibius, kualitas blok dapat dinilai dengan meminta operator untuk

111
secara diam-diam menerapkan stimulus yang menyakitkan sebelum sayatan tanpa
peringatan pasien. Ini bisa dicapai dengan mencubit kulit dengan forsep bedah
keluar dari garis penglihatan pasien.

Gabungan Spinal-epidural dan Teknik Kateter


Paling umum, teknik anestesi intratekal menggunakan satu kali suntikan,
seperti yang dibahas, mungkin tidak selalu memberikan anestesi bedah yang
memuaskan. Penempatan kateter intratekal atau teknik Spinal-epidural (CSE)
gabungan bisa berguna untuk memperpanjang ketinggian blok atau
memperpanjang durasinya, yang menambah keserbagunaan. Kehadiran kateter
yang ditempatkan secara akurat akan memungkinkan blok yang tidak memadai
untuk ditambahkan atau infus anestesi lokal dapat digunakan untuk memberikan
analgesia berkelanjutan. Namun, penempatan dan pemeliharaan kateter ini,
membutuhkan tingkat pengetahuan dan keahlian teknis yang lebih tinggi dari
operator. Injeksi subarachnoidal selama CSE membutuhkan sejumlah kecil
anestesi lokal, sehingga masalah yang di bahas dimana sebagian dari suntikan
hilang melalui kebocoran atau deadspace tetap relevan. Penggunaan kateter
intratekal telah menurun pada akhir-akhir ini karena potensi infeksi yang
meningkat dengan masuknya kateter ke dalam CSF dan karena laporan kasus
arachnoiditis akibat efek terkonsentrasi dari anestesi lokal pada akar saraf, dan
meninggalkan panjang kateter yang berlebihan dapat menyebabkan penyatuan
anestesi lokal di bagian caudal kantung dural. Akhirnya, penggunaan kateter
spinal tidak umum mungkin terkait dengan potensi risiko kesalahan dimana
kateter intratekal bisa terjadi dengan kateter epidural, yang jauh lebih umum
digunakan dalam praktik klinis. Ini dapat menyebabkan kesalahan pada "Toping
up" dan overdosis dengan perkembangan potensial anestesi spinal tinggi.

Kegagalan Anestesi Spinal


Meskipun teknik dan penyesuaian dosis anestesi lokal, injeksi subarachnoidal
karies berisiko kecil gagal dalam anestesi spinal. Apalagi, bahkan ketika tingkat

112
blokade tulang belakang tampaknya cukup selama pengujian, anestesi spinal dapat
gagal menyediakan kondisi operasi yang memadai secara intraoperatif. Bagi
pasien, ini mungkin menjadi sumber rasa sakit, kecemasan, trauma psikologis.
Untuk alasan itu, kemungkinan kegagalan blok harus didiskusikan dengan semua
pasien sebagai bagian dari proses persetujuan untuk memastikan kedua pihak
menyadari kemungkinan terjadinya ini dan langkah-langkah yang harus diambil
jika itu terjadi. Jika durasi atau luasnya prosedur yang direncanakan tidak jelas,
teknik alternatif harus dipertimbangkan. Pada pasien dengan komorbiditas berat,
gangguan pernapasan atau jalan napas yang sulit, konversi tradisional untuk
anestesi umum mungkin berbahaya. Untuk alasan-alasan ini, mencegah lebih baik
daripada mengobati, dan memperhatikan dengan perhatian terhadap detail sangat
penting.

Manajemen Gagal Anestesi Spinal


Strategi untuk mengelola anestesi spinal yang tidak adekuat ditentukan oleh
dua faktor: waktu di mana kegagalan terdeteksi dan sifat kegagalan. Setelah
injeksi subarachnoidal, ahli anestesi harus memonitor pasien untuk tanda-tanda
yang diharapkan dari blokade neuraxial. Konsekuensi dari blokade sistem saraf
otonom, seperti penurunan tekanan darah dengan atau tanpa adanya takikardia
kompensasi memberikan petunjuk awal timbulnya anestesi spinal bahkan tanpa
pengujian formal. Kurangnya respons otonom atau pengembangan motorik atau
blok sensorik yang lebih lambat dari yang diharapkan akan memberi tahu dokter
akan potensi anestesi spinal yang tidak memadai atau gagal. Meski biasanya
cepat, perkembangan anestesi bisa lebih bertahap pada beberapa pasien, dan
waktu observasi tambahan seharusnya direnungkan sebelum memulai operasi atau
dengan asumsi kegagalan. Jika 15 menit telah berlalu sejak injeksi intratekal dan
blok spinal tidak mengikuti pola onset yang khas, diantisipasi, kemungkinan besar
anestesi spinal akan terjadi tidak memadai untuk operasi dan intervensi anestesi
tambahan akan dibutuhkan. Kemungkinan kekurangan di blok, kemungkinan
asal-usulnya, dan solusi yang disarankan diuraikan (Tabel 23A – 1):
1. Tidak adanya Blokade : Solusi yang salah diinjeksikan, solusinya

113
disuntikkan ke lokasi anatomi yang salah, atau anestesi lokal rusak.
Pilihannya adalah mengulangi proses atau memberikan anestesi umum.
Jika diulang injeksi spinal, waktu yang cukup (20 menit) harus dibolehkan
untuk memastikan tidak ada blok yang benar benar terjadi. Jika injeksi
kedua dilakukan setelah prosedur pertama yang berhasil tetapi lambat
terjadi, “total spinal ”dapat terjadi.
2. Blokade spinal dengan ketinggian tidak mencukupi: Penyebab potensial
adalah anestesi lokal telah hilang selama injeksi (misalnya, kebocoran
pada sambungan jarum suntik), injeksi lumbal berada di ruang bawah
lumbar yang terlalu rendah, atau penghalang anatomi mencegah difusi
anestesi. Memanipulasi postur dan memanfaatkan gravitasi dapat
mengatasi kesulitan ini. Jika formulasi hiperbarik digunakan, pasien harus
ditempatkan di posisi Trendelenburg dengan pinggul dan lutut tertekuk. Ini
akan meratakan lordosis lumbal, memungkinkan menyuntikkan untuk
melakukan perjalanan ke arah cephalad. Perubahan posisi setelah injeksi
bupivacaine isobarik tidak mungkin berhasil.
3. Blok unilateral: Masalah yang paling umum adalah posisi pasien,
meskipun hambatan anatomi menyebar yang dibentuk oleh ligamen
longitudinal dapat menyebabkan unilateral anestesi spinal. Penyebaran
bilateral dari blok dapat didorong dengan menggerakkan pasien sehingga
sisi yang tidak terblokir ke bawah (meskipun perubahan posisi
kemungkinan akan kurang membantu ketika solusi sederhana telah
digunakan). Blok unilateral harus cukup untuk operasi linsb bawah
ipsilateral, tetapi ahli bedah harus diingatkan bahwa anggota tubuh lainnya
tidak dibius.
4. Blok tambalan: Ini menggambarkan blok yang tampaknya telah menyebar
secara memadai tetapi memiliki kualitas yang tidak konsisten dengan
sensor variabel dan blokade motorik. Ada banyak penjelasan yang
mungkin tetapi yang paling umum adalah pemberian dosis obat anestesi
yang tidak cukup, baik karena kurang dosis atau solusi tidak mencapai
target. Sedasi tambahan dan analgesik opiat, dapat membuktikan sukses

114
terutama jika kecemasan adalah faktor utama. Atau, konversi ke anestesi
umum mungkin yg dibutuhkan.
5. Durasi yang tidak memadai: Pelakunya paling mungkin adalah pemberian
dari dosis anestesi lokal yang tidak mencukupi. Kemungkinan lain adalah
"pertukaran jarum suntik" dimana obat bertindak pendek seperti lidokain
disuntikkan, bukan bupivacaine yang dimaksudkan. Terakhir, prosedurnya
mungkin lebih lama dari yang diperkirakan. Seperti yang dinyatakan
sebelumnya, satu-satunya yang solusi realistis adalah analgesia intravena
tambahan, sedasi, atau anestesi umum.

Dalam semua skenario ini, penggunakan analgesia dan sedasi secara bijaksana
akan terbukti sangat berharga dalam pengelolaan blok yang tidak memuaskan.
Infus propofol dan remifentanil intravena, dapat digunakan pada konsentrasi
rendah untuk efek yang baik. Dokumentasi kejadian Pasca operasi dan tindak
lanjut pasien adalah penting.

Mengulangi Blok
Jika tidak ada blok yang terlihat pada 15-20 menit, maka langkah paling logis
yng diusulkan adalah mengulang injeksi, mengambil langkah untuk
menghilangkan penyebab dari kegagalan sebelumnya. Kecuali jika injeksi
sebelumnya gagal total, mengulangi injeksi subaraknoid tidak boleh dilakukan
secara rutin. Ini karena konsentrasi tinggi anestesi lokal intratekal dapat bersifat
neurotoksik, dan untuk mengulangi injeksi, langkah langkah untuk
menghilangkan pengulangan procedure dapat menyebabkan konsentrasi seperti
itu, terutama jika ada penghalang anatomi mencegah penyebaran. Lesi pada cauda
equina telah dilaporkan terjadi setelah beberapa injeksi melalui kateter intratekal.
Mengulangi prosedur, terutama dalam konteks tambal sulam atau blok rendah,
dapat menyebabkan penyebaran kea rah cephalad luas yang tidak dapat diprediksi
“dengan potensi ketidakstabilan kardiovaskular” gagal nafas, atau total anestesi
spinal.

115
Selain itu, jika kegagalan blok adalah faktor sekunder akibat faktor anatomi,
maka injeksi berulang tidak mungkin menghasilkan lebih banyak hasil yang
menguntungkan. Blok unilateral yang dianggap sekunder dari penghalang anatomi
longitudinal dapat menggoda ahli anestesi dalam melakukan injeksi kedua di sisi
yang berlawanan, tetapi tidak ada jaminan bahwa ini tidak akan mengikuti jalur
percobaan pertama. Obstruksi terhadap penyebaran intratekal juga dapat
mendistorsi ruang epidural, sehingga anestesi epidural terbukti lebih tidak
berhasil.

Manajemen Pasca Operasi


Dokumentasi dan Tindakan Lanjutan
Pada kunjungan pasca operasi, pasien harus diberikan penjelasan lengkap
tentang kejadian. Akun terperinci dari proses harus didokumentasikan dalam
rekam medis untuk menginformasikan prosedur anestesi di kemudian hari. Jarang,
pola kegagalan yang tidak biasa mungkin menandakan adanya patologi neurologis
yang serius, dan jika ada tanda atau gejala lain, maka konsultasi neurologi yang
disarankan. Jika seorang pasien telah mengalami kegagalan anestesi spinal lebih
dari satu kali, MRI tulang belakang dapat menjadi pilihan untuk menyingkirkan
atau membuat delusi anatomi yang abnormal.

Investigasi “Kegagalan” Anestesi Lokal


Meskipun kegagalan anestesi spinal adalah kejadian yang tidak biasa, keadaan
tertentu dapat menyebabkan ahli anestesi untuk meneliti dengan cermat obat
anestesi lokal. Kurangnya efek mengikuti prosedur tidak banyak menuntut secara
teknis atau beberapa kegagalan di dalam operasi atau departemen yang sama
meningkatkan kemungkinan kesalahan obat anestesi lokal. Bupivacaine hiperbarik
adalah penyebab yang paling banyak dilaporkan, kemungkinan besar karena
prevalensinya dalam praktik saat ini. Anestesi lokal amida secara kimiawi
senyawa stabil yang mengalami sterilisasi panas sebagai bagian dari persiapan

116
normal. Selain itu, kontrol kualitas modern prosedur bahwa kegagalan obat adalah
kejadian yang jarang terjadi, tetapi jika semua faktor-faktor lain dihilangkan, itu
harus dipertimbangkan. Jika anestesi digunakan dalam prosedur telah
dipertahankan, beberapa pihak berwenang menganjurkan infiltrasi kulit untuk
menguji kemanjurannya. Diperkiuat dengan laporan dari kolega, farmasi, dan
rumah sakit lain akan membantu menentukan apakah orang lain memiliki masalah
yang sama, meskipun kekhawatiran kegagalan anestesi jarang ditanggung oleh
laporan kasus.

RINGKASAN
Dengan teknik, pelatihan, dan perhatian yang cermat terhadap detail, tingkat
kegagalan anestesi spinal harus kurang dari 1%. Komunikasi yang baik dan
manajemen yang tepat dapat mengurangi banyak kesulitan umum. Bahkan praktik
terbaik tidak bisa sepenuhnya menghilangkan kemungkinan kegagalan, jadi,
penilaian yang cermat atas kecukupan blokade tulang belakang dan strategi
manajemen jika kegagalan terjadi secara intraoperatif harus selalu direnungkan.

117

Anda mungkin juga menyukai