Anda di halaman 1dari 20

PRESENTASI KASUS

DERMATITIS ATOPIK

Disusun Oleh :
Rio Taruna Jati
G4A017050

Pembimbing :
dr. Thianti Sylviningrum, Sp.KK, M. Sc., MPd. Ked.

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus yang berjudul:


“ DERMATITIS ATOPIK”

Disusun oleh :

Rio Taruna Jati


G4A017050

Presentasi kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu tugas di
bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Purwokerto, Juli 2019

Pembimbing,

dr. Thianti Sylviningrum, Sp.KK, M. Sc., MPd. Ked.


NIP. 19790622 201012 2 001

2
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan atas berkat rahmat dan
anugerahnya sehingga penyusunan presentasi kasus dengan judul “Dermatitis
Atopik” ini dapat diselesaikan. Presentasi kasus ini merupakan salah satu tugas di
SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Penyusun menyadari bahwa dalam
penulisan laporan kasus ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penyusun
mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan penulisan di masa yang akan
datang. Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. dr. Thianti Sylviningrum, Sp.KK, M.Sc., MPd.Ked. selaku dosen


pembimbing
2. Dokter-dokter spesialis kulit dan kelamin SMF Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin di RSUD Margono Soekarjo
3. Rekan-rekan Dokter Muda Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin atas
semangat dan dorongan serta bantuannya.

Semoga presentasi kasus ini bermanfaat bagi semua pihak yang ada di dalam
maupun diluar lingkungan RSUD Margono Soekarjo.

Purwokerto, Juli 2019

Penyusun

3
I. PENDAHULUAN

Dermatitis atopik (DA) adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,
disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering
berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada
keluarga atau penderita (dermatitis atopi, rhinitis alergika, asma bronkhiale, dan
konjungtivitis alergika).
Berbagai penelitian menyatakan bahwa prevalensi DA makin meningkat
sehingga merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang,
Australia dan Negara industri lain, prevalensi DA pada anak mencapai 10-20%,
sedangkan 1-3 % terjadi di negara agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia
Tengah, prevalensi DA jauh lebih rendah.
Kulit penderita DA umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di epidermis
berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari tangan teraba dingin.
Penderita DA. cenderung tipe astenik, dengan inteligensia di atas rata-rata, sering
merasa cemas, egois, frustrasi, agresif, atau merasa tertekan. Gejala utama DA.
Jalah (pruritus), dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat
pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-
macam kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi,
eksudasi, dan krusta.
Sulit meramalkan prognosis DA pada seseorang. Prognosis lebih buruk bila
kedua orang tuanya menderita DA Ada kecenderungan perbaikan spontan pada
masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja. Sebagian kasus
menetap pada usia di atas 30 tahun. Maka dari itu, pentingnya memahami etiologi,
manifestasi klinis, serta tatalaksana diharapkan dapat bermanfaat dalam manajemen
penanganan dermatitis atopik.

4
II. LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 70 tahun
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Alamat : Sokawera, Cilongok
No. CM : 0015483
Tanggal Pemeriksaan : Senin, 14 Juli 2019
Metode Anamnesis : Autoanamnesis
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Gatal wajah bagian pipi
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien Tn. A usia 70 tahun datang ke balai pengobatan PKM
Cilongok I dengan keluhan gatal dibagian wajah daerah pipi. Pasien
mengeluhkan gatal sejak 5 hari yang lalu. Gatal yang dirasakan muncul
hilang timbul dan sering digaruk oleh pasien. Pasien menyebutkan gatal
memberat ketika pasien berkeringat dan lebih sering muncul saat pagi hari
dan membaik ketika pasien menggaruk daerah yang gatal. Selain itu pasien
juga menyebutkan adanya ketombe pada kepala yang sudah lama muncul
namun tidak pasien merasa hal tersebut tidak terlalu mengganggu. Pasien
juga mengeluhkan batuk dan memiliki riwayat terkena penyakit asma.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan yang sama disangkal
b. Riwayat alergi makanan disangkal
c. Riwayat asma diakui pasien dan rutin beorbat ke PKM
d.Riwayat tekanan darah tinggi (hipertensi) dan kencing manis (diabetes
melitus) disangkal
e. Riwayat rawat inap disangkal

5
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan yang sama dengan pasien disangkal
b. Riwayat alergi obat disangkal
c. Riwayat penyakit asma pada keluarga disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien hidup bersama anak laki-laki dan menantunya dan berasal dari
keluarge menengah ke bawah. Pasien menyebutkan sering mengganti
pakaian dan mandi 2 kali sehari. Pembiayaan kesehatan pasien
menggunakan pembiayaan BPJS PBI.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Keadaaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Antropometri : BB: 52 kg, TB: 163 cm
Vital Sign : Tensi : 147/88 mmHg
Nadi : 76x/menit
Pernafasan : 18x/menit
Suhu : 36.6°C
Kepala : Mesochepal, simetris, rambut hitam, distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Simetris, deviasi septum (-), sekret (-), discharge (-)
Telinga : Simetris, sekret (-), discharge (-)
Mulut : Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-),
Tenggorokan : T1 – T1 tenang, tidak hiperemis
Thorax : Simteris. Retraksi (-)
Jantung : BJ I-II regular, gallop (-), murmur (-).
Paru : SD vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-)
Abdomen : Datar, supel, timpani, BU (+) normal
Kelenjar Getah Bening : tidak teraba pembesaran.
Ekstremitas : Akral hangat, edema , sianosis

2. Status Dermatologis

6
a. Lokasi
Regio facialis
b. Efloresensi
Makula eritematosa dengan squama halus ad region buccal et
infraorbitalis dekstra et sinistra

Gambar 1.1 Efloresensi yang timbul pada kasus

D. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.
E. Resume
Pasien Tn. A usia 70 tahun datang ke balai pengobatan PKM Cilongok
I dengan keluhan gatal dibagian wajah daerah pipi. Pasien mengeluhkan gatal
sejak 5 hari yang lalu. Gatal yang dirasakan muncul hilang timbul dan sering
digaruk oleh pasien. Pasien menyebutkan gatal memberat ketika pasien
berkeringat dan lebih sering muncul saat pagi hari dan membaik ketika pasien
menggaruk daerah yang gatal. Selain itu pasien juga menyebutkan adanya
ketombe pada kepala yang sudah lama muncul namun tidak pasien merasa hal
tersebut tidak terlalu mengganggu. Pasien juga mengeluhkan batuk dan
memiliki riwayat terkena penyakit asma.

7
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Pasien
tidak memiliki riwayat alergi makanan ataupun obat. Riwayat asma diakui
pasien dan rutin berobat. Riwayat darah tinggi (hipertensi) disangkal. Keluarga
juga tidak pernah mengalami keluhan seperti pasien.
Pasien hidup bersama anak laki-laki dan menantunya dan berasal dari
keluarge menengah ke bawah. Pasien menyebutkan sering mengganti pakaian
dan mandi 2 kali sehari. Pembiayaan kesehatan pasien menggunakan
pembiayaan BPJS PBI. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum
pasien baik, BB 52 kg dan TB 163 cm. Pemeriksaan fisik lain dalam batas
normal. Pemeriksaan status lokalis didapatkan efloresensi Makula eritematosa
dengan squama halus ad region buccal et infraorbitalis dekstra et sinistra.
Berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang ditemukan pada pasien
maka dapat ditegakkan diagnosis dermatitis atopik.
F. Diagnosis Kerja
Dermatitis atopik
G. Diagnosis Banding
1. Dermatitis seboroik
2. Neurodermatitis
H. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a. Cetirizin 100 mg tab 2x1
b. Hidrokortison zalf 2x1 usus eksternum
2. Non medikamentosa
a. Edukasi tentang faktor risiko penyakit dan cara penanganannya
b. Edukasi untuk tidak menggaruk lesi
I. Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Qua ad comesticam : ad bonam

8
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Dermatitis atopik (DA) adalah keadaan peradangan kulit kronis dan
residif, disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-
anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan
riwayat atopi pada keluarga atau penderita (dermatitis atopi, rhinitis alergika,
asma bronkhiale, dan konjungtivitis alergika).
Kata “atopi” pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah
yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai
kepekaan dalam keluarganya. Misalnya : asma bronchial, rhinitis alergika,
dermatitis atopi, dan konjungtivitis alergika.
B. Epidemiologi
Berbagai penelitian menyatakan bahwa prevalensi DA makin meningkat
sehingga merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika Serikat, Eropa,
Jepang, Australia dan Negara industri lain, prevalensi DA pada anak mencapai
10-20%, sedangkan 1-3 % terjadi di negara agraris, misalnya Cina, Eropa
Timur, Asia Tengah, prevalensi DA jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak m
enderita DA daripada pria dengan rasio 1,3:1. Berbagai faktor lingkungan
berpengaruh terhadap prevalensi DA misalnya jumlah keluarga kecil,
pendidikan ibu makin tinggi, penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke
kota, dan meningkatnya penggunakan antibiotik, berpotensi menaikan jumlah
penderita DA.
Sedangkan rumah yang berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah
keluarga, urutan lahir makin belakang, sering mengalami infeksi sewaktu
kecil, akan melindungi kemungkinan timbul DA pada kemudian hari. Lebih
dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi akan mengalami
DA pada masa kehidupan tiga bula pertama. Bila salah satu orang tua
menderita atopi, lebih dari seperuh jumlah anak akna mengalami gejala alergi
sampai usia dua tahun, dan meningkat sampai 79% bila kedua orang tua
menderita atopi. Resiko mewarisi DA lebih tinggi bila ibu yang menderita DA
dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila DA yang dialami berlanjut hingga

9
masa dewasa, ,maka resiko untuk mewariskan untuk anaknya sama saja
yaitukira-kira 50%. (Djuanda, 2011)
C. Etiologi dan Patogenesis
Sitokin TH2 dan TH1 berperan dalam patogenesis peradangan kulit pada
DA. Jumlah TH2 lebih banyak pada penderita atopi, sebaliknya TH1 menurun.
Pada kulit 'normal' (tidak ada kelainan kulitnya) penderita DA bila
dibandingkan dengan kulit normal orang yang bukan penderita DA.,
ditemukan lebih banyak sel-sel yang mengekspresikan mRNA IL-4 dan IL-13,
tetapi bukan IL-5, IL-12, atau IFN-y. Pada lesi akut dan kronis bila
dibandingkan dengan kulit normal atau kulit yang tidak ada lesinya penderita
DA., menunjukkan jumlah yang lebih besar sel-sel yang mengekspresikan
mRNA IL-4, IL-5, dan IL-13. Tetapi pada lesi akut tidak banyak mengandung
sel yang mengekspresikan mRA IFN-y atau IL-12. Lesi kronis DA.
mengandung sangat sedikit sel yang mengekspresikan mRNA IL-4 dan IL-13,
tetapi jumlah sel yang mengekpresikan mRNA IL-5, GM-CSF,IL-12, dan IFN-
y, meningkat bila dibandingkan dengan yang akut. Peningkatan IL-12 pada lesi
kronis DA. berperan dalam perkembangan TH1.
Sel T yang teraktivasi di kulit juga akan menginduksi apoptosis
keratinosit, sehingga terjadi spongiosis. Proses ini diperantarai oleh IFN-y
yang dilepaskan sel T teraktivasi dan meningkatkan Fas dalam keratinosit.
Berbagai kemokin ditemukan pada lesi kulit DA yang dapat menarik sel-
sel, misalnya eosinofil, limfosit T, dan monosit, masuk ke dalam kulit.
Pada DA kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinofil hidup lebih
lama dan menggiatkan fungsinya, sedangkan peningkatan ekspresi GM-SCF
mempertahankan hidup dan fungsi monosit, sel Langerhans, dan eosinofil.
Produksi TNF-a dan IFN-y pada DA. memicu kronisitas dan keparahan
dermatitis. Stimulasi TNF-a dan IFN-y pada keritinosit epidermal akan
meningkatkan jumlah RANTES (regulated on activation, normal T cell
expressed and secreted). Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF-
a dan sitokin proinflamasi yang lain dari epidermis, sehingga mempercepat
timbulnya peradangan di kulit DA.

10
IL-4 meningkatkan perkembangan TH2, sedangkan IL-12 yang diproduksi
oleh makrofag, sel berdendrit, atau eosinofil, menginduksi TH1. Subunit
reseptor IL-12RP2 diekpresi pada TH1 tidak pada TH2. Sedangkan ekspresi
IL-12RP2 dihambat oleh IL-4, tetapi sebaliknya diinduksi oleh IL-12, IFN-a,
dan IFN-y. IL-4 juga menghambat produksi IFN-y dan menekan deferensiasi
sel TH1. Sel mas dan basofil juga merupakan sumber sitokin tipe TH2,
sehingga ekspresi IL-4 oleh sel T, sel mas/basofilpada DA merangsang
perkembangan sel TH2.
Sel mononuklear penderita DA. meningkatkan aktivitas enzim cyclic-
adenosine monophosphate (CAMP) – phosphodiesterase (PDE), yang akan
meningkatkan sintesis IgE oleh sel B dan produksi IL-4 oleh sel T. Produksi
IgE dan IL-4 secara in vitro dapat diturunkan oleh penghambat PDE
(PDEinhibitor). Sekresi IL-10 dan PGE2 dari monosit juga meningkat; kedua
produk ini menghambat IFN-y yang dihasilkan oleh sel T.
Sel Langerhans (SL) pada kulit penderita DA bersifat abnormal, dapat
secara langsung menstimulasi sel TH tanpa adanya antigen; secara selektif
dapat mengaktivasi sel TH menjadi fenotip TH2. SL yang mengandung IgE
meningkat;sel ini mampu mempresentasikan alergen tungau debu rumah (D.
pteronyssinus) kepada sel T. SL yang mengandung IgE setelah menangkap
allergen akan mengaktifkan sel TH2 memori di kulit atopi, juga bermigrasi ke
kelenjar getah bening setempat untuk menstimulasi sel T nai've sehingga
jumlah sel TH2 bertambah banyak.
SL pada kulit normal mempunyai tiga macam reseptor untuk IgE, yaitu
FceRII, FceRII (CD23), dan IgE-binding protein. Reseptor FceRI mempunyai
afinitas kuat untuk mengikat IgE. IgE terikat pada SL melalui reseptor spesifik
FceRI pada permukaan SL. Pada orang normal dan penderita alergi saluran
napas kadar ekpresi FceRI di permukaan SLnya rendah, sedangkan di lesi
ekzematosa DA. tinggi. Ada korelasi antara ekspresi permukaan FceRI dan
kadar IgE dalam serum. Selain pada SL, reseptor IgE dengan afinitas tinggi
(FceRI) juga ditemukan pada permukaan sel mas dan monosit.
Kadar seramid pada kulit penderita DA. berkurang sehingga kehilangan
air (transepidermal water loss=TEWL) melalui epidermis dipermudah. Hal ini

11
mempercepat absorbsi antigen ke dalam kulit. Sebagaimana diketahui bahwa
sensitisasi epikutan terhadap alergen menimbulkan respons TH2 yang lebih
tinggi daripada melalui sistemik atau jalan udara, maka kulit yang terganggu
fungsi sawarnya merupakan tempat yang sensitif. (Djuanda, 2011)
D. Manifestasi Klinis
Kulit penderita DA umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di epidermis
berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari tangan teraba
dingin. Penderita DA. cenderung tipe astenik, dengan inteligensia di atas rata-
rata, sering merasa cemas, egois, frustrasi, agresif, atau merasa tertekan.
Gejala utama DA. Jalah (pruritus), dapat hilang timbul sepanjang hari,
tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan
menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa papul,
likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta.
Lesi kulit DA pada bentuk ini dapat berupa plak papular-eritematosa dan
berskuama, atau plak likenifikasi yang gatal. Pada DA remaja lokalisasi lesi di
lipat siku, lipat lutut, dan samping leher, dahi, dan sekitar mata. Pada DA.
dewasa, distribusi lesi kurang karakteristik, sering mengenai tangan dan
pergelangan tangan, dapat pula ditemukan setempat, misalnya di bibir (kering,
pecah, bersisik), vulva, puting susu, atau skalp. Kadang erupsi meluas, dan
paling parah di lipatan, mengalami likenifikasi. Lesi kering, agak menimbul,
papul datar dan cenderung bergabung menjadi plak likenifikasi dengan sedikit
skuama, dan sering tejadi eksoriasi dan eksudasi karena garukan. Lambat laun
terjadi hiperpigmentasi.
Lesi sangat gatal, terutama pada malam hari waktu beristirahat. Pada orang
dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh bila mengalami stres.
Mungkin karena stres dapat menurunkan ambang rangsang gatal. Penderita
atopik memang sulit mengeluarkan keringat, sehingga rasa gatal timbul bila
mengadakan latihan fisik. Pada umumnya DA remaja atau dewasa berlangsung
lama, kemudian cenderung menurun dan membaik (sembuh) setelah usia 30
tahun, jarang sampai usia pertengahan; hanya sebagian kecil terus berlangsung
sampai tua. Kulit penderita DA yang telah sembuh mudah gatal dan cepat
meradang bila terpajan oleh bahan iritan eksogen.

12
E. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan mencakup pencetus terjadinya keluhan, waktu mulai
terjadinya keluhan, dan seberapa lama keluhan sekarang yang dirasakan.
2. Pemeriksaan Fisik
Diagnosis DA didasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin dan Rajka
yang diperbaiki oleh kelompok kerja dari Inggris yang dikoordinasi oleh
Williams (1994). (Djuanda, 2011)
Kriteria mayor
- Pruritus
- Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
- Dermatitis di fleksura pada dewasa
- Dermatitis kronis atau residif
- Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
Kriteria minor
- Xerosis
- Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks)
- Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
- lktiosis/hipediniar palmads/keratosis pilaris
- Pitiriasis alba
- Dermatitis di papila mame
- White dermographism dan delayed blanch response
- Keilitis
- Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
- Konjungtivitis berulang
- Keratokonus
- Katarak subkapsular anterior
- Orbita menjadi gelap
- Muka pucat atau eritem
- Gatal bila berkeringat
- Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
- Aksentuasi perifolikular

13
- Hipersensitif terhadap makanan
- Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau
emosi
- Tes kulit alergi tipe dadakan positif
- Kadar IgE di dalam serum meningkat
- Awitan pada usia dini1.
Diagnosis DA. harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria
minor.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Tidak ada hasil laboratorium yang spesifik yang dapat
dipergunakan untuk menegakkan diagnosis dermatitis atopik. Hasil
yang dapat ditemukan pada dermatitis atopik, misalnya kenaikkan
kadar IgE dalam serum, mengurangnya jumlah sel-T ( terutama T-
supresor) dan imunitas seluler, jumlah eosinofil dalah darah relatif
meningkat.
b. Dermatografisme putih
Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan tiga respon
yakni berturut-turut akan terlihat: Garis merah ditempat
penggoresan selama 15 detik, warna merah disekitarnya selama
beberapa detik, edema timbul setelah beberapa menit. Penggoresan
pada penderita yang atopi akan bereaksi belainan. Garis merah
tidak disusul warna kemerahan, tetapi kepucatan selama 2 detik
sampai 5 menit, sedangkan edema tidak timbul. Keadaan ini
disebut dermatografisme putih.
c. Percobaan asetil kolin
Suntikan secara intra kutan solusio asetilkolin 1/5000 akan
menyebabkan hyperemia pada orang normal. Pada orang dengan
dermatitis atopi akan timbul vasokonstriksi terlihat kepucatan
selama satu jam.
d. Percobaan histamine

14
Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi penderita dermatitis atopi
eritema akan berkurang dibandingkan orang lain sebagai kontrol.
Kalau obat tersebut disuntikkan parenteral, tampak eritema
bertambah pada kulit orang normal. (Wolff, 2008)
F. Diagnosis Banding

Tabel 2.1 Diagnosis Banding Dermatitis Atopik


Penyakit Gambaran klinis
Seboroik dermatitis Berminyak, squama, riwayat keluarga tidak ada
Psoriasis Plak pada daerah ekstensor, skalp, gluteus, pitted nail
Neurodermatitis Gatal, soliter, riwayat keluarga tidak ada
Contact dermatitis Riwayat kontak, ruam di tempat kontak, riwayat keluarga
tidak ada
Skabies Papul, sela jari, positif ditemukan tungau
Sistemik Riwayat, pemeriksaan fisik. Pemeriksaan banyak sesuai
dengan penyakit
Dermatitis herpetiforme Vesikel berkelompok di daerah lipata
Dermatofita Plak dengan sentral healing, KOH negatif
Immmunodefisiensi Riwayat infeksi berulang
disorder

G. Penatalaksanaan
Kulit penderita DA biasanya kering dan fungsi sawarnya berkurang,
mudah retak sehingga mempermudah masuknya mikroorganisme patogen,
bahan iritan dan alergen. Pada kulit yang demikian perlu diberikan pelembab,
misalnya krim hidrofilik urea 10%; dapat pula ditambahkan hidrokortison 1%
di dalamnya. Bila memakai pelembab yang mengandung asam laktat,
konsentrasinya jangan lebih dari 5%, karena dapat mengiritasi bila
dermatitisnya masih aktif. Setelah mandi kulit dilap, kemudian memakai
emolien agar kulit tetap lembab. Emolien dipakai beberapa kali sehari, karena
lama kerja maksimum 6 jam.
Pasien disarankan mandi yang sering dengan menambahkan minyak
pengemulsi (1L ditambahkan ke air mandi hangat) selama 5-10 menit dapat
melembabkan kulit. Minyak akan mempertahankan air pada kulit dan
mencegah penguapan. Dokter juga menyarankan pasien untuk memakai
emolien seperti petrolatum atau Aquaphor ke seluruh tubuh saat kulit masih

15
basah, untuk menyegel kelembaban dan memungkinkan air untuk diserap
melalui stratum korneum. Salep menyebar dengan baik pada kulit yang basah.
Bahan aktif harus diterapkan sebelum emolien. Emolien yang lebih baru
seperti Atopiclair dan Mimyx telah dianjurkan karena memiliki hasil yang
lebih unggul, tetapi bahan tersebut mahal dan perlu evaluasi lebih lanjut.
Pengobatan DA. dengan kortikosteroid topikal adalah yang paling sering
digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Namun demikian harus waspada
karena dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan.
Sebagai rejimen perawatan, bubuk hidrokortison 1,25% dalam Asam
Mantle digunakan sebagai emolien berbasis steroid terbukti efektif dan aman
untuk waktu yang lebih lama (misalnya bulan) untuk mencegah kemerahan
akut dengan penambahan steroid-kelas yang lebih tinggi untuk mengobati
kemerahan akut secara cepat. (Kim, 2015)
Takrolimus (FK-506), suatu inhibitor calcineurin, dapat diberikan dalam
bentuk salap 0,03% untuk anak usia 2-15 tahun; untuk dewasa 0,03% dan
0,1%. Takrolimus menghambat aktivasi sel yang terlibat dalam DA. yaitu: sel
Langerhans, sel T, sel mas, dan keratinosit. Pada pengobatan jangka panjang
dengan salep takrolimus, koloni S. aureus menurun. Tidak ditemukan efek
samping kecuali rasa seperti terbakar setempat. Tidak menyebabkan atrofi
kulit seperti pada pemakaian kortikosteroid; dapat digunakan di muka dan
kelopak mata.
Pimekrolimus atau dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa
askomisin yaitu imunomodulator golongan makrolaktam, yang pertama
ditemukan dari hasil fermentasi Streptomyces hygroscopicus var.
ascomyceticus. Cara kerja sangat mirip siklosporin dan takrolimus yang
dihasilkan dari Streptomyces tsuku-baensis, walaupun ketiganya berbeda
dalam struktur kimianya, yaitu bekerja sebagai pro-drug, yang baru menjadi
aktif bila terikat pada reseptor sitosolik imunofilin. Reseptor imunofilin untuk
askomisin ialah makrofilin-12. Ikatan askomisin pada makrofilin-12 dalam
sitoplasma sel T, akan menghambat calcineurin (suatu molekul yang
dibutuhkan untuk inisiasi transkripsi gen sitokin), sehingga produksi sitokin
TH1 ( IFN-y dan IL-2) dan TH2 ( IL-4 dan IL-10) dihambat. Askomisin juga

16
menghambat aktivasi sel mas. Askomisin menghasilkan efek imunomodulator
lebih selektif dalam menghambat fase elisitasi dermatitis kontak alergik, tetapi
respons imun primer tidak terganggu bila diberikan secara sistemik, tidak
seperti takrolimus dan siklosporin.
Derivat askomisin yang digunakan ialah krim SDZ ASM 981 konsentrasi
1%, mempunyai efektivitas sama dengan krim klobetasol-17- propionat 0.05%
(steroid superpoten), tidak menyebabkan atrofi kulit (setidaknya selama 4
minggu), aman pada anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif misalnya pada
muka dan lipatan. Cara pemakaian dioleskan 2 kali sehari.
Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari
2 tahun. Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dan takrolimus
dinasehati untuk memakai pelindung matahari karena ada dugaan bahwa kedua
obat tersebut berpotensi menimbulkan kanker kulit.
Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk mengendalikan
eksaserbasi akut, dalam jangka pendek, dan dosis rendah, diberikan berselang-
seling (alternate), atau diturunkan bertahap (tapering), kemudian segera diganti
dengan kortikosteroid topikal. Pemakaian jangka panjang menimbulkan
berbagai efek samping, dan bila dihentikan, lesi yang lebih berat akan muncul
kembali.
Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang
hebat, terutama malam hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena itu
antihistamin yang dipakai ialah yang mempunyai efek sedatif, misalnya
hidroksisin atau difenhidramin. Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan
doksepin hidroklorid yang mempunyai efek antidepresan dan memblokade
reseptor histamih H1 dan H2, dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral malam
hari pada orang dewasa.
Pada DA, ditemukan peningkatan koloni S. aureus. Untuk yang belum
resisten dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau, klaritromisin, sedang
untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilin, oksasilin, atau generasi
pertama sefalosporin.

17
H. Progonosis
Sulit meramalkan prognosis DA pada seseorang. Prognosis lebih buruk
bila kedua orang tuanya menderita DA Ada kecenderungan perbaikan spontan
pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja. Sebagian
kasus menetap pada usia di atas 30 tahun. Penyembuhan spontan DA. yang
diderita sejak bayi pernah dilaporkan terjadi setelah umur 5 tahun sebesar 40-
60%, terutama kalau penyakitnya ringan. Sebelumnya juga ada yang
melaporkan bahwa 84% DA. anak berlangsung sampai masa remaja. Ada pula
laporan, DA. pada anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja, 20%
menghilang, dan 65 % berkurang gejalanya. Lebih dari setengah DA remaja
yang telah diobati kambuh kembali setelah dewasa.
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang balk DA. yaitu:
- DA luas pada anak
- menderita rinitis alergik dan asma bronkial
- riwayat DA. pada orang tua atau saudara kandung
- awitan (onset) DA. pada usia muda
- anak tunggal
- kadar igE serum sangat tinggi.
Diperkirakan 30 hingga 50 persen DA. infantil akan berkembang menjadi
asma bronkial atau hay fever. Penderita atopi mempunyai risiko menderita
dermatitis kontak iritan akibat kerja di tangan.

18
IV. KESIMPULAN

1. Dermatitis atopik (DA) adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,
disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-
anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan
riwayat atopi pada keluarga atau penderita (dermatitis atopi, rhinitis
alergika, asma bronkhiale, dan konjungtivitis alergika).
2. Keluhan gatal pada wajah pasien dikeluhkan sejak 4-5 hari terakhir.
3. Makula eritematosa dengan squama halus ad region buccal et infraorbitalis
dekstra et sinistra
4. Terapi farmakologis yang diberikan berupa cetirizine 10 mg tab 2x1 dan
zalf hidrokortison 2x1 oles luar sesuai letak lesi dan terapi non farmakologi
yaitu edukasi terkait penanganan lesi dan pencegahan.

19
DAFTAR P USTAKA

Djuanda, S., dan Sri A., 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Eichenfild et all. 2014. Guidelines of care for the management of atopic
dermatitis. American Academy of Dermatology Journal. 71:116-32
Fiocchi A, Pawankar R, Cuello-Garcia C, et al. 2015.World Allergy Organization-
McMaster University Guidelines for Allergic Disease Prevention (GLAD-
P): Probiotics. World Allergy Organ J. 8 (1):4.[Medline].
Harahap, M., Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates : Jakarta.2007
James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Diseases of the Skin Clinical
Dermatology. 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010.
Johnson K. Probiotics in Pregnancy, Lactation Reduce Dermatitis. Medscape
Medical News. Nov 25 2014.[Full Text].
Kim, B. 2015. Atopic Dermatitis Treatment & Management. Medscape J.
http://emedicine.medscape.com/article/1049085-treatment. Diakses pada: 4
Oktober 2015.
National Institute of Occupational Safety Hazards (NIOSH), 2009. Occupational
and Environmental Exposure of Skin to Chemic.
Siregar, R. S., Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Ed 2., EGC : Jakarta, 2008
Weekly epidemiological record. World Health Organization 2011; 86: 389-400.

20

Anda mungkin juga menyukai