Anda di halaman 1dari 40

REFERAT

GANGGUAN MOOD
EPISODE DEPRESIF

Pembimbing:
dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp. KJ

Disusun Oleh:
Inten Indri Pamungkas G4A017026

SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2019
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

GANGGUAN MOOD
EPISODE DEPRESIF

Disusun untuk memenuhi salah satu ujian


Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto

Disusun Oleh:
Inten Indri Pamungkas G4A017026

Telah dipresentasikan dan disetujui


Pada tanggal, 2019
Pembimbing,

dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp. KJ

2
I. PENDAHULUAN

Gangguan mood dalam edisi-edisi DSM sebelumnya dikenal sebagai


gangguan afektif, istilah gangguan mood adalah istilah yang sekarang banyak
diterapkan pada berbagai kondisi umum dengan gejala yang paling menonjol adalah
peningkatan ataupun depresi suasana hati. Gangguan mood termasuk sindrom
(bukan penyakit terpisah) yang terdiri dari beberapa kelompok tanda dan gejala,
berlangsung lebih dari beberapa minggu hingga bulan yang ditandai dengan adanya
perubahan fungsi kebiasaan seseorang serta cenderung berulang, kadang dalam
pola periodik atau siklik (Akiskal, 2017).
Salah satu gangguan mood adalah episode depresif. Gangguan depresi
terdiri dari sekelompok penyakit heterogen yang dicirikan oleh berbagai tingkat
labilitas afektif dan terkait perubahan kognitif, neurovegetatif, dan psikomotor.
Pasien dapat mengatakan mereka merasa sedih, putus asa, berada dalam kesedihan
atau tidak berharga. Bagi pasien, suasana hati depresi memiliki kualitas berbeda
yang membedakannya dari emosi normal kesedihan atau kehilangan. Pasien kadang
mendeskripsikan gejala depresi sebagai salah satu emosi menyakitkan dan kadang
mengeluh tidak bisa menangis (Sadock et al, 2015).
Prevalensi gangguan depresi mayor di Amerika Serikat adalah sekitar 7%
dengan kelompok umur 18-29 tahun 3 kali lebih tinggi daripada 60 tahun ke atas.
Perempuan mengalami 1,5-3 kali lebih tinggi daripada laki-laki pada awal remaja
(American Psychiatric Association, 2013). Menurut World Mental Health (WMH)
juga memberikan kumpulan data terbesar tentang prevalensi gangguan depesi
mayor. Tingkat prevalensi seumur hidup dan 12 bulan diperkirakan di 18 negara,
dibagi menurut pendapatan tinggi dan menengah ke bawah. Prevalensi seumur
hidup memperkirakan rata-rata 11,1% (kisaran 8,0 hingga 18,4) di negara-negara
berpenghasilan rendah dan 14,6% (kisaran 6,6 hingga 21,0) di negara-negara
berpenghasilan tinggi, sedangkan tingkaat prevalensi 12 bulan rata-rata 5,5% pada
negara berpenghasilan tinggi dan 5,9% pada negara berpenghasilan rendah.
Sekitar dua pertiga dari pasien-pasien depresi merenungkan bunuh diri, dan
10 hingga 15 persen memutuskan bunuh diri. Beberapa pasien kadang tampak tidak
sadar akan depresi yang dialaminya dan tidak mengeluh, tetapi menarik diri dari

3
keluarga, teman-teman, dan aktivitasnya. Hampir semua pasien depresi (97 persen)
mengeluhkan penurunan energi, kesulitan menyelesaikan pekerjaan, gangguan di
sekolah dan lingkungan kerja, dan kurang motivasi untuk mengerjakan pekerjaan
baru. Sekitar 80 persen dari pasien mengeluhkan kesulitan tidur, terutama
terbangun lebih pagi (misalnya, insomnia terminal) dan terbangun berkali-kali saat
malam hari, ketika mereka merenungkan masalah mereka. Banyak pasien
mengalami penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan (Sadock et al,
2015). Oleh karena hal tersebut di atas, kita perlu mengetahui tentang episode
depresif.

4
II. TINJAUAN PUSTAKA

a. Definisi Depresi
Gangguan depresi adalah gangguan mood yang ditandai dengan adanya
kesedihan, perasaan kosong, atau perasaan irritable, bersama dengan
perubahan somatik dan kognitif yang secara signifikan mempengaruhi
kapasitas individu untuk berfungsi (American Psychiatric Association, 2013).

b. Epidemiologi Depresi
Usia awitan rata-rata sekitar usia akhir 30 tahun, tetapi dapat mulai terjadi
pada usia berapapun dari masa anak-anak dan seterusnya (Puri, 2011). Fobia
sekolah dan kelekatan berlebihan pada orang tua dapat menjadi gejala depresi
anak-anak. Performa akademik buruk, penyalahgunaan zat, perilaku antisosial,
pergaulan bebas, bolos, dan kabur dapat menjadi gejala depresi remaja. Depresi
lebih umum terjadi pada orang tua. Prevalensi dari 25 hingga hampir 50 persen
pada beberapa studi. Beberapa studi mengindikasikan depresi pada orang tua
mungkin berhubungan dengan status sosioekonomi rendah, kehilangan
pasangan, penyakit medis berulang, dan isolasi sosial. Studi lain menyebutkan
depresi pada orang tua tidak terdiagnosis dan diterapi, kemungkinan
kebanyakan oleh dokter umum (Sadock et al, 2015).
Gangguan depresi terjadi pada 1 dari 5 wanita dan 1 dari 10 pria pada
waktu yang sama selama hidupnya. Episode depresi bergantian dengan mania
atau hipomania menunjukan adanya gangguan bipolar (Akiskal, 2017).
Prevalensi gangguan depresi mayor di Amerika Serikat adalah sekitar
7% dengan kelompok umur 18-29 tahun 3 kali lebih tinggi daripada 60 tahun
ke atas. Perempuan mengalami 1,5-3 kali lebih tinggi daripada laki-laki pada
awal remaja (American Psychiatric Association, 2013).
Rasio jenis kelamin tidak setara. Episode depresif lebih sering
menyerang perempuan. Insidensi episode depresif adalah antara 80 sampai 200
kasus baru per 100.000 populasi setiap tahun pada laki-laki, dan antara 250
sampai 7.800 kasus baru per 100.000 populasi setiap tahun pada perempuan.
Prevalensi titik di negara-negara barat adalah antara 1,8 dan 3,2% untuk laki-

5
laki dan antara 2,0 dan 9,3% untuk perempuan. Prevalensi titik gejala-gejala
depresif lebih tinggi, sampai 20%. Risiko seumur hidup pada populasi umum
di negara-negara barat adalah5-12% pada laki-laki dan 9-26% pada perempuan
(Puri, 2011).
Gangguan ini mempunyai insidensi lebih tinggi pada mereka yang tidak
menikah, termasuk mereka yang bercerai atau berpisah. Episode depresif juga
lebih sering ditemukan pada perempuan kelas pekerja daripada perempuan dari
golongan menengah. Gangguan ini juga lebih sering terjadi pada perempuan
sebagai berikut (Puri, 2011).
 Mempunyai tiga atau lebih anak berusia kurang dari 14 tahun yang perlu
dijaga.
 Tidak bekerja di luar rumah.
 Tidak memiliki teman untuk membicarakan, misalnya kurangnya
keintiman.
 Kehilangan ibu sebelum usia 11 tahun karena kematian atau berpisah.
Alasan peningkatan prevalensi episode depresif pada perempuan
dibandingkan laki-laki tidak diketahui, tetapi kemungkinan-kemungkinan
berikut telah diusulkan:
 Perempuan mungkin lebih sering mengaku depresi.
 Depresi dapat tidak terdiagnosis pada laki-laki, yang mungkin lebih sering
mengonsumsi alkohol berlebihan karena depresi sehingga terdiagnosis
menderita gangguan pemakaian zat psikoaktif.
 Perempuan dapat mengalami stress yang berat, seperti akibat kelahiran
anak dan efek-efek hormonal (menarche, sindrom pramenstrual, dan
menopause).

c. Etiologi Depresi
a. Faktor Biologis
Faktor biologis yang dapat menyebabkan terjadinya depresi dapat
dibagi menjadi dua hal yaitu disregulasi biogenik amin dan disregulasi
nuroendokrin. Abnormalitas metabolit biogenik amin yang sering
dijumpai pada depresi yaitu 5-hidroxyendoleacetic acid (5HIAA),

6
homovalinic acid (HVA), 3-methoxy 4-hydrophenylglycol (MHPG),
sebagian besar penelitian melaporkan bahwa penderita gangguan depresi
menunjukkan berbagai macam metabolik biogenik amin pada darah, urin,
dan cairan serebrospinal. Keadaan tersebut mendukung hipotesis
gangguan depresi berhubungan dengan disregulasi biogenik amin. Banyak
studi melaporkan terdapat abnormalitas biologis pada pasien dengan
gangguan mood. Kini neurotransmiter monoamin, seperti norepinefrin,
dopamin, serotonin, dan histamin merupakan fokus teori dan penelitian
tentang etiologi gangguan mood. Adanya pergeseran progresif yang terjadi
pada salah satu sistem neurotransmiter telah memengaruhi sistem
neurobehavioral, sirkuit neural, dan mengganggu mekanisme
neuroregulasi (Sadock et al, 2015). Adapun untuk neurotransmiter yang
memiliki peran dalam terjadinya depresi adalah sebagai berikut :

Gambar 2.1 Sistem neuroendokrin pada pasien depresi

 Norepinefrin
Korelasi adanya penurunan sensitivitas reseptor beta adrenergik
dan respons klinis terhadap antidepresan mungkin adalah salah satu
data yang mengindikasikan adanya peran langsung sistem

7
noradrenergik dalam depresi. Bukti lain juga melibatkan reseptor
beta 2 presinaps dalam depresi karena aktivasi reseptor ini
mengakibatkan penurunan pelepasan norepinefrin. Reseptor beta 2
presinaps terletak di neuron serotonergik dan mengatur jumlah
serotonin yang dilepaskan. Contoh obat antidepresan dengan efek
noradrenergik adalah venlafaxine (Effexor) (Sadock et al, 2015).
 Serotonin
Efek SSRI (selective serotonin reuptake inhibitors), misalnya
fluoxetine (Prozac) bermanfaat bagi depresi. Penurunan serotonin
mungkin memicu depresi dan beberapa pasien dengan dorongan
bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin dalam cairan
serebrospinal sedikit (Sadock et al, 2015).
 Dopamin
Aktivitas dopamin mungkin menurun pada depresi dan
meningkat pada mania. Obat-obatan yang menurunkan konsentrasi
dopamin, misalnya reserpine (Serpasil) dan penyakit yang
menurunkan konsentrasi dopamin, misalnya Parkinson,
berhubungan dengan gejala-gejala depresi. Obat-obatan yang
meningkatkan kosentrasi dopamin, misalnya tyrosine, amphetamine,
dan bupropion (Wellbutrin) menurunkan gejala-gejala depresi
(Sadock et al, 2015).
Dalam kaitannya dengan depresi peran hormon atau endokrin
juga memiliki pean penting, diantaranya sebagai berikut :
 Aksis Tiroid
Sekitar 5 hingga 10 persen pasien depresi memiliki riwayat
disfungsi tiroid yang digambarkan dengan peningkatan kadar
TSH (Sadock et al, 2015).
 Hormon Pertumbuhan
Hormon pertumbuhan disekresikan oleh hipofisis anterior setelah
stimulasi oleh norepinefrin dan dopamin. Sekresi dihambat oleh
somatostatin dan CRH. Penurunan kadar somatostatin dalam

8
cairan serebrospinal ditemukan pada depresi dan peningkatan
kadarnya pada mania (Sadock et al, 2015).
 Prolaktin
Prolaktin dikeluarkan oleh hipofisis karena stimulasi serotonin
dan dihambat oleh dopamin. Penelitian belum menemukan
adanya abnormalitas signifikan sekresi prolaktin pada depresi
(Sadock et al, 2015).
 Sumbu adrenal
Hubungan antara hipersekresi kortisol dan depresi adalah
salah satu pengmatan yang paling tua dalam psikiatri biologi.
Penelitian dasar dan klinis tentang hubungan tersebut telah
menghasilkan penelitian tentang bagaimana pelepasan kortisol
diatur pada orang normal atupun yang mengalami depresi.

Gambar 2.2 Sistem neuroendokrin pada pasien depresi (2)


Neuron di Nukleus Paraventrikuler (PVN) melepaskan
Corticotrophine releasing hormone (CRH) menstimulasi
pelepasan hormon adenocorticotrophine (ACTH) dari hipofisis
anterior. ACTH nantinya akan menstimulasi pelepasan kortisol
dari korteks adrenal. Kortisol akan memberikan umpan balik atau
negative feed back melalui reseptor kortisol di hipokampus

9
sehingga menyebabkan penurunan pelepasan ACTH (Sadock et
al, 2015).
Hipotalamus sebagai pusat regulasi neuroendokrin berperan
dalam respon psikologis terhadap stres juga mempertahankan
sistem limbik saat stres. Corticotrophin-releasing hormone
(CRH) dari hipotalamus akan menstimulasi pelepasan
adrenocorticotrophin hormone (ACTH), yang kemudian akan
mengaktivasi sekresi adrenokortikosteroid. Stres kronik yang
menyebabkan aksis Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA)
teraktivasi dapat menimbulkan perubahan pada input neuron yang
mengandung neurotransmitter amin biogenik. Sistem utama yang
berperan dalam terjadinya depresi yakni sistem CRH dan sistem
locus ceruleus- norepinephrine (LC-NE), serta mediator
periferalnya yakni NE dan kortisol (Olson dkk, 2011).
Sekresi CRH berkaitan dengan paraventricular nucleus
(PVN), dimana terdapat dua jalur CRH-PVN dalam mengaktivasi
neuron noradrenergik di batang otak. Jalur intrahipotalamus
pelepasan CRH berhubungan dengan hormon pertumbuhan dan
aksis reproduksi, sedangkan sistem ekstrahipotalamik CRH di
amygdala berperan dalam regulasi emosi 8 dan rasa takut. Neuron
di PVN mensekresikan CRH, yang kemudian menstimulasi
sintesis dan pelepasan ACTH dari pituitari anterior. ACTH
selanjutnya akan menstimulasi sintesis dan pelepasan
glukokortikoid dari korteks adrenal, dimana glukokortikoid
berperan dalam metabolisme tubuh secara umum serta
mempengaruhi perilaku melalui aksi langsung pada beberapa
region otak (Gold dkk, 2002).
Reseptor glukokortikoid diketahui banyak tersebar di otak.
Aktivasi reseptor glukokortikoid yang terletak di korteks
prefrontalis, hippocampus, amygdala, dan hipotalamus secara
akut akan menghambat aksis HPA. Di sisi lain, aktivasi kronis
dari reseptor glukokortikoid di hippocampus dapat

10
mengakibatkan kerusakan pada neuron hippocampus yang
mengandung reseptor glukokortikoid, yang berpotensi
menyebabkan terjadinya hiperkortikolisme berat dan berujung
pada terjadinya kasus depresi. Selain efek menghambat, aktivasi
reseptor glukokortikoid di nucleus sentral amygdala juga berefek
pada meningkatnya level CRH (Nestler dkk, 2002). Hipersekresi
CRH diketahui merupakan gangguan aksis HPA yang sangat
fundamental pada pasien depresi. Hipersekresi CRH akibat
adanya defek sistem umpan balik cortisol di sistem limbik atau
kelainan pada sistem monoaminogenik dan neuromodulator yang
mengatur CRH juga dapat menyebabkan gangguan pada adrenal,
tiroid, dan aksis hormon pertumbuhan (Kaplan dkk, 2010).
Aktivasi sistem LC-NE, yang mengandung banyak badan sel
noradrenergic, diketahui dapat menstimulasi aksis HPA dan
menghambat fungsi neurovegetatif, seperti makan dan tidur.
Badan sel LC menerima 9 input sensorik dari medullary reticular
formation serta aferen dari korteks prefrontal, amygdala, dan
hipotalamus. LC juga menerima fiber input dari PVN. Semua
input tersebut merupakan input yang berhubungan dengan proses
kognitif, emosional, serta fungsi autonom. Output akan
disalurkan ke region neocortex dan sistem limbik, juga melalui
descending brain stem dan spinal cord (T1 – L2). Pada fase stres,
sistem LC-NE berperan dalam menghambat korteks prefrontal,
sehingga terbentuk respon insting yang cepat terhadap situasi
menekan yang lebih kompleks (Gold, 2002).
Kejadian depresi pada perempuan setelah pubertas diketahui
mengalami peningkatan, dimana perempuan berusia 18 tahun ke
atas mempunyai risiko dua kali lipat lebih besar mengalami
depresi daripada laki-laki seusianya. Fluktuasi hormon pada saat
menstruasi sangat mempengaruhi terjadinya depresi pada
perempuan. Gejala klasik yang timbul pada siklus menstruasi,
yakni iritabilitas, kelelahan, dan emosional yang kurang

11
terkendali atau yang biasa disebut premenstrual syndrome (PMS)
disebabkan oleh adanya penurunan kadar estrogen. Hormon
tersebut mempunyai peranan dalam meningkatkan level serotonin
dan reseptor serotonin di otak. Kadar estrogen yang rendah dapat
berpengaruh pada penurunan serotonin yang berujung pada
ketidakstabilan emosi (Harvard Medical School, 2004).
b. Faktor Genetik
 Penelitian Keluarga
Data keluarga mengindikasikan adanya salah satu orang tua
memiliki gangguan mood, maka anaknya akan memiliki risiko
antara 10 dan 25 persen mengalami gangguan mood. Bila kedua
orang tua memiliki gangguan mood, maka anaknya memiliki risiko
dua kali lipatnya (Sadock et al, 2015).
 Penelitian adopsi
Penelitian adopsi juga telah menghasilkan data yang mendukung
dasar genetika untuk penurunan gangguan mood. Penelitian adopsi
tersebut telah menemukan bahwa anak biologis dari orang tua yang
menderita tetap berada dalam resiko menderita suatu gangguan
mood, bahkan jika mereka dibesarkan dalam keluarga angkat yang
tidak memiliki gangguan (Sadock et al, 2015).
 Penelitan kembar
Penelitian terhadap anak kembar telah menunjukkan bahwa untuk
gangguan pada depresif berat angka kesesuaian pada kembar
monozigotik adalah kira-kira 50 persen. Sebaliknya, angka kesesuaian
pada kembar dizigotik adalah kira-kira10-25% (Sadock et al, 2015).
c. Faktor Psikososial
1) Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan
Peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres lebih sering mendahului
episode pertama gangguaan mood daripada episode selanjutnya.
Bahwa stress yang menyertai episode pertama menyebabkan
perubahan biologi otak yang bertahan lama. Perubahan tersebut dapat
menyebabkan perubahan keadaan fungsional berbagai
neurotransmitter dan sistem pemberi sinyal intraneuronal. Kejadian

12
tersebut, contohnya kehilangan orang tua sebelum usia 11 tahun,
kehilangan pasangan, kehilangan pekerjaan, dan rasa bersalah
(Sadock et al, 2015).
2) Faktor Kepribadian
Tidak ada tipe kepribadian tertentu yang lebih rentan
mengalami depresi. Semua manusia dengan tipe kepribadian apapun
dapat mengalami depresi dalam keadaan tertentu. Orang dengan
gangguan kepribadian tertentu, misalnya OCD, histrionik, dan
borderline mungkin memiliki risiko lebih besar mengalami depresi
daripada orang dengan gangguan kepribadian antisosial atau paranoid
(Sadock et al, 2015).
3) Faktor Psikodinamik
Teori psikodinamik depresi oleh Sigmund Freud terdiri dari 4
poin (Sadock et al, 2015):
 Gangguan hubungan anak-ibu saat fase oral (10-18 bulan pertama
kehidupan.
 Depresi dapat berhubungan dengan kehilangan objek nyata atau
khayalan.
 Mekanisme pertahanan yang digunakan untuk menangani
tekanan terkait kehilangan objek.
 Karena objek yang hilang diberikan rasa cinta dan benci, perasaan
marah diarahkan ke dalam dirinya sendiri.

d. Gambaran Klinis Episode Depresif


Menurut Puri (2011), pada episode depresif terdapat depresi mood dan:
 Hilangnya minat dan kesenangan (dikenal sebagai anhedonia)
 Berkurangnya energi yang akhirnya menyebabkan rasa lelah dan
berkurangnya aktivitas
 Perhatian dan konsentrasi berkurang
 Ide merasa bersalah dan tidak berharga
 Harga diri menurun

13
Akhirnya keadaan ini dapat menyebabkan perasaan tanpa harapan dan
keyakinan bahwa hidup tidak berharga. Akibatnya dapat terjadi pikiran bunuh
diri. Episode depresif sering menyebabkan perubahan somatik atau fisiologis.
Keadaan ini dikenal sebagai gejala-gejala biologis depresi. Berikut adalah
gejala-gejala biologis depresi.
 Penurunan selera makan
 Penurunan berat badan (sedikitnya 5% berat badan dalam sebulan)
 Konstipasi
 Variasi diurnal mood (pasien sering bangun dengan perasaan sangat
depresi lalu meningkat secara bertahap selama seharian hingga keadaan
terbaiknya di malam hari, terjadi berulang berhari-hari)
 Penurunan libido
 Amenore pada perempuan
 Insomnia, tipe-tipe insomnia yang dapat terjadi:
o Insomnia awal (kesulitan bangun dari tidur)
o Tidur terganggu
o Bangun di pagi hari sekurang-kurangnya 2 jam sebelum waktu bangun
biasa, dikenal sebagai bangun pagi lebih dini (early moning
awakening) atau insomnia terminal

e. Pemeriksaan Status Mental


a. Penampilan
Wajah depresif biasanya berupa mata cenderung turun, tepi mulut
turun, dan sering ada alur vertikal antara alis mata. Kontak mata pasien
dengan pewawancara biasanya buruk. Mungkin langsung terlihat terjadi
penurunan berat badan dan mungkin mengalami dehidrasi. Tanda tidak
langsung penurunan berat badan adalah baju tampak terlalu besar. Tanda
perwatan diri yang buruk dan pengabaian umum dapat terlihat dari
penampilan pasien yang tidak rapi dan pakaian kotor (Puri, 2011). Secara
klinis, pasien depresi memiliki postur membungkuk, tidak ada gerakan
spontan, mata tertunduk, dan menghindari pandangan (Sadock et al,
2015).

14
Gambar 2.3 Perempuan Berusia 38 Tahun dalam Depresi Berat (Sadock
et al, 2015)

Gambar 2.4 Perempuan Berusia 38 Tahun Setelah 2 Bulan Pengobatan


(Sadock et al, 2015)

Pada Gambar 2.1 tampak perempuan berusia 38 tahun dalam


kondisi depresi berat. Gambar 2.2 merupakan perempuan yang sama

15
setelah 2 bulan pengobatan, sudah tidak tampak sudut bibir turun, postur
membungkuk, pakaian kusam, dan rambut tidak teratur (Sadock et al,
2015).
Seorang neuropsikiater dari Swiss bernama Otto Veraguth
mendeskripsikan lipatan berbentuk segitiga pada sudut nasal dari kelopak
mata atas. Lipatan ini kadang berhubungan dengan depresi dan disebut
lipatan Veraguth (Sadock et al, 2015).

Gambar 2.5 Lipatan Veraguth (Sadock et al, 2015)

b. Perilaku
Retardasi psikomotor generalisata adalah gejala paling umum
depresi, walaupun agitasi psikomotor juga dapat terlihat, terutama pada
orang tua. Secara klinis, pasien depresi memiliki postur membungkuk,
tidak ada gerakan spontan, mata tertunduk, dan menghindari pandangan
(Sadock et al, 2015).
c. Bicara
Bicara lambat dengan penundaan lama sebelum menjawab
pertanyaan (Puri, 2011). Banyak pasien depresi mengalami penurunan
kecepatan dan volume pembicaraan. Mereka menanggapi pertanyaan
dengan satu kata dan menunjukkan tanggapan terlambat pada pertanyaan-
pertanyaan. Pemeriksa mungkin harus menunggu 2 atau 3 menit untuk
mendapat tanggapan dari sebuah pertanyaan (Sadock et al, 2015).

16
d. Suasana Hati, Afek, dan Perasaan
Depresi adalah gejala utama, walaupun 50 persen pasien
menyangkal perasaan depresi dan tidak tampak depresi. Anggota keluarga
atau teman sekantor kadang membawa atau mengirim pasien-pasien ini
untuk terapi karena menarik diri dari lingkungan sosial dan penurunan
aktivitas secara umum (Sadock et al, 2015).
Suasana hati biasanya rendah dan sedih dengan perasaan tanpa
harapan, masa depan tampak suram. Ansietas, iritabilitas, dan agitasi juga
dapat terjadi. Pasien dapat mengeluh kehabisan energi dan dorongan dan
ketidakmampuan merasakan kenikmata. Pasien kehilangan minat
melakukan aktivitas normal dan hobi-hobinya (Puri, 2011).
e. Pikiran
Pasien depresi memiliki pandangan negatif tentang dunia dan
dirinya sendiri. Isi pikirnya sering mencakup pikiran-pikiran nondelusi,
seperti kehilangan, rasa bersalah, bunuh diri, dan kematian. Sekitar 10
persen dari pasien depresi menunjukkan gejala gangguan pikiran, biasanya
thought blocking dan miskin isi pikir (Sadock et al, 2015).
Pasien berpikiran pesimis mengenai masa lalu, masa sekarang, dan
masa depan. Misalnya, kesalahan kecil di masa lalu, seperti membawa
pensil kantor ke rumah beberapa tahun lalu dapat dibesar-besarkan dan
digunakan sebagai tanda-tanda bahwa pasien jahat dan tidak pantas dengan
status hidupnya saat ini. Pasien dapat menderita waham kemiskinan atau
penyakit. Pikiran bunuh diri dapat terjadi dan sebaiknya dipastikan.
Pikiran melakukan pembunuhan juga dapat terjadi. Misalnya, ibu yang
mengalami depresi menganggap masa depan anaknya sama-sama suram
dan berencana membunuhnya sebelum memutuskan bunuh diri. Demikian
pula laki-laki tua yang mengalami depresi dapat memaksa istrinya untuk
melakukan suatu perjanjian bunuh diri (Puri, 2011).
f. Persepsi
Pada episode depresi berat, halusinasi pendengaran sesuai mood
dapat terjadi. Biasanya berupa orang kedua dan berisi penghinaan.

17
Misalnya, pasien mendengar kalimat seperti “Kamu adalah setan,
manusia penuh dosa” atau “Kamu akan mati” (Puri, 2011).
g. Sensorium dan Kognisi
 Orientasi
Mayoritas pasien depresi memiliki orientasi orang, tempat, dan waktu
yang baik, walaupun beberapa mungkin tidak memiliki energi atau
ketertarikan untuk menjawab pertanyaan terkait hal ini saat ditanya
(Sadock et al, 2015).
 Memori
Konsentrasi buruk dapat menyebabkan pasien berpikir secara salah
bahwa memorinya terganggu. Pada pasien lansia, gejala depresi
mungkin sangat mirip dengan gejala demensia atau pseudodemensia
depresif (Puri, 2011). Sekitar 50 hingga 75 persen seluruh pasien
depresi memiliki gangguan kognitif, kadang disebut sebagai depressive
pseudodementia. Pasien seperti ini biasanya mengeluhkan sulit
berkonsentrasi dan mudah lupa (Sadock et al, 2015).
h. Kontrol Impuls
Sekitar 10 hingga 15 persen seluruh pasien depresi melakukan
bunuh diri dan sekitar dua pertiga memiliki ide bunuh diri. Pasien-pasien
depresi dengan gejala psikotik menunjukkan gejala memikirkan
membunuh orang lain sebagai hasil dari sistem delusi mereka, tetapi
kebanyakan pasien depresi berat kadang tidak memiliki motivasi atau
energi untuk melakukan tindakan impulsif atau kekerasan. Pasien dengan
gangguan depresi memiliki risiko tinggi bunuh diri ketika mereka mulai
meningkat dan mendapat energi untuk merencanakan dan melakukan
bunuh diri (paradoxical suicide) (Sadock et al, 2015).
i. Penilaian dan Tilikan
Tingkah laku pasien pada masa lalu dan saat dianamnesis dinilai.
Deskripsi pasien depresi biasanya hiperbola, mereka melebih-lebihkan
gejala, gangguannya, dan masalah hidupnya, sehingga sulit untuk
meyakinkan pasien bahwa masih mungkin terjadi perbaikan (Sadock et al,
2015).

18
j. Reliabilitas
Pada percakapan, pasien depresi melebih-lebihkan bagian buruk
dan meminimalisasi bagian baik. Langsung memercayai pasien depresi
bahwa obat antidepresan yang diberikan tidak bekerja merupakan sebuah
kesalahan. Pernyataan tersebut mungkin tidak benar dan membutuhkan
konfirmasi dari sumber lain (Sadock et al, 2015).
k. Skala Penilaian Depresi
Skala penilaian depresi dapat berguna pada praktik klinik untuk
mendokumentasikan keadaan klinis pasien. Ada tiga skala penilaian
depresi yang dapat digunakan.
 Zung
Zung Self-Rating Depression Scale memiliki 20 poin. Nilai normal
adalah 34 atau kurang, nilai depresi adalah 50 atau lebih. Skala
penilaiannya ini dapat menilai indeks global dari intensitas gejala-
gejala depresi pasien, termasuk ekspresi afek depresi.
 Raskin
Raskin Depression Scale merupakan skala penilaian yang mengukur
keparahan depresi pasien sesuai yang dinyatakan pasien dan dilihat oleh
dokter, menggunakan 5 poin dari 3 dimensi: verbal report, displayed
behavior, dan secondary symptoms.
 Hamilton
Hamilton Rating Scale for Depression (HAM-D) digunakan secara luas
dengan 24 poin. Setiap poin memiliki rentang nilai 0 hingga 4 atau 0
hingga 2, dengan nilai total 0 hingga 76. Dokter mengevaluasi jawaban-
jawaban pasien tentang perasaan bersalah, pikiran bunuh diri, kebiasaan
tidur, dan gejala-gejala lain depresi, dan nilai dihasilkan dari
wawancara klinis.

f. Kriteria Diagnosis Episode Depresif


Berikut adalah pedoman diagnostik F32 Episode Depresif (Maslim, 2013).

19
 Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat):
 Afek depresif,
 Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
 Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan
menurunnya aktivitas.
 Gejala lainnya:
(a) Konsentrasi dan perhatian berkurang;
(b) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang;
(c) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna;
(d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis;
(e) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri;
(f) Tidur terganggu;
(g) Nafsu makan berkurang.
 Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan
masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan
tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa
beratnya dan berlangsung cepat.
 Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1), dan
berat (F32.2) hanya digunakan untuk episode depresi tunggal (yang
pertama). Episode depresif berikutnya harus diklasifikasi di bawah salah
satu diagnosis gangguan depresif berulang (F33.-).

F32.- Episode depresif terbagi menjadi sebagai berikut.


 F32.0 Episode Depresif Ringan
 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
tersebut di atas.
 Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya : (a) sampai dengan
(g).
 Tidak boleh ada gejala yang berat di antaranya.
 Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu.

20
 Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya.
 F32.1 Episode Depresif Sedang
 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
pada episode depresi ringan (F30.0).
 Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya.
 Lamanya seluruh episode berlangsung minimun sekitar 2 minggu.
 Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan, dan urusan rumah tangga.
 F32.2 Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik
 Semua 3 gejala utama depresi harus ada.
 Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa di
antaranya harus berintensitas berat.
 Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor)
yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu
untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci.
Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode
depresif berat masih dapat dibenarkan.
 Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2
minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat,
maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun
waktu kurang dari 2 minggu.
 Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat
terbatas.
 F32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik
 Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2 tersebut
di atas.
 Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam, dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu.
Halusinasi auditorik atau olfatorik biasanya berupa suara yang

21
menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk.
Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor.
Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi
atau tidak serasi dengan afek (mood-congruent).
 F32.8 Episode Depresif Lainnya
 F32.9 Episode Depresif YTT

g. Diagnosis Banding Episode Depresif


Gangguan organik dan gangguan pemakaian zat psikoaktif harus
disingkirkan sebelum membuat diagnosis episode depresif. Gejala-gejala
negatif dan stadium dini skizofrenia simpel mungkin sulit dibedakan dengan
depresi. Pada kasus demikian, gejala-gejala lain depresi, seperti gejala-gejala
biologis, harus diperiksa secara cermat. Terlebih lagi, depresi sendiri dapat
merupakan gejala skizofrenia, baik pada fase akut maupun setelah suatu
episode penyakit skizofrenia (depresi pascaskizofrenia) (Puri, 2011).

h. Penanganan Episode Depresif


a. Hospitalisasi (Rawat Inap)
Episode depresif yang kurang berat dapat ditangani oleh dokter
umum di masyarakat atau oleh ahli psikiatri di klinik rawat jalan. Namun
pasien yang mengalami episode berat harus dirawat di rumah sakit.
Tindakan ini mungkin perlu diwajibkan jika terdapat gambaran berat yang
mengancam nyawa, seperti adanya risiko bunuh diri atau asupan makanan
dan buah-buahan buruk (Puri, 2011). Selain itu, indikasi perawatan di
Rumah Sakit yaitu untuk prosedur diagnostik atau pmeriksan penunjang
bagi pasien yang belum tegak diagnosisnya. Bagi pasien yang memiliki
riwayat perkembangan gejala dengan cepat dn hancurnya sistem
pendukung pasien juga merupakan indikasi untuk peaatn di Rumah Sakit
(Sadock, 2015).

I. Anti Depresan

22
Antidepresan terutama digunakan untuk mengobati depresi,

gangguan obsesifkompulsif, gangguan ansietas menyeluruh, gangguan

panik, gangguan fobik dan pada kasus tertentu, enuresis nokturnal

(antidepresn trisiklik) dan bulimia nervosa (fluoxetine). Penggolongan obat

antidepresan yaitu sebagai berikut (Gunawan SG, 2007) :

Golongan obat Contoh Obat

Selective Serotonin Re-uptake Citalopram


Inhibitor (SSRI) Escitalopram
Fluoxetine
Fuvaxamine
Paroxtine
Sertaline

Serotonin/Norepinephrine Dulaxetine
Reuptake Inhibitor Venlavaxine
Tricyclic Antidepressants Amitriptilyne
Amoxapine
Dexipramine
Doxapine
Monoamine Oxidase Inhibitors Pheneizine

(MAOI) Selegiline

Tranylcypramine

Pengaruh antidepressan pada neurotransmitter biogenik amin memiliki

mekanisme yang berbeda pada setiap golongan antidepressan. Terapi jangka

panjang dengan obat-obat tersebut telah membuktikan pengurangan reuptake

norepinephrine atau serotonin atau keduanya, penurunan jumlah reseptor beta

pascasinaptik, dan berkurangnya pembentukan cAMP (Hollister LE, 1998).

23
Gambar 2.6 Tempat kerja obat antidepesan
a. Tiga Fase Pengobatan Gangguan Depresif

Saat merencanakan intervensi pengobatan, penting untuk menekankan

kepada penderita bahwa ada beberapa fase pengobatan sesuai dengan

perjalanan gangguan depresif (Hollister LE, 1998):

a. Fase akut bertujuan untuk meredakan gejala

b. Fase kelanjutan untuk mencegah relaps

c. Fase pemeliharaan/rumatan untuk mencegah rekuren

Di pelayanan kesehatan primer, obat anti depresan yang tersedia biasanya

golongan trisiklik. Meskipun antidepresan trisiklik sampai saat ini merupakan obat

24
antidepresan yang paling banyak digunakan, tetapi penggunaannya masih belum

optimal karena kemampuan diagnostik dari pelayanan kesehatan primer belum

ditingkatkan juga belum berperannya konselor apoteker. Dari hasil penelitian

ternyata dosis yang digunakan masih terlalu rendah. Akibatnya, efek terapi yang

ingin dihasilkan tidak tercapai (Sadock, 2015).

Efek samping antidepresan trisiklik cukup banyak, tetapi hal ini tidak

menghalangi penggunaannya, karena obat ini telah terbukti efektif dalam

mengobati depresi. Dengan memberikan obat ini sebagai dosis tunggal pada malam

hari, dan melakukan titrasi peningkatan dosis, maka efek samping yang

mengganggu sedikit banyak akan dapat diatasi (Richard F, 2009). Antidepresan

baru terlihat efeknya dalam 4 sampai 12 minggu, sebelum ia mengurangi atau

menghapus gejala-gejala gangguan depresif meski hasilnya dirasakan sudah

membuat perbaikan dalam 2 sampai 3 minggu. Selama masa ini efek samping akan

terasa. Banyak efek samping bersifat sementara dan akan menghilang ketika obat

diteruskan, dan beberapa efek samping menetap seperti mulut kering, konstipasi

dan efek seksual. Orang berusia lanjut perlu mendapatkan perhatian atas daya

absorbsi dan kepekaannya terhadap efek obat. Monitor obat dan gejala perlu lebih

cermat (Richard F, 2009).

b. Mekanisme Kerja

25
Gambar 2.7 Mekanisme kerja trisiklik

Tricyclic antidepressants (TCAs) adalah sekelompok obat yang digunakan


untuk mengobati gangguan ektif, atau 'mood'. Mekanisme Aksi obat TCA adalah
mereka menghambat reuptake amina biogenik yaitu amina kebanyakan
Norephinefrin (NE) dan Serotonin (5HT) ke dalam neuron pra sinaptik, ketika ada
neurotransmisi terjadi antara neuron Pra dan Pasca-sinaptik. Mayoritas TCA
bertindak terutama sebagai SNRI dengan memblokir transporter serotonin (SERT)
dan transporter norepinefrin (NET), yang menghasilkan peningkatan konsentrasi
sinaptik dari neurotransmitter ini, dan oleh karena itu peningkatan transmisi
neurotransmisi. Khususnya, dengan pengecualian tunggal amineptine, TCA
memiliki afinitas yang dapat diabaikan untuk transporter dopamin (DAT), dan
karenanya tidak memiliki kemanjuran sebagai inhibitor reuptake dopamin (DRI).
Baik serotonin dan norepinefrin telah sangat terlibat dalam depresi dan kecemasan,
dan telah ditunjukkan bahwa fasilitasi aktivitas mereka memiliki efek
menguntungkan pada gangguan mental ini. Meskipun merupakan kelompok obat
antidepresan penting, mereka memiliki sejumlah efek samping yang tidak
diinginkan, yang meliputi hipotensi postural, karena blokade reseptor adreno;
sedasi, yang disebabkan oleh blokade reseptor histamin H1; dan mulut kering,
sembelit dan penglihatan kabur karena blokade reseptor asetilkolin muskarinik
(Kamarapu, 2018).

26
TCA berdasarkan struktur kimianya memiliki ciri sebagai berikut
(Kamarapu, 2018):
 TCA pada dasarnya terdiri dari tiga cincin di mana cincin Pusat
7 beranggota yang dihubungkan oleh 2 cincin benzen. Amina
primer atau tersier melekat pada cincin tengah.
 Substitusi gugus Halogen atau gugus Cyano yaitu gugus CN ke
atom karbon 3 posisi akan menyebabkan peningkatan potensi
obat yang meningkat dengan meningkatnya elektronegatif atom
yaitu F> Cl> Br> I.
 Pergantian kelompok Dimethyl atau kelompok keto pada posisi
C10 akan mengarah pada lebih efektifnya obat TCA.
 Pergantian atom Nitrogen dengan Propylene Bridge di tengah
cincin akan mengarah pada potensi maksimum obat sementara
aktivitas akan tetap ada jika ada penggantian atom Nitrogen
Heterosiklik dengan atom Karbon.
 Pengenalan ikatan rangkap antara C10 dan C11 akan
meningkatkan efektivitas terapi obat.
 Metil amino metil lebih kuat daripada metil Di amino karena
hambatan stearat seperti yang ditunjukkan di bawah ini dalam
kasus Imipramine dan Desimpramine
SSRI hanya memblokade reuptake dari serotonin. MAOI menghambat
pengrusakan serotonin pada sinaps. Mianserin dan mirtazapin memblokade
reseptor alfa 2 presinaps. Setiap mekanisme kerja dari antidepresan melibatkan
modulasi pre atau post sinaps atau disebut respon elektrofisiologis.

c. Cara Penggunaan

Umumnya bersifat oral, sebagian besar bisa diberikan sekali sehari dan

mengalami proses first-pass metabolism di hepar. Respon anti-depresan jarang

timbul dalam waktu kurang dari 2-6 minggu. Untuk sindroma depresi ringan dan

sedang, pemilihan obat sebaiknya mengikuti urutan:

27
a. Langkah 1 : golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)

b. Langkah 2 : golongan tetrasiklik (TCA)

c. Langkah 3 :golongan tetrasiklik, atypical, MAOI (Mono Amin Oxydase

Inhibitor) reversibel.

Pertama-tama menggunakan golongan SSRI yang efek sampingnya

sangat minimal (meningkatkan kepatuhan minum obat, bisa digunakan pada

berbagai kondisi medik), spectrum efek anti-depresi luas, dan gejala putus obat

minimal, serta “lethal dose” yang tinggi (>6000 mg) sehingga relatif aman

(Elvira, 2010).

Bila telah diberikan dengan dosis yang adekuat dalam jangka waktu yang

cukup (sekitar 3 bulan) tidak efektif, dapat beralih ke pilihan kedua, golongan

trisiklik, yang spektrum anti depresinya juga luas tetapi efek sampingnya relatif

lebih berat. Bila pilihan kedua belum berhasil, dapat beralih ketiga dengan

28
spectrum anti depresi yang lebih sempit, dan juga efek samping lebih ringan

dibandingkan trisiklik, yang teringan adalah golongan MAOI. Disamping itu

juga dipertimbangkan bahwa pergantian SSRI ke MAOI membutuhkan waktu

2-4 minggu istirahat untuk “washout period” guna mencegah timbulnya

“serotonin malignant syndrome”. Pemberian Dosis Dalam pengaturan dosis

perlu mempertimbangkan: onset efek primer (efek klinis) :

a. sekitar 2-4 minggu

b. efek sekunder (efek samping) : sekitar 12-24 jam

c. waktu paruh : 12-48 jam (pemberian 1-2 kali perhari).

Ada lima proses dalam pengaturan dosis, yaitu:

a) Initiating Dosage (dosis anjuran), untuk mencapai dosis anjuran selama

minggu I. Misalnya amytriptylin 25 mg/hari pada hari I dan II, 50

mg/hari pada hari III dan IV, 100 mg/hari pada hari V dan VI.

b) Titrating Dosage (dosis optimal), dimulai pada dosis anjuran sampai

dosis efektif kemudian menjadi dosis optimal. Misalnya amytriptylin

150 mg/hari selama 7 sampai 15 hari (miggu II), kemudian minggu III

200 mg/hari dan minggu IV 300 mg/hari.

c) Stabilizing Dosage (dosis stabil), dosis optimal dipertahankan selama

2-3 bulan. Misalnya amytriptylin 300 mg/hari (dosis optimal) kemudian

diturunkan sampai dosis pemeliharaan.

d) Maintining Dosage (dosis pemeliharaan), selama 3-6 bulan. Biasanya

dosis pemeliharaan ½ dosis optimal. Misalnya amytriptylin 150

mg/hari.

29
e) Tappering Dosage (dosis penurunan), selama 1 bulan. Kebalikan dari

initiating dosage. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari à 100 mg/hari

selama 1 minggu, 100 mg/hari à 75 mg/hari selama 1 minggu, 75

mg/hari 50 mg/hari selama 1 minggu, 50 mg/hari à 25 mg/hari selama

1 minggu.

Dengan demikian obat anti depresan dapat diberhentikan total. Kalau

kemudian sindrom depresi kambuh lagi, proses dimulai lagi dari awal dan

seterusnya. Pada dosis pemeliharaan dianjurkan dosis tunggal pada malam hari

(single dose one hour before sleep), untuk golongan trisiklik dan tetrasiklik. Untuk

golongan SSRI diberikan dosis tunggal pada pagi hari setelah sarapan. Pemberian

obat anti depresi dapat dilakukan dalam jangka panjang oleh karena “addiction

potential”-nya sangat minimal (Elvira, 2010).

30
d. Indikasi

Obat antidepresan ditujukan kepada penderita depresi dan kadang berguna

juga pada penderita ansietas fobia, obsesif-kompulsif, dan mencegah kekambuhan

depresi.

e. Efek Samping

Trisklik dan MAOI : antikolinergik(mulut kering, retensi urin, penglihatan

kabur, konstipasi, sinus takikardi) dan antiadrenergik (perubahan EKG, hipotensi.

SSRI : nausea, sakit kepala MAOI : interaksi tiramin

Jika pemberian telah mencapai dosis toksik timbul atropine toxic syndrome

dengan gejala eksitasi SSP, hiperpireksia, hipertensi, konvulsi, delirium, confusion

dan disorientasi. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasinya:

a. Gastric lavage

31
b. Diazepam 10 mg IM untuk mengatasi konvulsi

f. Kegagalan Terapi

Kegagalan terapi pada umumnya disebabkan: Kepatuhan pasien

menggunakan obat (compliance), yang dapat hilang oleh karena (Elvira, 2010):

a. danya efek samping, perlu diberikan edukasi dan informasi Pengaturan

dosis obat belum adekuat

b. Tidak cukup lama mempertahankan pada dosis minimal

c. Dalam menilai efek obat terpengaruh oleh presepsi pasien yang tendensi

negative, sehingga penilaian menjadi “bias”.

J. Terapi Elektrokonvulsif (ECT)


ECT kebanyakan disiapkan untuk kasus depresi resisten yang tidak
memberikan respons terhadap farmakoterapi. ECT dapat digunakan
sebagai pengobatan lini pertama pada keadaan-keadaan berikut ini (Puri,
2011). Indikasi erapi ECT bagi pasien depresi adalah sebagai berikut :
a. Depresi dengan kecenderungan bunuh diri
b. Gangguan bipolar-depesi
c. Asupan cairan yang sangat rendah yang menyebabkan
oligouria
d. Stupor depresif
e. Ketika diperlukan response pat, misalnya pada psikosis depresif
puuerperalis
Terapi electroconvulsive memiliki berbagai efek pada fitur
neurobiologis dari depresi. Model aksi antidepresannya termasuk regulasi
di sirkuit kortiko-limbik pasien yang mengalami depresi yang
mempengaruhi struktur dan fungsi otak regional.
Mekanisme neurobiologis yang relevan terkait dengan efek
antidepresan ECT terdiri dari efek pada 1) sistem neurotransmitter
penghambat serta neurotransmiter monoamina, 2) jalur endokrinologis dan
3) neurogenesis.

32
Gambar 2.8 ECT dan TMS
Model awal patofisiologi yang mendasari ECT dan mekanisme
kerjanya yang disarankan adalah "hipotesis antikonvulsif" dengan
peningkatan penipisan γ-aminobutyric-acid (GABA) dalam jaringan
kortikal. Peningkatan kompensasi dalam fungsi neurotransmisi
penghambat (yaitu, GABA) di sirkuit otak seharusnya bertanggung jawab
atas sifat antidepresan dan antikonvulsif ECT (Sackeim et al., 1983).
Peningkatan yang signifikan dalam konsentrasi korteks-GABA oksipital
diukur dengan menggunakan spektroskopi resonansi magnetik proton
(MRS) setelah pengobatan ECT untuk gangguan depresi (Sanacora et al.,
2003) telah mendukung hipotesis ini. Ini baru-baru ini diterjemahkan ke
dalam model hewan ECT yang menunjukkan peningkatan rasio Glu /
GABA di hippocampus dan korteks prefrontal dari tikus yang tak berdaya
yang dipelajari dengan plasebo yang diobati dengan plasebo dibandingkan
tikus tipe liar, dan dipicu oleh terapi (desipramine 10 mg / kg secara
intraperitoneal atau kejutan listrik) penurunan rasio monoamine ini di
kedua daerah otak (Sartorius et al., 2007).
Sistem neurotransmitter monoamine, seperti norepinefrin,
serotonin, dan dopamin (Mann, 1998) telah dibahas sebagai mediator yang
memungkinkan untuk respons pengobatan pada ECT. Selain itu, ECT
meningkatkan fungsi reseptor serotonergik, terutama kepekaan reseptor 5-
HT1A dan mengubah rangsangan motorik (Bajbouj et al., 2006). Syok
electroconvulsive berulang (ECS) pada hewan normal meningkatkan
striatal dopamine (DA) D (1) dan D (3) mengikat reseptor (Strome et al.,

33
2007). Jumlah reseptor α2 dalam neuron noradrenergik di lokus coeruleus
telah dilaporkan berkurang oleh ECS tunggal. Sejumlah penelitian
menunjukkan bahwa perubahan kadar dopamin dan reseptor dopamin di
otak dikaitkan dengan kemanjuran pengobatan pada ECT. Baru-baru ini,
dalam sampel kecil pasien depresi yang resisten terhadap pengobatan
dampak dari dua polimorfisme fungsional, gen reseptor dopamin 2
(DRD2) C957T (rs6277) dikombinasikan dengan gen katekol-o-
metiltransferase (COMT) Val158Met (rs4680) diselidiki dengan
memperhatikan untuk tanggapan pengobatan ECT (Huuhka et al., 2008).
Enzim COMT dalam korteks prefrontal adalah enzim utama yang
memetabolisme dopamin dan mengandung polimorfisme fungsional
Val158Met. Polimorfisme COMT juga telah dikaitkan dengan respons
pengobatan terhadap beberapa antidepresan (Szegedi et al., 2005). Val
allele memiliki aktivitas enzim yang lebih tinggi daripada Met allele,
sehingga Met / Met pembawa genotipe memiliki tingkat dopamin yang
lebih tinggi di korteks prefrontal (Chen et al., 2004). Aktivitas
dopaminergik yang lebih rendah dapat meningkatkan risiko depresi
(Dunlop dan Nemeroff, 2007). Penelitian (Huuhka et al., 2008)
menunjukkan bahwa pasien (Huuhka et al., 2008) dengan genotipe CC dari
DRD2 C957T yang dikombinasikan dengan COMT Val / Val genotipe
secara signifikan lebih sering mencapai remisi; dengan demikian genotipe
memodifikasi respons terhadap ECT. Hasil awal mereka menunjukkan
bahwa pada pasien dengan aktivitas dopamin rendah di sirkuit otak, beban
dopamin ekstra ECT dapat menghasilkan kadar dopamin yang lebih baik
dan mungkin dalam respons pengobatan yang lebih baik.
Selain itu, ECT mungkin bukan hanya terapi antidepresan akut
yang paling manjur tetapi juga merupakan pendekatan terapeutik dengan
efek yang paling mendalam pada mekanisme neuroplastisitas (Malberg et
al., 2000). Struktur saraf dan neurogenesis dipengaruhi; Penelitian pada
hewan telah menunjukkan peningkatan faktor neurotropik dan proliferasi
sel (Perera et al., 2007), lebih tepatnya, guncangan electroconvulsive
(ECS) secara kuat meningkatkan proliferasi sel prekursor di zona

34
subgranular (SGZ) dari dentate gyrus di monyet hippocampus. Lebih
lanjut, peningkatan metabolisme pada ACC subgenual kiri dan
hippocampus sebagai fungsi respon antidepresan dan peningkatan
metabolisme hippocampal kiri sebagai fungsi efek antipsikotik
ditunjukkan dalam studi PET (McCormick et al., 2007).
Keterlibatan ECT dalam sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal
(HPA) telah ditunjukkan, menormalkan hasil uji penekan deksametason
yang mungkin berkontribusi pada tindakan antidepresan ECT. Pemulihan
dari kelainan aksis HPA terjadi dengan respons klinis pada pasien depresi
terhadap pengobatan ECT (Kunugi et al., 2006). Seymour Kety
menggambarkan ECT sebagai pendekatan terapi yang "melibatkan
pelepasan besar-besaran di area luas otak, aktivasi sistem saraf otonom
perifer, pelepasan sekresi banyak kelenjar endokrin". Meskipun jelas
mudah untuk menemukan efek, dia dengan jelas dan tepat menyoroti
kesulitan dalam penelitian efek neurobiologis yang dipicu ECT: “...
Kesulitannya bukan pada mendemonstrasikan perubahan seperti itu tetapi
dalam membedakan perubahan mana yang mungkin terkait dengan
antidepresif penting dan efek amnesik dan yang sangat tidak relevan
dengan ini” (Kety, 1974).
ECT menghasilkan lonjakan akut katekolamin plasma, hormon
pertumbuhan (Whalley et al., 1987), oksitosin (Devanand et al., 1998) dan
prolaktin (Lisanby et al., 1998). Lonjakan prolaktin akut berkurang ketika
ECT kanan unilateral (RUL) diberikan dengan dosis yang jarang di atas
ambang kejang dan karena itu tidak efektif dalam bentuknya, namun
besarnya lonjakan ini juga ditemukan tidak terkait dengan hasil klinis
(Lisanby et al., 1998). Penurunan akut dalam GABA plasma diamati
(Devanand et al., 1995). Sejauh ini, tidak ada perubahan biokimia akut ini
yang dikaitkan dengan kemanjuran.
Efek ECT pada kadar serum ghrelin, leptin dan kolesterol sebelum
dan 2 hari setelah ECT menunjukkan peningkatan total kolesterol serum
pada pasien depresi tetapi tidak pada pasien bipolar, serta penurunan kadar
ghrelin dan kadar leptin yang tidak berubah (Kurt et al., 2007). Perubahan

35
metabolisme glukosa otak di daerah frontal anterior dan posterior bilateral
dan induksi penurunan aliran darah otak (CBF) di cingulate dan
meninggalkan korteks frontal dorsolateral yang ditimbulkan oleh kejang
telah dijelaskan (Schmidt et al., 2008). Tingkat deaktivasi frontal
prefrontal dan medial segera setelah ECT berkorelasi dengan perbaikan
klinis kemudian, dan bertahan sampai 2 bulan setelah ECT (Nobler et al.,
2001).
I. Psychosurgery
Bila semua pengobatan lain gaga, pilihan ekstrem psychosurgery
dapat dipertimbangkan pada depresi yang membuat cacat kronik berat
(Puri, 211).
II. Psikoterapi
Beberapa jenis psikoterapi tersedia bagi pasien depresif ringan atau
sedang atau bagi pasien yang telah sembuh dari episode depresif berat.
Terapi tersebut meliputi: terapi kognitif berupa pengajaran agar pasien
dapat menghadapi kognisi depresif personal; terapi kelompok; psikoterapi
psikoanalisis; dan pada kasus masalah keluarga atau perkawinan, terapi
keluarga dan terapi marital. Semua terapi dapat digunakan bersama
farmakoterapi (Puri, 2011). Psikoterapi yang dapat digunakan dapat
berupa Cogntive Behavior Theraphy (CBT) yaitu membantu mengubah
pola pikiran negative dan kebiasan pasien yang berhubungan dengan
gangguan depresinya dengan mengajaarkan bagaimana menghindari
kebiasaan yang berhubungan dengan penyakitnya. Keberhasilan terapi ini
dengan berubahya pola pikiran negatif pasien. Interpersonal Teraphy
(IPT) berfokus terhadap hubun gan pribadi pasien terhadap orang lain
yaitu terapi mengajarkan berinteraksi dengan orang lain dan lebih peduli
terhadap orang lain serta diri sendiri. Pada psikoeduasi pasien diajarkan
tentang bagaimana penyakitanya, cara pengobatannya, tnda dan gejala
kemungkinan kambuh kembali, dan memberia tahu pasien pentingny
untuk pengobatan sebelum enyakit kambuh lagi atau membruk (Ninaprilia,
2015).

36
III. Peningkatan Aktivitas dan Kontak Sosial
Pasien depresi harus disemangati secara bertahap untuk
meningkatkan aktivitass sosial dan kerja. Bertemu orang lain dan
mengembangkan hubungan yang penuh percaya diri mempunyai fungsi
proteksi dalam mencegah kekambuhan. Terapi okupasi akan berguna dan
memungkinkan pasien depresif di rumah sakit belajar menyesuaikan diri
dengan keterampilan hidup seperti memasak (Puri, 2011).

g. Prognosis Episode Depresif


Prognosis episode depresif berbeda-beda tetapi pada umumnya
semakin lama semakin baik. Risiko kekambuhan berkurang jika obat
antidepresan diteruskan selama 6 bulan setelah akhir episode depresif. Secara
keseluruhan terdapat angka bunuh diri sekitar 7%.

III. KESIMPULAN

1. Gangguan depresi adalah gangguan mood yang ditandai dengan adanya


kesedihan, perasaan kosong, atau perasaan irritable, bersama dengan
perubahan somatik dan kognitif yang secara signifikan memengaruhi kapasitas
individu untuk berfungsi.
2. Episode depresif lebih sering pada perempuan. Usia awitan rata-rata sekitar
usia akhir 30 tahun, tetapi dapat mulai terjadi pada usia berapapun dari masa
anak-anak dan seterusnya.
3. Etiologi depresi terdiri dari faktor biologis dan faktor psikososial. Faktor
biologis terdiri dari neurotransmiter (norepinefrin, serotonin, dan dopamin),
regulasi hormon (TSH, GH, dan prolaktin), dan faktor genetik. Faktor
psikososial terdiri dari kejadian hidup dan tekanan lingkungan, faktor
kepribadian, dan faktor psikodinamik.
4. Gejala utama episode depresif adalah afek depresif, kehilangan minat dan
kegembiraan, dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan
mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya
aktivitas.

37
5. Episode depresif terbagi menjadi F32.0 Episode Depresif Ringan, F32.1
Episode Depresif Sedang, F32.2 Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik,
F32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik, F32.8 Episode Depresif
Lainnya, dan F32.9 Episode Depresif YTT.
6. Penanganan episode depresif dapat dengan hospitalisasi (rawat inap),
farmakoterapi (antidepresan), terapi elektrokonvulsif (ECT), psychosurgery,
psikoterapi, dan peningkatan aktivitas dan kontak sosial.
7. Prognosis episode depresif berbeda-beda tetapi pada umumnya semakin lama
semakin baik. Risiko kekambuhan berkurang jika obat antidepresan diteruskan
selama 6 bulan setelah akhir episode depresif.

DAFTAR PUSTAKA

Akiskal, H.S. 2017. Mood Disorders: Historical Introduction and Conceptual


Overview. Pp. 4099-4139. In: Sadock, B.J., V.A. Sadock, P. Ruiz.

38
Kaplan and Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. Tenth
Edition. Volume I. Philadelphia: Wolters Kluwer.

American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorders. Fifth Edition. Washington: American Psychiatric
Association.

Bolwig, T. G. (2011). How does electroconvulsive therapy work? Theories on


its mechanism. The Canadian Journal of Psychiatry, 56(1), 13-18.

Boyce, P., & Judd, F. (1999). The place for the tricyclic antidepressants in the
treatment of depression. Australian & New Zealand Journal of
Psychiatry, 33(3), 323-327.

Elvira SD, Hadisukanto G. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
2010. hal. 356-60.

Goldstein, J. M., Holsen, L., Cherkerzian, S., Misra, M., &


Handra, R. J. (2017). NEUROENDOCRINE MECHANISMS OF
DEPRESSION. Charney & Nestler's Neurobiology of Mental Illness,
365.
Gunawan SG, Setabudy R, Nafrialdi, dan Elysabeth. Farmakologi dan terapi.
Edisi kelima. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.
2007. hal. 171-7

Hollister LE. Obat antidepresan. Dalam: Farmakologi dasar dan klinik. Katzung
BG. Edisi ke-enam.1998. Jakarta: EGC. hal. 467-77.

Ishihara, K., & Sasa, M. (1999). Mechanism underlying the therapeutic effects
of electroconvulsive therapy (ECT) on depression. The Japanese
Journal of Pharmacology, 80(3), 185-189.

Koenig, A. M., & Thase, M. E. (2009). First-line pharmacotherapies for


depression-what is the best choice. Pol Arch Med Wewn, 119(7-8), 478-
486.

Maslim, R. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan


DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya.

39
Merkl, A., Heuser, I., & Bajbouj, M. (2009). Antidepressant electroconvulsive
therapy: mechanism of action, recent advances and
limitations. Experimental neurology, 219(1), 20-26.

Nikkheslat, N., Pariante, C. M., & Zunszain, P. A. (2018). Neuroendocrine


Abnormalities in Major Depression: An Insight Into Glucocorticoids,
Cytokines, and the Kynurenine Pathway. In Inflammation and
Immunity in Depression (pp. 45-60). Academic Press.

Pagnin, D., de Queiroz, V., Pini, S., & Cassano, G. B. (2004). Efficacy of ECT
in depression: a meta-analytic review. The journal of ECT, 20(1), 13-
20.

Puri, B.K., P.J. Laking, I.H. Treasaden. 2002. Buku Ajar Psikiatri Edisi 2.
Terjemahan oleh W.N Roan dan H. Hartanto. 2011. Jakarta: EGC.

Richard F, Michelle C, and Luigi C. Antidepressants; in Lippincott's Illustrated


Reviews: Pharmacology. Harvey AR and Champe PC. 4th Edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2009. p. 142-50.

Sadock, B.J., V.A. Sadock, P. Ruiz. 2015. Kaplan and Sadock’s Synopsis of
Psychiatry Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. Eleventh Edition.
Philadelphia: Wolters Kluwer.

40

Anda mungkin juga menyukai