Anda di halaman 1dari 20

BAB II

PEMBAHASAN

1. Epidural Hematoma
A. Definisi
Epidural hematoma adalah perdarahan akut pada lokasi epidural.
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri meningea
media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan
antara duramater dan tulang di permukaan dalam os temporale. Perdarahan yang
terjadi menimbulkan epidural hematoma. Desakan oleh hematom akan
melepaskan duramater lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom
bertambah besar.1,3
Hematoma epidural (EDH) merupakan kumpulan darah di antara
duramater dan tabula interna karena traumz. Pada penderita traumatic
hematoma epidural, 85-96% disertai fraktur pada lokasi yang sama. Perdarahan
berasal dari pembuluh darah -pembuluh darah di dekat lokasi fraktur. Sebagian
besar hematoma epidural (EDH) (70-80%) berlokasi di daerah temporoparietal,
di mana bila biasanya terjadi fraktur calvaria yang berakibat robeknya arteri
meningea media atau cabang-cabangnya, sedangkan 10% EDH berlokasi di
frontal maupun oksipital. Volume EDH biasanya stabil, mencapai volume
maksimum hanya beberapa menit setelah trauma, tetapi pada 9% penderita
ditemukan progresifitas perdarahan sampai 24 jam pertama 8,15,16
B. Etiologi
Epidural hematom utamanya disebabkan oleh gangguan struktur
duramater dan pembuluh darah kepala biasanya karena fraktur.Akibat trauma
kapitis,tengkorak retak.Fraktur yang paling ringan, ialah fraktur linear.Jika gaya
destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang berupa bintang (stelatum),
atau fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya menusuk ke dalam
ataupun fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak
(laserasio).Pada pendarahan epidural yang terjadi ketika pecahnya pembuluh
darah, biasanya arteri, yang kemudian mengalir ke dalam ruang antara
duramater dan tengkorak.

1
Hematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa
saja, beberapa keadaan yang bisa menyebabkan epidural hematom adalah
misalnya benturan pada kepala pada kecelakaan motor. Hematoma epidural
terjadi akibat trauma kepala, yang biasanya berhubungan dengan fraktur
tulang tengkorak dan laserasi pembuluh darah.(2,9)
Pada keadaan yang normal, sebenarnya tidak ada ruang epidural pada
kranium. Dura melekat pada kranium. Perdarahan biasanya terjadi dengan
fraktur tengkorak bagian temporal parietal yang mana terjadi laserasi pada
arteri atau vena meningea media. Pada kasus yang jarang, pembuluh darah ini
dapat robek tanpa adanya fraktur. Keadaan ini mengakibatkan terpisahnya
perlekatan antara dura dengan kranium dan menimbulkan ruang epidural.
Perdarahan yang berlanjut akan memaksa dura untuk terpisah lebih lanjut, dan
menyebabkan hematoma menjadi massa yang mengisi ruang.
Oleh karena arteri meningea media terlibat, terjadi perdarahan yang
tidak terkontrol, maka akan mengakibatkan terjadinya akumulasi yang cepat
dari darah pada ruang epidural, dengan peningkatan tekanan intra kranial (TIK)
yang cepat, herniasi dari unkus dan kompresi batang otak.1,4,5,6
C. Patofisiologi
Pada hematoma epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak
dan dura meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah
satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila
fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di
daerah frontal atau oksipital.(8)
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale.
Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh
hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga
hematom bertambah besar. (8)
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan
pada lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan
bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium.

2
Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat
dikenal oleh tim medis.(1)
Tekanan dari herniasi unkus pda sirkulasi arteria yang mengurus
formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran.
Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada
saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada
lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan
kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat,
dan tanda babinski positif.(1)
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan
terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang
besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain
kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.(1)
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa
terus keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau
terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam
waktu beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif
memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua
penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di
sebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang
ringan pada Epidural hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera
primernya hamper selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer
berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan
tidak pernah mengalami fase sadar. (8)
Sumber perdarahan : (8)
• Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )
• Sinus duramatis
• Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a.
diploica dan vena diploica
Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah
saraf karena progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada
sutura sehingga langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah
herniasi trans dan infra tentorial.Karena itu setiap penderita dengan trauma

3
kepala yang mengeluh nyeri kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif
memberat, harus segera di rawat dan diperiksa dengan teliti.(8,10)
D. Tanda dan Gejala Klinis
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara
progresif. Pasiendengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar
mata dan di belakangtelinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada
saluran hidung atau telinga. Pasienseperti ini harus di observasi dengan teliti.
(3)Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat
daricedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi
cedera kepala.Gejala yang sering tampak : (3,8)
 Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
 Bingung
 Penglihatan kabur
 Susah bicara
 Nyeri kepala yang hebat
 Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
 Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.
 Mual
 Pusing
 Berkeringat
 Pucat
 Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
 Masa sadar di antara dua keadaan
penurunan kesadaran disebut dengan
interval lucid.
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai
hemipareseatau serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil
akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif
menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula
kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun
sampai koma dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai

4
akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan
tanda kematian. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya,
mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal batang otak. (11)Jika Epidural
hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval bebas
tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur. (8)
E. Diagnosis
Kebutuhan untuk diagnosis dan pengobatan yang akurat dan cepat,
pasien secara langsung maka dilakukan computed tomography (CT) scanning
yang diperlukan bedah saraf. Ketebalan bekuan darah, volume hematoma, dan
pergeseran garis tengah terlihat pada computed tomography (CT) scan pra-
operasi menjadi penentu prognosis. Pada pasien dengan, CT-scan harus
diperoleh dalam waktu 6-8 jam setelah cedera otak traumatika.
a. Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai
epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P),
lateral dengan sisi yang mengalami trauma pada film untuk mencari
adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria meningea
media. Gambaran foto polos cranium dapat menunjukkan fraktur
yang menyebabkan hematoma epidural, meskipun pembuluh darah
dan garis sutura mungkin mirip dengan fraktur tengkorak dan
membuat diagnosis sulit. Namun struktur otak serta perdarahan yang
ada tidak dapat terdeteksi lewat foto polos kepala.
b. Computed Tomography (CT-Scan)
CT scan adalah pemeriksaan pilihan dalam evaluasi kemungkinan
intrakranial hematoma epidural. Namun, karena volume rata-rata
dengan tulang yang berdekatan, epidural hematoma kecil bisa sulit
untuk dideteksi dengan CT scan. Pemeriksaan CT-Scan dapat
menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi cedara intracranial
lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi
9 dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks,
paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang
homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi
kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural

5
hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90 HU),
ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah.

Gambar CT Scan Epidural Hematoma

F. Tatalaksana

1) Penatalaksanaan Awal
a. Jalan nafas (airway) dengan stabilisasi servikal
Jalan napas diinspeksi segera untuk memastikan patensi dan
segera identifikasi segala penyebab obstruksi (benda asing, serpihan
fraktur, gangguan trakea-laring, cedera tulang servikal). Jika terdapat
tanda-tanda obstruksi jalan nafas yang umumnya sering terjadi pada
penderita yang tidak sadar yang dapat terjadi karena adanya benda asing,
lendir atau darah, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang
wajah, maka jalan nafas harus segera dibersihkan. Usaha untuk
membebaskan jalan napas harus hati-hati, bila ada riwayat/dugaan
trauma sevikal harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine
control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang
berlebihan dari leher. Kontrol servikal harus dipertahankan karena
pasien dengan multitrauma harus dianggap juga mendapat cedera leher
hingga pemeriksaan radiologi menyatakan sebaliknya. Chin lift dan jaw
thrust adalah metode awal menyokong patensi jalan napas yang secara
otomatis melindungi vertebra servikal (Feliciano et al., 2004).
b. Pernapasan (breathing) dan ventilasi
Ketika patensi jalan napas telah terjaga, kemampuan pasien
bernapas segera dinilai. Dilakukan ventilasi dengan oksigen 100%

6
sampai diperoleh hasil analisis gas darah dan dapat dilakukan
penyesuaian yang tepat terhadap FiO2. Tindakan hiperventilasi
dilakukan pada penderita cedera kepala berat yang menunjukkan
perburukan neurologis akut (GCS menurun secara progresif atau terjadi
dilatasi pupil). PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmHg (Feliciano
et al., 2004).
c. Nadi dan tekanan darah (circulation) dan kontrol perdarahan
Adanya hipotensi merupakan petunjuk bahwa telah terjadi
kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak selalu tampak jelas.
Hipotensi memiliki efek berbahaya bagi pasien cedera kepala karena
membahayakan tekanan perfusi otak dan berperan dalam timbulnya
edema dan iskemia otak. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan
intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa
hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada
disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik.
Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi
jantung dan mengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl
starch atau darah (Feliciano et al., 2004).
2) Konservatif
1) Manitol 20%
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak
normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang
intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan.
Cara pemberiannya : Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit
dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam.
Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm (Japardi, 2002).
2) Loop diuretik (Furosemid)
Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat
pembentukan cairan serebrospinal dan menarik cairan interstitial pada
edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek
sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis 40
mg/hari/IV (Japardi, 2002).
3) Terapi barbiturat (Fenobarbital)

7
Terapi ini diberikan pada kasus-kasus yang tidak responsif
terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas. Terapi ini bermanfaat
untuk untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obatan lain.
Fenobarbital bekerja dengan cara menekan metabolisme otak sehingga
kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah,
otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi,
walaupun suplai oksigen berkurang. Cara pemberiannya: bolus 10
mg/kgBB/IV selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3
jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar
1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam,
dosis diturunkan bertahap selama 3 hari (Japardi, 2002).
4) Cairan Intravena
Prinsip manajemen trauma kapitis adalah mempertahankan perfusi
serebral yang adekuat dengan menjaga tekanan atau bahkan menaikkan
tekanan darah. Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi
agar penderita tetap dalam keadaan normovolemia, jangan beri cairan
hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat
menyebabkan hipoglikemia yang berakibat buruk pada otak yang
cedera. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam
fisiologis atau ringer laktat. Kadar natrium serum juga harus
dipertahankan untuk mencegah terjadinya edema otak (De Jong, 2004).
Strategi terbaik adalah mempertahankan volume intravaskular normal
dan hindari hipoosmolalitas, dengan cairan isotonik. Saline hipertonik
bisa digunakan untuk mengatasi hiponatremia yang bisa menyebabkan
edema otak (Seth & Morris, 2004).
5) Antikonvulsan
Kejang pasca trauma terjadi pada sekitar 12% pasien trauma
kepala tumpul dan 50% trauma kepala penetrasi. Kejang pasca trauma
bukan prediksi epilepsi tetapi kejang dini bisa memperburuk secondary
brain injury dengan menyebabkan hipoksia, hiperkarbia, pelepasan
neurotransmitter, dan peningkatan ICP (Feliciano et al., 2004).
Pengobatan (Japardi, 2002):
a. Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari

8
b. Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit.
Bila cenderung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan
tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena
tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain
misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv
pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500
mg/hari/iv atau oral
c. Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko
kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan
penderita dengan amnesia post traumatik panjang.
3) Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat (American College Surgeon, 2004):
a. Volume hematoma > 30 ml
b. Keadaan pasien memburuk
c. Pendorongan garis tengah > 5 mm
Penanganan darurat dengan dekompresi dengan trepanasi sederhana
(burr hole). Dilakukan kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma. Indikasi
operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional
saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi
operasi emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini disebabkan oleh lesi
desak ruang. Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang
bervolume (American Collage Surgeon, 2004):
a. > 20 cc  desak ruang supra tentorial
b. > 15 cc  desak ruang infratentorial
c. > 5 cc  desak ruang thalamus
Indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan
(American Collage Surgeon, 2004):
a. Penurunan klinis.
b. Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm
dengan penurunan klinis yang progresif.
c. Tebal hematoma epidural > 1 cm dengan midline shift > 5 mm
dengan penurunan klinis yang progresif.
4) Nonmedikamentosa
1) Posisi Tidur
9
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya
ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu
bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena
daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar
(Japardi, 2002).
2) Nutrisi Adekuat
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5
kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini
terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan
norepinefrin dalam darah danakan bertambah bila ada demam. Setelah 3-
4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi peroral melalui
pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari (Japardi,
2002).
G. Prognosis
Prognosis tergantung pada (Heegaard & Biros, 2007):
 Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
 Besarnya
 Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik,
karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian
berkisar antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat
buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi (Heegaard & Biros,
2007).
H. Komplikasi
Komplikasi cedera kepala yang mungkin terjadi diantaranya adalah sebagai
berikut (Price & Wilson, 2006):
 Cedera otak sekunder akibat hipoksia dan hipotensi
 Edema serebral
 Hernia jaringan otak
 Infeksi
 Emboli lemak
 Hidrosefalus
 Fistula cairan serebrospinalis

10
2. Manajemen Anestesi pada Cedera Kepala
A. Preoperatif
1. Penilaian awal kondisi pasien
a) Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan metode yang sederhana dan
diterima secara universal untuk menilai tingkat kesadaran dan status
neurologis pasien dengan trauma kepala.
a) Skor GCS <8 menandakan trauma kepala berat
b) Skor GCS 9-12 menandakan trauma kepala sedang
c) Skor GCS 13-15 menandakan trauma ringan
b) Respon pupil (ukuran, refleks cahaya) dan penilaian simetris
ekstremitas harus secepatnya dinilai.
c) Penilaian cedera organ lain. Pasien trauma sering menderita yang
berasal dari cedera pada sistem organ multipel. Perhatian terutama
ditujukan untuk menentukan ada tidaknya perdarahan intratoraks atau
intraperitoneal. Jika perdarahan dicurigai, eksplorasi toraks maupun
abdomen harus dilakukan segera.
2. Jalan napas dan ventilasi
a) Intubasi
Langkah pertama dalam terapi darurat adalah mengamankan jalan
nafas dan memastikan bahwa ventilasi sudah adekuat. Karena semua
pasien trauma dipertimbangkan memiliki lambung yang penuh dan
sering juga mendapat trauma servikal, tekanan pada krikoid dan
stabilisasi in-line terhadap tulang servikal dilakukan selama
digunakan laringoskop dan intubasi.
b) Obat-obatan untuk memfasilitasi laringoskopi dan intubasi
c) Ventilasi mekanik
Segera setelah trakea terintubasi, pelumpuh otot non depolarisasi
diberikan dan ventilasi mekanik PaCO2 sebesar 35 mm. Hiperventilasi
agresif (PaCO2 <30 mmHg) sebaiknya dihindarkan kecuali herniasi
transtentorial dicurigai. Jika terdapat hipoksemia, harus diperbaiki
secepatnya. Jika terdapat aspirasi masif, suction bronkus dapat
dilakukan.
3. Stabilisasi kardiovaskuler
11
1) Resusitasi cairan.
a) Larutan kristaloid dan koloid. Kristaloid isotonik dan hipertonik
dan larutan koloid dapat diberikan untuk menjaga volume
intravaskular yang adekuat.
b) Produk darah dan darah. Pasien yang mempunyai nilai hematokrit
yang rendah membutuhkan tranfusi untuk mengoptimalkan
oxygen delivery. Hematokrit idealnya dipertahankan diatas 30%.
c) Efek samping larutan yang mengandung glukosa. Larutan yang
mengandung glukosa sebaiknya dihindarkan karena hiperglikemia
dihubungkan dengan perburukan neurologis. Glukosa sebaiknya
digunakan hanya untuk menangani hipoglikemia. Kadar plasma
sebesar 80-150 mg/dL sebaiknya dicapai. Kadar plasma diatas 200
mg/dL
2) Inotropik dan vasopresor.
Jika tekanan darah dan cardiac output tidak dapat diperbaiki melalui
resusitasi cairan, pemberian inotropik dan vasopresor secara intravena
mungkin diperlukan. Infus fenilefrin atau dopamin direkomendasikan
untuk menjaga Cerebral Perfusion Pressure diatas 60 mmHg.
4. Penanganan peningkatan TIK
a) Hiperventilasi
Jika terdapat bukti terjadinya herniasi transtentorial pada pasien
dengan trauma kepala berat, hiperventilasi sampai kadar PaCO2
sebesar 30 mmHg karena hiperventilasi dapat dengan cepat dan efektif
menurunkan TIK.
b) Terapi diuretik
Manitol, 0,25-1 g/kgBB secara intravena diberikan dalam 10 menit
pada pasien dengan sangkaan herniasi transtentorial. Osmolaritas
serum dijaga dan tidak boleh melebihi 320 mOsm/L.
c) Posisi
Menaikkan posisi kepala 10-30o memfasilitasi drainase CSF dan
menurunkan TIK. Efek penurunan TIK ini ditiadakan pada kaadaan
dimana tekanan darah sistemik menurun.
d) Kortikosteroid

12
Sebelumnya kortikosteroid diperkirakan mempunyai manfaat dalam
mengurangi edema otak yang juga menurunkan TIK pada pasien
dengan trauma kepala. Namun, beberapa laporan terakhir
menunjukkan perburukan pada pasien yang diberikan terapi
kortikosteroid. Karena itu, kortikosteroid tidak berperan dalam
penanganan trauma kepala meskipun bermanfaat pada trauma spinal.
B. Peri dan Intraoperatif
Anestesi general di rekomendasikan untuk memfasilitasi kontrol fungsi
respirasi dan sirkulasi. Induksi cepat dapat diambil pada pasien dengan
hemodinamik stabil, walaupun prosedur ini dapat menghasilkan peningkatan
tekanan darah dan peningkatan tekanan intra kranial.
Obat-obatan
1) Anestesi intravena:
 Barbiturat. Tiopental dan fenobarbital mengurangi aliran darah ke otak
(CBF), volume darah otak (CBV), dan tekanan intrakranial (ICP).
Mengurangi ICP dengan obat ini juga mengurangi CBF dan CBV
dengan depresi metabolik. Tiopental dan fenobarbital melindungi
iskemi otak fokal pada percobaan binatang. Pada cedera kepala,
iskemi merupakan sekuele yang umum.
 Etomidate. Bersamaan dengan barbiturat etomidat mengurangi CBF,
dan ICP. Hipoensi sitemik muncul lebih sedikit dibandingkan dengan
enggunaan barbiturat. Penggunaan yang berlama-lama dari etomidate
dapat menekan respon adrenokortikal terhadap stress.
 Propofol. Efek hemodinamik dan metabolik pada otak dengan
penggunaan propofol menyerupai obat barbiturat.
 Benzodiazepine. Diazepam dan midazolam mungkin dapat berguna
baink untuk sedasi maupun untuk induksi anestesia karen aboat ini
memiliki minimal efek pada hemodinamik. Diazepam, 0,1-0,2 mg/kg,
dapat diberikan untuk menginduksi anestesia dan dapat diulangi jika
perlu, sampai batas 0,3-0,6 mg/kg. Midazolam, 0,2 mg/kg, dapat
digunakan untuk induksi dan dapat diulangi bila perlu.
 Narkotik, dalam penggunaan untuk klinis menghasilkan pengurangan
yang minimal sampai sedang pada CBF. Saat ventilasi diberikan

13
secara adekuat, narkotik memiliki efek minimal pada ICP. Meskipun
memiliki sedikit efek meningkatkan ICP, fentanyl memberikan efek
analgesi yang memuaskan dan depat memberikan konsenterasi dari
penggunaan obat anestesi inhalasi yang lebih sedikit
2) Anestesi inhalasi:
 Isoflurane. Depresan metabolik yang potent, isofluran memiliki
sedikit efek pada aliran darah otak dan tekanan intrakranial daripada
halotan. Karena isofluran menekan metabolisme serebral, obat ini
mungkin memiliki efek melindungi saat iskemi tidak berat. Isofluran
dengan konsenterasi >1 dari minimum alveolar konsentrasi harus
dihindari karena dapat menimbulkan peningkatan substansial pada
ICP.
 Sevoflurane. Pada model kelinci “cryogenic brain injury”,
peningkatan ICP muncul dengan kenaikan tekanan darah lebih tinggi
dibandingkan dengan penggunaan halotan. Pada studi klinis,
walaupun efek pada hemodinamik serbral sevoflurane mirip dengan
isoflurane. Efek yang tidak menguntungkan pada sevoflurane yaitu
metabolitnya yang bersifat racun pada konsenterasi yang tinggi.
 Desflurane. Desflurane pada konsenterai yang tinggi dapat
meningkatkan ICP.
 Nitrous Oxide (N2O). N2O mendilatasi pembuluh darah otak, karena
itu dapat meningkatkan ICP. Pasien dengan hipertensi intrakranial
sebaiknya tidak menggunakan obat ini. N2O juga dihindari pada
pneumochepalus atau pneumothorax karena N2O berdifusi ke rongga
udara lebih cepat dibandingkan dengan nitrogen, oleh karena itu dapat
meningkatkan volume di dalam rongga udara.
3) Anestesi lokal
Infiltrasi lidokain 1% maupun bupivacaine 0,25%, dengan atau tidak
dengan epinephrine, di kulit sekitar insisi skalp dan tempat insersi pin
head holder membantu mencegah hipertensi sitemik dan intrakranial
terhadap rangsangan ini dan menghindari penggunaan yang tidak perlu
dari anestesi dalam. 16
4) Muscle relaxant 16

14
Muscle relaxant yang adekuat memfasilitasi mekanikal ventilasi dan
mengurangi ICP.
 Vecironium memiliki minimal ataupun tanpa efek pada ICP, tekanan
darah, atau denyut jantung dan efektif pada pasien dengan trauma
kepala. Obat ini memiliki inisial dosis yaitu 0,08-0,1 mg/kg diikuti
pemberian infus 1-1,7 mcg/kg/menit
 Pancuronium tidak menimbulkan peningkatan ICP tapi dapat
menimbulkan hipertensi dan takikardia karena efek vagolitiknya, oleh
karena itu dapat meningkatkan resiko pada pasien.
 Atracurium tidak memiliki efek pada ICP. Karena onsetnya yang cepat
dan durasi yang pendek, dosis bolus 0,5-0,6 mg/kg diikuti dengan
pemberian melalui infus 4-10 mcg/kg/menit diberikan dengan
monitoring dari neuromuskular blok.
 Rocuronium berguna saat intubasi karena efeknya yang cepat dan
sedikit efek pada intrakranial. Untuk mempertahankan, obat dengan
durasi lebih lama dibutuhkan.
Penanganan sirkulasi dan respirasi intraoperatif 14,16
a. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik diatur untuk menjaga nilai PaCO2 sekitar 35 mmHg.
Fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) diatur untuk menjaga nilai PaO2 >
100 mmHg. Pasien dengan kontusio pulmoner, aspirasi, atau edema paru
neurogenik, membutuhkan Positive End-Expiratory Pressure (PEEP)
untuk menjaga oksigenasi yang adekuat. PEEP yang berlebihan sebiknya
dihindari, karena peningkatan peningkatan tekanan intratoraks dapat
menekan drainase vena sentral dan meningkatkan TIK.
b. Penanganan sirkulasi
CPP harus dijaga antara 60-110 mmHg. Ketika hipotensi bertahan
meskipun dengan oksigenasi yang adekuat, ventilasi, dan pengganti
cairan, peningkatan tekanan darah dengan menggunakan inotropic atau
vasopresor.
Hipertensi ditangani secara hati-hati karena peningkatan tekanan darah
dapat merupakan gambaran dari hiperaktivitas simpatis sebagai respon
dari peningkatan TIK dan penekanan batang otak (refleks Cushing).

15
Penanganan peningkatan TIK intraoperatif 15
a. Posisi pasien
Menaikkan kepala 10-30o biasanya sudah cukup. CPP mungkin tidak
menjadi lebih baik, jika tekanan darah sistemik menurun secara
substansial. Ketika ahli beadh ingin merotasi atau fleksi dari kepala dan
leher, ahli anestesi harus memastikan adekuasi venous return.
b. Ventilasi
Nilai PaCO2 dipertahankan pada nilai 35 mmHg. Hiperventilasi
dihindarkan kecuali monitoring memastikan oksigenasi otak adekuat.
c. Sirkulasi
Baik hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg) dan hipertensi (tekanan
sistolik >160 mmHg) harus dikoreksi jika diindikasikan.
d. Diuretik
Manitol menurunkan volume serebral dan menurunkan TIK. Furosemide
juga dapat bersamaan diberikan pada kasus yang lebih berat juga pada
pasien dengan penurunan fungsi jantung.
e. Drainase CSF
Jika terdapat katetr intraventrikular, drainase CSF merupakan cara yang
efektif dalam menurunkan TIK.
Monitoring 13
a. Monitoring standar termasuk heart rate dan ritme (EKG), pengukuran
noninvasif tekanan darah arteri, pulse oximetry, end-tidal CO2, suhu
badan, urine output, CVP, dan blokade neuromuskular. AGDA,
hematokrit, elektrolit, glukosa, dan osmolaritas serum harus dinilai secara
periodik.
b. Monitoring terhadap emboli udara. Deteksi emboli pada vena dengan
menggunakan USG Doppler harus dipertimbangkan pada tindakan bedah
yang mana vena tempat operasi terletak diatas jantung.
c. Monitoring otak seperti EEG, evoked potential, jugular venous bulb
oxygen saturation (SjO2), Laju aliran yang diukur menggunakan
Transcranial Doppler (TCD), brain tissue PO2 (btPO2), dan TIK dapat
digunakan.
C. Postoperatif
1) Umum
16
1) Posisi pasien headup 30 derajat dengan posisi netral yaitu tidak miring
ke kiri atau ke kanan, tidak hiperekstensi atau hiperfleksi.
2) Bila perlu diventilasi, pertahankan normokapni. Harus dihindari
PaCO2 < 35 mmHg selama 24 jam pertama setelah cedera kepala.
3) Kendalikan tekanan darah dalam batas autoregulasi. Sistolik tidak
boleh kurang dari 90 mmHg. Pasca cedera kepala terapi bila tekanan
arteri rerata > 130 mmHg.
4) Infus dengan NaCl 0.9%, batasi pemberian RL, bias diberikan koloid.
Hematokrit pertahankan 33%.
5) Bila Hb < 10 gr% beri darah. Biasanya pada pasien sehat ( bukan
kelainan serebral) transfuse diberikan bila Hb < 8 gr%.
6) Untuk mengendalikan kejang bias diberikan phenytoin 10-15 mg/kg
bb dengan kecepatan 50 mg/menit. Bila sedang memberikan
phenytoin terjadi kejang berikan diazepam 5-10 mg intravena (0,3
mg/kg bb) perlahan –lahan selama 1-2 menit.
2) Proteksi serebral dilakukan dengan berbagai jalan, yaitu:
1) Basic Methods
Dapat dilakukan dengan cara jalan nafas yang bebas, oksigenasi yang
adekuat, cegah hiperkarbi (selalu dalam normokarbia , hiperventilasi
hanya bila ada herniasi otot dan bila PaCO2 < 35 mmHg harus
dipasang alat pantau SJO2), pengendalian tekanan darah (harus
normotensi, sistolik jangan < 90 mmHg), pengendalian tekanan
intraklanial (terapi bila tekanan intraklanial > 20 mmHg, herniasi otak
sudah dapat terjadi pada tekanan intraklanial < 20 – 25 mmHg),
mempertahakan tekanan perfusi otak (tekanan peruse otak harus > 70
mmHg), pengendalian kejang. Metode dasar ini yang harus dilakukan
pertama kali dalam melakukan proteksi otak.

2) Farmakologi
Pemberian obat yang meningkatkan resistensi pembuluh darah
serebral dapat secara cepat mengurangi tekanan intracranial. Jenis-
jenisnya adalah
a) Pentotal

17
Menyebabkan kontriksi pembuluh darah serebral, yang
menurunkan aliran darah ke otak dan karena itu menurunkan
peningkatan tekanan intrakranial.
b) Pentobarbital
Digunakan untuk mengatur tekanan intrakranial apabila cara terapi
lain gagal. Dosis bolus 10 mg/kg selama lebih dari 30 menit
dilanjutkan dengan dosis 1-1,5 mg/kg dapat menimbulkan koma.
c) Barbiturat
Memberikan proteksi otak dengan cara menurunkan metabolisme
otak. Masalah utama dengan barbiturate adalah adanya penurunan
arteri rerata, yang apabila tidak dapat dikendalikan dapat
menurunkan perfusi ke otak. Mekanisme barbiturate dalam
menurunkan CMR adalah karena penurunan influks Ca, blockade
terowongan Na, inhibisi pembentukan radikal bebas, potensiasi
aktivitas GABAergic. Menghambat transfer glukosa melalui
barrier darah otak. Rasisonalisasi utama penggunaan barbiturat
untuk proteksi melawan iskemi adalah mengurangi kebutuhan
energy jaringan dengan menekan fungsi aktivitas listrik sel.
3) Hipotermi
Hipotermia ringan adalah ditujukan untuk mengurangi tekanan
intrakranial pada pasien dengan cedera kepala dengan menurunkan
metabolism otak, memperlambat depolarisasi anoksik/iskemik,
memelihara homeostasis ion, menurunkan excitatory neurotransmisi,
mencegah atau mengurangi kerusakan sekunder terhadap perubahan
biokimia. Obat yang menekan menggigil secara sentral, pelumpuh
otot, dan ventilasi mekanis diperlukan bila dilakukan teknik
hipotermi

18
BAB III

KESIMPULAN

1. Pasien An. CA usia 12 tahun dengan Epidural Hematom dilakukan tindakan


Kraniotomi Evakuasi pada tanggal 14 Februari 2019 dengan teknik anestesi General
Anestesi.

2. Tahapan preoperatif diantaranya adalah dengan memeriksa pasien untuk


memastikan kelayakan pasien apakah dapat dilakukan operasi atau tidak.

3. Tahapan intraoperatif adalah dengan pemberian anestesi dengan teknik General


anestesi dan pemasangan ET.

4. Tahapan post operatif dengan monitoring pasien di ICU dan bangsal berupa
keseimbangan cairan, kesadaran, manajemen nyeri, dan pemberian antibiotik.

19
DAFTAR PUSTAKA

Butterworth, John, David Mackey, dan Wasnick, 2013, Pediatric Anesthesia dalam
Morgan & Mikhail’s Clinical Aneshesiology Fifth Edition. Mc Graw Hill.

E, Krane, Orientation to Pediatric Anesthesia, diakses dari


http://anesthesia.stanford.edu/ kentgarman/ clinical/ped%20orient.

Ersay F, Rapid spontaneous resolution of epidural hematoma,Turkish journal of


trauma & emergency surgey.

Gillet J, What’s the difference between a subdural and Epidural Hematoma,


Brainline.org.

Gottlieb, Erin dan Andropoulos, 2011, Pediatrics dalam Miller’s Basic of Anesthesia
Sixth Edition. Elsevier.

Mangku, Gde, Tjokorda Gde Agung Senapthi, 2010, Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi, Indeks.

Rupp, K, J Holzki, T Fischer, C Keller, 2015, Pediatric Anesthesia, Drager.

Said, A L, Suntoro A, Anestesi Pediatrik, Anestesiologi, Bagian Anestesiologi dan


Terapi Intensif FKUI.

Sidharta P, Mardjono M, 2005, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta.

Sitorus ,S. M, 2004, Sistem Ventrikel dan liquor Cerebrospinal, USU.

Smith dan Aitkenhead, 2013, Pediatric Anaesthesia dalam Textbook of Anaesthesia


Sixth Edition, Churchill Livingstone Elsevier.

Wilkins, Williams L, 2008, Contralateral Acute Epidural Hematoma After


Decompressive Surgery of Acute Subdural Hematoma, Vol.65.

Wilson M. L, Price S. A, 2002 Patofisiologi, vol.2, Edisi 6.

20

Anda mungkin juga menyukai