Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit-penyakit pada muskuloskeletal saat ini banyak diderita oleh


populasi usia produktif dan usia tua. Salah satu diantaranya adalah penyakit kaku
sendi pada bahu yang dikenal dengan “frozen shoulder”. Sendi bahu
merupakan salah satu sendi yang paling mobile pada tubuh kita, mobilitas
sendi bahu yang luas sangat membantu posisi lengan dan tangan untuk
melakukan aktifitas sehari-hari. Karena besarnya mobilitas pada sendi bahu maka
tidak mengherankan banyak keluhan-keluhan yang dijumpai, berupa nyeri,
kekakuan, gangguan gerak dan fungsi lainnya. Penderita dengan keluhan pada
sendi bahu diketahui mengalami gangguan saat melakukan aktivitas seperti tidak
bisa mengangkat tangan ke atas pada saat menyisir rambut dan menggosok
punggung sewaktu mandi. Keluhan-keluhan yang sering terjadi pada gerak dan
fungsi pada sendi bahu pada dasarnya adalah nyeri dan kekakuan yang
mengakibatkan keterbatasan gerak pada sendi bahu (Morgan & Potthoff, 2012).

Kekakuan yang terjadi pada usia produktif dapat dibuktikan dengan


ditemukannya klien bernama Komang Mertiani pada saat melaksanakan
KINEMATIKA XI di Desa Bebandem, Kecamatan Bebandem, Kabupaten
Karangasem. Ibu Mertiani masih berusia produktif yang merupakan seorang
petani yang sering melakukan aktivitas seperti menanam, panen, mencangkul, dan
membawa hasil panen yang berat. Saat dilakukan pemeriksaan pada klien
ditemukan keluhan pada bahu bagian kanan. Berdasarkan pemeriksaan vital sign
klien dinyatakan normal. Rencana yang dilakukan fisioterapi untuk keluhan bahu
dengan memberikan Infra Red, Ultrasound, dan terapi latihan berupa ROM
exercise.

1
1.2 Rumusan Masalah

Untuk memperjelas serta membatasi laporan yang akan dibahas, penulis


merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana anatomi, fisiologi, biomekanika, definisi, etiologi,


patofisiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, pengukuran kekakuan pada
bahu ?
2. Apakah Infra Red, Ultrasound, dan terapi latihan berupa ROM exercise
dapat memperbaiki keluhan kekakuan pada bahu ?

1.3 Tujuan Masalah

Adapun tujuan dari laporan ini adalah, sebagai berikut :

1. Mengetahui bagaimana anatomi, fisiologi, biomekanika, definisi, etiologi,


patofisiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, pengukuran kekakuan pada bahu.
2. Mengetahui pengaruh Infra Red, Ultrasound, dan terapi latihan berupa ROM
exercise dapat memperbaiki keluhan kekakuan pada bahu.

1.4 Manfaat

Adapun manfaat yang akan diperoleh dari laporan ini adalah, sebagai berikut :

1. Memahami bagaimana anatomi, fisiologi, biomekanika, definisi, etiologi,


patofisiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, pengukuran kekakuan pada bahu.
2. Memahami pengaruh Infra Red, Ultrasound, dan terapi latihan berupa ROM
exercise dapat memperbaiki keluhan kekakuan pada bahu.

2
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Bahu

Anatomi bahu terdiri dari tulang, sendi, ligamen, jaringan otot, dan biomekanik.
Tulang pembentuk bahu sebagai berikut :

a. Tulang scapula
Tulang scapula berbentuk pipih yang terletak pada aspek dorsal
thoraks dan mempunyai tiga proyeksi menonjol ke tulang belakang,
acromion, dan coracoid. Scapula sebagai tempat melekatnya beberapa
otot yang berfungsi menggerakkan bahu secara kompleks. Empat otot
rotator cuff yang berorigo pada scapula. Otot-otot tersebut adalah
supraspinatus, infraspinatus, teres minor dan subscapularis (K,
Stephen, 2015).
b. Tulang clavicula
Tulang clavicula berbentuk “S” yang terhubung dengan scapula pada
sisi lateral dan manibrium pada sisi medial. Menahan scapula untuk
mencegah tulang humerus bergeser berlebih.
c. Tulang humerus
Tulang humerus terdiri dari caput humeri yang membuat persendian
dengan rongga glenoidalis scapula. Terdapat tuberositas terdapat
sulcus intertubercularis. Pada os. Humerus juga terdapat tuberositas
deltoid sebagai tempat melekatnya insersio otot deltoid. Pada bagian
distal humerus terdapat epikondilus lateral dan medial.

3
Gambar 2.1 Tulang pembetuk Bahu
(Sumber : S, Lynn. Clinical Kinesiology and Anatomy)

Sendi penyusun bahu sebagai berikut :

a. Sendi sternoclavicular merupakan sendi synovial yang


menghubungkan ujung medial clavicula dengan sternum dan tulang
rusuk pertama. Sendi ini memiliki fungsi dalam membantu pergerakan
gelang bahu.
b. Sendi cromioclavicular menghubungkan scapula dan clavicula.
Permukaan dari sendi clavicula merupakan cekung yang terletak di
acromion.
c. Sendi glenohumeral jenis sendi ball dan socket dimana kaput humeri
yang berbentuk seperti bola bersendi dengan cavitas glenoidalis yang
merupakan bagian dari os scapula. Sendi ini merupakan sendi paling
mobile, namun salah satu sendi yang kurang stabil.
d. Scapulathoracic articulation tidak bisa dikatakan murni salah satu
persendian. Scapula dan thorak tidak memiliki titik fiksasi
scapulathoraci articulation tidak bergerak namun fleksibel terhadap
gerakan tubuh.

4
Gambar 2.2 Sendi penyusun Bahu
(Sumber: S, Lynn. Clinical Kinesiology and Anatomy)

Ligamen penyusun bahu sebagai berikut :

a. Ligamen glenohumeral memperkuat bagian anterior dari kapsul. Bukan


merupakan fungsi ligament yang baik tapi merupakan lipatan-lipatan
kapsul (S. Lynn, 2013).

Gambar 2.3 Glenohumeral ligamen anterior view


(Sumber: S, Lynn. Clinical Kinesiology and Anatomy)

5
b. Ligament Coracohumeral menempel dari sisi lateral procesus coracoid dan

mencakup tuberculum mayor. Memperkuat bagian atas kapsul sendi.

Gambar 2.4 Coracohumeral Ligamen

(Sumber: S, Lynn. Clinical Kinesiology and Anatomy)

c. Glenoid labrum adalah sebuah cincin yang tersusun dari jaringan fibrosa
yang padat. Kedalamannya rata-rata 2,5 mm, tapi labrum dapat menambah
kedalaman rongga articular. Walaupun labrum meningkatkan kedalaman
dan volume dari fossa glenoid, tetapi ini tidak meningkatkan stabilitas dari
sendi glenohumeral sabuk fibrosa yang mengelilingi tepi fossa glenoid.

6
Gambar 2.5 Glenoid Labrum
(Sumber: S, Lynn. Clinical Kinesiology and Anatomy)

Otot pembentuk pada shoulder joint sebagai berikut :

a. Otot pectoralis Mayor


Origo : medial clavicula ketiga, sternum, costal cartilage ribs
keenam.
Insersio : sulcus intertubercularis lateral
Fungsi : fleksi shoulder sampai 60º, adduksi bahu dan rotasi internal
humerus (S. Lynn, 2013).

Gambar 2.6 Otot Pectoralis Major

7
(Sumber: S, Lynn. Clinical Kinesiology and Anatomy)

b. Otot deltoideus
Origo : Anterior : sepertiga antero lateral clavicula.
Medial : lateral acromion
Posterior : inferior spina scapula

Insersio : tuberositas humerus

Fungsi : Anterior : fleksi, abduksi, rotasi internal humerus

Medial : abduksi humerus

Posterior : ekstensi, abduksi, rotasi eksternal humerus

Gambar 2.7 Otot Deltoideus

(Sumber: S, Lynn. Clinical Kinesiology and Anatomy)

8
c. Otot latissimus dorsi
Origo : prosesus spinosus dari T7-L5 via dorsolumbar fascia,
posterior sacrum, illium.
Insersio : medial inter tuberositas humerus
Fungsi : ekstensi, abduksi, internal rotasi humerus

Gambar 2.8 Otot Latissimus Dorsi


(Sumber: S, Lynn. Clinical Kinesiology and Anatomy)

d. Otot seratus anterior


Origo : upper costae 1-9
Insersio : anterior medial scapula
Fungsi : protaksi dan upward scapula

9
Gambar 2.9 Otot Seratus Anterior
(Sumber: S, Lynn. Clinical Kinesiology and Anatomy)

e. Otot levator scapula


Origo : prosesus tranversus C1-C4
Insersio : medial atas spina scapula
Fungsi ; elevasi

Gambar 2.10 Otot Levator Scapula


(Sumber: S, Lynn. Clinical Kinesiology and Anatomy)

f. Otot subscapularis
Origo : fossa subscapularis scapula
Insersio : tuberculus humeri
Fungsi : medial rotasi

10
Gambar 2.11 Otot Subscapularis
(Sumber: S, Lynn. Clinical Kinesiology and Anatomy)

Fisiologi pada Bahu

a. Tulang
Sendi-sendi dalam kompleks bahu dibentuk oleh 4 tulang yaitu
humerus, scapula, clavicula, dan sternum. Sendi glenohumeralis
dibentuk oleh caput humeri dari tulang humerus dan cavitas
glenoidalis scapula, sedangkan acromioclavicularis joint dibentuk
oleh processus acromion dari tulang scapula dan ujung lateral dari
clavicula. Antara ujung sternal (medial) clavicula dan sternum
membentuk sendi sternoclavicularis. Tulang scapula pada bagian
anterior yang tertutup oleh otot subscapularis juga bersendi dengan
costa walaupun bukan sendi yang sebenarnya. Kemudian acromion
bersama dengan processus coracoideus dan ligamen coracoacromialis
membentuk atap bahu. Ruangan yang berada diantara atap bahu
dengan caput humeri membentuk ruangan subcromialis atau dikenal
dengan sendi suprahumeralis yang juga bukan merupakan sendi yang
sebenarnya.

11
Gambar 2.12 Tulang Pada Bahu
(Sumber: S, Lynn. Clinical Kinesiology and Anatomy)
b. Otot
Otot merupakan stabilisator dan penggerak aktif sendi. Pada sendi
bahu diperkuat oleh otot-otot rotator cuff (otot supraspinatus,
infraspinatus, subscapularis dan teres minor), otot pectoralis mayor,
teres mayor dan tendon biceps caput longum. Bagian atas diperkuat
oleh otot supraspinatus dan biceps caput longum, ke bawah oleh otot
triceps caput longum, di depan diperkuat oleh otot subscapularis dan
perpanjangan fibrous di kedua otot pectoralis mayor dan teres mayor
dan dibelakang diperkuat oleh otot infraspinatus dan teres minor. Otot
supraspinatus bersama-sama dengan otot deltoid middle berfungsi
sebagai penggerak utama saat gerakan abduksi. Otot deltoid anterior,
pectoralis major yang dibantu oleh otot coracobrachialis berfungsi
pada saat gerakan fleksi. Sedangkan pada saat gerakan adduksi
dilakukan oleh otot latissimus dorsi dan dibantu oleh otot teres major.
Otot infraspinatus dan teres minor berfungsi pada saat gerak rotasi
eksternal. Otot subscapularis (prime mover) yang dibantu oleh otot

12
teres major, otot pectoralis major berfungsi pada saat gerak rotasi
internal.
Otot-otot Penggerak Shoulder :
1. Fleksi.
a. M. Coracobrachialis
Otot ini berorigo pada processus coracodeus scapula, berjalan
pada permukaan depan humerus sampai apda pertengahan
humerus bagian ventromedial
b. M. Biceps
Terdiri dari caput longum dan caput brevis. Caput logum
berorigo pada supraglenoidalis scapula dan caput brevis pada
processus scapula, berjalan dari sulcus intertubercularis dan
berinsertio pada tubersitas radii.
c. M. Brachialis
Berorigo pada ½ distal dataran anterior os humeri dan
berinsertio pada tubersitas ulna.
d. M. Deltoid
Otot ini terbagi 3 :
1) Pars Anterior : Berorigo pada extremitas acromioclavicula
1/3 lateral
2) Pars Posterior : Berorigo pada scapula bagian bawah
3) Pars Medial : Berorigo pada acromion bagian lateral
2. Ekstensi
a. M. Teres Mayor
Berorigo pada permukaan belakang angulus inferior scapula.
Insertio melekat pada crista tuberculi minoris humeri.
b. M. Latisimus Dorsi
Berorigo pada processus transversus vertebra Th5 – Th11.
Insertio berjalan convergen ke lateral atas dengan 1 tendo yang
melekat pada crista tuberculi minor humeri.

13
c. M. Triceps
Caput longum berorigo pada Tubersitas infraglenoidalis
scapula. Caput medial berorigo 1/3 medial distal facies
posterior humeri. Caput lateral berorigo pada facies posterior
dan lateral 1/3 proksimal humeri
3. Abduksi
a. M. Deltoideus
b. M. Supraspinatus
Origo 2/3 medial dari fossa supraspinatus. Insertio melekat
pada tubersitas Mayor Humeri
c. M. Seratus Anterior
 Upper Part. Berorigo pada permukaan satu dan dua costa.
Insertio angulus medialis scapula
 Midle Part. Berorigo pada costa 2 dan costa 3. Insertio
pada Margo Vertebralis scapula
 Lower Part. Berorigo pada costa 4 dan costa 6. Insertio
angulus inverior pada bagian yang menghadap ke costa.
4. Adduksi
a. M. Pectoralis Mayor
b. M. Lasitimus Dorsi
c. M. Teres Mayor
5. Endorotasi
a. M. Infraspinatus
Berorigo pada 2/3 medial fossa infraspinatus. Insertio tubersitas
mayus humeri
b. M. Teres Minor
Berorigo pada permukaan dorsal scapula (2/3 atas margo
axillaris scapula). Insertio pada crista mayor humeri
6. Exorotasi
a. M. Supraspinatus

14
Berorigo pada 2/3 medial facies costalis scapula. Insertio pada
tuberculum minus humeri dan permukaan depan scapula
articulatio
b. M. Latissimus Dorsi
c. M. Pectoralis Mayor
d. M. Deltoideus

2.2 Biomekanika Bahu

Ilmu yang mempelajari gerakan tubuh manusia, khususnya kekuatan dari


kerja otot dan gravitasi pada struktur skeletal atau tulang rangka.

2.2.1 Osteokinematika dan Arthrokinematika


Shoulder kompleks merupakan sendi yang paling kompleks pada tubuh
manusia karena memiliki 5 sendi yang saling terpisah. Shoulder kompleks
tersusum oleh 3 tulang utama yaitu clavicula, scapula, dan humerus yang
membentuk kombinasi three joint yang menghubungkan upper extremity
dengan thoraks.
Shoulder kompleks terdiri atas 3 sendi sinovial dan 2 sendi non-
sinovial. Ketiga sendi sinovial adalah sternoclavicular joint,
acromioclavicular joint, dan glenohumeral joint, sedangkan kedua sendi non-
sinovial adalah suprahumeral joint dan scapulothoracic joint. Suprahumeral
joint merupakan syndesmosis karena pertemuan kedua tulang hanya
dihubungkan oleh ligamen (jaringan fibrous) dan secara fungsional terlibat
pada gerakan elevasi, depresi, protaksi, retraksi, abduksi, dan fleksi shoulder.
Scapulothoracic joint merupakan sendi fungsional karena secara anatomis
tidak memiliki karakteristik arsitektur sendi, dimana sendi ini secara
fungsional terlibat pada gerakan elevasi, depresi, protaksi, retraksi, abduksi,
dan fleksi shoulder (Anshar, 2011).
Berikut merupakan sendi berdasarkan kasus yang kami angkat:
1. Glenohumeral Joint

15
Glenohumeral Joint dibentuk oleh caput humeri yang bersendi
dengan cavitas glenoidalis yang dangkal. Glenohumeral joint termasuk
sendi ball and socket joint dan merupakan sendi yang paling bebas
pada tubuh manusia.
Caput humeri yang berbentuk hampir setengah bola memiliki area
permukaan 3-4 kali lebih besar daripada fossa glenoidalis scapula
yang dangkal sehingga memungkinkan terjadinya mobilitas yang
tinggi pada shoulder. Bagian atas kapsul sendi diperkuat oleh lig.
Coracohumeral dan bagian anterior kapsul diperkuat oleh 3 serabut
lig. Glenohumeral yang lemah yaitu lig. Glenogumeral superior,
middle, dan inferior. Ada 4 tendon otot yang memperkuat kapsul sendi
yaitu supraspinatus, infraspinatus, teres minor, dan subscapularis.
Keempat otot tersebut dikenal dengan “rotator cuff muscle”, berperan
sebagai stabilitas aktif shoulder joint.
Selain rotator cuff muscle, stabilitas aktif sendi juga dibantu oleh
tendon caput longus biceps brachii. Rotator cuff muscle memberikan
kontribusi terhadap gerakan rotasi humerus dan tendonnya membentuk
collagenous cuff di sekitar sendi shoulder sehingga membungkus
shoulder pada sisi posterior, superior, dan anterior. Ketegangan dari
rotator cuff muscle dapat menarik caput humerus ke arah fossa
glenoidalis sehingga memberikan kontribusi signifikan terhadap
stabilitas sendi (Anshar, 2011).
a. Osteokinematika Glenohumeral Joint
Gerakan fleksi yaitu pada bidang sagital dengan axis pusat
caput humeri. Otot penggerak utama adalah m.deltoid anterior dan m.
Supraspinatus rentang 0˚ - 90˚ , untuk rentang 90˚ -180˚ dibantu oleh
m. Pectoralis mayor, m. Corachobracialis dan m. Biceps brachii. (A,
Charles Rockwood:2009). Gerakan ekstensi yaitu gerakan pada
bidang sagital menjahui posisi anatomis. Otot penggerak utama
adalah m. Latissimus dorsi dan m. teres mayor. Sedangkan pada

16
gerakan hiper ekstensi, fungsi m. Teres mayor digantikan m. Deltoid
posterior. Gerakan abduksi yaitu gerakan menjahui midline tubuh.
Bergerak pada bidang frontal. Otot penggerak utama m. Pectoralis
mayor dan m. Latissimus dorsi. (A, Charles Rockwood:2009).
Gerakkan adduksi yaitu gerakkan lengan ke medial mendekati
midline tubuh. Otot penggerak utama m. Pectoralis mayor, m. Teres
mayor, m. Latissimus dorsi. (A, Charles Rockwood:2009). Gerakan
rotasi internal dengan arah gerakan searah axis longitudinal yang
mendekati midline tubuh. Otot penggerak utama m. Subscapularis,
m. pectoralis mayor, m. teres mayor, m. latissimus dorsi, m. Deltoid
anterior. (A, Charles Rockwood:2009). Gerakkan rotasi ekternal
adalah gerakan rotasi lengan searah axis longitudinal yang menjahui
midline tubuh. Otot penggerak utama m. Infraspinatus, m. Teres
minor, m. Deltoid posterior. (A, Charles Rockwood:2009).
Glenohumeral Joint atau shoulder joint adalah sendi proksimal
pada anggota gerak atas yang paling mobilitas dari sendi-sendi tubuh
manusia. Persendian ini mempunyai 3 DKG dan terjadi pada bidang
gerak dengan axis-axis sebagai berikut:
1) Axis transversalis, untuk mengontrol gerakan fleksi dan ekstensi
yang dilakukan pada gerakan sagital.
2) Axis antero-posterior, mengontrol gerakan abduksi yang adduksi
dilakukan pada bidang gerak frontal.
3) Axis vertikalis, berjalan melalui perpotongan bidang gerak fleksi
dan ekstensi yang dilakukan bidang gerak horizontal dengan
lengan dalam posisi abduksi 90o
4) Axis longitudinal humeri, untuk mengontrol gerakan endorotasi
dan exorotasi lengan (Anshar, 2011).
Gerakan-gerakan osteokinematikanya adalah:
1) Gerakan fleksi/ekstensi, terjadi pada bidang gerak sagital dengan
axis frontal:

17
a) Extensi: 45o - 50o
b) Fleksi: 180o
c) Otot yang bekerja pada gerakan fleksi adalah pectoralis
major, coracobrachialis, biceps brachii, dan deltoideus pars
anterior.
d) Otot yang bekerja pada gerakan ekstensi adalah teres major,
triceps brachii, deltoideus pars posterior, dan latissimus
dorsi.
2) Gerakan abduksi/adduksi
Abduksi adalah gerakan dari anggota gerak atas menjauhi
trunkus, yang terjadi pada bidang gerak frontal dengan axis
antero-posterior, dimana saat abduksi 180o, maka tangan akan
vertical di atas trunkus. Sedangkan adduksi adalah sebaliknya.
Gerakan abduksi/adduksi dimulai dengan posisi awal (Anshar,
2011):
a) Abduksi terjadi hingga 180o, sama dengan posisi fleksi 180o
b) Adduksi, dapat dilakukan dalam 2 posisi yaitu: kombinasi
adduksi + ekstensi, adduksi + fleksi
c) Otot yang bekerja pada gerakan abduksi adalah
supraspinatus dan deltoideus pars middle.
d) Otot yang bekerja pada gerakan adduksi adalah pectoralis
major, teres major, dan latissimus dorsi.
3) Gerakan Totalitas dari Gelang Bahu
Contoh gerakan-gerakannya adalah:
- Menyisir rambut
- Meletakkan tangan di belakang leher
b. Arthrokinematika Glenohumeral Joint
Pada sendi glenohumeral gerakan fleksi-ekstensi dan abduksi-
adduksi terjadi karena rolling dan sliding caput humerus pada
fossa glenoid. Arah slide berlawana arah dengan shaft humerus.

18
Pada gerakkan fleksi shoulder caput humerus slide ke arah
posterior dan inferior, pada gerakan ekstensi slide ke arah anterior
dan superior. (A, Charles Rockwood:2009).
1) Sendi Glenohumeral
a) Permukaan konkaf dari fossa glenoidalis terletak pada bagian
atas margo lateral scapula, dimana permukaan tersebut
menghadap ke arah anterior, lateral dan atas yang akan
memberikan stabilitas pada persendian. Labrum glenoidalis
memliki pinggiran fibrokartilago untuk memperdalam fossa
agar kongruenitasnya bertambah.
b) Permukaan konveks dari caput humeri, dimana hanya sedikit
bagian dari caput humeri yang kontak dengan fossa cavitas
glenoidalis disepanjang waktu.
c) Saat terjadi gerakan fisiologis (angular) dari humeri maka
permukaan konveks akan menggelincir pada arah yang
berlawanan dengan humeri
d) Jika tulang humeri distabilisir dan scapula bergerak, maka fossa
cavitas glenoidalis akan menggelincir dalam arah yang sama
dengan gerakan scapula.

Tabel 2.1 Hubungan gerak angular dengan arthrokinematika

Gerakan Angular Humeri Arthrokinematika Caput Humeri


Fleksi Spin
Ekstensi Spin
Abduksi Inferior/bawah
Adduksi Superior/atas
Endorotasi Posterior/bawah
Eksorotasi Anterior/depan

19
Abduksi Horizontal Anterior/depan
Adduksi Horizontal Posterior/belakang

2.3 Definisi Kekakuan pada Bahu

Bahu merupakan bagian tubuh yang memiliki banyak gerakan serta dapat
mengalami gangguan akibat trauma, usia maupun posisi yang salah. Salah satu
gangguan yang dapat terjadi pada bahu adalah frozen shoulder atau dikenal juga
sebagai capsulitis adhesive merupakan salah satu manifestasi nyeri yang sering
terjadi pada daerah bahu. Frozen Shoulder atau bahu beku hanya digunakan untuk
penyakit yang sudah diketahui dengan baik yang ditandai oleh rasa nyeri dan
kekakuan yang progresif pada bahu (Mutaqin, Wawan Ridwan dan Ninik Nur
Hidayah. 2016). Frozen Shoulder, atau perekat capsulitis, menggambarkan kondisi
bahu umum yang dicirikan dengan rentang gerak aktif dan pasif yang menyakitkan
dan memiliki ROM yang terbatas (Kelley et all. 2009).
Gangguan bahu bisa disebabkan oleh adanya peningkatan imobilitas. Imobilisasi
atau imobilitas merupakan ketidakmampuan transfer atau berpindah posisi atau tirah
baring selama 3 hari atau lebih, dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat
perubahan fungsi fisiologi (Gilang, 2007 dalam Sulidah dan Susilowati, 2017).
Imobilisasi dapat menimbulkan berbagai masalah pada lansia. Menurut Zelika
(2010) akibat yang ditimbulkan antara lain infeksi saluran kemih, sembelit, infeksi
paru, gangguan aliran darah, dekubitus, atropi otot, dan kekakuan sendi. Masalah-
masalah tersebut dapat berakibat serius bagi lansia, bahkan dapat berakhir dengan
kematian. Imobilisasi juga sering mengakibatkan timbulnya komplikasi berupa
osteoporosis, dekubitus, gangguan keseimbangan nitrogen, konstipasi, kelemahan,
dan perubahan psikologik (Sulidah dan Susilowati, 2017).

2.4 Etiologi Kekakuan pada Bahu

Zuckerman (2011) dalam jurnal nya mendefinisikan bahwa frozen shoulder


atau adhesive capsulitis adalah “ sebuah kondisi dimana etiologi nya tidak
diketahui, memiliki karakteristik adanya keterbatasan gerak bahu aktif maupun

20
pasif yang signifikan, dengan ketiadaan kelainan intrinsik didalam bahu”. Pasien
yang mengalami frozen shoulder tipikal nya mengalami kekakuan pada bahu yang
muncul tiba-tiba, rasa nyeri parah yang biasanya muncul dimalam hari, dan rotasi
ekternal bahu aktif maupun pasif yang hampir atau seluruhnya hilang. ( Brue S,
2007 )

Studi meta-analysis yang dilakukan oleh Prodromidis dan Charalambolus


(2016) menyebutkan genetik menjadi faktor predisposisi munculnya adhesive
capsulitis. Kemungkinan besar terjadi pada orang kulit putih, pasien dengan
riwayat keluarga pernah mengalami kondisi yang sama dan pasien dengan HLA-
B27 positif.

Adhesive capsulitis diasosiasikan dengan diabetes, penyakit thyroid, penyakit


cerebrovascular, penyakit artery coroner, penyakit auto-imun dan penyakit
Dupuytren. Diabetes tipe I dan II mengalami resiko tinggi menderita kondisi ini,
dengan prevalensi masing-masing 10,3% dan 22,4%. ( Arkkila, 1996) Pasien
diabetes dengan adhesive capsulitis memiliki kemampuan fungsional yang lebih
buruk dibandingkan penderita tanpa diabetes. Pasien dengan penyakit
hyperthyroidism (Huang et al) beresiko 1,2x lebih besar terkena adhesive
capsulitis. Pasien dengan penyakit serebrovaskuler, terutama yang pernah
mengalami perawatan karena perdarahan subarachnoid, lebih rentan mengalami
adhesive capsulitis. Hasil studi menyebutkan 23 dari 91 pasien (25,3%) terkena
kondisi ini dalam 6 bulan. Smith et al (2001) menunjukan penyakit Dupuytren
ditemukan pada 58% pasien ( 30 dari 58 orang ) dengan adhesive capsulitis.

2.5 Patofisiologi Kekakuan pada Bahu

Proses Frozen shoulder dapat dibagi menjadi: (1) serangan terjadi 0-3 bulan,
nyeri saat gerak aktif dan pasif, keterbatasan pada gerak fleksi, abduksi, internal
rotasi dan eksternal rotasi.(2) tahap freezing serangan terjadi 3-9 bulan,
merupakan tahapan yang paling nyeri pada gerak aktif maupun pasif, terlihat
nyata adanya ketebatasan pada gerak fleksi, abuksi, internal rotasi an eksternal

21
rotasi. (3) tahap frozen serangan terjadi 9-15 bulan, nyeri pada akhir gerakan,
terdapat kekakuan saat akhir gerakan. (4) tahap thawing serangan terjadi 15-24
bulan, pada tahap ini nyeri akan berkurang dan lingkup gerak sendi akan
meningkat normal (Kelley et al, 2009)

2.6 Klasifikasi Kekakuan pada Bahu

Frozen shoulder adalah istilah yang merupakan wadah untuk semua gangguan
pada sendi bahu yang menimbulkan nyeri dan pembatasan lingkup gerak.
Pembatasan lingkup gerak sendi bahu akibat gangguan miofasial sering
dimasukkan dalam frozen shoulder. Dalam wadah tersebut ditampung juga
bursitis subacromialis, tendinitis subscapularis, tendinitis bicipitalis, yang
sebenarnya lebih tepat bila digolongkan ke dalam kelompok periartritis
humeroscapularis (Sidharta, 1983).

Istilah ‘scapulohumeral periarthritis’ atau periartritis humeroscapularis


diperkenalkan pertama kali oleh Simon-Emmanuel Duplay. “Periarthritis’
digambarkan sebagai sindrom nyeri bahu yang dibedakan dari arthritis melalui
penggambaran umum radiography sendi bahu. Pada tahun 1934, Earnest Codman
menciptakan istilah frozen shoulder untuk menekankan hilangnya kemampuan
gerak bahu pada pasien yang mengalami keluhan ini. Codman menggambarkan
kondisi ini sebagai “ kondisi yang sulit untuk didefinisikan, sulit untuk ditangani
dan sulit untuk dijelaskan dari sudut pandang pathology.” ( D’Orsi GM, 2012 )
Dalam sebuah studi histologi pionir dijamannya, Julius Neviaser mendefinisikan
ulang kondisi ini sebagai adhesive capsulitis, yang mendasarinya adalah
ditemukannya peradangan dan perubahan jaringan fibrotik yang tampak pada
kapsul atau yang berbatasan dengan bursa. ( Neviaser JS, 1945 ). Pada bahu yang
mengalami kekakuan (frozen shoulder), kapsul di bahu mengalami peradangan
dan kaku, peradangan ini menyebabkan perlengketan permukaan sendi, cairan
synovial yang melubrikasi persendian dan melicinkan pergerakan menjadi
berkurang sehingga timbul nyeri dan gangguan pergerakan aktivitas sehari-hari

22
seperti menyisir rambut, menggosok gigi, mengambil dompet disaku belakang. (
Mayo Clinic, 2007 ) Kapsul pada sendi bahu menebal disertai infiltrat inflamasi
kronis yang ringan dan terdapat fibrosis. ( Gilliand B, 2001 )

Secara klinis, pasien dengan kondisi adhesive capsulitis di awal gejala


mengalami nyeri pada bahu diikuti dengan penurunan bertahap Range of Motion
(ROM) atau Luas Gerak Sendi (LGS) baik aktif atau pasif, yang diakibatkan
fibrosis pada kapsul sendi glenohumeral. Boyle-Walker et al mengamati bahwa
kebanyakan pasien (90,6%) melaporkan terjadinya nyeri bahu sebelum
kehilangan kemampuan gerak sendi. ( Boyle-Walker, 1997 ) Keterbatasan LGS
rotasi eksternal bahu sering kali ditemukan diawal pemeriksaan, dan semakin
parah kondisinya maka keterbatasan LGS terjadi dalam semua lingkup gerak.
Rasa nyeri biasanya bertambah parah saat melakukan gerak yang ekstrim dimana
saat itu kapsul sendi yang mengalami kontraktur dipaksa untuk meregang. LGS
pasif sendi bahu juga menurun dengan rasa nyeri timbul di akhir gerak sendi
pasif, memperlihatkan bahwa rasa sakit ini lebih disebabkan karena faktor
mekanik dari pada nyeri akibat keterbatasan gerak. ( Neviaser AS, 2011 )

2.7 Manifestasi Klinis Kekakuan pada Bahu


Ciri khas dari frozen shoulder adalah berkembang secara lambat dan terdiri
atas 3 fase, masing-masing fase dapat berlangsung berbulan-bulan. Fase yang
pertama adalah fase nyeri, nyeri terjadi pada semua gerakan bahu dan gerakan
bahu mulai terbatas. Fase ke-dua adalah fase kekakuan dengan tanda-tanda nyeri
mulai berkurang, tetapi bahu menjadi kaku dan pergerakan berkurang. Gerakan
berlebihan harus dihindari karena menyebabkan nyeri, tetapi bahu masih dapat
digunakan dengan normal. Fase ke-tiga adalah fase penyembuhan yaitu saat
pergerakan bahu mulai membaik (Dewi, Kartika. 2011)
Manifestasi klinik dari kasus frozen shoulder adalah (Suharti, Amien et all.
2018) :
a. Nyeri Akut

23
Nyeri akut biasanya mulainya tiba- tiba dan umumnya berkaitan dengan
cedera spesifik. Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan atau cedera
telah terjadi. Jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit
sistematik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan terjadi
penyembuhan; nyeri ini umumnya terjadi kurang dari enam bulan dan
biasanya kurang dari satu bulan. Untuk tujuan definisi, nyeri akut dapat
dijelaskan sebagai nyeri yang berlangsung dari beberapa detik hingga enam
bulan
b. Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang
suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu penyembuhan
yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau
cedera spesifik. Meski nyeri akut dapat menjadi signal yang sangat penting
bahwa sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya, nyeri kronis biasanya
menjadi masalah dengan sendirinya.
c. Penurunan Kekuatan Otot
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya kesukaran mengangkat lengan
dan pemeriksaan tes khusus dengan pasien melakukan gerakkan konpensasi
dengan shrugging mechanism.
d. Keterbatasan Lingkup Gerak Sendi (LGS)
Ditandai dengan adanya keterbatasan LGS glenohumeral pada semua
gerakkan baik aktif atau pasif. Keterbatasan gerak menunjukkan pola
spesifik pola kapsular.
e. Gangguan Aktivitas Fungsional Dengan beberapa adanya tanda dan gejala
klinis yang ditemukan pada pasien frozen shoulder seperti adanya nyeri,
keterbatasan LGS, penurunan kekuatan otot maka secara langsung akan
memengaruhi aktifitas fungsional yang dijalani.

24
2.8 Pengukuran Kekakuan pada Bahu
1. Apley Test
Prosedur: Posisi shoulder yaitu eksternal rotasi dan abduksi, pasien
diminta menggaruk daerah sekitar angulus medialis scapula dengan tangan
sisi kontra lateral melewati belakang kepala. Pada penderita frozen
shoulder akibat capsulitis adhesiva biasanya tidak bisa melakukan gerakan
ini. Bila pasien tidak dapat melakukan karena adanya nyeri maka ada
kemungkinan terjadi tendinitis rotator cuff. Pada pemeriksaan ini
didapatkan hasil bahwa tangan pasien tidak mampu menyentuh angulus
medialis scapula kiri dikarenakan adanya rasa nyeri pada daerah bahu
kirinya. Selanjutnya, internal rotasi dan adduksi, pasien diminta untuk
menyentuh angulus inferior scapula dengan sisi kontralateral, bergerak
menyilang punggung. Pada penderita frozen shoulder akibat capsulitis
adhesiva biasanya tidak bisa melakukan gerakan ini. Pada pemeriksaan ini
didapatkan hasil bahwa tangan pasien tidak mampu menyentuh angulus
inferior scapula kiri dikarenakan adanya rasa nyeri pada daerah bahu
kirinya (Setyawan, Eko. 2014)

2. Moesley Test (Drop Arm Test)


Drop arm test bertujuan untuk memeriksa adanya kerobekan dari
rotator cuff terutama otot supraspinatus. Dimana pasien disuruh
mengabduksikan lengannya dalam posisi lurus secara penuh, kemudian
pasien disuruh menurunkannya secara perlahan-lahan apabila pasien tidak
bisa menurunkan dengan perlahan tapi lengan langsung jatuh berarti tes
positif.Pada Pemeriksaan ini didapatkan hasil negatif karena pasien
mampu menurunkan lengannya secara perlahan dan ini menunjukkan
tidak adanya kerobekan pada otot supraspinatus. (Setyawan, Eko. 2014)

25
2.9 Intervensi

2.9.1 Modalitas Fisioterapi


a. Infra Red
Infra red therapy merupakan terapi menggunakan sinar infra merah
dengan mempergunakan generator infra merah luminous dan non-
luminous. Terapi ini digunakan untuk mengurangi nyeri dan kaku otot.
(Cote, 2001) Infrared merupakan pancaran gelombang elektromagnetik
dengan panjang gelombang 7.700 sampai 4 juta A . Sinar infrared dapat
menghasilkan panas lokal yang bersifat superfisial dan direkomendasikan
pada kondisi subakut untuk mengurangi nyeri dan inflamasi. Pemanasan
superfisial akan berpengaruh pada jaringan superfisial akan menghasilkan
efek analgesia. Efek panas yang dihasilkan akan menyebabkan terjadinya
vasodilatasi pada pembuluh darah dan peningkatan sirkulasi pada jaringan
(Prentice, 2002).
Pemberian modalitas infrared dapat memberikan efek fisiologis dan
efek terapeutik pada tubuh, yaitu (Prentice, 2002) :
1) Efek Fisiologis
a. Meningkatkan proses metabolisme
Suatu reaksi kimia akan dapat dipercepat dengan adanya
panas atau kenaikan temperatur akibat pemanasan. Proses
metabolisme yang terjadi pada lapisan superfisial kulit akan
mengalami peningkatan sehingga pemberian oksigen dan
nutrisi ke jaringan menyebabkan pengeluaran sampah sisa
hasil pembakaran dalam tubuh dan adanya perbaikan pada
jaringan.
a. Vasodilatasi pembuluh darah
Efek termal yang dihasilkan oleh sinar infrared dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah kapiler dan arteriole.
Kulit akan mengalami reaksi dan berwarna kemerah-merahan
yang disebut dengan erythema. Pada saat mekanisme

26
vasomotor mengadakan reaksi dengan jalan pelebaran
pembuluh darah sehingga jumlah panas diratakan keseluruhan
jaringan lewat sirkulasi darah. keadaan sirkulasi darah yang
meningkat, maka pemberia nutrisi dan oksigen jaringan akan
meningkat pula, sehingga pemeliharaan jaringan menjadi
lebih baik dan perlawanan terhadap radang juga baik.
b. Pengaruh terhadap jaringan otot
Kenaikan temperatur membantu terjadinya relaksasi otot,
pemanasan juga akan mengaktifkan terjadinya pembuangan
metabolisme.
c. Meningkatkan temperatur tubuh
Penyinaran infrared akan memanasi jaringan superfisial,
kemudian diteruskan ke seluruh tubuh, maka selain terjadinya
pemerataan panas juga akan terjadi penurunan tekanan darah
sistemik oleh adanya panas yang akan merangsang pusat
pengatur panas tubuh untuk meratakan panas yang terjadi
dengan jalan dilatasi bersifat general.

2) Efek Terapeutik
a. Mengurangi rasa sakit
Mild heating menimbulkan efek sedatif superfisial sensoris
nerve ending, strong heating dapat menyebabkan counter
irritation yang akan menimbulkan pengurangan nyeri. Dengan
sirkulasi darah yang lancer maka zat “P” yang merupakan salah
satu penyebab nyeri akan ikut terbuang.
b. Relaksasi otot
Relaksasi otot mudah dicapai bila jaringan otot dalam
keadaan hangat dan rasa sakit menghilang.
c. Meningkatkan suplai darah

27
Kenaikan temperatur yang terjadi akan menimbulkan
vasodilatasi pembuuh darah. hal ini akan menyebabkan
terjadinya peningkatan sirkulasi darah pada jaringan yang
diterapi. d. Membuang zat-zat sisa hasil metabolisme
Penyinaran di daerah yang luas akan mengaktifkan glandula
gudoifera di seluruh badan, sehingga dengan demikian akan
meningkatkan pembuangan sisa-sisa hasil metabolism melalui
keringat.
Hal yang perlu diwaspadai pada terapi ini adalah risiko kulit yang
terbakar, sakit kepala, dan cedera pada mata. (Prentice, W.E., 2009).
Prosedur aplikasi :
1. Persiapan alat
2. Persiapan posisi pasien diatur senyaman mungkin dan
disesuaikan dengan daerah yang akan diobati. Pasien tidur
tengkurap dengan daerah bahu terbebas dari pakaian. Perlu
pula diberitahukan kepada penderita mengenai derajat
panas yang semestinya dirasakan, yaitu perasaan hangat
yang nyaman (comfortable) serta dapat ditahannya selama
berlangsungnya pengobatan.
3. Pemasangan lampu pada penderita. Pada dasarnya metode
pemasangan lampu diatur sedemikian rupa sehingga sinar yang
berasal dari lampu jatuh tegak lurus terhadap jaringan yang
diobati, jarak penyinaran lampu antara 35-45 cm. Teknik
pelaksanaan radiasi waktu penyinaran berkisar antara 10-20
menit dan ini tergantung pada toleransi serta kondisi penyakitnya
disini waktu terapi yang digunakan adalah 10 menit.

b. Ultrasound
Pada dasarnya terapi ultrasound dapat digunakan pada keadaan
akut sampai dengan kronis. Pada keadaan akut diperlukan terapi

28
dengan frekuensi yang sering dan durasi yang singkat, sedangkan
pada keadaan kronis diperluakan terapi dengan frekuensi yang lebih
jarang akan tetapi dengan durasi terapi yang lebih lama. Penggunaan
ultrasound terapi pada jam jam awal setelah cedera atau dalam waktu
48 jam setelah cedera meningkatkan kecepatan penyembuhan cedera.
Kondisi akut cedera pada umumnya memerlukan terapi satu sampai
dua kali sehari selama 6 sampai 8 hari sampai nyeri dan
pembengkakan berkurang. Pada kondisi cedera kronis terapi dapat
dilakukan dua hari sekali selama 10 sampai 12 kali. Secara khusus,
terapi ultrasound dapat dipergunakan pada keadaan keadaan berikut :
a. Spasme otot yang merupakan keadaan ketegangan dan
kontraksi otot yang berlangsung terus menerus sehingga
timbul rasa nyeri. Kontraktur otot yang diakibatkan oleh
keteganagan otot dapat diatasi dengan ultrasound karena
ultrasound memiliki efek meningkatkan kelenturan jaringan
sehingga meningkatkan jangkauan gerak.
b. Kompresi akar saraf dan beberapa jenis neuritis (radang
saraf) karena peningkatan aliran darah dari jaringan yang
dipanaskan dengan terapi ultrasound dapat mempercepat
penyembuhan jaringan.
c. Tendinitis (peradangan tendon)
d. Bursitis (peradangan bursa yang merupakan kantong berisi
vcairan yang berada diantara tendon dan tulang.
e. Herniasi diskus yang merupakan keadaan bocornya cairan
diskus intervertebral sehingga dapat menjepit saraf spinal.
Pada keadaan ini, terapi ultrasound ditujukan pada spasme
otot yang dipersarafi.
f. Sprain yang merupakan laserasi pada ligamen sendi.
g. Kontusi yang merupakan cedera pada jaringan dibawah kulit
tanpa adanya perlukaan kulit.

29
h. Whiplash yang merupakan cedera pada leher akibat gerakan
yang mendadak.
i. Cedera rotator cuff yang merupakan cedera pada otot dan
tendon yang menghubungkan ihumerus dengan scapula.
Tendon pada rotator cuff biasanya kuat akan tetapi dapat
mengalami robekan dan peradangan akibat penggunaan yang
berlebihan, proses penuaan ataupun trauma mekanis akibat
benturan.
j. Frozen shoulder (bahu beku) dengan gejala nyeri bahu dan
kekakuan yang diakibatkan oleh cedera atau arthritis. Pada
keadaan ini, terapi ultrasound dapat mengurangi kekakuan
dan meningkatkan jangkauan gerak sendi.

c. Dosis dan Durasi Ultrasound Therapy


Frekuensi, intensitas dan durasi tergantung pada keadaan
individual. Ahli terapi akan meletakkan transducer pada area yang
mengalami gangguan dan kemudian melakukan gerakan memutar.
Transducer harus digerakkan secara terus menerus untuk
menghindari luka bakar. Transducer tidak boleh diletakkan pada
mata, tengkorak, tulang belakang, jantung, organ reproduktif dan area
dimana terdapat implant.Terapi dapat dilakukan deegan
menggunakan dua cara yakni kontinyu dan intermitten. Pada metode
kontinyu, gelombang ultrasound dibuat tetap sedangkan pada metode
intermitten, gelombang ultrasound terputus putus. Dengan metode
intermitten resiko luka bakar dapat diminimalkan.
Selama terapi penderita seharusnya merasakan rasa hangat atau
tidak merasakan sensasi apapun. Apabila ada rasa tidak nyaman,
terapi harus dihentikan. Biasanya waktu terapi yang dibutuhkan
berkisar 5 sampai dengan 10 menit. Setelah itu penderita dapat

30
beraktivitas seperti semula. Sebagian besar gejala memerlukan terapi
selama beberapa episode tergantung evaluasi klinis dari terapis.
Kemajuan terapi dapat dinilai dengan menggunakan skala nyeri atau
goniometer, yang merupakan alat untuk mengukur jangkauan gerak
sendi (Arovah, Novita Intan. 2007)
2.9.2 Terapi Latihan
a. Wall Climb Exercise
Wall climbing adalah latihan yang bertujuan untuk meningkatkan
Range Of Motion (ROM). Pelaksanaan yaitu dengan Menginstruksikan
klien untuk berdiri di depan dinding, letakan telapak tangan klien di
dinding, dan instruksikan klien untuk perlahan-lahan jalankan jari-jari
keatas dinding, lanjutkan bahu hingga terenggang maksimum, tahan 8
detik selama 5 set latihan. Dilakukan 1x sehari

b. ROM Exercise
Lingkup Gerak Sendi adalah teknik dasar yang digunakan untuk
pemeriksaan gerak serta untuk memasukkan gerak ke dalam program
intervensi terapeutik. Gerakan yang diperlukan untuk melakukan
aktivitas fungsional dapat dianggap, dalam bentuknya yang palinh
sederhana, sebagai gaya otot atau eksternal yang menggerakkan tulang
dalam berbagai pola atau lingkup gerak sendi (Kisner, Carolyn dan
Lynn Allen Colby. 2016) Jenis-jenis Latihan ROM yaitu:
 ROM Pasif. ROM Pasif (PROM) adalah gerak segmen tubuh
dalam ROM yang tidak dibatasi dan dihasilkan oleh gaya
eksternal; hanya ada sedikit kontraksi otot volunteer atau
bahkan tidak ada. Gaya eksternal dapat berasal dari gravitasi,
mesin, orang lain, atau bagian tubuh lain dari individu itu
sendiri. PROM tdak sama dengan peregangan pasif.

31
 ROM Aktif. ROM aktif (AROM) adalah gerak segmen tubuh
dalam ROM yang tidak dibatasi yang dihasilkan oleh
kontraksi aktif otot yang melintasi sendi tersebut.
 ROM Aktif-Asistif. ROM aktif-asistif (A-AROM) adalah
jenis AROM dnegan bantuan yang diberikan secara manual
atau mekanik oleh gaya luar karena otot penggerak utama
membutuhkan bantuan untuk menyelesaikan gerakan
(Kisner, 2016).

32
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Pemelihan Subjek


3.1.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian dilakukan dengan melakukan pemilihan
subjek melalui studi kasus.

3.1.2 Desain Penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan metode wawancara terhadap
keluarga klien menggunakan media kuesioner. Kuesioner yang
diberikan adalah kuesioner keluhan dengan 30 item pertanyaan dan
Nordic body map questionnaire. Permasalahan yang timbul sebelum
klien menjalani program terapi adalah klien mengeluh nyeri dan kaku
pada bahu kanan, keterbatasan saat melipat tangan ke belakang dan
mengangkat tangan ke atas, tidak pernah dibawa ke dokter dan tidak
menkonsumsi obat, keluhan dirasakan 1 tahun terakhir nyeri yang
dieasakan muncul pada saat pagi hari dan cuaca dingin. Fisioterapi
memberikan modalitas alat berupa Infra Merah (IR),Ultrasound (US) ,
dan ROM Exercise yang diharapkan dapat menurunkan meningkatkan
Lingkup Gerak Sendi klien.

3.2 Teknik Analisis Data


3.2.1 Kuesioner
Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner keluhan
dengan 30 item pertanyaan dan Nordic Body Map. Kuesioner keluhan
dengan 30 item pertanyaan ditujukan untuk menilai kelelahan secara
umum yang mencakup tiga kelompok kelelahan yaitu kelelahan
kegiatan, kelelahan motivasi dan kelelahan secara fisik. Questionnaire
merupakan sistem pengukuran keluhan sakit pada tubuh atau

33
merupakan data yang digunakan untuk menunjukkan bagian spesifik
yang tidak nyaman dari tubuh.

3.2.2 Anamnesis
Anamnesis merupakan suatu pengumpulan data dengan cara
tanya jawab antara terapis dengan sumber data, dengan dilakukannya
tanya jawab diharapkan akan memperoleh informasi tentang penyakit
dan keluhan yang dirasakan oleh sumber data.

3.2.3 Pemeriksaan Spesifik


Pemeriksaan spesifik yang dilakukan untuk memeriksa hal-hal
yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis ataupun dasar
penyusunan problematik, tujuan dan tindakan fisioterapi.

3.2.4 Diagnosis Fisioterapi


Penegakkan diagnosis fisioterapi yang terdiri dari impairment,
functional limitation dan disability.

3.2.5 Planning
Rencana jangka pendek dan jangka panjang yang diberikan
fisioterapi untuk meningkatkan kemampuan fungsional.

3.2.6 Intervensi
Penatalaksanaan fisioterapi untuk meningkatkan aktivitas
fungsional melalui modalitas alat berupa infrared, Ultrasound dan
ROM exercise.

3.2.7 Evaluasi
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui apakah klien mengalami
peningkatan setelah diberikan terapi atau terapi yang diberikan

34
berguna bagi penyembuhan klien dengan melakukan pemeriksaan
seperti pada awal pemeriksaan, untuk kemudian dibandingkan.

35
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Kuesioner dan Pemeriksaan Fisioterapi

Identitas Klien
 Nama : Komang Martiani
 Umur : 47 tahun
 Jenis kelamin : Perempuan
 Status Keluarga : Menikah
 Pekerjaan : Petani

Tabel 4.1 Kuesioner Kelelahan Umum dengan 30 Item Pertanyaan

No Pertanyaan Ya/Tidak
1 Apakah saudara merasa berat di bagian kepala ? Tidak
2 Apakah saudara merasa lelah pada seluruh badan ? Tidak
3 Apakah kaki saudara merasa berat ? Ya
4 Apakah saudara menguap ? Tidak
5 Apakah pikiran saudara merasa kacau ? Tidak
6 Apakah saudara merasa mengantuk ? Tidak
7 Apakah saudara merasa ada beban pada mata ? Tidak
8 Apakah saudara merasa kaku atau canggung dalam Tidak
bergerak ?
9 Apakah saudara merasa sempoyongan dalam berdiri ? Tidak
10 Apakah ada perasaan ingin berbaring ? Tidak
11 Apakah saudara merasa susah berpikir ? Tidak
12 Apakah saudara merasa lelah untuk berbicara ? Tidak
13 Apakah perasaan saudara menjadi gugup ? Tidak
14 Apakah saudara tidak bisa berkonsentrasi ? Tidak
15 Apakah saudara tidak dapat memusatkan perhatian Tidak

36
terhadap sesuatu ?
16 Apakah saudara mempunyai kecendrungan untuk lupa ? Tidak
17 Apakah saudara merasa kurang percaya diri ? Tidak
18 Apakah saudara merasa cemah terhadap sesuatu ? Tidak
19 Apakah saudara merasa tidak dapat mengontrol sikap ? Tidak
20 Apakah saudara merasa tidak tekun dalam pekerjaan ? Tidak
21 Apakah saudara sakit kepala ? Tidak
22 Apakah saudara merasa kaku di bagian bahu ? Ya
23 Apakah saudara merasa nyeri di bangian punggung ? Tidak
24 Apakah nafas saudara merasa tertekan ? Tidak
25 Apakah saudara merasa haus ? Tidak
26 Apakah saudara merasa serak ? Tidak
27 Apakah saudara merasa pening ? Tidak
28 Apakah kelopak mata saudara merasa kejang ? Tidak
29 Apakah anggota badan saudara terasa bergetar (tremor) ? Tidak
30 Apakah saudara merasa kurang sehat ? Tidak

Tabel 4.2 Nordic Body Map Questionare

No. Lokasi Tingkat Keterangan:


kesakitan A : Tidak Sakit
0 Sakit kaku pada leher atas A B : Sedikit Sakit
1 Sakit pada leher bawah A C : Sakit

2 Sakit pada bahu kiri A D : Sangat Sakit

3 Sakit pada bahu kanan D


4 Sakit pada lengan atas kiri A
5 Sakit pada punggung A
6 Sakit pada lengan atas kanan A
7 Sakit pada pinggang A

37
8 Sakit pada pantat (buttock) A
9 Sakit pada pantat (Buttom) A
Gambar 4.1 Penampang
10 Sakit pada siku kiri A
Nordic Body Map
11 Sakit pada siku kanan A
12 Sakit pada lengan bawah kiri A
13 Sakit pada lengan bawah A
kanan
14 Sakit pada pergelangan A
tangan kiri
15 Sakit pada pergelangan A
tangan kanan
16 Sakit pada tangan kiri A
17 Sakit pada tangan kanan A
18 Sakit pada paha kiri A
19 Sakit pada paha kanan A
20 Sakit pada lutut kiri C
21 Sakit pada lutut kanan C
22 Sakit pada betis kiri A
23 Sakit pada betis kanan A
24 Sakit pada pergelangan kaki A
kiri
25 Sakit pada pergelanagn kaki A
kanan
26 Sakit pada kaki kiri A
27 Sakit pada kaki kanan A

38
FORM PEMERIKSAAN FISIOTERAPI

ASSESMENT
DIAGNOSA UMUM
Identitas Klien
Nama : Komang Martiani
Umur : 47 tahun
Status : Menikah
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Bebandem
Pekerjaan : Petani
Hobi :-
Agama :-

ANAMNESA KHUSUS
Keluhan Utama
Nyeri dan kaku pada bahu kanan

Riwayat Penyakit Sekarang

- Klien mengeluh nyeri dan kaku pada bahu kanan


- Keterbatasan pada saat melipat tangan (lengan) ke belakang dan mengangkat
tangan ke atas
- Tidak ada riwayat ke dokter dan tidak ada mengkonsumsi obat
- Keluhan dirasakan sejak 1 tahun yang lalu
- Nyeri saat pagi hari dan cuaca dingin
- Nyeri local tidak menjalar

39
Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada riwayat penyakit keluarga

Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak ada riwayat penyakit dahulu

Riwayat Sosial

Tidak ada riwayat sosial

PEMERIKSAAN UMUM
Pemeriksaan Tanda Vital
Tekanan darah : 120/70 mmHg

Denyut nadi : 80 denyut/menit

Pernafasan : 20 nafas/menit

Temperatur : 36,5oC

Tinggi badan :-

Berat Badan :-

Inspeksi

Statis : Bahu asimetris, bahu kanan lebih tinggi, tidak ada raut wajah kesakitan
Dinamis : Saat menggerakan bahu nampak raut wajah kesakitan , shoulder
protraksi, spine curva dalam batas normal

Palpasi

- Nyeri tekan (+)


- Deformitas (-)

40
- Tonus: Hypertonus

Perkusi

Tidak Dilakukan

Auskultasi
Tidak Dilakukan

Kemampuan Fungsional

Keterbatasan melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi dan menyisir rambut

PEMERIKSAAN SPESIFIK
- Tes Apley (+)
- Tes Mosley (+)
- ROM
- Abduksi : 800
- Adduksi : 60º
- Fleksi : 900
- Ekstensi :50º
- Internal Rotasi : 45º
- Eksternal Rotasi:45º

DIAGNOSA MEDIS

Frozen Shoulder

41
DIAGNOSA FISIOTERAPI

Imparment: Nyeri dan kaku pada bagian bahu kanan


Aktivitas Fungsional: Kesulitan dalam melakukan kegiatan Sehari-hari seperti
menyisir rambut dan mandi
Participation Restriction :Terganggu pada saat melakukan pekerjaannya sebagai
petani

PLANNING

Jangka pendek : mengurangi nyeri dan kaku di bahu kanan


Jangka panjang : meningkatkan fungsional ROM pada bahu

INTERVENSI
Modalitas
- IR :
Frekuensi : 1 kali
Intensitas : 30 cm
Time : 10 menit
Tipe : Luminous
- Ultrasound :
Frekuensi : 1 kali
Intensitas : 2 MHz
Time : 5 menit
Tipe : Continous

Terapi latihan
- ROM Exercise

42
- Wall Climbing Exercise

EVALUASI
Peningkatan ROM
- Abduksi : 900 (meningkat 10º)
- Adduksi : 60º
- Fleksi : 1000 (meningkat 10º)
- Ekstensi :50º
- Internal Rotasi : 45º
-
Eksternal Rotasi:45º

EDUKASI

Latihan ROM excersie dan wall climb exercise secara aktif di rumah

4.2 Pembahasan hasil

4.2.1 Kuesioner kelelahan umum

Bedasarkan pertanyaan nomor 1-10 menggambarkan kondisi umum yang


baik pada klien karena dari 10 item pertanyaan klien hanya merasa berat pada
kaki klien.

43
Berdasarkan pertanyaan nomor 11-20 menggambarkan kondisi motivasi
klien sangat baik karena dari 10 item pertanyaan, klien tidak mengeluh adanya
gangguan.
Bedasarkan pertanyaan 21-30 menggambarkan kondisi fisiologis pada
klien, dari 10 item pertanyaan klien hanya merasakan kaku pada bagian bahunya.
Jadi dapat disimpulkan dari data kuesioner kelelahan umum dengan 30 item
pertanyaan klien dalam keadaan baik.

4.2.2 Kuesioner Nordic Body Map

Dilihat dari gambar Nordic Body Map dapat diketahui bahwa Komang
Martiani merasa sangat sakit pada bagian bahu sebelah kanan, dan merasakan
sakit pada bagian kedua lututnya.

4.2.3 Assesment

Klien datang dengan keluhan nyeri dan kaku pada bagian bahu kanan.
Klien mengalami keterbatasan saat melipat tangan (lengan) ke arah belakang dan
saat mengangkat tangannya. Klien belum pernah berobat ke dokter dan tidak
sedang mengkonsumsi obat-obatan. Klien sudah merasakan sakit pada bahu
kanannya sejak satu tahun yang lalu. Nyeri yang dirasakan oleh klien ada saat
pagi hari dan pada saat cuaca dingin. Pada pemeriksaan umum yang kami
melakukan pemeriksaan secara inspeksi yang dilakukan dengan cara melihat klien
secara langsung untuk mengidentifikasi tanda-tanda dari keluhan yang dialami
oleh klien. Pada saat klien duduk terlihat bahu klien asimetris yaitu pada bagian
kanan lebih tinggi. Dan pada saat bahu digerakan raut muka klien tampak
menahan rasa sakit. Kami juga melakukan pemeriksaan secara palpasi yaitu
dengan cara meraba, menekan, dan meraba bagian bahu klien untuk mengetahui
apakah ada bengkak atau spasme pada otot disekitar bahu. Pada saat dilakukan
penekanan pada area bahu klien mengeluh nyeri ketika ditekan. Klien juga

44
mengalami keterbatasan pada saat melakukan aktivitas fungsionalnya seperti pada
saat mandi dan menyisir rambut.

4.2.4 Pemeriksaan spesifik

Kami melakukan pemeriksaan spesifik berupa tes Apley dan mendapatkan


hasil positif karena klien tidak dapat melakukan gerakan tersebut dan dilanjutkan
dengan test mosley dan didapatkan hasil positif. Setelah itu kami melakukan
pemeriksaan pada ROM bahu klien di dapatkan bahwa pada saat abduksi bahu
sebesar 800, saat fleksi bahu di dapetkan 900 adduksi 60 º, ekstensi 50º, endorotasi
45º dan eksorotasi 45º

4.2.5 Diagnosa Medis

Berdasarkan keluhan klien pada daerah bahu dan setelah dilakukan


pemeriksaan dugaan sementara keluhan klien mengarah pada Frozen Shoulder.

4.2.6 Diagnosa Fisioterapi

- Imparment: Nyeri dan kaku pada bagian bahu kanan


- Aktivitas Fungsional: Kesulitan dalam melakukan kegiatan Sehari-hari
seperti menyisir rambut dan mandi
- Participation Restriction :Terganggu pada saat melakukan pekerjaannya
sebagai petani

4.2.7 Planning

Planning atau perencanaan terapi sangat diperlukan sebelum dilakukan


intervensi, hal ini agar program intervensi yang diberikan terarah sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai.Dalam kasus ini planning jangka pendek yaitu
mengurangi nyeri dan kaku pada bagian bahu kanan, sedangkan jangka
panjangnya adalah meningkatkan fungsional ROM pada bahu.

4.2.8 Intervensi

45
1. Infra Merah
Infra merah merupakan pancaran gelombang elektromagnetik yang
mempunyai frekuensi 7 x 1014 – 400 x 1014 Hz dan panjang gelombang 700
– 15.000 nm. Infra merah digunakan untuk memberi efek thermal sehingga
membantu proses vasodilatasi baik digunakan sebelum persiapan
diberikannya Ultrasound dan terapi latihan yang akan dilatih oleh terapis.
prosedur penggunaan IR sebagai berikut:
- Posisikan klien miring dengan nyaman di bed.
- Kemudian lepaskan pakaian di sekitar pinggang dan pantat.
- Terapis memberikan sinar IR dengan jarak 30 cm dengan durasi 5
menit dan posisi IR tegak lurus dengan objek yang dituju.

Infra merahkami gunakan pada keluhan disini untuk mengurangi rasa


nyeri dan relaksasi otot dan untuk mempermudah pemberian latihan
selanjutnya.

2. Ultrasound
Ultasound digunakan dengan metode longitudinal agar mendapatkan efek
panas yang merata pada seluruh area yang menjadi target terapi, mencapai area
yang lebih luas dan penyerapan gelombang ultrasound lebih optimal. Prosedur
penggunaan Ultrasound sebagai berikut:

- Posisikan klien duduk dengan nyaman di bed.


- Kemudian lepaskan pakaian di sekitar leher dan bahu serta tangan.
- Atur intensitas dan waktu penggunaan Ultrasound
- Terapis meletakkan gel di area yang akan dilakukan treatment.
- Ratakan gel dengan tranduser
- Tekan tombol StartGosok tranduser pada area treatment sambil diberikan
sedikit tekanan selama 5 menit.

3. Terapi Latihan (ROM Exercise)

46
Terapi latihan merupakan salah satu usaha pengobatan fisioterapi yang
pelaksanaannya menggunakan latihan–latihan gerakan tubuh baik secara aktif
maupun pasif untuk mempercepat proses penyembuhan dari suatu cidera atau
penyakit tertentu yang telah merubah cara hidupnya yang normal. Prosedur
pelaksanaan ROM Exercise sebagai berikut :

- Posisi pasien duduk relaks,

- Pasien di instruksikan untuk menggerakkan kearah fleksi,


ekstensi, abduksi dan adduksi, internal rotasi dan eksternal
rotasi yang dilakukan secara pasif terlebih dahulu dengan
bantuan terapis, selanjutnya dilakukan dengan aktif assisted
dan kemudian dilakukan secara aktif oleh klien

4. Terapi Latihan (Wall Climb Exercise)


Pelaksanaan yaitu dengan Menginstruksikan klien untuk berdiri di depan
dinding, letakan telapak tangan klien di dinding, dan instruksikan klien untuk
perlahan-lahan jalankan jari-jari keatas dinding, lanjutkan bahu hingga
terenggang maksimum, tahan 8 detik selama 5 set latihan. Dilakukan 1x sehari

4.2.9 Evaluasi
Setelah diberikan intervensi berupa modalitas infra red dan ultrasound, serta
terapi latihan ROM exercise dan wall climb exercise terjadi peningkatan lingkup
gerak sendi pada bahu yaitu Abduksi 90º (meningkat 10º) dan Fleksi 100º
(meningkat 10º)

4.2.10 Edukasi

Edukasi diberikan kepada klien untuk dilakukan di rumah atau home program
guna menunjang keberhasilan terapi dan mencegah keluhan datang kembali.

47
Edukasi sangat penting diberikan kepada klien. Edukasi yang diberikan antara
lain:
a) Dapat latihan dengan cara telapak tangan yang dikeluhkan menempel
ke tembok atau dinding rumah dan gerakkan ke atas secara perlahan.
Latihan ini biasa disebut Wall Climbing.
b) Latihan gerakan ROM aktif pada bahu yang dikeluhkan secara mandiri

48
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan pada klien ibu Komang Martiani yang mengalami
keluhan nyeri dan kekakuan pada bahu kanan, dan kemudian diberikan tindakan
fisioterapi berupa Ultrasound, Infrared, Aktif ROM Exercise, Wall Climb exercise
pada klien, terjadi peningkatan ROM pada bahu yaitu pada gerak aktif abduksi 90º
(meningkat 10º), dan pada gerak aktif fleksi 100º (meningkat 10º) . Edukasi yang
diberikan kepada klien untuk dilakukan di rumah atau home program guna
menunjang keberhasilan terapi dan mencegah keluhan datang kembali yaitu latihan
ROM aktif exercise dan Wall Climbing exercise secara mandiri.

5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, saran yang dapat penulis berikan sebagai berikut
1. Mahasiswa lebih meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam
pemberian pelayanan serta penanganan kasus.
2. Mahasiswa lebih peduli terhadap status kesehatan klien baik sebelum dan
sesudah mendapatkan pelayanan fisioterapi.
3. Masyarakat lebih kooperatif dan mendukung kelancaran kegiatan
KINEMATIKA X.

49
DAFTAR PUSTAKA

A, Charles Rockwood. The Shoulder Fourth Edition. China: Saunders; 2009

Adhesive capsulitis of the shoulder: review of pathophysiology and current clinical


treatments Hai V.Le, Stella J.Lee, Ara Nazarian, Edward K.Rodriguez
Shoulder and Elbow 2017, Vol 9(2) 75-84
Ansar dan Sudaryanto. 2011. Biomekanik Osteokinematika dan Arthokinematika.
Kementrian Kesehatan RI Politeknik Kesehatan Makassar
Arovah, Intan. 2007. “Fisioterapi dan Latihan Terapi Pada Osteoarthritis”
MEDIKORA Vol. III, No.1, April 2007:18-41. Diakses tanggal 12 Februari
2017
Cote, L. G. (2001). "Management Osteoarthritis." Journal of the American Academy
of Nurse Practitioners (Tahun 13, Nomor 11) Hlm.495
Dewi, Kartika. 2011. "Akupunktur sebagai Terapi pada Frozen Shoulder".Tersedia
dihttp://majour.maranatha.edu/index.php/jurnalkedokteran/article/view/909/pd
f. Diakses pada tanggal 19 Februari 2019
J Kelley, Martin, W Mcclure, Philip, G Leggin, Brian. 2009. Frozen Shoulder:
Evidence and a Proposed Model Guiding Rehabilitation. Journal
oforthopaedic & sports physical therapy. Vol.23. No.2: 2013: hal 135-144
Kelley et all. 2009. "Frozen Shoulder: Evidence and a Proposed Model Guiding
Rehabilitation Leggin". Tersedia di
https://www.jospt.org/doi/pdf/10.2519/jospt.2009.2916?code=jospt-site.
Diakses pada tanggal 19 Februari 2019.
Kisner, Carolyn dan Lynn Allen Colby. 2016. Terapi Latihan Dasar dan Teknik.
Jakarta : EGC
Morgan, W.E dan Potthoff, S. 2012. Managing the Frozen Shoulder: Self-Care
Manual for Those Suffering From Frozen Shoulder. e-book, diakses
tanggal19
/02/2019, dari http://drmorgan.info/data/documents/frozenshoulder-
ebook.pdf.

50
Mutaqin, Wawan Ridwan dan Ninik Nur Hidayah. 2016. Pengaruh Senam Bahu
Terhadap Intensitas Nyeri Dan Kemampuan Kemandirian Aktivitas
Fungsional Pada Pasien Frozen Shoulder. Diakses pada tanggal 19 Februari
2019.
Physical Therapy in the management of frozen shoulder Hui Bin Yvonne Chan, Pek
Ying Pua, Choon How How Singapore Med J 2017; 58(12): 685-
689Diagnosis and clinical assessment of a stiff shoulder Alison Armstrong
Shoulder and Elbow 2015, vol.7(2) 128-134
Prentice, W.E. 2009. Therapeutic Modalities fof Physical Therapist (2nd ed). USA :
The McGraw-Hill Companies. New York http://www/ligben/com E-book.
S, Lynn. Clinical Kinesiology and Anatomy. Phladelphia : F.A Davis Company ;
2011

Setyawan, Eko. 2014. Penatalaksanaan Penatalaksanaan Penatalaksanaan


Fisioterapi Pada Lansia Dengan Frozen Shoulder (Kiri Di Rumah Sakit
Dr.Moewardi Surakarta. Tersedia di
http://eprints.ums.ac.id/32408/11/naskah%20publikasi_1.pdf diakses tanggal
19 Februari 2019

Shoulder Pain and Mobility Deficits: Adhesive Capsulitis Clinical Practice


Guidelines J Orthop Sports Phys Ther 2013.43:A1-A31
Suharti, Amien et all. 2018. “Penatalaksanaan Fisioterapi pada Frozen Shoulder
Sinistra Terkait Hiperintensitas Labrum Posterior Superior di Rumah Sakit
Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto”. Jurnal Vokasi Indonesia. Tersedia di
http://www.jvi.ui.ac.id/index.php/jvi/article/download/116/101 diakses
tanggal 19 Februari 2019
Sulidah dan Susilowati. 2017. "Pengaruh Tindakan Pencegahan Terhadap Kejadian
Dekubitus Pada Lansia Imobilisasi". Tersedia di jurnalnasional.ump.ac.id.
Diakses pada tanggal 19 Februari 2019.

51
LAMPIRAN

Gambar 1. Proses Kuesioner klien Ibu Martiani

Gambar 2. Proses Asessment klien Ibu Martiani

52
Gambar 3. Proses Intervensi klien Ibu Martiani

Gambar 4. Proses Intervensi klien Ibu Martiani

53
Gambar 5. Proses Intervensi klien Ibu Martiani

Gambar 6. Proses Intervensi klien Ibu Martiani

54

Anda mungkin juga menyukai