Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Frozen shoulder adalah salah satu yang paling umum terjadi. Namun salah
satu gangguan dari sendi glenohumeral yang paling kurang dipahami. Ini terutama
karena kesulitan mendefinisikan dan membedakan dengan jelas dari kondisi lain
dengan serupa dan temuan tetapi dengan penyebab yang jelas berbeda (Joseph &
Gerald, 2007).

Frozen shoulder merupakan rasa nyeri yang mengakibatkan keterbatasan


lingkup gerak sendi (LGS) pada bahu. Mungkin timbul karena adanya trauma,
mungkin juga timbul secara perlahan-lahan tanpa tanda-tanda atau riwayat
trauma.Keluhan utama yang dialami adalah nyeri dan penurunan kekuatan otot
penggerak sendi bahu dan keterbatasan LGS terjadi baik secara aktif atau
pasif.Frozen shoulder secara pasti belum diketahui penyebabnya. Namun
kemungkinan terbesar penyebab dari frozen shoulder antara lain tendinitis,
rupture rotator cuff, capsulitis, post immobilisasi lama, trauma serta diabetes
mellitus.Respon autoimmun terhadap rusaknya jaringan lokal yang diduga
menyebabkan penyakit tersebut.Capsulitis adhesive ditandai dengan adanya
keterbatasan luas gerak sendi glenohumeral yang nyata, baik gerakan aktif
maupun pasif.Ini adalah suatu gambaran klinis yang dapat menyertai tendonitis,
infark miokard, diabetus mellitus, fraktur immobilisasi lama, atau redukulus
cervicalis.

Secara epidemiologi frozen shoulder terjadi sekitar usia 40 - 65 tahun. Dari


2-5% populasi sekitar 60% dari kasus frozen shoulder lebih banyak mengenai
perempuan dibandingkan dengan laki - laki. Frozen shoulder juga terjadi pada 10
- 20% dari penderita diabetus millitus yang merupakan salah satu faktor resiko
frozen shoulder(Miharjanto, et al., 2010).
Menurut Vermeulen et al (2000) adhesive capsulitis adalah hilangnya
mobilitas aktif dan pasif dari sendi glenohumeral secara insidious (tidak jelas
pemunculannya) dan progresif akibat kontraktur kapsul sendi. Prevalensi 2% dari

1
populasi umum dan 10–29% pada penderita diabetes di Amerika (shickling dan
walsh, 2001). Tanda khusus adhesive capsulitis adanya keterbatasan pola kapsuler
sendi glenohumeral ke segala arah.Dimana pada gerakan eksorotasi yang paling
terbatas diikuti abd/fleksi dan endorotasi.
Pada kondisi frozen shoulder akibat capsulitis adhesiva ini fisioterapis
berperan dalam mengurangi nyeri, meningkatkan luas gerak sendi, mencegah
kekakuan lebih lanjut dan mengembalikan kekuatan otot serta meningkatkan
aktifitas fungsional pasien.

Untuk mengatasinya dapat digunakan modalitas fisioterapi pada kasus


frozen shoulder berupa MicroWave Diatermy (MWD) alat ini dapat digunakan
untuk mengurangi nyeri dan terapi latihan berupa Shoulder Wheel serta Terapi
Manipulasi yang dapat mengurangi perlengketan jaringan sehingga dapat
digunakan untuk meningkatkan Lingkup Gerak Sendi (LGS) dan Terapi Latihan
berupa Active Resisted Exercise yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kekuatan otot. Pada kasus Frozen Shoulder akibat Capsulitis Adhesiva tindakan
fisioterapi harus diberikan sedini mungkin untuk mencegah kekakuan yang terjadi
pada sendi bahu semakin bertambah.

2
BAB II

TINJUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Frozen Shoulder


1. Anatomi Fisiologi
Secara anatomi sendi bahu merupakan sendi peluru (ball and
socket joint) yang terdiri atas bonggol sendi dan mangkuk sendi. Cavitas
sendi bahu sangat dangkal, sehingga memungkinkan seseorang dapat
menggerakkan lengannya secara leluasa dan melaksanakan aktifitas
sehari-hari. Namun struktur yang demikian akan menimbulkan
ketidakstabilan sendi bahu dan ketidakstabilan ini sering menimbulkan
gangguan pada bahu.
Sendi bahu merupakan sendi yang komplek pada tubuh manusia
dibentuk oleh tulang-tulang yaitu : scapula (shoulder blade),clavicula
(collar bone), humerus (upper arm bone), dan sternum. Daerah
persendian bahu mencakup empat sendi, yaitu sendi sternoclavicular,
sendi glenohumeral, sendi acromioclavicular, sendi scapulothoracal.
Empat sendi tersebut bekerjasama secara secara sinkron. Pada sendi
glenohumeralsangat luas lingkup geraknya karena caput humeri tidak
masuk ke dalam mangkok karena fossa glenoidalis dangkal.

Gambar 2.1

Anatomi Shoulder

3
Shoulder kompleks merupakan sendi yang paling kompleks pada
tubuh manusia karena memiliki 5 sendi yang saling terpisah. Shoulder
kompleks tersusun oleh 3 tulang utama yaitu clavicula, scapula, dan
humerus yang membentuk kombinasi three joint yang menghubungkan
upper extremity dgn thoraks.

Shoulder kompleks terdiri atas 3 sendi sinovial dan 2 sendi non-


sinovial. Ketiga sendi sinovial adalah sternoclavicular joint,
acromioclavicular joint, dan glenohumeral joint, sedangkan kedua sendi
non-sinovial adalah suprahumeral joint dan scapulothoracic joint.
Suprahumeral joint merupakan syndesmosis karena pertemuan kedua
tulang hanya dihubungkan oleh ligamen (jaringan fibrous) dan secara
fungsional terlibat pada gerakan elevasi, depresi, protraksi, retraksi,
abduksi dan fleksi shoulder.Scapulothoracic joint merupakan sendi
fungsional karena secara anatomis tidak memiliki karakteristik arsitektur
sendi, dimana sendi ini secara fungsional terlibat pada gerakan elevasi,
depresi, protraksi, retraksi, abduksi dan fleksi shoulder.

Berbeda dngan cara berpikir murni anatomis tentang gelang bahu,


maka bila dipandang dari sudut klinis praktis gelang bahu ada 5 fungsi
persendian yang kompleks, yaitu:

a. Sternoclavicular joint
Sternoclavicular joint dibentuk oleh ujung proksimal clavicula
yang bersendi dengan incisura clavicularis dari manubrium sternum
dan cartilago costa I. Sternoclavicular joint terdiri dari 2 permukaan
yang berbentuk saddle, salah satu permukaan terdapat pada ujung
proksimal clavicula dan satu permukaan lagi terdapat pada incisura
clavicularis dari manubrium sternum, sehingga sternoclavicular joint
tergolong kedalam saddle joint.
Sternoclavicular joint memiliki diskus artikular fibrokartilago
yang dapat memperbaiki kesesuaian kedua permukaan tulang yang

4
bersendi & berperan sebagai shock absorber.Sternoclavicular joint
dibungkus oleh kapsul artikularis yang tebal dan kendor, serta
diperkuat oleh ligamen sternoclavicular anterior dan posterior.Selain
ligamen sternoclavicular anterior dan posterior, sendi ini juga
diperkuat oleh ligamen costoclavicularis dan interclavicularis.Ligamen
costoclavicular memiliki 2 lamina yaitu lamina anterior yang memiliki
serabut kearah lateral dari costa I ke clavicula, dan lamina posterior
yang memiliki serabut kearah medial dari costa I ke clavicula.Ligamen
interclavicularis menghubungkan kedua ujung proksimal clavicula dan
ikut menstabilisasi sternoclavicular joint.

Gambar 2.2
Struktur Sendi Sternoclavicula

b.Acromioclavicular joint
Acromioclavicular joint dibentuk oleh processus acromion scapula
yang bersendi dengan ujung distal clavicula.Acromioclavicular joint
termasuk kedalam irregular joint atau plane joint dengan permukaan
sendi yang hampir rata, dimana permukaan acromion berbentuk konkaf
dan ujung distal clavicula berbentuk konveks.Acromioclavicular joint
memiliki diskus artikular diantara kedua permukaan tulang pembentuk
sendi.
Acromioclavicular joint dibungkus oleh kapsul artikularis yang
lemah tetapi diperkuat oleh ligamen acromioclavicularis superior dan

5
inferior.Pada bagian posterior dan superior sendi juga diperkuat oleh
aponeurosis otot upper trapezius dan deltoideus. Ligamen
coracoclavicularis (serabut trapezoideum pada sisi lateral dan serabut
conoideum pada sisi medial) dan ligamen coracoacromialis tidak
berhubungan langsung dengan acromioclavicular joint tetapi ikut
membantu menstabilisasi acromioclavicular joint

Gambar 2.3
Struktur Sendi Acromioclavicular

c.Glenohumeral joint
Glenohumeral joint dibentuk oleh caput humeri yang bersendi
dengan cavitas glenoidalis yang dangkal. Glenohumeral joint termasuk
sendi ball and socket joint dan merupakan sendi yg paling bebas pada
tubuh manusia.
Caput humeri yang berbentuk hampir setengah bo-la memiliki area
permukaan 3 – 4 kali lebih besar daripada fossa glenoidalis scapula
yang dangkal se-hingga memungkinkan terjadinya mobilitas yang
tinggi pada shoulder.Fossa glenoidalis diperlebar oleh sebuah
bibir/labrum fibrokartilago yang mengelilingi tepi fossa, disebut dengan
“labrum glenoidalis”.Labrum glenoidalis dapat membantu menambah
stabilitas glenohumeral joint. Kapsul artikularisnya kendor dan jika
lengan ter-gantung ke bawah akan membentuk kantong kecil pada
permukaan medial, yang disebut “recessus axillaris”.
Bagian atas kapsul diperkuat oleh lig.coracohumeral dan bagian
anterior kapsul diperkuat oleh 3 serabut lig. glenohumeral yang lemah

6
yaitu lig. glenohumeral superior, middle dan inferior. Ada 4 tendon otot
yang memperkuat kapsul sendi yaitu supraspinatus, infraspinatus, teres
minor dan subscapularis. Keempat otot tersebut dikenal dengan
“rotator cuff muscle”, berperan sebagai stabilitas aktif shoulder joint.
Selain rotator cuff muscle, stabilitas aktif sendi juga dibantu oleh
tendon caput longum biceps brachii. Rotator cuff muscle memberikan
kontribusi terhadap gerakan rotasi humerus dan tendonnya membentuk
collagenous cuff disekitar sendi shoulder sehingga membungkus
shoulder pada sisi posterior, superior dan anterior. Ketegangan dari
rotator cuff muscle dapat menarik caput humerus kearah fossa
glenoidalis sehingga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
stabilitas sendi.

Gambar 2.4
Struktur Glenohumeral Joint (Shoulder Joint)

d. Suprahumeral joint
Suprahumeral joint terdiri atas coracoclavicular joint dan
coracoacromialis joint.Kedua sendi tersebut tidak memiliki
karakteristik sinovial, kedua tulang hanya dihubungkan oleh ligamen
sehingga tergolong syndesmosis.
Coracoclavicularis joint dibentuk oleh processus coracoideus
scapula dan permukaan inferior clavicula yang diikat oleh lig.
coracoclavicularis. Coracoacromialis joint dibentuk oleh processus
coracoideus scapula dan processus acromion scapula yang diikat oleh
lig. coracoacromialis.

7
Suprahumeral joint memiliki ruang dengan atapnya adalah
processus acromion dan ujung distal clavicula sedangkan dindingnya
adalah ligamen coraco acromialis dan ligamen coracoclavicularis
(serabut trapezoideum dan serabut conoideum).Didalam ruang
suprahumeral terdapat struktur jaringan yaitu bursa
subacromialis/subdeltoidea, tendon supraspinatus & tendon caput
longum biceps.
Bursa subacromial berperan sebagai bantal dari rotator cuff
muscle terutama otot supraspinatus dari tulang acromioin
diatasnya.Bursa subacromial dapat menjadi teriritasi akibat kompresi
yang berulang-ulang selama aksi/pukulan overhead lengan.
e. Scapulothoracic joint
Scapulothoracic joint merupakan pertemuan antara scapula
dengan dinding thoraks, yang dibatasi oleh otot subscapularis &
serratus anterior. Scapulothoracic joint dipertahankan oleh 3 otot
trapezius, rhomboid major et minor, serratus anterior & levator
scapula. Otot-otot yang melekat pada scapula melakukan 2 fungsi
yaitu:
1) Fungsi pertama ; otot-otot tersebut berkontraksi untuk
menstabilisasi regio shoulder. Sebagai contoh, ketika kopor/tas
diangkat dari lantai maka otot levator scapula, trapezius &
rhomboid berkontraksi untuk menyanggah scapula.
2) Fungsi kedua ; otot-otot scapula dapat memfasilitasi gerakan-
gerakan upper extremitas melalui posisi yang tepat dari
glenohumeral joint. Sebagai cntoh, selama lemparan overhead otot
rhomboid berkontraksi untuk menggerakkan seluruh shoulder
kearah posterior pada saat humerus horizontal abduksi dan
exorotasi selama fase persiapan melempar. Pada saat lengan dan
tangan bergerak ke depan untuk melakukan lemparan, maka
ketegangan otot rhomboid dilepaskan untuk memberikan gerakan
ke depan dari shoulder joint.

8
f. Scapulohumeral rhythm
Scapulohumeral rhythm hanya terjadi pada gerakan abduksi –
elevasi dan fleksi – elevasi. Ada 3 fase gerak abduksi dimana setiap
fase terjadi gerak proporsional antara humerus & scapula sehingga
perlu memperhatikan analisis gerak pada setiap fase.
1) Fase I (0o – 60/90o))
Pada abduksi 30o terjadi gerak humerus sebesar 30o se-
mentara scapula tetap dalam posisinya. Pada abduksi 30 –
60o terjadi gerak proporsional antara humerus & scapula dengan
rasio 2 : 1. Pada awal fase ini, otot deltoid dan supraspinatus
beker-ja utama membentuk kopel pada level shoulder joint.Pada
60 – 90o abduksi bursa subdeltoidea tergelincir ma-suk ke ruang
suprahumeral joint.
2) Fase II (60/90o – 120/150o)
Pada abduksi 90o terjadi “locked” karena tuberculum ma-
jus berbenturan dgn margo superior glenoidalisà untuk
menghindari locked maka terjadi lateral rotasi dari hume-rus guna
memindahkan tuberculum majus kearah dorsal. Lanjutan fase II
Pada fase ini masih terjadi gerak proporsional antara hu-merus dan
scapula dengan rasio 2 : 1.Pada fase ini, terjadi kontribusi gerakan
SC joint & AC joint berupa rotasi aksial.Pada fase ini, otot
trapezius & serratus anterior bekerja membentuk kopel pada level
scapulothoracic joint, diban-tu oleh otot deltoid & supraspinatus.
3) Fase III (120/150o – 180o)
Pada fase ini gerak proporsional antara humerus & sca-pula
masih tetap berlanjut.Pada fase ini terjadi gerakan intervertebral
joint C6 – Th4 dan costa 1 – 4 à intervertebral joint C6 – Th4
mengala-mi rotasi ipsilateral dan lateral fleksi kontralateral, costa
1 – 4 mengalami winging dan rotasi Lanjutan fase III :Gerakan
intervertebral joint mulai terjadi pada awal 150o dan dihasilkan
oleh otot-otot spinal (erector spine) sisi kontralateral.Jika kedua

9
lengan dalam posisi abduksi – elevasi penuh (paralel vertikal)
maka terjadi peningkatan lordosis lum-bal oleh aksi otot-otot
spinal (erector spine).Pada fase ini, semua otot abduktor
berkontraksi.
2. Patologi
a. Definisi
Frozen shoulder adalah suatu kondisi yang menyebabkan nyeri
dan keterbatasan gerak pada sendi bahu yang sering terjadi tanpa
dikenali penyebabnya. Frozen shoulder menyebabkan kapsul yang
mengelilingi sendi bahu menjadi mengkerut dan membentuk jaringan
parut (Cluett, 2007).
Frozen shoulder adalah suatu gangguan bahu yang sedikit atau
sama sekali tidak menimbulkan rasa sakit, tidak memperlihatkan
kelainan pada rontgen, tetapi menunjukkan adanya pembatasan gerak
yang dapat mengakibatkan gangguan aktivitas kerja sehari-hari.
Frozen shoulder merupakan suatu istilah yang merupakan
wadah untuk semua gangguan pada sendi bahu yang menimbulkan
nyeri dan pembatasan lingkup gerak sendi baik secara aktif mapun
pasif akibat capsulitis adhesiva yang disebabkan adanya perlengketan
kapsul sendi, yang sebenarnya lebih tepat untuk menggolongkannya di
dalam kelompok periarthritis.
b. Etiologi
Istilah kapsulitis adhesiva hanya digunakan untuk penyakit
yang sudah diketahui dengan baik yang ditandai dengan nyeri dan
kekakuan progesif pada bahu yang biasanya berlangsung sekitar 18
bulan. Proses ini sering berawal sebagai tendinitis kronis, tetapi
perubahan peradangan kemudian menyebar melibatkan seluruh ”cuff”
dan kapsul yang mendasari. Sementara peradangan berkurang, jaringan
berkontraksi, kapsul dapat menempel pada caput humerus.
Penyebabnya tidak diketahui. Diduga penyakit ini merupakan respon
terhadap hasil-hasil rusaknya jaringan lokal. Meskipun penyebabnya

10
biasanya idiopatik, keadaan yang serupa terlibat setelah hemiplegia
atau infark jantung.
Etiologi dari frozen shoulder akibat capsulitis adhesiva masih
belum diketahui dengan pasti. Adapun faktor predisposisinya antara
lain periode immobilisasi yang lama, akibat trauma, over use, injuries
atau operasi pada sendi, hyperthyroidisme, penyakit
cardiovascular,clinical depression dan Parkinson.
Frozen shoulder dibagi 2 Klasifikasi, yaitu :
1) Primer/ Idiopetik Frozen Shoulder
Yaitu frozen yang tidak diketahui penyebabnya. Frozen
shoulder lebih banyak terjadi pada wanita dari pada pria dan
biasanya terjadi usia lebih dari 41 tahun. Biasanya terjadi pada
lengan yang tidak digunakan dan lebih memungkinkan terjadi
pada orang-orang yang melakukan pekerjaan dengan gerakan bahu
yang lama dan berulang.
2) Sekunder Frozen Shoulder
Yaitu frozen yang diikuti trauma yang berarati pada bahu
misal fraktur, dislokasi, luka baker yang berat, meskipun cedera
ini mungkin sudah terjadi beberapa tahun sebelumnya.
3. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala klinis yang sering timbul pada penderita frozen
shoulder akibat capsulitis adhesiva adalah :
a. Nyeri
Pasien berumur antara 40-60 tahun, dapat memiliki riwayat
trauma, sering kali ringan, diikuti rasa sakit pada bahu dan lengan.
Nyeri berangsur-angsur bertambah berat dan pasien sering tidak bisa
tidur pada posisi yang terkena, setelah beberapa bulan nyeri mulai
berkurang, tetapi sementara itu kekakuan semakin menjadi, berlanjut
terus selama 6-12 bulan. Setelah itu beberapa bulan kemudian nyeri
mulai berkurang, tetapi kekakuan semakin menjadi. Setelah berapa
bulan kemudian pasien dapat bergerak, tetapi tidak normal.

11
Nyeri dirasakan pada daerah otot deltoideus. Bila terjadi pada
malam hari sering dijumpai mengganggu tidur. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya kesulitan penderita dalam mengangkat lengannya
(abduksi), sehingga penderita akan melakukan gerakan kompensasi
dengan mengangkat bahu pada saat gerakan mengangkat lengan yang
sakit, yaitu saat flexi dan abduksi sendi bahu diatas 90º atau di sebut
dengan shrugging mechanism. Juga dapat dijumpai adanya atrofi otot
gelang bahu (Heru,2004).
Cardinal feature yang ditemui adalah hilangnya atau
berkurangnya kemampuan gerakan pasiv dan aktif pada semua arah.
Pemeriksaan X-ray menunjukkan hasil yang normal kecuali ditemukan
adanya reduce bone density. Kata kunci untuk meng-exclude penyebab
lain dari nyeri adalah, adanya stiff shoulder.
b. Keterbatasan LGS (Lingkup Gerak Sendi)
Frozen sholder karena capsulitis adhesiva ditandai dengan
adanya keterbatasan lingkup gerak sendi glenohumeral pada semua
gerakan yang nyata, baik gerakan yang aktif maupun pasif. Sifat
nyeri dan keterbatasan gerak sendi bahu terjadi pada semua gerakan
sendi bahu, tetapi sering menunjukkan pola yang spesifik, yaitu pola
kapsuler. Pola gerak sendi bahu ini adalah gerak exorotasi lebih
terbatas dari gerak abduksi dan lebih terbatas dari gerak adduksi. Ini
adalah suatu gambaran klinis yang dapat menyertai tendinitis, infark
myokard, diabetes melitus, fraktur immobilisasi berkepanjangan atau
redikulitis cervicalis. Keadaan ini biasanya unilateral, terjadi pada
usia antara 45–60 tahun dan lebih sering pada wanita.
Nyeri dirasakan pada daerah otot deltoideus. Bila terjadi pada
malam hari sering sampai mengganggu tidur. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan adanya kesukaran penderita dalam mengangkat lengannya
(abduksi), sehingga penderita akan melakukan dengan mengangkat
bahunya (srugging).

12
c. Penurunan kekuatan otot
Pada pemeriksaan fisik didsapat adanya kesukaran penderita
dalam mengangkat lengannya (abduksi) karena penurunan kekuatan
otot. Nyeri dirasakan pada daerah otot deltoideus, bila terjadi pada
malam hari sering menggangu tidur. Pada pemeriksaan didapatkan
adanya kesukaran penderita dalam mengangkat lengannya (abduksi),
sehingga penderita akan melakukan dengan mengangkat bahunya
(srugging). Pada pemeriksaan neurologik biasanya dalam batas
normal.
4. Patofisiologi
Imobilisasi yang lama karena adanya nyeri pada sendi shoulder
menyebabkan statis pembuluh vena dan menimbulkan reaksi timbunan
protein, akhirnya terjadi fibrosus pada sendi glenohumeral. Fibrosus
mengakibatkan adhesi antar lapisan didalam sendi, sehingga terjadi
perlengketan kapsul sendi dan terjadilah keterbatasan gerak pada sendi
bahu. Frozen shoulder sendiri kondisi dimana terjadi keterbatasan pada
sendi glenohumeral yang didahului oleh adanya nyeri. Sedangkan nyeri
tersebut dapat dikarenkan oleh tendinitis bicipitalis, inflamasi rotator
cuff, fraktur atau kelainan dari ekstra clavicular, yaitu angina. Akibat dari
frozen shoulder adalah adanya nyeri kesemua gerakan, terutama gerak
exorotasi, abduksi, dan endorotasi. Jika exorotasi lebih terbatas dari gerak
abduksi, dan endorotasi maka membentuk pola kapsuler.

Gambar 2.6
Frozen Shoulder

13
Adapun beberapa teori yang dikemukakan American Academy of
Orthopedic Surgeon tahun 2000 mengenai frozen shoulder, teori tersebut
adalah :

a. Teori Hormonal
Pada umumnya frozen shoulder terjadi 60% pada wanita
bersamaan dengan datangnya menopause.
b. Teori Genetic
Beberapa studi mempunyai komponen genetik dari frozen
shoulder, contohnya ada beberapa kasus dimana kembar identik pasti
menderita pada saat yang sama.
c. Teori Auto Immuno
Diduga penyakit ini merupakan respon auto immuno terhadap
hasil-hasil rusaknya jaringan lokal.
d. Teori Postur
Banyak studi yang belum diyakini bahwa berdiri lama dan
berpostur tegap menyebabkan pemendekan pada salah satu ligamen
bahu.
Frozen shoulder dapat disebabkan oleh trauma, imobilisasi lama,
imunologi, serta hubungannya dengan penyakit lainnya, misal
hemiparese,ischemic heart disease, TB paru, bronchritis kronis dan
diabetes mellitus dan diduga penyakit ini merupakan respon autoimun
terhadap rusaknya jaringan local.
Menurut Kisner (1996) frozen shoulder dibagi dalam 3 tahapan, yaitu:
a. Pain (Freezing)
Ditandai dengan adanya nyeri hebat bahkan saat istirahat, gerak
sendi bahu menjadi terbatas selama 2-3 minggu dan masa akut ini
berakhir ampai 10- 36 minggu.
b. Stiffness (Frozen)
Ditandai dengan rasa nyeri saat bergerak, kekakuan atau
perlengketan yang nyata dan keterbatasan gerak dari glenohumeral

14
yang di ikuti oleh keterbatasan gerak scapula.Fase ini berakhir 4-12
bulan. 
c. Recovery (Thawing)
Pada fase ini tidak ditemukan adanya rasa nyeri dan tidak ada
synovitis tetapi terdapat keterbatasan gerak karena perlengketan yang
nyata.Fase ini berakhir 6-24 bulan atau lebih.

Selama peradangan berkurang jaringan berkontraksi kapsul


menempel pada kaput humeri dan guset sinovial intra artikuler dapat
hilang dengan perlengketan. Frozen merupakan kelanjutan lesi rotator
cuff, karena degenerasi yang progresif. Jika berkangsung lama otot rotator
akan tertarik serta memperlengketan serta memperlihatkan tanda-tanda
penipisan dan fibrotisasi. Keadaan lebih lanjut, proses degenerasi diikuti
erosi tuberculum humeri yang akan menekan tendon bicep dan bursa
subacromialis sehingga terjadi penebalan dinding bursa. Frozen shoulder
dapat pula terjadi karena ada penimbunan kristal kalsium fosfat dan
karbonat pada rotator cuff. Garam ini tertimbun dalam tendon, ligamen,
kapsul serta dinding pembuluh darah. Penimbunan pertama kali ditemukan
pada tendon lalu kepermukaan dan menyebar keruang bawah bursa
subdeltoid sehingga terjadi rardang bursa, terjadi berulang-ulang karena
tekiri terus-menerus menyebabkan penebalan dinding bursa, pengentalan
cairan bursa, perlengketandinding dasar dengan bursa sehingga timbul
pericapsulitis adhesive akhirnya terjadi frozen shoulder (Mayo, 2007).

15
B. Tinjauan Assessment dan Pengukuran Fisioterapi

1. Tinjauan tentang Assessment

JPM Test adalah istilah yang di gunakan dalam manual terapi untuk
menggambarkan apa yang terjadi dalam sendi ketika dilakukan gerakan
translasi.Gerakan gerakan tersebut dilakuakan secara pasif oleh terapis
pada saat pemeriksaan maupun terapi.Ada 3 macam gerakan joint play:
- Traksi
- kompresi
- gliding
2. Tinjauan Pengukuran Fisioterapi
a. VAS

Gambar 1.2 :Skala Alat Pengukuran Nyeri VAS (Visual Analogue Scale)

Visual Analogue Scale (VAS) merupakan alat pengukuran


intensitas nyeri yang dianggap paling efisien yang telah digunakan
dalam penelitian dan pengaturan klinis.VAS umumnya disajikan dalam
bentuk garis horisontal. Dalam perkembangannya VAS menyerupai
NRS yang cara penyajiannya diberikan angka 0-10 yang masing-
masing nomor dapat menunjukkan intensitas nyeri yang dirasakan oleh
pasien.

Dalam beberapa penelitian yang dilakukan untuk menilai


intensitas nyeri pasca operasi, skala yang digunakan adalah
rekombinasi antara VAS dan NRS.VAS juga sering digunakan untuk
menilai nyeri pada pasien untuk dapat memperoleh sensitivitas obat
pada uji coba obat analgetik.

16
Dalam penggunaan VAS terdapat beberapa keuntungan dan
kerugian yang dapat diperoleh. Keuntungan penggunaan VAS antara
lain VAS adalah metode pengukuran intensitas nyeri paling sensitif,
murah dan mudah dibuat. VAS mempunyai korelasi yang baik dengan
skalaskala pengukuran yang lain dan dapat diaplikasikan pada semua
pasien serta VAS dapat digunakan untuk mengukur semua jenis
nyeri.Namun kekurangan dari skala ini adalah VAS memerlukan
pengukuran yang lebih teliti dan sangat bergantung pada pemahaman
pasien terhadap alat ukur tersebut.

b. Range Of Motion (ROM)


Range Of Motion (ROM) adalah gerak penuh yang dapat
dilakukan. Range Of Motion (ROM) yang dapat diukur dengan
goniometer dan di catat dalam derajat adalah lingkup otot yang
berhubungan dengan ekskursi otot fungsional (Kisner and Colby,
2014).
Untuk mengukur Range Of Motion normal, segmen tubuh harus
di gerakkan melalui lingkup gerak yang ada secara berkala, baik
lingkup sendi maupun lingkup otot. Ada banyak faktor yang dapat
menyebabkan penurunan Range Of Motion seperti penyakit sistemik,
sendi, saraf, otot, trauma atau immobilisasi (Kisner and Colby, 2014).
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur Range Of Motion
(ROM) adalah goniometer. Goniometer digunakan untuk mengukur
Range Of Motion (ROM) baik secara pasif maupun aktif pada sendi
yang mengalami keterbatasan gerak. Banyak hal yang perlu
diperhatikan dalam melakukan pengukuran diantaranya letak
goniometer yang merupakan aksis dari sendi bahu.Hasil pengukuran
ditulis dengan standar internasional standar orthopedic measuremet
(ISOM).Cara penulisanya yaitu dimulai dari gerakan menjauhi tubuh-

17
posisi netral-gerakan mendekati tubuh. Pemeriksaan Range Of Motion
pada sendi ini dilakukan dalam bidang gerak frontal (F), Sagital (S),
Tranversal (T). Hasil pengukuran pada gerak pasif lebih besar daripada
pemeriksaan gerak aktif (Mardiman, dkk, 2002).

C. Pendekatan Interverensi Fisioterapi


1. SHOUT WAVE DIATHERMY (SWD)
a. Definisi
Suatu aplikasi terapeutik dengan menggunakan gelombang
mikro dlm bentuk radiasi elektromagnetik yg akan dikonversi dalam
bentuk dengan frekuansi 2456 MHz dan 915 MHz dengan panjang
gelombang 12,25 arus yang dipakai adalah arus rumah 50 HZ,
penentrasi hanya 3 cm yang efektif pada otot.
Prinsip produksi gelombang mikro pada dasarnya sama dengan
arus listrik bolak-balik frekuensi tinggi yang lain, hanya untuk
memperoleh frekuensi yang lebih tinggi lagi diperlukan suatu tabung
khusus yang disebut magnetron. Magnetron ini memerlukan waktu
untuk pemanasan, sehingga output belum diperoleh segera setelah
mesin dioperasikan.Untuk itu mesin dilengkapi dengan tombol
pemanasan agar mesin tetap dalam posisi dosis nol antara pengobatan
satu dengan yang berikutnya.Pada posisi tersebut tabung tetap
mendapatkan arus listrik, tetapi dosis ke pasien nol, sehingga terhindar
dari seringnya perubahan panas.
b. Efek SWD :
1) Efek seleksi absorpsi selektive panas terhadap jaringan baik di
kulit, subcutis dan otot.
2) Efek lokal yaitu adanya perubahan panas pada jaringan sehingga
mningkatkan metabolisme setempat dan terjadi vasodilatasi
pmbuluh darah sehingga meningkatkan aliran darah terhadap area
yang dierapi.

18
3) Efek sistemik terjadi karena peningkatan aliran darah, volume
darah, cardiac output .adanya vasodilatasi pembuluh darah
menyebabkan terjadinya pemanasan / peningkatan suhu area yang
diterapi. Pemanasan ringan menyebabkan penuruan tekanan darah
(sistolik 10 – 20 mmHg), sementara pemanasan kuat
menyebabkan peningkatan tekanan darah (sistolik 10 – 20
mmHg).
4) Efek lain yang lebih yaitu mengurangi kekakuan sendi,
mengurangi spasme otot, mengurangi nyeri, dll.
c. Indikasi

1) Kasus reumatologi

2) Neuromuskuoskeletal

3) Efektif untuk sendi IP, MCP, dan wrist.

d. Kontraindikasi

1) Kehamilan (pada area abdomen)

2) Infant metal (pada area yang terpasang)

3) Keganasan

4) Edema & pendarahan jarigan

5) Menstruasi (pada area abdomen)

6) Media cairan mata

7) Alat elektronik (pada pasien dengan terpasang pacemaker jantung)

8) Pasien dengan gangguan sensibilitas

9) Tanda inflamasi / infeksi akut

19
2. INTERFERENSIAL CURRENT

Interferential current merupakan suatu jenis arus frekuensi menengah


(middle frecuency current) yang merupakan pengga-bungan dua buah arus
dengan frekuensi berbeda. Sifat pulsa dari arus interferential adalah
sinusoidal biphasic simetris sehingga arus interferential tidak
menimbulkan reaksi elektrokimiawi pada jaringan dibawah elektroda.
Dalam aplikasi klinis sering digu-nakan frekeunsi 2000 dan 10.000 Hz
tergan-tung pada tujuan yang diinginkan. Perbedaan arus menghasilkan
amplitudo modulasi. Besarnya frekeunsi amplitudo modulasi (AMF)
ditentukan oleh selisih antara kedua arus dan merupakan frekeunsi
treatmen. Modifikasi amplitudo modulasi dilakukan melalui penga-turan
spektrum sehingga pulsa arus dapat diatur sempit atau lebar dan melonjak
tajam atau datar. Ini sangat penting karena berkaitan dnegan aplikasi pada
kondisi yang diterapi. Perbedaan AMF akan membedakan sensasi yang
dirasakan pasien.
Efek fisiologis penggunaan interferential adalah stimulasi afferent nerve
fibers bermyelin tebal yang menyebabkan pengurangan nyeri dan
normalisasi keseimbangan neuro – vegetative berupa rileksasi dan
peningkatan sirkulasi stimulasi afferent nerve fibers ber-myelin tebal akan
menghambat atau memberikan efek blocking sinaps di PHC yang berasal
dari afferent nerve fibers bermyelin tipis dan tidak bermyelin sehingga
persepsi nyeri berkurang atau dihilangkan sesuai dengan “gerbang control
teori”. Melzack dan Wall menjelaskan efek stimulasi afferent nerve fibers
bermyelin tebal sebagai “gate control” theory yang intinya adala stimulasi
secara selektif afferent II dan III untuk inhibisi afferent IV (nocicencoric)
di lamina V.
Pengurangan nyeri melalui stimulasi afferent nerve fibers bermyelin tebal
akan menormalisasi keseimbangan neurovegetative yang akan
mendumping symphathetic system sehingga terjadi rileksasi dan
peningkatan sirkulasi yang menghasilkan pengurangan nyeri melalui

20
afferent II dan III. Stimulasi nerve fibers bermyelin pada jaringan otot dan
kulit menyebabkan symphatetic reflex berkurang yang diikuti post-
excitatory depression pada aktifitas symphatetic reflex.
Bahwa secara subjektif pasien akan merasakan stimulasi yang diberikan
akan berkurang dengan bertambahnya waktu hal ini dikenal sebagai
akomodasi yang timbul karena sensor stimulasi berupa informasi
mengalami penurunan. Stimulasi tanpa perubahan stimulus akan
menurunkan efek stimulasi. Untuk mencegah akomodasi dapat dilakukan
dengan peningkatan intensitas atau variasi frekuensi dan berkaitan dengan
akut dan kronis kondisi adalah intensitas relatif rendah, AMF relatif tinggi,
specrum relatif lebar dan program spectrum relatif “mild (lembut” untuk
kondisi akut, dan intensitas relatif tinggi, AMF relatif lebih rendah,
spectrum relatif sempit dan program spectrum relatif “abrupt (kasar)”
untuk kondisi kronis

3. PROPRIOCEPTIVE NEUROMUSCULAR FACILITATION


PNF atau “Proprioceptive Neuromuscular Facilitation” merupakan metode
gerakan kompleks. PNF berarti bahwa peningkatan dan fasilitasi
neuromuscular dengan sendirinya, sehingga memerlukan blocking yang
berlawanan. Dalam proses ini, reaksi mekanisme neuromuscular
dimanfaatkan, difasilitasi, dan dipercepat melalui stimulasi reseptor-
reseptor. Penggunaan gerakan kompleks berdasarkan pada prinsip-prinsip
stimulasi organ neuromuscular dengan bantuan tambahan dari seluruh
gerakan. Reseptor-reseptor dalam otot dan sendi merupakan elemen penting
dalam stimulasi sistem motorik.

Prinsip-prinsip dasar teknik PNF

Berikut ini adalah prinsip-prinsip dasar yang dapat meningkatkan reaksi


yang diinginkan dan digunakan untuk mencapai fungsi yang optimal.

 Teknik Menggenggam
Secara tepat dapat dihitung dan diaplikasikan teknik menggenggam
dari terapis untuk menentukan strength (kekuatan) gerakan kompleks
yang dihasilkan.

21
 Stimulasi verbal dan visual
Secara sederhana, instruksi yang jelas dapat mengurangi kerja terapis.
Pasien harus melihat dan berpartisipasi melakukan gerakan yang
dicontohkan terapis.

 Kompresi dan Traksi


Kompresi menyebabkan permukaan sendi saling merapat, traksi dapat
menggerakkan permukaan sendi saling menjauhi. Reseptor-reseptor
akan terangsang. Traksi dapat memfasilitasi gerakan pada sistem otot ;
kompresi dapat meningkatkan stabilitas.

 Tahanan maksimal
Hukum “all or nothing” dalam kontraksi otot terlibat dalam teknik ini.
Tahanan isometrik dan/atau isotonik dapat digunakan dalam teknik
ini. Tahanan yang maksimal ditentukan oleh strength (kekuatan) otot
dari setiap pasien.

 Rangkaian Aksi Otot yang tepat


Ketika otot berkontraksi dalam suatu rangkaian yang tepat, maka
group otot yang tegang akan mengatasi tuntutan yang terjadi dengan
optimal efektifitas. Waktu yang tepat dapat berperan penting baik
pada gerakan kompleks maupun pada olahraga.
Ada 3 komponen gerakan yang mengambil bagian dari setiap pola
gerak spiral dan diagonal :
 Fleksi atau ekstensi
 Adduksi atau abduksi
 Eksternal atau internal rotasi
Eksternal rotasi digunakan dalam kombinasi dengan supinasi, dan
internal rotasi digunakan kombinasi dengan pronasi. Variasi teknik
gerakan kompleks dapat memperbaiki implementasi dan efektifitas
sistem muskuloskeletal. Urutan gerakan pada olahraga spesifik dapat
dikombinasikan dengan gerakan-gerakan lainnya, seperti gerak
memukul pada handball atau menembak bola pada sepakbola.

 Tahanan langsung
Hal ini melibatkan tahanan optimal untuk seluruh durasi gerakan;
tahanan ini bergantung pada gerakan alamiah yang beragam.

 Kontraksi yang berulang


Kontraksi statik dan dinamik terlibat secara bergantian. Strength
(kekuatan) otot diperbaiki, khususnya pada area genggaman tahanan,
ROM, dan endurance (daya tahan).

22
Teknik yang Digunakan Dalam PNF

a. Rhythmical Initiation
Teknik yang dipakai untuk agonis yang menggunakan gerakan-gerakan
pasif, aktif, dan dengan tahanan.

Caranya ;
• terapis melakukan gerakan pasif, kemudian pasien melakukan
gerakan aktif seperti gerakan pasif yang dilakukan terapis,
gerakan selanjutnya diberikan tahanan, baik agonis maupun
antagonis patron dapat dilakukan dalam waktu yang tidak sama
Indikasi ;
• problem permulaan gerak yang sakit karena rigiditas, spasme
yang berat atau ataxia, ritme gerak yang lambat, dan keterbatasan
mobilisasi.

b. Repeated Contraction
Suatu teknik dimana gerakan isotonic untuk otot-otot agonis, yang setelah
sebagian gerakan dilakukan restretch kontraksi diperkuat.

Caranya ;
• Pasien bergerak pada arah diagonal, pada waktu gerakan dimana
kekuatan mulai turun, terapis membeikan restretch, pasien
memberikan reaksi terhadap restretch dengan mempertinggi
kontraksi, terapis memberikan tahanan pada reaksi kontraksi yang
meninggi., kontraksi otot tidak pernah berhenti, dalam satu
gerakan diagonal restretch diberikan maksimal empat kali

c. Stretch reflex
Bentuk gerakan yang mempunyai efek fasilitasi terhadap otot-otot yang
terulur.

Caranya ;
• Panjangkan posisi badan (ini hanya dapat dicapai dalam bentuk
patron), tarik pelan-pela kemudian tarik dengan cepat (tiga arah
gerak) dan bangunkan stretch reflex, kemudian langsung berikan
tahanan setelah terjadi stretch reflex, gerakan selanjutnya
diteruskan dengan tahanan yang optimal, berdasarkan aba-aba
pada waktu yang tepat.

d. Combination of isotonics
Konbinasi kontraksi dari gerak isotonic antara konsentris dan eksentris dari
agonis patron (tanpa kontraksi berhenti) dengan pelan-pelan.

23
e. Timing for Emphasis
bentuk gerakan dimana bagian yang lemah dari gerakan mendapat ekstra
stimulasi bagian yang lebih kuat.
Caranya ; pada suatu patron gerak, bagian yang kuat ditahan dan bagian
yang lemah dibirkan bergerak.

f. Hold relax
Suatu teknik dimana kontraksi isometris mempengaruhi otot antagonis yang
mengalami pemendekan, yang akan diikuti dengan hilang atau kurangnya
ketegangan dari otot-otot tersebut.
Caranya ;
 Gerakan dalam patron pasif atau aktif dari group agonis
sampai pada batas gerak atau sampai timbul rasa sakit,
 Terapis memberikan penambahan tahanan pelan-pelan
pada antagonis patron, pasien harus menahan tanpa
membuat gerakan. Aba-aba =” tahan di sini !”
 Relaks sejenak pada patron antagonis, tunggu sampai
timbul relaksasi pada group agonis, gerak pasif atau aktif
pada agonis patron, ulangi prosedur diatas, penambahan
gerak patron agonis, berarti menambah LGS.

g. Contract relax
Suatu teknik dimana kontraksi isotonic secara optimal pada otot-otot
antagonis yang mengalami pemendekan.
Caranya ;
 Gerakan pasif atau aktif pada patron gerak agonis sampai
batas gerak.
 Pasien diminta mengkontraksikan secara isotonic dari otot-
otot antagonis yang mengalami pemendekan. Aba-aba
=”tarik !” atau “dorong !”
 Tambah lingkut gerak sendi pada tiga arah gerakan, tetap
diam dekat posisi batas dari gerakan, pasien diminta untuk
relaks pada antagonis patron sampai betul-betul timbul
relaksasi tersebut, gerak patron agonis secara pasif atau
aktif, ulangi prosedur diatas, dengan perbesar gerak patron
agonis dengan menambah LGS.

h. Slow Reversal
Teknik dimana kontraksi isotonic dilakukan bergantian antara agonis dan
antagonis tanpa terjadi pengendoran otot.
Caranya ;
 Gerakan dimulai dari yang mempunyai gerak patron yang
kuat
 Gerakan berganti ke arah patron gerak yang lemah tanpa
pengendoran otot

24
 Sewaktu berganti ke arah patron gerakan yang kuat tahanan
atau luas gerak sendi ditambah.
 Teknik ini berhenti pada patron gerak yang lebih lemah
 Aba-aba di sini sangat penting untuk memperjelas ke arah
mana pasien harus gbergerak. Aba-aba “dan … tarik !”
atau “dan dorong !”
 Teknik ini dapat dilakukan dengan cepat.
 Tidak semua teknik PNF dapat diterapkan pada penderita
stroke. Teknik-teknik yang dapat digunakan adalah ;
rhythmical initiation, timing for emphasis, contract relaz
dan slow reversal.

25
BAB III
PROSES FISIOTERAPI

A. Data Medis

No RM : 100167

Tanggal Masuk : 18 /11/2019

B. IdentitasPasien
Nama : TN.R
Umur : 59 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Perumahan mangga 3 blok F6/21
Pekerjaan : Pensiuan
C. Anamnesis Khusus

Keluhan Utama : Nyeri dan keterbatasan gerak pada bahu


kiri

Lokasi Keluhan : Bahu kiri


Sifat Keluhan : Terlokalisir
Lama keluhan : 1 bulan

Aktifitas yang memperberat :Saat mengangkat tangannya ke atas

dan tangan ke belakang.

Aktifitas yang memperingan : Istirahat


Riwayat Trauma : Trauma tidak langsung
Riwayat penyakit penyerta : DM
Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang kefisioterpis tanggal 18/11-
2019 dengan keluhan nyeri padalengan saat

26
beraktifitas.Pasien sudah datang terapi
sebanyak 4 kali dengan keluhan overuse saat
beraktifitas dirumah.

D. Pemeriksaan Fisik
1. Vital Sign
Tekanan Darah : 130/100 mmHg
Denyut Nadi : 60 x/menit
Frekuensi Pernapasan : 22 x/menit
Suhu : 36,50C
2. Inspeksi
a. Statis : bahu kiri terlihat agak turun
b. Dinamis : pasien tidak mampu mengangkat tangannya ke atas dan
memutar ke belakang
E. Pemeriksaan Fungsi Dasar
1. Tes cepat Abduksi – Elevasi : Gerakan dextra dan sinistra terbatas
2. Aktif

Nama Gerakan Sinistra

Fleksi shoulder Nyeri dan terbatas


Ekstensi shoulder Normal
Abduksi shoulder Nyeri dan terbatas
Adduksi shoulder Nyeri dan terbatas
Internal rotasi Nyeri akhir gerakan
Eksternal rotasi Nyeri dan terbatas

2. Pasif

27
Nama Gerakan Sinistra
Fleksi shoulder Nyeri, firm endfeel
Ekstensi shoulder Normal
Abduksi shoulder Nyeri, firm endfeel
Adduksi shoulder Nyeri, firm endfeel
Internal rotasi Sedikit nyeri, firm
endfeel
Eksternal rotasi Nyeri firm endfeel

3. Isometric

Nama Gerakan Sinistra


Fleksi shoulder Normal
Ekstensi shoulder Normal
Abduksi shoulder Normal
Adduksi shoulder Normal
Internal rotasi Normal
Eksternal rotasi Normal

F. Pemeriksaan Spesifik
1. Palpasi : Nyeri tekan pada rotator caff
2. Pengukuran
a. VAS (Visual Analog Scala ) Hasil : 8,1 (Nyeri Berat)
b. ROM

Regio Shoulder Dextra Sinistra


Ekstensi/Fleksi 50 – 0o – 135o
o
500 -00 -250
Abduksi/ Adduksi 95o – 0o – 28o 350 - 00 - 190
Eksternal/Internal 20o – 0o– 60o 100 – 00 - 600

Nilai normal

Regio Shoulder Normal


Ekstensi/Fleksi 50 – 0o – 90o
o

Abduksi/ Adduksi 90 – 0o – 0o
Eksternal/Internal 90o – 0o– 80o

28
Pola capsuler bahu sinistra: Eksternal rotasi > Abduksi> Internal rotasi

Keterbatasan Eksternal rotasi = 800

Keterbatasan Abduksi = 550

Keterbatasan Internal rotasi = 200

3. Pemeriksaan scapula mobilisasi Abduksi-Elevasi


Hasil : Keterbatasan pada scapula

G. Algoritma Asesment

LEMBAR ALGORHITMA ASSESSMENT


Nama Pasien : Tn.R Umur : 59 Tahun Jenis Kelamin :
Laki-laki

29
Kondisi/Penyakit :
History Taking :

Pasien datang kefisioterpis tanggal 18/11-2019 dengan keluhan


nyeri pada lengan saat beraktifitas.Pasien sudah datang terapi
sebanyak 4 kali dengan keluhan overuse saat beraktifitas

Inspeksi :
Statis : bahu kiri kelihatan agak turun
Dinamis : pasien tidak mampu mengangkat tangannya ke atas dan memutar ke
belakang.

Pemeriksaan fisik

Tes gerak aktif : Fleksi Pengukuran : Tes Spesifik :


elevasi, abduksi dan
ROM : Palpasi : nyeri
eksternal rotasi
shoulder : nyeri diakhir tekan pada otot
Pola capsuler:eksternal rotasi >abduksi>internal rotasi
gerakan rotator cuff.

Tes gerak pasif : Mobilisasi


scapula tes;+
Abduksi dan eksternal
rotasi: nyeridan firm
endfeel

Diagnosa :

“ Shoulder Pain and Hipomobile capsular pattern sinistra et


cause frozen shoulder ”

H. Diagnosis Fisioterapi
“Shoulder Pain and Hipomobile capsular pattern sinistra et cause frozen
shoulder ”
I. Problematik Fisioterapi

30
1. Impairment body structure
Capsul dan ligamen
2. Impairment body function

1. Nyeri pada shoulder sinistra

2. Keterbatasan gerak pada shoulder sinistra

3. Activity limitation

1) Kesulitan untuk menyisir rambut


2) Kesulitan memakai pakaian sendiri
3) Kesulitan mengambil dompet di saku belakang

4.Participation limitation

1) Terhambat melakukan aktivitas harian atau ADL


2) Tidak mampu bekerja seperti biasa
J. Rencana Intervensi fisioterapi
1) SWD
2) Interferensi
3) Mobilisasi scapula
4) PNF(Hold Relax)
K. Program Intervensi Fisioterapi
1. SWD
a. Persiapan alat : Cek alat,kabel dan pastikan alat dalam keadaan
baik.Pastikan alat tersambung dengan arus listrik.
b. Persiapan pasien : Posisi pasien tidur menyamping. Daerah yang akan
diterapi bebas dari pakaian dan perhiasan serta perlu dilakukan tes
sensibilitas pada daerah yang akan disinari.
c. Teknik pelaksanaan :

1. Tekan tombol ON pada alat

2. Atur jarak kondensator di daerah yang ingin di terapi yaitu

31
daerah bahu dengan tehnik kontraplanar

Dosis :
F : 3 Kali seminggu
I : 50 W
T : Kontra planar
T : 10 menit
3 .Selama proses pemberian SWD anjurkan kepada pasien
untuk menghindari bergerak lebih dekat atau lebih jauh dari
kondesator
Fisioterapis selalu mememonitor respon pasien selama
proses pemberian terapi

4. Setelah waktu habis maka tekan tombol off

5. Lepaskan kabel dari arus listrik

2. Interferensial current

Tujuan : Mengurangi nyeri

F : 3 x seminggu

I : Toleransi pasien

T : Metode 4 pet

T : 10 Menit

3. Mobilisasi scapula
Tujuan : Untuk melepaskan perlengketan pada scapula
Prosedur : Posisi pasien tidur miring menghadap ke terapis,lengan
atas pasien di sanggah oleh bahu terapis,ke2 tangan terapis berada
di margo medial dan angulus inferior,lalu pasien meggerakkan
tangannya keatas lalu terapis menambah gerakan pada scapula
dengan mendorong scapula ke arah latero cranial.
4. Hold relax
Tujuan : untuk menambah ROM
Teknilk pelaksanaan :
 Pasien tidur terlentang

32
 Kemudian intruksikan pada pasien untuk
melakukan kontraksi isometric pada otot
– otot antagonis
 Kemudian menambah tahanannya pada
setiap repitisi (3 kali)
 Pada akhir gerakan ulurkan otot – otot
tersebut secara pasif

BAB IV

EVALUASI

33
1. Penurunan nyeri menggunakan VAS :

T1 T2 T3 T4 T5
VAS 8 8 7 7 6

2. Peningkatan ROM Shoulder dextra

Bidang Gerakan T1 T5
Ekstensi – Fleksi 50 – 0o – 135o
o
50 – 0o – 155o
o

Abduksi (elevasi) – adduksi 95o – 0o – 28o 95o – 0o – 45o


Eksorotasi- endorotasi 20o – 0o– 60o 40o – 0o– 60o

34

Anda mungkin juga menyukai