Anda di halaman 1dari 20

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dislokasi sendi glenohumeral merupakan kelaian tersering pada bahu.
Sendi glenohumeral adalah sendi yang paling mobile dibandingkan sendi lain.
Dislokasi sendi glenohumeral sering ditemukan pada orang dewasa tetapi jarang
pada anak-anak. Penyebab tersering dislokasi sendi ini ialah trauma dan sebagian
besar dislokasi terjadi ke arah anterior atau kombinasi anterior dan inferior.
Sangat jarang terjadi dislokasi ke arah posterior.1
Dislokasi sendi glenohumeral dapat menyebabkan kerusakan saraf, dengan
manifestasi klinis bervariasi dari nyeri sampai parestesi pada daerah lengan.
Diagnosis dapat ditegakkan oleh klinisi dengan anamnesis yang cermat dengan
dibantu beberapa pemeriksaan penunjang. Beberapa metode dapat dilakukan
untuk mereduksi kembali dislokasi yang terjadi dengan atau tanpa pembiusan.1,2
Pada makalah ini akan dijelaskan mengenai anatomi sendi bahu, termasuk
struktur statik dan dinamiknya, klasifikasi dislokasi sendi glenohumeral,
patofisiologi, anamnesis, pemeriksaan fisik dan radiologi, serta pengobatan
nonoperatif dan operatif dari kelainan ini.1

1.2. Tujuan Penulisan


Secara umum tujuan penulisan ini adalah sebagai informasi kepada kami
mahasiswa untuk menambah pengetahuan di bidang ilmu bedah ortopaedi dan
juga sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik program pendidikan
profesi dokter di Rumah sakit H. Adam Malik Medan.
2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi1,2
Kompleks sendi bahu terdiri dari sendi sternoklavikular, sendi
akromioklavikular, sendi skapulotorakal, dan sendi glenohumeral.
a) Sendi bahu
Gerakan-gerakan yang terjadi di gelang bahu dimungkinkan oleh sejumlah
sendi yang saling berhubungan erat, misalnya sendi kostovertebral atas, sendi
akromioklavikular, permukaan pergeseran skapulotorakal dan sendi glenohumeral
atau sendi bahu.
Gangguan gerakan dalam sendi bahu sering mempunyai konsekuensi
untuk sendi-sendi yang lain di gelang bahu dan sebaliknya. Sendi bahu dibentuk
oleh kepala tulang humerus dan mangkok sendi, disebut cavitas glenoidalis. Sendi
ini menghasilkan gerakan fungsional sehari-hari seperti menyisir,
menggaruk kepala, mengambil dompet, dan sebagainya atas kerjasama yang
harmonis dan simultan dengan sendi-sendi lainnya.

Gambar: Struktur tulang-tulang pada sendi bahu

Cavitas glenoidalis sebagai mangkok sendi bentuknya agak cekung tempat


melekatnya kepala tulang humerus dengan diameter cavitas glenoidalis yang
pendek kira-kira hanya mencakup sepertiga bagian dan kepala tulang sendinya
3

yang agak besar, keadaan ini otomatis membuat sendi tersebut tidak stabil namun
paling luas gerakannya. Beberapa karakteristik dari pada sendi bahu yaitu:
perbandingan antara permukaan mangkok sendinya dengan kepala sendi tidak
sebanding, kapsul sendinya relatif lemah. Otot-otot pembungkus sendi relatif
lemah seperti otot supraspinatus, infraspinatus, teres minor, dan subscapularis,
gerakan paling luas, tetapi stabilitas sendi relatif kurang stabil. Dengan melihat
keadaan sendi tersebut, maka sendi bahu lebih mudah mengalami gangguan
fungsi dibandingkan dengan sendi lainnya.

Gambar: Anatomi sendi bahu


4

b) Kapsul sendi
Kapsul sendi terdiri atas dua lapisan :
1) Kapsul sinovial (lapisan bagian dalam) Dengan karakteristik mempunyai
jaringan fibrokolagen agak lunak dan tidak memiliki saraf reseptor dan
pembuluh darah. Fungsinya menghasilkan cairan sinovial sendi dan
sebagai transfomator makanan ke tulang rawan sendi. Bila ada gangguan
pada sendi yang ringan saja, maka yang pertama kali yang mengalami
gangguan fungsi adalah kapsul sinovial, tetapi karena kapsul tersebut tidak
memiliki reseptor nyeri, maka kita tidak merasa nyeri apabila ada
gangguan, misalnya pada artrosis sendi.
2) Kapsul fibrosa. Karakteristiknya berupa jaringan fibrosa keras dan memiliki
saraf reseptor dan pembuluh darah. Fungsinya memelihara posisi dan
stabilitas sendi, dan memelihara regenerasi kapsul sendi.

Gambar: Anatomi sendi bahu

2.1.1. Komponen Statik1


Komponen statik dari sendi glenohumeral termasuk struktur tulang,
glenoid labrum, kapsul sendi dan ligamen, dan tekanan negatif intraartikular.
Sudut antara kaput humerus ke diafisis adalah 130-140 derajat, dan kaput humerus
5

pada posisi retroversi 30 derajat relatif ke aksis transepikondilar siku. Fossa


glenoid merupakan permukaan sendi pada skapula dimana kaput humerus
berartikulasi. Skapula berada pada posisi 30-45 derajat anterior pada lapangan
koronal, dan fossa glenoid berada 7 derajat retroversi relatif ke skapula dengan 5
derajat ke arah sefalad. Orientasi fossa glenoid relatif ke kaput humerus mencegah
terjadinya instabilitas pada sendi glenohumeral posterior dan inferior. Pergerakan
skapulotorakal diperlukan untuk mempertahankan orientasi sendi glenohumeral
tetap stabil.
Fossa glenoid secara relatif dangkal dan hanya meliputi 25% dari
permukaan kaput humerus. Persentase ini meningkat sampai 35% dengan
tambahan dari glenoid labrum. Glenoid labrum merupakan struktur fibrokartilago
yang menempel pada glenoid rim pada semua regio kecuali daerah superior, yang
hanya menempel secara longgar. Glenoid labrum menambah kedalaman fossa
glenoid hingga 50% dan menyediakan tempat melekat untuk ligamentum
glenohumeral.
Kapsul sendi glenohumeral menempel secara proksimal dari glenoid
labrum dan distal dari leher humerus. Kapsul sendi berperan sebagai komponen
stabilisasi statik pada pergerakan sendi.
Ligamentum glenohumeral merupakan penebalan dari kapsul sendi dan
terdiri dari ligamentum superior, tengah, dan inferior. Ligamentum lain yang
termasuk komponen statik adalah ligamentum korakohumeral.
Sendi glenohumeral yang intak memiliki tekanan intraartikular yang
negatif sehingga memiliki efek vakum. Keadaan vakum ini mencegah instabilitas
ke segala arah.

2.1.2. Komponen Dinamik1


Komponen dinamik dari sendi glenohumeral termasuk scapular stabilizing
dan otot-otot rotator cuff dan kepala biseps. Stabilitas dinamik tidak hanya
bergantung pada kekuatan, fleksibilitas, dan ketahanan dari otot, tetapi juga
termasuk input propriosepsi dan kontrol neuromuskular.
6

Otot-otot penstabilisasi skapula menempatkan skapula dengan tepat


terhadap humerus untuk mengoptimalisasi pergerakan sendi. Otot-otot
penstabilisasi skapula termasuk serratus anterior, trapezius, pektoralis minor,
rhomboideus minor dan mayor, latissimus dorsi, dan levator skapulae.
Otot-otot rotator cuff termasuk supraspinatus, infraspinatus, subskapularis,
dan teres minor. Otot-otot ini berkontribusi terhadap stabilisasi dinamis melalui
banyak mekanisme.
Propriosepsi dan kontrol neuromuskular merupakan mekanisme dimana
posisi dan pergerakan bahu dirasakan (propriosepsi), diproses, dan menghasilkan
respons motorik sesuai (kontrol neuromuskular). Instabilitas sendi glenohumeral
sering juga dipengaruhi oleh propriosepsi.

2.2. Definisi
Suatu kondisi dimana kaput humerus bergeser keluar batas fossa glenoid.2

2.3. Etiologi
Penyebab utama dislokasi sendi bahu ialah trauma dengan lengan
mengalami rotasi internal dan abduksi, menyebabkan kaput humerus subluksasio
ke arah depan. Subluksasio ke arah posterior terjadi dari terjatuh dengan posisi
lengan terulur. Dislokasi inferior dapat terjadi dari lemahnya tonus otot dengan
hemiplegia dan dari berat lengan menarik humerus ke arah bawah. Dislokasi
glenohumeral anterior biasa terjadi pada atlet, khususnya pemain sepak bola.2
Etiologi lain dari dislokasi sendi glenohumeral adalah mikrotrauma
repetitif kronis atau abnormalitas kongenital seperti congenital capsular laxity.

2.4. Klasifikasi1,3
Klasifikasi dari dislokasi sendi glenohumeral dibagi berdasarkan
frekuensi, etiologi, dan arah dislokasi. Berdasarkan frekuensi dislokasi dapat
dibagi menjadi akut atau kronis. Dislokasi akut termasuk cedera akut yang
menyebabkan dislokasi sendi. Dilsokasi kronis adalah episode berulang dari
dislokasi.
7

Berdasarkan etiologi dapat dibagi menjadi traumatik atau atraumatik.


Dislokasi yang unidireksional biasanya disebabkan trauma. Dislokasi atraumatik
disebabkan kelainan kongenital atau mikrotrauma berulang.
Berdasarkan arah dislokasi, dislokasi sendi glenohumeral dapat dibagi
menjadi:
1) Dislokasi anterior
2) Dislokasi posterior
3) Dislokasi inferior atau luksasi erekta
4) Dislokasi multidireksi

2.5. Mekanisme Trauma


1. Dislokasi Sendi Glenohumeral anterior
Dislokasi anterior paling sering disebabkan oleh sobekan kapsul sendi
glenohumeral pada antero-inferior (termasuk ligamentum glenohumeral tengah
atau pita anterior dari ligamentum glenohumeral inferior) atau terlepasnya
anterior-inferior glenoid labrum dari glenoid rim.
Merupakan jenis dislokasi yang paling sering terjadi pada sendi mayor.
Biasanya terjadi karena rotasi eksternal secara paksa dan ekstensi dari bahu.
Kaput humerus kemudian terdorong ke depan, dan sering menyebabkan robekan
pada kartilago glenoid labrum dan kapsul dari batas anterior kavum glenoid.4
Lebih jarang dislokasi ini juga dapat terjadi pada pasien yang terjatuh dengan
bertumpu pada tangan dan sendi bahu dalam posisi ekstensi. Pada dislokasi ini,
kaput humerus mengalami pergeseran ke arah medial ke glenoid, tepat di bawah
prosesus korakoid.5
Pada dislokasi berulang kapsul dan labrum sering terlepas dari anterior
glenoid. Tetapi pada beberapa kasus labrum tetap utuh dan kapsul serta
ligamentum glenohumerus keduanya terlepas atau terentang ke arah anterior dan
inferior. Selain itu mungkin ada indentasi pada bagian posterolateral kaput
humerus (lesi Hill-Sachs) yaitu suatu fraktur kompresi akibat kaput humerus
menekan lingkar glenoid anterior setiap kali mengalami dislokasi.6
8

Lesi anatomik lain yang berperan dalam timbulnya termasuk avulsi


humerus dari ligamentum glenohumeral, lesi antero-posterior labrum superior,
cedera pada rotator interval, dan robekan pada rotator cuff (terutama otot
subskapularis). Dislokasi akut juga bisa disebabkan adanya fraktur kompresi pada
postero-lateral kaput humerus, yang disebut defek Hill-Sachs.1

2. Dislokasi Sendi Glenohumeral Posterior


Dislokasi tipe ini lebih jarang terjadi. Biasanya karena trauma berkekuatan
besar dengan posisi terjatuh pada bahu anterior atau pada tangan dengan posisi
adduksi dan rotasi internal, karena kejang epileptic (akibat epilepsy atau terkena
aliran listrik), atau intoksikasi alkohol.4,5 Dislokasi mungkin disertai dengan
fraktur proksimal humerus, kapsul posterior terlepas dari tulang atau teregang, dan
mungkin ada indentasi dari aspek anterior dari kaput humerus.6
Ketika sendi bahu yang sebelumnya mengalami dislokasi posterior,
mengalami dislokasi ulang karena cedera lain, dislokasi kedua dan selanjutnya
disebut dislokasi rekuren. Pada kasus dimana pasien dapat mendislokasikan dan
mereduksi sendi bahu sesuai keinginan disebut dislokasi habitual. Hal ini biasanya
terjadi karena gangguan kongenital generalisata pada ligament.5
Hipoplasia glenoid kongenital atau retroversi humerus atau glenoid yang
berlebihan dapat menyebabkan dislokasi. Lesi yang sering juga menyebabkan
dislokasi adalah kelonggaran kapsuloligamen dan cedera pada rotator interval,
ligamentum glenohumeral superior, ligamentum korakohumeral, atau otot
subskapularis.1

3. Dislokasi Sendi Glenohumeral Inferior


Penyebab dislokasi inferior termasuk kelonggaran kapsuloligamen, lesi
pada rotator interval, ligamentum glenohumeral inferior, ligamentum
glenohumeral superior, ligamentum korakohumeral, dan glenoid labrum inferior.1
9

2.6. Manifestasi Klinis


2.6.1. Dislokasi Sendi Glenohumeral Anterior
Pasien biasanya datang dengan keluhan utama nyeri. Pasien juga
mengeluhkan seperti sesuatu keluar dari tempatnya sehingga dia tidak dapat
menggerakkan tangannya. Pasien kemudian menggunakan tangan yang lain untuk
membantu menyanggahnya.5 Pada kejadian akut yang pertama kali pasien dapat
menjelaskan dengan baik mekanisme trauma; adanya ruda paksa pada bahu dalam
keadaan abduksi, rotasi eksternal, dan ekstensi.6
Pada pemeriksaan fisik ditemukan beberapa tanda diantaranya adanya
nyeri, terdapat benjolan pada bagian depan bahu, posisi lengan abduksi-
eksorotasi, tepi bahu tampak menyudut, nyeri tekan, dan adanya gangguan gerak
sendi bahu. Ada 2 tanda khas pada dislokasi sendi bahu anterior ini yaitu sumbu
humerus yang tidak menunjuk ke bahu dan kontur bahu berubah karena daerah
dibawah akromion kosong pada palpasi. Penderita merasakan sendinya keluar dan
tidak mampu menggerakkan lengannya dan lengan yang cedera ditopang oleh
tangan sebelah lain dan tidak mampu menggerakkan lengannya dan lengan yang
cedera ditopang oleh tangan sebelah lain dan ia tidak dapat menyentuh dadanya.
Lengan yang cedera tampak lebih panjang dari normal, bahu terfiksasi sehingga
mengalami fleksi dan lengan bawah berotasi ke arah interna. Posisi badan
penderita miring ke arah sisi yang sakit. Pemeriksa terkadang dapat membuat
scapula bergerak pada dadanya namun tidak akan dapat menggerakkan humerus
pada scapula. Jika pasien tidak terlalu banyak menggerakkan bahunya, maka pada
kasus ini kaput humerus yang tergeser dapat diraba di bawah prosesus
korakoideus. Fungsi nervus sirkumfleks harus diperiksa karena rentan mengalami
cedera pada kasus ini.4,5,6,7

2.6.2. Dislokasi Sendi Glenohumeral Posterior


Kasus ini jarang terjadi dan sering terabaikan karena pasien terlihat seperti
melindungi ekstremitasnya.. Biasanya dari anamesis didapati riwayat trauma yang
hebat pada bahu, riwayat terkena aliran listrik, atau intoksikasi alkohol.
10

Dari pemeriksaan fisik terlihat lengan dalam posisi adduksi dan rotasi
interna. Pergerakan rotasi eksternal mengalami tahanan. Pada pasien yang kurus
kaput humerus dapat teraba pada bagian posterior.5,6,7

2.7. Anamnesis1
Pada anamnesis perlu ditanyakan mengenai keluhan utama, usia, tangan
dominan, dan aktivitas. Meskipun gejala dislokasi ini kadang tidak jelas, keluhan
yang paling sering adalah nyeri, sendi sulit digerakkan, sensasi sendi tidak stabil,
kaku, dan bengkak. Bila nyeri perlu ditelusuri mengenai lokasi, kualitas,
intensitas, dan penjalaran. Perlu juga ditanyakan faktor yang memperingan atau
memperberat gejala. Kapan muncul gejala, frekuensi gejala, dan posisi serta
aktivitas yang menyebabkan dislokasi.
Riwayat trauma akut atau kronis, mikrotrauma berulang perlu ditanyakan.
Beberapa pasien memiliki riwayat dislokasi sebelumnya, ke arah mana
dislokasinya, berapa lama dislokasi, perlu reduksi atau reduksi spontan terjadi.
Perlu ditanyakan juga riwayat keluarga yang memiliki riwayat kelonggaran
ligamentum keseluruhan atau penyakit jaringan ikat.
Arah dislokasi dapat diperkirakan melalui anamnesis. Dislokasi pada
pasien dengan posisi abduksi dan rotasi eksterna mengindikasikan dislokasi
anterior. Dislokasi posterior terjadi bila bahu pasien pada posisi fleksi dan rotasi
interna. Nyeri, parestesia, dan kelemahan ketika membawa benda berat
mengindikasikan dislokasi inferior. Pasien dengan dislokasi multidireksi
mengeluhkan gejala 2 atau lebih dislokasi.

2.8. Pemeriksaan Fisik1


Pemeriksaan fisik termasuk inspeksi, palpasi, ROM dari sendi
glenohumeral, kekuatan ekstremitas atas, sensasi (termasuk propriosepsi),
evaluasi refleks, dan tes spesial dari sendi glenohumeral. Sendi yang berdekatan
juga perlu diperiksa untuk menyingkirkan nyeri alih atau patologi lain. Evaluasi
kinetik harus diperiksa untuk memastikdan defisit pada regio jauh tidak
berkontribusi pada dislokasi sendi.
11

Bahu pasien diinspeksi untuk postur, diskolorasi, pembengkakan, skar,


atrofi otot, dan deformitas. Posisi skapula perlu diperhatikan. Skapula yang
melayang berhubungan dengan diskinesis skapulotorakal, ketidakseimbangan otot
atau fatik, atau cedera ke nervus aksesoris spinal. Skar yang tipis atau menyebar
mengindikasikan kelainan jaringan ikat.
Palpasi harus dimulai dari sendi sternoklavikular dan progresif ke lateral
untuk menilai sisi anterior, posterior, superior, inferior, dan lateral. Perhatikan
area deformitas atau nyeri tekan.
ROM harus dinilai secara aktif dan pasif, termasuk fleksi, ekstensi,
abduksi, adduksi, dan rotasi interna dan eksterna. Rotasi interna dan eksterna
harus dinilai dengan lengan pada sisi dan bahu diabduksikan 90 derajat. Selama
fase konsentrik dan eksentrik dari abduksi dan fleksi sendi bahu, pergerakan
skapulotorasik harus dinilai untuk melihat adanya skapula melayang dan
abnormalitas skapulotorasik, mengindikasikan adanya diskinesis skapulotorasik.
Pengukuran pergerakan skapula ke lateral dapat dijadikan uji objektif
untuk menilai kesimetrisan pergerakan skapulotorasik. Jarak dari sudut inferior
skapula ke prosesus spinosus terdekat dinilai pada 3 posisi: lengan di samping,
tangan di pinggang, dan lengan abduksi 90 derajat. Perbedaan 2 cm atau lebih
dinyatakan signifikan.
Pengukuran kekuatan dilakukan pada semua otot ekstremitas atas, dengan
memfokuskan pada otot-otot rotator cuff dan penstabil skapula. Sensasi harus
dinilai dari dermatom C5 sampai T1. Uji refleks termasuk biseps (C5-6),
brakioradialis (C5-6), dan triseps (C7-8).
Uji klinis untuk mengukur kemampuan propriosepsi dan kinestetik sendi
terdiri dari reproduksi angular dan ambang rasa sensasi manuver pergerakan
sendi.
Terdapat beberapa uji spesial untuk menentukan instabilitas sendi
termasuk dislokasi, yaitu:
1. Anterior apprehension (crank) and relocation tests
2. Anterior and posterior drawer test
3. Load and shift test
12

4. Posterior apprehension test


5. Jerk test
6. Sulcus sign
7. Feagin test

2.9. Pemeriksaan Penunjang3,8,9


Pemeriksaan radiologis yang paling umum dilakukan adalah foto polos pada
sendi bahu anteroposterior, aksilla lateral, dan skapula. Proyeksi anteroposterior
dapat memperlihatkan struktur tulang dari bahu, termasuk skapula, klavikula, iga
bagian atas, kaput humerus, dan glenoid rim. Dengan rotasi interna, proyeksi
anteroposterior dapat memperlihatkan defek Hill-Sachs. Proyeksi Skapula Y dapat
menilai keselarasan sendi glenohumeral. Proyeksi aksilla lateral dapat menilai
subluksasio anterior atau posterior atau dislokasi dan fraktur pada anterior atau
posterior dari glenoid rim.
Pemeriksaan radiologis harus meliputi sudut anteroposterior dan lateral. Pada
sudut anteroposterior dapat ditentukan bilamana terjadi rotasi interna dan
eksterna. Pada rotasi interna dapat dilihat lesi Hill-Sachs pada kaput humerus
posterolateral.

Gambar: Gambaran radiologis dislokasi sendi glenohumeral anterior


13

Pada sudut lateral dapat dilihat sublukasasi glenohumeral ataupun dislokasi,


dapat juga unutk melihat bilamana terdapat fraktur. Pada dislokasi sendi bahu
anterior, kaput humerus berada di bagian depan ataupun medial dari glenoid. Pada
dislokasi posterior terdapat gambaran berupa light bulb yang diakibatkan rotasi
interna dari humerus.
CT-scan arthrografi dulunya biasanya digunakan untuk mengevaluasi pasien
dengna instabilitas glenohumeral dan dislokasi atau dengan riwayat instabilitas
sebelumnya. Akan tetapi, sekarang ini CT-scan hanya digunakan apabila
terdapat kontraindikasi pemeriksaan dengan MRI atau jika dicurigai terdapat
abnormalitas glenoid.
MRI dan Magnetic Resonanace Arthrografi lebih sensitif dibandingkan
metode lainnya untuk keadaan patologi pada ligamen, kartilago, cedera bisep
ataupun abnormalitas kapsul. MR artrografi lebih sensitif dibandingkan MRI, dan
hal ini merupakan pemeriksaaan pilihan pada dislokasi sendi bahu, khususnya
untuk kasus instabilitas yang berulang dan lebih bagus untuk mendiagnosis lesi
patologis untuk hal-hal tersebut.

2.10. Penatalaksanaan3,8,9
Penatalaksanaan dislokasi sendi glenohumeral dimulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik serta radiologis. Setelah penilaian awal, bahu perlu direduksi
dan diimobilisasi selama periode singkat sebelum rehabilitasi dimulai. Durasi dari
imobilisasi menggunakan sling masih diperdebatkan, namun kebanyakan ahli
berpendapat bahwa imobilisasi paling lama 3 minggu. Terapi fisik termasuk fleksi
pasif dan rotasi eksterna hingga 40 derajat. Pada minggu 6 setelah dislokasi,
penguatan otot rotator cuff dan scapular stabilizing biasanya sudah dimulai. Pada
minggu ke-12, latihan fisik tertentu dilakukan pada atlet untuk bisa kembali
berolahraga.
Tatalaksana bedah dari pasien dengan dislokasi dilakukan terutama pada
pasien yang berisiko tinggi mengalami rekurensi. Karena dislokasi kronis dapat
menyebabkan fraktur impaksi dan hilangnya tulang glenoid.
14

2.10.1. Penatalaksaan Dislokasi Sendi Glenohumeral Anterior


Beraneka ragam metode reduksi dilakukan pada pasien dengan dislokasi
sendi bahu. Untuk pasien yang pernah mengalami dislokasi sebelumnya, traksi
sederhana pada lengan biasanya berhasil dengan baik. Biasanya penggunaan
sedasi atau anestesi general diperlukan. Berikut ini beberapa metode reduksi yang
dapat dilakukan:
1) Dengan metode Stimson, pasien ditelungkupkan dan lengan yang sakit
tergantung disebelah tempat tidur. Seteleah 15 hingga 20 menit bahunya
akan tereduksi.

Gambar. Metode Stimson

2) Dengan metode Hippocrates, penderita dibaringkan dilantai, anggota gerak


ditarik ke atas dan kaput humerus ditekan dengan kaki agar kembali ke
tempatnya.

Gambar. Metode Hipocrates


15

3) Dengan metode Kocher, penderita berbaring di tempat tidur dan pemeriksa


berada disamping penderita. Sendi siku dalam posisi fleksi 90 dan
dilakukan traksi sesuai garis humerus, kemudian dilakukan rotasi ke arah
lateral dan lengan diadduksi dan sendi siku dibawa mendekati tubuh ke
arah garis tengah dan lengan kemudian dirotasi ke medial sehingga tangan
jatuh di daerah dada. Teknik ini kurang direkomendasikan karena dapat
mengakibatkan cidera pada nervus, pembuluh darah dan pada tulang.

Gambar. Metode Kocher

Reduksi tanpa pembiusan umum dilakukan dengan teknik menggantung


lengan. Penderita diberikan pethidin atau diazepam agar tercapai relaksasi yang
maksimum, kemudian penderita tidur tengkurap dan membiarkan lengan
tergantung dipinggir tempat tidur. Setelah beberapa waktu dapat terjadi reduksi
secara spontan.
16

Penanganan setelah reposisi, lengan diistirahatkan dengan mitella selama 3


minggu pada penderita yang usianya dibawah 3 tahun (yang lebih sering terjadi
rekurensi) dan hanya 1 minggu pada usia lebih 30 tahun (lebih sering terjadi
kekakuan). Kemudian dimulai pergerakan ringan namun kombinasi abduksi dan
rotasi lateral sebaiknya dihindari selama 3 minggu. Selama periode ini, siku dan
jari mulai digerakkan setiap hari.

2.10.2. Penatalaksanaan Dislokasi Sendi Glenohumeral Posterior


Dilakukan reduksi dengan menarik lengan ke depan secara hati-hati dan
rotasi eksterna, serta dilakukan imobilisasi selama 3-6 minggu.

2.10.3 Penatalaksanaan Dislokasi Sendi Glenohumeral Inferior


Dilakukan reduksi tertutup menarik lengan ke depan secara hati-hati dan
rotasi eksterna. Lengan diistirahatkan sampai nyeri hilang, namun hindari
melakukan abduksi selama 3 minggu setelah terjadi penyembuhan jaringan lunak.
Apabila hal ini tidak berhasil dapat dilakukan reduksi terbuka dengan operasi.

2.11. Komplikasi9
2.11.1. Komplikasi Dislokasi Anterior
A. Awal
1. Rotator cuff tear. Biasa mengiringi dislokasi anterior pada orang
dewasa. Pasien mungkin kesulitan mengabduksikan lengannya
setelah reduksi, kontraksi muskulus deltoid yang teraba
menyingkirkan kelumpuhan saraf aksilaris.
2. Kerusakan saraf. Saraf aksilaris paling sering mengalami cedera,
pasien tidak dapat mengkontraksikan otot deltoid dan sedikit
kehilangan rasa pada otot. Ketidakmampuan abduksi harus
dibedakan dari robekan rotator cuff.
17

Gambar. Dermatom nervus aksilaris

3. Kerusakan pembuluh darah. Arteri aksilaris dapat mengalami


kerusakan, khususnya pada orang tua dengan pembuluh darah yang
rapuh. Ini bisa terjadi saat cedera ataupun saat melakukan reduksi.
Tungkai harus selalu diperiksa ada tidaknya tanda-tanda iskemia
sebelum dan sesudah reduksi.
4. Fraktur-dislokasi. Jika ada hubungan fraktur proksimal humerus,
mungkin diperlukan reduksi terbuka dengan fiksasi internal.

B. Terlambat
1. Kaku bahu. Lamanya immobilisasi dapat menyebabkan kekakuan
pada sendi bahu, khususnya pada pasien diatas 40 tahun.
2. Dislokasi tak tereduksi. Dislokasi sendi bahu terkadang tidak
terdiagnosa. Biasa terjadi pada pasien yang tidak sadar atau terlalu
tua. Reduksi tertutup baik dilakukan sampai 6 minggu setelah
cedera; manipulasi yang dilakukan setelah itu dapat menyebabkan
fraktur, robekan pembuluh darah atau saraf.
3. Dislokasi rekuren. Jika dislokasi anterior merobek kapsul sendi
bahu, perbaikan diikuti reduksi secara spontan maka dislokasi
18

mungkin tidak terjadi, tetapi bila glenoid lepas atau kapsul


tertanggal didepan leher glenoid, rekurensi lebih sering terjadi.

2.11.2 Komplikasi Dislokasi Posterior


1. Dislokasi tak tereduksi. Minimal setengah dari pasien dengan
dislokasi posterior tidak tereduksi ketika pertama kali. Berminggu-
minggu sampai berbulan-bulan berlalu sebelum diagnosis ditegakkan
dan lebih dari dua pertiga dislokasi posterior tidak dikenali awalnya.
2. Dislokasi rekuren atau subluksasio.
19

BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan
Dislokasi sendi bahu merupakan salah satu kelainan dalam bidang bedah
ortopaedi yang sering ditemukan di masyarakat. Penyebab utamanya adalah
trauma. Pemahaman yang cermat mengenai anatomi sendi bahu sangat penting
bagi kita sebagai kunci kerberhasilan dalam mereduksi kembali dislokasi yang
terjadi. Pemeriksaan radiologis dapat membantu menentukan tipe dislokasi dan
adanya tidaknya fraktur yang menyertai. Berbagai teknik dapat dilakukan untuk
mereduksi kembali dislokasi yang terjadi, dengan atau tanpa pembiusan.

3.2. Saran
Kurangnya pengetahuan masyarakat dibidang ortopaedi menyebabkan
kesalahan dalam penatalaksanaan dislokasi sendi bahu. Masyarakat cenderung
datang ke tukang kusuk ataupun dukun patah dalam mengobati dislokasi sendi
bahu. Sebagai calon dokter, sangat penting bagi kita untuk memahami tentang
dislokasi sendi bahu mulai dari anatomi sendi bahu, bagaimana mekanisme
trauma dan kemungkinan klinis yang dapat muncul sampai pada penatalaksanaan
yang tepat serta sejauh mana tindakan yang dapat kita lakukan sebelum merujuk
pasien ke ahli bedah ortopaedi.
20

DAFTAR PUSTAKA

1. Finnoff JT, Doucette S, Hicken G. 2004. Glenohumeral Instability and


Dislocation. Phys Med Rehabil Clin N Am 15 (2004) 575-605.
2. Lutz, M. 2006. Shoulder Dislocation (Anterior Glenohumeral). Colorado,
pp 8.
3. Rasjad, C. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT. Yarsif
Watampone. Hal. 406-408.
4. Keating John, Hoofer Geoff, Robb James. Regional Injuries. Dalam:
Luqmani Lashid, dkk (Ed). TextBook of Orthopaedic, Trauma, and
Rheumatology. 2004. Philadelpia: Mosby.
5. Salter, RB. Textbook of the Disorder and Injury of the Muskuloskeletal
System 3rd ed. 1999. Pennysylvania: Williams & Wilkins. 589-592.
6. Cole Andrew, Pavlou Paul. The Shoulder and Pectoral Girdle. Dalam:
Solomon Louis, Warwick David, Nayagam Selvadurai (Ed). Apleys
System of Orthopaedic and Fracture 9th ed. 2010. London: Hodder Arnold.
337-368.
7. Seade LE. Shoulder Dislocation. 2011. Emedicine. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/93323.
8. Welsh, S., et al. 2011. Shoulder dislocation surgery. Dowloaded from:
http://emedicine.medscape.com/article/1261802-overview.
9. Solomon, L., et al. 2010. Apleys System of Orthopaedics and Fractures.
Ninth edition. 739-744.

Anda mungkin juga menyukai