oleh
Nurdianah Fajri Ronandini, S.Kep
NIM 192311101141
Jember, 2019
Mengetahui,
Mahasiswa
Tim Pembimbing
Ns. Akhmad Zainur Ridla, S.Kep., MAdvN Ns. Mohammad Toha, S.Kep.
NRP. 760019007 NIP. 19670902 199302 1 001
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN....................................................................... ii
iii
1
Pada orang dewasa, panjang ginjal ±11 cm, lebarnya 5-7,5 cm, tebalnya
2,5 cm dan beratnya sekitar 150 gram. Batas atas ginjal kiri setinggi iga ke 11,
ginjal kanan setinggi iga ke 12, batas bawah ginjal kiri setinggi vertebra lumbalis
ke 3. Bentuk ginjal seperti kacang, sisi dalam menghadap ke vertebra torakalis,
sisi luarnya cembung dan di atas setiap ginjal terdapat sebuah kelenjar suprarenal
(Tarwoto, dkk., 2009).
2
Ginjal terdiri atas tiga area yaitu kortek, medulla dan pelvis.
a. Korteks
Merupakan bagian paling luar ginjal, dibawah kapsula fibrosa sampai
dengan lapisan medulla, tersusun atas nefron-nefron yang jumlahnya lebih
dari 1 juta. Semua glomerulus berada di korteks dan 90% aliran darah
menuju pada korteks.
b. Medulla, terdiri dari saluran-saluran atau duktus collecting yang disebut
pyramid ginjal yang tersusun antara 8-18 buah.
c. Pelvis merupakan area yang terdiri dari kaliks minor yang kemudian
bergabung menjadi kalik mayor. Empat sampai lima kalik minor
bergabung menjadi kaliks mayor dan du sampai tiga kaliks mayor
bergabung menjadi pelvis ginjal yang berhubungan dengan ureter bagian
proksimal.
Ginjal menerima darah 20 sampai 25% dari kardiak output pada kondisi
istirahat, atau rata-rata lebih dari 1 liter permenit dari arteri renalis kanan dan kiri,
yang merupakan cabang dari aorta abdomen pada setingkat vertebra lumbal
kedua. Dari arteri renalis becabang menjadi arteri segmental selanjutnya berturut-
turut masuk ke arteri interlobaris, arteri arkuatus, arteri interlobular, arteriole
aferen masuk ke glomerulus, arteriole eferen, kapiler peritubuler kemudian masuk
dalam venula, vena interlobular, vena arkuata, vena interlobaris menjadi vena
renalis (Tarwoto, dkk., 2009).
3
2. Fisiologi Ginjal
a. Fungsi ginjal
1) Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh. Kelebihan air dalam tubuh
akan diekskresikan oleh ginjal sebagai urin (kemih) yang encer dalam
jumlah besar. Kekurangan air (kelebihan keringat) menyebabkan urin
yang diekskesi berkurang dan konsentrasinya lebih pekat, sehingga
susunan dan volume cairan tubuh dapat dipertahankan relatif normal.
2) Mengatur keseimbangan osmotik dan mempertahankan keseimbangan
ion yang optimal dalam plasma (keseimbangan elektrolit). Bila terjadi
pemasukan/pengeluaran yang abnormal ion-ion akibat pemasukan
garam yang berlebihan atau penyakit perdarahan (diare dan muntah)
ginjal akan meningkatkan ekskresi ion-ion penting (misalnya Na, K, Cl,
Ca, dan fosfat).
3) Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh, bergantung pada apa
yang dimakan. Campuran makanan menghasilkan urin yang bersifat
agak asam, pH kurang dari 6, ini disebabkan hasil akhir metabolism
protein. Apabila banyak makan sayur-sayuran, urin akan bersifat basa.
pH urin bervariasi antara 4,8-8,2. Ginjal mensekresi urin sesuai dengan
perubahan pH darah.
4
b. Pembentukan urin
1) Proses Filtrasi
Filtrasi plasma terjadi pada glomerulus di nefron, merupakan langkah
pertama produksi urin. Ultrafiltrasi terjadi dimana plasma menembus
barier dari membran endothelium glomerulus kemudian hasilnya masuk ke
dalam ruang intrakapsul Bowman. Normalnya sekitar 20% atau sekitar 180
liter perhari plasma masuk ke glomerulus untuk difiltrasi. Rata-rata 178,5
liter direabsorpsi kembali dan hanya 1-2 liter yang di ekskresi menjadi
urin. Filtrasi glomerulus terjadi akibat perbedaan tekanan filtrasi dengan
tekanan yang melawan filtrasi. Atau diebut tekanan filtrasi efektif.
Terdapat tiga tekanan yang terjdai dalam proses filtrasi yaitu tekanan darah
kapiler glomerulus atau tekanan hidrostatik kapiler glomerulus, tekanan
osmotik koloid plasma dan tekanan hidrostatik kapsula Bowman.
Tidak semua zat dapat difilitrasi oleh glomerulus, seperti misalnya sel
darah dan protein karena ukurannya yang besar, membran filtrasi hanya
dapat dilalui oleh plasma, garam-garam, glukosa dan molekul-molekul
kecil lainnya. Besarnya volume plasma yang difiltrasi oleh glomerulus
permenit pada semua nefron disebut laju glomerular atau Glomerulus
Filtration Rate (GFR), besarnya GFR pada laki-laki 125 ml/menit tau 180
L per 24 jam sedangkan pada wanita ekitar 110 ml/menit.
5
2) Proses Reabsorbsi
Dari 180 liter perhari plasma yang filtrasi tidak semuanya dikeluarkan
dalam bentuk urin, tetapi lebih banyak yang diserap kembali atau
reabsorpsi dalam tubulus ginjal terutama zat-zat atau material yang penting
bagi tubuh dan hanya 1-2 liter yang dikerluarkan dalam bentuk urin.
Material yang reabsorpsi masuk kembali ke darah melalui kapiler
periubular. Reabsorpsi terjadi sebagian besar di tubulus proksimal kira-kira
75%, selebihnya terjadi di ansa henle, tubulus distal dan duktus koligentes.
Proses reabsorpsi dilakukan melalui transfer pasif dan transfer aktif.
Transfer pasif adalah pergerakan zat atau material melalui gradien kimia
dan listrik. Pergerakan pasif terjadi dari area dengan konsentrasi tinggi ke
konsentrasi kimia rendah. Misalnya reabsorpsi pasif adalah air pada
tubulus distal, air dan urea dengan bantuan ADH di duktus koligen, urea,
air, klor pada tubulus proksimal. Transfer aktif terjadi dengan
membutuhkan energi ATP, misalnya reabsorpsi natrium, kalium, klor pada
tubulus kontortus distal dan duktus koligen, transfer glukosa, asam amino,
natrium, kalium fosfat, sulfat, vitamin C terjadi pada tubulus kontortus
proksimal.
1. Diabetes Mellitus
2. Hipertensi
3. Glomerulonefritis kronis
4. Nefritis intersisial kronis
5. Penyakit ginjal polikistik
6. Obstruksi-infeksi saluran kemih
7. Obesitas
8. Tidak diketahui
Kejadian gagal ginjal kronis dapat terjadi akibat penyatik kelainan konginetal
menurut (Ni’amillah, 2010), kelainan kongenital atau cacat bawaan adalah
kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak masih dalam
konsepsi sel telur. Kelainan bawaan dapat dikenali sebelum kelahiran dan pada
saat kelahiran atau beberapa tahun kemudian setelah kelahiran. Kelainan bawaan
dapat disebabkan oleh keabnormalan genetika, sebab-sebab alamiah atau faktor-
faktor lainnya yang tidak diketahui.
Salah satu kelainan kongenital yang terjadi pada ginjal adalah Malformasi
yang paling umum pada pasien dengan sindrom papillorenal syndrome, kelainan
ini adalah kelainan genetik autosom dominan yang ditandai oleh keterbelakangan
(hipoplasia) ginjal dan koloboma saraf optik ini adalah hipodisplasia ginjal, yang
merupakan ginjal kecil dan kurang berkembang, yang sering menyebabkan
penyakit ginjal stadium akhir (ESRD). Perkiraan menunjukkan sekitar 10% anak-
anak dengan ginjal hipoplastik dapat mengalami penyakit ginjal stadium akhir
(ESRD).
Macam-macam Malformasi ginjal akibat papillorenal syndrome:
1. Ginjal hipoplastik: Ditandai dengan hipoplasia atau hiperekogenik. Ini
biasanya terjadi secara bilateral, tetapi ada juga pengecualian di mana satu
ginjal mungkin lebih kecil sedangkan ginjal lainnya berukuran normal.
8
Gagal ginjal terjadi apabila terdapat kerusakan pada sel nefron dalam ginjal
akibat terserang penyakit atau kelianan dalam ginjal, ketika nefron mengalami
kerusakan maka seluruh unitnya akan hancur namun sisa nefron yang masih utuh
tetap berkerja secara normal. Uremia akan timbul bilamana jumlah nefro semakin
berkurang, sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan
lagi. Hipotesis nefron yang utuh ini paling berguna untuk menjalankan pola
adaptasi fungsional yaitu untuk kemampuan mempertahankan cairan dan elektrolit
tubuh kendati ada penurunan kecepatan filtrasi Glomelurus (GFR) yang nyata.
Meskipun kerusakan ginjal terus berlanjut namun jumlah solut yang harus
dieksresikan oleh ginjal untuk mempertahankan homeostasis tidak akan berubah
kendati jumlah nefron yang bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun
secara progresif, dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon
terhadap ancaman ketidaksimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang
mengalami hipertrapi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja
ginjal, terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban solut dan reabsorpsi tubulus
dalam setiap nefron.
Menurut Bower, et al. 2018 patofisiologi gagal ginjal kronis dapat disebabkan
oleh Papillorenal syndrome (kelainan genetik autosom dominan), yang terjadi
10
karena mutasi Pax2, mayoritas mutasi terjadi pada ekson 2,3 dan 4 yang
menyandikan domain berpasangan dan mutasi pergeseran bingkai yang mengarah
ke alel nol. Mutasi missense tampaknya mengganggu ikatan hidrogen,
menyebabkan penurunan transaktivasi Pax2, tetapi tampaknya tidak
mempengaruhi lokalisasi nuklir, tingkat mRNA keadaan tunak, atau kemampuan
Pax2 untuk mengikat pada urutan konsensus DNA-nya. Mutasi yang terkait
dengan penyakit ini juga telah dicatat pada ekson 7,8,dan 9, dengan fenotipe yang
lebih ringan dari pada mutasi lainnya. Studi terbaru Pax2 diekspresikan dalam
ginjal, otak tengah, otak belakang, sel-sel di tulang belakang, mengembangkan
telinga dan mengembangkan mata. Mutasi Pax2 negatif homozigot mematikan,
tetapi mutan heterozigot menunjukkan banyak gejala sindrom papillorenal,
termasuk displasia saraf optik dengan pembuluh darah abnormal yang muncul dari
pinggiran cawan optik dan ginjal displasia kecil. Terlihat bahwa Pax2 berada di
bawah kendali hulu Shh pada tikus dan ikan zebra, yang diekspresikan dalam
lempeng prekordal.
Jadi dapat disimpulkan kelainan genetik sindrom papillorenal adalah kelainan
autosom dominan yang dihasilkan dari mutasi satu salinan gen Pax2, yang terletak
pada kromosom 10q24,3-q25.1 Gen ini penting dalam perkembangan mata dan
ginjal. Warisan dominan autosom menunjukkan bahwa gen yang bertanggung
jawab atas gangguan tersebut terletak pada autosom (kromosom 10 adalah
autosom), dan hanya satu salinan gen yang rusak yang cukup untuk menyebabkan
gangguan, ketika diwarisi dari orangtua yang memiliki gangguan tersebut.
Pada derajat awal, PGK belum menimbulkan tanda dan gejala, bahkan hingga
laju filtrasi glomerulus sebesar 60% pasien masih asimtomatik namun sudah
terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Kelainan secara klinis dan
laboratorium baru terlihat dengan jelas pada derajat 3 dan 4. Saat laju filtrasi
glomerulus sebesar 30%, keluhan seperti badan lemah, mual, nafsu makan
berkurang dan penurunan berat badan mulai dirasakan pasien. Pasien mulai
merasakan gejala dan tanda uremia yang nyata saat laju filtrasi glomerulus
kurang dari 30% (Kementerian Kesehatan RI, 2017).
11
J. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium LFG
Pemerikasaan laboratorium dilakukan untuk menetapkan adanya gagal
ginjal kronik, menetapkan ada tidaknya kegawatan, menetukan derajat gagal
ginjal kronik, menetapkan gangguan sistem dan membantu menetapkan
etiologi. Dalam menetapkan ada atau tidaknya gagal ginjal, tidak semua faal
ginjal perlu diuji. Untuk keperluan praktis yang paling lazim diuji adalah
laju filtrasi glomerulus (LFG)
2. Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG) Untuk melihat kemungkinan
hipertrofi ventrikel kiri yang berakibat pada laju peredaran darah pada
ginjal, tanda-tanda perikarditis (misalnya voltase rendah), aritmia, dan
gangguan elektrolit (hiperkalemia, hipokalsemia).
3. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) Menilai besar dan bentuk ginjal,
tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem
pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta prostat. Pemeriksaan
12
ini bertujuan untuk mencari adanya faktor yang reversible seperti obstruksi
oleh karena batu atau massa tumor, juga untuk menilai apakah proses sudah
lanjut (ginjal yang lisut). USG ini sering dipakai karena merupakan tindakan
yang non-invasif dan tidak memerlukan persiapan khusus.
4. Foto Polos Abdomen
Foto Polos Abdomen Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi dapat
memperburuk fungsi ginjal. Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada
batu atau obstruksi lain.
5. Tes Urine
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kondisi tidak normal
yang mengindikasikan kerusakan ginjal. Dalam tes ini, kadar albumin dan
kreatinin dalam urine diperiksa, begitu juga keberadaan protein atau darah
dalam urine. Prosedur ini memeriksa sedimen setelah urine disentrifugasi.
Urine yang normal hampir tidak mengandung sedimen (Baradero, dkk,
2008). Kondisi yang dapat ditemukan pada pemeriksaan urin pada gagal
ginjal akut dan kronis, yaitu:
a) Volume: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguri), yang
terjadi setelah ginjal rusak, pada gagal ginjal kronis juga dapat
dihasilkan urine tak ada (anuria).
b) Warna: pada gagal ginjal akut dan kronis urine berwarna kotor atau
keruh, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin
dan porfirin. Pada penderita gagal ginjal kronis juga didapatkan
kekeruhan urine yang mungkin disebabkan oleh pus, bakteri, lemak,
partikel koloid, fosfat atau urat.
c) Berat jenis: pada penderita gagal ginjal akut berat jenis urine kurang
dari 1,020 dapat menunjukkan penyakit ginjal, contoh
glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan kemampuan untuk
memekatkan, sedangkan pada gagal ginjal kronis adalah kurang dari
1,015 dan akan menetap pada 1,010 yang menunjukkan kerusakan
ginjal.
d) Osmolalitas: gagal ginjal akut dan kronis memiliki nilai intrepretasi
yang sama yaitu kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan
ginjal, dan rasio urine/serum 1:1.
13
7. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal
Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan
rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen. Berberapa
pemeriksaan radiologi yang biasa digunanakan untuk mengetahui gangguan
fungsi ginjal antara lain:
a) Flat-Plat radiografy/Radiographic keadaan ginjal, ureter dan vesika
urinaria untuk mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan kalsifikasi
dari ginjal. Pada gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil
yang mungkin disebabkan karena adanya proses infeksi.
b) Computer Tomography (CT) Scan yang digunakan untuk melihat
secara jelas struktur anatomi ginjal yang penggunaanya dengan
memakai kontras atau tanpa kontras.
c) Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi
keadaan fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa digunakan
pada kasus gangguan ginjal yang disebabkan oleh trauma,
pembedahan, anomali kongental, kelainan prostat, calculi ginjal, abses
/ batu ginjal, serta obstruksi saluran kencing.
d) Aortorenal Angiography digunakan untuk mengetahui sistem arteri,
vena, dan kepiler pada ginjal dengan menggunakan kontras.
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada kasus renal arteri stenosis,
aneurisma ginjal, arterovenous fistula, serta beberapa gangguan
bentuk vaskuler.
e) Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi
kasus yang disebabkan oleh obstruksi uropathi, ARF, proses infeksi
pada ginjal serta post transplantasi ginjal.
8. Biopsi Ginjal
Biopsi Ginjal untuk mengdiagnosa kelainann ginjal dengan
mengambil jaringan ginjal lalu dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada
15
K. Penatalaksanaan Keperawatan
L. Konsep Hemodialisis
1. Definisi Hemodilasis
memiliki konsentrasi yang berlebihan dalam tubuh, zat ini akan larut dalam
darah seperti toksin ureum dan kalium, atau zat pelarut lainnya misalnya air
ataupun serum darah (Simanjuntak dkk., 2017). Terapi hemodialisa adalah suatu
teknologi tinggi sebagai terapi pengganti fungsi ginjal untuk mengeluarkan sisa-
sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air,
natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui
membran semi permeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal
buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Setyawan, 2001).
2. Proses Hemodialisis
a. Difusi, toksik dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara
bergerak dari darah (konsentrasi tinggi) ke cairan dialisat (konsentrasi
rendah).
18
3. Indikasi Tindakan
Indikasi emergency seperti uremic syndrome, overload syndrome, anuria
dan oliguria, hiperkalemia (K >6,5 mmol/l), Asidosis berat ( pH <7,1 atau
bikarbonat <12 meq/l), perikarditis, keracunan alkohol dan obat-obatan serta
pasien dengan indikasi hemodialisis kronik. Menurut Konsensus PERNEFRI
(2003), hemodialisis dilakukan pada semua pasien dengan LFG < 15 mL/menit.
LFG < 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi dan LFG < 5 mL/menit
tanpa gejala dapat juga menjadi indikasi dilakukannya hemodialisis. Selain
indikasi tersebut di atas, terdapat pula indikasi khusus, yaitu apabila terdapat
komplikasi akut seperti edema paru, hiperkalemia, asidosis metabolic berulang,
dan nefropati diabetic. Hemodialisis dimulai ketika bersihan kreatinin menurun
dibawah 10 mL/menit, ini sebanding dengan kadar serum kreatinin 8-10 mg/dL.
Pasien yang mengalami gejala- gejala uremia dengan penurunan kesadaran
sangat berbahaya dan disarankan untuk melakukan hemodialisis (PERNEFRI,
2003; dalam Suarsedewi, 2012).
4. Kontraindikasi
Kontra indikasi dari hemodialisa adalah akses vaskuler sulit,
hemodinamik dan koagulasi yang tidak stabil.. Kontraindikasi lainnya adalah
19
5. Komplikasi
Komplikasi hemodialisis disebabkan karena kerusakan yang terus menerus
terjadi pada ginjal dan prosedur invasif ketika proses hemodialisis berlangsung
(Handayani dkk., 2017)
Himmelfarb (2004) menjelaskan komplikasi hemodialisa sebagai berikut :
a) Komplikasi yang sering terjadi
1) Hipotensi
Intradialytic Hypotension (IDH) adalah tekanan darah rendah
yang terjadi ketika proses hemodialisis sedang berlangsung. IDH
terjadi karena penyakit diabetes millitus, kardiomiopati, left
ventricular hypertrophy (LVH), status gizi kurang baik, albumin
rendah, kandungan Na dialysate rendah, target penarikan cairan atau
target ultrafiltrasi yang terlalu tinggi, berat badan kering terlalu
rendahdan usia diatas 65 tahun.
Komplikasi akut hemodialisa yang paling sering terjadi,
insidensinya mencapai 15-30%. Dapat disebabkan oleh karena
penurunan volume plasma, disfungsi otonom, vasodilatasi karena
energi panas, obat anti hipertensi.
2) Kram otot.
Terjadi pada 20% pasien hemodialisa, penyebabnya idiopatik
namun diduga karena kontraksi akut yang dipicu oleh peningkatan
volume ekstraseluler. Kram otot yang terjadi selama hemodialisis
terjadi karena targetultrafiltrasi yang tinggi dan kandungan Na
dialysate yang rendah
b) Komplikasi yang jarang terjadi
1) Dialysis disequilibrium syndrome (DDS)
Ditandai dengan mual dan muntah disertai dengan sakit kepala, sakit
dada, sakit punggung. Disebabkan karena perubahan yang mendadak
konsentrasi elektrolit dan pH di sistem saraf pusat.
2) Aritmia dan angina
Disebabkan oleh karena adanya perubahan dalam konsentrasi
potasium, hipotensi, penyakit jantung.
3) Perdarahan
20
Hipertensi Stage 2 160 atau > 160 100 atau > 100
l. Bersihkan alat-alat
3. Intra Hemodialisis
Perawatan intra hemodialisa dilakukan saat pasien menjalani
hemodialisa. Perawatan ini meliputi pemantauan kondisi pasien,
mesin HD, dan lain – lain selama prosedur.
a) Pelaksanaan kerja
1) Ujung ABL line dihubungkan dengan punksi inlet
2) Ujung VBL line dihubungkan dengan punksi outlet
3) Semua klem dibuka, kecuali klem infus set 100 ml/m,
sampai sirkulasi darah terisi darah semua.4.
4) Jalankan pompa darah (blood pump) dengan Qb
5) Pompa darah (blood pump stop, sambungkan ujung dari
VBL dengan punksi outlet)
6) Fiksasi ABL & VBL (sehingga pasien tidak sulit untuk
bergerak)
7) cairan priming ditampung di gelas ukur dan jumlahnya
dicatat (cairan dikeluarkan sesuai kebutuhan).
8) Jalankan pompa darah dengan Qb = 100 ml/m, setelah 15
menit bisa dinaikkan sampai 300 ml/m (dilihat dari keadaan
pasien.
9) Hubungkan selang-selang untuk monitor : venous pressure,
arteri pressure, hidupkan air/ blood leak detector.
10) Pompa heparin dijalankan (dosis heparin sesuai keperluan).
Heparin dilarutkan dengan NaCl
11) Ukur TD, Nadi setiap 1 jam. Bila keadaan pasien tidak baik/
lemah lakukan mengukur TD, N, lebih sering.
12) Isi formulir HD antara lain : Nama, Umur, BB, TD, S, N, P,
Tipe GB, Cairan priming yang masuk, makan/minum,
keluhan selama HD, masalah selama HD.
4. Post Hemodialisis
Perawatan post hemodialisa dilakukan setelah pasien menjalani
hemodialisa
a) Persiapan pasien: Pastikan identitas klien, Kaji kondisi klien,
Beritahu dan jelaskan pada klien atau keluarganya serangkaian
tindakan yg dilakukan, Jaga privacy klien
b) Persiapan alat:
1) Kain kasa/ gaas steril
2) Plester
3) Verband gulung
4) Alkohol/ bethadin
30
-
37
M. Clinical Pathways
Kelaianan
Genetik
Konginetal Malformasi Organ Papillorenal Syndrome
1. Ginjal hipoplastik
Kelainan pada sel Nefron Penurunan Laju Filtrasi Disfungsi Ginjal 2. Hypodysplasia
Glomelurus 3. Ginjal Displastik Multikistik
Kehilangan Fungsi Prosedur Hemodialisis 4. Oligomeganephronia
Perubahan Akivitas
Ekskresi Ginjal seumur hidup
Sehari-hari
Reabsorbsi sodium dalam tubulus,
Anemia, Ketergantungan Perubahan
retensi natrium dan air
Keletihan Peran, Perubahan Citra
Kerusakan Proses Tubuh
Intoleransi Filtrasi dalam Ginjal
Aktivitas
Harga Diri Rendah
Mual, Muntah Anoreksi, Diet,
Kelebihan
Perubahan Membran Mukosa Oral
Volume Cairan
a) Identitas Pasien
Gagal ginjal kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 tahun),
usia muda dapat terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70% pada
pria.
b) Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan
(anoreksi), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau
(ureum), gatal pada kulit.
c) Riwayat penyakit sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan
kardiogenik.
d) Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah
jantung, hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign
Prostatic Hyperplasia, prostatektomi, penyakit gout.
e) Riwayat penyakit keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM)
f) Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat
dan dalam (Kussmaul), dyspnea
g) Body system
(1) Pernafasan (B1: Breathing)
Gejala: nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk
dengan/tanpa sputum, kental dan banyak
Tanda: takipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, batuk produktif
dengan/tanpa sputum.
(2) Cardiovascular (B2: Bleeding)
Gejala: Riwayat hipertensi lama atau berat. Palpitasi nyeri dada
atau angina dan sesak nafas, gangguan irama jantung, edema.
Tanda: Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, pitting pada
kaki, telapak tangan, disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi
ortostatik, friction rub perikardial, pucat, kulit coklat
kehijauan,kuning.kecendrungan perdarahan.
(3) Persyarafan (B3: Brain)
39
2. Diagnosa keperawatan
a) Kelebihan volume cairan yang berhubungan dengan penurunan
haluaran urin, kelebihan diet dan retensi natrium dan air.
b) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan mual,
muntah, anoreksi, pembatasan diet, dan perubahan membran mukosa
oral.
43
3. Intervensi
a) Kaji status cairan dan identifikasi sumber potensial
ketidakseimbangan cairan.
b) Terapkan program diet untuk menjamin masukan nutrisi yang sesuai
dalam batasan regimen pengobatan.
c) Berikan penjelasan dan informasi pada pasien dan keluarga
mengenai PGTA, pilihan pengobatan dan potensial komplikasi.
d) Berikan dukungan emosional pada pasien dan keluarga.
4. Evaluasi
5. Discharge Planning
a) Berikan penyuluhan yang berkelanjutan dan penekanan tentang
penyuluhan sebelumnya.
b) Pantau kemajuan pasien dan kepatuhan terhadap regimen
pengobatan.
c) Berikan konsul nutrisional.
d) Ajarkan pasien dan keluarga masalah apa yang harus dilaporkan:
tanda-tanda memburuknya gagal ginjal, tanda hiperkalemia.
e) Berikan penyuluhan tentang medikasi.
44
DAFTAR PUSTAKA
Aisara, Azmi dan Yanni. 2018. Gambaran Klinis Penderita Penyakit Ginjal Kronik
yang Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas. Vol. 7(1): 42-50.
Andantika, Riana Vera. Sungging. Dina. Dwi. Myta. Amanda. Alisa. 2014.
Standar Operasional Prosedure Persiapan dan Perawatan Klien
Hemodialisis. Jember. Fakultas Keperawatan Universitas Jember.
Farrell, M. 2016. Smeltzer & Bare’s Textbook of Medical Surgical Nursing Volume
2. Fourth Australian and New Zealand: Wolters Kluwer.
Felicya Rosari & Merry Indah. 2017. Ensefalopati Uremikum pada Gagal Ginjal
Kronis. Lampung. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Kementerian Kesehatan RI. 2017. Situasi penyakit ginjal kronis. Pusat Data Dan
Informasi. Jakarta Selatan. Diakses pada : Maret 2019.
47
Kementerian Kesehatan RI. (tanpa tahun). Hipertensi. Jakarta Selatan: Pusat Data
dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Martono. 2016. Monitoring Nilai Kritis Tekanan Sistolik dan Diastolik pada
Asuhan Keperawatan Gagal Ginjal Kronik yang Dilakukan Hemodialisis
Jenis Arteriovena Shunt Cimino dan Akses Femoral Cephalica. Jurnal
Tepadu Ilmu Kesehatan. Vol. 6(1): 77-84.
Samiadi, Lika Aprilia. 2019. Hubungan Erat Penyakit Ginjal dengan Hipertensi.
High Blood Pressure and Kidney Disease. http://www.niddk.nih.gov/health-
information/health-topics/kidney-disease/high-blood-pressure-and-kidney-
disease/Pages/facts.aspx.
Smeltzer SC, B. B. 2009. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Dan
Suddarth Volume 2. Edisi 8. 2009.
Suryarinilsih, Yosi. 2010. Hubungan Penambahan Berat Badan antara Dua Waktu
Dialisis dengan Kualitas Hidup Pasien Hemodialisis di Rumah Sakit Dr. M.
49
Sutami, Irna Dewi. 2012. Hemodialisis Pasien Ginjal Kronis. Makasar. Skripsi
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Alauddin.
Suwitra K. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi Kelima. 2009.
Tarwoto, Ratna, dan Wartonah. 2011. Anatomi dan Fisiologi untuk Mahasiswa
Keperawatan. Jakarta: TIM.
Valerie A Luyckx, M. T. & J. W. S. 2018. The global burden of kidney disease and
the sustainable development goals. Bull World Health Organization 2018.
96(April):414–422.
WHO, World Health Organization. 2018. Global Health Estimates 2016 Summary
Tables. 2018.