Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN

GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN ETIOLOGI KELAINAN GINJAL


YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI POLI HEMODIALISA
RSUD dr. SOEBANDI JEMBER

oleh
Nurdianah Fajri Ronandini, S.Kep
NIM 192311101141

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Resume berikut dibuat oleh:

Nama : Nurdianah Fajri Ronandini, S.Kep


NIM : 192311101141
Judul : Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan pada Klien Gagal Ginjal
Kronik dengan Etiologi Kelainan Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di
Poli Hemodialisa RSUD dr. Soebandi Jember

telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:


Hari :
Tanggal :

Jember, 2019

Mengetahui,

Mahasiswa

Nurdianah Fajri Ronandini, S.Kep.


NIM 192310101141

Tim Pembimbing

Pembimbing Akademik, Pembimbing Klinik

Ns. Akhmad Zainur Ridla, S.Kep., MAdvN Ns. Mohammad Toha, S.Kep.
NRP. 760019007 NIP. 19670902 199302 1 001

ii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL.................................................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN....................................................................... ii

DAFTAR ISI............................................................................................... iii

Konsep Teori Gagal Ginjal Kronik dengan Etiologi Kelainan Ginjal. . 1

A. Anatomi Fisiologi Ginjal......................................................................... 1


B. Definisi Gagal Ginjal Kronis................................................................... 7
C. Epidemiologi Gagal Ginjal Kronis.......................................................... 7
D. Etiologi Gagal Ginjal Kronis.................................................................. 8
E. Gagal Ginjal Kronis Etiologi Kelainan Ginjal........................................ 9
F. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronis............................................................... 10
G. Komplikasi Gagal Ginjal Kronis............................................................. 10
H. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronis........................................................... 11
I. Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kronis................................................... 12
J. Pemeriksaan Penunjang............................................................................ 13
K. Penatalaksanaan...................................................................................... 17
L. Konsep Hemodialisis............................................................................... 19
M. Clinical Pathway.................................................................................... 42
N. Konsep Asuhan Keperawatan................................................................. 43
a. Pengkajian/Assesment......................................................................... 43
b. Diagnosa Keperawatan....................................................................... 48
c. Intervensi Keperawatan....................................................................... 49
d. Evaluasi Keperawatan......................................................................... 49
e. Discharge Planning............................................................................. 49
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 51

iii
1

Konsep Teori Gagal Ginjal Kronik dengan Etiologi Kelainan


Ginjal

A. Anatomi Fisiologi Ginjal


1. Anatomi Ginjal

Gambar 1. Anatomi Ginjal

Ginjal merupakan salah satu organ penting dalam mempertahankan


homeostasis cairan tubuh secara baik. Ginjal mempunyai banyak fungsi, antara
lain untuk mempertahankan homeostatic dengan mengatur volumecairan,
keseimbangan osmotik, asam basa, ekskresi sisa metabolism, system pengaturan
hormonal dan metabolisme (Syaifuddin, 2011). Ginjal terletak dalam rongga
abdomen, bagian belakang dinding abdomen di samping depan vertebra, setinggi
torakal 12 sampai lumbal ke 3, dikelilingi oleh lemak dan jaringan ikat di
belakang periotnium.

Pada orang dewasa, panjang ginjal ±11 cm, lebarnya 5-7,5 cm, tebalnya
2,5 cm dan beratnya sekitar 150 gram. Batas atas ginjal kiri setinggi iga ke 11,
ginjal kanan setinggi iga ke 12, batas bawah ginjal kiri setinggi vertebra lumbalis
ke 3. Bentuk ginjal seperti kacang, sisi dalam menghadap ke vertebra torakalis,
sisi luarnya cembung dan di atas setiap ginjal terdapat sebuah kelenjar suprarenal
(Tarwoto, dkk., 2009).
2

Ginjal terdiri atas tiga area yaitu kortek, medulla dan pelvis.

a. Korteks
Merupakan bagian paling luar ginjal, dibawah kapsula fibrosa sampai
dengan lapisan medulla, tersusun atas nefron-nefron yang jumlahnya lebih
dari 1 juta. Semua glomerulus berada di korteks dan 90% aliran darah
menuju pada korteks.
b. Medulla, terdiri dari saluran-saluran atau duktus collecting yang disebut
pyramid ginjal yang tersusun antara 8-18 buah.
c. Pelvis merupakan area yang terdiri dari kaliks minor yang kemudian
bergabung menjadi kalik mayor. Empat sampai lima kalik minor
bergabung menjadi kaliks mayor dan du sampai tiga kaliks mayor
bergabung menjadi pelvis ginjal yang berhubungan dengan ureter bagian
proksimal.

Satuan fungsional ginjal disebut nefron. Ginjal mempunyai ± 1,3 juta


nefron yang selama 24 jam dapat menyaring 170 liter darah dari arteri renalis.
Nefron terdiri atas komponen vaskuler dan tubuler. Komponen vaskuler atau
pembuluh darah kapiler diantaranya arteriole aferen, glomerulus, arteriole eferen
dan kapiler peritubuler. Sedangkan komponen tubuler merupakan penampung
hasil filtrasi dari glomerulus, terdiri atas kapsula bowman, tubulus kontortus
proksimal, ansa henle, tubulus kontortus distal, dan tubulus atau duktus
pengumpul. Salah satu komponen penting nefron adalah glomerulus yang
merupakan cabang dari arteriole aferen dan membentuk anyaman-anyaman
kapiler. Di dalam glomerulus inilah terjadi proses filtrasi (Tarwoto, dkk., 2009).

Ginjal menerima darah 20 sampai 25% dari kardiak output pada kondisi
istirahat, atau rata-rata lebih dari 1 liter permenit dari arteri renalis kanan dan kiri,
yang merupakan cabang dari aorta abdomen pada setingkat vertebra lumbal
kedua. Dari arteri renalis becabang menjadi arteri segmental selanjutnya berturut-
turut masuk ke arteri interlobaris, arteri arkuatus, arteri interlobular, arteriole
aferen masuk ke glomerulus, arteriole eferen, kapiler peritubuler kemudian masuk
dalam venula, vena interlobular, vena arkuata, vena interlobaris menjadi vena
renalis (Tarwoto, dkk., 2009).
3

2. Fisiologi Ginjal

Pembentukan urin adalah untuk mempertahankan homeostasis dengan


mengatur volume dan komposisi darah. Proses ini meliputi pengeluaran larutan
sampah organic produk metabolisme. Produk sampah yang perlu mendapat
perhatian adalah urea, kratinin, dan asam urat. Produk sampah ini larut dalam
aliran darah, dan hanya dapat dibuang dengan dilarutkannya urin. Pembuangan
bahan-bahan sampah ini disertai dengan kehilangan air yang idak dapat
dihindarkan. Ginjal dapat menjamin bahwa cairan yang hilang tidak mengandung
substrat organik yang sangat bermanfaat yang terdapat pada plasma darah seperti
gula dan asam amino. Bahan tersebut harus diserap kembali untuk digunakan oleh
jaringan lain.

Fungsi ginjal dan proses pembentukan urin menurut (Syaifuddin, 2011)


sebagai berikut:

a. Fungsi ginjal
1) Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh. Kelebihan air dalam tubuh
akan diekskresikan oleh ginjal sebagai urin (kemih) yang encer dalam
jumlah besar. Kekurangan air (kelebihan keringat) menyebabkan urin
yang diekskesi berkurang dan konsentrasinya lebih pekat, sehingga
susunan dan volume cairan tubuh dapat dipertahankan relatif normal.
2) Mengatur keseimbangan osmotik dan mempertahankan keseimbangan
ion yang optimal dalam plasma (keseimbangan elektrolit). Bila terjadi
pemasukan/pengeluaran yang abnormal ion-ion akibat pemasukan
garam yang berlebihan atau penyakit perdarahan (diare dan muntah)
ginjal akan meningkatkan ekskresi ion-ion penting (misalnya Na, K, Cl,
Ca, dan fosfat).
3) Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh, bergantung pada apa
yang dimakan. Campuran makanan menghasilkan urin yang bersifat
agak asam, pH kurang dari 6, ini disebabkan hasil akhir metabolism
protein. Apabila banyak makan sayur-sayuran, urin akan bersifat basa.
pH urin bervariasi antara 4,8-8,2. Ginjal mensekresi urin sesuai dengan
perubahan pH darah.
4

4) Ekskresi sisa-sisa hasil metabolism (ureum, asam urat, kreatinin) zat-zat


toksik, obat-obatan, hasil metabolisme hemoglobin dan bahan kimia
asing (pestisida).
5) Fungsi hormonal dan metabolism. Ginjal mensekresi hormone rennin
yang mempunyai peranan penting mengatur tekanan darah (sistem renin
angiotensin aldosteron); membentuk eritropoiesis; mempunyai
perananpenting untuk memproses pembentukan sel darah merah
(eritropoiesis). Di samping itu ginjal juga membentuk hormon
dihidroksikolekalsiferol (vitamin D aktif) yang diperlukan untuk
absorpsi ion kalsium di usus (Syaifuddin, 2011).

b. Pembentukan urin

Ginjal melakukan tiga mekanis, yaitu filtrasi, reabsorpsi tubular, dan


sekresi tubular

1) Proses Filtrasi
Filtrasi plasma terjadi pada glomerulus di nefron, merupakan langkah
pertama produksi urin. Ultrafiltrasi terjadi dimana plasma menembus
barier dari membran endothelium glomerulus kemudian hasilnya masuk ke
dalam ruang intrakapsul Bowman. Normalnya sekitar 20% atau sekitar 180
liter perhari plasma masuk ke glomerulus untuk difiltrasi. Rata-rata 178,5
liter direabsorpsi kembali dan hanya 1-2 liter yang di ekskresi menjadi
urin. Filtrasi glomerulus terjadi akibat perbedaan tekanan filtrasi dengan
tekanan yang melawan filtrasi. Atau diebut tekanan filtrasi efektif.
Terdapat tiga tekanan yang terjdai dalam proses filtrasi yaitu tekanan darah
kapiler glomerulus atau tekanan hidrostatik kapiler glomerulus, tekanan
osmotik koloid plasma dan tekanan hidrostatik kapsula Bowman.
Tidak semua zat dapat difilitrasi oleh glomerulus, seperti misalnya sel
darah dan protein karena ukurannya yang besar, membran filtrasi hanya
dapat dilalui oleh plasma, garam-garam, glukosa dan molekul-molekul
kecil lainnya. Besarnya volume plasma yang difiltrasi oleh glomerulus
permenit pada semua nefron disebut laju glomerular atau Glomerulus
Filtration Rate (GFR), besarnya GFR pada laki-laki 125 ml/menit tau 180
L per 24 jam sedangkan pada wanita ekitar 110 ml/menit.
5

2) Proses Reabsorbsi
Dari 180 liter perhari plasma yang filtrasi tidak semuanya dikeluarkan
dalam bentuk urin, tetapi lebih banyak yang diserap kembali atau
reabsorpsi dalam tubulus ginjal terutama zat-zat atau material yang penting
bagi tubuh dan hanya 1-2 liter yang dikerluarkan dalam bentuk urin.
Material yang reabsorpsi masuk kembali ke darah melalui kapiler
periubular. Reabsorpsi terjadi sebagian besar di tubulus proksimal kira-kira
75%, selebihnya terjadi di ansa henle, tubulus distal dan duktus koligentes.
Proses reabsorpsi dilakukan melalui transfer pasif dan transfer aktif.
Transfer pasif adalah pergerakan zat atau material melalui gradien kimia
dan listrik. Pergerakan pasif terjadi dari area dengan konsentrasi tinggi ke
konsentrasi kimia rendah. Misalnya reabsorpsi pasif adalah air pada
tubulus distal, air dan urea dengan bantuan ADH di duktus koligen, urea,
air, klor pada tubulus proksimal. Transfer aktif terjadi dengan
membutuhkan energi ATP, misalnya reabsorpsi natrium, kalium, klor pada
tubulus kontortus distal dan duktus koligen, transfer glukosa, asam amino,
natrium, kalium fosfat, sulfat, vitamin C terjadi pada tubulus kontortus
proksimal.

3) Proses ekresi atau augmentasi


Sisa dari penyerapan urin yang terjadi pada tubulus akan diteruskan ke
piala ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter dan masuk ke fesika urinary.

B. Definisi Gagal Ginjal Kronik


Penyakit ginjal kronis atau yang biasa disebut penyakit gagal ginjal kronis
merupakan penurunan progresif fungsi ginjal dalam beberapa bulan atau
tahun. Gagal ginjal kronis sering didefinisikan sebagai kerusakan ginjal
dan/atau penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) kurang dari 60
mL/min/1,73 m3 selama minimal 3 bulan (Kementerian Kesehatan RI, 2017).
Penyakit gagal ginjal kronis ditandai dengan satu atau lebih tanda kerusakan
ginjal yaitu albuminuria, abnormalitas sedimen urin, elektrolit, histologi,
6

struktur ginjal, ataupun adanya riwayat transplantasi ginjal, juga disertai


penurunan laju filtrasi glomerulus (Aisara, dkk., 2018).

C. Epidemiologi Gagal Ginjal Kronis


The Global Burden of Disease (GBD) 2015 pada tahun 2010, diperkirakan
2,3-7,7 juta orang dengan penyakit ginjal tahap akhir meninggal tanpa
mendapatkan akses terapi dialisis. Secara keseluruhan, diperkirakan 5-10 juta
orang meninggal setiap tahun karena penyakit ginjal. Estimasi jumlah penderita
penyakit ginjal secara global meningkat dari 19 juta pada 1990 menjadi 33 juta
pada 2013 (Valerie, 2018). Kidney Diseases atau penyakit ginjal secara global
menempati urutan ke 18 dengan total jumlah penderita 34 juta jiwa tahun 2010,
meningkat menjadi 39 juta jiwa pada tahun 2016 (World Health Organization
WHO, 2018). Jumlah pasien Gagal Ginjal Kronis (GGK) diseluruh dunia pada
akhir tahun 2011 mencapai 2.786.000 orang, dengan rata-rata bertambah 6-7%
pertahunnya, dan terus meningkat secara signifikan diseluruh dunia. Taiwan
merupakan negara dengan jumlah penderita GGK tertinggi di dunia, dengan
jumlah penderita mencapai 2.850 orang per satu juta populasi, diikuti oleh Jepang
diurutan kedua, dan Amerika Serikat diurutan ketiga (Dickenmann & Hirt-
minkowski, 2014).
Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun
2014, di wilayah Asia Indonesia masuk kedalam sepuluh besar negara dengan
jumlah kasus gagal ginjal kronis (GGK) tertinggi, dengan jumlah kasus mencapai
504.248, dapat diartikan bahwa dari satu juta penduduk Indonesia terdapat 400
orang yang menderita gagal ginjal kronis (Siti, 2017). Prevalensi GGK berdasar
diagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,38 % dengan jumlah penderita mecapai
713.783 jiwa. Prevalensi tertinggi terdapat pada provinsi Kalimantan Utara
sebesar 0,64 %, diikuti Maluku Utara 0,56 % dan Sulawesi Utara 0,53 %
sementara di Jawa Timur mencapai 0,29 % dengan jumlah penderita 113.045 jiwa
(Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS, 2018).

D. Etiologi Gagal Ginjal Kronis


7

Kira-kira 10-15% pasien-pasien dengan gagal ginjal kronik disebabkan oleh


penyakit ginjal congenital sepert sindrom Alport, penyakit Fabbry, sindrom
nefrotik kongenital, penyakit ginjal polikistik dan amiloidosis. Menurut
Kementerian Kesehatan RI (2017), Gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh:

1. Diabetes Mellitus
2. Hipertensi
3. Glomerulonefritis kronis
4. Nefritis intersisial kronis
5. Penyakit ginjal polikistik
6. Obstruksi-infeksi saluran kemih
7. Obesitas
8. Tidak diketahui

E. Gagal Ginjal Kronis Etiologi Kelainan Ginjal

Kejadian gagal ginjal kronis dapat terjadi akibat penyatik kelainan konginetal
menurut (Ni’amillah, 2010), kelainan kongenital atau cacat bawaan adalah
kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak masih dalam
konsepsi sel telur. Kelainan bawaan dapat dikenali sebelum kelahiran dan pada
saat kelahiran atau beberapa tahun kemudian setelah kelahiran. Kelainan bawaan
dapat disebabkan oleh keabnormalan genetika, sebab-sebab alamiah atau faktor-
faktor lainnya yang tidak diketahui.
Salah satu kelainan kongenital yang terjadi pada ginjal adalah Malformasi
yang paling umum pada pasien dengan sindrom papillorenal syndrome, kelainan
ini adalah kelainan genetik autosom dominan yang ditandai oleh keterbelakangan
(hipoplasia) ginjal dan koloboma saraf optik ini adalah hipodisplasia ginjal, yang
merupakan ginjal kecil dan kurang berkembang, yang sering menyebabkan
penyakit ginjal stadium akhir (ESRD). Perkiraan menunjukkan sekitar 10% anak-
anak dengan ginjal hipoplastik dapat mengalami penyakit ginjal stadium akhir
(ESRD).
Macam-macam Malformasi ginjal akibat papillorenal syndrome:
1. Ginjal hipoplastik: Ditandai dengan hipoplasia atau hiperekogenik. Ini
biasanya terjadi secara bilateral, tetapi ada juga pengecualian di mana satu
ginjal mungkin lebih kecil sedangkan ginjal lainnya berukuran normal.
8

2. Hypodysplasia (RHD): Ditandai secara histologis dengan berkurangnya


jumlah nefron, ukuran ginjal yang lebih kecil, atau jaringan yang tidak
teratur.
3. Ginjal Displastik Multikistik: Ditandai secara histologis, menampilkan
kista atau displasia. Menunjukkan disorganisasi ginjal, dan terjadi pada
sekitar 10% pasien dengan sindrom papillorenal.
4. Oligomeganephronia: Lebih sedikit dari glomeruli normal, dengan
peningkatan ukuran yang mencolok.
5. Penyakit ginjal kronis dan penyakit ginjal tahap akhir (ESKD)

F. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronis


Klasifikasi gagal ginjal kronis dibagi menjadi 5 tingkatan berdasarkan pada
laju filtrasi glomerular LFG dan disertai terjadinya kerusakan pada ginjal. Pada
derajat satu hingga tiga gejala belum dirasakan oleh pasien (asimptomatik).
Manifestasi klinis sering muncul pada fungsi ginjal yang semakin turun pada
derajat empat dan lima.(Arora & Batuman, 2015)
Tabel. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronis
Derajat LFG (ml/menit/1.732m2) Penjelasan
1 > 90 Kerusakan ginjal dengan LFG normal
atau meningkat
2 60-89 Kerusakan ginjal dengan LFG turun
ringan
3A 45-59 Kerusakan ginjal dengan LFG turun
dari ringan sampai sedang
3B 30-44 Kerusakan ginjal dengan LFG turun
dari sedang sampai berat
4 15-29 Kerusakan ginjal dengan LFG turun
berat
5 < 15 Gagal ginjal
( Kidney Disease Improving Global Outcomes KDIGO, 2013)

G. Komplikasi Gagal Ginjal Kronis


Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer & Bare (2002) dan Suwitra
(2006) adalah sebagai berikut.

a. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme,


dan masukan diit berlebih.
9

b. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi


produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem rennin
angiotensin aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan
peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion
Anorganik.
f. Uremia akibat peningkatan kadar urea dalam tubuh.
g. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
h. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
i. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

H. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronis

Gagal ginjal terjadi apabila terdapat kerusakan pada sel nefron dalam ginjal
akibat terserang penyakit atau kelianan dalam ginjal, ketika nefron mengalami
kerusakan maka seluruh unitnya akan hancur namun sisa nefron yang masih utuh
tetap berkerja secara normal. Uremia akan timbul bilamana jumlah nefro semakin
berkurang, sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan
lagi. Hipotesis nefron yang utuh ini paling berguna untuk menjalankan pola
adaptasi fungsional yaitu untuk kemampuan mempertahankan cairan dan elektrolit
tubuh kendati ada penurunan kecepatan filtrasi Glomelurus (GFR) yang nyata.
Meskipun kerusakan ginjal terus berlanjut namun jumlah solut yang harus
dieksresikan oleh ginjal untuk mempertahankan homeostasis tidak akan berubah
kendati jumlah nefron yang bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun
secara progresif, dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon
terhadap ancaman ketidaksimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang
mengalami hipertrapi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja
ginjal, terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban solut dan reabsorpsi tubulus
dalam setiap nefron.
Menurut Bower, et al. 2018 patofisiologi gagal ginjal kronis dapat disebabkan
oleh Papillorenal syndrome (kelainan genetik autosom dominan), yang terjadi
10

karena mutasi Pax2, mayoritas mutasi terjadi pada ekson 2,3 dan 4 yang
menyandikan domain berpasangan dan mutasi pergeseran bingkai yang mengarah
ke alel nol. Mutasi missense tampaknya mengganggu ikatan hidrogen,
menyebabkan penurunan transaktivasi Pax2, tetapi tampaknya tidak
mempengaruhi lokalisasi nuklir, tingkat mRNA keadaan tunak, atau kemampuan
Pax2 untuk mengikat pada urutan konsensus DNA-nya. Mutasi yang terkait
dengan penyakit ini juga telah dicatat pada ekson 7,8,dan 9, dengan fenotipe yang
lebih ringan dari pada mutasi lainnya. Studi terbaru Pax2 diekspresikan dalam
ginjal, otak tengah, otak belakang, sel-sel di tulang belakang, mengembangkan
telinga dan mengembangkan mata. Mutasi Pax2 negatif homozigot mematikan,
tetapi mutan heterozigot menunjukkan banyak gejala sindrom papillorenal,
termasuk displasia saraf optik dengan pembuluh darah abnormal yang muncul dari
pinggiran cawan optik dan ginjal displasia kecil. Terlihat bahwa Pax2 berada di
bawah kendali hulu Shh pada tikus dan ikan zebra, yang diekspresikan dalam
lempeng prekordal.
Jadi dapat disimpulkan kelainan genetik sindrom papillorenal adalah kelainan
autosom dominan yang dihasilkan dari mutasi satu salinan gen Pax2, yang terletak
pada kromosom 10q24,3-q25.1 Gen ini penting dalam perkembangan mata dan
ginjal. Warisan dominan autosom menunjukkan bahwa gen yang bertanggung
jawab atas gangguan tersebut terletak pada autosom (kromosom 10 adalah
autosom), dan hanya satu salinan gen yang rusak yang cukup untuk menyebabkan
gangguan, ketika diwarisi dari orangtua yang memiliki gangguan tersebut.

I. Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kronis

Pada derajat awal, PGK belum menimbulkan tanda dan gejala, bahkan hingga
laju filtrasi glomerulus sebesar 60% pasien masih asimtomatik namun sudah
terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Kelainan secara klinis dan
laboratorium baru terlihat dengan jelas pada derajat 3 dan 4. Saat laju filtrasi
glomerulus sebesar 30%, keluhan seperti badan lemah, mual, nafsu makan
berkurang dan penurunan berat badan mulai dirasakan pasien. Pasien mulai
merasakan gejala dan tanda uremia yang nyata saat laju filtrasi glomerulus
kurang dari 30% (Kementerian Kesehatan RI, 2017).
11

Pasien yang mengalami gagal ginjal kronik akan menunjukkan beberapa


tanda dan gejala; keparahan kondisi bergantung pada tingkat kerusakan ginjal,
kondisi lain yang mendasari, dan usia pasien.

1. Manifestasi kardiovaskuler: hipertensi, gagal ginjal kongestif, edema


pulmonal, perikarditis,
2. Gejala-gejala dermatologis: gatal-gatal hebat (pruritus); serangan
uremik tidak umum karena pengobatan dini dan agresif.
3. Gejala-gejala gastrointestinal: anoreksia, mual, muntah dan cegukan,
penurunan aliran saliva, haus, rasa kecap logam dalam mulut,
kehilangan kemampuan penghidu dan pengecap, dan parotitis atau
stomatitis.
4. Perubahan neuromuskular: perubahan tingkat kesadaran, kacau
mental, ketidakmampuan berkonsentrasi, kedutan otot dan kejang.
5. Perubahan hematologis: kecenderungan perdarahan.
6. Keletihan dan letargik, sakit kepala, kelemahan umum.
7. Pasien secara bertahap akan lebih mengantuk; karakter pernapasan
menjadi Kussmaul; dan terjadi koma dalam, sering dengan konvulsi
(kedutan mioklonik) atau kedutan otot.

J. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium LFG
Pemerikasaan laboratorium dilakukan untuk menetapkan adanya gagal
ginjal kronik, menetapkan ada tidaknya kegawatan, menetukan derajat gagal
ginjal kronik, menetapkan gangguan sistem dan membantu menetapkan
etiologi. Dalam menetapkan ada atau tidaknya gagal ginjal, tidak semua faal
ginjal perlu diuji. Untuk keperluan praktis yang paling lazim diuji adalah
laju filtrasi glomerulus (LFG)
2. Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG) Untuk melihat kemungkinan
hipertrofi ventrikel kiri yang berakibat pada laju peredaran darah pada
ginjal, tanda-tanda perikarditis (misalnya voltase rendah), aritmia, dan
gangguan elektrolit (hiperkalemia, hipokalsemia).
3. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) Menilai besar dan bentuk ginjal,
tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem
pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta prostat. Pemeriksaan
12

ini bertujuan untuk mencari adanya faktor yang reversible seperti obstruksi
oleh karena batu atau massa tumor, juga untuk menilai apakah proses sudah
lanjut (ginjal yang lisut). USG ini sering dipakai karena merupakan tindakan
yang non-invasif dan tidak memerlukan persiapan khusus.
4. Foto Polos Abdomen
Foto Polos Abdomen Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi dapat
memperburuk fungsi ginjal. Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada
batu atau obstruksi lain.
5. Tes Urine
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kondisi tidak normal
yang mengindikasikan kerusakan ginjal. Dalam tes ini, kadar albumin dan
kreatinin dalam urine diperiksa, begitu juga keberadaan protein atau darah
dalam urine. Prosedur ini memeriksa sedimen setelah urine disentrifugasi.
Urine yang normal hampir tidak mengandung sedimen (Baradero, dkk,
2008). Kondisi yang dapat ditemukan pada pemeriksaan urin pada gagal
ginjal akut dan kronis, yaitu:
a) Volume: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguri), yang
terjadi setelah ginjal rusak, pada gagal ginjal kronis juga dapat
dihasilkan urine tak ada (anuria).
b) Warna: pada gagal ginjal akut dan kronis urine berwarna kotor atau
keruh, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin
dan porfirin. Pada penderita gagal ginjal kronis juga didapatkan
kekeruhan urine yang mungkin disebabkan oleh pus, bakteri, lemak,
partikel koloid, fosfat atau urat.
c) Berat jenis: pada penderita gagal ginjal akut berat jenis urine kurang
dari 1,020 dapat menunjukkan penyakit ginjal, contoh
glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan kemampuan untuk
memekatkan, sedangkan pada gagal ginjal kronis adalah kurang dari
1,015 dan akan menetap pada 1,010 yang menunjukkan kerusakan
ginjal.
d) Osmolalitas: gagal ginjal akut dan kronis memiliki nilai intrepretasi
yang sama yaitu kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan
ginjal, dan rasio urine/serum 1:1.
13

e) Klirens kreatinin:pada gagal ginjal akut dan kronik secara bermakna


menurun sebelum BUN dan kreatinin serum menunjukkan
peningkatan bermakna.
f) Natrium: pada gagal ginjal akut nilai atau jumlah dari natrium dapat
menurun sedangkan pada gagal ginjal kronis dapat menunjukkan
jumlah yang lebih dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu
mengabsorpsi natrium dengan baik.
g) Protein: pada gagal ginjal akut jumlah atau nilai proteinuria pada
derajat rendah (1-2+) dan sedimen dapat menunjukkan infeksi atau
nefritis interstisial. Sedangkan pada gagal ginjal kronis derajat
protenuria terletak pada derajat tinngi (3-4+) menunjukkan kerusakan
glomerulus bila terdapat sedimen dan perubahan warna (Doenges,
2000).
6. Tes Darah
Pemerikasaan laboratorium kandungan dalam darah, seperti: kadar
serum sodium/natrium dan potassium/kalium, pH, kadar serum phospor,
kadar Hb, hematokrit, kadar urea nitrogen dalam darah, serum dan
konsentrasi kreatinin urin.
a) Hb: menurun akibat adanya anemia
b) pH: asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena penurunan
kemampuan ginjal untuk mengekresikan hidrogen dan hasil akhir
metabolisme.
c) BUN/kreatinin: terdapat peningkatan yang tetap dalam BUN, dan laju
peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan
protein), perfusi renal, dan masukkan protein. Serum kreatinin
meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum
bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan
penyakit. Biasanya meningkat pada proporsi rasio 10:1.
d) Osmolalitas serum: labih besar dari 285 mOsm/kg; sering sama dengan
urine.
e) Kalium: meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel
darah merah).
f) Natrium: biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi.
g) pH, kalsium dan bikarbonat: menurun.
h) Klorida, fosfat, dan magnesium: meningkat.
14

i) Protein: penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan kehilangan


protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan dan
penurunan sintesis karena kekurangan asam amino esensial (Doenges,
2000).

7. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal
Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan
rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen. Berberapa
pemeriksaan radiologi yang biasa digunanakan untuk mengetahui gangguan
fungsi ginjal antara lain:
a) Flat-Plat radiografy/Radiographic keadaan ginjal, ureter dan vesika
urinaria untuk mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan kalsifikasi
dari ginjal. Pada gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil
yang mungkin disebabkan karena adanya proses infeksi.
b) Computer Tomography (CT) Scan yang digunakan untuk melihat
secara jelas struktur anatomi ginjal yang penggunaanya dengan
memakai kontras atau tanpa kontras.
c) Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi
keadaan fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa digunakan
pada kasus gangguan ginjal yang disebabkan oleh trauma,
pembedahan, anomali kongental, kelainan prostat, calculi ginjal, abses
/ batu ginjal, serta obstruksi saluran kencing.
d) Aortorenal Angiography digunakan untuk mengetahui sistem arteri,
vena, dan kepiler pada ginjal dengan menggunakan kontras.
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada kasus renal arteri stenosis,
aneurisma ginjal, arterovenous fistula, serta beberapa gangguan
bentuk vaskuler.
e) Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi
kasus yang disebabkan oleh obstruksi uropathi, ARF, proses infeksi
pada ginjal serta post transplantasi ginjal.
8. Biopsi Ginjal
Biopsi Ginjal untuk mengdiagnosa kelainann ginjal dengan
mengambil jaringan ginjal lalu dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada
15

kasus golomerulonepritis, neprotik sindom, penyakit ginjal bawaan, ARF,


dan perencanaan transplantasi ginjal.
9. Gas darah arteri
Gas darah arteri memberikan determinasi objektif tentang oksigenasi
darah arteri, pertukaran gas alveoli, dan keseimbangan asam basa. Dalam
pemeriksaan ini diperlukan sampel darah arteri yang diambil dari arteri
femoralis, radialis, atau brakhialis dengan menggunakan spuit yang telah
diberi heparin untuk mencegah pembekuan darah sebelum dilakukan uji
laboratorium. Pada pemeriksaan gas darah arteri pada penderita gagal ginjal
akan ditemukan hasil yaitu asidosis metabolik dengan nilai PO 2
normal,PCO2 rendah, pH rendah, dan defisit basa tinggi (Grace dan Borley,
2006). Pencitraan radionuklida, dapat menunjukkan kalikektasis,
hidronefrosis, penyempitan dan lambatnya pengisian dan pengosongan
sebagai akibat dari GGA.

K. Penatalaksanaan Keperawatan

Tujuan dari penatalaksanaan adalah untuk mengembalikan fungsi ginjal dan


mempertahankan homeostasis selama mungkin. Semua faktor yang menunjang
PGTA dan yang faktor penunjang dapat pulih (misalnya obstruksi) diidentifikasi
dan diatasi.

1. Intervensi diet diperlukan dengan pengaturan yang cermat terhadap


masukan protein, masukan cairan untuk menyeimbangkan kehilangan
cairan, masukan natrium dan pembatasan kalium.
2. Pastikan masukan kalori dan suplemen vitamin yang adekuat.
3. Batasi protein karena kerusakan klirens ginjal terhadap urea, kreatinin,
asam urat, dan asam organik. Masukan protein yang diperbolehkan harus
tinggi kandungan biologisnya: produk yang berasal dari susu, telur,
daging.
4. Cairan yang diperbolehkan adalah 500-600 ml atau lebih dari haluaran
urine 24 jam.
5. Atasi hiperfosfatemia dan hipokalsemia dengan antasid mengandung
alumunium atau kalsium karbonat; keduanya harus diberikan dengan
makanan.
16

6. Suplai kalori dengan karbohidrat dan lemak untuk mencegah pelisutan


otot.
7. Berikan suplemen vitamin
8. Tangani hipertensi dengan kontrol volume intravaskuler dan obat
antihipertensif.
9. Atasi gagal jantung kongestif dan edema pulmonal dengan pembatasan
cairan, diet rendah natrium, diuretic, preparat inotropik (misalnya digitalis
atau dobutamin) dan dialisis.
10. Atasi asidosis metabolik jika perlu dengan suplemen natrium bikarbonat
atau dialisis.
11. Atasi hiperkalemia dengan dialisis; pantau pengobatan dengan kandungan
kalium; berikan diet pembatasan kalium; berikan Kayexelate sesuai
kebutuhan.
12. Amati terhadap tanda dini abnormalitas neurologis (misalnya berkedut,
sakit kepala, delirium, atau aktivitas kejang).
13. Lindungi terhadap cedera dengan memberikan bantalan pada pagar tempat
tidur.
14. Catat awitan, tipe, durasi dan efek umum kejang pada pasien; segera
beritahu dokter.
15. Berikan diazepam intravena (Valium)atau fenitoin (Dilantin) untuk
mengontrol kejang.
16. Atasi anemia dengan rekombinan eritropoietin manusia (Epogen): pantau
hematokrit pasien dengan sering. Sesuaikan pemberian heparin sesuai
keperluan untuk mencegah pembekuan aliran dialisis selama tindakan,
17. Pantau kadar besi serum dan transferin untuk mengkaji status keadaan besi
(besi penting untuk memberikan respons yang adekuat terhadap
eritropoetin).
18. Pantau tekanan darah dan kadar kalium serum.
19. Rujuk pasien pada pusat dialisis dan transplantasi di awal perjalanan
penyakit ginjal progresif.
20. Lakukan dialisis saat pasien tidak dapat mempertahankan gaya hidup yang
diperlukan dengan pengobatan konservatif.

L. Konsep Hemodialisis
1. Definisi Hemodilasis

Hemodialisis merupakan proses yang melibatkan alat dialyser yang


memiliki fungsi seperti ginjal untuk proses pembersihan darah dari zat-zat yang
17

memiliki konsentrasi yang berlebihan dalam tubuh, zat ini akan larut dalam
darah seperti toksin ureum dan kalium, atau zat pelarut lainnya misalnya air
ataupun serum darah (Simanjuntak dkk., 2017). Terapi hemodialisa adalah suatu
teknologi tinggi sebagai terapi pengganti fungsi ginjal untuk mengeluarkan sisa-
sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air,
natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui
membran semi permeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal
buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Setyawan, 2001).

2. Proses Hemodialisis

Menurut Farrell (2016) dialyser berfungsi sebagai membran semipermeabel


sintetis, menggantikan proses penyaringan glomerulus normal dari ginjal yang
terganggu, kinerja terapi hemodialisis berjalan berdasarkan perinsip difusi,
osmosis dan ultrafiltrasi. Proses difusi dengan cara menggerakan darah dari
konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah, cairan dialisis tersusun dari
ektrolit yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan tubuh sehingga pori-pori
membran semiparmiabel tidak menyebabkan hilangnya sel darah merah dan
protein dalam tubuh. Air yang berlebihan di dalam tubuh di keluarkan melalui
proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien
tekanan atau air bergerak dari tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke
tekanan yang lebih rendah (cairan dialisis). Gradien ini dapat ditingkatkan
melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada
mesin dialisis. Tekanan negatif diterapkan pada alat sebagai kekuatan penghisap
pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air. Organ pada tubuh pasien tidak
dapat mengeksresikan air, sehingga tekanan ini dibutuhkan untuk mengeluarkan
cairan hingga tercapai isovolemia (keseimbangan cairan).

Smeltzer (2002), dalam Sutami (2012), menjelaskan ada 3 prinsip yang


mendasari kerja hemodialisis, yaitu :

a. Difusi, toksik dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara
bergerak dari darah (konsentrasi tinggi) ke cairan dialisat (konsentrasi
rendah).
18

b. Osmosis, air yang berlebih dikeluarkan melalui proses osmosis,


pengeluaran air dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan; air
bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke
tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat).
c. Ultrafiltrasi, gradien dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan
negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan
negatif diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan pengisap pada membran
dan memfasilitasi pengeluaran air.
Prosedur terapi hemodialisis dapat mencegah kematian dan
mempertahankan kondisi ginjal namun tidak dapat menyembuhkan secara total,
terapi ini biasa dilakukan 3 atau 2 kali seminggu dengan durasi pengobatan 3
sampai 4 jam, waktu dan frekuensi dapat berubah disesuaikan dengan kebutuhan
pasien (Farrell, 2016).

3. Indikasi Tindakan
Indikasi emergency seperti uremic syndrome, overload syndrome, anuria
dan oliguria, hiperkalemia (K >6,5 mmol/l), Asidosis berat ( pH <7,1 atau
bikarbonat <12 meq/l), perikarditis, keracunan alkohol dan obat-obatan serta
pasien dengan indikasi hemodialisis kronik. Menurut Konsensus PERNEFRI
(2003), hemodialisis dilakukan pada semua pasien dengan LFG < 15 mL/menit.
LFG < 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi dan LFG < 5 mL/menit
tanpa gejala dapat juga menjadi indikasi dilakukannya hemodialisis. Selain
indikasi tersebut di atas, terdapat pula indikasi khusus, yaitu apabila terdapat
komplikasi akut seperti edema paru, hiperkalemia, asidosis metabolic berulang,
dan nefropati diabetic. Hemodialisis dimulai ketika bersihan kreatinin menurun
dibawah 10 mL/menit, ini sebanding dengan kadar serum kreatinin 8-10 mg/dL.
Pasien yang mengalami gejala- gejala uremia dengan penurunan kesadaran
sangat berbahaya dan disarankan untuk melakukan hemodialisis (PERNEFRI,
2003; dalam Suarsedewi, 2012).

4. Kontraindikasi
Kontra indikasi dari hemodialisa adalah akses vaskuler sulit,
hemodinamik dan koagulasi yang tidak stabil.. Kontraindikasi lainnya adalah
19

penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati


lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003; dalam
Suarsedewi, 2012).

5. Komplikasi
Komplikasi hemodialisis disebabkan karena kerusakan yang terus menerus
terjadi pada ginjal dan prosedur invasif ketika proses hemodialisis berlangsung
(Handayani dkk., 2017)
Himmelfarb (2004) menjelaskan komplikasi hemodialisa sebagai berikut :
a) Komplikasi yang sering terjadi
1) Hipotensi
Intradialytic Hypotension (IDH) adalah tekanan darah rendah
yang terjadi ketika proses hemodialisis sedang berlangsung. IDH
terjadi karena penyakit diabetes millitus, kardiomiopati, left
ventricular hypertrophy (LVH), status gizi kurang baik, albumin
rendah, kandungan Na dialysate rendah, target penarikan cairan atau
target ultrafiltrasi yang terlalu tinggi, berat badan kering terlalu
rendahdan usia diatas 65 tahun.
Komplikasi akut hemodialisa yang paling sering terjadi,
insidensinya mencapai 15-30%. Dapat disebabkan oleh karena
penurunan volume plasma, disfungsi otonom, vasodilatasi karena
energi panas, obat anti hipertensi.
2) Kram otot.
Terjadi pada 20% pasien hemodialisa, penyebabnya idiopatik
namun diduga karena kontraksi akut yang dipicu oleh peningkatan
volume ekstraseluler. Kram otot yang terjadi selama hemodialisis
terjadi karena targetultrafiltrasi yang tinggi dan kandungan Na
dialysate yang rendah
b) Komplikasi yang jarang terjadi
1) Dialysis disequilibrium syndrome (DDS)
Ditandai dengan mual dan muntah disertai dengan sakit kepala, sakit
dada, sakit punggung. Disebabkan karena perubahan yang mendadak
konsentrasi elektrolit dan pH di sistem saraf pusat.
2) Aritmia dan angina
Disebabkan oleh karena adanya perubahan dalam konsentrasi
potasium, hipotensi, penyakit jantung.
3) Perdarahan
20

Dipengaruhi oleh trombositopenia yang disebabkan oleh karena


sindrom uremia, efek samping penggunaan antikoagulan heparin
yang lama dan pemberian anti-hypertensive agents.
4) Hipertensi
Disebabkan oleh karena kelebihan cairan, obat-obat hipotensi,
kecemasan meningkat, dan DDS.
6. Hal-hal yang Harus Diperhatikan pada Proses Hemodialisis
a. Hal yang perlu dikaji sebelum dilakukannya tindakan hemodialisis
1) Tanda vital meliputi tekanan darah, nadi, suhu, dan pernafasan.
2) Berat badan
3) Status cairan (JVP, bunyi jantung, bunyi nafas, dan edema)
4) Warna kulit, temperatur, turgor dan integritas
5) Kepatenan akses vaskuler, adanya tanda perdarahan dan infeksi
6) Serum biokimia: potassium, fosfat, kalsium, ureum, kreatinin dan
hemoglobin (Lemone dan Burke, 2008; Thomas, 2003;
Kallenbach, et al., 2005; dalam Armiyati, 2009).
b. Berat Badan
Penambahan berat badan antara dua waktu dialisis merupakan
indikator masukan cairan selama periode interdialitik yang dapat
mempengaruhi status kesehatan pasien dalam menjalani terapi
hemodialisis. Salah satu masalah yang paing sering dihadapi pasien
adalah peningkatan volume cairan diantara dua waktu dialisis yang
dimanifestasi dengan penambahan berat badan. Terjadinya kelebihan
cairan antara dua waktu dialisis dapat ditandai dengan terjadinya
perubahan klinis antara lain peningkatan tekanan darah, nadi, suhu,
pernafasan, peningkatan vena sentral, dispneam rales basah, batuk,
edema, peningkatan berat badan yang berlebihan sejak dialisis terakhir
(Hudak dan Gallo, 1996; dalam Suryarinilsih, 2010).
Terjadinya penambahan berat badan yang berlebihan antara
dua waktu dialisis akan dapat menimbulkan berbagai masalah baru
bagi pasien diantaranya adalah hipertensi, gangguan fungsi fisik, sesak
nafas, edema pulmonal yang dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya kegawatan darurat hemodialisis, meningkatkan resiko
dilatasi dan hipertropi ventrikuler dan gagal jantung (Smeltzer dan
Bare, 2002; Corwin, 2007; dalam Suryarinilsih, 2010). Monitoring
keseimbangan ciran dilakukan dengan cara mencatat pemasukan dan
pengeluaran cairan serta berat badan. Penambahan berat badan
21

melebihi 6% dari berat badan kering dapat menyebabkan berbagai


macam komplikasi seperti hipertensi, hipotensi intradialisis, gagal
jantung kiri, asites, pluraleffusion, gagal jantung kongestif dan dapat
mengakibatkan kematian (Cahyaningsih, 2009; dalam Kurniawati,
dkk. 20). Pasien yan mengikuti dan melaksanakan petunjuk menjaga
keseimbangan cairan dapat membantu mempertahankan IDWG 2,5%
sampai 3,5% berat badan kering atau tidak melebihi 5% berat badan
kering. Nilai IDWG (Interdialytic Weight Gain) dihitung berdasarkan
berat badan pasien sebelum hemodialisa (berat badan basah) dikurangi
berat badan setelah hemodialisa (berat badan kering). Nilai normal
IDWG adalah kurang dari 3% berat badan kering (Price dan Wilson,
2006; Isroin, 2016).
c. Tekanan Darah
Tekanan darah akan mengindikasikan laju aliran darah dalam
tubuh, menurut Samiadi (2019), ketika terjadi peningkatan tekanan
darah hingga hipertensi akan menjadi resiko kerusakan pada organ
khususnya ginjal. Darah yang akan disaring oleh ginjal dialirkan
melalui pembuluh darah yang berada di sekitar ginjal. Seiring
berjalannya waktu, jika tekanan darah tidak terkontrol, maka akan
menyebabkan arteri di sekitar ginjal menyempit, melemah, dan
mengeras. Kerusakan pada arteri ini menghambat darah yang
diperlukan oleh jaringan pada ginjal yang dapat mengakibatkan
kerusakan pada ginjal khususnya pada arteri nefron ginjal. Kerusakan
pada arteri nefron mengakibatkan darah tidak tersaring dengan baik.
Ginjal terdiri dari berjuta-juta nefron yang berfungsi sebagai unit
penyaringan pada ginjal. Nefron ini menerima suplai darah melalui
pembuluh darah kapiler. Ketika arteri ini rusak, maka nefron tidak
menerima oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan sehingga ginjal akan
kehilangan kemampuannya untuk menyaring darah dan mengatur
cairan, hormon, asam, dan garam di dalam tubuh.
Pengukuran tekanan darah sangat penting dilakukan pada prosedur
terapi hemodialisis, menurut Baradero (2009), sebelum prosedur
hemodialisis dilakukan, ukur tekanan darah, nadi dan berat badan
22

pasien untuk data dasar dalam mengkaji adanya perubahan selama


prosedur berlangsung dan menghindari adanya komplikasi.
Komplikasi intradialisis merupakan kondisi abnormal yang terjadi
saat pasien menjalani hemodialisis, komplikasi intradialisis yang
sering terjadi berkaitan dengan tekanan darah pasien yaitu hipotensi
dan hipertensi. Hipotensi intradialisis adalah penurunan tekanan darah
sistolik >30% atau penuruanan tekanan diastolik sampai di bawah
60mmHg yang terjadi saat pasien menjalani hemodialisis, disebabkan
oleh penurunan volume plasma, disfungsi otonom, vasodilatasi karena
energi panas, obat anti hipertensi dapat juga terjadi karena ultrafiltasi
dan penuruanan osmolitas ekstraseluler saat prosedur berlangsung.
Hipertensi intradialisis terjadi akibat peningkatan tahanan perifer
vaskuler resistence (PVR) yang signifikan. Peningkatan resistensi
vaskuler dapat dipicu oleh kelebihan cairan pradialisis yang
menyebabkan peningkatan tekanan darah saat dialisis. Mekanisme
lain bisa disebabkan akibat peningkatan reabsorpsi garam dan air yang
dapat meningkatkan volume darah yang bersirkulasi. (Munawar 2017)
Monitoring nilai kritis tekanan darah merupakan indikator paling
penting unuk mengetahui secara dini tanda-tanda pasien mengalami
syok, hipotensi atau mengalami hipertensi. Setelah dilakukan dalisis
biasanya ditemukan penurunan dan kenaikan yang signifikan dari
tekanan darah pasien, rata-rata sekitar 10-30 mmHg dari hasil
pengukuran sebelum dilakukan dialisis. Pengukuran tekanan darah ini
biasa dilakukan pada awal sebelum, saat proses dan sesudah akhir
dilakukan dialisis (Matono, 2016).

Tabel Klasifikasi hipetensi menurut Joint National Committee (JNC):


Klasifikasi tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah
darah Sistol (mmHg) Diastol (mmHg)
Normal < 120 < 80

Prehipertensi 120-139 80-89

Hipertensi Stage 1 140-159 90-99


23

Hipertensi Stage 2 160 atau > 160 100 atau > 100

Tabel Klasifikasi Hipertensi menurut American Society of


Hypertension and the International Society of Hypertension (2013)

Klasifikasi Sistolik Diastolik


Optimal < 120 dan < 80
Normal 120-129 dan/ atau 80-84
Normal tinggi 130-139 dan/ atau 84-89
Hipertensi 140-159 dan/ atau 90-99
derajat 1
Hipertensi 160-179 dan/ atau 100-109
derajat 2
Hipertensi ≥ 180 dan/ atau ≥ 110
derajat 3
Hipertensi ≥ 140 dan < 90
sistolik
terisolasi

d. Penatalaksanaan Tindakan Hemodialisis


Pelaksanaan Hemodialisis (HD) berlangsung di luar tubuh
(ekstrakorporal) yang dilakukan oleh mesin HD dan ginjal buatan
yang disebut dialiser (NKF, 2006). HD memerlukan akses vaskular
yaitu tempat aliran darah buatan antara arteri dan vena (fistula arterio
venosa). Akses vaskular merupakan tempat suplai darah pasien yang
akan dikeluarkan melalui selang darah yang ditarik oleh pompa mesin
hemodialisis masuk ke dialiser (Renal Association, 2009)
Pada tindakan HD, Akses vaskuler dipakai sebagai sarana
penghubung sirkulasi antara sirkulasi darah di tubuh pasien dengan
sirkulasi darah ekstrakorporal (di luar tubuh pasien). Pada tindakan
HD, dibutuhkan 2 kanulasi/2 lubang/site aliran darah pada setiap akses
vaskuler, yaitu sebagai aliran inlet dan outlet. Aliran inlet adalah aliran
yang membawa darah dari akses vaskuler tubuh pasien menuju
dialiser/ginjal buatan. Aliran outlet adalah aliran darah dari
dialiser/ginjal buatan menuju akses vaskuler tubuh pasien. Sirkulasi
ekstrakorporeal merupakan sirkulasi yang ada di Arterial Venous
24

Blood Line (AVBL) dan kompartemen darah pada Dialiser (Ma’ruf


2018).
Akses vaskuler dapat dibedakan menjadi akses vaskuler temporer
dan akses vaskuler permanen. Akses vaskuler temporer adalah Akses
yang dipakai hanya dalam jangka waktu tertentu atau jangka pendek
dan tidak menetap. sedang Akses vaskuler permanen untuk jangka
panjang dan menetap. Penggunaan Akses vaskuler temporer dapat
dilakukan melalui: Kanulasi Femoralis (arteri atau vena), Kanulasi
arteri brakhialis, dan Kanulasi dengan menggunakan kateter HD non
cuffed pada Vena sentral. Sedangkan Akses vaskuler Permanen,
dipakai terus menerus dan menetap untuk jangka waktu panjang. Ada
tiga tipe Akses vaskuler yang dapat dipakai jangka panjang untuk
tindakan HD, yaitu: Arteriovenous Fistula/AVF, Arteriovenous Grafts/
AVG dan Central Venous Catheter HD/CVC HD jenis Tunneled
Cuffed double lumen Catheter (Ching Ling & Chang Yang, 2009).
Pelaksanaan prosedur terapi hemodialisis dilakuakan dengan 4
tahap (Andantika 2014) pre hemodialisis, pemasangan punksi dan
kanulasi (akses vaskuler), intra hemodialisis, dan post hemodialisis:
1. Pre Hemodialisis
Dilakukan sebelum pasien menjalani hemodialisis,
a) Persiapan pasien: identifikasi pasien, kaji kondisi pasien, jaga
privasi pasien
b) Persiapan alat:
1) Dialyser
2) AV blood line
3) AV fistula/abocath
4) Infuse set
5) Spuit : 50 cc. 5 cc, dll ; insulin
6) Heparin inj
7) Xylocain (anestesi local)
8) NaCl 0,9%
9) Kain kasa steril
10) Duk steril
11) Sarung tangan steril
12) Bak kecil steril
13) Mangkuk kecil steril
14) Klem
15) Plester
16) Desinfektan (alcohol + bethadine)
25

17) Gelas ukur


18) Timbangan BB
19) Formulir hemodialisa
20) Sirkulasi darah
c) Pemasangan Mesin
1) Letakkan dialyser pada holder, dengan posisi merah diatas
2) Hubungkan ujung putih pada ABL dengan dialyser ujung
merah
3) Hubungkan ujung putih VBL dengan dialyser ujung biru,
ujung biru VBL dihubungkan dengan alat penampung
4) Letakkan posisi dialyser terbalik, yaitu tanda merah berada
di bawah dan biru diatas
5) Gantungkan NaCl 0,9% (2-3 kolf)
6) Pasang infus set pada kolf NaCl
7) Hubungkan ujung infus set dengan ujung merah ABL atau
tempat khusus
8) Tutup semua klem yang ada pada selang ABL dan VBL
(untuk hubungan tekanan arteri, tekanan vena, pemberian
obat-obatan)
9) Buka klem ujung dari ABL, VBL dan infus set
10) Jalankan Qb dengan kecepatan  100 ml/m
11) Udara yang ada dalam dialyser harus hilang ( sampai bebas
udara) dengan cara menekan nekan VBL
12) Air trap/ bubble tap diisi 2/3 – ¾ bagian
13) Setiap kolf NaCl sesudah atau akan mengganti koolf baru
Qb dimatikan
14) Setelah udara dalam dialyser habis, hubungkan ujung ABL
dengan ujung VBL, klem tetap dilepas
15) Masukkan heparin dalam sirkulasi darah sebanyak 1500-
2000 U
16) Ganti kolf NaCl yang baru berisi heparin 500 U dan klem
infus dibuka
17) Jalankan sirkulasi darah + soaking (melembabkan dialyser)
selama 10-15 menit sebelum dihubungkan dengan sirkulasi
sistemik (pasien)
2. Pemasangan Punksi dan Kanulasi
Suatu tindakan memasukkan jarum AV Fistula ke dalam pembuluh
darah untuk sarana hubungan sirkulasi yang akan digunakan
selama proses hemodialisis
a) Persiapan pasien:
26

1) Timbang berat badan


2) Observasi tanda-tanda vital
3) Raba desiran pada cimino apakah lancar
4) Tentukan daerah tusukan untuk keluarnya darah dari tubuh
ke mesin
5) Tentukan pembuluh darah vena lain untuk masuknya darah
dari mesin ke tubuh pasien
6) Beritahu pasien bahwa tindakan akan dimulai
7) Letakkan perlak di bawah tangan pasien
8) Dekatkan alat-alat yang akan digunakan
b) Persiapan alat:
1) 1 buah bak instrumen besar, yang terdiridari :
a. 3 buah mangkok kecil
1. 1 untuk tempat NaCL
2. 1 untuktempatBetadine
3. 1 untukAlkohol 20%
b. Arteriklem
2) 1 spuit 20 cc
3) 1 spuit 10 cc
4) 1 spuit 1 cc
5) Kassa 5 lembar (secukupnya)
6) IPS sarungtangan
7) Lidocain 0,5 cc (bilaperlu)
8) Plester
9) Masker
10) 1 buahgelasukur / math can
11) 2 buah AV Fistula
12) Duksteril
13) Perlak untuk alas tangan Infuse set
14) Plastik sampah
15) Mengisi masing-masing mangkok steril dengan:
Alcohol, NaCl 0,9%, dan Betadine
16) Buka spuit 20 cc dan 10 cc, taruh di bak instrumen
17) Perawat memakai sarung tangan
18) Ambil spuit 1 cc, hisap lidocain 1% untuk anestesi
lokal (bila digunakan)
27

19) Ambil spuit 10 cc diisi NaCl dan Heparin 1500u untuk


mengisi AV Fistula
c) Pelaksanaan kerja
1) Memulai Desinfektan
a. Jepit kassa betadine dengan arteri klem, oleskan
betadine pada daerah cimino dan vena lain dengan cara
memutar dari arah dalam ke luar, lalu masukkan kassa
bekas ke kantong plastik
b. Jepit kassa Alcohol dengan arteri klem, bersihkan
daerah Cimino dan vena lain dengan cara seperti no.1
c. Lakukan sampai bersih dan dikeringkan dengan kassa
steril kering, masukkan kassa bekas ke kantong plastik
dan arteri klem diletakkan di gelas ukur
d. Pasang duk belah di bawah tangan pasien, dan separuh
duk ditutupkan di tangan
2) Memulai Punksi Cimino
a. Memberikan anestesi lokal pada cimino (tempat yang
akan dipunksi) dengan spuit insulin 1 cc yang diisi
dengan lidocain.
b. Tusuk tempat cimino dengan jarak 8 – 10 cm dari
anastomose
c. Tusuk secara intrakutan dengan diameter 0,5 cm
d. Memberikan anestesi lokal pada tusukan vena lain
e. Bekas tusukan dipijat dengan kassa steril
3) Memasukkan jarum AV Fistula
a. Masukkan jarum AV Fistula (Outlet) pada tusukan yang
telah dibuat pada saat pemberian anestesi lokal
b. Setelah darah keluar aspirasi dengan spuit 10 cc dan
dorong dengan NaCl 0,9% yang berisi heparin, AV
Fistula diklem, spuit dilepaskan, dan ujung AV Fistula
ditutup, tempat tusukan difiksasi dengan plester dan
pada atas sayap fistula diberi kassa steril dan diplester
c. Masukkan jarum AV Fistula (inlet) pada vena lain, jarak
penusukan inlet dan outlet usahakan lebih dari 3 cm
d. Jalankan blood pump perlahan-lahan sampai 20 ml/mnt
kemudian pasang sensor monitor
e. Program mesin hemodialisis sesuai kebutuhan pasien
f. Bila aliran kuran dari 100 ml/mnt karena ada penyulit,
lakukan penusukan pada daerah femoral
28

g. Alat kotor masukkan ke dalam plastik, sedangkan alat-


alat yang dapat dipakai kembali di bawa ke ruang
disposal
h. Pensukan selesai, perawat mencuci tangan
4) Memulai Punksi Femoral
a. Obeservasi daerah femoral (lipatan), yang akan
digunakan penusukan
b. Letakkan posisi tidur pasien terlentang dan posisi kaki
yang akan ditusuk fleksi
c. Lakukan perabaan arteri untuk mencari vena femoral
dengan cara menaruh 3 jari di atas pembuluh darah
arteri, jari tengah di atas arteri
d. Dengan jari tengah 1 cm ke arah medial untuk
penusukan jarum AV Fistula
5) Melakukan Kanulasi Double Lumen
a. Observasi tanda-tanda vital
b. Jelaskan pada pasien tindakan yang akan dilakukan
c. Berikan posisi tidur pasien yang nyaman
d. Buka kassa penutup catheter dan lepaskan pelan-pelan
e. Perhatikan posisi catheter double lumen
f. Memulai desinfektan
1. Desinfektan kulit daerah kateter dengan kassa
betadine, mulai dari pangkal tusukan kateter sampai
ke arah sekitar kateter dengan cara memutar kassa
dari dalam ke arah luar
2. Bersihkan permukaan kulit dan kateter dengan kassa
alkohol
3. Pasang duk steril di bawah kateter double lumen
4. Buka kedua tutup kateter, aspirasi dengan spuit 10 cc
/ 20 cc yang sudah diberi NaCl 0,9% yang terisi
heparin.
g. Tentukan posisi kateter dengan tepat dan benar
h. Pangkal kateter diberi Betadine dan ditutup dengan
kassa steril
i. Kateter difiksasi kencang
j. Kateter double lumen siap disambungkan dengan arteri
blood line dan venus line
k. Alat-alat dirapikan, pisahkan dengan alat-alat yang
terkontaminasi
29

l. Bersihkan alat-alat
3. Intra Hemodialisis
Perawatan intra hemodialisa dilakukan saat pasien menjalani
hemodialisa. Perawatan ini meliputi pemantauan kondisi pasien,
mesin HD, dan lain – lain selama prosedur.
a) Pelaksanaan kerja
1) Ujung ABL line dihubungkan dengan punksi inlet
2) Ujung VBL line dihubungkan dengan punksi outlet
3) Semua klem dibuka, kecuali klem infus set 100 ml/m,
sampai sirkulasi darah terisi darah semua.4.
4) Jalankan pompa darah (blood pump) dengan Qb
5) Pompa darah (blood pump stop, sambungkan ujung dari
VBL dengan punksi outlet)
6) Fiksasi ABL & VBL (sehingga pasien tidak sulit untuk
bergerak)
7) cairan priming ditampung di gelas ukur dan jumlahnya
dicatat (cairan dikeluarkan sesuai kebutuhan).
8) Jalankan pompa darah dengan Qb = 100 ml/m, setelah 15
menit bisa dinaikkan sampai 300 ml/m (dilihat dari keadaan
pasien.
9) Hubungkan selang-selang untuk monitor : venous pressure,
arteri pressure, hidupkan air/ blood leak detector.
10) Pompa heparin dijalankan (dosis heparin sesuai keperluan).
Heparin dilarutkan dengan NaCl
11) Ukur TD, Nadi setiap 1 jam. Bila keadaan pasien tidak baik/
lemah lakukan mengukur TD, N, lebih sering.
12) Isi formulir HD antara lain : Nama, Umur, BB, TD, S, N, P,
Tipe GB, Cairan priming yang masuk, makan/minum,
keluhan selama HD, masalah selama HD.
4. Post Hemodialisis
Perawatan post hemodialisa dilakukan setelah pasien menjalani
hemodialisa
a) Persiapan pasien: Pastikan identitas klien, Kaji kondisi klien,
Beritahu dan jelaskan pada klien atau keluarganya serangkaian
tindakan yg dilakukan, Jaga privacy klien
b) Persiapan alat:
1) Kain kasa/ gaas steril
2) Plester
3) Verband gulung
4) Alkohol/ bethadin
30

5) Antibiotik powder (nebacetin/ cicatrin)


6) Bantal pasir (1-1/2 keram) : pada punksi femoral
c) Pelaksanaan kerja
1) 5 menit sebelum hemodialisis berakhir, Qb diturunkan
sekitar 100cc/m, UFR=0
2) Ukur TD, nadi
3) Blood pump stop
4) Ujung ABL diklem, jarum inlet dicabut , bekas punksi inlet
ditekan dengan kassa steril yang diberi betadine.
5) Hubungkan ujung ABL dengan infus set
6) Darah dimasukkan ke dalam tubuh dengan do dorong
dengan NaCl sambil qb dijalankan 100 ml/m (masukkan
NaCl : 20-100cc)
7) Setelah darah masuk ke tubuh blood pump stop. Ujung VBL
diklem.
8) Jarum outlet dicabut, bekas punksi inlet & outlet ditekan
dengan kassa steril yang diberi bethadine
9) Bila perdarahan pada punksi sudah berhenti, bubuhi bekas
punksi inlet & outlet dengan antibiotik powder, lalu tutup
dengan kain kassa/band aid lalu pasang verband.
10) Ukur TTV : TD. N, S, P
11) Timbang BB
12) Dokumentasi
e. AV-Shunt
1) Pengertian AV-Shunt
AV-Shunt adalah Peroses penyambungan (anstomosis ) pembuluh
darah vena dan arteri dengan tujuan untuk memperbesar aliran
darah vena supaya dapat digunakan untuk keperluan hemodialisis.
Hemodialisis memerlukan jalan masuk ke aliran darah, maka
dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula
arteriovenosa) melalui pembedahan, dengan cara menhubungkan
arteri radialis dengan vena cephalica sehingga terjadi fistula
arteriovena sebagai akses dialisis yang saat ini lebih aman dan
nyaman bagi klien yang memerlukan hemodialisa karena gagal
ginjal kronis (Rutherford, 2005; Wilson, 2010; dalam Luju dan
Waluyo, 2013).
2) Tujuan AV-Shunt
Tujuan dari pembuatan shunt ini adalah agar aliran darah yang
masuk ke dalam vena bertambah banyak, atau debit darah yang
31

masuk ke dalam vena menjadi banyak. Vena yang sudah


disambung ke arteri ini akan dikanulasi untuk dihubungkan ke
mesin cuci darah. Av shunt ini bisa dikerjakan di lengan bawah,
ataupun di dekat dengan lipatan siku.
3) Kapan dan Apa Alasannya Perawat Harus Menyarankan Pasien
Operasi AV-Shunt
a) Sarankan pasien secepat mungkin untuk dilakukan AV-
Shunt setelah dinyatakan menderita gagal ginjal tahap
akhir dan harus HD tetapi biasanya pasien sudah
disarankan oleh dokter penyakit dalam bahkan sebelum
HD dimulai.
b) Operasi AV-Shunt sedini mungkin diharapkan juga
pembuluh darah arteri dan vena belum terkena komplikasi
lebih lanjut dari penyakit seperti hipertensi dan diabetes
mellitus yang dapat menyebabkan dinding pembuluh
darah menjadi tebal dan mengalami diseksi.
c) Penebalan pembuluh darah biasanya terjadi karena
arterosklerosis dan hyperplasia sel pada pembuluh darah
akibat penyakit kronis. Diseksi terjadi karena adanya
ploriferasi intima yang disebabkan oleh vasokonstriksi
pembuluh darah seperti pada hipertensi yang akhirnya
terjadi tekanan tinggi pada tunika media sehingga bagian
tunika intima dan adventisia menjadi terpisah. Pada
pemotongan pembuluh darah yang mengalami diseksi
terlihat seperti adanya dinding pembuluh darah (Ma’ruf,
2018).
4) Indikasi Pemasangan AV-Shunt
Akses vaskular internal (permanent access)/ fistula
cimino/AV Shunt digunakan pada penderita yang memerlukan
hemodialisis jangka panjang. Pemilihan akses vaskuler tergantung
pada kedaruratan melakukan dialisis, waktu yang tersedia untuk
mempersiapkan akses vaskuler, serta keadaan pembuluh darah
pasien (Luju dan Waluyo, 2013).
32

f. Kejadian yang tidak diinginkan dapat terjadi saat Hemodialisis


1) Tekanan darah terlalu rendah atau tinggi
2) Anemia
3) Kulit gatal
4) Kram otot
5) Pertonitis
6) Kenaikan berat badan
7) Syok
g. Algoritma Penanganan Syok
Komplikasi kardiovaskuler yang terjadi pada pasien
hemodialisis salah satunya yaitu hipotensi, hipotensi ini dapat
menyebabkan pasien mengalami asimtomatik hingga terjadi syok.
(Suherman 2017). Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan sistim
sirkulasi dengan akibat ketidak cukupan pasokan oksigen dan substrat
metabolic lain ke jaringan serta kegagalan pembuangan sisa
metabolisme. (Zingarelli 2008). Seseorang dikatakan syok bila
terdapat ketidakcukupan perfusi oksigen dan zat gizi ke sel-sel tubuh.
Kegagalan memperbaiki perfusi menyebabkan kematian sel yang
progressif, gangguan fungsi organ dan akhirnya kematian penderita
(Boswick John. A, 1997)
Pada pasien hemodialisis dapat terjadi syok, penangan awal
syok adalah dengan resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6 jam
pertama. Tindakan mencakup Airway (a), Breathing (b), Circulation
(c), oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi bila
diperlukan. Pemantau terhadap tekanan arteri rata-rata atau Mean
Arterial Pressure (MAP) >65 mmHg dan produksi urin >0,5
ml/kgBB/jam. Oksigenasi merpakan tindakan awal yang sangat
menolong, bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya meningkatkan
saturasi oksigen dalam darah, meningkatkan transpor oksigen dan
memperbaiki utilisasi oksigen di jaringan. Hipovolemia pada sepsis
perlu segera diatasi dengan pemberian cairan baik kristaloid maupun
koloid, volume cairan yang diberikan perlu dimonitor kecukupannya
agar tidak kurang ataupun berlebih. Secara klinis respon terhadap
pemberian cairan dapat terlihat dari peningkatan tekanan darah,
33

penurunan ferkuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan


ekstremitas, produksi urin, dan membaiknya penurunan kesadaran.
Transfusi eritrosit perlu diberikan pada keadaan perdarahan aktif, atau
bila kadar Hb rendah pada keadaan tertentu misalnya iskemia
miokardial dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada
sepsis dipertahankan pada 8-10 g/dl. (Felicya & Merry 2017)
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan, menurut (dewi 2010)
antara lain:
1) Kaji jumlah kehilangan volume cairan dan mulai lakukan
penggantian cairan sesuai dosis yang dibutuhkan. Pastikan
golongan darah untuk pemberian terapi transfusi
2) Kaji AGD/Analisa Gas Darah, jika pasien mengalami cardiac atau
respiratory arrest lakukan CPR
3) Berikan terapi oksigen sesuai order. Monitor saturasi oksigen dan
hasil AGD untuk mengetahui adanya hypoxemia dan
mengantisipasi diperlukannya intubasi dan penggunaan ventilasi
mekanik. Atur posisi semi fowler untuk memaksimalkan ekspansi
dada. Jaga pasien tetap tenang dan nyaman untuk meminimalkan
kebutuhan oksigen
4) Monitor vital sign, status neurologis, dan ritme jantung secara
berkesinambungan. Observasi warna kulit dan cek capillary refill
5) Monitor parameter hemodinamik, termasuk CVP, PAWP, dan
cardiac output, setiap 15 menit, untuk mengevaluasi respon pasien
terhadap treatmen yang sudah diberikan
6) Monitot intake dan output. pasang dower cateter dan kaji urin
output setiap jam. Jika perdarahan berasal dari gastrointestinal
maka cek feses, muntahan, dan gastric drainase. Jika output
kuranng dari 30 ml/jam pada pasien dewasa pasang infuse, tetapi
awasi adanya tanda kelebihan cairan seperti peningkatan PAWP.
Lapor dokter jika urin output tidak meningkat
7) Berikan transfuse sesuai order, monitor Hb secara serial dan HCT
8) Berikan Dopamin atau norepineprin I.V., sesuai order untuk
meningkatkan kontraktilitas jantung dan perfusi renal
9) Awasi tanda-tanda adanya koagulopati seperti petekie, perdarahan,
catat segera
34

10) Berikan support emosional


h. Penanganan saat pasien akan sebelum melakukan HD
 Timbang BB
 Kaji kenaikan BB
 TTV
 KU (menanyakan keluhan pasien)
Cara melakukan HD
1. Memulai Desinfektan
a. Jepit kassa betadine dengan arteri klem, oleskan betadine pada
daerah cimino dan vena lain dengan cara memutar dari arah
dalam ke luar, lalu masukkan kassa bekas ke kantong plastik
b. Jepit kassa Alcohol dengan arteri klem, bersihkan daerah
Cimino dan vena lain dengan cara seperti no.1
c. Lakukan sampai bersih dan dikeringkan dengan kassa steril
kering, masukkan kassa bekas ke kantong plastik dan arteri klem
diletakkan di gelas ukur
d. Pasang duk belah di bawah tangan pasien, dan separuh duk
ditutupkan di tangan
2. Memulai Punksi Cimino
a. Memberikan anestesi lokal pada cimino (tempat yang akan
dipunksi) dengan spuit insulin 1 cc yang diisi dengan lidocain.
b. Tusuk tempat cimino dengan jarak 8 – 10 cm dari anastomose
c. Tusuk secara intrakutan dengan diameter 0,5 cm
d. Memberikan anestesi lokal pada tusukan vena lain
e. Bekas tusukan dipijat dengan kassa steril
3. Memasukkan Jarum AV Fistula
a. Masukkan jarum AV Fistula (Outlet) pada tusukan yang telah
dibuat pada saat pemberian anestesi lokal
b. Setelah darah keluar aspirasi dengan spuit 10 cc dan dorong
dengan NaCl 0,9% yang berisi heparin, AV Fistula diklem, spuit
dilepaskan, dan ujung AV Fistula ditutup, tempat tusukan
difiksasi dengan plester dan pada atas sayap fistula diberi kassa
steril dan diplester
35

c. Masukkan jarum AV Fistula (inlet) pada vena lain, jarak


penusukan inlet dan outlet usahakan lebih dari 3 cm
d. Jalankan blood pump perlahan-lahan sampai 20 ml/mnt
kemudian pasang sensor monitor
e. Program mesin hemodialisis sesuai kebutuhan pasien
f. Bila aliran kuran dari 100 ml/mnt karena ada penyulit, lakukan
penusukan pada daerah femoral
g. Alat kotor masukkan ke dalam plastik, sedangkan alat-alat yang
dapat dipakai kembali di bawa ke ruang disposal
h. Pensukan selesai, perawat mencuci tangan
4. Memulai Punksi Femoral
a. Obeservasi daerah femoral (lipatan), yang aka digunakan
penusukan
b. Letakkan posisi tidur pasien terlentang dan posisi kaki yang
akan ditusuk fleksi
c. Lakukan perabaan arteri untuk mencari vena femoral dengan
cara menaruh 3 jari di atas pembuluh darah arteri, jari tengah di
atas arteri
d. Dengan jari tengah 1 cm ke arah medial untuk penusukan jarum
AV Fistula untuk penusukan jarum AV Fistula
5. Melakukan Kanulasi Double Lumen
a. Observasi tanda-tanda vital
b. Jelaskan pada pasien tindakan yang akan dilakukan
c. Berikan posisi tidur pasien yang nyaman
d. Dekatkan alat-alat ke pasien
e. Perawat mencuci tangan
f. Buka kassa penutup catheter dan lepaskan pelan-pelan
g. Perhatikan posisi catheter double lumen
1) Apakah tertekuk?
2) Apakah posisi catheter berubah?
3) Apakah ada tanda-tanda meradang/nanah? Jika ada laporkan
pada dokter.
h. Memulai desinfektan
36

1) Desinfektan kulit daerah kateter dengan kassa betadine, mulai


dari pangka tusukan kateter sampai ke arah sekitar keteter
dengan cara memutas kassa dari arah dalam ke luar
2) Bersihkan permukaan kulit dan kateter double lumen
3) Buka kedua tutup kateter, aspirasi dengan spuit 10cc/20cc
yang sudah diberi NaCl 0.9% yang terisi heparin
4) Tentukan posisi kateter dengan tepat dan benar
5) Pangkal kateter diberi betadine dan ditutup dengan kassa
steril
6) Kateter difiksasi kencang
7) Kateter doube lumen siap disambungkan dengan arteri blood
line dan venus line
8) Alat-alat dirapikan, dipisahkan dengan alat-alat yang
terkontaminasi
9) Bersihkan alat-alat
10) Perawat cuci tangan

-
37

M. Clinical Pathways

Kelaianan
Genetik
Konginetal Malformasi Organ Papillorenal Syndrome

1. Ginjal hipoplastik
Kelainan pada sel Nefron Penurunan Laju Filtrasi Disfungsi Ginjal 2. Hypodysplasia
Glomelurus 3. Ginjal Displastik Multikistik
Kehilangan Fungsi Prosedur Hemodialisis 4. Oligomeganephronia
Perubahan Akivitas
Ekskresi Ginjal seumur hidup
Sehari-hari
Reabsorbsi sodium dalam tubulus,
Anemia, Ketergantungan Perubahan
retensi natrium dan air
Keletihan Peran, Perubahan Citra
Kerusakan Proses Tubuh
Intoleransi Filtrasi dalam Ginjal
Aktivitas
Harga Diri Rendah
Mual, Muntah Anoreksi, Diet,
Kelebihan
Perubahan Membran Mukosa Oral
Volume Cairan

Nutrisi Kurang dari


Kebutuhan Tubuh
38

N. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian

a) Identitas Pasien
Gagal ginjal kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 tahun),
usia muda dapat terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70% pada
pria.
b) Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan
(anoreksi), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau
(ureum), gatal pada kulit.
c) Riwayat penyakit sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan
kardiogenik.
d) Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah
jantung, hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign
Prostatic Hyperplasia, prostatektomi, penyakit gout.
e) Riwayat penyakit keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM)
f) Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat
dan dalam (Kussmaul), dyspnea
g) Body system
(1) Pernafasan (B1: Breathing)
Gejala: nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk
dengan/tanpa sputum, kental dan banyak
Tanda: takipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, batuk produktif
dengan/tanpa sputum.
(2) Cardiovascular (B2: Bleeding)
Gejala: Riwayat hipertensi lama atau berat. Palpitasi nyeri dada
atau angina dan sesak nafas, gangguan irama jantung, edema.
Tanda: Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, pitting pada
kaki, telapak tangan, disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi
ortostatik, friction rub perikardial, pucat, kulit coklat
kehijauan,kuning.kecendrungan perdarahan.
(3) Persyarafan (B3: Brain)
39

Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai


koma.
(4) Perkemihan-Eliminasi Uri (B4: Bladder)
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua
dan pekat, tidak dapat kencing.
Gejala: Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap
lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi.
Tanda: Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan)
oliguria atau anuria.
(5) Pencernaan-Eliminasi Alvi (B5: Bowel)
Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremikum, hiccup, gastritis
erosiva dan Diare)
(6) Tulang-Otot-Integumen (B6: Bone)
Gejala: Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki,
(memburuk saatmalam hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.
Tanda: Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis
padakulit, fraktur tulang, defosit fosfat kalsium,pada kulit,
jaringanlunak, sendi keterbatasan gerak sendi.
h) Pola aktivitas sehari-hari
(1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata
laksanahidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak
gagal ginjalkronik sehingga menimbulkan persepsi yang negatif
terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi
prosedur pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu
perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien.
(2) Pola nutrisi dan metabolism
Anoreksi, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut, intake
minum yang kurang, dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolism yang
dapat mempengaruhi status kesehatan klien.
Gejala: peningkatan berat badan cepat (oedema) penurunan berat
badan (malnutrisi) anoreksia, nyeri ulu hati, mual muntah, bau
mulut (amonia)
Penggunaan diuretic
40

Tanda: Gangguan status mental, ketidakmampuan berkonsentrasi,


kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, kejang,
rambut tipis, kuku rapuh.
(3) Pola Eliminasi
Eliminasi uri: Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna
urine kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing.
Gejala: Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap
lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi.
Tanda: Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan)
oliguria atau anuria.
Eliminasi alvi: Diare
(4) Pola tidur dan Istirahat: Gelisah, cemas, gangguan tidur
(5) Pola Aktivitas dan latihan: Klien mudah mengalami kelelahan dan
lemas menyebabkan klien tidak mampu melaksanakan aktivitas
sehari-hari secara maksimal.
Gejala: kelelahan ektremitas, kelemahan, malaise
Tanda: Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak

(6) Pola hubungan dan peran


Gejala: kesulitan menentukan kondisi (tidak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran)

(7) Pola sensori dan kognitif


Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami
neuropati/mati rasa pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya
trauma. Klien mampu melihat dan mendengar dengan baik/tidak,
klien mengalami disorientasi/tidak.
(8) Pola persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan
penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya
perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan
menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran
pada keluarga (self esteem).
(9) Pola seksual dan reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ
reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual,
41

gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada


proses ejakulasi serta orgasme.
Gejala: Penurunan libido, amenorea, infertilitas.
(10) Pola mekanisme/penanggulangan stress dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik,
faktor stress, perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada
kekuatan, karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis
yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan
lain-lain, dapat menyebabkan klien tidak mampu menggunakan
mekanisme koping yang konstruktif/adaptif.
Gejala: faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak
ada kekuatan
Tanda: menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang,
perubahan kepribadian
(11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh
serta gagalg injal kronik dapat menghambat klien dalam
melaksanakan ibadah maupun mempengaruhi pola ibadah klien.
(12) Pemeriksan fisik
(a) Kepala: Edema muka terutama daerah orbita, mulut bau khas
ureum
(b) Dada: Pernafasan cepat dan dalam, nyeri dada
(c) Perut: Adanya edema anasarka (ascites)
(d) Ekstrimitas: Edema pada tungkai, spatisitas otot
(e) Kulit: Sianosis, akral dingin, turgor kulit menurun,
hiperpigmentasi akibat penumpukan urea, kering, dan
bersisik
(13) Pemeriksaan penunjang
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan
menentukan derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi
etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua
faktor pemburuk faal ginjal. Pemeriksaan penunjang diagnosis
harus selektif sesuai dengan tujuannya. Menurut Suhardjono
(2002), pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien
penyakit ginjal kronik yaitu:
42

(a) Pemeriksaan laboratorium


Untuk menentukan ada tidaknya kegawatan, menentukan
derajat PGK, menentukan gangguan sistem, dan membantu
menetapkan etiologi. Blood ureum nitrogen (BUN) atau
kreatinin meningkat, kalium meningkat, magnesium
meningkat, kalsium menurun, protein menurun.

(b) Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)


Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-
tanda perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia,
hipokalsemia). Kemungkinan abnormal menunjukkan
ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.
(c) Ultrasonografi (USG)
Untuk mencari adanya faktor yang reversibel seperti
obstruksi oleh karena batu atau massa tumor, dan untuk
menilai apakah proses sudah lanjut.
(d) Foto polos abdomen
Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk
fungsi ginjal. Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada
batu atau obstruksi lain.
(e) Pieolografi Intra-Vena (PIV)
Dapat dilakukan dengan cara intravenous infusion
pyelography, untuk menilai sistem pelviokalises dan ureter.
(f) Pemeriksaan Pielografi Retrograd
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel.
(g) Pemeriksaan foto dada
Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat kelebihan
air (fluid overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi
perikadial.
(h) Pemeriksaan radiologi tulang
Mencari osteodistrofi dan kalsifikasi metastatik.

2. Diagnosa keperawatan
a) Kelebihan volume cairan yang berhubungan dengan penurunan
haluaran urin, kelebihan diet dan retensi natrium dan air.
b) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan mual,
muntah, anoreksi, pembatasan diet, dan perubahan membran mukosa
oral.
43

c) Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan keletihan, anemia,


retensi produk sampah, dan prosedur dialisis.
d) Harga diri rendah yang berhubungan dengan ketergantungan, perubahan
peran, perubahan dalam citra tubuh dan disfungsi seksual.

3. Intervensi
a) Kaji status cairan dan identifikasi sumber potensial
ketidakseimbangan cairan.
b) Terapkan program diet untuk menjamin masukan nutrisi yang sesuai
dalam batasan regimen pengobatan.
c) Berikan penjelasan dan informasi pada pasien dan keluarga
mengenai PGTA, pilihan pengobatan dan potensial komplikasi.
d) Berikan dukungan emosional pada pasien dan keluarga.

4. Evaluasi

Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan.


Kegiatam evaluasi ini adalah membandingkan hasil yang telah dicapai
setelah implementasi keperawatan dengan tujuan yang diharapkan dalam
perencanaan. Perawatan mempunyai tiga alternatif dalam menentukan
sejauh mana tujuan tercapai:
a) Berhasil: perilaku pasien sesuai pernyataan tujuan dalam waktu atau
tanggal yang ditetapkan di tujuan
b) Tercapai sebagian: pasien menunjukkan perilaku tetapi tidak sebaik
yang ditentukan dalam pernyataan tujuan
c) Belum tercapai: pasien tidak mampu sam asekali menunjukkan perilaku
yang diharapkan sesuai dengan pernyataan tujuan

5. Discharge Planning
a) Berikan penyuluhan yang berkelanjutan dan penekanan tentang
penyuluhan sebelumnya.
b) Pantau kemajuan pasien dan kepatuhan terhadap regimen
pengobatan.
c) Berikan konsul nutrisional.
d) Ajarkan pasien dan keluarga masalah apa yang harus dilaporkan:
tanda-tanda memburuknya gagal ginjal, tanda hiperkalemia.
e) Berikan penyuluhan tentang medikasi.
44

f) Ajarkan pasien cara untuk mengkaji akses vaskuler terhadap patensi;


tindak kewaspadaan, yaitu dengan tidak dilakukan pungsi vena dan
pengukuran tekanan darah pada lengan yang menjadi akses.
g) Berikan bantuan dan dukungan pada pasien dan keluarga dalam
menghadapi dialisis dan implikasi jangka panjangnya.
45

DAFTAR PUSTAKA

Aisara, Azmi dan Yanni. 2018. Gambaran Klinis Penderita Penyakit Ginjal Kronik
yang Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas. Vol. 7(1): 42-50.

Andantika, Riana Vera. Sungging. Dina. Dwi. Myta. Amanda. Alisa. 2014.
Standar Operasional Prosedure Persiapan dan Perawatan Klien
Hemodialisis. Jember. Fakultas Keperawatan Universitas Jember.

Armiyati, Yunie. 2009. Komplikasi Intradialisis yang Dialami Pasien Chronic


Kidney Disease (CKD) saat Menjalani Hemodialisis di RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta. Tesis. Depok: Program Pascasarjana Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Arora, P., Batuman, V. 2015. Chronic Kidney Disease. Medical Book.

Baughman, Diane C. 2000. Handbook for Brunner and Suddarth’s Textbook of


Medical Surgical Nursing. USA: Lippincott-Raven. Terjemahan oleh Asih,
Yasmin. 2000. Keperawatan Medikal Bedah; Buku Saku untuk Brunner dan
Suddarth. Jakarta; EGC.

Baradero, Mary. 2008. Klien Gangguan Ginjal Seri Asuhan Keperawatan. .


Jakarta: EGC.

Boswick John. A, 1997., 1997., Perawatan Gawat Darurat., EGC., Jakarta

Bower, A. Matthew. Lisa. Michael. 2018. PAX2-Related Disorder, Synonyms:


Papillorenal Syndrome. United State. National Library of Medicine

Corwin, Elizabeth J. 2008. Handbook of Pathophysiology 3rd Ed. Edisi 3. USA:


Lippincott Williams & Wilkins. Terjemahan oleh Yudha, Wahyuningsih,
Yulianti, Karyuni. 2009. Patofisiologi: Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3.
Jakarta: EGC.
46

Dewi, Enita. Sri Rahayu. 2010. Kegawatdaruratan Syok Hipovolemik. Surakarta,


Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Delima, Tjitra, Tana, Halim, Ghani, Siswoyo, Idaiani, Andayasari, Widowati,


Gitawati, Sihombing, Notohartojo, Sintawati, Jovina, Karyana, Nugroho,
Wibisono, Sarwono, Agustin, Suhardjono, Sastroasmoro, Siswanto. 2017.
Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronik: Studi Kasus Kontrol di Empat
Rumah Sakit di Jakarta Tahun 2014. Buletin Penelitian Kesehatan. Vol.
45(1): 17-26.

Dickenmann, M. dan P. Hirt-minkowski. 2014. Outcome of Dialysis Patients aged


Seventy Years or Above-a Retrospective Analysis. Swiss Medical
Weekly.4414(10):1-10.

Farrell, M. 2016. Smeltzer & Bare’s Textbook of Medical Surgical Nursing Volume
2. Fourth Australian and New Zealand: Wolters Kluwer.

Felicya Rosari & Merry Indah. 2017. Ensefalopati Uremikum pada Gagal Ginjal
Kronis. Lampung. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Fitria, Cemy Nur. 2010. Syok dan Penanganannya. Surakarta. Akademi


Keperawatan Muhammadiyah Surakarta.

Harrison. 2000. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 13, Volume 3.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Isroin, Laily. 2016. Manajemen Cairan pada Pasien Hemodialisis untuk


Meningkatkan Kualitas Hidup. Ponorogo: Unmuh Ponorogo Press.

KDIGO. 2013. Kidney international supplements. Official Journal of The


International Society of Nephrology. Vol. 3(Issue. 1)

Kementerian Kesehatan RI. 2017. Situasi penyakit ginjal kronis. Pusat Data Dan
Informasi. Jakarta Selatan. Diakses pada : Maret 2019.
47

Kementerian Kesehatan RI. (tanpa tahun). Hipertensi. Jakarta Selatan: Pusat Data
dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.

Kurniawati, D. P., Widyawati, I. Y., Mariyanti, H. 2015. Edukasi dalam


Meningkatkan Kepatuhan Intake Cairan Pasien Penyakit Ginjal Kronik
(PGK) on Hemodialisis. Critical, Medical, and Surgical Nursing Journal.
Vol. 3(2).

Luju, S. S. dan Waluyo, A. 2013. Gambaran Pengetahuan Klien Gagal Ginjal


Kronis tentang Tindakan Akses Vaskuler Internal (Cimino) dan Perawatan
Post Cimino. Skripsi. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.

Martono. 2016. Monitoring Nilai Kritis Tekanan Sistolik dan Diastolik pada
Asuhan Keperawatan Gagal Ginjal Kronik yang Dilakukan Hemodialisis
Jenis Arteriovena Shunt Cimino dan Akses Femoral Cephalica. Jurnal
Tepadu Ilmu Kesehatan. Vol. 6(1): 77-84.

Ma’ruf, Anang. 2018. Perawatan Akses Vaskuler Hemodialisis. Gresik:


Hemodiaisis RSUD Ibnu Sina Kabupaten Gresik.

Munawar, Usep. 2017. Hubungan Kejadian Komplikasi dengan Pengukuran


Saturasi Oksigen. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Purwokerto.

National Kidney Foundation NKF. 2006. Clinical Practice Guidelines Clinical


K/DOQI practice guidelines for Chronic Kidney Disease: evaluation,
classification and stratification. New York: NKF

Ni’Amillah, Sukron. 2010. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Gagal Ginjal


Kronis. Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman


Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular. Edisi Pertama.
Jakarta: Indonesian Heart Association.
48

PERNEFRI, P. N. I. 2017. 10 th report of indonesian renal registry 2017. Laporan


Indonesian Renal Registry 2017

Price, S. A., dan Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.

Renal Assosiation. 2009. Stage of Kidney Disease. http://www.renal.org/ pages/


other-info/ERSD-stage.php. Diakses pada 2019

RISKESDAS. 2018. Laporan Nasional RISKESDAS 2018 Kementrian Kesehatan


Republik Indonesia. Jakarta. 2018.

Samiadi, Lika Aprilia. 2019. Hubungan Erat Penyakit Ginjal dengan Hipertensi.
High Blood Pressure and Kidney Disease. http://www.niddk.nih.gov/health-
information/health-topics/kidney-disease/high-blood-pressure-and-kidney-
disease/Pages/facts.aspx.

Simanjuntak, V. O., R. R. Lamtiar, dan Jenny N Sitepu. 2017. Korelasi Lama


Menjalani Hemodialisis dengan Skor Depresi pada Pasien Gagal Ginjal
Kronik yang Menjalani Hemodialisis di Instalasi Dialisis RSUD dr.Pirngadi
Medan periode januari-maret tahun 2017. 3(2):63-68.

Smeltzer SC, B. B. 2009. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Dan
Suddarth Volume 2. Edisi 8. 2009.

Suarsedewi, Desak Wayan. 2012. Hubungan Dosis Hemodialisis dalam Prespektif


Keperawatan Terhadap Adekuasi pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis di
RSUP Fatmawati. Jakarta. Tesis Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.

Suherman, Herlan. 2017. Penatalaksanaan Komplikasi Akut Pasien HD. Malang.


Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional (PITNAS) ke-25. Ikatan Perawat
Dialisis Indonesia.

Suryarinilsih, Yosi. 2010. Hubungan Penambahan Berat Badan antara Dua Waktu
Dialisis dengan Kualitas Hidup Pasien Hemodialisis di Rumah Sakit Dr. M.
49

Djamil Padang. Tesis. Depok: Program Pascasarjana Fakultas Ilmu


Keperawatan Universitas Indonesia.

Sutami, Irna Dewi. 2012. Hemodialisis Pasien Ginjal Kronis. Makasar. Skripsi
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Alauddin.

Suwitra K. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi Kelima. 2009.

Syaifuddin. 2011. Anatomi Fisiologi: Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk


Keperawatan & Kebidanan. Jakarta. EGC.

Tarwoto, Ratna, dan Wartonah. 2011. Anatomi dan Fisiologi untuk Mahasiswa
Keperawatan. Jakarta: TIM.

Valerie A Luyckx, M. T. & J. W. S. 2018. The global burden of kidney disease and
the sustainable development goals. Bull World Health Organization 2018.
96(April):414–422.

WHO, World Health Organization. 2018. Global Health Estimates 2016 Summary
Tables. 2018.

Zingarelli B. Shock and reperfusion. 2008. Nichols DG, Roger’s textbook of


Pediatric Intensive Care, edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams
&Wilkins, 2008; 252-65.

Anda mungkin juga menyukai