LAPORAN PENDAHULUAN
OLEH:
Intan Dwi Arini, S. Kep
NIM 182311101078
Mahasiswa
A. Konsep Penyakit
1. Anatomi Fisiologi Ginjal
Lokasi ginjal berada pada bagian dari kavum abdominalis area retropertoneal
bagian atas pada kedua sisi vertebra lumbalis III dan melekat langsung pada
dinding abdomen. Bentuk ginjal; seperti biji buah kacang merah yang jumlahnya
ada 2 buah terletak dibagian kiri dan kanan. Berat ginjal pada orang dewasa ± 200
gram dan ginjal laki-laki lebih panjang dari pada ginjal perempuan (Nuari dan
Widayati, 2017). Pada ginjal secara anatomis terjadi menjadi tiga bagian yaitu
kulit (korteks), sumsum ginjal (medula), dan bagian rongga ginjal (pelvis renalis).
Korteks terdapat bagian yang bertugas untu melaksanakan penyaringan darah
yang disebut nefron. Pada tempat penyaringan darah banyak mengandung kapiler
darah yang tersusun bergumpal-gumpal disebut glomerolus. Medula terdiri
beberapa badan berbentuk kerucut yang disebut piramid renal dengan dasarnya
menghadap korteks dan puncaknya (apeks/ papila renis) mengarah ke bagian
dalam ginjal. Rongga renalis merupakan ujung kateter yang berpangkal di ginjal
berbentuk corong lebar. Sebelum berbatasan dengan jaringan ginjal, pelvis renalis
bercabang dua atau tiga disebut kaliks mayor yang masing-masing bercabang
membentuk beberapa kaliks minor yang langsung menutupi papila renis dari
piramid. Kaliks minor ini menampung urine yang terus keluar dari paipila. Dari
kaliks minor urin masuk ke kalik mayor, ke perlvis renis, ke ureter hingga di
tampung dalam kandung kemih (vesika urinaria) (Nauri dan Widayati, 2017).
Struktur mikroskopik ginjal tersusun atas banyak nefron yang merupakan
satuan fungsional ginjal yang terdapat ± 1.000.000 nefron dalam setiap ginjal.
Setiap nefron mulai membentuk sebagai berkas kapiler (Badan Malpighi/
Glomerulus) yang erat tertanam dalam ujung atas yang lebar pada unineferus.
Tubulus ada yang berkelok dan ada yang lurus. Bagian pertama tubulus berkelok-
kelok dan kelokan pertama disebut tubulus proksimal, dan sesudah itu terdapat
sebuah simpai yang disebut simpai henle. Kemudian tubulus tersebut berkelok
lagi yaitu kelokan kedua yang disebut tubulus distal, yang bergabung dengan
tubulus penampung yang berjalan melintasi kortek dan medulla, dan berakhir
dipuncak salah satu piramid ginjal.
Selain tubulus urineferus, struktur ginjal juga berisi pembuluh darah yaitu
arteri renalis yang membawa darah murni dari aorta abdominalis ke ginjal dan
bercabang-cabang di ginjal dan membentuk arteriola aferen (arteriola aferentes),
serta masing-masing membentuk simpul di dalam salah satu glomerulus.
Pembuluh eferen kemudian tampil sebagai arteriola eferen (arteriola eferentes),
yang bercabang-cabang membentuk jaring kapiler disekeliling tubulus uriniferus.
Kapiler-kapiler ini kemudian bergabung lagi untuk membentuk vena renalis, yang
membawa darah ke vena kava inferior. Maka darah yang beredar dalam ginjal
mempunyai dua kelompok kapiler, yang bertujuan agar darah lebih lama
disekeliling tubulus urineferus, karena fungsi ginjal tergantung pada hal tersebut.
Fungsi ginjal dan proses pembentukan urin menurut Syaefudin (2006)
adalah sebagai berikut:
a. Fungsi ginjal
Ginjal adalah organ tubuh yang mempunyai peranan penting dalam sistem
organ tubuh. Kerusakan ginjal akan mempengaruhi kerja organ lain dan sistem
lain dalam tubuh. Ginjal punya dua peranan penting yaitu sebagai organ eskresi
dan non eskresi. Sebagai sistem eskresi ginjal bekerja sebagai filtran senyawa
yang sudah tidak dibutuhkan lagi oleh tubuh seperti urea, natrium dan lain-lain
dalam bentuk urin, maka ginjal juga berfungsi sebagai pembentuk urin.
Selain sebagai sistem ekresi ginjal juga sebagai sistem non ekresi dan
bekerja sebagai penyeimbang asam basa, cairan dan elektrolit tubuh serta fungsi
hormonal. Ginjal mengekresi hormon renin yang mempunyai peran dalam
mengatur tekanan darah (sistem renin angiotensin aldosteron), pengatur hormon
eritropoesis sebagai hormon pengaktif sumsum tulang untuk menghasilkan
eritrosit. Disamping itu ginjal juga menyalurkan hormon dihidroksi kolekalsi
feron (vitamin D aktif), yang dibutuhkan dalam absorsi ion kalsium dalam usus.
b. Pembentukan urin
Urin berasal dari darah yang dibawa oleh arteri renalis masuk ke dalam
ginjal. Darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah merah dan bagian
plasma darah kemudian akan disaring dalam tiga tahap yaitu filtrasi, reabsorbsi,
dan eksresi.
1) Proses Filtrasi
Proses ini terjadi di glomerolus dan terjadi karena tekanan permukaan aferen
lebih besar daripada permukaan eferen sehingga terjado penyerapan darah.
Sedangkan sebagian yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali
protein. Cairan yang disaring disimpan dalam simpai bownman yang terdiri
dari glukosa, air, natrium, klorida sulfat, bikarbonat, dan lain-lain yang
diteruskan ke tubulus ginjal.
2) Proses Reabsorbsi
Proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besari dari glukosa, natrium,
klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal
dengan proses obligator. Proses reabsorbsi ini terjado pada tubulus proksimal
sedangkan pada tubulus dista; terjadi penyerapan kembali natrium dan ion
bikarbonat bila diperlukan. Penyarapan ini terjadi secara aktif dengan
reabsorbsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papila renalis. Reabsorpsi zat
tertentu dapat terjadi secara transpor aktif dan difusi. Sebagai contoh pada sisi
tubulus yang berdekatan dengan lumen tubulus renalis terjadi difusi ion Na+,
sedangkan pada sisi sel tubulus yang berdekatan dengan kapiler terjadi
transpor aktif ion Na+. Adanya transpor aktif Na+ di sel tubulus ke kapiler
menyebabkan menurunnya kadar ion Na+ di sel tubulus renalis, sehingga
difusi Na+ terjadi dari lumen sel tubulus renalis. Pada umumnya zat yang
penting bagi tubuh direabsorpsi secara transpor aktif. Zat-zat penting bagi
tubuh yang secara aktif direabsorpsi adalah protein, asam amino, glukosa, dan
vitamin. Zat-zat tersebut direabsorpsi secara aktif di tubulus proksimal,
sehingga tidak ada lagi di lengkung Henle
3) Proses ekresi atau augmentasi
Sisa dari penyerapan urin yang terjadi pada tubulus akan diteruskan ke piala
ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter dan masuk ke vesika urinaria.
2. Definisi
Gagal ginjal kronis atau suatu penyakit ginjal tahap akhir (ESRD) adalah
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan kesimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah. Gagal
ginjal kronik merupakan suatu perkembangan gagal ginjal yang progresif dan
lambat yang berlangsung beberapa tahun (Nuari dan Widayati, 2017). Gagal
ginjal kronik terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu lagi
mempertahankan lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup
(Baradero dkk, 2008). Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis
dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah
suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang
irreversibel dan memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis
atau transplantasi ginjal (Sukandar, 2006).
3. Epidemiologi
Menurut Kemenkes RI (2017) berdasarkan riskesdas tahun 2013 populasi
umur ≥15 tahun yang terdiagnosis gagal ginjal kronis sebesar 02,% dan angka ini
lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi PGK di negara lainnya. hasil
Pehimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2006 mendapatkan prevalensi
sebesar 12,3%. Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukkan prevalensi meningkat
dengan bertambahnya umur dengan peningkatan tajam pada kelompok umur 35-
44 tahun dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. prevalensi pada laki-laki
(0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi terjadi pada
masyarakat pedesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta,
petani/ nelayan/ buruh (0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan
menengah bawah masing-masing 0,3%. Sedangkan provinsi dengan prevalensi
tertinggi adalah Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo, dan
Sulawesi Utara masing-masing 0,4%.
Gambar 1. Prevalensi Gagal Ginjal Kronis menurut Karakteristik di
Indonesia Tahun 2013
4. Etiologi
Penyebab gagal ginjal kronis salah satunya terdiri dari diabetes militus,
glomerulonefritis kronis, pielonefritis, hipertensi tak terkontrol, obstruksi saluran
kemih, penyakit ginjal polikistik, gangguan vaskuler, lesi herediter, dan agen
toksik (timah, kadmium, dan merkuti) (Nauri dan Widayati, 2017). Ginjal
merupakan sumber dari hormon renin yang memiliki efek langung pada tekanan
darah melalui jalur renin angiotensin. Jika tekanan darah semakin banyak maka
semakin banyak pula renin yang dilepaskan sehingga terjadi peningkatan tekanan
darah sistemik. Apabila mekanisme penyaringan ginjal terganggu oleh penurunan
tekanan hidrostatik dalam gromerolus atau oleh kerusakan glomerolus itu sendiri,
kemampuan ginjal untuk mengeksresi produksi limbah nitrogen dan mengatur air
dan elektrolit mungkin terganggi. Hal ini akhirnya akan menghasilkan gejala
terkait gagal ginjal termasuk retensi cairan yang mengarah ke hipertensi.
Sebaliknya jika tekanan darah meningkat, ada risiko kerusakan pada pembuluh
darah di seluruh tubuh terutama di otak (mengarah ke stroke), pembuluh koroner,
dan pembuluh ginjal. Arteri ginjal atau arteri ginjal yang lebih kecil dapat
menyempit oleh arteriklerosis (misal stenosis arteri ginjal atau penyakit
renovaskular). Ini akan menyebabkan gangguan aliran darah ginjal yang akan
merangsang pelepasan renin, dan siklus hipertensi memburuk. Oleh karena itu
hipertensi dapat menjadi penyebab dan hasil dari penyakit ginjal (Thomas, 2014).
Proporsi terbesar paasien hemodialisis dilatarbelakangi penyakit hipertensi
dan diabetes. Berdasarkan hasil riskesda 2013 prevalensi hipertensi pada
penduduku umur 18 tahun ke atas di Indonesia sebesar 25,6% sedangkan
berdasarkan wawancara telah terdignosisis hipertensi oleh dokter hanya 9,4%
(Kemenskes RI, 2017).
5. Klasifikasi
Tahap perkembangan gagal ginjal kronis:
1. Penurunan cadangan ginjal
a. Sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerolus 40-50% normal
c. BUN dan kreatinin serum masih normal
d. Pasien asimtomatik
2. Insufisiensi ginjal
a. 75-80% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerolus 20-40% normal
c. BUN dan kratinin serum mulai meningkat
d. Anemia ringan dan azotemia ringan
e. Nokturia dan poliuria
3. Gagal ginjal
a. Laju filtrasi glomerolus 10-20% normal
b. BUN dan kreatinin serum meningkat
c. Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik
d. Poliuria dan nokturia
e. Gejala gagal ginjal
4. End Stage Renal Disease (ESRD)
a. Lebih dari 85% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerolus kurang daro 10% normal
c. BUN dan kreatinin tinggi
d. Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik
e. Oliguria
f. Gejala gagal ginjal
7. Manifestasi Klinis
a) Gangguan kardiovaskuler: hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat
perikarditis, efusi perkardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan,
gangguan irama jantung dan edema
b) Gangguan pulmoner: nafas dangkal, kusmaul, batuk dengan sputum kental
dan riak, suara krekels
c) Gangguan gastrointestinal: anoreksi, nausea, dan vomitus yang
berhubungan dengan metabolic protein dalam usus perdarahan pada
saluran gastrointestinal ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia.
d) Gangguan muskuloskeletal: resiles leg sindrom (pegal pada kakinya
sehingga selalu digerakkan), burning feet syndrom (rasa kesemutan dan
terbakar, terutama ditelapak kaki, miopati (kelemahan dan hipertropi otot-
otot ekstremitas.
e) Gangguan integumen: kulit berwarna pucat dan kekuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal-gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapus.
f) Gangguan endokrin: gangguan seksual: libido fertilitas dan ereksi
menurun, gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic
glukosa, gangguan metabolic lemak dan vitamin D.
g) Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa: biasanya
retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan
dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, dipokalemia.
h) Sistem hematologi: anemia yang disebabkan karena berkurangnya
produksi eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sumsum tulang
berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam
suasan uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan
trombositopenia (Nuari dan Widayati, 2017).
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut Nuari dan Widayati (2017) adalah sebagai
berikut:
a. Urin
a. Volume: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam atau tidak ada (anuria)
b. Warna: secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan
adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin
c. Berat jenis: kurang dari 350mOsm/Kg menunjukkan kerusakan ginjal
tubular dan rasio urin/serum sering 1:1
d. Clearance kreatinin: mungkin sedikit menurun
e. Natrium : lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium
f. Protein: derajat tinggi proteinuria (3 - 4 +) secara kuar menunjukkan
kerusakan glomerolus bila SDm dan fragmen juga ada.
b. Darah
- BUN/ kreatinin: meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahpa
akhir
- Ht: menurun pada adanya anemia. HB biasanya kurang dari 7-8 gr/dl
- SDM: menurun, defisiensi eritropoitin
- GDA: asidoseis metabolik, pH kurang dari 7,2
- Natrium serum: rendah
- Kalium: meningkat
- Magnesium: meningkat
- Kalsium: menurun
- Protein (albumin): menurun
c. Osmolalitasn serum: lebh dari 285 mOsm/ kg
d. Pelogram retrograd: abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
e. Ultrasono ginjal: menentukan ukuran ginjal dan adanyan masa kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas
f. Endoskopi ginjal nefroskopi: untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu,
hematuria dan pengankatan tumor selektif
g. Arteriogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular
GFR turun Suplai darah ke ginjal turun Gangguan sirkulasi vasokontriksi Penyumbatan pembuluh darah
Kerusakan vaskular
Vasokontriksi pembuluh darah ginjal Gagal Ginjal Kronik
pembuluh darah
Oksihemoglobin turun
Gg. Keseimbangan basa Urokrom Perpospatemia Tek. Kapiler naik
tertimbun di kulit Suplai O2 turun
Produksi asam lambung naik Pruritis
Pruriti Vol. interstisial naik
Perubahan warna kulit s Suplai oksigen tubuh tidak adekuat
Iritasi lambung Edema
Vomiting
Cardiac Output turun Bendungan atrium kiri naik
Ketidakseimbangan Nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh Tekanan vena pulmonalis
2. Diagnosa keperawatan
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme
regulasi yang ditandai dengan edema, oliguria, ketidakseimbangan
elektrolit.
2. Nyeri kronis berhubungan dengan gangguan metabolik yang ditandai
dengan anoreksia, keluhan tentang instensitas menggunakan skala nyeri,
ekspresi wajah.
3. Gangguan pertukarang gas berhubugan dengan perubahan membran
alveolar kapiler yang ditandai dengan sesak/dispnea, gelisah, pola
pernafasan abnormal.
4. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan
aterosklerosis aortik, dan segmen ventrikel akinetik
5. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer behubungan dengan hipertensi,
diabetes melitus, kurang pengetahuan tentang penyakit dan faktor
pemberat (gaya hidup, merokok, asupan garam, imobilitas) yang ditandai
dengan perubahan karakteristik kulit (Warna, elastisitas, kelembapan,
kuku, suhu), crt > 3 detik
6. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh behubungan
dengan kurang asupan makanan, ketidakmampuan mencerna makanan
yang ditandai dengan ketidakmampuan memakan makanan
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen dan imobilitas yang ditandai dengan
keletihan, respon frekuensi jantung abnormal terhadap aktivitas
3. Intervensi Keperawatan
DAFTAR PUSTAKA