Anda di halaman 1dari 25

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIS


DENGAN ETIOLOGI HIPERTENSI YANG MENJALANI
HEMODIALISIS DI RUANG HEMODIALISIS
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
dr. SAIFUL ANWAR MALANG

OLEH:
Intan Dwi Arini, S. Kep
NIM 182311101078

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
OKTOBER, 2018
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada Pasien Gagal Ginjal


Kronis dengan Etiologi Hipertensi di Ruang Hemodialisis RSUD dr. Saiful Anwar
Malang telah disetujui dan disahkan pada :
Hari, Tanggal :
Tempat :

Malang, Oktober 2018

Mahasiswa

Intan Dwi Arini,S.Kep


NIM 182311101078

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Fakultas Keperawatan Ruang Hemodialisis
Universitas Jember RSUD dr. Saiful Anwar Malang

Ns. Fitrio Deviantony, M.Kep Giyatno, Amd.Kep


NRP. 760018001 NIP. 19741114 200701 1 005
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Penyakit
1. Anatomi Fisiologi Ginjal
Lokasi ginjal berada pada bagian dari kavum abdominalis area retropertoneal
bagian atas pada kedua sisi vertebra lumbalis III dan melekat langsung pada
dinding abdomen. Bentuk ginjal; seperti biji buah kacang merah yang jumlahnya
ada 2 buah terletak dibagian kiri dan kanan. Berat ginjal pada orang dewasa ± 200
gram dan ginjal laki-laki lebih panjang dari pada ginjal perempuan (Nuari dan
Widayati, 2017). Pada ginjal secara anatomis terjadi menjadi tiga bagian yaitu
kulit (korteks), sumsum ginjal (medula), dan bagian rongga ginjal (pelvis renalis).
Korteks terdapat bagian yang bertugas untu melaksanakan penyaringan darah
yang disebut nefron. Pada tempat penyaringan darah banyak mengandung kapiler
darah yang tersusun bergumpal-gumpal disebut glomerolus. Medula terdiri
beberapa badan berbentuk kerucut yang disebut piramid renal dengan dasarnya
menghadap korteks dan puncaknya (apeks/ papila renis) mengarah ke bagian
dalam ginjal. Rongga renalis merupakan ujung kateter yang berpangkal di ginjal
berbentuk corong lebar. Sebelum berbatasan dengan jaringan ginjal, pelvis renalis
bercabang dua atau tiga disebut kaliks mayor yang masing-masing bercabang
membentuk beberapa kaliks minor yang langsung menutupi papila renis dari
piramid. Kaliks minor ini menampung urine yang terus keluar dari paipila. Dari
kaliks minor urin masuk ke kalik mayor, ke perlvis renis, ke ureter hingga di
tampung dalam kandung kemih (vesika urinaria) (Nauri dan Widayati, 2017).
Struktur mikroskopik ginjal tersusun atas banyak nefron yang merupakan
satuan fungsional ginjal yang terdapat ± 1.000.000 nefron dalam setiap ginjal.
Setiap nefron mulai membentuk sebagai berkas kapiler (Badan Malpighi/
Glomerulus) yang erat tertanam dalam ujung atas yang lebar pada unineferus.
Tubulus ada yang berkelok dan ada yang lurus. Bagian pertama tubulus berkelok-
kelok dan kelokan pertama disebut tubulus proksimal, dan sesudah itu terdapat
sebuah simpai yang disebut simpai henle. Kemudian tubulus tersebut berkelok
lagi yaitu kelokan kedua yang disebut tubulus distal, yang bergabung dengan
tubulus penampung yang berjalan melintasi kortek dan medulla, dan berakhir
dipuncak salah satu piramid ginjal.
Selain tubulus urineferus, struktur ginjal juga berisi pembuluh darah yaitu
arteri renalis yang membawa darah murni dari aorta abdominalis ke ginjal dan
bercabang-cabang di ginjal dan membentuk arteriola aferen (arteriola aferentes),
serta masing-masing membentuk simpul di dalam salah satu glomerulus.
Pembuluh eferen kemudian tampil sebagai arteriola eferen (arteriola eferentes),
yang bercabang-cabang membentuk jaring kapiler disekeliling tubulus uriniferus.
Kapiler-kapiler ini kemudian bergabung lagi untuk membentuk vena renalis, yang
membawa darah ke vena kava inferior. Maka darah yang beredar dalam ginjal
mempunyai dua kelompok kapiler, yang bertujuan agar darah lebih lama
disekeliling tubulus urineferus, karena fungsi ginjal tergantung pada hal tersebut.
Fungsi ginjal dan proses pembentukan urin menurut Syaefudin (2006)
adalah sebagai berikut:
a. Fungsi ginjal
Ginjal adalah organ tubuh yang mempunyai peranan penting dalam sistem
organ tubuh. Kerusakan ginjal akan mempengaruhi kerja organ lain dan sistem
lain dalam tubuh. Ginjal punya dua peranan penting yaitu sebagai organ eskresi
dan non eskresi. Sebagai sistem eskresi ginjal bekerja sebagai filtran senyawa
yang sudah tidak dibutuhkan lagi oleh tubuh seperti urea, natrium dan lain-lain
dalam bentuk urin, maka ginjal juga berfungsi sebagai pembentuk urin.
Selain sebagai sistem ekresi ginjal juga sebagai sistem non ekresi dan
bekerja sebagai penyeimbang asam basa, cairan dan elektrolit tubuh serta fungsi
hormonal. Ginjal mengekresi hormon renin yang mempunyai peran dalam
mengatur tekanan darah (sistem renin angiotensin aldosteron), pengatur hormon
eritropoesis sebagai hormon pengaktif sumsum tulang untuk menghasilkan
eritrosit. Disamping itu ginjal juga menyalurkan hormon dihidroksi kolekalsi
feron (vitamin D aktif), yang dibutuhkan dalam absorsi ion kalsium dalam usus.
b. Pembentukan urin
Urin berasal dari darah yang dibawa oleh arteri renalis masuk ke dalam
ginjal. Darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah merah dan bagian
plasma darah kemudian akan disaring dalam tiga tahap yaitu filtrasi, reabsorbsi,
dan eksresi.
1) Proses Filtrasi
Proses ini terjadi di glomerolus dan terjadi karena tekanan permukaan aferen
lebih besar daripada permukaan eferen sehingga terjado penyerapan darah.
Sedangkan sebagian yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali
protein. Cairan yang disaring disimpan dalam simpai bownman yang terdiri
dari glukosa, air, natrium, klorida sulfat, bikarbonat, dan lain-lain yang
diteruskan ke tubulus ginjal.
2) Proses Reabsorbsi
Proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besari dari glukosa, natrium,
klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal
dengan proses obligator. Proses reabsorbsi ini terjado pada tubulus proksimal
sedangkan pada tubulus dista; terjadi penyerapan kembali natrium dan ion
bikarbonat bila diperlukan. Penyarapan ini terjadi secara aktif dengan
reabsorbsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papila renalis. Reabsorpsi zat
tertentu dapat terjadi secara transpor aktif dan difusi. Sebagai contoh pada sisi
tubulus yang berdekatan dengan lumen tubulus renalis terjadi difusi ion Na+,
sedangkan pada sisi sel tubulus yang berdekatan dengan kapiler terjadi
transpor aktif ion Na+. Adanya transpor aktif Na+ di sel tubulus ke kapiler
menyebabkan menurunnya kadar ion Na+ di sel tubulus renalis, sehingga
difusi Na+ terjadi dari lumen sel tubulus renalis. Pada umumnya zat yang
penting bagi tubuh direabsorpsi secara transpor aktif. Zat-zat penting bagi
tubuh yang secara aktif direabsorpsi adalah protein, asam amino, glukosa, dan
vitamin. Zat-zat tersebut direabsorpsi secara aktif di tubulus proksimal,
sehingga tidak ada lagi di lengkung Henle
3) Proses ekresi atau augmentasi
Sisa dari penyerapan urin yang terjadi pada tubulus akan diteruskan ke piala
ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter dan masuk ke vesika urinaria.
2. Definisi
Gagal ginjal kronis atau suatu penyakit ginjal tahap akhir (ESRD) adalah
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan kesimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah. Gagal
ginjal kronik merupakan suatu perkembangan gagal ginjal yang progresif dan
lambat yang berlangsung beberapa tahun (Nuari dan Widayati, 2017). Gagal
ginjal kronik terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu lagi
mempertahankan lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup
(Baradero dkk, 2008). Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis
dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah
suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang
irreversibel dan memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis
atau transplantasi ginjal (Sukandar, 2006).

3. Epidemiologi
Menurut Kemenkes RI (2017) berdasarkan riskesdas tahun 2013 populasi
umur ≥15 tahun yang terdiagnosis gagal ginjal kronis sebesar 02,% dan angka ini
lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi PGK di negara lainnya. hasil
Pehimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2006 mendapatkan prevalensi
sebesar 12,3%. Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukkan prevalensi meningkat
dengan bertambahnya umur dengan peningkatan tajam pada kelompok umur 35-
44 tahun dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. prevalensi pada laki-laki
(0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi terjadi pada
masyarakat pedesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta,
petani/ nelayan/ buruh (0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan
menengah bawah masing-masing 0,3%. Sedangkan provinsi dengan prevalensi
tertinggi adalah Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo, dan
Sulawesi Utara masing-masing 0,4%.
Gambar 1. Prevalensi Gagal Ginjal Kronis menurut Karakteristik di
Indonesia Tahun 2013

4. Etiologi
Penyebab gagal ginjal kronis salah satunya terdiri dari diabetes militus,
glomerulonefritis kronis, pielonefritis, hipertensi tak terkontrol, obstruksi saluran
kemih, penyakit ginjal polikistik, gangguan vaskuler, lesi herediter, dan agen
toksik (timah, kadmium, dan merkuti) (Nauri dan Widayati, 2017). Ginjal
merupakan sumber dari hormon renin yang memiliki efek langung pada tekanan
darah melalui jalur renin angiotensin. Jika tekanan darah semakin banyak maka
semakin banyak pula renin yang dilepaskan sehingga terjadi peningkatan tekanan
darah sistemik. Apabila mekanisme penyaringan ginjal terganggu oleh penurunan
tekanan hidrostatik dalam gromerolus atau oleh kerusakan glomerolus itu sendiri,
kemampuan ginjal untuk mengeksresi produksi limbah nitrogen dan mengatur air
dan elektrolit mungkin terganggi. Hal ini akhirnya akan menghasilkan gejala
terkait gagal ginjal termasuk retensi cairan yang mengarah ke hipertensi.
Sebaliknya jika tekanan darah meningkat, ada risiko kerusakan pada pembuluh
darah di seluruh tubuh terutama di otak (mengarah ke stroke), pembuluh koroner,
dan pembuluh ginjal. Arteri ginjal atau arteri ginjal yang lebih kecil dapat
menyempit oleh arteriklerosis (misal stenosis arteri ginjal atau penyakit
renovaskular). Ini akan menyebabkan gangguan aliran darah ginjal yang akan
merangsang pelepasan renin, dan siklus hipertensi memburuk. Oleh karena itu
hipertensi dapat menjadi penyebab dan hasil dari penyakit ginjal (Thomas, 2014).
Proporsi terbesar paasien hemodialisis dilatarbelakangi penyakit hipertensi
dan diabetes. Berdasarkan hasil riskesda 2013 prevalensi hipertensi pada
penduduku umur 18 tahun ke atas di Indonesia sebesar 25,6% sedangkan
berdasarkan wawancara telah terdignosisis hipertensi oleh dokter hanya 9,4%
(Kemenskes RI, 2017).

5. Klasifikasi
Tahap perkembangan gagal ginjal kronis:
1. Penurunan cadangan ginjal
a. Sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerolus 40-50% normal
c. BUN dan kreatinin serum masih normal
d. Pasien asimtomatik
2. Insufisiensi ginjal
a. 75-80% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerolus 20-40% normal
c. BUN dan kratinin serum mulai meningkat
d. Anemia ringan dan azotemia ringan
e. Nokturia dan poliuria
3. Gagal ginjal
a. Laju filtrasi glomerolus 10-20% normal
b. BUN dan kreatinin serum meningkat
c. Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik
d. Poliuria dan nokturia
e. Gejala gagal ginjal
4. End Stage Renal Disease (ESRD)
a. Lebih dari 85% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerolus kurang daro 10% normal
c. BUN dan kreatinin tinggi
d. Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik
e. Oliguria
f. Gejala gagal ginjal

6. Patofisiologi Hipertensi menyebabkan Gagal Ginjal Kronik


Peningkatan tekanan dan regangan yang berlangsung kronis pada arteriol
kecil dan glomeruli akan menyebabkan pembuluh ini mengalami sklerosis. Lesi –
lesi sklerotik pada arteri kecil, arteriol dan glomeruli menyebabkan terjadinya
nefrosklerosis. Lesi ini bermula dari adanya kebocoran plasma melalui membran
intima pembuluh-pembuluh ini, hal ini mengakibatkan terbentuknya deposit
fibrinoid di lapisan media pembuluh, yang disertai dengan penebalan progresif
pada dinding pembuluh yang nantinya akan membuat pembuluh darah menjadi
vasokonstriksi dan akan menyumbat pembuluh darah tersebut (Guyton and Hall,
2007). Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus
dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak, yang menyebabkan terjadinya
gagal ginjal kronik (Budiyanto, 2009).
Menurut Nuraini (2015), penyakit gagal ginjal kronik dapat terjadi karena
kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kapiler ginjal dan
glomerolus. Kerusakan glomerolus akan mengakibatkan darah mengalir ke unit-
unit fungsional ginjal, sehingga nefron akan terganggu dan berlanjut menjadi
hipoksia dan kematian ginjal. Kerusakan membran glomerulus juga akan
menyebabkan protein keluar melalui urin sehingga sering dijumpai edema sebagai
akibat dari tekanan osmotik koloid plasma yang berkurang.
Sedangkan menurut Noerhadi (2008), adanya iskemik ginjal menyebabkan
ginjal memproduksi zat renin secara berlebihan. Renin akan bekerja sebagai
enzim terhadap renin substrat yang disebut angiotensinogen (suatu protein yang
dikeluarkan oleh sel-sel hati) dan membentuk angiotensin I yang kemudian
dihidrolisis oleh enzim-enzim tertentu menjadi angiotensin II. Angiotensin II
mempunyai efek yang sangat kuat terhadap :
1. Terjadinya vasokontriksi pembuluh darah
2. Mempengaruhi kelenjar adrenal untuk mengeluarkan hormon aldosteron.
Hormon ini berpengaruh pada reabsorbsi Natrium menjadi berlebihan yang
dapat mempengaruhi volume darah. Adanya vasokontriksi dan volume darah
akan mempengaruhi tekanan darah
3. Mempengaruhi susunan syaraf otonom yaitu pacuan pada syaraf simpatis
hingga terjadi vasokontriksi pembuluh darah

7. Manifestasi Klinis
a) Gangguan kardiovaskuler: hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat
perikarditis, efusi perkardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan,
gangguan irama jantung dan edema
b) Gangguan pulmoner: nafas dangkal, kusmaul, batuk dengan sputum kental
dan riak, suara krekels
c) Gangguan gastrointestinal: anoreksi, nausea, dan vomitus yang
berhubungan dengan metabolic protein dalam usus perdarahan pada
saluran gastrointestinal ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia.
d) Gangguan muskuloskeletal: resiles leg sindrom (pegal pada kakinya
sehingga selalu digerakkan), burning feet syndrom (rasa kesemutan dan
terbakar, terutama ditelapak kaki, miopati (kelemahan dan hipertropi otot-
otot ekstremitas.
e) Gangguan integumen: kulit berwarna pucat dan kekuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal-gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapus.
f) Gangguan endokrin: gangguan seksual: libido fertilitas dan ereksi
menurun, gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic
glukosa, gangguan metabolic lemak dan vitamin D.
g) Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa: biasanya
retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan
dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, dipokalemia.
h) Sistem hematologi: anemia yang disebabkan karena berkurangnya
produksi eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sumsum tulang
berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam
suasan uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan
trombositopenia (Nuari dan Widayati, 2017).

8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut Nuari dan Widayati (2017) adalah sebagai
berikut:
a. Urin
a. Volume: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam atau tidak ada (anuria)
b. Warna: secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan
adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin
c. Berat jenis: kurang dari 350mOsm/Kg menunjukkan kerusakan ginjal
tubular dan rasio urin/serum sering 1:1
d. Clearance kreatinin: mungkin sedikit menurun
e. Natrium : lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium
f. Protein: derajat tinggi proteinuria (3 - 4 +) secara kuar menunjukkan
kerusakan glomerolus bila SDm dan fragmen juga ada.
b. Darah
- BUN/ kreatinin: meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahpa
akhir
- Ht: menurun pada adanya anemia. HB biasanya kurang dari 7-8 gr/dl
- SDM: menurun, defisiensi eritropoitin
- GDA: asidoseis metabolik, pH kurang dari 7,2
- Natrium serum: rendah
- Kalium: meningkat
- Magnesium: meningkat
- Kalsium: menurun
- Protein (albumin): menurun
c. Osmolalitasn serum: lebh dari 285 mOsm/ kg
d. Pelogram retrograd: abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
e. Ultrasono ginjal: menentukan ukuran ginjal dan adanyan masa kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas
f. Endoskopi ginjal nefroskopi: untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu,
hematuria dan pengankatan tumor selektif
g. Arteriogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular

9. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non-Farmakologi


a. Konservatif
1. Dilakukan pemeriksaan lab dan urin
2. Observasi balance cairan
3. Observasi adanya odema
4. Batasi cairan yang masuk
b. Dialysis
1. Peritoneal dialysis: Biasanya dilakukan pada kasus emergency, sedangkan
dialysisi bisa dilakukan dimana saja yng atidak bersifat akut adalah CAPD
(continues Ambulatory Peritonial Dialysis).
2. Hemodilasis: yaitu dialisis yang dilalakukan melalui tindakan infasif di
vena dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodialisis dilakukan
melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan
3. AV fistule: menggabungkan vena dari arteri
4. Double lumen : langsung pada daerah jantung (vaskularisasi ke jantung)
c. Operasi
1. Pengambilan batu
2. Tranplantasi ginjal
.
B. Clinical Pathways

Faktor predisposisi; usia, jenis kelamin, merokok,


stress, kurang olahraga, genetic, alkohol, Hipertensi Kerusakan vaskular pembuluh darah Perubahan Struktur
konsentrasi garam, obesitas

GFR turun Suplai darah ke ginjal turun Gangguan sirkulasi vasokontriksi Penyumbatan pembuluh darah

Kerusakan vaskular
Vasokontriksi pembuluh darah ginjal Gagal Ginjal Kronik
pembuluh darah

Sekresi protein terganggu Retensi Na Sekresi eritropoitin turun

Sindrom Uremia Total CES naik Produksi Hb turun

Oksihemoglobin turun
Gg. Keseimbangan basa Urokrom Perpospatemia Tek. Kapiler naik
tertimbun di kulit Suplai O2 turun
Produksi asam lambung naik Pruritis
Pruriti Vol. interstisial naik
Perubahan warna kulit s Suplai oksigen tubuh tidak adekuat
Iritasi lambung Edema

Hipoksemia Kurangnya suplai oksigen


Risiko infeksi Risiko Perdarahan Kelebihan vol. cairan ke jaringan parifer
Beban jantung naik

Gastritis Hematemesis melena Energi berkurang


Beban jantung naik Preload naik Ketidakefektifan
perfusi jaringan
Nausea Anemia perifer
Hipertrovi ventrikel kiri Payah jantung kiri Intoleransi Aktfitas

Vomiting
Cardiac Output turun Bendungan atrium kiri naik
Ketidakseimbangan Nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh Tekanan vena pulmonalis

Aliran darah Suplai O2 Suplai O2 keotak turun Kapiler paru naik


ginjal turun jaringan turun
Edema paru
Risiko ketidak
RAA turun Metabolisme efektifan perfusi
anaerob jaringan otak Sesak
Retensi Na
dan H2O Asam laktat naik Gangguan pertukaran
gas
Kelebihan Nyeri sendi
volume
cairan Nyeri kronis
C. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Riwayat keperawatan: Terdiri dari identitas pasien, berat badan, tinggi badan,
riwayat penyakit keluarga, riwayat gagal ginjal kronik
b) Pemeriksaan Fisik:
1) Aktivitas
S: keletihan, kelemahan, malaise
O: kelemahan otot, kehilangan tonus
2) Sirkulasi
S: hipotensi/hipertensi, eklamsi/ hipertensi akibat kehamilan, disritmia
jantung
O: nadi lemah/ halus, hipertensi, edema jaringan umum, termasuk area
priorbital, mata kaki, sacrum, pucat, kecenderungan perdarahan.
3) Eliminasi
S: perubahan pola berkemih, biasanya terjadinya peningkatan frekuensi
(poliuri) atau penurunan frekuensi (oliguria), disuria, retensi (inflamasi/
osbstruksi, infeksi).
O: abdomen kembung, diare, konstipasi, riwayat batu/kalkuli
4) Makanan / cairan
S: peningkatan berat badan (edema), penurunan berat badan (dehidrasi),
mual, muntah, anoreksia, nyeri ulu hati, penggunaan diuretik
O: perubahan turgor kulit/ kelembaban edema (umum, bagian bawah)
5) Neurosensori
S: sakit kepala, penglihatan kabur
O: gangguan status mental (ex. Penurunan lapang pandang,
ketidakmampuan berkonsentrasi, hilangnya memori, penurunan tingkat
kesadaran (ozotemia), ketidakseimbangan elektrolit (asam/basa)
6) Nyeri / kenyamanan
S: nyeri tubuh, sakit kepala
O: perilaku hati-hati/ distraksi, gelisah
7) Pernafasan
S: nafas pendek
O: takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi, kedalaman (pernafasan
kusmaul), nafas amonia, batuk produktif dengan sputum kental merah
muda (edema paru)
8) Keamanan
S: adanya reaksi transfusi
O: demam (sepsis, dehidrasi), petekie, area kulit ekimosis, pruritus, kulit
kering, fratur tulang, deposit kalsium, jaringan lunak sendi
Keterbatasan sendi
9) Seksualitas
O: penurunan libido, amenorea, infertilitas
10) Interaksi sosial
O: kesulitasn menentukan kondisi, contoh tidak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran biasanya dalam keluarga

2. Diagnosa keperawatan
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme
regulasi yang ditandai dengan edema, oliguria, ketidakseimbangan
elektrolit.
2. Nyeri kronis berhubungan dengan gangguan metabolik yang ditandai
dengan anoreksia, keluhan tentang instensitas menggunakan skala nyeri,
ekspresi wajah.
3. Gangguan pertukarang gas berhubugan dengan perubahan membran
alveolar kapiler yang ditandai dengan sesak/dispnea, gelisah, pola
pernafasan abnormal.
4. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan
aterosklerosis aortik, dan segmen ventrikel akinetik
5. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer behubungan dengan hipertensi,
diabetes melitus, kurang pengetahuan tentang penyakit dan faktor
pemberat (gaya hidup, merokok, asupan garam, imobilitas) yang ditandai
dengan perubahan karakteristik kulit (Warna, elastisitas, kelembapan,
kuku, suhu), crt > 3 detik
6. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh behubungan
dengan kurang asupan makanan, ketidakmampuan mencerna makanan
yang ditandai dengan ketidakmampuan memakan makanan
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen dan imobilitas yang ditandai dengan
keletihan, respon frekuensi jantung abnormal terhadap aktivitas
3. Intervensi Keperawatan

No Masalah Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC


1. Kelebihan volume cairan (00026) NOC NIC
Keseimbangan cairan (0601) Manajemen elektrolit/cairan (2080)
Tanda-tanda vital (0802) 1. Jaga pencatatan intake/asupan dan output yang
Setelah dilakukan tindakan akurat
keperawatan selama 1x4 jam, 2. Pantau adanya tanda dan gejala retensi cairan
kelebihan volume cairan normal 3. Batasi cairan yang sesuai
dengan kriteria hasili: 4. Siapkan pasien untuk dialisis
1. Tekanan darah normal (110- Monitor cairan ( 4130)
120/80-90) 5. Tentukan jumlah dan jenis intake dan output
2. Kesimbangan intake dan output serta kebiasaan eliminasi
dalam 24 jam 6. Periksa turgor kulit
3. Turgor kulit baik 7. Monitor berat badan
4. Tidak asites 8. Monitor nilai kadar serum dan elektrolit urin
5. Tidak edema perifer
6. Suhu tubuh (N 36,5-37,3C)
7. Irama Pernapasan (16-20
x/menit)
8. Tekanan nadi (60-100 x/menit)
2. Nyeri kronis NOC Manajemen nyeri
Kontrol nyeri (1605) 4. Lakukan pengakjian komprehensif (PQRST)
Kepuasan Pasien: manajemen nyeri 5. Ajarkan prinsip manajemen nyeri
(3016) 6. Kurangi faktor yang menyebabkan atau
Setelah dilakukan tindakan meningkatkan nyeri
keperawatan selama 1x4 jam pasien Manajemen pengobatan
dapat memanajemn nyeri, dengan 7. Pantau kepatuhan mengenai regimen obat
kriteria hasil sebagai berikut: 8. Kaji ulang strategi bersama pasien dalam
1. Nyeri terkontrol mengelola obat-obatan
2. Informasidiberikan untuk
mengelola obat-obatan
3. Pendekatan interventif
digunakan untuk manajemen
nyeri
4. Mengenali kapan nyeri terjadi
5. Menggunakan tindakan
pengurangan nyeri tanpa
analgesik
6. Menggunakan analgesik yang
direkomendasikan
3. Gangguan pertukarang gas NOC Manajemen jalan nafas (3140)
Respon ventilasi mekanik (0411) 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
Setelah dilakukan tindakan 2. Lakukan fisioterapi dada
keperawatan selama 3 jamgangguan 3. Instruksikan pasien untuk melakukan batuk
pertugaran gas membaik, dengan efektif
kriteria hasil sebagai berikut: Manajemen batuk (3250)
1. Saturasi oksigen normal (> 4. Dukung pasien untuk melakukan nafas dalam
95%) berkali-kali
2. Tidak mengalami hipoksia 5. Dukung pasien untuk melakukan batuk efektif
3. Volume tidal kira kira 500 ml Monitor pernafasan (3350)
4. Gerakan dinding dada simetris 6. Monitor kecepatan, kedalaman, dan kesulitan
5. Perfusi jaringan perifer normal, bernafasan
ditandai dengan warna dan suhu 7. Catat pergerakan dada, kesimetrisan, dan
ujungan perifer. penggunaan otot bantu nafas
8. Monitor suara nafas
4. Risiko ketidakefektifan perfusi NOC Identifikasi risiko (6610)
jaringan otak Perfusi jaringan serebral (0406) 1. Identifikasi adanya sumber agensi untuk
Deteksi risiko (1908) membantu menurunkan faktor risiko
Setelah dilakukan tindakan Manajeman edema serebral (2540)
keperawatan selama 3 jam risiko 2. Monitor adanya TIK dan CPP
ketidak efektifan perfusi jaringan 3. Monitor status neurologi dengan ketat dan
tidak timbul/terjadi, dengan kriteria bandingkan dengan nilai normal
hasil sebagai berikut: 4. Monitor ttv
1. Dapat mengenali tanda dan 5. Pertahankan suhu normal
gejala yang mengindikasikan
risiko
2. Melakukan skrinning sesuai
waktu yang dianjurkan
3. Memonitor perubahan status
kesehatan
4. Tekanan intrakranial normal
5. Tekanan darah normal (120/90)
6. Sakit kepala tidak
terjadi/berkurang
7. Tidak mengalami muntah
8. Suhu tubuh normal (36,5-37,5)
5. Ketidakefektifan perfusi jaringan NOC Manajemen cairan (4120)
perifer Perfusi jaringan perifer (0407) 1. Jaga intake dan output pasien
Tanda-tanda vital (0802) 2. Monitor status hidrasi (mukosa)
Setelah dilakukan tindakan 3. Berikan cairan IV sesuai dengan suhu kamar
keperawatan selama 1x4 jam perfusi Pengecekan kulit (3590)
jaringan membaik/ normal dengan 4. Periksa kulit terkait adanya kemerahan dan
kriteria hasil sebagai berikut: kehangatan
1. Suhu normal (36,5-37,5 C) 5. Amati warna, kehangatan, pulsasi pada
2. Tekanan darah normal (120-90 ekstremitas
mmhg) Monitor tanda-tanda vital (6680)
3. Suhu kulit ujung kaki dan 6. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status
tangan hangat pernafasan dengan tepat
4. Tidak terdapat edema perifer
5. Tidak mengalami nekrosis
6. Merasakan sensasi rasa
6. Ketidakseimbangan nutrisi: NOC Manajemen gangguan makan (1030)
kurang dari kebutuhan tubuh Status nutrisi (1004) 1. Monitor intake dan asupan cairan secara tepat
Status nutrisi: Asupan nutrisi (1009) 2. Monitor asupan kalori
Nafsu makan (1014) 3. Monitor tanda-tanda fisiologi (ttv, elektrolit)
Setelah dilakukan tindakan Manajemen nutrisi (1100)
keperawatan selama 1x4 jam nutrisi 4. Atur diet yang diperlukan
pasien terpenuhi, dengan kriteria 5. Anjurkan pasien menegnai modifikasi diet yang
hasil sebagai berikut: diperlukan
1. Asupan gizi (diet protein) 6. Monitor kecenderungan terjadinya penurunan
2. Asupan makanan (mengurangi dan kenaikan berat badan
garam (1,5-2 gr/ hari), kurangi
makanan lemak)
3. Asupan protein (diet protein
sangat rendah < 0,3 g/kgbb, diet
rendah 0,6-0,8 g/kg BB, diet
normal 1-1,2 g/kg BB)
4. Memiliki keinginan untuk
makan
5. Merasakan makanan dengan
baik
7. Intoleransi aktivitas NOC Manajemen energi (0180)
Toleransi terhadap aktivitas (0005) 1. Kaji status fisiologis pasien yang menyebabkan
Tingkat kelelahan (0007) kelelahan
Setelah dilakukan tindakan 2. Monitor intake nutrisi untuk mengetahui sumber
keperawatan selama 3 jam toleransi energi yang adekuat
aktivitas pasien baik, dengan kriteria 3. Monitor sumber kegiatan olahraga dan kelelahan
hasil sebagai berikut: emosional yang dialami pasien
1. Frekuensi nadi ketika aktivitas Terapi aktivitas (4310)
normal (60-100 x/menit) 4. Bantu pasien untuk memilih aktivitas dan
2. Frekuensi pernafasan ketika pencapauan tujuan dengan kemampuan fisik
beraktivitas (16-20 x/ menit) 5. Instruksikan pasien dan keluarga untuk
3. Tekanan darah normal (120/90) melaksanakan aktivitas yang diinginkan maupun
4. Warna kulit merah muda yang telah ditentukan
5. Sakit kepala berkurang
6. Nyeri otot dan sendi berkurang
7. kegiatan sehari-hari (ADL)
terpenuhi/ tidak terganggu
D. Discharge Planning
1) Diet tinggi kalori dan rendah protein
2) Optimalisasi dan pertahankan kesimbangan cairan dan garam
3) Kontrol hipertensi
4) Kontrol ketidakseimbangan elektrolit
5) Deteksi dini dan terapi infeksi
6) Dialisis (cuci darah)
7) Obat- obatan: antihipertensi, suplemen besi, agen pengikat fosfat,
suplemen kalsium, furosemid (membantu berkemih)
8) Transplantasi ginjal

DAFTAR PUSTAKA

Baradero,M., M.W. Dayrit., dan Y. Siswadi. 2008. Klien Gangguan Ginjal.


Jakarta: EGC
Budiyanto, Cakro. 2009. Hubungan Hipertensi dan Diabetes Mellitus terhadap
Gagal Ginjal Kronik. Kedokteran Islam. 10: 1-12.
Indonesian Renal Registry. 2015. 8th Report of Indonesian Renal Registry.
Online. www.indonesianrenalregistry.org . diakses tanggal 14 April 2018.
Keliat, B.A., H.D. Windawarti., A. Pawirowiyono., dan A.Subu. 2015. Nanda
International Inc. Nursing Diagnoses: Definitions & Classifications 2015-
2017. Jakarta: EGC
Kementerian Kesehatan RI. 2017. Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Jakarta:
InfoDatin.
Noerhadi, Moch. 2008. Hipertensi dan Pengaruhnya terhadap Organ-Organ
Tubuh. MEDIKORA. 4(2): 1-18.
Nuari, N.A., dan D. Widayati. 2017. Gangguan pada Sistem Perkemihan dan
Penatalaksanaan Keperawatan. Yogyakarta: Deepublish.
Nuraini, Bianti. 2015. Risk Factor of Hypertension. J Majority. 4(5): 10-21.
Nurarif, A.H., dan H.Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan nanda Nic-Noc. Edivisi Jilid 2. Yogyakarta: Medica
Action
Rahadjo dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Hemodialisis. Jakarta :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Sudoyo. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI
Sukandar, E., 2006. Neurologi Klinik. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi
Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD.
Syaefudin, A.B. 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal &
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Thomas, N. 2014. Renal Nursing. Fourth Editions. Wiley Blackwell.

Anda mungkin juga menyukai