LAPORAN PENDAHULUAN
oleh
Popi Dyah Putri Kartika, S. Kep
NIM 132311101035
Mahasiswa
Ns. Jon Hafan Sutawardana, M. Kep., Sp. Kep.MB Ns. Mohammad Toha S.Kep
NIP. 19840102 201504 1 002 NIP 19670902 199302 1 001
Laporan Pendahuluan Gagal Ginjal Kronik Etiologi Hipertensi
Pada ginjal secara anatomis terjadi menjadi tiga bagian yaitu kulit
(korteks), sumsum ginjal (medula), dan bagian rongga ginjal (pelvis renalis).
Korteks terdapat bagian yang bertugas untuk melaksanakan penyaringan darah
yang disebut nefron. Pada tempat penyaringan darah banyak mengandung kapiler
darah yang tersusun bergumpal-gumpal disebut glomerolus. Medula terdiri
beberapa badan berbentuk kerucut yang disebut piramid renal dengan dasarnya
menghadap korteks dan puncaknya (apeks/ papila renis) mengarah ke bagian
dalam ginjal. Rongga renalis merupakan ujung kateter yang berpangkal di ginjal
berbentuk corong lebar. Sebelum berbatasan dengan jaringan ginjal, pelvis renalis
bercabang dua atau tiga disebut kaliks mayor yang masing-masing bercabang
membentuk beberapa kaliks minor yang langsung menutupi papila renis dari
piramid. Kaliks minor ini menampung urine yang terus keluar dari paipila. Dari
kaliks minor urin masuk ke kalik mayor, ke perlvis renis, ke ureter hingga di
tampung dalam kandung kemih (vesika urinaria) (Nauri dan Widayati, 2017).
Selain tubulus urineferus, struktur ginjal juga berisi pembuluh darah yaitu
arteri renalis yang membawa darah murni dari aorta abdominalis ke ginjal dan
bercabang-cabang di ginjal dan membentuk arteriola aferen (arteriola aferentes),
serta masing-masing membentuk simpul di dalam salah satu glomerulus.
Pembuluh eferen kemudian tampil sebagai arteriola eferen (arteriola eferentes),
yang bercabang-cabang membentuk jaring kapiler disekeliling tubulus uriniferus.
Kapiler-kapiler ini kemudian bergabung lagi untuk membentuk vena renalis, yang
membawa darah ke vena kava inferior. Maka darah yang beredar dalam ginjal
mempunyai dua kelompok kapiler, yang bertujuan agar darah lebih lama
disekeliling tubulus urineferus, karena fungsi ginjal tergantung pada hal tersebut.
a. Fungsi ginjal
Ginjal adalah organ tubuh yang mempunyai peranan penting dalam sistem
organ tubuh. Kerusakan ginjal akan mempengaruhi kerja organ lain dan sistem
lain dalam tubuh. Ginjal punya dua peranan penting yaitu sebagai organ eskresi
dan non eskresi. Sebagai sistem eskresi ginjal bekerja sebagai filtran senyawa
yang sudah tidak dibutuhkan lagi oleh tubuh seperti urea, natrium dan lain-lain
dalam bentuk urin, maka ginjal juga berfungsi sebagai pembentuk urin.
Selain sebagai sistem ekresi ginjal juga sebagai sistem non ekresi dan
bekerja sebagai penyeimbang asam basa, cairan dan elektrolit tubuh serta fungsi
hormonal. Ginjal mengekresi hormon renin yang mempunyai peran dalam
mengatur tekanan darah (sistem renin angiotensin aldosteron), pengatur hormon
eritropoesis sebagai hormon pengaktif sumsum tulang untuk menghasilkan
eritrosit. Disamping itu ginjal juga menyalurkan hormon dihidroksi kolekalsi
feron (vitamin D aktif), yang dibutuhkan dalam absorsi ion kalsium dalam usus.
b. Pembentukan urin
Urin berasal dari darah yang dibawa oleh arteri renalis masuk ke dalam
ginjal. Darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah merah dan bagian
plasma darah kemudian akan disaring dalam tiga tahap yaitu filtrasi, reabsorbsi,
dan eksresi.
1) Proses Filtrasi
Proses ini terjadi di glomerolus dan terjadi karena tekanan permukaan aferen
lebih besar daripada permukaan eferen sehingga terjadi penyerapan darah.
Sedangkan sebagian yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali
protein. Cairan yang disaring disimpan dalam simpai bownman yang terdiri
dari glukosa, air, natrium, klorida sulfat, bikarbonat, dan lain-lain yang
diteruskan ke tubulus ginjal.
2. Epidemiologi
Menurut Kemenkes RI (2017) berdasarkan riskesdas tahun 2013 populasi
umur ≥15 tahun yang terdiagnosis gagal ginjal kronis sebesar 02,% dan angka ini
lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi PGK di negara lainnya. hasil
Pehimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2006 mendapatkan prevalensi
sebesar 12,3%. Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukkan prevalensi meningkat
dengan bertambahnya umur dengan peningkatan tajam pada kelompok umur 35-
44 tahun dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. prevalensi pada laki-laki
(0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi terjadi pada
masyarakat pedesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta,
petani/ nelayan/ buruh (0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan
menengah bawah masing-masing 0,3%. Sedangkan provinsi dengan prevalensi
tertinggi adalah Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo, dan
Sulawesi Utara masing-masing 0,4%. Semua pasien yang menjalani dialisis
memiliki diagnose utama kelainan ginjal yang menyebabkan pasien harus
mendapat pelayanan dialisis. Pasien dengan gagal ginjal kronik atau terminal
(ESRD) merupakan pasien sebanyak 89% diikuti dengan pasien gagal ginjal akut/
ARF sebanyak 7% dan pasien gagal ginjal akut pada GGK sebanyak 4%.
Peningkatan jumlah pasien gagal ginjal aut menjalani dialisis dapat diasumsikan
bahwa pasien tersebut dengan kondisi berat sehingga memerlukan terapi
pendukung ginjal (renal support) (Indonesian Renal Registry, 2015).
3. Etiologi
4. Klasifikasi
Tahap perkembangan gagal ginjal kronik
a) Penurunan cadangan ginjal
Sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi
Laju filtrasi glomerolus 40-50% normal
BUN dan kreatinin serum masih normal
Pasien asimtomatik
b) Insufisiensi ginjal
75-80% nefron tidak berfungsi
Laju filtrasi glomerolus 20-40% normal
BUN dan kratinin serum mulai meningkat
Anemia ringan dan azotemia ringan
Nokturia dan poliuria
c) Gagal ginjal
Laju filtrasi glomerolus 10-20% normal
BUN dan kreatinin serum meningkat
Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik
Berat jenis urine
Poliuria dan nokturia
Gejala gagal ginjal
d) End Stage Renal Disease (ESRD)
Lebih dari 85% nefron tidak berfungsi
Laju filtrasi glomerolus kurang daro 10% normal
BUN dan kreatinin tinggi
Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik
Berat jenis urine tetap 1,010
Oliguria
Gejala gagal ginjal
5. Patofisiologi
Selama gagal ginjal kronik beberapa nefron termasuk glomeruli dan tubula
masih berfungsi, sedangkan nefron yang lain sudah rusak dan tidak berfungsi
lagi. Nefron yang masih utuh dan berfungsi mengalami hipertrofi dan
menghasilkan filtrat dalam jumlah banyak. Reabsoprsi tubula juga meningkat
walaupun laju filtrasi glomerolus berkurang. Kompensasi nefron yang masih utuh
dapat membuat ginjal mempertahankan fungsinya sampai tiga perempat nefron
rusak. Solut dalam cairan menjadi lebih banyak dari yang dapat direabsorpsi dan
mengakibatkan diuresis osmotik dengan poliuria dan haus. Akhirnya nefron yang
rusak bertambah dan terjadi oliguria aibat sisa metabolisme tidak dieksresikan.
Tanda dan gejala yang akibat cairan dan elektrolit yang tidak seimbang,
perubahan fungsi regulator tubuh dan retensi solut. Anemia terjadi karena
produksi eritrosit juga terganggu (sekresi eritropoitein ginjal berkurang). Pasien
mengeluh cepat lelah, pusing, dan letargi. Hiperurisemia sering ditemukan pada
pasien dengan ESRD fosfat serum juga meningkat, tetapi kalsium mungkin
normal atau di bawah normal. hal ini disebabkan eksresi ginjal terhadap fosfat
menurun. Ada peningkatan produksi parathormon sehingga kalsium serum
mungkin normal.
Tekanan darah meningkat karena adnya hipovolemia, ginjal mengeluarkan
vasopresor (renin). Kulit pasien juga mengalami hiperpigmentasi serta kulit
tampak kekuningan atau kecoklatan. Uremic frost adalah kristal deposit yang
tampak pada pori-pori kulit. Sisa metabolisme yang tidak dapat dieksresikan oleh
ginjal dieksresikan melalui kapiler kulit yang halus sehingga tampak uremic
frost. Pasien dengan gagal ginjal yang berkembang dan menjadi berat (tanpa
pengobatan yang efektif), dapat mengalami pruritis. Tanda ini dapat hilang
apabila kegagalan ginjal ditanagani dengan modifikasi diet, medikasi, dan/atau
dialisis. Gejala uremia terjadi sangat perlahan sehingga pasien tidak dapat
menyebutkan awitan uremianya. Gejala azotemia juga berkembang, termasuk
letargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan menurun, cepat
marah, dan depresi. Gagal ginjal yang berat menunjukkan gejala anoreksia, mual,
dan muntah yang berlangsung terus, pernapasan pendek, edema pitting, serta
pruritus.
Wanita dengan ESRD yang sudah berkembang mengalami perubahan
siklus mentsruasi. Kemungkinan terjadi perdarahan di antara menstruasi (ringan
atau berat) atau menstruasi berhenti sama sekali. Perubahan pada menstruasi
dapat mengakibatkan infetilitas. Pria dapat mengalami kesulitan ereksi. Apabila
80-90% fungsi ginjal sudah hilang, pasien akan menunjukkan kegagalan ginjal
yang khas. Sekitar 30-70% dari pasien dengan gagal ginjal kronik mengalami
hipertrigliserida ateroskelrosis mungkin terjadi sebagai akibat peningkatan rasio
high density lipoprotein (HDL) (Baradero dkk, 2008).
6. Manifestasi Klinis
a. Gangguan kardiovaskuler: hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat
perikarditis, efusi perkardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan,
gangguan irama jantung dan edema.
b. Gangguan pulmoner: nafas dangkal, kusmaul, batuk dengan sputum kental
dan riak, suara krekels.
c. Gangguan gastrointestinal: anoreksi, nausea, dan fomitus yang berhubungan
dengan metabolic protein dalam usus perdarahan pada saluran gastrointestinal
ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia.
d. Gangguan muskuloskeletal: resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga
selalu digerakkan), burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar,
terutama ditelapak kaki, miopati (kelemahan dan hipertropi otot-otot
ekstremitas.
e. Gangguan integumen: kulit berwarna pucat dan kekuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal-gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapus.
f. Gangguan endokrin: gangguan seksual: libido fertilitas dan ereksi menurun,
gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan
metabolic lemak dan vitamin D.
g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa: biasanya retensi
garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi,
asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, dipokalemia.
h. Sistem hematologi: anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi
eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sumsum tulang berkurang,
hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasan uremia
toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopenia
(Nuari dan Widayati, 2017).
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurun (Nuari dan Widayati, 2017) sebagai berikut:
a. Urin
Volume: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam atau tak ada (anuria)
Warna: secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan
adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin
Berta jenis: kurang dari 350mOsm/Kg menunjukkan kerusakan ginjal
tubular dan rasio urin/serum sering 1:1
Klirens kreatinin: mungkin agak menurun
Natrium : lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium
Protein: derajat tinggi proteinuria (3 - 4 +) secara kuar menunjukkan
kerusakan glomerolus bila SDm dan fragmen juga ada.
b. Darah
BUN/ kreatinin: meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahpa akhir
Ht: menurun pada adanya anemia. HB biasanya kurang dari 7-8 gr/dl
SDM: menurun, defisiensi eritropoitin
GDA: asidoseis metabolik, pH kurang dari 7,2
Natrium serum: rendah
Kalium: meningkat
Magnesium: meningkat
Kalsium: menurun
Protein (albumin): menurun
c. Osmolalitasn serum: lebh dari 285 mOsm/ kg
d. Pelogram retrograd: abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
e. Ultrasono ginjal: menentukan ukuran ginjal dan adanyan masa kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas
f. Endoskopi ginjal nefroskopi: untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu,
hematuria dan pengankatan tumor selektif
g. Arteriogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular, masa
h. EKG: ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.
8. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Konservatif
1. Dilakukan pemeriksaan lab dan urin
2. Observasi balance cairan
3. Observasi adanya odema
4. Batasi cairan yang masuk
b. Dialysis
1. Peritoneal dialysisi: Biasanya dilakukan pada kasus emergency, sedangkan
dialysisi bisa dilakukan dimana saja yng atidak bersifat akut adalah CAPD
(continues Ambulatory Peritonial Dialysis).
2. Hemodilasis: yaitu dialisis yang dilalakukan melalui tindakan infasif di
vena dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodialisis dilakukan
melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan
3. AV fistule: menggabungkan vena dari arteri
4. Double lumen : langsung pada daerah jantung (vaskularisasi ke jantung)
c. Operasi
1. Pengambilan batu
2. Tranpalansi ginjal
3. Konsep Hemodialisis
A. Definisi Hemodilasis
B. Proses Hemodialisis
Pasien akan terpajan dengan cairan dialisat sebanyak 120-150 liter setiap
dialisis. Zat dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam cairan dialisat dapat
berdifusi ke dalam darah. Untuk itu, diperlukan reverse osmosis. Air akan
melewati pori-pori membran semi-permeabel sehingga dapat menahan zat dengan
berat molekul ringan. Terdapat dua jenis cairan dialisat, yaitu asetat dan
bikarbonat. Cairan asetat bersifat asam dan dapat mengurangi kemampuan tubuh
untuk vasokonstriksi yang diperlukan tubuh untuk memperbaiki gangguan
hemodinamik yang terjadi setelah hemodialisis. Sementara cairan bikarbonat
bersifat basa, sehingga dapat menetralkan asidosis yang biasa terdapat pada pasien
GGK. Cairan bikarbonat juga tidak menyebabkan vasokonstriksi (Sudoyo, 2009).
GFR turun Suplai darah ke ginjal turun Gangguan sirkulasi vasokontriksi Penyumbatan pembuluh darah
Kerusakan vaskular
Vasokontriksi pembuluh darah ginjal Gagal Ginjal Kronik
pembuluh darah
Oksihemoglobin turun
Gg. Keseimbangan basa Urokrom Perpospatemia Tek. Kapiler naik
tertimbun di kulit Suplai O2 turun
Produksi as.Lambung naik Pruritis
Pruriti Vol. interstisial naik
Perubahan warna kulit s Suplai oksigen tubuh tidak adekuat
Iritasi lambung Edema
Kerusakan Integritas kulit Hipoksemia Kurangnya suplai oksigen
Risiko infeksi Risiko Perdarahan Kelebihan vol. cairan ke jaringan parifer
Vomiting Keletihan
Cardiac Output turun Bendungan atrium kiri naik
Ketidakseimbangan Nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh Tekanan vena pulmonalis
b. Diagnosa keperawatan
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
yang ditandai dengan edema, oliguria, ketidakseimbangan elektrolit.
2. Nyeri kronis berhubungan dengan gangguan metabolik yang ditandai dengan
anoreksia, keluhan tentang instensitas menggunakan skala nyeri, ekspresi
wajah.
3. Gangguan pertukarang gas berhubugan dengan perubahan membran alveolar
kapiler yang ditandai dengan sesak/dispnea, gelisah, pola pernafasan
abnormal.
4. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan
aterosklerosis aortik, dan segmen ventrikel akinetik
5. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer behubungan dengan hipertensi,
diabetes melitus, kurang pengetahuan tentang penyakit dan faktor pemberat
(gaya hidup, merokok, asupan garam, imobilitas) yang ditandai dengan
perubahan karakteristik kulit (Warna, elastisitas, kelembapan, kuku, suhu),
crt > 3 detik
6. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh behubungan dengan
kurang asupan makanan, ketidakmampuan mencerna makanan yang ditandai
dengan ketidakmampuan memakan makanan
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen dan imobilitas yang ditandai dengan keletihan, respon
frekuensi jantung abnormal terhadap aktivitas
8. Keletihan berhubungan dengan kelesuan fisiologis yang ditandai dengan
letargi, penurunan performa, dan kelelahan.
9. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguang pigmentasi dan
gangguan turgor kulit.
c. Intervensi
F. Discharge Planning
1. Diet tinggi kalori dan rendah protein
2. Optimalisasi dan pertahankan kesimbangan cairan dan garam
3. Kontrol hipertensi
4. Kontrol ketidakseimbangan elektrolit
5. Deteksi dini dan terapi infeksi
6. Dialisis (cuci darah)
7. Obat- obatan: antihipertensi, suplemen besi, agen pengikat fosfat,
suplemen kalsium, furosemid (membantu berkemih)
8. Transplantasi ginjal
DAFTAR PUSTAKA
Rahadjo dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Hemodialisis. Jakarta :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Sukandar, E., 2006. Neurologi Klinik. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi
Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD.
Syaefudin, A.B. 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal &
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.