Anda di halaman 1dari 38

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK


DENGAN ETIOLOGI HIPERTENSI DI RUANG HEMODIALISA
RUMAH SAKIT DAERAH dr. SOEBANDI JEMBER

oleh
Popi Dyah Putri Kartika, S. Kep
NIM 132311101035

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
JUNI, 2018
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan pada Pasien dengan Gagal Ginjal Kronik dengan


Etiologi Hipertensi yang Menjalani Hemodialisa RSD dr. Soebandi Jember telah
disetujui dan di sahkan pada :
Hari, Tanggal : Rabu, 20 Juni 2018
Tempat : Ruang Hemodialisa RSD dr. Soebandi Jember

Jember, 20 Juni 2018

Mahasiswa

Popi Dyah Putri Kartika, S.Kep.


NIM 132311101035

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Stase Keperawatan Medikal Ruang Hemodialisa
Fkep Universitas Jember RSD dr. Soebandi Jember

Ns. Jon Hafan Sutawardana, M. Kep., Sp. Kep.MB Ns. Mohammad Toha S.Kep
NIP. 19840102 201504 1 002 NIP 19670902 199302 1 001
Laporan Pendahuluan Gagal Ginjal Kronik Etiologi Hipertensi

A. Anatomi dan Fisiologi Ginjal


Lokasi ginjal berada pada bagian dari kavum abdominalis area
retropertoneal bagian atas pada kedua sisi vertebra lumbalis III dan melekat
langsung pada dinding abdomen. Bentuk ginjal seperti biji buah kacang merah
yang jumlahnya ada 2 buah terletak dibagian kiri dan kanan. Berat ginjal pada
orang dewasa ± 200 gram dan ginjal laki-laki lebih panjang dari pada ginjal
perempuan (Nuari dan Widayati, 2017).

Gambar 1. Anatomi Ginjal

Pada ginjal secara anatomis terjadi menjadi tiga bagian yaitu kulit
(korteks), sumsum ginjal (medula), dan bagian rongga ginjal (pelvis renalis).
Korteks terdapat bagian yang bertugas untuk melaksanakan penyaringan darah
yang disebut nefron. Pada tempat penyaringan darah banyak mengandung kapiler
darah yang tersusun bergumpal-gumpal disebut glomerolus. Medula terdiri
beberapa badan berbentuk kerucut yang disebut piramid renal dengan dasarnya
menghadap korteks dan puncaknya (apeks/ papila renis) mengarah ke bagian
dalam ginjal. Rongga renalis merupakan ujung kateter yang berpangkal di ginjal
berbentuk corong lebar. Sebelum berbatasan dengan jaringan ginjal, pelvis renalis
bercabang dua atau tiga disebut kaliks mayor yang masing-masing bercabang
membentuk beberapa kaliks minor yang langsung menutupi papila renis dari
piramid. Kaliks minor ini menampung urine yang terus keluar dari paipila. Dari
kaliks minor urin masuk ke kalik mayor, ke perlvis renis, ke ureter hingga di
tampung dalam kandung kemih (vesika urinaria) (Nauri dan Widayati, 2017).

Gambar 2. Bagian-bagian Ginjal

Struktur mikroskopik ginjal tersusun atas banyak nefron yang merupakan


satuan fungsional ginjal yang terdapat ± 1.000.000 nefron dalam setiap ginjal.
Setiap nefron mulai membentuk sebagai berkas kapiler (Badan Malpighi/
Glomerulus) yang erat tertanam dalam ujung atas yang lebar pada unineferus.
Tubulus ada yang berkelok dan ada yang lurus. Bagian pertama tubulus berkelok-
kelok dan kelokan pertama disebut tubulus proksimal, dan sesudah itu terdapat
sebuah simpai yang disebut simpai henle. Kemudian tubulus tersebut berkelok
lagi yaitu kelokan kedua yang disebut tubulus distal, yang bergabung dengan
tubulus penampung yang berjalan melintasi kortek dan medulla, dan berakhir
dipuncak salah satu piramid ginjal.
Gambar 3. Bagian Mikrosopik ginjal

Selain tubulus urineferus, struktur ginjal juga berisi pembuluh darah yaitu
arteri renalis yang membawa darah murni dari aorta abdominalis ke ginjal dan
bercabang-cabang di ginjal dan membentuk arteriola aferen (arteriola aferentes),
serta masing-masing membentuk simpul di dalam salah satu glomerulus.
Pembuluh eferen kemudian tampil sebagai arteriola eferen (arteriola eferentes),
yang bercabang-cabang membentuk jaring kapiler disekeliling tubulus uriniferus.
Kapiler-kapiler ini kemudian bergabung lagi untuk membentuk vena renalis, yang
membawa darah ke vena kava inferior. Maka darah yang beredar dalam ginjal
mempunyai dua kelompok kapiler, yang bertujuan agar darah lebih lama
disekeliling tubulus urineferus, karena fungsi ginjal tergantung pada hal tersebut.

Fungsi ginjal dan proses pembentukan urin menurut Syaefudin (2006)


sebagai berikut:

a. Fungsi ginjal

Ginjal adalah organ tubuh yang mempunyai peranan penting dalam sistem
organ tubuh. Kerusakan ginjal akan mempengaruhi kerja organ lain dan sistem
lain dalam tubuh. Ginjal punya dua peranan penting yaitu sebagai organ eskresi
dan non eskresi. Sebagai sistem eskresi ginjal bekerja sebagai filtran senyawa
yang sudah tidak dibutuhkan lagi oleh tubuh seperti urea, natrium dan lain-lain
dalam bentuk urin, maka ginjal juga berfungsi sebagai pembentuk urin.
Selain sebagai sistem ekresi ginjal juga sebagai sistem non ekresi dan
bekerja sebagai penyeimbang asam basa, cairan dan elektrolit tubuh serta fungsi
hormonal. Ginjal mengekresi hormon renin yang mempunyai peran dalam
mengatur tekanan darah (sistem renin angiotensin aldosteron), pengatur hormon
eritropoesis sebagai hormon pengaktif sumsum tulang untuk menghasilkan
eritrosit. Disamping itu ginjal juga menyalurkan hormon dihidroksi kolekalsi
feron (vitamin D aktif), yang dibutuhkan dalam absorsi ion kalsium dalam usus.

b. Pembentukan urin

Urin berasal dari darah yang dibawa oleh arteri renalis masuk ke dalam
ginjal. Darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah merah dan bagian
plasma darah kemudian akan disaring dalam tiga tahap yaitu filtrasi, reabsorbsi,
dan eksresi.

1) Proses Filtrasi
Proses ini terjadi di glomerolus dan terjadi karena tekanan permukaan aferen
lebih besar daripada permukaan eferen sehingga terjadi penyerapan darah.
Sedangkan sebagian yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali
protein. Cairan yang disaring disimpan dalam simpai bownman yang terdiri
dari glukosa, air, natrium, klorida sulfat, bikarbonat, dan lain-lain yang
diteruskan ke tubulus ginjal.

Gambar 4. Mekanisme Pembentukan Urin


2) Proses Reabsorbsi
Proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besari dari glukosa, natrium,
klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal
dengan proses obligator. Proses reabsorbsi ini terjadi pada tubulus proksimal
sedangkan pada tubulus distal terjadi penyerapan kembali natrium dan ion
bikarbonat bila diperlukan. Penyarapan ini terjadi secara aktif dengan
reabsorbsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papila renalis.
Reabsorpsi zat tertentu dapat terjadi secara transpor aktif dan difusi. Sebagai
contoh pada sisi tubulus yang berdekatan dengan lumen tubulus renalis terjadi
difusi ion Na+, sedangkan pada sisi sel tubulus yang berdekatan dengan
kapiler terjadi transpor aktif ion Na+. Adanya transpor aktif Na+ di sel
tubulus ke kapiler menyebabkan menurunnya kadar ion Na+ di sel tubulus
renalis, sehingga difusi Na+ terjadi dari lumen sel tubulus renalis. Pada
umumnya zat yang penting bagi tubuh direabsorpsi secara transpor aktif. Zat-
zat penting bagi tubuh yang secara aktif direabsorpsi adalah protein, asam
amino, glukosa, dan vitamin. Zat-zat tersebut direabsorpsi secara aktif di
tubulus proksimal, sehingga tidak ada lagi di lengkung Henle.

Gambar 5. Mekanisme reabsorpsi air dalam ginjal


3) Proses ekresi atau augmentasi
Sisa dari penyerapan urin yang terjadi pada tubulus akan diteruskan ke piala
ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter dan masuk ke fesika urinaria.
Tabel 1. Bagian dan Fungsi Utama Nefron
Bagian dan fungsi utama nefron
Kapsula Bowman Filtrasi: ultrafiltrasi dan plasma masuk ke dalam
kapsula Bowman dan mengalir ke tubulus
kontortus proksimal

Tubulus kontortus Obligatory rearbsorption(66% dari filtrat


proksimal glomeruli): natrium, kalium, klorida, bikarbonat,
dan elektrolit. Lainnya: glukosa, asam amino,
air, dan urea. Sekresi: ion hidrogen, obat, dan
toksin

Ansa Henle Reabsorpsi (25% dari filtrat glomeruli): klorida,


natrium, ion kalsium, air, dan urea

Tubulus kontortus distal Facilitatory rearbsorption (9% dari filtrat


glomeruli): natrium, klorida, bikarbonat, air, dan
urea. Sekresi: hidrogen, kalium, dan amonia

Duktus koligentes Facilitatory rearbsorption: air dan urea

B. Gagal Ginjal Kronik


1. Definisi
Gagal ginjal kronis atau suatu penyakit renal tahap akhir (ESRD) adalah
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan kesimbangan cairan dan
elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah). Gagal ginjal kronik suatu perkembangan gagal ginjal yang progresif dan
lambat yang berlangsung beberapa tahun (Nuari dan Widayati, 2017). Gagal
ginjal kronik terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu lagi
mempertahankan lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup
(Baradero dkk, 2008).
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi
yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis
yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel dan memerlukan
terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal
(Sukandar, 2006).

Gambar 6. Perbedaan Ginjal Normal dan Tidak Normal

2. Epidemiologi
Menurut Kemenkes RI (2017) berdasarkan riskesdas tahun 2013 populasi
umur ≥15 tahun yang terdiagnosis gagal ginjal kronis sebesar 02,% dan angka ini
lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi PGK di negara lainnya. hasil
Pehimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2006 mendapatkan prevalensi
sebesar 12,3%. Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukkan prevalensi meningkat
dengan bertambahnya umur dengan peningkatan tajam pada kelompok umur 35-
44 tahun dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. prevalensi pada laki-laki
(0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi terjadi pada
masyarakat pedesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta,
petani/ nelayan/ buruh (0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan
menengah bawah masing-masing 0,3%. Sedangkan provinsi dengan prevalensi
tertinggi adalah Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo, dan
Sulawesi Utara masing-masing 0,4%. Semua pasien yang menjalani dialisis
memiliki diagnose utama kelainan ginjal yang menyebabkan pasien harus
mendapat pelayanan dialisis. Pasien dengan gagal ginjal kronik atau terminal
(ESRD) merupakan pasien sebanyak 89% diikuti dengan pasien gagal ginjal akut/
ARF sebanyak 7% dan pasien gagal ginjal akut pada GGK sebanyak 4%.
Peningkatan jumlah pasien gagal ginjal aut menjalani dialisis dapat diasumsikan
bahwa pasien tersebut dengan kondisi berat sehingga memerlukan terapi
pendukung ginjal (renal support) (Indonesian Renal Registry, 2015).

Gambar 8. Persentase Diagnosa Utama Pasien HD di Indonesia Tahun 2015

3. Etiologi

Penyebab gagal ginjal kronis salah terdiri dari diabetes militus,


glomerulonefritis kronis, pielonefritis, hipertensi tak terkontrol, obstruksi saluran
kemih, penyakit ginjal polikistik, gangguan vaskuler, lesi herediter, dan agen
toksik (timah, kadmium, dan merkuti) (Nauri dan Widayati, 2017).
Ginjal merupakan sumber dari hormon renin yang memiliki efek langung
pada tekanan darah melalui jalur renin angiotensin. Jika tekanan darah semakin
banyak maka semakin banyak pula renin yang dilepaskan sehingga terjadi
peningkatan tekanan darah sistemik. Apabila mekanisme penyaringan ginjal
terganggu oleh penurunan tekanan hidrostatik dalam glomerolus atau oleh
kerusakan glomerolus itu sendiri, kemampuan ginjal untuk mengeksresi produksi
limbah nitrogen dan mengatur air dan elektrolit mungkin terganggu. Hal ini
akhirnya akan menghasilkan gejala terkait gagal ginjal termasuk retensi cairan
yang mengarah ke hipertensi. Sebaliknya jika tekanan darah meningkat, ada
risiko kerusakan pada pembuluh darah di seluruh tubuh terutama di otak
(mengarah ke stroke), pembuluh koroner, dan pembuluh ginjal. Arteri ginjal atau
vena ginjal yang lebih kecil dapat menyempit oleh arteriklerosis (misal stenosis
arteri ginjal atau penyakit renovaskular). Ini akan menyebabkan gangguan aliran
darah ginjal yang akan merangsang pelepasan renin, dan siklus hipertensi
memburuk. Oleh karena itu hipertensi dapat menjadi penyebab dan hasil dari
penyakit ginjal (Thomas, 2014).
Proporsi terbesar paasien hemodialisis dilatarbelakangi penyakit hipertensi
dan diabetes. Berdasarkan hasil riskesdas 2013 prevalensi hipertensi pada
penduduku umur 18 tahun ke atas di Indonesia sebesar 25,6% sedangkan
berdasarkan wawancara telah terdignosisis hipertensi oleh dokter hanya 9,4%
(Kemenskes RI, 2017).

4. Klasifikasi
Tahap perkembangan gagal ginjal kronik
a) Penurunan cadangan ginjal
 Sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi
 Laju filtrasi glomerolus 40-50% normal
 BUN dan kreatinin serum masih normal
 Pasien asimtomatik
b) Insufisiensi ginjal
 75-80% nefron tidak berfungsi
 Laju filtrasi glomerolus 20-40% normal
 BUN dan kratinin serum mulai meningkat
 Anemia ringan dan azotemia ringan
 Nokturia dan poliuria
c) Gagal ginjal
 Laju filtrasi glomerolus 10-20% normal
 BUN dan kreatinin serum meningkat
 Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik
 Berat jenis urine
 Poliuria dan nokturia
 Gejala gagal ginjal
d) End Stage Renal Disease (ESRD)
 Lebih dari 85% nefron tidak berfungsi
 Laju filtrasi glomerolus kurang daro 10% normal
 BUN dan kreatinin tinggi
 Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik
 Berat jenis urine tetap 1,010
 Oliguria
 Gejala gagal ginjal

5. Patofisiologi

Selama gagal ginjal kronik beberapa nefron termasuk glomeruli dan tubula
masih berfungsi, sedangkan nefron yang lain sudah rusak dan tidak berfungsi
lagi. Nefron yang masih utuh dan berfungsi mengalami hipertrofi dan
menghasilkan filtrat dalam jumlah banyak. Reabsoprsi tubula juga meningkat
walaupun laju filtrasi glomerolus berkurang. Kompensasi nefron yang masih utuh
dapat membuat ginjal mempertahankan fungsinya sampai tiga perempat nefron
rusak. Solut dalam cairan menjadi lebih banyak dari yang dapat direabsorpsi dan
mengakibatkan diuresis osmotik dengan poliuria dan haus. Akhirnya nefron yang
rusak bertambah dan terjadi oliguria aibat sisa metabolisme tidak dieksresikan.
Tanda dan gejala yang akibat cairan dan elektrolit yang tidak seimbang,
perubahan fungsi regulator tubuh dan retensi solut. Anemia terjadi karena
produksi eritrosit juga terganggu (sekresi eritropoitein ginjal berkurang). Pasien
mengeluh cepat lelah, pusing, dan letargi. Hiperurisemia sering ditemukan pada
pasien dengan ESRD fosfat serum juga meningkat, tetapi kalsium mungkin
normal atau di bawah normal. hal ini disebabkan eksresi ginjal terhadap fosfat
menurun. Ada peningkatan produksi parathormon sehingga kalsium serum
mungkin normal.
Tekanan darah meningkat karena adnya hipovolemia, ginjal mengeluarkan
vasopresor (renin). Kulit pasien juga mengalami hiperpigmentasi serta kulit
tampak kekuningan atau kecoklatan. Uremic frost adalah kristal deposit yang
tampak pada pori-pori kulit. Sisa metabolisme yang tidak dapat dieksresikan oleh
ginjal dieksresikan melalui kapiler kulit yang halus sehingga tampak uremic
frost. Pasien dengan gagal ginjal yang berkembang dan menjadi berat (tanpa
pengobatan yang efektif), dapat mengalami pruritis. Tanda ini dapat hilang
apabila kegagalan ginjal ditanagani dengan modifikasi diet, medikasi, dan/atau
dialisis. Gejala uremia terjadi sangat perlahan sehingga pasien tidak dapat
menyebutkan awitan uremianya. Gejala azotemia juga berkembang, termasuk
letargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan menurun, cepat
marah, dan depresi. Gagal ginjal yang berat menunjukkan gejala anoreksia, mual,
dan muntah yang berlangsung terus, pernapasan pendek, edema pitting, serta
pruritus.
Wanita dengan ESRD yang sudah berkembang mengalami perubahan
siklus mentsruasi. Kemungkinan terjadi perdarahan di antara menstruasi (ringan
atau berat) atau menstruasi berhenti sama sekali. Perubahan pada menstruasi
dapat mengakibatkan infetilitas. Pria dapat mengalami kesulitan ereksi. Apabila
80-90% fungsi ginjal sudah hilang, pasien akan menunjukkan kegagalan ginjal
yang khas. Sekitar 30-70% dari pasien dengan gagal ginjal kronik mengalami
hipertrigliserida ateroskelrosis mungkin terjadi sebagai akibat peningkatan rasio
high density lipoprotein (HDL) (Baradero dkk, 2008).
6. Manifestasi Klinis
a. Gangguan kardiovaskuler: hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat
perikarditis, efusi perkardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan,
gangguan irama jantung dan edema.
b. Gangguan pulmoner: nafas dangkal, kusmaul, batuk dengan sputum kental
dan riak, suara krekels.
c. Gangguan gastrointestinal: anoreksi, nausea, dan fomitus yang berhubungan
dengan metabolic protein dalam usus perdarahan pada saluran gastrointestinal
ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia.
d. Gangguan muskuloskeletal: resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga
selalu digerakkan), burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar,
terutama ditelapak kaki, miopati (kelemahan dan hipertropi otot-otot
ekstremitas.
e. Gangguan integumen: kulit berwarna pucat dan kekuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal-gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapus.
f. Gangguan endokrin: gangguan seksual: libido fertilitas dan ereksi menurun,
gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan
metabolic lemak dan vitamin D.
g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa: biasanya retensi
garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi,
asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, dipokalemia.
h. Sistem hematologi: anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi
eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sumsum tulang berkurang,
hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasan uremia
toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopenia
(Nuari dan Widayati, 2017).
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurun (Nuari dan Widayati, 2017) sebagai berikut:
a. Urin
 Volume: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam atau tak ada (anuria)
 Warna: secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan
adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin
 Berta jenis: kurang dari 350mOsm/Kg menunjukkan kerusakan ginjal
tubular dan rasio urin/serum sering 1:1
 Klirens kreatinin: mungkin agak menurun
 Natrium : lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium
 Protein: derajat tinggi proteinuria (3 - 4 +) secara kuar menunjukkan
kerusakan glomerolus bila SDm dan fragmen juga ada.
b. Darah
 BUN/ kreatinin: meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahpa akhir
 Ht: menurun pada adanya anemia. HB biasanya kurang dari 7-8 gr/dl
 SDM: menurun, defisiensi eritropoitin
 GDA: asidoseis metabolik, pH kurang dari 7,2
 Natrium serum: rendah
 Kalium: meningkat
 Magnesium: meningkat
 Kalsium: menurun
 Protein (albumin): menurun
c. Osmolalitasn serum: lebh dari 285 mOsm/ kg
d. Pelogram retrograd: abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
e. Ultrasono ginjal: menentukan ukuran ginjal dan adanyan masa kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas
f. Endoskopi ginjal nefroskopi: untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu,
hematuria dan pengankatan tumor selektif
g. Arteriogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular, masa
h. EKG: ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.

8. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Konservatif
1. Dilakukan pemeriksaan lab dan urin
2. Observasi balance cairan
3. Observasi adanya odema
4. Batasi cairan yang masuk
b. Dialysis
1. Peritoneal dialysisi: Biasanya dilakukan pada kasus emergency, sedangkan
dialysisi bisa dilakukan dimana saja yng atidak bersifat akut adalah CAPD
(continues Ambulatory Peritonial Dialysis).
2. Hemodilasis: yaitu dialisis yang dilalakukan melalui tindakan infasif di
vena dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodialisis dilakukan
melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan
3. AV fistule: menggabungkan vena dari arteri
4. Double lumen : langsung pada daerah jantung (vaskularisasi ke jantung)
c. Operasi
1. Pengambilan batu
2. Tranpalansi ginjal

3. Konsep Hemodialisis
A. Definisi Hemodilasis

Hemodialisis adalah pengalihan darah dari tubuhnya melalui dialiser yang


terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi, kemudian darah kembali lagi ke dalam tubuh
pasien. Hemodialisis memerlukan akses ke sirkulasi darah pasien, suatu
mekanisme untuk membawa darah pasien ke dan dari dializen (tempat terjadi
pertukaran cairan elektrolis dan zat sisa tubuh), serta dialiser (Baradero dkk,
2008). Fungsinya untuk mengganti fungsi ginjal dan merupakan terapi utama
selain transplantasi ginjal dan peritoneal dialisis pada orang-orang dengan
penyakit ginjal kronik. Indikasi hemodialisis adalah semua pasien dengan GFR <
15mL/menit, GFR < 10mL/menit dengan gejala uremia, dan GFR < 5mL/menit
tanpa gejala gagal ginjal (Rahman, 2013).

B. Proses Hemodialisis

Hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung


ginjal buatan (dializer) yang terdiri dari dua kompartemen. Kompartemen tersebut
terdiri dari kompartemen darah dan kompartemen dialisat yang dibatasi oleh
selaput semipermeabel buatan. Kompartemen dialisat dialiri oleh cairan dialisat
yang berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak
mengandung sisa metabolisme nitrogen. Darah pasien dipompa dan dialirkan
menuju kompartemen darah. Selanjutnya, akan terjadi perbedaan konsentrasi
antara cairan dialisis dan darah karena adanya perpindahan zat terlarut dari
konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah (Sudoyo, 2009).

Gambar 9. Proses Hemodialisa

Pasien akan terpajan dengan cairan dialisat sebanyak 120-150 liter setiap
dialisis. Zat dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam cairan dialisat dapat
berdifusi ke dalam darah. Untuk itu, diperlukan reverse osmosis. Air akan
melewati pori-pori membran semi-permeabel sehingga dapat menahan zat dengan
berat molekul ringan. Terdapat dua jenis cairan dialisat, yaitu asetat dan
bikarbonat. Cairan asetat bersifat asam dan dapat mengurangi kemampuan tubuh
untuk vasokonstriksi yang diperlukan tubuh untuk memperbaiki gangguan
hemodinamik yang terjadi setelah hemodialisis. Sementara cairan bikarbonat
bersifat basa, sehingga dapat menetralkan asidosis yang biasa terdapat pada pasien
GGK. Cairan bikarbonat juga tidak menyebabkan vasokonstriksi (Sudoyo, 2009).

C. Persiapan pasien Hemodialisis


Keperluan penanganan predialysis meliputi bantuan psikologis, termasuk
monitor klinis tentang kondisi gangguan ginjal. Semua pasien dengan kondisi
CKD dengan creatinine plasma diatas 150 mmol L- 1 dan /atau signifikansi
proteinuria (< 1 g 24 h-1) sebaiknya dirujuk kepada ahli nephrologis. Pasien
dengan kreatinin di atas 300 mmol L-1 sebaiknya dirujuk secepat mungkin. Untuk
keperluan hemodialisis jangka panjang, ada sejumlah pilihan yang perlu
dipertimbangkan sehubungan dengan lokasi treatmen haemodialysis.
a. Inserting Accses Hemodialysis
Keberhasilan suatu hemodialisis tergantung pada keadekuatan aliran darah
yang melalui dialyser. Bersihan yang optimal pada produk sisa tergantung pada
aliran dialisat, permeabilitas membran, area permukaan membran, durasi
dilaksanakannya dialysa, dan yang paling penting yaitu kecepatan aliran darah
(Roesli, 2006). Terdapat 2 kategori tempat inserting hemodialysis:
1. Melalui perkutaneus, termasuk jugularis, subklavia dan femoralis.
Akses perkutaneus menggunakan kanula atau kateter yang dimasukkan ke
vena mayor atau vena besar. Kateter digunakan sementara apabila
anastomosis fistula belum matang. Pembuluh darah vena yang dapat
digunakan yaitu subclavia, femoralis dan vena jugularis internal. Pemasangan
kateter dapat berupa satu atau dua lumen yang dimasukkan dengan
menggunakan anastesi lokal atau general. Ketepatan posisi kateter dapat
dicek melalui sinar X-ray. Peran perawat disini yaitu perawat dapat
memberikan pendidikan kesehatan, memelihara kepatenan letak kateter,
mencegah infeksi dan memberikan perawatan bila terjadi infeksi. Perawat
harus ketat terhadap pencegahan infeksi, untuk itu selalu dilakukan observasi
ada tidaknya bengkak, kemerahan atau eksudat pada luka tempat penusukan.
Luka tempat penusukan ditutup dengan kasa yang tidak terlalu basah atau
terlalu kering.
2. Arteriovenous fistulae (AVF) dan Arteriovenous graft
Arteriovenous fistulae (AVF) dikerjakan melalui prosedur operasi
anastomosis antara arteri brakialis dan vena sefalika pada tangan kiri pasien.
Kecepatan aliran darah berkisar antara 800 – 1000 mL/menit. AVF dapat
dilakukan 3 – 4 bulan sebelum hemodialysis diberikan dengan tujuan agar
terjadi proses kematangan jaringan pada daerah anastomosis saat
hemodialysis dilakukan. Perawatan preoperatif pada AVF yaitu perawat
memberikan kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi selama
pelaksanaan dan memberikan penjelasan kepada pasien selengkap lengkapnya
tentang prosedur pembedahan dan perawatan yang dilakukan setelah
dilakukan tindakan anastomosis. Perawat memfasilitasi pasien untuk dapat
bertemu dengan pasien lain yang telah berpengalaman dengan pemasangan
AVF.

b. Dosis, Adekuasi dan Durasi Hemodialysis (Rahardjo, 2014)


1. Dosis Hemodialisis
Dosis HD yang diresepkan yaitu :
1) Tentukan tinggi badan dan berat badan pasien untuk mengukur volume
2) Tentukan volume yang mengacu pada normogram
3) Tentukan klirens urea dari dializer yang dipakai sesuai dengan laju aliran
darah (Qb). Lihat petunjuk pada kemasan dializer.
4) Lama dialisis yang diinginkan dalam jam (T) : KT/V = 1,2 (untuk HD 3X
seminggu). Dosis HD yang sebenarnya dapat ditentukan setelah
hemodialisis, dengan rumus :
KT/V = -ln(R– 0,008t) + (4 – 3,5R) X (BB pradialisis – BB pasca dialisis)
BB pasca dialisis
Ket :
ln = logaritma natural
R = Ureum pasca dialisis/ureum pra dialisis
t = Lama dialisis (jam)
2. Adekuasi Hemodialisis
Kecukupan dosis hemodialysis yang diberikan diukur dengan istilah adekuasi
dialisis. Terdapat korelasi yang kuat antara adekuasi dialisis 24 dengan angka
morbiditas dan mortalitas. Adekuasi dialisis diukur dengan menghitung Urea
reduction Ratio (URR) dan KT/V. URR dihitung dengan rumus yaitu : URR
= 100 X (1 – Ct/Co)
Ket:
Ct : ureum post dialisis,
Co : ureum predialisis Rumus lain dalam menghitung dosis dialisis yaitu :
KT/V
Ket :
K : bersihan ureum dialyser
T : waktu pemberian dialysis
V : jumlah ureum yang terdistribusi dalam cairan tubuh
Target KT/V yang ideal adalah 1,2 (URR 65%) untuk HD 3X perminggu
selama 4 jam perkali HD dan 1,8 untuk HD 2X perminggu selama 4 – 5
jam perkali HD. Frekuensi pengukuran adekuasi HD sebaiknya dilakukan
secara berkala (idealnya 1 kali tiap bulan) minimal tiap 6 bulan.
3. Durasi Hemodialisis
Berdasarkan pengalaman selama ini tentang durasi HD, frekuensi 2X
perminggu telah menghasilkan nilai KT/V yang mencukupi (> 1,2) dan juga
pasien merasa lebih nyaman. Selain itu, dana asuransi kesehatan yang tersedia
juga terbatas dan hanya dapat menanggung HD dengan frekuensi rata-rata 2X
perminggu. Oleh karena itu di Indonesia biasa dilakukan HD 2X/minggu
selama 4 – 5 jam dengan memperhatikan kebutuhan individual.

c. Proses Pelaksanaan Hemodialisis


1. Pre Hemodialysis
Pada saat pasien datang ke pelayanan hemodialysis, maka terdapat beberapa
persiapan yang harus dilakukan oleh perawat diantaranya :
1) Informed consent: Perawat memastikan bahwa pasien telah
menandatangani persetujuan untuk dilakukan tindakan hemodialysis.
2) Penimbangan berat badan dan Pengukuran tinggi badan latihan reguler
tentang dry weight sangat penting untuk memungkinkan perawat dan
pasien menentukan jumlah cairan yang dibuang yang dibutuhkan selama
dialysis. Satu Kg sama dengan 1 L cairan, artinya berat pasien merupakan
metode yang sederhana dan akurat untuk menentukan penambahan dan
pengurangan cairan selama dialysis. Istilah ”dry weight” merujuk pada
berat dimana tidak ada bukti klinis oedema, nafas yang pendek,
peningkatan tekanan nadi leher atau hipertensi. Tujuan dari dialysis adalah
untuk membuang kelebihan volume cairan.
3) Pengukuran tanda-tanda vital : Tekanan darah harus dicatat sebagai dasar
untuk mengukur perubahan yang signifikan selama tindakan. Jika pasien
terlalu berat sebelum dialysis, tekanan darah mungkin naik sehubungan
dengan peningkatan volume sirkulasi. Pasien dengan hipertensi sebagai
akibat dari penyakit ginjal mungkin diresepkan obat anti hipertensi. Jika
pasien menjadi hipertensi pada saat dialysis, mungkin perlu mengurangi
dosis sebelum sesi dialysis berikutnya. Disarankan tekanan darah
sebaiknya < 140/90 mmHg bagi pasien yang berumur kurang dari 60 tahun
dan <160/90 mmHg bagi yang berumur diatas 60 tahun. Temperatur
pasien harus secara rutin dicatat. Pyrexia sebelum dialysis harus diperiksa
secepatnya. Denyut nadi harus dicatat pada semua pasien.
2. Intra Hemodialisis
Pada periode ini perawat harus melakukan monitoring terhadap kemungkinan
terjadinya komplikasi pada saat hemodialysis dilaksanakan. Komplikasi yang
umum terjadi pada tahap intra hemodialysis yaitu:
1) Hipotensi:
Hipotensi akan terjadi bila tingkat cairan yang dibuang melebihi pengisian
kembali plasma pada pasien. Beberapa ukuran dapat membantu untuk
mengurangi resiko hipotensi, termasuk menyarankan pasien bahwa
pencapaian berat interdialitik tidak terlalu berlebihan. Cairan yang masuk
menyulitkan pasien untuk mengontrol. Untuk minuman, air yang ada
dalam makanan harus ikut diperhitungkan. Profil sodium bisa membantu
mengurangi resiko hipotensi. Cara lain untuk mengantisipasi hipotensi
sehubungan dengan lambatnya pengisian kembali plasma adalah dengan
memonitor hematokrit dan monitor volume darah. Perubahan dalam
volume darah diukur melalui hematokrit dan penjenuhan oksigen darah.
Monitor akan berbunyi bila pasien terkena resiko hipotensi.
2) Mual muntah
Mual dan muntah bisa berhubungan dengan hipotensi. Ini bisa terjadi
sebelum hipotensi, misalnya pasien merasakan mual, muntah dan
kemudian menjadi hipotensi atau sebaliknya pasien hipotensi pada
awalnya, yang ditimbulkan dengan cairan intravena dan kemudian muntah.
Sehingga diminta kepada pasien untuk menahan diri untuk tidak makan
sampai dialisis selesai.
3) Kram
Kram adalah efek samping lain dari hemodialisis. Kram sebagaimana
hipotensi, disebabkan oleh ultrafiltrate terlalu tinggi karena kecepatan
pertukaran cairan. Pasien yang kram di kaki bisa berdiri dan
mendorongkan kaki ke lantai untuk mengurangi rasa sakit. Hal ini harus
dihindari bila ada kemungkinan hypotensi simultan karena mengakibatkan
pasien jatuh ke lantai. Pemberian tekanan dapat dilakukan ke kaki dengan
membiarkan pasien mendorong kaki ke perawat. Penggunaan alat pemanas
dan atau dengan menggosok area yang sakit dengan penuh semangat juga
bisa membantu.
4) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Tingkat difusi harus sama untuk mempertahankan keseimbangan. Jika
difusi pasien tinggi akan menyebabkan ketidakseimbangan pada
komponen tubuh. Hal ini akan menyebabkan pergantian osmotik cairan
dari daerah yang konsentrasinya rendah ke daerah yang konsentrasinya
tinggi terutama pada cairan serebrospinal dan sel otak. Pada akhirnya,
pergantian yang cepat pada pH cairan serebrospinal yang akan
mempengaruhi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Tanda
ketidakseimbangan dapat ringan atau berat. Ketidakseimbangan ringan
diantaranya seperti sakit kepala, pusing, mual, dan muntah. Sedangkan
ketidakseimbangan yang berat seperti penyakit saraf, koma, dan potensi
kematian. Pasien dengan penyakit akut, atau dialisis untuk pertama kali
dianggap beresiko untuk terjadi ketidakseimbangan.
5) Reaksi pasien (sindrom membran/ syndrom pertama)
Respon alergi mungkin muncul ketika darah pasien terpapar terhadap
benda asing. Contoh membran pasien, kimia steril spt ETO dan bakteri
atau endotoxin. Reaksi alergi bisa tipe A atau tipe B. Tipe A adalah reaksi
anaphylatic berat yang muncul pada 5 menit pertama, tandanya bisa mulai
dengan gatal dan menjadi gatal yang hebat termasuk dyspnea dan perasaan
panas pada seluruh tubuh. Tindakan yang dilakukan adalah segera
hentikan dialysis. Darah sebaiknya tidak masuk lagi ke tubuh pasien.
Pasien tipe ini harus didialysis terhadap membran yang sudah di steam
sterilkan. Pembilasan ekstra sirkuit dialysis juga disarankan. Reaksi Tipe
B kurang berat, termasuk nyeri dada. Terjadi 1 jam setelah dialysis
dimulai. Penyebab tidak diketahui tetapi disarankan untuk menggunakan
membran sintetik.
6) Hemolisis
Hemolisis adalah gangguan pada sel darah merah. Hemolisis besar-
besaran dapat cepat menimbulkan hyperkalemia dan penahanan kardiak.
Hemolisis bisa disebabkan oleh dialisis terhadap dialisat yang terlalu
panas atau dialising terhadap air atau hypotonic dialysate. Pompa darah
yang modern memiliki tekanan yang rendah dan tidak menimbulkan
hemolisis, tetapi bila salah menyesuaikan, roler pompa darah dapat
menyebabkan kerusakan pada sel. Tekanan vena yang tinggi dihasilkan
dari hambatan akses venous atau aliran darah yang menyebabkan
kerusakan sel darah merah. Pasien akan mengeluh dada nyeri, dyspnea dan
mungkin perasaaan mau pingsan. Jika ada indikasi hemolisis, dialisis
harus dihentikan dan darah harus tidak dialirkan ke pasien, sementara
mesin yang lain harus di stand by kan.
7) Emboli udara
Peralatan ultrasonik detektor udara memberikan kepastian kepada pasien
dan perawat untuk pencegahan emboli udara. Detektor udara harus
diaktifkan selama prosedur priming. Jika pasien mengalami emboli udara,
perawat harus menghentikan dialysis. Baringkan pasien pada sisi kiri
dengan posisi kepala lebih rendah dari badan.
8) Pembekuan aliran darah
Pembekuan terjadi jika anti koagulasi tidak cukup, jika aliran darah tidak
cukup atau berhenti atau jika ada udara dalam sirkuit. Pertukaran tekanan
pada sirkuit akan terjadi sebagai akibat dari pembekuan. Jika terjadi
pembekuan tindakan harus dihentikan, dengan tidak mengalirkan lagi
darah ke pasien.
3. Post Hemodialisis
Perawat harus melakukan observasi terhadap tanda-tanda vital seperti
tekanan darah, nadi, suhu dan pernapasan dalam rentang nilai normal. Observasi
lokasi penusukan, perawat dapat mengobservasi ada tidaknya hematom, edema
atau perdarahan, untuk mencegah hal ini perawat dapat menyarankan untuk
menekan daerah tusukan. Perawat juga melakukan monitoring hasil laboratorium
kimia darah seperti ureum- kreatinin yang hasilnya dapat digunakan untuk
menetukan frekuensi hemodialysis. Perawat juga melakukan penimbangan berat
badan untuk memantau perubahan berat badan pasca hemodialisis.
D. Clinical Pathways

Faktor predisposisi; usis, jenis kelamin, merokok,


stress, kurang olahraga, genetic, alkohol, Hipertensi Kerusakan vaskular pembuluh darah Perubahan Struktur
konsentrasi garam, obesitas

GFR turun Suplai darah ke ginjal turun Gangguan sirkulasi vasokontriksi Penyumbatan pembuluh darah

Kerusakan vaskular
Vasokontriksi pembuluh darah ginjal Gagal Ginjal Kronik
pembuluh darah

Sekresi protein terganggu Retensi Na Sekresi eritropoitin turun

Sindrom Uremia Total CES naik Produksi Hb turun

Oksihemoglobin turun
Gg. Keseimbangan basa Urokrom Perpospatemia Tek. Kapiler naik
tertimbun di kulit Suplai O2 turun
Produksi as.Lambung naik Pruritis
Pruriti Vol. interstisial naik
Perubahan warna kulit s Suplai oksigen tubuh tidak adekuat
Iritasi lambung Edema
Kerusakan Integritas kulit Hipoksemia Kurangnya suplai oksigen
Risiko infeksi Risiko Perdarahan Kelebihan vol. cairan ke jaringan parifer

Beban jantung naik


Gastritis Hematemesel melena Energi berkurang
Beban jantung naik Preload naik Ketidakefektifan
perfusi jaringan
Nausea Anemia perifer
Hipertrovi ventrikel kiri Payah jantung kiri Intoleransi Aktfitas

Vomiting Keletihan
Cardiac Output turun Bendungan atrium kiri naik
Ketidakseimbangan Nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh Tekanan vena pulmonalis

Aliran darah Suplai O2 Suplai O2 keotak turun Kapiler paru naik


ginjal turun jaringan turun
Edema paru
Risiko ketidak
RAA turun Metabolisme efektifan perfusi
anaerob jaringan otak Sesak
Retensi Na
dan H2O As. Laktat naik Gangguan pertukaran
gas
Kelebihan Nyeri sendi
vol. cairan
Nyeri
E. Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1. Riwayat keperawatan: Terdiri dari identitas pasien, berat badan, tinggi badan,
riwayat penyakit keluarga, riwayat gagal ginjal kronik
2. Pemeriksaan Fisik:
1) Aktivitas
S: keletihan, kelemahan, malaise
O: kelemahan otot, kehilangan tonus
2) Sirkulasi
S: hipotensi/hipertensi, eklamsi/ hipertensi akibat kehamilan, disritmia
jantung
O: nadi lemah/ halus, hipertensi, edema jaringan umum, termasuk area
priorbital, mata kaki, sacrum, pucat, kecenderungan perdarahan.
3) Eliminasi
S: perubahan pola berkemih, biasanya terjadinya peningkatan frekuensi
(poliuri) atau penurunan frekuensi (oliguria), disuria, retensi (inflamasi/
osbstruksi, infeksi).
O: abdomen kembung, diare, konstipasi, riwayat batu/kalkuli
4) Makanan / cairan
S: peningkatan berat badan (edema), penurunan berat badan (dehidrasi),
mual, muntah, anoreksia, nyeri ulu hati, penggunaan diuretik
O: perubahan turgor kulit/ kelembaban edema (umum, bagian bawah)
5) Neurosensori
S: sakit kepala, penglihatan kabur
O: gangguan status mental (ex. Penurunan lapang pandang,
ketidakmampuan berkonsentrasi, hilangnya memori, penurunan tingkat
kesadaran (ozotemia), ketidakseimbangan elektrolit (asam/basa)
6) Nyeri / kenyamanan
S: nyeri tubuh, sakit kepala
O: perilaku hati-hati/ distraksi, gelisah
7) Pernafasan
S: nafas pendek
O: takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi, kedalaman (pernafasan
kusmaul), nafas amonia, batuk produktif dengan sputum kental merah
muda (edema paru)
8) Keamanan
S: adanya reaksi transfusi
O: demam (sepsis, dehidrasi), petekie, area kulit ekimosis, pruritus, kulit
kering, fratur tulang, deposit kalsium, jaringan lunak sendi
Keterbatasan sendi
9) Seksualitas
O: penurunan libido, amenorea, infertilitas
10) Interaksi sosial
O: kesulitasn menentukan kondisi, contoh tidak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran biasanya dalam keluarga

b. Diagnosa keperawatan
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
yang ditandai dengan edema, oliguria, ketidakseimbangan elektrolit.
2. Nyeri kronis berhubungan dengan gangguan metabolik yang ditandai dengan
anoreksia, keluhan tentang instensitas menggunakan skala nyeri, ekspresi
wajah.
3. Gangguan pertukarang gas berhubugan dengan perubahan membran alveolar
kapiler yang ditandai dengan sesak/dispnea, gelisah, pola pernafasan
abnormal.
4. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan
aterosklerosis aortik, dan segmen ventrikel akinetik
5. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer behubungan dengan hipertensi,
diabetes melitus, kurang pengetahuan tentang penyakit dan faktor pemberat
(gaya hidup, merokok, asupan garam, imobilitas) yang ditandai dengan
perubahan karakteristik kulit (Warna, elastisitas, kelembapan, kuku, suhu),
crt > 3 detik
6. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh behubungan dengan
kurang asupan makanan, ketidakmampuan mencerna makanan yang ditandai
dengan ketidakmampuan memakan makanan
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen dan imobilitas yang ditandai dengan keletihan, respon
frekuensi jantung abnormal terhadap aktivitas
8. Keletihan berhubungan dengan kelesuan fisiologis yang ditandai dengan
letargi, penurunan performa, dan kelelahan.
9. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguang pigmentasi dan
gangguan turgor kulit.

c. Intervensi

No Masalah Tujuan dan Kriteria Intervensi (NIC


Keperawatan Hasil (NOC)
1. Kelebihan volume NOC NIC
cairan berhubungan Keseimbangan cairan Manajemen
(Domain 2, kelas 5, (0601) elektrolit/cairan (2080)
no.00026) Tanda-tanda vital 1. Jagapencatatan
(0802) intake/asupan dan output
Setelah dilakukan yang akurat
tindakan keperawatan 2. pantau adanya tanda dan
selama 3 jam kelebihan gejala retensi cairan
volume cairan normal, 3. batasi cairan yang sesuai
dengan kriteria hasili: 4. siapkan pasien untuk
1. Tekanan darah dialisis
normal (110-120/80-90) Monitor cairan ( 4130)
2. Kesimbangan intake 5. tentukan jumlah dan
dan output dalam 24 jenis intake dan output
jam serta kebiasaan eliminasi
3. Turgor kulit baik 6. periksa turgor kulit
4. Tidak asites 7. monitor berat badan
5. Tidak edema perifer 8. monitor nilai kadar
6. Suhu tubuh (N 36,5- serum dan elektrolit urin
37,3C)
7. Irama Pernapasan
(16-20 x/menit)
8. Tekanan nadi (60-
100 x/menit)
2. Nyeri kronis NOC Manajemen nyeri
Kontrol nyeri (1605) 1. lakukan pengakjian
Kepuasan Pasien: komprehensif (PQRST)
manajemen nyeri 2. ajarkan prinsip
(3016) manajemen nyeri
Setelah dilakukan 3. kurangi faktor yang
tindakan keperawatan menyebabkan atau
selama 3 jam pasien meningkatkan nyeri
dapat memanajemn Manajemen pengobatan
nyeri, dengan kriteria 4. pantau kepatuhan
hasil sebagai berikut: mengenai regimen obat
1. Nyeri terkontrol 5. kaji ulang strategi
2. Informasidiberikan bersama pasien dalam
untuk mengelola obat- mengelola obat-obatan
obatan
3. Pendekatan
interventif digunakan
untuk manajemen nyeri
4. Mengenali kapan
nyeri terjadi
5. menggunakan
tindakan pengurangan
nyeri tanpa analgesik
6. Menggunakan
analgesik yang
direkomendasikan
3. Gangguan NOC Manajemen jalan nafas
pertukarang gas Respon ventilasi (3140)
mekanik (0411) 1. Posisikan pasien
Setelah dilakukan untuk memaksimalkan
tindakan keperawatan ventilasi
selama 3 jamgangguan 2. Lakukan fisioterapi
pertugaran gas dada
membaik, dengan 3. Instruksikan pasien
kriteria hasil sebagai untuk melakukan batuk
berikut: efektif
1. saturasi oksigen Manajemen batuk (3250)
normal (> 95%) 4. Dukung pasien
2. tidak mengalami untuk melakukan nafas
hipoksia dalam berkali-kali
3. volume tidal kira kira 5. Dukung pasien
500 ml untuk melakukan nafas
4. gerakan dinding dada dalam, tahan selama 2
simetris detik, bungkukan ke depan,
5. perfusi jaringan tahan 2 detik, dan batukkan
perifer normal, ditandai 2-3 kali
dengan warna dan suhu Monitor pernafasan (3350)
ujungan perifer. 6. Monitor kecepatan,
kedalaman, dan kesulitan
bernafasan
7. Catat pergerakan
dada, kesimetrisan, dan
penggunaan otot bantu
nafas
8. Monitor suara nafas
4. Risiko NOC Identifikasi risiko (6610)
ketidakefektifan Perfusi jaringan serebral 1. identifikasi adanya
perfusi jaringan (0406) sumber agensi untuk
otak Deteksi risiko (1908) membantu menurunkan
Setelah dilakukan faktor risiko
tindakan keperawatan Manajeman edema
selama 3 jam risiko serebral (2540)
ketidak efektifan perfusi 2. monitor adanya TIK dan
jaringan tidak CPP
timbul/terjadi, dengan 3. monitor status neurologi
kriteria hasil sebagai dengan ketan dan
berikut: bandingkan dengan nilai
1. Dapat mengenali normal
tanda dan gejala yang 4. Monitor ttv
mengindikasikan risiko 5. pertahankan suhu normal
2. Melakukan skrinning
sesuai waktu yang
dianjurkan
3. Memonitor
perubahan status
kesehatan
4. Tekanan intrakranial
normal
5. Tekanan darah
normal (120/90)
6. Sakit kepala tidak
terjadi/berkurang
7. tidak mengalami
muntah, cegukan
8. Suhu tubuh normal
(36,5-37,5)
5. Ketidakefektifan NOC Manajemen cairan (4120)
perfusi jaringan Perfusi jaringan perifer 1. Jaga intake dan
perifer (0407) output pasien
Tanda-tanda vital 2. Monitor status
(0802) hidrasi (mukosa)
Setelah dilakukan 3. Berikan cairan IV
tindakan keperawatan sesuai dengan suhu kamar
selama 3 jam perfusi Pengecekan kulit (3590)
jaringan membaik/ 4. Periksa kulit terkait
normal dengan kriteria adanya kemerahan dan
hasil sebagai berikut: kehangatan
1. Suhu normal (36,5- 5. Amati warna,
37,5 C) kehangatan, pulsasi pada
2. tekanan darah normal ekstremitas
(120-90 mmHg) Monitor tanda-tanda vital
3. suhu kulit ujung kaki (6680)
dan tangan hangat 6. Monitor tekanan
4. tidak terdapat edema darah, nadi, suhu, dan
perifer status pernafasan dengan
5. tidak mengalami tepat
nekrosis
6. merasakan sensasi
rasa
6. Ketidakseimbangan NOC Manajemen gangguan
nutrisi: kurang dari Status nutrisi (1004) makan (1030)
kebutuhan tubuh Status nutrisi: Asupan 1. Monitor intake dan
nutrisi (1009) asupan cairan secara tepat
Nafsu makan (1014) 2. Monitor asupan kalori
Setelah dilakukan 3. Monitor tanda-tanda
tindakan keperawatan fisiologi (ttv, elektrolit)
selama 3 jam nutrisi Manajemen nutrisi (1100)
pasien terpenuhi, 4. atur diet yang diperlukan
dengan kriteria hasil 5. Anjurkan pasien
sebagai berikut: menegnai modifikasi diet
1. Asupan gizi (diet yang diperlukan
protein) 6. monitort kecenderungan
2. Asupan makanan terjadinya penurunan dan
(mengurangi garam kenaikan berat badan
(1,5-2 gr/ hari), kurangi
makanan lemak)
3. Asupan protein (diet
protein sangat rendah <
0,3 g/kgBB, diet rendah
0,6-0,8 g/kg BB, diet
normal 1-1,2 g/kg BB)
4. Memiliki keinginan
untuk makan
5. Merasakan makanan
dengan baik
7. Intoleransi aktivitas NOC Manajemen energi (0180)
Toleransi terhadap 1. kaji status fisiologis
aktivitas (0005) pasien yang menyebabkan
Tingkat kelelahan kelelahan
(0007) 2. monitor intake nutris
Setelah dilakukan untuk mengetahuisumber
tindakan keperawatan energi yang adekuat
selama 3 jam toleransi 3. monitor sumber kegiatan
aktivitas pasien baik, olahraga dan kelelahan
dengan kriteria hasil emosional yang dialami
sebagai berikut: pasien
1. Frekuensi nadi Terapi aktivitas (4310)
ketioka aktivitas normal 4. bantu pasien untuk
(60-100 x/menit) memilih aktivitas dan
2. Frekuensi pernafasan pencapauan tujuan dengan
ketika beraktivitas (16- kemampuan fisik
20 x/ menit) 5. Instruksikan pasien dan
3. tekanan darah normal keluarga untuk
(120/90) melaksanakan aktivitas
4. Warna kulit merah yang diinginkan maupun
muda yang telah ditentukan
5. Sakit kepala
berkurang
6. Nyeri otot dan sendi
berkurang
7. kegiatan sehari-hari
(ADL) terpenuhi/ tidak
terganggu
8. Keletihan NOC Manajemen energi (0180)
Kelelahan: efek yang 1. kaji status fisiologis
mengganggu (0008) pasien yang menyebabkan
Pegerakan (0208) kelelahan
Setelah dilakukan 2. monitor intake nutris
tindakan keperawatan untuk mengetahuisumber
selama 3 jam keletihan energi yang adekuat
berkurang, dengan 3. monitor sumber kegiatan
kriteria hasil sebagai olahraga dan kelelahan
berikut: emosional yang dialami
1. Tidak merasakan pasien
malaise
2. Nafsu makan Manajemen nutrisi (1100)
bertambah 4. atur diet yang diperlukan
3. Pasien dapat 5. Anjurkan pasien
mempertahankan menegnai modifikasi diet
keseimbangan dengan yang diperlukan
baik 6. monitort kecenderungan
4. Cara berjalan baik terjadinya penurunan dan
(tidak abnormal) kenaikan berat badan
5. Bergerak dengan
mudah
9. Kerusakan NOC Manajemen pruritis (3550)
integritas kulit Integritas jaringan: 1. lakukan pemeriksaan
kulit &membran fisik
mukosa (1101) 2. Berikan kompres dingin
Akses hemodialisis 3. instruksikan pasien
(1105) untuk mempertahankan
Setelah dilakukan potongan kuku dalam
tindakan keperawatan keadaan pendek
selama 3 jam integritas 4. instruksikan pasien
kulit semakin membaik, untuk mandi dengan air
dengan kriteria hasil hangat kuku untuk tepuk
sebagai berikut: tepuk di area kulit yang
1. Warna Kulit normal kering
(merah muda) 5. instruksikan pasien
2. Nadi perifer distal untuk menggunakan
(CRT < 3) telapak tangan ketika
3. Tidak ada edema menggosok ara kulit yang
pada perifer distal luas atau cubit kulit dengan
4. Suhu kulit (36,5- lembut
37,5)
5. Tidak terdapat
eritema.
6. Tidak ada nekrosis
7. Tidak ada pengerasan
kulit

d. Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatam


evaluasi ini adalah membandingkan hasil yang telah dicapai setelah
implementasi keperawatan dengan tujuan yang diharapkan dalam
perencanaan. Perawatan mempunyai tiga alternatif dalam menentukan
sejauh mana tujuan tercapai:
a) Berhasil: perilaku pasien sesuai pernyataan tujuan dalam waktu atau
tanggal yang ditetapkan di tujuan
b) Tercapai sebagian: pasien menunjukkan perilaku tetapi tidak sebaik
yang ditentukan dalam pernyataan tujuan
c) Belum tercapai: pasien tidak mampu sam asekali menunjukkan
perilaku yang diharapkan sesuai dengan pernyataan tujuan

F. Discharge Planning
1. Diet tinggi kalori dan rendah protein
2. Optimalisasi dan pertahankan kesimbangan cairan dan garam
3. Kontrol hipertensi
4. Kontrol ketidakseimbangan elektrolit
5. Deteksi dini dan terapi infeksi
6. Dialisis (cuci darah)
7. Obat- obatan: antihipertensi, suplemen besi, agen pengikat fosfat,
suplemen kalsium, furosemid (membantu berkemih)
8. Transplantasi ginjal
DAFTAR PUSTAKA

Baradero,M., M.W. Dayrit., dan Y. Siswadi. 2008. Klien Gangguan Ginjal.


Jakarta: EGC

Indonesian Renal Registry. 2015. 8th Report of Indonesian Renal Registry.


Online. www.indonesianrenalregistry.org . diakses tanggal 14 April 2018.

Keliat, B.A., H.D. Windawarti., A. Pawirowiyono., dan A.Subu. 2015. Nanda


International Inc. Nursing Diagnoses: Definitions & Classifications 2015-
2017. Jakarta: EGC

Kementerian Kesehatan RI. 2017. Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Jakarta:


InfoDatin.
Nuari, N.A., dan D. Widayati. 2017. Gangguan pada Sistem Perkemihan dan
Penatalaksanaan Keperawatan. Yogyakarta: Deepublish.

Nurarif, A.H., dan H.Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis dan nanda Nic-Noc. Edivisi Jilid 2. Yogyakarta: Medica
Action

Rahadjo dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Hemodialisis. Jakarta :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Sudoyo. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI

Sukandar, E., 2006. Neurologi Klinik. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi
Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD.

Syaefudin, A.B. 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal &
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Thomas, N. 2014. Renal Nursing. Fourth Editions. Wiley Blackwell.

Anda mungkin juga menyukai