oleh:
Widiyatus Sholehah, S.Kep.
NIM 182311101003
Hari, Tanggal :
Mahasiswa
A. Anatomi Humerus
Humerus atau tulang pangkal lengan merupakan tulang terpanjang dan
terbesar pada bagian ekstremitas superior. Humerus bersendi pada bagian proksimal
dengan scapula dan pada bagian distal bersendi pada siku lengan dengan dua tulang
ulna dan radius. Ujung proksimal humerus memiliki bentuk kepala bulat (caput
humeri) yang bersendi dengan kavitas glenoidalis dari skapula untuk membentuk
articulatio gleno-humeri. Pada bagian distal dari caput humeri terdapat
collumanatomicum yang terlihat sebagai sebuah lekukan oblik. Tuberculum majus
merupakan sebuah proyeksi lateral pada bgian distal dari collum anatomicum.
Tuberculum majus merupakan penanda tulang bagian paling lateral yang teraba pada
regio bahi. Antara tuberculum majus dan tuberculum minus terdapat sebuah lekukan
yang disebut sebagai sulcus intertubercularis. Collum chirurgicum merupakan suatu
penyempitan humerus pada bagian distal dari kedua tuberculum, dimana caput
humeri perlahan berubah menjadi corpus humeri. Bagian tersebut dinamakan collum
chirurgicum karena fraktur sering terjadi pada bagian ini.
Corpus humeri merupakan bagian humerus yang berbentuk seperti silinder
pada ujung proksimalnya, tetapi berubah secara perlahan menjadi berbentuk segitiga
hingga akhirnya menipis dan melebar pada ujung distalnya. Pada bagian lateralnya,
yakni di pertengahan corpus humeri, terdapat daerah berbentuk huruf V dan kasar
yang disebut sebagai tuberositas deltoidea. Daerah ini berperan sebagai titik
perlekatan tendon musculus deltoideus. Beberapa bagian yang khas merupakan
penanda yang terletak pada bagian distal dari humerus. Capitulum humeri merupakan
suatu struktur seperti tombol bundar pada sisi lateral humerus, yang bersendi dengan
caput radii. Fossa radialis merupakan suatu depresi anterior di atas capitulum
humeri, yang bersendi dengan caput radii ketika lengan difleksikan. Trochlea humeri,
yang berada pada sisi medial dari capitulum humeri, bersendi dengan ulna. Fossa
coronoidea merupakan suatu depresi anterior yang menerima processus coronoideus
ulna ketika lengan difleksikan. Fossa olecrani merupakan suatu depresi posterior
yang besar yang menerima olecranon ulna ketika lengan diekstensikan. Epicondylus
medialis dan epicondylus lateralis merupakan suatu proyeksi kasar pada sisi medial
dan lateral dari ujung distal humerus, tempat kebanyakan tendon otot-otot lengan
menempel. Nervus ulnaris, suatu saraf yang dapat membuat seseorang merasa sangat
nyeri ketika siku lengannya terbentur, dapat dipalpasi menggunakan jari tangan pada
permukaan kulit di atas posterior dari epicondylus medialis (Tortora & Derrickson,
2009).
Secara anatomis tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Bagian atas humerus/ kaput (ujung atas)
Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala yang membuat
sendi dengan rongga glenoid dari skapula dan merupakan bagian dari banguan
sendi bahu. Di bawahnya terdapat bagian yang lebih ramping disebut leher
anatomik. Di sebelah luar ujung atas di bawah leher anatomik terdapat sebuah
benjolan yaitu tuberositas mayor dan di sebelah depan terdapat sebuah benjolan
lebih kecil yaitu tuberositas minor. Di antara tuberositas terdapat celah bisipital
(sulkus intertuberkularis) yang membuat tendon dari otot bisep. Di bawah
tuberositas terdapat leher chirurgis yang mudah terjadi fraktur (Pearce, 2009).
2. Corpus humerus (badan humerus)
Sebelah atas berbentuk silinder tetetapi semakin ke bawah semakin pipih.
Di sebelah lateral batang, tepat di atas pertengahan disebut tuberositas deltoideus
(karena menerima insersi otot deltoid). Sebuah celah benjolan oblik melintasi
sebelah belakang, batang, dari sebelah medial ke sebelah lateral dan memberi jalan
kepada saraf radialis atau saraf muskulo-spiralis sehingga disebut celah spiralis
atau radialis (Pearce, 2009).
3. Bagian bawah humerus/ ujung bawah.
Berbentuk lebar dan agak pipih di mana permukaan bawah sendi dibentuk
bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang terlatidak di sisi sebelah dalam
berbentuk gelendong-benang tempat persendian dengan ulna dan di sebelah luar
terdapat kapitulum yang bersendi dengan radius. Pada kedua sisi persendian ujung
bawah humerus terdapat epikondil yaitu epikondil lateral dan medial. (Pearce,
2009).
Beberapa hal yang perlu diketahui terkait dengan tulang humerus adalah sebagai
berikut:
a) Persendian
Kepala bonggol humerus (caput humeri) bersendi dengan cavitas glenoidales dari
scapula. Penyambungan ini dikenal dengan sendi bahu yang memiliki jangkauan
gerak yang luas. Pada persendian ini terdapat dua bursa yaitu pada bursa
subacromialis dan bursa subscapularis. Bursa subacromialis membatasi otot
supraspinatus dan otot deltoideus. Bursa subscapularis memisahkan fossa
subscapularis dari tendon otot subscapularis. Otot rotator cuff membantu
menstabilkan persendian ini. Pada bagian siku, terdapat persendian dengan ulna
sehingga memungkinkan gerak fleksi dan ekstensi.
b) Saraf dan Otot pada Humerus
Otot yang berhubungan dengan pergerakan dari tulang humerus meliputi:
a) M. Latissimus Dorsi, merupakan otot berbentuk segitiga. Batas posterior
trigonum lumbal dibentuk oleh m. latissimus dorsi. Otot ini bersama dengan
m. teres mayor membentuk plica axillaris posterior, dan membentuk dinding
posterior fossa axillaris. Otot ini berorigo pada processi spinosi vertebrae
thoracales VII-scrales V dan crista iliaca dan berinsersi pada sulcus
intertubercularis humeri. Otot m. Latissimu dorsi berfungsi untuk ekstensi,
adduksi dan endorotasi pada artikulasi humeri.
b) M. Deltoideus, merupakan otot yang tebal dan letaknya superficial ini
berorigo di tepi anterior dan permukaan superior sepertiga bagian lateral
clavicula, tepi lateral permukaan superior acromion, dan tepi inferior spina
scapula. Insersi pada tuberositas deltoidea humeri. Otot ini diinervasi oleh
n.axillaris. M. deltoideus berfungsi untuk abduksi artikulasi humeri, bagian
anterior berfungsi untuk fleksi dan endorotasi artikulasi humeri sedangkan
pada bagian posterior untuk ekstensi dan eksorotasi artikulasi humeri.
c) M. Supraspinatus, bagian medial fossa supraspinatus merupakan origo otot ini
dan insersi di tuberculum majus humeri. Otot ini mendapat inervasi dari n.
suprscapularis. Berfungsi untuk abduksi artikulasi humeri. Otot ini bersama
dengan mm. infraspinatus, teres minor et subscapularis membentuk rotator
cuff yang berfungsi mempertahankan caput humeri tetap pada tematnya dan
mencegahnya tertarik oleh m. deltoideus menuju acromion.
d) M. Infraspinatus, origo otot ini di dua pertiga bagian medial fossa
infraspinatus dan permukaan inferior spina scapula. Tendo insersinya juga
menyatu dengan capsul artikulasi humeri dan berinsersi pada tuberculum
majus humeri. Otot ini dinervasi oleh n.suprascapularis dan berfungsi untuk
eksorotasi ertikulasi humer. Bagian superior untuk abduksi dan bagian inferior
berfungsi untuk adduksi artikulasi humeri.
e) M. Subscapularis, membentuk dinding posterior fossa axillaris. Origo pada
fossa subscapularis. Tendo insersi di anterior dan melekat pada capsula
artikulasi humeri serta tuberculum minor humeri. Otot ini di inervasi oleh n.
subscapularis dan berfungsi untuk endorotasi artikulasi humeri.
f) M. Teres Minor, yang berorigo pada tepi lateral fossa infraspinata dan tendo
insersinya melekat pada capsula articularis humeri yang kemudian melekat
pada tuberculum minor humer. Otot ini diinervasi oleh n. axillaris dan
berfungsi untuk eksorotasi artikulasi humeri.
g) M. Teres Mayor, berorigo di facies dorsalis scapulae dekat dengan angulus
inferior. Berinsersi di labium medial sulcus intertubercularis humeri di inferior
dari tempat insersi m. subscapularis. Inervasi otot ini berasal dari n.
subscapularis. Otot ini bersama dengan m. latissimus dorsi berfungsi untuk
adduksi artikulasi.
h) M. Biceps Brachii, berorigo di scapula, memiliki dua caput yaitu caput lonum
et brevis. Caput brevis berorigo bersama dengan m. coracobrachialis di
processus coracoideus, dan caput longum berorigo di tuberositas
supraglenoidalis. Insersi otot ini pada tuberositas radii, sebagian tendo insersi
sebagai lacertus fibrous berinsersi di fascia antebrachii dan ulna. Fungsi dari
caput longum m. biceps brachii untuk fleksi artikulasi humeri et cubiti,
sedangkan caput brevis untuk supinasi artikulasi radioulnaris.
i) M. Coracobrachialis, berorigo di processus coracoideus, dan berfungsi untu
fleksi dan adduksi artikulasi humeri.
j) M. Brachialis, berorigo di dua pertiga distal fascia anteromedial et
anterolateral humeri dan insersi pada capsula astikulasi cubiti, processus
coronoideus et tuberositas ulna. Otot ini berfungsi untuk fleksi artikulasi
cubiti.
k) M. Triceps Brachii, berada di region brachii dorsalis dan memiliki tiga caput
yang tersusun dalam dua lapisan. Caput longum et lateralis menempati lapisan
superfacial, caput medial menempati lapisan profundus. Caput longum
berorigo pada tuberositas infraglenoidalis yang memisahkan hiatus axillaris
medialis dari hiatus axillaris lateralis. Origo lateral et medial dipisahkan oleh
sulcus n. radialis humeri. Caput lateral berorigo di facies posterior humeri di
superior dari sulcus ini, sedang caput medial berorigo di inferiornya.
Insersinya di bagian posterior permukaan superior olecranon, fascia
antebrachii dan capsula articularis cubiti. Inervasi otot ini berasal dari n.
radialis. Fungsi dari caput longum m. triceps brachii untuk ekstensi dan
adduksi artikulasi humeri, sedangkan caput lateral et medial untuk ekstensi
artikulasi cubiti.
Menurut Mansjoer (2009) Humerus terbagi dengan tiga saraf, yaitu:
a) N. Axillaris: awalnya saraf ini berjalan sejajar dengan n. radialis,
setinggi inferior m.subscapularis memisahkan diri dari n. radialis dan
berada di lateralnya, kemudian berjalan ke posterior bersama a.
circumflexa humeri posterior melewati hiastus axillaris lateralis.
Selanjutya saraf ini berjalan di inferior dari tepi inferior m.teres minor
dan menginversinya. Ketika mencapai sisi posteromedial collum
chirurgicum umeri, n.axillaris memberi cabang n. cutaneous brachii
lateralis untuk menginversi kulit di superficial m. deltioideus.
Akhirnya melanjutlan diri ke anterior sekeliling sisi lateral collum
chirurgicum humeri utuk menginversi m. deltoideus
b) N. Radialis: cabang terbesar dari pleksus brachialis ini awalnya
berjalan di posterior dari a. axillaris dan di anterior dari m.
subscapularis. Saraf ini menginervasi kulit di sisi posterior region
brachii, antebrachii et manus, otot-otot ekstensor region brachii et
antebrachii, artikulasi cubiti dan beberapa artiulasi di region manus.
c) N. Ulnaris: saraf ini berjalan ke inferior di posteromedial dari a.
brachialis, jadi sejajar dengan n. medianus. Kira-kira di pertengahan
region brachii, n. ulnaris menjauhi a. brachialis dan n. medianus untuk
berjalan ke poter oinferior menembus septum intermusculare medial
bersama a. collateralis ulnaris proksimal menuju sisi medial m. triceps
brachii. Akhirnya berada di sisi posterior epicondylus medialis humeri.
Berikut merupakan tabel tentang saraf dan otot yang menggerakkan
humerus.
No Otot Origo Insertio Aksi Persarafan
1. Otot aksial yang menggerakkan humerus
a.M. Clavicula sternum, Tuberculum Aduksi merotasi N. pectoralis
pectoralis cartilago costalis majus dan lengan pada bahu; medialis dan
major VI, terkadang sisi lateral clavicula lateralis
cartilago costalis I- sulcus memfleksikan lengan
VII intertubercul dan kepala
aris dari sternocostal
humerus mengekstensikan
lengan yang fleksi tadi
ke arah truncus
b.M. Spina T7-L5, Sulcus Ekstensi, aduksi, dan N. thoracodorsalis
latissimus vertebrae lumbales, intertubercul merotasi medial
dorsi crista sacralis dan aris dari lengan pada sendi
crista iliaca, costa humerus bahu; menarik lengan
IV inferior melalui ke arah inferior dan
fascia thoracolumb posterior
alis
Gambar 3. (a) Anterior, (b) Posterior Humerus dan (c) Humerus dengan tiga saraf
utama yaitu n. axillaris, n. radialis dan n. ulnaris.
Gambar 4. Anterior dan Posterior Humerus. Tempat insersi otot-otot berhubungan
dengan pergerakan humerus.
Jaringan pada lengan atas dibagi menjadi dua kompartemen yaitu anterior dan
posterior. Kompartemen lain yang terkait dengan lengan atas adalah kompartemen
periskapularis (infraspinatus, teres minor, dan otot rhomboid). Otot supraspinatus dan
deltoid adalah bagian kompartemen yang terpisah satu sama lain.
a) Kompartemen anterior: bisep, brachialis, coricobrachialis, dan otot
brachioradialis.
b) Kompartemen posterior: otot triseps.
c) Kompartemen periskapular: infraspinatus, teres minor, otot rhomboid.
d) Lain-lain: Otot supraspinatus dan deltoid adalah kompartemen terpisah.
B. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian
Fraktur atau patah tulang diartikan sebagai suatu patahan pada kontinuitas
struktur tulang yang diakibatkan oleh trauma lansung atau tidak langsung. Fraktur
adalah patah tulang atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang ditentukan
sesuai dengan jenis dan luasnya (Smeltzer & Bare 2002). Fraktur juga dapat diartikan
sebagai terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa, trauma yang menyebabkan tulang patah, dapat berupa
trauma langsung dan tidak langsung (Hoppenfield, 2011). Fraktur humerus adalah
fraktur pada tulang humerus yang disebabkan oleh benturan atau trauma langsung
maupun tidak langsung ( De Jong, 2010). Menurut Muttaqin (2011), fraktur humerus
adalah terputusnya hubungan tulang humerus disertai kerusakan jaringan lunak (otot,
kulit, jaringan saraf, dan pembuluh darah) sehingga memungkinkan untuk terjadinya
hubungan antara fragmen tulang yang patah dengan udara luar yang disebabkan oleh
cedera dari trauma langsung yang mengenai lengan atas.
Klasifikasi fraktur humerus dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Egol et al,
2010; Thompson, 2010).
(a) Fraktur proksimal humerus
Pada fraktur jenis ini, insidensi meningkat pada usia yang lebih tua terkait
dengan osteoporosis. Mekanisme trauma pada orang dewasa tua biasanya
dihubungkan dengan kerapuhan tulang (osteoporosis). Pada pasien dewasa muda
fraktur dapat terjadi karena high-energy trauma, contohnya kecelakaan lalu lintas
sepeda motor. Mekanisme yang jarang terjadi antara lain peningkatan abduksi
bahu, trauma langsung, kejang, proses patologis seperti malignansi. Gejala klinis
pada fraktur ini adalah nyeri, bengkak, nyeri tekan, nyeri pada saat digerakkan,
dan dapat teraba krepitasi. Ekimosis dapat terlihat dinding dada dan pinggang
setelah terjadi cedera. Hal ini harus dibedakan dengan cedera toraks. Menurut
Neer, proksimal humerus dibentuk oleh 4 segmen tulang antara lain:
1) caput/kepala humerus;
2) tuberkulum mayor;
3) tuberkulum minor;
4) diafisis atau shaft.
Klasifikasi fraktur proksimal humerus menurut Neer antara lain sebagai
berikut:
1) One-part fracture: tidak ada pergeseran fragmen namun terlihat garis fraktur.
2) Two-part fracture: anatomic neck, surgical neck, tuberculum mayor,
tuberculum minor.
3) Three-part fracture: surgical neck dengan tuberculum mayor, dan surgical
neck dengan tuberculum minor.
4) Four-part fracture.
5) Fracture-dislocation.
Articular surface fracture.
Gambar 5. Tampilan
klasifikasi fraktur humerus
2. Etiologi
Fraktur humerus disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang
berlebih pada tulang (Reksoprodjo, 2010). Trauma ada 2 jenis yaitu sebagai berikut.
a) Trauma langsung, yaitu terjadi benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di
tempat benturan. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang
dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat
kominutif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
b) Trauma tidak langsung, yaitu terjadi benturan pada tulang dan titik tumpu benturan
dengan terjadinya fraktur berjauhan. Trauma tidak langsung terjadi apabila trauma
dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur. Tekanan pada tulang
dapat berupa:
1) tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat oblik atau spiral;
2) tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal;
3) tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi atau
dislokasi;
4) kompresi vertikal yang dapat menyebabkan fraktur kominutif atau memecah;
5) trauma oleh karena remuk;
6) trauma karena tarikan pada ligamen atau tendon akan menarik sebagian
tulang.
Fraktur shaft humerus kebanyakan terjadi akibat trauma langsung , meskipun
pada fraktur spiral sepertiga tengah dari shaft kadang disebabkan oleh aktifitas otot-
otot yang kuat seperti saat melempar bola. Pada fraktur humerus kontraksi otot,
seperti otot rotator cuff, deltoideus, pectoralis mayor, teres mayor, latissimu dorsi,
biceps, korakobrakialis dan triceps yang akan mempengaruhi posisi fragmen patahan
tulang mengakibatkan fraktur akan mengalami angulasi maupun rotasi. Pada bagian
posterior tengah melintas nervus radialis melingkar periostum diafisis humerus dari
proksimal ke distal sehingga mudah terganggu akibat patah tulang humerus bagian
tengah.
3. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan (Apley, 1993). Fraktur terjadi karena kelebihan beban
mekanis pada suatu tulang, yaitu saat tekanan yang diberikan pada tulang terlalu
banyak dibandingkan yang mampu ditanggungnya. Jumlah gaya pasti yang
diperlukan untuk menimbulkan suatu fraktur dapat bervariasi, sebagian bergantung
pada karakteristik tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah
serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang
rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di
rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang
patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon
inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan
infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya (Black et al, 1995).
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur sebagai berikut:
1) Faktor ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap
besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2) Faktor intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk
timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas,
kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang (Donna, 1995).
b. Proses penyembuhan tulang
Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan
jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk
oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1) Stadium satu (pembentukan hematoma)
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-
sel darah membentuk fibrin untuk melindungi tulang yang rusak dan sebagai
tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24-48
jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada klien dengan fraktur humerus adalah
sebagai berikut
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan
sinar rontgen (X-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan
kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada
indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.
Pada rontgen dapat dilihat gambaran fraktur (tempat fraktur, garis fraktur
(transversa, spiral atau kominutif) dan pergeseran lainnya dapat terbaca jelas).
Radiografi humerus AP dan lateral harus dilakukan. Sendi bahu dan siku harus
terlihat dalam foto. Radiografi humerus kontralateral dapat membantu pada
perencanaan preoperative.
Hal yang harus dibaca pada X-ray:
1) bayangan jaringan lunak;
2) tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau
juga rotasi;
3) trobukulasi ada tidaknya rare fraction;
4) sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Gambar 14. Fraktur leher humerus (tanda panah)
b) Tomografi
Pemeriksaan ini menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur
yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
c) Arthrografi
Pemeriksaan ini menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda
paksa.
d) Computed Tomography-Scan (CT-Scan)
Pemeriksaan ini menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana
didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
e) Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
2) Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
3) Enzim otot seperti kreatinin kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat
Amino Transferase (AST), aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan fraktur humerus secara umum sebagai berikut (Purwadianto,
2000):
a) Bila terjadi trauma, dilakukan primary survey terlebih dahulu.
b) Sebelum penderita dibawa ke rumah sakit, pasang bidai untuk mengurangi nyeri,
mencegah bertambahnya kerusakan jaringan lunak dan makin buruknya
kedudukan fraktur. Bila tidak terdapat bahan untuk bidai, maka bila lesi di anggota
gerak bagian atas untuk sementara anggota yang sakit dibebatkan ke badan
penderita.
Pilihan adalah terapi konservatif atau operatif. Pilihan harus mengingat tujuan
pengobatan fraktur yaitu mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka
waktu sesingkat mungkin.
a) Reduksi fraktur berarti pengembalian fragmen tulang pada kesejajarannya dan
rotasi anatomis. Metode yang digunakan dalam reduksi adalah reduksi tertutup,
traksi dan reduksi terbuka, yang masing-masing di pilih bergantung sifat fraktur.
1) Reduksi tertutup, dilakukan untuk mengembalikan fragmen tulang ke
posisinya (ujung-ujung saling behubungan) dengan manipulasi dan traksi
manual.
2) Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi.
Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
3) Reduksi terbuka, dengan pendekatan pembedahan, fragmen tulang direduksi.
Alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku atau batangan
logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam
posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
b) Imobilisasi fraktur
Setelah fraktur di reduksi fragmen tulang harus di imobilisasi atau di pertahankan
dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal atau internal. Fiksasi eksternal meliputi
pembalutan, gips, bidai, traksi kontinui, pin dan teknik gips atau fiksator eksternal.
Fiksasi internal dapat dilakukan dengan memasang implan logam yang berperan
sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur
c) Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak, yaitu:
1) mempertahankan reduksi dan imobilisasi;
2) meninggikan untuk meminimalkan pembengkakan;
3) memantau status neurologi;
4) mengontrol kecemasan dan nyeri;
5) latihan isometrik dan setting otot;
6) berpartisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari;
7) kembali ke aktivitas sehari-hari secara bertahap.
Penatalaksanaan fraktur humerus sesusai dengan jenis fraktur humerus adalah
sebagai berikut (Egol et al, 2010; Reksoprodjo, 2009).
a) Fraktur proksimal humerus
Pada fraktur impaksi tidak diperlukan tindakan reposisi. Lengan yang cedera
diistirahatkan dengan memakai gendongan (sling) selama 6 minggu. Selama
waktu itu penderita dilatih untuk menggerakkan sendi bahu berputar sambil
membongkokkan badan meniru gerakan bandul (pendulum exercise). Hal ini
dimaksudkan untuk mencegah kekakuan sendi. Pada penderita dewasa bila terjadi
dislokasi abduksi dilakukan reposisi dan dimobilisasi dengan gips spica, posisi
lengan dalam abduksi (shoulder spica).
b) Fraktur shaft humerus
Pada fraktur humerus dengan garis patah transversal, apabila terjadi dislokasi
kedua fragmennya dapat dilakukan reposisi tertutup dalam narkose. Bila
kedudukan sudah cukup baik, dilakukan imobilisasi dengan gips berupa U slab
(sugar tong splint). Immobilisasi dipertahankan selama 6 minggu. Teknik
pemasangan gips yang lain yaitu dengan hanging cast. Hanging cast terutama
dipakai pada pnderita yang dapat berjalan dengan posisi fragmen distal dan
proksimal terjadi contractionum (pemendekan). Apabila pada fraktur humerus ini
disertai komplikasi cedera nervus radialis, harus dilakukan open reduksi dan
internal fiksasi dengan plate-screw untuk humerus disertai eksplorasi nervus
radialis. Bila ditemukan nervus radialis putus (neurotmesis) dilakukan
penyambungan kembali dengan teknik bedah mikro. Kalau ditemukan hanya
neuropraksia atau aksonotmesis cukup dengan konservatif akan baik kembali
dalam waktu beberapa minggu hingga 3 bulan.
c) Fraktur suprakondiler humerus
Jika terjadi pembengkakan tak hebat dapat dilakukan reposisi dalam anasthesia
umum. Setelah tereposisi, posisi siku dibuat fleksi diteruskan sampai arteri
radialis mulai tak teraba. Kemudian diekstensi siku sedikit untuk memastikan
arteri radialis teraba lagi. Dalam posisi fleksi maksimal ini dilakukan imobilisasi
dengan gips spal. Posisi fleksi maksimal dipindahkan karena penting untuk
menegangkan otot trisep yang berfungsi sebagai internal splint.
Jika dalam pengontrolan dengan radiologi hasilnya sangat baik gips dapat
dipertahankan dalam waktu 3-6 minggu. Kalau dalam pengontrolan pasca
reposisi ditemukan tanda Volkmann’s iskemik secepatnya posisi siku diletakkan
dalam ekstensi, untuk immobilisasinya diganti dengan skin traksi dengan sistem
Dunlop. Pada penderita dewasa kebanyakan patah di daerah suprakondiler garis
patahnya berbentuk T atau Y, yang membelah sendi untuk menanggulangi hal ini
lebih baik dilakukan tindakan operasi dengan pemasangan internal fiksasi.
d) Fraktur transkondiler humerus
Terapi konservatif diindikasikan pada fraktur dengan dislokasi minimal atau
tanpa dislokasi. Tindakan yang paling baik dengan melakukan operasi reposisi
terbuka dan dipasang fiksasi interna dengan plate-screw.
Fraktur Humerus
Prosedur pembedahan
Kurang
terpaparnya Ancaman
Perubahan Jaringan Kerusakan Frakmen kematian
Sekitar informasi
Tulang
Spasme Otot Kurang
Laserasi Kulit Tekanan Krisis
Pengetahuan
Sumsum Situasional
Pergeseran fragmen Peningkatan
tulang > tinggi
tulang Putus Tekan Kapiler
dari kapiler
Kerusakan vena/arteri Ansietas
Intergritas Pelepasan
Deformitas Kulit Reaksi Stres
Histamin
Perdarahan Klien
Protein
Bergabung
Plasma hilang Memobilisasi
Gangguan Fungsi Kehilangan Vol. Cairan Pelepasan dengan
asam Lemak
Katekolamin trombosit
Edema
Risiko Syok Menyumbat
Gangguan Emboli
Hambatan Sindrom Hipovolemik Penekanan Pemb. Pembuluh darah
Perfusi Jaringan
Bergabung
Mobilitas Fisik Disuse Darah
Penurunan dengan
Menyumbat
Gangguan
PerfusiJaringan
Jaringan trombosit
Pembuluh darah
Perfusi Emboli
Intra Operasi Post Operasi Tindakan Konservatif
1. Pengkajian
a. Keluhan utama
Keluhan yang membuat pasien datang ke rumah sakit. Pada kasus-kasus
fraktur biasanya keluhan utama yang dirasakan yaitu sakit yang sangat pada
daerah terjadinya fraktur. Sebagian besar kasus fraktur, pertama kali pasien
datang langsung mendapatkan penanganan di ruang IGD. Anamnesis dapat
dilakukan pada keluarga setelah pasien diberikan intervensi dan menunggu
pasien untuk memungkinkan dilakukan anamnesis.
b. Riwayat keluhan utama:
a. Mulai timbulnya keluhan atau waktu terjadinya fraktur.
b. Sifat keluhan, biasanya pasien mengeluh sakit yang sangat parah di
daerah lokasi fraktur dan bahkan pasien tidak dapat berjalan sendiri.
c. Lokasi fraktur atau nyeri yang dirasakan pasien.
d. Keluhan lain yang menyertai, apabila terjadi perdarahan hebat biasanya
pasien merasa pusing atau bahkan pingsan.
e. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah kesehatan seperti dibawa
ke tukang pijit atau diberikan obat-obatan analgesic untuk mengatasi
nyeri sementara.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat penyakit sekarang
Klien biasanya nyeri pada bagian yang mengalami fraktur di area
humerus. Nyeri dimulai ketika fraktur terjadi, fraktur biasanya terjadi
karena trauma langsung seperti kecelakaan ataupun karena trauma tidak
langsung seperti osteoporosis.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Menentukan penyebab fraktur dan memberi petunjuk tentang lamanya
tulang untuk menyambung. Penyakit tertentu seperti kanker tulang dan
penyakit paget’s menyebabkan fraktur patologis sulit untuk menyambung.
Diabetes dapat menghambat proses penyembuhan tulang
3) Riwayat kesehatan keluarga
Bukan merupakan penyakit yang degenerative. Penyakit keluarga yang
berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor
predisposisi terjadinya fraktur seperti diabetes, osteoporosis dan kanker
tulang.
d. Alergi
Lakukan pengkajian adanya riwayat alergi terutama terhadap obat-obatan atau
makanan. Kemudian tanyakan pula reaksi yang ditimbulkan apabila terjadi
alergi, dan tindakan apa yang dilakukan pasien saat terjadi alergi.
e. Kebiasaan
Tanyakan kebiasaan pasien sehari-hari, serta tanyakan berapa lama kebiasaan
tersebut dilakukan.
1) Merokok (berapa batang /bungkus sehari)
2) Minum alkohol
3) Minum kopi
4) Minum obat-obatan
f. Pengkajian keperawatan
1) Persepsi kesehatan & pemeliharaan kesehatan, meliputi kebiasaan hidup
klien seperti penggunaan obat steroid yang mengganggu metabolism
kalsium, mengkonsumsi alcohol yang bisa mengganggu keseimbangan
dan kebiasaan klien melakukan olahraga.
2) Pola nutrisi/metabolik terdiri dari antropometri, biomedical sign, clinical
sign, diet pattern. Klien dengan fraktur harus mengkonsumsi nutrisi
melebih kebutuhan sehari-hari, seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin
C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan. Evaluasi pola nutrisi
klien membantu menentukan penyebab masalah muskuloskletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama pada
kalsium atau protein.
3) Pola eliminasi: BAB dan BAK (frekuensi, jumlah, warna, konsistensi,
bau, karakter)
4) Pola aktivitas & latihan: Activity Daily Living,status oksigenasi, fungsi
kardiovaskuler, terapi oksigen. Timbulnya nyeri, keterbatasan gerak
menyebabkan semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan klien
membutuhkan bantuan orang lain. Aktivitas klien sebelumnya juga perlu
dikaji terutama pekerjaan klien, karena ada beberapa jenis pekerjaan
berisiko untuk menyebabkan terjadinya fraktur.
5) Pola tidur & istirahat : durasi, gangguan tidur, keadaan bangun tidur. Klien
fraktur akan mengalami nyeri, keterbatasan gerak sehingga menggangu
waktu tidur dan istirahat klien.
6) Pola kognitif & perceptual : fungsi kognitif dan memori, fungsi dan
keadaan indera. Biasanya klien akan mengalami gangguan pada indra
peraba terutama pada bagian distal fraktur.
7) Pola persepsi diri : gambaran diri, identitas diri, harga diri, ideal diri, dan
peran diri. Dampak yang timbul pada klien yang mengalami fraktur yaitu
ketakutan akan kecacatan akibat fraktur, rasa cemas, rasa ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal dan pandangan akan dirinya
yang salah.
8) Pola seksualitas & reproduksi : pola seksual dan fungsi reproduksi. Klien
tidak dapat melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat
inap dan keterbatasan gerak serta nyeri yang dialami.
9) Pola peran & hubungan, klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan
masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap.
10) Pola manajemen & koping stress. Mekanisme koping yang dialami klien
dapat menjadi tidak efektif akibat ketakutan klien akan kecacatan yang
dapat timbul pada dirinya.
11) Sistem nilai dan keyakinan : oleh pasien maupun masyarakat. Klien
fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik
terutama terhadap frekuensi dan konsentrasi dalam beribadah akibat nyeri
dan keterbatasan gerak.
g. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui keadaan fraktur yang dialami
pasien secara lebih jelas. Pemeriksaan fisik meliputi primary survey
(dilakukan dengan mengetahui keadaan umum pasien) dan secondary survey
(untuk mengetahui gerakan pasien apakah masih dianggap normal atau tidak).
1) Keadaan umum, tanda vital
2) Pengkajian Fisik (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi): kepala, mata,
telinga, hidung, mulut, leher, dada, abdomen, urogenital, ekstremitas,
kulit dan kuku, dan keadaan lokal.
3) Pemeriksaan fraktur
a) Look/inspeksi
(a)Bandingkan dengan bagian yang sehat
(b)Perhatikan posisi anggota gerak secara keseluruhan
(c)Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan
(d)Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau terbuka
(e)Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan
pemendekan
(f) Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-
organ lain
(g)Keadaan vaskularisasi
b) Feel/palpasi
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya
mengeluh sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
(a)Nyeri tekan
(b)Krepitasi
(c)Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma
(d)Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk
mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai
c) Move/gerakan
(a)Periksa pergerakan dengan mengajak penderita untuk
menggerakkan secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari
daerah yang mengalami trauma
(b)Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan
nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara
kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada
jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf
(c)Move untuk melihat apakah ada krepitasi bila fraktur digerakkan,
tetapi ini bukan cara yang baik dan kurang halus. Krepitasi timbul
oleh pergeseran atau beradunya ujung-ujung tulangkortikal. Pada
tulang spongiosa atau tulang rawan epifisis tidak terasa krepitasi.
(d)Memeriksa seberapa jauh gangguan fungsi, gerakan-gerakan yang
tidak mampu dilakukan, range of motion dan kekuatan serta kita
melakukan pemeriksaan untuk melihat apakah ada gerakan tidak
normal atau tidak. Gerakan tidak normal merupakan gerakan yang
tidak terjadi pada sendi, misalnya pertengahan femur dapat
digerakkan. Ini adalah bukti paling penting adanya fraktur yang
membuktikan adanya putusnya kontinuitas tulang sesuaidefinisi
fraktur. Hal ini penting untuk membuat visum, misalnya bila tidak
ada fasilitas pemeriksaan rontgen.
2. Diagnosa Keperawatan
a) Pre Operasi
1) Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik dan kerusakan jaringan:
pergeseran fragmen tulang akibat fraktur.
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
muskuloskeletal dan neuromuskuler.
3) Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, trauma jaringan
4) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan obstruksi pembuluh
darah, pendarahan akibat fraktur terbuka
5) Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan mengenai kondisi
fisik, prosedur pemberdahan
b) Intra Operasi
1) Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan
c) Post Operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan proses penyembuhan luka
2) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tindakan pembedahan
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan fungsi
muskuloskletal
4) Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer,
kerusakan kulit, trauma jaringan
5) Sindrom disuse berhubungan dengan efek pembedahan: resiko infeksi,
gg. eliminasi, pemasangan traksi, hambatan mobilitas fisik.
6) Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya paparan
informasi yang ada.
3. Intervensi Keperawatan
No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Pre Operatif
No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Post Operatif
Indikator Aw 1 2 3 4 5
al
Cuci
tangan
Membersi
hkan
telinga
Menjaga
kesersihan
untuk
kemudaha
n bernafas
Membersi
hkan kuku
jari tangan
dan kaki
4. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah pasien
diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian, diagnosa
keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi keperawatan. Evaluasi
keperawatan ditulis dengan format SOAP, yaitu:
D. Discharge Planningw
DAFTAR PUSTAKA
Lake Cook Orthophedics. Tanpa tahun. Humerus Mid-Shaft Fracture: s/p Open
Treatment with Internal Fixation: Post-Operative Rehabilitation Protocol.
http://lakecookortho.com/wp-
content/uploads/2012/11/Humerus_Fracture_Post_Repair.pdf [diakses 17
November 2018]
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II. Medika Aesculapius. Jakarta:
FKUI
Morrison, M.J. 2003. Manajemen Luka alih bahasa Tyasmono A. F. Jakarta: EGC.
Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia.