Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

Close Fracture Tibia Plateau Dextra Schatzker 2 + Close


Fracture Fibula Dextra 1/3 Proximal

Pembimbing :
dr. Broto Suwadji, Sp. OT

Oleh :
Putu Bagus Gin Gin Pramana, S.Ked
16710075

SMF ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANGIL
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

2016PEMERINTAH KABUPATEN PASURUAN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANGIL
Jl. Raya Raci Bangil, Telp. (0343) 744900
Fax. (0343) 744940

PASURUAN

LEMBAR PENGESAHAN

KEPANITERAAN KLINIK FK-UWKS


RSUD BANGIL KABUPATEN PASURUAN

Telah dipresentasikan di :
Bangil, ..............................................................2016
Stase Bedah

Mengetahui,
Pembimbing Bagian/SMF Bedah

dr.Broto Suwadji,Sp.OT
NIP :
2

PEMERINTAH KABUPATEN PASURUAN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANGIL
Jl. Raya Raci Bangil, Telp. (0343) 744900
Fax. (0343) 744940

PASURUAN

LEMBAR PENGESAHAN

KEPANITERAAN KLINIK FK-UWKS


RSUD BANGIL KABUPATEN PASURUAN

Telah dipresentasikan di :
Bangil, ..............................................................2016
Stase Bedah

Mengetahui,
Ketua Bagian SMF Bedah

dr.Moch Jundi Agustoro,SP.B


NIP :
3

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Fraktur adalah hilangnya kontuinitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis,
baik yang bersifat total maupun yang parsial. Fraktur tulang panjang yang paling sering
terjadi adalah fraktur pada tibia. Tendensi untuk terjadinya fraktur tibia terdapat pada
pasien-pasien usia lanjut yang terjatuh, Pada pasien-pasien usia muda, mekanisme trauma
yang paling sering adalah kecelakaan kendaraan bermotor.
World Health Organization mencatat pada tahun 2005 terdapat lebih dari 7 juta orang
meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami kecacatan
fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang cukup tinggi yakni insiden terjadinya fraktur
ekstremitas

bawah,

sekitar

46,2%

dari

insiden

kecelakaan

yang

terjadi.

Fraktur sering diikuti oleh kerusakan jaringan lunak dengan berbagai macam derajat,
mengenai pembuluh darah, otot, dan persarafan.

Fraktur yang sering terjadi adalah

fraktur pada tulang panjang, salah satunya fraktur pada tibia.


Pusat Nasional Kesehatan di luar negeri melaporkan bahwa fraktur ini berjumlah
77.000 orang, dan ada di 569.000 rumah sakit tiap hari / tahunnya. Fraktur tibia
umumnya dikaitkan dengan fraktur tulang fibula, karena gaya ditransmisikan sepanjang
membran interoseus fibula. Kulit dan jaringan subkutan sangat tipis pada bagian anterior
dan medial dari tulang tibia dan sebagai akibat dari hal ini, sejumlah besar fraktur tulang
terbuka sering terjadi.
Fraktur tibia merupakan fraktur tulang panjang yang paling sering terjadi.Insiden
yang terjadi pertahun pada fraktur terbuka tulang panjang diperkirakan 11,5 per 100.000
orang, dengan 40% terjadi pada ekstremitas bawah. Fraktur ekstremitas bawah yang
paling umum terjadi pada diafisis tibia.
Kehilangan anggota tubuh dapat terjadi akibat trauma dari jaringan lunak yang parah,
keterlibatan neurovaskular, cedera arteri poplitea, sindroma kompartemen, atau infeksi
4

seperti gangren atau osteomielitis. Cedera arteri poplitea merupakan cedera yang sangat
serius sehingga mengancam ekstremitas namun biasanya diabaikan. Delayed union,
nonunion, dan arthritis dapat terjadi pada fraktur tibia. Di antara tulang-tulang panjang,
tibia adalah lokasi yang paling sering dari fraktur nonunion.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Anatomi Tibia
Tibia atau tulang kering merupakan kerangka yang utama dari tungkai bawah dan
terletak medial dari fibula atau tulang betis. Tibia adalah tulang pipa dengan sebuah
batang dan dua ujung. Tibia memiliki ujung atas yang melebar dan ujung bawah yang
lebih kecil serta sebuah corpus.
Tibia terdiri dari : ujung proksimal disebut sebagai plateau (terbagi menjadi medial
yang berbentuk konkaf dan lateral yang berbentuk konvex), tubercle, eminence (medial
dan lateral), batang/shaft, dan ujung distal disebut sebagai pilon (sendi dan medial
maleolus). Tibial plateau merupakan penopang massa tubuh bagian proksimal dari tibia
dan melakukan artikulasi dengan condylus femoralis untuk membentuk sendi lutut.
(Frassica, 2007).

Gambar II.1: Tibia Plateau

Plateu tibia normal mempunyai bagian lembah sebesar 10 derajat. Dua plateu
dipisahkan satu dengan yang lainnya oleh ligamen interkondilar, dimana tidak
mempunyai

artikulasi

dan

merupakan

perlekatan

dari

ligamentum

cruciatum

tibia.Terdapat tiga penonjolan tulang sepanjang 2 hingga 3 cm di bagian distal dari tibia
plateu. Di bagian anterior, tuberkel tibia yang merupakan insersi dari ligamen patela. Di
Sumber :

medial, terdapat pes anserinus yang merupakan dari ligamen medial. Di bagian lateral,
terdapat tuberkulum Gerdy yang merupakan insersi dari iliotibial.
6

Permukaan sendi medial dan kondilus medial lebih kuat dibandingkan bagian
lateralnya. Sebagai hasilnya, fraktur di bagian lateral plateu lebih sering terjadi. Fraktur
medial plateu berhubungan dengan trauma karena energi yang tinggi dan sebagian besar
berhubungan dengan kerusakan jaringan lunak seperti rusaknya ligamentum kolateral
yang komplek. Lesi pada nervus peroneal dan kerusakan pada pembuluh popliteal.
Sebuah os longum, mempunyai corpus, ujung proximal dan ujung distal, berada di sisi
medial dan anterior dari crus. Pada posisi berdiri, tibia meneruskan gaya berat badan
menuju ke pedis. Ujung proximal lebar, mengadakan persendian dengan os femur
membentuk articulatio genu, membentuk condylus medialis dan condylus lateralis tibiae,
facies proximalis membentuk facies articularis superior, bentuk besar, oval, permukaan
licin. (Luhulima, 2002).
Facies articularis ini dibagi menjadi dua bagian, dari anterior ke posterior, oleh fossa
intercondyloidea anterior, eminentia intercondyloidea dan fossa intercondyloidea
posterior. Fossa intercondyloidea anterior mempunyai bentuk yang lebih besar daripada
fossa intercondyloidea posterior. Tepi eminentia intercondyloidea membentuk tuberculum
intercondylare mediale dan tuberculum intercondylare laterale. Eminentia epicondylaris
bervariasi dalam bentuk dan sering juga absen (Luhulima, 2002).
Facies articularis dari condylus medialis berbentuk oval, sedangkan facies articularis
condylus lateralis hampir bundar. Condylus lateralis lebih menonjol daripada condylus
medialis. Pada facies inferior dari permukaan dorsalnya terdapat facies articularis,
berbentuk lingkaran, dinamakan facies articularis fibularis, mengadakan persendian
dengan capitulum fibulae. Di sebelah inferior dari condylus tibiae terdapat tonjolan ke
arah anterior, disebut tuberositas tibiae. Di bagian distalnya melekat ligamentum patellae
(Luhulima, 2002).
Corpus tibiae mempunyai tiga buah permukaan, yaitu (1) facies medialis, (2) facies
lateralis dan (3) facies posterior. Mempunyai tiga buah tepi, yaitu (1) margo anterior, (2)
margo medialis dan (3) margo interosseus. Facies medialis datar, agak konveks, ditutupi

langsung kulit dan dapat dipalpasi secara keseluruhan. Facies lateralis konkaf, ditempati
oleh banyak otot. Bagian distalnya menjadi konveks, berputar ke arah ventral,
melanjutkan diri menjadi bagian ventral ujung distal tibia. Facies posterior berada di
antara margo medialis dan margo interosseus. Pada sepertiga bagian proximal terdapat
linea poplitea, suatu garis yang oblique dari facies articularis menuju ke margo medialis
(Luhulima, 2002).
Margo anterior disebut crista anterior, sangat menonjol, di bagian proximal mulai dari
tepi lateral tuberositas tibiae, dan di bagian distal menjadi tepi anterior dari malleolus
medialis. Margo medialis, mulai dari bagian dorsal condylus medialis sampai ke bagian
posterior malleolus medialis. Margo interosseus mempunyai bentuk yang lebih tegas
daripada margo medialis, tempat melekat membrana interossea. Di bagian proximal mulai
pada condylus lateralis sampai di apex incisura fibularis tibiae membentuk bifurcatio
(Luhulima, 2002).

Gambar II.2: Facies Tibia Dilihat dari Depan dan Belakang

Ujung distal tibia membentuk malleolus medialis. Malleolus medialis mempunyai


facies superior, anterior, posterior, medial, lateral dan inferior. Pada facies posterior
terdapat sulcus malleolaris, dilalui oleh tendo m.tibialis posterior dan m.flexor digitorum
longus. Pada permukaan lateral terdapat incisura fibularis yang membentuk persendian
dengan ujung distal fibula. Facies articularis inferior pada ujung distal tibia membentuk
persendian dengan facies anterior corpus tali (Luhulima, 2002).
Sumber : Netters image

2.2.

Anatomi Fibula
Fibula adalah tulang lateral tungkai bawah yang langsing. Tulang ini
membentuk malleolus lateralis dari articulation talocruralis. Tulang ini
berperan sebagai tempat melekatnya otot-otot. Fibula memiliki ujung
atas yang melebar, corpus dan ujung bawah.
Caput fibulae ditutpi oleh processus

styloideus.

Bagian

ini

mempunyai facies articularis untuk bersendi dengan condylus lateralis


tibiae. Corpus fibulae memiliki 4 margines dan 4 facies. Margo medialis
atau

margo

interosseus

memberikan

tempat

perlekatan

untuk

membrane interossea. Ujung bawah fibula membentuk malleolus


lateralis yang berbentuk segitiga dan terletak subkutan Pada facies
medialis

dari

malleolus

lateralis

terdapat

facies

articularis

yag

berbentuk segitiga untuk bersendi dengan aspek lateral os talus. Di


bawah dan belakang facies articularis terdapat lekukan yang disebut
fossa malleolaris.
2.3.

Definisi Fraktur Tibial Plateau


Menurut Mansjoer (2005:356), fraktur tibia (bumper fracture/fraktur tibiaplateau)
adalah fraktur yang terjadi akibat trauma langsung dari arah samping lutut dengan kaki
yang masih terfiksasi ke tanah.

2.4.

Epidemiologi
Predisposisi fraktur tibia plateu sebesar 1% dari keseluruhan fraktur dan 8% dari
keseluruhan fraktur yang biasa terjadi pada usia tua. Trauma yang terbatas pada bagian
lateral plateu mencapai 55% hingga 70% dari fraktur tibia plateu, dibandingkan dengan
fraktur yang terjadi di medial hanya sebesar 10% hingga 25%, sedangkan 10% hingga
30% fraktur tibia adalaha bikondilar. 1% hingga 3% dari fraktur ini merupakan fraktur
terbuka (Chairuddin, 2003).

2.5.

Mekanisme Trauma
9

Fraktur tibial plateau biasanya terjadi sebagai akibat dari kecelakaan pejalan kaki
yang rendah energy mengenai bumper mobil. Sebagian besar kejadian fraktur tibial
plateau ini juga dilaporkan terjadi akibat dari kecelakaan sepeda motor dengan kecepatan
tinggi dan jatuh dari ketinggian. Fraktur tibial plateau terjadi akibat kompresi langsung
secara axial, biasanya dengan posisi valgus (paling sering) atau varus (jarang) atau trauma
tidak langsung yang besar. Aspek anterior dari kondilus femoralis berbentuk baji, dengan
terjadinya hiperekstensi dari lutut maka kekuatan ditimbulkan oleh gerakan kondilus ke
tibial plateau. Arah, besar, dan lokasi dari kekuatan yang ditimbulkan, serta posisi lutut
pada saat trauma akan menyebabkan perbedaan dari pola fraktur, lokasi, dan tingkat
pergeseran. Factor lain seperti usia dan kualitas tulang juga berpengaruh pada konfigurasi
fraktur. Pasien yang lebih tua dengan tulang yang osteopeni akan lebih cenderung
menjadi tipe fraktur depresi karena tulang subkondral nya lebih kaku untuk mengikuti
beban (Chapman, 2001).

Gambar II.3: Mechanism of Injury Fracture Tibia Plateau

Usia muda dengan tulang yang kaku memiliki angka kejadian lebih tinggi untuk
terjadinya robekan ligament sedangkan usia tua dengan kekuatan tulang yang menurun
memiliki angka kejadian lebih rendah untuk robekan ligament (Koval, 2006).
2.6.

Faktor Resiko
Faktor resiko untuk terjadinya fraktur tibial plateau adalah :

Sumber :

10

Pasien-pasien memiliki resiko untuk cedera ini adalah trauma dengan kecepatan tinggi
(usia muda, laki-laki, alcohol dan pecandu obat).

2.7.

Usia lebih tua dengan kualitas tulang yang jelek memiki resiko fraktur.

Derajat Fraktur
Jika kerusakan yang terjadi tertutup, maka digunakan klasifikasi Tscherne dan
Gotzen. Jika fraktur terbuka maka digunakan klasifikasi Gustilo-Anderson. Fraktur tibial
plateau dapat diklasifikasikan dengan Schatzker yaitu berdasarkan lokasi dan konfigurasi
fraktur. (Kingsley, 2008)
Klasifikasi fraktur tertutup (Tscheme and Gotzen) yaitu :
Grade 0

: kerusakan jaringan lunak minimal

Grade 1

: Abrasi superficial/ kontusio

Grade 2

: Dalam, abrasi dengan kontusio kulit ataupun otot. Tanda-tanda


impending kompartemen sindrom

Grade 3

: Kontusio kulit yang luar, avulse subkutan, dan kerusakan otot

Klasifikasi fraktur terbuka (Gustilo-Anderson) yaitu :


Grade 1 : Luka kecil kurang dan 1 cm, terdapat sedikit kerusakan jaringan, tidak
terdapat tanda-tanda trauma yang hebat pada jaringan lunak. Fraktur
yang terjadi biasanya bersifat simpel, tranversal, oblik pendek atau
komunitif.
Grade 2

: Laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak terdapat kerusakan jaringan


yang hebat atau avulsi kulit. Terdapat kerusakan yang sedang dan
jaringan

11

Grade 3 : Terdapat kerusakan yang hebat pada jaringan lunak termasuk otot, kulit
dan struktur neovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. Dibagi dalam
3 sub tipe:
a) grade IIIA: Jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah
b) grade IIIB : Disertai kerusakan dan kehilangan jaringan lunak, soft
tissue cover (-)
c) grade IIIC : Disertai cedera arteri yang memerlukan repair segera

2.8.

Klasifikasi Fraktur Tibia Plateau


Klasifikasi fraktur tibial plateau (Schatzker classification) :
Tipe I :

Fraktur biasa pada kondilus tibia lateral. Pada pasien yang lebih muda
yang tidak menderita osteoporosis berat, mungkin terdapat retakan
vertikan dengan pemisahan fragmen tunggal. Fraktur ini mungkin
sebenarnya tidak bergeser, atau jelas sekali tertekan dan miring, kalau
retakannya lebar, fragmen yang lepas atau meniscus lateral dapat
terjebak dalam celah.

Tipe II : Peremukan kominutif pada kondilus lateral dengan depresi pada fragmen.
Tipe fraktur ini paling sering ditemukan dan biasanya terjadi pada
orang tua dengan osteoporosis.
Tipe III : Peremukan komunitif dengan fragmen luar yang utuh. Fraktur ini mirip
dengan tipe 2, tetapi segmen tulang sebelah luar memberikan selembar
permukaan sendi yang utuh.
Tipe IV : Fraktur pada kondilus tibia medial. Ini kadang-kadang akibat cedera
berat, dengan perobekan ligament kolateral lateral
Tipe V : Fraktur pada kedua kondilus dengan batang tibia yang melesak diantara
keduanya
12

Tipe VI : Kombinasi fraktur kondilus dan subkondilus, biasanya akibat daya aksial
yang hebat.
Gambar II.4: Klasifikasi Schtzker

2.9.

Gejala Klinis
Tanda yang menunjukan adanya fraktur tibia lateu tidak jauh berbeda dengan tanda
fraktur secara umum yaitu adanya nyeri, odema, deformitas dan gangguan fungsi, namun
pada fraktur tibia plateu ini mempunyai ciri-ciri yang khas adanya pembegkaanpada lutut
dan sedikit deformitas, memar biasanya luas dan jaringan terasa adonan karena
hemathrosis. Pada pemeriksaan secara hati-hati ( dibawah anesthesia) dapat menunjukan
ketidakstabilan kearah medial maupun lateral. Kaki dan ujung kaki harus diperiksa
dengan cermat untuk mencari ada tidaknya tanda tanda cidera pembuluh darah

dan

neurulogi.
2.10. Diagnosis
2.10.1. Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk mengevaluasi
pasien dengan fraktur. Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan nyeri, bengkak,
ataupun deformitas. Keluhan lain yang dipaparkan oleh pasien adalah tidak mampu
untuk menggerakkan lutut secara seluruhan ataupun sebagian. Anmnesis penting
untuk mengetahui apakah pasien mengalami trauma dengan energy besar atau tidak.
Kecelakan motor, jatuh dari ketinggian lebih dari 10 kaki, dan ditabrak dengan

13

kendaraan sementara berjalan merupakan contoh mekanisme trauma dengan energi


tinggi. Anamnesis lainnya yang pertu ditanyakan adalah factor-faktor komorbid dari
pasien yang akan berpengaruh pada terapi ataupun prognosis. Pasien dengan penyakit
penyerta seperti penyakit arteri koroner, emfisema, perokok, ataupun diabetes tidak
terkontrol memiliki resiko besar untuk timbulnya komplikasi dari cedera yang terjadi
(Dirchsl, 2007).
2.10.2. Pemeriksaan Fisik
1. Look (Inspeksi)
Deformitas : angulasi ( medial, lateral, posterior atau anterior), diskrepensi
(rotasi, perpendekan atau perpanjangan).
Bengkak atau kebiruan.
Fungsio laesa (hilangnya fungsi gerak)
2. Feel (Palpasi)
- Tenderness (nyeri tekan) pada derah fraktur.
- Krepitasi.
- Nyeri sumbu.
3. Move (Gerakan)
- Nyeri bila digerakan, baik gerakan aktif maupun pasif.
- Gerakan yang tidak normal yaitu gerakan yang terjadi tidak pada sendinya.
4. Pemeriksan trauma di tempat lain seperti kepala, thorak, abdomen, tractus
urinarius dan pelvis.
5. Pemeriksaan komplikasi fraktur seperti neurovaskular bagian distal fraktur yang
berupa pulsus arteri, warna kulit, temperatur kulit, pengembalian darah ke kapiler
(Capillary refil test), sensasi motorik dan sensorik. Pada fraktur tibial plateau,
perlu dilakukan pemeriksaan terhadap arteri popliteal yaitu diantara proksimal
dari adductor hiatus dan distal dari soleus serta pemeriksaan nervus peroneal.

14

6. Pada fraktur tibial plateau, hemarthrosis sering terjadi yaitu berupa edem, nyeri
pada lutut dimana pasien tidak dapat memikul berat tubuh (Chairuddin, 2003).
2.10.3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan standar untuk trauma pada lutut adalah foto Xray dengan posisi
anteroposterior (AP), lateral, dan dua oblik. Foto X-ray digunakan untuk
mengidentifikasi garis fraktur dan pergeseran yang terjadi tetapi tingkat kominusi atau
depresi plateau mungkin tidak terlihat jelas (Alan,2010).
CT-scan digunakan untuk mengidentifikasi adanya pergeseran dari fraktur
tibial plateau. CT-scan potongan sagital meningkatkan akurasi diagnosis dari fraktur
tibial plateau dan diindikasikan pada kasus dengan depresi artikular.

Magnetic

resonance imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi trauma ataupun sebagai


alternative dari CT-scan atau arthroscopy. MRI dapat mengevaluasi tulang serta
komponen jaringan lunak dari lokasi trauma. Namun, tidak ada indikasi yang jelas
untuk penggunaan MRI pada fraktur tibial plateau (Chapman, 2001).
2.11. Terapi
Terapi pada fraktur tibial plateau dibagi menjadi non-operative dan operative.
2.11.1. Non-operative
Fraktur yang non-displaced dan stabil baik untuk diterapi non-operative.
Pemakaian hinged cast-brace untuk melindungi pergerakan lutut dan beban tubuh
merupakan salah satu metode pilihan. Latihan isometric untuk quadriceps, pasif,
aktif,dan pergerakan aktif dari lutut sebagai stabilitas dapat dilakukan. Dibolehkan
untuk memikul beban tubuh secara partial selama 8-12 minggu, dan progressif hingga
memikul beban tubuh secara keseluruhan. Terapi dengan long leg cast juga dapat
digunakan.
Fraktur yang tidak bergeser atau sedikit bergeser biasanya menimbulkan
hemathrosis. Hemathrosis diaspirasi dan pembalut kompresi dipasang. Tungkai
diistirahatkan pada mesin gerakan pasif kontinyu dan gerakan lutut dimulai. Segera
setelah nyeri dan pembengkakan akut telah mereda, gips penyangga berengsel
dipasang dan pasien diperbolehkan menahan beban sebagian dengan kruk penopang.
15

2.11.2. Operative
Indikasi operasi pada fraktur tibial plateau adalah :
1. Depressi pada articular yang dapat ditoleransi adalah <2mm sampai 1 cm.
2. Instabilitasi >10 derajat dari lutut yang diperpanjang dibandingkan dengan sisi
sebaliknya. Fraktur yang retak lebih tidak stabil dibandingkan fraktur yang
hanya kompresi.
3. Fraktur terbuka
4. Sindrom kompartemen
5. Adanya kerusakan vascular.
Terapi pembedahan berdasarkan tipe fraktur nya (Schatzker classification) yaitu :
Schatzker tipe 1. Fraktur yang bergeser. Fragmen kondilus yang besar harus
benar-benar direduksi dan difiksasi pada posisinya. Ini terbaik dilakukan dengan
operasi terbuka.
Schatzker tipe 2. Fraktur komunitif. Pada dasarnya ini adalah fraktur
kompresi, mirip dengan fraktur kompresi vertebra. Kalau depresi ringan (kurang dari
5 mm) dan lutut stabil atau jika pasien telah tua dan lemah serta mengalami
osteoporosis, fraktur diterapi secara tertutup dengan tujuan memperoleh kembali
mobilitas dan fungsi bukannya restitusi anatomis. Setelah aspirasi dan pembalutan
kompresi, traksi rangka dipasang lewat pen berulir melalui tibia, 7 cm di bawah
fraktur. Kondilus mulai dibentuk, lutut kemudian difleksikan dan diekstensikan
beberapa kali untuk membentuk tibia bagian atas pada kondilus femur yang
berlawanan. Kaki diletakkan pada bantal dan dengan 5 kg traksi, latihan aktif harus
dilakuakn tiap hari. Selain itu, lutut dapat diterapi sejak permulaan dengan mesin
CPM, untuk semakin meningkatkan rentang gerakan ; seminggu setelah terapi ini
penggunaan mesin itu dihentikan dan latihan aktif dimulai. Segera setelah fraktur
16

menyatu (biasanya setelah 3-4 minggu), pen traksi dilepas, gips penyangga berengsel
dipasang dan pasien diperbolehkan bangun dengan kruk penopang. Pembebanan
penuh ditunda selama 6 minggu lagi. Pada pasien muda dengan fraktur tipe 2, terapi
ini mungkin dianggap terlalu konservatif dan reduksi terbuka dengan peninggian
plateau dan fiksasi internal sering menjadi pilihan. Pasca operasi lutut diterapi dengan
mesin CPM ; setelah beberapa hari, latihan aktif dimulai dan setelah 2 minggu pasien
dibiarkan dengan gips penyangga yang dipertahankan hingga fraktur telah menyatu.
Pasca operasi lutut diterapi dengan mesin CPM setelah beberapa hari.
Schatzker tipe 3. Kominusi dengan fragmen lateral yang utuh. Prinsip
terapinya mirip dengan prinsip yang berlaku untuk fraktur tipe 2. Tetapi, fragmen
lateral dengan kartilago artikular yang utuh merupakan permukaan yang berpotensi
mendapat pembebanan, maka reduksi yang sempurna lebih penting. Cara ini kadangkadang dapat dilakukan secara tertutup dengan traksi yang kuat dan kompresi lateral,
jika ini berhasil, fraktur diterapi dengan traksi atau CPM. Kalau reduksi tertutup
gagal, reduksi terbuka dan fiksasi dapat dicoba. Pasca operasi, latihan dimulai secepat
mungkin dan 2 minggu kemudian pasien dibiarkan bangun dalam gips-penyangga
yang dipertahankan hingga fraktur telah menyatu.

17

Pasien dengan fraktur terbuka pada tibial plateau dengan kominusi yang ekstensif.
Eksternal fiksasi dipasang selama 10 hari sampai jaringan lunak memungkinkan untuk
dilakukan definitif fiksasi.
Schatzker tipe 4. Fraktur pada kondilus medial. Fraktur yang sedikit bergeser
dapat diterapi dalam gips penyangga. Kalau fragmen nyata sekali bergeser atau
miring, reduksi terbuka dan fiksasi diindikasikan. Kalau ligament lateral juga robek,
ini harus diperbaiki sekaligus.
Schatzker tipe 5 dan 6. Merupakan cedera berat yang menambah resiko
sindrom kompartemen. Fraktur bikondilus sering dapat direduksi dengan traksi dan
pasien kemudian diterapi seperti pada cedera tipe 2. Fraktur yang lebih kompleks
dengan kominusi berat juga lebih baik ditangani secara tertutup, meskipun traksi dan
latihan mungkin harus dilanjutkan selama 4-6 minggu hingga fraktur cukup menyatu
untuk memungkinkan penggunaan gips penyangga. Jika terdapat beberapa fragmen
yang bergeser, fiksasi internal dapat dilakukan.

18

Raft-screw.

(a-c) ukuran kortikal screw sebesar 3,5 mm dimasukkan dibawah

subkondral dan dari raft diatas fragmen plateau. Pada kasus tipe 2,5, atau 6,
diperlukan juga buttress plat

Reduksi Terbuka dan Fiksasi


Fraktur plateau sulit direduksi dan difiksasi. Terapi operasi hanya dilakukan
kalau tersedia seluruh jenis implant. Melalui insisi parapatela longitudinal, kapsul
sendi dibuka. Tujuannya untuk mempertahankan meniskusi sambil sepenuhnya
membuka plateau yang mengalami fraktur. Ini terbaik dilakuakan dengan memasuki
sendi melalui insisi kapsul melintang di bawah meniscus. Fragmen besar tunggal
dapat direposisi dan dipertahankan dengan sekrup kanselosa dan ring tanpa banyak
kesulitan. Fraktur kompresi yang komunitif harus ditinggikan dengan mendorong
massa yang terpotong-potong ke atas ; permukaan osteoartikular kemudian disokong
dengan membungkus daerah subkondral dengan cangkokan kanselosa (diperoleh dari
kondilus femur atau Krista iliaka) dan dipertahankan di tempatnya dengan memasang
plat penunjang yang sesuai dengan kontur dan sekrup pada sisi tulang itu. Kecuali

19

kalau terobek, meniscus harus dipertahankan dan dijahit lagi di tempatnya ketika
kapsul diperbaiki.
Fraktur kompleks pada tibia proksimal sulit difiksasi dan banyak ahli bedah
lebih suka member terapi dengan traksi dan mobilisasi. Kalau dipilih terapi operasi,
pemaparan luka secara memadai sangat diperlukan. Schatzker menganjurkan
membelah ligament patella dan membalik patella ke atas. Pasca operasi, tungkai
ditinggikan dan dibebat hingga pembengkakan mereda, gerakan dimulai secepat
mungkin dan dianjurkan melakukan latihan aktif. Pada akhir minggu keempat pasien
biasanya diperbolehkan dalam gips penyangga, menahan beban sebagian dengan
penopang ; penahanan beban penuh dilanjutkan bila penyembuhan telah lengkap.

Fraktur tibial plateau- fiksasi. (a) sekrup tunggal mungkin sudah mencukupi untuk
retakan sederhana, meskipun (b) plat penopang dan sekrup lebih aman. (c) depresi
yang lebih dari 1 cm dapat diterapi dengan peninggian dari bawah dan (d) disokong
dengan pencangkokan tulang. (e) fraktur kompleks dapat diterapi dengan operasi.

20

2.12. Prognosis
Prognosis pada fraktur tibial plateau adalah :
1.

Fraktur tibial plateau dapat menyebabkan kerusakan yang parah.

2.

Insidensi arthritis post trauma dihubungkan dengan usia pasien, lokasi dari

pergeseran, dan reduksi.


3.

Fraktur karena energi tinggi yang diterapi dengan fiksasi eksternal hanya memiliki

insidensi sebesar 5% mengenai masalah luka

21

2.13. Komplikasi
Komplikasi pada fraktur tibial plateau dapat dibagi menjadi dua yaitu dini dan lanjut.
1. Komplikasi dini

Sindroma kompartemen. Pada fraktur bikondilus tertutup terdapat banyak


perdarahan dan resiko munculnya sindrom kompartemen. Kaki dan ujung kaki harus
diperiksa secara terpisah untuk mencari tanda-tanda iskemia.

Kerusakan dari nervus peroneal. Hal ini umum terjadi pada trauma di aspek lateral
dimana nervus peroneal berjalan dari proksimal ke bagian atas dari fibula dan lateral
dari tibial plateau

Laserasi arteri popliteal


2. Komplikasi lanjut

Kekakuan sendi. Pada fraktur komunitif berat dan setelah operasi yang kompleks,
terdapat banyak resiko timbulnya kekakuan lutut. Resiko ini dicegah dengan (1)
menghindari imobilisasi gips yang lama dan (2) mendorong dilakukannya gerakan
secepat mungkin.

Deformitas. Deformitas varus atau valgus yang tersisa amat sering ditemukan baik
karena reduksi fraktur tak sempurna ataupun karena meskipun telah direduksi
dengan memadai, fraktur mengalami pergeseran ulang selama terapi. Untungnya,
deformitas yang moderat dapat member fungsi yang baik, meskipun pembebanan
berlebihan pada satu kompartemen secara terus menerus dapat menyebabkan
predisposisi untuk osteoarthritis di kemudian hari.

Osteoartritis. Bertentangan dengan kepercayaan umum, osteoarthritis bukanlah


akibat jangka panjang yang lazim dari terapi konservatif. Lansinger, dkk (1986)
dalam tindak lanjut pada serangkaian kasus besar yang dipantau selama 20 tahun,
melaporkan hasil yang sangat baik atau baik apda 90% pasien bila tidak ada
22

ketidakstabilan ligamentum atau depresi nyata. Sekalipun penampilan sinar-X


menunjukkan osteoarthritis, lutut mungkin tidak terasa nyeri. Tetapi, jika timbul
osteoarthritis yang nyeri dan kondilus lateral terdepresi, operasi rekonstruktif dapat
dipertimbangkan.

Malunion atau non-union. Hal in sering terjadi pada Schatzker VI dimana terjadi
fraktur diantara metafisis-diafisis, kominusi, fiksasi tidak stabil, kegagalan implant,
atau infeksi.

23

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Penderita
Nama

: Sdr. Heru Joko

Umur

: 54 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Pekerjaan

: Polisi

Agama

: Islam

Alamat

: Purutrejo Purworejo

Status

: Menikah

Suku

: Jawa

Tanggal MRS

: 17-11-2016

Tanggal KRS

: 23-11-2016

3.2 Anamnesa
1. Keluhan Utama
Nyeri pada lutut kanan setelah kecelakaan.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang post KLL ke UGD RSUD Bangil jam 09:00 WIB (16/11/2016)
diantar oleh rekan kerja dengan keluhan nyeri pada kaki kanan dan sulit untuk
digerakkan setelah kecelakaan sepeda motor vs sepeda motor pada jam 07:30.
Pasien menabrak pengendara motor lain dari belakang karena sepeda motor
tersebut berbelok tiba - tiba. Pasien ingat kejadian, tidak pingsan, mual muntah
(-), pusing (-).

24

MOI : menabrak sepeda motor dan terjatuh ke sisi kanan dengan kaki kanan
menumpu badan, dan tangan kanan membentur aspal.

3. Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien tidak pernah menjalani operasi sebelumnya
Alergi : telur, ikan laut
Riwayat diabetes melitus : (+)
Riwayat Hipertensi (+)

4. Riwayat Pengobatan :
Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan apapun

5. Riwayat Penyakit Keluarga :


Diabetes Melitus : disangkal
Hipertensi

: disangkal

Asma

: disangkal

3.3 Pemeriksaan Fisik (16/11/2016)


a. Primary Survey
Airway

: Paten

Breathing

: Napas spontan, gerakan dada simetris, sesak (-),suara napas


tambahan (-),RR : 23x/menit

Circulation : TD : 160/90 mmHg, nadi : 89x/menit, akral hangat


Disability

: GCS 456

Exposure

: terdapat vulnus abratio pada lutut kanan.


25

b. Secondary Survey
Keadaan umum

: Kesakitan

Kesadaran

: Composmentis, GCS : 456

Tanda vital: TD

: 160/90 mmHg
Nadi : 89x/menit
Rr

: 23x/menit

Suhu : 370C

c. Status Generalis
1. Kepala/Leher
Kepala :
Jejas (-)
Leher :
JVP tidak meningkat, pembesaran kgb (-), pembesaran kelenjar tiroid
(-)
Mata :
Conjunctiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), edema (-/-)
Telinga
Otorhoe (-/-), battle sign (-/-), secret (-/-)
Hidung
Nafas cuping hidung (-), epistaksis (-), secret (-)
Mulut
Luka (-), perdarahan (-)

2. Thorax
26

a. Paru-paru
Inspeksi

: bentuk normal simetris, gerak napas normal, retraksi (-), jejas

(-)
Palpasi

: Fremitus raba kiri sama dengan kanan

Perkusi

: Sonor

Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/b. Jantung


Inspeksi

: iktus kordis tidak terlihat

Palpasi

: Thrill tidak teraba

Perkusi

: Redup

Auskultasi : S1 S2 tunggal, bising (-), murmur (-)

3. Abdomen
Inspeksi

: Flat, bekas operasi (-), jejas (-)

Palpasi

: soefl, hepar dan lien tidak teraba, jejas (+)

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: bising usus (+) normal

4. Ekstremitas
Akral hangat (+), CRT < 2 detik
d. Status Lokalis
Regio Genu Dextra
Look : vullnus abratio, deformitas (-), oedem (-), fat bubble (-).
Feel : Nyeri (+), pulsasi a.dorsalis pedis (+), CRT < 2 detik, hangat (+).
Move: ROM aktif terbatas nyeri.

27

28

3.4 Pemeriksaan Penunjang


1. X-Ray Genu D AP/Lateral

3.5. Diagnosis
Close Fracture Tibia Plateau Dextra Schatzker 2 + Close Fracture Fibula Dextra
1/3 Proximal
3.6 Tindakan Tatalaksana
Dilakukan Tindakan ORIF tanggal 21 November 2016.

3.7 Follow Up
1. 17 November 2016
S

: Pasien mengeluh nyeri pada kaki kanan

GCS

: 456

TD

: 160/90 mmHg
29

Suhu: 360C

Nadi

: 86 x/menit

Rr

: 19x/menit

: CF Tibia Plateau D Sch II + CF Fibula D 1/3 Proximal + Hipertensi


+ DM

: Konsul Interna
Inf. RL 1000cc/24 jam
Inj. Ketorolac 3x30 mg
Inj. Ceftriaxon 2 x1 gr
Inj. Ranitidin 1x40 mg
Methicobalamin 3x1 P.o.

2. 18 November 2016
S

: Pasien mengeluh nyeri pada kaki kanan

GCS

: 456

TD

: 170/100 mmHg

Suhu : 360C

Nadi

: 93x/menit

Rr

: 20x/menit

: CF Tibia Plateau D Sch II + CF Fibula D 1/3 Proximal + Hipertensi


+ DM

: Inf. RL 1000cc/24 jam


Amaryl 25mg
Inj. Ketorolac 3x30 mg
Inj. Ceftriaxon 2 x1 gr

30

Inj. Ranitidin 1x40 mg


Methicobalamin 3x1 P.o.
Amlodipin 1x10mg
ISDN 3x5mg
Lantus 0-0-6IU
Captopril 3x12,5mg

3. 19 November 2016
S

: Pasien nyeri pada kaki kanan dan gatal

GCS

: 456

TD

: 130/90

Suhu : 370C

Nadi

: 80x/menit

Rr

: 19x/menit

: CF Tibia Plateau D Sch II + CF Fibula D 1/3 Proximal + Hipertensi


+DM

: Inf. NS 1000cc/24 jam


Diet Diabetes
Amaryl 25mg
Inj. Ketorolac 3x30 mg
Inj. Ceftriaxon 2 x1 gr
Inj. Ranitidin 1x40 mg
Amlodipin 1x10mg
ISDN 3x5mg
Lantus 0-0-6IU

31

Captopril 3x12,5mg

4. 20 November 2016
S

: Pasien mengeluh kaki kanan sakit

GCS

: 456

TD

: 120/80 mmHg

Suhu : 360C

Nadi

: 81x/menit

Rr

: 18 x/ menit

: CF Tibia Plateau D Sch II + CF Fibula D 1/3 Proximal + Hipertensi


+DM

: Inf. NS 1000cc/24 jam


Diet Diabetes
Amaryl 25mg
Inj. Ketorolac 3x30 mg
Inj. Ceftriaxon 2 x1 gr
Inj. Ranitidin 1x40 mg
Amlodipin 1x10mg
ISDN 3x5mg
Lantus 0-0-6IU
Captopril 3x12,5mg

5. 21 November 2016
S

: Pasien mengeluh kaki kanan sakit

GCS

: 456

32

TD

: 130/80 mmHg

Suhu : 360C

A
P

Nadi

: 80x/menit

Rr

: 22 x/ menit

: CF Tibia Plateau D Sch II + CF Fibula D 1/3 Proximal


: Oprasi ORIF

6. 22 November 2016
S

: Pasien mengeluh bekas oprasi pada kaki kanan panas dan perih

GCS

TD

: 130/80 mmHg

: 456

Suhu : 360C
Nadi

: 89x/menit

Rr

: 23 x/ menit

: Post Op CF Tibia Plateau D Sch II + CF Fibula D 1/3 Proximal

: Inj. Ketorolac 3x30 mg


Inj. Ceftriaxon 2 x1 gr
Inj. Gentamicin 80mg
Inj. Ranitidin 1x40 mg
Rawat Luka
X-Ray Genu D AP/Lat

33

7. 22 November 2016
S

: Keluhan berkurang tetapi masih cekot - cekot

GCS

TD

: 140/90 mmHg

: 456

Suhu : 360C
Nadi

: 82x/menit

Rr

: 18 x/ menit

: Post Op CF Tibia Plateau D Sch II + CF Fibula D 1/3 Proximal

: Pasien KRS

34

3.8 Prognosis
Prognosis Fraktur Tibial Plateau dan Fibula proksimal baik bila imobilisasi baik dan
didukung dengan diet tinggi karbohidrat dan tinggi protein. Rajin kontrol ke poli untuk
rawat luka dan melatih menggerakan jari jari kaki dan lutut. Selain itu faktor yang juga
berpengaruh terhadap penyembuhan adalah penyakit hipertensi dan diabetes pasien harus
terkontrol untuk mempercepat penyembuhan luka.

35

DAFTAR PUSTAKA

Alan Graham Aplpley. Appleys System of Orthopedics and Fracture 9th edition. Butterworths
Medical Publications. 2010.
Chairuddin, Rasjad Prof, MD, PhD.Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. 2003. Makasar
Chapman, Michael W. Chapmans Orthopaedic Surgery 3rd edition. Lippincolt William &
Wilkins. 2001.
Dirchsl Douglas, dkk. Staged Management of Tibial Plateau. American Journal of
Orthopaedic. 2007
Frassica, Frank dkk. The 5-Minute Orthopaedic Consult 2nd edition. Lippuncolt William &
Wilkins. 2007.
Kingsley Chin, dkk. Orthopaedic Key Review Concept, 1st edition. Lippincolt William &
Wilkins. 2008
Koval, Kenneth J. Handbook of Fractures 3rd edition. Lippincolt William & Wilkins. 2006
Luhulima JW. Musculoskeletal. Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin. Makassar. Indonesia. 2002.
Netter, Frank H. Netters Concise Orthopaedic Anatomy 2nd edition. Saunders Elseiver.

36

Anda mungkin juga menyukai