Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Obat adalah suatu bahan baik zat kimia, hewani, maupun nabati dalam
dosis yang layak dapat menyembuhkan, meringankan atau mencegah penyakit
dan gejalanya, baik badaniah maupun rokhaniah pada manusia atau hewan
(Tjay dan Rahardja, 2002). Tablet merupakan sediaan farmasi yang paling
banyak digunakan, di mana bahan obatnya berbentuk sediaan padat, dan
biasanya dibuat dengan penambahan bahan tambahan farmasetika yang sesuai
(Ansel dkk,2005).
Salah satu jenis obat adalah obat untuk melawan penyakit infeksi yaitu
antibiotik. Antibiotik adalah agen yang digunakan untuk mencegah dan
mengobati suatu infeksi karena bakteri. Akan tetapi, istilah antibiotik
sebenarnya mengacu pada zat kimia yang dihasilkan oleh satu macam
organisme, terutama fungi, yang menghambat pertumbuhan atau membunuh
organisme yang lain (Mitrea,2008).
Penggunaan antibiotik yang irasional akan memberikan dampak
negatif, salah satunya adalah meningkatnya kejadian resistensi bakteri
terhadap antibiotik. Untuk itu penggunaan antibiotik yang rasional diharapkan
dapat memberikan dampak positif antara lain mengurangi morbiditas,

mortalitas, kerugian ekonomi, dan mengurangi kejadian resistensi bakteri


terhadap antibiotik (Ozkurt dkk, 2005).
Grisoefulvin merupakan suatu antibiotik yang bersifat fungistatik,
secara in vitro efektif terhadap berbagai jenis jamur dermatofit seperti
Trichophyton, Epidermophyton, dan Microsporum..Griseofulvin adalah
antibiotik yang bersifat fungistatik. Berdasarkan Biopharmaceutics
Classification System (BCS) griseofulvin masuk dalam kelas II yaitu
merupakan obat yang mempunyai kelarutan rendah dan permeabilitas tinngi.
Obat yang mempunyai kelarutan rendah dan permeabilitas tinggi maka
kecepatan absorbsi obat tersebut ditentukan oleh tahapan kecepatan disolusi
obat tersebut dalam cairan di tempat obat diabsorbsi (Syarif, 2012).
Tablet griseofulvin ini tersedia dalam bentuk merk dagang dan
generik. Saat ini masyarakat lebih memilih obat bermerk dari pada generik.
Ketidakpercayaan masyarakat akan obat generik tersebut dikarenakan harga
obat generik yang jauh lebih murah, dan masyarakat juga beranggapan bahwa
zat berkhasiat pada obat generik berbeda dengan obat bermerk sehingga efek
yang dihasilkan juga berbeda. Padahal obat generik yang lebih murah dari
obat bermerk juga tidak kalah bagus efektifitasnya, karena zat berkhasiat yang
dikandung obat generik sama dengan obat bermerk. Kualitas obat generik
tidak kalah dengan obat bermerk karena dalam memproduksinya perusahaaan
farmasi bersangkutan harus melengkapi persyaratan ketat dalam cara-cara
pembuatan obat yang baik (CPOB) yang dikeluarkan oleh Badan Pengawasan
2

Obat dan Makanan (BPOM). Selain itu juga ada persyaratan untuk obat yang
disebut uji Bioavailabilitas / Bioekivalensi (BA/BE). Pada obat generik
dilakukan penekanan biaya produksi untuk penurunan harga produk. Akan
tetapi dengan adanya uji Bioavailabilitas/Bioekivalensi (BA/BE) ini obat
generik akan memberikan jaminan keamanan dan khasiat pengobatan
walaupun kemungkinan adanya perbedaan sifat fisiko kimia zat aktif yang
digunakan baik itu berbentuk kristal maupun ukuran partikel pada obat
generik dan obat bermerk tersebut (Yuslinadia, 2013).
Salah satu obat dalam bentuk sediaan tablet adalah griseofulvin,
sebagai antifungal. Sediaan griseofulvin dalam bentuk tablet selain generik
juga tersedia dengan merk dagang. Beberapa industri farmasi yang
memproduksi merk dagang griseofulvin antara lain Fulcin, Fungistop,
Grivin, Mycostop, dan lain-lain. Sedangkan produk generiknya
menggunakan nama zat yang berkasiat dan mencantumkan logo perusahaan
yang memproduksi. Untuk memasyarakatkan obat generik diperlukan
informasi tentang mutu obat yang bersangkutan. Masyarakat mengira bahwa
mutu obat generik kurang baik dibandingkan obat bermerk dagang, karena
dengan harga yang sangat murah, obat generik sering dipertanyakan apakah
obat generik sama kualitasnya dengan obat bermerk dagang (Idris dan
Widjajarta,2006).

B. Rumusan Masalah
Bagaimana peranan Griseofulvin sebagai obat antibiotik yang bersifat
fungistatik terhadap infeksi dermatofitosis dalam bidang farmasi?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui secara umum peranan Griseofulvin sebagai obat antibiotik
yang bersifat fungistatik terhadap infeksi dermatofitosis dalam bidang
farmasi.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui sifat fisikokomia dan rumus kimia obat Griseofulvin.
b. Mengetahui farmakologi umum obat Griseofulvin.
c. Mengetahui farmakodinamik obat Griseofulvin.
d. Mengetahui farmakokinetik obat Griseofulvin.
e. Mengetahui toksisitas obat Griseofulvin.
f. Mengetahui secara umum infeksi dermatofitosis.

D. Manfaat
1. Manfaat Akademik
Untuk menambah ilmu pengetahuan di bidang farmasi, serta
mengetahui

sediaan,

mekanisme

kerja,

farmakodinamik

dan

farmakokinetik serta efek samping dan toksisitas dari obat Griseofulvin.


2. Manfaat Bagi Penulis
4

Untuk menamabah pengalaman bagi penulis untuk membuat karya


tulis ilmiah, menambah pengetahuan penulis dalam bidang farmasi
khususnya tentang obat Griseofulvin.
3. Manfaat Bagi Masyarakat
Memberikan informasi dan pengetahuan bagi masyarakat mengenai
pentingnya edukasi dan informasi obat antibiotik yang bersifat fungistatik
khususnya Griseofulvin.

BAB II
FARMASI - FARMAKOLOGI

A. Sifat Fisikokimia
Griseofulvin mempunyai struktur kimia 7-Kloro-2',4,6-trimetoksi-6'
metilspiro[benzofuran-2(3H), 1'-[2]sikloheksena]3,4'-dion[126-07-8] dengan
BM 352,77, mempunyai potensi tidak kurang dari 900 g C17H17ClO6 per mg.
Griseofulvin ini merupakan serbuk putih sampai kuning gading pucat, tidak
berbau dan tidak berasa. Griseofulvin mempunyai kelarutan sangat sukar larut
dalam air, sukar larut dalam etanol (95%) P dan metanol P, mudah larut dalam
tetrakloretana P, dan larut dalam kloroform P (Depkes RI, 1995).
Biopharmaceutics Classification System (BCS) griseofulvin ini masuk dalam
kelas II yaitu obat yang mempunyai kelarutan rendah serta permeabilitas
tinggi.
Gambar II.1: Struktur Kimia Griseofulvin

Sumber : Anonim 1995

Khasiat griseofulvin adalah sebagai antifungi. Griseofulvin adalah


antibiotik yang bersifat fungistatik. Secara in vitro griseofulvin efektif
terhadap berbagai jenis jamur dermatofit seperti Trichophyton,
Epidermophyton, dan Microsporum, griseofulvin secara selektif
dikonsentrasikan dilapisan keratin dan merupakan obat terpilih untuk
dermatofitosis yang luas dan bandel (Ganiswara,1995).
B. Farmakologi
1. Farmakologi Umum
Griseofulvin diisolasi dari Penicillium griseovulvumdierckx. Pada
tahun 1946, susut dan mengecilnya hifa yang disebut sebagai curling
factor kemudian ternyata diketahui bahwa bahan yang mereka isolasi dari
Penicillium jancezewski adalah griseofulvin. Griseovulfin in vitro efektif
terhadap berbagai jenis jamur dermatofit seperti Trichophyton,
Epidermophyton dan Microsporum. Terhadap sel muda yang sedang
berkembang griseofulvin bersifat fungisidal. Obat ini tidak efektif
terhadap bakteri, jamur lain dan ragi, Actinomyces dan Nocardia. Efek
fungistatik obat ini belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Ada laporan
mengemukakan mekanisme kerja obat ini mirip dengan kolkisin dan
alkaloid vinka. Tetapi seperti telah diuraikan di atas obat ini menghambat

mitosis sel muda dengan mengganggu sintesis dan polimerasi asam


nukleat (Syarif,2012).
2. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja griseofulvin telah diduga melibatkan inhibitor
selektif mitosis sel jamur yang berasosiasi dengan akumulasi dalam
lapisan keratin dari epidermis. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa
griseofulvin menghambat mitosis pada jamur yang sensitif dengan
menyerupai mekanisme kerja kolkisin dan obat antimitosis lain dalam sel
mamalia dengan cara merusak fungsi benang spindel mikrotubulus (MT)
dalam pembelahan sel jamur, meskipun mekanisme kerja yang tepat di
jamur sensitif masih belum jelas. Efek antiproliferatif dan antimitosis dari
griseofulvin dalam sel mamalia masih sangat lemah sehingga untuk
menghambat pertumbuhan jamur membutuhkan konsentrasi mikromolar
yang tinggi (Dulal P et all,2005).
Griseofulvin telah terbukti memiliki fungsi yang dapat menghambat
mitosis pada metafase dengan bertindak baik di polimerisasi mikrotubulus
atau organisasi mikrotubulus di sejumlah besar jenis sel, termasuk sel-sel
jamur, embrio echinodermata, tikus dan human stem cell walaupun
mekanisme kerjanya belum sepenuhnya jelas. Pertanyaan mengenai
mekanisme kerja griseofulvin yang belum jelas yaitu apakah

penghambatan mitosis oleh griseofulvin melibatkan depolimerisasi dari


mikrotubulus atau beberapa tindakan lain selain depolimerisasi pada
mikrotubulus dalam sel manusia. Secara khusus, griseofulvin jelas
menghambat polimerisasi mikrotubulus yang pernah dibuktikan dalam
penghambatan mitosis dalam telur echinodermata, dan penghambatan
mitosis pada sel embrio tikus dengan konsentrasi griseofulvin tinggi
terjadi bersama-sama dengan depolimerisasi dari benang spindel
mikrotubulus. Sebaliknya, penghambatan mitosis oleh griseofulvin yang
terjadi dalam sel epitel manusia tanpa adanya depolimerisasi dari benang
spindle mikrotubulus yang signifikan ,sehingga diperkirakan pada sel
epitel manusia terjadi penghambatan mitosis tanpa depolarisasi dari
mikrotubulus (Dulal P et all,2005).
3. Dosis dan Sediaan
Dosis griseofulvin bervariasi tergantung pada apakah obat diberikan
sebagai mikron atau preparat ultramicrosize. Selain itu, dosis griseofulvin
yang direkomendasikan dalam ultramicrosize sedikit berbeda tergantung
pada produsen dan formulasi obat. Terapi dengan griseofulvin umumnya
dipertahankan setidaknya 2-4 minggu untuk pengobatan tinea corporis;
setidaknya 4-12 minggu untuk pengobatan tinea capitis; 4-8 minggu untuk
tinea pedis; dan dari 4-6 bulan sampai 1 tahun atau lebih untuk tinea
unguium (American Hospital Formulary Service, 2000).
9

Dosis griseofulvin dewasa yang lazim dalam ultramicrosize untuk


pengobatan tinea corporis, tinea cruris atau tinea capitis adalah 330-375
mg/hari dalam dosis tunggal atau terbagi, tergantung pada produsen dan
formulasi obat. Dosis griseofulvin dewasa dalam ultramicrosize untuk
pengobatan infeksi yang lebih sulit untuk diberantas, seperti tinea pedis
dan tinea unguium, adalah 660-750mg/hari, tergantung pada produsen dan
formulasi. Dosis griseofulvin dewasa yang lazim dalam mikron untuk
pengobatan tinea corporis, tinea cruris, atau tinea capitis adalah 500
mg/hari dan 1 g setiap hari untuk pengobatan infeksi yang lebih sulit untuk
diberantas, seperti tinea pedis dan tinea unguium (Gennaro, 1995).
Dosis griseofulvin yang lazim dalam ultramicrosize untuk anak-anak >
2 tahun adalah sekitar 7,3 mg/kgbb per hari, tetapi dosis hingga 10-15
mg/kgbb sering digunakan. Produsen menyarankan bahwa anak-anak
dengan berat sekitar 14-23 kg dapat menerima dosis ultramicrosize
griseofulvin 82,5-165mg/hari dan anak - anak dengan berat > 23 kg dapat
menerima 165-330 mg/hari. Atau, terdapat juga produsen yang
menyarankan bahwa anak dengan berat badan 16-27 kg dapat menerima
125-187,5mg griseofulvin ultramicrosize sehari dan anak - anak dengan
berat > 27kg dapat menerima 187,5-375mg sehari. Untuk pengobatan
tinea corporis dan tinea capitis, American Academy of Pediatrics
merekomendasikan bahwa anak-anak menerima griseofulvin

10

ultramicrosize dengan dosis harian tunggal 5-10 mg/kgbb (dosis


maksimum, 750 mg). Dosis pediatrik griseofulvin yang lazim dalam
mikron adalah 10-11 mg/kgbb per hari, tetapi dosis hingga 20-25mg/kgbb
per hari sering diberikan. Produsen menyarankan bahwa anak-anak
dengan berat sekitar 14-23kg dapat menerima 125-250mg mikron
griseofulvin setiap hari dan anak-anak dengan berat > 23 kg dapat
menerima 250-500mg per hari. Atau, beberapa dokter menyarankan bahwa
anak-anak dapat diberikan mikron griseofulvin dengan dosis 300 mg/m2
perhari. American Academy of Pediatrics merekomendasikan anak-anak
menerima mikron griseofulvin pada dosis harian 10- 20mg/kgbb (dosis
maksimum, 1 g) diberikan dalam satu sampai dua dosis terbagi (Royal
Pharmaceutical Society of Great Britain, 2000).
Ketika di beberapa negara tersedia preparat yang mengandung
ultramicrocrystalline atau griseofulvin ultramicrosize digunakan, dosis
dikurangi dengan sepertiga sampai setengah dari dosis yang
direkomendasikan mikrokristalin atau mikron griseofulvin. Griseofulvin
mungkin terbaik diberikan dengan atau sesudah makan (Royal
Pharmaceutical Society of Great Britain, 2000).
Lamanya pengobatan tergantung pada ketebalan lapisan keratin: 2-6
minggu untuk infeksi pada rambut dan kulit, hingga 6 bulan untuk infeksi
kuku dan 12 bulan atau lebih untuk infeksi kuku kaki. Meskipun
11

griseofulvin biasanya diberikan secara sistemik, telah dilaporkan memiliki


manfaatnya untuk infeksi jamur pada kulit seperti pada beberapa sediaan
topikal topikal (Royal Pharmaceutical Society of Great Britain, 2000).
C. Farmakodinamik
Farmakodinamik merupakan pengaruh obat terhadap jaringan tubuh
meliputi efek obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh serta
mekanisme kerja obat tersebut di dalam tubuh. Berikut akan dijelaskan
tentang farmakodinamika dari obat griseofulvin.
1. Indikasi
Griseofulvin memberikan hasil yang baik terhadap penyakit jamur di
kulit, rambut dan kuku yang disebabkan jamur yang sensitif. Gejala pada
kulit akan berkurang dalam 48 96 jam setelah pengobatan dengan
griseofulvin sedangkan penyembuhan sempurna baru terjadi setelah
beberapa minggu. Biakan jamur menjadi negatif dalam 1 2 minggu
tetapi pengobatan sebaiknya dilanjutkan sampai 3 4 minggu. Infeksi
pada telapak tangan dan telapak kaki lebih lambatbereaksi, biakan disini
baru negatif setelah 2 4 minggu dan pengobatan membutuhkan waktu
sekitar 4 8 minggu (Syarif, 2012).

12

Infeksi kuku tangan membutuhkan waktu 4 6 bulan sedangkan


infeksi kuku kaki membutuhkan waktu 6 12 bulan. Trichophyton rubrum
dan Trichophyton mentagrovites membutuhkan dosis yang lebih tinggi
daripada dosis biasa. Pada keadaan yang disertai hiperkeratosis perlu
menambahkan zat keratolitik. Kandidiasis maupun tinea versikolor tidak
dapat diobati dengan griseofulvin. Dosis sangat tinggi griseofulvin bersifat
karsinogenik dan teratogenik sehingga dermatofitosis ringan tidak perlu
diberikan griseofulvin, cukup dengan pemberian preparat topikal
(Syarif,2012).

2. Khasiat
Griseovulfin in vitro efektif terhadap berbagai jenis jamur dermatofit
seperti Trichophyton, Epidermophyton dan Microsporum. Terhadap sel
muda yang sedang berkembang griseofulvin bersifat fungisidal. Obat ini
tidak efektif terhadap bakteri, jamur lain dan ragi, Actinomyces dan
Nocardia (Syarif, 2012).
3. Kontraindikasi
Terapi farmakologik dengan griseofulvin tidak boleh pada pasien
dengan porfiria, kegagalan hepatoseluler, dan pada pasien dengan riwayat

13

hipersensitivitas terhadap griseofulvin. Griseofulvin tidak boleh


diresepkan untuk pasien wanita yang sedang hamil. Jika pasien hamil,
maka saat mengambil obat ini pasien harus diberitahu tentang potensi
bahaya bagi janin. Karena griseofulvin telah menunjukkan efek berbahaya
in vitro pada genotipe bakteri, tumbuhan, dan jamur, maka seorang lakilaki harus menunggu setidaknya enam bulan setelah menyelesaikan terapi
griseofulvin sebelum boleh untuk melakukukan hubungan seksual yang
menyebabkan terjadinya konsepsi (Magellan, 2014).
Magellan Medicaid Administration tahun 2014 menyatakan bahwa
lupus eritematosus atau sindrom yang menyerupai lupus telah dilaporkan
terjadi pada pasien yang menerima terapi griseofulvin, serta memperburuk
kondisi mereka yang memang sudah menderita penyakit sistemik lupus
eritematosus (SLE) atau sindrom yang menyerupai lupus.
Reaksi fotosensitif kulit telah dikaitkan dengan terapi griseofulvin.
Pasien harus diperingatkan untuk menghindari paparan sinar matahari
yang intens alami atau buatan. Reaksi kulit yang parah, misalnya StevensJohnson Sindrome, Toxic Epidermal Necrolysis, dan Erythema Multiforme,
telah dilaporkan dengan penggunaan griseofulvin. Reaksi ini mungkin
serius dan dapat mengakibatkan rawat inap atau kematian. Jika reaksi kulit
yang parah terjadi, griseofulvin harus dihentikan (Magellan, 2014).

14

Peningkatan tes fungsi hati dan penyakit kuning telah dilaporkan


dengan penggunaan griseofulvin. Reaksi ini mungkin serius dan dapat
mengakibatkan rawat inap atau kematian. Pasien harus dipantau untuk
efek samping hati dan penghentian griseofulvin dipertimbangkan, jika
diperlukan (Syarif,2012).
Griseofulvin dihasilkan oleh spesies Penicillium sp., sehingga pasien
dengan hipersensitivitas penisilin secara teoritis bisa menunjukkan
sensitivitas silang terhadap griseofulvin. Namun pada beberapa penelitian
pasien dengan hipersensitivitas terhadap penisilin telah diperlakukan
dengan griseofulvin dan hasilnya tidak terdapat pengaruh merugikan dari
griseofulvin. Peringatan serupa mungkin berlaku untuk pasien dengan
riwayat hipersensitivitas sefalosporin atau hipersensitivitas carbapenem
karena kesamaan struktural sefalosporin dan carbapenems terhadap
penisilin (Magellan, 2014).
Penggunaan griseofulvin dan kontrasepsi oral telah dilaporkan
mengurangi efektivitas kontrasepsi oral dan menyebabkan pecahnya
perdarahan. Pasien yang mengalami perdarahan yang bersamaan dengan
saat menerima obat ini harus memberitahukan resep mereka. Selama
pengobatan dengan griseofulvin bentuk kontrasepsi oral dapat diganti
dengan kontrasepsi alternatif dan bisa dilanjutkan selama satu bulan
setelah penghentian griseofulvin. Selain itu, pasien yang memakai
15

kontrasepsi kombinasi non-oral, estrogen, atau progestin untuk hormone


replacement therapy mungkin juga mengalami penurunan kemanjuran
klinis, mungkin diperlukan penyesuain dosis (Syarif, 2012).

D. Farmakokinetik
Farmakokinetik merupakan perubahan perubahan yang terjadi pada
konsentrasi obat dalam berbagai cairan tubuh dan jaringan dalam sistem
dinamis, pembebasan obat dari bentuk sediannya, absorbsi, distribusi,
penyimpanan dalam tubuh, ikatan ikatan, metabolisme, dan ekskresi.
Berikut akan dijelaskan mengenai farmakokinetik dari obat griseofulvin.
1. Pola ADME, Waktu Paruh dan Ikatan Protein
Absorpsi griseofulvin sangat bergantung pada keadaan fisik obat ini
dan absorpsinya dibantu oleh makanan yang banyak mengandung lemak.
Senyawa dalam bentuk partikel yang lebih kecil (microsized) diabsorpsi 2
kali lebih baik daripada partikel yang lebih besar. Griseofulvin berukuran
mikro dengan dosis 1 gram hari akan menghasilkan kadar dalam darah
0,5-15 mcg/ml. Griseofulvin berukuran ultramikro diabsorpsi 2 kali lebih
baik dari senyawa berukuran mikro Metabolisme terjadi di hati. Metabolit
utamanya adalah 6-metilgriseofulvin. Waktu paruhnya kira-kira 24 jam.

16

Jumlah yang diekskresikan melalui urine adalah 50% dari dosis oral yang
diberikan dalam bentuk metabolit dan berlangsung selama 5 hari. Kulit
yang sakit mempunyai afinitas lebih besar ter hadap obat ini, ditimbun
dalam sel pembentuk keratin, terikat kuat dengan keratin dan akan
muncul bersama yang baru berdiferensiasi sehingga sel baru ini akan
resisten terhadap serangan jamur. Keratin yang mengandung jamur akan
terkelupas dan digantikan oleh sel baru yang normal ini dapat ditemukan
dalam sel tanduk 4-8 jam setelah pemberian per oral (Syarif, 2012).
Crounse (1961) menemukan bahwa konsumsi makanan tinggi lemak
meningkatkan penyerapan sistemik zat antijamur griseofulvin. Hal ini
membuat suatu teori bahwa kadar serum griseofulvin lebih tinggi setelah
pemberian makanan tinggi lemak bias dan baik untuk meningkatkan
penyerapan obat atau mungkin untuk tingkat penurunan clearance obat
dari serum. Namun, ketika digunakan suatu emulsi lemak intravena
(lipomul) ternyata tidak berpengaruh pada tingkat griseofulvin dalam
darah. Dalam studi oleh Kabasakalian dkk. (1970) ekskresi urin 6demethyl griseofulvin digunakan sebagai indeks penyerapan griseofulvin
dalam subjek penelitian manusia tunggal. Pengaruh waktu pemberian obat.
asupan lemak, modifikasi diet, tingkat dosis, dan ukuran partikel obat pada
ekskresi metabolit diikuti. Penyerapan terendah di pagi hari menyusul
cepat pada malam hari. Penyerapan maksimal terjadi ketika obat diberikan

17

pada siang hari. Pada saat sarapan penyerapan obat ditingkatkan dengan
konsumsi makanan berlemak. Selain itu dari makanan yang digoreng dan
kacang-kacangan untuk diet juga meningkatan penyerapan obat (Nutrition
and Drug Interrelations, 1978).
2. Bioavailabilitas
Griseofulvin mengalami first past effect karena obat ini diberikan per
oral. Hal ini menyebabkan perbandingan kadar obat dengan waktu
menunjukan kurva yang rendah sehingga mempengaruhi onset kerja
griseofulvin. Walaupun semua obat terabsorpsi dari saluran pencernaan
tetapi dimetabolisasi di hepar sebelum mencapai sirkulasi sistemik.
Griseofulvin dapat ditingkatkan penyerapannya dengan makanan
berlemak (Syarif,2012).
E. Toksisitas
1. Toksisitas dan Efek Samping
Efek samping yang berat jarang timbul akibat pemakaian griseofulvin.
Leukopenia dan granulositopenia dapat terjadi dalam pemakaian dosis
besar dalam waktu lama, karena itu sebaiknya dilakukan pemeriksaan
darah yang teratur selama pemakaian obat ini. Sakit kepala merupakan
keluhan utama, terjadi kira kira pada 15% pasien, yang akan hilang

18

sendiri sekalipun pemakaian obat dilanjutkan. Efek samping lainnya


seperti atralgia, neuritis perifer, demam, pandangan kabur, insomnia,
berkurangnya fungsi motorik, pusing dan sinkop, pada saluran cerna
dapat terjadi rasa kering mulut, mual, muntah, diare dan flatulensi.
Mungkin pula ditemukan albuminuria dan silinderuria tanpa kelainan
ginjal. Pada anak dapat timbul reaksi menyerupai efek estrogen.
Grisefulvin menginduksi enzim mikrosom sehingga terjadi peningkatan
metabolisme warfarin. Beberapa obat kontrasepsi oral juga mengalami
keadaan serupa. Sebaliknya griseofulvin akan dihambat penyerapannya di
saluran cerna oleh barbiturat (Syarif, 2012).
2. Penanggulangan Terhadap Kesalahan Penggunaan
Jika mengenai mata periksa dan lepaskan lensa kontak . Dalam
kasus kontak , segera basuh mata dengan banyak air selama minimal 15
menit . segera dapatkan bantuan medis jika terjadi iritasi. Jika mengenai
kulit maka cuci dengan sabun dan air. Tutupi kulit yang teriritasi dengan
emolien. Dapatkan bantuan medis jika terjadi iritasi. Jika terhirup,
pindahkan ke ruangan terbuka dengan udara segar. Jika tidak bernapas,
berikan pernapasan buatan. Jika sulit bernapas, berikan oksigen. Segera
hubungi pertolongan medis terdekat. Jika tertelan jangan menginduksi
muntah kecuali diarahkan untuk melakukannya oleh tenaga medis. Jangan
pernah memberikan apapun melalui mulut dalam keadaan penderita tidak
19

sadar. Kendurkan pakaian ketat seperti kerah, dasi, ikat pinggang.


Dapatkan bantuan medis jika gejala keracunan muncul (Magellan,2014).

F. Dermatofitosis
Dermatofitosis adalah salah satu kelompok dermatomikosis
superfisialis yang disebabkan oleh jamur dermatofit, terjadi sebagai reaksi
pejamu terhadap produk metabolit jamur dan akibat invasi oleh suatu
organisme pada jaringan hidup. Dermatofitosis secara klinis didefinisikan
penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi jamur dermatofit yang menyerang
jaringan yang mengandung keratin seperti stratum korneum kulit, rambut dan
kuku pada manusia dan hewan. Dermatofitosis juga didefinisikan setiap
infeksi fungal superfisial yang disebabkan dan mengenai stratum korneum
kulit, rambut dan kuku termasuk onikomikosis dan berbagai macam bentuk
tinea. Disebut juga epidermomycosis dan epidermophytosis (Budimulya
dkk,2004).
Terdapat tiga genus penyebab dermatofitosis, yaitu Trichophyton,
Microsporum, dan Epidermophyton, yang dikelompokkan dalam kelas
Deuteromycetes. Dari ketiga genus tersebut telah ditemukan 41 spesies, terdiri
dari 17 spesies Microsporum, 22 spesies Trichophyton, 2 spesies
Epidermophyton. Dari 41 spesies yang telah dikenal, 17 spesies diisolasi dari
20

infeksi jamur pada manusia, 5 spesies Microsporum menginfeksi kulit dan


rambut, 11 spesies Trichophyton meninfeksi kulit, rambut dan kuku, 1 spesies
Epidermophyton menginfeksi hanya pada kulit dan jarang pada kuku. Spesies
terbanyak yang menjadi penyebab dermatofitosis di Indonesia adalah:
Trichophyton rubrum (T. rubrum), berdasarkan penelitian di RS Dr. Cipto
Mangun Kusumo Jakarta tahun 1980. Pada penelitian yang dilakukan di
Surabaya pada 20062007 ditemukan spesies terbanyak yang berhasil dikultur
adalah M. audiouinii (14,6%), T. rubrum (12,2%), T. mentagrophytes (7,3%)
(Djuanda, 2007).
Usia, jenis kelamin, dan ras merupakan faktor epidemiologi yang
penting, di mana prevalensi infeksi dermatofit pada laki-laki lima kali lebih
banyak dari wanita. Namun demikian tinea kapitis karena T. tonsurans lebih
sering pada wanita dewasa dibandingkan laki-laki dewasa, dan lebih sering
terjadi pada anak-anak Afrika Amerika. Hal ini terjadi karena adanya
pengaruh kebersihan perorangan, lingkungan yang kumuh dan padat serta
status sosial ekonomi dalam penyebaran infeksinya. Jamur penyebab tinea
kapitis ditemukan pada sisir, topi, sarung bantal, mainan anak-anak atau
bahkan kursi di gedung teater. Perpindahan manusia dapat dengan cepat
memengaruhi penyebaran endemik dari jamur. Pemakaian bahan-bahan
material yang sifatnya oklusif, adanya trauma, dan pemanasan dapat
meningkatkan temperatur dan kelembaban kulit meningkatkan kejadian

21

infeksi tinea. Alas kaki yang tertutup, berjalan, adanya tekanan temperatur,
kebiasaan penggunaan pelembab, dan kaos kaki yang berkeringat
meningkatkan kejadian tinea pedis dan onikomikosis (Ervianti, 2002).
Penegakan diagnosis dermatofitosis pada umumnya dilakukan secara
klinis, dapat diperkuat dengan pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan
pemeriksaan dengan lampu wood pada spesies tertentu. Pada pemeriksaan
dengan emeriksaan KOH 1020%, tampak dermatofit yang memiliki septa
dan percabangan hifa. Pemeriksaan kultur dilakukan untuk menentukan
spesies jamur penyebab dermatofitosis (Djuanda, 2007).
G. Cara Penulisan Resep
Kasus 1 :
Seorang anak laki laki bernama Luke Skywalker berusia 6 tahun
dengan berat badan 20kg datang ke tempat praktek anda diantar ibunya
dengan keluhan gatal pada daerah selangkangan sejak 2 minggu yang lalu.
Gatal semakin lama semakin meluas ke bawah perut dan ke belakang meluas
sampai ke bokong. Gatal akan semakin hebat setelah beraktivitas dan
berkeringat. Pemeriksaan fisik menunjukan lesi kulit berbatas tegas dengan
peradangan pada daerah inguinal dekstra dan sinistra, tampak patch
eritematosa, hiperpigmentasi, skuama dan papul papul dengan sifat lesi lebih
aktif di bagian tepi.
22

a. Apa diagnosa yang tepat ?


b. Tuliskanlah resep dengan BSO cair agar anak umur 10th mau minum !
Jawaban Kasus 1 :
a. Diagnosa : Tinea korporis
b. Sebelum menuliskan resep obat griseofulvin sebaiknya tanyakan
dahulu apakah ada alergi dengan obat tersebut, jika iya maka
digunakan antifungi yang lain.
Dosis anak : 10mg/kgBB/hari
Berat anak : 20kg
Lama pemberian 14 hari

23

Dr. John Mayer


SIP/STR : 12700223
Dukuh Kupang XXX no 61b
Surabaya, 24 Desember 2015

R/ Sirup Griseofulvin
S. 1. d.d. c.

125 mg
5 ml

112ml

1
. p.c.
2

Pro
: An. Luke Skywalker
Umur : 6 tahun
Alamat : Dukuh Kupang Timur

Kasus 2 :
Seorang wanita 30 tahun bernama Leia datang ke praktek anda dengan
keluhan gatal pada sela jari kaki dan telapak kakinya. Gatal makin berat
setelah mencuci pakaian. Pada pemeriksaan lokalis tampak vesikel pada sela
jari kaki kanan dan kiri. Pemeriksaan penunjang didapatkan hypa bersepta (+).
a.

Apa diagnosis yang tepat ?

b.

Tuliskanlah resep dengan BSO padat untuk pasien tersebut !

24

Jawaban Kasus 2 :
a. Tinea pedis
b. Sebelum menuliskan resep obat griseofulvin sebaiknya tanyakan
dahulu apakah ada alergi dengan obat tersebut, jika iya maka
digunakan antifungi yang lain.
Dosis dewasa

: 500 1000mg/hari

Lama pemberian

: 4 Minggu

Dr. John Mayer


SIP/STR : 12700223
Dukuh Kupang XXX no 61b

iter. 1x

Surabaya, 24 Desember 2015

R/ Tablet Griseofulvin
S. 3.d.d. Tab. I .p.c.

250 mg

Pro
: Ny.Leia
Umur : 30 tahun
Alamat : Dukuh Kupang Barat

25

No.XLII

BAB III
PEMBAHASAN
Griseofulvin diisolasi dari Penicillium griseovulvumdierckx. Pada tahun 1946,
susut dan mengecilnya hifa yang disebut sebagai curling factor kemudian ternyata
diketahui bahwa bahan yang mereka isolasi dari Penicillium jancezewski adalah
griseofulvin. Grisoefulvin merupakan suatu antibiotik yang bersifat fungistatik,
secara in vitro efektif terhadap berbagai jenis jamur dermatofit. Berdasarkan
Biopharmaceutics Classification System (BCS) griseofulvin masuk dalam kelas II
yaitu merupakan obat yang mempunyai kelarutan rendah dan permeabilitas tinngi.
Obat yang mempunyai kelarutan rendah dan permeabilitas tinggi maka kecepatan
absorbsi obat tersebut ditentukan oleh tahapan kecepatan disolusi obat tersebut dalam
cairan di tempat obat diabsorbsi (Syarif, 2012).
Mekanisme kerja griseofulvin telah diduga melibatkan inhibitor selektif
mitosis sel jamur yang berasosiasi dengan akumulasi dalam lapisan keratin dari
epidermis. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa griseofulvin menghambat
mitosis pada jamur yang sensitif dengan menyerupai mekanisme kerja kolkisin dan
obat antimitosis lain dalam sel mamalia dengan cara merusak fungsi benang spindel
mikrotubulus (MT) dalam pembelahan sel jamur. Efek antiproliferatif dan antimitosis
dari griseofulvin dalam sel mamalia masih sangat lemah sehingga untuk menghambat
pertumbuhan jamur membutuhkan konsentrasi mikromolar yang tinggi (Dulal P et
all,2005).

26

Khasiat griseofulvin adalah sebagai antifungi. Secara in vitro griseofulvin


efektif terhadap berbagai jenis jamur dermatofit dan griseofulvin secara selektif
dikonsentrasikan dilapisan keratin dan merupakan obat terpilih untuk dermatofitosis
yang luas dan bandel (Ganiswara,1995).
Dermatofitosis secara klinis didefinisikan penyakit yang disebabkan oleh
kolonisasi jamur dermatofit yang menyerang jaringan yang mengandung keratin
seperti stratum korneum kulit, rambut dan kuku pada manusia dan hewan.
Dermatofitosis juga didefinisikan setiap infeksi fungal superfisial yang disebabkan
dan mengenai stratum korneum kulit, rambut dan kuku termasuk onikomikosis dan
berbagai macam bentuk tinea. Disebut juga epidermomycosis dan epidermophytosis
(Budimulya dkk,2004).
Terdapat tiga genus penyebab dermatofitosis, yaitu Trichophyton,
Microsporum, dan Epidermophyton, yang dikelompokkan dalam kelas
Deuteromycetes. Dari ketiga genus tersebut telah ditemukan 41 spesies, terdiri dari 17
spesies Microsporum, 22 spesies Trichophyton, 2 spesies Epidermophyton. Dari 41
spesies yang telah dikenal, 17 spesies diisolasi dari infeksi jamur pada manusia, 5
spesies Microsporum menginfeksi kulit dan rambut, 11 spesies Trichophyton
meninfeksi kulit, rambut dan kuku, 1 spesies Epidermophyton menginfeksi hanya
pada kulit dan jarang pada kuku. Spesies terbanyak yang menjadi penyebab
dermatofitosis di Indonesia adalah: Trichophyton rubrum (T. rubrum), berdasarkan
penelitian di RS Dr. Cipto Mangun Kusumo Jakarta tahun 1980. Pada penelitian yang
27

dilakukan di Surabaya pada 20062007 ditemukan spesies terbanyak yang berhasil


dikultur adalah M. audiouinii (14,6%), T. rubrum (12,2%), T. mentagrophytes (7,3%)
(Djuanda, 2007).
Perananan griseofilvin dalam bidang farmasi dikhususkan untuk mengobati
infeksi jamur dermatofitosis. Dalam buku Farmakologi dan Terapi edisi 5 tahun 2007
menyebutkan bahwa griseovulfin in vitro efektif terhadap berbagai jenis jamur
dermatofit seperti Trichophyton, Epidermophyton dan Microsporum. Terhadap sel
muda yang sedang berkembang griseofulvin bersifat fungisidal. Tetapi obat ini tidak
efektif terhadap bakteri, jamur lain dan ragi, Actinomyces dan Nocardia
(Syarif,2012).
Dosis griseofulvin bervariasi tergantung pada apakah obat diberikan sebagai
mikron atau preparat ultramicrosize. Selain itu, dosis griseofulvin yang
direkomendasikan dalam ultramicrosize sedikit berbeda tergantung pada produsen
dan formulasi obat. Terapi dengan griseofulvin umumnya dipertahankan setidaknya
2-4 minggu untuk pengobatan tinea corporis; setidaknya 4-12 minggu untuk
pengobatan tinea capitis; 4-8 minggu untuk tinea pedis; dan dari 4-6 bulan sampai 1
tahun atau lebih untuk tinea unguium (American Hospital Formulary Service, 2000).
Griseofulvin memberikan hasil yang baik terhadap penyakit jamur di kulit,
rambut dan kuku yang disebabkan jamur yang sensitif. Gejala pada kulit akan
berkurang dalam 48 96 jam setelah pengobatan dengan griseofulvin sedangkan

28

penyembuhan sempurna baru terjadi setelah beberapa minggu. Biakan jamur menjadi
negatif dalam 1 2 minggu tetapi pengobatan sebaiknya dilanjutkan sampai 3 4
minggu. Infeksi pada telapak tangan dan telapak kaki lebih lambatbereaksi, biakan
disini baru negatif setelah 2 4 minggu dan pengobatan membutuhkan waktu sekitar
4 8 minggu (Syarif, 2012).

29

BAB IV
KESIMPULAN
1. Griseofulvin diisolasi pada tahun 1946, susut dan mengecilnya hifa yang
disebut sebagai curling factor kemudian ternyata diketahui bahwa bahan yang
mereka isolasi dari Penicillium jancezewski adalah griseofulvin. Griseovulfin
in vitro efektif terhadap berbagai jenis jamur dermatofit seperti Trichophyton,
Epidermophyton dan Microsporum. Terhadap sel muda yang sedang
berkembang griseofulvin bersifat fungisidal. Obat ini tidak efektif terhadap
bakteri, jamur lain dan ragi, Actinomyces dan Nocardia. Efek fungistatik obat
ini belum sepenuhnya dapat dijelaskan.
2. Perananan griseofilvin dalam bidang farmasi dikhususkan untuk mengobati
infeksi jamur dermatofitosis, sebaliknya griseofulvin tidak dapat digunakan
untuk mengobati jamur lain seperti kandidiasis, Actinomyces dan Nocardia.
Dermatofitosis

diketahui

terdiri

dari

genus

yaitu

Trichophyton,

Epidermophyton dan Microsporum. Infeksi dermatofitosis yang terbanyak di


indonesia yaitu genus Trichophyton, maka dari itu kami (penulis) membuat
contoh soal kasus mengenai tinea corporis dan tinea pedis (halaman 22-25).
3. Absorpsi griseofulvin dapat ditingkatan dengan makanan berlemak, sehingga
obat ini biasanya diminum setelah makan.
4. Grisefulvin menginduksi enzim mikrosom sehingga terjadi peningkatan
metabolisme warfarin. Beberapa obat kontrasepsi oral juga mengalami
keadaan serupa. Sebaliknya griseofulvin akan dihambat penyerapannya di
saluran cerna oleh barbiturat

30

31

DAFTAR PUSTAKA

American Hospital Formulary Service (2000) AHFS Drug InformationR 2000,


Bethesda, MD, American Society of Health-System Pharmacists [AHFSfirst
CD-ROM]
Ansel, H.C., Allen, L.V.Jr., and Popovich, N.G. 2005, Pharmaceutical Dosage Form
and Drug Delivery System, 7 th ed., Lippincot Williams and Wilkins, USA.
244.
Budimulya U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widati S, editor.
Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2004. h. 16.
Depkes RI, 1995.Farmakope Indonesia,ed 4.DEPKES RI.Jakarta.4,449-450.
Djuanda A, Hamzah Has, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.h. 89105.
Ervianti E, Martodiharjo S, Murtiastutik D, editor. Etiologi dan Patogenesis
Dermatomikosis Superfisialis. Simposium Penatalaksanaan Dermatomikosis
Superfisialis Masa Kini.11 Mei 2002.Surabaya, Indonesia.
Ganiswara, S.1995.Farmakologi dan Terapi Edisi IV.Bagian Farmakologi Fakultas
Kedikteran Universitas Indonesia.Jakarta.
Gennaro, A.R. (1995) Remington: The Science and Practice of Pharmacy, 19th Ed.,
Vol. II, Easton, PA, Mack Publishing Co., p. 1329
32

Idris, F., dan Widjajarta, M., 2006, Obat Generik Harga Murah Tapi Mutu Tidak
Kalah, (http://www.medicastore.com, diakses tanggal 23 Desember 2015).
Magellan Medicaid Administration.2014. Antifungals, Oral Therapeutic Class
Review

(TCR).

Provider

Synergies,

L.L.C.

Magellan

Medicaid

Administration,Inc.
Mitrea, LS. Pharmacology. Canada: Natural Medicine Books. 2008. h. 53.
Nutrition and Drug Interrelation, 1978.International Symposium on Nutrition and
Drug Interrelations Lowa State University.United Kingdom.Academic
Press,Inc.
Ozkurt Z, Erol S, Kadanali A, Ertek M, Ozden K, Tasyaran MA. Changes in
antibiotic use, cost and consumption after an antibiotic restriction policy
applied by infectious disease specialists. Jpn J Infect Dis. 2005; 58:338-43.
Royal Pharmaceutical Society of Great Britain (2000) Martindale, The Extra
Pharmacopoeia, 13th Ed., London, The Pharmaceutical Press [MicroMedex
Online]
Syarif, Amir dr.SKM,SpFK, Dr.dr.Purwantyastudi A,MSc,SpFK, Prof.DR.drRianto
Setiabudy,SpFK dkk.2012.Farmakologi dan Terapi Edisi 5.Jakarta.Badan
Penerbit FKUI,Jakarta. Halaman 579,580.
Tjay, T.H. dan K. Rahardja. 2002.Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-Efek Sampingnya Edisi Kelima Cetakan Pertama. Penerbit PT Elex
Media : Jakarta

33

Yuslinadia.2013. Perbandingan Mutu Fisik Dan Profil Disolusi Tablet Griseofulvin


Merk Dagang Dan Generik.Surakarta.

34

Anda mungkin juga menyukai