DISUSUN OLEH :
Dr. SRI AMELIA, M.Kes
NIP. 197409132003122001
DEPARTEMEN MIKROBIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2011
Pada penelitian yang membandingkan metode kaldu dengan disk difusi, ternyata
metode kaldu memberikan hasil yang baik. Metode pengenceran agar dengan flukonazole
digunakan sebagai metode identifikasi yang cepat untuk menentukan adanya isolate yang
resisten dan menunjukkan hubungan yang sangat baik dengan hasil NCCLS. Metode
C. ANTIJAMUR SISTEMIK
AMFOTERISIN B
Amfoterisin B merupakan poliena antibiotik kompleks yang disintesis oleh
actinomycetes aerobik, Streptomyces nodosus dan memiliki sifat antibakteri yang dapat
diabaikan. Obat ini menghambat pertumbuhan beberapa jamur patogenik secara kuat
dalam in vitro maupun in vivo. Amfoterisin B berikatan dengan sterol pada selaput sel
jamur dan mengganggu kerjanya.2,3
Mekanisme kerja
Amfoterisin B diberikan secara intravena dalam bentuk micelles dengan natrium
deoksikolat yang dicairkan dalam cairan dekstrosa. Walaupun obat tersebar secara luas
dalam jaringan, obat ini tidak begitu baik memasuki cairan serebrospinal. Ketika
memasuki sel jamur, amfoterisin B berikatan secara kuat dengan ergosterol pada selaput
Indikasi
Amfoterisin B adalah obat antijamur berspektrum luas dan bermanfaat untuk
menghadapi sebagian besar mikosis sistemik utama, termasuk, koksidiodomikosis,
blastomikosis, histoplasmosis, sporotrikosis, kriptokokosis, mukormikosis dan
kandidiasis.
Respon terhadap infeksi utama bergantung pada pemberian amfoterisin B yang
cepat, tempat infeksi, keadaan imun pasien dan sensitivitas bawaan terhadap pathogen.
Untuk meningitis jamur akibat Coccidioides diperlukan pemberian secara intratekal.
Terapi intraartikular berguna pada infeksi sendi oleh jamur. Terapi kombinasi dengan
flusitosin barangkali bermanfaat untuk infeksi akibat Candida dan Cryptococcus. Infeksi
jamur akibat Pseudallescheria boydii tampaknya sukar disembuhkan oleh amfoterisin B.
Efek Samping
Reaksi akut yang biasanya menyertai pemberian amfoterisin B intravena antara
lain demam, menggigil, dispnea dan hipotensi. Efek samping ini biasanya dapat dikurangi
dengan pemberian hidrokortison atau asetaminofen secara bersamaan atau sebelumnya.
Toleransi terhadap efek samping akut timbul selama terapi.
Efek samping kronik biasanya mengakibatkan nefrotoksisitas. Azotemia hampir
selalu terlihat pada terapi amfoterisin B, dan kadar kreatinin serum serta kadar ion harus
dipantau secara ketat. Juga sering terlihat hipokalemia, anemia, asidosis tubuler ginjal,
sakit kepala, mual dan muntah. Walaupun beberapa kasus nefrotoksisitas dapat pulih
kembali, terjadi penurunan fungsi tubuler dan glomerulus yang menetap. Kerusakan ini
dapat dikorelasikan dengan dosis total amfoterisin B yang diberikan.
Mekanisme kerja
Jamur yang rentan mampu mengakumulasikan flusitosin melalui permease terikat
selaput. Flusitosin kemudian dikonversikan menjadi fluorourasil melalui sitosin
deaminase. Fluorourasil merupakan penghambat kuat dari sintetase timidilat, dan
penghambatan ini mengakibatkan kematian sel. Sel mamalia tidak memiliki sitosin
deaminase dan karena itu terlindung dari efek toksik fluorourasil. Sayangnya, mutan
resisten timbul dengan cepat sehingga membatasi kerja flusitosin.
Indikasi
Flusitosin digunakan secara primer dalam ikatan dengan amfoterisin B untuk
pengobatan infeksi Candida dan Cryptococcus. Flusitosin bekerja secara sinergistik
dengan amfoterisin B in vitro terhadap organismo ini, dan percobaan klinik menunjukkan
efek yang bermanfaat dari kombinasi tersebut, terutama pada meningitis kriptokokus.
Kombinasi ini juga terlihat memperlambat dan mengeliminasi timbulnya mutan resisten
flusitosin.
Efek samping
Walaupun flusitosin sendiri mungkin memiliki sedikit toksisitas terhadap sel
mamalia dan relatif dapat ditoleransi dengan baik, konversinya menjadi fluorourasil
menghasilkan senyawa yang sangat toksik yang mungkin mengakibatkan efek samping
utama dari obat ini. Pemberian flusitosin jangka lama mengakibatkan penekanan sumsum
tulang, kerontokan rambut, dan fungsi hati yang abnormal. Konversi flusitosin menjadi
fluorourasil oleh bakteri enterik dapat menyebabkan colitis. Pasien dengan AIDS
mungkin lebih rentan terhadap supresi sumsum tulang oleh flusitosin dan kadar serum
harus dipantau secara ketat.
Mekanisme kerja
Semua antijamur azol bekerja melalui penghambatan biosíntesis ergosterol jamur.
Penghambatan ini dicapai melalui pengikatan obat dan pengaruhnya terhadap fungsi
kelompok heme pada sitokrom P450 oksidase. P450 oksidase jamur yang paling sensitif
terhadap penghambatan adalah 14-lanosterol demetilase. Enzim P450 lainnya (termasuk
enzim mamalia yang terlibat dalam steroidogenesis) dapat dihambat pada konsentrasi
tinggi. Penghambatan ergosterol menimbulkan gangguan pada struktur dan fungsi selaput
jamur.2
Indikasi
Ketokonazol bermanfaat pada pengobatan kandidiasis mukokutan kronik dan
pada bentuk ekstrameningeal kronik dari blastomikosis, koksidioidomikosis,
parakoksidioidomikosis, dan histoplasmosis.
Flukonazol merupakan bentuk unik dari antijamur azol yang baru saja ditemukan
karena kemampuannya dalam memasuki cairan serebrospinal. Sifat ini dan manfaat
kliniknya membuat flukonazol menjadi alternatif yang baik untuk amfoterisin B dalam
pengobatan meningitis kriptokokus dan koksidioidal. Pada pasien AIDS dengan
meningitis kriptokokus, terapi rematan dengan flukonazol dapat mencegah kekambuhan.
Kandidiasis orofaring pada pasien AIDS dan kandidemia pada pasien dengan fungsi imun
yang baik dapat juga diobati dengan flukonazol.2
Efek samping
Efek tambahan antijamur azol secara primer berkaitan dengan kemampuannya
menghambat enzim P450 sitokrom mamalia. Ketokonazol merupakan yang paling toksik
dalam hal ini dan pada dosis terapeutiknya akan menghambat síntesis testosteron dan
kortisol. Penghambatan ini mengakibatkan ginekomastia, penurunan libido, impotensi,
menstruasi yang tidak teratur dan kadang-kadang insufisiensi adrenal. Flukonazol dan
itrakonazol pada dosis terapeutik yang dianjurkan tidak memperlihatkan gangguan yang
bermakna terhadap steroidogenesis mamalia, tetapi hal ini dapat berubah jika dosis yang
digunakan untuk pengobatan infeksi recalcitran diturunkan. Semua antijamur azol dapat
menyebabkan peningkatan fungsi hati yang asimtomatik dan kasus hepatitis yang
jarang.2,3
Karena antijamur azol berinteraksi dengan enzim P450 yang juga mengakibatkan
metabolisme obat, maka dapat terjadi interaksi antara beberapa obat yang penting.
Peningkatan konsentrasi antijamur azol dapat terlihat bila digunakan isoniazid, fenitoin,
atau rifampisin. Terapi antijamur azol dapat juga mengakibatkan kadar yang lebih tinggi
daripada kadar serum siklosporin, fenitoin, hipoglikemik oral, antikoagulan, digoksin dan
barangkali banyak lagi yang lain yang diharapkan. Diperlukan pemantauan serum kedua
obat tersebut untuk mencapai kisaran terapeutik yang sesuai.2,3
Mekanisme kerja
Setelah pemberian peroral, griseofulvin disebarkan ke seluruh tubuh. Obat ini
berakumulasi di epidermis dan jeringan keratinisasi lainnya (rambut dan kuku). Keratin
merupakan sumber nutrisi utama untuk dermatofita dan degradasi keratin oleh jamur ini
mengakibatkan dicernakannya obat. Dalam organisme, griseofulvin diduga berinteraksi
dengan mikrotubula dan mengganggu fungsi mitosis gelendong, menimbulkan
penghambatan pertumbuhan.2
Indikasi
Griseofulvin bermanfaat secara klinik untuk mengobati infeksi dermatofita pada
kulit, rambut dan kuku yang disebabkan oleh spesies Trichophyton, Epidermophyton dan
Microsporum. Obat ini tidak berpengaruh pada kandidiasis superficial atau kandidiasis
sistemik atau setiap mikosis sistemik lainnya. Biasanya diperlukan terapi oral selama
berminggu-minggu sampai berbulan-bulan.2
Efek samping
Griseofulvin biasanya ditoleransi dengan baik. Efek samping yang paling sering
adalah sakit kepala, yang biasanya timbul kembali bila obat tidak dihentikan. Jarang
terjadi gangguan pencernaan, mengantuk dan hepatotoksisitas.
D. ANTIJAMUR TOPIKAL
Antijamur topikal digunakan pada infeksi jamur yang menyerang stratum
korneum, mukosa squamosa, atau kornea. Tinea korporis, tinea manum, tinea pedis, tinea
kruris, tinea nigra, tinea versicolor, piedra, thrush dan keratitis yang disebabkan oleh
jamur adalah jenis-jenis penyakit yang diobati dengan antijamur topikal. Pembasmian
infeksi jamur ini tergantung dari penurunan penetrasi jamur pada sel-sel superfisial yang
NISTATIN
Nistatin adalah antibiotik poliena yang secara struktur berkaitan dengan
amfoterisin B dan barangkali memiliki cara kerja umum yang sama. Obat ini dapat
bermanfaat untuk mengobati infeksi kandida lokal pada mulut dan vagina. Nistatin dapat
juga menekan kandidiasis esofagus subklinik dan pertumbuhan berlebihan dari Candida
di saluran gastrointestinal. Tidak terjadi absorpsi sistemik dan tidak terdapat efek
samping.2
Selain itu nistatin juga digunakan untuk mengobati kandida pada daerah
intertrigenous yang lembab, misalnya pada perineum, atau di bawah lipatan payudara,
nistatin dalam bentuk bedak dapat memberikan efek kering. Kombinasi nistatin dengan
antimikroba atau dengan kortikosteroid dapat digunakan. Nistatin oral bentuk suspensi
mengandung 100.000 units/ml dan diberikan empat kali dalam sehari. Untuk bayi baru
lahir dosis 1 ml, anak-anak 2 ml dan orang dewasa 5 ml. Nistatin oral tablet mengandung
500.000 units berfungsi meurunkan koloni dari Candida. Nystatin vaginal suppositoria
mempunyai efektifitas yang lebih rendah dari golongan azole, biasanya digunakan pada
pasien yang alergi terhadap azole.3
Perkembangan obat antijamur tidak begitu maju, karena jamur mempunyai jenis sel
yang mirip dengan dengan sel mamalia dimana sama-sama masuk dalam kelompok
eukariota, sehingga harus dicari antijamur yang dapat merusak jamur tetapi tidak
merusak sel mamalia. Dan sulit mencari antijamur yang tidak merusak sel mamalia.
Sasaran pengobatan antijamur adalah menghambat sintesis ergosterol, sintesis
dinding sel, mengganggu membrane sel, menghambat sintesis asam nukleat, sintesis
protein, mempengaruhi pembelahan sel jamur dan mengganggu metabolisme sel
jamur
Metode pemeriksaan uji sensitifitas antijamur terdiri dari beberapa antara lain,
NCCLS macrobroth, NCCLS microbroth, Colorimetri, E-test, Agar dilution, Disk
diffusion.
Antijamur sistemik antara lain : amfoterisin B, flusitosin, golongan azole,
griseofulvin, terbinafine.
Antijamur sistemik digunakan untuk mengobati infeksi jamur yang berlangsung
sistemik
Antijamur topikal antara lain : golongan azole, nistatin, tolnaftat & naftitin, asam
undesilenat, haloprogin, siklopiroks olamine, whitfield ointment.
Antijamur topikal digunakan pada infeksi jamur yang menyerang stratum
korneum, mukosa squamosa, atau kornea, misalnya pada tinea korporis, tinea
manum, tinea pedis, tinea kruris, tinea nigra, tinea versicolor, piedra, thrush dan
keratitis.