Anda di halaman 1dari 18

OBAT ANTI JAMUR (FUNGAL)

DISUSUN OLEH :
Dr. SRI AMELIA, M.Kes
NIP. 197409132003122001

DEPARTEMEN MIKROBIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2011

Universitas Sumatera Utara


BAB I
PENDAHULUAN

Berbeda dengan perkembangan obat antibakteri yang semakin meluas, manfaat


klinis obat anti jamur masih terbatas. Alasan ketidaksesuaian ini karena adanya hubungan
yang erat antara jamur patogenik dengan inang mamalianya. Banyak proses biokimia
yang menyediakan sasaran berguna untuk obat antibakteri tidak terdapat dalam jamur,
dan proses yang dapat menjadi sasaran dimiliki juga oleh inang mamalianya. Karena
alasan ini, banyak senyawa yang memperlihatkan kemaknaan aktivitas antijamur invitro
tidak dapat digunakan secara terapeutik karena toksisitas inang.1,2
Obat antijamur mempunyai beberapa sasaran yang ditujukan pada sel jamur agar
sel tersebut mengalami kematian. Sasaran primer obat kemoterapeutik antijamur adalah
selaput jamur. Sebagian besar jamur mengandung ergosterol seperti sterol selaput utama.
Manusia tidak mensintesis ergosterol tetapi menggunakan kolesterol sebagai sterol
selaput utama. Dengan pengecualian griseofulvin dan flusitosin, obat antijamur bekerja
melalui pengikatan ergosterol (amfoterisin B) atau penghambatan biosintesis ergosterol
(antijamur azol).2
Selain menghambat kerja ergosterol, antijamur juga bekerja dalam menghambat
sintesis dinding sel jamur, mengganggu fungsi dari membrane sel, menghambat sintesis
dari asam nukleat, menghambat sintesis protein, menghambat pembelahan inti sel, serta
sebagai penghambat sistem metabolisme pada sel jamur. Semua kerja antijamur tersebut
bertujuan untuk mendapatkan efek fungistatik dan fungisid.1
Pengobatan antijamur dapat kita kelompokkan ke dalam dua golongan besar
berdasarkan tujuan pengobatan. Yang pertama antijamur yang bekerja sistemik, biasanya
digunakan untuk infeksi jamur sistemik seperti blastomikosis, histoplasmosis, candida,
dan infeksi jamur lainnya. Sedangkan kelompok kedua bekerja secara topikal, hanya pada
daerah lesi saja. Obat yang dipakai untuk mikosis lokal yaitu golongan azole, nistatin,
tolnaftat, naftitin, siklopiroks olenamin, asam undesilnat, dan haloprogin.1,3
Pada tulisan ini, penulis ingin menyampaikan beberapa obat antijamur beserta
mekanisme, indikasi pemakaian, efek samping. Mudah-mudahan apa yang akan saya
sampaikan ini bermanfaat bagi kita semua.

Universitas Sumatera Utara


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. SASARAN OBAT ANTIJAMUR


Dengan meningkatnya infeksi jamur pada tahun-tahun terakhir ini, kita
membutuhkan obat antijamur yang baru untuk mengatasi masalah tersebut. Tidak seperti
perkembangan dari obat-obat antibakteri, perkembangan obat antijamur tidak begitu
signifikan. Hal ini disebabkan karena jamur mempunyai jenis sel yang mirip dengan
dengan sel mamalia dimana sama-sama masuk dalam kelompok eukariota, sehingga
harus dicari antijamur yang dapat merusak jamur tetapi tidak merusak sel mamalia. Hal
ini sulit dilakukan. Berbeda dengan antibakteri, bakteri termasuk kelompok prokariota
sehingga sel yang menjadi target antibakteri tidak dijumpai pada sel mamalia, sehingga
perkembangan obat antibakteri lebih maju dibanding obat antijamur.1
Sebagian besar obat antijamur digunakan secara sistemik, yang tergantung dari
interaksi antijamur dengan ergosterol, baik secara langsung (amphoterisin B) atau secara
tidak langsung (azole). Di bawah ini ada beberapa tempat yang merupakan target dari
obat antijamur.
a. Ergosterol dan sintesis ergosterol
Belakangan ini banyak obat antijamur yang dapat menghambat sintesis atau
interaksi dengan ergosterol, yang merupakan sterol yang sangat penting pada membrane
sel jamur. Polyenes, seperti amphoterisin B dapat berikatan dengan sterol membrane,
terutama ergosterol, dan menyebabkan meningkatnya permeabilitas sel, kemudian terjadi
kebocoran intraselluler sel jamur dan akhirnya menyebabkan kematian sel.1
Sitokrom P450 –dependent-14-α-demethylase adalah sasaran dari obat
antijamur golongan azole (flukonazol, ketokonazol, itrakonazol, dan lain sebagainya)
yang secara umum bersifat fungistatik. Squalene epoxidase adalah sasaran lain pada
jalur biosintesis ergosterol yang dapat memberikan efek fungistatik dan fungisid.
Allylamines (terbinafin) dan thiocarbamate (tolnaftat) bekerja pada sasaran ini dan
menimbulkan reaksi silang yang minimal dengan enzim yang bekerja dalam sintesis
kolesterol. Semakin banyaknya penggunaan antijamur di klinik, memerlukan penelitian
yang lebih lanjut untuk menemukan penghambat ergosterol yang lebih poten.1

Universitas Sumatera Utara


b. Sintesis asam nukleat
Hanya satu obat yang bekerja pada sintesis asam nukleat sel jamur yaitu flusitosin
(5-fluorositosin, 5-FC). 5-fluorositosin dikonversikan menjadi 5-fluorouridin yang
kemudian membentuk triphosphat. Triphosphat menghambat sintesis timidilate dan
menghambat sintesis DNA sel jamur. Yang akhirnya dapat menyebabkan kematian sel.1
c. Dinding sel
Dinding sel jamur merupakan sasaran yang menjadi perhatian dalam
perkembangan obat antijamur yang baru. Komponen dari dinding sel jamur bervariasi
antar sesama spesies jamur tetapi pada umumnya hampir sama. Salah satu dari komponen
mayor adalah 1,3-β-glucan, dalam bentuk struktur helocoidal. Komponen lain adalah
chitin yang berbentuk pita dan merupakan rangka dari dinding sel. Mannoprotein juga
merupakan komponen mayor dari dinding sel luar dan berfungsi dalam memberi bentuk
sel jamur.1
Masing-masing komponen mayor dari dinding sel tersebut dapat menjadi sasaran
dari obat antijamur. Sintase glucan merupakan sasaran yang penting pada dinding sel,
karena setiap sel jamur mempunyai komponen ini termasuk Pneumocystic carinii, dan
menghambat sintase glucan dapat menyebabkan kematian sel jamur (fungisid). Obat
antijamur yang menghambat sintase glucan misalnya echinocandins.1
Sintesis chitin merupakan komponen yang penting pada sel jamur. Polyoxins dan
nikkomycins adalah penghambat sintesis chitin yang diperlukan pada transport lipid ke
dalam sel. Pradmicins dan bananomicins adalah antijamur yang berikatan dengan
mannoprotein, yang mempunyai aktivitas yang sangat luas, tetapi tidak terlihat adanya
efek penghambatan terhadap sintesis mannoprotein.1
d. Sasaran yang lain
Banyak sasaran yang dapat ditemukan pada sel jamur, beberapa obat antijamur
dibuat untuk dapat merusak sasaran tersebut. Elongasi faktor 3 merupakan protein yang
khas yang dibutuhkan untuk mensintesa protein jamur, yang tidak dijumpai pada sel
mamalia dan dapat menjadi sasaran yang sangat spesifik. Protein ini dapat dijumpai pada
142
banyak spesies jamur termasuk Candida dan Saccharomyces. Protein N-myristoyl
dikenal sebagai faktor ADP-ribosylation yang penting untuk pertumbuhan sel jamur dan
yang dapat menghambatnya bersifat fungisid. Protein ini dijumpai pada Candida spp. dan

Universitas Sumatera Utara


Cryptococcus spp. Topoisomerase I dan II dapat juga menjadi sasaran , sebab
penghambatannya dapat menjadi fungisidal. Sintesa asam amino dan membran plasma
ATPase juga berpotensial untuk menjadi sasaran obat antijamur. Gene kapsul pada
C.neoformans merupakan faktor virulensi. Protease yang dijumpai pada Candida spp.
juga berfungsi sebagai faktor virulensi. Faktor virulensi ini dapat menjadi sasaran pada
pengobatan antijamur.1

Gambar 1. Tempat kerja dari obat antijamur.1

B. UJI SENSITIVITAS OBAT ANTIJAMUR


Belakangan ini pemeriksaan sensitifitas antijamur sudah banyak diperbincangkan.
Amphoterisin B adalah salah satu antimikroba yang digunakan untuk mengatasi infeksi
sistemik, pemeriksaan uji sensitifitas obat tidak begitu terlihat efek klinisnya. Tetapi
semakin berkembangnya obat-obat baru antijamur dan semakin banyaknya jamur yang

Universitas Sumatera Utara


resisten dengan penggunaan obat antijamur, membuat pemeriksaan uji sensitifitas obat
antijamur semakin perlu dilakukan. Galgiani et al menunjukkan ada 50.000 cara dalam
uji sensitifitas obat antijamur dan tidak ada metode standard untuk pemeriksaan uji
sensitifitas tersebut. 1
Pada uji sensitifitas antijamur sebenarnya diperlukan suatu metode yang mudah
dilakukan, sederhana, jamur dapat berkembang dengan baik dan tidak mahal. Faktor-
faktor yang berpengaruh dalam proses uji sensitifitas antijamur antara lain pH, ukuran
inokulum, media yang digunakan, waktu dan suhu inkubasi, serta metode yang berbeda
antara uji sensitifitas pada ragi dengan uji sensitifitas pada jamur berfilamen.1
I. Metode yang digunakan untuk uji sensitifitas ragi
Banyak metode yang digunakan untuk memeriksa uji sensitifitas obat antijamur,
antara lain dengan mengukur bahan biakan, mengukur ambilan metabolit, flow
cytometry, metode agar dan metode pengenceran. Diantara semua metode diatas, metode
dengan menggunakan agar yang paling diminati sebab metode ini mudah dan biaya yang
rendah tetapi hasil bervariasi tergantung pada ukuran inokulum, suhu, waktu inkubasi,
dan kemampuan obat yang digunakan pada agar.
Tabel 1. Metode uji sensitifitas antijamur bentuk ragi
Metode Keterangan
NCCLS macrobroth Standardized, reproducible, baik pada
invitro maupun in vivo
NCCLS microbroth Korelasi yang baik dengan macrobath
Colorimetri
Alamar blue Korelasi yang baik dengan macrobath
Garam tetrazolium Beberapa penelitian pernah dilaporkan
E-test Korelasi lebih baik dengan macrobath 24
jam daripada 48 jam
Pengenceran agar Mungkin baik digunakan untuk screening
dengan korelasi yang sangat baik vs
macrobath
Difusi disk Hasil tidak begitu baik

Pada penelitian yang membandingkan metode kaldu dengan disk difusi, ternyata
metode kaldu memberikan hasil yang baik. Metode pengenceran agar dengan flukonazole
digunakan sebagai metode identifikasi yang cepat untuk menentukan adanya isolate yang
resisten dan menunjukkan hubungan yang sangat baik dengan hasil NCCLS. Metode

Universitas Sumatera Utara


pengenceran kaldu adalah metode yang sangat luas digunakan saat ini dan telah
distandarisasi oleh NCCLS. Saat ini metode pengenceran kaldu hanya dianjurkan pada
pemeriksaan Candida dan Criptococcus sp. Walaupun mempunyai konsistensi yang sama
antara interlaboratory dan intralaboratory dan sering berhubungan dengan gejala klinis
yang tampak.1
II. Metode uji sensitifitas pada jamur yang berfilamen
Pada uji sensitifitas ini mempunyai masalah yang khas, dimana timbul pertanyaan
kita, bagaimana proses penghambatan pertumbuhan dari sel jamur yang mengalami
perubahan bentuk morfologi. Sebagai contoh, spesies Aspergillus yang mempunyai
konidia yang kecil, melingkar, dan banyak, tetapi tidak mempunyai bentuk hifa.
Sedangkan indikator uji sensitifitas yang digunakan adalah dengan melihat pertumbuhan
hifa. Bentuk kaldu dan agar merupakan metode dasar yang digunakan. Saat ini NCCLS
mengusulkan metode pengenceran kaldu untuk uji sensitifitas dari jamur berfilamen yang
dibuat oleh M-38P. Inokulum dispectrophotometri dan diinkubasi sesuai dengan jenis
spesies yang diuji. Espinel-Ingroff diduga menggunakan metode ini ketika menguji efek
azole terhadap aspergilus. Pada penelitian yang dilakukan Pfaller et al menyebutkan
bahwa metode E-test berguna untuk uji sensitifitas beberapa jamur berfilamen.1

C. ANTIJAMUR SISTEMIK
AMFOTERISIN B
Amfoterisin B merupakan poliena antibiotik kompleks yang disintesis oleh
actinomycetes aerobik, Streptomyces nodosus dan memiliki sifat antibakteri yang dapat
diabaikan. Obat ini menghambat pertumbuhan beberapa jamur patogenik secara kuat
dalam in vitro maupun in vivo. Amfoterisin B berikatan dengan sterol pada selaput sel
jamur dan mengganggu kerjanya.2,3

Mekanisme kerja
Amfoterisin B diberikan secara intravena dalam bentuk micelles dengan natrium
deoksikolat yang dicairkan dalam cairan dekstrosa. Walaupun obat tersebar secara luas
dalam jaringan, obat ini tidak begitu baik memasuki cairan serebrospinal. Ketika
memasuki sel jamur, amfoterisin B berikatan secara kuat dengan ergosterol pada selaput

Universitas Sumatera Utara


sel. Interaksi ini memberikan perubahan pada kandungan cairan selaput dan barangkali
pengenalan “kutub amfoterisin”.
Molekul kecil dan ion terlepas dari sel jamur, yang sesungguhnya mengakibatkan
kematian sel. Sel mamalia relatif resisten terhadap kerja obat ini karena mereka tidak
mempunyai ergosterol. Amfoterisin B berikatan secara lemah dengan kolesterol pada
selaput sel mamalia, barangkali interaksi ini yang menyebabkan efek toksiknya.

Indikasi
Amfoterisin B adalah obat antijamur berspektrum luas dan bermanfaat untuk
menghadapi sebagian besar mikosis sistemik utama, termasuk, koksidiodomikosis,
blastomikosis, histoplasmosis, sporotrikosis, kriptokokosis, mukormikosis dan
kandidiasis.
Respon terhadap infeksi utama bergantung pada pemberian amfoterisin B yang
cepat, tempat infeksi, keadaan imun pasien dan sensitivitas bawaan terhadap pathogen.
Untuk meningitis jamur akibat Coccidioides diperlukan pemberian secara intratekal.
Terapi intraartikular berguna pada infeksi sendi oleh jamur. Terapi kombinasi dengan
flusitosin barangkali bermanfaat untuk infeksi akibat Candida dan Cryptococcus. Infeksi
jamur akibat Pseudallescheria boydii tampaknya sukar disembuhkan oleh amfoterisin B.

Efek Samping
Reaksi akut yang biasanya menyertai pemberian amfoterisin B intravena antara
lain demam, menggigil, dispnea dan hipotensi. Efek samping ini biasanya dapat dikurangi
dengan pemberian hidrokortison atau asetaminofen secara bersamaan atau sebelumnya.
Toleransi terhadap efek samping akut timbul selama terapi.
Efek samping kronik biasanya mengakibatkan nefrotoksisitas. Azotemia hampir
selalu terlihat pada terapi amfoterisin B, dan kadar kreatinin serum serta kadar ion harus
dipantau secara ketat. Juga sering terlihat hipokalemia, anemia, asidosis tubuler ginjal,
sakit kepala, mual dan muntah. Walaupun beberapa kasus nefrotoksisitas dapat pulih
kembali, terjadi penurunan fungsi tubuler dan glomerulus yang menetap. Kerusakan ini
dapat dikorelasikan dengan dosis total amfoterisin B yang diberikan.

Universitas Sumatera Utara


FLUSITOSIN
Flusitosin (5-fluorositosin) merupakan derivate sitosin yang terfluorinasi. Obat
ini merupakan senyawa antijamur yang secara primer digunakan dalam ikatan dengan
amfoterisin B pada infeksi yang disebabkan oleh Candida dan Cryptococcus. Obat ini
berpenetrasi dengan baik ke dalam seluruh jaringan, termasuk cairan serebrospinal.

Mekanisme kerja
Jamur yang rentan mampu mengakumulasikan flusitosin melalui permease terikat
selaput. Flusitosin kemudian dikonversikan menjadi fluorourasil melalui sitosin
deaminase. Fluorourasil merupakan penghambat kuat dari sintetase timidilat, dan
penghambatan ini mengakibatkan kematian sel. Sel mamalia tidak memiliki sitosin
deaminase dan karena itu terlindung dari efek toksik fluorourasil. Sayangnya, mutan
resisten timbul dengan cepat sehingga membatasi kerja flusitosin.

Indikasi
Flusitosin digunakan secara primer dalam ikatan dengan amfoterisin B untuk
pengobatan infeksi Candida dan Cryptococcus. Flusitosin bekerja secara sinergistik
dengan amfoterisin B in vitro terhadap organismo ini, dan percobaan klinik menunjukkan
efek yang bermanfaat dari kombinasi tersebut, terutama pada meningitis kriptokokus.
Kombinasi ini juga terlihat memperlambat dan mengeliminasi timbulnya mutan resisten
flusitosin.

Efek samping
Walaupun flusitosin sendiri mungkin memiliki sedikit toksisitas terhadap sel
mamalia dan relatif dapat ditoleransi dengan baik, konversinya menjadi fluorourasil
menghasilkan senyawa yang sangat toksik yang mungkin mengakibatkan efek samping
utama dari obat ini. Pemberian flusitosin jangka lama mengakibatkan penekanan sumsum
tulang, kerontokan rambut, dan fungsi hati yang abnormal. Konversi flusitosin menjadi
fluorourasil oleh bakteri enterik dapat menyebabkan colitis. Pasien dengan AIDS
mungkin lebih rentan terhadap supresi sumsum tulang oleh flusitosin dan kadar serum
harus dipantau secara ketat.

Universitas Sumatera Utara


ANTIJAMUR AZOL
Antijamur imidazol (ketokonazol) dan triazol (flukonazol dan itrakonazol)
merupakan obat yang aktif secara oral dan bermanfaat untuk terapi pada infeksi jamur
setempat atau sistemik luas. Indikasi untuk penggunaannya masih dievaluasi, tetapi ada
kecendrungan bahwa obat ini akan menggantikan amfoterisin B pada banyak infeksi
jamur karena obat ini dapat diberikan secara oral dan dengan sedikit toksisitas. Imidazol
lain (mikonazol dan kotrimazol) yang sangat toksik untuk pemberian sistemik berguna
sebagai obat topikal.

Mekanisme kerja
Semua antijamur azol bekerja melalui penghambatan biosíntesis ergosterol jamur.
Penghambatan ini dicapai melalui pengikatan obat dan pengaruhnya terhadap fungsi
kelompok heme pada sitokrom P450 oksidase. P450 oksidase jamur yang paling sensitif
terhadap penghambatan adalah 14-lanosterol demetilase. Enzim P450 lainnya (termasuk
enzim mamalia yang terlibat dalam steroidogenesis) dapat dihambat pada konsentrasi
tinggi. Penghambatan ergosterol menimbulkan gangguan pada struktur dan fungsi selaput
jamur.2

Indikasi
Ketokonazol bermanfaat pada pengobatan kandidiasis mukokutan kronik dan
pada bentuk ekstrameningeal kronik dari blastomikosis, koksidioidomikosis,
parakoksidioidomikosis, dan histoplasmosis.
Flukonazol merupakan bentuk unik dari antijamur azol yang baru saja ditemukan
karena kemampuannya dalam memasuki cairan serebrospinal. Sifat ini dan manfaat
kliniknya membuat flukonazol menjadi alternatif yang baik untuk amfoterisin B dalam
pengobatan meningitis kriptokokus dan koksidioidal. Pada pasien AIDS dengan
meningitis kriptokokus, terapi rematan dengan flukonazol dapat mencegah kekambuhan.
Kandidiasis orofaring pada pasien AIDS dan kandidemia pada pasien dengan fungsi imun
yang baik dapat juga diobati dengan flukonazol.2

Universitas Sumatera Utara


Indikasi itrakonazol bertumpang tindih dengan yang ditujukan bagi flukonazol,
tetapi mungkin memiliki aktivitas melawan aspergilosis. Walaupun percobaan klinik
dalam skala besar belum sempurna, hewan percobaan dan laporan kasus menunjukkan
bahwa itrakonazol dapat bermanfaat pada pengobatan aspergilosis yang invasif, yang
umumnya tidak berespon dengan amfoterisin B. Itrakonazol telah memperlihatkan
manfaatnya pada terapi primer dan terapi rumatan bagi histoplasmosis pada penderita
AIDS, histoplasmosis pada pasien dengan fungsi imun yang baik, koksidioidomikosis
ekstrameningeal, sporotrikosis dan blastomikosis.2
Mukormikosis tidak berespon terhadap antijamur azol dan amfoterisin B karena
mikosis ini berkaitan langsung dengan pembuangan jeringan mati secara pembedahan.

Efek samping
Efek tambahan antijamur azol secara primer berkaitan dengan kemampuannya
menghambat enzim P450 sitokrom mamalia. Ketokonazol merupakan yang paling toksik
dalam hal ini dan pada dosis terapeutiknya akan menghambat síntesis testosteron dan
kortisol. Penghambatan ini mengakibatkan ginekomastia, penurunan libido, impotensi,
menstruasi yang tidak teratur dan kadang-kadang insufisiensi adrenal. Flukonazol dan
itrakonazol pada dosis terapeutik yang dianjurkan tidak memperlihatkan gangguan yang
bermakna terhadap steroidogenesis mamalia, tetapi hal ini dapat berubah jika dosis yang
digunakan untuk pengobatan infeksi recalcitran diturunkan. Semua antijamur azol dapat
menyebabkan peningkatan fungsi hati yang asimtomatik dan kasus hepatitis yang
jarang.2,3
Karena antijamur azol berinteraksi dengan enzim P450 yang juga mengakibatkan
metabolisme obat, maka dapat terjadi interaksi antara beberapa obat yang penting.
Peningkatan konsentrasi antijamur azol dapat terlihat bila digunakan isoniazid, fenitoin,
atau rifampisin. Terapi antijamur azol dapat juga mengakibatkan kadar yang lebih tinggi
daripada kadar serum siklosporin, fenitoin, hipoglikemik oral, antikoagulan, digoksin dan
barangkali banyak lagi yang lain yang diharapkan. Diperlukan pemantauan serum kedua
obat tersebut untuk mencapai kisaran terapeutik yang sesuai.2,3

Universitas Sumatera Utara


GRISEOFULVIN
Griseofulvin merupakan antibiotik yang diberikan secara oral yang diperoleh dari
spesies Penicillium tertentu. Obat ini tidak berpengaruh terhadap bakteri atau jamur yang
mengakibatkan mikosis sistemik tetapi menekan dermatofita tertentu.2

Mekanisme kerja
Setelah pemberian peroral, griseofulvin disebarkan ke seluruh tubuh. Obat ini
berakumulasi di epidermis dan jeringan keratinisasi lainnya (rambut dan kuku). Keratin
merupakan sumber nutrisi utama untuk dermatofita dan degradasi keratin oleh jamur ini
mengakibatkan dicernakannya obat. Dalam organisme, griseofulvin diduga berinteraksi
dengan mikrotubula dan mengganggu fungsi mitosis gelendong, menimbulkan
penghambatan pertumbuhan.2

Indikasi
Griseofulvin bermanfaat secara klinik untuk mengobati infeksi dermatofita pada
kulit, rambut dan kuku yang disebabkan oleh spesies Trichophyton, Epidermophyton dan
Microsporum. Obat ini tidak berpengaruh pada kandidiasis superficial atau kandidiasis
sistemik atau setiap mikosis sistemik lainnya. Biasanya diperlukan terapi oral selama
berminggu-minggu sampai berbulan-bulan.2

Efek samping
Griseofulvin biasanya ditoleransi dengan baik. Efek samping yang paling sering
adalah sakit kepala, yang biasanya timbul kembali bila obat tidak dihentikan. Jarang
terjadi gangguan pencernaan, mengantuk dan hepatotoksisitas.

D. ANTIJAMUR TOPIKAL
Antijamur topikal digunakan pada infeksi jamur yang menyerang stratum
korneum, mukosa squamosa, atau kornea. Tinea korporis, tinea manum, tinea pedis, tinea
kruris, tinea nigra, tinea versicolor, piedra, thrush dan keratitis yang disebabkan oleh
jamur adalah jenis-jenis penyakit yang diobati dengan antijamur topikal. Pembasmian
infeksi jamur ini tergantung dari penurunan penetrasi jamur pada sel-sel superfisial yang

Universitas Sumatera Utara


muda atau pada kasus-kasus yang melibatkan epidermis, meningkatkan proses
desquamasi sel. Pada lesi hiperkeratosis, obat yang sampai ke daerah lesi hanya sedikit,
olehkarena itu harus menggunakan keratolitik agent seperti benzoic dan salicylic acid
(Whitfield’s ointment) yang menipiskan epidermis yang terinfeksi.3
Antijamur topikal untuk kulit dibuat dalam beberapa bentuk; bedak, larutan,
lotion, cream atau oinment. Bedak digunakan hanya untuk infeksi ringan pada lipatan
dan sela jari. Bentuk ointment digunakan pada lesi yang kering dan dapat menyebabkan
maserasi yang tidak diinginkan bla digunakan pada daerah yang lembab misalnya daerah
lipatan. Lotion atau cream merupakan bentuk yang lazim digunakan. Antijamur vagina
ada dalam bentuk cream, tablet atau suppositoria.

OBAT ANTIJAMUR AZOLE


Antijamur azole mempunyai spektrum yang luas dan dapat ditoleransi dengan
baik oleh tubuh olehkarena itu antijamur ini sangat banyak diproduksi. Preparat azole
untuk kulit digunakan untuk pengobatan tinea corporis, tinea pedis, tinea cruris, tinea
versicolor dan kandidiasis kutan. Penggunaannya dua kali sehari selama 3-6 minggu.
Kurang dari 1% dari dosis diabsorbsi. Obat ini tidak mempunyai aktifitas antibakteri .
Golongan azole tidak efektif pada pengobatan onychomycosis. Pada tinea kapitis
sebaiknya diobati dengan griseofulvin, 60-100% jamur akan hilang pada penggunaan
obat tersebut. Beberapa orang mengeluhkan efek samping berupa rasa terbakar pada
daerah yang diolesi obat, eritema, merah dan gatal.3
Pemberian azole vaginal dengan cara memasukkannya ke dalam vagina setiap
malam hari selama 3-7 hari. Bentuk cream penggunaannya dengan menggunakan
applikator berbentuk tube yang ditekan untuk mengeluarkan 5 gr azole. Selain bentuk
cream, bentuk tablet dan suppositoria juga digunakan. Efek terhadap pemakaian cream
atau suppositoria nampak setelah 2 minggu pengobatan. Kekambuhan sering terjadi. Efek
samping lokal berupa rasa panas dan merah tidak pernah terjadi, tetapi dapat
menimbulkan kram pada perut bagian bawah atau disuria. Kehamilan tidak menjadi
kontraindikasi pengobatan. Bila seorang individu alergi terhadap satu golongan azole
maka dapat menjadi alergi pula dengan golongan azole yang lain.3

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2. Antijamur topikal untuk mikosis superficial.3

KLOTRIMAZOL, MIKONAZOL & AZOL LAINNYA


Berbagai obat antijamur azol yang sangat toksik untuk pemberian sistemik
tersedia dalam bentuk topikal. Klotrimazol dan mikonazol merupakan obat yang
digunakan paling luas dan tersedia dalam bentuk pengganti lainnya. Ekokonazol,
butokonazol, tiokonazol, dan terkonazol juga tersedia. Tidak tercatat adanya perbedaan
keampuhan atau toleransi diantara setiap obat ini.2
Klotrimazol adalah sebuah imidazole. Pada kulit yang utuh tidak akan terjadi
absorbsi dari obat ini. Penderita yang diobati dengan dosis 1,5 gr untuk beberapa hari
maka konsentrasi obat ini di dalam darah kurang dari 1µg/ml. Dengan dosis ini dapat
menimbulkan efek samping mual, muntah, sakit perut dan penurunan barat badan.
Klotrimazol oral (Mycelex) dalam bentuk tablet hisap 10 mg dapat digunakan untuk
pengobatan sariawan selama 14 hari. Selain untuk sariawan, klotrimazole juga digunakan
untuk esofagus thrush pada pasien dengan fungsi imun yang baik. Absorpsi sistemik
minimal, hanya efektif untuk pengobatan topikal. Efeknya hampir sama dengan nystatin
dan rasanya lebih enak. Untuk klotrimazole vaginal, 3-10% dari dosis diabsorbsi,
mengalami metabolisme di hati dan diekskresi dalam empedu. Efek fungisidal masih ada
setelah 3 hari penghentian obat. Dosis untuk vulvovaginal candidiasis 100 mg tablet atau
1% vaginal cream.2,3

Universitas Sumatera Utara


Ekonazole nitrate adalah derivat deschloro dari mikonazole. Terkonazole
adalah ketaltriazole. Triazole ini efektif untuk pengobatan kandidiasis vagina dibanding
imidazole.3

Tabel 3. Pengobatan antijamur topikal pada Candida vulvovaginitis.3

NISTATIN
Nistatin adalah antibiotik poliena yang secara struktur berkaitan dengan
amfoterisin B dan barangkali memiliki cara kerja umum yang sama. Obat ini dapat
bermanfaat untuk mengobati infeksi kandida lokal pada mulut dan vagina. Nistatin dapat
juga menekan kandidiasis esofagus subklinik dan pertumbuhan berlebihan dari Candida
di saluran gastrointestinal. Tidak terjadi absorpsi sistemik dan tidak terdapat efek
samping.2
Selain itu nistatin juga digunakan untuk mengobati kandida pada daerah
intertrigenous yang lembab, misalnya pada perineum, atau di bawah lipatan payudara,
nistatin dalam bentuk bedak dapat memberikan efek kering. Kombinasi nistatin dengan
antimikroba atau dengan kortikosteroid dapat digunakan. Nistatin oral bentuk suspensi
mengandung 100.000 units/ml dan diberikan empat kali dalam sehari. Untuk bayi baru
lahir dosis 1 ml, anak-anak 2 ml dan orang dewasa 5 ml. Nistatin oral tablet mengandung
500.000 units berfungsi meurunkan koloni dari Candida. Nystatin vaginal suppositoria
mempunyai efektifitas yang lebih rendah dari golongan azole, biasanya digunakan pada
pasien yang alergi terhadap azole.3

Universitas Sumatera Utara


TOLNAFTAT DAN NAFTIFIN
Tolnaftat dan naftifin adalah obat antijamur topikal dari thiocarbamate,
digunakan untuk mengobati tinea pedis, tinea kruris, tinea korporis dan tinea versicolor.
Efektifitas lebih rendah dibanding golongan azole. Infeksi akibat candida relatif resisten
terhadap obat ini. Tersedia bentuk pengganti lainnya yaitu krim, bubuk dan semprot.2,3

OBAT ANTIJAMUR TOPIKAL LAIN


Asam undesilenat tersedia dalam banyak macam bentuk, termasuk bentuk busa
dan sabun. Mengandung zink, tembaga dan garam kalsium. Digunakan untuk pengobatan
tinea pedis dan tinea kruris. Efektifitasnya 50%. Walaupun obat ini efektif dan
ditoleransi dengan baik, antijamur azol, naftifin, dan tolnaftat lebih efektif.2,3
Haloprogin adalah golongan phenol halogenated. Digunakan dua kali sehari
selama 2-4 minggu pada tinea pedis, sekitar 80% pasien sembuh. Obat ini juga digunakan
untuk tinea cruris, tinea korporis, tinea manuum dan tinea versicolor.3
Siklopiroks olamine merupakan struktur yang berbeda dari antijamur azole
tetapi mempunyai indikasi, efektifitas dan efek samping yang sama. Cream 1%
siklopiroks dapat menyembuhkan 81-94% kandidiasis kutan, tinea versicolor, tinea pedis,
dan tinea cruris. Obat ini tidak efektif untuk onycomycosis.3
Whitfield ointment adalah campuran benzoic dan asam salisilat 2:1. Asam
salisilat menyebabkan deskuamasi, sedangkan benzoic merupakan fungisid ringan.
Walaupun dapat digunakan untuk tinea pedis, namun dapat meningkatkan maserasi dan
superinfeksi bakteri pada sela jari kaki.3

Universitas Sumatera Utara


BAB III
KESIMPULAN

Perkembangan obat antijamur tidak begitu maju, karena jamur mempunyai jenis sel
yang mirip dengan dengan sel mamalia dimana sama-sama masuk dalam kelompok
eukariota, sehingga harus dicari antijamur yang dapat merusak jamur tetapi tidak
merusak sel mamalia. Dan sulit mencari antijamur yang tidak merusak sel mamalia.
Sasaran pengobatan antijamur adalah menghambat sintesis ergosterol, sintesis
dinding sel, mengganggu membrane sel, menghambat sintesis asam nukleat, sintesis
protein, mempengaruhi pembelahan sel jamur dan mengganggu metabolisme sel
jamur
Metode pemeriksaan uji sensitifitas antijamur terdiri dari beberapa antara lain,
NCCLS macrobroth, NCCLS microbroth, Colorimetri, E-test, Agar dilution, Disk
diffusion.
Antijamur sistemik antara lain : amfoterisin B, flusitosin, golongan azole,
griseofulvin, terbinafine.
Antijamur sistemik digunakan untuk mengobati infeksi jamur yang berlangsung
sistemik
Antijamur topikal antara lain : golongan azole, nistatin, tolnaftat & naftitin, asam
undesilenat, haloprogin, siklopiroks olamine, whitfield ointment.
Antijamur topikal digunakan pada infeksi jamur yang menyerang stratum
korneum, mukosa squamosa, atau kornea, misalnya pada tinea korporis, tinea
manum, tinea pedis, tinea kruris, tinea nigra, tinea versicolor, piedra, thrush dan
keratitis.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

1. Anaissie, McGinnis, Pfaller. Clinical Mycology. Churchill Livingstone. 2003.


2. Brooks, Butel, Ornston. Medical Microbiology. Appleton & lange.
3. Kwon-chung & Bennet. Medical Mycology. Lea & Febiger. 1992.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai