Anda di halaman 1dari 21

PROGRAM

PENGENDALIAN RESISTENSI
ANTIMIKROBA

RUMAH SAKIT UMUM SRI TORGAMBA


LABUHANBATU SELATAN
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Keselamatan pasien di rumah sakit adalah sistem pelayanan dalam suatu RS


yang memberikan asuhan pasien menjadi lebih aman. Risiko terjadinya kesalahan
medis yang dialami pasien di rumah sakit sangat besar. Besarnya risiko
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain lamanya pelayanan, keadaan pasien,
kompetensi dokter, serta prosedur dan kelengkapan fasilitas. Kesalahan medis
tersebut bisa saja terjadi pada saat komunikasi dengan pasien, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, diagnosis maupun terapi dan tindak lanjut, namun bukan
disebabkan oleh penyakit underlying diseases. Risiko klinis tersebut bisa
berakibat cedera, kehilangan/kerusakan atau bisa juga karena faktor kebetulan
atau ada tindakan dini tidak berakibat cedera.
Kejadian risiko yang mengakibatkan pasien tidak aman sebagian besar dapat
dicegah dengan beberapa cara. Antara lain meningkatkan kompetensi diri,
kewaspadaan dini, dan komunikasi aktif dengan pasien. Salah satu yang bisa
dilakukan untuk mendukung program patient safety tersebut adalah penggunaan
antibiotik secara bijak dan penerapan pengendalian infeksi secara benar.
Diharapkan penerapan “Program Pengendalian Resistensi Antibiotik” dapat
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khususnya penanganan kasus-kasus
infeksi di rumah sakit serta mampu meminimalkan risiko terjadinya kesalahan
medis yang dialami pasien di rumah sakit.
Resistansi antibiotika telah menjadi masalah di Indonesia dengan merujuk
pada Pedoman Pengendalian Resistensi Antibiotika (PPRA) yang melibatkan 20
rumah sakit pendidikan. Permenkes no. 2406/Menkes/PER.XII/2011 tentang
Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik dan beberapa hasil penelitian telah
dilakukan antara lain Antimicrobial Resistance in: Indonesia Prevalence and
Prevention (AMRIN) menyatakan bahwa Indonesia memiliki resistensi terhadap
mikroba. Akibat dari resistensi antibiotika yaitu pengobatan pasien menjadi gagal
atau tidak sembuh, biaya jadi meningkat karena long of stay (LOS) lebih lama dan
jenis antibiotika beragam serta keberhasilan program kesehaan masyarakat dapat
terganggu.
Badan Eksekutif WHO telah merekomendasikan untuk memasukkan
resistensi antibiotika ke resolusi EB134.R13 pada World Health Assembly 2014
bulan Mei lalu, dengan penyusunan Rencana Aksi Global untuk Resistensi
Antibiotika. World Health Day 2011 mengusung tema Antimicrobial Resistance
(AMR). Hal ini kemudian dilanjutkan oleh penandatanganan “Jaipur Declaration
on Antimicrobial Resistance 2011” oleh Menteri-menteri Kesehatan dari negara-
negara anggota WHO Regional Asia Tenggara. Dimana pada Deklarasi Jaipur
tersebut ditekankan pentingnya pemerintah menempatkan prioritas utama untuk
mempertahankan efikasi antibiotik dan menghindari resistensi antimikroba.
Mengatasinya dengan melakukan rencana aksi yang melibatkan multisektor
Untuk mendukung kegiatan PPRA di rumah sakit perlu kesiapan
infrastruktur rumah sakit melalui kebijakan pimpinan rumah sakit yang
mendukung penggunaan antibiotic secara bijak (prudent use of antibiotics),
pelaksanaan pengendalian infeksi secara optimal, pelayanan mikrobiologi klinik
dari pelayanan farmasi klinik seara professional. Hal ini sesuai dengan hasil
rekomendasi Lokakarya Nasional Kedua ‘Staregy to Combat the Emergence and
Spread of Antimikrobial Resistant Bacteria in Indonesia’ di Jakarta tanggal 6-7
Desember 2006 bahwa setiap rumah sakit diharapkan segera menerapkan PPRA.
BAB II
PEMBAHASAN

A. ANTIMIKROBA
Antimikroba adalah bahan-bahan atau obat-obat yang digunakan untuk
memberantas/membasmi infeksi mikroba, khususnya yang merugikan
manusia,terbatas yang bukan parasit diantaranya antibiotika, antiseptika,
khemoterapeutika,preservative. Antibiotika adalah suatu senyawa kimia yang
dihasilkan oleh mikroorganisme, yang dalam konsentrasi kecil mempunyai
kemampuan menghambat atau membunuh mikroorganisme lain. Antibiotik
bersifat toksik secara selektif pada bakteri, namun tidak toksik pada sel inang
(host). Penggolongan antimikroba
Berdasarkan mekanisme kerjanya
1. Bersifat sebagai antimetabolit/ penghambatan metabolisme sel.
Koenzim asam folat di perlukan untuk sintesis purin dan pirimidin (prekursor
DNA dan RNA) dan senyawa-senyawa lain yang dipelukan untuk
pertumbuhan seluler dan replikasi. Untuk banyak mikroorganisme, asam p-
amino benzoate (PABA) merupakan metabolit utama. Antimikroba seperti
sulfonamide secara struktur mirip dengan PABA, asam folat, dan akan
berkompetisi dengan PABA untuk membentuk asam folat, Jika senyawa
antimikroba yang menang bersaing dengan PABA maka akan terbentuk asam
folat non fungsional yang akan mengganggu kehidupan
mikroorganisme. Contoh obat: Sulfonamid, trimetoprim, asam p-aminosalisilat
2. Penghambatan sintesis dinding sel
Antimikroba golongan ini dapat menghambat biosintesis peptidoglikan, sintesis
mukopeptida atau menghambat sintesis peptide dinding sel, sehingga dinding
sel menjadi lemah dank arena tekanan turgor dari dalam, dinding sel akan
pecah atau lisis sehingga bakteri akan mati. Contoh obat: penisilin,
sefalosforin, sikloserin, vankomisin, basitrasin, dan antifungi gol, Azol.
3. Penghambatan fungsi permeabilitas membrane sel
Antimikroba bekeja secara langsung pada membrane sel yang mempengarui
permeabilitas dan menyebabkan keluarnya senyawa intraseluler
mikroorganisme, sehingga sel mengalami kerusakan bahkan mati. Contoh Obat
: polimiksin, nistatin, dan amfoteresin B
4. Penghambatan sintesis protein yang reversible
Mempengaruhi fungsi sub unit 50S dan 30S. Antimikroba akan menghambat
reaksi transfer antara donor dengan aseptor atau menghambat translokasi t-
RNA peptidil dari situs aseptor kesitus donor yang menyebabkan sitesis protein
terhenti. Contoh obat : kloramfenikol, gol. Tetrasiklin, eritromisin, klindamisin,
dan pristinamisin
5. Pengubahan sintesis protein
Berikatan dengan subunit ribosom 30S dan mengubah sintesis protein, yang
pada akhirnya akan mengakibatkan kematian sel. Contoh obat :
aminoglikosida
6. Penghambatan asam nukleat
Antimikroba mempengaruhi metabolis asam nukleat bakteri, contoh obat : gol.
Rifamisin, yang menghambat RNA polimerase , dan yang menghambat
topoisomerase Contoh obat : golongan kuinolon
7. Seny. Antivirus yang terdiri beberapa gol :
 Analog asam nukleat, secara selektif menghambat DNA polimerase virus
(asiklovir ),
menghambat transkriptase balik (zidovudin)
 Inhibitor transkriptase balik non-nukleosida (nevirapin)
 Inhibitor enzim2 esensial virus lainnya, mis.inhibitor protease HIV atau
neuranidase
influenza.

Berdasarkan spektrumnya
1. Antibiotik dengan spektrum sempit, efektif terhadap satu jenis mikroba
2. Antibiotik dengan spektrum luas, efektif baik terhadap gram positif maupun
gram negatif. Contoh obat: tetrasiklin, amfenikol, aminoglikosida, makrolida,
rifampisin, turunan penisilin (ampisilin, amoksisilin, bakampisilin,
karbanesilin, hetasilin, pivampisilin, sulbenisilin, dan tirkasilin), dan sebagian
besar turunan sefalosporin
3. Antibiotik yang aktivitasnya lebih dominan terhadap gram positif. Contoh
obat: basitrasin, eritromisin, sebagian besar turunan penisilin sprt
benzilpenisilin, penisilin G prokain, penisilin V, fenetilisin K, metisilin Na,
turunan linkosamida, asam fusidat, dan beberapa turunan sefalosporin.
4. Antibiotik yang aktivitasnya lebih dominan terhadap bakteri gram negatif.
Contoh obat: kolkistin, polimiksin B sulfat, dan sulfomisin
5. Antibiotik yang aktivitasnya lebih dominan thdp Mycobacteriae
(antituberkulosis). Contoh obat: streptomisin, kanamisin, sikloserin,
rifampisin, viomisin, dan kapreomisin
6. Antibiotik yang aktif terhadap jamur (antijamur). Contoh obat: griseofulvin,
dan antibiotik polien seperti nistatin, amfoterisin B, dan kandisidin
7. Antibiotik yang aktif terhadap neoplasma (antikanker). Contoh obat:
aktinomisin, bleomisin, daunorubisin, mitomisin, dan mitramisin

Berdasarkan Struktur kimianya :


1. Antibiotik β-laktam
2. Turunan amfnikol
3. Turunan tetrasklin
4. Aminoglikosida
5. Makrolida
6. Polipeptida
7. Linkosamida
8. Polien
9. Ansamisin
10. Antrasiklin

Berdasarkan Aksi utamanya


1. Bakteriostatik: menghambat pertumbuhan mikroba. Contoh obat : Penisilin,
Aminoglikosid, Sefalosporin, Kotrimoksasol, Isoniasid, Eritromisin (kadar
tinggi), Vankomisin
2. Bakterisida: membunuh / memusnahkan mikroba. Contoh obat : Tetrasiklin,
Asam fusidat, Kloramfenikol, PAS, Linkomisin, Eritromisin kadar rendah),
klindamisin
Antimikroba tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi
bakterisida bila kadar antimikroba ditingkatkan melebihi KHM dan menjadi
KBM. Kadar Hambat Minimal (KHM): kadar minimal yang diperlukan untuk
menghambat pertumbuhan organism. Kadar Bunuh Minimal (KBM): kadar
minimal yang diperlukan untuk membunuh mikroorganisme. Berdasarkan Tempat
kerjanya :
1. Dinding sel, menghambat biosintesis peptidoglikan, Contoh obat: penisilin,
sefalosporin, basitrasin, vankomisin, sikloserin.
2. Membran sel, fungsi dan integritas membran sel, Contoh obat: nistatin,
amfoteresin, polimiksin B.
3. Asam nukleat, menghambat biosintesis DNA, mRNA, biosintesis DNA dan
mRNA Contoh obat: mitomisin C, rifampisin, griseofilvin
4. Ribosom, menghambat biosintesis protein (subunit 30S prokariotik contoh:
aminosiklitol, tetrasiklin, subunit 50S prokariotik contoh: amfenicol,
makrolida, linkosamida.

Efek Samping Penggunaan Antimikroba


1. Reaksi Alergi: reaksi ini dapat ditimbukan oleh semua antibiotik dengan
melibatkan sistem imun tubuh hospes.
2. Reaksi idiosinkrasi: gejala ini merupakan reaksi abnormal yang diturunkan
secara genetic terhadap pemberian antimikroba tertentu.
3. Reaksi toksik: AM pada umumnya bersifat toksik – selektif, tetapi sifat ini
relative. Selain itu yang turut menentukan terjadinya reaksi toksik yaitu fungsi
organ/system tertentu sehubungan dengan biotransformasi dan eksresi obat.
4. Perubahan biologik dan metabolik ; penggunaan AM, terutama yang
bersepektrum luas dapat mengganggu keseimbangan ekologik mikroflora
sehingga jenis mikroba yang meningkat jumlah populasinya dapat menjadi
patogen. Gangguan keseimbangan ekologik mikroflora normal tubuh dapat
terjadi di saluran cerna, nafas kulit dan kelamin.

B. RESISTENSI ANTIMIKROBA
Resistensi sel mikroba adalah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel
mikroba oleh antimikroba. Sifat ini merupakan suatu mekanisme alamiah untuk
bertahan hidup. Pembagian resistensi :
a. Resistensi genetic
1. Mutasi spontan
gen mikroba berubah karena pengaruh AM terjadi seleksi, galur resisten
bermultiplikasi, yang peka terbasmi, tersisa populasi resisten
2. Resistensi dipindahkan
- Transformasi
- Transduksi
- Konjugasi
b. Resistensi silang
Keadaan resistensi terhadap Antimikroba tertentu yang juga memperlihatkan
resistensi terhadap Antimikroba yang lain terjadi :
- antara Antimikroba dengan struktur kimia yang mirip
- antara Antimikroba beda struktur tapi mekanisme kerja mirip
Mekanisme resistensi :
1. Perubahan tempat kerja (target site) obat antimikroba
2. Mikroba menurunkan permeabilitasnya sehingga obat sulit masuk kedalam sel
3. Inaktivasi obat oleh mikroba
4. Mikroba membentuk jalan pintas untuk menghindari tahap yang dihambat oleh
mikroba
5. Meningkatkan produksi enzim yang dihambat oleh antimikroba.

Beberapa kuman resisten antibiotik sudah banyak ditemukan di seluruh dunia,


yaitu Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), Vancomycin-
Resistant Enterococci (VRE), Penicillin-Resistant Pneumococci, Klebsiella
pneumoniae yang menghasilkan Extended-Spectrum BetaLactamase (ESBL),
Carbapenem-Resistant Acinetobacter baumannii dan Multiresistant
Mycobacterium tuberculosis (Guzman-Blanco et al. 2000; Stevenson et al. 2005).
Kuman resisten antibiotik tersebut terjadi akibat penggunaan antibiotik yang tidak
bijak dan penerapan kewaspadaan standar (standard precaution) yang tidak benar
di fasilitas pelayanan kesehatan. Hasil penelitian Antimicrobial Resistant in
Indonesia (AMRIN-Study) terbukti dari 2494 individu di masyarakat, 43%
Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik antara lain: ampisilin
(34%), kotrimoksazol (29%) dan kloramfenikol (25%). Hasil penelitian 781
pasien yang dirawat di rumah sakit didapatkan 81% Escherichia coli resisten
terhadap berbagai jenis antibiotik, yaitu ampisilin (73%), kotrimoksazol (56%),
kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%), dan gentamisin (18%).
Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan
daya kerja antibiotik. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu (Drlica &
Perlin, 2011):
1) Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi.
2) Mengubah reseptor titik tangkap antibiotik.
3) Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel bakteri.
4) Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel, akibat perubahan sifat dinding
sel bakteri.
5) Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera dikeluarkan dari dalam
sel melalui mekanisme transport aktif ke luar sel.

Satuan resistensi dinyatakan dalam satuan KHM (Kadar Hambat Minimal)


atau Minimum Inhibitory Concentration (MIC) yaitu kadar terendah antibiotik
(µg/mL) yang mampu menghambat tumbuh dan berkembangnya bakteri.
Peningkatan nilai KHM menggambarkan tahap awal menuju resisten.
Enzim perusak antibiotik khusus terhadap golongan beta-laktam, pertama
dikenal pada Tahun 1945 dengan nama penisilinase yang ditemukan pada
Staphylococcus aureus dari pasien yang mendapat pengobatan penisilin. Masalah
serupa juga ditemukan pada pasien terinfeksi Escherichia coli yang mendapat
terapi ampisilin (Acar and Goldstein, 1998). Resistensi terhadap
golongan beta-laktam antara lain terjadi karena perubahan atau mutasi gen
penyandi protein (Penicillin Binding Protein, PBP). Ikatan obat golongan beta-
laktam pada PBP akan menghambat sintesis dinding sel bakteri sehingga sel
mengalami lisis.
Peningkatan kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotik bisa terjadi dengan
2 cara, yaitu:
1) Mekanisme Selection Pressure.
Jika bakteri resisten tersebut berkembang berbiak secara duplikasi setiap 20-30
menit (untuk bakteriyang berbiak cepat), maka dalam 1-2 hari, seseorang
tersebut dipenuhi oleh bakteri resisten. Jika seseorang terinfeksi oleh bakteri
yang resisten maka upaya penanganan infeksi dengan antibiotik semakin sulit.
2) Penyebaran resistensi ke bakteri yang non-resisten melalui plasmid.
Hal ini dapat disebarkan antar kuman sekelompok maupun dari satu orang ke
orang lain.
Ada dua strategi pencegahan peningkatan bakteri resisten:
1) Untuk selection pressure dapat diatasi melalui penggunaan antibiotik secara
bijak (prudent use of antibiotics).
2) Untuk penyebaran bakteri resisten melalui plasmid dapat diatasi dengan
meningkatkan ketaatan terhadap prinsip-prinsip kewaspadaan standar
(universal precaution).

C. PROGRAM PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA

Resistensi Antimikroba adalah kemampuan mikroba untuk bertahan hidup


terhadap efek antimikroba sehingga tidak efektif dalam penggunaan klinis.
Pengendalian Resistensi Antimikroba adalah aktivitas yang ditujukan untuk
mencegah dan/atau menurunkan adanya kejadian mikroba resisten. Komite
Pengendalian Resistensi Antimikroba yang selanjutnya disingkat KPRA adalah
komite yang dibentuk oleh Kementerian Kesehatan dalam rangka mengendalikan
penggunaan antimikroba secara luas baik di fasilitas pelayanan kesehatan dan di
masyarakat.

Masalah resistensi antimikroba terutama resistensi antibiotik merupakan


masalah kesehatan masyarakat secara global. Penggunaan antimikro khususnya
antibiotik yang tidak rasional dan tidak terkendali merupakan sebab utama timbul
dan menyebarnya resistensi antimikroba secara global, termasuk munculnya
mikroba yang multiresisten terhadap sekelompok antibiotik terutama di
lingkungan rumah sakit (health care associated infection). Malasah yang dihadapi
sangat serius dan bila tidak ditanggapi secara sungguh-sungguh, akan timbul
dampak yang merugikan seperti pada era preantibiotik.
Organisasi kesehatan sedunia (world health organization, WHO) telah secara
pro aktif menyikapi masalah ini. Berbagai upaya dan strategi telah disusun antara
lain intervensi edukasi berupa edukasi formal, seminar, pelatihan, penyebaran
brosur dan literatur ; intervensi managerial seperti penyusunan formularium
rumah sakit, panduan/pedoman pengobatan, kebijakan penggunaan antibiotik,
supervise klinik, audit medik dan sebagainya, serta intervensi regulasi di kalangan
profesi medis dan paramedic seperti registrasi dan ijin praktek tenaga dokter.
Semua kegiatan tersebut di atas memerlukan pendekatan multidisiplin baik
dalam perencanaan maupun implementasi di lapangan agar promosi penggunaan
antimikroba secara optimal dan penanggulangan infeksi dapat terwujud.
Kebijakan WHO ini juga ditanggapi positif oleh pemerintah Indonesia melalui
seperangkat kebijakan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang
tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan no. 8 tahun 2015 tentang Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit antara lain yaitu penilaian
infrastruktur rumah sakit untuk mendukung Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba (PPRA) di tingkat rumah sakit.
Tugas dan fungsi Tim pelaksana PPRA antara lain:
1. Membantu kepala rumah sakit dalam menetapkan kebijakan tentang
pengendalian resistensi antimikroba
2. Membantu kepala rumah sakit dalam menetapkan kebijakan umum dan
pengaduan penggunaan antibiotik di rumah sakit
3. Membantu kepala rumah sakit dalam pelaksanaan program pengendalian
resistensi antimikroba
4. Membantu kepala rumah sakit dalam mengawasi dan mengevaluasi
pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikroba
5. Menyelenggarakan forum kajian kasus pengelolaan penyakit infeksi
terintegrasi
6. Melakukan surveilens pola mikroba penyebab infeksi dan kepekaanya
terhadap antibiotik
7. Melakukan surveilens pola penggunaan antibiotik
8. Menyebarluaskan serta meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang
prinsip pengendalian resistensi antimikroba, pengunaan antibiotik secara
bijak, dan ketaatan terhadap pencegahan pengendalian infeksi melalui
kegiatan pendidikan dan pelatihan
9. Mengembangkan penelitian di bidang pengendalian resistensi antimikroba
10. Melaporkan kegiatan program pengendalian resistensi antimikroba kepada
Kepala rumah sakit
Tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba dibentuk
melalui keputusan kepala/direktur rumah sakit. Susunan tim pelaksana Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba terdiri atas ketua, wakil ketua, sekretaris
dan anggota. Kualifikasi ketua tim PPRA merupakan seorang klinisi yang
berminat di bidang infeksi. Dalam melaksanakan tugasnya, tim pelaksana
Program Pengendalian Resistensi Antimikroba bertanggung jawab langsung
kepada kepala/direktur rumah sakit.
Keanggotaan tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba
harus merupakan tenaga kesehatan yang kompeten. Bila dalam hal pelaksanaanya
terdapat keterbatasan tenaga kesehatan yang kompeten, keanggotaan tim
pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba disesuaikan dengan
unsur tenaga kesehatan yang tersedia. Keanggotaan tim pelaksana Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba rumah sakit paling sedikit terdiri atas unsur:
a. klinisi perwakilan SMF/bagian;
b. keperawatan;
c. instalasi farmasi;
d. laboratorium mikrobiologi klinik;
e. komite/tim Pencegahan Pengendalian Infeksi (PPI); dan
f. Komite/tim Farmasi dan Terapi (KFT).
Evaluasi penggunaan antibiotik di rumah sakit menggunakan metode audit
kuantitas penggunaan antibiotik dan audit kualitas penggunaan antibiotik.
Pemantauan atas muncul dan menyebarnya mikroba multiresisten di rumah sakit
dilakukan melalui surveilans mikroba multiresisten. Evaluasi terhadap
pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit
dilakukan melalui:

a. evaluasi penggunaan antibiotik; dan


b. pemantauan atas muncul dan menyebarnya mikroba multiresisten.
Indikator mutu Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit
meliputi :
a. Perbaikan kuantitas penggunaan antibiotik
b. Perbaikan kualiatas penggunaan antibiotik
c. Perbaikan pola kepekaan antibiotik dan penurunan pola resistensi antimikroba
d. Penurunan angka kejadian infeksi di rumah sakit yang disebabkanoleh
mikroba multiresisten
e. Peningkatan mutu penanganan kasus infeksi secara multidisiplin melalui
forum kajian kasus infeksi terintegrasi
Berdasarkan hasil penelitian tentang Implementasi Program Pengendalian
Resistensi Antimikroba dalam mendukung Patient Savety menunjukan bahwa
Sosialisasi PPRA ternyata memberikan dampak peningkatan kesadaran klinisi
untuk memeriksakan kultur, yaitu dari 29,75 % menjadi 64,56 % dan setelah
ditunjang oleh kesiapan tim mikrobiologi klinik, terdapat 79,26 % hasil kultur
kelompok PPRA yang dilaporkan kepada tim klinisi, penggunaan antibiotik pada
kelompok pasca-sosialisasi PPRA sebesar 84% lebih banyak dibandingkan pra
sosialisasi PPRA sebesar 53,12% dan hal ini karena diagnosis kasus infeksi yang
disebabkan bakteri lebih banyak pada pascasosialisasi PPRA., serta sosialisasi
PPRA mampu menghemat pengeluaran belanja antibiotic sebesar Rp203.000 per
pasien selama rawat inap dibandingkan pra-sosialisasi PPRA.

Strategi pengendalian resistensi antimikroba yaitu :


a. Penggunaan Antibiotik Bijak (Prudent)
Penggunaan antibiotik secara bijak ialah penggunaan antibiotik yang
sesuai dengan penyebab infeksi dengan rejimen dosis optimal, lama
pemberian optimal, efek samping minimal, dan dampak minimal terhadap
munculnya mikroba resisten. Oleh sebab itu pemberian antibiotik harus
disertai dengan upaya menemukan penyebab infeksi dan pola kepekaannya.
Penggunaan antibiotik secara bijak memerlukan kebijakan pembatasan dalam
penerapannya. Antibiotik dibedakan dalam kelompok antibiotik yang bebas
digunakan oleh semua klinisi (non-restricted) dan antibiotik yang dihemat dan
penggunaannya memerlukan persetujuan tim ahli (restricted dan reserved).
Peresepan antibiotik bertujuan mengatasi penyakit infeksi (terapi) dan
mencegah infeksi pada pasien yang berisiko tinggi untuk mengalami infeksi
bekteri pada tindakan pembedahan (profilaksis bedah) dan beberapa kondisi
medis tertentu (profilaksis medik). Antibiotik tidak diberikan pada penyakit
non-infeksi dan penyakit infeksi yang dapat sembuh sendiri (self-limited)
seperti infeksi virus.
Pemilihan jenis antibiotik harus berdasarkan hasil pemeriksaan
mikrobiologi atau berdasarkan pola mikroba dan pola kepekaan antibiotik, dan
diarahkan pada antibiotik berspektrum sempit untuk mengurangi tekanan
seleksi (selection pressure). Penggunaan antibiotik empiris berspektrum luas
masih dibenarkan pada keadaan tertentu, selanjutnya dilakukan penyesuaian
dan evaluasi setelah ada hasil pemeriksaan mikrobiologi (streamlining atau
de-eskalasi). Beberapa masalah dalam pengendalian resistensi antimikroba di
rumah sakit perlu diatasi. Misalnya, tersedianya laboratorium mikrobiologi
yang memadai, komunikasi antara berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan
perlu ditingkatkan.
Kebijakan penggunaan antibiotik (antibiotic policy) ditandai dengan
pembatasan penggunaan antibiotik dan mengutamakan penggunaan antibiotik
lini pertama. Pembatasan penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan
menerapkan pedoman penggunaan antibiotik, penerapan penggunaan
antibiotik secara terbatas (restricted), dan penerapan kewenangan dalam
penggunaan antibiotik tertentu (reserved antibiotics).
Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegakkan
diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil
pemeriksaan laboratorium seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang
lainnya. Antibiotik tidak diberikan pada penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus atau penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-limited). Pemilihan jenis
antibiotik harus berdasar pada:
a. Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan
kuman terhadap antibiotik.
b. Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab infeksi.
c. Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik.
d. Melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil mikrobiologi dan
keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat.
e. Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling cost effective dan aman.
Penerapan penggunaan antibiotik secara bijak dilakukan dengan beberapa
langkah sebagai berikut:
a. Meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan terhadap penggunaan
antibiotik secara bijak.
b. Meningkatkan ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang, dengan penguatan
pada laboratorium hematologi, imunologi, dan mikrobiologi atau
laboratorium lain yang berkaitan dengan penyakit infeksi.
c. Menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten di bidang infeksi.
d. Mengembangkan sistem penanganan penyakit infeksi secara tim (team
work).
e. Membentuk tim pengendali dan pemantau penggunaan antibiotic secara
bijak yang bersifat multi disiplin.
f. Memantau penggunaan antibiotik secara intensif dan berkesinambungan.
g. Menetapkan kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotik secara lebih
rinci di tingkat nasional, rumah sakit, fasilitas pelayanan kesehatan lainnya
dan masyarakat.
b. Kebijakan Pengguanaan Antibiotik di Rumah Sakit
Pengendalian penggunaan antibiotik dalam upaya mengatasi masalah
resistensi antimikroba dilakukan dengan menetapkan “Kebijakan Penggunaan
Antibiotik di Rumah Sakit”, serta menyusun dan menerapkan “Panduan
Penggunaan Antibiotik Profilaksis dan Terapi”. Dasar penyusunan kebijakan dan
panduan penggunaan antibiotik di rumah sakit mengacu pada Pedoman Umum
Penggunaan Antibiotik, Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, dan Pola
mikroba dan kepekaan antibiotik setempat.
1. Kebijakan Umum
a. Kebijakan penanganan kasus infeksi secara multidisiplin.
b. Kebijakan pemberian antibiotik terapi meliputi antibiotik empirik dan
definitif
Terapi antibiotik empiris adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi
atau diduga infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebab dan pola
kepekaannya.
Terapi antibiotik definitif adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi
yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola kepekaannya.
c. Kebijakan pemberian antibiotik profilaksis bedah meliputi antibiotic
profilaksis atas indikasi operasi bersih dan bersih terkontaminasi
sebagaimana tercantum dalam ketentuan yang berlaku.
Antibiotik Profilaksis Bedah adalah penggunaan antibiotik sebelum,
selama, dan paling lama 24 jam pascaoperasi pada kasus yang secara klinis
tidak memperlihatkan tanda infeksi dengan tujuan mencegah terjadinya
infeksi luka daerah operasi.
d. Pemberian antibiotik pada prosedur operasi terkontaminasi dan kotor
tergolong dalam pemberian antibiotik terapi sehingga tidak perlu
ditambahkan antibiotik profilaksis
2. Kebijakan Khusus
a. Pengobatan awal
1) Pasien yang secara klinis diduga atau diidentifikasi mengalami infeksi
bakteri diberi antibiotik empirik selama 48-72 jam.
2) Pemberian antibiotik lanjutan harus didukung data hasil pemeriksaan
laboratorium dan mikrobiologi.
3) Sebelum pemberian antibiotik dilakukan pengambilan spesimen untuk
pemeriksaan mikrobiologi.
b. Antibiotik empirik ditetapkan berdasarkan pola mikroba dan kepekaan
antibiotik setempat.
c. Prinsip pemilihan antibiotik.
1) Pilihan pertama (first choice).
2) Pembatasan antibiotik (restricted/reserved).
3) Kelompok antibiotik profilaksis dan terapi.
d. Pengendalian lama pemberian antibiotik dilakukan dengan menerapkan
automatic stop order sesuai dengan indikasi pemberian antibiotik yaitu
profilaksis, terapi empirik, atau terapi definitif.
e. Pelayanan laboratorium mikrobiologi.
1) Pelaporan pola mikroba dan kepekaan antibiotik dikeluarkan secara
berkala/tahun.
2) Pelaporan hasil uji kultur dan sensitivitas harus cepat dan akurat.
3) Bila sarana pemeriksaan mikrobiologi belum lengkap, maka
diupayakan adanya pemeriksaan pulasan gram dan KOH.
c. Pencegahan Penyebaran Mikroba Resisten
Pencegahan penyebaran mikroba resisten di rumah sakit dilakukan melalui
upaya Pencegahan Pengendalian Infeksi (PPI). Pasien yang terinfeksi atau
membawa koloni mikroba resisten dapat menyebarkan mikroba tersebut ke
lingkungan, sehingga perlu dilakukan upaya membatasi terjadinya transmisi
mikroba tersebut, terdiri dari 4 (empat) upaya berikut ini :
1. Meningkatkan kewaspadaan standar (standard precaution), meliputi:
a. kebersihan tangan
b. alat Pelindung Diri (APD) : sarung tangan, masker, goggle (kaca mata
pelindung), face shield (pelindung wajah), dan gaun
c. dekontaminasi peralatan perawatan pasien
d. pengendalian lingkungan
e. penatalaksanaan linen
f. perlindungan petugas kesehatan
g. penempatan pasien
h. hygiene respirasi/etika batuk
i. praktek menyuntik yang aman
j. praktek yang aman untuk lumbal punksi
2. Melaksanakan kewaspadaan transmisi
a. Melalui kontak
b. Melalui droplet
c. Melalui udara (airborne)
d. Melalui common vehicle (makanan, air, obat, alat, peralatan)
e. Melalui vektor (lalat, nyamuk, tikus)
Pada kewaspadaaan transmisi, pasien ditempatkan di ruang terpisah. Bila tidak
memungkinkan, maka dilakukan cohorting yaitu merawat beberapa pasien
dengan pola penyebab infeksi yang sama dalam satu ruangan.
3. Dekolonisasi
Dekolonisasi adalah tindakan menghilangkan koloni mikroba multiresisten
pada individu pengidap (carrier). Contoh: pemberian mupirosin topikal pada
carrier MRSA.
4. Tata laksana Kejadian Luar Biasa (KLB) mikroba multiresisten atau Multidrug-
Resistant Organisms (MDRO) seperti Methicillin Resistant Staphylococcus
Aureus (MRSA), bakteri penghasil Extended Spectrum Beta-Lactamase
(ESBL), atau mikroba multiresisten yang lain.
Apabila ditemukan mikroba multiresisten sebagai penyebab infeksi, maka
laboratorium mikrobiologi segera melaporkan kepada tim PPI dan dokter
penanggung jawab pasien, agar segera dilakukan tindakan untuk membatasi
penyebaran strain mikroba multiresisten tersebut.
Cara pengujian resistensi mikroba terhadap suatu jenis antibiotik dapat
dilakukan dengan uji resistensi. Teknik ini menggunakan zat kimia untuk
mengurangi dan membunuh mikroorganisme, terutama mikroba yang
patogen. Metode yang biasa dipakai adalah metode Metode Kirby-
Bauer yang merupakan cara untuk menentukan sensitifitas antibiotik untuk
bakteri. Sensitifitas suatu bakteri terhadap antibiotik ditentukan oleh diameter
zona hambat terbentuk. Semakin besar diameternya maka semakin terhambat
pertumbuhannya.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada metode Kirby-Bauer adalah:
a. Ketebalan media agar: Dapat mempengaruhi penyebaran dan difusi antibiotik
yang digunakan.
b. Umur bakteri: Bakteri yang berumur tua (fase stationer) tidak efektif untuk
diuji karena mendekati kematian dan tidak terjadi pertumbuhan lagi sehingga
yang dipakai bekteri berumur sedang (fase eksponential) karena aktivitas
metabolitnya tinggi, pertumbuhan cepat sehingga lebih peka terhadapa daya
kerja obat dan hasilnya lebih akurat.
c. Waktu inkubasi: Waktu yang cukup supaya bakteri dapat berkembang biak
dengan optimal dan cepat. Waktunya minimal 16 jam.
d. PH, temperature: Bakteri memiliki pH dan temperature optimal untuk tumbuh
yang berbeda-beda sehingga sebaiknya dilakukan saat pH dan temperature
yang optimal.
e. Konsentrasi antibiotik Semakin besar konsentrasinya semakin besar diameter
hambatannya..
f. Jenis antibiotik setiap bakteri memiliki respon yang berbeda-beda terhadap
antibiotiknya, tergantung sifat antibiotik tersebut (berspektrum
luas/berspektrum sempit).
BAB III
KESIMPULAN

Resistensi Antimikroba adalah kemampuan mikroba untuk bertahan hidup


terhadap efek antimikroba sehingga tidak efektif dalam penggunaan klinis.
Pengendalian Resistensi Antimikroba adalah aktivitas yang ditujukan untuk
mencegah dan/atau menurunkan adanya kejadian mikroba resisten. Komite
Pengendalian Resistensi Antimikroba yang selanjutnya disingkat KPRA adalah
komite yang dibentuk oleh Kementerian Kesehatan dalam rangka mengendalikan
penggunaan antimikroba secara luas baik di fasilitas pelayanan kesehatan dan di
masyarakat.

Masalah resistensi antimikroba terutama resistensi antibiotik merupakan


masalah kesehatan masyarakat secara global. Penggunaan antimikro khususnya
antibiotik yang tidak rasional dan tidak terkendali merupakan sebab utama timbul
dan menyebarnya resistensi antimikroba secara global, termasuk munculnya
mikroba yang multiresisten terhadap sekelompok antibiotik terutama di
lingkungan rumah sakit (health care associated infection). Malasah yang dihadapi
sangat serius dan bila tidak ditanggapi secara sungguh-sungguh, akan timbul
dampak yang merugikan seperti pada era preantibiotik.
Ada dua strategi pencegahan peningkatan bakteri resisten untuk selection
pressure dapat diatasi melalui penggunaan antibiotik secara bijak (prudent use of
antibiotics) dan penyebaran bakteri resisten melalui plasmid dapat diatasi dengan
meningkatkan ketaatan terhadap prinsip-prinsip kewaspadaan standar (universal
precaution).

Anda mungkin juga menyukai