Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR TIBIA

OLEH

KLEMENSIA ADRIAN MBOK

NPM: 19203010

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN


PERTANIAN UNIKA SANTU PAULUS RUTENG

2019/2020
BAB I

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi
Fraktur disebut juga dengan patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dan atau tulang rawan yang penyebabnya dapat dikarenakan penyakit
pengeroposan tulang diantaranya penyakit yang sering disebut osteoporosis, biasanya
dialami pada usia dewasa dan dapat juga disebabkan karena kecelakaan yang tidak
terduga (Mansjoer, 2018, hal 347). 
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya (Smeltzer, 2010, hal 2357). Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang
rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial (Chairudin,
2009). Dari pengertian tersebut dapat di simpulkan bahwa Fraktur adalah terputusnya
kontiunutas tulang, yang utuh yang biasanya disebabkan oleh ruda paksa atau trauma
yang ditentukan oleh jenis dan luas trauma.
Fraktur bawah lutut paling sering adalah fraktur tibia dan fibula  yang terjadi
akibat pukulan langsung jatuh dengan kaki dalam posisi fleksi, atau gerakkan memuntir
yang keras (Smeltzer, 2015, hal 2386). Fraktur atau patah batang tibia dan fibula yang
lazim disebut patah tulang cruris merupakan fraktur yang sering terjadi di banding fraktur
batang tulang panjang lainya. Terutama pada bagian depan yang hanya dilapisi kulit
sehingga tulang ini mudah patah dan fragmen frakturnya bergeser karena berada
langsung dibawah kulit, sehingga sering ditemukan juga fraktur terbuka
(Sjamjuhidajat , 2014, hal 886).
B. Anatomi fisiologi

Anatomi tulang terdiri dari:


1. Tibia (tulang kering)
Tulang ini termasuk tulang panjang, sehingga terdiri dari tiga bagian:
a. Epiphysis proximalis (ujung atas)
Bagian ini melebar secara transversal dan memiliki permukaan sendi superior
pada tiap condylus, yaitu condylus medial dan condylus lateral. Ditengah-
tengahnya terdapat suatu peninggian yang disebut eminenta intercondyloidea.
b. Diaphysis (corpus)
Pada penampang melintang merupakan segitiga dengan puncaknya
menghadap ke muka, sehingga corpus mempunyai tiga sisi yaitu margo
anterior (di sebelah muka), margo medialis (di sebelah medial) dan crista
interossea (di sebelah lateral) yang membatasi facies lateralis, facies posterior
dan facies medialis.Facies medialis langsung terdapat dibawah kulit dan
margo anterior di sebelah proximal.
c. Epiphysis distalis (ujung bawah)
Ke arah medial bagian ini kuat menonjol dan disebut maleolus medialis (mata
kaki). Epiphysis distalis mempunyai tiga dataran sendi yaitu dataran sendi
yang vertikal (facies articularis melleolaris), dataran sendi yang horizontal
(facies articularis inferior) dan disebelah lateral terdapat cekungan sendi
(incisura fibularis).
2. Fibula
Merupakan tulang yang panjang, langsing, terletak di sebelah lateral tibia. Epiphysis
proximalis membulat disebut capitulum fibulae. Ke arah proximal meruncing menjadi
apex. Pada capitulum terdapat dua dataran sendi yang disebut facies articularis
capitulli fibulae, untuk bersendi dengan tibia. Pada corpus terdapat empat buah crista
yaitu, crista lateralis, crista anterior, crista medialis dan crista interosssea. Datarannya
ada tiga buah yaitu facies lateralis, facies medialis dan facies posterior. Pada bagian
distal ke arah lateral membulat menjadi maleolus lateralis.

Fisiologi tulang

Tulang adalah suatu jaringan dan organ yang terstruktur dengan baik, tulang
terdiri atas daerah yang kompak pada bagian luar yang disebut dengan korteks dan bagian
dalam yang bersifat spongiosa berbentuk trabekula dan dilapisi oleh periosteum pada
bagian luamya sedangkan yang membatasi tulang dari cavitas medullaris adalah
endosteum.
Tibia sendiri termasuk tulang panjang , dimana daerah batas disebut diafisis dan
daerah yang berdekatan dengan garis epifisis disebut metafisis. Tulang tibia turut
membentuk rangka badan, sebagai pengumpil dan tempat melekat otot, berfungsi juga
sebagai bagian dari tubuh untuk melindungi dan mempertahankan alat-alat dalam, dan
menjadi tempat deposit kalsium, fosfor, magnesium dan garam.
.(i)
Gambar 3. Struktur tulang dan aktivitas osteoblast serta osteoclast pada tulang
Osteoblast merupakan satu jenis sel hasil diferensiasi sel masenkim yang sangat penting
dalam proses osteogenesis atau osifikasi. Sebagai sel, osteoblast dapat memproduksi
substansi organik intraseluler atau matriks, dimana kalsifikasi terjadi kemudian hari.
Jaringan yang tidak mengandung kalsium disebut osteoid dan apabila kalsifikasi terjadi
pada matriks maka jaringan disebut tulang. Sesaat setelah osteoblast dikelilingi oleh
substansi organik intraseluller, disebut osteosit dimana keadaan ini terjadi dalam lakuna.
Sel yang bersifat multinukleus, tidak ditutupi oleh permukaan tulang dengan sifat
dan fungsi reabsorbsi serta mengeluarkan tulang yang disebut osteoclast. Kalsium hanya
dapat dikeluarkan dari tulang melalui proses aktivitas osteoclasis yang menghilangkan
matriks organik dan kalsium bersamaan dan disebut deosifikasi.
Menurut Long, B.C, fungsi tulang secara umum yaitu :

1. Menahan jaringan tubuh dan memberi bentuk kepada kerangka tubuh.


2. Melindungi organ-organ tubuh (contoh:tengkorak melindungi otak)
3. Untuk pergerakan (otot melekat kepada tulang untuk berkontraksi dan bergerak).
4. Merupakan gudang untuk menyimpan mineral (contoh kalsium dan posfor)
5. Hematopoiesis (tempat pembuatan sel darah merah dalam sum-sum tulang).

Menurut Price, Sylvia Anderson, Pertumbuhan dan metabolisme tulang dipengaruhi oleh
mineral dan hormon :
1. Kalsium dan posfor tulang mengandung 99 % kalsium tubuh dan 90 % posfor.
Konsentrasi kalsium dan posfor dipelihara hubungan terbalik, kalsitonin dan
hormon paratiroid bekerja untuk memelihara keseimbangan.
2. Kalsitonin diproduksi oleh kelenjar tiroid dimana juga tirokalsitonin yang
memiliki efek untuk mengurangi aktivitas osteoklast, untuk melihat peningkatan
aktivitas osteoblast dan yang terlama adalah mencegah pembentukan osteoklast
yang baru.
3. Vitamin D mempengaruhi deposisi dan absorbsi tulang. Dalam jumlah besar
vitamin D dapat menyebabkan absorbsi tulang seperti yang terlihat dalam kadar
hormon paratiroid yang tinggi. Bila tidak ada vitamin D, hormon paratiroid tidak
akan menyebabkan absorbsi tulang sedang vitamin D dalam jumlah yang sedikit
membantu klasifikasi tulang dengan meningkatkan absorbsi kalsium dan posfat
oleh usus halus.
4. Paratiroid Hormon, mempunyai efek langsung pada mineral tulang yang
menyebabkan kalsium dan posfat diabsorbsi dan bergerak melalui serum.
Peningkatan kadar paratiroid hormon secara perlahan-lahan menyebabkan
peningkatan jumlah dan aktivitas osteoklast sehingga terjadi demineralisasi.
Peningkatan kadar kalsium serum pda hiperparatiroidisme dapat menimbulkan
pembentukan batu ginjal.
5. Growth Hormon (hormon pertumbuhan), disekresi oleh lobus anterior kelenjar
pituitary yang bertanggung jawab dalam peningkatan panjang tulang dan
penentuan jumlah matriks tulang yang dibentuk pada masa sebelum pubertas.
6. Gluikokortikoid, adrenal glukokortikoid mengatur metabolisme protein. Hormon
ini dapat meningkatkan atau menurunkan katabolisme untuk mengurangi atau
meningkatkan matriks organ tulang dan membantu dalam regulasi absorbsi
kalsium dan posfor dari usus kecil.
7. Estrogen menstimulasi aktifitas osteoblast. Penurunan estrogen setelah
menopause mengurangi aktifitas osteoblast yang menyebabkan penurunan matriks
organ tulang. Klasifikasi tulang berpengaruh pada osteoporosis yang terjadi pada
wanita sebelum usia 65 tahun namun matriks organiklah yang merupakan
penyebab dari osteoporosis.
C. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh (Arif Muttaqin, 2008, hal 70) :
1. Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang. Hal tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi
biasanya bersifat komuniti dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
2. Trauma tidak langsung
Apabila trauma dihantarkan kedaerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, trauma
tersebut disebut trauma tidak langsung. Misalnya jatuh dengan tangan ekstensi
dapat menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini biasanya jaringan
lunak tetap utuh.

Fraktur juga dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir
mendadak, dan kontraksi otot ekstrim. (Brunner & Suddart, 2016, hal 2357),Fraktur
disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebih oleh tulang ( lukman
2007,hal 26)

Fraktur umumya disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan berlebih dalam tulang.
Fraktur cenderung terjadi pada umur di bawah 45 tahun  dan sering berhubungan dengan
pekerjaan, olah raga, atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor.
Trauma yang dapat menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung, misalnya
benturan pada tibia yang menyebabkan fraktur tibia, dapat juga berupa trauma tidak
langsung misalnya jatuh tertumpu pada tulang tibia.

Jenis dan beratnya patah tulang dipengaruhi oleh :

a. Arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang


b. Usia penderita
c. Kelenturan tulang
d. Jenis tulang

Dengan tenaga yang sangat ringan, tulang yang rapuh karena osteoporosis atau tumor
biasanya menyebabkan patah tulang
D. Patofisiologi
Fraktur dapat terjadi karena trauma / rudapaksa sehingga dapat menimbulkan luka
terbuka dan tertutup. Fraktur luka terbuka memudahkan mikroorganisme masuk kedalam
luka tersebut dan akan mengakibatkan terjadinya infeksi.
Pada fraktur dapat mengakibatkan terputusnya kontinuitas jaringan sendi, tulang bahkan
kulit pada fraktur terbuka sehingga merangsang nociseptor sekitar untuk mengeluarkan
histamin, bradikinin dan prostatglandin yang akan merangsang serabut A-delta untuk
menghantarkan rangsangan nyeri ke sum-sum tulang belakang, kemudian dihantarkan
oleh serabut-serabut saraf aferen yang masuk ke spinal melalu “dorsal root” dan sinaps
pada dorsal horn. Impuls-impuls nyeri menyeberangi sum-sum belakang pada
interneuron-interneuron dan bersambung dengan jalur spinal asendens, yaitu
spinothalamic tract (STT) dan spinoreticuler tract (SRT). STT merupakan sistem yang
diskriminatif dan membawa informasi mengenai sifat dan lokasi dari stimulus kepada
thalamus kemudian ke korteks untuk diinterpretasikan sebagai nyeri.
Nyeri bisa merangsang susunan syaraf otonom mengaktifasi norepinephrin, sarap
msimpatis terangsang untuk mengaktifasi RAS di hipothalamus mengaktifkan kerja
organ tubuh sehingga REM menurun menyebabkan gangguan tidur.
Akibat nyeri menimbulkan keterbatasan gerak (imobilisasi) disebabkan nyeri bertambah
bila digerakkan dan nyeri juga menyebabkan enggan untuk bergerak termasuk
toiletening, menyebabkan penumpukan faeses dalam colon. Colon mereabsorpsi cairan
faeses sehingga faeses menjadi kering dan keras dan timbul konstipasi.
Imobilisasi sendiri mengakibatkan berbagai masalah, salah satunya dekubitus, yaitu luka
pada kulit akibat penekanan yang terlalu lama pada daerah bone promenence.
Perubahan struktur yang terjadi pada tubuh dan perasaan ancaman akan integritas stubuh,
merupakan stressor psikologis yang bisa menyebabkan kecemasan.
Terputusnya kontinuitas jaringan sendi atau tulang dapat mengakibatkan cedera
neuro vaskuler sehingga mengakibatkan oedema juga mengakibatkan perubahan pada
membran alveolar (kapiler) sehingga terjadi pembesaran paru kemudian terjadi kerusakan
pada pertukaran gas, sehingga timbul sesak nafas sebagai kompensasi tubuh untk
memenuhi kebutuhan oksigen.
Patoflow Fraktur
Kondisi Patologi
Trauma Langsung Trauma Tidak Langsung

Osteoporosis Osteosarcoma
Tekanan Pada Tulang

Pengeroposan Menggerogoti
Ekstrinsik Intrinsik

Tulang Rapuh
Tidak mampu
meredam energi besar

FRAKTUR

Integumen Otot Tendon Saraf Terputus Fragmen Tulang


Ligament

Laserasi Kulit Spasme Sprain Terputus Tertarik Terjadi Tekanan


Ansietas
rangsagan nyeri sumsum tulang
lebih tinggi dari
kaplier
Kerusakan
Resiko Pelepasan
Integritas Nyeri Hambatan Mobilitas Di terima
Infeksi Histamin
Kulit Hipotalamus
Pembuluh
Darah
Edem Edem
Nyeri Pelepasan
Ketekolamin
Nyeri Ketidakefektifan
Perfusi Jaringan

Pendarahan Metabolisme
Sindroma asam lemak
Kompartemen

Kekurangan Bergabung
volume cairan dengan
berlebih tombosit

Syok
Emboli
Hemoragik

Ketidakefektifan
Perfusi Jaringan
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi Klinis pada fraktur harus berdasarkan manifestasi klinis klien,
riwayat, pemeriksaan fisik, dan temuan radiologis. Beberapa fraktur sering
langsung tampak jelas: beberapa lainnya terdeteksi hanya dengan rontgen (sinar-x).
Pengkajian fisik dapat menemukan beberapa hal berikut:
1. Deformitas. Pembekakan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas
pada lokasi fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai,
deformitas rational, atau angulasi. Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi fraktur
dapat memiliki deformitas yang nyata.
2. Pembengkakan. Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi
cairan serosa pada lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
3. Memar (ekimosis). Memar terjadi karena perdarahan sybkutan pada lokasi
fraktur.
4. Spasme otot. Sering mengiringi fraktur, spasme otot involuntary sebenarnya
berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi gerakan lebih lanjut dari
fragmen fraktur.
5. Nyeri. Jika klien secara neurologis masih bai, nyeri akan selalu mengiringi
fraktur; itensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-masing
klien. Nyeri biasanya terus-menerus, meningkat jika fraktur tidak diimobilisasi.
Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan, atau
cedera pada struktur sekitarnya.
6. Ketegangan. Ketegangan di atas lokasi fraktur dusebabkan oleh cedera yang
terjadi.
7. Kehilangan fungsi. Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan
fraktur atau karena hilangnya fungsi pengungkit-lengan pada tungkai yang
terkena. Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera saraf.
8. Gerakan abnormal dan krepitasi. Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari
bagian tengah tulang atau gesekan antar fragmen fraktur yang menciptakan
sensasi dari suara derita.
9. Perubahan neurovascular. Cedera neurovakular terjadi akibat kerusakan saraf
perifer atau struktur vaskular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas
atau kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur.
10. Syok. Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau
tersembunyi dapat menyebabkan syok.
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan rontgen: Menentukan lokasi atau luasnya fraktur atau trauma.
2. Skan tulang, tomogram, skan CT/MRI: Memperlihatkan fraktur; juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram: Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
4. Hitung Darah Lengkap: Ht mungkin meningkat (homokonsentrasi) atau
menurun ( perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
trauma multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah respons stress normal
setelah trauma.
5. Kreatinin: Trauma otot meningkat beban kreatinin untuk klirens ginjal.
6. Profil koagulasi: Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi
multiple, atau cedera hati.
G. Komplikasi
Brunner dan Suddarth (2016; 2365) membagi komplikasi fraktur kedalam empat
macam, antara lain :
1. Syok hipovolemik atau traumatik yang terjadi karena perdarahan dan
kehilangan cairan ekstra sel kejaringan yang rusak.
2. Sindrome emboli lemak (terjadi dalam 24 sampai 72 jam setelah cedera).
Berasal dari sumsum tulang karena perubahan tekanan dalam tulang yang
fraktur mendorong molekul-molekul lemak dari sumsum tulang masuk ke
sistem sirkulasi darah ataupun karena katekolamin yang dilepaskan oleh
reaksi stres.
3. Sindrom Kompartemen terjadi karena perfusi jaringan dalam otot kurang dari
yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa diakibatkan karena:
 Penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang membungkus
otot terlalu ketat atau gips atau balutan yang terlalu menjerat
 Peningkatan isi kompartemen otot karena edema.
4. Tromboemboli, infeksi dan Koagulopati Intravaskuler Desiminata (KID)
BAB II
SISTEMATIKA LAPORAN KASUS
A. Pengkajian
1. Identitas klien.
Meliputi: nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, alamat, agama,
suku, tanggal, dan jam masuk rumah sakit, nomor register, dan diagnosa
medis.
2. Keluhan utama
Klien meminta pertolongan karena nyeri, dan deformitas pada daerah
trauma.
3. Riwayat penyakit sekarang.
Kaji adanya riwayat trauma tulang belakang akibat kecelakaan lalulintas,
kecelakaan olahraga, kecelakaan industry. Pengkajian yang didapat meliputi
hilangnya sensibilitas.permulaan klien merasakan keluhan sampai dengan
dibawa ke rumah sakit dan pengembangan dari keluhan utama dengan
menggunakan PQRST.P (Provokative/Palliative), apa yang menyebabkan
gejala bertambah berat dan apa yang dapat mengurangi gejala.Q
(Quality/Quantity), bagaimana gejala dirasakan klien dan sejauh mana
gejala dirasakan R (Region/Radiation) dimana gejala dirasakan ? apakah
menyebar? apa yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan
gejala tersebut ?S (Saferity/Scale), seberapa tingkat keparahan gejala
dirasakan? Pada skala berapa?T (Timing), berapa lama gejala dirasakan ?
kapan tepatnya gejala mulai dirasakan, apakah ada perbedaan intensitas
gejala misalnya meningkat di malam hari.
4. Masalah penggunaan obat-obatan.
Perawat perlu menanyakan kepada klien masalah penggunaan obat-obatan
adiktif dan penggunaan obat-obatan alcohol.
5. Riwayat penyakit dahulu.
Perawat perlu menanyakan adanya riwayat penyakit degenerative pada
tulang belakang, seperti osteoporosis, dan osteoarthritis yang
memungkinkan terjadinya kelainan pada tulang belakang. Dan penggunaan
obat-obatan.
6. Pengkajian psikospiritual.
Pengkajian mengenai mekanisme koping yang digunakan klien, diperlukan
untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya.
7. Pemeriksaan fisik.
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhanklien.
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus
pemeriksaan B3 (Brain) dan B6 (Bone) yang tearah dan dihubungkan
dengan keluhan klien.
a) Keadaan Umum
Klien yang mengalami immobilisasi perlu dilihat dalam hal
penampilan, postur tubuh,kesadaran, gaya berjalan, kelemahan,
kebersihan dirinya dan berat badannya.
b) Sistem Pernafasan
Bentuk hidung, ada atau tidaknya sekret, PCH (Pernafasan Cuping
Hidung), kesimetrisan dada dan pernafasan, suara nafas dan
frekwensi nafas. Pengaturan pergerakan pernafasan akan
mengakibatkan adanya retraksi dada akibat kehilangan koordinasi
otot. Ekspansi dada menjadi terbatas karena posisi berbaring
akibatnya ventilas paru menurun sehingga dapat menimbulkan
atelektasis. Akumulasi sekret pada saluran pernafasan
mengakibatkan terjadinya penurunan efisiensi siliaris yang dapat
menyebabkan pembersihan jalan nafas yang tidak efektif.
Kelemahan pada otot pernafasan akan menimbulkan mekanisme
batuk tidak efektif.
c) Sistem Kardiovaskuler
Warna konjungtiva pada fraktur, terutama fraktur terbuka akan
terlihat pucat dikarenakan banyaknya perdarahan yang keluar
dari luka, terjadi peningkatan denyut nadi karena pengaruh
metabolik, endokrin dan mekanisme keadaaan yang
menghasilkan adrenergic serta selain itu peningkatan denyut
jantung dapat diakibatkan pada klien immobilisasi.Orthostatik
hipotensi biasa terjadi pada klien immobilisasi karena kemampuan
sistem syaraf otonom untuk mengatur jumlah darah kurang. Rasa
pusing saat bangun bahkan dapat terjadi pingsan, terdapat
kelemahan otot. Ada tidaknya peningkatan JVP (Jugular Vena
Pressure),bunyi jantung serta pengukuran tekanan darah. Pada
daerah perifer ada tidaknya oedema dan warna pucat atau sianosis.
d) Sistem Pencernaan
Keadaan mulut, gigi, bibir, lidah, kemampuan menelan, peristaltik
usus dan nafsu makan.Pada klien fraktur dan dislokasi
biasanya diindikasikan untuk mengurangi pergerakan
(immobilisasi) terutama pada daerah yang mengalami dislokasi hal
ini dapat mengakibatkan klien mengalami konstipasi.
e) Sistem Genitourinari
Ada tidaknya pembengkakan dan nyeri daerah pinggang,
palpasi vesika urinaria untuk mengetahui penuh atau tidaknya, kaji
alat genitourinaria bagian luar ada tidaknya benjolan iskemik dan
nekrosis pada jaringan yang tertekan, hal ini dikarenakan aliran
darah terhambat sehingga penyediaan nutrisi dan oksigen menurun.
f) Sistem Persyarafan
Mengkaji fungsi serebral, fungsi syaraf cranial, fungsi sensorik dan
motorik sertsa fungsi reflex
8. Pola Nutrisi
Kebiasaan makan klien sehari-hari dan kebiasaan makan-makanan
yang mengandung kalsium yang sangat berpengaruh dalam proses
penyembuhan tulang dan kebiasaan minum klien sehari-hari, meliputi
frekwensi, jenis, jumlah dan masalah yang dirasakan.
9. Pola Eliminasi
Kebiasaan BAB dan BAK klien, apakah berpengaruh terhadap perubahan
sistem tubuhnya yang disebabkan oleh fraktur.
10. Pola Istirahat Tidur
Kebiasaan klien tidur sehari-hari, apakah terjadi perubahan setelah mengalani
fraktur
11. Personal Hygiene
Kebiasaan mandi, cuci rambut, gosok gigi dan memotong kuku perlu dkaji
sebelum klien
12. Pola Aktivitas
Sejauh mana klien mampu beraktivitas dengan kondisinya saat ini dan
kebiasaan klien berolah raga sewaktu masih sehat
13.Pola Psiko Sosial Spiritual
 Data Psikologis Pengkajian psikologis yang dilakukan pada klien dengan
fraktur pada dasarnya sama dengan pengkajian psikososial dengan
gangguan sistem lain yaitu mengenai konsep diri (gambaran diri, ideal diri,
harga diri, peran diri dan identitas diri). Pada klien fraktur adanya
perubahan yang kurang wajar dalam status emosional, perubahan tingkah
laku dan pola koping yang tidak efektif
 Data social
Pada data sosial yang dikaji adalah hubungan klien dengan keluarga dan
hubungan klien dengan petugas pelayanan kesehatan.
 Data Spiritual
Perlu dikaji agama dan kepribadiannya, keyakinan dan harapan yang
merupakan aspek penting untuk penyembuhan penyakitnya.
B. Pemeriksaan penunjang

Menurut Doengoes (2016), pemeriksaaan diagnostik yang biasa dilakukan pada


pasien dengan fraktur:

1) Pemeriksaan rontgen
Menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.
2) Computed Tomography (CT-SCAN).
Memperlihatkan fraktur dan dislokasi, dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak dan untuk mengetahui lokasi dan
panjangnya patah tulang didaerah yang sulit dievaluasi.

3) Arteriogram
Dilakukan bila dicurigai terdapat kerusakan vaskuler.
4) Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah lengkap meliputi kadar haemoglobin yang biasanya
lebih rendah karena perdarahan akibat trauma. Hematokrit mungkin
meningkat atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ
jauh dari trauma multiple). Kreatinin (trauma otot meningkatkan beban
kreatinin untuk klirens ginjal). Profil koagulasi (perubahan dapat terjadi
pada kehilangan darah, tranfusi multipel atau cedera hati).
C. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada fraktur tibia adalah sebagai berikut :
1) Nyeri akut b.d agen injuri fisik, spasme otot, gerakan fragmen tulang,
edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi.
2) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d suplai darah jaringan.
3) Kerusakan intergritas kulit b.d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,
kawat, sekrup).
4) Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan rangka neuromuscular, nyeri,
terapi, restriktif (imobilisasi).
D. Intervensi Keperawatan

Nyeri Akut NOC NIC


Definisi : Pengalaman  Pain level - Lakukan pengkajian
sensori dan emosional  Pain control nyeri secara
yang tidak  Comfort level komperhensif
menyenangkan yang Kriteria Hasil : - Observasireaksi
muncul akibat  Mampu mengontrol nonverbal dan ketidak
kerusakan jaringan nyeri nyamanan.
yang actual atau  Melaporkan bahwa - Ajarkan tentang teknik
potensial atau nyeri berkurang non farmakologi
digambarkan dalam hal  Mampu mengenali - Berikan analgesic untuk
kerusakan. nyeri (skala, mengurangi nyeri
intensitas, frekuensi - Tingkatkan istirahat
dan tanda nyeri) - Monitor vital sign

 Menyatakan rasa sebelum dan sesudah

nyaman setelah pemberianan algesik

nyeri berkurang. pertama kali


- Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan
gejala
Ketidakefektifan NOC NIC
perfusi jaringan
 Circulation status - Monitor adanya daerah
perifer
 Tissue perfection : tertentu yang hanya
cerebral peka terhadap
Kriteria hasil : panas/dingin/tajam/tu
Mendemonstrasikan mpu.
status sirkulasi yang - Batasi gerakan pada
ditandai dengan : kepala,leher dan
 Tekanan systole dan punggung.
diastole dalam rentang
normal
 Tidak ada ortostatik
hipertensi

Mendemonstrasikan
kemampuan kognitif yang
ditandai dengan :

 Berkomunikasi dengan
jelas dan sesuai dengan
kemampuan
 Menunjukkan
perhatian,konsentrasi
dan orientasi.
 Menunjukkan fungsi
sensori motoric
cranial yang utuh:
tingkat kesadaran
membaik,tidak ada
gerakan-gerakan
involunter.

Kerusakan integritas NOC NIC


kulit
Definisi : Perubahan /  Tissue integrity : - Anjurkan Jaga kulit
gangguan epidermis / skin and mucous agar tetap bersih dan
dermis.  Membranes kering
 Hemodyalisakses - Anjurkan klien
menggunakan pakaian
Kriteria hasil
yang longgar
 Integritas kulit
- Mobilisasi klien (ubahs
yang baik dapat
etiap 2 jam sekali)
dipertahankan
- Monitor status nutrisi
 Perfusi jaringan
klien
baik
 Mampu
melindungi kulit
dan
mempertahankan
kelembapan kulit.

Hambatan mobilitas NOC NIC


fisik - Monitor vital sign
Definisi : Keterbatasan  Mobility level sebelum/sesudahl
pada pergerakan fisik  Self care atihan
secara mandiri ataupun  Transfer - Bantu klien
terarah. performance menggunakan tongakat
Kriteria hasil - Latih klien dalam
 Klien meninggkat pemenuhan kelutuhan
dalam aktivits ADL secara mandiri
fisik
 Memperagakan
penggunaan alat
 Bantu untuk
mobilisasi
DAFTAR PUSTAKA

Nurarif Amin Huda. 2015.NANDA & NIC-NOC. Jakarta: Mediaction


Syaifuddin. 2012. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi III. Jakarta :
EGC.

Arif Mutaqin.2008.Asuhan Keperawatan Sistem Muskuluskeletal

.Doenges, Marilynn E. et.al. (2016) Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.

Brunner and Suddarth.2016. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 vol 2.Jakarta: EGC
i

Anda mungkin juga menyukai