PENDAHULUAN
1
Memberikan Health Education yang lebih baik terhadap masyarakat harus
di implementasikan secara sungguh- sungguh, karena dengan begitu masyarakat
akan sadar pentingnya datang ke pelayanan kesehatan yang telah tersedia untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan yang menyangkut tentang kesehatan,
mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya pengobatan patah tulang oleh
tenaga profesional untuk mengurangi kasus Neglected Fracture. Dan itu semua
tidak lepas dari peran serta pemerintah meningkatkan pengetahuan masyarakat
tentang patah tulang dan Neglected Fracture, serta penanganan patah tulang oleh
tenaga kesehatan profesional, dalam hal ini dokter bedah ortopedi (RisKesDas,
2007)
1.3 Tujuan
2
4. Patofisiologi dari Neglected Frackture
5. WOC dari Neglected Frackture
6. Pemeriksaan Diagnostik pada Neglected Frackture
7. Penatalaksanaan medis Neglected Frackture
8. Komplikasi dari Neglected Frackture
9. Prognosis Neglected Frackture
10. Asuhan keperawatan pada Neglected Frackture
1.4 Manfaat
1. Mahasiswa mampu memahami konsep klien dengan Malunion dan
Nonunion sehingga menunjang pembelajaran mata kuliah keperawatan
muskuloskeletal
2. Mahasiswa dapat memberikan asuhan keperawatan yang benar sebagai
bekal dalam persiapan praktik di rumah sakit.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
4
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam dua sampai tiga minggu
patah tulang melalui proses penulangan endokondrial. Mineral terus-menerus
ditimbun sampai tulang benar-benar telah bersatu dengan keras. Permukaan kalus
tetap bersifat elektronegatif. Pada patah tulang panjang orang dewasa normal,
penulangan memerlukan waktu tiga sampai empat bulan.
4. Remodeling
Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati
dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya. Remodeling
memerlukan waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun bergantung pada
beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang, dan stres fungsional
pada tulang (pada kasus yang melibatkan tulang kompak dan kanselus). Tulang
kanselus mengalami penyembuhan dan remodeling lebih cepat dari pada tulang
kortikal kompak, khusunyapada titik kontak langsung. Ketika remodeling telah
sempurna, muatan permukaan pada tulang tidak lagi negatif. Proses
penyembuhan tulang dapat dipantau dengan pemeriksaan sinar X. Imobilisasi
harus memadai sampai tanda-tanda adanya kalus tampak pada gambaran sinar X.
2.2 Definisi
Neglected fracture dengan atau tanpa dislokasi adalah suatu fraktur
dengan atau tanpa dislokasi yang tidak ditangani atau ditangani dengan tidak
semestinya sehingga menghasilkan keadaan keterlambatan dalam penanganan,
atau kondisi yang lebih buruk dan bahkan kecacatan. (Apley & Solomon, 2013).
Neglected fracture adalah fraktur yang tidak dilakukan penatalaksanaan apapun
selama 72 jam atau lebih ( Jain & Kumar, 2010)
Menurur prof. dr Subroto Sapardan, dalam penelitian di RSCM dan RS
Fatmawati Jakarta, Februari-april 1975, Neglected fracture adalah penanganan
patah tulang pada ekstremitas (anggota gerak) yang salah satu oleh bone setter
( ahli pada tulang), yang sering dijumpai di masyarakat indonesia. Pada
umumnya neclegted fraktur terjadi pada yang berpendidikan dan berstatus sosio
ekonomi yang rendah.
5
2.3 Etiologi
Etiologi dari fraktur menurut price dan wilson (2006) ada 3 yaitu :
1. Cidera atau benturan
2. Faktor patologik
Faktor patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi
lemah oleh karena tumor, kanker, dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang-orang yang baru
saja menambah tingkat aktivitas mereka.
6
2.5 Patofisiologi
Pada kondisi trauma, diperlukan gaya yang besar untuk mematahkan
batang tulang tubuh manusia. Kebanyakan fraktur terjadi pada pria muda yang
mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari ketinggian. Biasanya,
klien ini mengalami trauma multiple yang menyertainya. Kondisi degenerasi
tulang (osteoporosis) atau keganasan tulang paha juga dapa menyebabkan fraktur
patologis tanpa riwayat trauma, memadai untuk mematahkan tulang. Prinsip
penanganan fraktur meliput reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi serta
kekuatan normal dengan rehabilitasi. Bila fraktur itu tidak tertangani sesuai
dengan prinsip hal ini menimbulkan neglected fracture.
Menurut Pandey & Pandey (2011) penyebab utama terjadinya neglected
fracture pada seseorang antara lain dikarenakan kurangnya fasilitas medis ketika
memberikan pertolongan pertama pada pasien yang mengalami fraktur,
kurangnya pendidikan yang layak, pelatihan, dan kesadaran dalam pengelolaan
trauma, kurangnya sarana transportasi yang tepat untuk membawa pasien yang
mengalami fraktur ke rumah sakit, penanganan yang kurang tepat yang dilakukan
oleh dukun patah tulang, penanganan yang kurang baik akibat kurangnya
keahlian dari tenaga medis terkait dan kurangnya kerja sama dari pasien dan/atau
petugas, dan fiksasi yang digunakan tidak tepat.
Sewaktu tulang patah biasanya terdapat kerusakan neurovaskular.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah
total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun
jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment (Brunner dan
Suddarth, 2002 ).
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang patah tidak dapat digunakan
dan cenderung bergerak secara tidak alamiah bukan seperti normalnya.
Pergeseran fragmen pada fraktur bagian ekstremitas dapat menyebabkan
deformitas (terlihat maupun teraba) ekstrimitas yang bisa di ketahui dengan
membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Bagian yang mengalami
7
fraktur tidak dapat berfungsi dengan baik atau dapat mengalami hilangnya fungsi
karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya
otot. Pada fraktur tulang biasanya juga akan terjadi pemendekan tulang karena
adanya pengembalian tulang yang tidak sesuai anatomi tubuh dan penyatuan
tulang dalam posisi yang tidak sempurna. Pasien yang mengalami fraktur harus
imobilisasi akan dapat menyebabkan komplikasi adanya nyeri dan iritasi kulit
karena harus tirah baring lama atau kurangnya mobilisasi.
8
9
2.7 Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Parahita & Kurniyata, pada dasarnya pemeriksaan diagnostik
untuk kasus neglected fracture ini sama dengan pemeriksaan fraktur pada
umumnya antara lain, yaitu:
a. Anamnesis
Untuk mendiagnosis fraktur, dapat dilakukan anamnesis baik dari pasien
maupun pengantar pasien. Informasi penting yang perlu digali adalah
mekanisme cedera dan apakah pasien mengalami cedera atau fraktur
sebelumnya.
b. Pemeriksaan Fisik
Selain anamnesis, hal selanjutnya yang perlu dilakukan pada pasien
menurut adalah pemeriksaan fisik sistem muskuloskeletal yang terbagi
menjadi tiga, yaitu:
1)Look (Inspeksi)
Hal yang perlu diperhatikan saat inspeksi adalah penampakan
dari cedera, jenis fraktur (terbuka/tertutup), apakah terlihat deformitas
dari ekstremitas tubuh, hematoma, pembengkakan, dll.
2)Feel (Palpasi)
Hal yang perlu dicatat saat melakukan palpasi pada pasien yang
mengalami fraktur adalah adanya nyeri tekan, krepitasi, benjolan yang
ada di permukaan tulang, dll.
3)Movement (Gerakan)
Penilaian ini dilakukan untuk mengetahui ROM (Range of
Motion).
c. Pemeriksaan Radiologi
Dengan pemeriksaan radiologi, dapat diketahui jenis fraktur dan
klasifikasinya serta menentukan jenis pengobatan dan prognosisnya.
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan antara lain:
1)Pemeriksaan Rontgen: menentukan lokasi serta luas fraktur/cedera.
2)X-Ray: melihat gambaran fraktur dan deformitas.
10
Gambar 16. X-ray showing
neglected dislocation left hip with
fracture acetabulum (Jain & Kumar,
2010).
Gambar 17. X-ray showing
neglected dislocation of elbow
(Kumar & Singh, Juli - December
2008).
11
2.8 Penatalaksanaan
Menurut Chairuddin (dalam Sari, 2012), pada dasarnya tujuan tindakan
penanggulangan cedera sistem muskuloskeletal menurut definisi orthopaedi
adalah rehabilitasi seseorang secara utuh dan dilakukan dengan cara medis, bedah
dan modalitas, yang bertujuan untuk mencapai goal atau tujuan terapi.
Ada empat hal yang harus diperhatikan (4R) dalam tindakan terhadap
cedera muskuloskeletal, yaitu:
1) Recognition
Untuk dapat bertindak dengan baik, prinsip pertama adalah mengetahui
dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan
radiologi. Fraktur merupakan akibat suatu kekerasan yang menimbulkan
kerusakan tulang disertai jaringan lunak disekitarnya. Dibedakan antara
trauma tumpul dan tajam, langsung dan tak langsung. Pada umumnya,
trauma tumpul akan memberikan kememaran yang diffuse pada jaringan
lunak termasuk gangguan neurovaskuler yang menentukan vitalitas
ekstremitas bagian distal dari bagian yang cedera.Pada awal pengobatan
perlu diperhatikan lokasi fraktur, bentuk fraktur, teknik yang sesuai untuk
menangani fraktur tersebut, dan komplikasi yang mungkin terjadi selama
pengobatan.
2) Reduction atau Reposisi
Reposisi adalah tindakan untuk mengembalikan jaringan atau fragmen
tulang pada posisi semula. Tindakan ini diperlukan guna mengembalikan
kepada bentuk semula sebaik mungkin, agar fungsi dapat kembali
semaksimal mungkin terutama permukaan persendian. Tindakan reduksi ini
dapat dicapai dengan reduksi tertutup atau reduksi terbuka. reduksi fraktur
dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan
elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema perdarahan. Reduksi tertutup
terdiri dari penggunaan traksi untuk menarik fraktur kemudian memanipulasi
untuk mengembalikan ke posisi semula. Reduksi terbuka diindikasikan bila
reduksi tertutup gagal atau tidak memuaskan
12
3) Retaining
Retaining adalah tindakan imobilisasi atau dilakukan dengan fiksasi,
untuk mempertahankan hasil reposisi dan memberi istirahat pada spasme otot
pada anggota atau alat yang sakit agar mencapai kesembuhan. Setelah fraktur
direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam
posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna
meliputi pembalutan, gips, bidai, dll. Implan logam dapat digunakan untuk
fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi
fraktur.
4) Rehabilitation
Rehabilitasi berarti mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal
mungkin untuk menghindari atropu atau kontraktur. Bila keadaan
memungkinkan, pasien harus segera mulai melakukan latihan-latihan untuk
mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi.
Tatalaksana berdasar klasifikasi:
1) Neglected fracture derajat satu: penanganannya tidak memerlukan
tindakan operasi dan hasilnya sama baik.
2) Neglected fracture derajat dua: penanganannya tidak memerlukan
tindakan operasi, sedangkan saat ini kasusnya menjadi lebih sulit dan
memerlukan tindakan operasi. Setelah pengobatan, hasilnya tetep baik.
3) Neglected fracture derajat tiga: memerlukan tindakan operasi dan
hasilnya kurang baik.
4) Neglected fracture derajat empat: penanganannya memerlukan tindakan
amputasi.
2.9 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi apabila neglected fracture tidak ditangani dengan
segera. Komplikasi-komplikasi tersebut meliputi kecacatan, amputasi, hingga
kematian (Sapardan, dalam Sari, 2012). Komplikasi lain dari neglected fracture
adalah :
a. Malunion
13
b. Non-union
c. Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan
yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union merupakan
kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan
tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah
ke tulang.
2.10 Prognosis
Prognosis pada neglected fracture bergantung pada lamanya klien
mendapatkan penanganan. Semakin cepat pendapatkan penanganan maka
prognosisnya akan semakin baik (Sapardan, dalam Sari, 2012). Prognosis buruk
apabila dalam penanganannya terdapat kegagalan pembentukan tulang secara
anatomis. Adanya kerusakan pada ligamen dan munculnya jaringan parut diduga
juga memperburuk usaha penyambungan tulang. Jaringan lunak dan periosteum
di sekitar lokasi fraktur harus diperhatikan untuk mencegah nekrosis avascular.
(Khan, 2011).
14
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
A. Anamnesa
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, no.registrasi, tanggal MRS, dan diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Pada umumnya, keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung lamanya serangan.
Untuk pengkajian tentang rasa nyeri klien digunakan teknik PQRST:
P (Provoking Incident) : peristiwa yan menjadi faktor presipitasi
nyeri
Q (Quality of Pain) : seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien
R (Region) : dimana rasa sakit terjadi, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar
S (Severity/Scale) : berdasarkan skala nyeri, seberapa jauh
nyeri yang dirasakan
T (Time) : kapan dan berapa lama nyeri berlangsung
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
neglected fracture. Bila tidak ada trauma, berarti fraktur patologis. Bila
ada trauma, trauma harus diperinci kapan terjadinya, dimana terjadinya,
jenisnya, berat-ringannya trauma, arah trauma, dan posisi pasien atau
ekstremitas yang bersangkutan (mekanisme trauma). Jangan lupa untuk
meneliti kembali trauma di tempat lain secara sistematik dari kepala,
muka, leher, dada, dan perut.
15
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Selain
itu harus dikaji apakah terdapat penanganan yang kurang tepat pada
fraktur ataupun keterlambatan penanganan lebih dari 72 jam.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis, yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan
kanker tulang yang cencerung diturunkan secara genetic.
f. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakitnya, serta
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga ataupun
masyarakat.
g. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat.
Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya.
(2) Pola nutrisi dan metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit.C,
dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
(3) Pola eliminasi
Perlu dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feses
pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi kepekatan, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini
juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
(4) Pola tidur dan istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri dan keterbatasan
gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur
klien.
16
(5) Pola aktivitas
Karena timbulnya nyeri dan keterbatasan gerak, maka
semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan
klien perlu banyak dibantu oleh orang lain.
(6) Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap.
(7) Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yg timbul pada klien adalah timbul ketakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap
dirinya yang salah (gangguan body image).
(8) Pola sensori dan kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada
bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul
gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan.
(9) Pola reproduksi seksual
Klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus
menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang
dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
(10) Pola penanggulangan stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan
dirinya, yaitu ketakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak
efektif.
(11) Pola tata nilai dan keyakinan
Klien tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
17
3.2 Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
(1) Kesadaran
Tergantung keadaan klien, apakah apatis, spoor, koma,
gelisah, atau komposmentis,
(2) Tanda-tanda vital
Tidak normal. Karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
b. Secara Sistemik
(1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, edema, dan nyeri tekan.
(2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu normocephalik, simetris, tidak
ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada.
(4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk, tidak ada lesi, simetris, tidak ada edema.
(5) Mata
Klien dengan fraktur terbuka dengan banyaknya pendarahan
yang keluar biasanya konjungtiva didapatkan anemis.
(6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak
ada lesi atau nyeri tekan.
(7) Hidung
Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung.
(8) Mulut dan Faring
18
Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
(9) Thoraks
Tidak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.
(10) Paru-paru
Pernapasan meningkat, pergerakan sama atau simetris, suara
ketok sonor, suara nafas normal, tidak ada suara tambahan lainnya
seperti stridor dan ronchi.
(11) Jantung
Tidak tampak iktus jantung, nadi meningkat, suara S1/S2
tunggal, tidak ada murmur.
(12) Abdomen
Bentuk datar, simetris, turgor baik, hepar tidak teraba, suara
thympani, peristaltik usus normal.
c. Keadaan Lokal
Pemeriksaan pada sistem musculoskeletal adalah:
(1) Look (Inspeksi)
Bengkak, deformitas, kelainan bentuk.
(2) Feel (Palpasi)
Nyeri tekan, perubahan suhu disekitar trauma (hangat).
(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Gerakan aktif sakit, gerakan pasif sakit krepitasi
3.3 Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan
proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi
yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan
xray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan
19
hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-
ray:
a) Bayangan jaringan lunak.
b) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
c) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d) Sela sendi serta bentuk arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu teknik
khususnya seperti:
(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur
lain yang tertutup yang sulit divisualisasi.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang
yang rusak.
b Pemeriksaan Laboratorium
(1) Darah Lengkap: Hemoglobin dan hematokrit sering rendah akibat
perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila kerusakan
jaringan lunak sangat luas.
(2) Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multipel, atau cidera hati.
(3) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
(4) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
(5) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-
5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat
pada tahap penyembuhan tulang.
20
c Pemeriksaan lain-lain
(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
21
160501 ; menggambarkan faktor karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
penyebab nyeri (4-5) dan faktor presipitasi
160504 ; gunakan teknik penghilang 2. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
nyeri non-analgesik (4-5) menentukan intervensi yang sesuai
160505 ; gunakan analgesic sesuai 3. Observasi reaksi non verbal dan
rekomendasi) (4-5) ketidaknyamanan
(2102) Pain Level 4. Kontrol lingkungan yang dapat
210201 ; melaporkan adanya nyeri (3- mempengaruhi nyeri seperti suhu
5) ruangan, pencahayaan, dan kebisingan
210204 ; lamanya episode nyeri (3-5) 5. Kurangi faktor presipitasi nyeri
210217 ; merintih dan menangis (3-5) 6. Berikan informasi kepada pasien
210206 ; ekspresi wajah menahan nyeri tentang nyeri, seperti penyebab nyeri,
(3-5) berapa lama nyeri akan dirasakan, dan
210208 ; kegelisahan (3-5) bagaimana cara mengantisipasi
timbulnya nyeri
7. Ajarkan teknik non farmakologi
untuk menghilangkan nyeri (napas
dalam, relaksasi, distraksi)
8. Kolaborasi pemberian analgesik
22
pada fraktur.
2. Posisikan pasien sesuai dengan postur
tubuh
3. Hindari menggunakan linen yang
bertekstur
4. Pertahankan linen tetap bersih,
kering, dan bebas dari kusut
5. Gunakan perangkat di tempat tidur
untuk melindungi pasien
6. Letakkan bel pemanggil dekat dengan
pasien
7. Ubah posisi pasien setidaknya setiap
2 jam sekali, atau sesuai jadwal tertentu
8. Monitor kondisi kulit pasien
9. Bantu pergeseran/pergerakan kecil
dari tubuh pasien
10. Lakukan latihan ROM aktif dan
pasif
11. Monitor adanya komplikasi dari bed
rest (hilangnya tonus otot, nyeri
punggung, konstipasi, peningkatan
stress, depresi, perubahan waktu tidur,
ISK, pneumonia)
23
penampilan (4-5) ditunjukkan
120005 ; Kepuasan terhadap 2. Menilai dampak dari situasi
penampilan tubuh (4-5) kehidupan pasien terhadap peran dan
120007 ; Penyesuaian terhadap Hubungan
perubahan penampilan fisik (4-5) 3. Menilai pemahaman pasien terhadap
120008 ; Penyesuaian terhadap proses penyakit
perubahan fungsi tubuh (4-5) 4. Mendorong sikap terhadap harapan
(1302) Coping yang realistis sebagai cara menangani
130205 ; Menyampaikan penerimaan perasaan tidak berdaya
terhadap situasi saat ini (4-5) 5. Evaluasi kemampuan pasien dalam
130222 ; Menggunakan sistem mengambil keputusan
dukungan personal (misal: keluarga) 6. Berusaha untuk memahami perspektif
(4-5) pasien terhadap situasi stress
1130213 ; Menghindari situasi terlalu 7. Mendorong pasien untuk melakukan
stress (4-5) aktivitas sosial dan masyarakat
8. Memperkenalkan pasien ke orang
(atau kelompok) yang telah berhasil
melewati pengalaman yang sama
9. Menilai kebutuhan/keinginan pasien
untuk dukungan sosial
10. Mendorong keterlibatan keluarga,
yang sesuai
3.6 Evaluasi
Evaluasi adalah tahap pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan
dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi
tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan. Evaluasi yang diharapkan pada
pasien dengan neglected fracture adalah:
1. Nyeri dapat berkurang atau hilang setelah dilakukan tindakan
keperawatan.
2. Klien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
3. Klien akan mengalami peningkatan citra tubuh.
24
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Neglected fracture dengan atau tanpa dislokasi adalah suatu fraktur
dengan atau tanpa dislokasi yang tidak ditangani atau ditangani dengan tidak
semestinya sehingga menghasilkan keadaan keterlambatan dalam penanganan,
atau kondisi yang lebih buruk dan bahkan kecacatan. (Apley & Solomon, 2013).
Neglected fracture adalah fraktur yang tidak dilakukan penatalaksanaan apapun
selama 72 jam atau lebih ( Jain & Kumar, 2010)
Menurut Pandey & Pandey (2011) penyebab utama terjadinya neglected
fracture pada seseorang antara lain dikarenakan kurangnya fasilitas medis ketika
memberikan pertolongan pertama pada pasien yang mengalami fraktur,
kurangnya pendidikan yang layak, pelatihan, dan kesadaran dalam pengelolaan
trauma, kurangnya sarana transportasi yang tepat untuk membawa pasien yang
mengalami fraktur ke rumah sakit, penanganan yang kurang tepat yang dilakukan
oleh dukun patah tulang, penanganan yang kurang baik akibat kurangnya
keahlian dari tenaga medis terkait dan kurangnya kerja sama dari pasien dan/atau
petugas, dan fiksasi yang digunakan tidak tepat. Manifestasi klinis Neglected
Fracture adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstermitas,
krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna.
Prognosis pada neglected fracture bergantung pada lamanya klien
mendapatkan penanganan. Semakin cepat pendapatkan penanganan maka
prognosisnya akan semakin baik (Sapardan, dalam Sari, 2012). Prognosis buruk
apabila dalam penanganannya terdapat kegagalan pembentukan tulang secara
anatomis. Adanya kerusakan pada ligamen dan munculnya jaringan parut diduga
juga memperburuk usaha penyambungan tulang. Jaringan lunak dan periosteum
25
di sekitar lokasi fraktur harus diperhatikan untuk mencegah nekrosis avascular.
(Khan, 2011).
4.2 Saram
Sebagai seorang perawat sebaiknya kita mengetahui asuhan keperawatan
pada klien dengan Neglected Fracture dengan jelas agar dapat menunjang
keahlian perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien secara
tepat, sehingga pelayanan yang diberikan sesuai dan dapat mengurangi serta
memperbaiki kondisi klien.
26
DAFTAR PUSTAKA
Aries MJ, Joosten H, Wegdam HJ, van der Geest S. Fracture treatment by
bonesetters in central Ghana: Patients explain their choices and
experiences. Trop.Med. Internat. Health 2007
Apley G,& Solomon L.2013. Buku Ajar Orthopedi dan Fraktur Sistem Apley.
Jakarta :Widya Medika
Jain, Anil K & Sudhir Kumar. 2010. Neglected musculoskeletal Injuries. New
Delhi : Jaypee Brother Medical Publishers
Khan et al. 2011. Delayed open reduction and internal fixation of a neglected
fracture dislocation of the ankle. Bethesda, USA : National Center of
Biotechnology Information (NCBI) diakses melalui
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17394433 pada 23 september 2016
Kumar, P., & Singh, M. P. (Juli - December 2008). Neglected Distal Humeral
Epiphyseal Injury - Two Case Reports. Internet Journal of Medical
Update, Vol. 3, No. 2 , 53.
27
Berobat pada Pasien Patah Tulang yang Menggunakan Sistem
Pembiayaan Jamkesmas. Semarang: Universitas Diponegoro.
Brunner dan Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Pandey, S., & Pandey, A. K. (2011). Skeletal Trauma In Tropics 2nd Edition.
New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd.
Bulechek, Gloria M., et al. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC) 6th ed.
United Kingdom: Mosby Elsevier
28