TRIAGE
Disusun Oleh:
Residen Pembimbing :
dr. Octavianna Indri Sakti Rahim
Supervisor Pembimbing :
dr. A. Alamsyah Irwan, M. Kes, Sp. An
Adalah benar telah menyelesaikan referat berjudul “Triage” dan telah disetujui
serta telah dibacakan dihadapan supervisor pembimbing dalam rangka
kepaniteraan klinik pada Departemen Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin Makassar.
Supervisor Pembimbing
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2
tingkat kesadaran dan inspeksi visual untuk luka dalam, deformitas kotor dan
memar untuk memprioritaskan penanganan yang diberikan kepada pasien di ruang
gawat darurat. Tenaga medis di IGD memberikan prioritas pertama untuk pasien
gangguan jalan nafas, ventilasi atau sirkulasi terganggu. Pasien-pasien ini
mungkin memiliki kesulitan bernapas atau nyeri dada karena masalah jantung dan
mereka menerima pengobatan pertama. Pasien yang memiliki masalah yang
sangat mengancam kehidupan diberikan pengobatan langsung yang membutuhkan
banyak sumber daya medis.
Dalam prinsip triage diberlakukan sistem prioritas. Prioritas adalah
penentuan/penyeleksian mana yang harus didahulukan mengenai penanganan
yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang timbul dengan seleksi pasien
berdasarkan. (8)
1) Ancaman jiwa yang dapat mematikan dalam hitungan menit.
2) Dapat mati dalam hitungan jam.
3) Trauma ringan.
4) Sudah meninggal
Pada umumnya penilaian korban dalam triage dapat dilakukan dengan :
- Menilai tanda vital dan kondisi umum korban
- Menilai kebutuhan medis
- Menilai kemungkinan bertahan hidup
- Menilai bantuan yang memungkinkan
- Memprioritaskan penanganan definitive
- Tag Warna. (8)
3
b. Anamnesis seharusnya adekuat dan akurat
Intinya, ketetilian dan keakuratan adalah elemen yang terpenting dalam
proses anamnesis.
c. Keputusan dibuat berdasarkan anamnesis
Keselamatan dan perawatan pasien yang efektif hanya dapat
direncanakan bila terdapat informasi yang adekuat serta data yang akurat.
d. Melakukan intervensi berdasarkan keakutan dari kondisi
Tanggung jawab utama seorang tenaga medis di triage adalah mengkaji
secara akurat seorang pasien dan menetapkan prioritas tindakan untuk
pasien tersebut. Hal tersebut termasuk intervensi terapeutik, prosedur
diagnosis dan tugas terhadap suatu tempat yang dapat diterima untuk
suatu pengobatan.
e. Tercapainya kepuasan pasien
Tenaga medis di triage seharusnya memenuhi semua yang ada di
atas saat menetapkan hasil secara serempak dengan pasien
Tenaga medis membantu dalam menghindari keterlambatan
penanganan yang dapat menyebabkan keterpurukan status
kesehatan pada seseorang yang sakit dengan keadaan kritis.
Tenaga medis memberikan dukungan emosional kepada pasien
dan keluarga atau temannya.
4
2. Termasuk riwayat kesehatan yang berhubungan dengan keluhan utama
3. Evaluasi terbatas
4. Tujuan untuk meyakinkan bahwa pasien yang lebih serius atau cedera
mendapat perawatan pertama
5.
Tipe 3 : Comprehensive Triage
1. Dilakukan oleh tenaga medis dengan pendidikan yang sesuai dan
berpengalaman
2. Sesuai protocol.
5
2.3 Pembagian Triage
Prioritas adalah penentuan mana yang harus didahulukan mengenai
penanganan dan pemindahan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang
timbul. Beberapa hal yang mendasari klasifikasi pasien dalam sistem triage adalah
kondisi klien yang meliputi :
a. Gawat, adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa dan kecacatan yang
memerlukan penanganan dengan cepat dan tepat
b. Darurat, adalah suatu keadaan yang tidak mengancam nyawa tapi
memerlukan penanganan cepat dan tepat seperti kegawatan
c. Gawat darurat, adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa disebabkan oleh
gangguan ABC (Airway / jalan nafas, Breathing / pernafasan, Circulation /
sirkulasi), jika tidak ditolong segera maka dapat meninggal / cacat.
Ada beberapa istilah yang digunakan dalam unit gawat darurat berdasarkan
Prioritas Perawatannya, antara lain : (3)
a. Gawat Darurat (P1)
Keadaaan yang mengancam nyawa/adanya gangguan ABC dan perlu
tindakan segera.
Misalnya cardiac arrest, penurunan kesadaran , trauma mayor dengan
perdarahan hebat
b. Gawat Tidak Darurat (P2)
Keadaan mengangancam nyawa tetepi tidak memerlukan tindakan darurat.
Setelah dilakukan resusitasi maka ditindak lanjuti oleh dokter spesialis.
Misalnya : pasien kanker tahap lanjut, fraktur, sickle cell dan lainya.
c. Darurat Tidak Gawat (P3)
Keadaan yang tidak mengancam nyawa tetapi memerlukan tindakan darurat.
Pasien sadar, tidak ada gangguan ABC dan dapat langsung diberikan terapi
definitif. Untuk tindak lanjut dapat ke poliklinik, misalnya: laserasi, fraktur
minor/tertutup,sistitis, otitis media dan lainya.
6
d. Tidak Gawat Tidak Darurat
Keaadaan yang tidak mengancam nyawa tetapi tidak memerlukan tindakan
gawat. Gejala dan tanda klinis ringan/asimptomatis.
Misalnya penyakit kulit, batuk, flu, dan sebagainya.
7
Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan Tingkat Keakutan (10)
TINGKAT KEAKUTAN KETERANGAN
Kelas I Pemeriksaan fisik rutin (misalnya memar
minor) dapat menunggu lama tanpa bahaya
Kelas II Nonurgen / tidak mendesak (misalnya ruam,
gejala flu) dapat menunggu lama tanpa
bahaya
Kelas III Semi-urgen / semi mendesak (misalnya otitis
media) dapat menunggu sampai 2 jam
sebelum pengobatan
Kelas IV Urgen / mendesak (misalnya fraktur panggul,
laserasi berat, asma); dapat menunggu selama
1 jam
Kelas V Gawat darurat (misalnya henti jantung, syok);
tidak boleh ada keterlambatan pengobatan ;
situasi yang mengancam hidup
8
Gambar 1. Pita warna yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan
pasien.
Adapun pita atau gelang yang digunakan sebagai identifikasi pasien di triage
antara lain :
a. Gelang identitas : nama lengkap, umur, nomer rekam medis
Warna gelang identitas :
- Merah muda : perempuan
- Biru muda : laki-laki
b. Gelang resiko :
- Kuning : jatuh
- Merah : alergi
- Ungu : DNR (Do Not Resusitate)
9
dimana pasien pertama kali ditempatkan setelah triage, setiap pasien tersebut
harus dikaji ulang oleh perawat utama sedikitnya sekali setiap 60 menit.
Untuk pasien yang dikategorikan sebagai pasien yang mendesak atau
gawat darurat, pengkajian dilakukan setiap 15 menit / lebih bila perlu. Setiap
pengkajian ulang harus didokumentasikan dalam rekam medis. Informasi baru
dapat mengubah kategorisasi keakutan dan lokasi pasien di area pengobatan.
Misalnya kebutuhan untuk memindahkan pasien yang awalnya berada di area
pengobatan minor ke tempat tidur bermonitor ketika pasien tampak mual atau
mengalami sesak nafas, sinkop, atau diaphoresis.
Bila kondisi pasien ketika datang sudah tampak tanda - tanda objektif
bahwa ia mengalami gangguan pada ABC (Airway / jalan nafas, Breathing /
pernafasan, Circulation / sirkulasi), maka pasien ditangani terlebih dahulu.
Pengkajian awal hanya didasarkan atas data objektif dan data subjektif sekunder
dari pihak keluarga. Setelah keadaan pasien membaik, data pengkajian kemudian
dilengkapi dengan data subjektif yang berasal langsung dari pasien (data primer).
(10)
10
fraktur tertutup pada ekstrimitas dengan perdarahan terkontrol, luka bakar
<25% luas permukaan tubuh, dsb.
c. Minimal (hijau). Pasien mendapat cedera minimal, dapat berjalan dan
menolong diri sendiri atau mencari pertolongan. Misalnya : Laserasi
minor, memar dan lecet, luka bakar superfisial.
d. Expextant (hitam) Pasien mengalami cedera mematikan dan akan
meninggal meski mendapat pertolongan. Misalnya : Luka bakar derajat 3
hampir diseluruh tubuh, kerusakan organ vital, dsb.
1. Penderita/korban mendapatkan prioritas pelayanan dengan urutan
warna : merah, kuning, hijau, hitam.
2. Penderita/korban kategori triage merah dapat langsung diberikan
pengobatan diruang tindakan IGD. Tetapi bila memerlukan tindakan
medis lebih lanjut, penderita/korban dapat dipindahkan ke ruang
operasi atau dirujuk ke rumah sakit lain.
3. Penderita dengan kategori triage kuning yang memerlukan tindakan
medis lebih lanjut dapat dipindahkan ke ruang observasi dan
menunggu giliran setelah pasien dengan kategori triage merah selesai
ditangani.
4. Penderita dengan kategori triage hijau dapat dipindahkan ke rawat
jalan, atau bila sudah memungkinkan untuk dipulangkan, maka
penderita/korban dapat diperbolehkan untuk pulang.
5. Penderita kategori triage hitam dapat langsung dipindahkan ke kamar
jenazah. (3)
11
respons pasien terhadap tindakan yang diterimanya. Disamping itu catatan juga
dapat sebagai wahana komunikasi dan koordinasi antar profesi (Interdisipliner)
yang dapat dipergunakan untuk mengungkap suatu fakta aktual untuk
dipertanggungjawabkan.
Dengan demikian pemahaman dan ketrampilan dalam menerapkan
standar dengan baik merupakan suatu hal yang mutlak bagi setiap tindakan yang
dilakukan tenaga medis di triage, agar mampu membuat dokumentasi secara baik
dan benar.
Dokumentasi yang berasal dari kebijakan yang mencerminkan standar
nasional berperan sebagai alat manajemen resiko bagi tenaga medis IGD. Hal
tersebut memungkinkan peninjau yang objektif menyimpulkan bahwa tenaga
medis sudah melakukan pemantauan dengan tepat dan mengkomunikasikan
perkembangan pasien kepada tim kesehatan. Pencatatan, baik dengan komputer,
catatan naratif, atau lembar alur harus menunjukkan bahwa perawat gawat darurat
telah melakukan pengkajian dan komunikasi, perencanaan dan kolaborasi,
implementasi dan evaluasi perawatan yang diberikan, dan melaporkan data
penting pada dokter selama situasi serius. Lebih jauh lagi, catatan tersebut harus
menunjukkan bahwa perawat gawat darurat bertindak sebagai advokat pasien
ketika terjadi penyimpangan standar perawatan yang mengancam keselamatan
pasien. (10)
Pada tahap pengkajian, pada proses triage yang mencakup dokumentasi: (2)
1. Waktu dan datangnya alat transportasi.
2. Keluhan utama (misal. “Apa yang membuat anda datang kemari?”).
3. Pengkodean prioritas atau keakutan perawatan.
4. Penentuan pemberi perawatan kesehatan yang tepat.
5. Penempatan di area pengobatan yang tepat (msl. kardiak versus trauma,
perawatan minor versus perawatan kritis).
6. Permulaan intervensi (misal. balutan steril, es, pemakaian bidai, prosedur
diagnostik seperti pemeriksaan sinar X, elektrokardiogram (EKG), atau Gas
Darah Arteri (GDA).
Adapun komponen dokumentasi dalam triage antara lain :
12
Tanggal dan waktu tiba
Umur pasien
Waktu pengkajian
Riwayat alergi
Riwayat pengobatan
Tingkat kegawatan pasien
Tanda - tanda vital
Pertolongan pertama yang diberikan
Pengkajian ulang
Pengkajian nyeri
Keluhan utama
Riwayat keluhan saat ini
Data subjektif dan data objektif
Periode menstruasi terakhir
Imunisasi tetanus terakhir
Pemeriksaan diagnostik
Administrasi pengobatan
Tanda tangan registered nurse
Rencana perawatan lebih sering tercermin dalam instruksi dokter serta
dokumentasi pengkajian dan intervensi keperawatan daripada dalam tulisan
rencana perawatan formal (dalam bentuk tulisan tersendiri). Oleh karena itu,
dokumentasi oleh perawat pada saat instruksi tersebut ditulis dan
diimplementasikan secara berurutan, serta pada saat terjadi perubahan status
pasien atau informasi klinis yang dikomunikasikan kepada dokter secara
bersamaan akan membentuk “landasan” perawatan yang mencerminkan ketaatan
pada standar perawatan sebagai pedoman. (2)
Dalam implementasi perawat gawat darurat harus mampu melakukan dan
mendokumentasikan tindakan medis dan keperawatan, termasuk waktu, sesuai
dengan standar yang disetujui. Perawat harus mengevaluasi secara kontinu
perawatan pasien berdasarkan hasil yang dapat diobservasi untuk menentukan
perkembangan pasien ke arah hasil dan tujuan dan harus mendokumentasikan
13
respon pasien terhadap intervensi pengobatan dan perkembangannya. Standar
Joint Commision (1996) menyatakan bahwa rekam medis menerima pasien yang
sifatnya gawat darurat, mendesak, dan segera harus mencantumkan kesimpulan
pada saat terminasi pengobatan, termasuk disposisi akhir, kondisi pada saat
pemulangan, dan instruksi perawatan tindak lanjut. (2)
Proses dokumentasi triage menggunakan sistem SOAPIE, sebagai berikut :
S : Data subjektif
O : Data objektif
A : Analisa data yang mendasari penentuan diagnosa keperawatan
P : Rencana keperawatan
I : Implementasi, termasuk di dalamnya tes diagnostic
E : Evaluasi / pengkajian kembali keadaan / respon pasien terhadap
pengobatan dan perawatan yang diberikan. (ENA, 2005).
Untuk mendukung kepatuhan terhadap standar yang memerlukan
stabilisasi, dokumentasi mencakup hal - hal sebagai berikut :
Salinan catatan pengobatan dari rumah sakit pengirim
Tindakan yang dilakukan atau pengobatan yang diimplementasikan di fasilitas
pengirim
Deskripsi respon pasien terhadap pengobatan
Hasil tindakan yang dilakukan untuk mencegah perburukan lebih jauh pada
kondisi pasien. (2)
14
1. A (Airway) : Menjaga jalan napas tetap terbuka
2. B (Breathing) : Ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat
3. C (Circulation) : Mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung
paru. (12)
Langkah-langkah BLS pada korban :
a) Identifikasi korban segera dengan melakukan 3A (Aman) yaitu
1. Memastikan keamanan diri sendiri
2. Memastikan keamanan lingkungan
3. Memastikan keamanan penderita
4. Memastikan kesadaran korban
Pertama, menilai apakah pasien berespon atau tidak, misalnya
pasien mungkin dapat berbicara dengan kita, atau dia mungkin
mengerang, menangis, membuat suara lain atau bergerak. Jika pasien
berespon, mintalah ia untuk menjelaskan apa yang terjadi. Jika pasien
diam dan tidak bergerak, cek kesadaran dengan metode AVPU. Untuk
memeriksa respon pasien, ketuk pasien di bahu lalu berteriak dan
mengatakan “Apakah Anda baik-baik saja?”. Gunakan nama orang jika
diketahui serta berbicara dengan keras. Ingatlah bahwa respons terhadap
rangsangan verbal atau nyeri mungkin halus seperti beberapa gerakan
ringan atau pembukaan mata sesaat yang terjadi ketika Anda berbicara,
menepuk bahu atau memberikan rangsang nyeri.
15
5. Meminta pertolongan
Jika korban tidak merespons maka penolong harus segera
mengaktifkan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT)
dengan menelpon Ambulans Gawat Darurat, atau ambulans rumah sakit
terdekat. Mengaktifkan SPGDT harus siap dengan jawaban mengenai
lokasi kejadian, kejadian yang sedang terjadi, jumlah korban dan bantuan
yang dibutuhkan. Rangkaian tindakan tersebut dapat dilakukan secara
bersamaan apabila pada lokasi kejadian ada lebih dari satu penolong,
misalnya penolong pertama memeriksa respon korban kemudian
melanjutkan tindakan BLS sedangkan penolong kedua mengaktifkan
SPGDT dengan menelpon ambulans dan mengambil alat kejut jantung
otomatis (AED). (11)
6. Teknik ABC
a. Airway
Setelah menilai tingkat kesadaran pasien, evaluasi jalan napas
pasien. Pasien yang dapat berbicara menunjukkan jalan napas
terbuka. Untuk pasien yang tidak berespon, pastikan dia berada
dalam posisi supine untuk secara efektif mengevaluasi jalan napas.
Pemeriksaan airway dapat dilakukan dengan melakukan “Look,
listen, and feel” secara simultan. Look dengan melihat pergerakan
dada, listen untuk mendengar suara napas, dan feel untul merasakan
ada tidaknya hembusan napas.
16
Obstruksi jalan napas dapat dibagi menjadi obstruksi total dan
obstruksi parsial.
1) Obstruksi Total
Obstruksi total biasanya disebabkan oleh tertelannya benda
asing atau chocking. Ketika seseorang mengalami sumbatan
total pada jalan napas bagian atasnya, maka orang tersebut akan
terlihat panic dan akan mengalami kesulitan bernapas dan
berbicara. Korban juga menunjukkan sikap tercekik seperti
memegangi leher dan berusaha bicara. Wajah dan leher korban
(13)
sembab dan kulit terlihat abu-abu hingga biru. Ketika
menemukan kasus seperti ini, kita dapat melakukan tindakan
penyelamatan seperti :
a. Back Blow/Back Slaps
- Pertahankan korban jangan sampai tersungkur
- Berikan pukulan/hentakan keras 5 kali, dengan kepalan
(genggaman tangan). Pada titik silang garis imaginasi
tulang belakang dan garis antar belikat. Bila belum
berhasil secara pelan segera baringkan korban pada
posisi terlentang. Lakukan abdominal thrust.
17
b. Abdominal Thrust
Korban berdiri/korban dewasa sadar
- Rangkul korban yang sedang sempoyongan dengan
kedua lengan dari belakang
- Lakukan hentakan tarikan, 5 kali dengan menarik kedua
lengan penolong bertumpuk pada kepalan kedua
tangannya tepat di titik hentak yang terletak pada
pertengahan pusar dan titik ulu hati korban
- Bila belum berhasil secara pelan segera baringkan
korban pada posisi terlentang. Lakukan abdominal
thrust
18
- Yakinkan benda asing sudah bergeser atau sudah keluar
dengan cara :
a) Lihat ke dalam mulut korban, bila terlihat segera
diambil
b) Bila tak terlihat, tiupkan napas mulut ke mulut,
sambil memperhatikan bila tiupan dapat masuk
paru-paru. Dada mengembang artinya, jalan napas
telah terbuka. Sebaliknya bila tiupan tidak masuk
artinya jalan napas masih tersumbat. Segera
lakukan abdominal thrust lagi dan seterusnya. (14)
2) Obstruksi Parsial
Obstruksi parsial dapat disebabkan oleh banyak hal.
Biasanya penderita masih dapat bernapas sehingga timbul
berbagai macam suara, tergantung penyebabnya :
a. Cairan (Darah, secret, aspirasi lambung, dsb)
Timbul suara “gurgling”, suara napas bercampur suara
cairan. Dalam keadaan ini harus dilakukan penghisapan
(suction). Atau dapat dilakukan finger sweep yaitu menyapu
cairan dalam rongga mulut menggunakan jari tangan yang
dilapisi dengan bahan yang dapat menyerap (contoh: kain,
kasa), tapi tidak boleh menggunakan bahan yang mudah
19
hancur bila basah dan dapat menyebabkan sumbatan baru
(contoh: tissue, kapas).
b. Lidah yang jatuh ke belakang
Keadaan ini bias terjadi karena keadaaan tidak sadar
atau patahnya rahang bilateral. Timbul suara mengorok
(Snoring) yang harus diatasi dengan perbaikan Airway,
secara manual bisa dengan head tilt, chin lift, jaw thrust
atau bisa menggunakan alat seperti oropharyngeal airway
(Guedel).
c. Penyempitan laring atau trakea
Dapat disebabkan edema karena berbagai hal (luka
bakar, radang, dsb.) ataupun neoplasma. Timbul suara
“crowing”atau stridor respiratori. Keadaan ini hanya dapat
diatasi dengan perbaikan airway distal dari sumbatan,
misalnya dengan Trakheostomi. (13)
20
Gambar 7. Head Tilt dan Chin Lift
3. Jaw thrust
Dorong sudut rahang kiri dan kanan kea rah depan
sehingga barisan gigi bawah berada di depan barisan
gigi atas. Atau gunakan ibu jari ke dalam mulut dan
bersama dengan jari-jari lain tarik dagu ke depan
Gambar 8. Jaw-Thrust
4. Finger sweep
- Pasang sarung tangan
- Buka mulut pasien dengan jaw thrust dan tekan
dagu ke bawa
- Gunakan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah yang
bersih atau dibungkus dengan sarung tangan/kassa
21
untuk membersihkan dan mengorek semua benda
asing dalam mulut. (14)
22
Gambar 10. Pemasangan Oropharyngeal Airway
23
Gambar 11. Pemasangan Nasopharyngeal Airway
24
Gambar 12. Classic LMA
2) Fastrach LMA
LMA Fastrach terdiri dari satu tube stainless
steel yang melengkung ( diameter internal 13 mm )
yang dilapisi dengan silikon, konektor 15 mm,
handle, cuff, dan suatu batang pengangkat
epiglotis. Perbedaan utama antara LMA classic dan
LMA Fastrach yaitu pada tube baja, handle dan
batang pengangkat epiglottis. (16)
25
terdapat pemisahan antara saluran pernafasan
dengan saluran gastrointestinal, dengan penyatuan
drainage tube yang dapat mengalirkan gas-gas
esofagus atau memfasilitasi suatu jalur tube
orogastric untuk dekompresi lambung. (16)
26
5) Suprime LMA
LMA ini digunakan untuk kemudahan
insersi dan menguatkan tekanan yang lebih
tinggi dibandingkan LMA jenis lainnya dan
dapat memberikan akses untuk insersi selang
nasogastric. LMA suprime ini merupakan solusi
terbaik untuk permasalahan yang mungkin
terjadi ketika pengelolaan jalan napas pasien
sangat sulit. (16)
27
Gambar 17. C Trach LMA
28
menghadap ke cephalad (menghadap ke bibir
pasien)
Kembangkan balon dengan jumlah udara yang
sesuai
- Pastikan posisi LMA:
Pasang bag-valve-mask
Inspeksi dan auskultasi dada untuk
mendengarkan suara napas yang simetris
Perhatikan pengembunan yang terjadi pada
pipa endotrakea saat ekshalasi napas
Fiksasi posisi LMA plester di bagian tengah
bibir. (14)
4. Endotracheal Tube
- Persiapan alat
- Memakai alat pelindung diri
- Inform Concent
- Memastikan jalan napas terbuka
- Memastikan oksigenasi dan ventilasi adekuat
- Memastikan tersedianya jalur intravena
- Memasang monitor
- Menyiapkan pipa endotrakea:
a) Memeriksa patensi balon
29
b) Memberikan sedikit lubrikan pada stylet dan
memasukkan stylet ke dalam pipa endotrakea
c) Memberikan sedikit lubrikan pada balon
sampai ujung pipa endotrakea
- Menyiapkan laringoskop
a) Menyiapkan blade yang sesuai
b) Memastikan lampu menyala dengan baik
(sinar fokus dan berwarna putih)
- Menempatkan bantal tipis atau kain di bawah
oksipital jika tidak ada curiga cedera spinal
- Berikan lidokai spray di orofaring (xylocain spray
1 puff=10 mg, diberikan sesuai dosis)
- Melakukan preoksigenasi dengan ksigen 100%
selama 2-3 menit, jika waktu memungkinkan
- Jika dibutuhkan berikan sedasi, analgesia dan
pelumpuh otot
- Melakukan tindakan intubasi:
a) Operator berdiri di bagian kepala tempat tidur
dan tempat tidur pada posisi datar
b) Memegang laringoskop pada tangan kiri
c) Meminta asisten untuk melakukan penekanan
pada krikoid segera setelah pasien tidak sadar
dan dipertahankan sampai pipa endotrakea
terpasang
d) Buka mulut dengan cara cross finger
technique, yaitu ibu jari tangan kanan
ditempatkan di depan gigi bawah mandibular
dan jari telunjuk di depan gigi atas maksilla,
mulut dibuka perlahan dengan menggunakan
jari-jari tersebut dan laringoskop dimasukkan
ke dalam mulut
30
e) Masukkan ujung bilah laringoskop ke dalam
sisi kanan mulut pasien, masukkan bilah
sampai ke pangkal lidah
f) Singkirkan lidah kea rah kiri
g) Dengan lembut masukkan bilah laringoskop
pada posisi yang tepat. Bilah lurus di bawah
epiglottis dan bilah lengkung dimasukkan ke
dalam vallecula di atas epiglottis
h) Perlihatkan pita suara dan pembukaan glottis
i) Secara lembut masukkan pipa endotrakea
melalui pita suara, dengan memegang pipa
endotrakea menggukanan tangan kanan
j) Secara hati-hati angkat stylet dan laringoskop,
sambil tetap memegang pipa endotrakea
k) Kembangkan balon
l) Pastikan posisi endotrakea:
- Pasang bag-valve-mask
- Inspeksi dan auskultasi dada untuk
mendengarkan suara napas yang simetris
- Perhatikan pengembunan yang terjadi
pada pipa endotrakea saat ekshalasi napas
m) Fiksasi posisi pipa endotrakea dengan plester
pada nomor yang tertera pada pipa setinggi
bibir. (14)
31
Gambar 19. Pemasangan Endotracheal Tube
5. Krikotiroidotomi
Jika seluruh cara pembukaan jalan napas sudah
dilakukan tapi tidak menunjukkan keberhasilan (masih
ada obstruksi airway) maka dilakukan krikotiroidotomi.
- Persiapan alat. Hubungkan selang oksigen dengan
salah satu lubang pipa Y dan pastiken oksigen
mengalir dengan lancer melalui selangnya
- Pasang kateter IV ukuran 14 pada spoit 12 cc
Tindakan krikotiroidotomi
- Desinfeksi daerah leher dengan antiseptic
- Palpasi membrane krikoidea, sebelah anterior
antara kartilago tiroid dan krikoid. Pegang trakea
dengan ibu jari dan telunjuk dengan tangan kiri
agar trakea tidak bergerak ke lateral pada waktu
prosedur
- Dengan tangan yang lain (kanan) tusuk kulit pada
garis tengah (midline) di atas membrane krikoidea
dengan jarum besar ukuran 12 sampai 14 yang
telah dipasang pada semprit. Untuk memudahkan
masuknya jarum maka dapat dilakukan insisi kecil
di tempat yang akan ditusuk dengan pisau ukuran
11.
32
- Arahkan dengan sudut 45 ke arah kaudal, kemudian
dengan hati-hati tusukkan jarum sambil mengisap
semprit. Bila teraspirasi udara atau tampak
gelembung udara pada semprit yang terisi aquades
menunjukkan masuknya jarum ke lumen trakea
- Lepas semprit dengan kateter IV. Kemudian tarik
mandarin sambil dengan lembut mendorong kateter
ke arah bawah
- Sambungkan ujung kateter dengan salah satu ujung
slang oksigen berbentuk Y
- Ventilasi berkala dapat dilakukan dengan menutup
salah satu lubang slang oksigen berbentuk Y yang
terbuka dengan ibu jari selama 1 detik dan
membukanya selama 4 detik. Tindakan seperti ini
dapat bertahan selama 30 sampai 45 menit. (14)
b. Breathing
Setelah jalan napas terbuka, periksa secara bersamaan
pernapasan dan denyut nadi karotis. Pemeriksaan setidaknya
dilakukan dalam 5 detik tetapi tidak boleh lebih dari 10 detik. Saat
memeriksa pernapasan, lihat apakah pengembangan dada pasien,
dengarkan hembusan napas dan rasakan hembusan tersebut di sisi
pipi. Pernapasan yang normal akan terlihat tenang, teratur, dan tanpa
usaha. Jika terjadi sesak napas, maka dapat ditemukan keadaan
33
seperti penderita mengeluh sesak, bernapas cepat (takipneu),
pernapasan cuping hidung, pemakaian otot bantu napas yang
ditandai dengan adanya retraksi suprasternal, retraksi intercostal,
retraksi sternum, dan retraksi infrasternal, serta dapat pula ditemukan
sianosis. (11)
Pemberian oksigen dapat dilakukan dengan menggunakan nasal
kanul, face mask (Breathing mask) dan Non rebreathing mask.
1) Nasal Kanul
34
Jenis masker ini memberikan konsentrasi oksigen 40-60%.
Konsentrasi dapat diubah dengan menambah atau mengurangi
aliran oksigen diantaranya 5-10 liter/menit. Masker ini dapat
memberikan konsentrasi oksigen tinggi (>50%) sehingga tidak
direkomendasikan untuk pasien yang membutuhkan konsentrasi
rendah karena beresiko terjadinya retensi karbon dioksida. Pasien
yang menggunakan simple mask dapat memiliki aliran inspirasi
yang lebih besar dibanding aliran udara dari simple mask sehngga
simple mask tidak dapat digunakan dengan flow dibawah 5
liter/menit.
3) Rebreathing Mask
35
Jenis masker ini memberikan oksigen dengan konsentrasi 80-
90% jika digunakan dengan laju aliran 12-15 liter/menit.
Konsentrasi oksigen yang diberikan akan bervariasi bergantung
pola pernapasan pasien. Masker ini paling tepat digunakan untuk
trauma dan keadaan darurat. (17)
Jika pasien tidak bernapas tetapi denyut nadi masih ada
(Respiratory arrest), maka kita harus memberikan ventilasi.
Pemberian ventilasi merupakan suatu teknik untuk menyuplai
oksigen pada pasien yang mengalami respiratory arrest.
Pemberian 1 ventilasi dilakukan setiap 5-6 detik pada orang
dewasa, dengan tiap ventilasi harus selesai dalam 1 detik dan
terjadi pengembangan dinding dada. (11) Ventilasi dapat dilakukan
dengan beberapa metode yaitu :
1) Mouth-to-mouth Ventilations
Jika pocket mask atau big-valve-mask tidak tersedia,
maka kita dapat melakukan pemberian bantuan napas dari
mulut ke mulut. Namun pada dasarnya cara ini tidak
dianjurkan karena resiko infeksi yang besar. Pemberian
mouth-to-mouth ventilations dapat dilakukan dengan
membuka jalan napas dengan teknik head-tilt/chin-lift, tutup
atau jepit hidung, lalu berikan pembatas berupa kasa atau
kain diantara mulut penolong dan mulut pasien, kemudian
berikan ventilasi dengan meniup ke mulut pasien.
Dengan metode ventilasi ini, pasien hanya menerima
konsentrasi oksigen sekitar 16% dibandingkan konsentrasi
oksigen di udara 21%. Jika tidak tersedia benda yang dapat
menjadi pembatas antara mulut pasien dan mulut penolong,
maka dapat dilakukan mouth-to-nose ventilations.
36
Gambar 25. Mouth-to-mouth ventilations
37
3) Bag-Valve-Mask Resuscitator
Alat ini memberikan konsentrasi oksigen yang lebih
tinggi dibandingkan pocket mask. Adapun cara
menggunakannya antara lain: (17)
- Persiapan alat, yaitu manual bag-valve, face mask sesuai
ukuran yang harus melingkupi mulut dan hidung, tetapi
tidak terlalu besar sehingga banyak udara yang bocor,
serta siapkan sumber oksigen, selang, regulator jika
tersedia.
- Berdiri di atas kepala pasien
- Tempatkan pasien pada posisi sniffing (hidung mengarah
ke langit-langit)
- Tempatkan face mask dengan teknik satu tangan:
Menggunakan tangan kiri
Tempatkan jari kelingking, jari manis, dan jari tengah
di bawah sisi kiri mandibular pasien
Tempatkan jari telunjuk dan ibu jari pada face mask di
bagian atas dan bawah
Tangan kanan digunakan untuk melakukan ventilasi
dengan bag
- Tempatkan face mask dengan teknik dua tangan
- Mulai memberikan tekanan positif melalui bag-valve-
mask secara lembut
- Jika ventilasi sulit dilakukan, lakukan chin lift dan jaw
thrust maneuver
- Jika ventilasi masih sulit, bias dipasangkan pipa orofaring
atau nasofaring (14)
38
Gambar 27. Bag-Valve Mask Resuscitator
c. Circulation
Sirkulasi terdiri atas jantung dan pembuluh darah
1) Frekuensi denyut jantung
Frekuensi denyut jantung pada orang dewasa adalah 60-100
kali/menit. Bila kurang dari 60 kali/menit disebut bradikardi dan
bila lebih dari 100 kali/menit disebut takikardi. Denyut nadi
dapat diraba pada A. Carotis yakni di medial dari M.
sternocleidomastoideus. Selain itu dapat pula diraba di A.
brachialis serta A. radialis.
Jika terjadi syok maka dapat ditemukan tanda-tanda berupa
kulit pucat dan dingin, capillary refill time lebih dari 2 detik,
takikardi, gangguan kesadaran, serta hipotensi.
2) Tekanan Darah
Tekanan darah tidak dapat digunakan sebagai indicator dini
pada syok karena tekanan darah sistolik dapat tidak turun
sampai kehilangan darah lebih dari 30%. Selain itu, pada
penderita hipertensi tekanan darah mungkin turun namun masih
dianggap normal. Meskipun demikian, salah satu tanda syok
juga dapat dinilai dari adanya hipotensi meskipun tidak menjadi
indikator utama.
Jika tidak ada napas dan tidak ada denyut nadi, maka pasien
mengalami cardiac arrest. Cardiac arrest adalah situasi yang
mengancam jiwa dimana listrik ataupun sistem mekanis dari
39
kerusakan jantung mengakibatkan penghentian total dari
kemampuan jantung untuk berfungsi dan mensirkulasi darah
secara efisien. Oleh karena itu, penanganan yang kita lakukan
ketika terjadi cardiac arrest adalah melakukan resusitasi jantung
paru (RJP), berikut adalah langkah-langkahnya: (11)
Tindakan oleh satu orang penolong
1) Pastikan kondisi lingkungan tempat pertolongan aman
untuk korban dan penolong
2) Atur posisi pasien dan letakkan pada dasar yang keras
3) Pada korban tidak sadar pastikan penderita benar-benar
tidak sadar dengan cara memanggil, menepuk punggung,
menggoyang atau mencubit.
4) Minta segera pertolongan dengan cara berteriak/aktifkan
system emergensi unit jika pasien tidak sadar dan pastikan
tersedianya AED (Automatic External Defibrillator)
5) Nilai pernapasan dan denyut nadi karotis secara bersamaan
kurang dari 10 detik
6) Bila tidak bernapas atau bernapas tidak normal tapi nadi
teraba maka bebaskan jalan napas dan berikan napas
buatan 1 kali/5-6 detik atau 10-12 kali/menit pelan dan
penuh sambil melihat pengembangan dada, nilai ulang tiap
2 menit. Bila napas spontan normal dan nadi teraba maka
pertahankan sambil menunggu pertolongan. Bila nadi tidak
teraba maka segera lakukan RJP.
7) Bila tidak teraba lakukan pijatan jantung luar 30 kali pada
titik tumpu yaitu 2 jari diatas processus xyphoideus,
kemudian dilanjutkan dengan napas buatan sebanyak 2 kali
tiupan. Lakukan sebanyak 5 siklus.
8) Letakkan satu tangan pada titik tekan, tangan lain di atas
punggung tangan pertama,
40
9) Kedua lengan lurus dan tegak lurus pada sternum. Kedua
lutut penolong merapat, lutu menempel bahu korban.
10) Tekan ke bawah kurang lebih 5-6 cm pada orang dewasa,
dengan cara menjatuhkan berat badan ke sternum korban.
11) Kompresi secara ritmik dan teratur 100-120 kali/menit.
Lakukan evaluasi tiap akhir siklus kelima terhadap napas,
denyut jantung, kesadaran, reaksi pupil.
12) Bila napas dan denyut belum teraba lanjutkan RJP hingga
korban membaik
13) Jika terdapat AED maka lakukan penilaian apakah perlu
dilakukan shock atau tidak
14) Jika napas kembali spontan dan denyut nadi teraba maka
posisikan dengan posisi pemulihan (recovery
position)/posisi mantap:
- Fiksasikan salah satu siku dengan telapak tangan
menopang pipi pada sisi yang berlawanan
- Fleksikan lutut pada sisi yang sama dengan siku yang
difleksikan sebelumnya
- Balikkan pasien ke arah sisi yang berlawanan. (14)
41
Tindakan oleh dua orang penolong
42
yang shockable yaitu irama ventrikel fibrilasi dan ventrikel takikardi
dengan tanpa nadi. Sedangkan pada cardiac arrest yang unshockable tidak
dilakukan defibrilasi, melainkan CPR. (18)
a) Ventrikel fibrilasi
Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian
mendadak, pada keadaan ini jantung tidak dapat melakukan fungsi
kontraksinya, jantung hanya mampu bergetar saja. Pada kasus ini
tindakan yang harus segera dilakukan adalah CPR dan DC Shock atau
defibrilasi. (18)
b) Ventrikel takikardi
Mekanisme penyebab terjadinya VT biasanya karena adanya
gangguan otomatisasi (pembentukan impuls) ataupun akibat adanya
gangguan konduksi. Frekuensi nadi yang cepat akan menyebabkan fase
pengisian ventrikel kiri memendek, akibatnya pengisian darah ke
ventrikel juga berkurang sehingga curah jantung akan menurun. VT
dengan hemodinamik stabil, pemilihan terapi dengan medikamentosa
lebih diutamakan. Pada kasus VT dengan gangguan hemodinamik
sampai terjadi henti jantung (VT tanpa nadi), pemberian terapi
defibrilasi dengan menggunakan DC shock dan CPR adalah pilihan
utama. (18)
c) Pulseless Electrical Activity (PEA)
Merupakan keadaan dimana aktifitas listrik jantung tidak
menghasilkan kontraktilitas atau menghasilkan kontraktilitas tetapi
tidak adekuat sehingga tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak
teraba. Pada kasus ini CPR adalah tindakan yang harus segera
dilakukan. (18)
d) Asistole
Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik pada
jantung dan pada monitor irama yang terbentuk adalah seperti garis
43
lurus. Pada kondisi ini tindakan yang harus segera diambil adalah
CPR. (18)
44
d. Disability (Evaluasi Neurologis)
Pada tahap ini yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil, GCS (Glasgow Comma Scale) adalah sistem yang
paling sering digunakan. Di samping itu, juga digunakan sistem
AVPU (Alert, Verbal, Pain, Unresponsible) untuk waktu yang
singkat. Jangan lupa untuk mencatat waktu dalam setiap penilaian
tingkat kesadaran agar diketahui perubahan yang terjadi.
Gerakan tungkai juga harus diperiksa untuk mengevaluasi tanda-
tanda potensi lateralisasi. Perawatan langsung dan terbaik pada
pasien dengan kondisi otak primer adalah stabilisasi jalan napas,
pernapasan, dan sirkulasi. Khususnya, ketika pasien hanya nyeri
responsif atau tidak responsif, patensi jalan napas harus dipastikan,
dengan menempatkan pasien pada “recovery position” dan
memanggil bantuan tenaga yang memenuhi syarat untuk
mengamankan jalan napas. Pada akhirnya, intubasi mungkin
diperlukan. Refleksi cahaya pupil harus dievaluasi dan glukosa darah
diukur. Tingkat kesadaran yang menurun karena glukosa darah
rendah dapat dikoreksi dengan cepat menggunakan glukosa oral
atau glukosa infus. (13)
45
DAFTAR PUSTAKA
1. Schellein O LPFBD. Manchester Triage System: Process Optimization in the
Intredisciplinary Emergency Department Anaesthesist; 2008.
7. Pusponegoro AD. Buku Panduan Basic Trauma and Cardiac Life Support. In.
Jakarta: Diklat Ambulance AGD 118; 2010.
11. Epstein JL. Basic Life Support for Healthcare Providers. 2015;: p. 3.
12. Highlights of the 2015 American Heart Association Guidelines Update for
46
CPR and ECC. 2015.
13. Krarup N, Grove EL. Initial Assessment and Treatment with the Airway,
Breathing, Circulation, Disability, Exposure (ABCDE) approach. 2012
Januari.
14. Ahmad MR, Wahab A, Arif SK, Gaus S, Musba AMT, Wirawan NS, et al.
Modul Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Anestesi, Perawatan Intensif,
dan Manajemen Nyeri Makassar: Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin; 2017.
16. Cook Tim WB. The Laryngeal Mask Airway. In : Update in Anaesthesia. ;:
p. 32-42.
17. O'Driscoll BR HLEJ. BTS Guideline for Oxygen Use in Adults in Healthcare
and Emergency Settings. An International Journal of Respiratory Medicine.
2017;: p. 164--167.
18. 118 DYAGD. Basic Trauma Life Support and Basic Cardiac Life Support.
5th ed. Jakarta: Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118; 2012.
47