Anda di halaman 1dari 50

DISKUSI KASUS

“TB PARU KASUS BARU, BTA NEGATIF, TCM POSITIF HIGH, LESI
LUAS, STATUS B20 TIDAK DIPERIKSA”

Disusun oleh:
Rizki Putri Andini R 1710221099

Pembimbing :
dr. Indah Rachmawati, Sp.P

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2018

0
LEMBAR PENGESAHAN
DISKUSI KASUS
“TB PARU KASUS BARU, BTA NEGATIF, TCM POSITIF HIGH, LESI
LUAS, STATUS B20 TIDAK DIPERIKSA”

Oleh:
Rizki Putri Andini R 1710221017

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di


bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto

Telah disetujui
Pada tanggal: Agustus 2018

Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Indah Rachmawati, Sp.P

1
I. LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M
Usia : 76 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Alamat : Randegan 04/04 Wangon
Tanggal masuk : 19 Juni 2018
Tanggal Periksa : 31 Juli 2018
No. CM : 02061262

II. ANAMNESIS
1. Keluhan utama : Sesak napas
2. Keluhan tambahan : Batuk kering, keringat di malam hari, badan
terasa lemas disertai demam naik-turun.
3. Riwayat penyakit sekarang:
Pasien rujukan dari RS Umum An Ni’mah datang ke IGD RSMS
dengan keluhan sesak napas sejak 3 hari sebelum masuk RS Margono
Soekardjo. Sesak napas berlangsung terus menerus, semakin memberat,
tidak disertai bunyi mengi, tidak dipengaruhi oleh aktivitas dan cuaca
dingin. Sesak napas memberat saat pasien batuk dan pada saat posisi
pasien miring ke kanan. Sesak napas terasa membaik saat istirahat tiduran,
terutama pada posisi miring ke kiri dan saat diberikan oksigen. Keluhan
sesak napas sebelumnya sudah dirasakan hilang timbul sejak 1 bulan
sebelum masuk rumah sakit.
Pasien juga mengeluh adanya batuk kering. Batuk dirasakan sejak
1 bulan sebelum masuk RS Margono Soekardjo dan memberat sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit. Batuk dirasakan semakin lama semakin
memberat. Batuk tidak dipengaruhi oleh aktivitas dan cuaca dingin. Pasien
mengaku tidak pernah batuk disertai darah maupun lendir.
Pasien juga mengeluhkan demam, lemas, dan sering berkeringat
pada malam hari. Demam yang dialami pasien sempat naik turun. Waktu
suhu tubuh pasien naik-turun tidak tentu dan tidak selalu naik saat sore
hingga malam hari. Pasien belum pernah mengukur suhu tubuhnya

2
sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengaku tidak merasa mengalami
penurunan berat badan dan nafsu makan yang berkurang. Riwayat nyeri
dada, mual, muntah disangkal. Pasien belum pernah mengalami keluhan
yang sama sebelumnya dan tidak pernah mengalami pengobatan OAT.
Pasien sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan bakteriologis BTA
sebanyak 3 kali pada tanggal 18-19 Juli 2018 di RS Umum An Ni’mah
dengan ketiga hasilnya negatif. Menurut pengakuan pasien, tidak ada
keluarga maupun orang-orang di sekitar pasien yang mengalami keluhan
serupa.

4. Riwayat penyakit dahulu


a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat asma : disangkal
d. Riwayat penyakit paru : disangkal
e. Riwayat konsumsi OAT : disangkal
f. Riwayat pengobatan ARV : disangkal
5. Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat asma : disangkal
d. Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat penyakit paru : disangkal
f. Riwayat konsumsi OAT : disangkal

6. Riwayat sosial dan exposure


a. Community
Pasien tinggal di lingkungan yang padat penduduk. Rumah satu
dengan yang lain cukup berdekatan. Hubungan antara pasien dengan
tetangga dan keluarga baik. Anggota keluarga pasien yang tinggal satu
rumah dengan pasien dan tetangga di sekitar pasien tidak memiliki
keluhan seperti pasien.
b. Home
Pasien tinggal bersama istrinya. Pasien memiliki 4 orang anak yang
sudah memiliki tempat tinggal masing-masing. Pasien memiliki 6
orang cucu, yaitu tiga orang berusia sekitar 20 tahun, dua orang
berusia sekitar 18 tahun, dan satu orang masih berusia 8 tahun. Pasien
mengatakan cucu pasien tersebut sering berkunjung ke rumah pasien,

3
namun tidak mengalami keluhan seperti pasien. Rumah pasien
berdinding tembok, berlantai ubin dan memiliki langit-langit dan
beratap genting. Rumah pasien cukup lembab, pencahayaan kurang,
dan memiliki jendela serta ventilasi yang kurang memadai.
c. Occupational
Pasien merupakan seorang petani. Pasien mengaku sudah tidak bekerja
sejak dirawat di rumah sakit.
d. Personal Habbit
Pasien mengaku makan teratur 3 kali sehari. Pasien mempunyai
kebiasaan merokok sejak usia 40 tahun, sehari dapat menghabiskan 1
bungkus rokok, namun saat ini pasien mulai berhenti merokok.
Riwayat konsumsi alkohol, narkoba, kebiasaan mengkonsumsi kopi
disangkal. Pasien mengatakan tidak rutin berolahraga, kegiatan sehari-
hari sebagai petani.

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan umum : sedang
2. Kesadaran : compos mentis
3. Vital sign
TD : 130/80 mmHg
N : 78 x / menit
RR : 24 x / menit
S : 36,1oC
4. Berat badan : 70 kg
5. Tinggi badan : 165 cm

Status Generalis
Bentuk kepala : Mesocephal, simetris, tanda radang (-)
Rambut : Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut, terdistribusi
merata
Mata : Simetris, edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+) normal isokor 3 mm
Telinga : Discharge (-/-), deformitas (-/-)
Hidung : Discharge (-/-), deformitas (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : Bibir pucat (-), sianosis (-), lidah sianosis (-), atrofi papil
lidah (-)

4
Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP 5 ±
2 cm

Pulmo
Anterior
Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi interkostal (-), ketinggalan
gerak (-), jejas (-), barrel chest (-)
Palpasi : Vokal fremitus hemitoraks kanan > hemitoraks kiri,
dinding thoraks teraba seperti kertas
Perkusi : Hipersonor di lapang kiri paru, redup di basal paru kiri
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+ menurun, RBH (-/-), RBK (-/+),
wheezing (-/-)
Posterior
Inspeksi : Dinding punggung simetris, retraksi interkostal (-),
ketinggalan gerak (-), jejas (-), barrel chest (-), kelainan
vertebrae (-)
Palpasi : Vokal fremitus hemitoraks kanan > hemitoraks kiri
Perkusi : Hipersonor di lapang kiri paru, redup di basal paru kiri
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+ menurun, RBH (-/-), RBK
(-/+), wheezing (-/-)
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC V linea midclavicula sinistra,
kuat angkat (-), pulsasi epigastrium (-), pulsasi
parasternal (-)
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V linea midclavicula sinistra
dan kuat angkat (-)
Perkusi : Batas ataskanan : SIC II LPSD
Batas ataskiri : SIC II LPSS
Batas bawahkanan : SIC IV LPSD
Batas bawahkiri : SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, Gallop (-), Murmur (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Hipertimpani, tes pekak alih (-), pekak sisi (-)
Palpasi : Supel, undulasi (-), nyeri tekan (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba

Ekstremitas

5
Superior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-),
clubbing finger (-), sianosis (-)
Inferior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-)

IV. Pemeriksaan Penunjang


A. Pemeriksaan Laboratorium RSMS

6
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Kimia Klinik
Tanggal 21/7/2018
Albumin 1.87 L 3.4-5.0 g/dL
Kimia Klinik
Tanggal 24/7/2018
Albumin 1.92 L
Darah Lengkap
Tanggal 27/7/2018
Hemoglobin 12.2 11.2-17.3 g/dL
Leukosit 16.670 H 3.600-10.600 U/L
Hematokrit 39 L 40-52 %
Eritrosit 4.6 4.4-5.9 ^6/uL
Trombosit 449.000 H 150.000– 440.000 /uL
MCV 84.7 80-100 fL
MCH 26.7 26-34 Pg/cell
MCHC 31.5 L 32 – 36 %
RDW 15.9 H 11.5 – 14.5 %
MPV 9.8 9.4-12.4 fL
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0.2 0–1%
Eosinofil 0.7 L 2–4%
Batang 5.4 H 3–5%
Segmen 89.4 H 50 – 70 %
Limfosit 2.0 L 25 – 40 %
Monosit 2.3 2–8%
Kimia Klinik
SGOT 35 15-37 U/L
SGPT 93 H 16 – 63 U/L
Cairan Pleura
Tanggal 23/07/2018
Transudat: (Kekuningan)
Fisis
Eksudat: (Coklat, Merah, Hijau, Krem, Kuning, Putih
Warna Kuning
Merah Muda/Pink
Transudat: (Jernih)
Kejernihan Agak Keruh
Eksudat: (Kemerahan, Keruh, Purulen)
Transudat: (Negatif)
Bekuan Negatif
Eksudat: (Positif)
Transudat: <1.015
Berat Jenis 1.015
Eksudat: >1.015
Transudat: <300/uL
Jumlah Sel 1050.0 H
Eksudat: >1000/uL
Hitung Jenis
Limfosit 35%
Segmen 65%
Tes Rivalta Positif
Transudat: =Kadar di serum
Glukosa 6.0 mg/dL
Eksudat: 30 mg/lebih<Kadar di serum
Transudat: <3 g/Dl
Protein 3.7 g/dL
Eksudat: >3 g/dL

7
B. Pemeriksaan Foto Thorax

Kesan: Cor tak membesar


Gambaran contusio pulmonum
Hidropneumotoraks kiri
Pneumomediastinum
Efusi pleura kanan
Emfisema subcutis

C. Pemeriksaan TCM (26/07/2018)


MTB Detected High
Rifampicin Resistance Not Detected

V. Diagnosis Kerja
1. TB Paru Kasus Baru, BTA Negatif, TCM Positif High, Lesi Luas, Status
B20 Tidak Diperiksa
2. Community Acquired Pneumonia (CAP)
3. Hidropneumothorax sinistra
4. Emfisema subkutis
5. Hipoalbumin (1.87)
6. Insufisiensi hepar

VI. Penatalaksanaan
1. Terapi
a. Farmakologis
IVFD NaCl 0.9% 20 tpm
Inj Streptomisin 2x500 mg IM (test)
PO Cefixim 2x100 mg
PO Ranitidin 2x1 tab AC
PO Ketorolac 2x1 tab PC

8
PO Kodein 2x10 mg
VIP Albumin 3x1
Vitamin B6 1x1 tab (pagi)
Rifampisin 600 mg 1x1 tab a.c (07.00 pagi)
Izoniazid 300 mg 1x1 tab p.c (07.10 pagi)
Etambutol 500 mg 1x2 tab p.c (07.20 pagi)

b. Non Farmakologi
- Rawat inap
- Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakit, cara penularan,
pengobatan serta efek samping obat.
- Konsumsi makanan bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
- Lakukan screening pada anggota keluarga untuk tindakan pencegahan
dan pengobatan dini jika keluarga tertular.
- Edukasi tentang kebersihan lingkungan rumah, seperti membuka
jendela setiap hari agar sinar matahari dan sirkulasi udara bagus.
- Edukasi keluarga agar selalu menggunakan pengaman saat kontak
dengan pasien.
- Edukasi pasien untuk selalu memakai masker, tidak batuk, bersin, serta
membuang dahak sembarangan.

2. Monitoring
a. Monitoring
1) Keadaan umum dan kesadaran
2) Tanda vital
3) Evaluasi klinis
- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan
- Evaluasi respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat
serta ada tidaknya komplikasi penyakit
- Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik.
4) Evaluasi bakteriologis (0-2-5-8 bulan pengobatan)
- Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan
- Akhir bulan ke 5 pengobatan
- Akhir pengobatan
- Bila ada fasilitas: dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi

5) Evaluasi radiologik (0-8 bulan pengobatan)


- Sebelum pengobatan
- Setelah 2 bulan pengobatan untuk pasien dengan BTA (-)
- Pada akhir pengobatan
6) Evaluasi efek samping secara klinik

9
- Periksa fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin)
- Periksa fungsi ginjal (ureum, kreatinin)
- Periksa GDS, G2PP, asam urat
- Pemeriksaan visus
- Pemeriksaan keseimbangan dan pendengaran
7) Evaluasi keteraturan berobat

VII. Prognosis
Keberhasilan kesembuhan penyakit tuberkulosis tergantung pada:
a. Kepatuhan minum obat
b. Komunikasi dan edukasi serta pengawasan minum obat
c. Umur penderita
d. Penyakit yang menyertai
e. Resistensi obat
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tuberkulosis Paru


A. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes,
2011).

B. Etiologi
Penyakit Tb paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini memiliki bentuk batang dan
bersifat tahan asam, oleh karena itu dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam
(BTA). Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk
atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak
(droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada

10
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat
bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya
penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan
kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut (Depkes, 2011).
Secara mikrobiologi, Mycobacterium tuberculosis merupakan basil batang
lurus dan tipis berukuran sekitar 0.4 x 3 μm. Pada media artifisial, bakteri ini
memiliki bentuk kokoid dan filamentosa yang terlihat dalam berbagai
morfologi dari satu spesies ke spesies lain. Bakteri ini tidak dapat dimasukkan
kedalam gram positif maupun negative, karena ketika diwarnai dengan
pewarnaan dasar, bakteri tersebut tidak dapat dihilangkan warnanya oleh
alcohol, kecuali dengan iodin (Jawetz, 2014).
C. Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih menjadi salah satu masalah
kesehatan di masyarakat dunia, meskipun upaya pengendalian dengan strategi
DOTS sudah diterapkan di banyak negara dari tahun 1995. Tuberkulosis (TB)
paru dalam laporan WHO tahun 2013 diperkirakan terdapat 8.6 juta kasus TB
di dunia pada tahun 2012, dimana 1.1 juta orang diantaranya adalah pasien TB
dengan HIV positif. TB banyak terjadi di negara berkembang, 75 % pasien TB
di dunia terjadi di benua Afrika. Kelompok usia pasien yang mengalami TB
paling banyak adalah usia produktif (15 – 50 tahun), sehingga akan
menurunkan tingkat produktifitas dari pengidap TB dan menurunkan angka
pendapatan rumah tangga. Tingkat kematian akibat TB juga tinggi. Pada tahun
2012, dilaporkan terdapat 410.000 kematian dari 2.9 juta angka kejadian TB.
(Kemenkes RI, 2014).

D. Faktor Risiko
TB sebagai penyakit yang memiliki tingkat penularan tinggi, memiliki
beberapa faktor resiko yang menyebabkan angka kejadian TB selalu
meningkat.
1. Kebiasaan masyarakat dan penderita

11
TB adalah penyakit yang sangat mudah menular, terutama melalui udara,
misal dari basil basil yang terkandung di dahak penderita yang akan
bertebangan saat penderita batuk. Hal ini tak lepas dari sikap masyarakat
yang enggan mengenakan masker saat batuk. Sehingga, saat seseorang
mengidap TB dan terbatuk tanpa mengenakan masker, ditakutkan basil
tersebut terhirup oleh orang sehat.
2. Daya tahan tubuh individu
Daya tahan tubuh menjadi fator penting dalam penularan TB.
Orangdengan daya tahan tubuh lemah, misal penderita HIV/AIDS, akan
lebih rentan untuk terserang TB dibandingkan orang dengan sistem imun
yang kuat.

3. Status gizi individu


Status gizi yang buruk, misal malnutrisi, kekurangan kalore, protein dan
nutrisi akan mempengaruhi daya tahan tubuh individu sehingga lebih
rentan terserang TB
4. Lingkungan tempat tinggal.
TB mudah menular pada mereka yang memiliki tempat tinggal di
lingkungan padat penduduk, kurang paparan sinar matahari dan sirkulasi
udara yang buruk (pengap)
(Manalu, 2010)

E. Patogenesis
1. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian
mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer
akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis
lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di
hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis
regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan
mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)

12
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,
garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
c. Menyebar dengan cara :
1) Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian
penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus
yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan
menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang
atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis
tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
2) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke
paru sebelahnya atau tertelan
3) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan
dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak
terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan
keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis
tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat
menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang,
ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan
penyebaran ini mungkin berakhir dengan sembuh, yaitu dengan
meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak
setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma) atau meninggal.
Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer (PDPI,
2006).

2. Tuberkulosis Post Primer


Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah
tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis
postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis
bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan
sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah
kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan.
Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya

13
terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang
dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni
ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
a. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
b. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi
pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang
tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju
dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
c. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan
kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju
keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan
menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi:
- Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang
pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang
disebutkan di atas
- Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh,
tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti
lagi
- Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau
kaviti menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya
mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus
dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).
(PDPI, 2006).

F. Definisi Pasien TB
1. Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan bakteriologis
(Kemenkes, 2014)
Adalah seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil pemeriksaan
contoh uji biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan
atau tes diagnostic cepat yang direkomendasikan oleh Kemenkes RI
(Misalnya : GeneXpert). Termasuk dalam kelompok ini adalah :
a. Pasien TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif

14
d. Pasien ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan
BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
2. Pasien TB terdiagnosis secara klinis
Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara
bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan
diputuskan untuk diperikan pengobatan TB. Termasuk kelompok pasien ini
adalah :
a. Pasien TB Paru BTA negative dengan hasil pemeriksaan foto thorax
mendukung TB
b. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun
laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis
c. TB anak terdiagnosis dengan sistem skoring.

G. Klasifikasi Tuberkulosis Paru


2. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA) (PDPI, 2006)
a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil
BTA positif
2) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
3) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan biakan positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis
aktif
2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan M. tuberculosis

3. Berdasarkan tipe penderita (PDPI, 2006)


a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan
dahak BTA positif atau biakan positif.Bila BTA negatif atau biakan

15
negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif / perburukan dan
terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
1) Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan
dll)
2) TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang
berkompeten menangani kasus tuberkulosis
c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan
tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau akhir pengobatan.
e. Kasus kronik
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan
pengawasan yang baik
f. Kasus Bekas TB:
1) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif,
atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat
pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung
2) Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah
mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang
tidak ada perubahan gambaran radiologi.

H. Manifestasi Klinis
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal
dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal
ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat)
1. Gejala respiratorik
- batuk > 2 minggu
- batuk darah
- sesak napas
- nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis
pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit,

16
maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi
karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang
dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
- Demam
- Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat
badan menurun
3. Gejala tuberkulosis ekstraparu
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak
nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat
gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak
napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan
(PDPI, 2006).

I. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Pada Konsensus TB dari PDPI tahun 2006. Gejala klinis TB terdiri
atas gejala respiratorik dan gejala sistemik. Gejala respiratorik yang
terdapat pada pasien ini antara lain adalah sesak nafas, batuk berdahak.
Gejala sistemik pada terdiri atas malasie, berat badan berkurang dan
keringat malam.
a. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat TB pada pasien sangat penting untuk ditanyakan untuk
menentukan tatalaksana yang akan diberikan, karena pemberian OAT
didasari pada kategori pasien TB berikut (Kemenkes RI, 2014; PDPI,
2006):
1) Pasien baru TB
Pasien TB yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1
bulan (<28 dosis).
2) Pasien yang pernah diobat TB
Pasien TB yang sebelumnya pernah menelan OAT 1 bulan (<28
dosis) atau lebih.
a) Pasien kambuh

17
Pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis.
b) Pasien yang diobati kembali setelah gagal
Pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada akhir
pengobatan.
c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat
Pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up
(klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pasien setelah putus
berobat/deafult)
d) Lain-lain
Pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan
sebelumnya tidak diketahui.
e) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui
Adapun selain klasifikasi dari lama penggunaan obat, diagnosis
TB paru sebaiknya dinyatakan berdasarkan klasifikasi berikut:

1) Lokasi anatomi dari penyakit


a) TB paru
TB yang terjadi pada parenkim paru. Milier TB dianggap
sebagai TB paru, karena adanya lesi pada jaringan paru.
Limfadenitis TB dirongga dada atau efusi pleura tanpa
terdapat gambaran radiologis yang mendukung paru dinyatakan
sebagai TB ekstra paru.
Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga
menderita TB ekstra paru diklasifikasikan sebagai pasien TB
paru.
b) TB ekstra paru
TB yang terjadi pada organ selain paru (pleura, kelenjar
limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi selaput otak, dan
tulang). Diagnosis dapat ditetapkan berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis.
2) Hasil konfirmasi pemeriksaan bakteriologis
a) TB paru BTA positif
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukan
hasil BTA positif atau hasil satu spesimen dahak BTA positif
ditunjang dengan gambaran radiologi aktif atau hasil
pemeriksaan spesimen dahak BTA positif dan biakan positif.
b) TB paru hasil biakan M.tb positif

18
c) TB paru hasil tes cepat M.tb positif
d) TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan
BTA, biakan, maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang
terkena.
e) TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis
f) TB paru BTA negatif
Hasil pemeriksaann dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukakan TB
aktif serta tidak respon terhadap antibiotik spektrum luas atau
hasil spesimen dahak 3 kali negatif dengan biakan M.tb positif.
3) Riwayat pengobatan sebelumnya
4) Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
a) Mono resistant (TB MR)
Resisten terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja.
b) Poli resistant (TB PR)
Resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain
isoniazid dan rifampisin secara bersamaan.
c) Multi drug resistant (TB MDR)
Resistan terhadap isoniazid dan rifampisin secara bersamaan.
d) Extensice drug resistant (TB XDR)
TB MDR yang sekaligus juga resisten terhadap salah satu OAT
golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini
kedua jenis suntikan (kanamisin, kapreomisin, dan amikasin).
e) Resistant Rifampicin (TB RR)
Resistan terhadap rimfampisin dengan atau tanpa resisten
terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode
genotip (tes cepat) atau metode fenotip (koncensional)
5) Gambaran radiologis
a. Lesi minimal
b. Lesi luas
6) Status HIV
a. TB dengan HIV Positif (pasien ko-infeksi TB/HIV)
Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang
mengonsumsi ART atau positif saat diagnosis TB.
b. TB dengan HIV negatif
Hasil tes HIV negatif sebelumnya atau negatif pada saat
diagnosis TB.
c. TB dengan status HIV tidak diketahui
(Kemenkes RI, 2014; PDPI, 2006):

19
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang ditemukan pada pasien TB tergantung dari
organ yang terlibat. Pada pasien dengan TB paru, temuan pemeriksaan
fisik ditentukan juga oleh luas kelainan struktur paru. Awalnya mungkin
tidak didapatkan kelainan pada pemeriksaan fisik, biasanya kelaian pada
awal perkembangan penyakit terdapat pada daerah lobus superior terutama
daerah apex dan segmen posterior. Pada auskultasi paru dapat ditemukan
suara nafas bronkial, amforik, suara nafas melemah, dan ronki basah.
Pasien dengan pleuritis TB mungkin didapatkan adanya efusi pada rongga
pleura, sehingga pada perkusi ditemukan pekak. Pasien dengan
limfadenitis TB dapat terlihat pembesaran keenjar getah bening di daerah
leher dan ketiak (Depkes RI, 2014; PDPI, 2006).

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan bakteriologis
1) Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis,
menilai potensi penularan dan menilai keberhasilan terapi.
Pemeriksaan dilakukan dengan mengumpulkan sampel uji dahak 3
kali dalam dua hari kunjugan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-
Sewaktu (SPS).
a) Sewaktu
Dahak yang ditampung pada saat pasien TB berkunjung ke
fasilitas kesehatan. Lalu pasien membawa dua pot dahak
kerumah.
b) Pagi
Dahak yang ditampung pada pagi hari kedua setelah kunjungan
ke fasilitas kesehatan.
c) Sewaktu
Dahak yang ditampung pada saat pasien TB menyerahkan
dahak pagi pada hari kedua kunjungan ke fasilitas kesehatan .
Pada pasien pemeriksaan dahak mikroskopis sedang dilakukan
akan tetapi belum ada hasil sampai saat ini sehingga belum bisa
menentukan status BTA pasien (PDPI, 2006).

2) Pemeriksaan biakan dahak

20
Pemeriksaan biakan bertujuan untuk mengidentifikasi M.tb
dan menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien TB ekstra paru,
TB anak, atau pemeriksan dahak dengan hasil BTA negatif. Pada
pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan biakan dahak (PDPI, 2006).

b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang biasanya digunakan adalah pemeriksaan foto
thorax PA dengan atau tanpa foto lateral. Gambaran radiologi dengan
kecurigaan TB aktif adalah (PDPI, 2006):
1) Bayangan berawan atau nodular di segmen apikal dan posterior
lobus superior paru dan segmen superior lobus inferior paru
2) Kavitas labih dari satu dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
3) Bayangan bercak milier
4) Efusi pleura unilateral
Sedangkan pada TB inaktif terdapat gambaran
1) Fibrotik pada segmen apikal superior dan atau posterior lobus
superior
2) Kalsifikasi atau fibrotik
3) Fibrotoraks
Pada saat melihat hasil radiologi foto thorax pasien TB penentuan
luas lesi harus dilakukan terutama pada pasien dengan BTA dahak
negatif. Penetuan lesi dapat dibagi menjadi dua yaitu
a) Lesi minimal
Lesi mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak
melebihi dari volume paru yang terletak diatas chondrosternal
junction dari iga kedua depan dan processus spinosus dari
vertebrae torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5 atau sela
iga 2 dan tidak didapatkan kavitas.
b) Lesi luas
Luas lesi melebihi lesi minimal
(PDPI, 2006)

4. Alur diagnosis TB
Diagnosis TB paru dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
bakteriologis untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan bakteriologis yang
dianjurkan adalah pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan, atau tes
cepat. Apabila hasil pemeriksaan bakteriologis menunjukkan hasil negatif,

21
maka penegakkan diagnosis TB dilakukan dengan menggunakan hasil
pemeriksaan klinis dan penunjang (minimal foto thorax), Selain itu, jika
tidak terdapat fasilitas penunjang, dapat dilakukan pemberian antibiotik
spektrum luas non OAT dan non quinolon untuk melihat respon terapi. Jika
tidak terdapat perbaikan dengan tanda klinis TB maka pasien dapat
didiagnosis TB. Diagnosis TB tidak boleh hanya mengandalkan
pemeriksaan serologis saja, foto thorax saja, dan uji tuberkulin saja (Depkes
RI, 2014).

Gambar 2.1 Alur diagnosis dan tindak lanjut TB paru pada pasien dewasa
(Depkes RI, 2014).

5. Diagnosis TB pada Anak


Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis
baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan

22
merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit,
maka diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem
skor IDAI telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak dengan
menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan terhadap
gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi
digunakan oleh program nasional pengendalian tuberkulosis untuk
diagnosis TB anak.
Tabel 2.1. Sistem skor gejala dan pemeriksaan penunjang TB

a. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.


b. Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik
lainnya seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
c. Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat
langsung didiagnosis tuberkulosis.
d. Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan
tabel berat badan.
e. Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
f. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
g. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
h. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih
lanjut

23
Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6), harus
ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti
tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan
kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya
sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal,
pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan, dan lain lainnya
(Kemenkes RI, 2011).

J. Pengobatan pasien Tuberkulosis


1. Prinsip pengobatan TB (Depkes RI, 2014).
a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat
mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi
b. Diberikan dalam dosis yang tepat
c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara lansgung oleh Pengawas
Menelan obat (PMO) sampai selesai pengobatan
d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam
tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan

2. Tahapan pengobatan TB (Depkes RI, 2014).


a. Tahap awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Tahap ini bertujuan untuk menurunkan
jumlah kuman secara efektif dan meminimalisir pengaruh kuman yang
mungkin resisten. Tahap ini dilakukan sealma 2 bulan. Biasanya setelah
melewati tahap awal secara teratur daya penularan pasien TB akan
menurun setelah 2 minggu tahap awal.
b. Tahap lanjutan
Tahap ini berfungsi untuk membunuh sisa kuman yang masih ada
didalam tubuh khususnya kuman peristen agar tidak terjadi
kekambuhan.
gal ginjal akut

Obat-obat Antituberkulosis
Isoniazid (INH)
merupakan obat yang cukup efektif dan murah. Seperti rifampisin, INH
harus diberikan dalam setiap regimen pengobatan, kecuali bila ada
kontraindikasi. Efek samping yang sering terjadi adalah neuropati

24
perifer yang biasanya terjadi bila ada faktor-faktor yang meningkatkan
risiko seperti diabetes melitus, alkoholisme, gagal ginjal kronik dan
malnutrisi dan HIV. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian
piridoksin 5-10 mg/hari. Efek samping lain seperti hepatitis dan psikosis
sangat jarang terjadi (BPOM RI, 2015).

Rifampisin
Rifamisin merupakan komponen kunci dalam setiap regimen
pengobatan. Sebagaimana halnya INH, rifampisin juga sebaiknya selalu
diikutkan kecuali bila ada kontraindikasi. Pada dua bulan pertama
pengobatan dengan rifampisin, sering terjadi gangguan sementara pada
fungsi hati (peningkatan transaminase serum), tetapi biasanya tidak
memerlukan penghentian pengobatan. Kadang-kadang terjadi gangguan
fungsi hati yang serius yang mengharuskan penggantian obat terutama
pada pasien dengan riwayat penyakit hati. Selama fase intermiten (fase
lanjutan) dilaporkan adanya 6 gejala toks is itas: influenza, sakit perut,
gejala pernafasan, syok, gagal ginjal, purpura trombositopenia, dialami
oleh 20-30% pasien. Rifampisin menginduksi enzim-enzim hati
sehingga mempercepat metabolisme obat lain seperti estrogen,
kortikosteroid, fenitoin, sulfonilurea dan antikoagulan; interaksi: lihat
Lampiran 1. Penting: efektivitas kontrasepsi oral akan berkurang
sehingga perlu dipilih cara KB yang lain (BPOM RI, 2015).

Pirazinamid
Pirazinamid bersifat bakterisid dan hanya aktif terhadap kuman intrasel
yang aktif membelah dan Mycobacterium tuberculosis. Efek terapinya
nyata pada dua atau tiga bulan pertama saja. Obat ini sangat bermanfaat
untuk TB meningitis karena penetrasinya ke dalam cairan otak. Tidak
aktif terhadap Mycobacterium bovis. Toksisitas hati yang serius kadang-
kadang terjadi (BPOM RI, 2015).

Etambutol
Etambutol digunakan dalam regimen pengobatan bila diduga ada
resistensi. Jika risiko resistensi rendah, obat ini dapat ditinggalkan.
Untuk pengobatan yang tidak diawasi, etambutol diberikan dengan dosis

25
25 mg/kg bb/hari pada fase intensif dan 15 mg/kg bb bb/hari pada fase
lanjutan (atau 15 mg/kg bb/hari selama pengobatan). Pada pengobatan
intermiten di bawah pengawasan, etambutol diberikan dalam dosis 30
mg/kg bb 3 kali seminggu atau 45 mg/kg bb 2 kali seminggu. Efek
samping etambutol yang sering terjadi adalah gangguan penglihatan
dengan penurunan visus, buta warna dan penyempitan lapang pandang.
Efek toksik ini lebih sering bila dosis berlebihan atau bila ada gangguan
fungsi ginjal. Gangguan awal penglihatan bersifat subjektif. Bila hal ini
terjadi maka etambutol harus segera dihentikan sehingga diharapkan
fungsi penglihatan akan pulih. Obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan
jika pasien tidak dapat mendeteksi perubahan visus yang terjadi.
Pemberian pada anak sebaiknya dihindari sampai usia 5 tahun, yaitu di
saat mereka bisa melaporkan gangguan penglihatan. Pemeriksaan fungsi
mata dianjurkan dilakukan sebelum pengobatan (BPOM RI, 2015).

Streptomisin
Streptomisin saat ini semakin jarang digunakan, kecuali untuk kasus
resistensi. Obat ini diberikan secara intramuskuler dengan dosis 15
mg/kg bb, maksimal 1 gram perhari. Untuk berat badan kurang dari 50
kg atau usia lebih dari 40 tahun, diberikan 500-750 mg/hari. Untuk
pengobatan intermiten yang diawasi, streptomisin diberikan 1 g tiga kali
seminggu dan diturunkan menjadi 750 mg tiga kali seminggu bila berat
badan kurang dari 50 kg. Untuk anak diberikan dosis 15-20 mg/kg bb/
hari atau 15-20 mg/kg bb tiga kali seminggu untuk pengobatan yang
diawasi. Kadar obat dalam plasma sebaiknya diukur terutama untuk
pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Efek samping akan meningkat
setelah dosis kumulatif 100 g, yang hanya boleh dilampaui dalam
keadaan yang sangat khusus (BPOM RI, 2015).

Obat-obat sekunder diberikan untuk TB yang disebabkan oleh kuman


yang resisten, atau bila obat primer menimbulkan efek samping yang
tidak bisa ditoleransi. Termasuk obat sekunder adalah sikloserin,
makrolida generasi baru (azitromisin dan klaritromisin), dan kuinolon
(siprofloksasin dan ofloksasin) (BPOM RI, 2015).

26
Regimen Pengobatan dan Kategori Pasien.
Tersedia beberapa kemungkinan regimen. pengobatan tergantung dari
kategori pasien. Tabel 2.2. menyajikan beberapa regimen pengobatan
yang dapat digunakan untuk berbagai kategori (BPOM RI, 2015).

Tabel 2.2. Beberapa Regimen Pengobatan

Fase intensif Fase lanjutan


Kategori Kasus
tiap hari 3 x seminggu
I Kasus baru BTA positif; BTA 2HRZE 4H3R3
negatif/rontgen positif dengan
kelainan parenkim luas; Kasus
TB ekstra paru berat
II Relaps BTA positif; gagal BTA 2HRZES 5H3R3E3
positif; Pengobatan terputus 1HRZE
III Kasus baru BTA 2 HRZ 4H3R3
negatif/rontgen positif sakit
ringan; TB ekstra paru ringan
Sisipan Bila pada ahir fase intensif, 1 HRZE
pengobatan pasien baru BTA
positif dengan kategori 1 atau
pasien BTA positif pengobatan
ulang dengan kategori 2, hasil
pemeriksaan dahak masih BTA
positif.

Keterangan:
E=Etambutol; H=Isoniazid; R=Rifampisin; Z=Pirazinamid;
S=Streptomisin. Angka sebelum regimen menunjukkan lamanya
pengobatan dalam bulan. Angka indeks menunjukkan frekuensi
pemberian per minggu. Bila tidak ada angka indeks sesudah obat berarti
obat diberikan tiap hari.

Sekarang ini telah tersedia obat antituberkulosis dalam bentuk


kombinasi dosis tetap. Pemakaian obat antituberkulosis-kombinasi dosis
tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Tablet
OAT-KDT terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan dikemas dalam
satu paket untuk satu pasien (BPOM RI, 2015).

27
1) Obat anti tuberkulosis (OAT) (Depkes RI, 2014).
Tabel 2.3 OAT lini pertama (Depkes RI, 2014).

Tabel 2.4 Dosis OAT lini pertama (Depkes RI, 2014).

Tabel 2.5 OAT pada TB MDR (Depkes RI, 2014).

28
2) Panduan OAT lini pertama
a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
OAT dapat berupa kombinasi dosis tetap (OAT-KDT) yang terdiri dari
kombinasi 2 atau 4 jenis obat. Dosis disesuaikan dengan berat badan
pasien. Selain OAT-KDT, obat dapat berupa paket kombipak yang
merupakan obat lepas yang terdiri dari isoniazid, rifampisin,
pirazinamid, dan etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. OAT
kategori 1 diberikan kepada pasien:
1) TB paru terkonfirmasi bakteriologis
2) TB paru terdiagnosis klinis
3) TB ekstra paru

Tabel 2.5 Dosis OAT-KDT kategori 1 (Depkes RI, 2014).

Tabel 2.6 Dosis Kombipak kategori 1 (Depkes RI, 2014).

29
b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
OAT kategori 2 diberikan kepada pasien:
1) Pasien kambuh
2) Pasien gagal pada pengobatan dengan panduan OAT kategori 1
3) Putus berobat

Tabel 2.7 Dosis OAT-KDT kategori 2 (Depkes RI, 2014).

Tabel 2.8 Dosis Kombipak kategori 2 (Depkes RI, 2014).

Kategori anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10 hari

3) Penatalaksanaan efek samping OAT


Tabel 2.9 Efek samping obat tuberkulosis dan penanganannya
(BPOM RI, 2015)
Efek samping Kemungkinan Penanganan
penyebab
Minor Teruskan obat, periksa
Anoreksia, mual, Rifampisin Berikan obat pada malam
sakit perut hari sesudah makanan
Nyeri sendi Pirazinamid Aspirin
Rasa panas di kaki INH Piridoksin 100mg/hari
Urin kemerahan Rifampisin Terangkan kepada pasien
Mayor Hentikan obat penyebab

30
Gatal-gatal, Tiasetazon Hentikan obat
kemerahan di kulit
Ketulian Streptomisin Hentikan streptomisin, ganti
dengan etambutol
Pusing, vertigo. Streptomisin Hentikan streptomisin, ganti
Nistagmus dengan etambutol
Ikterus (tanpa Berbagai antiTB Hentikan antiTB
sebab lain)
Muntah, bingung Berbagai antiTB Hentikan obat, segera
(kecurigaan gagal periksa fungsi hati dan
hati) waktu protrombin
Gangguan Etambutol Hentikan etambutol
penglihatan
Syok, purpura, Rifampisin Hentikan rifampisin
gagal ginjal akut

Tabel 2.10 Efek samping ringan (Depkes RI, 2014).

Tabel 2.11 Efek samping berat (Depkes RI, 2014).

31
K. Komplikasi Tuberkulosis Paru
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum
pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah (PDPI, 2006):
1. Batuk darah
1. Pneumotoraks
2. Gagal napas
3. Gagal jantung
4. Efusi pleura
Setelah diketahui bahwa TB paru terutama menyerang paru-paru,
kerusakan paru-paru merupakan salah satu komplikasi yang paling sering, dan
mungkin menyebabkan kegagalan paru-paru. Komplikasi TB paru antaranya
adalah gangren paru. Selain itu ditemukan juga trombosis vaskular dan
arteritis. Apabila penyakit ini tidak diobati atau belum diobati pada waktu yang
tepat dan cara yang tepat, penyakit ini bisa menjadi sangat serius bahkan
mengancam nyawa. Penyakit ini juga dapat menyebar ke bagian lain dari
tubuh, sehingga membuat pengobatan lebih sulit, terutama jika menyebar ke
tulang, karena kerusakan pada sendi diikuti dengan rasa sakit sangat mungkin
akan dialami kemudian. Selain itu terjadi juga pneumotoraks dan efusi pleura
(Kemenkes RI, 2014).
Ginjal dan kelenjar getah bening adalah organ yang paling umum untuk
komplikasi tuberkulosis yang berkembang di luar paru-paru. Tuberkulosis juga
dapat mempengaruhi tulang, otak, rongga perut, membran sekitar jantung
(pericardium), sendi (pinggul dan lutut), dan organ reproduksi (Croft, 2002).

II.2 Hidropneumothorax

32
A Definisi
Hidropneumotoraks adalah suatu keadaan dimana terdapat udara dan
cairan di dalam rongga pleura yang mengakibatkan kolapsnya jaringan paru.
Cairan ini bisa juga disertai dengan nanah (empiema) dan hal ini di namakan
dengan piopneumotoraks. Sedangkan pneumotoraks itu sendiri ialah suatu
keadaan, di mana hanya terdapat udara di dalam rongga pleura yang juga
mengakibatkan kolaps jaringan paru (Alsagaff & Hord 2010). Pada kondisi
normal, rongga pleura ini tidak berisi udara sehingga paru – paru dapat leluasa
mengembang terhadap rongga dada. Udara dalam kavum pleura ini dapat
ditimbulkan oleh:
1. Robeknya pleura visceralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari
alveolus akan memasukin kavum pleura. Pneumotoraks jenis ini disebut
closed pneumotoraks. Apabila kebocoran pleura visceralis berfungsi sebagai
katup, maka udara yang akan masuk saat inspirasi tak akan dapat keluar dari
kavum pleura pada saat ekspirasi. Akibatnya udara makin lama semakin
banyak sehingga mendorong mediastinum kearah kontralateral dan
menyebabkan terjadinya tension pneumotoraks.
2. Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat hubungan
antara kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang yang terjadi ini lebih
besardari 2/3 diameter trakea, maka udara cendrung lebih melewati lubang
tersebut dibanding traktus respiratorius yang seharusnya. Pada saat inspirasi,
tekanan dalam rongga dada menurun sehingga udara dari luar masuk ke
kavum pleura lewat lubang tadi dan menyebabkan kolaps pada paru
ipsilateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga dada meningkat, akibatnya udara
dari kavum pleura keluar melalui lubang tersebut. Kondisi ini disebut
sebagain open pneumotoraks (British Thoracic Society, 2003).

B Klasifikasi
Menurut Hudak & Gallo (2006) Hidropneumotoraks dapat dibagi
berdasarkan atas beberapa hal, yaitu :
a. Berdasarkan kejadian
1) Pneumotoraks spontan primer

33
Pneumotoraks yang ditemukan pada penderita yang sebelumnya tidak
menunjukkan tanda-tanda sakit. Umunya diebabkan oleh pecahnya suatu
bleb sub pleura yang biasanya terdapat didaerah apeks paru. Faktor resiko
utama adalah merokok. Pada beberapa kasus faktor herediter juga
memegang peran, umunya penderita berpostur tinggi dan kurus.
2) Pneumotoraks spontan sekunder
Pneumotoraks yang ditemukan pada penderita yang sebelumnya telah
menderita penyakit, mungkin merupakan komplikasi dari pneumonia, abses
paru, tuberkulosis paru, asma kistafibrosis dan karsinoma bronkus. Terjadi
sebagai komplikasi penyakit paru dasarnya (underlying lung disease).
Beberapa penyakit yang sering menjadi penyebab pneumotoraks antaral ain
PPOK tipe emfisema dan tuberkulosis paru.
3) Pneumotoraks traumatika
Pneumotoraks yang timbul disebabkan robeknya pleura viseralis maupun
pleura parietalis sebagai akibat dari trauma.
4) Pneumotoraks artifisialis
Pneumotoraks yang sengaja dibuat dengan memasukkan udara ke dalam
rongga pleura, dengan demikian jaringan paru menjadi kolaps sehingga
dapat beristirahat. Pada zaman dulu pneumotoraks artifisialis sering
dikerjakan untuk terapi tuberkulosis paru (Hudak & Gallo, 2006).

b. Berdasarkan tingkat kolapsnya jaringan paru


1) Pneumotoraks totalis
Apabila seluruh jaringan paru dari satu hemitoraks mengalami kolaps.
2) Pneumotoraks parsialis
Apabila jaringan paru yang kolaps hanya sebagian.
(Hudak & Gallo, 2006)

c. Berdasarkan Jenis Fistel


1) Pneumotoraks ventil
Di mana fistelnya berfungsi sebagai ventil sehingga udara dapat masuk ke
dalam rongga pleura tetapi tidak dapat ke luar kembali. Akibatnya tekanan

34
udara di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan dapat
mendorong mediastinum ke arah kontra lateral.
2) Pneumotoraks terbuka
Di mana fistelnya terbuka sehingga rongga pleura mempunyai hubungan
terbuka dengan bronkus atau dengan dunia luar; tekanan di dalam rongga
pleura sama dengan tekanan di udara bebas.
3) Pneumotoraks tertutup
Di mana fistelnya tertutup udara di dalam rongga pleura, terkurung, dan
biasanya akan diresobsi spontan. Pembagian pneumotoraks berdasarkan
jenis fistelnya ini sewaktu-waktu dapat berubah. Pneumotoraks tertutup
sewaktu-waktu dapat berubah menjadi pneumotoraks terbuka, dan dapat
pula berubah menjadi pneumotoraks ventil (Hudak & Gallo, 2006).

C Epidemiologi
Pencatatan tentang insiden dan prevalensi hidropneumothorak belum
dilakukan, namun insiden dan prevalensi pneumotoraks berkisar antara 2,4 -
17,8 per 100.000 penduduk per tahun. Menurut Barrie dkk, ratio laki-laki
dibandingkan dengan perempuan 5:1. Ada pula peneliti yang mendapatkan
8:1. Pneumotoraks lebih sering ditemukan pada hemitoraks kanan daripada
hemitoraks kiri. Pneumotoraks bilateral kira-kira 2% dari seluruh
Spneumotoraks spontan. Insiden dan prevalensi pneumotoraks ventil 3 — 5%
dari pneumotoraks spontan. Kemungkinan berulangnya pneumotoraks
menurut James dan Studdy 20% untuk kedua kali,dan 50% untuk yang ketiga
kali (Alsagaff, 2002).

D Etiologi
Hidropneumotoraks spontan terjadi oleh karena pecahnya bleb atau kista
kecil yang diameternya tidak lebih dari 1-2 cm yang berada di bawah
permukaan pleura viseralis, dan sering ditemukan di daerah apeks lobus
superior dan inferior. Terbentuknya bleb ini oleh karena adanya perembesan

35
udara dari alveoli yang dindingnya ruptur melalui jaringan intersisial ke
lapisan jaringan ikat yang beradadi bawah pleura viseralis. Sebab pecahnya
dinding alveolus ini belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga ada dua
faktor sebagai penyebabnya, yaitu:
1) Faktor infeksi atau radang paru.
Infeksi atau radang paru walaupun minimal akan membentuk jaringan
parut pada dinding alveoli yang akan menjadi titik lemah (Darmanto, 2009).
2) Tekanan intra alveolar yang tinggi akibat batuk atau mengejan.
Mekanisme ini tidak dapat menerangkan kenapa pneumotoraks spontan
sering terjadi pada waktu penderita sedang istirahat. Dengan pecahnya bleb
yang terdapat di bawah pleura viseralis, maka udara akan masuk ke dalam
rongga pleura dan terbentuklah fistula bronkopleura. Fistula ini dapat terbuka
terus, dapat tertutup, dan dapat berfungsi sebagai ventil (Darmanto, 2009).

3) Robeknya pleura Visceralis


Sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari alveolus akan memasuki
kavum pleura. Hidropneumotoraks jenis ini disebut sebagai close
pneumotoraks. Apabila kebocoran pleura visceralis berfungsi sebagai katup,
maka udara yang masuk saat inspirasi tak akan dapat keluar dari kavun pleura
pada saat ekspirasi. Akibatnya udara semakin lama semakin banyak sehingga
mendorong mediastinum kearah kontralateral dan menyebabkan terjadinya
tension hidropneumotoraks (Darmanto, 2009).
4) Robeknya dinding dada dan pleura parietalis
Sehingga terdapat hubungan antara kavum pleura dengan dunia luar.
Apabila lubang yang terjadi lebih besar dari 2/3 daimeter trakea, maka udara
cenderung lebih melewati lubang tersebut dibanding traktus respiratorius yang
seharusnya, pada saat inspirasi tekanan dalam rongga dada menurun sehingga
udara dari luar masuk ke kavum pleura lewat lubang tadi dan menyebabkan
kolaps pada paru ipsilateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga dada meningkat,
akibatnya udara dari kavum pleua keluar melalui lubang tersebut. Kondisi ini
disebut sebagai open hidropneumotorax (Darmanto, 2009).

36
E Patofisiologi
Paru-paru dibungkus oleh pleura parietalis dan pleura visceralis.
Diantara pleura parietalis dan visceralis terdapat cavum pleura. Cavum pleura
normal berisi sedikit cairan serous jaringan.Tekanan intrapleura selalu berupa
tekanan negatif. Tekanan negatif pada intrapleura membantu dalam proses
respirasi. Proses respirasi terdiri dari 2 tahap : Fase inspirasi dan fase eksprasi.
Pada fase inspirasi tekanan intrapleura -9 s/d -12 cmH2O; sedangkan pada
fase ekspirasi tekanan intrapleura: -3 s/d -6 cmH2O. Pneumotorak adalah
adanya udara pada cavum pleura. Adanya udara pada cavum pleura
menyebabkan tekanan negatif pada intrapleura tidak terbentuk. Sehingga akan
mengganggu pada proses respirasi (Alsagaff, 2002).

F Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang timbul pada pneumotoraks tergantung pada
besarnya kerusakan yang terjadi pada sub pleura dan ada tidaknya komplikasi
penyakit paru. Gejala yang utama adalah berupa rasa sakit yang tiba - tiba
bersifat unilateral diikuti sesak napas. Gejala ini lebih mudah ditemukan bila
penderita melakukan aktivitas berat. Tapi pada sebagian kasus gejala – gejala
masih dapat ditemukan pada aktivitas biasa atau waktu istirahat. Selain itu
terdapat gejala klinis yang lain yaitu suara melemah, nyeri menusuk pada dada
waktu inspirasi, kelemahan fisik. Pada tahap yang lebih berat gejala semakin
lama akan semakin memberat, penderita gelisah sekali, trakea dan
mediastinum dapat mendorong kesisi kontralateral. Gerakan pernafasan
tertinggi pada sisi yang sakit fungsi respirasi menurun, sianosis disertai syok
oleh karena aliran darah yang terganggu akibat penekanan oleh udara, dan
curah jantung menurun (Alsagaff, 2002).
a. Biasanya akan ditemukan adanya nyeri dada yang terjadi secara tiba-tiba,
nyerinya tajam dan dapat menimbulkan rasa kencang di dada.
b. Nafas yang pendek

37
c. Nafas yang cepat
d. Batuk
e. Lemas
f. Sianosis

G Diagnosis
1. Anamnesis
Biasanya ditemukan anamnesis yang khas, yaitu rasa nyeri pada dada
seperti ditusuk, disertai sesak nafas dan kadang-kadang disertai dengan
batukbatuk.Rasa nyeri dan sesak nafas ini makin lama dapat berkurang atau
bertambah hebat. Berat ringannya perasaan sesak nafas ini tergantung dari
derajat penguncupan paru, dan apakah paru dalam keadaan sakit atau tidak.
Pada penderita dengan COPD, pneumotoraks yang minimal sekali pun akan
menimbulkan sesak nafas yang hebat. Sakit dada biasanya datang tiba-tiba
seperti ditusuk-tusuk se tempat pada sisi paru yang terkena, kadang-kadang
menyebar ke arah bahu, hipokondrium dan skapula. Rasa sakit bertambah
waktu bernafas dan batuk. Sakit dada biasanya akan berangsur-angsur hilang
dalam waktu satu sampai empat hari. Batuk-batuk biasanya merupakan
keluhan yang jarang bila tidak disertaipenyakit paru lain; biasanya tidak
berlangsung lama dan tidak produktif. Keluhan.keluhan tersebut di atas dapat
terjadi bersama-sama atau sendirisendiri, bahkan ada penderita pneumotoraks
yang tidak mempunyai keluhan sama sekali. Pada penderita pneumotoraks
ventil, rasa nyeri dan sesak nafas ini makin lama makin hebat, penderita
gelisah, sianosis, akhirnya dapat mengalami syok karena gangguan aliran
darah akibat penekanan udara pada pembuluh darah di mediastinum (Sjahriar,
2009).

2. Pemeriksaan fisik
Inspeksi, mungkin terlihat sesak nafas, pergerakan dada berkurang,
batukbatuk, sianosis serta iktus kordis tergeser kearah yang sehat. Palpasi,
mungkin dijumpai spatium interkostalis yang melebar Stemfremitus
melemah, trakea tergeser ke arah yang sehat dan iktus kordis tidak teraba atau

38
tergeser ke arah yang sehat. Perkusi; Mungkin dijumpai sonor, hipersonor
sampai timpani. Auskultasi; mungkin dijumpai suara nafas yang melemah,
sampai menghilang.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan Rontgen foto toraks.
Pada rontgen foto toraks P.A akan terlihat garis penguncupan paru yang halus
seperti rambut. Apabila pneumotoraks disertai dengan adanya cairan di dalam
rongga pleura, akan tampak gambaran garis datar yang merupakan batas
udara dan caftan. Sebaiknya rontgen foto toraks dibuat dalam keadaan
ekspirasi maksimal (Sjahriar, 2009).

3. Pemeriksaan Diagnostik
Pada foto rontgen bagian hidropneumotoraks akan tampak lusen, rata
dan paru yang kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-
kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk
lobuler sesuai dengan lobus paru. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak
seperti massa radioopaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini
menunjukkan kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu
berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang dikeluhkan. Jantung dan
trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals melebar,
diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan
jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi
hidropneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi. Pada
pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan sebagai
berikut Pada pneumomediastinum terdapat ruang atau celah hitam pada tepi
jantung, mulai dari basis sampai keapeks. Hal ini terjadi apabila pecahnya
fistel mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang dihasilkan akan
terjebak di mediastinum (Sjahriar, 2009).
Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah
kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari pneumomediastinum.
Udara yang tadinya terjebak di mediastinum lambat laun akan bergerak
menuju daerah yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat
banyak jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila jumlah

39
udara yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan ikat
tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan belakang (Sjahriar, 2009)..
Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi
meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien
dengan gagal napas yang berat secara signifikan meningkatkan mortalitas
sebesar 10% (Sjahriar, 2009).
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema
bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan
ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer
dan sekunder. Komplikasi dapat berupa hemopneumotorak,
pneumomediastinum dan emfisemakutis, fistel bronkopleural dan empiema
(Sjahriar, 2009).

H Penatalaksanaan
Tindakan pengobatan hidropneumotoraks tergantung dari luasnya
permukaan hidropneumotoraks. Tujuan dari penatalaksanaan ini yaitu untuk
mengeluarkan udara dari rongga pleura, sehingga paru-paru bisa kembali
mengembang. Pada hidropneumotoraks yang kecil biasanya tidak perlu
dilakukan pengobatan, karena tidak menyebabkan masalah pernafasan yang
serius dan dalam beberapa hari udara akan diserap. British Thoracic Society
dan American College of Chest Physicians telah memberikan rekomendasi
penanganan hidropneumotoraks adalah :
1. Observasi dan pemberian tambahan oksigen.
Tindakan ini dilakukan apabila luas pneumotoraks <15% dari hemitoraks.
Apabila fistula dari alveoli ke rongga pleura telah menutup, udara dalam
rongga pleura perlahan-lahan akan diresorbsi. Laju resorbsinya
diperkirakan 1,25% dari sisi pneumotoraks perhari. Laju resorbsi tersebut
akan meningkat jika diberikan tambahan oksigen. Observasi dilakukan
dalam beberapa hari (minggu) dengan foto dada serial tiap 12-24 jam
selama 2 hari bisa dilakukan dengan atau tanpa harus dirawat dirumah

40
sakit. Jika pasien dirawat dirumah sakit dianjurkan untuk memberikan
tambahan oksigen. Pasien dengan luas pneumotoraks kecil unilateral dan
stabil, tanpa gejala diperbolehkan berobat jalan dandalam 2-3 hari pasien
harus kontrol lagi
2. Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi
dengan atau tanpa pleurodesis. Tindakan ini dilakukan seawal mungkin
pada pasien pneumotoraks yang luasnya>15%. Tindakan ini bertujuan
mengeluarkan udara drongga pleura (dekompresi). Tindakan dekompresi
ini dapat dilakukan dengan cara menusukkan jarum melalui dinding dada
sampai masuk rongga pleura, sehingga tekanan udara positif akan keluar
melalui jarum tersebut, atau dengan membuat hubungan dengan udara luar
melalui saluran kontra ventil, yaitu dengan cara:
a. Jarum infus set ditusukkan ke dinding dada sampai masuk rongga pleura,
kemudian ujung pipa plastik dipangkal saringan tetesan dipotong dan
dimasukkan ke dalam botol berisi air kemudian klem dibuka, maka akan
timbul gelembung-gelembung udara didalam botol.
b. Jarum abbakoth no 14 ditusukkan ke rongga pleura dan setelah mandarin
di cabut, dihubungkan dengan pipa infuse set, selanjutnya.
c. Water sealed drainage (WSD), yaitu pipa khusus (kateter urin) yang steril
dimasukkan kerongga pleura dengan perantaraan trokar atau klem
penjepit. Sebelum trokar dimasukkan ke rongga pleura, terlebih dahulu
dilakukan insisi kulit pada ruang antar sela iga ke enam pada linea
aksilaris media. Insisi kulit juga bisa dilakukan pada ruang antar iga kedua
pada linea mid klavikula. Sebelum melakukan insisi kulit, daerah tersebut
harus dibersihkan cairan disinfektan dan dilakukan injeksi anastesi local
dengan lidokain atau prokain 2% dan kemudian ditutup dengan kain duk
steril. Setelah trokar masuk kedalam rongga pleura, pipa khusus (kateter
urin) segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian trokar dicabut
sehingga hanya pipa khusus itu yang masih tinggal di ruang pleura.
Pemasukan pipa khusus tersebut diarahkan ke bawah jika lubang insisi
kulitnya ada diruang antar iga kedua. Pipa khusus atau kateter tersebut
kemudian dihubungkan dengan pipa yang lebih panjangdan terakhir

41
dengan pipa kaca yang dimasukkan ke dalam air di dalam botol.
Masuknya pipa kaca ke dalam air sebaiknya 2 cm dari permukaan air,
supaya gelembung udara mudah keluar. Apabila paru sudah mengembang
penuh dantekanan rongga pleura sudah negative, maka sebelum dicabut
dilakukan uji coba dengan menjepit pipa tersebut selama 24 jam (Sjahriar,
2009).

II.3 Emfisema Subkutis


A. Definisi
Emfisiema diartikan sebagai terkumpulnya udara secara patologik dalam
jaringan atau organ. Subkutis merupakan suatu lapisan kulit setelah dermis,
sehingga definisi emfisiema subkutis adalah emfisiema intertisial yang ditandai
dengan adanya udara dalam jaringan subkutan, biasanya disebabkan oleh
cedera intratoraks, dan pada kebanyakan kasus disertai dengan pneumothoraks
dan pneumomediastinum, disebut juga pneumoderma (Dorland, 2002).
Emfisiema subkutis merupakan suatu kondisi yang tidak membahayakan,
namun menimbulkan masalah kecantikan pada pasien dan keluarga pasien. Hal
ini disebabkan karena terdapatnya sekumpulan udara di dalam rongga subkutan
pada dinding dada yang menjalar ke jaringan lunak di wajah, leher, dada atas,
dan bahu. Terkumpulnya udara di wajah menimbulkan pembengkakan pada
kelopak mata yang menyebabkan pasien tidak dapat membuka mata, selain itu
juga disertai terjadinya perubahan suara yang menjadi lebih tinggi akibat dari
pengumpulan udara di dalam laring (Cerfolio, 2008). Udara pada jaringan
subkutan yang terkumpul dapat menyebar secara langsung ke daerah sekitar,
sehingga bagian tubuh atas lebih sering terkena daripada bagian tubuh bawah.
Keadaan yang tampak pada emfisiema subkutis adalah pembengkakan pada
kulit yang jika dipalpasi teraba seperti renyah (crunchy). Pada gambaran
radiologi akan tampak pengumpulan udara pada permukaan kulit yang
biasanya meliputi sebagian besar dari tubuh (Anonim, 2005).

B. Etiologi

42
Emfisiema subkutis dapat disebabkan oleh trauma pada sistem respirasi
ataupun sistem gastrointestinal. Umumnya trauma yang terjadi pada dada dan
leher, dimana udara dapat terperangkap sebagai hasil dari trauma tajam seperti
luka tembak atau luka tikam, maupun luka tumpul. Emfisiema subkutis juga dapat
disebabkan oleh prosedur dan tindakan medis, yang menyebabkan tekanan pada
alveoli, sehingga alveoli menjadi ruptur. Hal ini biasanya disebabkan oleh
pneumothoraks dan kateterisasi paru (chest tube). Keadaan ini disebut sebagai
surgical emphysema. Beberapa kondisi yang menyebabkan terjadinya emfisiema
subkutis dijelaskan pada bagian dibawah ini:
1. Trauma
Trauma tumpul maupun trauma penetrasi merupakan kondisi yang dapat
menyebabkan terjadinya emfisiema subkutis. Trauma pada bagian dada
merupakan penyebab umum terjadinya emfisiema subkutis, dimana udara
yang berasal dari dada dan paru dapat masuk ke kulit dinding dada. Sebagai
contoh adalah terjadinya luka tusuk atau luka tembak pada dada yang
menyebabkan robeknya pleura, sehingga udara yang berasal dari paru
menyebar ke otot-otot dan lapisan subkutan. Emfisiema subkutis juga dapat
terjadi pada pasien dengan patah tulang iga, dimana iga melukai parenkim
paru yang menyebabkan rupturnya alveolus.
2. Tindakan medis
Emfisiema subkutis merupakan suatu komplikasi yang umum disebabkan pada
berbagai tindakan operasi, seperti operasi dada, operasi daerah sekitar
esofagus, operasi gigi dengan menggunakan teknik berkecepatan tinggi,
tindakan laparoscopy, cricothyrotomy, dan sebagainya.
3. Infeksi
Udara dapat terperangkap di bawah kulit yang mengalami infeksi nekrosis
seperti pada gangren. Gejala emfisiema subkutis dapat dihasilkan ketika
organisme infeksius memproduksi gas sebagai hasil dari fermentasi.
Kemudian gas ini menyebar ke sekitar lokasi awal pembentukan infeksi, maka
terbentuklah emfisiema subkutis (Cerfolio, 2008).

C. Manifestasi Klinis

43
Tanda dan gejala dari emfisiema subkutis bervariasi tergantung pada
penyebab dan lokasi terjadinya, tetapi sering berhubungan dengan pembengkakan
pada leher dan nyeri dada, dan terkadang juga terjadi nyeri tenggorokan, nyeri
leher, wheezing (mengi) dan kesulitan bernafas. Pada hasil inspeksi tampak
jaringan di sekitar emfisiema subkutis biasanya membengkak. Jika kebocoran
udara sangat banyak, wajah dapat menjadi bengkak sehingga kelopak mata tidak
dapat dibuka. Kasus emfisiema subkutis yang terjadi di sekitar leher, terkadang
menimbulkan perubahan suara pasien menjadi lebih tinggi, hal ini dikarenakan
pengumpulan udara pada mukosa faring. Pada palpasi akan teraba seperti kertas
atau krispies. Jika disentuh maka teraba seperti balon yang berpindah dan kadang-
kadang timbul bunyi retakan “crack” (Cerfolio, 2008).

D. Tatalaksana
Emfisiema subkutis biasanya bersifat jinak, sehingga tidak membutuhkan
penanganan karena dalam 3 atau 4 hari bahkan sampai seminggu pembengkakan
akan berkurang secara menyeluruh karena udara diserap secara spontan dan
terjadi penyembuhan. Pada kasus emfisiema subkutis yang berat, kateter dapat
dipasangkan di jaringan subkutan untuk mengeluarkan udara. Irisan kecil atau
lubang kecil dapat dibuat di permukaan kulit untuk mengeluarkan udara.
Penanganan emfisiema subkutis tidak hanya dengan istirahat total, tetapi juga
dengan penggunaan obat-obatan penghilang rasa nyeri, serta pemberian sejumlah
oksigen. Dengan pemberian sejumlah oksigen dapat membantu tubuh untuk
mempercepat penyerapan udara di lapisan subkutan. Monitor dan observasi ulang
juga merupakan hal penting dalam tatalaksana emfisiema subkutis (Rusdy, 2008).

E. Prognosis
Udara di jaringan subkutan biasanya tidak menimbulkan kematian, sejumlah
kecil udara dapat di reabsorbsi oleh tubuh. Terkadang pneumothoraks atau
pneumomediastinum yang menyebabkan emfisiema subkutis, dengan atau tanpa
tindakan medis emfisiema subkutis ini biasanya akan hilang sendiri. Meskipun
jarang, emfisiema subkutis dapat menjadi suatu kondisi yang bersifat emergensi,

44
seperti terjadinya gagal nafas dan henti jantung, sehingga diperlukan tindakan
medis (Cefolio, 2008).

LAMPIRAN

A. DOSIS OAT (BB: 70 KG)


1. 4FDC
Dosis:
Berat Badan (kg) Dosis obat
30-37 kg 2 tablet 4 FDC
38-54 kg 3 tablet 4FDC
55-70 kg 4 tablet 4 FDC
>71 kg 5 tablet 4FDC
Sehingga dosis yang diberikan pada pasien ini dengan berat badan
70 kg adalah 4 tablet 4 FDC

1. Rifampisin
Dosis: 8-12 mg/kgBB/hari
Sediaan: 300 mg, 450mg, 600mg

45
BB: 70 kg 560 mg – 840 mg/hari  pilih 600 mg 1 tablet sehari

2. Isoniazid
Dosis: 4-6 mg/kgBB/hari
Sediaan: 100mg, 300mg
BB : 70 kg 280 mg – 420 mg/hari pilih 300 mg 1 tablet sehari

3. Pirazinamid
Dosis: 20-30mg/kgBB/hari
Sediaan: 500 mg
BB : 70 kg  1400 mg – 2100 mg/hari  pilih 500 mg 3 tablet sehari

4. Etambutol
Dosis: 15-20mg/kgBB/hari
Sediaan: 250 mg, 500 mg
BB : 70 kg  1050 mg – 1400 mg/hari pilih 500 mg 2 tablet sehari

dr. Rizki Putri Andini R


1710221017
Jl. Pasukan Pelajar Imam 1, Banyumas
081298904212

Purwokerto, 3 Agustus 2018

FDC untuk kategori I fase intensif


BB = 55-70 kg  fase intensif : 4 tablet 4FDC (56 hari)
BB = 38-54 kg  fase lanjutan: 4 tablet 2FDC (3 kali seminggu selama 16
minggu)

R/ 4FDC tab No. CXX


S 1 dd tab IV a.c (malam)

46
Pro :
Nama : Tn. M
Alamat: Wangon
Usia : 76 thn

dr. Rizki Putri Andini R


1710221017
Jl. Pasukan Pelajar Imam 1, Banyumas
081298904212

Purwokerto, 3 Agustus 2018

OAT kategori I : 2RHZE/ 4(RH)3

R/ Rifampisin tab mg 600 No. XXX (30)


S 1 dd tab I a.c (07.00 pagi)

R/ Isoniazid tab mg 300 No.XXX (30)


S 1 dd tab I p.c (07.10 pagi)

47
R/ Pirazinamid tab mg 500 No. XC (90)
S 1 dd tab III p.c (07.20 pagi)

R/ Etambutol tab mg 500 No. LX (60)


S 1 dd tab II p.c (07.30 pagi)

R/ Vit. B6 tab mg 50 No. XXX (30)


S 1 dd tab I

Pro :
Nama : Tn. M
Alamat: Wangon
Usia : 76 thn

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaf Hood dan Mukti Abdul H, 2002. Dasar-Dasar Ilmu Diagnostik Fisik
Paru. Surabaya: Airlangga.

Anonim. Subcutaneous Emphysema. Learning Radiology.com. 2005 8.


Eroschenko VP. Integumen. Dalam: Eroschenko VP. Alih Bahasa:
Tambayong J. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional, ed.9.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2003. Hal.133 – 145.

BPOM RI, 2015, Antituberkulosis, diakses pada 1 Agustus 2018.


http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-5-infeksi/52-tuberkulosis-dan-leprosi/5
21-antituberkulosis

Cerfolio RJ, Bryant AS, Maniscalco LM. Management of Subcutaneous


Emphysema After Pulmonary Resection. Ann Thorac Surg 2008; 85:
1759 – 1765

Darmanto Djojodibroto, 2009, Respirologi, Jakarta: EGC.

48
Departemen Kesehatan RI. 2014. Profil Kesehatan Kabupaten Banyumas Tahun
2014. Jakarta: Depkes RI.

Departemen Kesehatan RI. 2014. Panduan Praktik Klinik Bagi Dokter: di


Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta: Depkes RI.

Dorland WAN. Alih bahasa: Setiawan A dkk. Kamus Kedokteran Dorland, ed.29.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2002. Hal. 723 – 724.

Hudak, C.M. (2010) Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC

Jawetz., Melnick., Adelberg. 2014. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.

Kemenkes RI, 2011. Pedoman Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia.


Jakarta : Kementerian Kesehatan RI, Dirjen Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.

Kemenkes, 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta :


Kementerian Kesehatan RI, Dirjen Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan

Manalu, Helper Sahat P. 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian TB


Paru dan Upaya Penanggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan, Vol 9
No.4 pp 1340-1346.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2006. Tuberkulosis: Pedoman


Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Indah Offset
Citra Grafika.

Rusdy H, Nurwiyadh A. Empisiema Sebagai Komplikasi Pembedahan Molar Tiga


Bawah dengan Menggunakan High Speed Turbine. Dentika Dental
Journal, Vol.13, No.1, 2008: 90 – 92.

Sjahriar rasad, (2009), Radiologi Diagnostik, Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

49

Anda mungkin juga menyukai