Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT


PENGGUNAAN ZAT PSIKOAKTIF (EFEK FLAKKA)

Disusun Oleh :
Rizki Putri Andini Rahmah
1710221017

Pembimbing :
dr. Safyuni Naswati, Sp.KJ

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN JIWA


RUMAH SAKIT JIWA SOEHARTO HEERDJAN
21 NOVEMBER-23 DESEMBER 2017
0
Kasus
Nn. C, berusia 17 tahun, tanpa diagnosis kejiwaan masa lalu datang ke rumah sakit
jiwa setelah tidak sadar selama 72 jam. Sebelumnya pasien mengalami perilaku agitasi dan
psikotik, termasuk halusinasi pendengaran. Pasien pada awalnya dibawa ke rumah sakit atas
permintaan ibu pasien yang melihat adanya perilaku aneh pasien. Selama evaluasi awal,
pasien mengantuk dan tidak cukup koheren untuk memberikan riwayat peristiwa yang akurat
yang mengarah ke keadaannya. Menurut ibunya, pasien berteriak "pergi" saat ia berada di
kamar tidurnya sendirian. Pasien mengatakan bahwa hal itu hanya mimpi buruk, namun ibu
pasien menolak perkataan pasien, mengatakan bahwa ia tidak tidur dan tidak memiliki
riwayat mimpi buruk atau teror tidur.3
Ibu pasien menyangkal adanya riwayat gangguan mood atau psikotik dan percaya
bahwa putrinya hanya mengalami tekanan karena berbagai faktor termasuk tekanan yang
berkaitan dengan sekolah. Hasil pemeriksaan laboratorium dalam batas normal selain tes
urinnya yang menunjukkan adanya antidepresan trisiklik. Ibu menjelaskan bahwa hal itu bisa
disebabkan oleh krim yang digunakan untuk mengobati migrain pasien selama bertahun-
tahun.3
Karena pasien tidak pernah mengalami gejala seperti ini sebelumnya, ia dirawat inap
di rumah sakit. Di hari pertama dilakukan observasi dan perawatan simtomatik tanpa obat
psikotropika. Keesokan harinya, pasien membutuhkan bantuan dari staf rumah sakit dalam
kegiatan sehari-harinya serta terus bersikap aneh dan tidak logis. Meski tidak dapat
sepenuhnya berkomunikasi karena proses pemikirannya yang berubah, ia menyebutkan
bahwa ia mungkin telah diberi Flakka oleh temannya. CT scan kepala nonkontras dilakukan
untuk menyingkirkan penyebab organik apa pun, yang hasilnya negatif. Gejala serupa terus
terlihat pada hari ketiga di rumah sakit, di mana pasien tetap aneh, tidak teratur, dan psikotik.
Pasien terus mengulangi ucapan "Terima kasih, terima kasih Yesus." Dia kembali
menyebutkan bahwa dia mungkin telah membawa Flakka namun tetap samar tentang
kejadian tersebut. Pasien menerima Olanzapine intramuskular dan Lorazepam beberapa kali
sejak dirawat. Pada hari kelima di rumah sakit, pasien mengonsumsi Olanzapine 10 mg dua
kali sehari secara rutin dengan Lorazepam setiap empat jam sesuai kebutuhan untuk agitasi.
Akhirnya, pada hari ke enam, pasien menjadi koheren, waspada dan berorientasi pada orang,
tempat, waktu, dan situasi, dan mampu menyelesaikan aktivitas hidupnya sehari-hari. Dia
tetap agak terbatas dan terkadang membutuhkan pengalihan dan instruksi untuk
menyelesaikan tugasnya. Ketika ditanya tentang gejala selama seminggu terakhir, dia

1
menggambarkan sebuah kejadian yang terjadi di sekolah pada hari sebelum dirawat di rumah
sakit. Dia mengatakan bahwa sekelompok temannya menekannya untuk mencoba Flakka
bersama mereka. Meskipun dia menolak, dia percaya bahwa mereka menaruh beberapa
Flakka pada makanan yang dia makan karena dia mengaku rasanya aneh dan ia merasa aneh
sejak saat itu. Dia juga menyangkal adanya tekanan berat atau kejadian traumatis baru-baru
ini. Setelah satu hari observasi lagi, pasien tersebut tidak menunjukkan gejala psikotik dan
pulang ke rumah dengan rawat jalan yang sesuai.3

Multiaksial Diagnosis
Axis I : F1x.0 Intoksikasi akut
Axis II : Belum dapat dinilai
Axis III : Tidak ada
Axis IV: Masalah psikososial dan lingkungan (pergaulan dengan teman)
Axis V : GAF current 50-41
GAF HLPY 100-91

Diskusi
Dalam kasus ini, status mental awal pasien berubah tiba-tiba dan drastis akibat sekali
penggunaan Flakka. Bahkan dengan penggunaan benzodiazepin dan antipsikotik, pasien
menjadi waspada dan berorientasi namun tidak pernah kembali kembali ke fungsinya yang
normal. Flakka menyebabkan dopamin terakumulasi di otak. Masuknya dopamin ini
menyebabkan perasaan euforia yang hebat, delirium, dan gelisah. Flakka tidak terdeteksi
dengan tes urin rutin dan hanya dapat diidentifikasi di laboratorium tertentu dengan
menggunakan kromatografi gas dan spektrometri massa.
Tantangan utama yang dihadapi klinisi yang mengelola seseorang dengan intoksikasi
cathinone adalah mengendalikan agitasi dan tanda-tanda kelebihan simpatis lainnya. Meski
sebagian besar berespons terhadap pengobatan agresif, kasus ini biasanya berkepanjangan
dan banyak yang tidak pernah kembali lagi ke awal.

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


“Flakka” merupakan “street name” untuk cathinone sintetik yaitu α-
pyrrolidinopentiophenone (1-Phenyl-2-(pyrrolidin-1-yl) pentan-1-one (α-PVP)). α-PVP
adalah suatu synthetic cathinone derivative dan secara umum merujuk sebagai suatu
new psychoactive substance (NPS), ‘research chemical’, ‘bath salt’ ataupun ‘designer
drug’. 1,2
Awalnya dikembangkan oleh Boehringer Ingelheim sebagai suatu stimulant
sistem saraf pusat dan agen pressor pada sekitar tahun 1960-an, senyawa ini memasuki
arena obat-obatan dengan angka peningkatan selama empat tahun terakhir yang
menyebabkan intoksikasi, bersifat fatal ataupun tidak. α-PVP adalah suatu stimulant
psikomotor, yang merupakan analog desmethyl dari pyrovalerone yang terdaftar dalam
Schedule IV pada United Nations Convention on Psychotropic Substances tahun 1971.
Senyawa yang terkait erat dengan derivat α-PVP meliputi yaitu 1-(1,3-benzodioxol-5-
yl)-2-(pyrrolidin-1-yl)pentan-1-one (3,4methylenedioxypyrovalerone, MDPV) yang
saat ini terdaftar dalam Schedule II pada UN Convention on Psychotropic Substances
(1971). Pengumuman resmi terkait deteksi α-PVP di Eropa diterima pada Februari
2011.1,2
α-PVP disalahgunakan di Eropa, begitupun halnya di Amerika Serikat dan Jepang
sebagai suatu substitusi dari 3,4 methylenedioxypyrovalerone, dan saat ini telah
terdaftar oleh United States Drug Enforcement Administration.1
Data menunjukkan bahwa α-PVP paling umum ditemui dalam bentuk bubuk dan
bentuk tablet. Obat ini dapat dengan mudah dibeli melalui internet baik itu grosiran
maupun jumlah tertentu oleh konsumen. Selain itu, α-PVP juga dapat ditemui pada
produk pada pasar obat gelap tradisional, contohnya dalam bentuk tablet ekstasi atau
bahkan pada toko eceran dan biasanya di jual sebagai ‘bath salts’.1
Lebih dari 130 kematian terkait dengan α-PVP dan di antara kasus intoksikasi
akut non fatal dibutuhkan perawatan di Rumah Sakit. Pada kasus dimana penggunaan
α-PVP telah ditetapkan dengan sangat jelas, efek neurologis dan cardiovascular yang
konsisten dengan psychostimulant toxidrome yang luas telah diamati dan juga termasuk
kardiotoksisitas, perilaku kekerasan dan memperlihatkan perilaku psikotik.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
A. Definisi NAPZA
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat
yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama
otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis,
dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta
ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA. Istilah NAPZA umumnya
digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitik beratkan pada upaya
penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial. NAPZA sering
disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak, sehingga
menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran.4
B. Penggolongan NAPZA
Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA dapat
digolongkan menjadi tiga golongan :
1. Golongan Depresan
Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh.
Jenis ini menbuat pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan bahkan
membuatnya tertidur dan tidak sadarkan diri. Golongan ini termasuk Opioida
(morfin, heroin/putauw, kodein), Sedatif (penenang), hipnotik (otot tidur), dan
tranquilizer (anti cemas) dan lain-lain.
2. Golongan Stimulan
Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan
kegairahan kerja. Jenis ini membuat pemakainya menjadi aktif, segar dan
bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini adalah: Amfetamin (shabu,
esktasi), Kafein, Kokain
3. Golongan Halusinogen
Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat
merubah perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang yang
berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu. Golongan ini tidak
digunakan dalam terapi medis. Golongan ini termasuk: Kanabis (ganja), LSD,
Mescalin. 5
C. Penyalahgunaan dan Ketergantungan
Penyalahgunaan dan Ketergantungan adalah istilah klinis/medik-psikiatrik yang
menunjukan ciri pemakaian yang bersifat patologik yang perlu dibedakan dengan
tingkat pemakaian psikologik-sosial, yang belum bersifat patologik
1. PENYALAHGUNAAN NAPZA

4
adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenis NAPZA secara berkala atau
teratur diluar indikasi medis, sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik,
psikis dan gangguan fungsi sosial.
2. KETERGANTUNGAN NAPZA
adalah keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan psikis, sehingga
tubuh memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah (toleransi), apabila
pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat
(withdrawal syamptom). Oleh karena itu ia selalu berusaha memperoleh NAPZA
yang dibutuhkannya dengan cara apapun, agar dapat melakukan kegiatannya
sehari-hari secara normal. 5
D. Memahami Adiksi Sebagai Gangguan Otak
Zat psikoaktif, khususnya NAPZA, memiliki sifat-sifat khusus terhadap jaringan
otak: bersifat menekan aktivitas fungsi otak (depresan), merangsang aktivitas fungsi
otak (stimulansia) dan mendatangkan halusinasi (halusinogenik). Karena otak
merupakan sentra perilaku manusia, maka interaksi antara NAPZA (yang masuk ke
dalam tubuh manusia) dengan sel-sel saraf otak dapat menyebabkan terjadinya
perubahan perilaku manusia. Perubahan-perubahan perilaku tersebut tergantung
sifat-sifat dan jenis zat yang masuk ke dalam tubuh .
Masuknya NAPZA ke dalam tubuh memiliki berberapa cara: dihirup melalui
hidung (snorting, sneefing), dihisap melalui bibir (inhalasi, merokok), disuntikan
dengan jarum suntikan melalui pembuluh darah balik atau vena, ada juga yang
melakukannya dengan mengunyah dan kemudian ditelan. Sebagian NAPZA sesuai
dengan cara penggunaannya, langsung masuk ke pembuluh darah dan sebagian lagi
dicerna melalui traktus gastro-intestinal diserap oleh pembuluh darah di sekitar
dinding usus. Karena sifat khususnya, NAPZA akan menuju reseptornya masing-
masing yang terdapat pada otak.
Beberapa jenis NAPZA menyusup kedalam otak karena mereka memiliki
ukuran dan bentuk yang sama dengan natural meurotransmitter. Di dalam otak,
dengan jumlah atau dosis yang tepat, NAPZA tersebut dapat mengkunci dari dalam
(lock into ) reseptor dan memulai membangkitkan suatu reaksi berantai pengisian
pesan listrik yang tidak alami yang menyebabkan neuron melepaskan sejumlah besar
neurotransmitter miliknya. Beberapa jenis NAPZA lain mengunci melalui neuron
dengan bekerja mirip pompa sehingga neuron melepaskan lebih banyak
neurotransmitter. Ada jenis NAPZA yang menghadang reabsorbsi atau reuptake
sehingga menyebabkan berlebihnya neurotransmitter.

5
Bila seseorang menyuntik heroin (opioid atau putauw ). Heroin segera masuk
cepat di dalam otak. Konsentrasi opioid terdapat pada: VTA (ventral tegmental area),
nucleus accumbens, caudate nucleus dan thalamus, menyebabkan kenikmatan yang
terdapat pada area otak yang sering dikaitkan dengan sebutan reward pathway.
Aktivitas opioid pada thalamus mengindikasikan kontribusi zat tersebut dalam
kemampuannya untuk memproduksi analgesik. Opioid mengaktivasi sistem reward
melalui peningkatan neurotransmiter dopamin. Penggunaan opioid yang
berkelanjutan membuat tubuh bergantung kepada adanya opioid untuk
mempertahankan kenikmatan. 5
E. Penyebab Penyalahgunaan NAPZA
1. Faktor Psikodinamik
Berdasarkan teori klasik, penyalahgunaan NAPZA seperti keinginan untuk
masturbasi, mekanisme pertahanan untuk keadaan cemas, atau dalam teori
psikososial disebutkan bahwa banyak alasan untuk mencurigai factor
lingkungan memainkan peran dalam penyalahgunaan NAPZA. Sehingga pelaku
penyalahgunaan substansi ini kebanyakan adalah anak-anak atau remaja dengan
perkembangan psikososial yang buruk.
2. Faktor Genetik
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak kembar, anak adopsi, dan saudara
kandung yang terpisah ataupun dipisahkan menjadi penyebab utama terjadinya
penyalahgunaan NAPZA. 5
F. Komorbiditas
Komorbid adalah keterlibatan dua atau lebih gangguan psikiatrik pada seorang
pasien. Pada pasien yang mendapatkan terapi karena ketergatungan substansi seperti
opioid, alkohol, dan kokain memiliki prevalensi tinggi mendapatkan gangguan
psikiatri tambahan. Hal ini dibuktikan pada studi epidemiologi bahwa orang-orang
dengan ketergantungan terhadap NAPZA lebih mudah mengalami gangguan
psikiatri lain.
1. Gangguan kepribadian antisosial
Pada berbagai macam studi, menunjukkan bahwa 35 sampai 60 persen pasien
dengan ketergantungan NAPZA juga memiliki diagnosa gangguan kepribadian
antisosial.
2. Depresi dan Bunuh diri
Gejala depresi sangat banyak ditemukan pada pasien yang didiagnosa sebagai
penyalahgunaan NAPZA ataupun ketergantungan NAPZA. Hampir 40 persen
pengguna opioid dan alkohol memenuhi kriteria diagnosis gangguan depresi
mayor dalam hidup mereka. Penggunaan NAPZA juga salah satu penyebab

6
terjadinya bunuh diri. Orang dengan penyalahgunaan NAPZA, sekitar 20
persen lebih rentan melakukan bunuh diri dibandingkan populasi pada
umumnya. 5
G. Gejala Klinis
1. Perubahan Fisik
Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi secara
umum dapat digolongkan sebagai berikut :
- Pada saat menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan, bicara pelo (cadel),
apatis (acuh tak acuh), mengantuk, agresif, curiga
- Bila kelebihan dosis (overdosis) : nafas sesak, denyut jantung dan nadi lambat,
kulit teraba dingin, nafas lambat/berhenti, meninggal.
- Bila sedang ketagihan (putus zat/sakau) : mata dan hidung berair, menguap
terus menerus, diare, rasa sakit diseluruh tubuh, takut air sehingga malas
mandi, kejang, kesadaran menurun.
- Pengaruh jangka panjang, penampilan tidak sehat, tidak peduli terhadap
kesehatan dan kebersihan, gigi tidak terawat, terdapat bekas suntikan pada
lengan atau bagian tubuh lain (pada pengguna dengan jarum suntik)
2. Perubahan Sikap dan Perilaku
- Prestasi sekolah menurun,sering tidak mengerjakan tugas sekolah,sering
membolos,pemalas,kurang bertanggung jawab.
- Pola tidur berubah,begadang,sulit dibangunkan pagi hari,mengantuk dikelas
atau tempat kerja.
- Sering berpegian sampai larut malam,kadang tidak pulang tanpa memberi tahu
lebih dulu
- Sering mengurung diri, berlama-lama dikamar mandi, menghindar bertemu
dengan anggota keluarga lain dirumah.
- Sering mendapat telepon dan didatangi orang tidak dikenal oleh
keluarga,kemudian menghilang
- Sering berbohong dan minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tak jelas
penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik sendiri atau
milik keluarga, mencuri, terlibat tindak kekerasan atau berurusan dengan
polisi.
- Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, marah, kasar sikap
bermusuhan, pencuriga,tertutup dan penuh rahasia. 6
H. Menetapkan Diagnosis

7
Dalam nomenklatur kedokteran, ketergantungan NAPZA adalah suatu jenis
penyakit atau “ disease entity” yang dalam ICD – 10 ( international classification of
disease and health related problems – tenth revision 1992 ) yang dikeluarkan oleh
WHO digolongkan dalam “ Mental and behavioral disorders due to psychoactive
substance use “.
Gambaran klinis utama dari fenomena ketergantungan dikenal dengan istilah
sindrom ketergantungan ( PPDGJ-III, 1993). Sehingga diagnosis ketergantungan
NAPZA ditegakkan jika ditemukan tiga atau lebih dari gejala-gejala di bawah
selama masa setahun sebelumnya:
1. Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa (kompulsi) untuk
menggunakan NAPZA
2. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan NAPZA sejak awal,
usaha penghentian atau tingkat penggunaannya
3. Keadaan putus NAPZA secara fisiologis ketika penghentian penggunaan
NAPZA atau pengurangan, terbukti orang tersebut menggunakan NAPZA atau
golongan NAPZA yang sejenis dengan tujuan untuk menghilangkan atau
menghindari terjadinya gejala putus obat.
4. Adanya bukti toleransi, berupa peningkatan dosis NAPZA yang diperlukan guna
memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh dengan dosis yang lebih
rendah.
5. Secara progressif mengabaikan alternatif menikmati kesenangan karena
penggunaan NAPZA, meningkatnya jumlah waktu yang diperlukan untuk
mendapatkan atu menggunakan NAPZA atau pulih dari akibatnya
6. Meneruskan penggunaan NAPZA meskipun ia menyadari dan memahami
adanya akibat yang merugikan kesehatan akibat penggunaan NAPZA seperti
gangguan fungsi hati karena minum alkohol berlebihan, keadaan depresi sebagai
akibat penggunaan yang berat atau hendaya fungsi kognitif. Segala upaya mesti
dilakukan untuk memastikan bahwa pengguna NAPZA sungguh – sungguh
menyadari akan hakikat dan besarnya bahaya. 7
I. Terapi dan Upaya pemulihan
Terdapat 13 prinsip dasar terapi yang efektif yaitu sebagai berikut
1. Tidak ada satupun terapi yang serupa untuk semua individu

8
2. Kebutuhan mendapatkan terapi harus selalu siap tersedia setiap waktu. Seorang
adiksi umumnya tidak dapat memastikan kapan memutuskan untuk masuk
dalam program terapi. Pada kesempatan pertama ia mengambil keputusan, harus
secepatnya dilaksanakan ( agar ia tidak berubah pendirian kembali )
3. Terapi yang efektif harus mampu memenuhi banyak kebutuhan ( needs )
individu tersebut, tidak semata–mata hanya untuk kebutuhan memutus
menggunakan NAPZA
4. Rencana program terapi seorang individu harus dinilai secara kontinyu dan
kalau perlu dapat dimodifikasi guna memastikan apakan rencana terapi telah
sesuai dengan perubahan kebutuhan orang tersebut atau belum.
5. Mempertahankan pasien dalam satu periode program terapi yang adekuat
merupakan sesuatu yang penting guna menilai apakah terapi cukup efektif atau
tidak
6. Konseling dan terapi perilaku lain merupakan komponen kritis untuk
mendapatkan terapi yang efektif untuk pasien adiksi
7. Medikasi atau psikofarmaka merupakan elemen penting pada terapi banyak
pasien, terutama bila dikombinasikan dengan konseling dan terapi perilaku lain
8. Seorang yang mengalami adiksi yang juga menderita gangguan mental, harus
mendapatkan terapi untuk keduanya secara integratif
9. Detoksifikasi medik hanya merupakan taraf permulaan terapi adiksi dan
detoksifikasi hanya sedikit bermakna untuk menghentikan terapi jangka panjang
10. Terapi yang dilakukan secara sukarela tidak menjamin menghasilkan suatu
bentuk terapi yang efektif
11. Kemungkinan penggunaan zat psikoaktif selama terapi berlangsung harus
dimonitor secara kontinyu
12. Program terapi harus menyediakan assesment untuk HIV / AIDS , hepatitis B
dan C, tuberkulosis dan penyakit infeksi lain dan juga menyediakan konseling
untuk membantu pasien agar mampu memodifikasi atau mengubah tingkah
lakunya, serta tidak menyebabkan dirinya atau diri orang lain pada posisi yang
beresiko mendapatkan infeksi
13. Pemulihan dari kondisi adiksi NAPZA merupakan suatu proses jangka panjang
dan sering mengalami episode terapi yang berulang – ulang8,9
Sasaran terapi

9
Sasaran jangka panjang terapi pasien/ klien dengan adkisi NAPZA :
1. Abstinensia atau mengurangi penggunaan NAPZA bertahap sampai abstinensia
total. Hasil yang ideal untuk terapi adiksi NAPZA adalah penghentian total
penggunaan NAPZA. Perjanjian pada awal terapi sangat penting dilakuakan,
terutama dalam komitmen terapi jangka panjang. Komitmen tersebut membantu
menurunkan angka morbiditas dan penggunaan NAPZA. Umumnya mayoritas
pasien / klien perlu mendapat motivasi yang cukup kuat untuk menerima
abstinensia total sebagai sasaran terapi.
2. Mengurangi frekuensi dan keparahan relaps. Pengurangan frekuensi penggunaan
NAPZA dan keparahannya merupakan sasaran kritis dari terapi. Fokus utama
dari pencegahan relaps adalah membantu pasien.klien mengidentifikasi situasi
yang menempatka dirinya kepada resiko relaps dan menggembangkan respon
alternatif asal bukan merupakan NAPZA. Pada beberap pasien atau klien, situasi
sosial atau interpersonal dapat merupakan faktor beresiko terjadinya relaps.
Pengurangan frekuensi dan keparaha relaps sering menjasikan sasaran yang
realistik daripada pencegahan yang sempurna.
3. Perbaikan dalam fungsi psikologi dan penyesuaian fungsi sosial dalam
masyarakat. Gangguan penggunaan zat sering dikaitkan dengan problema
psikologi dan sosial, melepaskan diri dari hubungan antar teman dan keluarga,
kegagalan dalam performance di sekolah maupun dalam pekerjaan, problema
finensial dan hukum dan gangguan dalam fungsi kesehatan umum. Mereka
memerlukan terapi spesifik untuk memperbaiki gangguan hubungannya dengan
orang lain tersebut, mengembangkan keterampilan sosial serta mempertahankan
status dalam pekerjaannya disamping mempertahankan dirinya semaksimal
mungkin agar tetap dalam kondisi bebas obat.10,11
Tahapan terapi
Proses terapi adiksi zat umumnya dapat dibagi atas beberapa fase berikut:
1. Fase penilaian (assesment phase), sering disebut dengan fase penilaian awal
(initial intake). Informasi dapat diperoleh dari pasien dan juga dapat diperoleh
dari anggota keluarga, karyawan sekantor, atau orang yang menanggung biaya.
Termasuk yang perlu dinilai adalah :
a. Penilaian yang sistematik terhadap level intiksokasi, keparaha gejala –
gejala putus obat, dosis zat terbesar yang digunakan terakhir, lama waktu

10
setelah penggunaan zat terakhir, awitan gejala, frekuensi dan lamanya
penggunaan, efek subjektif dari semua jenis zat yang digunakan.
b. Riwayat medis dan psikiatri umum yang komprehensif, termasuk status
pemeriksaan fisik dan mental lengkap, untuk memastikan ada tidaknya
gangguan komorbiditas psikiatris dan medis seperti tanda dan gejala
intoksikasi atau withdrawal. Pada beberapa kasus diindikasikan juga
pemeriksaan psikologik dan neuro – psikologi
c. Riwayat terapi gangguan penggunaan zat sebelumnya, termasuk
karakteristik berikut : setting terapi, kontekstual (volintary, non – voluntary),
modalitas terapi yang digunakan, kepatuhan terhadap program terapi,
lamanya (singkat 3 bulanan, sedang 1 tahun dan hasil dengan program
jangka panjang), berikut dengan jenis zat yang digunakan, level fungsi sosial
dan okupasional yang telah dicapai dan variabel hasi terapi lainnya
d. Riwayat penggunaan zat sebelumnya, riwayat keluarga dan riwayat sosio –
ekonomik lengkap, termasuk informasi tentang kemungkinan adanya
gangguan penggunaan zat dan gangguan psikiatri pada keluarga, faktor –
faktor dalam keluarga yang mengkontribusi berkembang atau penggunaan
zat terus menerus, penyesuaian sekolah dan vokasional, hubunggan dengan
kelompok sebaya, problema finansial dan hukum, pengaruh lingkungan
kehidupan sekarang terhadap kemampuannya untuk mematuhi terapi agar
tetap abstinensia di komunitasnya, karakteristik lingkungan pasien ketika
menggunakan zat ( dimana, dengan siapa, berapa kali/ banyak, bagaimana
cara penggunaan. ).
e. Skrining urin dan darah kualitatif dan kuantitatif untuk jenis – jenis
NAPZA yang disalahgunakan, pemerisaan – pemeriksaan laboratorium
lainnya terhadap kelainan – kelainan yang dikaitkan dengan penggunaan zat
akut atau menahun.
f. Skrining penyakit – penyakit infeksi dan penyakit lain yang sering
diketemukan pada pasien/klien ketergantungan zat (seperti HIV,
tuberkulosis, hepatitis).
2. Fase terapi detoksifikasi, sering disebut dengan fase terapi withdrawal atau fase
terapi intoksikasi. Fase ini memiliki beragam variasi :
a. Rawat inap dan rawat jalan

11
b. Intensive out – patient treatment
c. Terapi simptomatik
d. Rapid dotoxification, ultra rapid detoxification
e. Detoksifikasi dengan menggunakan: kodein dan ibuprofen, klonidin dan
naltrexon, buprenorfin, metadon
3. Fase terapi lanjutan. Tergantung pada keadaan klinis, strategi terapi harus
ditekankan kepada kebutuhan individu agar tetap bebas obat atau menggunakan
program terapi subtitusi ( seperti antagonis – naltrexon, agonis metadon, atau
partial – agonisbrupenorfin. Umumnya terapi yang baik berjalan antara 24
sampai 36 bulan. Terapi yang lamanya kurang dari jangka waktu
tersebut,umumnya memiliki relaps rate yang tinggi. 12,13,14

J. Flakka
Nama lain dari flakka adalah α-Pyrrolidinopentiophenone, α-
pyrrolidinovalerophenone, α-PVP, alpha-PVP, desmethyl pyrovalerone,
prolintanone, β-keto-prolintane, pyrodilyl ketone, α-pyrrolidino ketone, 2-(1-
pyrrolidinyl)-valerophenone, 2-pyrrolidinovalerophenone, 2-(1-pyrrolidinyl)-
valerophenone, 2-(pyrrolidin-1-yl)phenylpentan-1-one, 2-pyrrolidin-1-yl-1-
phenylpentan-1-one, O-2387. Flakka memiliki rumus kimia C15H21NO dan berat
molekul 231,34 g/mol.1

K. Sintesis Flakka
Pembentukkan flakka (α-PVP) meliputi α-halogenasi (misalnya menggunakan
bromin) (tahap i) dari prekursor 1-phenylpentan-1-one/valophenone (a) dan
pembentukkan 2-bromo-1-phenylpentan-1-one (b). Kemudian tahap selanjutnya
reaksi dengan pyrrolidin (tahap ii) membentuk α-PVP (c).1

L. Farmakokinetik

12
α-PVP bekerja sebagai suatu penghambat kuat transporter dopamin dan
norepinefrin serta pada penelitian pre-klinis bertanggung jawab dalam penyalahgunaan,
aktitivitas psikomotor dan drug discrimination memberi kesan bahwa senyawa α-PVP
mirip dengan MDPV, methamphetamine dan cocaine. α-PVP meningkatkan perilaku
lokomotor pada tikus percobaan melalui stimulasi pelepasan dopamin. Pada uji in vivo,
ditemukan bahwa α-PVP memblokade transporter dopamin, menghambat uptake
dopamin, dan memberi efek yang jauh lebih lemah pada transporter serotonin.
Peningkatan selanjutnya dopamin di ekstraseluler tampak penting dalam menyebabkan
efek stimulan.2
α-PVP memiliki efek stimulan lokomotor setelah pemberian melalui penyuntikan
secara intravena pada tikus percobaan dengan dosis puncak yaitu 1 mg /kg, dan efek
berlangsung sekitar 2 jam setelah injeksi. Stimulasi aktivitas lokomotor yang dihasilkan
obat ini bertahan lama yaitu dalam 240-290 menit. Efek yang diinginkan dari α-PVP
adalah euforia, rasa waspada meningkat, banyak bicara, gairah seksual meningkat,
pikiran terfokus, dan perasaan positif secara keseluruhan. Efeknya terjadi dalam waktu
30-45 menit setelah masuknya obat ke dalam tubuh, dengan mencapai puncaknya pada
1,5 jam, dan biasanya berlangsung kira-kira 3-4 jam sebelum pengguna berpotensi
untuk terjatuh. Efek yang diinginkan dapat berlangsung lebih dari 6-8 jam. Namun,
efek samping yang tidak diinginkan bisa bertahan berjam-jam sampai beberapa hari.
Dalam kasus infus α-PVP, suhu tubuh menurun ( 0,75°C) pada tikus percobaan.2

M. Toksisitas
α-PVP adalah stimulan yang poten, dan dibandingkan dengan kokain mungkin
memiliki potensi penyalahgunaan yang lebih tinggi. Penyalahgunaan α-PVP dapat
menyebabkan efek samping yang parah dan mengancam jiwa. Pemakaian α-PVP
menyebabkan efek psikologis yang kuat, termasuk diantaranya adalah perilaku
psikotik, paranoid, delusi, halusinasi, dan perilaku melukai diri sendiri. Orang yang
menggunakan stimulan sintetis, termasuk α-PVP sering mengalami kehilangan
kesadaran, kesulitan bernapas, dan dalam kasus terburuk menyebabkan kematian.
Penyalahgunaan α-PVP dapat menyebabkan efek samping yang parah meliputi
delirium, sindrom yang sering disertai dengan takikardi, hipertermia, rhabdomyolisis,
dan gagal ginjal, agitasi, delusi, serta perilaku kekerasan yang mengakibatkan bunuh
diri atau pembunuhan. Efek samping lainnya berhubungan dengan sistem

13
kardiovaskular dan termasuk diantarnya adalah hipertensi arterial, palpitasi, dispnea,
vasokonstriksi, aritmia, infark miokard, dan miokarditis.1
Dosis tinggi α-PVP yang diberikan pada tikus menyebabkan hiperaktifitas yang
kadang disertai dengan perilaku aneh seperti melompat atau menabrak dinding, serta
perilaku atipikal lainnya seperti ataksia, tremor, atau retropulsi. Tanda-tanda
neurologis juga telah dilaporkan, termasuk sakit kepala, midriasis, pusing, parestesia,
kejang, gerakan distonik, tremor, amnesia, dysgeusia, edema serebral, spasme otot,
nistagmus, parkinsonism, dan stroke, sementara efek samping psikiatri yang timbul
adalah agitasi, agresi, halusinasi, agitasi, ansietas, insomnia, katatonia, anhedonia,
anoreksia, depresi, peningkatan libido, serangan panik, perilaku melukai diri sendiri,
dan bunuh diri. Beberapa pengguna juga mengalami mual, muntah, nyeri perut, dan
demam.1
N. Tata Laksana
Pengobatan untuk penyalahgunaan flakka harus dimulai segera setelah diketahui
bahwa individu tersebut menggunakan obat tersebut. Hal ini karena penggunaan obat
secara kronis dikaitkan dengan potensi konsekuensi yang berat. Program pengobatan
yang menyeluruh untuk individu yang menyalahgunakan flakka harus mencakup:15
1. Penilaian lengkap individu yang mencakup pemeriksaan fisik oleh dokter,
pemeriksaan psikologis, penilaian kondisi kehidupan dan situasi sosial mereka
2. Terapi ketergantungan penggunaan zat, penyalahgunaan zat atau perilaku adiktif
3. Terapi psikososial mengenai penyalahgunaan zat secara umum, gangguan
penggunaan zat, serta efek fisik dan emosional yang terkait dengan semua
penyalahgunaan obat
4. Terapi dalam kegiatan kelompok sosial, seperti terapi keluarga atau terapi
kelompok
5. Terapi medis pada kondisi yang terkait atau yang terjadi secara bersamaan
6. Partisipasi jangka panjang dalam kelompok terapi dan dukungan sosial15
Individu yang tidak menjalani perawatan jangka panjang pasti akan kambuh,
karena tingkat kambuh dalam kasus ini mendekati 100%. Seringkali, individu harus
tetap menjalani perawatan selama bertahun-tahun setelah penghentian terapi.15

14
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan data penelitian pengguna NAPZA di dunia, dilaporkan hampir


40% penduduk di dunia pernah menggunakan NAPZA dalam hidup mereka. Beberapa
substansi tersebut menyebabkan kelainan status mental secara internal, seperti
menyebabkan perubahan mood, secara eksternal menyebabkan perubahan perilaku.
Substansi tersebut juga dapat menimbulkan problem neuropsikiatrik yang masih
belum ditemukan penyebabnya, seperti skizofrenia dan gangguan mood, sehingga
kelainan primer psikiatrik dan kelainan yang disebabkan oleh NAPZA menjadi sangat
berhubungan.
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat
yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama
15
otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis,
dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan
(dependensi) terhadap NAPZA
Penyebab penyalahgunaan napza karena faktor genetik dan juga psikodinamik.
Penyalahhunaan NAPZA sendiri memiliki Komorbid dengan gangguan kepribadian
antisosial dan juga prilaku bunuh diri. Gejala-gejala klinis gangguan penyalahgunaan
NAPZA adalah:
1. Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa ( kompulsi ) untuk
menggunakan NAPZA
2. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan NAPZA sejak awal
3. Keadaan putus NAPZA secara fisiologis ketika penghentian penggunaan NAPZA
atau pengurangan
4. Adanya bukti toleransi
5. Secara progressif mengabaikan alternatif menikmati kesenangan karena
penggunaan NAPZA
6. Meneruskan penggunaan NAPZA meskipun ia menyadari dan memahami adanya
akibat yang merugikan kesehatan akibat penggunaan NAPZA.

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Association. 1-Phenyl-2-(pyrrolidin-1-yl)pentan-1-one (α-PVP), Clinical


Review Report. Geneva: World Health Association; 2015.
2. Katselou M, Papoutsis J, Nikolaou P, Spiliopoulou C, Athanaselis S. α-PVP (“flakka”):
a new synthetic cathinone invades the drug arena. Article in Forensic Toxicology.
Published on September 2015. https://www.researchgate.net/publication/284131469.
Accessed 25 November 2017.

3. Crespi C. Flakka-Induced Prolonged Psychosis. PubMed Medical Reference. Update on


Juni 2016. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4933860/. Accessed 25
November 2017.

16
4. Sadock B, Sadock V. Substance Related Disorders. Introduction and Overview. Dari:
Kaplan & Sadock Synopsis of Psychiatry Behavioral Science/Clinical Psychiatry 9th
edition, Lippingcott Williams & Wilkins, 2002, h. 380.

5. Sadock B, Sadock V. Substance Related Disorders. Dari: Kaplan & Sadock Synopsis of
Psychiatry Behavioral Science/Clinical Psychiatry 9th edition, Lippingcott Williams &
Wilkins, 2002, h. 380-435.

6. Allen K.M. Clinical Care of the Addicted Client, Review Article on: American
Psychiatriy Journal, 2010 October 20.

7. Maslim Rusdi, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PDGJ-III,
PT. Nuh Jaya, 2001, h. 34-43.

8. The Indonesian Florence Nightingale Foundation, Kiat Penanggulangan dan


Penyalahgunaan Ketergantungan NAPZA. Dalam: www.ifnf.org/NAPZA/ <diakses
pada Selasa, 27 September 2011>

9. Klagenberg KF, Zeigelboim BS, Jurkiewicz AL, Martins-Bassetto J. Substance Related


Disorders in Teenagers. PMC Journal, 2007 May-Jun;73(3):353-8.

10. Tom, Kus, Tedi. Bahaya NAPZA Bagi Pelajar , Bandung :Yayasan Al-Ghifari,2009,
h.20-57.

11. Morgan, Segi PraktisPsikiatri, Jakarta; Bina rupa aksara,2001, h. 110-145.

12. Stuart Sundeen, Principles and Practice of Psychiatric Nursing, St Louis: Mosby Year
Book, 2001. Dalam: www.pdfsearch.com/ebook/ <diakses pada Selasa, 27 September
2011>

13. Smith, CM.,Community Health Nursing; Theory and Practice .Philadelphia: W.B.
Saunders Company. Dalam: www.pdfsearch.com/ebook/ <diakses pada Selasa, 27
September 2011>

14. Warninghoff JC, Bayer O,Straube A, Ferarri U. Treatment and Rehabilitation in


Substance Related disorders, Review Article on: British Psychiatry Journal, 2009 July
7.
17
15. Oxfrod Treatment Center. What is the drug flakka. AAC Facility. Update on 2017.
https://www.oxfordtreatment.com/hallucinogens/flakka/. Accessed 11 Desember 2017.

18

Anda mungkin juga menyukai