Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT

OKTOBER 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA CROHN DISEASE

Disusun Oleh :
Fifin Samudra Indah Sari
K1A1 15 013

Pembimbing
dr. Tety Yuniarty Sudiro Sp.PD-FINASIM

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Fifin Samudra Indah Sari


NIM : K1A1 15 013
Judul : Diagnosis dan Tatalaksana Crohn Disease
Bagian : Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas : Kedokteran
Telah menyelesaikan Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian

Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Oktober 2020

Pembimbing

dr. Tety Yuniarty Sudiro Sp.PD-FINASIM

ii
Diagnosis dan Tatalaksana Chron’s Disease
Fifin Samudra Indah Sari, Tety Yuniarty Sudiro

A. Pendahuluan

Penyakit Chron adalah penyakit radang usus kronik (IBD) yang


menyerang area saluran pencernaan mulai dari mulut hingga anus. IBD
(Inflammatory Bowel Disease) merupakan istilah umum yang digubakan untuk
menggambarkan kelainan idiopatik yang sbelum sepenuhnya di mengerti,
diduga berhubungan dengan genetic dan peradangan pada gastrointestinal yang
dihasilkan dari aktifasi yang tidak sesuai dan persiten dari sistem imun mukosa
yang ditimbulkan oleh karena adanya flora normal interluman. IBD terdiri dari 3
jenis yaitu Kolitis Ulseratif (KU), Chron’s Disease (CD), dan bila sulit
membedakan keduanya, maka dimasukkan dalam kategori Interdeminate
Colitis. Hal ini digunakan untuk membedakan penyakit inflamasi usus lainnya
yang terlah diketahui penyebabnya seperti infeksi, iskemia, dan radiasi. Proses
peradangan ini melibatkan lapisan mukosa bagian dalam hingga terjadi
penebalan dinding usus dan terdiri dari pembengkakan, dilatasi pembuluh darah,
dan kehilangan cairan ke jaringan.1,2,3,4

Penyakit Crohn dapat terjadi di semua usia, dengan puncak kejadian di


usia 30 sampai 40 tahun,tidak terdapat perbedaan bermakna antara laki-laki dan
perempuan. Angka insidensi tahunan per 100.000 orang untuk penyakit Crohn
berturut-turut di Eropa ialah 12,7; Asia 5; Amerika Utara 20,2; dan Austalasia
17,4. Prevalensi paling banyak terjadi di area urban daripada rural, dan negara
maju lebih banyak daripada negara berkembang. Data mengenai penyakit Crohn
di Indonesia sangat minim dan prevalensi berdasarkan data hasil endoskopi awal
tahun 2008, di seluruh rumah sakit di Indonesia berkisar antara 1-3,3%.6

1
Manifestasi penyakit Crohn bervariasi tergantung kerusakan dari lokasi
mukosa intestinal yang terkena. Bila terjadi di mukosa usus halus dapat
menyebabkan maldigesti dan malabsorbsi sedangkan bila terjadi di ileus
terminalis, akan terjadi kelainan reabsorbsi dari asam empedu, yang dapat
menyebabkan manifestasi diare sampai konstipasi. Manifestasi ini dapat terjadi
di luar sistem saluran cerna seperti iritis, uveitis, artritis, kolangitis sklerosis
primer, dan ankilosis spondilitis. Ada berbagai modalitas yang memungkinkan
untuk lebih lanjut terhadap penilaian IBD dalam menetapkan diagnosis CD,
serta menentukan tingkat penyakit, aktivitas, dan respons terhadap terapi.
Tatalaksana penyakit Crohn ini bertujuan untuk mengurangi respon imunologi
yang berlebihan, serta mengurangi komplikasi yang dapat ditimbukan.6

B. Definisi

Crohn disease (CD) merupakan salah satu dari idiopathic inflammatory bowel
disease (IBD). IBD merupakan kondisi chronic inflammatory yang dihasilkan dari
aktifasi yang tidak sesuai dan persisten dari sistem imun mukosa, yang
ditimbulkan oleh karena adanya flora normal intralumen. Sangat sulit
membedakan diagnosa antara CD dan UC. Pada CD semua lapisan dinding
intestine kemungkinan dapat terlibat, dan intestine normal yang sehat dapat
dijumpai diantara potongan jaringan. Sedangkan pada UC menyebabkan inflamasi
dan ulkus pada lapisan dinding atas large intestine. 2Penyakit ini pertama kali
dideskripsikan oleh Antoni Leśniowski tahun 1904 dan kemudian dilanjutkan oleh
seorang ahli gastroenterologi Burril Bernard Crohn tahun 1932.2,8
Crohn disease, dikenal juga dengan granulomatous colitis, regional enteritis
dan terminal ileitis adalah penyakit autoimun yang melibatkan banyak area dari
traktus gastrointestinal mulai dari esofagus hingga anus, tetapi kebanyakan
melibatkan small intestine (ileum terminalis) dan kolon, biasanya multifokal.
Gejala khas nyeri abdomen flare up, berulang, mereda dan bersifat kronis.2

2
C. Anatomi dan Fisiologi 9,10

(Gambar 1 : Sturuktur Anatomi Saluran Cerna)

1. Cavum Oris
Suatu rongga yang dibatasi oleh bibir (labium) dan pipi. Di dalamnya terdapat
processus alveolaris, gingiva, dan gigi geligi (dentes) yang membagi dua cavum
oris menjadi vestibulum oris dan cavitas oris proprius, pada dasar cavum oris
terdapat lingua(lidah).
Proses pencernaan dimulai di dalam mulut dan diawali dengan ingesti, yaitu
memasukkan makanan ke dalam rongga mulut. Pada saat makanan kontak dengan
lidah, taste bud akan mendeteksi komposisi kimia zat makanan. Proses ingesti
dilanjutkan dengan mastikasi atau gerakan mengunyah, yaitu digesti fisik oleh gigi
dan lidah serta proses digesti kimia oleh saliva. Setelah proses digesti mekanis dan
kimia di rongga mulut, lidah akan memindahkan bolus-bolus makanan ke dalam
faring sebagai langkah awal menelan.

3
2. Pharynx dan Esofagus
Dinding pharynx mempunyai 4 lapisan dari luar ke dalam yang meliputi
lamina areolaris, laminas muscularis, lamina fibrosa, dan lamina mukosa. Faring
merupakan saluran antara faring dan esofagus yang menjadi tempat transisi
pergerakan makanan secara volunter (di bawah kendali sadar) menjadi gerakan
involunter. Refleks menelan atau deglutisi yang terjadi di faring akan mendorong
makanan melalui esofagus menuju lambung. Selain berfungsi untuk mentranspor
makanan dan air ke dalam lambung, faring dan esofagus dan juga mensekresi
mukus. Makanan turun melewati esofagus dengan bantuan gerakan peristaltic.
3. Gaster
Bagian terbesar dari tractus digestivus, mempunyai bentuk yang sesuai
dengan usia, jenis kelamin, dan fase pencernaan, tetapi pada umumnya mempunyai
bentuk seperti huruf “J”. gaster terdiri atas curvature minor, curvature mayor,
fundus, dan pylorus.
Makanan masuk ke dalam lambung dengan membukanya orifisium kardia. Di
dalam lambung, terjadi proses digesti fisik dan kimia yang akan menghasilkan
chyme atau kimus. Selain itu lambung juga berfungsi untuk menyimpan makanan
sebelum dilepaskan sedikit demi sedikit ke dalam usus halus. Permukaan bagian
dalam lambung dilapisi oleh rugae. Lapisan mukosa terdiri atas beberapa jenis se
yaitu sel goblet, sel parietal, sel chief, sel G dan Sel D. Normalnya, lambung
mengalami kontraksi sebanyak tiga kali per menit dan mempunyai kapasitas untuk
menampung kurang-lebih dua pertiga volume makanan. pengosongan makanan
dari lambung memerlukan waktu antara 2 – 6 jam. Setiap gerakan peristaltik dapat
mengosongkan 3/100 ons isi lambung.
4. Usus Halus
Terdiri atas Duodenum, Jejenum dan Ileum. Duodenum merupakan ujung
cranial dari intestinum tenue, pendek dengan ukuran kira-kira 25 cm. terbagi atas
pars superior duodeni, pars descendend duodeni, pars horizontalis duodeni, dan
pars ascendens duodeni. Jejenum dan ileum berkelok-kelok dan difiksasi pada

4
dinding dorsal cavum abdominis oleh mesentertium. Panjang seluruh jejenum dan
ileum adalah 6-7 meter. Jejenum berada di bagian proximal dengan Panjang
kurang lebih 2/5 bagian dari keseluruhannya, sedangkan ileum berada di bagian
distal dengan Panjang kira-kira 3/5 bagian lainnnya.
Sebagian besar proses digesti kimia dan absorpsi terjadi di dalam usus halus.
Usus halus memiliki permukaan yang luas dengan adanya plika (lipatan mukosa),
vili (tonjolan mukosa seperti jari atau jonjot usus), serta mikrovili atau brush
border. Vili mengandung banyak kapiler dan pembuluh limfa (central lacteal) yang
memiliki peran sentral dalam proses absorbsi. Selain itu, vili juga bergerak seperti
tentakel gurita yang membantu proses pergerakan zat makanan di dalam rongga
usus halus.
5. Usus Besar
Usus besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks, dan rektum yang
keseluruhannya memiliki panjang kurang-lebih 5 kaki. Kolon terdiri dari tiga
segmen, yaitu kolon asenden, transversum, serta desenden. Usus besar terhubung
dengan usus halus melalui katup ileosekal yang berfungsi untuk mengendalikan
kecepatan masuknya makanan dari usus halus ke usus besar dan mencegah refluks
sisa makanan dari usus besar ke usus halus. Katup ileosekal membuka ke bagian
usus besar yang disebut sekum (caecum), yaitu segmen yang berfungsi menerima
sisa makanan. Bagian sekum yang menonjol disebut apendiks.
Fungsi utama usus besar adalah untuk menampung zat-zat yang tidak
terdigesti dan tidak diabsorpsi (feses). Sebagian kecil garam dan air sisa
pencernaan juga diserap di dalam usus besar. Apabila sisa makanan bergerak
terlalu lambat atau berada di kolon terlalu lama, akan terjadi absorpsi air yang
berlebihan sehingga feses menjadi keras dan mengakibatkan konstipasi.
Kuranglebih 30% berat kering feses mengandung bakteri E. coli. Bakteri ini hidup
di dalam usus besar dan memproduksi vitamin K.

5
D. Epidemiologi
Beberapa penelitian menunjukkan insiden dan prevalensi CD tinggi di negara-
negara Barat termasuk Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru, Inggris, Wilayah
Skandinavia dan Eropa Barat dengan laju peningkatan yang stabil, sementara CD
bukanlah penyakit autoimun yang umum di antara orang Afrika, Negara-negara
Asia dan Eropa Timur. Studi terbaru menunjukkan peningkatan yang cukup besar
dari CD di negara-negara berkembang seperti sejumlah negara di Asia. Hasil
survei sebelumnya di negara-negara Barat mengkonfirmasi tingkat CD yang lebih
tingggi terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria yang belum diketahui apa
penyebabnya , sementara rasio ini terbalik pada negara berkembang dengan
tingkat insiden rendah.11
CD mempunyai 2 puncak insidensi berdasarkan kelompok usia Puncak
insidensi pertama pada rentang usia 15 hingga 35 dan puncak insidensi kedua
terjadi pada pasien berusia 60-80 tahun. Menurut beberapa penelitian
menunjukkan bahwa kejadian CD memiliki korelasi dengan Ras dan etnis pada
individu.11

E. Etiologi
Penyebab pasti Chron’s Disease tidak diketahui. Diduga Ada beberapa
faktor yang mungkin berperan dalam terjadinya DC yaitu reaksi autoimun,
Genetik, dan Lingkungan Hidup. Autoimun diyakini merupakan satu penyebab
penyakit Crohn dimana ketika seseorang memiliki sistem kekebalan tubuh yang
menyerang sel-sel sehat di dalam tubuh oleh karena suatu kesalahan. Biasanya,
sistem kekebalan tubuh melindungi tubuh dari infeksi dengan cara
mengidentifikasi dan menghancurkan bakteri, virus, dan hal asing lainnya yang
berpotensi membahayakan tubuh. Bakteri atau virus memicu sistem kekebalan
tubuh teraktivasi sehinnga menyerang lapisan dalam usus yang menyebabkan
peradangan dan menimbulkan gejala.12

6
DC diduga memiliki ketrlibatan genetic. Penelitian telah menunjukkan
bahwa orang yang memiliki orang tua atau saudara kandung dengan CD
mungkin juga dapat menderita CD. kromosom 16 (gen IBD1), yang akhirnya
menyebabkan teridentifikasinya gen NOD2 (yang saat ini disebut CARD15)
merupakan gen pertama yang secara jelas beruhubugan dengan IBD Penelitian
lain yang menemukan kromosom 5 (5q31) dan 6 (6p21 dan 19p) sebagai gen
yang dicurigai ada hubungannya dengan IBD. gen-gen yang berpotensial ini,
dianggap bukan penyebab (kausatif) daripada IBD, namun gen-gen ini
mendukung untuk terjadinya IBD (permisif).12,13
Beberapa penelitian menyatakan bahwa terdapat hal-hal tertentu di
lingkungan hidup yang dapat meningkatkan peluang seseorang menderita
Crohn Disease, walaupun tingkat distribusinya rendah. Obat-obat antiinflmasi
nonsteroid, antibiotik, dan kontrasepsi oral meningkatkan sedikit terjadinya
CD. Diet tinggi lemak juga meningkatkan sedikit peluang terkena CD. Stress
dan tekanan emosional juga dapat memperburuk gejala.12

F. Patofisiologi
Diketahui bahwa ada faktor genetik (gen CARD 25 / NOD2 mutasi dan
polimorfisme TLR) dan faktor lingkungan (merokok, obat-obatan, status
sosial, stres, mikroorganisme, diet, usus buntu dan permeabilitas usus) yang
berpartisipasi dalam fisiopatologi ini penyakit. Teori yang paling diterima
menunjukkan bahwa peradangan usus dihasilkan oleh respons abnormal dari
limfosit T terhadap flora bakteri enterik di orang yang rentan secara genetic.8
Inflamasi pada mukosa traktus intestinal menyebabkan ulserasi, edema,
perdarahan, kemudian hilangnya air dan elektrolit. Sitokin yang dikeluarkan
oleh makrofag karena respon daripada berbagai rangsangan antigenik,
berikatan dengan reseptor-reseptor yang berbeda, kemudian menghasilkan
efekefek autokrin, parakrin, dan endokrin. Sitokin juga akan
mendiferensiasikan limfosit menjadi berbagai tipe sel T. Sel T helper tipe 1

7
(TH-1) berhubungan dengan CD, sedangkan TH-2 berhubungan dengan UC.
Respon imun inilah yang akan merusak mukosa intestinal dan menyebab
proses inflamasi yang kronis.8,13
CD dapat melibatkan bagian manapun daripada saluran pencernaan,
mulai dari mulut sampai anus, dan menyebabkan tiga pola penyakit yaitu
penyakit inflamasi, striktur, dan fistula. Penyakit ini melibatkan segmen-
segmen oleh karena proses inflamasi granuloma nonspesifik. Tanda patologi
yang paling penting dari CD adalah transmural, melibatkan seluruh lapisan
daripada usus, tidak hanya mukosa dan submukosa, dimana jika mukosa dan
submukosa saja merupakan cirri daripada UC. Selain itu, CD tidak
berkesinambungan, dan memiliki skip area antara satu atau lebih dari area
yang terkena penyakit.1 Jika penyakit ini berlanjut, mukosa akan tampak
seperti batu bulat (cobblestone) oleh karena ulserasi yang dalam dan
longitudinal pada mukosa yang normal. Tiga pola mayor dari keterlibatan
terhadap CD adalah penyakit pada ileum dan ceccum (40%), penyakit
terbatas pada usus halus (30%) dan terbatas pada kolon (25%). Rectal sparing
khas terjadi pada CD, tetapi tidak selalu terjadi. Namun, komplikasi anorektal
seperti fistula 7 dan abses sering terjadi. Walaupun jarang terjadi, CD dapat
melibatkan bagian saluran pencernaan yang lebih proksimal, seperti mulut,
lidah, esofagus, lambung dan duodenum.13
CD dan UC ditandai oleh meningkatnya rekruitmen dan retensi makrofag
efektor, neutrofil, dan sel T ke dalam intestinal yang terinflamasi, dimana
mereka akan diaktivasi dan dikeluarkan sitokin-sitokin proinflamasi.
Akumulasi sel efektor ini dikarenakan meningkatnya rekruitmen dan
menurunnya apoptosis seluler. CD dominan melalui proses yang dimediasi
TH-1 dan TH-17, sedangkan UC terlihat sebagai gangguan TH2 atipikal.13

8
G. Manifestasi Klinis
Terdapat beberapa manifestasi klinis berupa sakit perut, diare, mual, muntah,
demam dan penurunan berat badan yang diyakini terjadi akibat dari proses
inflamasi di saluran pencernaan yang menyebabkan perubahan mukosa usus,
sehingga mengurangi penyerapan mikronutrien.8
Manifestasi ekstra-intestinal terjadi pada 30% dari pasien dan mempengaruhi
organ lain selain dari usus, seperti sendi (artritis perifer, spondilitis ankilosa,
sakroiliitis), kulit (pioderma gangrenosum, eritema nodosum), mata (uveitis,
episkleritis) dan sistem hepatobilier (kolangitis sklerosis primer) Anemia dan
artropati merupakan gejala ekstra-intestinal yang paling umum. Anemia pada
IBD amerupakan model anemia yang unik dimana terjadi tumpang tindih anemia
penyakit kronis dan anemia defisiensi besi dengan anemia jenis lainnya, seperti
seperti defisiensi vitamin B12, defisiensi folat dan efek obat-obatan.8
Di sisi lain, artropati dapat terjadi perifer (pauciarticular dan polyarticular
arthritis) maupun pada sendi aksial (spondilitis dan sakroilitis), dan dapat
mendahului, sinkron dengan, atau berkembang mengikuti diagnosis dari CD.
Meskipun primary sclerosing cholangitis (PSC) adalah merupakan gangguan
hepatobilier yang paling banyak terkait dengan IBD, namun lebih serimg terjadi
pada UC dibandingkan CD, batu empedu (Kejadian dari 13-14%), pengobatan
terhadap penyakit hepar dan fatty liver lebih tinggi terjadi pada pasien dengan CD
dibandingkan dengan pasien dengan UC.8

H. Diagnosis
Diagnosis peyakit ini ditentukan dengan anamnesis gejala klinis, riwayat

9
keluarga dengan penyakit ini, serta pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
laboratorium, endoskopi serta pemeriksaan patologi anatomi.6
Pemeriksaan fisik seksama dan tes serial dilakukan untuk mendignosa CD.
Blood test dilakukan untuk memeriksa anemia dimana mengindikasikan
terjadinya perdarahan pada intestine. Pemeriksaan sampel feses dapat
menunjukkan perdarahan atau infeksi dalam intestine.Pemeriksaan seri
gastrointestinal atas dilakukan untuk melihat small intestine. Penderita diberi
minum barium yang akan melapisi lapisan dinding small intestine sebelum
dilakukan X ray.2
Barium menunjukkan tanda putih pada film X ray, yang menunjukkan
adanya inflamasi atau abnormalitas lain dalam intestine. Jika tes ini menunjukkan
CD maka beberapa kali X ray dilakukan pada kedua digestive atas dan bawah
yang diperlukan untuk melihat seberapa banyak traktus gastrointestinal yang
terkena penyakit. Pemeriksaan sigmoidoskopi dan kolonoskopi dilakukan untuk
menilai lapisan dinding bagian bawah large intestine. Juga dilakukan biopsi dari
lapisan intestine untuk dilihat secara mikroskopis.2

Tindakan endoskopi merupakan prinsip utama dalam pengelolaan pasien


dengan penyakit inflamasi saluran cerna terutama dalam mendiagnosis dan
menentukan tatalaksana penyakit Crohn. Manfaat dari endoskopi ialah sebagai
penentu diagnosis awal, membedakan penyakit Crohn dengan kolitis ulseratif
(89% kasus), menentukan lokasi lesi dan aktivitasnya, serta monitor respon dari
terapi. Kolonoskopi dapat memberikan gambaran visual langsung terhadap
mukosa dari rektum, kolon, dan ileum terminal dengan efek samping yang
minimal. Idealnya ialah mengambil sampel biopsi sebanyak 2 sampel dari 6
lokasi sepanjang kolon termasuk rektum dan ileum terminalis.6

Pemeriksaan endoskopi pada penyakit Crohn menunjukkan adanya


gambaran kolitis segmental atau skip lesions, tidak adanya lesi di rektum,

10
sebagian besar lesi di ileum terminalis, adanya gambaran saluran fistula, dan
penyakit anal maupun perianal. Selain itu bisa juga terdapat gambaran ulserasi
maupun cobble stone. Ileitis yang berat atau terlihat pada tidak adanya pankolitis
harus dicurigai ke arah penyakit Crohn. Temuan patologik juga disesuaikan
dengan usia, dimana pada usia tua lesi lebih banyak di lokasi kolon dan usus
distal dibandingkan dengan usia muda yang banyak terjadi di ileocolic junction.6

Pada kolon asenden, transversum, desendens, sigmoid sampai rektum


terdapat gambaran hiperemis dan erosi, anus ditemukan hemoroid interna dan
eksterna dengan simpulan curiga penyakit Crohn, hemoroid interna dan eksterna.
Pemeriksaan histopatologik penyakit Crohn menunjukkan adanya gambaran
granuloma (kumpulan sel monosit atau makrofag, dan sel inflamasi lain seperti
limfosit, dengan atau tanpa giant cells) pada lapisan lamina propria epitel saluran
cerna, submukosa, sampai lapisan serosa. Akan tetapi gambaran granuloma ini
tidak patognomonis untuk penyakit Crohn (ditemukan hanya 50-60% saja dari
keseluruhan pemeriksaan biopsi jaringan dari endoskopi), karena dapat ditemukan
pada kolitis ulseratif, serta penyakit kronis inflamasi lain seperti tuberkulosis
usus, sarkoidosis, dan kolitis terkait obat. Kesulitan diagnosis secara
histopatologik dapat terjadi pada kasus kolitis fulminan, onset awal dari penyakit,
dan pada penyakit yang sudah berlangsung lama.6

Diagnosis presumtif untuk menentukan penyakit Crohn pada pemeriksaan


histopatologik dengan adanya granuloma epiteloid dan salah satu dari gambaran
kerusakan epitel atau respon inflamasi seluler yang berupa peningkatan intesitas
serta perubahan komposisi dan distribusi sel inflamasi; atau setidaknya terdapat 3
(tiga) gambaran perubahan sel inflamasi di lapisan sel yang normal, gambaran
skip lessions, dan distorsi serta hilangnya bagian dari kripta mukosa saluran
cerna, jika tidak ditemukan adanya granloma epitel. Pemeriksaan histopatologik
mendapatkan pada bagian antrum terdiri dari kelenjar-kelenjar mukosa yang

11
sebagian erosif diantara stroma yang hiperemis dan diinfiltrasi oleh sel-sel
limfosit dengan Helicobacter pylori (-); pada jaringan korpus terdiri dari kelenjar-
kelenjar mukosa diantara stroma yang diinfiltrasi oleh sel-sel limfosit dengan
Helicobacter pylori (-); pada bagian ileum terminalis terdiri dari kelenjar-kelenjar
mukosa dengan stroma yang mengandung infiltrat sel limfosit cukup padat dan
satu sampai dua sel datia; pada bagian sekum, kolon asendens, kolon transversum,
kolon desendens, sigmoid dan rektum terdiri dari kelenjar-kelenjar mukosa
diantara stroma yang diinfiltrasi oleh sel-sel limfosit cukup padat dan tidak
tampak struktur tuberkel ataupun sel-sel maligna pada sediaan ini; dari hasil
pemeriksaan tersebut didapatkan kesimpulan gastritis kronik non spesifik, ileitis
kronik non spesifik dengan sel datia, pan kolitis non spesifik, proktitis kronik non
spesifik. 6

Pemeriksaan lain yang dapat digunakan dalam diagnosis ialah pemeriksaan


fecal calprotectin yang meruoakan protein sitosol dalam neutrofil granulosit serta
makrofag, monosit, dan sel epitel. Jika terjadi inflamasi pada saluran cerna seperti
pada kasus penyakit usus inflamasi (inflammatory bowel disease) yang aktif
makan, sel PMN neutrofil akan bermigrasi dari sirkulasi ke dalam sel mukosa
intestinal yang mengalami peradangan. Dengan bermigrasinya sel PMN ke dalam
lumen intestinal maka protein proinflamasi seperti penyait Crohn dapat dideteksi
dan diukur dalam feses. Berdasarkan the Buhlmann Calprotectin Assay, dikatakan
normal bila <50 µg/dL, penyakit ringan bila 50-200 µg/dL, dan penyakit aktif bila
>200 µg/dL.6

Penyakit ini kemudian diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi Montreal

12
(2005) yang merupakan revisi dari klasifikasi Wina (2001), yang digunakan untuk
menentukan subtipe fenotipe dari penyakit ini. Klasifikasi ini didasarkan pada
usia (age), yaitu A1 untuk usia di bawah 16 tahun, A2 untuk usia antara 17
sampai 40 tahun, dan A3 untuk usia di atas 40 tahun; lokasi (location), yaitu L1
untuk lokasi di ileum terminalis, L2 untuk lokasi di kolon, L3 untuk lokasi di
ileokolon, dan L4 untuk lokasi di saluran cerna bagian atas; karakteristik penyakit
(disease behaviour), yaitu B1 tidak striktur dan tidak penetrasi, B2 untuk kasus
striktur, dan B3 untuk kasus penetrasi, serta tambahan P untuk kasus bilamana
terjadi komplikasi fistula di perianal.6

Penyakit ini dapat berubah sewaktu-waktu dan klasifikasi ini digunakan


untuk mendeteksi secara dini perubahan dari karakteristik penyakit ini. Aktivitas
peyakit ini harus dinilai untuk menentukan tatalaksana yang tepat terhadap
penyakit ini. Terdapat beberapa metode penilaian yang dapat dipakai dalam
menilai aktivitas secara klinis terhadap penyakit ini, salah satunya dengan
Crohn’s Disease Activity Index (CDAI), yaitu nilai <150 sebagai tidak aktif; 150-
219 aktivitas ringan; 220-450 aktivitas sedang; dan >450 aktivitas berat. Penilaian
meliputi volume, konsistensi, dan frekuensi tinja; penggunaan obat anti motilitas;
frekuensi nyeri perut; adanya manifestasi ekstraintestinal seperti artritis atau
artralgia, iritis, uveitis; adanya komplikasi fistula atau abses; serta parameter
umum lain seperti adanya demam, jenis kelamin, berat badan. Akan tetapi pada
penilaian ini terdapat beberapa keterbatasan, seperti variabilitas penilaian secara
subyektif masih tinggi, rendahnya akurasi penilaian pada kasus dengan
komplikasi fistula, dan tidak dapat dipakai pada kasus pasca reseksi usus atau
adanya stoma. Oleh karena itu, dapat digunakan penilaian secara endoskopi
dengan menggunakan parameter SES-CD (Simple Endoscopy Score for Crohn’s
Disease) dengan nilai 0-2 untuk kasus inaktif, 3-6 untuk kasus ringan, 7-16 untuk
kasus sedang, dan >16 untuk kasus berat. Penilaian dengan SES-CD berguna juga
untuk menilai respon terapi dan remisi dari penyakit ini dengan melihat secara

13
langsung proses penyembuhan mukosa sesuai dengan target tatalaksana penyakit
ini.6

J. Tata Laksana
Tatalaksana terhadap penyakit Crohn ditentukan dari lokasi lesi, aktivitas
dari penyakit ini secara klinis dan histopatologik, serta beratnya derajat dari
penyakit ini. Prinsip tatalaksana penyakit Crohn ialah mengobati kondisi
peradangan aktif hingga cepat mencapai remisi, mencegah peradangan berulang
dengan mempertahankan remisi selama mungkin, serta mengobati dan mencegah
komplikasi yang timbul.6
Tatalaksana penyakit ini meliputi tatalaksana umum, tatalaksana
farmakologik, dan tatalaksana operatif. Terdapat dua strategi yang dapat dipakai
dalam tatalaksana farmakologis yaitu dengan pendekatan “step up” yang dimulai
dengan kortikosteroid atau asam 5-aminosalisilat, atau pendekatan “step down”
dengan menggunakan agen biologik anti-TNF sebagai terapi inisiasi.23 Metode
“step down” ini masih kontroversi karena dapat berisiko menyebabkan kanker dan
peningkatan kejadian infeksi. Tatalaksana umum meliputi pemberian antibiotik
seperti metronidazol, dan perbaikan kondisi umum pasien, dan tatalaksana nutrisi
yang adekuat. Tatalaksana farmakologik dibedakan berdasarkan aktivitas penyakit,
yaitu pada kondisi peradangan aktif dapat diberikan golongan kortikosteroid
seperti budesonid, metilprednisolon, dan prednison, serta golongan asam 5-
aminosalisilat seperti mesalasin dan sulfasalasin.6
Pada umumnya terapi dengan kortikosteroid akan mencapai remisi aktif
dalam 8-12 minggu, yang kemudian jika mecapai kondisi remisi akan diikuti
dengan penurunan dosis secara bertahap (tappering off). Pada beberapa kondisi
berat kortikosteroid dapat diberikan secara parenteral. Pemberian kortikosteroid
ditujukan untuk mencapai konsentrasi tertinggi di mukosa usus dengan efek
sistemik minimal. Terapi dengan 5-aminosalisilat digunakan untuk
mempertahankan kondisi remisi selama mungkin. Tatalaksana operatif diberikan

14
bila pengobatan konservatif atau farmakologis tidak berhasil dan terdapat
komplikasi fistula, perforasi, dan abses.6

Pendekatan pengobatan pada penyakit Crohn harus didasarkan pada


stratifikasi pasien saat diagnosis menjadi mereka yang berisiko rendah dan mereka
yang berisiko tinggi berkembangnya penyakit. Diagnosis dini (yaitu, segera setelah
timbulnya gejala) dapat difasilitasi dengan penggunaan sistem bendera merah
(gejala atau tanda yang menunjukkan penyakit Crohn). Stratifikasi dicapai dengan
penilaian ekstensif aktivitas penyakit (dengan analisis serologis dan feses serta
penilaian endoskopi kerusakan usus) dan faktor prognostik, seperti durasi
penyakit, usia, merokok, kebutuhan awal kortikosteroid, komplikasi, dan ulkus.

15
Pasien dengan risiko rendah perkembangan penyakit dirawat dengan
pendekatan bertahap, yang melibatkan terapi induksi dengan kortikosteroid, baik
yang ditargetkan secara usus (menggunakan budesonide) atau sistemik
(prednison), atau steroid dalam kombinasi dengan tiopurin atau metotreksat.
Pasien dengan risiko tinggi perkembangan penyakit dirawat dengan pendekatan
top-down, yang melibatkan terapi induksi yang terdiri dari agen biologis (seperti
terapi anti tumor necrosis factor (anti-TNF), antibodi anti-integrin vedolizumab
dan antibodi anti-sitokin ustekinumab. ), dengan atau tanpa tiopurin. Pemantauan
ketat berguna selama tindak lanjut untuk mengukur penyembuhan mukosa dan
menilai kualitas hidup (QOL), dan melibatkan pemantauan obat terapeutik (TDM),
tes serum dan feses, dan evaluasi endoskopi kerusakan usus. Jika tidak ada
peradangan yang terdeteksi pada tindak lanjut (yaitu, remisi), aktivitas penyakit
pada pasien dipantau secara ketat. Namun, jika peradangan terdeteksi, maka
sejumlah langkah dilakukan untuk mengidentifikasi pengobatan alternatif, seperti
pengobatan dengan mekanisme kerja yang berbeda atau dalam kelas terapeutik
yang berbeda. CRP, C- protein reaktif.7

K. Komplikasi 5
1. Stricture
Peradangan yang sedang berlangsung yang kemudian mengalami
penyembuhan di usus dapat menyebabkan terbentuknya jaringan parut, yang
dapat menyebabkan terdapat bagian yang sempit di usus yang dikenal sebagai
Striktur. Striktur dapat mempersulit lewatnya makanan dan jika parah, dapat
menyebabkan penyumbatan . Gejalanya dapat berupa kram berat yang
menyebabkan sakit perut, mual, muntah, dan sembelit. Perut bisa menjadi
kembung dan buncit, dan usus dapat menimbulkan bising yang keras. Stricture
biasanya ditangani dengan pembedahan, seringkali dengan operasi yang dikenal
dengan strikturoplasty.. Namun, pada beberapa kasus dapat ditangani dengan
menggunakan metode endoskopi dilatasi balon.

16
2. Perforasi
Meski jarang terjadi, peradangan yang parah di dalam dinding usus atau
penyumbatan yang berat yang disebabkan oleh striktur dapat menyebabkan
perforasi atau pecahnya usus, sehingga terbentuk lubang. Komplikasi ini
merupakan suatu kegawatdaruratan medis. Gejalanya meliputi sakit perut yang
berat, demam, mual dan muntah.
3. Fistula
Beberapa orang dengan Chron’s Disease juga dapat membentuk fistula. Fistula
adalah saluran abnormal yang menghubungkan satu organ internal ke bagian
lain atau ke permukaan luar tubuh. Kebanyakn fistula dimulai dari dinding usus
dan dapat menghubungkan bagian-bagian usus satu sama lain atau usus ke
vagina, kandung kemih, atau kulit. Fistula terbentuk ketika peradangan pada
Chron menyebar melalui seluruh permukaan dinding usus.

L. Diagnosis Banding
1. Kolitis Ulseratf 13,14
Inflammatory Bowel Disease (IBD) terdiri atas dua tipe mayor yaitu Kolitis
Ulceratif (UC) dan Chron’s Disease (CD), Pada UC inflamasi dimulai dari rectum
dan meluas sampai kolon bagian proksimal, melibatkan hampir seluruh bagian
dari usus. Rectum selalu terkena pada UC, dan tidak ada “skip lession” dimana
skip lession didapatkan di Chron’s Disease.
2. TB Intestinal14,15
TBI dan CD adalah penyakit granulomatosa kronis dengan kesamaan
fenotipe yang menyulitkan dalam membedakan kedua penyakit ini. Terdapat
banyak kemiripan secara klinis, radiologi, endoskopi, bedah dan histologi.
Ileum terminal lebih sering terjadi pada penyakit crohn dibandingkan
dengan tuberkulosis intestinal dimana ileum terminal dengan katup ileocecal
lebih sering. Kolon kanan termasuk sekum lebih sering pada tuberculosis
intestinal dibandingkan pada penyakit crohn. Kelainan tuberkulosis intestinal

17
pada kolon kiri jarang terjadi. Selain itu, Skip lessions Lebih sering ditemukan
pada penyakit crohn yaitu sebesar 99% dibandingkan dengan tuberkulosis
intestinal.

M. PROGNOSIS
Prognosis penyakit Crohn tergantung pada kondisi remisi dan komplikasi
yang timbul atau tingkat respon terhadap pengobatan konservatif. Banyak
dilaporkan adanya remisi yang bersifat spontan. Risiko keganasan dapat terjadi
pada penyakit ini jika aktivitas penyakit tidak dapat dikendalikan.6

DAFTAR PUSTAKA

18
1. Yosy, S., Salwan, H. 2014. Inflammatory Bowel Disease Pada Anak .
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
46(2). 158-163.
2. Lubis, H. 2017. Chron’s Disease. Ibnu Sina Biomedika. Departemen Patologi
Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
Vol 1 (12). 37-59.
3. Avesina, N., Iskandar C. 2017. Penyakit Chron’s Disease pada Laki-Laki Usia
55 Tahun. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung Vol 6 (3). 96-101.
4. GI Society. 2019. Chron’s Disease. Canadian Society of Intestinal Research.
1-3.
5. Gauci, J., et all. 2018. Small Bowel Imaging in Chron’s Disease Patients.
Annals of Gastroenterology. Mater Dei Hospital Malta. 395-405
6. Paul V.S., Gosal.F. 2020. Penyakit Crohn: Laporan Kasus. Medical Scope
Journal (MSJ). 2(1): 7-16
7. Roda, G., et all. 2020. Chron’s Disease. Nature Reviews Disease Primers. 6(22)
8. Delint, D., et all. 2016. Chron’s Disease Review and Current Concepts. Medica
Sur Clinic and Foundation. 23(1) : 10-20.
9. Jufri M. 2018. Saluran Cerna Yang Sehat : Anatomi dan Fisiologi. Universitas
Gadjah Mada. 1-12.
10. Basri, I., dkk. 2015. Buku Ajar Biomedik 2. Departemen Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin. 57-86
11. Behzadi, P., Behzadi, E., Ranjbar, R. 2015. The Incidence and Prevalence of
Chron’s Disease in Global Scale. Symbiosis. Islamic Azad University. 2-6
12. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease. 2014. Chron’s
Disease. National Digestive Diseases Information Clearinghouse. 1-15.

13. Danastri, G., Putra, I. 2016. Inflammatory Bowel Disease. Divisi Bedah Digestif.
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 1-29.

19
14. Sutton, D., Young, J. 2015. a Concise textbook of Clinical Imaging. Mosby-Year
book.553-618.
15. Sharma, R., Madhusudhan, K., Ahuja, V. 2016. Tuberkulosis Intestinal Versus
Penyakit Chron : Rekomendasi Klinis dan Radiologis. India journal of radiology
and imaging. Vol 26. 1-20

20

Anda mungkin juga menyukai