Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

KATARAK

Oleh :
Faradila Ilmi Aulia , S.Ked
K1A1 16 110

Pembimbing:
dr. Syamsiah Pawennei, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DAN


KEDOKTERAN KOMUNITAS
BAGIAN KEDOKTERAN KELUARGA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Faradila Ilmi Aulia

Stambuk : K1A1 16 110

Judul : Katarak

Program Studi : Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Telah menyelesaikan pembacaan Referat dalam rangka

kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan

Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo pada

bulan Juli 2020.

Kendari, Juli 2020

Pembimbing

dr. Syamsiah Pawennei, M.Kes


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,

karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Referat

dengan judul Katarak ini sebagai tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu

Kedokteran Keluarga dan Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Penulis menyadari bahwa pada proses pembuatan Referat ini masih

banyak kekurangan. Oleh karena itu, segala bentuk kritik dan saran dari semua

pihak yang sifatnya membangun demi penyempurnaan penulisan berikutnya

sangat penulis harapkan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Syamsiah Pawennei, M.Kes

atas bimbingan dan arahannya sehingga berbagai masalah dan kendala dalam

proses penyusunan Referat ini dapat teratasi dan terselesaikan dengan baik.

Penulis berharap semoga ini dapat bermanfaat bagi penulis pada

khususnya dan para pembaca pada umunya serta dapat dipergunakan sebagaimana

mestinya. Atas segala bantuan dan perhatian baik berupa tenaga, pikiran dan

materi pada semua pihak yang terlibat dalam menyelesaikan laporan ini penulis

mengucapkan terima kasih.

Kendari, Juli 2020


Faradila Ilmi Aulia, S.Ked

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi

akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau terjadi

akibat kedua-duanya (Ilyas, 2015).

Setidaknya terdapat satu orang di dunia menderita kebutaan dalam setiap

5 detik dan diperkirakan oleh WHO setiap tahunnya terdapat lebih dari 7 juta

orang menjadi buta. Terdapat 0,58% atau 39 juta orang menderita kebutaan

dan 82% dari penyandang kebutaan berusia 50 tahun atau lebih (WHO, 2012).

Kebutaan di dunia berjumlah sebanyak 39 juta orang dan 51% dari kebutaan di

dunia disebabkan oleh katarak (WHO, 2012).

Angka kejadian katarak paling banyak berada di negara miskin dan

berkembang seperti Asia dan Afrika. Negara miskin dan berkembang seperti

Asia dan Afrika memiliki risiko 10 kali lebih besar mengalami katarak

dibandingkan dengan penduduk di negara maju. Saat ini katarak telah banyak

menyerang usia produktif seperti negara India menunjukkan prevalensi katarak

sebesar 24% pada kelompok 50-60 tahun, dan sebesar 16% berada di kelompok

30-50 tahun. Tingginya angka kebutaan di Indonesia menempatkan Indonesia

pada urutan pertama di Asia dengan tingkat kebutaan yang tertinggi, dengan

perbandingan angka kebutaan 3 juta orang buta diantara 210 juta penduduk
Indonesia, sedangkan di dunia Indonesia berada pada posisi kedua setelah

Ethiopia dengan prevalensi di atas 1% (Aini dan Santik,2018).

Prevalensi penduduk yang menderita katarak pada tahun 2013 di

Indonesia sebesar 1,8% atau sekitar 18.499.734 orang. Sementara perkiraan

insidensi katarak sebesar 0,1% per tahun. Penduduk Indonesia juga memiliki

kecenderungan menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan penduduk

di daerah subtropis (Kemenkes R.I., 2013).

Penyakit katarak terutama disebabkan oleh proses degenerasi yang

berkaitan dengan usia (Mo’otapu et al., 2015). Beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi kejadian katarak yaitu seperti jenis kelamin dan umur,rokok,

alkohol, sinar matahari, traumatik, pekerjaan, ekonomi, serta riwayat penyakit

sistemik yaitu diabetes mellitus (Lukas et al., 2017). Penelitian yang dilakukan

oleh Tana (2007) menemukan bahwa selain faktor-faktor diatas faktor seperti

tipe daerah juga mempengaruhi kejadian katarak. Hipertensi juga dapat

menyebabkan seseorang berisiko untuk terkena penyakit katarak (Aini dan

Santik, 2018).

Penyebab penyakit mata katarak yang paling sering ditemukan adalah

disebabkan oleh umur. Umur menjadi penyebab yang paling sering

menyebabkan katarak karena protein pada lensa mata akan semakin menurun

seiring dengan bertambahnya umur (Awopi et al., 2016). Katarak merupakan

penyakit yang dapat menyerang siapa saja, namun katarak banyak terjadi pada

usia di atas 40 tahun (Hadini et al., 2016). Semakin bertambahnya umur maka

kekuatan lensa mata akan berubah. Kemampuan lensa untuk menghamburkan


cahaya matahari adalah salah satu perubahannya. Perubahan ini terjadi

dimulai saat berusia 40 tahun (Aini dan Santik, 2018)

Berdasarkan uraian diatas, tingginya presentase angka prevalensi kasus

Katarak di Indonesia, maka diperlukan adanya pengetahuan yang lebih baik

lagi untuk masyarakat terutama daerah – daerah wilayah kerja puskesmas

dimana Katarak merupakan salah satu dari sepuluh penyakit terbanyak di

daerah tersebut.

B. TUJUAN

1. Tujuan Umum

Untuk Mengetahui Katarak secara umum, serta prevalensi kejadian

Katarak khususnya di Wilayah Sulawesi Tenggara.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui penyebab terjadinya Katarak.

b. Mendapatkan pemecahan masalah kesehatan pada pasien Katarak

C. MANFAAT

1. Manfaat Teoretis

Dapat menambah wawasan untuk mengenali tanda, bahaya, dan

penatalaksanaan dari kasus Katarak

2. Manfaat Aplikatif

Untuk memberikan masukkan kepada Puskesmas sehingga pihak

puskesmas dapat membuat program cara pengenalan terhadap gejala –

gejala Katarak yang tepat

3. Manfaat Metodologis
Sebagai salah satu referensi atau data pendukung khususnya untuk

mengenali penyebab dan klasifikasi Katarak.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI LENSA

1. Anatomi Lensa

Lensa merupakan suatu struktur bening dan berbentuk bikonveks

yang tersuspensi dari corpus ciliare oleh zonula ciliaris. Struktur ini

terletak di antara iris dan corpus vitreous dimana diameternya berukuran

sekitar 9 mm dan ketebalannya sekitar 4 mm. Ketebalan lensa dapat

berubah dengan proses akomodasi. Lensa mempunyai permukaan anterior

dan posterior, dimana bagian posterior lensa lebih bikonveks daripada

bagian anterior. Pola anterior merupakan bagian aksial paling anterior dari

lensa, kemudian pola posterior merupakan bagian aksial paling posterior.

Kedua pola ini terhubung oleh ekuator lensa


Gambar 1. Anatomi Lensa

Sumber : American Academy of Ophthalmology Staff, 20142015a)

Lensa merupakan struktur avaskular yang tidak dipersarafi

sehingga lensa mendapatkan nutrisi dari corpus virtreous dan aquous

humour melalui proses difusi. Proses pembuangan zat-zat metabolik

terjadi pada arah yang sebaliknya, yaitu dari lensa masuk ke dalam corpus

virtreous dan aquous humour. Pada usia embrionik, lensa fetus terlihat

sebagai suatu penebalan dari permukaan ektoderm yang berada di atas

vesikel optik. Penebalan ektodermal ini membentuk vesikel lensa yang

akan membentuk lensa yang matur. Serabut-serabut lensa ini akan

berkembang seumur hidup dan nukleus lensa akan menjadi semakin keras

dan kuning seiring dengan proses penuaan (sklerosis nuklear). Proses ini

akan menyebabkan ukuran lensa menjadi lebih besar dan merupakan

suatu penyebab terjadinya gangguan refraksi pada orang yang lebih tua

(Ravindran, 2018)

Lensa terdiri dari kapsul, epitelium dan serabut. Terdapat satu

lapisan sel epitel di bawah kapsul anterior lensa. Bagian-bagian lensa lain

terdiri dari serabutserabut yang berasal dari sel-sel epitel. Epitel

subkapsular terdiri atas selapis sel kuboid yang hanya terdapat pada

permukaan anterior lensa. Serabut lensa tersusun memanjang dan

mempunyai struktur tipis dan gepeng serta mengandung protein kristalin.

Serabut-serabut ini terdiri atas nukleus (serabut sentral) dan korteks

(serabut perifer) ( Ravindran, 2018)


Lensa dibungkus oleh suatu membran tebal (10-20 μm), homogen,

refraktil, dan kaya karbohidrat, yang meliputi permukaan luar sel-sel

epitel. Kapsul ini merupakan suatu membran basal yang sangat tebal dan

terdiri atas kolagen tipe IV dan glikoprotein serta berfungsi sebagai

membran semi permeabel. Ini bermakna bahwa lensa akan membesar

dalam keadaan hipotonik dan mengecil dalam keadaan hipertonik

(Ravindran, 2018).

2. Fisiologis Lensa

Fungsi fisiologis dari lensa adalah:

1. Sebagai media refraksi yang berfungsi untuk merefraksikan cahaya

yang masuk ke dalam mata supaya terfokus terhadap retina

2. Sebagai suatu struktur dalam proses akomodasi yang dikendalikan

melalui kontraksi dan relaksasi zonula dan otot-otot siliaris

3. Pelindung retina dari sinar ultraviolet-B

Kornea dan lensa merupakan bagian utama dari system refraksi

pada mata dewasa. Kekuatan refraksi lensa mata berkorelasi dengan

radius lengkungan permukaan lensa dan indeks refraksi internanya.

Dalam skematik dimana lensa dianggap sebagai satu media refraktif yang

homogen, lensa diaanggar mempunyai indeks refraktif sebanyak 16-20

Dioptre (D). Namun begitu, lensa sebenarnya mempunyai sikap refraktif

yang lebih kompleks. Hal ini dikarenakan struktur lensa yang mempunyai

lapisan-lapisan jelas dari korteks hingga ke nukleus. Lapisan tersebut

dibentuk oleh konsentrasi protein dan densitas serabut yang bervariasi.


Oleh itu, lensa merupakan suatu media refraksi yang mempunyai indeks

refraksi bergradiasi

Menurut teori Helmholtz, akomodasi berlaku apabila bentuk lensa

diubah oleh kontraksi otot siliaris. Kontraksi otot ini akan menyebabkan

serabut zonular untuk relaksasi, lalu mengakibatkan tensi kapsular

menurun. Lensa akan menjadi lebih tebal dengan lengkungan yang

bertambah. Ini menyebabkan indeks refraksi lensa untuk menjadi lebih

tinggi. hal yang sebaliknya akan berlaku apabila otot siliaris relaksasi,

yaitu serabut zonular menjadi tegang, tensi kapsular meninggi, lensa

menjadi leper dan indeks refraktif lensa menurun. Proses ini dikendalikan

oleh nervus III kranialis (Liu, Y. 2017).

Fungsi akomodasi lensa bukan konstan, tetapi akan menurun

seiringan dengan umur. Hal ini diakibatkan elastisitas lensa yang menurun

dan kehilangan serabut zonular atau elastisitas serabut zonular. Faktor-

faktor ini menyebabkan penurunan progresif dari fungsi akomodatif lensa

sehingga indeks refraksi lensa menurun dari 14D pada masa kanak-kanak

menjadi 11D pada umur 20 tahun dan menurun lagi sehingga 6D pada

umur 40 tahun. Apabila seseorang mencapai 5060 tahun, akan berlakunya

kehilangan hamper semua fungsi akomodasi lensa, yaitu presbyopi (Liu

Y, 2017).

Lensa berupaya untuk mengabsorbsi panjang gelombang cahaya

380 - 400 nm, sehingga hanya sebagian kecil sinar ultraviolet dapat

sampai ke retina. Kapasitas lensa untuk mengabsorbsi cahaya yang


terlihat akan meningkat seiringan dengan umur untuk melindungi retina

dari kerusakkan yang diakibatkan cahaya terlihat (Liu, Y., 2017).

B. DEFINISI KATARAK

Katarak berasal dari bahasa Yunani “Katarrhakies” yang berarti air

terjun. Dalam bahasa Indonesia, katarak disebut sebagai bular dimana

penglihatan seperti tertutup air terjun akibat lensa yang keruh. Katarak adalah

setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi

(penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau terjadi akibat

kedua-duanya (Ilyas, 2015). Katarak merupakan suatu penyakit mata dimana

terjadi kekeruhan pada lensa mata. Lensa mata normalnya transparan, jernih

dan dilalui cahaya menuju retina. Kekeruhan pada lensa mata dapat

mengakibatkan lensa tidak transparan, sehingga pupil berwarna putih dan

abu-abu (Siswoyo,dkk. 2018).

C. EPIDEMIOLOGI KATARAK

Pascolini, D. dan Mariotti, S. (2011) mengatakan bahwa 33% dari kasus

gangguan penglihatan dan 51% dari kasus kebutaan dunia diakibatkan

penyakit katarak. Penyakit ini merupakan penyebab gangguan penglihatan

dan kebutaan tertinggi di dunia (43%) setelah gangguan refraktif seperti

miopia, hiperopia dan astigmatisme (33%) (Laser Eye Surgery Hub, 2018).

Kebutaan di dunia berjumlah sebanyak 39 juta orang dan 51% dari kebutaan

di dunia disebabkan oleh katarak (WHO, 2012).

Angka kejadian katarak paling banyak berada di negara miskin dan

berkembang seperti Asia dan Afrika. Negara miskin dan berkembang seperti
Asia dan Afrika memiliki risiko 10 kali lebih besar mengalami katarak

dibandingkan dengan penduduk di negara maju. Saat ini katarak telah banyak

menyerang usia produktif seperti negara India menunjukkan prevalensi

katarak sebesar 24% pada kelompok 50-60 tahun, dan sebesar 16% berada di

kelompok 30-50 tahun. Tingginya angka kebutaan di Indonesia menempatkan

Indonesia pada urutan pertama di Asia dengan tingkat kebutaan yang

tertinggi, dengan perbandingan angka kebutaan 3 juta orang buta diantara 210

juta penduduk Indonesia, sedangkan di dunia Indonesia berada pada posisi

kedua setelah Ethiopia dengan prevalensi di atas 1% (Aini dan Santik,2018).

Di Indonesia, perkiraan insiden katarak adalah 0.1%/tahun artinya setiap

tahun terdapat seorang penderita katarak baru diantara 1000 orang. Sekitar

16-22% penderita katarak yang dioperasi berusia di bawah 55 tahun. Di

Sulawesi Tenggara kejadian katarak yakni sebanyak 1.8% (Riskesdas,2013).

D. FAKTOR RISIKO

Katarak merupakan suatu penyakit yang multifaktorial. Antara faktor

risiko penyakit katarak adalah usia yang lanjut, jenis kelamin perempuan,

indeks massa tubuh yang tinggi, hipertensi dan penyakit diabetes mellitus.

a) Usia yang lanjut

Katarak senilis didefinisikan sebagai katarak yang berlaku pada pasien

yang berumur lebih dari 50 tahun yang tidak diakibatkan oleh trauma

mekanik, kimiawi atau radiasi yang diketahui. 48% dari kasus kebutaan

diakibatkan oleh jenis katarak ini. Antara mekanisme yang menybabkan

berlakunya katarak akibat usia adalah aggregasi protein dalam lensa,


kerusakkan sel-sel serat membran dan migrasi abnormal sel epitel lensa

mata. (Gupta, V., et al., 2014).

b) Jenis kelamin perempuan

Perempuan lebih cenderung mendapat penyakit katarak dari laki-

laki. Patogenitas yang spesifik terjadinya katarak akibat faktor risiko ini

masih belum difahami dengan sepenuhnya, namun hal ini kemungkinan

karena penurunan estrogen yang berlaku pasca menopause pada wanita

(Zetterberg, M. dan Celojevic, D. 2014).

c) Indeks massa tubuh yang tinggi

Indeks massa tubuh yang tinggi atau dengan lebih spesifik lagi,

obesitas, menunjukkan hubungan yang inkonsisten dengan kejadian

katarak. Oleh itu, kausalitas katarak akibat obesitas masih tidak dapat

dibuktikan (Ravindran. 2018)

d) Hipertensi

Oleh karena katarak berhubungan dengan inflamasi sistemik berat,

hipertensi dapat mempengaruhi patogensis pembentukkan katarak melalui

mekanisme infalmasi. Selain itu, terdapat teori di mana hipertensi bisa

menyebabkan perubahan protein lensa yang terjadi pada katarak menjadi

permanen. Namun, hasil penelitian epidemiologi mash inkonsisten

mengenai mekanisme hipertensi sebagai faktor risiko katarak (Ravindran.

2018)

e) Diabetes mellitus
Penyakit diabetes mellitus yang tidak terkontrol dapat

menyebabkan stres oksidatif, stress osmotic dan glikasi tanpa enzim pada

lensa mata. Hal-hal ini dapat menyebabkan kejadian katarak (Gupta, V.,

et al., 2014).

E. PATOFISIOLOGI

Lensa dibentuk oleh protein kristalin dan mempunyai jalur protein

membran untuk menjaga keseimbangan osmotik dan ioniknya. Komposisi

molekular kristalin membenarkan lensa untuk mengabsorbsi radiasi dalam

jangka masa yang panjang untuk menghindari kerusakkan yang diakibatkan

oleh radiasi pada lensa. Namun, upaya ini akan menurun seiring dengan usia

oleh karena stres oksidatif dan penurunan kemampuan metabolisme glukosa

yang dialami oleh lensa. Hal ini akan menyebabkan kekeruhan lensa

bertambah akibat aggregasi protein lensa, lalu menyebabkan katarak senilis

(Nartey, A. 2017).

Apabila kadar glukosa dalam lensa meninggi, jaluran poliol akan

teraktivasi lebih banyak daripada jaluran glikolitik, lalu akan menyebabkan

akumulasi dari zat sorbitol dalam lensa. Sorbitol pula akan dimetabolisme

menjadi fruktosa oleh enzim poliol dehidrogenase dan reaksi ini dikatalisir

oleh enzim aldose reduktase. Namun, enzim poliol dehidrogenase mempunyai

affinitas yang sangat rendah terhadap glukosa. Ini bermakna bahwa

akumulasi sorbitol dalam lensa akan terjadi sebelum zat ini dapat

dimetabolisme. Hal ini, bersamaan dengan karakteristik permeabilitas yang

rendah dari lensa terhadap sorbitol akan mengakibatkan penumpukkan


sorbitol di dalam lensa. Dalam hal inilah berperan penting dalam

pembentukkan katarak gula (Nartey, A., 2017).

Kadar oksigen yang meninggi dalam mata juga mempunyai peranan

dalam formasi katarak. Contohnya, pemaparan lensa terhadap kadar oksigen

yang tinggi dalam terapi hiperbarik akan mengakibatkan perubahan miopik,

kekeruhan nukleus lensa yang menambah dan pembentukkan katarak nuklear

(Nartey, A. 2017).

F. KLASIFIKASI

Klasifikasi katarak belum lagi distandardisasi secara universal. Antara cara

klasifikasi katarak adalah berdasarkan etiologinya (Barnard, S., 2018):

1. Katarak Kongenital

Katarak kongenital berlaku pada bayi dan bisa diakibatkan oleh

kelainan genetic autosomal dominan. Katarak ini juga data diakibatkan

oleh infeksi pada ibu hamil seperti infeksi rubella dan toksoplasmosis.

Kelainan metabolic pada ibu hamil seperti galaktosemia juga dapat

mengakibatkan katarak kongenital.

2. Katarak Degeneratif (Katarak Senilis)

Katarak ini berlaku seiring proses penuaan.

3. Katarak Traumatik

Kekeruhan lensa ini berlaku akibat trauma terhadap lensa mata.

4. Katarak Sekunder

Katarak sekunder biasanya berlaku akibat penyakit sistemik seperti

diabetes mellitus tidak terkontrol, galaktosemia, dan dermatitis atopik.


5. Katarak Toksik

Katarak ini biasanya terjadi akibat penggunaan obat secara kronik.

Contoh obat yang bisa menyebabkan katarak adalah kortokosteroid dan

amiodarone.

6. Katarak Akibat Genetik

Terdapat banyak jenis katarak kongenital dan developmental, dan

kebanyakkan kasus katarak ini hanya didiagnosis sewaktu pasien telah

remaja atau dewasa. Namun, katarak yang terkait dengan proses penuaan

(katarak senilis) dapat dibahgi secara umum kepada 3 kategori

berdasarkan tempat letaknnya di lensa, yaitu, katarak nuklear, katarak

kortikal dan katarak subkapsular posterior. 1. Katarak Nuklear :

Kekeruhan pada lensa berlaku pada nukleus lensa, di mana struktur dari

lensa menjadi keras dan kekuningan. Proses ini berlangsung secara

perlahan. Pasien yang mempunyai katarak ini mengalami penurunan visus

yang paling buruk apabila dibandingkan dengan katarak kortikal dan

subkapsular posterior. 2. Katarak Kortikal : Katarak ini menyebabkan

kekeruhan lensa di bagian korteks. Visus pasien hanya akan terganggu

jika opasitas lensa berada di axis penglihatan lensa. Namun, katarak ini

sering menyababkan kesilauan pada pasien. 3. Katarak Subkapsular :

Posterior Pada katarak ini, kekeruhan lensa berlaku pada sel serat yang

membungkus lensa (kapsul), dan biasanya berlaku pada pasien yang lebih

muda. Pasien biasanya akan mengeluh miopia dan kesilauan. Jenis


katarak ini terkait dengan penyakit diabetes mellitus dan kegunaan

kortikosteroid (Ravindran. 2018)

Katarak senilis dapat diklasifikasi dengan lebih lanjut lagi berdasarkan

stadiumnya:

1. Katarak Immatur

Ketebalan dan perletakkan dari kekeruhan lensa bervariasi dan

masih terdapat serat lensa yang jernih. (Ravindran, 2018)

2. Katarak Matur

Kekeruhan lensa yang komplit, tanpa reflex merah dan berwarna

putih atau brunescent (Ravindran, 2018)

3. Katarak Hipermatur

Kekeruhan lensa berlaku secara komplit, tanpa reflex merah dan

berwarna putih seperti susu. Lena mengandungi cairan putih dan

kapsul menjadi berkedutan (Ravindran, 2018)

4. Katarak Insipiens

Kekeruhan lensa dapat dilihat melalui pemeriksaan slit-lamp,

namun tidak signifikan secara klinis (Ravindran, 2018).

G. MANIFESTASI KLINIS

Kebanyakkan pasien katarak mengalami penglihatan yang kabur. Onset

gangguan penglihatan ini adalah lambat dan progresif. Hal ini dapat bertimbul

melalui kesukaran membaca tulisan yang halus atau seseorang itu


memerlukan cahaya yang lebih terang dari biasa unuk membaca. Pasien juga

mengalami gangguan silau yang disebabkan oleh matahari atau lampu

kenderaan pada hari malam. Hal ini diakibatkan oleh dispersi cahaya yang

berlaku akibat kekeruhan lensa yang berlaku pada pasien katarak. Pasien juga

dapat mengalami gangguan persepsi warna, di mana warna kelihatan seperti

desaturasi, kekurangan kontras ataupun terdapat distorsi kekuningan. Oleh

karena katarak bersifat progresif, penurunan kemampuan penglihatan juga

berlaku secara progresif. Katarak yang mengganggu upaya penglihatan

seseorang dapat didefinisikan dengan nilai Snellen sebanyak 6/12. Hal ini

diakibatkan oleh peningkatan kekeruhan lensa yang progresif (Nash, E. ,

2013).

H. DIAGNOSIS

Diagnosis katarak dapat dicapai melalui anamnesis dan pemeriksaan

diagnostik yaitu optalmoskopi yang diikuti oleh pemeriksaan slit-lamp.

Pemeriksaan ini paling baik dilakukan apabila pupil berada dalam keadaan
dilatasi, dan dapat memberitahu pemeriksa mengenai karakteristik, lokasi

serta keparahan katarak.

Gambar 2. Pemeriksaan Slit Lamp pada pasien Katarak

Sumber : Long et.al.2017

I. PENATALAKSANAAN

a) Bukan Pembedahan

Penatalaksanaan untuk katarak yang mengakibatkan gangguan

penglihatan signifikan umumnya adalah pembedahan. Ini karena

penatalaksanaan kuratif selain pembedahan belum dijumpai. Namun,

terdapat juga penatalaksanaan farmakologi yang menangani katarak secara

simptomatik

Penatalaksanaan non farmakologi:

1. Konseling pasien mengenai progresi penyakit katarak

2. Kaca mata afakia (Nash, E. 2013)

Penatalaksanaan farmakologi:

3 Inhibitor Aldose Reduktase (ARI)

Obat ini berfungsi untuk menginhibisi enzim aldose reduktase yang

bermain peranan yang besar dalam pembentukkan katarak gula. Contoh

obat ARI adalah Alrestatin, Imretat dan Epalrestat.

1. Antioksidan

Berfungsi untuk mengurangi stres oksidatif lensa yang diakibatkan

akumulasi poliol pada katarak diabetik. Contoh obat antioksidan


adalah seperti asam alfa lipoik, vitamin E dan piruvat. Namun,

beberapa penelitian mengatakan bahwa obat-obat ini memberi efek

kurang signifikan dalam penanganan katarak.

2. Obat Untuk Penanganan Edema Macular Setelah Pembedahan Katarak.

Obat-obat seperti anti inflamatorik non-steroid dapat menghalang

enzim siklooksigenase yang berfungsi untuk menghasilkan

prostaglandin (Nash E. 2013)

b) Pembedahan

Pembedahan merupakan satu-satunya penatalaksanaan kuratif dari

katarak, di mana lensa akan diangkat dan digantikan oleh lensa palsu,

lensa donor atau kaca mata afakia. Berikut merupakan indikasi dan

kontraindikasi pembedahan katarak. Indikasi :

1. Penurunan kualitas penglihatan sehingga menganggu kehidupan

seharian pasien

2. Anisometropeia signifikan

3. Lensa mengakibatkan inflamasi atau glaukoma sekunder

4. Lensa mengakibatkan angle closure

5. Kekeruhan lensa mengganggu diagnosis atau penatalaksanaan dari

kondisi segmen posterior

Kontraindikasi:
1. Kualitas penglihatan pasien belum lagi mengganggu aktivitas seharian

2. Pembedahan tidak dapat membaiki kualitas penglihatan, dan tidak

terdapat indikasi untuk mengangkat lensa yang lain

3. Pasien tidak dapat melalui pembedahan dengan aman akibat

komormiditas okular atau lainnya.

4. Penanganan pasca operasi pasien tidak dapat dilakukan

5. Pasien atau keluarga pasien tidak memberiinformed consent (Debas,

et al. 2015).

Terdapat beberapa jenis teknik pembedahan untuk mengangkat lensa

dalam kasus katarak:

1. Pharmacoemulsification

2. Manual Small Incision Cataract Surgery

3. Extracapsular Cataract Extraction

Tujuan dari tindakan pembedahan ini adalah untuk mengangkat lensa

yang keruh dari mata (Debas, H.et al., 2015)


BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN

Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi

akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau terjadi

akibat kedua-duanya. Lensa mata normalnya transparan, jernih dan dilalui

cahaya menuju retina. Kekeruhan pada lensa mata dapat mengakibatkan lensa

tidak transparan, sehingga pupil berwarna putih dan abu-abu.

Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 di Indonesia, perkiraan insiden

katarak adalah 0.1%/tahun artinya setiap tahun terdapat seorang penderita

katarak baru diantara 1000 orang. Sekitar 16-22% penderita katarak yang

dioperasi berusia di bawah 55 tahun. Di Sulawesi Tenggara kejadian katarak

yakni sebanyak 1.8%.

Katarak merupakan suatu penyakit yang multifaktorial. Antara faktor

risiko penyakit katarak adalah usia yang lanjut, jenis kelamin perempuan,

indeks massa tubuh yang tinggi, hipertensi dan penyakit diabetes mellitus

B. SARAN
a) Bagi Masyarakat

Masyarakat diharapkan dapat mengetahui bagaimana Katarak itu

sendiri, serta mengenali gejala – gejala yang berhubungan dengan

kejadian Katarak.

b) Bagi Instansi Kesehatan

Diharapkan dapat memberikan penyuluhan mengenai bahaya, gejala

dan tatalaksana Katarak.


DAFTAR PUSTAKA

Aini, N. A. dan Santik, Y. D. P. 2018, ‘Kejadian Katarak Senilis di RSUD


Tugurejo’, Higea Journal of Public Health, vol. 2, no 2
Awopi, G., Wahyuni, T. D. dan Sulasmini. 2016, ‘Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Kejadian Katarak di Poliklinik Mata Puskesmas Dau
Kabupaten Malang’, Nursing News, vol. 1, pp. 550–556
Barnard, S. (2018). [online] Barnardlevit.co.uk. Available at:
http://www.barnardlevit.co.uk/assets/Lectures/Cataract-Classification
2003.pdf [Accessed 14 Dec. 2018]
Debas, H. T., P. Donkor, A. Gawande, D. T. Jamison, M. E. Kruk, dan C. N.
Mock, editors.(2015). Essential Surgery. Disease Control Priorities, third
edition, volume 1. Washington, DC: World Bank.
Gupta, V., Rajagopala, M. danRavishankar, B. (2014). Etiopathogenesis of
cataract: An appraisal. Indian Journal of Ophthalmology, 62(2), p.103
Hadini, M. A., Eso, A. dan Wicaksono, S. 2016, ‘Analisis Faktor Risiko yang
Berhubungan dengan Kejadian Katarak Senilis Di RSU Bahteramas Tahun
2016’, pp. 256–267
Ilyas,S., dan Sri, R.Y, .2015. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta: Balai
Penerbit FK-UI .Hal 210
Kemenkes R. I. 2013, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Tahun 2013.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Laser Eye Surgery Hub.(2018). Cataract Statistics & Resources | Laser Eye
Surgery. 2018
Liu, Y. 2017. Pediatric lens diseases.Springer Nature Singapore Pte Ltd., pp.21-
28
Lukas, V. R., Pangkerego, S. B., dan Rumende, R. R. 2017, ‘Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Katarak Senilis di Wilayah Kerja Puskesmas Modayag
Kabupaten Bolaang Mongondow Timur’, E-Jurnal Sariputra, vol. 4, no. 2,
pp. 82–87
Mo’otapu, A., Rompas, S., dan Bawotong, J. 2015, ‘Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian Penyakit Katarak di Poli Mata RSUP Prof.
Dr. R.D Kandou Manado’, e-Journal Keperawatan (eKp), vol. 3, pp. 1–6
Nartey, A. (2017). The Pathophysiology of Cataract and Major Interventions to
Retarding Its Progression: A Mini Review. Advances in Ophthalmology &
Visual System, 6(3)
Nash, E. (2013). Cataracts. InnovAiT: Education and inspiration for general
practice, 6(9), pp.555-562.
Ravindran. 2018. Gambaran Faktor Risiko Katarak di Rumah Sakit Umum Pusat
Haji Adam Malik. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara
Riskesdas. 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian
Kesehatan
Siswoyo., Murtaqib., Sari,T. 2018. Terapi Suportif Meningkatkan Motivasi untuk
Melakukan Operasi Katarak pada Pasien Katarak di Wilayah Kerja
Puskesmas Tempurejo Kabupaten Jember. e-Jurnal Pustaka Kesehatan,
vol.6 (no.1),
World Health Organization. 2012, Global Invititive For The Elimination Of
Advoidable Blindness. Geneva
Zetterberg, M. danCelojevic, D. (2014).Gender and Cataract-The Role of
Estrogen. Current Eye Research, 40(2), pp.176-190

Anda mungkin juga menyukai