Anda di halaman 1dari 27

SKENARIO PBL

KASUS I :

Info 1

Anamnesis

Tn.Y datang diantar ke rumah sakit oleh keluarganya dengan keluhan kelemahan pada
anggota gerak kiri. keluhan dirasa sejak 6 jam yang lalu. Saat ia bangun pagi 6 jam yang
lalu, tiba-tiba tn.Y merasa tangan dan kaki kirinya terasa lemah namun masih bisa berjalan
dan makan sendiri. Keluhan disertai dengan mulut menceng ke kanan dan bicaranya pelo.
2 jam kemudian Tn.Y merasakan bahwa tangan dan kaki kirinya semakin lemah, bahkan
tidak dapat mengangkat gelas, Tn.Y merasa kelemahannya semakin berat. Dan tidak bisa
berjalan tanpa bantuan.

RPD : Hipertensi sejak 10 tahun yang lalu, tidak kontrol rutin, DM (-)

RPK : Bapak penderita mengalami gejala serupa

Riwayat Sosial Ekonomi :

Pasien seorang ibu rumah tangga, mempunyai 2 orang anak yang masih bersekolah,
suaminya bekerja sebagai penjaga malam. Biaya pengobatan ditanggung BPJS.
Sasaran Belajar

1. Review Anatomi Cerebrum Dan Nervus Kranialis


2. Review Fungsi Korteks Masing-Masing Lobus Dan Fungsi Dari Nervus
Kranialis
3. Definisi Stroke, Tanda Dan Gejala Stroke
4. Patofisiologi dari gejala stroke
5. Tata cara diagnose stroke
6. Analisa diagnosa klinis dan etiologi
7. Faktor resiko dan pencegahan stroke
8. Faktor resiko dan pencegahan stroke
9. Tata laksana stroke dan penatalaksanaan faktor resiko
10. Menjelaskan rehabilitasi yang dibutuhkan penderita stroke
11. Diagnosa dan aspek etik dan kasus stroke
1. Riview Anatomi Cerebrum Dan Nervus Kranialis
Otak dan medulla spinalis dibungkus oleh sebuah selaput yang lebih dikenal
dengan meningens. Lapisan meningens dari luar ke dalam diantaranya adalah
duramater, arachnoideamater, dan piamater. Otak terdiri dari cerebrum, cerebellum,
dan batang otak. Cerebrum merupakan bagian terbesar otak dan terletak di fossa
cranii anterior dan medius serta menempati seluruh cekungan termpurung tengkorak.
Cerebrum terbagi menjadi dua bagian: diencephalon yang membentuk inti sentral
yaitu hipotalamus dan thalamus serta telencephalon yang membentuk hemispherium
cerebri (Snell, 2007).
Hemisperium cerebri merupakan bagian otak yang paling besar dan dipisahkan
oleh fissura longitudinalis cerebri. Fissura longitudinalis superior berisi lipatan
durameter yang berbentuk seperti bulan sabit, yang biasanya disebut sebagai falx
cerebri dan berisi arteria cerebralis anterior. Cerebrum dibagi menjadi dua hemisfer,
yaitu : hemisfer dextra dan hemisfer sinistra. Kedua hemisfer tersebut dipisahkan
oleh fisura longitudinalis (Snell, 2007).

Gambar 1. Cerebrum (Martini, 2006)


Lobus cerebrum dibagi menjadi 4 lobus, yaitu :

a. Frontalis
Lobus frontalis mencakup bagian dari korteks serebrum ke depan dari sulkus
sentralis (suatu fisura atau alur) dan di alas sulkus lateralis. Bagian ini
mengandung daerah-daerah motorik dan pramotorik. Daerah Broca terletak di
lobus frontalis dan mengontrol ekspresi bicara. Banyak daerah-daerah asosiasi di
lobus frontalis menerima informasi dari seluruh otak dan menggabungkan
informasi-informasi tersebut menjadi pikiran, rencana, dan perilaku. Lobus
frontalis bertanggung jawab untuk perilaku bertujuan, penentuan keputusan moral,
dan pemikiran yang kompleks. Lobus frontalis memodifikasi dorongan -
dorongan emosional yang dihasilkan oleh sistem limbik dan refleks refleks
vegetatif dari batang otak (Snell, 2007).
Badan-badan sel di daerah motorik primer lobus frontalis mengirim tonjolan-
tonjolan akson ke korda spinalis,yang sebagian besar berjalan dalam jalur yang
disebut sebagai sistem piramidalis. Pada sistem piramidalis, neuron-neuron motorik
menyeberang ke sisi yang berlawanan. Informasi motorik dari sisi kiri korteks
serebrum berjalan ke bawah ke sisi kanan korda spinalis dan mengontrol
gerakan motorik sisi kanan tubuh, demikian sebaliknya. Akson-akson lain dari
daerah motorik berjalan dalam jalur ekstrapiramidalis. Serat-serat ini
mengontrol gerakan motorik halus dan berjalan di luar piramid ke korda spinalis
(Snell, 2007).
b. Parietalis
Lobus parietalis adalah daerah korteks yang terletak di belakang sulk-us sentralis,
di atas fisura lateralis, dan meluas ke belakang ke fisura parieto-oksipitalis.
Lobus ini merupakan daerah sensorik primer otak untuk rasa raba dan
pendengaran. Sel-sel lobus parietalis bekerja sebagai daerah asosiasi sekunder
untuk menginterpretasikan rangsangan-rangsangan yang datang. Lobus
parietalis menyampaikan informasi sensorik ke banyak daerah lain di otak,
termasuk daerah asosiasi motorik dan visual di sebelahnya (Snell, 2007).
c. Occipitalis
Lobus oksipitalis adalah lobus posterior korteks serebrum. Lobus ini terletak di
sebelah posterior dari lobus parietalis dan di atas fisura parieto-oksipitalis, yang
memisahkannya dari serebelum. Lobus ini adalah pusat asosiasi visual utama.
Lobus ini menerima informasi yang berasal dari retina mata (Snell, 2007).
d. Temporalis
Lobus temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan ke bawah
dari fisura lateralis dan ke sebelah posterior dari fisura parieto-oksipitalis. Lobus
temporalis adalah daerah asosiasi primer untuk informasi auditorik dan mencakup,
daerah Wernicke tempat interpretasi bahasa. Lobus ini juga terlibat dalam
interpretasi bau dan penyimpanan ingatan (Snell, 2007).

Terdapat 4 sulcus yang memisahkan antarlobus dibagi menjadi :

a. Sulcus centralis
b. Sulcus parietooccipitalis
c. Sulcus lateralis

Gambar 2. Lobus dan sulcus cerebrum (Putz, 2006)

2. Riview Fungsi Korteks Masing-Masing Lobus Dan Fungsi Dari Nervus


Kranialis
Saraf kranialis adalah saraf perifer yang berpangkal pada otak dan batang otak.
Fungsinya sensorik motorik dan khusus. Yang dimaksud dengan fungsi khusus
adalah fungsi yang bersifat pancaindra seperti, penghiduan, penglihatan,
pengecapan, pendengaran dan keseimbangan. Saraf kranialis terdiri atas 12 pasang.
Saraf kranialis pertama langsung berhubungan dengan otak. Saraf kranialis kedua
dan ketiga berpangkal di mesensefalon, saraf kranialis keempat, kelima, keenam dan
ketujuh berinduk di pons dan saraf kranialis kedelapan sampai keduabelas berasal
dari medula oblongata (Sloane, 2004).
Gambar 6. Nervus kranialis beserta fungsinya (Sloane, 2004)
Tabel 1. Nervus kranialis, sifat dan fungsinya (Sloane, 2004)
Nervus Cranial Sifat Fungsi
Olfactorius (N. I) Sensorik Penghidu
Opticus (N. II) Sensorik Penglihatan
Occulomotorius (N. III) Motorik Pergerakan bola mata,
pergerakan pupil
Trochlear (N. IV) Motorik Pergerakan bola mata
Trigeminus (N. V) Sensorik dan motorik Mengatur refleks
kornea, otot – otot
pengunyah
Abducens (N. VI) Motorik Pergerakan bola mata
Facial (N. VII) Sensorik dan motorik Persarafi 2/3 anterior
lidah, otot – otot
ekspresi wajah, sekresi
kelenjar ludah
Vestibulocochlear (N. Sensorik Keseimbangan dan
VIII) pendengaran
Glossopharyngeal (N. Sensorik dan motorik Persarafi 1/3 posterior
IX) lidah, sebagai reseptor
tekanan darah
Vagus (N. X) Sensorik dan motorik Hearth rate, sistem
digestif
Acessorius (N. XI) Motorik Musculus trapezius,
musculus
sternocleidomastoideus
Hypoglossus (N. XII) Motorik Pergerakan otot
intrinsik lidah
3. Definisi Stroke, Tanda Dan Gejala Stroke
a. Definisi
Stroke adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan/atau tanda klinis
yang berkembang dengan cepat yang berupa gangguan fungsional otak fokal
maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada intervensi
bedah atau membawa kematian), yang tidak disebabkan oleh sebab lain selain
penyebab vaskuler.
Poin-poin penting definisi stroke :
1) Kelainan saraf yang terjadi sifatnya mendadak
2) Terdapat gangguan fungsional otak fokal maupun global
3) Disebabkan oleh gangguan vaskuler di otak
b. Tanda dan Gejala
1) Gejala umum yang terjadi pada stroke yaitu wajah, tangan atau kaki yang
tiba-tiba kaku atau mati rasa dan lemah, dan biasanya terjadi pada satu
sisi tubuh saja.
2) Gejala lainnya yaitu pusing, kesulitan bicara atau mengerti perkataan,
kesulitan melihat baik dengan satu mata maupun kedua mata, sulit
berjalan, kehilangan koordinasi dan keseimbangan, sakit kepala yang
berat dengan penyebab yang tidak diketahui, dan kehilangan kesadaran
atau pingsan.
3) Tanda dan gejala yang terjadi tergantung pada bagian otak yang
mengalami kerusakan dan seberapa parah kerusakannya itu terjadi.
4) Serangan stroke dapat terjadi secara mendadak pada beberapa pasien
tanpa diduga sebelumnya. Stroke bisa terjadi ketika pasien dalam kondisi
tidur dan gejalanya baru dapt diketahui ketika bangun. Gejala yang
dimiliki pasien tergantung pada bagian otak mana yang rusak. Tanda dan
gejala yang umumnya terjadi pada stroke atau TIA yaitu wajah, lengan,
dan kaki dari salah satu sisi tubuh mengalami kelemahan dan atau kaku
atau mati rasa, kesulitan berbicara, masalah pada penglihatan baik pada
satu ataupun kedua mata, mengalami pusing berat secara tiba-tiba dan
kehilangan keseimbangan, sakit kepala yang sangat parah, bertambah
mengantuk dengan kemungkinan kehilangan kesadaran, dan
kebingungan
4. Patofisiologi dari gejala stroke
a. Patogenesis
Segala kelainan pada otak yang disebabkan oleh proses patologis pada
pembuluh darah dinamakan penyakit serebrovaskuler. Kelainan otak yang
diinduksi oleh penyakit serebrovaskuler yaitu
1) Iskemia dengan atau tanpa infark jaringan saraf di otak (ischemia), atau
2) Perdarahan (hemorrhage).
Manifestasi klinik tersering dari penyakit serebrovaskular adalah stroke
(cerebrovascular accident). Daerah tersering : a. Carotis interna dan a. Cerebri
medial
Patogenesis iskemia serebral yang menimbulkan stroke iskemik didasarkan
pada pembentukan thrombus yang menyebabkan oklusi arteri yang
memvaskularisasi otak. Oklusi dapat berasal dari
- thrombus yang terlepas maupun dari
- gumpalan trombosit yang terjadi karena fibrilasi atrium,
- gumpalan kuman karena endocarditis bacterial atau
- gumpalan darah dan jaringan karena infark mural.

Terdapat beberapa mekanisme, yang pertama karena disfungsi sel


endotel. Hiperlipidemia dan faktor risiko lain seperti diabetes melitus,
hipertensi serta radikal bebas dari asap rokok diduga menyebabkan jejas
endotel, sehingga terjadi perlekatan trombosit dan monosit serta pengeluaran
factor pertumbuhan, termasuk platelet derived growth factor (PDGF), yang
menyebabkan migrasi dan proliferasi otot polos. Sel otot polos menghasilkan
banyak matriks ekstrasel dan kolagen dan proteoglikan. Sehingga membentuk
sel busa dan plak ateromatosa. Plak mempunyai dua lapisan, lapisan yang keras
yang terdiri dari kolagen dan proteoglikanm serta lapisan yang lunak, yang
terdiri dari lemak, kolesterol, protein, ca, dan sel imun.
Plak di dalam lumen pembuluh darah ini akan sering terkena stress,
berupa aliran darah yang deras terus menerus (tekanan darah yang tinggi).
Sehingga menyebabkan lapisan yang keras terlepas terbawa aliran darah
tinggal lapisan yang lunak. Lapisan yang lunak tersebut bersifat trombogenik
(memicu aktivitas trombosit) kemudian melepaskan platelet derived growth
factor (PDGF), yang mempercepat proses pembentukkan oklusi arteri. Kedua,
mekanisme embolism. Suatu gumpalan darah terlepas dari suatu lokasi di
pembuluh darah kemudian jalan-jalan ke tempat lain, ke pembuluh darah
diameter yg lebih kecil sehingga mengakibatkan oklusi arteri.
Oklusi arteri menyebabkan sel kekurangan oksigen dan glukosa.
Sehingga akan memicu pelepasan glutamate dan menyebabkan iskemia
serebral. Glutamat ini memicu terjadinya influks Ca/Na. Peningkatan Na dapat
mendorong air masuk kedalam sel sehingga menybabkan sel bengkak.
Sedangkan peningkatan Ca dapat menyebakan ROS kemudian berefek pada
lipid mitokondria dan lisosom sehingga terjadi pelepasan Apoptosis Inducing
Factor dan proteolisis. Proteolisis ini menimbulkan kerusakan pada membrane
dan sitoskeleton sel saraf yang berujung pada kematian sel saraf di otak.
Fenomena penting lain yang terjadi saat iskemia adalah proses inflamasi
itu sendiri. Bukti terbaru menunjukkan bahwa inflamasi merupakan penyebab
kedua kerusakan saraf otak setelah iskemia serebral. Penarikan leukosit pada
daerah yang mengalami jejas dapat terjadi sekitar 30 menit setelah cedera
terjadi. Leukosit tersebut dapat mengganggu aliran eritrosit dalam
mikrovaskuler; fosfolipase yang dihasilkan dalam leukosit juga dapat memicu
pengeluaran zat yang menimbulkan vasokontriksi dan meningkatkan agregasi
platelet (contohnya leukotrien, eikosanoid, prostaglandin, dan platelet
activating factor) dan produk–produk yang dikativasi oleh leukosit (contohnya
proinflammatory cytokines, toxic oxygen metabolites, proteases, gelatinases,
dan collagenases) dapat menyebabkan kerusakan jaringan saraf.

b. Patofisiologi
1) Hipestesia atau hipostesia
Merupakan suatu disestesia mencakup sensitivitas yang menurun
secara abnormal, terutama pada perabaan. Hemihipestesia terjadi karena
korteks sensorik primer tidak menerima impuls sensorik dari belahan tubuh
kontralateral. Di klinik, hemihipestesia merupakan gejala utama atau gejala
penyerta cerebrovascular disease. Infark yang mengenai seluruh kapsula
interna krus posterior sesisi mengakibatkan hemiplegi kontralateral yang
disertai hemihipestesia kontralateral juga. Infark pada daerah tersebut
terjadi karena penyumbatan a. lentikulostriata. Apabila cabang a.
lentikulostriata yang tersumbat, mungkin bagian ujung belakang kapsula
interna krus posterior saja yang mengalami infark. Pada keadaan tersebut,
hemihipestesia kontralateral merupakan gejala utama, tanpa hemiplegia,
karena kawasan tersebut hanya dilintasi serabut-serabut aferen yang
berproyeksi pada bagian sensorik primer dan tidak ada traktus kortikospinal
yang ikut terkena.

2) Hemiparesis/hemiplegia
Hemiparesis merupakan kelemahan otot atau paralysis parsial
mengenai satu sisi tubuh. Pada umumnya kelumpuhan Upper Motor Neuron
(UMN) melanda sebelah tubuh sehingga dinamakan hemiparesis,
hemiplegia, atau hemiparalisis karena lesinya menempati kawasan susunan
piramidal sesisi. Ketiga istilah digunakan secara bebas, walaupun
hemiparesis sebenarnya kelumpuhan sesisi badan yang ringan dan
hemiplegi atau hemiparalisis merupakan kelumpuhan sesisi badan yang
berat. Kelumpuhan UMN dibagi menjadi :
Hemiplegi karena hemilesi di korteks motorik primer
a) Hemiparesis dekstra (jika lesi di hemispherium sinistra) atau
hemiparesis sinistra (jika lesi di hemispherium dekstra)
b) Terdapat perbedaan derajat kelumpuhan antara lengan dan tungkai
c) Kelumpuhan otot-otot wajah, pengunyah dan penelan
d) Afasia motorik dan afasia sensorik
e) Hipertoni yang bersifat spastik
f) Forced crying dan forced laughing
g) Deviasi konjugat
Hemiplegi karena hemilesi di kapsula interna
a) Hemiplegia
b) Rigiditas
c) Atetosis
d) Distonia
e) Tremor
f) Hemianopsia
g) Disartria (pelo)
Hemiplegi alternan karena hemilesi pada batang otak
a) Sindrom hemiplegi alternan di mesenchepalon
b) Sindrom hemiplegi alternan di pons
c) Sindrom hemiplegi alternan di medula oblongata

3) Nervus hipoglossus
Nervus hipoglosus merupakan nervus cranial yang bersifat motorik
dan mempersarafi semua otot instrinsik lidah, m. styloglossus, m.
hyoglossus, dan m. genioglossus. Nukleus hipoglossus terletak dekat line
mediana, di bawah lantai ventrikel quartus. Nukleus menerima serabut
corticonuclear dari kedua hemispherium cerebri. Serabut nervus
hipoglossus berjalan ke anterior melalui medula oblongata dan muncul pada
alur antara pyramis dan oliva. Nervus ini menyilang fossa cranii posterior
dan meninggalkan tengkorak melalui canalis hipoglossus. Nervus berjalan
ke bawah lalu ke depan di dalam leher, di antara a. carotis interna dan vena
jugular interna sampai mencapai pinggir bawah venter posterior m.
digastricus. Nervus hipoglossus kemudian membelok ke depan dan
menyilang arteri carotis interna dan eksterna serta mengait arteri lingualis.
Nervus ini berjalan dalam pinggir posterior m. mylohyoideus yang
terletak lateral dari m. hyoglossus dan kemudian bercabang-cabang ke otot-
otot lidah. Untuk memeriksa keutuhan nervus hipoglossus, pasien diminta
menjulurkan lidahnya, dan jika terdapat lesi LMN, lidah akan berdeviasi
kearah lesi. Lidah pada sisi lesi akan menjadi lebih kecil akibat atropi, dan
fasikulasi dapat menyertai atau mendahului atropi. Sebagian besar nucleus
hipoglossus menerima serabut-serabut kortikonuklear dari kedua
hemispherium serebri. Akan tetapi, nucleus yang mempersarafi m.
genioglossus hanya menerima serabut kortikonuklear dari hemispherium
serebri dari sisi kontralateral. Apabila terdapat lesi pada serabut-serabut
kortikonuklear, tidak terjadi atropi atau fibrilasi lidah. Apabila dkeluarkan,
lidah akan berdeviasi ke sisi yang berlawanan dengan lesi.

5. Tata cara diagnose stroke


a. Anamnesis
Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami defisit
neurologis akut (baik fokal maupun global) atau penurunan tingkat kesadaran.
Beberapa gejala umum yang terjadi pada stroke non hemoragik meliputi
hemiparese, monoparese, atau quadriparese, tidak ada penurunan kesadaran,
tidak ada nyeri kepala dan reflek babinski dapay positif mapun negatif.
Meskipun gejala-gejala tersebut dapat muncul sendiri namun umumnya
muncul secara bersamaan. Penentuan waktu terjadinya gejala-gejala tersebut
juga penting untuk menentukan perlu tidaknya pemberian terapi trombolitik.
Beberapa faktor dapat membuat anamnesis menjadi sedikit sulit untuk
mengetahui gejala atau onset stroke seperti :
1) Stroke terjadi saat pasien sedang tertidur sehingga kelainan tidak
didapatkan hingga pasien bangun (wake up stroke).
2) Stroke mengakibatkan seseorang sangat tidak mampu untuk mencari
pertolongan.
3) Penderita atau penolong tidak mengetahui gejala-gejala stroke.
4) Terdapat beberapa kelainan yang gejalanya menyerupai stroke seperti
kejang, infeksi sistemik, tumor serebral, subdural hematom, ensefalitis,
dan hiponatremia.
b. Pemeriksaan Fisik
c. Pemeriksaan Penunjang
Untuk membedakan jenis stroke iskemik dengan stroke perdarahan
dilakukan pemeriksaan radiologi CT-Scan kepala. Pada stroke hemoragik akan
terlihat adanya gambaran hiperdens, sedangkan pada stroke iskemik akan
terlihat adanya gambaran hipodens.

d. Skoring untuk penilaian jenis stroke


Untuk mendiagnosis penyakit stroke apakah itu termasuk stroke
hemoragic atau stoke non hemoragik kita dapat melihat dari berbagai hal
seperti Anamnesis, Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti CT
scan yang merupakan gold standarnya. Akan tetapi jika gold standar tersebut
tidak ada maka ada alur diagnosis yang dapat membantu mendiagnosis stroke
ini antara lain dengan Sirijaj Stroke Score atau dengan Algoritma Gadjah
Mada.

Keterangan :
C = Consciousness atau kesadaran
Alert 0
Drowsy & stupor 1
Semicoma & coma 2
V = Vomiting atau muntah
No = 0
Yes = 1
H = Headache atau nyeri kepala within 2 hours
No 0
Yes 1
A = Atheroma (riwayat diabetes, angina)
No 0
Salah satu ada 1
DBP = Diastolic Blood Pressure
Penilaian :
> 1 Perdarahan intraserebral
< -1 Infark serebri
1 s/d 1 pakai CT Scan/kurva probability

6. Analisa diagnosa klinis dan etiologi


Diagnosa Klinis :
a. Hemiparesis sinistra
b. Hemihipestesi sinistra
c. Parese N. VII sinistra tipe sentral
d. Parese N. XII sinistra tipe sentral
e. Hirpetensi
f. Dyslipidemia

Diagnosa etiologi

Stroke Iskemia
7. Faktor resiko dan pencegahan stroke
Klasifikasi faktor risiko stroke:

1) Tidak dapat diubah: usia, jenis kelamin, ras, riwayat keluarga terkena
stroke, riwayat TIA, penyakit jantung koroner, dan fibrilasi atrium.
2) Dapat diubah: hipertensi, diabetes mellitus (DM), rokok, drug abuse,
kontrasepsi oral, dan dislipidemia

Pencegahan stroke secara umum:


1) Sosialisasi dan edukasi ke masyarakat via pemerintah dan media massa
tentang stroke
2) Gaya hidup sehat bebas stroke:
- Hindari: rokok, stres, alcohol, kegemukan, diet tinggi garam, obat-
obatan amfetamin, kokain
- Kurangi: kolesterol dan lemak dalam makanan
- Kendalikan: penyakit-penyakit penyerta seperti hipertensi, DM,
penyakit jantung koroner, penyakit aterosklerosis
- Lakukan: diet sehat dan seimbang serta olahraga teratur
3) Peran aktif dari keluarga terdekat dan lingkungan masyarakat terhadap
kesembuhan pasien stroke

8. Menentukan diagnosa topis berdasarkan keadaan klinis

Masing- masing nervus dan traktus tersebut memiliki jalur tersendiri.


Apabila jalur-jalur tersebut digabungkan dalam satu skema maka gambarannya
adalah sebagai berikut:
Cortex
Cerebri

Capsula
interna

Mecencephalo
n

Pons

Medula
Oblongat
Chiasma a
Opticum

Decussatio
Pyramidali
s
Mat Mat
a a Medull
a
Spinali
s

Gambar 13. Gambar skema traktus kortikospinalis dan nervus II, VII, XII
Keterangan:
= Tractus pyramidalis (kortikospinal) = N XII
= nucleus N XII
= N VII = N II
= nucleus N II
Dari skema di atas tampak bahwa baik jalur jalur N II, N VII, jalur N XII,
maupun tractus pyramidalis melewati jalur yang sama hingga mencapai capsula
interna. Setelah melewati capsula interna, jalur N II sudah tidak melewati jalur
yang sama. Apabila terjadi lesi diantara cortex cerebri dan capsula interna, maka
kemungkinan terjadi kerusakan pada fungsi N II (penglihatan), N VII (pergerakan
otot wajah), N XII (pergerakan lidah) dan tractus pyramidalis (fungsi motorik
ekstrimitas).

Gejala yang ditunjukkan pada kasus mengarah pada karakteristik lesi sentral
(Upper Motor Neuron), di antaranya: hemiparesis spastik, refleks fisiologis yang
meningkat, dan ditemukannya refleks patologis babinsky. Daerah Upper Motor
Neuron sendiri yaitu dari cortex cerebri hingga pons. Dalam hal ini, daerah antara
cortex cerebri dan capsula interna memasuki wilayah Upper Motor Neuron. Oleh
karenanya dapat disimpulkan bahwa kemungkinan letak lesi berada di atas capsula
interna (antara cortex cerebri dan capsula interna).

Namun untuk mendiagnosis pada struktur lesi perlu dipahami berbagai tanda dan
gejala lainnya. Untuk mempermuah maka diagnosis topis terletak pada hemisfer
cerebri dextra.

Beberapa langkah yang harus ditempuh dalam menentukan penyebab terjadinya


stroke pada pasien adalah dengan cara sebagai berikut:
1) Anamnesis lengkap meliputi usia, riwayat penyakit yang pernah atau sedang
diderita seperti hipertensi, jantung, sindroma metabolic, trauma kepala, dan
lain-lain, serta kebiasaan hidup seperti merokok dan diet sehari-hari.
2) Pemeriksaan fisik meliputi airway-breathing-circulation, vital sign terutama
tekanan darah dan nadi, pemeriksaan status generalis, dan pemeriksaan fisik
jantung dan paru.
3) Pemeriksaan penunjang laboratorium meliputi darah lengkap, gula darah,
profil lipid (kolesterol, HDL, LDL, dan trogliserida), serta fungsi ginjal (asam
urat, BUN, creatinin darah) untuk menentukan penyakit yang mendahului
sebelum terkena stroke. Pemeriksaan fungsi ginjal dilakukan apabila pasien
merupakan suspek gangguan ginjal karena gangguan ginjal juga menyebabkan
hipertensi.
4) Elektrokardiogram untuk menentukan adanya kelainan dan gangguan irama
jantung.

5) Pencitraan:
- CT-scan harus dilakukan sesegera mungkin untuk mengetahui adanya
pecah pembuluh darah di otak dan menentukan jenis stroke. CT-scan
untuk stroke iskemik dilakukan secara berkala karena tanda iskemik
baru didapat 48 jamsetelah onset. Stroke hemoraik akan memberikan
gambaran hiperdensitas dan stroke non-hemoragik akan memberikan
gambaran hipodensitas pada jaringan yang mengalami iskemik.
- Ultrasonografi dilakukan untuk melihat adakah gangguan aliran darah
arteri di leher.
- MRI (Magnetic Resonace Imaging) untuk melihat pembuluh darah dan
jaringan otak, adakah gangguan pada aliran darah otak atau perdarahan
pada otak.
- Angiogram dilakukan juga untuk mendeteksi gangguan aliran darah
yang ke otak.
Semua pemeriksaan tersebut merupakan sebuah pilihan bagi klinisi.
Pemeriksaan dipilih berdasarkan hasil anamnesis dan disesuaikan dengan kondisi
ekonomi dari pasien. Namun beberapa sumber mengatakan bahwa untuk
pemeriksaan stroke yang menjadi goal standar adalah CT-scan (Hakan, 2010).
9. Tata laksana stroke dan penatalaksanaan faktor resiko
a. Tata Laksana Stroke
1) Penanganan Kegawatdaruratan
 Stabilisasi Pasien dengan ABC :
- Airway, menjaga jalan nafas
- Breathing, memastikan ventilasi berjalan dengan baik
- Circulation, jaga sirkulasi darah pasien
2) Terapi Umum (5B)
 Breathing, jalan nafas harus terbuka lega, hisap lender dan slem. Jaga
oksigenasi dan ventilasi agar tidak terjadi aspirasi, Intubasi pada pasien
dengan GCS <8. Penderita sebaiknya berbaring dalam posisi miring kiri-
kanan bergantian setiap 2 jam, bila ada radang atau asma cepat diatasi.
 Blood, tekanan darah pada tahap awal tidak boleh diturunkan untuk
membantu pengibatan, kecuali jika tekanan sistol >220 mmHg dana tau
diastole >120 mmHg untuk stroke iskemik. Penurunan tekanan darah
maksimal 20%.
 Brain, edem otak, peningkatan TIK, harus diatasi dengan mannitol 20% 1-
1,5 gr/kgBB dilanjutkan dengan 6x100 cc (0,5 gr/kgBB), dalam 15-20 menit
dengan pemantauan osmolalitas antara 300-320 mOsm.
 Bladder, Hindari infeksi saluran kemih, bila terjadi retensi urin pasang
kateter intermitten. Miksi dan keseimbangan cairan harus diperhatikan,
 Bowel, pasang NGT bila kesultan menelan makan.
3) Tata Laksana Farmakologi
 IVFD RL 20tpm (Terapi cairan)
 Ranitidin 3x1 amp (Terapi tukak lambung  pada pasien stroke asam
lambung seringkali tinggi karena asupan makanan yang melalui selang)
 Heparin dosis awal 1.000 u/jam cek APTT 6 jam (antikoagulasi)
 Aspirin 80-1200 mg/hari (anti agregasi trombosit  menghambat
siklooksigenase)
 Piracetam 3x1 gr IV (Neuroprotektan  memperbaiki integritas sel,
memperbaiki fluiditas membra, dan menormalkan fungsi membrane)
 Citicolin 2x500 mg (Neuroprotektan  membantu pembentukan membrane
sel di otak)
 Neurode 1x1 (Neuroprotektan  dapat digunakan pada pasien dengan
gangguan neurologi)
4) Tata Laksana Non Farmakologi
 Konsul Rehab Medik
 Konsul Spesialis Sarad
5) Edukasi
 Tirah baring
 Edukasi gaya hidup : pola makan, olahraga, rehabilitasi medik, komunikasi,
mobilisasi, aktivitas sehari-hari.
b. Tata laksana faktor risiko
1) Dislipidemia
 Simvastatin
- Menurunkan jumlah kolesterol total dan LDL pada hiperkolresterolemia
primer dan sekunder
- Meningkatkan HDL
- Dosis awal 10 mg/hari dosis tunggal pada malam hari. Maksimal 40
mg/hari dosis tunggal (malam hari)
- Diberikan setelah makan
- Jangan diperikan pada pasien dengan penyakit hati aktif
2) Hipertensi
 Candesartan
- Obat antihipertensi golonga ARBs (Angiotensin Reseptor Blocker),
bekerja dengan memblok reseptor angiotensin yang melemaskan
pembuluh darah sehingga darah dapat mengalir lebih mudah.
- Dosis awal 16 mg oral 1x1 Dosis lanjutan 8-32 mg 1-2x1 tablet
10. Menjelaskan rehabilitasi yang dibutuhkan penderita stroke

Rehabilitasi adalah pemulihan ke bentuk atau fungsi yang normal setelah terjadi luka
atau sakit, atau pemulihan pasien yang sakit atau cedera pada tingkat fungsional optimal di
rumah dan masyarakat, dalam hubungan dengan aktivitas fisik, psikososial, kerja dan rekreasi
(Dorland)
 Tujuan Rehabilitasi Stroke ( WHO ) :
1) Memperbaiki fungsi motorik, wicara, kognitif dan fungsi lain yang terganggu.
2) Readaptasi sosial dan mental untuk memulihkan hubungan interpersonal dan aktivitas
sosial.
3) Dapat melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari
Tujuan Akhir rehabilitasi stroke  KEMANDIRIAN

 Prinsip Rehabilitasi Pasca Stroke


1) Dimulai dengan latihan aktivitas yang ringan.
2) Bertahap menjadi latihan aktivitas yang lebih berat.
3) Aktivitas latihan bergantung kebutuhan pasien.
4) Repetisi / diulang.
 Program Rehabilitasi Stroke :
 Pendekatan multi disiplin yg komprehensif, terdiri dari tim :
1) Dokter spesialis rehabilitasi medik.
Konsultasi dengan dokter spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (Sp.KFR),
dengan cara melakukan pemeriksaan, penegakan diagnosis, peresepan program terapi,
dan mengevaluasi terapi yang dipakai.
2) Fisioterapi.
Fisioterapi membantu di dalam “pelatihan gerakan” peregangan atau lainnya yang
memainkan peranan penting dalam pelatihan yang dijalani. Tujuan fisoterapi adalah
untuk membantu pasiendalam menyelesaikan tugas sehari-hari. Beberapa bidang yang
dilatih adalah :
a. Aktifitas ditempat tidur : posisioning, alih baring, latihan pasif lingkup gerak
sendi.
Ranjang tempat pasien berbaring datar seluruhnya. Kepala saat berbaring
ditinggikan 30o dengan posisi yang nyaman. Posisi tidur diusahakan dilakukan
secara dinamis, artinya pasien jangan tidur atau berbaring pada satu sisi terlalu
lama.
b. Mobilisasi : latihan bangun sendiri, duduk (Pasien diusahakan untuk dapat duduk
secepat mungkin. Apabila belum mampu mengubah posisi dari berbaring ke posisi
duduk, perawat atau anggota keluarga dapat membantunya. Ranjang pada bagian
kepala diusahakan selurus mungkin sehingga pasien dapat duduk dengan lurus dan
bila perlu bawah punggung pasien dapat diganjal dengan bantal untuk
membantunya), transfer , berdiri & berjalan latihan beban ringan, olah
raga.
Tujuan dari mobilisasi adalah untuk mencegah terjadinya kekakuan
(kontraktur) dan kemunduran pemecahan kekakuan (dekondisioning),
mengoptimalkan pengobatan sehubungan masalah medis, dan menyediakan
bantuan psikologis pasien dan keluarganya. Bila usaha ini dilakukan dengan
segera, maka kekakuan otot dapat berkurang secara cepat perhari sekitar 3%.
c. Terapi modalitas : diathermi, yaitu pengunaan arus elektromagnetik frekuensi
tinggi sebagai bentuk terapi fisik, seperti U.S, S.W.D, Elektrostimulasi, TENS.
3) Terapi Okupasi.
Terapi yang berfungsi untuk mengembalikan fungsi motorik halus pada bagian
tubuh tertentu. Terapi ini untuk membantu pasien pascastroke untuk dapat melakukan
aktifitas sehari hari seperti merasakan sensibilitas pada kaki, menulis, merajut,
memencet tombol saklar lampu, memegang handle pintu dll.
 Latihan dengan aktifitas sesuai tujuan program .
a. Latihan melakukan aktivitas sendiri atau perlu bantuan ; memakai baju,
celana, mandi dll.
b. Latihan melempar bola : lingkup gerak sendi bahu, latihan keseimbangan
berdiri, latihan kekuatan lengan, dll
 Terapi suportif : menghasilkan suatu karya.
Co : membuat anyaman dapat melatih konsentrasi, latihan koordinasi dan kekuatan
otot jari, latihan ketahanan duduk, memori.
4) Ortotik Prostetik.
Ortotik-Prostetik adalah bengkel dimana untuk merakit alat yang dibutuhkan untuk
pasien tertentu karena kecacatan yang diakibatkan oleh stroke. Bengkel ini nantinya
akan merakit alat sesuai dengan ukuran pada tubuh si pasiennya.
Contoh : Tripot, quadripot, AFO (Ankle Foot Orthosis), cock up splint, dll

5) Psikolog.
a. Perlu menilai kondisi emosional / afek penderita stroke saat itu, apakah pasien
dalam Fase syok, Fase penolakan, Fase putus asa, atau Fase penerimaan.
b. Memberikan suport mental pada penderita, keluarga, lingkungan.
6) Terapi Wicara.
Pasien dianjurkan untuk secepatnya memulai mengadakan dan memulihkan
kemampuana bicaranya dengan jalan mengemukakan segala hal yang ingin ia katakan
dengan ucapan yang terdengara, walaupun timbul berbagai kesulitan dalam
mengemukakannya kepada orang lain. Terapi wicara terdiri dari :
a. Menilai fungsi menelan : perlu latihan otot-otot menelan
b. Memberikan aktifitas makan dengan komposisi makanan yang berbeda ( keras,
lunak, cair ) , minum, dsb.
c. Berkomunikasi : vokal, verbal, konsonan
d. Latihan peningkatan kognitif
7) Pekerja Sosial.
Sosial medik berfungsi untuk menangani masalah pada pasien maupun lingkungan
sekitarnya dengan memberikan solusi. Contoh masalah yang ditangani social workers
(pekerja dari sosial medik) adalah apakah si pasien kekurangan uang saat mengalami
rehabilitasi, nantinya petugas ini akan mencarikan caranya dengan mencari donatur.
Lalu apabila pasien mengalami kecacatan, social workers ini nantinya akan
berusaha menjadi pihak yang mengedukasi keluarga pasien dan tempat kerja si pasien
terkait dengan kondisinya
8) Perawat.
Mereka khusus bertugas untuk merawat orang-orang cacat, penderita pasca-stroke,
penderita diabetes agar mereka dapat menyesuaikan diri setelah serangan penyakit
tersebut muncul.

11. Diagnosa dan aspek etik dan kasus stroke


a. Diagnosa
Diagnosa Klinis : Hemiparesis dextra dengan paresis N.VII Dextra tipe sentral dan
paresis N.XII dextra tipe sentral
Diagnosa Topis : Hemisfer serebri dextra
Diagnosa Etiologis : Stroke Non Hemorhagik
Diagnosa Banding : Stroke Hemorhagic
b. Aspek Etis
 Pasien stroke dapat kehilangan hak autonomy nya sebagai seorang pasien, karena
dianggap tidak memiliki kapabilitas dalam melaksanakan informed consent.
 Pasien stroke kemungkinan tidak mengetahui terapi apa yang diberikan dan tidak
dapat memilih terapi terbaik untuk dirinya, hal ini dapat melanggar prinsip
Justice.

Ratih Bahari
Aditya Eka Oktavian
Marhamdani
Aulia Q.A
Mahayu
Pramesa Juan
Hawariyyun Sastranegara
Jarwati
Citra Kharisma
Aulia Q.A
Rania Nisrina A
Silvymay N
Ariesta R

Anda mungkin juga menyukai