Anda di halaman 1dari 6

Artritis gout

Artritis gout merupakan salah satu penyakit metabolik ( metabolic syndrome ) yang
berkaitan dengan pola makan diet tinggi purin. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit
sendi yang sering ditemukan, yang ditandai dengan penumpukan kristal monosodium urat di
dalam ataupun di sekitar persendian yang terbentuk dari hasil metabolisme makanan yang
mengandung purin ( Khanna et al, 2012).

Monosodium urat merupakan kristal putih tidak berbau dan tidak berasa lalu
mengalami dekomposisi dengan pemanasan menjadi asam sianida (HCN) sehingga cairan
ekstraseslular yang disebut sodium urat. Jumlah monosodium urat dalam darah dipengaruhi
oleh intake purin, biosintesis asam urat dalam tubuh, dan banyaknya ekskresi monosodium urat
(Widyanto, 2014). Kadar monosodium urat dalam darah ditentukan oleh keseimbangan antara
produksi (10% pasien) dan ekskresi (90% pasien). Bila keseimbangan ini terganggu maka dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan kadar monosodium urat dalam darah yang disebut
dengan hiperurisemia, dengan tingginya kadar monosodium urat pada tubuh dapat
memungkinkan terjadinya akumulasi kristal monosodium urat pada daerah persendaian yang
dapat menyebabkan inflamasi dan gangguan pada pergerakan sendi yang sering disebut gout
(Khanna et al, 2012).

Berdasarkan tingkat risiko pria memiliki tingkat serum asam urat lebih tinggi daripada
wanita, yang meningkatkan resiko mereka terserang artritis gout. Perkembangan artritis gout
sebelum usia 30 tahun lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan wanita. Namun angka
kejadian artritis gout menjadi sama antara kedua jenis kelamin setelah usia 60 tahun. Prevalensi
artritis gout pada pria meningkat dengan bertambahnya usia dan mencapai puncak antara usia
75 dan 84 tahun (Weaver, 2008). Wanita mengalami peningkatan resiko artritis gout setelah
menopause, kemudian resiko mulai meningkat pada usia 45 tahun dengan penurunan level
estrogen karena estrogen memiliki efek urikosurik, hal ini menyebabkan artritis gout jarang
pada wanita muda (Roddy dan Doherty, 2010)

Secara umum penanganan arthritis gout adalah memberikan edukasi, pengaturan diet,
istirahat sendi dan pengobatan. Pengobatan dilakukan dini agar tidak terjadi kerusakan sendi
ataupun komplikasi lain. Tujuan terapi meliputi terminasi serangan akut; mencegah serangan
di masa depan; mengatasi rasa sakit dan peradangan dengan cepat dan aman; mencegah
komplikasi seperti terbentuknya tophi, batu ginjal, dan arthropati destruktif (Khanna et al,
2012). Pengelolaan gout sebagian bertolakan karena adanya komorbiditas; kesulitan dalam
mencapai kepatuhan terutama jika perubahan gaya hidup diindikasikan; efektivitas dan
keamanan terapi dapat bervariasi dari pasien ke pasien. Untuk mencegah kekakuan dan nyeri
sendi, dapat dilakukan latihan fisik ringan berupa latihan isometrik, latihan gerak sendi dan
latihan fleksibiltas yang keseluruhan itu tercakup dalam stabilisasi sendi (Anastesya, 209).

Khanna D, Fitzgerald JD, Khanna PP, Bae S, Singh MK, Neogi T, et al. 2012 American
College of Rheumatology guidelines for management of gout. Part 1: systematic
nonpharmacologic and pharmacologic therapeutic approaches to hyperuricemia. Arthritis
Care Res (Hoboken). 2012;64:1431-46.
Khanna et al. 2012, Guidelines for Management of Gout. Part 2: Therapy and
Antiinflammatory Prophylaxis of Acute Gouty Arthritis, American College of
Rheumatology, Vol. 64, No. 10, pp. 1447-1461
Weaver, AL 2008, Epidemiology of Gout, Cleveland Clinic Journal of Medicine, Vol. 75,
No. 5, pp. S9-S10
Widyanto, Fandi Wahyu . 2014. Artritis Gout dan Perkembangannya. RS Aminah Blitar. Vol.
10, No 2 hal. 145-142

Anastesya W. 2009. Artritis Pirai (Gout) dan Penatalaksanaannya. Fakultas Kedokteran


Universitas Kristen Krida Wacana: Jakarta.
OBESITAS

Obesitas merupakan salah satu permasalahan gizi yang prevalensinya terus meningkat
di Indonesia, di samping permasalahan gizi kurang yang belum dapat teratasi. Berdasarkan data
dari Data Riset kesehatan dasar (Riskedas) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
(Kemenkes RI) tahun 2013 menunjukkan kecenderungan status gizi dewasa mengalami
peningkatan untuk masalah pendek-gemuk dan normal-gemuk. Prevalensi obesitas pada laki-
laki dewasa sebanyak 19,7% pada tahun 2013, lebih tinggi dari tahun 2007 (13,9%) dan 2010
(7,8%). Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk dalam 16 provinsi dengan prevalensi
obesitas teratas dalam skala nasional (Kemenkes RI, 2013).

Faktor penyebab obesitas pada remaja bersifat multifaktorial. Peningkatan konsumsi


makanan cepat saji (fast food), rendahnya aktivitas fisik, faktor genetik, pengaruh iklan, faktor
psikologis, status sosial ekonomi, program diet, usia, dan jenis kelamin merupakan faktor-
faktor yang berkontribusi pada perubahan keseimbangan energi dan berujung pada kejadian
obesitas (kurdanti, 2015). Lemak tubuh disimpan jika energi yang masuk kedalam tubuh lebih
banyak daripada yang dikeluarkan sehingga akan disimpan sebagai jaringan adipose yang
terdapat dibawah kulit (80-90 % dari total lemak tubuh) dan organ dalam tubuh terutama
jaringan adipose visceral (6-20% dari total lemak tubuh) (Haupt A,et al.,2010).

Overweight dan obesitas bisa diketahui dengan mengukur indeks massa tubuh (IMT),
yaitu dengan mengukur berat badan dan tinggi badan. IMT dihitung dengan membagi berat
badan (dalam kilogram) dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter). Indeks massa tubuh ini
adalah indikator yang paling sering digunakan dan praktis untuk mengukur tingkat populasi
overweight dan obesitas pada orang dewasa. Berdasarkan klasifikasi Indeks Massa Tubuh
(IMT) menurut kriteria Asia Pasifik, seseorang dikatakan overweight jika memiliki IMT 23-
24,9 dan seseorang dikatakan obesitas jika memiliki IMT ≥ 25. Sedangkan menurut Depkes
RI, Seseorang dikategorikan overweight jika BMI > 25 dan obesitas jika BMI > 27 (Kemenkes
RI, 2013).

Dampak obesitas terhadap kesehatan bervariasi mulai dari kematian prematur sampai
kualitas hidup yang rendah. Pada umumnya, obesitas merupakan penyakit yang tidak menular
atau bisa juga disebut non-insulin-dependent diabetes melitus (NIDDM), penyakit
kardiovaskuler, kanker, dan berbagai gangguan psikososial (Kurdanti, 2015). Selain
komplikasi fisik dari obesitas, juga dapat terjadi komplikasi sosial dan emosional mayor.
Beberapa penderita obesitas mengeluhkan masalah kecemasan, depresi, dan penarikan diri dari
sosial karena masalah berat badan mereka (Wardani et all, 2015). Kegemukan ditinjau dari segi
psikososial merupakan beban bagi individu yang bersangkutan karena dapat menghambat
kegiatan jasmani, sosial, dan psikologis. Selain itu, akibat bentuk yang kurang menarik, sering
menimbulkan problem dalam pergaulan dan seseorang menjadi rendah diri dan merasa putus
asa (Kurdanti, 2015)

Depkes. 2013. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar. Jakarta

Haupt A, Thamer C, Heni M. 2010. Novel Obesity risk loci do not determine distribution of
body fat depots : a whole –body MRI/MRS study. Obesity .18:1212-1217

Kurdanti, weni et all. 2015. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian obesitas pada remaja.
Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol. 11, No. (4) 179-180

Wardani, Dyah Ayu Kusuma et all. 2015.Obesitas, body image, dan perasaan stres pada
mahasiswa di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Gizi Klinik Indonesia , Vol. 11, No. (4)
161-169
Osteoartritis

Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif kronik non inflamasi yang berkaitan
dengan kerusakan kartilago sendi. Penyakit ini bersifat progresif lambat, ditandai dengan
adanya degenerasi tulang rawan sendi, hipertrofi tulang pada tepinya, sklerosis tulang
subkondral, perubahan pada membran sinovial, disertai nyeri, biasanya setelah aktivitas
berkepanjangan, dan kekakuan, khususnya pada pagi hari atau setelah inaktivitas (Anggraini
dan Niken, 2014 ). Osteoarthritis oleh American College of Rheumatology diartikan sebagai
kondisi dimana terdapat gejala kecacatan pada integritas articular tulang rawan yang ditandai
dengan perubahan kapsula sendi. Osteoarthritis biasanya mengenai sendi penopang berat badan
(weight bearing) misalnya pada panggul, lutut, vertebra, tetapi dapat juga mengenai bahu,
sendi-sendi jari tangan, dan pergelangan kaki.

Terdapat 2 jenis Osteoarthritis, yaitu osteoarthritis, primer dan osteoarthritis, sekunder.


Osteoartritis primer tidak memiliki hubungan dengan penyakit sistemik maupun perubahan
lokal pada sendi. Osteoarthritis sekunder adalah osteoarthritis, yang didasari adanya faktor
patologi predisposisi, idiopatik osteoarthritis, adalah radang sendi yang paling banyak dan
umumnya adalah suatu penyakit progresif yang mempengaruhi 60% laki-laki dan 70% wanita
di atas umur 65 tahun dengan menghabiskan biaya ekonomi yang besar bersaing dengan
penyakit jantung iskemik

Osteoartritis selama ini dipandang sebagai penyakit akibat dari suatu proses ketuaan
yang tidak dapat dihindari. Namun, penelitian para pakar sekarang menyatakan bahwa OA
ternyata merupakan penyakit gangguan homeostasis dari metabolisme kartilago dengan
kerusakan struktur proteoglikan kartilago yang penyebabnya belum diketahui. Jejas mekanis
dan kimiawi diduga merupakan faktor penting yang merangsang terbentuknya molekul
abnormal dan produk degradasi kartilago di dalam cairan sinovial sendi yang mengakibatkan
terjadi inflamasi sendi, kerusakan kondrosit, dan nyeri. Jejas mekanik dan kimiawi pada
sinovial sendi yang terjadi multifaktorial antara lain karena faktor umur, humoral, genetik,
obesitas, stress mekanik atau penggunaan sendi yang berlebihan, dan defek anatomik

Kartilago sendi merupakan target utama perubahan degeneratif pada OA. Kartilago
sendi ini secara umum berfungsi untuk membuat gerakan sendi bebas gesekan karena terendam
dalam cairan sinovial dan sebagai “absorb shock”, penahan beban dari tulang. Pada OA, terjadi
gangguan homeostasis dari metabolisme kartilago sehingga terjadi kerusakan struktur
proteoglikan kartilago, erosi tulang rawan, dan penurunan cairan sendi
Anggraini, Niken Enestasia ., Hendrati, Lucia Yovita. 2014. Hubungan Obesitas dan
Faktor-Faktor Pada Individu dengan Kejadian Osteoarthritis Genu. Jurnal Berkala
Epidemiologi, Volume 2 Nomor (1) 93-104.

Carlos, LJ .2013. Training Program. Clinical Medicine. Department of Medicine,


Division of Rheumatology and Immunology. University of Miami. Terjemahan Leonard M
Miller. Editors Herbert S Diamond. 2013 School of Medicine. USA

Anda mungkin juga menyukai