Anda di halaman 1dari 18

Case report

KISTA BARTHOLINI

Oleh :

FADILAYANA DAMANIK
FANNY PRATIWI
INDAH SRI MULIANI
JARO SHAFII
POPI NOVIA
SYADZWINA SYAUFIKA

Pembimbing
Dr. dr. SYAMSUL BAHRI, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU
PEKANBARU
2016
BAB I
PENDAHULUAN

Kelenjar bartholini merupakan salah satu organ ganitalia eksterna, kelenjar


bartolini atau glandula vestibularis major, berjumlah dua buah berbentuk bundar,
dan berada disebelah dorsal dari bulbus vestibule. Saluran keluar dari kelenjar ini
bermuara pada celah yang terdapat diantara labium minus pudenda dan tepi
hymen. Kelenjar ini tertekan pada waktu koitus dan mengeluarkan sekresinya
untuk membasahi atau melicinkan permukaan vagina dibagian kaudal. 1

Kelenjar Bartolini tersumbat karena berbagai alas an, seperti infeksi.


Apabila saluran kelenjar ini mengalami infeksi, maka saluran kelenjar ini akan
melekat satu sama lain dan menyebabkan timbulnya sumbatan. Cairan yang
dihasilkan kelenjar ini kemudian terakumulasi, menyebabkan kelenjar
membengkak dan membentuk suatu kista. Suatu abses terjadi bila kista menjadi
terinfeksi.2

Kista Bartholini adalah suatu tumor kistik (berisi cairan) pada vulva. Kista
baartholini merupakan kista yang terbentuk akibat adanya sumbatan pada duktus
kelenjar bartholini, yang menyebabkan retensi dan dilatasi kistik. Dimana, isis
dalam kista ini dapat berupa nanah yang dapat keluar duktus atau bila tersumbat
dapat mengumpul didalam menjadi abses. Kista bartholini ini merupakan masalah
pada wanita usia subur, kebanyakan kasus terjadi pada usia 20-3- tahun dengan
sekitar 1 dalam 50 wanita akan mengalami kista bartholini atau abses dalam hidup
mereka, sehingga hal ini merupakan masalah yang perlu untuk dicermati. Kista
bartholini bisa tumbuh dari ukuran seperti kacang polong menjadi besar dengan
ukuran seperti telur.2,3

BAB II
ILUSTRASI KASUS

I. INDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. Y Nama suami : Tn. S
Umur : 33 Tahun Umur : 36 Tahun
Pendidikan : SD Pendidikan : SMK
Pekerjaan : S1 Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam Agama : Islam
Suku : Minang Suku : Minang
Alamat : Pekanbaru Alamat : Pekanbaru
No. MR : 57 40 67

Masuk RS tanggal 03 September 2016 jam 12.00 WIB


II. ANAMNESA (Alloanamnesa/Autoanamnesa)

II.1 Keluhan utama :


Pasien datang ke IGD dengan keluhan bengkak di daerah kemaluan sejak 1
minggu SMRS.

II.2. Riwayat penyakit sekarang :


Pasien datang sendiri ke IGD RSUD Arifin Achmad dengan keluhan
bengkak di daerah kemaluan sejak 1 minggu SMRS. Bengkak dirasakan semakin
membesar sejak 1 hari SMRS, awalnya sebesar kelereng, semakin lama semakin
membesar kira-kira sebesar telur ayam. Bengkak disertai dengan rasa nyeri.
Keluar pus atau darah tidak ada. Bengkak yang dirasakan sekarang sudah ketiga
kalinya dirasakan oleh pasien. Bengkak yang pertama dan kedua juga terjadi di
daerah yang sama dengan keluhan saat ini, dan di operasi. Pertama kalinya pada
tahun 2009, dan yang kedua pada tahun 2011. Keputihan dirasakan ada setelah
keluhan bengkak dirasakan, keputihan bewarna putih susu, kental, gatal, tapi tidak
berbau. Tidak ada demam, mual, muntah. Saat BAK pasien mengeluhkan kista
yang terkena terasa sakit. BAB tidak ada keluhan.
II.3. Riwayat haid :
Menarke usia 12 tahun, teratur , siklus 28 hari, 5-7 hari, 2-3x ganti pembalut
perhari, nyeri saat haid (-).

II.4. Riwayat perkawinan :


1x pada tahun 2007 saat usia 24 tahun

II.5. Riwayat persalinan


P0A2H0
1. Tahun 2008/ KET
2. Tahun 2010/ KET

II.6. Riwayat pemakaian kontasepsi:


Suntik KB setelah kehamilan ektopik yang pertama selama 1 tahun
Pil KB selama 3 bulan
Kondom sampai sekarang

II.7. Riwayat penyakit dahulu :


Riwayat operasi kista bartholini pada tahun 2009 di RS Syafira
Riwayat operasi kista bartholini pada tahun 2011 di RSUD Arifin Achmad
Riwayat hipertensi (-), DM (-), Penyakit jantung (-), Penyakit paru (-),
Alergi(-)

II.8. Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat hipertensi (-), DM (-), Penyakit jantung (-), Penyakit paru (-),
Alergi(-)

II.9. Riwayat operasi sebelumnya:


KET

II.10. Riwayat Sosial :


Pasien seorang ibu rumah tangga dan suami bekerja sebegai wirausaha
III. PEMERIKSAAN FISIK
III.1. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Suhu : 36,5C
Nafas : 16 x/menit

Gizi : Baik TB : 158 cm BB : 58 kg IMT: 23,29

Muka : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)


Paru : Vesikuler kedua lapang paru, tidak ada ronkhi dan wheezing.
Jantung : BJ S1-S2 reguler, tidak ada murmur dan gallop.
Abdomen : Status Ginekologis
Genitalia : Status Ginekologis
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)

III. 2. Status Ginekologi :


Mamma : Tidak ada kelainan
Aksilla : Tidak ada kelainan
Abdomen :
Inspeksi : Perut tampak datar
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : Timpani di seluruh lapangan abdomen.
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Genitalia Eksterna :
Inspeksi / Palpasi :
Vulva/Uretra tampak massa benjolan di jam 7-10. Ukuran 9x7,5x3,5
cm. Perabaan kenyal, nyeri (+), mobile, tampak kemerahan.
Genitalia Interna / Pemeriksaan dalam :
Inspekulo :
Porsio tampak terdapat licin, fluor (+) bewarna putih.
VT / Bimanual Palpasi :
-

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN BILA SUDAH ADA


IV.1. Darah rutin (03 Agustus 2016)
HB : 12,9 gr/dl
HT : 38,7 %
Leukosit : 10.400/L
Trombosit : 262.000/L
MCV : 81,3 fL
MCH : 27,1 pg
MCHC : 33,3 g/dL

V. DIAGNOSIS
DIAGNOSIS KERJA : P2A2H0 dengan kista bartholini berulang di labia
mayor dextra terinfeksi

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSTIK YANG


DIUSULKAN :
-

VII. TERAPI
Atasi infeksi : Ceftriaxon 2x1 gr IV
Metronidazol 3x500 mg IV

Atasi nyeri : Ketorolac 30 mg drip dalam RL 500 cc/ 8 jam


Rencana operasi marsupilisasi hari senin (5 September 2016)
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG (Jika ada)
-

IX. DIAGNOSA PASTI


P2A2H0 dengan kista bartholini berulang terinfeksi

X. RENCANA TINDAKAN
1. Hemodinamik stabil: observasi K/U, tanda vital.
2. Rencana operasi marsupilisasi

XI. LAPORAN TINDAKAN


Pasien direncanakan operasi marsupilisasi pada hari Senin 05 September
2016. Namun pada hari Sabtu 03 September 2016 pukul 15.00 WIB kista
bartholini pecah.

P0A2H0 dengan kista bartholini yang pecah

XII._PROGNOSA (Dubia)

XIII._STATUS FOLOW UP
Tgl/Jam Perjalanan Penyakit Keterangan
Pasien dirawat di Camar 3 selama 3 hari
03 /09/2016 S : Nyeri di sekitar kista Observasi KU, TV,
O: Tanda infeksi
KU : Baik Injeksi ceftriaxon 1
Kes : Komposmentis gr IV
TTV : TD 100/70 mmHg RR 22 x/I Metronidazole 1
HR 82x/I T 36,10C flash IV
Status generalis :
Mata : konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-)
Thorax : cor : BJ I dan II reguler, murmur(-),
gallop (-)
pulmo : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, BU (+)
Status ginekologis:
I : v/u tampak membengkak di sebelah kanan

A : P2A2H0 dengan kista bartholini

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Kelenjar bartolini merupakan salah satu organ genitalia eksterna, kelenjar
bartolini atau glandula vestibularis major, berjumlah dua buah berbentuk bundar
dan berada di sebelah dorsal dari bulbus vestibulli. Saluran keluar dari kelenjar ini
bermuara pada celah yang terdapat diantara labium minus pudendi dan tepi
hymen. Glandula ini homolog dengan glandula bulbourethralis pada pria. Kelenjar
ini tertekan pada waktu coitus dan mengeluarkan sekresinya untuk membasahi
atau melicinkan permukaan vagina di bagian caudal. Kelenjar bartolini
diperdarahi oleh arteri bulbi vestibuli dan dipersarafi oleh nervus pudendus dan
nervushemoroidal inferior.1,2
Kelenjar bartolini sebagian tersusun dari jaringan erektil dari bulbus,
jaringan erektil dari bulbus menjadi sensitif selama rangsangan seksual dan
kelenjar ini akan mensekresi sekret yang mukoid yang bertindak sebagai lubrikan.
Drainase pada kelenjar ini oleh saluran dengan panjang kira- kira 2 cm
yangterbuka ke arah orificium vagina sebelah lateral hymen, normalnya kelenjar
bartolini tidak teraba pada pemeriksaan palapasi.1,2,3

Gambar 1. Anatomi Kelenjar Bartholin

2.2 Histologi
Kelenjar bartolini dibentuk oleh kelenjar racemose dibatasi oleh epitel
kolumnair atau kuboid. Duktus dari kelenjar bartolini merupakan epitel
transsisional yang secara embriologi merupakan daerah transisi abtara traktus
urinarius dengan traktus genital.1,2

2.3 Fisiologi
Kelenjar ini mengeluarkan lendir untuk memberikan pelumasan
vagina. Kelenjar Bartolini mengeluarkan jumlah lendir yang relatif sedikit
sekitar satu atau dua tetes cairan tepat sebelum seorang wanita orgasme. Tetesan
cairan pernah dipercaya menjadi begitu penting untuk pelumas vagina, tetapi
penelitian dari Masters dan Johnson menunjukkan bahwa pelumas vagina berasal
dari bagian vagina lebih dalam. Cairan mungkin sedikit membasahi permukaan
labia vagina, sehingga kontak dengan daerah sensitif menjadi lebih nyaman bagi
wanita.1,4

2.4 Defenisi
Kista adalah kantung yang berisi cairan atau bahan semisolid yang
terbentuk di bawah kulit atau di suatu tempat di dalam tubuh. Kista kelenjar
bartholin terjadi ketika kelenjar ini menjadi tersumbat. Kelenjar bartolini bisa
tersumbat karena berbagai alasan, seperti infeksi, peradangan atau iritasi jangka
panjang. Apabila saluran kelenjar ini mengalami infeksi maka saluran kelenjar ini
akan melekat satu sama lain dan menyebabkan timbulnya sumbatan. Cairan yang
dihasilkan oleh kelenjar ini kemudian terakumulasi, menyebabkan kelenjar
membengkak dan membentuk suatu kista. Suatu abses terjadi bila kista menjadi
terinfeksi.2,5,6
Kista bartholin merupakan kantung yang berisi cairan yang terdapat pada
kelenjar bartholini. Kelenjar ini adalah salah satu dari organ genitalian eksterna
yang memiliki fungsi untuk membasahi atau melicinkan permukaan vagina saat
terjadi hubungan seksual.2
Gambar 2. Kista Bartolini

2.5 Etiologi
Infeksi kelenjar bartholini terjadi oleh infeksi gonokkokus, pada bartholinis
kelenjar ini akan membesar , merah dan nyeri kemudian isinya akan menjadi
nanah dan keluar pada duktusnya, karena adanya cairan tersebut maka akan terjadi
sumbatan pada salah satu duktus yang dihasilkan kelenjar dan terakumulasi,
menyebabkan kelenjar membengkak dan membentuk suatu kista.3,5

2.6 Patofiologi
Kista bartholin terbentuk ketika ostium dari duktus tersumbat, sehingga
menyebabkan distensi dari kelenjar dan tuba yang berisi cairan. Sumbatan ini
biasanya merupakan akibat sekunder dari peradangan nonspesifik atau trauma.
Kista bartholin dengan diameter 1-3 cm seringkali asimptomatik. Sedangkan kista
yang berukuran lebih besar biasanya menyebabkan nyeri dan dispareunia. Abses
bartholin merupakan akibat dari infeksi primer dari kelenjar atau yang
terinfeksi.2,3,5

2.7 Gejala klinis


Kista bartholin tidak selalu menyebabkan keluhan akan tetapi kadang
dirasakan sebagai benda yang berat dan menimbulkan kesulitan pada waktu
koitus. Bila kista bartholin berukuran besar dapat menyebabkan rasa kurang
nyaman saat berjalan atau duduk.5
Tanda kista bartholin yang tidak terinfeksi berupa penonjolan yang tidak
nyeri pada salah satu sisi vulva disertai kemerahan atau pembengkakan pada
daerah vulva. Jika kista terinfeksi, gejala klinik berupa:2,3
- Nyeri saat berjalan, duduk dan beraktifitas fisik atau berhubungan seksual
- Umumnya tidak disertai demam kecuali jika terinfeksi dengan organisme
yang ditularkan melalui hubungan seksual.
- Dispareunia.
- Biasanya ada sekret divagina
- Dapat terjadi ruptur spontan

2. 8 Diagnosis
Anamnesis yang baiak dan pemeriksaan fisik sangat mendukung suatu
diagnosis. Pada anamnesis dinyatakan tentang gejala seperti panas, gatal, sudah
berapa lama gejala berlangsung , kapan mulai muncul , apakah pernah berganti
pasangan seks, keluhan saat berhubungan , riwayat penyakit menular seksual
sebelumnya, riwayat penyakit kelaminpada keluarga.6
Kista bartholin di diagnosis melalui pemeriksaan fisik . Pada pemeriksaan
dengan posisi litotomi, terdapat pembengkakan pada kista pada posisi jam 5 atau
jam 7 pada labium minus posterior. Jika kista terinfeksi, maka pemeriksaan kultur
jaringan dibutuhkan untuk mengidentifikasi jenis bakteri penyebab abses dan
untuk mengetahui ada atau tidaknya infeksi menular.5,6

2.9 Pemeriksaan penunjang


Apabila pasien dalam kondisi sehat, afebris, tes laboratorium darah tidak
diperlukan untuk mengevaluasi abses tanpa komplikasi atau kista. Kultur bakteri
dapat bermanfaat dalam menentukan kuman dan pengobatan yang tepat bagi abses
bartholin.2,6

2.10 Penatalaksanaan
1. Tindakan operatif,beberapa prosedur yang dapat digunakan:2,3,5,6
a. Marsupialisasi
prosedur ini tidak boleh dilakukan ketika terdapat tanda-tanda abses akut.
Setelah dilakukan persiapan yang steril dan pemberian anestesi lokal, dinding
kista dijepit dengan dua hemostat kecil. Lalu dibuat insisi vertikal pada vestibular
melewati bagian tengah kista dan bagian luar dari hymenal ring. Insisi dapat
dibuat sepanjang 1,5 hingga 3 cm, bergantung pada besarnya kista.
Setelah kista diinsisi, isi rongga akan keluar. Rongga ini dapat diirigasi
dengan dengan larutan saline dan lokulasi dapat dirusak dengan hemostat.
Dinding kista ini lalu dieversikan dan ditempelkan pada dinding vestibular
mukosa dengan jahitan interrupted menggunakan benang absorbable 2 -0.18.
kekambuhan kista bartholin setelah prosedur marsupialisasi adalah sekitar 5-10%.

b. Eksisi (bartholinectomy)
Eksisi dari kelenjar bartholin dapat dipertimbangkan pada pasien yang
tidak berespon terhadap drainase, namun prosedur ini harus dilakukan saat tidak
ada infeksi aktif. Eksisi kista bartholin karena memiliki resiko pendarahan, maka
sebaiknya dilakukan diruang operasi dengan menggunakan anastesi umum.
Pasien ditempatkan dalam posisi dorsal litotomi. Lalu dibuat insisi kulit
berbentuk linear yang memanjang sesuai ukuran kista pada vestibulum dekat
ujung medial labia minora dan sekitar 1 cm lateral dan parallel dan hymenal ring.
Hati-hati saat melakukan insisi kulit agar tidak mengenai dinding kista. Struktur
vaskuler terbesar yang memberi supply pada kista terletak pada bagian
posterosuperior kista. Karena alasan ini, diseksi harus dimulai dari bagian bawah
kista dan mengarah ke superior. Bagian inferomedial kista dipisahkan secara
tumoul dan tajam dari jaringan sekitar. Alur diseksi harus dibuat dekat dengan
dinding kista untuk menghindari pendarahan plexus vena dan vestibular bulb dan
untuk menghindari trauma pada rectum.
Setelah diseksi pada bagian superior selesai dilakukan, vaskulariasi utama dari
kista dicari dan diklem dengan menggunakan hemostat. Lalu dipotong dan diligasi
dengan benang chromic atau benang delayed absorbable 3-0.
2. Pengobatan medikamentosa.
Antibiotik sebagai terapi empirik untuk pengobatan penyakit menular
seksual biasanya digunakan untuk mengobati infeksi gonococcal dan chlamydia.
Idealnya,antibiotik harus segera diberikan sebelum dilakukan insisi dan drainase.
Beberapa antibiotik yang digunakan dalam pengobatan.2,3,4,5
a. Ceftriaxone
Ceftriaxone adalah sefalosporin denerasi ketiga dengan efisiensi
broad spectrum terhadap bakteri gram-negatif,efficacy yang lebih rendah
terhadap bakteri resisten. Dengan mengikat pada satu atau lebih penicillin
binding protein, akan menghambat sintesis dari dinding sl bakteri dan
menghambat pertumbuhan bakteri. Dosis yang dianjurkan: 125 mg IM
sebagai single dose.
b. Ciprofloxacin.
Sebuah menotrapi alternatif untuk ceftriaxone. Merupakan
antibiotik tipe bakterisida yang menghambat sintesis DNA bakteri dan
oleh sebab itu akan mengahambat pertumbuhan bakteri dengan
menginhibisi DNA-gyrase pada bakteri. Dosis yang dianjurkan: 250 mg
PO 1X sehari.
c. Doxycycline
Menghambat sintesis protein dan replikasi bakteri dengan cara
berikatan dengan 30S dan 50S subunit ribosom dari bakteri. Diindikasikan
untuk Ctra chomatis. Dosis yang dianjurkan: 100mg PO 2 x sehari selama
7 hari.

BAB IV
PEMBAHASAN
Dari uraian kasus diatas didapatkan permasalahan sebagai berikut:
1 Apakah diagnosa kerja pasien ini sudah tepat?
2 Apakah penatalaksanaan pasien sudah tepat?
3 Apa penyebab kista bartholini pada kasus ini?
4 Bagaimana kompetensi Dokter Umum dalam penanganan kasus ini?

4.1 Apakah diagnosis kerja pada pasien ini sudah tepat?


Diagnosis pada kasus ini adalah P2A2HO dengan kista bartholini berulang
terinfeksi. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik sudah mengacu kepada kista
bartholini. Dari anamnesis didapatkan benjolan yang semakin membesar di daerah
bibir kemaluan besar pasien dan dirasa sangat mengganggu aktivitas pasien
seperti berjalan, duduk, dan berhubungan dengan suaminya. Dari pemeriksaan
fisik didapatkan benjolan unilateral (labia mayor kanan) dengan ukuran 9x7,5x3,5
cm , hiperemis (+), nyeri (+), perabaan kenyal, mobile.

4.2 Apakah penatalaksanaan pasien sudah tepat?


Secara teori, terapi definitive kista bartholini adalah secara operatif, disertai
dengan pemberian antibiotic. Pada pasien ini, awalnya direncanakan umtuk
dilakukan tindakan operasi, tetapi kista tersebut pecah sebelum operasi, sehingga
terapi yang dapat diberikan adalah pemberian antibiotic.

4.3 Apa penyebab kista bartholini pada kasus ini


Dari kasus ini terjadinya kista adalah sumbatan pada kelenjar bartholini
yang bias disebabkan oleh factor personal hygine pasien itu sendiri (kurang
menjaga kebersihan daerah kemaluan) atau dari infeksi kuman yang dibawa oleh
suami pasien.

4.4 Bagaimana kompetensi Dokter Umum dalam penanganan kasus ini?


Berdasarkan SKDI tahun 2012, tingkat kemampuan dokter umum dalam
menangani kasus kista bartholini adalah tingkat kemampuan 3A, yaitu
mendiagnosis, memberikan terapi awal, merujuk, dan mampu menindaklanjuti
setelah pasien kembali dari rujukan.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
1. Diagnosis pada pasien ini sudah tepat sesuai dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yaitu kista bartholini.
2. Penatalaksanaan yang dilakukan sudah tepat yaitu pemberian antibiotic
dan anti inflamasi
3. Faktor predisposisi dari pasien ini adalah personal hygine yang kurang

Saran
1. Diharapkan laporan kasus ini dapat menjadi tambahan informasi dalam
mendiagnosis kasus-kasus kista bartholini.
2. Pada penderita kista bartholini disarankan personal hygine (menjaga
kebersihan daerah kemaluan) untuk mencegah terjadinya infeksi berulang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Snell, RS. Anatomi Klinik Untuk MahasiswabKedokteran. Edisi 6. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006
2. http://www_skribd.com/doc/43731478/LapKas-Kista-Bartholin-Ctine-
drNando.
3. Sarwono Prawiro Hardjo. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
2006.
4. Guiton, AC & Hall, CE, Buku Ajar FisiologiKedokteran. Edisi 11.
Philadelphia : Elsevier Saunders. 2006
5. Manuba, Chandranita, dkk. Gawat Darurat Obstetri-Ginekologi dan
Obstetri-Ginekologi Sosial Untuk Profesi Bidan. Jakarta: ECG. 2008.
6. Badziat, Ali. Endokrinologi Ginekoloi. Jakarta : Media Aesculapius. 2003.

Anda mungkin juga menyukai