Anda di halaman 1dari 5

BAB IV

PEMBAHASAN

Dari uraian kasus diatas didapatkan permasalahan sebagai berikut:


1 Apakah diagnosa kerja pasien ini sudah tepat?
2 Apakah penatalaksanaan pasien sudah tepat?
3 Bagaimana kualitas ANC pada pasien ini?
4 Apakah kompilkasi pada pasien?
5 Bagaimana kompetensi Dokter Umum dalam penanganan kasus ini?

4.1 Apakah diagnosis kerja pada pasien ini sudah tepat?


Diagnosis pada pasien ini adalah G4P3A0H3 hamil 36-37, inpartu kala I fase
laten, ketuban pecah 6 jam, PEB superimposed, Janin tunggal hidup intrauterine
presentasi kepala.
Dari anamnesis diketahui bahwa pasien hamil yang ke empat kalinya. Dari data
tersebut pasien dikategorikan sebagai multipara yang pengertiannya adalah wanita
yang pernah melahirkan bayi viable beberapa kali (5 kali).5 Pasien mengaku hamil 9
bulan dengan HPHT 15-12-2015 yang berdasarakan HPHT usia kehamilan berkisar
36-37 minggu pada saat pasien datang pada tanggal 17-08-2016. Kemudian pasien
mengeluhkan keluar air-air dari jalan lahir yang tidak tertahankan 6 jam SMRS,
keluar air-air disertai dengan rasa mules yang semakin lama semakin sering. Terdapat
keluhan keluar lendir bercampur darah dari jalan lahir 2 jam SMRS. Dari riwayat
persalinan pasien, didapatkan tekanan darah tinggi yang dirasakan sejak hamil
pertama kalinya dan tidak menghilang setelah pasien melahirkan. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan tekanan darah 190/100 mmHg dan pada pemeriksaan urin didapatkan
proteinuria (+2).
Dari klinis yang didapat dari pasien berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang sudah tepat mengarah ke diagnosis pasien. Hal ini sesuai
dengan teori yang menyebutkan bahwa preeklampsia adalah hipertensi yang timbul
setelah 20 minggu kehamilan disertai proteinuria. Preeklampsia superimposed adalah

32
hipertensi kronik disertai dengan tanda-tanda preeklampsia atau hipertensi kronik
disertai proteinuria.1

4.2 Apakah penatalaksanaan pasien sudah tepat?


Pada pasien diberikan terapi 1 flash MgSO4 40% 25 cc dimasukkan ke dalam
cairan 500 RL, sehingga di dalam cairan RL 500 cc mengandung 10gr MgSO4.
Sebanyak 4gr MgSO4 40% diberikan secara loading dose dihabiskan dalam 10-15
menit. Dilanjutkan dengan maintenance dose berupa MgSO4 40% 2gr/ jam.
Pemberian anti hipertensi menurut RSU Dr. Soetomo yaitu pada pasien dengan
tekanan sistolik 180 mmHg dan tekanan diastolik 110 mmHg. Pada pasien ini
mendapatkan nifedipine 3x10 mg per oral. Penatalaksanaan pada pasien ini sudah
tepat menggunakan antikonvulsan dan anti hipertensi.8
Pada saat persalinan, dilakukan ekstraksi forceps dengan indikasi membantu
kala II pada ibu PEB. Sesuai dengan indikasi tindakan ekstraksi forceps dapat
dilakukan jika syarat dan indikasi forceps terpenuhi. Syarat ekstraksi forcep yaitu
janin harus dapat lahir pervaginam (tidak ada disproporsi sefalopelvic), ketuban
sudah pecah, pembukaan sudah lengkap, kepala sudah terfiksasi dalam jalan lahir,
janin hidup, kepala janin harus dapat dipegang oleh forcep.
Penanganan selanjutnya adalah penggunaan kontrasepsi. Pasien merupakan
multipara dan belum pernah menggunakan KB sebelumnya, pasien juga memiliki
riwayat hipertensi pada kehamilan kehamilan sebelumnya. Jenis kontrasepsi yang
diberikan pada pasien ini adalah pemasangan kontrasepsi non hormonal dan bersifat
jangka panjang yaitu IUD. Dengan kondisi pasien yang sekarang kontrasepsi yang
seharusnya digunakan adalah kontrasepsi mantap. Namun, pasien menolak untuk
dilakukan kontrasepsi mantap dengan alasan ingin punya anak lagi. Kontrasepsi
mantap ini berupa tubektomi adalah prosedur bedah sukarela untuk menghentikan
fertilitas bagi perempuan dengan mengoklusi tuba fallopi, sehingga sperma tidak
bertemu dengan ovum. Indikasi dianjurkan tubektomi adalah adanya indikasi medis
umum yang mana adanya gangguan fisik atau psikis yang akan menjadi lebih berat

33
jika wanita tersebut hamil lagi, hal tersebut dinilai karena pasien mempunyai faktor
penyulit berupa PEB berulang. Sebagaimana diketahui preeklampsia merupakan salah
satu faktor untuk terjadinya preeklampsia-eklampsia dan dikhawatirnya akan
menyebabkan adanya penyulit bagi ibu dan janin untuk hamil selanjutnya. 8 Pemilihan
kontrasepsi pada pasien ini belum tepat, karena usia serta jumlah anak pasien yang
sudah cukup.

4.3 Bagaimana kualitas ANC pada pasien ini?


Diketahui dari anamnesis, pasien melakukan kontrol kehamilan hanya 2 kali
selama kehamilan di puskesmas dan tidak pernah dilakukan USG. Antenatal care
adalah pengawasan kehamilan untuk mengetahui kesehatan umum ibu, menegakan
secara dini penyakit yang menyertai kehamilan, menegakan secara dini komplikasi
kehamilan, dan menetapkan resiko kehamilan. Kunjungan ibu hamil adalah kontak
antara ibu hamil dan petugas kesehatan yang memberi pelayanan antenatal untuk
mendapatkan pemeriksaan kehamilan. Menurut Dep Kes RI, dalam pelaksanaan ANC
terdapat kesepakatan adanya standar minimal yaitu dengan pemeriksaan ANC 4 kali
selama kehamilan sebagai berikut : 1). Minimal satu kali pada trimester I (0-13
minggu), 2). Minimal satu kali pada trimester II (14-28minggu), 3). Minimal dua kali
pada trimester III (29-36 minggu). Selain itu risiko tinggi ibu hamil dengan faktor
resikonya dapat diamati dan ditemukan sedini mungkin pada awal kehamilan,
kemudian pada setiap kontak dilakukan skrining secara periodik berulang 6 kali
selama kehamilan sampai hamil genap 6 bulan. Dimana tujuan skrining ini salah
satunya adalah memberi penyuluhan dalam bentuk komunikasi informasi edukasi
khususnya mengenai keputusan untuk perencanaan tempat dan penolong menuju
persalinan aman.19 Dilihat dari kuantitas ANC pada pasien ini tidak sesuai dengan
kriteria ANC yang ada.

Menurut standar pelayanan kebidanan ada banyak alasan mengapa ibu hamil
tidak melakukan kunjungan ANC antara lain :19

34
1 Kemampuan mengambil keputusan.
Ibu sering kali tidak berhak memutuskan sesuatu, karena hal itu adalah hak
suami dan mertua, sementara mereka tidak mengetahui perlunya memeriksakan
kehamilan dan hanya mengandalkan cara-cara tradisional.
2 Fasilitas kesehatan
Fasilitas untuk pelayanan ANC tidak memadai, tidak berfungsi sebagaimana
mestinya, tidak memungkinkan kerahasiaannya, harus menunggu lama atau
perlakuan petugas kesehatan yang kurang memuaskan.
3 Pengetahuan
Beberapa ibu hamil tidak mengetahui mereka harus memeriksakan
kehamilannya, maka ibu hamil tidak melakukan pemeriksaan kehamilan.
4 Budaya
Kurangnya dukungan keluarga maupun tradisi yang tidak mengijinkan seorang
ibu hamil meninggalkan rumah untuk memeriksakan kehamilannya.
5 Petugas kesehatan
Ketidakpercayaan dan ketidaksenangan pada petugas kesehatan secara umur
beberapa anggota masyarakat tidak mempercayai semua petugas kesehatan
pemerintah.
6 Kepercayaan
Takhayul dan keraguan untuk memeriksakan kehamilannya pada petugas
kesehatan (terlebih pula jika petugasnya seorang laki-laki).
7 Sosial ekonomi
Ibu hamil atau anggota keluarganya tidak mampu membayar atau tidak
mempunyai waktu untuk memeriksakan kehamilannya.

4.4 Apakah komplikasi pasien ini?

35
Komplikasi yang biasa ditemukan akibat tindakan forceps yaitu rupture uteri,
robekan pada portio uteri, perdarahan post partum. Sedangkan pada bayi yaitu
terjadinya hematoma pada kepala, perdarahan dalam tengkorak, fraktur cranium,
luka-luka lecet dan paresis nervus fasialis. Pada kasus ini tidak terdapat komplikasi
pada ibu dan janin.

4.5 Bagaimana kompetensi Dokter Umum dalam penanganan kasus ini?


Berdasarkan SKDI tahun 2012, tingkat kemampuan dokter umum dalam
menangani kasus PEB adalah tingkat kemampuan 3B, yaitu mendiagnosis,
memberikan terapi awal dan merujuk.

36

Anda mungkin juga menyukai