STATUS OBSTETRI
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF OBSTETRI GINEKOLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CENGKARENG
IDENTITAS PASIEN
I. ANAMNESIS
Diambil dari: Autoanamnesis. Tanggal: 4 Januari 2017, Jam 09.00 WIB
1. Keluhan Utama:
Keluar darah dari kemaluan dan merasa mules sejak 1 hari yang lalu.
3. Riwayat Haid:
Pasien menarche pertama pada usia 13 tahun SMP2 , siklus teratur tiap bulan,
tidak nyeri, lamanya kira-kira 7 hari. Dalam sehari kira-kira pasien mengganti
pembalutnya sebanyak 3-4kali.
Haid pertama umur : 13 tahun.
Siklus : Teratur
Lamanya : 7 hari
HPHT : 14 11 - 2016
4. Riwayat Perkawinan:
Kawin: Sudah/Belum/Tidak
Kawin: 1 kali
5. Riwayat Obstetri:
Pasien dengan G1P0A0 dengan usia kehamilan 11 minggu.
2. Payudara:
Papila mamae menonjol, areola berwarna kecoklatan, tidak ada benjolan.
IV. RESUME
Wanita G1P0A0 dengan usia kehamilan 11 minggu datang ke Poliklinik RSUD Cengkareng
dengan keluhan keluar darah dari alat kemalunya sejak 1 hari yang lalu. Pasien juga
mengeluhkan adanya rasa mules. Sudah dilakukan test kehamilan test pack dan hasilnya (+).
Mens terakhir pada tanggal 14 November 2016. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tampak
sakit sedang dengan kesadaran compos mentis. Didapatkan suhu 36 oC, TD 120/70 mmHg,
frekuensi nadi 80 x/menit, berat badan 58 kg, tinggi badan 158 cm. Pada pemeriksaan
Laboratorium didapatkan hasil : . Pada hasil USG didapatkan FE(-) / GS : 5 minggu
V. DAFTAR MASALAH
G1P0A0 kehamilan 11 minggu dengan abortus inkomplit
VII. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
ABORTUS
Pendahuluan
Salah satu komplikasi terbanyak pada kehamilan adalah perdarahan. Perdarahan dapat
terjadi pada setiap usia kehamilan. Pada kehamilan muda sering dikaitkan dengan
kejadian abortus. Perdarahan yang terjadi pada umur kehamilan yang lebih tua, terutama
setelah melewati trimester III disebut perdarahan antepartum.
Definisi
Abortus didefinisikan sebagai ancaman/pengeluaran hasil konsepsi atau terminasi
kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan ialah
kehamilan kurang dari 20 minggu1,2 (beberapa sumber lain memberi batasan 22
minggu3,4 atau 24minggu5) atau berat janin kurang dari 500 gram.
Etiologi
Pada masa awal kehamilan, ekspulsi spontan dari ovum yang sudah dibuahi umumnya
terjadi akibat terhentinya proses biologis pada embrio atau janin. Penyebab terhentinya
proses biologis tersebut merupakan penyebab abortus pada kehamilan muda. Hal yang
sebaliknya terjadi pada kehamilan lanjut, di mana pengeluaran bayi lebih banyak
diakibatkan oleh faktor lingkungan atau eksternal sehingga saat dikeluarkan bayi-bayi
tersebut masih dalam keadaan hidup.
Penyebab abortus dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu penyebab fetal, penyebab
maternal dan penyebab paternal. Faktor patologis dari pihak semua (paternal) ini
walaupun berhubungan tetapi pengaruhnya sangat kecil terhadap kejadian abortus
spontan.
Faktor fetal
Delapan puluh persen kasus abortus spontan terjadi sebelum usia kehamilan 12
minggu, setengah di antaranya disebabkan oleh kelainan kromosom. Sembilan puluh
lima persen kelainan kromosom pada abortus spontan disebabkan oleh kegagalan
gametogenesis maternal dan sisanya adalah kegagalan gametogenesis paternal.
Abnormalitas dapaat dimulai dari pembelahan meiosis dari gamet, pesan ganda pada saat
fertilisasi atau saat pembelahan dini mitosis. Keadaan abortus dengan kelainan
kromosom ini disebut abortus aneuploid, misalnya trisomi autosom atau monosomi.
Abortus spontan biasanya menunjukkan kelainan perkembangan zigot, embryo, fetus
tahap awal, atau pada plasenta. Dari 1000 abortus spontan yang diteliti, ditemukan
setengahnya menunjukkan tidak adanya embrio atau disebut blighted ovum. Kelainan
morfologi pertumbuhan terjadi pada 40% abortus spontan sebelum usia gestasi 20
minggu. Setelah trimester pertama, tingkat abortus dan kelainan kromosom berkurang.
Faktor Maternal
Selain cacat kromosom dari pihak ibu, abortus juga dapat terjadi akibat adanya
gangguan kesehatan atau penyakit sistemik pada ibu.
Infeksi
Berbagai macam infeksi dapat menyebabkan abortus pada manusia, tetapi hal ini tidak
umum terjadi. Dari hasil penelitian, infeksi yang diduga memiliki kaitan dengan abortus
spontan adalah Mycoplasma hominis, ureaplasma urealyticum, dan bakterial vaginosis.
Gangguan hormonal
Terdapat hubungan antara defisiensi progesteron dan terjadinya abortus. Hormon
progesteron sangat berperan pada pembentukan desidua. Gangguan pembentukan
desiuda akan menganggu proses nutrisi embrio yang menyebabkan terhentinya proses
biologiss sehingga terjadi abortus.
Selain trofoblas, kelenjar tiroid berperan dalam memelihara kehamilan. Gangguan pada
tiroid dapat mengakibatkan gangguan kehamilan normal.
Trauma fisis
Trauma mayor abdomen dapat menyebabkan abortus.
Abortus merupakan suatu proses berakhirnya suatu kehamilan dimana janin belum mampu
hidup di luar rahim (belum viable); dengan kriteria usia kehamilan kurang dari 20 minggu
atau berat janin kurang dari 500 gram.
Klasifikasi abortus
1. Abortus spontan adalah keluarnya hasil konsepsi tanpa intervensi medis maupun mekanis.
a. Abortus buatan menurut kaidah ilmu (Abortus provocatus artificialis atau abortus
therapeuticus). Indikasi abortus untuk kepentingan ibu, misalnya adalah penyakit
jantung, hipertensi esensial, dan karsinoma serviks. Keputusan ini ditentukan oleh tim
ahli yang terdiri dari dokter ahli kebidanan, penyakit dalam dan psikiatri atau psikolog.
Abortus Insipien
Abortus insipien (abortus sedang berlangsung) didiagnosis apabila wanita hamil
sebelum 20 minggu ditemukan perdarahan banyak, kadang-kadang keluar gumpalan darah
yang disertai nyeri karena kontraksi rahim kuat dan ditemukan adanya dilatasi serviks
sehingga jari pemeriksa dapat masuk dan ketuban dapat teraba. Kadang-kadang perdarahan
dapat menyebabkan kematian bagi ibu dan jaringan yang tertinggal dapat menyebakan infeksi
sehingga evakuasi harus segera dilakukan. Janin biasanya sudah mati dan mempertahankan
kehamilan pada keadaan ini merupakan suatu kontraindikasi.
Terapinya berprinsip pada dilakukan evakuasi atau pembersihan kavum uteri (DK
atau suction curretage ) sesegera mungkin. 2
Abortus Inkomplet
Abortus inkomplet proses abortus dimana sebagian hasil konsepsi telah keluar melalui
jalan lahir tetapi sebagian tertinggal (biasanya jaringan plasenta). Abortus inkompletus
ditangani hampir sama dengan abortus insipien, kecuali jika pasien dalam keadaan syok
karena perdarahan banyak. Perdarahan biasanya terus berlangsung, banyak, dan
membahayakan ibu. Sering serviks tetap terbuka karena masih ada benda di dalam rahim
yang dianggap sebagai benda asing. Oleh karena itu, uterus akan berusaha mengeluarkannya
dengan mengadakan kontraksi sehingga ibu merasakan nyeri, namun tidak sehebat pada
abortus insipien. Pada beberapa kasus perdarahan tidak banyak dan bila dibiarkan serviks
akan menutup kembali. 2
Pengelolaan dengan memperbaiki keadaan umum: bila syok atasi syok harus
dilakukan resusitasi cairan (bahkan mungkin perlu tranfusi); bila Hb < 8 gr% tranfusi.
Evakuasi, uretonik dan antibiotik selama tiga hari. DK (dilatasi dan kuretase dapat dilakukan
setelah syok teratasi. 2
Abortus Kompletus
Abortus kompletus adalah proses abortus dimana keseluruhan hasil konsepsi telah
keluar melalui jalan lahir. Pada keadaan ini kuretasi tidak perlu dilakukan. Pengamatan
(minimal 1 jam) adanya perdarahan lebih lanjut mungkin sudah memadai. Jika terdapat hasil
konsepsi, harus diperiksa kelengkapannya dan dapat diserahkan untuk keperluan analisis
genetik atau pemeriksaan patologis lainnya. Pada kasus-kasus yang meragukan, pencitraan
uterus dengan USG akan merinci hasil konsepsi tersisa. Setelah pengamatan selesai, pasien
yang mengalami abortus komplit dapat pulang ke rumah dengan intruksi untuk
mempertahankan adanya tanda-tanda infeksi (demam, mengigil, nyeri), mengamati adanya
perdarahan per vaginam dan jangan melakukan hubungan seksual atau pencucian vagina
sampai pemeriksaan ulang dalam waktu sekitar 2 minggu untuk menentukan ada tidaknya
kekurangan penutupan serviks atau kelainan lainnya.2
Terapi tidak memerlukan tindakan DK, mungkin perlu tranfusi dan pengobatan
suportif laiinya untuk anemianya.
Blighted Ovum
Blighted Ovum atau yang dikenal sebagai kehamilan tanpa embrio atau kehamilan
kosong. Pada saat terjadi pembuahan, sel-sel tetap membentuk kantung ketuban, plasenta,
namun telur yang telah dibuahi (konsepsi) tidak berkembang menjadi sebuah embrio. Pada
kondisi blighted ovum kantung kehamilan akan terus berkembang, layaknya kehamilan biasa,
namun sel telur yang telah dibuahi gagal untuk berkembang secara sempurna, maka pada ibu
hamil yang mengalami blighted ovum, akan merasakan bahwa kehamilan yang dijalaninya
biasa-biasa saja, seperti tidak terjadi sesuatu karena memang kantung kehamilan berkembang
seperti biasa. Pada saat awal kehamilan, produksi hormon HCG tetap meningkat, ibu hamil
ketika dites positif, juga mengalami gejala seperti kehamilan normal lainnya, mual muntah,
pusing-pusing, sembelit dan tanda-tanda awal kehamilan lainnya. Namun ketika menginjak
usia kehamilan 6-8 minggu, ketika ibu hamil penderita blighted ovum memeriksakan
kehamilan ke dokter dan melakukan pemeriksaan USG maka akan terdeteksi bahwa terdapat
kondisi kantung kehamilan berisi embrio yang tidak berkembang. jadi gejala blighted ovum
dapat terdeteksi melalui pemeriksaan USG atau hingga adanya perdarahan layaknya
mengalami gejala keguguran mengancam (abortus iminens) karena tubuh berusaha
mengeluarkan konsepsi yang tidak normal.
Untuk penanganan kehamilan blighted ovum tidak ada jalan lain kecuali
mengeluarkan hasil konsepsi dari dalam rahim. Caranya bisa dilakukan dengan kuretase atau
dengan menggunakan obat. Namun kuretase dianggap lebih baik karena dapat mencegah
terjadinya infeksi dan juga pemeriksaan kromosom.
Gambar 4. USG Blighted ovum
KOMPLIKASI
Komplikasi pada aborsi dibagi dua antara lain:6
a. Komplikasi akut
Komplikasi ini terjadi selama prosedur atau 3 jam sesudah proses
abortus selesai:
- Perdarahan
- Luka serviks
- Perforasi uterus
- Hematometra
b. Komplikasi lanjut:
- Infeksi
- Jaringan sisa
- Sensitisasi Rh
DAFTAR PUSTAKA
1. Sastrawinata S. Ilmu kesehatan reproduksi obstetri patologi. Edisi ke-2. Jakarta: EGC;
2004.h.1-9.