Anda di halaman 1dari 340

tl

;r.
4

i '

'
f!.

ETIKA
f
i,.

KEDOKTERAN
$
{

+
& HUKUM
KESEHATAN
'ii
!
l
,.1

.I
,
+
t
t
t.
:
t'

:l
i
Kutipan PasalT2:
Sanksi Pelanggaran Undang-Undang Hak Cipta
(Undang-Undang No. 19 Tahun 2002)
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaima-
na dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara ma-
sing-masing paling singkat 1 (satu) bulan daniatau denda paling sedikit
Rp. 1 .000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar ru-
piah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan' atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak
Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana den-
gan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahut dan/atau denda paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

PnNrrnc Dlxrranur
Penerbit adalah rekanan pengarang untuk menerbitkan sebuah buku. Bersama
pengarang, penerbit menciptakan buku untuk diterbitkan. Penerbit mempunyai
hak atas penerbitan buku tersebut serta distribusinya, sedangkan pengarang me-
megang hak penuh atas karangannya dan berhak mendapatkan royalti atas penjual-
an bukunya dari penerbit.

Percetakan adalah perusahaan yang memiliki mesin cetak dan menjual jasa pen-
cetakan. Percetakan tidak memiliki hak apa pun dari buku yang dicetaknya kecuali
upah. Percetakan tidak bertanggungjawab atas isi buku yang dicetaknya.

Pengarang adalah pencipta buku yang menyerahkan naskahnya.untuk diterbitkan


di sebuah penerbit. Pengarang memiliki hak penuh atas karangannya' namun
menyerahkan hak penerbitan dan distribusi bukunya kepada penerbit yang ditun-
juknya sesuai batas-batas yang ditentukan dalam perjanjian. Pengarang berhak
mendapatkan royalti atas karyanya dari penerbit, sesuai dengan ketentuan di dalam
ped anj ian Pengarang-Penerbit.

Pembajak adalah pihak yang mengambil keuntungan dari kepakaran pengarang


dan kebutuhan belalar masyarakat. Pembajak tidak mempunyai hak mencetak,
tidak memiliki hak menggandakan, mendistribusikan, dan menjual buku yang
digandakannyakarena tidak dilindungi copyrighl ataupun perjanjian pengarang-
penerbit. Pembajak tidak peduli afas jerih payah pengarang. Buku pembajak
dapat lebih murah karena mereka tidak perlu mempersiapkan naskah mulai dari
pemilihan judul, editing sampai persiapan pracetak, tidak membayar royalti, dan
tidak terikat perjanjian dengan pihak mana pun.

PnMn.q,lA.KAN BuKU An.q.LaH KnrurNll!


Anda jangan menggunakan buku bajakan, demi menghargai jerihpayahpara penga-
rangyangnotabene adalah para guru.
ETIKA
KEDOIffERAN
& HUKUM
KESEHATAN

EDISI 4

Prof. dr. M. Jusuf Hanafiah, Sp.OG(K)


Prof. dr. Amri Amir, Sp.F(K), SH

PENERBIT BUKU KEDOKTERAN


ME
EGC 1807

ETIKA KEDOKTERAIN S. UUXUM KESEHATAN, EdiSi4


Oieh: Prof. dr. M. Jusuf Hanafiah, Sp'OG(K) & Prof. dr' Amri Amir,i Sp'F(K), SH
Copy editor: Rusmi

Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Buku Kedokteran EGC


@ 2007 Penerbit Buku Kedokteran EGC
P.O. Box 4276llakarta 1'0042
Telepon: 6530 6283
Anggota IKAPI
Desain kulit muka: Yohanes Duta Kurnia Utama
Hak cipta dilindungi Undang-Undang.
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk
upu p.tt-t, baik secara elektronik maupun mekanik, termasuk memfotokopi,
*er"ku*, atau dengan menggunakan sistem penyimpanan lainnya,
tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Cetakan 2012

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

|usuf Hanafiah, M
Etika kedokteran & hukum kesehatan / M. iusuf Hanafiah &
Amri Amir. - Ed. 4. - Jakarta : EGC, 2008'
xiv,324 him. ; 15,5 x24 crn.
rsBN 978-979-448-955-0
1. Etika kedokteran. I. Judu1. II. Amri Amir.
174.2

lsi di luar tanggung jawab percetakan


Rqrulullqh rqw berrqbdq:
Bua seseomNc TEI-AH MENTNGGAL DUNIA TERpurusLAH UNTUKNVA
PAHALA SEGALA AMAL KECUALI DARITIGA HAL VANG TETAP KEKAL
SHADAQAH IARIAH, ILMU VANG BERMANFAAT, DAN ANAK SALEH VANG
SENANTIASA MENDOAKANNVA

(Riwcyct lmqm Buhhori don Murlim)

KnuI PERsEMBAHKAN KEPADA ALMARHUM AVAH DAN IBU KAMI


Karn PercmrrAR Eou I

Dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1994), telah


ditetapkan kurikulum yang berlaku secara nasional Program Sarjana Ilmu Kesehatan
dan Kurikulum Inti Pendidikan Doker Indonesia (KIPDD yang merupakan KIPDI
IL KIPDI II bertolak dari kompetensi lulusan, dan penjabaran selanjutnya meng-
gunakan pendekatan perumuSan tujuan pendidikan cabang ilmu. Struktur kurikulum
pe_ndidikan terdiri atas uraian kelompok ilmu, pengalaman belajar dan evaluasi
hasil belajar. Oleh karena pendidikan dokter merupakan pendidikan akademik pro-
fesional, ia memiliki landasan ilmu pengetahuan dan landasan keprofesian. Dengan
mengantisipasi perkembangan iptek kedokteran serta perkembangan tuntutan
kebutuhan masyarakat dan pembangunan kesehatan di masa datang, pendidikan
dokter di Indonesia berorientasi kepada iptek kedokteran dan masyarakat. Ini
berarti bahwa dokter dituntut menguasai iptek, mampu menyelesaikan masalah
secara ilmiah, memiliki sikap dan perilaku sesuai dengan etik keprofesian, serta
mampu bekerja di tengah-tengah masyarakatyang semakin maju dan modern.
Mata kuliah Etik Kedokteran dan Hukum Kesehatan termasuk kelompok
Humaniora dengan beban studi 2 SKS. Untuk itu diperlukan buku pegangan bagi
mahasiswa dalam mengikuti proses belajar mengajar mata kuliah ini. Buku-buku
Etik Kedokteran dan Hukum Kesehatan dalam Bahasa Indonesia telah ada, nalnun
masih langka, terutama tentang hukum kesehatan yang relatif masih muda. Oleh
karena itu, penulis mencoba menyrsun buku ini yang merupakan kumpulan kuliah-
kuliah yang diberikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (sejak
1983), dan Universitas Islam SumateraUtara (sejak 1990), serta Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara (sejak 1997). Buku ini dimaksudkan sebagai
bahan bacaan bag mahasiswa Fakultas Kedokteran dan juga mahasiswa Fakultas
Ilmu Kesehatan lain (Kedokteran Gigi, Kesehatan Masyarakat, Keperawatan, dan
Farmasi Klinik). Oleh karena itu, buku ini dilengkapi dengan tujuan instruksional,
pokok bahasan dan sub-pokok bahasan sebelum pembahasan setiap Bab. Di bagian
belakang buku ini dilampirkan contoh soal ujian dan jawabannya, serta lampiran,
termasuk beberapa peraturan perundang-undangan dalam bidang kesehatan.
Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran untuk perbaikan dan penyempurnaan buku ini di masa depan,
kami terima dengan senang hati disertai ucapan terima kasih.
Kepada USU Press yang telah menerbitkan buku ini kami ucapkan terima kasih
yang tulus. Kepada Dekan Fakultas Kedokteran USU, Prof dr. Sutomo Kasiman,
SpPD, KKV yang telah memberikan kata sambutannya, kami sampaikan peng-
hargaan dan ucapan terima kasih.
Semoga buku ini bermanfaat bagi yang menggunakannya dan mencapai sasaran
yang diharapkan.
Medan,20 Agustus 1997.

Prof M. Jusuf Hanafiah, SpOG


dr. Amri Amir, SpF.
ui
Klrl FencnrrAR Eorr 4

Puji slukur kehadirat Allah, Tirhan Yang Maha Kuasa atas rahmat-Nya karena
akhirnya Edisi 4 buku Etiha Kedofrteran dan Hurtum Kesehatan ini dapat diselesaikan
sebelum tahun akademik 2008/2009 dimulai. Sejak diterbitkannya Edisi 3 pada
tahun 1999, telah banyak terjadi perkembangan dalam kedua cabang ilmu ini.
Perkembangan penting yang terjadi, antara lain:
1. Terselenggaranya Pertemuan Nasional Jaringan Bioetika dan Humaniora
' Kesehatan di Yogyakarta pada tahun 2000, di Bandung pada tahun 2002, di
Jakarta pada tahun 2004 dan di Surabaya pada tahun 2006, yang telah mem-
bahas tentang pendidikan, penelitian dan penerapan Bioetika dan Humaniora
untuk tenaga-tenaga kesehatan.
2. Diterbitkannya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1334,/
Menkes,/SWX/2002 tentang Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan dan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 187lMenkes/SWLV
2003 tentang Keanggotaan Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan, yang
telah menghasilkan Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan beserta su-
plemennya.
3. Diterbitkannya Undang-undang Republik Indonesia No. 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 116,
Timbahan Lembaran Negara RI No 4431) diikuti Peraturan Menteri.Ke-
sehatan No. 1419,/Menkes,/PER lX/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik
Dokter dan Dokter Gigi.
4. Diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di Fakultas Ke-
dokteran mulai tahun akademik 2006/2007 dan telah disusunnya Course Study
Guide untuk setiap bloVmodul di tiap-tiap Fakultas Kedokteran, yang anlara
lain berisi Program Pedidikan Bioetika dan Humaniora Kesehatan yang me-
merlukan buku ajar tersendiri.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pada Edisi 4 buku Etiha Kedokteran dan
Huhum Kesehatanini,telah dilakukan berbagai revisi dan pemutakhiran bahan pada
bab-bab terkait serta ditambah dengan beberapa bab baru sebagai berikut.
1. UU RI No;29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
2. Imbalan jasa dokter
3. Etika Klinis
4. Etik Penelitian Kesehatan sebagai pengganti Bab Riset Biomedik pada
Manusia
5. Peraturan Internal Rumah Sakit dan StafMedis (IlorpinlBy Law dan Medical
StaffBy Lazns).
Pada lampiran buku ini ditambahkan pula beberapa Surat Keputusan yang re-
Ievan.
Penulis berpendapat pembahasan etika kedokteran dan hukum kesehatan perlu
digabung karena adanya masalah-masalah etik kedokteran yang bersinggungan

vil
vltl Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

dengan peraturan perundangan yang berlaku (etikolegal), seperti rahasia kedokter-


an, maipraktik medih dan persetujuan setel'ah penjelasan baik untuk tindakan
medik ataupun untuk penelitian kesehatan yang melibatkan manusia sebagai
subjek.
Kepada Penerbit Buku Kedokteran EGCJ akartayangtelah bersedia menerbitkan
dan memasarkan buku ini sejak Edisi-3 (1999) diucapkan terima kasih.
Semoga buku ini tetap bermanfaatbagS penggunanya.

Medan, 01April2008
Prof M. Jusuf Hanafiah, SpOG(K)
Prof Amri Amir, SpF(K), DFM, SH
$lugurlr.l
Dexan Fnxulrar KepoKTERAN
UuvnntmAt tuunrenl Urnna

Kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas sukses penyusunan
F.ltkt Etifra Kedohteran dan Huhunt Keseltatan, yang disusun oleh penulis yang
mengasuh mata ajar Etik Kedokteran dan Hukum Kesehatan, di Fakultas Kedokteran
USU Medan ini.
Buk:l- Etiha Kedoh,teran dan Huhum Kesehatan ini merupakan suatu kebutuhan
dasar yang seharusnya digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan pelayanan
di tempat seluruh petugas kesehatan baik dokter ahli, dokter umum, peserta PPDS,
bahkan mahasiswa. Sebagai rujukan standar, buku ini kiranya dapat merupakan
referensi serta pegangan bagi mahasiswa fakultas kedokteran, doker, serta pe-
laksana pelayanan kesehatan lainnya dalam melayani penderita yang merupakan
konsumen pengguna jasa pelayanan kesehatan baik di praktik maupun rumah
sakit.
Buku ini disusun oleh pakar yang telah cukup berpengalaman dalam memberikan
kuliah etika kedokteran dan hukum kesehatan baik bagi mahasiswa fakultas
kedokteran, fakultas kesehatan masyarakat maupun keperawatan, yang isinya
menga.cu kepada Kurikulum Inti Pendidikan Dokter di Indonesia
Harapan kami kiranya buku Etiha Kedohteran dan Huhum Keseltatan ini akan
memberi arti bukan saja dalam proses belajar tetapi juga merupakan panduan bagi
seluruh pelaksana pelayanan termasuk para peserta program pendidikan yangada
di lingkungan Fbkultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara khususnya maupun
dari institusi lainnya dapat memanfaatkannya sebagai bahan rujukan. Dengan
demikian, diharapkan pelayanan secara umum dapat terlaksana dengan baik dan
aman secara etis. Buku inijuga merupakan sumbanganbagil<hazanah perpustakaan
di lingkungan pendidikan kesehatan pada umumnya.
Penghargaan yang tinggi kami sampaikan kepada para penyusun buku ini
khususnya kepada kelompok pengajar mata kuliah umum, yang mengasuh mata
ajar kelompok humaniora, filsafat, metodologi, etika, dan hukum kesehatan yang
telah memprakarsai serta mendorong terbitnya buku yang kita nantikan ini.

Medan, 20 Agustus 1997


Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
Dekan,
Prof dr. Sutomo Kasiman, SpPD, KKV
NIP. 130 365 293
lx
GARI'.GARI' BE'AR PROGRAM PENGAIARAN

JUDUL MAIA KULIAH: Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan

NOMOR KODE/SKS : EK.13V2 SKS


DESKRIPSI SINGKAT ; Mata kuliah ini membahas dua bidang yaitu etika
kedokteran dan hukum kesehatan, yang meliputi pengertian etika
kedokteran, bioetika, dan hukum kesehatan, lafal sumpah dokter, kode
etik kedokteran Indonesia, Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan, Undang-undang RI No. 29 Thhun 2004 tentang
Praktik Kedokteran, transaksi terapeutilq hak dan kewajiban dokter
serta'pasien, rekam medis, persetujuan tindakan medik, ruhasia jabatan
dan pekerjaan dokter, etika ldinis, surat-surat keterangan dokter,
malpraktik medik, reproduftsi manusia, eutanasia, transplantasi organ
dan jaringan tubuh, aspek hukum dan etik kesehatan lingkungan,
kesehatan kerja dan penyakit menular, penyembuhan tradisional dan
kedokteran modern, hukum dan etik rumah sakit, peraturan internal
rumah sakit dan stafmedis, penanganan penderita gawat darurat, sanksi
pelanggaran etik kedokteran, etik penelitian kesehatan, dan penulisan
ilmiah kedokteran,/kesehatan

TUIUAN IN'TRUKJIONAL UMUM:


Setelah mengikuti proses belajar mengajar, mahasiswa./calon dokter akan dapat
memahami, menghayati dan mengamalkan etika kedokteran dan hukum kesehatan
sejak dini dan dapat menjadikannya sebagai pedoman dalam menjalankan profesi
kedokteran/kesehatan kelak di tengah masyarakat"

METODE PENGATARAN:
1. Kuliah
2. Diskusi kasus
J. Membuat makalah kelompok dengan judul yang dipilih dari butir-butir lafal
sumpafi dokter, KODEKI, dan sebagainya.
4. Ujian tulisan:
a. Ujian pilihan berganda
b. Analisis kasus dugaan malpraktik
c. Esai.

x
Darrnn ln

Kata Pengantar Edisi 1..........,..,"".."."


Kata Pengantar Edisi 4..:................. ..""..' vii
Sambutan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Vtzrra.......tx
Garis-Garis Besar Program Pengajaran '.,....,.'.,.,.,...x

Bab 1. Pengertian Etika Kedokteran, Bioetika, dan


Hukum Kesehatan.. ,......"......"...,,.1

(A[. JusufHanaltah)

Bab2,LafalSumpahDokter...''''''.'..',.,...'...''
(X[. JusufHanafah)

Bab 3. Kode Etika Kedokteran Indonesia (KODEKD ............L3


(X[. Just{Hanafah)

Bab 4. Undang-Undang RI Nomor 23 Talwn L992


Tentang Kesehatan.. ,.,.".,,.,.....,.26
(Ann'Antl
Bab 5, Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun2004
Tentang Praktik Kedokteran ,....,".."..,...........34

(Ann'Antl
Bab 6. tansaksi Terapeutik.
(z4mn''4mt)
Bab 7. Hak dan Kewajiban Dokter dan Pasien. ,.,.","..".,......,......47

WL JusrfHanafah)
Bab 8. ImbalanJasa Dokter..... ....'...'.'.'57
(M. Just{Hanafah)
Bab 9. Rekam Medis"......... .......;.........,..........,..'.,.,.,...,.62
(Ann'Amir)
Bab 10. Persetujuan Tindakan Medik(Info rmed Consent).""'.."....".".'..'.'..'.'.'..72
('4mn'Amt)
Bab 11. RahasiaJabatan dan Pekerjaan Dokter,....,.....r...,.........,.............'.'.'....."78
(IVI. JusufHanafah.)

Bab l2.Etika Klinis .,"".....".84


(M. Just{Hanafah)
xi
Doftor lsi

Bab 13. Surat-Surat Keterangan Dokter ..................88


(M. JtuufHannfah)
Bab 14. Malpraktik Medik.........
(M. Jusr{Hanafah)
Bab 15. Reproduksi Manusia.....
(M. JrcufHanafa/)
Bab 16. Eutanasia...
(Ann'Ami)
Bab lT. Transplantasi Organ danJaringan Tirbuh.....
(M. JusufHanafah)
Bab 18. Aspek Etik dan Hukum Kesehatan Lingkungan .......128
(Ann'Anir\
Bab 19. Aspek Etik dan Hukum Kesehatan Kerja............ ........134
(Ann'Anir)
Bab 20. Aspek Etik dan Hukum Penyakit Menular .................140
(Amn'Ami)
Bab 21. Penyembuhan Tiadisional dan Kedokteran Modern....................,fn8
(A[. Ju:ufHanaftal)

Bab22.Etik dan Hukum Rumah Sakit............. ...............;............156


(Ann'Anfi
Bab 23. Peraturan Internal Rumah Sakit dan Staf Medis
(Hotspital Bylaws dan Medical Staff Bylaws) ..............161
(Ann Anir)
Bab24. Penanganan Pasien Gawat Darurat....... .........................168
(M. JusufHanafah)
Bab25. Sanksi Pelanggaran Etika Kedokteran.......... ..................173
(M. JusufHanafuh)
Bab 26. Etika Penelitian Kesehatan................r. .......183
(M. Just{Hanafa/)
Bab 27. Penulisan IlmiahKedokteran/Kesehatan......... .............196
(M. JusufHanafal)

Daftar Pustaka......
Contoh Soal-Soal Ujian Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan......21L
Jawaban.......,............... ........224
Doftor lsi

Daftar Lampiran:
1. The Hippocratic Oath (B.C)
2. Nuremberg Code (1947)................................. ....226
3. The World Medical Association: Declaration of Geneva (19a8) ......227
4. International Code of Medical Ethics (1949) ....................228
5. World Medical Association (WMA) Declaration of Helsinki............230
6. Peraturan Pemerintah No. 10 Thhun 1966
Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran ......................235
'7.
Declaration of Sydney, A Statement of Death.........................................239
B. Constitution of The World Health Organization (1976)......................240
9. Peraturan.Pemerintah RI No. 18 Tahun 1981
Tentang Bedah Mayat Klinis & Bedah Mayat Anatomis serta
tansplantasi Alat dan/ata-uJaringan Tubuh Manusia.........................24I
10. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 554/Menkes/Per/XII/
1982 Tentang Panitia Pertimbangan & Pembinaan
Etika Kedokteran.............. ..............250
11. Lafal Sumpah Dokter ...................256
12. Pernyataan IDI Tentang Rekam Medis,/Kesehatan
(Medical Record)(Lampiran SK PB IDI No. 315/PB/A.4/BB) ........258
13. Pernyataan IDI tentang Informend Consent
(LampiranSKBIDINo.3lg,zPB/A.4/88)..... ....................260
14. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.749a/
Menkes/Per /XIl / 1989 Tentang Rekam Medis,/
Medical Record.'..... ................'.'.'..262
15. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 585,2
Menkes,/Pe r / IX/ 19 89 Tentang Persetujuan Tindakan Medik........... 2 66
t6. Pernyataan Ikatan Dokter Indonesia Tentang Mati...........................'...270
17. Peraturan Pemerintah RI No. 32 Tahun 1996

Tentang Tenaga Kesehatan.. '.'.'..276


18. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1334,zMenkes/SK/X/
2002 Tentang Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan...'..............288
19. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. l4l9/Menkes/Per/X'/
2005 Tentang PenyelenggaraanPraktik Dokter & Dokter Gig: '.......29I
20. Surat-Surat Keterangan Dokter..................... ................'...'.'...302
21. Contoh-ContohSuratPernyataanPasien//vili........'.. .....307
22. Contoh Surat Pernyataan Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP).'.'.'311
Daftar Singkatan.. ............313
Ketentuan Hukum""" ""316
Indeks .........319
FeNcrnflAN EnxE KepoxrERANt
Bpenxn, DAN Huxultt Kelgnarlx

Tujuon lnrtrqhlionql Khurut


1. Menyebuthqn definisi etihq hedohterqn dqn bioetihs serto tuiusnnys.
2. Menyebuthsn definisi huhum dqn huhum hesehston lerts tuiuqnnyo.
l. MenjelqshEn persomson dsn perbedoqn etihq don huhum.
4. Menjeloshon ciri-ciri peherioon don etihs profesi.
5. Mengurqihon perhembqngsn huhum herchoton di lndonesis.

fohoh Bqhqrqn
1. Etiho Kedohterqn
z. Bioetihs
3. Huhum hesehstsn
tub-Fohoh Bqhqrsn
1. Pengertisn etihs hedohtersn don bioetiho
2. Pengertiqn huhum don huhum hesehqton
3. Penomoon dsn perbedoon etihq don huhum
4. Ciri-ciri peherjssn don etihE profesi
5. Perhembsngon huhum hesehotan dilndonesio
Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

Etihq Kedohterqn
Etik (Ethicl berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti a-khlah adat kebiasaan,
watah perasaan, sikap, yang baik, yang layak. Menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia (Purwadarminta, 1953), etika adalah ilmu pengetahuan tentang azas
akhlak. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dari Departemen
Pendidikan dan t<ebudayaan (1 98 8), etika'adalah:
1. Ilmu tentang apayang baik, apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral
2. Kumpulan atau seperangkat asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
3. Nilai yang benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat
Menurut Kamus Kedokteran (Ramali dan Pamuncak,1987), etika adalah penge-
tahuan tentang perilaku yang benar dalam satu profesi.
Istilah etika dan etik sering dipertukarkan pemakaiannya dan tidak jelas per-
bedaan antarakeduanya. Dalam buku ini, yang dimaksud dengan etika adalah ilmu
yang mempelaja.ri azas akhlah sedangkan etik adalah seperangkat asas atau nilai
yang berkaitan dengan akhlak seperti dalam Kode Etik. Istilah etis biasanya
digunakan untuk menyatakan sesuatu sikap atau pandangan yang secara etis dapat
diterima (xhically acceptable) atau tidak dapat diterima (ahically unacceptable, tidak
etis).
Pekeq'aan profesi (proj?ssrb berarti pengakuan) merupakan pekerjaan yang me-
merlukan pendidikan dan latihan tertentu, memiliki kedudukan yang tinggi dalam
masyarakat, seperti ahli hukum (hakim, pengacara), wartawan, dosen, dokter,
dokter gigi, dan apoteker.
Pekeq'aan profesi umumnya memilikii ciri-ciri sebagai berikut.
1. Pendidikan sesuai standar nasional
2. Mengutamakan panggilan kemanusiaan
3. Berlandaskan etik profesi, mengikat seumur hidup.
4. Legal melalui perizinan
5. Belajar sepanjang hayat
6. Anggota bergabung dalam satu organisasi profesi.
Dalam pekerjaan profesi ,*g"i dihandalkan etik profesi dalam memberikan pe-
layanan kepada publik. Etik profesi merupakan seperangkat perilaku anggota pro-
fesi dalam hubungannya dengan orang lain. Pengamalan etika membuat kelompok
menjadi baik dalam arti moral.
Ciri-ciri etik profesi adalah sebagai berikut.
1. Berlaku untuk lingkungan profesi
2. Disusun oleh organisasi profesi bersangkutan
3. Mengandung kewajiban dan larangan
4. Menggugah sikap manusiawi.
Profesi kedokteran merupakan profesi yang tertua dan dikenal sebagai profesi yang
mulia karena ia berhadapan dengan hal yang paling berharga dalam hidup se-
seorang yaitu masalah kesehatan dan kehidupan.
?41 I Pengertian Etiho Kedohteron, Bioetiho, don Huhum Kesehoton

Menurut Pasal 1 butir 11 Undang Undang Nomor 29 Tfiun 2004 tentang


Praktik Kedokteran profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekeriaan
kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan,
kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan berjenjang dan kode etik yang
bersifat melayani masyarakat.
Hakikat profesi kedokteran adalah bisikan nurani dan panggilan jiwa (toili"g),
untuk mengabdikan diri pada kemanusiaan berlandaskan moralitas yang kental.
Prinsip prinsip kejujuran, keadilan, empati, keikhlasan, kepedulian kepada sesama
dalam rasa kemanusiaan, rasa kasih sayang (compasubn), dan ikut merasakan pen-
deritaan orang lain yang kurang beruntung. Dengan demikian, seorang dokter
tidaklah boleh egois melainkan harus mengutamakan kepentingan orang lain,
membantu mengobati orang sakit (ahrutsm). Seorang dokter harus memiliki
Intellectual Quotient (IQ), Enoh'onal Quottbnt (EQ), dan Spintual Quoh'ent (SQ) yang

'tKrtTt"J:THili" datam pendidikan dokter adalah untuk menjadikan


",,0"
calon dokter lebih manusiawi dengan memiliki kematangan intelektual dan emosi-
onal. Para pendidik masa lalu melihat perlu tersedia berbagai pedoman agar ang-
gotanya dapat menjalankan profesinya dengan benar dan baik. Para pendidik di
bidang kesehatan masa lalu melihat adanya peluang yang diharapkan tidak akan
terjadi sehingga merasa perlu membuat rambu-rambu yang akan mengingatkan
para peserta didik yang dilepas di tengah-tengah masyarakat selalu mengingat
pedoman yang membatasi mereka untuk berbuat yang tidak layak.
Etik profesi kedokteran merupakan seperangkat perilaku para dokter dan
dolter gigi dalam hubungannya dengan pasien, keluarga, masyarakat, teman
sejawat dan mitra kerja. Rumusan perilaku para anggota profesi disusun oleh
organisasi profesi bersama-sama pemerintah menjadi suatu kode etik profesi yang
bersangkutan. Tiap-tiap jenis tenaga kesehatan telah memiliki Kode Etiknya,
namun Kode Etik tenaga kesehatan tersebut mengacu pada Kode Etik Kedokteran
Indonesia (KODEKD.

Bioetihq
Perkembangan yang begitu pesat di bidang biologi dan ilmu kedokteran membuat
etika kedokteran tidak mampu lagi menampung keseluruhan permasalahan yang
berkaitan dengan kehidupan. Etika kedokteran berbicara tentang bidang medis
dan proGsi kedokteran saja, terutama hubungan dokter dengan pasien, keluarga,
masyarakat dan teman sejawat. Oleh karena itu, sejak 3 dekade terakhir ini telah
dikembangkan bioetika atau disebut juga etika biomedis.
Bioetika berasal dari kata bios yang berarti kehidupan dan et/tos yang berarti
norma-norma atau nilai-nilai moral. Bioetika atau bioetika medis merupakan studi
interdisipliner tentang masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan di bidang
biologi dan ilmu kedokteran baik skala mikro maupun makro, masa kini dan masa
mendatang (Bertens, 2001). Bioetika mencakup isu-isu sosial, agama, ekonomi dan
hukum bahkan politik. Bioetika selain membicarakan bid4ng medis, seperti abortus,
eutanasia, transplantasi organ, teknologi reproduksi buatan, dan rekayasa genetik,
Etiho Kedohteron don Huhum Kelehoton

membahas pula masalah kesehatan, faktor budayayang berperan dalam lingkup


kesehatan masyarakat, hak pasien, moralitas penyembuhan tradisional, lingkungan
kerja, demografi, dan sebagainya. Bioetika memberi perhatian yang besar pula
terhadap penelitian kesehatan pada manusia dan hewan percobaan.
Masalah bioetika mulai diteliti pertama kali oleh Institutefor the Sndy of Sone$,
Ethics and the Ltfr Salences, Hastrng Centen Neus Yorfr (Amerika Serikat ) pada tahun
1969. Kini terdapat banyak lembaga di dunia yang menekuni penelitian dan diskusi
mengenai berbagai isu etika biomedik.
- Di Indonesia, bioetika baru berkembang sekitar satu dekade terakhir yang
dipelopori oleh Pusat Pengembangan Etika Universitas Atma Jaya Jakarta. Per-
kembangan ini sangat menonjol setelah Universitas Gajah Mada Yogyakartayang
melaksanakan pertemuan Bioethics 2000 An Internatnna/ Exc/tange dan Pertemuan
Nasional I Bioetika dan Humaniora pada bulan Agustus 2000' Pada waktu itu,
Universitas Gajah Madajuga mendirikan CenterifbrBt'oethics and Medical Humanih'es.
Dengan terselenggaranya Pertemuan Nasional II Bioetika dan Humaniora pada
tahun2002 di Bandung Pertemuan III pada tahun 2004 diJakarta, dan Pertemuan
IV pada tahun 2006 di Surabaya serta telah terbentuknyaJaringan Bioetika dan
Humaniora Kesehatan Indonesia IBHKI) pada tahun 2002, diharapkan studi
bioetika akan lebih berkembang dan tersebar luas di seluruh Indonesia pada masa
datang.
Humaniora atau hwnant'hes merupakan pemikiratt yu.tg berkaitan dengan
martabat dan kodrat manusia, seperti yang terdapat dalam sejarah, filsafat,'etika,
agam3, bahasa, dan sastra.

Huhum Kerehotqn ,

Definisi hukum tidak dapat memuaskan semua pihak karena banyak seginya,dan
demikian luasnya sehingga sulit disatukan dalam satu rumusan. Untuk praktisnya,
dalam buku ini yang dimaksud dengan hukum adalah peraturan perundangan,
seperti yang terdapat dalam hukum pidana, hukum perdata, hukum tata negara,
dan hukum administrasi negara.
Dalam lebih dari dua dekade terakhir terasa sekali disiplin hukum memasuki
wilayah kedokeran atau bisa juga dikatakan kalangan kesehatan makin akrab
dengan bidang dan pengetahuan hukum. Dua disiplin tertua di dunia itu, pada
awalnya berkembang dalam wilayahnya masing-masing, yang satu dalam mengatasi
masalah kesehatan yang timbul pada anggota masyarakat, yang satu lagi mengatur
tentang ketertiban dan ketentraman hidup bermasyarakat. Keduanya diperlukan
untuk kesejahteraan dan kedamaian masyarakat. Dalam perkembangan kedua
disiplin ini untuk mencapai tujuan dimaksud, ternyatadisiplin yang satu diperlukan
oleh disiplin lain dalam cabang ilmunya. Dalam proses penegakan hukum, peran
ilmu dan bantuan dokter diperlukan oleh jajaran penegak hukum yang dikenal
sebagai Ilmu Kedokteran Forensik, yaitu cabang ilmu kedokteran yang sejak awal
berkembangnya telah mendekatkan disiplin ilmu kedokteran dan ilmu hukum.
Sebaliknya, dalam perkembangan dan peningkatan upaya pemeliharaan dan pe-
layanankesehatan diperlukan pula pengetahuan dan aturan hukum dan ini berada
dalam cabang ilmu hukum yang kemudian hadir sebagai Hukum Kesehatan.
gdl I Pengerlion Etiho Kedohteron, Bioetiho, don Huhum Kesehoton

Padawaktu ini, tidakmungkin lagi para dokter tidak mengetahui dan memahami
hukum kesehatan, apalagl setelah terbitnya Undang-undang Kesehatan (L992) dan
Undang-undang Praktik Kedokteran (2004), yaitu aturan hukum atau ketentuan
hukum yang mengatur tentang pelayanan kedokteran,&esehatan.
Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan
Indonesia (PERHUKD, adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan
langsung dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapan hak dan ke-
wajiban baik bagi perseorangan maupun segenap lapisan masyarakat, baik sebagai
penerima pelayanan kesehatan maupun sebagai pihak penyelenggara pelayanan
kesehatan dalam segala aspek, orga.nisasi, sarana, pedoman standar pelayanan
medih ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum, serta sumber-sumber hukum lain.
Hukum Kedokteran merupakan bagian dari Hukum Kesehatan, yaitu yang me-
nyangkut pelayanan kedokteran (rnedtcat careheruic)
Hukum kesehatan merupakan bidang hukum yang masih muda. Perkembang-
annya dimulaipadawakttt, World Congress on Medtlcal Lazts di Belgia pada tahun
L967 dan diteruskan secara periodik untuk beberapa lama. Di {ndonesia, per-
kembangan Hukum Kesehatan dimulai sejak terbentuknya Kelompok Studi untuk
Hukum Kedokteran ULIRS Ciptomangunkusumo di Jakarta pada tahun 1982.
Perhimpunan untuk Hukum Kedokteran Indonesia (PERHUKD, terbentuk di
Jakafta pada tahun 1983 dan berubah menjadi Perhimpunan Hukum Kesehatan
Indonesia (PERHUKD pada Kongres I PERHUKI di Jakarta pada tahun 1987.
PERHUKI Wilayah Sumatera Utara terbentuk pada tanggal 14 April 1986 di
VIedan.
Hukum kesehatan mencakup komponen hukum bidang kesehatan yang ber-
singgungan satu dengan yang lain, yaitu hukum Kedokteran,/Kedokteran Gigi,
Hukum Keperawatan, Hukum Farmasi Klinik, Hukum Rumah Sakit, Hukum
Kesehatan Masyarakat, Hukum Kesehatan Lingkungan, dan sebagainya (Konas
PERHUKT, 1993)
Di atas telah diuraikan pengertian etik dan hukum. Persamaan dan perbedaan
antara keduanya adalah sebagai berikut.

Persamaan etik dan hukum


1. Sama-sama merupakan alat untuk mengatur tertibnya hidup bermasyarakat.
2. Sebagai objeknya adalah tingkah laku manusia.
3. Mengandung hak dan kewajiban anggota masyarakat agar tidak saling me-
rugikan.
4. Menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi.
5. Sumbernya adalah hasil pemikiran para pakar dan pengalaman para anggota
senior.

Perbedaan etik dan hukum


1. Etik berlaku untuk lingkungan profesi, hukum berlaku untuk umum.
2. Etik disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi, hukum disusun oleh
badan pemerintah.
3. Etik tidak seluruhnya terhrlis, hukum tercantum secara terinci dalam kitab
undang-undang dan lembaran/berita negara.
Etiho Kedohterqn don Huhum Kesehoton

4. Sanksi terhadap pelanggaran etik berupa tuntunan, sant<si terhadap pe-


langgaran hukum berupa tuntutan.
5. Pelanggaran etik diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKD yang dibentuk oleh Konsil Kedokteran Indonesia dan
atau oleh Majelis Keirormatan Etika kedokteran (MKEK), yang dibentuk
oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), pelanggaran hukum diselesaikan oleh
PengadiJan.
6. Penlelesaian pelanggaran etik tidak selalu disertai bukti fisik, penyelesaian
. pelanggaran hukum memerlukan bukti fisik.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa etik merupakan seperangkat perilaku
yang benar dan baik dalam suatu profesi. Etika kedokeran adalah pengetahuan
tentang prilaku profesional para dokter dan dokter gigi dalam menjalankan pekerja-
annya sebagaimana tercantum dalam lafal sumpah dan kode etik masing-masing
yang telah disusun oleh organisasi profesinya bersama-sama pemerintah.
Hukum merupakan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu
kekuasaan. Hukum kesehatan merupakan peraturan perundang-undangan yang
menyangkut pelayanan kesehatan baik untuk penyelenggara maupun penerima pe-
layanan kesehatan.
Pelanggaran etika kedokteran tidak selalu berarti pelanggaran hukum, begitu
pula sebaliknya pelanggaran hukum belum tentu berarti pelanggaran etika
kedokteran. Pelanggaran etika kedokteran diproses melalui MKDKI dan MKEK
IDI, sedangkan pelanggaran hukum diselesaikan melalui pengadilan.
Laml tuupln Doxren

Tuiuqn lnrtruhrionql Khurur


t. Menjeloshon proses penyusunon LofolSumpoh Dohter Indonesio.
2. Menyebuthon don menjeloshon. butir-butir Lqfql Sumpoh Dohter.
3. Mdnyebuthon persomoon don perbedoon isilqfol Sumpoh Hippohrotes
dengon Lofol Sumpoh Dohter moso hini.

Pohoh Bqhqrqn
l. Sejoroh tersusunnyo Lofol Sumpoh Dohter lndonesio.
2. PP.No.26 Tohun 1960 dqn 5K Menhes Rl. No.434lMenhes/SK/X/1983

tub-Pohoh Bqhqrqn
l. Sejoroh Sumpoh Dohter.
2. Lqfol Sumpoh Hippohrotes.
3. Dehlorosi Jenewq l9zt8.
4. 5K Menhes Rl. No.434/Menhes/5K/Xfl983 tentong Lofol Sumpqh Dohter
tndonesio beserto penjelosonnyo.
5. Bedo isi Sumpoh Hippohrotes don Sumpoh Dohter lndonesiq.
Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

Lafal Sumpah Dokter Indonesia sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 26 Tiahun
1960 yang disusul dengan SK Menkes R.[ No. 434lMenkes/SK/X/L983 adalah
berdasarkan Sumpah Hippokrates dan DeklarasiJenewa dari Ikatan Dokter Sedunia
(World Medical,:Isnuation,I'I/MA lg4E.Hippokrates (460-377 S.M.) adalah seorang
dokter bangsa Yunani yang berjasa mengangkat ilmu kedokteran sebagai ilmu yang
berdiri sendiri, terlepas dari pengaruh Syamanisme, yaitu anggapan bahwa penyakit
berasal dari roh jahat, kutukan dewa, pelanggaraan tabu, dan pengaruh mistik
lainnya, menjadi pengetahuan berdasarkan ilmiah dengan body ofhnoaledge. Karena
itd, ia dianggap sebagai Bapak Ilmu Kedokeran. Kesadarannya yang tinggi akan
moral profesi kedokteran dituangkannya dalam bentuk Sumpah Hippolsates, yang
harus ditaati dan diamalkan oleh murid-muridny'a.

tumpqh Hippohrcter
Sumpah Hippokrates jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia beibunyi
sebagai berikut.

"Saya bersumpah demi Apollo dewa penyembuh, dan Aesculapius, dan Hygeia,
danPanacea, dan semuadewa-dewasebaga.i saksi,bahwasesuai dengankemampuan
dan pikiran saya, saya akan mematuhi janji-janji berikut ini.
1. Saya akan memperlakukan guru yang telah mengajarkan ilmu ini dengan
penuh kasih sayang sebagaimana terhadap orang tua saya sendiri, jika perlu
akan sayabagikan harta saya untuk dinikmati bersamanya.
2. Sayaakan memperlakukan anak-anaknya sebagai saudara kandung saya dan
saya akan mengajarkan ilmu yang telah saya peroleh dari ayahnya, kalau
mereka memang mau mempelajarinya, tanpa imbalan apapun.
3. Saya akan meneruskan ilmu pengetahuan ini kepada anak-anak saya sendiri,
dan kepada anak-anak guru saya, dan kepada mereka yang telah mengikatkan
diri dengan janji dan sumpah untuk mengabdi kepada ilmu pengobatarr, dan
tidak kepada hal-hal yang lainnya.
4. Saya akan mengikuti cara pengobatan yang menurut pengetahuan dan ke-
mampuan saya akan membawa kebaikan bagi pasien, dan tidak akan merugi-
kan siapa pun.
5. Saya tidak akan memberikan obat yang mematikan kepada siapa pun meski-
pun diminta, atau menganjurkan kepada mereka untuk tujuan itu. Atas dasar
yang sama, saya tidak akan memberikan obat untuk menggugurkan kandung-
an.
6. Saya ingin menempuh hidup yangsayabaktikan kepada ilmu saya ini dengan
tetap suci dan bersih.
7. Saya tidak akan melakukan pembedahan terhadap seseorang, walaupun ia
menderiia penyakit batu, tetapi akan menyerahkannya kepada mereka yang
berpengalaman dalam pekerjaan ini.
8. Rumah siapa pun yang saya masuki, kedatangan saya itu saya tujukan untuk
kesembuhan yang sakit dan tanpa niat-niat buruk atau mencelakakan, dan
lebih jauh lagi tanpa niat berbuat cabul terhadap wanita ataupun pria, baik
merdeka maupun hamba sahaya.
?al 2 LololSumpoh Dohter

9. Apapun yangsaya dengar atau lihat tentang kehidupan seseorang yang tidak
patut untuk disebarluaskan, tidak akan saya ungkapkan karena saya harus me-
rahasiakannya.
10. Selama saya tetap mematuhi sumpah saya ini, izinkanlah saya menikmati
hidup dalam mempraktikkan ilmu saya ini, dihormati oleh semua orang, di
sepanjang waktu! Akan tetapi, jika sampai saya mengkhianati sumpah ini,
balikkanlah nasib saya.

Dehlqrqsi fenewq
Lafal Sumpah Dokter sesuai dengan DeklarasiJenewa (1948) yang disetujui oleh
General Assembly World Medical Assocation (WMA) dan kemudian di amander
di Sydney (1968) dalam Bahasa Indonesia, berbunyi sebagai berikut.
Pada saat diterima sebagai anggota profesi kedokteran, saya bersumpah bahwa:
1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan;
2. Saya akan menghormati dan berterima kasih kepada guru-guru saya sebagai-
mana layaknya;
3. Saya akan menjalankan tugas saya sesuai dengan hati nurani dengan cara
yang terhormat;
4. Kesehatan pasien senantiasa akan saya utamakan;
5. Saya akan merahasiakan sega.la rahasia yang saya ketahui bahkan sesudah
pasien meninggal dunia;
6. Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur
iabatan kedokteran;
7. Teman sejawat saya akan saya perlakukan sebagai saudara-saudara saya;
8. Dalam menunaikan kewajiban terhadap pasien, saya tidak mengizinkan untuk
terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik
kepartaian, atau kedudukan sosial;
9. Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan;
10. Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kedokteran
saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan;
11. Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan bebas, dengan mem-
pertaruhkan kehormatan diri sayal'

Lolcl $umpqh Dohter lndoneriq


Pada zaman Belanda Lafal Sumpah Dokter di Indonesia adalah berdasarkan
Reglement op de Dtenst de Volsgezondheid Staatsblad 1882 No. 97 pasal36 sebagai
berikut.
"Saya bersumpah,he4anji, bahwa saya akan melakukan pekeq'aan Ilmu Kedokteran,
Ilmu Bedah dan Ilmu Kebidanan dengan pengetahuan dan tenaga saya yang sebaik-baiknya,
menunrt peraturan yang telah ditetapkan undang-undang dan saya tidak akan memberi-
tahukan kepada siapa punjuga segala sesuatu yang dipercayakan kepada saya dan segala
sesuatu yang saya ketahui ketika melakukan pekeq'aan saya sebagai dokter, kecualijika di
depan hakim. atau atas Undang-undang saya diharuskan memberikan keterangan yang tidak
bertentangan dengan azas-azas rahasia jabatan. "
lo Etiho Kedohteron dqn Huhum Kesehoton

Sesuai dengan Deklarasi Jenewa (1948), Sumpah Dokter Internasional, diter-


jemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Majelis Pertimbangan Kesehatan dan
Syara Departemen Kesehatan RI dan Panitia Dewan Guru Besar Fakultas Kedokter-
an Universitas Indonesia. Lafal sumpah ini diucapkan pertama kali oleh lulusan
Fakultas Kedokteran UI pada tahun 1959. Lafal sumpah ini kemudian dikukuhkan
dengan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1960. Lulusan pertama Fakultas Ke-
dokteran USU Medan sebanyak 6 orang telah mengucapkan sumpah dokter sesuai
dengan PP No. 26/1960 tersebut pada tanggal 25 Februari 1961.
- PadaMusyawarah Kerja Nasional Etika kedokteran ke-2 yang diselenggarakan
di -|akarta pada tanggal 14-16 Desember 1981 oleh Departemen Kesehatan RI,
telah disepakati beberapa perubahan dan penyempurrutan lafal sumpah dokter
sehubungan dengan berkembangnya bidang kesehatan masyarakat. Lafal sumpah
dokter terakhir diperbarui dengan SK Menkes R.L 434/Menkes/SK/X/ 1983 dan
berbunyi sebagai berikut.

"Demi Allah saya bersumpah,/berjanji, bahwa:


1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan;
2. Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur
jabalan kedokteran;
3. Saya akan menjalankan tugas saya dengan caruyangterhormat dan bersusila,
sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter;
4. Saya akan menjalankan tugas saya dengan mengutamakan kepentingan
masyarakat;
5. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan
saya dan keilmuan saya sebagai dokter;
6. Saya tidak akan mempergrnakan pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu
yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam;
7. Sayaakan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan;
8. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien;
g. Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh
oleh pertimbangan keagamaan, kesukuan, perbedaan kelamin, politik
kepartaian, atau kedudukan sosial dalam menunaikan kewajiban terhadap
pasien;
10. Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan
terima kasih yang selayaknya;
11. Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagaimana saya sendiri
ingin diperlakukan;
12. Sayaakan menaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia;
13. Saya ikrarkan sumpah ini dengan sunggrh-sungguh dan dengan mem-
pertaruhkan kehormatan diri saya.

Sumpah dokter di Indonesia diucapkan pada suatu upacara di Fakultas Kedokteran


setelah Sarjana Kedokteran (S.Ked.) lulus ujian profesinya. Acara ini dihadiri oleh
pimpinan fakultas, senat fakultas, pemuka agarrra, para dokter baru beserta
telu.rga.rya. Sebelum para dokter baru mengucapkan butir-butir lafal sumpah
€al 2 LalolSumpoh Dohter

tersebut, bagi yang beragama Islam mengucapkan: Wallahi, Wabillahi, Wathallahi,


Demi Allah, sbya bersumpah", bagi yang beragama Katolik mengucapkan juga
"Demi Allah saya bersumpah", bagi yang beragama Kristen Protestan: "Saya
berjanji", bagi yang betagamaBudha: "Om Atah Parama Wisesa Om Shanti Shanti
Shanti Om" dan bagi yang beragama Hindu: "Mai Kasm Khanahanl' Setelah para
dokter baru mengucapkan lafal sumpahnya, mereka menandatangani berita acara
sumpah dokter beserta saksi-saksi.
Yang wajib mengucapkan lafal sumpah dokter adalah semua dokter warga
negara Indonesia baik lulusan pendidikan dalam negeri maupun luar negeri.
Mahasiswa asing yang belajar di Fakultas Kedokteran di Indonesia diharuskan juga
mengucapkan lafal sumpah dokter Indonesia. Dokter asing yang bertugas di
Indonesia tidak harus diambil sumpahnya karena ia menjadi tanggung jawab in-
stansi yang mempekerl'akannya, namun dokter asing tersebut harus tunduk pada
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKD.
Jika Lafal Sumpah Hippokrates dibandingkan dengan Lafal Sumpah Dokter
Indonesia, dapat dilihat bahwa Lafal Sumpah Dokter Indonesia mengandung
intisari yang berakar dari Lafal Sumpah Hippokrates. Lafal Sumpah Hippokrates
itu mengandung butir-butir yang berkaitan dengan larangan melakukan eutanasia
akti{ abortus provocatus, dan melakukan pelecehan seksual. Juga mengandung
kewajiban melakukan rujukanjika tidak mampu dan memelihara rahasia pekerjaan
dokter. Secara lebih terinci Lafal Sumpah Hippokrates mengandung perlakuan
yang selayaknya terhadap guru-guru beserta anak-anaknya, bahkan jika perlu
memberikan sebagian harta kepada gurunya, yang tentunya di saat gum mem-
butuhkannya.
Butir-butir lain dalam Sumpah Hippokrates juga terdapat dalam bentuk yang
sedikit berbeda, namun prinsipnya sama. Hanya sesuai perkembangan ilmu ke-
dokteran pada masa Hippokrates, pengobatan ditujukan pada individu, karena
belum diketahuinya tentang penyakit menular dan belum berkembangnya ilmu
kesehatan masyarakat.Juga karena belum diketahuinya tentang fisiologi reproduksi
manusia, butir khusus tentang hidup insani sejak saat pembuahan tidak ter-
cantum.
Sumpah dokter adalah sumpah profesi kesehatan yang tertua di dunia. Sesuai
dengan perkembangan ilmu kedokteran,/kesehatan, jenis tenaga kesehatan pun
bertambah. Kini tenaga kesehatan terdiri dari dokter, dokter gigi, sarjana ke-
perawatan, sarjana kesehatan masyarakat, apoteker, bidan, tenaga g4i,tenaga
keterapian fisik, tenaga keteknisan medik, dan sebagainya. Lafal sumpaVjanji
tenaga-tenaga kesehatan selain dokter, umumnya mengacu kepada Lafal Sumpah
Dokter. Berikut ini diturunkan lafal sumpah/janji dokter gigi.
12 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehqton

Lqfql tumpqh/fqnii Dohter Gigi .

(PP No. 33 Tqhun 1963)


Demi Allah saya bersumpah,/berjanji, bahwa:
1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan, ter-
utama dalam bidang kedokteran gigi.
2. Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai martabat
. dan tradisi luhur jabatan kedokteran gigi.
3. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan
saya dan keilmuan saya sebagai dokter gigi.
4. Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kedokteran
g1g1 saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan.
5. Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan berikhtiar dengan sungguh-
sungguh supaya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsa-
an, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial.
6. Saya ikrarkan sumpaVjanji ini dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh
keinsyafan.
Kooe Enx KrooxrERAN lr.roorueln (KODEKI)

Tuiuqn lnrtruhrionql Khurut


t. Menjeloihon riwoyot tersusunnyo KODEKI.
2. Menyebuthon 4 helompoh hewojibon dohter.
3. Menguroihon posol-posol KODEKI don penjelosonnyo mosing-mosing.
Pohoh Bqhqrqn
l. Kewojibon umum dohter.
2. Kewqjibon terhodop posien.
3. Kewqjibon.terhodop temqn sejowot
4. Kewojibon terhodop diri sendiri.
tub-Pohoh Bqhqrqn
l. 1. Mengomolhon sumpoh dohter.
2. Pr:ofesionqlisme dohter.
3. Kebebosqn don hemqndirion profesi
4. Hql-holyong tidoh loyoh dilohuhqn dohter.
5. Mengutqmqhon hepentingon posien don memperhotihqn
hepentingon mosyorohot.
6. Hoti-hotidengqn penemuon pengoboton boru.
7. Prinsip dosqr: hebenqron.
8. Peloyonon hesehqton poripurno.
9. Kerjo somo dengqn berbogoi instqnsi.
ll. 1. Melindungihidup mqhhluh insqni.
2. Stondor peloyonon medih.
3. Hqh posien berhubungqn dengon heluqrgq dqn lqin-loin.
4. Kewojibon memelihorq rohqsiq jqboton dqn peherjqon dohter.
5. Kewojibon memberihon pertolongon dorurot
lll.1. Sihqp terhodop temon sejowot.
2. Tidqh mengombil olih posien sejowot tonpo persetujuonnyo.
lV. l. Kewojibqn dohter memelihoro hesehotonnyo.
2. Mengihuti perhembongbn lpteh hedohteron.

13
Etiho Redohteron don Huhum Kesehoton

Sejak awal sejarah umat manusia, sudah dikenal hubungan kepercayaan antara dua
insan yaitu manusia penyembuh dan pasien. Dalam zamar' modern, hubungan ini
disebut transaksi atau kontrak terapetik antara dokter dan pasien. Hubungan ini.
dilakukan secara konfidensial, dalam suasana saling percaya mempercayai, dan
hormat menghormati.
Sejak terwujudnya praktik kedokteran, masyarakat mengetahui dan mengakui
adanya beberapa sifat mendasar yang melekat secara mutlak pada diri seorang
dokter yang baik dan bijaksana, yaitu kemurnian niat, kesungguhan ke{a, kerendah-
an hati serta integritas ilmiah dan moral yang tidak diragukan.
Imhotep dari Mesir, Hippokrates dari Yunani, dan Galenus dari Roma, mempa-
kan beberapa pelopor kedokteran kuno yang telah meletakkan dasar-dasar dan
sendi-sendi awal terbinanya suatu tradisi kedokteran yang luhur dan mulia. Tokoh-
tokoh ilmuwan kedokteran Internasional yang tampil kemudian seperti Ibnu Sina
(Avicena) dokter Islam dari Persi dan lainlain, menyusun dasar-dasar disiplin ke-
dokteran tersebut atas suatu Kode Etik Kedokteran internasional yang disesuaikan
dengan perkembangan zarrran. Di Indonesia, Kode Etik Kedokteran sewajarnya
berlandaskan etik dan norma-norma yang mengatur hubungan antar manusia,
yang asas-asasnya terdapat dalam falsafah Pancasila, sebagai landasan idiil dan
UUD 1945 sebagai landasan strukturil. Dengan maksud untuk lebih nyata
mewujudkan kesungguhan dan keluhuran ilmu kedokteran, para dokter baik yang
tergabung dalam perhimpunan profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) maupun
secara fungsional terikat dalam organisasi pelayanan, pendidikan, dan penelitian
telah menerima Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
Ada 2 versi KODEKI, yaitu yang sesuai dengan Surat Keputusan Menkes RI
No. 434,/Menkes/SKA/1983 dan yang sesuai dengan Surat Keputusan PB IDI.
No.22VPB/A-4/04/2002. Keduanya serupa tetapi tidak sama dari segi substansial
dan urutannya. Oleh karena salah satu ciri kode etik profesi adalah disusun oleh
organisasi profesi bersangkutan, kita berpedoman pada KODEKI yang diputuskan
PB IDI yangtelah menyesuaikan KODEKI dengan situasi kondisiyangberkembang
seiring dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran
serta dinamika etika global yang ada. KODEKI tersebut berbunyi sebagai berikut.

Kewqiibon Umum
Pasal 1

Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati, dan mengamalkan sumpah dokter

Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan
standar proGsi yang tertinggi.

Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi
oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.

Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri'
9al 3 Rode Etih Kedohteron lndonesio (KODEKI) l5

Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasihat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun
fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh per-
serujuan pasien.

Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan
setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-
hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat

PasalT
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa
sendiri kebenarannya.

PasalTa
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis
yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya disertai rasa kasih
sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.

Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikapjujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya,
dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan
dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan,
dalam menangani pasien.

Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.

Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat kewajiban melindungi hidup makluk insani.

Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotifl preventi{ kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psikososial, serta ber-
usaha rnenjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.'

Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang
lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.

Kewoiibqn Dohter Terhodcp Pqrien


Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan kete-
rampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ia tidak mampu melakukdn suatu
pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien
kepada dokter yang mempunyai.keahlian dalam penyakit tersebut.

Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat ber-
hubungan dengan keluarga dan penasihatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah
lainnya.
16 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehdton

Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala besuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

Pasal 13
Setiap dokterwajib melakukan pertolongan damrat sebagai suafu tugas perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

Kewqjibqn Dohter Terhqdqp Temon teiqwqt


Pasal 14
Setiap doker memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diper-
lakukan.

Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawatnya, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

Kewqiibqn Dohter Terhcdop Diri tendiri


Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik

Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tekno-
logi kedokteran/kesehatan.

Jika ditinjau butir-butir KODEKI tersebut di atas, dapat dikelompokkan sebagai


berikut.
A. Kewajiban dan larangan
I. Kewajiban-kewajiban dokter
1. Mengamalkan sumpah dokter
2. Melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi
3. Kebebasan dan kemandirian proGsi
4. Memberi surat keterangan dan pendapat sesudah memeriksa sendiri
kebenarannya
5. Rasa kasih sayang Qonpassnr) dan penghormatan atas martabat ma-
nusia
6. Jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya
7. Menghormati hak-hak pasien, teman sejawat dan tenaga kesehatan
lainnya.
8. Melindungi hidup makhluk insani
9. Memperhatikan kepentingan masyarakat dan semua aspek pelayanan
kesehatan
10. Tulus ikhlas menerapkan ilmunya. Bila tidak mampu merujuknya
11. Merahasiakan segala sesuatu tentang pasiennya
12. Memberi pertolongan darurat
13. Memperlakukan sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan
14. Memelihara kesehatannya
15. Mengikuti perkembangan iptek kedokteran
9al 3 Rode Etih Kedohteron lndonesio (RODEKI) 17

II. LaranganJarangan
1. Memujidiri
2. Perbuatan atau nasihat yang melemahkan daya tahan pasien.
3. Mengumumkan dan menerapkan teknik atau pengobatanyang belum
diuji kebenarannya
4. Mengambil alih pasien sejawat lain tanpa persetujuannya.
5. Melepaskan kebebasan dan kemandirian profesi karena pengaruh se-
. suafu
B. Etik murni dan etikolegal
I. Pelanggaran Etik murni
1. Menarik imbalan jasa yang tidak wajar dari pasien atau menarik imbalan
jasa dari sejawat dan keluarganya
2. Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya
3. Memuji diri sendiri di depan pasien, keluarga atau masyarakat
4. Pelayanan kedokteran yang diskriminatif
5. Kolusi dengan perusahaan farmasi atau apotik
6. Tidak mengikuti pendidikan kedokteran berkesinambungan
7. Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri
II. Pelanggaran Etikolegal
1. Pelayanan kedokteran di bawah standar
2. Menerbitkan surat keterangan palsu
3. Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum
4. Melakukan tindakan medik tanpa indikasi
5. Pelecehan seksual
6. Membocorkan rahasia pasien
Penielqrqn dqn Pedomon Pelqhtqnqqn KODEKI
Profesi dokter sejak perintisannya telah terbukti sebagai profesi yang luhur dan
mulia dan ditunjukkan oleh 6 sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan, kemurniaan niat,
keluhuran budi, kerendahan hati, kesungguhan kerja, integritas ilmiah, dan sosial.
Dalam mengamalkan profesinya, setiap dokter akan berhubungan dengan manusia
yang sedang mengharapkan pertolongan dalam suatu hubungan kesepakatantera'
peutik. Agar dalam hubungan tersebut ke enam sifat dasar dapat tetap terjaga,
disusun KODEKI yang merupakan kesepakatan dokter Indonesia bagi pedoman
pelaksanaan profesi.
Penerimaan dan pengamalan KODEKI hanya dapat dilakukan para dokter
dengan baik jika para dokter memahami dan menghayati butir-butir KODEKI itu
dan masyarakat ikut berpartisipasi dalam pelaksanaannya. Godaan, termasuk
materi dapat menjuruskan para dokter melanggar etik profesinya, bahkan rela
melakukan malpraktik pidana. Berikut ini adalah penjelasan dan pedoman pe-
laksanaan KODEKI pasal demi pasal.
Pasal 1. Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah
dokter.

Tentang sumpah dokter telah dibahas dalam Bab 2.


18 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehotqn

Pasal 2. Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai


dengan standar profesi yang teninggi.

Yang dimaksud dengan standar profesi tertinggi dalam butir ini, ialah bahwa
seorang dokter hendaklah memberi pelayanan kedokteran,/kesehatan sesuai ke-
majuan iptek kedokteran mutalhir, dilandasi etika kedokteran, hukum dan agama.
Dalam pelayanan kedokteran /kesehatan itu, tentulah harus tersedia sarana yang
memadai dan ditentukan pula mutu pelayanan itu oleh kemampuan pasien/
keluarganya. Namun, yang penting diperhatikan adalah standar pelayanan ke-
dokteran yang diberikan dan tanggungjawab dokter, bukan saja terhadap sesalna
manusia, melainkan juga terhadap Thhan Yang Maha Esa. Pasien/keluarganya akan
menerima apapun hasil upaya penyembuhan seorang dokter, asal saja dokter
tersebut telah dengan sungguh-sungguh berusaha sesuai dengan keahliannya. Pe-
layanan di bawah standar atau kesalahan/kelaluan seorang dokter dapat me-
mengaruhi pendapat orang banyak terhadap seluruh korps dokter.
Pasal 3. Dalam melakukan peke{aan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh di-
pengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan ke-
mandirian profesi.

a. Semua butir KODEKI mengandung makna betapa luhurnya profesi dokter.


Meskipun dalam menjalankan tugasnya dokter berhak memperoleh imbalan,
narnun dalam hal ini tidak boleh disamakan dengan usaha,/pelayanan jasa
yang lain. Profesi kedokteran lebih merupakan panggilan perikemanusiaan
dengan mendahulukan keselamatan dan kepentingan pasien, dan tidak
mengrrtamakan keuntungan pribadi. Karena itu, imbalan jasa yang diterima
oleh dokter disebut honorarium (pemberian yang diterima dengan penuh
kehormatan). Dalam pelayanan kedokteran tidak dikenal tarif dokter yang
tetap (fix), tetapi yang wajar sesuai kemampuan pasien./keluarganya. Ter-
masuk dalam keuntungan pribadi adalah menjual obatlsampel ditempat
praktik yang diterima cuma-cuma dari perusahaan farmasi, dan menjuruskan
pasien membeli obat tertentu, karena dokter telah menerima komisi,/
imbalan dari perusahaan farmasi.Juga termasuk keuntungan pribadi adalah
melakukan tindakan medik yang tidak diperlukan, menyrruh pasien berobat
berulang atau dokter,berkunjung kerumah pasien berkali-kali tanpa indikasi
yang jelas, membuat iklan./promosi yang berlebihan, merujuk pasien ke la-
boratorium,/sejawat/baglan pelayanan dengan imbalan tertentu (komisi),
menjual nama dalam arti tidak pernah langsung melayani pasien, tetapi
dilayani orang lain yang tidak kompeten, mengekploitasi dokter lain dengan
pembagian persentasi imbalan jasa tidak adil, merujuk pasien ke sejawat
kelompoknya, walaupun dekat tempat praktiknya ada sejawat lain yang
memiliki keahlian yang diperlukan.
b. Secara sendiri atau bersama-sama menerapkan pengetahuan dan keteram-
pilan kedokteran dalam segala bentuk tanpa kebebasan profesi.
Yang dimaksud dengan tidak ada atau tanpa kebebasan profesi disini
ialah dokter yang melibatkan dirinya dengan usaha apotik atau farmasi, labo-
ratorium klinik, optisien, rumah sakit, dan lain-lain, yang dengan perjanjian
8a/ 3 Rode Etih Kedohteron lndonesio (KODEKD 19

dokter akan meneri.ma komisi jika mengirimkan pasien ke tempat itu.


Dengan demikian, dokter tidak bebas lagi menerapkan ilmunya atau me-
ngemukakan pendapatnya secara objektif tentang produk perusahaan-
perusahaan tersebut, Seorang dokter juga dilarang secara sendiri atau
bersama-sama menerapkan pengetahuan dan keterampilan kedokteran
dengan merendahkan jabatan, misalnya bekerja sama dengan orang atau
badan yang tidak berhak melakukan praktik dokter. Dengan demikian, ia
. melindungi perbuatan orang atau badan yang bersangkutan. Rujukan dokter
umum ke dokter ahli harus benar-benar ditaati, yang disediakan memang
benar pelayanan rujukan dokter spesialis bukan pelayanan dokter umum
atau dokter'umum yang sedang menjalani pendidikan spesialisasi (peserta
Program Pendidikan Dokter Spesialis).
c. Menerima imbalan selain dari pada yang layak sesuai dengan jasanya,
kecuali dengan keikhlas an, sepengetahu an, dan/ atau kehendak p asien.
Salah satu kewajiban pasien/keluarga dalam kontrak terapeutik adalah
memberikan imbalan jasa untuk dokter. Namun, karena pertolongan dokter
merupakan panggilan kemanusiaan, imbalan jasayang menjadi hak dokter
itu tidak dapat disamakan dengan imbalan jasa dalam usaha lainnya.
Mengenbi imbalan jasa dokter lihat lebih lanjut pada Bab B,

Pasal 4. Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji
diri.

Seorang dokter harus sadar, bahwa pengetahuan dan keterampilan profesi yang
dimilikinya adalah karunia dan kemurahan Thhan Ydng Maha Esa semata. Karena
itu, tidaklah pantas dokter memuji dirinya sendiri. Termasuk perbuatan memuji diri
adalah mempergunakan gelar kesarjanaan yang tidak dimilikinya. Jika seorang
dokter memiliki lebih dari satu gelar, gelar yang dicantumkan pada papan nama
praktik adalah sesuai dengan pelayananjasa yang diberikannya. Tidak dibenarkan
seorang dokter mengadakan wawancara pers atau menulis makalah dalam media
cetak untuk mempromosikan caranya ia mengobati sesuatu penyakit, tetapi dengan
tujuan penyuluhan tidak ada salahnya. Satu-satunya tempat menyebarkan hasil
penelitian atau pengobatan baru adalah di majalah ilmiah kedokteran, atau diajukan
di forum ilmiah kedokteran.
Juga dianggap tidak etis, jika dokter mengizinkan keluarga pasien,/orang awam
menghadiri dan menyaksikan tindakan pembedahan yang dilakukannya atau me-
nyebarluaskan foto-foto/kaset video yang merekam pembedahan yang dilakukan-
nya dengan tujuan promosi.
Papan nama di tempat praktik tidak boleh melebihi 60x90 cm, cat putih dengan
hurufhitam, dituliskan nama dan gelar yang sah sertajenis pelayanan sesuai dengan
surat izin dan mepcantumkan waktu praktik (jam bicara). Tidak dibenarkan men'
cantumkan di bawah nama bermacam-macam keterangan, seperti "praktik umum,
terutama untuk anak dan wanita", atau"tersedia pemeriksaan dan pengobatan
sinar". Dalam hal tertentu, papan nama seorang dokter dapat dipasang di per-
simpanganjalan yang menuju ke tempat praktiknya dengan tanda panah menunjuk
ke arah tempat tersebut dengan alasan untuk kemudahan mencari alamatnya.
20 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehqton

Kertas resep berukuran maksimum /q folio (10,5x15,5 cm), bertuliskan nama


dan gelar yang sah, disertai nomor SIP dan SID, alamat praktik, nomor telepon
dan waktu prakik. Jika tempat praktik berlainan dengan tempat tinggal, dapat
dicantumkan alamat rumah dan nomor teleponnya. Ketentuan-ketentuan pada
kertas resep juga berlaku untuk Surat Keterangan Dokter, surat rujukan, amplop,
kuitansi dan sebagainya.
Mencantumkan keterangan lain, terutama yang bersifat iklan dan tidak ada
hubungannya dengan jenis pelayanan dokter tersebut, misalnya gelar MBA, MM,
dan sebagainya di belakang nama dokter, juga tidak dibenarkan.
Perlu diaga supaya kertas resep dan surat keterangan dokter jangan sampai
digunakan orang lain. Kertas resep para dokter kadang-kadang mudah ditiru
sehingga perlu pengamanan agar lata tidak terlibat dalam pemberian resep dan
keterangan yang palsu yang dilakukan orang lain.
Pasal 5. Tiap perbuatan atau nasihat yang mungkin melemahkan daya tahan baik psikis
maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah
memperoleh persetujuan pasien.

Upaya dokter dalam pelayanan kedokteran ialah menyembuhkan pasien, atau


mengurangi penderitaannya dan setidak-tidaknya menggembirakannyajika harap-
an untuk sembuh telah tipis. Selain itu harus diperhatikan bahwa hubungan ke-
lainan fisik dengan faktor psikis sangat erat. Oleh karena itu, pendekatan yang di-
lakukan seharusnya holistik. Dokter harus mampu mempertebal keyakinan pasien
bahwa ia dapat sembuh dan mengalihkan perhatian pasien yang depresi atau cemas
ke hal yang memberi harapan dan menimbulkan optimisme.Jangan pula dilupakan
bahwa tubuh manusia memiliki kekuatan dan kemampuan menangkis dan
menyembuhkan penyakit. Selain itu, pasien harus diarahkan dalam memohon
kepada Yang Maha Kuasa agar ia sembuh sesuai kepercayaan masing-masing.

Upaya yang dilakukan adalah:


a. Menimbulkan dan mempertebal kepercayaan dan keyakinan pasien bahwa
ia dapat sembuh. Mengalihkan perhatiannya ke hal yang bersifat memberi
harapan. Optimisme perlu dipelihara.
b. Mengusahakan tindakan yang digolongkan dalam upaya peningkatan kesehatan
berdasarkan kenyataan bahwa badan manusia mempunyai kekuatan sendiri
untuk menangkis dan menyembuhkan penyakit.
c. Menggunakan farmaka dan tindakan medis lain, seperti pembedahan, penyinar-
an sinar-X, dan sinar laser.

Memberikan obat perangsang atau sebaliknya hipnotik dtau analgesik dapat


melemahkan daya tahan pasien. Karena itu, obat-obat tersebut hanya diberikan
atas indikasi dan harus dijaga agar pasien jangan menjadi pecandu obat. Selanjut-
nya harus diingat bahwa "kata-kata yang tepat diberikan pada waktu yang tepat
pula" merupakan salah satu obat yang mujarab
Pasal 6. Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan me-
nerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji ke-
benarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
8a 3 Rode Etih Kedohteron lndonesiq (KODEKD 21

Penemuan baru atau pengobatan baru yang telah diuji kebenarairnya melalui pe-
nelitian klinik perlu disebarluaskan melalui presentasi di forum ilmiah atau publikasi
di majalah-majalah kedokteran dengan tujuan memperoleh tanggapan sejawat
sebelum dipraktikkan dalam pelayanan kedokteran. Penelitian dan publikasi hasil
penelitian itu.juga harus berlandaskan etik penelitian dan penulisan ilmiah. Tentang
etik penelitian kesehatan, llhatBab 26.
Pasal 7. Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah
- diperiksa sendiri kebenarannya.

Hampir setiap hari kepada dokter diminta keterangan tertulis mengenai bermacam-
macam hal. Mengenai hdl ini lihat lebih lanjut Bab 13 tentang surat-surat keterangan
dokter
PasalTa. Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan
medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya disertai
rasa kasih sayang (nmpasstbn) dan penghormatan atas martabat manusia.

Pasal 7b. Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui
memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan
penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien.

Pasal 7c. Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan
hak tenaga kesehatan lain, dan harus menjaga kepercayaan pasien.

Pasal 7d. Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makluk insani

Segala perbuatan dokter terhadap pasien bertujuan untuk memelihara kesehatan


dan kebahagiaannya. Dengan sendirinya ia harus mempertahankan dan memelihara
kehidupan manusia.
Kadang-kadang, dokter terpaksa harus melakukan operasi atau cara pengobatan
tertentu yang membahayakan. Hal ini dapat dilakukan asal tindakan ini diambil
setelah mempertimbangkan masak-masak bahwa tidak ada jalan/cara lain untuk
menyelamatkan jiwa selain pembedahan. Sebelum operasi dimulai, perlu dibuat
persetujuan tertulis lebih dahulu atau dari keluarga (Persetujuan Tindakan Medik,
PTM). Sesuai peraturan Menteri Kesehatan tentang PTM, batas umur yang dapat
memberi PTM adalah 21 tahun atau telah menikah.
Ti"rhan Yang Maha Esa menciptakan manusia, yang pasti pada suatu waktu
akan menemui ajalnya. Tidak seorang dokter pun, betapapun pintarnya akan dapat
mencegahnya. Naluri yang terkuat pada setiap makhluk bernyawa, termasuk ma-
nusia ialah mempertahankan hidupnya. Untuk itu, manusia diberi akal, kemampu-
an berpikir, dan mengumpulkan pengalamannya sehingga dapat mengembangkan
ilmu pengetahuan dan usaha untuk menghindarkan diri dari bahaya maut. Semua
usaha tersebut merupakan tugas seorang dokter. Ia harus berusaha memelihara
dan mempertahankan hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa baik menurut
agarrra, Undang-Undang Negar.a, maupun Etika kedokteran, seorang dokter tidak
diperbolehkan:
Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

. Menggugurkan kandun gan proalcatus)


(abz,'tu"s
. Mengakhiri hidup seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan, tidak
mungkin akan sembuh laqt (eutanasta).
'Mengenai abortus provokatus dibahas lebih lanjut di Bab 15 tentang Reproduksi
Manusia, sedangkan tentang Eutanasia lihat Bab 16.
Pasal 8. Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan ke-
pentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan .

- y*g menyeluruh (promotif preventif, kurati{ dan rehabilitatif), baik fisik mau-
pun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat
yang sebenar-benarnya.

Salah satu tujuan nasional adalah memajukan kesejahteraan bangsa yang bera*i
memenuhi kebutuhan dasarmanusia, yaitu sandang, pangan, pendidikan, kesehatan,
lapangan k{a, dan ketenteraman hidup. Derajat kesehatan dipengaruhi faktor
keturunan, perilaku, lingkungan, dan pelayanan kesehatan. Tlrjuan pembangunan
kesehatan adalah tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk.
Jadi, tanggungjawab untuk terwujudnya derajat kesehatan yang optimal berada di
tangan seluruh masyarakat Indonesia, pemerintah, dan swasta bersama-sama.
Dokter adalah tenaga profesi yang memiliki kemampuan untuk menggerakkan
potensi yang ada bagi terwujudnya tujuan kesehatan individu, keluarga, dan
masyarakat umumnya. Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
itu, pelayanan kedokteran mencakup semua aspek (pelayanan kesehatan paripurna),
yaitu promoti{ preventif kuratifi dan rehabilitatif
Pasal 9. Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan
bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.

Dengan pesatnya kemajuan lpte[ termasuk Iptek kedokteran,/kesehatan, makin


disadari bahwa pemecahan masalah di bidang kesehatan tidak mungkin ditangani
oleh satu disiplin ilmu saja. Sebagai contoh, untuk menurunkan angka kematian
ibu (AKI) dan angka kematian perinatal (AKP), ditemukan berbagai faktor yang
mempengaruhinya, faktor medik dan non-medik, terutama faktor sosial, ekonomi
dan budaya. Dengan demikian, untuk program itu perlu dijalin kerja sama dengan
instansi-instansi lain di luar bidang kedokteran.

Pasal 10. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
keterampilannya untuk kepentingan pasien, Dalam hal ia tidak mampu melaku-
kan suatu pemeriksaan atau pengobatan sehingga atas persetujuan pasien, ia
wajib merujuk pasien kepada dokter yang memiliki keahlian dalam penyakit
tersebut.

Sikap tulus ikhlas yang dilandasi sikap profesional seorang dokter dalam melakukan
tugasnya sangat diperlukan karena sikap ini akan menegakkan wibawa dokter,
memberikan kepercayaan dan ketenangan bagi pasien, sehingga pasien bersikap
kooperatif yang memudahkan dokter dalam membuat diagnosis dan memberikan
terapi. Dokter perlu pula bersikap ramah tamah dan sopan santun terhadap pasien.
Dalam melakukan pemeriksaan dan pengobatan pasien, dokter perlu didampingi
8a.4 3 Rode Etih Kedohteron Indonerio (KODEKI) 23

orang ketiga untuk mencegah tuduhan terjadinya pelecehan seksual ataupun kasus
pemerasan terhadap dokter. Namun, untuk kasus psikoterapi atau untuk memper-
oleh informasi mengenai riwayat penyakit ,rnenular seksual atau riwayal abortus
provokatus kriminalis, kehadiran orang ketiga tidak diperlukan, Berkaitan dengan
hal tersebut, tidak dibenarkan pula dokter melakukan pemeriksaan terhadap lebih
dari satu pasien pada saat yang sama. Pendekatan yang dilakukan dokter dalam
upaya penyembuhan hendaknya selalu holistik sifatnya, dengan mempertimbang-
kan -tidak hanya aspek fisik, tetapi juga aspek psikis, spiritual, dan intelektual
pasiennya.
Dengan perkembangan Iptek kedokteran yang begitu pesat akhir-akhir ini,
mustahil seorang dokter dapat menguasai semua bidang spesialisasi apalagi sub-
spesialisasi dalam kedokteran. Dokter umum adalah dokter yang mengetahui
sedikit-sedikit mengenai penyakit pada semua bagian tubuh, sedangkan dokter
spesialis adalah dokter yang mengetahui "semua" penyakit pada sebagian (satu
organ atau satu sistem) tubuh manusia. Karena itu, dokter harus merujuk pasiennya
kepada dokter spesialis yang relevan disertai keterangan yang cukup mengenai
pasiennya. Dokter spesialis atau sub spesialis (konsultan) harus menjawab konsul
dokter lain dengan nasihat pengobatannya, dalam amplop tertutup dan tidak
dibenarkan konsultan memberitahukan kepada pasien,/keluarganya kekeliruan
dokter yang merujuknya jika hal tersebut telah terjadi
Pasal 11. Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senaniiasa
dapat berhubungan dengan keluarga dan penasihatnya dalam beribadat danl
atau dalam masalah lainnya.

Dokter yang bijaksana selalu mendalami latar belakang kehidupan pasiennya, ter-
masuk aspek sosial, ekonomi, mental, intelektual, dan spiritualnya. Dokter berke-
wajiban menghormati agama dan keyakinan pasiennya, termasuk adat istiadat dan
tradisi masyarakat setempat, asal saja tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu
kedokteran, Walaupun ada peraturan tertentu dalam hal bertamu di rumah sakit,
namun pada hal-hal yang khusus perlu diberi kesempatan bagi pasien untuk ber-
temu dengan orang-orang yang dikehendakinya.
Pasal 12. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

Hubungan dokter dengan pasien adalah bersifat konfidensial, percaya-mempercayai


dan hormat-menghormati, Karena itu, dokter berkewajiban memelihara suasana
yang ideal tersebut, dengan antara lain memegang teguh rahasia jabatan dan
pekerjaannya sebagai dokter, Mengenai hal ini akan dibicarakan lebih lanjut dalam
Bab 11
Pasal 13. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas peri-
kemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu mem-
berikannya.

Setiap orang wajib memberikan pertolongan pertama kepada siapa pun yang
mengalami kecelakaan atau sakit mendadak, apalagl seorang dokter. Pertolongan
yang diberikan tentulah sesuai kemampuan masing-masing dan sesuai dengan
24 Etihq Kedohteron don Huhum Kesehctqn

sarana yang tersedia. Di negara-negara maju, banyak dokter yang enggan memberi
pertolongan sementara itu, karena sering tery'adi bahwa dokter yang menolong
justru dituntut mengganti kerugrar1. Pertolongan yang diberikan dianggap tidak
tepat, menyebabkan cacat atau menimbulkan komplikasi sehingga memperlambat
penyembuhan. Di negara kita, tuntutan seperti itu diharapkan tidak terjadi, namun
perlu diperhitungkan.
Kalau memungkinkan minta persetujuan pasien atau keluarganya dulu dan
segera dirujuk kalau kasusnya memerlukan tindakan lebih lanjut

Pasal 14. Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.

Para dokter seharusnya membina persatuan dan kesatuan, bersama-sama di bawah


panji-panji perikemanusiaan memerangi penyakit yang mengganggu kesehatan
dan kebahagiaan umat manusia. Di antara sesama sejawat dpkter hendaknya
te4'alin rasa kebersamaan, kekeluargaan dan keakraban sehingga dalam menjalankan
profesinya dapat saling membantu, saling mendukung, dan saling belajar dengan
penuh pengertian. Sejarah ilmu kedokteran penuh dengan peristiwa ketekunan dan
pengabdian yang mengharukan. Penemuan dan pengalaman baru saling berbagi
dan dijadikan milik bersama. Iklim seperti ini telah mendudukkan dokter pada
tempat yang terhormat di tengah-tengah masyarakat.
Mencemarkan nama baik sejawat berarti mencer.narkan nama baik sendiri,
seperti kata peribahasa: "Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri'iJanganlah
menjelekjelekkan teman sejawat sendiri apalagi di depan pasien atau orang banyak.
Dokter yang senior dihormati, yang muda disayangi dan diayomi. Para dokterjuga
harus waspada karena mungkin ada pula pasien atau keluarganya yang mengadu
domba sesama dokter. Bahwa pasien ingin memperoleh "second optnion" tentang
penyakitnya, itu adalah hal yang biasa, namun dalam hal-hal lain perbedaan
pendapat sesama sejawat sebaiknya diselesaikan secara musyawarah atau melalui
Ikatan Dokter Indonesia (IDl),zperhimpunhn dokter spesialisnya.
Untuk menjalin kebersamaan dan keakraban antara para dokter sebaiknya
dokter yang baru menetap di suatu tempat, mengunjungi teman sejawatnya yang
telah lama berada di sana dan bergabung dalam organisasi profesinya.
Pasal 14 KODEKI bukan berarti bahwa seorang dokter harus menutup-nutupi
atau membela mati-matian teman sejawatnya di depan penyidik atau pengadilan
dalam hal telah membuat kesalahan atau kelalaian pelayanan medik. Kebenaran
harus ditegakkan demi keadilan.
Pasal 15. Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawatnya, kecuali
dengan persehrjuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

Di kota-kota besar, dengan banyak dokter yang berpraktik, tidak jarang terjadi
pasien pindah berobat. Ini kadang-kadang disebabkan oleh ketidaksabaran pasien,
yang biasanya ingin lekas sembuh.Jika pasien itu mengunjungi dokter kedua pada
penyakit yang sama dan baru l-2 harl berobat pada dokter pertama, sebaiknya
pasien dinasihati untuk meneruskan obat dari dokter pertama dan kembali ke
dokternya itu. Namun, jika pasien berobat pada kunjungan lain'karena menderita
eal 3 Rode Etih Kedohteron lndonesio (KODEKD 25

sesuatu penyakit lain, tidaklah berarti bahwa dokter kedua merebut pasien dari
dokter pertama
Pasal 16. Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat beke4'a dengan
baik.

Sebagaimana kita ketahui, para dokter umumnya sangat sibuk bukan saja melaku-
kan tugas-tugas pelayanan, melainkanjuga tugas pendidikan dan penelitian, apalagi
jika dokter tersebut terkenal di masyarakat dan praktiknya cukup ramai. Hal ini
kading-kadang menyebabkan dokter itu kurang memperhatikan kesehatannya
sendiri. Ada pula dokter yang sakit mengobati dirinya sendiri, baik untuk menutupi
keadaan kesehatannya maupun karena enggan memeriksakan dirinya kepada se*
jawat lain. Ini dapat menimbulkan komplikasi atau terlambatnya mendapat per-
tolongan yang tepat. Juga dalam mengobati diri sendiri biasanya kurang tuntas.
Dokter harus memberi teladan kepada masyarakat sekitarnya dalam memelihara
kesehatan, melakukan pencegahan terhadap penyakit, berperilaku sehat sehingga
dapat bekerja dengan baik dan tenang.
Laksanakan tindakan perlindungan diri, misalnya kalau ada wabah untuk pen-
cegahan penularan diperlukan imunisasi, dokter harus melakukan imunisasi ter-
hadap dirinya dahulu. Kalau bertugas di klinik yang memungkinkan penularan
melalui udara, pakailah masker. Cuci tangan setiap selesai memeriksa pasien dan
prosedur pencegahan lainnya.
Pasal 17. Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran,/kesehatan.

Iptek kedokteran berkembang dengan pesat. Seorang dokter harus mengikuti


perkembangan ini, baik untuk manfaat diri sendiri dan keluarga maupup untuk
pasien dan masyarakat. Dokter perlu mengikuti pendidikan kedokteran berke-
sinambungan (continuous medtba/ educattbn, CMQ, dengan mengikuti kursus-kursus,
seminar, simposium, penataran, lokakarya atau mengikuti pendidikan formal
spesialisasi/subspesialisasi. Tirntutan masyarakat akan pelayanan kedokteran yang
bermutu dan mutakhir sesuai dengan perkembangan iptek kedokteran global
hendaknya ditanggapi oleh dokter dengan melakukan konsolidasi diri.
Biasanya, pada waktu muda dokter sudah memiliki cita-cita menjadi pengajar/
peneliti, tetapi pada permulaan karir tidak sempat dilaksanakan, misalnya karena
ditempatkan di daerah terpencil. Walaupun demikian, citi-cita ini janganlah
dilupakan karena masih dapat dilakukan dengan mengaitkan pada tugas rutinnya,
misalnya melakukan pendidikan dan penelitian kesehatan pada masyarakat
setempat.
Uuomrc-Ulrollrc Rl Nouon 23 Tnnuu 1992
Tenrnruc KsftHlrlhr

Tuluqn lnrtruhsionql Khurur


1. Menjeloshon tujuon diundonghonnyo UU Rl Nomor 23 Tqhun 1992
tentqng Kesehqtqn (UU Kesehotqn).
2. Menjelqshon hondungqn UU Kesehqtqn yqng penting dihetohuipqro
dohter/holqngqn hesehqton.
Pohoh Bqhqrqn
l. Huhum hesehoton.
2. Kondungqn UU Kesehoton
fub-fohoh Bqhqron
1. Huhum hesehqton dqn UU Kesehoton.
2. Perspehtif UU Kesehotqn.
3. Siltemqtihq UU Kesehqtqn don penjelqsqn umum.
4. Beberqpq pengertiqn dqri Ketentusn Umum.
5. Kutipon penting dqri hqndungon UU Kesehotqn.
6. Upqyq hesehqtqn.
7. Kepqstion dqn perlindungon huhum.
8. Perqturqn Pemerintoh dqn Keputuson Fresiden yong diperluhon.

26
8a/ 4 Undong-Undong Rl Nomor 23 Tohun 1992 Tentong Kesehoton 27

Undang-undang RI No. 23, tahun 1992 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut


UU Kesehatan), telah hadir hampir 2 dekade di tengah-tengah kita. Undang-
undang ini berisi peraturan-peraturan hukum yang bertujuan untuk peningkatan
derajat kesehatan seluruh anggota masyarakat. Oleh karena itu, undang-undang ini
akan melibatkan instansi-instansi terkait dan juga melibatkan pemberi pelayanan
kesehatan (medical prniders) dan penerima pelayanan kesehatan (medtlcal re-
cetbers).
UU Kesehatan ini merupakan produk hukum yang bernuansa luas di bidang
kesehatan sehingga 9 (sembilan) undang-undang di bidang kesehatan yang telah
ada sebelumnya harus dicabut karena sudah diakomodasi dalam undang-undang
ini, terinasuk di antaranyalJU tentang Pembukaan Apotek (1953), Undang-undang
Pokok Kesehatan (1960), UU tentang Tenaga Kesehatan (1963), UU tentang
Higiene (1966) dan UU tentang KesehatanJiwa (1966). Karena pada waktu yang
sama dengan proses kelahiran UU Kesehatan ini di Indonesia berkembang pula
pengetahuan Hukum Kesehatan yang relatif baru, kini ada dua istilah yang rrrakin
sering didengar yaitu UU Kesehatan dan Hukum Kesehatan. Antara keduanya
terdapat kesamaan, yaitu mengenai ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan
dengan bidang kesehatan, tetapijuga ada perbedaannya. Oleh sebab itu, keduanya
perlu ditelaah terlebih dahulu.

Huhum Kelehqtqn dqn UU Kerehctqn


Untuk kalangan kesehatan, kedua bidang ini harus didalami secara baih karena
keduanya berkaitan dengan pelayanan profesi kesehatan kepada masyarakat.
Di satu sisi pengetahuan hukum kesehatan harus diketahui dan didalami karena
pengetahuan ini akan memberi wawasan tentang ketentuan-ketentuan hukum
yang berhubungan dengan pemeliharaan dan pelayanan kesehatan' Memahami
dan mendalami hukum kesehatan akan memberi dan meningkatkan keyakinan diri
tenaga kesehatan dalam menjalankan profesi kesehatan yang berkualitas dan selalu
berada pada jalur yang aman, tidak melanggar etika, dan ketentuan hukum.
Dalam hal ini, dokter dan tenaga kesehatan lainnya perlu memahami adanya
landasan hukum dalam transalsi terapeutik antara dokter dan pasien (kontrak-
terapeutik), mengetahui dan memahami hak dan kewajiban pasien, serta hak dan
kewajiban dokter dan adanya wajib simpan rahasia kedokteran, rahasiajabatan dan
pekerl'aan, memahami dalam situasi dan keadaan apa rahasiajabatan dan peke{aan
boleh di kesampingkan, memiliki pengetahuan yang baik tentang standar pel ayanan
medik dan standar profesi medik, pemahaman tentang malpraktik medi( pe-
nanganan pasien gawat darurat, rekam medis, eutanasia, sertayangbaru diterbitkan
pemerintah tentang Undang-undang Praktik Kedokteran dan lainlain adalah
pengetahuan masa kini yang perlu atau hdrus dikuasai dan didalami. Untuk be-
terapa profesi di bidang kesehatan, masalah yang lebih khusus seperti transplantasi
organ dan jaringan tubuh, riset biomedik, aspek hukum kesehatan lingkungan,
kesehatan kerja dan lainJain; mungkin perlu pula didalami lebih jauh.
Pada sisi lain, sebagai warga negara, apalagl yang bertugas di bidang kesehatan,
tentu perlu memahami dengan baik beberapa peraturan dan perundang-undangan
yang berhubungan dengan pemeliharaan dan pelayanan kesehatan.
28 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehotqn

Sejak berdirinya republi[ pemerintah telah menerbitkan begbagai peraturan


dan ketentuan hukum dalam bidang kesehatan agar pelayanan dan pemeliharaan
kesehatan dapat berjalan dengan baik. Pemerintah menyadai rakyat yang sehat
merupakan aset dan tujuan utama dalam mencapai masyarakat adil dan makmur.
Peraturan dan ketentuan hukum ini tidak saja di bidang kedokteran, tetapi men-
cakup seluruh bidang kesehatan seperti, farmasi, obat-obatan, rumah sakit, ke-
sehatan jiwa, kesehatan masyarakat, kesehatan kerja, kesehatan lingkungan, dan
higiene. Sampai sekarang sudah ada ratusan peraturan dan perundang-undangan
di bidang kesehatan yang diterbitkan pemerintah. Kumpulan perafirran peraturan
dan ketentuan hukum inilah yang dimaksud dengan Hukum Kesehatan.

Undqng-Undqng Kerehqton
Seperti telah dikemukakan, semula Undang-Undang Kesehatan (IJU Kesehatan)
adalah ringkasan dari penyebutan Undang-undang RI No. 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan.
Undang-undang ini merupakan salah satu usaha pemerintah dalam mencapai
derajat kesehatan yang lebih baik bagi seluruh anggota masyarakat. Ini berkaitan
dengan sasaran pembangunan di segala bidang, termasuk di bidang kesehatan
dalam mencapai masyarakat adil dan makmur. Bagaimanapun kesehatan manusia
sebagai pelaku pembangunan harus mendapat perhatian yang cukup. Seperti
diy'elaskan dalam pasal 3 UU Kesehatan, tujuan pembangunan kesehatan adalah
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
agar terwujud derajat kesehatan yang optimal.
Beberapa bagian dari undang-undang ini berisi tentang rambu-rambu dalam
pelayanan kesehatan yang harus diketahui dan dipahami oleh pelaku pelayanan
profesi kesehatan, agar terhindar dari pelayanan kesehatan yang bermasalah.
Kalangan kesehatan harus tetap menyadari bahwa dalam menjalankan profesi
kesehatan mereka tidak saja bertanggung jawab terhadap kesehatan pasien
@rofissional responn'biltly), tetapi juga bertanggung jawab di bidang hukum (/ega/
respuzsibilQt) terhadap pelayanan yang diberikan.
Dengan demikian, para tenaga kesehatan dituntut tidak saja menambah,
mengasah, dan memperdalam pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan,
tetapi juga harus selalu memperdalam dan mengikuti perkembangan hukum dan
aspek medikolegal dari pelayanan kesehatan.

trerrpehtif UU Kerehstqn
Yang dimaksud'dengan perspektif di sini adalah'pandangan ke depan dari
keberadaan undang-undang ini.
Secara umum, yang diharapkan dari undang-undang ini adalah fungsinya
sebagai berikut.
a. Alat untuk meningkatkan hasil guna dan daya guna penyelenggaraan pem-
bangunan kesehatan yang meliputi upaya kesehatan dan sumber daya.
b. Menjangkau perkembangan yang makin kompleks yang akan terjadi dalam
kurun waktu mendatang.
8a/ 4 Undong'Undong Rl Nomor 23 Tohun 1992 Tentong Kesehoton 29

c. Pemberi kepastian dan perlindungan hukum terhadap pemberi dan penerima


jasa pelayanan kesehatan.

Jirtemotiho UU Kerehqtqn
Secara keseluruhan, undang-undang yang terdiri dari 12 bab dan mengandung 90
pasal ini diterbitkan untuk tujuan mencapai derajat kesehatan yang optimal bagi
setiap orang melalui pembangunan kesehatan, yaitu dengan meningkatkan ke-
sadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat. Di sini diatur tentang hak
dan'kewajiban serta tugas dan tanggung jawab setiap orang. Upaya kqsehatan
dijabarkan secarajelas mulai dari kesehatan keluarga, kesehatan kerja, kesehatan
lingkungan, pemberantasan penyakit, kesehatan olahraga dan selanjutnya, sampai
dengan upaya kesehatan matra. Dirinci tentang sumber daya kesehatan yang
mencakup'perangkat keras seperti sarana, prasarana, dan peralatan serta perangkat
lunak seperti manajemen, pembiayaan, dan SDM yang mendukung terselenggaru-
nya\paya kesehatan. Dalam undang undang ini d!'elaskan tentang adanya peran
serta masyarakat dalam penyelenggaraanrtpayakesehatan. Dalam kaitan ini, peran
pemerintah adalah membina, mendorong, dan menggerakkan swadaya masyarakat
di bidang kesehatan.
Oleh karena itu, perlu pembinaan dan pengawasan sehingga semua kegiatan
yang berhubungan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan dapat terlaksana
dengan baik. Akhirnya dalam undang undang ini diatur tentang bagaimana pe-
nyidikan dapat dilakukan apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan yang
telah diatur. Demikian pula diatur tentang sanksi hukum menurut ketentuan pidana
dan perdata.

Beberqpo Pengertion dqlqm Ketentuqn Umum


Di bawah ini dikutip beberapa pengertian dan ketentuan umum, anfaralun;
1. Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang me-
mungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
2. lJpaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan/atau masyarakat.
3. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
keselratan sertamemilikipengetahuan dan atauketerampilan melaluipendidikan
di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.
4. Saranakesehatanadalahsetiaptempatyangdigunakanuntukmenyelenggarakan
upaya kesehatan.
5. Tiansplantasi adalah rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ dan
atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh
sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ dan ataujaringan
tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.
6. Implan adalah bahan berupa obat dan atau alat kesehatan yang ditanamkan ke
dalamjaringan tubuh untuk tujuan pemeliharaan kesehatan, pencegahan dan
penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan, dan/ atau kosmetika.
30 Etiho Kedohteron don Huhum Kerehoton

7. Pengobatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara,


obat, dan pengobatnya yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan
, turun temurun, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam
masyarakat
B. Kesehatan matra adalah upaya kesehatan yang dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan fisik dan mental guna menyesuaikan diri terhadap lingkungan
yang berubah secara bermakna baik lingkungan darat, udara, angkasa, maupun
air.
Dalam Undang-undang ini pengertian "sehat" sudah mengalami perubahan dari
pengertiap yang lama karena pengertian sehat masa kini juga meliputi faktor sosial
dan ekonomi.
Deinikian pula pengertian "tenaga kesehatan". Dalam Undang-undang tentang
Tenaga Kesehatan tahun 1963, tenaga kesehatan dibagi atas tenaga kesehatan
sarjana (dokter, dokter gigi, apoteker) dan tenagu kesehatan sarjana muda, me-
nengah, dan rendah (asisten apoteker, bidan, perawat, penilik kesehatan, nutrisio-
nist dan lainJain).
Dengan pengertian tenaga kesehatan yang baru, biaryun seorang penyandang
titel dokter atau bidan, perawat dan lainlain, tetapi tidak mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan sehingga mereka tidak lagi termasuk dalam kelompok tenaga
kesehatan.
Kesehatan matra juga menjadi perhatian dalam undang-undang ini. Deqgan
kesehatan matra dimaksud seperti kesehatan penerbangan /kedirgantaraan, ke-
sehatan kelautan dan bawah air, yutu upaya kesehatan yang mempunyai ciri
khusus atau lingkungan matra yang serba berubah.

Beberopc Kutipcn dsri Undqng-undqng Kerehqtqn


Berikut ini dikutip beberapa bab dan pasal dari Undang undang Kesehatan yang
perlu mendapat perhatian khusus karena banyak berkaitan dengan pelayanan
kesehatan oleh tenaga kesehatan.
Asas (Pasal2)
Pembangunan kesehatan diselenggarakan berasaskan perikemanusiaan yangberdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata,
perikehidupan dalam keseimbangan', serta kepercayaan akan kemampuan diri sendiri.
Tirjuan Pembangunan Kesehatan (Pasal 3) I
Pembangrrnan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehit bagi setiap oiang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat
yang optimal
IIak dan Kewajiban (Pasal 4 dan 5)
Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh der{at kesehatan yang
optimal.
Setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan perseorangan, keluarga, dan lingkungan.

Penjelasan:
Yang dimaksud dengan asas manfaat di sini adalah memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya bagi kemanusiaan dan perikehidupan yang sehat bagi setiap warga negara.
8a/ 4 Undong-Undong Rl Nomor 23 Tahun 1992 Tentong Kesehoton 31

Asas usaha bersarna dan kekeluargaan yang dimaksud adalah bahwa penyelenggara
kesehatan dilaksanakan melibatkan seluruh lapisan masyarakat yang dijiwai semangat
kekeluargaan.
Dalam undang-undang ini, diharapkan penyelenggaraan kesehatan dapat dilaksana-
kan dengan kepercayaan dan kemampuam serta kekuatafi sendiri dengan memanfaatkan
potensi nasional yang ada.
Dalam hal ini, perlu ditingkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup
sehat yang optimal kepada seluruh masyarakat.

Upoyq Kesehqtqn
Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, diseleng-
garakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehat-
an (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif),
dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilakukan secara menyeluruh, ter-
padu, dan berkesinambunga.n (pasal 10).
Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10
dilaksanakan melalui (pasal 11):
a. Kesejahteraan keluarga
b. Perbaikan gizi
c. Pengamanan makanan dan minuman
d. Kesejahteraan lingkungan
e. Kesejahteiaan kerja
f. Kesehatan jiwa
o Pemberantasan penyakit
b'
h. Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
i. Penyrluhan kesehatan masyarakat
j Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
k. Pengamanan zat adiktif
1. Kesehatan sekolah
m. Kesehatan olahraga
n. Pengobatan tradisional
o. Kesehatan matra

Dari-deretan upaya kesehatan ini, terlihat bahwa upaya kesehatanyang ditujukan


untuk semua penduduk tidak hanya tertuju pada bidang kuratif dan rehabilitatifi
tetapi lebih berorientasi kepada bidang preventif dan promotif
Penyembuh4n penyakit dan pemulihan kesehatan (kuratif dan rehabilitatif)
hanyalah bagran dari usaha pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan
(huruf h).
Bila diikuti pasal yang mengatur tentang penyembuhan penyakit dan pemulihan
kesehatan (pasal 32 s.d. 37), terlihat pula banyak berhubungan dengan Bab tentang
Penyidikan, yaitu rambu-rambu yang menjadi perhatian khusus bagi tenaga ke-
sehatan, termasuk pasal 15 dan pasal 16 tentang kesehatan keluarga yang berkaitan
dengan abortus provokatus.
32 Etiho Redohteron don Huhum Kesehoton

Kepcrticn Huhum dqn Perlindungsn Huhum


Tiga pasal di bawah ini, dikutip agar kalangan kesehatan mengetahui bahwa UU
Kesehatan ini memberikan perlindungan hukum, baik kepada pemberi maupun
penerima pelayanan kesehatan
Pasal 53
1. Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksana-
kan tugas sesuai dengan profesi.
2. Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi
standar profesi dan menghormati hak pasien.
3. Tenaga kesehatan, untuk kepentingan pembuktian, dapat melakukan tindakan
medis terhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan
yang bersangkutan.
4. Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Pasal 54
1. Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
2. Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud ayat
(1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.
Pasal 55
1. Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang di-
Iakukan oleh tenaga kesehatan.
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

$qnhri Pidonq
Sebagai contoh tentang sanksi hukum bagi penyelenggaraan pelayanan kesehatan
yang melanggar ketentuan yang telah digariskan terlihat sebagai berikut.
Pasal 15
1. Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil
dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
2. Tindakan medis tertentu sebagaimana dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan:
a. berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan ter-
sebut.
b. oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewbnangan untuk
itu dan dilakukan sesuai dengan tanggungjawab profesi serta berdasarkan
pertimbangan tim ahli.
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarga-
nya.
d. pada sarana kesehatan tertentu.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud
dalun ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
8a/ 4 Undong-Undong Rl Nomor 23 Tohun 1992 Tentqng Kesehoton 33

Pasal 80
1. Pelanggaran terhadap pasal 15 ayat (l) dan (2), pidana penjara selama 15 tahun
dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000.

Ini adalah sebuah contoh sanksi hukum bagi yang melakukan tindakan medik
tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan dalam UU Kesehatan.
Banyak sanksi hukum yang lain, seperti menghimpun dana dari masyarakat tanpa
ada badan hukum dan izin operasional, melakukan transplantasi organ ataujaringan
tubuh untuk tujuan komersial, melakukan implan atau bedah kosmetik tanpa
keahlian dan kewenangaan, melakukan upaya kehamilan yang tidak sesuai dengan
ketentuan, dan memprodulai dan mengedarkan sediaan farmasi berupa obat
tradisional atau kosmetika yang tidak memenuhi standar atau persyaratan.
Dari kutipan di atas terlihat bahwa perlindungan hukum yang baik bagi pe-
nerima pelayanan kesehatan, dengan sanksi yang sangat berat bagi pemberijasa.
Di sini tentu diharapkan agar pihak pemberi jasa selalu berhati-hati dalam men-
jalankan profesi kepada masyarakal,agar tidakterkena sanksi hukumyangdemikian
berat.

Perqturqn Pemerintqh dqn Keputuron Preriden


Biarpun UU ini telah diumumkan berlaku lebih dari satu dekade yang lalu, namun
UU Kesehatan ini belum efektif berjalan karena 9 Peraturan Pemerintah dan 2
Keputusan Presiden yang diperlukan untuk menunjang sehingga undang-undang
ini dapat berjalan sampai kini belum seluruhnya diterbitkan. Keputusan Presiden
tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan sejauh ini baru ada di Daerah Khusus
IbukotaJakarta.
Namun, sebagai tenaga kesehatan adalah merupakan kewajiban kita untuk
memahami isi dan kandungan UU ini sehingga dari sekarang dapat melakukan
'serta
membantu pemerintah dan masyarakat agar tujuan peningkatan derajat ke-
sehatan dapat dicapai, dan kita sebagai tenaga kesehatan dapat melaksanakan tugas
ini pada jalur yang aman.
UNomc-UnoANc Rl Nouon 29 Tlnun 2OO4
TerurnNc Fnnxnx KeooxrERAN

Tuirion lnrtruhrionsl Khurur


1. Menjeloshcn pengesohon DPR podq tqnggolz September 2oo4
Roncongqn Undong-undong tentong Prqhtih Kedohteron dqn
ditetophonnyo Undqng-undong Republih lndonesio Nomor 29 tohun
2OO4 tentong Prqhtih Kedohteron podo tongol 6 Ohtober 2OO4.
2. Menjelqshon tentong tujuon dqn filosofi Undong-undong Prqhtih
Kedohteron.
3. Menjeloshon tentong Konsil Kedohteron lndonesio, Sertifihqt
Kompetensi, Lisensi, Registrosidon Registrqsi ulqng, Surqt lzin Prohtih,
Surqt Tondq Registrosi, Kolegium Kedohteron lndonesio don Mqjelis
Kehormotqn Disiplin Kedohterqn Indonesio.
4. Menjelqshqn sqnhsi huhum pelonggoron Undong-undqng Prqhtih
Kedohteroqn.
5. Menjeloshon Peroturqn Menteri Kesehqtqn Republih lndonesiq Nomor
1419/Menhes/Per/X/Tohun 2Oo5 Tentong Penyelenggqroon Prohtih
Dohter dqn Dohter Gigi.

trohoh Bqhorqn
1. Undong-undong Republih lndonesiq No.29 Tqhun 2oo4 tentqng
Prohtih Kedohteron.
2. Peroturon Menteri Kesehqton Rl No. 1419/Menhes/Per/X/Tqhun 2oo5
Tentqng Penyelenggooroon Frohtih Dohter dqn Dohter Gigi.

tub-Pohoh Bqhqrqn
1. Pembqngunqn hesehqtqn.
2. Upoyq hesehqtqn.
3. KonsilKedohterqn, Lisensi, Registrosi, Sertifihot Kompetensi, Surot lzin
Prqhtih.
4. Penyelenggqrqon Prohtih Kedohterqn.
5. Perlindungqn mcrsyqrqhqt, Kepostion Huhum, Pemberdoyoon
orgonisosi profesi.
6. Mojelis Kehormotqn Disiplin Kedohterqn Indonesiq.
7. Sqnhsi huhum pelong'gqrqn Undqng-undong Prqhtih Kedohterqn.

34
?a/ 5 Undong-Undong Rl Nomor 29.Tohun 2OO4 Tentong Prohtih Redohteron 35

Pembqngunqn Ketehoton
Pada tahun 2004 yanglalu pemerintah telah mengundangkan sebuah undang-
undang di bidang kesehatan, yaitu Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29,
Thhun 2004 Tentang Praktik Kedokteran (IJUPK). Ini merupakan lanjutan ber-
bagai kebijakan yang ditetapkan pemerintah dalam rangka pembangunan kesehatan.
Sebelumnya pada tahun 1992 telah lahir Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 23 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) yang bertujuan untuk meningkatkan
derajat kesehatan bagi seluruh penduduk di Indonesia. Berbeda dengan lahirnya
UU Kesehatan, ditetapkannya UUPK menjadi perhatian dan reaksi yang hebat
dari masyarakat kesehatan, terutama untuk para dokter (serta dokter spesialis) dan
dokter gigi (serta dokter spesialis gigi) karena isi undang-undang ini menyangkut
banyak hal yang berbedapama sekali dengan pengaturan praktik kedokteran yang
ada selama ini. Sebelum UUPK diundangkan, rancangannya telah melalui pem-
bahasan yang panjang selama lebih kurang 4 tahun antara pemerintah dan DPR.
Pada tanggal 7 September 2004 Rancangan Undang-undang tentang Praktik
Kedokteran yang diajukan pemerintah ini akhirnya disetujui oleh DPR RI. Se-
lanjutnya pemerintah Presiden Megawati Soekarnoputri pada akhir masajabatannya
mengundangkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29, tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran pada tangal 6 Oktober 2004. Sayang, sosialisasi
rancangan undang-undang ini ke masyarakat kesehatan terkesan kurang dibanding
sosialisasi rancanga.n UU Kesehatan tahun 1992, terlihat dari reaksi dan tanggapan
yang timbul sesudah undang-undang ini diumumkan.
Pelayanan praktik kedokteran perlu dibenahi dan diatur dalam sebuah undang-
undang untuk mendapatkan mutu pelayanan kesehatan yang lebih baik dan
memenuhi tuntutan Pembangunan Nasional di bidang kesehatan yang tertuang
dalam visi Indonesia Sehat tahun 2010. Hal ini dly'elaskan dalam pertimbangan
undang-undang ini, bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran merupakan inti
dari berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan
oleh dokter dan dokter grgl yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian dan
kewenangan yang secara terus-menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pen-
didikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, lisensi serta pembinaan,
penga.wasan dan pemantauan agar penyelenggaraan praktik kedokteran sesuai
dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Oleh karena itu, tidak heran dalam
UUPK ini terdapat banyak perubahan mendasar dalam tatanan peraturan dan
pelal.rsanaan praktik kedokteran mulai dari hulu dalam pendidikan sampai ke hilir
dalam pelayanan kesehatan dan pengawasan.

Tuiuqn dqn Filorofi UUPK


Tirjuan UUPK tergambar.dari pasal 3 yang menyatakan;
a. Memberi perlindungan kepada pasien.
b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
c. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter, dan dokter gigi.
Untuk itu, melalui undang-undang ini diberlakukan berbagai macam kebijakan
baru seperti mendirikan Konsil Kedokteran, memberdayakan organisasi profesi
36 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

seperti IDI, PDGI, Asosiasi Rumah Sakit, Institusi Pendidikan, mengatur tentang
standar pendidikan profesi, standar kompetensi, tentang penyelenggaraan praktik
sampai ke pembinaan dan pengawasan.
Dari berbagai tujuan tersebut dapat dikatakan UUPK mempunyai filosofi;
Perlindungan kepada pasien, Pedoman kepada dokter dan doktqr gigi dalam men-
jalankan praktik, Peningkatan mutu pelayanan medis, Pemberdayaan organsisasi
profesi dan institusi pendidikan.

Konril Kedohterqn
Konsil kedokteran merupakan pola baru dalam mengatur pelayanan praktik
kedokteran dan kedokteran gigi di masa yang akan datang berbeda dengan apa
yang dilakukan selama ini. Konsil Kedokteran merupakan badan otonom, mandiri,
nonstruktural dan bersifat indipenden, terdiri dari Konsil Kedokteran dan Konsil
Kedokteran Gigi. Konsil ini dihajatkan dapat menjembatani kepentingan penerima
dan pemberi pelayanan kesehatan. Konsil kedokteran diharapkan dapat menjalankan
fungsi regulator yang terkait dalam peningkatan kemampuan dokter dan dokter
gigi dalam pelaksanaan praktik kedokterin. Di banyak negara lain, badan seperti
ini disebut sebagai Medrlcal Counall telah sejak lama dikenal keberadaan dan
perannya dalam mengatur pelayanan kesehatan oleh para dokter yang kedudukan,
wewenang dan tanggungjawabnya berbeda menurut tiap-tiap negara.
Di Indonesia, konsil ini terdiri atas 3 divisi, masing-masing adalah Divisi
Registrasi, Divisi Standar Pendidikan Profesi, dan Divisi Pembinaan. Konsil di-
harapkan bertindak untuk meningkatkan kemampuan dokter dan dokter CtCt di
dalam pelaksanaan praktik kedokteran. Hal ini dapat dicapai rnelalui registrasi,
yaitu pencatatan resmi terhadap dokter dan dokter grgl yang telah memiliki
sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu serta diakui secara
hukum dapat melakukan pelayanan medis. Tanda registrasi didapat setelah di-
penuhinya beberapa persyaratan termasuk' ijazah, pernyataan telah mengucap
sumpah atau janji, sehat, memiliki sertifikat kompetensi dan membuat surat
pernyataan akan menaati ketentuan etika profesi. Surat tanda registrasi ini akan
diperbarui setiap 5 tahun dengan tujuan menjaga mutu pelayanan medis berkualitas
melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, lisensi, dan pembinaan
serta pengawasan agar sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tek-
nologi.
Bagi tenaga medis yang berasal dari luar negeri, baik WNI atau WNA ada
aturan-aturan yang harus dipenuhi sebelum dapat menjalankan profesi kesehatan
di tengah-tengah masyarakat. Begitu pula bagi dokter yang sedang menjalani
pendidikan spesialis dikeluarkan tanda registrasi bersyarat.
Selain itu, konsil juga berperan dalam menyrsun Standar Pendidikan Profesi
Kedokteran dan Kedokteran gigi. Hal ini disusun melalui asosiasi institusipendidikan
kedokteran dan kedokteran gigi, dan untuk pendidikan dokter spesialis dan dokter
gigi spesialis disusun oleh kolegium, dan berkoordinasi dengan organisasi profesi
dan asosiasi rumah sakit pendidikan. Dengan demikian, dari waktu ke waktu akan
ada perubahan muatan kurikulum sesuai dengan perkembangan kebutuhan
masyarakat pengguna jasa.
Gal 5 Undong-Undong Rl Nomor 29 Tohun 2OO4 Tentong Prohtih Kedohteron 37

t P..'td;-l
t
Konsil Kedokteran Indonesia
1. Konsil Kedokteran
2. Konsil Kedokteran Gigi

t
Fungsi dan Tirgas

/
Pengaturan
Pengesahan
Dr dan Drg yang praktik
Penetapan

Pembinaan ) {
Meningkatkan mutu pelayanan medis

Konsiljugaberperan dalam Pembinaan dan Pengawasan. Ini dilakukan bersama-


sama dengan organisasi profesi dan lembaga terkait.
Konsil Kedokteran berkedudukan diJakarta dan biaya untuk pelaksanaan tugas-
tugas konsil dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara. Konsil
Kedokteran Indonesia bertanggung jawab kepada Presiden.
Dalam UUPK dil'elaskan Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai wewenang:
a. Menyetujui dan menolak permohonan registrasi dokter dan dokter gigi
b. Menerbitkan dan mencabut surat tanda registrasi
c. Mengesahkan standar kompetensi dokter dan dokter gigi
d. Melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dan dokter gigi
e. Mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi
f Melakukan pembinaan
g. Melakukan pencatatan terhadap dokter dan dokter g1g1 yang dikenakan sanksi
karena melanggar etika profesi

trenyelenggqrqqn Prshtih Kedohterqn


Praktik Kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan
dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan. Untuk dapat
menjalankan praktik kedokteran dan kedokteran gigi, setiap dokter dan dokter
gigi harus memiliki surat izin praktik yang telah memehuhi persyaratan untuk
38 Etiha Kedohteron don Huhum Kerehqton

menjalankan praktik kedokteran. SIP Sementara diberikan kqpada dokter dan


dokter grgr yang menunda masa bakti atau dokter spesialis dan dokter gigi
spesialis yang menunggu penempatan dan menjalankan praktik kedokteran di RS
pendidikan dan jejaringnya berlaku untuk 6 (enam) bulan. SIP Khusus diberikan
kepada dokter dan dokter gigi secara kolektif ke PPDS dan PPDGS yang men-
jalankan praktik kedokteran di RS pendidikan danjejaringnya selta sarana pelayan-
an kesehatan yang ditunjuk. SIP tidak diperlukan pada pelayanan medis oleh suatu
saran pelayanan kesehatan, bakti sosial, penanganan korban bencana, atau tugas
kenegaraan yang bersifat insidentil setelah diberitahukan dahulu ke Dinas Kesehat-
an Kabupaten/Kota.
Surat Tugas dapat diberikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota kepada
dokter dan dokter gigi dalam rangka memenuhi kebutuhan pelayanan berlaku
hanya untuk 3 bulan.
Surat izin praktik ini dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan di kabupaten/kota.lzin
hanya diberikan untuk 3 (tiga) tempat pelayanan. Dalam undang-undang ini diatur
pula bahwa bila dokter atau dokter gigi berhalangan menjalankan praktik, ia harus
membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter pengganti yang juga memiliki
surat izin praktik.

ttqndqr Peloyoncn, Peretuiuon Tindqhqn Kedohterqn,


Kendqli Mutir, dcn Bicyo
Dalam UUPK ini diatur tentang Standar pelayanan, Persetujuan Tindakan Ke-
dokteran, Rekam Medis, Rahasia Kedokteran, Kendali Mutu dan Kendali Biaya,
Hak dan Kewajiban Dokter, Hak dan Kewajiban Pasien serta Pembinaan.
Dalam undang-undang ini dipakai istilah standar pelayanan kedokteran atau
kedokteran gigi sebagai pengganti istilah standar pelayanan medik yang dipakai
selama ini, yaitu pedoman yang harus diikuti dokter atau dokter gigi dalam praktik
kedokteran. Bedakan dengan Standar Profesi, yaitu batasan kemampuan (hnouledge,
shill and attitude) minimal yang harus dikuasai oleh dokter secara mandiri yang
dibuat oleh tiap-tiap profesi. Standar Pelayanan ini akan diatur dalam Peraturan
Menteri.
Demikian pula tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, Rekam Medis, dan
Rahasia Kedokteran, isi dan penyelenggaraannyahampir sama dengan yang diatur
sebelumnya yangjuga akan diatur dengan Peraturan Menteri.
Yang barujuga adalah tentang Kendali Mutu dan Kendali Biaya. Dalam undang-
undang ini dalam melaksanakan praktik kedokteran dan kedokteran gigi wajib
menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya dan dapat diselenggarakan
audit medis. Pembinaan dan pengawasannya dilaksanakan oleh organisasi profesi'
Mengenai Hak dan Kewajiban dokter serta Hak dan Kewajiban pasien juga
diatur dan diingatkan dalam undang-undang praktik kedokteran ini.
Bab pelayanan ini ditutup dengan Pembinaan, yaitu upaya yang dilakukan
bersama organisasi agar para dokter dan dokter gigi selalu berada padajalur yang
diharapkan dalam menjalankan pelayanan profesi.
8e/ 5 Undong-Undong Rl Nomor 29 Tohun 2OO4 Tentong Prohtih Kedohteron 39

Diriplin Dohter dqn Dohter Gigi


Dalam UUPK terdapat pemisahan yang jelas antarapelanggaran etik profesi dan
disiplin dokter dan dokter gigi. Pelanggaran etik profesi adalah pelanggaran ter-
hadap Kode Etik Kedokteran dan Kedokteran grgr yang disusun oleh IDI dan
PDGI, sedangkan pelanggaran disiplin adalah penyimpangan terhadap standar
profesi yang ditentukan oleh organisasi profesi dan prosedur standar operasional
yang ditentukan oleh sarana pelayanan kesehatan setempat. Untuk menegakkan
disiplii,r dokter dan dokter gigi dalam UUPK dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKD. Ini adalah lembaga yang akan berwenang untuk
menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam
penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi. MKDKI ini merupakan
lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia yang bersifat indipenden dan
berkedudukan di Ibu Kota. Hanya bila diperlukan atas usul KKI bisajuga dibentuk
di tingkat provinsi. Lembaga ini mempunyai tugas menerima pengaduan, memeriksa
dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin serta men)'usun pedoman dantatacaru
penanganan kasus pelanggaran disiplin.
Sebelum UUPK ada, bila ada pengaduan dari masyarakat dalam pelayanan
kesehatan tidak jelas masyarakat mengadu ke mana, langsung ke Polisi Penyidik
atau ke IDI (MKEK). Masyarakat curiga kalau pengaduan dialamatkan ke IDI
(MKEK) karena diduga para dokter saling melindungi koleganya. Dengan demi-
kian, keadilan dalam menanggapi pengaduan dapat lebih ditingkatkan
Anggota dalam MKDKI terdiri 3 (tiga) dokter, 3 (tiga ) dokter gigi, seorang
dokter dan seorang dokter gigi dari asosiasi RS dan 3 (tiga) Sarjana Hukum.
Bagaimana dengan Majelis Kehormatan Etika kedokteran (MKEK) yang ada
selama ini? Keduanya tidak sama sebab basisnya MKEK ada dalam IDI, sedang
MKDKI berada dalam Konsil.
Keputusan MKDKI melalui sidang pengadilan disiplin dapat menyatakan
bahwa yang diadukan tidak bersalah atau bersalah dengan pemberian sanksi
disiplin. Sanksi disiplin bisa berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan
tanda registrast/izin praktik atau mewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan
di institusi pendidikan. Bagian ini adalah baru sama sekali karena sidang dilakukan
oleh hakim adhoc. Perlu pula dipahami bahwa dalam UUPK tentang pengaduan
di1'elaskan bahwa pengaduan tertulis yang dibuat oleh pengadu ke MKDKI, tidak
menutup hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada
pihakyangberwenang dan atau menggugat kerugian ke pengadilan. Apabila dalam
pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, MKDKI meneruskan ke organisasi
profesi, yaitu IDLIMKEK.

Ketentuqn Pidqnq
Dalam UUPF diatur pula kapan seorang dokter dan dokter gigi dapat dipidana
sehubungan dengan Undang-undang yang baru ini. Bila disarikan, pidana dapat
dijatuhkan apabila:
1. Tidak memiliki surat tanda registrasi dengan hukum penjara 3 tahun, denda
100 juta.
Etihq Kedohteron don Huhum Keiehqton

2. Dokter atau dokter gigi asing tidak memiliki surat tanda registrasi, penjara 3
tahun, denda 100juta.
3. Tidak memiliki surat izin praktik, penjara 3 tahun, denda 100 juta.
4. Identitas (gelar atau bentuk lain) seolah-olah yang bersangkutan dokter atau
dokter grgr yang memiliki surat registrasi atau izin praktik. Penjara 5 tahun'
denda 150juta.
5. Tidak memasang papan nama, tidak membuat rekam medis, tidak memenuhi
kewajiban sebagai dokter,/dokter grgl.Penjara 1(satu) tahun, denda 50 juta.
6. Memperkerjakan dokter/dokter gigi yang tidak memiliki SIP. Penjara 10 tahun,
denda 300juta.
Tnnnsaxlr TennpEUTrK

Tuiuqn lnrtruhrionql Khurur


1. Menjeloshon trqnsohsiteropeutih ontqrq dohter dengon posien.
2. Menyebuthon londqson huhum tronsqhsi teropeutih dqlom KUH
Perdqtq.

Pohoh Bqhqrqn
1. Pengertiqn trqnsqhsi teropeutih don upoyo mqhsimol dohter.
2. Syorot sohnyo suotu persetujuon.
tub-Pohoh Bqhqsqn
1. Penge.rtion trqnsohsi/hontrqh teropeutih.
2. Posoll3l3 tentong Persetujuon dolqm KUH Perdqtq.
3. Pengertion perihoton menurut huhum.
4. Pengertion prestosi menurut huhum.
5. KUH Perdqtq Posoll32O tentong sohnyo suotu perihoton.
6. Pembotolon persetujuqn menurut 1338 KUH Perdqtq.

41
42 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

Dalam menjalankan profesi kedokteran/kesehatan, ada satu, hal yang jarang


disadari dokter, yaitu bahwa saat ia menerima pasien untuk mengatasi masalah
kesehatan baik di bidang kuratif, preventi{ rehabilitatifi maupun promotif, se-
betulnya telah terjadi transaksi atau persetujuan antara dua pihak dalam bidang
kesehatan.
Selama ini, para dokter mengetahui bila ia telah memiliki ijazah dokter, dokter
gigi, dokter spesialis, dan mempunyai surat izin dokter (SID) dan surat izin praktik
(SIP), boleh memasang papan praktih dan siap untuk memberikan pelayanan
kesehatan sesuai dengan ijazahyangdimilikinya. Apalagr bila ia bertugas di rumah
sakit, puskesmas atau di pusat pelayanan kesehatan lainnya sehingga hanya ada
satu dalam pemikirannya bahwa ia harus menjalankan profesinya sesuai dengan
misi yang diemban atau ditugaskan. Tidak terlintas dalam pikirannya bahwa pada
waktu menerima pasien sebetulnya telah terjadi transaksi terapeutik.
Keadaan demikian dapat dipahami karena dahulu tidak pernah disampaikan
dalam pendidikan bahwa menerima dan mengobati pasien adalah suatu persetujuan
atau transaksi di bidang pengobatan yang mempunyai landasan hukum. Mgngkin
terasa lebih aneh bila hubungan dokter dengan pasien demikian disebut sebagai
kontrak di bidang kedokteran, sebab pengertian.kontrak selama ini lebih dekat
pada pengertian sewa menyewa, jual beli, atau kontrak antara biro bangunan atau
pemborong dengan masyarakat yang ingin membuat rumah atau bangunan lain-
nya'
Masalahnya adalah dalam pelayanan medik umumnya dokter melihat pasien
atau keluarganyalah yang datang meminta bantuan. Dan merupakan kewajiban
dokter untuk memberikan bantuan sesuai kemampuannya. Dokter tidak pernah
membuat.suatu perjanjian tertulis sebelum mengobati pasien, kecuali persetujuan
yang diperlukan dokter di rumah sakit sebelum melakukan tindakan bedah.
Namun, keadaan itulah yang sekarang harus diketahui dan dipahami oleh para
dokter. Bahwa memang ada landasan hukum yang mengatur tentang hubungan
antara dua pihak yang bersepakat untuk mencapai suatu ttrjuan. Hubungan
demikian sama saja dengan hubungan antara advokat atau biro bantuan hukum
dengan kliennya, hubungan masyarakat dengan biro bangunan, hubungan dagang
dan lainlain. Dalam bidang kedokteran hubungan ini terjalin di bidang jasa dan
disebut sebagai transaksi terapeutik" persetujuan terapeutik atau kontrak tera-
peutik.
Menurut ketentuan hukum, hubungan demikian berlaku sebagai undang-
undang. Artinya tiap-tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus ditaati'
Bila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, pihak yang dirugikan dapat
menuntut atau menggugat pihak lain.
Gambaran demikianlah yang menyebabkan pembahasan mengenai transaksi
terapeutik antara dokter dan pasien diletakkan pada bagian awal dari pembahasan
mengenai hukum kesehatan. Hal ini tidak lain karena masalah transaksi adalah
awal dari hubungan dokter-pasien. Masalah persetujuan tindakan medih rekam
medik, eutanasia, wajib simpan rahasia, rahasia jabatan dan pekel'aan, hak dan
kewajiban dokter/pasien, dan lain-lain merupakan lanjutan dari transaksi ini'
gel 6 Tronsohsi Teropeutih

Fengertisn
Tiansaksi berarti perjanjian atau persetujuan, yaitu hubungan timbal balik antara
dua pihak yang bersepakat dalam satu hal. Terapeutik adalah terjemahan dari
tlrerapeuhb yang berarti dalam bidang pengobatan. Istilah ini tidak sama dengan
tltera.py atau terapi yangberurti pengobatan. Persetujuan yang terjadi antara dokter
dan pasien bukan di bidang pengobatan saja, tetapi lebih luas, mencakup bidang
diagnostik, preventif, rehabilitatif, maupun promotif sehingga persetujuan ini di-
sebut persetujuan terapeutik atau transaksi terapeutik
Dalam bidang pengobatan,pandokter dan masyarakat menyadari bahwa tidak
mungkin dokter menjamin upaya pengobatan akan selalu berhasil sesuai yang
diinginkan pasien/keluarga.Yang dapat diberikan dokter adalah upaya maksimal.
Hubungan dokter dengan pasien ini dalam perjanjian hukum perdata termasuk
kategori perikatan berdasarkan daya up aya,/usahamaksimal (inEannmgnerbintenu).
Ini berbeda dengan ikatan yang termasuk kategori perikatan yang berdasarkan
hasil kerja (raultaatsverbtntenis).
Hal terakhir terlihat dalam urusan kontrak bangunan, yang bila pemborong
tidak membuat rumah sesuai jadwal dan bestek yang disepakati, pemesan dapat
menuntut pemborong.

Perretuiuon
Untuk melihat atau mendudukkan hubungan dokter dengan pasien yang mem-
punyai landasan hukum, dapat dimulai dengan pasal 1313 KUH Perdata:

"Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebihl'

Dalam bidang pengobatan,jelas ada hubungan atau persetujuan antara pasien atau
keluarga pasien dan satu orang dokter atau beberapa dokter. Di satu pihak, pasien
atau keluarga pasien memerlukan kepandaian dan keterampilan dokter untuk
mengatasi masalah kesehatannya atau keluarganya, sedangkan di pihak lain para
doker mempunyai kepandaian dan keterampilan yang dapat diberikannya untuk
kesembuhan pasien.
Dengan demikian, akibat persetujuan ini akan terjadi "pery'anjian" antara dua
pihak. Kedua pihak bersetuju dan be{anji untuk melakukan sesuatu dalam bidang
pengobatan atau kesehatan. Akibat persetqjuan dan pe{anjian ini akan terjadi
"perikatan" antara kedua pihak di atas (pasien dan dokter).
Dalam uhdang-undang di'elaskan bahwa yang dimaksud dengan perikatan ada-
lah hubungan hukum antara dua orang atau lebih, dengan pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu dari pihak yang lain, sedangkan pihak yang lain itu berkewajiban
memenuhi tuntutan itu.
Dari ketentuan ini dapat dilihat bahwa dalam peiayanan kesehatan memang
terjadi hubungan antara pasien atau keluarga pasien yang meminta bantuan dan
dokter yang dengan keahlian dan keterampilan yang dimilikinya sanggup memenuhi
bantuan yang diminta pasien/keluarga pasien. Dalam hal ini dikatakan bahwa
pihak pasien/keluarga menuntut suatu prestasi dari dokter.
44 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

Frertqri
Sesuatu yang dapat dituntut itu dinamakan "prestasi" yang menumt undang-
undang dapat berupa:
1. menyerahkan sesuatu barang,
2. melakukan sesuatu perbuatan, atau
3. tidak melakukan sesuatu perbuatan.
Dalarn ikatan dokter dengan pasien, prestasi yang utama di sini adalah "melakukan
sesuatu perbuatan," baik dalam rangka preventif, kurati{ rehabilitati{ maupun
promotif Dalam hal tertentu, prestasi ini dapat pula "tidak melakukan sepuatu
perbuatan." Misalnya, bila dokter menghadapi pasien dengan apendisitis dalam
stadium abses, sikap dokter tidak melakukan pembedahan apendektomi pada
stadium ini adalah suatu prestasi.

tyorot tohnyc tuqtu Feretuiuon


Berpedoman pada pasal 1320 KUH Perdata, perikatan atau persetujuan itu me-
merlukan pula syarat-syarat yang perlu dipenuhi.

Pasal 1320 KUH Perdata


Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan 4 syarat, yait:u:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Dalam hubungan dokter pasien hal ini mudah dipahami sebab bila salah
satu tidak setuju, tidak akan terjadi suatu transaksi terapeutik. Pasien setuju
dengan dokter yang dipilihnya, dan dokter sanggup mengatasi problema
kesehatan pasien yang datang kepadanya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
Kecakapan ini harus ada pada kedua belah pihak, yaitu yang memberi
pelayanan maupun yang memerlukan pelayanan. Dari pihak pasien menurut
ketentuan ini dituntut orang yang cakap untuk membuat perikatan, yaitu
orang dewas a yang waras. Bila lairi dari ini tentu harus ada yang menga.ntar
sebagai pendarnping pasien. Demikian pula dari pihak dokter dan tenaga
kesehatan lainnya. Sebagai tambahan, kalangan dokter harus memiliki
kecakapan yang dituntut atau diperlukan oleh pasien, yaitu para dokterumum
sebagai dokter umum dan dokter spesialis sesuai spesialisasi yang ditekuninya.
Itu harus ada buktinya, seperti ljazah atau sertifikat yang diakui oleh
pemerintah dan perhimpunan keahliannya.
3. Sesuatu hal tertentu.
Yang dimaksud sesuatu hal tertentu dalam persetujuan adalah suatu
penyakit atau keadaan yang perlu diatasi dokter. Sesuatu di sini tidak perlu
satu hal, bisa saja lebih dari satu. Pada pasien berobat jalan, bisa saja
menyampaikan keluhan untuk diatasi dari kepala hingga ke kaki. Namun,
yang menjadi masalah adalah pada tindakan khusus, seperti pembedahan dan
tindakan invasiflainnya. Pada pembedahan seksio sesaria, mengeluarkan anak
melalui operasi disertai tindakan dokter mengangkat apendiks pasien yang
tidak patologrh sebetulnya menyalahi peg'anjian. Bila dalam keadaan yang
8a/ 6 Tronsohsi Terqpeutih

sama dokter mendapati apendiks pasien dalam keadaan meradang dan segera
perlu diangkat, tentu tidak tepat kalau luka pembedahan seksio sesaria ditutup
dulu, baru kemudian dilakukan operasi apendiks. Dokter dapat mengangkat
apendiks yang patologik tersebut, tetapi sesudah pasien siuman harus di-
sampaikan bahwa tindakan tersebut terpaksa dilaksanakan. Ini diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan
Medik (pasal 7 ayat2 dan3).
4. Sesuatu yang halal
Ini tidak berkaitan dengan kepercayaan ata.u agarrra. Yang dimaksud
dengan halal di sini adalah sesuatu perikatan yang tidak melanggar hukum,
Contoh klasik adalah melakukan pengguguran kandungan yang ilegal, atau
mengu[ah wajah secara operasi kosmetik untuk menghindari penangkapan
oleh polisi, atau menghilangkan sidikjari, dan lainlain.

Pembotqlqn Perretuiuqn
Persetujuan terapeutik tidak selamanya berjalan mulus. Kadang-kadang dapat
terjadi salah satu pihak tidak mau melanjutkan transaksi di bidang pengobatan ini.
Umumnya yang tidak mau melanjutkan'transaksi ini adalah dari pihak pasien
ataupun keluarga. Pada pasien berobatjalan, hal ini mudah dilakukan pasien. Tidak
lagi berkunjung untuk pemeriksaan ulang merupakan tindakan pemutusan ikatan.
Namun, bila ini terjadi pada pasien sedang dalam perawatan, dokter harus hati-
hati. Membiarkan pasien pulang walau semua biaya perawatan telah dilunasi
adalah tindakan gegabah Dulu sering dokter hanya meminta pasien atau keluarga
menandatangani di dalam rekam medik "pulang atas permintaan sendiri" atau
kadang-kadang hanya ditulis kependekannya "Papsi'
Biarpun ini sudah memadai, narnun akan lebih baik bila pembatalan persetujuan
semula dilakukan secara benar, yaitu melalui pembatalan secara resmi pula. Dalam
lembaran khusus dinyatakan bahwa dokter telah menjelaskan keadaan pasien dan
tindakan yang diperlukan, namun pasien dan keluarga meminta pulang dengan
segala risiko di luar tanggungjawab dokter. Lembaran pembatalan seperti ini akan
mempunyai kekuatan hukum lebih kuat (lihat lampiran formulir tentang surat
pernyataan penolakan untuk tindakan operasi, tindakan medis lainlrawat inap,
hlm.285-288).
Suatu pertanyaan, apakah mungkin pihak dokter yang memutuskan persetujuan
tersebut? Jawabnya, bisa saja. Bila dokter menghadapi pasien yang sudah tidak
kooperatif dan tidak yakin lagi akan upaya pengobatannya, dokter dapat angkat
tangan dan meminta pasien berobat kepada dokter lain. Dalam hal ini sebaiknya
dokter menyertakan resume akhir untuk dokter yang akan melanjutkan pengobatan
dan perawatan.
Masalah yang diutarakan di atas adalah sesuai dengan ketentuan pasal 1338
KUH Perdata.
Pasal 1338 KUH Perdata
"Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak bisa ditarik kembali selain dengan
Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

sepakat kedua belah pihak atau alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan
cukup untuk itu. Persetujuan harus dilakukan dengan itikad baikl'
Dalam pasal ini jelas dinyatakan bahwa persetujuan yang telah terjadi tidak
dapat dibatalkan begitu saja karena persetujuan yang kita sebut sebagai transaksi
atau kontrak terapeutik, berlaku sebagai undang-undang.
Namun, kadang-kadang pembatalan ini tidak selalu berjalan mulus. Oleh karena
itu, dalam pemutusan transaksi terapeutik, dokter perlu berhati-hati terhadap risiko
yang mungkin timbul di kemudian hari.
Pembatalan ini tidak selamanya harus tertulis sebab keadaan atau alasan-alasan
yang oleh undang-undang dinyatakan cukup, juga akan merupakan bukti bahwa
persetujuan tersebut telah batal.
Hm DAN KrwNrsnn DoxrER DAN Pllen

Tuiuqn lnrtruhrionsl Khurur


l. Menjelsshon secqro singhqt hqh-hoh qsqsi mqnusio.
2. Menyebuthon hah-hqh pqsien beserto penjelosonnyq.
3. Menyebuthon hewojibqn-hewojibon posien beserto penielqsonnyo.
4. Menyebuthan hewqjibon-hewojibon dohter seruoi dengqn KODEKI.
5. Menyebuthon hqh-hqh dohter besertq penjelosonnyo.
6. Memberihqn contoh-contoh kqsus pelsnggqrqn hoh posien dqn hqh
dohter.
Pohoh Bqhqrsn
l. Dehlorosi UniversolPBB (1948).
2. Hoh don hewqjibon pssien.
'9. Kewqjibsn don hqh dohter.
fub-Pohoh Bqhsrsn
l. Dehlorqri Universol pBB (1948) tentong hoh osqsi monusio.
2. Informosi, hqh pqsien yqng utomo.
3. Hqh posien menolsh tindohqn medih.
4. Kewqjibsn posien untuh membqntu penyembuhonnyo.
5. Kewqjibqn dohter (KODEKI).
6. Hoh dohter memperoleh informqsiyong benor, memerihso posien,
merujuh, don mengeluqrhqn surot-surqt heterqngon.
7. Hqh dohter untuh beherjq dengon tenterom, menoloh tindohqn
medih yqng ilegol, memelihqrq hesehqtqnnyo, pendidihqn hedohteron
berhesinombungon, dqn menerimq imbolon joso.
8. Contoh-contoh hosus pelonggoron hoh posien dqn hqh dohter.

47
48 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

Akhir-akhir ini keluhan masyarakat terhadap para dokter makin sering terdengar,
antara lain mengenai kurangnya waktu dokter yang disediakan untuk pasiennya,
kurang lancarnya komunikasi, kurangnya informasi yang diberikan dokter kepada
pasien./keluarganya, dan tingginyabiayapengobatan. Hal ini disebabkan oleh me-
ningkatnya taraf pendidikan dan kesadaran hukum masyarakat, yaitu masyarakat
lebih menyadari akan haknya seiring dengan munculnya masalah-masalah hak
asasi manusia di seluruh dunia, lebih-lebih dalam dasawarsa terakhir ini. Memang
suatu rnasyarakat akan tertib dan tenteram jika setiap anggotanya memahami,
menghayati dan mengamalkan hak dan kewajibannya masing-masing. Demikian
pula dalam suatu kontrak terapeutik antara dokter dan pasien, tiap-tiap pihak
mempunyai hak dan kewajibannya. KODEKI sekarang ini, hanya berisikan
kewajiban-kewajiban dokter dan belum memuat hak dokter, begitu pula belum
termasuk semua hak dan kewajiban pasien. Karena itu, perlu dikaji hal-hal tersebut,
yang menyangkut hubungan dokter dengan pasien, sehingga tidak selalu me-
nimbulkan konflik yang merisaukan kedua belah pihak.

Hqh Pqrien
Rumusan hak pasien tidaklah sekali jadi, melainkan melalui tahap-tahap per-
kembangannya.Dalam Perang Dunia II banyak orang Yahudi dibunuh oleh orang-
orangJerman dan orang orang Asia dibunuh oleh orangJepang secara kejam dan
tidak berperikemanusiaan. Setelah perang hak asasi manusia menjadi.pusat per-
hatian, seiring dengan banyaknya negara-negarateqajahyang menjadi merdbka.
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar R.I. 1945 dengan tegas dicantumkan
Sila ke-2 Pancasila, yaitu"kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam "Declarahbn
ofHuman Rtghtf'Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB, 1948) dengan jelas dirumus-
kan hak-hak asasi manusia,yangantaralain berbunyi sebagai berikut.
. Setiap orang dilahirkan merdeka dan memiliki hak yang sama. Mereka dikaruniai
akal dan budi dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.
. Manusia dihormati sebagai manusia tanpa memperhatikan wilayah asal dan
keturunannya.
. Setiap orang tidak boleh diperlakukan secara kejam.
. Setiap orang diperlakukan sama di depan hukum dan tidak boleh dianggap
bersalah, kecuali pengadilan telah menyalahkannya.
. Setiap orang berhak mendapat pendidikan, pekerjaan, dan jaminan sosial.
. Setiap orang berhak memberikan pendapat.
r Setiap orang berhak mendapat pelayanan dan perawatan kesehatan bagi diri-
nya dan keluarganya, juga jaminan ketika menganggur, sakit, cacat, menjadi
janda, usia lanjut atau kekurangan nafkah yang disebabkan oleh hal-hat di luar
kekuasaannya.

Beberapa keputusan pengadilan telah pula memberi bentuk pada hak-hak pasien
yang dipedomani dewasa ini. yairu
1. Kasus Schloendorf v.s. Society of New York Hospitals (191a).
Dalam kasus ini, dokter telah lancang mengangkat suatu tumor fibroid,
sedangkan pasien hanya memberi izin untuk pemeriksaan abdomen, yang
Aal 7 Hoh don Kewojibon Dohter don Posien

pada waktu itu dilakukan dengan memberikan anestesi (examination under


anaesthesia). Walaupun pasien dengan tegas telah menyatakan bahwa ia tidak
mau dibedah, narnun dokter itu telah melakukannya juga, mungkin karena
menganggap untuk kepentingan pasien sendiri. Atas gugatan itu hakim
Benyamin Cordozo yang menjadi terkenal ucapannya dan sampai kini masih
sering dikutip adalah: "Setiap manusia yang dewasa dan sehat berhak me-
nentukan apa yang hendak dilakukan terhadap badannya sendiri, seorang
spesialis bedah yang melakukan suatu pembedahan tanpa izin pasien, dianggap
telah melakukan pelanggaran hukum, dan harus bertanggung jawab atas ke-
rugiannyaJ'

2. Kasus Salgo vs. Leland StanfordJr, University Board of Tirrstees


(1e57).
Dalam kasus ini, pengadilan berpendapat bahwa dokter memiliki kewajifan
untuk mengungkapkan setiap fakta penting untuk menjadi dasar pembuatan
suatu izin (persetujuan) oleh pasien terhadap pengobatan yang disarankan.
3. Kasus Natanson vs. Kline (1960)
Oleh hakim dikatakan bahwa doker berkewajiban untuk mengungkapkan dan
menjelaskan kepada pasien dalam bahasa sesederhana mungkin, sifat penyakit-
nya, sifat pengobatan yang disarankan, alternatif pengobatan, kemungkinan
berhasil dan risiko yang dapat timbul, serta komplikasi-komplikasi yang tidak
dapat diduga.
Begitulah dalam hubungan dokter dengan pasien, pasien memiliki hak-haknya
yang harus dihormati oleh para dokter. Hak-hak asasi itu dapat dibatasi atau
dilanggar apabila tidak.bertentangan dengdn peraturan perundangan-undangan
yang berlaku, misalnya persetujuan untuk tindakan medik, persetujuan menjadi
donor dalam tindak transplantasi (untuk kepentingan orang lain) atau kesediaan
ikut dalam penelitian biomedik. Kadang-kadang atas perintah undang-undang hak
asasi itu dilanggar, seperti wajib berperan serta dalam kegiatan imunisasi, karena
adanya wabah.
Dalam KODEKI terdapat pasal-pasal tentang kewajiban dokter terhadap pasien
yang merupakan pula hak-hak pasien yang perlu diperhatikan. Pada dasarnya hak-
hak pasien adalah sebagai berikut.
1. Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri, dan hak untuk mati secara
wajar.
2. Memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai dengan standar
profesi kedokteran.
3. Memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari dokter yang
mengobatinya.
4. Menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan, bahkan dapat
menarik diri dari kontrak terapeutik.
5. Memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran yang akan diikutinya.
6. Menolak atau menerima keikutsertaannya dalam riset kedokteran.
Etiho Kedohterqn don Huhum Rerehoton

7. Dirujuk kepada dokter spesialis kalau diperlukan, dan dikembalikan kepada'


dokter yang merujuknya setelah selesai konsultasi atau pengobatan untuk
memperoleh perawatan atau tindak lanjut.
8. Kerahasiaan dan rekam mediknya atas hal pribadi.
9. Memperoleh penjelasan tentang peraturan rumah sakit.
10. Berhubungan dengan keluarga., penasihat, atau rohaniwan, dan lainJain yang
diperlukan selama perawatan di rumah sakit.
11. Memperolehpenjelasantentangperincianbiayarawatinap,obat,pemeriksaan
Iaboratorium, pemeriksaan Rontgen, ultrasonografi (JSG), CT -scan, Magnetic
Resonance Imagrng (MRD, dan sebagainya, ftalau dilakukan) biaya kamar
bedah, kamar bersalin, imbalan jasa dokter, dan lainJainnya.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa hak memperoleh informasi atau penjelasan
merupakan hak asasi pasien yang paling utama, bahkan dalam tindakan-tindakan
khusus diperlukan Persetujuan Tindakan Medik (PTM) yang ditandatangani oleh
pasien dan/ atat keluarganya.
Tidak dapat disangkal bahwa dalam hubungan dokter dengan pasien, posisi
dokter adalah dominan jika dibandingkan dengan posisi pasien yang awam dalam
bidang kedokteran. Dokter dianggap memiliki kekuasaan tertentu dengan penge-
tahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Namun, dengan berkembangnya era
globalisasi yang ditandai dengan pesatnya kemajuan dalam bidang informasi,
komunikasi dan transportasi, masyarakat telah bertambah pengetahuannya tentang
kesehatan dan bagaimana carany^ untuk tetap hidup sehat.
Dalam memberikan informasi kepada pasien, kadang kala agak sulit menentu-
kan informasi yang mana yang harus diberikan, karena sangat bergantung pada
usia, pendidikan, keadaan umum pasien dan mentalnya. Namun, pada umumnya
dapat dipedomani hal-hal berikut.
1. Informasi yang diberikan haruslah dengan bahasa yang dimengerti oleh
pasien.
2. Pasien harus dapat memperoleh informasi tentang penyakitnya, tindakan-
tindakan yang akan diambil, kemungkinan komplikasi dan risiko-risikonya.
3. Untuk anak-anak dan pasien penyakit jiwa, informasi diberikan kepada orang
tua atau walinya.

Siapakah yang berkewajiban memberikan informasi? Pihak paling tepat tentulah


yang paling mengetahui keadaan pasien. Dalam hal ini, dokter yang bertanggung
jawab terhadap perawatan pasien. Dalam kasus perawatan yang dilakukan oleh
lebih dari satu dokter, misalnya pada persalinan dengan seksio sesarea, mengenai
persalinan dijelaskan oleh dokter spesialis obstetri dan ginekologir mengenai
anestesi oleh dokter spesialis anbstesi, dan mengenai bayinya setelah lahir oleh
dokter spesialis anak. PenandatangananPTM pada kasus ini, juga dipisahkan antara
PTM untuk pembedahan dan untuk anestesi. Untuk tindakan seksio sesarea harus
diinformasikan pula bahwa kadang-kadang terpaksa dilakukan tindakan histerek-
tomi langsung setelah tindakan seksio, misalnya karena perdarahan sehingga dalam
PTM yang ditandatangani itu sekaligus telah dicantumkan kemungkinan tindakan
histerektomi
8a/ 7 Hoh don Kewojibon Dohter don Posien

Apakah pasien yang menderita tumor ganas misalny4 jvga diberitahukan


keadaan yang sebenarnya kepada pasien? Seharusnya diberitahukan, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Tirjuannya adalah 4gar pasien dapat berobat
dengan cepat dan tepat jika stadium rumornya masih dini dan'jika stadium lanjut
dengan prognosis yang buru[ pasien dapat mempersiapkan diri menghadap
Tirhan, Maha Penciptanya. Selain itu, di negara-negaramaju dan juga di Indonesia
telah ada rumah sakit khusus untuk penyakit kanker sehinggajika pasien dirujuk ke
sana, dengan sendirinya pasien mengetahui penyakit yang dideritanya;jadi lebih
baik diberi tahu saja lebih dahulu.
Dalam Undang-undang R.I. No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
pasal52 dinyatakan bahwa hak-hak pasien adalah mendapatkan penjelasan secara
lengkap tentang tindakan medis, meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain,
mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, menolak tindakan medis,
dan mendapatkan isi rekam medis.
Berikut ini adalah beberapa contoh kasus kurangnya perhatian dokter terhadap
hak-hak pasien dan kurang harmonisnya hubungan antar dokter.
1. Ny.A., berumur 35 tahun, isteri muda seorang pedagang, menderita gangguan
psikosomatik. Ia telah melakukan "doctor sl'ttppingl',berobat dari satu dokter
ke dokter yang lain, di antaranya 2 Dokter Spesialis Penyakit Dalam (SpPD)
dan 4 Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi (SpOG). Keluhannya banyak
tetapiyaig utama adalah rasa nyeri di perut bagran kiri bawah. Perneriksaan
fisik umum, pemeriksaan ginekologi[ laboratorium, pemeriksaan dengan
USG dan Pap smear, pernah dilakukan oleh berbagai dokter itu. Seorang
SpOG menganjurkan untuk pembedahan. Dokter-dokter spesialis lain tidak
memberikan penjelasan.apapun kepadanya dan hanya memberikan resep.
Obat-obat yang diberikan banyak jenisnya dan sebagian dibawa ke prakik
kami. Setelah anamnesis yang memakan waktu panjang (ciri khas pasien
gangguan psikosomatik), dilakukan pemeritsaan fisik umum dan ginekologik;
ternyata tidak dijumpai kelainan. Pasien diberikan penjelasan seperlunya.
Kepadanya tidak diberikan resep baru dan dirujuk ke SpPD, Sub-Bagian
Psikosomatik
Pada kasus tersebut di atas, tidak diberikannya informasi kepada pasien
baik mengenai keadaan penyakitnya maupun tentang obat-obat yang di-
terimanya dapat menimbulkan kecemasan dan interahsi obat yang dapat
merugikan pasien. Akan tetapi, mungkin juga ada dokter yang memberikan
penjelasan kepadanya, narnun pasien tidak berterus terang kepada dokter
berikutnya (takut dokternya marah) sehingga banyak pemerilsaan diulang
kembali dan diberikan obat-obat yang bersamaan.

' 2. Seorang pasien menderita diare pada suatu malam, tanggal23 Juli 1992, dan
karena disertai kepala rasa berputar iajatuh di kamar mandi, dibawa ke UGD-
RSCM. Seorang dokter muda (Ko-asisten) yang tugas jaga memeriksanya,
disusul seorang perawat dan seorang dokter muda lain yang mengukur ulang
tekanan daruhnya. Hasil pengukuran tekanan darah tersebut berbeda-beda.
Perawat mengatakan normal, sedangkan 2 orang dokter muda tidak mem-
berikan informasi. Thnpa melihat dan apalagi memeriksa pasien, dokter jaga
Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

yang menerima laporan dari dokter muda, langsung memerintahkan mereka


memasang infus dan sonde lambung. Pasien dianjurkan rawat inap. Karena
tidak ada tempat tidur yang kosong, pasien dibawa ke RSGS.
Pasien berjalan ke mobil dengan infus dan sonde lambung dan selanjutnya
diantar ke RSGS. Setibanya di RSGS pasien diperiksa langsung oleh dokter
yang bertugas. Setelah membaca surat rujukan dari RSCM, dokter menjelas-
kan bahwa pasien dalam keadaan baih infusnya tidak perlu dilanjutkan dan
sonde lambungnya dikeluarkan. Pasien dibenarkan untuk pulang. (Media
Indonesia, 27 Juli t992).
Dari kasus di atas dapat dilihat bahwa pasien tidak memperoleh pelayan-
an kedokteran sesuai standar medik di RSCM; antara dokter dan pasien tidak
pula terdapat komunikasi, apalagl memperoleh informasi tentang penyakit-
nya.
3. Sepasang suami-isteri infertil berobat pada SpOG karena belum memiliki
anak setelah menikah selama 3 tahun. Pada analisis semen suami, dljumpai
oligospermi dan lekospermi. Pasien dirujuk kepada seorang Dokter Spesialis
Kulit dan Kelamin (SpKK). Setelah sebulan berobat, pasangan suami isteri
tersebut datang kembali ke SpOG dan menceritakan bahwa sang suami
mendapat suntikan obat mahal 3x seminggu (ternyata perawat yang me-
n1'untik menunjukkan ampul Amikin kepadanya, tetapi tidak mengetahui
sakit apa). Ketika ditanyakan balasan konsul dari SpKK, pasien menyatakan
bahwa SpKK tersebut tidak mau memberinya, bahkan berkata: "Kalau tidak
mau terus berobat pada saya, kembali saja ke SpOGI'Dalam hal ini, SpOG
tidak dapat meneruskan pemeriksaan dan pengobatan pada pihak isteri
karena tidak ada informasi tentang penyakit suaminya dari SpKK yang telah
memeriksanya lebih lanjut.
Dari kasus di atas ini dapat dilihat bahwa SpKK tidak memperhatikan hak
pasiennya untuk memperoleh informasi dan juga tidak etis terhadap se-
jawatnya SpOG karena tidak memberikan jawaban konsul yang merupakan
kewajibannya terhadap teman sejawatnya.

Kewqiibon Pqsien
Jika ada hak, tentu ada kewajiban. Dalam kontrak terapeutik antara pasien dan
dokter, memang dokter mendahulukan hak pasien karena tugasnya merupakan
panggilan perikemanusiaan. Namun, pasien yang telah mengikatkan dirinya de-
ngan dokter, perlu pula memperhatikan kewajiban-kewajibannya sehingga hubung-
an dokter dan pasien yang sifatnya saling hormat-menghormati dan salingpercaya-
mempercayai terpelihara baik.
Kewajiban-kewajiban pasien pada garis besarnya adalah sebagai berikut'
1. Memeriksakan diri sedini mungkin pada dokter.
Masyarakat perlu diberi peny'uluhan, bahwa pengobatan penyakit pada stadium
dini akan lebih berhasil dan mengurangi komplikasi yang merugikan. Penyakit
kanker stadium dini jelas pada umumnya dapat sembuh jika diberikan terapi
yang tepat, sedangkan pada stadium lanjut prognosisnya lebih buruk. Kadang
8a/ 7 Hah don Kewojibon Dohter don Fosien 53

kala pasien/keluargarya membangunkan dokter pada tengah malam buta,


padahal ia telah menderita penyakit beberapa hari sebelumnya. Walaupun
dokter harus siap melayani pasien setiap waktu, alangkah baiknya jika pasien
dapat berobat padajam kerja. Sebagai seorang manusia biasa dokter me-
merlukan juga istirahat yang cukup. Lain halnya dengan kasus gawat darurat
(emergenty case)

2. Memberikan informasi yang benar dan lengkap tentang


peiryakitnya.
Informasi yang benar dan lengkap dari pasien/keluarga merupakan hal yang
penting bagi dokter dalam membantu menegakkan diagnosis penyakit. Bila
dokter dituntut malprakti[ tuntutan dapat gugur jika terbukti pasien telah
memberikan keterangan yang menyesatkan atau menyembunyikan hal-hal
yang pernah dialaminya; tidak memberitahukan obat-obat yang pernah
diminumnya sehingga terjadi interaksi obat misalnya.
3. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter.
Pasien berkewajiban mematuhi petunjuk dokter tentang makan berpantang,
minum, pemakaian obat-obat, istirahat, kerja, saat berobat berulang, dan lain-
lain. Pasien yang tidak mematuhi petunjuk dokternya, keberhasilan peng-
obatannya akan menjadi berkurang.
4. Menandatangani surat-surat PTM, suratjaminan dirawat di rumah
sakit, dan lainJainnya.
Dalam kontrak terapeuti[ ada tindakan medik, baik untuk tujuan diagnosis
maupun untuk terapi yang harus disetujui oleh pasien atau keluarganya, setelah
diberi penjelasan oleh dokter. Surat PTM yang sifatnya tulisan, harus ditanda-
tangani oleh pasien dan/atat keluarganya.
5. Yakin pada dokternya, dan yakin akan sembuh.
Pasien yang telah mempercayai dokter dalam upaya penyembuhannya, ber-
kewajiban menyerahkan dirinya untuk diperiksa dan diobati sesuai kemampuan
dokter. Pasien yang tidak yakin lagi pada kemampuan dokternya, dapat me-
mufuskan kontrak terapeutik atau dokternya sendiri yang menolak meneruskan
perawatan.

6. Melunasi biaya perawatan di rumah sakit, biaya pemeriksaan dan


pengobatan,serta honorarium dokter.
Perlu ditekankan di sini, bahwa imbalan untuk dokter merupakan penghargaan
yang sepantasnya diberikan oleh pasien/keluarga atas jerih payah seorang
dokter. Kewajiban pasien ini haruslah disesuaikan dengan kemampuannya dan
besar kecilnya honorarium dokter tidak boleh memengaruhi dokter dalam
memberikan pelayanan kedokteran yang bermutu, sesuai standar pelayanan
medik. Memang ada juga pasien yang main kucing-kucin$an, terutama pasien
yang dirawat di rumah sakit, ia ingin dirawat di Kelas \4P atau Kelas I, tetapi
honorarium untuk dokter minta dikurangi seperti untuk pasien di Kelas III. Ini
tentulah kurangfan
54 Etiho Kedohteron don Huhum Ksehoton

Dalam Undang-undang R.L No. 29 tahun 2004 tentang Praktik'Kedokteran pasal


53 dinyatakanbahwa kewajiban pasien adalahmemberikan informasi yang lengkap
dan jujur tentang masalah kesehatannya, mematuhi nasihat dan petunjuk dokter
atau dokter gigi, mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan,
dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima'

Kewoiibqn Dohter
Doktd yang membaktikan hidupnya untuk perikemanusiaan tentulah akan selalu
lebih mengutamakan kewajiban di atas hak-hak ataupun kepentingan pribadinya.
Dalam menjalankan tugasnya, bagi dokter b erlaku %egroti Salus Lex Suprema",yang'
berarti keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi (yang utama). Kewajiban
dokter yang terdiri dari kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban
terhadap teman sejawat, dan kewajiban terhadap diri sendiri telah dibahas secara
terinci dalam Bab 3 tentang Kode Etik Kedokteran.Indonesia.
Dalam Undang-undutrg No. 29 tahun2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal
51 dinyatakan bahwa kewajiban dokter atau dokter gigi adalah:
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian
atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan;
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia.;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakiri pada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran
atau kedokteran gigi.

Hqh Dohter
Sebagai manusia biasa dokter memiliki tanggung jawab terhadap pribadi dan
keluarga, di samping tanggung jawab profesinya terhadap masyarakat. Kareria itu,
dokter juga memiliki hak yang harus dihormati dan dipahami oleh masyarakat
sekitarnya.
Hak-hak dokter adalah sebagai berikut.
1. Melakukan praktik dokter setelah memperoleh Surat Izin Dokter
(SID) dan Surat Izin Praktik (SIP).
Dalam PP No. 58 tahun 1958 telah ditetapkan tentang wajib daftar ijazah
dokter dan dokter gigi baru, yang disusul dengan Peraturan Menteri Kesehatan
RI No. 560,/Menkes /Per,4/1981 tentang pemberian izin menjalankan
pekerjaan dan,izin praktik. bagi dokter umum dan No. 56UMenkes/Pet/
X/Lg8ltentang pemberian izin menjalankan pekeq'aan dan izin praktik bagi
dokter spesialis. Menurut Pasal 7 UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran sehingga kini tugas registrasi dokter dan dokter gigi dilakukan
oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Dengan demikian, dokter yang telah
memperoleh surat tanda registrasi tersebut memiliki wewenang melakukan
?a/ 7 Hah don Kewojibon Dohter don Posien

praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki


(Pasal 35).

Memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasien,/


keluarga tentang penyakitnya.
Informasi tentang penyakit terdahulu dan keluhan pasien yang sekarang di-
deritanya, serta riwayat pengobatan sebelumnya sangat membantu dokter
untqk menegakkan diagnosis yang pasti. Setelah diperoleh anarnnesis, dokter
berhak melanjutkan pemeriksaan dan pengobatan walaupun untuk prosedur
tertentu memerlukan PTM.
Bekerja sesuai standar profesi.
Dalam upaya memelihara kesehatan pasien, seorang dokter berhak untuk
bekerja sesuai standar (ukuran) profesinya sehingga ia dipercaya dan diyakini
oleh masyarakat bahwa dokter bekerja secara profesional,
MenoLak melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan
etifta, hukum, agama, dan hati nuraninya.
Hak ini dimiliki dokter untuk menjaga martabat profesinya. Dalam hal ini
berlaku "Sa saence et sa consaence", ya ilmu pengetahuan , dan ya hati nurani.

Mengakhiri hubungan dengan seorang pasien jika menurut


penilaiannya kerja sama pasien dengannya tidak bergu* l"gi,
kecuali dalam keadaan gawat darurat.
Dalam hubungan pasien dengan dokter haruslah saling harga menghargai dan
saling percaya mempercayai. Jika instruksi yang diberikan dokter, misalnya
untuk meminum obat berkali-kali tidak dipatuhi oleh pasien dengan alasan
lupa, tidak enak dan sebagainya sehingga jelas bagi dokter bahwa pasien ter-
sebut tidak kooperatif Dengan demikian, dokter mempunyai hak memutuskan
kontrak terapeutik.
Menolak pasien yang bukan bidang spesialisasiny+ kecuali
dalam keadaan darurat atau tidak ada dokter lain yang mampu
menanganinya.
Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran ter-
tinggi. Dengan demikian, seorang dokter yang telah mengu.asai sesuatu bidang
spesialisasi, tentunya tidak mampu memberikan pelayanan kedokteran dengan
standar tinggi kepada pasien yang bukan bidang spesialisasinya. Karena itu,
dokter berhak menolak pasien tersebut. Namun, untuk pertolongan pertama
pada kecelakaan ataupun untuk pasien-pasien gawat darurat, setiap dokter
berkewajiban menolongnya apabilatidak ada dokter lain yang menanganinya.
Hak atas kebebasan pribadi @nbacy) dokter.
Pasien yang mengetahui kehidupan pribadi dokter, perlu menahan diri untuk
tidak menyebarluaskan hal-hal yang sangat bersifat pribadi dari dokternya.
Ketenteraman bekerja.
Seorang dokter memerlukan suasana tenteratn agar dapat bekerja dengan baik
Permintaan yang tidak wajar dan sering diajukan oleh pasien/kelaarganya,
Etiho Kedokteron don Huhum Kesehoton

bahkan disertai tekanan psikis atau fisih tidak akan membantu dokter dalam
memelihara keluhuran profesinya. Sebaliknya, dokter akan bekerja dengan
tenteram jika dokter sendiri memegang teguh prinsip-prinsip ilmiah dan
mord./etika profesi.

9. Mengeluarkan surat-surat keterangan dokter.


Hampir setiap hari kepada dokter diminta surat keterangan tenlang kelahiran,
kematian, kesehatan, sakit, dan sebagainya. Dokter berhak menerbitkan surat-
surat keterangan tersebut yang tentunya berlandaskan kebenaran. Mengenai
hal ini dibahas secara mendalam dalam Bab 13 tentang Surat-Surat Keterangan
Dokter.

10. Menerirna irnbalan jasa.


Dokter berhak menerima imbalan jasa dan pasien/keluarganya berkewajiban
memberikan imbalan jasa tersebut sesuai kesepakatan. Hak dokter menerima
imbalan jasa bisa tidak digunakan pada kasus-kasus tertentu, misalnya pasien
tidak mampu, pertolongan pertama pada kecelakaan, dari teman sejawat dan
keluarganya.

11. Menjadi anggota perhimpunan profesi.


Dokter yang melakukan pekeq'aan profesi perlu menggabungkan dirinya dalam
perkumpulan profesi atau perhimpunan seminat dengan tujuan untuk me-
ningkatkan iptek dan karya dalam bidang yang ditekuninya serta menjalin
keakraban antara sesama anggota.

l2.IIak membela diri.


Dalam hal menghadapi kelufan pasien yang merasa tidak puas terhadapnya,
atau dokter bermasalah, dokter mempunyai hak untuk membela diri dalam
lembaga tempat ia bekerja (misalnya rumah sakit), dalam perkumpulan tempat
ia menjadi anggota (misalnya IDI), atau di pengadilan jika telah diajukan
gugatan terhadapnya.
Hak serta kewajiban pasien dan dokter perlu disosialisasikan di kalangan dokter
dan di tengah-tengah masyarakat agar tiap-tiap pihak dapat memahami, meng-
hayati, menghormati, dan mengamalkannya. Dengan demikian, diharapkan hu-
bungan pasien dengan dokter dapat berlangsung dengan baik dan masyarakat pun
akan bebas dari keresahan.
Dalam Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal
50 dinyatakan bahwa hak-hak dokter adalah memperoleh perlindungan hukum
sepanjang melaksanakan tugas, memberikan pelayanan medis sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional, dan mernperoleh informasi yang
lengkap danjujur dari pasien atau keluarganya.
hrslr-lr,r lrun Doxren

Tuiuqn lnrtruhrionql Khurut


l. Menjeloshon perbedoqn qntorq imbolon joso dohter dengon usoho
'loinnyo.
z. Menyebuthqn goris-goris besqr pedomon imbolqn iqso dohter.
3. Menguroihqn hql-holyong dilorong mengenoi imbolon jqsq dqlom
tronsqhsi teropeutih.

Pohoh Bqhqrqn
l. lmbolqn jqsq dohter dqn heuntungon pribodi.
2. Goris besor pedomqn imbolon joso dohter
3. Hql-holyqng dilqrqng mengenqi imbolon jqso.
4. lmbqlon josq yqng loyoh.
Jub-Pohoh Bqhasqn
l. lmbqlqn jqso dohter don torif podo peloyonon joso loinnyo.
2. lmbolon joso yong loyoh.
3. Gqris besor pedomon imbolon joso dohter.
4. Hql'hol yqng dilorqng mengenoi imbolon joso dolqm trqnsqhsi
teropeutih.

57
Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

Dalam pasal 3 KODEKI dnyatakan bahwa "dalam melakukan peke{aan ke-


dokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang meng-
akibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi'i Profesi kedokteran lebih
menrpakan panggilan perikemanusiaan dengan mendahulukan keselamatan dan
kesehatan pasien serta tidak mengutamakan keuntungan pribadi. Walaupun salah
satu kewajiban pasien./keluarga dalam kontrak terapeutik adalah memberikan
imbalan jasa untuk dokter dan itu merupakan hak dokter, narnun tidak dapat
disamakan dengan imbalan jasa dalam usaha lainnya. Karena itu, dalam pelayanan
kedokteran tidak dikenal tarif dokter y^ng tetap ffix), tetapi yang wajar sesuai
kemampuan pasien,/keluarganya. Karena itu pula, imbalan jasa untuk dokter tidak
disebut upah ata:o gaji, tetapi disebut honorarium (pemberian yang diterima dengan
penuh penghormatan, honorab/e). Menurut Longman Dtbhbnary of Contemporary
English (1987), honoraium ls " a sun oltmoney ofiredforprofusional serztices,ifurdriclt
fo t*to* the person does not ash to be paid"
Akhir-akhir ini terlihat pergeseran daear profesi dokter dari ahrunn (tidak egois,
rela berbuat baih dan menolong orang lain) ke mateiahlsm. Dalam praktik sehari-
haritidak jarang seorang doker terlibat dalam berbagai godaan unfuk memperoleh
keuntungan pribadi, antara lain sebagai berikut.
1. Doker memperoleh persentase sebagai insentif dai biaya pemeriksaan
laboratorium, USG, Rontgen, CT:scan, MRI, dan pemeriksaan lain terhadap
pasien yang dirujuknya ke instalasi tersebut.
2. Dokter memperoleh persentase dan biaya kamar rawat inap rumah sakit,
tempat pasiennya dir aw at.
3. Dokter umum menerima insentif dari doker spesialis,/konsultan yang telah
memeriksa./menangani pasien yang dirujuknya.
4. Dokter spesialis di rumah sakit memberikan imbalan kepada tenaga paramedik
yang jaga karena merujuk pasien " tidak berman" kepada dokter spesialis
tersebut, walaupun ia bukan dokterjaga.
5. Dokter spesialis memberikan imbalan kepada tenaga paramedik karena meng-
attr agar pasien-pasien di rumah sakit pendidikan diiadikan pasien pribadi
dokter spesialis tersebut di rumah sakit swasta.
6. Pasien meminta agar imbalanjasa dokter dinaikkan dan sisa antarajasa dokter
sebenarnya dan yang dicantumkan dibagi 50-50V0 antara dokter dan pasien.
7. Dokter memperoleh imbalan dari perusahaan farmasi yang mengikat dokter
untuk menggunakan produk perusahaan tersebut secara terus menerus.
8. Dokter melakukan tindakan medik (diagnostik dan/atau terapi) yang tidak
diperlukan (oaer imtestigation dan atau ouer treatmen).
9. Dokter menyuruh pasien berobat ulang atau berkunjung ke rumah pasien
berkali-kali tanpa indikasi yang jelas.
10. Dokter menjaring keuntungan melalui uji klinis.

Fedomqn lmbqlon lqrq Dohter


Ada yang rnenyarankan imbalan jasa untuk dokter disesuaikan dengan harga
bahan pokok makanan fteras). Untuk konsultasi pada dokter umum kira-kira
&l I lmbalan Jslq Dohter

seharga 10 kgberas rata=r&ta, sedangkan untuk dokter spesialic ceharga 20 kgberas


ruta-rata, Pada waktu ini banyak rumah eakit di Indonesia telah memiliki tarif
rumah sakit untuk satu kali kunjungan dokter, biaya peroalinan normal, biaya
operasi keeil, sedang dan besar, biaya pemeriksaan penunjang yang dioeouaikan
dengan kemampuan pasien. Ada dokter yangmenyediakan kotak di tempatpraktik-
nya, dan pasien dapat memasukkan imbalan jasa seberapa marnpu dan ikhlas
setelah diperiksa dokter, Namun, jumlah dokter seperti ini dapat dihiarng dengan
jari, Di.daerah-daerah terpeneil imbalan jaca dok-ter kadang kala diberik-an dalam
bentuk natura sebagai tanda terima kasih.
Imbalan jasa untuk dokter pada gario besarnya berpedoman pada:
1. Kemampuan pasien/keluarga: ini dapat dinilai dari latar belakang peke{aan
pacien/keluarga, rumah saklt dan kelas tempat paoien dirawat dan apakah
imbalan jasa ditanggung pribadi atau perusahaan tempat pasien/keluarga
bekerja, atau oleh asuranai,
2. Sifat pertolongan yang diberikan: pelayanan kedokteran spesialistik tentu
memerlukan alx-alat yang eanggih sehingga imbalan. dapat ditingkatkan.
Imbalan jasa diperingan ataa dibebaskan pada pertolongan pertama pada
keeelakaan. Imbalan jasa dapat pula ditambahjika dokter dipanggil k-e nrmah
pasien.
3, Waktu pelayanan kedokteran; pada hari libur atau malam hari imbalan jaca
dapat ditambah, Sebaliknya paoien yang dirawat terlalu lama di rumah'caklt,
imbalan jasa sewajarnya dikurangi.

Imbalan jaoa yang jauh melebihi nilai wajar ataulazim tidak cesuai dengan mar-
tabat dan jabatan dokter, meokipun imbalan jasa tersebut seeuai dengan kesepakat-
an pasien/keluarga dengan dokternya. Seberiarnya yang lebih baik dalam me.
melihara hubungan dokter dengan pasiennya ialah adanya pihak ketiga dalam
menentukan imbalan jasa untuk berbagai jenis tindakan dokter, misalnya asuransi
kesehatan, dan pimpinan rumah eakit.
Imbalan jaoa untuk dokter tidak diminta dari teman sejawat (termaeuk dokter
grgr) dan keluarga kandungrrya, mahaoiswa kedokteran/kedokteran gigi, bidan,
perawat dan siapa pgp yang dikehendakinya (mipalnya, apoteker, pemuka agama,
aaEana kesehatan masyarakal, dan cemua yang alaab dengan dokternya),

Pcnlctqrsn
1. Pedoman dasar imbalan jasa doker ada-lah sebagai berik-ut.
a, Imbalan jasa dokter disesuaikan dengan kemampuan pasien, Kemampuan
pasien dapat diketahui dengan bertanya langsung dengan mempertimbang-
kan kedudukan/mata peneariann dan kelas di rumah eakit tempat pasien-
dlravrat,
b, Dari segi medik, imbalan jasa dokter ditetapkan dengan mengrngat karya
dan tanggung jawab dokter,
e, Besarnya imbalan jasa dokter dikomunikasikan dengan jelas kepada paoien.
Khususnya untuk tindakan yang diduga memerlukan bi ayabanyah"beoarnya
imbalanjasa dapat dikemukakan kepada paoien sebelum tindakan dilakukan,
60 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

dengan mempertimbangkan keadaan pasien. Pemberitahuan ini harus


dilakukan secara bl1'aksana agar tidak-menimbulkan rasa cemas atau ke-
bingungan pasien.
d. Imbalan jasa dokter sifatnya tidak mutlak dan pada dasarnya tidak dapat
diseragamkan. Dalam pasal 53 Undang-undang no. 29 tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran dinyatakan bahwa pasien dalam menerima pelayanan
praktik kedokteran mempunyai kewajiban memberi imbalan jasa atas pe-
layanan yang diterima.
Imtialan jasa dapat diperingan atau sama sekali dibebaskan, misalnya;
. Jika ternyata bahwa biaya pengobatan seluruhnya terlalu besar untuk
pasien.
'Kareha penl'ulit-penyulit yang tidak terduga,biaya pengobatan jauh di
luar perhitungan semula.
Keringanan biaya rumah sakit diserahkan kepada kebijaksanaan pengelola
rumah sakit.
e. Bagi pasien yang mengalami musitiah akibat kecelakaan, pertolongan
pertama lebih diutamakan dari pada imbalan jasa
Dalam hal ada ketidakserasian mengenai imbalan jasa dokter yang diajukan
kepada Ikatan Dokter Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia akan mendeirgarkan
kedua belah pihak sebelum menetapkan keputusannya.
Irnbalan dokter spesialis lebih besar bukan saja didasarkan atas kelebihan
pengetahrran dan keterampilan spesialis, melainkan juga atas kewajiban z
keharusan spesialis menyediakan alat kedokteran khusus untuk menjalankan
tugas spesialisasinya.
h. Imbalan jasa dapat ditambah dengan biaya perjalanan jika dipanggil ke
rumah pasien.
Jasa yang diberikan pada malam hari atau waktu libur dinilai lebih tinggi
dari biaya konsultasi biasa. Imbalanjasa dokter disesuaikan dengan keadaan
sehingga ketentuan imbalan jasa ini dapat berubah.
Dalam hal tersebut, ikutilah perasaan kemanusiaan. Janganlah menuntut
imbalan jasa lebih besar daripada yang disanggupi pasien dan mencari ke-
untungan dari penderitaan orang lain. Seorang dokter yang menerima
imbalan jasa yang besarnya jauh melebihi nilai yang lazim adalah tidak
sesuai dengan martabat jabatan. Menerima yang berlebihJebih itu, sedikit
banyak mengurangi wibawa dan kebebasan bertindak dokter tersebut ter-
hadap pasien.
Lain halnya dan tidak bertentangan dengan etik kalair seorang pasien
sebagai kgnang-kenangan dan tanda terima kasih dengan ikhlas memberi-
kan sesuatu kepada doktemya.
Tidak dibenarkan memberikan sebagian dari imbalan jasa kepada teman
sejawatnya yang mengonsultasikan pasien (dichotony) atau komisi untuk
orang yang langsung atau pun tidak langsung menjadi perantara dalam
hubungannya dengan pasien. Misalnya pengusaha hotel, bidan, dan perawat
yang mencarikan pasien (calo)
8a/ I lmbolon loso Dohter 6l

k. Imbalan jasa dokter yang bertugas memelihara kesehatin para karyawan


atau peke{a suatu perusahaan, dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
banyaknya karyawan dan keluarganya, frekuensi kunjungan kepada per-
usahaan tersebut, dan sebagainya. Dokter tidak mengunjungr perusahaan
secara berkala dan hanya menerima karyawan yang sakit di tempat praktik-
nya tidak jarang te{adi. Ada imbalan yang tetap besarnya tiap bulan, ada
yang menurut banyaknya konsultasi, atau kombinasi kedua cara tersebut.
l. Perkiraan imbalan jasa dokter ditentukan bersama oleh Kepala Kantor
Wilayah Departemen Kesehatan,/Dinas Kesehaian dan Ikatan Dokter
Indonesia setempat.
2. Hal-hal yang dilarang adalah sebagai berikut.
a. Menjual contoh obat ftee sample) yang diterima cuma-cuma dari perusaha-
an farmasi.
b. Menjuruskan pasien untuk membeli obat tertentu karena dokter yang
bersangkutan telah menerima komisi dari perusahaan farmasi tertentu.
c. Mengizinkan penggunaan narna dan profesi sebagai dokter untuk kegiatan
pelayanan kedokteran kepada orang yang tidak berhak. Misalnya, dengan
namanya melindungi balai pengobatan yang tidak memenuhi syarat yang
ditetapkan oleh Pemerintah.
d. Melakukan tindakan kedokteran yang tidak perlu atau tanpa indikasi yang
jelas karena ingin menarik pembayaran yang lebih banyak.
e. Kunjungan ke rumah pasien atau kunjungan pasien ke kamar praktik
hendaknya seperlunya saja agar jangan menimbulkan kesan seolah-olah
dimaksudkan untuk memperbanyak imbalan jasa. Hal ini perlu diperhatikan,
terutama oleh dokter perusahaan yang dibayar menurut banyaknya kon-
sultasi.
f Melakukan usaha untuk menarik perhatian umum dengan maksud supaya
praktik lebih dikenal orang lain dan pendapatannya bertambah, misalnya
mempergunakan iklan atau mengizinkan orang lain mengumumkan narna-
nya atalu hasil pengobatannya dalam surat kabar atau media massa lain.
g. Meminta dahulu sebagian atau seluruh imbalanjasa perawatan/pengobatan,
misalnya pada waktu akan diadakan pembedahan ata:u pertolongan ob-
stetrik
h. Meminta tambahan honorarium untuk dokter spesialis bedah/kebidanan
dan penyakit kandungan, setelah diketahui kasus yang sedang ditangani
ternyata sulit; yaitu pasien yang bersangkutan berada pada situasi sulit.
i. Menjual nama dengan memasang papan praktik di suatu tempat padahal
dokter yang bersangkutan tidak pernah atau jarang datang ke tempat
tersebut, sedangkan yang menjalankan praktik sehari-harinya dokter lain
bahkan orang yang tidak mempunyai keahlian yang sama dengan dokter
yang namanya terbaca pada papan praktik.
j. Mengeksploitasi dokter lain dengan pembagian persentasi imbalan jasa
tidak adil.
k Merujuk pasien ke tempat sejawat kelompoknya, walaupun di dekat tempat
praktiknya ada sejawat lain yang mempunyai keahlian yang diperlukan.
Remu Meor

Tuluan lnrtruhrlonql Khqrus


t. Menjelashon seJoroh don perhembongon reham medb (RM).
z. Menyebutkon percn, nllql/hegunEon don lsl RM.
3. Menjelqshqn tentqng lnformoslyong terhondung dElom RM.
4. MenjelEghon isl Permenhel No.749q Tqhun 1989 tentqng RM.
Fokoh Bqhqrqn
l. Perhembqngqn RM.
2. Perqn, hidqn lnformqrldErlRM.
fub-Poksh Bqhsrqn
t. Setqrqh don perhembqngon RM.
2. Pengertlqn, lil, dqn hegunEon RM.
3. lnformEsl helehqtqn dalom RM.
4. Pemlllh, herohqslqEn, dqn Iqmo penylmpqnqn RM.
5. Permenhes No.749q Tohun 1989 tentqng RM.
6. RM dqlqm pqsl46 tentEng Pemberlqn Peloyonon dolqm UUPK,
7. Lembqrqn-lembqron yEng dltqndotqngonl dohter.

62
€ad 7 Rehom Medit 63

Dalam pclayanan kedokteran/kesehata4, tcrutama yang dilakukan para dskter


baik di rumah sakit maupun praktik pribadi, peran peneatatan rekam medis (RM)
sangat penting dan sangat melekat dengan kegiatan pelayanan tersebut. Dengan
demikian, ada ungkapan bahwa RM adalah orang ketiga pada eaat dokter menerima
pasien, H'al tersebut dapat dipahami karena catatan demikian akan berguna untuk
merekam keadaan pasien, hasil pemeriksaan serta tindakan pengobatan yang
diberikan pada waktu itu. eatatan atau rekaman itu menjadi sangat berguna untuk
mengingatkan kembali dokter tentang keadaan, hasil pemeriksaan, dan pengobatan
yang telah diberikan bila pasien datang kembali untuk berobat ulang sctclah
beberapa hari, beberapa bulan, bahkan setelah beberapa tahun kemudian. Dengan
adanya RM, ia bisa mengingat ataa mengenali keadaan paoien saat diperiksa oe=
hingga lebih mudah melanjutkan strategi pengobatan dan perawatannya. Namun,
kini makin dipahami bahwa peran RM tidak terbatas pada asumsi yang dikemuka:
kan di atas, tetapi jauh lebih luas, Oleh karena itu, para tcnaga kesehatan masa kini
harus memahami dengan baik hal=hal yang berkaitan dengan RM.
Dalam pendidikan kedskteran waktu dulu, pengetahuan RM tidak diqjarkan
seeara khusus, eukuplah dari pengetahuan dan keterampilan yang didapatnya saat
bekerja di bangoal dari para senior atau dosen pembimbing" Oleh karena itu, sejak
tahun 1997 dalam kurikulum pendidikan dokter serta pendidikan ilmu kesehatan
lainnya, pengetahuan tcntang RM telah dimasukkan di dalam mata ajar Etika
Kedokteran dan Hukum Kesehatan.

lelsrqh dqn Ferhembengsn Rehsm Medil


Dari sebuah penemuan para arkeolog di dinding gua batu di Spanyol, didapat
peninggalan purba berupa lukisan mengenai tata earu praktik pengobatan, aRtara
lain tentang amputasi jari tangan, yang diduga telah berumur 25,000 tahun (pada
zaman palrolih'cum),
Kita tentu tidak tahu pasti apakah pelukis bermaksud untuk membuat lukisan
tersebut sebagai catatan untuk generasi selanjutnya, tentang bagaimana tataeara
pengobatan telah dilakukan pada zamannya, atau sckadar iseng merekam keadaan
itu dengan susah payah di dinding batu (l). Namun, para ahli mengang,gap lukisan
tersebut adalah sebagai salah satu bukti bahwa RM telah dilaksanakan sejak lama,
Buk-ti bahwa kegiatan RM mempunyai sejarah yang panjang terlihat dari ada-
nya berbagai jenis peninggalan eatatan berupa pahatan, lukisan pada dinding-
dinding piramid, tulang belulang, pohon, daun kering afau papyruc dari zaman
Mesir kuno (*3000:2000 tahun SM) yang menunjukkan bahwa dengan meningkat:
nya peradaban manusia, meningkat pula teknik,-teknik perekaman infbrmasi di
bidang kesehatan dan pengobatan,
Aesculapius, Hippokrates, Galen, dan lain=lain telah membuat eatatali, mengenai
penyakit pada kasus-kasuc yang ditemuinya" eina yang terkenal dengan penge:
tahuan leluhurnya dari ribuan tahun yang lalu tentang pemanfaatan tumbuh-
tumbuhan dan binatang untuk kesehatan, juga mempunyai Eetatan yang baik yang
direkam di daun lontar, kertas kulit kayu, dan lainJain, Avieenna (Ibnu Sina) yang
hidup pada tahun 980:1037 M banyak menulis buku=buku kedokteran yang
berkaitan dengan pengalamannya mengobati pasien,
Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

Di Indonesia juga dijumpai hal yang sama dengan adanya resep-resep jamu
warisan nenek moyang yang diturunkan dari generasi ke generasi melalui catatan
pada daun lontar dan sarana lain yang dapat digunakan sesuai dengan zarrrannya.
Di London, atas anjuran William Harvey, rumah sakit St. Batholomous pada
abad pertengahan telah melaksanakan RM pada pasien yang dirawat. Usaha ini
mendapat perhatian dan dukungan kerajaan.
Pada tahun 1913, doker Franllin H. Martin (ahli bedah), selain menggunakan
RM dalam pelayanan kedokteran,/kesehatan kepada pasien, juga menggunakan
RM sebagai alat untuk pendidikan calon ahli bedah.
Kini, kemajuan perekaman kegiatan di bidang kedokteran/kesehatan ini, tidak
saja tertulis di atas kertas, tetapi telah masuk ke era elektronik seperti komputer,
mikrofilm, dan pita suara lain. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kegiatan
pelayanan RM yang telah dilakukan sejak zarrran dulu, sangat berperan dalam
perkembangan dunia pengobatan.
Selain itu, orang banyak melupakan peran RM dalam informasi di bidang ke-
sehatan. Informasi apapun yang perlu diketahui di bidang kesehatan dapat digali
dari catatan yang ada di dalam RM. Karena itu, organisasi profesi yang bergerak
dalam bidang RM, Ferhimpunan Profesional Perekam Medis dan Informasi Ke-
sehatan Indonesia (PORMIKD yang telah berdiri di Indonesia sejak tahun 1989,
sangat menonjolkan aspek informasi ini dalam kegiatannya seperti yang terlihat
dari nama organisasi ini.
Pada masa sekarang, terlihat kemajuan yang pesat dalam pengelolaan dan
manajemen RM di rumah sakit-rumah sakit ataupun praktik pribadi. Bila pada
masa lalu terkesan siapa saja dapat ditunjuk untuk mengelola RM di RS, sekarang
diperlukan tenaga profesional di bidang ini. Makin disadari RM mempunyai ke-
dudukan yang strategis dalam manajemen RS masa kini.
Dalam UUPK diatur tentang kewajiban dokter dalam membuat RM dalam
pelayanan kesehatan dan sanksi hukum bagi dokter yang lalai dalam melaksana-
kannya.

Perhembqngsn RM di lndoneriq
Walaupun pelayanan RM di Indonesia telah ada sejak zaman penjajahan, namun
perhatian untuk pembenahan yang lebih baik dapat dikatakan mulai sejak di-
terbitkannya Surat Keputusan Menkes RI No. 0S7Birhtp/1972 yang menyatakan
bahwa semua rumah sakit diharuskan mengerl'akan medical record'ing dan rrpofttng
dan hospital statrstic. Keputusan tersebut kemudian dilanjutkan dengan adanya Ke-
putusan Menkes RI No. 034/Birhup/1972 tentangPerencanaan dan Pemeliharaan
Rumah Sakit.

Pada Bab I pasal 3 dinyatakan guna menunjang terselenggaranya rencana induk


(nasterplan) yang bai( setiap rumah sakit diwajibkan:
a. Mempunyai dan rnerawat statistik yang mutakhir
b. Membina RM yang berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
Selanjutnya, Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 134,/Menkes /SK/M78
tentang susunan organisasi dan tata kerja rumah sakit menyebutkan subbagian
€al I RehomMedis

pencatatan medik mempunyai tugas mengatur pelalsanaan kegiatan pencatatan


medik.
Dari keputusan-keputusan Menteri Kesehatan di atas, terlihat adanya usaha
serius untuk mulai membenahi masalah RM dalam usaha memperbaiki remrding,
,ePoxing hospital stattshbs dan lain-lain, yang kini kita kenal sebagai informasi
kesehatan.
Untuk mendukung peningkatan mutu dan peran RM dalam pelayanan ke-
sehatan,-IDl juga menerbitkan Fatwa IDI tentang RM, dalam SK No. 315/PB/
4.4/ 88, yang menekankan bahwa praktik profesi kedokteran harus melaksanakan
RM. Fatwa ini tidak saja untuk dokter yang bekerja di rumah sakit, tetapi juga
untuk dokter praktik pribadi (lihat Lampiran 1).
Serangkaian peraturan yang diterbitkan pemerintah mengenai RM, dipertegas
secara rinci dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 749.a/Menkes/Per/
Xll/1989 tentang RM (Medt:cal RecorQ sehingga RM mempunyai landasan hukum
yang kuat. (lthat Lanpiran 14).
Guna melengkapi ketentuan dalam pasal 22 Permenkes tentang RM yang
menyebutkan "hal-hal teknis yang belum diatur dan petunjuk pelaksanaan peratur-
an ini akan ditetapkan oleh DirekturJenderal sesuai biCang tuga.s masing-masing'i
Direktorat Jenderal Pelayanan Medik pada tahun 1991 telah pula menerbitkan
Petunjuk Pelaksanaan PenyelenggaraanRM/Medbal Records di Rumah Sakit (SK.
DirekturJenderal Pelayanan Medik No. 78 tahun 1991).
Dalam Undang-undang Kesehatan, walaupun tidak ada bab yang mengatur
tentang RM secara khusus, secara implisit Undang-undang ini jelas membutuhkan
adanya RM yang bermutu sebagai bukti pelaksanaan pelayanan kedokteran/
kesehatan yang b erkualitas.
Kewajiban dokter untruk membuat RM dalam pelayanan kesehatan dipertegas
dalam UUPK seperti terdapat pada pasal a6: $). Setiap dokter atau dokter gigi
dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat RM. (2) RM sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima
pelayanan kesehatan. Setiap catatan RM harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda
tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan. Selanjutnya dalam
pasal 79 diingatkan tentang sanksi hukum yang cukup berat, yaitu denda paling
banyak Rp.50.000.000,- bila dokter terbukti sengaja tidak membuat RM.

Pengertiqn
Sebelum RM populer seperti sekarang kalangan kesehatan menggunakan istilah
"status pasien". Karena bernada bahasa asing (Belanda), orang berusaha mengganti
istilah ini dengan bahasa Indonesia yang lebih sesuai sehingga muncul istilah
catatan medik, dokumen medik, dan lain-lain. Namun, tampaknya belakangan ini
orang lebih cenderung menggunakan istilah RM sebagai te4'emahan dari "medtlcal
rrcord," biarpun terjemahan yang dibuat oleh Pusat Pembinaan Pengembangan
Bahasa Indonesia sebagai hasil kerja sama dengan Panitia Kerja Pembinaan dan
pengembangan Sistem Pencataan Medis adalati "RM,/kesehatan" (RMK).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa RM adalah kumpulan keterangan
tentang identitas, hasil anamnesis, pemeriksaan, dan catatan segala kegiatan para
66 Etllao Kedohteron don Huhum Kelehqton

pclayan kesehatan atas pasien dari waktu ke waktu, e;atatan ini berupa tulisan
ataupun gambar, dan belakangan ini dapat pula berupa rekaman elektronik, sepelti
komputer, mikrofilm, dan rekaman suara.
Dalam Permenkes No. 749alMenkes/PerlxII/Lglg tentang RM, disebut pe-
ngertian RM adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas
pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien pada
sarana pelayanan kesehatan,

hI RM
Di nrmah sakit didapat duajenis RM, yaizu:
. RM untuk pasien rawat jalan
. RM untuk pasien rawat inap
Untuk paoien rawat jalan, termasuk pasien gawat damrat, RM memiliki informasi
pasien, antara lain:
a. Identitas dan formulir perizinan (lembar hak kuasa)
b. Riwayat penyakit (anamnesio) tentang
. keluhan utama
, riwayalsekarang
',nvtayatpenyakit yang pernah diderita
rivtayatkeluarga tentang penyakit yang mungkin diturunkan
e. Laporan pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan laboratorium, foto rontgen,
seanning MRI, dan lain lain.
d. Diagnocis dan/ataa diagposis banding
e. Instzuksi diagnostik dan terapeutik dengan tanda tangan pejabat kesehatan
yang berwenang.

Untuk rawat inap, memuat informasi yang s{lma dengan yang terdapat dalam
rawat jalan, dengan tambahan:
.Persetujuan tindakan medik
. eatatan konsultaei
. eatatan perawat dan tenaga kesehatan lainnya
. eatatan obseffasi ldinik dan hasil pengobatan
. Rcsume akhir dan evaluasi pengobatan.

Rerume Ahhlr
Dari beberapa kewajiban dokter atas RM pada pasien rawat inap, ada satu hal yang
perlu diperhatikan khusus, yaitu pembuatari resume akhir atau evaluasi peng-
obatan,
Resume ini dibuat segera setelah pasien dipulangkan'
Isi resume harus singkat, menjelaskan informasi penting tentang penyakit, pe-
meriksaan yang dilakukan dan pengobatannya.
Isinya antara lain menjelaskan:
1, Mengapa pacien masuk rumah sakit (anamnesis).
2. Hasil penting pemeriksaan fisik diagnostik, laboratorium, rontgen, dan lain-
lain,
gdr' t Rehqm M€dle

3. Pengobatan dan tindakan operasi yang dilaksanakan.


4, Keadaan pasien waktu keluar (peilu berobat jalan, mampu untuk bekerja, dan
lain-lain).
,5. Anjuran pengobatan dan perawatan (nama obat dan dosisnya, tindakan peng-
obatan 1ain, dirujuk ke mana, perjanjian unf,rk datang lagi, dan lain-lain).
Tlljuan pembuatan resume ini adalah:
"Untuhmenjamin
t. pelayanan
kontinuitas medik dengan kualitas yang tinggi serta
bahan yang berpna bagi dokter pada waktu menerima pasien untuk dirawat
kembali.
2. Bahan penilaian staf medik rumah sakit,
3" Untuk memenuhi permintaan dari badan-badan resmi atau perseorangan
tentang pcrawatan seorang pasien. Misalnya dari penrsahaan Asuransi (setelah
persetujuan Direktur)
Sebagai bahan infurmasi bagi dokter yang bertugas, dokter yang mengirim dan
dokter konsultan,
Untuk pasien yang meninggal dibuat Laporan sebab kematian.

Kcgunoqn RM
Bila ditelusuri lebih jauh, RM mempunyai aspek hukum kedisiplinan dan etik
petugas kesehatan, kerahasiaan, keuangan, mutu serta manajemen rumah sakit'dan
audit medik.
Seeara umum kegunaan RM adalah:
1. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang ikut
ambil bagian dalam memberi pelayanan, pengobatan dan perawatan pasien'
Dengan membaea RM, dokter atau tenaga kesehatan lainnyp yang terlibat
dalam merawat pasien (misalnya, pada pasien rawat bersama atau dalam
konsultasi) dapat mengetahui penyakit, perkembangan penyakit, terapi yang
diberikan, dan lain-lain tanpa harus berjumpa satu sama lain. Ini tentu merupa-
kan sarana komunikasi yang efisien,
2. Sebagai dasar untuk pereReaRaan pengobatan/perawatan yang harus diberikan
kepada pasien,
Segala instruksi kepada perawat atau komunikasi sesama dokter ditulis agar
reneana pengobatan dan perawatan dapat dilaksanakan
3. Sebagai bukti tertulis atas segalapelayanan, perkembangan penyakit dan peng-
obatan selama pasien berkuqjung/dirawat di rumah sakit.
Bila suatu waktu diperlukan bukti bahwa pasien pernah dirawat atau jenis
pelayanan yang diberikan serta perkembangan penyakit selama dirawat, tentu
data dari RM dapat mengungkapkan denganjelas.
4. Sebagai dasar analisis, studi, evaluasi terhadap mutu pelayanan yang diberikan
kepada pasien,
Baik buruknya pelayanan yang diberikan tereermin dari eatatan yang ditulis
atau data yang didapati dalam RM. Hal ini tentu dapat dipakai sebagai bahan
studi ataupun evaluasi dari pelayanan yang diberikan,
68 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

5. Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, mmah sakit niaupun dokter dan
tenaga kesehatan lainnya.
Bila timbul permasalahan (tuntutan) dari pasien kepada dokter maupun
rumah sakit, data dan keterangan yang diambil dari RM tentu dapat diterima
semua pihak. Di sinilah akan terungkap aspek hukum dari RM tersebut. Bila
catatan dan data terisi lengkap, RM akan menolong semua yang terlibat.
Sebaliknya, bila catatan yang ada hanya sekedarnya saja, apalagi kosong
pasti akan merugikan dokter dan rumah sakit. Penjelasan yang bagaimanapun
baiknya tanpa bukti tertulis, pasti sulit dipercaya.
6. Menyediakan data-data khusus yang sangat berguna untuk keperluan penelitian
dan pendidikan.
Setiap penelitian yang melibatkan data klinik pasien hanya dapdt diper-
gunakan bila telah direncanakan terlebih dahulu. Oleh karena itu, RM di rumah
sakit pendidikan biasanya tersusun lebih rinci karena sering digunakan untuk
bahan penelitian.
7. Sebagai dasar di dalam perhitungan biaya pembayatan pelayanan medik
pasien.
Bila pasien mau dipulangkan, bagian administrasi keuangan cukup melihat
RM, dan segala biaya yang harus dibayar pasien,/keluarga dapat ditentukan.
8. Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan, serta sebagai bahan
pertanggungjawaban dan laporan.
Data dan infomasi yang didapat dari RM sebagai bahan dokumentasi, bila
diperlukan dapat digunakan sebagai dasar untuk pertanggungjawaban atau
laporan kepada pihak yang memerlukan masa mendatang.

Untuk memudahkan mengingat begitu banyak kegunaan (oalue) dari RM, kalangan
RM memendekkannya dalam mneumonik CI. ALFREDS yangberarti mempunyai
nllai: Communicahbn,Infotmahon,Adrnz:n*tration, Legal, Ftnanu'a/, Raearch, Educattbn,
Documenlation dan Sta / nl h.

lnformqri Kerehqtqn
Dari semula sudah dikemukakan bahwa dari data yang terdapat dalam RM, bila
diolah menurut keperluannya dapat menjadi sumber informasi kesehatan. Informasi
ini bisa mengenai jumlah kunjungan rawat jalan (out paven), rawat inap Qn pasien),
jenis penyakit, lama rawat penyakit-penyakit tertentu, obat-obat yang dipakai, dan
lainlain.
Melalui RM dapat pula dihasilkan berbagai indikator yang dapat dipakai untuk
menilai mutu dan efisiensi pelayanan, misalnya:
. Bed Occupahon Rate (BOR).
. Bed Tiurn Ozter (BTO)
. Lengt/t or Stay (LOS).
. Tiunt Over Interual (TOD.
' Net DeatltRala (NDR).
. Gross Death Rate (GDR).
?a/ Q RehomMedis

Begitu pula dengan efisiensi penggunaan sumber daya, dengan rnembandingkan


arrtara sumber daya yang dikeluarkan dan output yang dihasilkan.
Hal inilah yang perlu dipahami kalangan yang bertanggung jawab terhadap
RM. Dalam kelompok ini, termasuk staf medik, para ahli kesehatan, pimpinan
rumah sakit, paramedik, dan pihak pengelola berkas RM'
Staf medik dan tenaga kesehatan lainnya dituntut untuk mengisi RM secafa
cepat, akurat, dan mudah dibaca. Dalam hal RM diisi oleh dokter muda (ko-asisten)
pendelegisian ini harus dengan jaminan bahwa yang dilimpahi tugas harus benar-
benar cakap dan menguasai teknik pengisian dan pelaporan. Begitupun, tanda
tangan akhir harus dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan yang bertanggung
jawab tehadap pasien, setelah memeriksa kembali seluruh informasi yang dicatat
dan melakukan koreksi bila perlu.
Dari pihak paramedik juga dituntut hal yang sama. Informasi yang dicatat
dengan baik, lengkap, cepat dan tepat akan sangat membantu pihak staf medik.
Pihak paramedis, misalnya berkewajiban untuk mengingatkan dokter bahwa diag-
nosis akhir harus ditegakkan waktu pasien dipulangkan, kecuali ada hal-hal yang
menyebabkan diagnosa akhir ini belum bisa ditegakkan.
Thnpa adanya informasi medik yang dicatat dengan baik oleh kalangan medik
maupun paramedi( kegunaan (aa/ue) seperti yang dikemukakan sebelumnya tidak
akan tercapai.
Wajib diusahakan tidak lebih dari 48 jam sesudah pasien pulang, RM sudah
dikembalikan kepada pihak pengelola RM.

Pemilih RM
Masalah kepemilikan RM ini timbul karena tidak jarang dokter dan rumah sakit
menghadapi pasien atau keluarga pasien ataS sesuatu alasan memerlukan RM.
Alasan ini umumnya dapat dipahami, seperti apabila pasien atau keluarga pasien
mau pindah ke daerah lain.
Untuk memudahkan ia berobat ke dokter lain di tempat yang baru, secara akal
sehat tentu riwayat dan perjalanan penyakit yang dialaminya (atau salah satu
anggota keluarganya) beserta segala pemeriksaan dan pengobatan yang telah
dilalui dan diterimanya akan sangat membantu dokter yang akan melanjutkan
pengobatan dan perawatan. Apalagi bila pengobatan yang diterimanya telah sesuai
dengan yang diharapkannya. Bukanlah hal itu akan meringankan biaya pula. Di
samping itu, dalam pikiran pasien (keluarga), rumah sakit tidak akan menggrnakan
RM'miliknya" ini lagi.
Di sinilah masalih itu muncul, sebab bagi rumah sakit, setiap RM mempunyai
banyak nilai seperti yang dikemukakan sebelumnya. Biarpun RM tersebut akan
menjadi tidak aktif namun suatu waktu mungkin diperlukan. Standar internasional
menyatakan RM adalah milik rumah sakit, sedang isinya memang milik pasien.
Begitu pula yang diatur dalam Permenkes tahun 1989 tentang RM (Pasal 9 )'
Dalam situasi demikian, banyak kebijaksanaan yang ditempuh. Ada yang
mengizinkan pasien mengkopi RM secara lengkap. Namun, ada pula yang membuat
ringkasannya saja sesuai dengan kebutuhan pasien.
Etlhs Kedohterqn dEn Huhum Kelehqton

Bila dokter tclah membuat resume akhir, catatan inilah yang perlu disampaikan
oleh dokter untuk dokter yang akan melaqjutkan pengobatan, atau untuk ke-
pentingan lain oleh pasien,
Semua kebijaksanaan tadi haruslah terlebih dahulu atas persetujuan dokter
yang merawat pasien dan direktur nrmah sakit,
Salah sekali bila dokter menyerahkan RM yang asli kepada pasien,

Kerqhsriqon RM
Secara umumr dapat disadari bahwa informasi yang terdapat dalam RM sifatnya
rahasia. Pasien tentu mengharapkan apa yang ditulis dokter yang eifatnya rahasia
bagi dirinya tidak dibaea oleh kalangan lain. Hal ini yang menyebabkan bila dokter
merasa perlu konsultasi dengan dokter lain, harus atas persetujuan pasien karena
dalam hal demikian dokter konsultan akan membaea segala rekaman dan eatatan
dokter pertama.
Kewajiban dokter dan kalangan kesehatan untuk melindungi rahaoia ini tertuang
dalam Lafal sumpah dokter, KODEKI, dan peraturan penrndang-undangan yang
ada, dibahas dalam Bab 11 tentang Rahaoiajabatan dan pekerjaan dokter,

Lqmq Penyimpqnsn RM
Persoalan ini timbul bila ruang tempat penyimpanan RM terbatas, RM yang baru
terus bertambah, sementara ruangan tempat RM tidak mungkin menampung";alan
keluar yang dapat ditempuh adalah dengan menyingtirkan sebagian dari RM yang
pasti diperkirakan tidak akan dipakai lagi. Suatu rencaRa yang paoti tentang pe-
ngelolaan RM yang tidak aktif harus ditetapkan sehingga selalu tersedia tempat
penyimpanan RM yang baru. Dengan perkataan lain pengertian penyingkiran ini
akan berhubungan dengan berapa lama RM harus dieimpan.
Berpedoman pada Permenkes tentang RM tahun 1989, pada pasal 7, dinyata=
kan:
(1) Lama penyimpanan RM sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun terhitung tanggal
terakhir pasien berobat,
(2) Lama penyimpanan RM yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat khusus
dapat ditetapkan tersendiri.
RM yang tidak aktif dapat disimpan di ruangan lain atau dibuat milcofilm, Pem-
buatan mikrofilm atau komputer daa lain-lain tentu merupakan beban bagi rumah
sakit.

Sebagai perbandingan, dikemukakan kebijakan beberapa negara lain sehubungan


dengan retenti RM:
. Berdasarkan studi Dr. G"D. Mogli (lndia) dikatakan bahwa sebaiknya RM
pasien berobatjalan disimpan sekitar 3-5 tahun dan pasien rawat inap sekurang-
kurangnya 10 tahun,
' Amenlcan Medfual Rceord Assoetattbn dan Anen"ean Hlspxtal Assnalaabn menyim-
pulkan sebagai berikut.
a, Berkas RM yang dalam perkara ditahan 10 tahun setelah perkara terakhir
selesai.
8cl I Reksm Medls

b, Dalam keadaan biasa, menyimpan berkas RM 5 tahun setelah kunjungan


pasien terakhir, sesudahnya berkas RM boleh dimusnahkan kecuali dihalangi
oleh peraturan yang ada sesudahnya,

Sebelum dimusnahkan, berkas tersebut harus:


1, Diambil informasi-informasi utama.
2. Menyimpan berkas anak-anak hingga batas usia tertentu sesuai dengan ke-
teRtuan yang berlaku
3. Menyimpan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Inggris,
berkas RM
Qepanemen Kesehatan merekomendasi masa retensi RM, minimum:
. RM obstetri,2S tahun
. RM anak-anak dan usia muda, disimpan sampai ulang tahun ke-25, atau 8
tahun sesudah kunjungan terakhir.
. RM pasien gangguan mental, 90 tahun sesudah dokter yang merawat
menyatakan sudah sembuh.
. RM yang lain, 8 tahun dan resume akhir dibuat'

Lembqrqn yqng Dltqndstqngqnl Dohter


Dalam RM lembaran-lembaran yang perlu ditandatangani dokter adalah sebagai
berikut.
1, Surat pengantar rawat inap
2. ea@tanMedis
3, Lembar Instnrksi dokter (diagnostik dan pengobatan)
4, Surat Rujukan (Konsul) dan Balasan Konsul
5. Permintaan pemeriksaan laboratorium, radiologi, histopatologik
6. Resep
7 Permintaan darah
B. Surat persef,tjuan atau penolakan tindakan medik (operasi)
9. Surat persetqiuan pembiusan
10. Laporan operasi
11. Surat laporan pasien positif HIV/AIDS
12. Resume Medis
13. Surat laporan cebab kematian (klinis)
14. Surat pernyataan mengikuti penelitian (Infonned eonmfl
15. Surat izin membawa mayat
16. Honorarium Dokter (pribadi, rumah sakit, perusahaan)
Pada wakru audit rekam medis, tanda tangan dokter pada lembaranlembaran
tersebut perlu diteliti keberadaannya
TO
PrnseruluAN Trnomln Mrox
(lxronneo Coxseur)

Tuiuon lnrtruhrionol Khurur


1. Menjelorhon persetujuon seteloh penjelqron dqlom peloyonon
hedohteron
2. Menjeloshon isi Permenhes No.585 Tohun 1989 tentong PTM.
3. Menjeloshqn tentqng Persetujuon Tindohon Kedohteron dolom UUPK
Pohoh Bohqrqn
1. Hoh menentuhqn nqsib sendiri
2. Permenhes No.585 Tohun 1989 tentong PTM
3. Persetujuon Tindohon Kedohteron dqlom UUpK
tub-Pohoh Bohqrqn
1. Pengertion PTM.
2. Bentuh PTM.
3. lnformosidqlom PTM.
4. Permenhes No.585 Tohun 1989 tentqng PTM.
5. Persetujuon Tindohon Kedohteron dolom posol45 UUpK
6. Penolbhon tindqhqn medih oleh posien/heluqrgo.

72
eal 10 Persetujuon Tindohon Medih (lnformed Consent) 73

Dalam aspek hukum kesehatan, hubungan dokter dengan pasien terjalin dalam
ikatan transaksi atau kontrak terapeutik. Tiap-tiap pihak, yaitu yang memberi
pelayanan (medbal proaiders) darr yang menerima pelayanan (medical receizters)
mempunyai hak dan kewajiban yang harus dihormati. Dalam ikatan demikianlah
masalah Persetujuan Tindakan Medik atau yang sekarang disebut Persetujuan
Tindakan Kedokteran (PTM) ini timbul. Artinya, di satu pihak dokter (tim dokter)
mempunyai kewajiban untuk melakukan diagnosis, pengobatan, dan tindakan
medik yang terbaik menurut jalan pikiran dan pertimbangannya (mereka)' dan di
lain pihak pasien atau keluarga pasien memiliki hak untuk menentukan pengobatan
atau tindakan medik apayang akan dilaluinya.
Masalahnya adalah, tidak semua jalan pikiran dan pertimbangan terbaik dari
dokter akan sejalan dengan apayang diinginkan atau dapat diterima oleh pasien
atau keluarga pasien. Hal ini dapat terjadi karena dokter umumnya melihat pasien
hanya dari segi medik saja, sedangkan pasien mungkin melihat dan memper-
timbangkan dari segi lain yang tidak kalah pentingnya, seperti keuangan, psikis,
aguna, dan pertimbangan keluarga.
Perkembangan seputar PTM ini di Indonesia tidak lepas dari perkembangan
masalah serupa di negara lain. Arus informasi telah membawa Indonesia perlu
membenahi masalah PTM ini. Declarahbn ofLubon (1981) dan Pattents'Bill ofRigltt
(Amen'can Hosprtal Associahbn, 197) pada intinya menyatakan bahwa "pasien
mempunyai hak menerima dan menolak pengobatan, dan hak untuk menerima
informasi dari dokternya sebelum memberikan persetujuan atas tindakan medik'.
Hal ini berkaitan dengan hak menentukan nasib sendiri (the igltt to self
deterrnination) sebagai dasar hak asasi manusia, dan hak atas informasi yang dimiliki
pasien tentang penyakitnya dan tindakan medik ap3 yang hendak dilakukan
terhadap dirinya.
Dari kacamata demikian, PTM sebetulnya dapat dilihat sebagai penghormatan
kalangan kesehatan terhadap hak otonomi perseorangan. Lebih jauh hal ini dapat
menghindarkan atau mencegah terjadinya penipuan atau paksaan, atau dari pan-
dangan lain dapat pula dikatakan bahwa PTM merupakan pembatasan otorisasi
dokter terhadap kepentingan pasien.
Perkembangan terakhir di Indonesia mengenai PTM adalah ditetapkannya
Peraturan Menteri Kesehatan No. 585,/Menkes/Pet/IX./1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medik Q?fonned consen).
'Kalangan kesehatan tentu diharapkan sejak awd telah memahami masalah
PTM dengan baik karena merupakan salah satu batu yang dapat membuat kalang-
an kesehatan tersandung dalam menjalankan profesi yang menjurus ke malpraktik
medik.

Pengertion PTM
PTM adalah teq'emahan yang dipakai untuk istilah inlformed consenl. Sesungguhnya
te4'emahan ini tidaklah begitu tepat. Inlfumed artinya telah diberitahukan, telah
disampaikan, atau telah diinformasikan. Consent attinya persetujuan yang diberikan
kepada seseorang untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian, mformed consent
adalah persetujuan yang diberikan pasien kepada dokter setelah diberi penjelasan.
Etlhq Kedohteron don Huhum Kei€hqtqn

Pengertian demikian tidak tepat tergambar pada terjemahan PTM. Persetqiuan


Setelah Penjelasan (PSP) mungkin lebih sesuai dengan padanan mfomed consent,
Namun, dengan diterbitkannya Perafuran Menteri Kesehatan No, 585 tahun 1989,
istilah PTM-lah yang renmi dipakai" Dalam Undang-undang Praktik'Kedokteran
tahun 2004, istilah ini diganti lagi dengan istilah baru, yaitu Persetqjuan Tindakan
Kedokteran atau Kedokteran Gigi.
Yang dimaksud dengan tffirmed atau memberi penjelasan di sini adalah semua
keadaair yang berhubungan dengan penyakit pacien dan tindakan medik apayang
akan dilakukan dokter serta hal-hal lain yangperlu dijelaekan dokter atas pertanyaan
pasien atau keluarga
Di negeri Belanda, untuk maksud yang sama mereka menggunakan istilah
'gm'cltte toestemming" yang artinya izin ata.u peroetujuan'yang terarah" Jerman
menyebutnya %$klarunggflr'cht" yang berarti kewqjiban dskter untuk memberi
penerangan.
Dalam Permenkes No. 589 tahun 1989 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
PTM adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut"
Dalam pengertian demikian, PTM bisa dilihat dari dua eudut, yaitu pertama
membicarakan PTM dari pengertiaR umum dan kedua membiearakan PTM dari
pengertian khusus. Dalam pengertian umum, PTM adalah persetujuan yang di-
peroleh dokter sebelum melakukan pemeriksaan, pengobatan dan tindakan medik
apapun yang akan dilakukan.
Namun, dalam pelayanan kecehatan sering pengertian kedua lebih dikenal,
yaitu PTM yang dikaitkan dengan persetujuan atau izin tertulis dari pasieny'keluarga
pada tindakan operatif atau tindakan invasif lain yang berisiko, Oleh karena itu,
dahulu PTM ini lebih dikenal sebagai Surat Izin Operasi (SIO), Surat Persetujuan
Pasien, Surat Perjanjian, dan lain-lain istilah yang dirasa sesuai oleh nrmah sakit
atau dokter yang merancang surat tersebut"
Kini, sesudah diterbitkannya Permenkes tentang PTM tersebut, sudah banyak
perubahan tentang pengertian dan pemahaman di kalangan kesehatan mengenai
irforrned consmtini.
Appelbaum seperti dikutip Guwandi (1993) menyatakan mfarmed eonsmlbukan
sekadar formulir persetujuan yang didapat dari pasien, melainkan menrpakan
proses komunikasi. Tercapainya kesepakatan antara dokter-pasien mezupakan
dasar dari seluruh proses tentang hfonned eonsent Flormulir itu hanya merupakan
pengukuhan atau pendokumentasian dad apa yang telah disepakati (infimed
consent ts a pwcess, nat an nenfl,

Bentuh PTM
Ada dua bentuk PTM, yaitu:
1. Tersirat atau dianggap telah diberikan (implfud consenfl
. keadaan normal
. keadaan darurat
8d/ t0 Persetuiuon Tindohon Medih (lnformed Consent)

2. Dinyatakan (Expressed consen4


' lisan
' nrlisan

Inphed cvnsent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat, tanpa
pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap doker dari sikap dan tindakan
pasien. Umumnya tindakan dokter di sini adalah tindakan yang biasa dilakukan
atau sudah diketahui umum. Misalnya pengambilan darah untuk pemeriksaan
laboratorium, melakukan suntikan pada pasien, dan melakukan penjahitan. Se-
betulnya persetujuan jenis ini tidak termasuk informed crnsent dalam arti murni
karena tidak ada penjelasan sebelumnya.
Implred cuxrent bentuk lain adalah bila pasien dalam keadaan gawat darurat
(energmq) sedang dokter memerlukan tindakan segera, sementara pasien dalam
keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya pun tidak di tempat,
dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter (Permenkes No.
585 tahun 1989, pasal 11). Jenis persetujuan ini disebut sebagai Presumed consent.
Artinya, bila pasien dalam keadaan sadar, dianggap akan menyetujui tindakan yang
akan dilakukan dokter.
Expressed cnnseltt adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau tulisan,
bila yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang biasa.
Dalam keadaan demikian, sebaiknya kepada pasien disampaikan terlebih dahulu
tindakan apa yang akan dilakukan supaya tidak sampai terjadi salah pengertian.
Misalnya, pemeritsaan dalam rektal atau pemeriksaan dalam vaginal, mencabut
kuku dan tindakan lain yang melebihi prosedur pemeriksaan dan tindakan umum.
Pada saat ini, belum diperlukan pernyataan tertulis. Persetujuan secara lisan sudah
mencukupi.
Namun, bila tindakan yang akan dilakukan mengandung risiko seperti tindakan
pembedahan atau prosedur pemeriksaan dan pengobatan yang invasif, sebaiknya
didapatkan PTM secara tertulis. Seperti dikemukakan sebelumnya, oleh kalangan
kesehatan atau rumah sakit, surat pernyataan pasien atau keluarga inilah yang
disebut PTM.

lnformqri
Bagan yang terpenting dalam pembicaraan mengenai infonned cnnstnt tentulah
mengenai informasi atau penjelasan yang perlu disampaikan kepada pasien atau
keluarga. Masalahnya adalah informasi mengenai apa (rnltatl yang perlu disampai-
kan, kapan disampaikan (dten), siapa yang harus menyampaikan (usho), daninfor
masi mana (za/tt:c/t) yang perlu disampaikan.
Dalam Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang PTM, dinyatakan bahwa dokter
harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien/keluarga diminta
atau tidak diminta.Jadi, informasi harus disampaikan,
Mengenai apa (zaha) yang harus disampaikan, tentulah segala sesuatu yang
berkaitan dengan penyakit pasien. Tindakan apa yang akan dilakukan, tentunya
prosedur tindakan yang akan di1'alani pasien baik diagnostik maupun terapi dan
iain-lain sehingga pasien atau keluarga dapat memahaminya. Hal ini mencakup
76 Etiho Kedohterqn don Huhum Kesehoton

bentuk, tujuan, risiko, manfaat dari terapi yang akan dilaksanakan dan alternatif
terapi (tlte nature, purpose, nsh, and benefit Ef any treatment they prtpose to perfom, as
we// as any ahernattbefim oftreatment tltat may exutfor the pahlent condittbn).
Penyampaian informasi haruslah secara lisan. Penyampaian formulir untuk
ditandatangani pasien atau keluarga. tanpa penjelasan dan pembahasan secara lisan
dengan pasien /keluarga tidaklah memenuhi persyaratan.
Mengenai hapan (zahen) disampaikan, bergantung pada waktu yang tersedia
setelah-dokter memutuskan akan melakukan tindakan invasif dimaksud. Pasien
atau keluarga pasien harus diberi waktu yang cukup untuk menentukan keputus-
annya.
Yang menyanpathan (raho) informasi, bergantung pada jenis tindakan yang akan
dilakukan. Dalam Permenkes dijelaskan dalam tindakan bedah dan tindakan invasif
lainnya harus diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan. Dalam keada-
an tertentu dapat pula oleh dokter lain atas sepengetahuan dan petunjuk dokter
yang bertanggung jawab. Bila bukan tindakan bedah atau invasif sifatnya, dapat
disampaikan oleh dokter lain ataupun perawat.
Penyampaian informasi ini memerlukan kebil'aksanaan dari dokter yang akan
melakukan tindakan tersebut atau petugas yang ditunjuk untuk itu dan disesuaikan
dengan tingkat pendidikan dan kondisi pasien.
Nlengenai informasi mana (zuhtbh) yang harus disampaikan dalam Permenkes
d!'elaskan haruslah selengkapJengkapnya, kecuali dokter menilai informasi tersebut
dapat merugikan kepentinga.n kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan
informasi. Bila perlu, informasi dapat diberikan kepada keluarga pasien.
Dalam UUPK tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi,
informasi atau penjelasan ini dinyatakan bahwa dalam memberikan penjelasan
sekurang-kurangnya mencakup :
a. Diagnosis dan tatacara tindakan medis
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya
d. Risiko dan kornplikasi yang mungkin teq'adi
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
Perretuiuqn
Inti dari persetujuan adalah persetujuan haruslah didapat sesudah pasien mendapat
informasi yang adekuat.
Hal yang harus diperhatikan adalah bahwa yang berhak memberikan persetuju-
an adalah pasien yang sudah dewasa (di atas 21 tahun atau sudah menikah) dan
dalam keadaan sehat mental.
Dalam banyak PTM yang ada selama ini, penandatanganan persetujuan ini
lebih sering dilakukan oleh keluarga pasien. Hal ini mungkin berkaitan dengan
kesangsian terhadap kesiapan mental pasien sehingga beban demikian diarnbil alih
oleh keluarga pasien atau atas alasan lain.
Unttrk pasien di bawah umur 21 tahun, dan pasien pasien gangguan jiwa yang
menandatangani adalal' orang fiia./wah/keluarga terdekat atau induk semanE.
Untuk pasien dalam keadaan tidak sadar, atau pingsan serta tidak didainpingi oleh
841 lo Pe$elutuon Tindohon Medih (lnformed Consent) 77

keluarga terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat darurat yang
memerlukan tindakan medik segera, tidak diperlukan persetujuan dari siapa pun
(pasal 11 bab IV Permenkes No. 585).
Sama dengan yang diatur dalam Permenkes tentang PTM ini, The Medical
Defence Union dalam bukunya Medicolegal Issues in Cliruca/ Practice menyatakan
bahwa ada lima syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya PTM, yaitu:
1. Diberikan secara bebas
2. Diberikan oleh orang yang sanggup membuat perjanjian
3. Telah di'elaskan bentuk tindakan yang akan dilakukan sehingga pasien dapat
memahami tindakan itu perlu dilakukan
4. Mengenai sesuatu hal yang khas
5. Tindakan itu juga dilakukan pada situasi yang sama.

Penolqhqn
Seperti dikemukakan pada bagian awal, tidak selamanya pasien atau keluarga se-
tuju dengan tindakan medik yang akan dilakukan dokter. Dalam situasi demikian,
kalangan doker maupun kalangan kesehatan lainnya harus memahami bahwa
pasiei atau keluarga mempuny"i ttut untuk menolak usul tindakan yang akan
dilakukan. Ini disebut sebagai infomed refiral'
Tidak ada hak dokteryang dapat memaksa pasien mengikuti anjurannya, walau-
pun dokter menganggap penolakan bisa berakibat gawat atau kematian pada
pasien. 'r

Bila dokter gagal dalam meyakinkan pasien pada alternatif tindakan yang
diperlukan, untuk keamanan di kemudian hari, sebaiknya dokter atau rumah sakit
-"t ti.tt" pasien atau keluarga menandatangani surat penolakan terhadap anjuran
tindakan medik yang diperlukan'
Dalam kaitan transaksi terapeutik dokter dengan pasien, pernyataan penolakan
pasien atau keluarga ini dianggap sebagai pemutusan transaksi terapeutik. Dengan
demik,an, apayafigterjadi di belakang hari tidak menjadi tanggung jawab dokter
atau rumah sakit lagi.
IT
Rlnrun fmlrlr.r DAN Prxrrumx Doxrrn

Tuiuqn lnrtruhrionql Khurur


1. Menyebuthon definisi rohosia hedohteron.
2. Membedohon rqhosio joboton don peherjoon dohter.
3. Menjeloshqn bilo rohosio joboton otou peherjoon dohter dopot
dibuho.
4. Memberihon contoh-contoh hqsus yqng berhoiton dengon rohqsiq
joboton otou peherjoon dohter.
5. Menjeloshqn sonhsihuhum bilo terjodi pelonggoron.
Pohoh Bqhqrqn
1. Rshosio joboton don peherjoon dohter.
2. pp No.lO Tohun 1966 tentqng Wojib Simpon Rohqsiq Kedohterqn
3. Undong-undong No.29 Tohun 2oo4 Pqsol Rahosio Kedohteron.
tub-Pohoh Bohqrqn
1. Pengertion rohosio hedohteron.
2. Pihoh yong diwojibhon menyimpon rohosio hedohterqn.
3. pP No.lO Tqhun 1966 tentong Wojib Simpon Rohorio Kedohteron.
4. Aspeh etih rohqsio hedohteron.
5. Contoh-contoh hosus yong berhoiton dengon rohosio joboton ctou
peherjoon dohter.
6. Sonhsi huhum terhodop pelonggqron membuhq rqhqsiq hedohteron.
7. Rahosio Kedohterqn dolom Undqng-undong No.29 Tohun 2OO4
tentqng Prohtih Kedohterqn.

7e
8a/ ft RohosiqJoboton dqn Peherioon Dohter

Sejak zaman Hippokrates, kewajiban memegang teguh rahasia p'ekerjaan dokter


harus senantiasa dipenuhi, untuk menciptakan suasana percaya mempercayai yang
mutlak diperlukan dalam hubungan dokter dengan pasien. Hippokrates merumus*
kan sumpah yang harus diucapkan oleh murid-muridnya tentang rahasia pekerjaan
dokter berbunyi: 'Apapun yang saya dengar atau lihat, tentang kehidupan seseorang
yang tidak patut disebarluaskan, tidak akan saya ungkapkan, karena saya harus me-
iahasiakannya". Namun, dalam perkembangan iptek kedokteran selanjutnya' ter-
dapat pengecualian-pengecualian untuk membuka rahasia jabatan dan pekerjaan
dokt.r, demi memelihara kepentingan umum dan mencegah hal-hal yang dapat
merugikan orang lain.
Salah satu ayat Lafd, Sumpah Dokter Indonesia berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 26 Thhun 1960, berbunyi: "Saya akan merahasiakan segala sesuatu
yang saya ketahui karena peke{aan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter".
bA"--Bab II KODEKI tentang kewajiban dokter terhadap pasien dicantumkan
antaralain: "seorang dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang pasien karena kepercayaan yang diberikan kepadanya, bahkanjuga setelah
pasien meninggal dunia".
Untuk mernperkokoh kedudukan rahasia jabatan dan pekerjaan dokter, telah
pula dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 10 Thhun 1966 tentang wajib simpan
rahasia kedokteran, dinyatakan bahwa Menteri Kesehatan dapat melakukan tindak-
an administratif berdasarkan pasal 111 Undang-undang Tentang Kesehatan jika
tidak dapat dipidanakan menurut KUHP.
Rahasia adalah sesuatu yang disembunyikan dan hanya diketahui oleh satu
orang, oleh beberapa orang saja, atau oleh kalangan tertentu'
Olang biasanya tidak memberitahukan rahasia_kepada orang lain tanpa ada
alasan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa ia terpaksa berbuat demikian, Hal ini
janganlah diremehkan. Sudah barang tentu tidak selalu hal-hal yang diberitahukan
t seorang dokter merupakan rahasia yang tidak boleh diberitahukan kepada
"p"au
orang lain. Seorang yang sakit influenza atau tulangnya patah karena jatuh,
jangankan dokter, tetangga dan teman-temannyapun tahu ia menderita penyakit
iersebut. Namun, seseorang yang menderita penyakit sipilis atau gonorea (kencing
nanah) akan merahasiakan itu terutama terhadap isteri atau suaminya, yang tidak
mengetahui bahwa ia memiliki hubungan dengan wanita atau pria lain. Ia terpaksa
meniberitahukan penyakitnya kepada dokter karena tanpa bantuan dokter ia tidak
akan sembuh
Kewajiban untuk menyimpan rahasia kedokteran pada pokoknya ialah ke-
wajiban moril yang telah ada bahkan sebelum zaman Hippokrates, jadi lama
sebelum adanyaundang-undang atau peraturan yang mengatur soal tersebut.
Rahasia labatan ialah rahasia dokter sebagai pejabat struktural, sedangkan
rahasia pekerjaan ialah rahasia dokter pada waktu menjalankan praktiknya (fungsi-
onal). Umumnya harnpir tidak ada perbedaan antara kedua istilah tersebut.
80 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

Untuk memahami soal rahasia jabatan ditilik dari sudut hqkum, tingkah laku
seorang dokter kita bagi dalam 2 jenis:

1. Tingkah laku yang bersangkutan dengan pekerjaan sehari-hari


Dalam hal ini yang harus diperhatikan ialah:
a. Pasal 322 KUHP yang berbunyi:
(1) "Barang siapa dengan sengaja membuka sesuatu rahasia yang ia wajib menyim-
- pannya oleh karena jabatan atau pekel'aannya baik yang sekarang maupun
yang dulu, dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya sembilan bulan
atau denda sebanyak-banyaknya enam ratus rupiah."
(2) 'Jika kejahatan ini dilakukan terhadap seorang yang tertentu, iahanya dituntut
atas pengaduan orang ifu."

Undang-undang ini sudah selayaknya berlaku untuk tiap orang, yang atas pe-
kerjaannya berkewajiban menyimpan rahasia.Jadi, bukan untuk dokter saja, baik ia
seorang dokter pemerintah, maupun seorang dokter swasta, melainkan juga bagi
rohaniawan dan pengacara.
Undang-undang ini diperkuat dengan luas norma-norma kesusilaan yang telah
ada karena tidak hanya mengancam pelanggaran yang dilakukan pada waktu si
pelanggar masih bekerja akti{ umpamanya seorang dokter yang masih berprakik,
tetapijuga pelanggar yang sudah berhenti atau pindah dari pekerjaannya semula,
umpamanya,seorang dokter pemerintah yang telah pensiun, atau seorang dokter
swasta yang tidak berpraktik lagi. Selama masih berpraktik, boleh dianggap ada
faktor kuat yang akan menjamin seorang dokter tidak akan membuka rahasia
tentang pasien-pasiennya karena hal ini akan merugikan dirinya sendiri. Seorang
dokter yang dikenal sebagai pembuka rahasia mungkin sekali praktiknya makin
lama makin merosot; suatu kejadian yang benar-benar merupakan hukuman dari
masyarakat.
Ayat Q) undang-undang ini terutama berkenaan dengan rahasiajabatan dokter,
saat dokter membuka rahasia tentang keadaan pasiennya, namun tidak dengan
sendirinya akan dituntut di muka pengadilan, melainkan hanya sesudah terhadap-
nya diadakan pengaduan oleh pasien itu. Dalam undang-undang di kenal sebagai
delik aduan.
b. Pasal 1365 KUH Perdata
"Barang siapa yang berbuat sa.lah sehingga seorang lain menderita kerugian, berwajib
mengganti kerugian itu".

Seorang dokter berbuat salah kalau ia mungkin sekali tanpa disadari membuka
rahasia tentang seorang pasiennya yang kebetulan terdengar oleh majikan orang
yang sakit itu. Lalu majikan memberhentikan pegawainya karena takut penyakit-
nya akan menulari pegawai-pegawai lain. Dokter diadukan oleh pasien itu. Selain
hukum pidana menurut pasal 322 KUHP, dokter itu dapat dihukum perdata
dengan kewajiban mengganti kerugian.
Pada hakekatnya adanya ancaman hukuman perdata ini menimbulkan ber-
bagai soal yang sulit dalam pekerjaan kedokteran sehari-hari.
8a/ ll Rohosiojqboton don Peherioon Dohter 81

2. Tingkah laku dalam keadaan khusus


Menurut hukum, setiap warga negara dapat dipanggil oleh pengadilan untuk
didengar sebagai saksi. Selain itu, seorang yang mempunyai keahlian dapat
juga dipanggil sebagai ahli. Dengan demikian, dapatlah terjadi, bahwa seorang
y-g -"-punyai keahlian, umpamanya seorang dokter, dipanggil sebagai
saksi, sebagai ahli atau sekaligus sebagai saksi ahli.
Selagi saksi atau saksi ahli mungkin sekali ia diharuskan memberi kete-
rangan tentang seorang yang sebelum itu telah menjadi pasien yang diobati-
ny". I.ri berarti ia seolah-olah diharuskan melanggar rahasia pekerjaannya'
Kejadian yang bertentangan ini dapat dihindarkan karena adanya hak undur
dirl seperti yang dahulu tercantum dalam Pasal 277 Reglemen Indonesia yang
diperbarui (RIB), dan berbunyi:
1. "Barang siapa yang karena martabatnya, pekerl'aannya atau jabatannyayang
sah, diwajibkan menyimpan rahasia, boleh minta mengr.rndurkan diri dari
memberi penyaksian, akan tetapi hanya dan terutama mengenai hal yang
diketahuinya dan dipercayakan kepadanya karena martabatnya, pekerjaan
atau jabatannya itu.
2. Pertimbangan, apakah permintaan untuk mengundurkan diri itu beralasan
atau tidak, diserahkan ke pengadilan negara ataujika orang yang dipanggil
untuk memberi penyaksian itu orang asing, pertimbangan itu diserahkan
kepada ketua pengadilan negara."

Kini ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi, yaitu setelah diundangkannya Kitab
undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berlaku sejak tanggal
31 Deslmbbr 1981. Tentang hak undur diri terdapat pasal-pasal 120 dan 168,
dan secara khusus tercantum pada pasal 170 KUIIAP, sebagai berikut.
1. Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat ataujabatannya diwajibkan
menyimpan rahasia, dapat dibebaskan dari kewajiban untuk memberi
keteiangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada
mereka.
2. Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan
tersebut, pengadilan negeri memutuskan apakah alasan yang dikemukakan
oleh saksi atau saksi ahfuntuk tidak berbicara itu, layak dan dapat diterima
atau tidak.

Penegakan hak undur diri dapat dianggap sebagai pengakuan para ahli hukum,
bah; kedudukan rahasia jabatan itu harus di1'amin sebaik-baiknya, malahan de-
ngan membebaskan seorang dokter yang menjadi saksi ataupun saksi ahli.
Pembebasan itu tidak selalu datang dengan sendirinya. Menurut ayat Q),Peng-
adilan Negen/Kelaa Pengadilan Negeri atau Hakim yang memutuskan apakah
alasan yattg dikemukakan oleh saksi atau saksi ahli untuk tidak berbicara itu layak
dan dapat diterima atau tidak. Dalam hal ini, mungkin sekali timbul pertentangan
yang amat keras antara pendapat dokter dan pendapat hakim, yaitu bila hakim
iidak dapat menerima alasan yang dikemukakan oleh dokter untuk menggrnakan
hak undur dirinya karena ia berkeyakinan bahwa keterangan yang harus diberikan
itu melanggar rahasia jabatannya.
82 Etihci Kedohteran don Huhum Kesehoton

Bagi dokter yang menjadi pedoman dalam menentukan sikapnya ialah: Yang
pertama-tama didahulukan adalah rahasia jabatan dokter, terutama karena ke-
wajiban moral. Alasan melepaskan rahasia jabatan yang mungkin terpaksa di-
tempuh adalah pertumbuhan akal sehat, yaitu ada tidaknya kepentingan yanglebih
utama atau kepentingan umum. Umpamakan seorang dokter sebagai saksi harus
memberi keterangan mengenai seorang yang telah diperiksa dan diobatinya karena
menderita luka-luka. Pada sidang pengadilan ternyata si sakit itu ialah seorang pen-
jahat besar yang mendapat luka paJa waktu ia melakukan tindakan pidananya.
Keterangan dokter itu sangat diperlukan oleh pengadilan agar rangkaian bukti
meniadi lengkap,
Kita mudah mengerti bahwa dalam hal demikian dokter itu wajib memberikan
keterangan agar masyarakat dapat dihindarkan dari kejahatan lain, yang mungkin
dilakukan jika ia dibebaskan.
Pada peristiwa tersebut di atas kita harus sadar bahwa rahasia jabatan dokter
bukanlah dimaksudkan untuk melindungi kejahatan. Golongan yang berpendirian
mutlak, yangjuga dalam hal serupa ini tidak sudi melepaskan rahasiajabatannya,
berarti tidak mengutamakan kepentingan umum, malahan membahayakannya.
Contoh lain dalam praktik sehari-hari dengan pengorbanan kepentingan suatu
pihak harus dilakukan untuk kepentingan pihak lainnya ialah:
1. Seorang supir yang menderita sakit ayan (epilepsi), yang jika penyakitnya
bangkit pada waktu sedang menjalankan tugasnya, pasti sangat membahayakan
tidak saja terhadap dirinya sendiri, tetapi lebihJebih lagi terhadap keselamatan
umum.
2. Seorang guru yang menderita penyakit tuberkulosis aktif yang dapat menular
kepada murid-murid pada waktu ia mengajar.
3. Seorang pembantu rumah tangga yang menderita penyakit gonorea atau hepa-
titis B yang tugasnya mengasuh beberapa anak kecil, sehingga kemungkinan
besar sekali ia akan menulari mereka.

Dalam ketiga hal tersebut di atas, berbagai alasan yang dipergunakan untuk me-
lepaskan rahasiajabatan harus kokoh dan kuat, sehingga dapat meyakinkan orang
lain (termasuk hakim yang mungkin sekali ikut campur tangan jika seandainya
dokter itu kelak diadukan).
Kalau seandainya pasien menderita penyakit yang tidak sukar disembuhkan,
kepadanya dapat diberi cuti dahulu sampai ia sembuh. Sebelum sembuh, ia dilarang
melakukan pekerjaan. Bila penyakit tidak dapat disembuhkan dan tetap merupakan
bahaya bagi orang lain (misalnya epilepsi), sebelum.melanggar rahasia pekerjaan,
dokter dapat memberikan penerangan sepenuhnya kepada pasien supaya persoal*'
annya dapat dipahami benar-benar. Pasien diyakinkan bahwa penyakitnya mem-
bahayakan orang lain supaya ia dengan rela menerima pemberhentian dari pe-
kerjaannya dengan ketentuan yang berlaku dalam soal ini. Bila rahasia jabatan
terpaksa dilanggar setelah segala ikhtiar dilakukan tanpa hasil, hal ini hendaknya
disalurkan ke sebuah majelis penguji kesehatan resmi yang tugasnya antara lain,
menentukan apakah seseorang itu sehat atau menderita penyakit.
9ad ll Rohosio loboton don Peherioon Dohter 83

Kewajiban dokter dalam keadaan terpaksa serupa itu ialah rnemberitahukan


kepada majikan si sakit, bahwa ia menganggap si sakit perlu diperiksa kesehatannya
oleh majelis tersebut. Dengan jalan ini, majelis penguji kesehatan yang menurut
undang-undang tugasnya memang menguji kesehatan orang, dapat melaporkan
kepadanya secara bebas. Tanpa melanggar pasal322 KUHP, penyakit yang di-
derita oleh orang yang diuji itu dapat diteruskan kepada majikannya. Mungkin
nama penyakitnya (diagnosis) tidak perlu disampaikan kepada majikannya, cukup
kalau dokter menerangkan atas sumpah jabatannya bahwa si pegawai menderita
penyakit yang tidak memungkinkan untuk bekerja terus, dapat menular, atau mem-
bahayakan orang lain, dan karena itu dokter menasihati supaya diberhentikan dari
peker;'aannya. Jika ia seorang pegawai, kepadanya dapat diberikan cuti dahulu,
bermula dengan gaji penuh atau sebagian, kemudian baru diberhentikan dengan
hak pensiun penuh atau sebahagian menurut lamanya dalam jabatan atau dengan
mendapatkan uang sokongan atau pesangon.
Dalam pasal 48 Undang-Undang No. 29 Thhun 2004 tentang Praktik Ke-
dokteran padaParagraf 4 mengenai Rahasia Kedokteran, dinyatakan bahwa "setiap
dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan
rahasia kedokteran. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan
kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum, permintaan pasien sendiri atau berdasarkan ketentuan per-
undang-undangan".
l2
Enm Kunr

Tuiucn lnrtruhrionql Khurur


1. Menyebuthon tujuon pendidihon dohter di Indonesiq.
2. Menjeloshon tohop-tohop progrom pendidihon.
3. Menieloshon isiprqhtih hlinih.
4. Menyebuthon dosqr'dosor pengombilon heputuson di hlinih.
5. Menjeloshon pendehqtqn prohtis dorisegietih dqlqm mengombil
heputuson tentong tindohon medih di hlinih

Pohoh Bqhqron
1. Goris Besqr Kurihulum Pendidihon Dohter di lndonesio.
2. Etiho Klinis
Jub-Pohoh Bqhqrqn
1. Tujuon pendidihon dohter di lndonesio
2. Tohop-tqhop progrqm pendidihon
3. Pedomon penqngqnon posien di hlinih
4. Dosor'dosqr pengqmbilon heputuson tindqhon medih.

84
8a/. 12 EtihoKlinis 85

Dalam kurikulum nasional pendidikan dokter berbasis kompetensi (KBK), tujuan


yang ingin dicapai adalah menghasilkan lulusan (dokter) yang mampu:
1. Memberi pelayanan kesehatan piimer, sesuai standar pelayanan medik
2. Memberi pelayanan kesehatan dengan berlandaskan etika dan hukum ke-
dokteran serta mengingat aspek jasmani, rohani, dan sosio-btdaya (ltolutih)
3. Memelihara dan mengembangkan kepribadian dan sikap yang diperlukan
untuk kelangsungan proGsinya seperti integritas, rasa tanggung jawab, dapat
dipdrcaya serta menaruh perhatian dan penghargaan terhadap sesama
manusia sesuai dengan etika kedokteran.
Dalam program pendidikannya pendidikan dokter tersebut dibagi atas tiga tahap,
yaitu:
Tahap I : Pendidikan lJmum (General educahba, 1 Semester)

Tbhap II : Ilmu Kedokteran Dasar dan Klinik (Bnic medtbal.saence and clmtbal saence, 6
Semester)

Tfiap III: Praktik KJintk (Clmical practice, minimal 3 Semester)

Praktikklinikberisipendidikan berbasis kompetensi untukklinik dan kedokteran


komunitas. Ini merupakan tahapan intems/ttp atal maga.ngAatihan kerja untuk
mendapatkan sertifikat praktik mandiri.
Pada praktik klinih seorang dokter muda (Ko-asisten) harus memahami hal-hal
berikut.
1. Bahwa tidak semua pasien yang berobatjalan dan atau dirawat inap di Rumah
Sfit Pendidikan atau Rumah Sakit yang dimanfaatkan untuk lahan praktik
klinik, otomatis menjadi subjek pendidikan, bahkan seharusnya setiap pasien
perlu dimintai izin tertulis untuk menjadi subjek pendidikan.Jika ada penolak-
an dari pasien harus dihormati..
2. Kepada pasien yang berstatus subjek pendidikan, perlu diberikan informasi
bahwa:
a. pertama kali akan diperiftsa oleh dokter muda
b. kadang kala pemeriksaan dilakukan oleh lebih dari 1 dokter muda
c. kadang kala pemeriftsaan dilakukan hanya untuk tujuan pendidikan, bukan
asuhan medik.
3. Permintaan untuk tindakan medik haruslah sopan.
4. Padaprosedur inpastbe harus dihadiri superz,'mrapalaglpada tindakan pertama
kali yang dilakukan oleh dokter muda.

Dalam penanganan pasien-pasien di klinik, perlu diterapkan standar pelayanan


medik yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari praktik di bawah standar
dan melindungi profesi dari tuntutan tidak wajar sekaligus merupakan pedoman
penga.wasan dan peningkatan mutu pelayanan. Standar pelayanan medik adalah
menyangkut aspek prosedur yang berkembang sesuai dengan perkembangan
teknologi dan situasi serta kondisi setempat. Setiap dokter harus menyadari bahwa
etik merupakan komponen penting dalam pelayanan klinik yang baik. Transaksi
terapeutik antara pasien dan dokter didasari atas saling hormat menghormati,
Etiho Kedohteron don Huhum Kesehqton

saling percaya mempercayai dan saling berbagi peran dalam, mencapai tujuan
bersama, yaitu kesembuhan pasien atau mengurangi penderitaannya.
Selanjutnya dalam mengambil keputusan untuk tindakan medik di klinik, dari
segi etik dianjurkan untuk mengamalkan etika klinis yang merupakan etika terapan
untuk mengenal, menganalisis dan menyelesaikan masalah etik dalam pelayanan
klinik (fonsen et al, 2002).
Setiap kasus di klinik, terutama yang menonjol aspek etiknya dianjurkan pen-
dekatan-praktis dalam mengambil keputusan dengan menggunakan 4 topik ber-
ikut.
A. Indikasi medik (medtbal indrlcah'ons)
B. Pilihan pasien (pahbnt prejlrence)
C. Kualitas hidurp (qualx'ry zf/xj?)
D. Gambaran kontekstual (contextuallfratura)
A. Indikasi medik
Prinsip-prinsip yang terbaik dan tidak merugikan
1. Apa masalah medik pasienl Anamnesis, diagnosis, prognosis?
2. Apakah masalahnya akut, kronik, gaurat, darurat, reuerstble?
3. Apa tujuan pengobatan?
4. Bagaimana tentang kemungkinan berhasil?
5. Apa rencana berikutnyajika pengobatan gagal?
6. Sebagai simpulan, bagaimana pasien ini dapat memanfaatkan asuhan
kedokteran dan perawatan dan bagaimana menghindari kerugian bagi
pasien?

B. Pilihan pasien
Prinsip menghormati otonomi pasien
1. Apakah pasien secara mental mampu dan kornpeten? Adakah bukti-bukti
tidak mampu?
2. Kalau mampu apakatapasien tentang pengobatan yang dipilihnya?
3. Apakah kepada pasien telah dijelaskan manfaat dan risiko, dan memahami
penjelasan tersebut dan apakah telah mengerti tentang penjelasan ini dan
telah memberikan persetujuan tindakan mediknya (PTM)? '
4. Kalau tidak mampu siapa yang layak mewakilinya? Apakah wakilnya meng-
gunakan standar yang tepat untuk mengambil keputusan?
5. Apakah pasien sebelumnya telah mengemukakan pilihannya dan ke arah
mana penanganannya?
6. Apakah pasien tidak mau atau tidak mampu menerima pengobatan? Kalau
ya, kenapa?
7. Sebagai simpulan, apakah dari segi etik dan hukum hak pasien memilih
telah dihormati?
C. Kualitas Hidup
Prinsip-prinsip yatg terbaik, tidak merugikan, dan menghormati otonomi
pasien
1. Bagaimana prospeknya dengan atau tanpa pengobatan untuk kembali ke
kehidupan normall
€al 12 ElihoRlinis 87

2. Apakekurangan fisik, mental dan sosial yang mungkin dialami pasien kalau
pengobatan berhasil?
3. Adakah bias terhadap penilaian yang diberikan penyelenggara pelayanan
kesehatan terhadap kualitas hidup pasien?
4. Apakah kondisi pasien sekarang dan yang akan datang sebegitu rupa
sehingga kehidupan selanjutnya tidak perlu dipertimbangkan lagi?
5. Apakah rasional untuk merencanakan pengobatan selanjutnyal
6. Adlakah rencana untuk membuat hidupnya pasien nyaman dan apakah
perlu diberikan asuhan paliatif?

D. Gambaran kontekstual (kondisi sekitar)


Prinsip-prinsip kesetiaan dan keadilan
1. Adakah hal-hal dalam keluarga yang memengaruhi keputusan akan peng-
obatan?
2. Adakah hal-hal yang menyangkut penyelenggara pelayanan kesehatan
(dokter, perawat) yang mungkin memengamhi keputusan akan pengobat-
an?
3. Adakah faktor biaya dan ekonomi?
4. Adakah faktor agama dan budaya?
5. Adakah batas-batas kerahasiaan?
6. Adakah masalah alokasi sumber dayal
7. Adakah peraturan perundang-undangan yang memengaruhi keputusan
akan pengobatanl
8. Apakah penelitian klinis atau pendidikan klinis terlibat?
9. Adakah konflik kepentingan dari penyelenggara pelayanan kesehatan atau
Iembaga?

Demikianlah pendekatan praktis yang dianjurkan pada setiap kasus di klinik.


Karena tidak ada dua kasus yang sama, setiap kasus perlu ditangani tersendiri dan
didiskusikan antara para dokter, dokter muda, pasien, dan keluarganya. "Each case
must be ltandled tndiatduallj/'(Dana W. Atchley, 1959).
t3
tumr-tuRAT KerennncAN Doxren

Tuiuqn lnrtruhrionql Khurur


1. Menjeloshon butir KODEK!tentong pentingnyo heterongon yong
dopot dibuhtihon hebenoronnyo.
2. Menyebuthon jenis-jenis surqt heterongon dohterdqn menjeloshon
mqsqloh-mqsolqh yorig munghin dihodopi dolom penerbiton surot
heterongon dohter.
3. Menyebuthon posol-posoldolom KUHP yqng berhoiton dengqn
sonhsi'sonhsi terhodop pemberiqn surot heterongon polsu.

Pohoh Bqhorqn
1. Butir-butir KODEKT tentong prinsip hejujuron.
2. Jenis-jenis surqt heterongon dohter.
tub-Pohoh Bqhqrqn
1. Dohter memberihqn heterongon yqng dopot dibuhtihqn
hebenoronnyo.
2. Jenis-jenis surqt heterongon dohter.
3. Mosotqh-mosoloh yong munghin dihodopidolqm pemberion surot
heterongon dohter.
4. Aspeh etih surot heterongon dohter.
5. Pqsol267 KUHP.

88
tsa.l 13 Surot-Surqt Keterongon Dohter 89

Dalam menjalankan tugas profesinya sehari-hari, tidakjarang seorang dokter harus


menerbitkan surat-surat keterangan dokter. Sebagai pedoman dalam memberikan
surat-surat keterangan dimaksud digunakan:
1. Bab I Pasal 7 KODEKI: "Seorang dokter hanya memberi keterangan dan
pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya".
2. Bab II Pasal 12 KODEKI: "Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu
yang diketahuinya tentang seorang pasien bahkan juga setelah pasien me-
ninggal dunia.
3. Paragrap 4, pasal 4 8 UU N o. 29 / 200 4tentang Praktik Kedokteran : kepentingan
kesehatan pasien, rahasia kedokteran hanya dapat dibuka untuk memenuhi
permintaan aparatur penegak hukum, atas permintaan pasien atau berdasarkan
ketentuan perundang-undangan
Tidak jarang dijumpai dalam memperoleh surat keterangan dokter tersebut
bahwa pasien atal keluarganya berusaha mendapat keterangan yang mengun-
tungkannya, meskipun tidak didasarkan kebenaran seluruhnya atau sebagiannya.
Surat-surat keterangan (SK) dokter yang sering dimintakan antara lain adalah:
1. Surat Keterangan lahir
2. Surat Keterangan meninggal
3. Surat Keterangan sehat (untuk asuransi jiwa, Surat Izin Mengemudi (SIM),
nikah, lamaran keg'a, pendidikan, dsb.)
4. Surat Keterangan sakit untuk istirahat
5. Surat Keterangan cacat
6. Surat Keterangan pelayanan medis untuk penggantian biaya dari Asuransi
Kesehatan
7. Surat Keterangan cuti melahirkan
8. Surat Keterangan ibu hamil bepergian dengan pesawat udara
9. Visum et Repertum (perkosaan, pembunuhan, trauma, autopsi forensik, dan
sebagainya)
10. Laporan penyakit menular
1 1. Kuitansi

Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh seorang dokter pada waktu memberikan
surat-surat keterangan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Surat Keterangan Lahir
SK kelahiran berisi tentang waktu (t""ggut dan jam) lahirnya bayi, kelamin,
berat badan dan nama orang tua. Kewajiban mengeluarkan surat keterangan
mengenai kelahiran hendaklah diisi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Kadang l<ala ada pasien yang meminta surat keterangan kelahiran dari anak
yang dipungutnya (adopsi) sebagai anak kandungnya sendiri. Hal ini ber-
pengaruh terhadap harta warisan, wali nikah dan kemungkinan kawin con-
sangu.rn. Ada pula anak yang lahir di luar negeri diminta surat keterangan
lahirnya di Indonesia untuk tujuan kewarganegaraan.
90 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

Hal yang menjadi masalah ialah surat keterangan kelahiran dari:


a. anak yang lahir hasil inseminasi buatan dari semen donor (Artefa:al
Inseminahbn by Donor : A.I.D.) yang biasanya hanya dokterlah yang
mengetahui siapa donornya.
b. anak yang lahir hasil bayi tabung yang telur dan/atau sel maninya berasal
dari donor (In Vttro Fertilizahbn by Dono).
c. anak yang lahir hasil konsepsi dari saudara kandung suami (adik atau abang)
karena suami adalah steril (azoosperm) dan hubungan seksual ini atas per-
setujuan dan permintaan suami isteri yang bersangkutan (pada suku bangsa
tertentu di Indonesia, dibenarkan adatnya).
Ketiga hal tersebut di atas bertentangan dengan hukum yang berlaku di
Indonesia.
2. Surat Keterangan Meninggal
a. Surat keteranga.n untuk keperluan penguburan.
Perlu'dicantumkan identit as jenazah, tempat, dan waktu meninggalnya.
b. Surat keterangan (laporan) kematian.
Mengenai surat keterangan kqmatian haruslah pula diisi sebab kematiannya
sesuai dengan pengetahuan dokter. Karena bedah mayat klinik belum dapat
dilakukan hingga saat ini, sebab kematian secara klinik saja dilaporkan. Lama
menderita sakit hingga meninggal dunia juga harus dicantumkan.Jika jenazah
akan diangkut ke luar daerah atau ke luar negeri, adanya kematian karena
penyakit menular harus diperhatikan.
3. Surat Keterangan Sehat
a. Untuk asuransi jiwa
Dalam menulis laporan pengujian kesehatan untuk keperluan asuransi
jiwa, perlu diperhatikan supaya:
1). Laporan dokter harus objektr{ jangan dipengaruhi oleh keinginan calon
nasabah atau agen perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan. Sesuai
dengan kepentingan masing-masing tentu menghendaki supaya calon
nasabah dapat diterima.
2). Sebaliknya jangan menguji kesehatan seorang calon yang masih atau
pernah menjadi pasien sendiri untuk menghindari timbulnya kesukaran
dalam mempertahankan wajib menyimpan rahasia jabatan.
3). Jangan dibeiitahukan kepada calon tentangkesimpulan dari hasil peme-
riksaan medik. Serahkan hal itu keoada perusahaan asuransi itu sendiri.
Dokter penguji kesehatan sesungguhnya sebagai ahli, tidak sebagai orang
kepercayaan dari perusahaan asuransi kesehatan.
Pada zaman kolonial (tahun tiga puluhan), surat-surat kabar memuat
iklan-iklan beberapa perusahaan asuransi yang mengumumkan bahwa
orang-orang yang hendak mengasuransikan jiwanya untuk pengujian ke-
sehatannya dapat memilih dokternya sendiri yang sudah biasa memeriksa
dan mengobati mereka. Tawaran ini rupanya untuk menarik lebih banyak
langganan.
&4 13 Surol-Surot Keterongon Dohter 91

Sepintas lalu iklan-iklan tersebut memang menarik kgrena orang lebih


suka diperiksa oleh dokternya sendiri (dokter keluarga) daripada oleh dokter
lain yang tidak dikenal. Akan tetapi, perusahaan pemsahaan asuransi juga
mengetahui bahwa dokter keluarga pada umumnya mengetahui lebih
banyak tentang kesehatan, penyakit-penyakit dan cacat pasiennya daripada
seorang dokter yang memeriksa untuk pertama kali.
Jadi, pemeriksaan oleh dokternya sendiri sesungguhnya menguntungkan
pdrusahaan asuransi karena sebagai dokter penguji kesehatan dokter tersebut
' wajib memberitahukan pada perusahaan asuransi segala sesuatu yang ia
ketahui dari orang yang kesehatnnya diuji, termasuk segala penyakit dan
cacatyang sudah ia ketahui sebelum orang tersebut diperiksa kesehatannya
atas permintaan dan biaya perusahaan tersebut, yang sebenarnya wajib ia
rahasiakan. Untuk tidak melanggar rahasia peke{aannya, seharusnya dokter
keluarga menolak untuk menguji kesehatan pasien.

b. Untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi (SIN4) darat, laut, udara.


Kecelakaan lalu lintas akhir-akhir ini makin meningkat dengan bertambah
padatnya kendaraan terutama di kota-kota besar. Pengendara atau faktor
manusia merupakan faktor utama penyebab kecelakaan lalu lintas itu. Oleh
karena itu, pengujian kesehatan untuk memperoleh SIM adalah penting
terutama untuk mengetahui apakah ada yang menderita penyakit yang
membahayakan, seperti penyakit ayan (epilepsi)
Bagi supir-supir tahsi, bus umum; masinis kereta api dan pilot pesawat
udara diperlukan bukan saja sehat fisik, tetapi perlu pula diperhatikan fakor
mentalnya, bahkan bagi calon pilot diperlukan beberapa tes kemampuan
dan keterampilan. Surat-surat keterangan tersebut biasanya diminta oleh
perusahaan-perusahaan pengangkutan yang bertanggung jawab akan ke-
selamatan penumpang-penumpang dan alat-alat pengangkutannya.

c. Untuk nikah
Dahulu, surat keterangan kesehatan untuk nikah hanya diminta oleh
kalangan ABRL Selain pemeriksaan fisik biasanya disusul dengan peme-
riksaan laboratorium. Namun, kini surat keteranga.n ini juga diperlukan
untuk penduduk sipil.
Di negara maju lazim dilakukan pemeriksaan dan konsultasi sebelum
nikah untuk calon suami isteri (premaital councelling). Pada kesempatan itu
selain pemeriksaan medik juga dibicarakan masalah yang akan dihadapi
kedua calon suami isteri, baik mengenai peke{aan masing-masing kegiatan
sosial, dan keluarga berencana. Para dokter juga memberikan edukasi re-
produksi dan pendidikan seks pada waktu itu.
Bagaimana sikap seorang dokterjika pada waktu pemeriksaan menjumpai
kelainan atau penyakit yang diderita oleh salah satu calon suami isteri atau
keduanya; apakah dokter boleh memberitahukannya kepada pasangannyal
Misalnya, suami pasien TBC paru atau hasil analisis semen menunjukkan
azoospermi atau isteri dengan aplasia uteri (kelainan bawaan tidak adanya
rahim). Sesuai dengan kewajiban dokter merahasiakan segala sesuatu yang
92 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

diketahuinya tentang seorang pasien, rahasia ini harus,dipegang teguh.


Dokter memberikan hasil pemeriksaannya kepada mereka masing-masing
dan terserah kepada calon suami isteri itu apakah akan memberitahukan hal
itu kepada calon pasangannya.
4. Surat Keterangan Sakit untuk Istirahat
Seorang dokter harus waspada terhadap kemungkinan simulasi atau agravasi
pada-waktu memberikan keterangan mengenai cuti sakit seorang karyawan.
Ada kalanya cuti sakit disalahgunakan untuk tujuan lain, misalnya untuk
mengunjungi keluarga di luar kota, tidak bersedia menghadiri sidang peng-
adilan, atau suatu kegiatan di kantor, terlambat kembali bekerl'a dari cuti
tahunan, dan sebagainya. Surat keterangan cuti sakit palsu dapat menyebabkan
seorang dokter dituntut menurut pasal263 dan267 KUHP.

5. Surat Keterangan Cacat


Seorang dokter harus waspada terhadap kemungkinan simulasi dan agravasi
pada waktu memberikan keterangan mengenai tingkat cacat seorang pekerja
akibat kecelakaan di tempat kerjanya. Berapa besar tunjangan atau pensiun
yang akan diberikan kepadanya bergantung pada keterangan dokter tentang
sifat cacatnya.
6. Surat Keterangan Penggantian Biaya dari Asuransi Kesehatan
Berisi identitas pasien dan pernyataan pemberian kuasa pasien/wali pasien
kepada dokter, untuk memberikan data medisnya kepada perusahaan asuransi
bersangkutan
Dalam formulir klaim asuransi perlu dicantumkan pernyataan pasien/wali,
sebagai berikut.
Denga.n ini, saya yang bertanda tangan di bawah ini, sebagai pasien,/wali pasien
yang sah, memberi 'win pada pihak penyedia pelayanan kesehatan untuk
menjelaskan semua tindakan yang diperlukan, demi kesehatan saya kepada PT
Asuransi X.dan untuk mendapatkan semua informasi lain yang diperlukan dari
penyedia pelayanan kesehatan atau pihak lain sehubungan dengan verifikasi
dan penggantianbiaya dari pelayanan kesehatan yang diberikan kepada saya
atau pasien yang saya walikan.
Surat Keterangan Cuti Melahirkan
Hak cuti melahirkan seorang ibu adalah 3 bulan, yaitu 1 bulan sebelum dan 2
bulan setelah persalinan. Tirjuannya agaribu cukup istirahat dan mempersiapkan
dirinya dalam menghadapi proses persalinan, dan mulai bekerja kembali
setelah habis masa nifas. Dalam kenyataannya, ada ibu hamil yang meminta
cutinya diberikan sejak kelahiran bayinya. Dalam hal ini jika dari segi medis
tidak keberatan, terserah pada instansi atau perusahaan tempat ibu tersebut
bekerja. Ada pula peraturan yang tidak memberikan lagi cuti hamil, jikajumlah
anaknya lebih dari 2 (dua).
8. Surat Keterangan lbu Ilamil Bepergian dengan Pesawat Udara
Sesuai dengan peraturan International Aviation, ibu hamil tidak dibenarkan
bepergian dengan pesawat udara, jika mengalami:
844 13 Swqt-9urot Keterongon Dohter 93

a. hiperemesis atau emesis gravidarum,


b. hamil dengan komplikasi (perdarahan, preeklamsi, dsb.),
c. hamil36 minggu atau lebih, atau
d. hamil dengan penyakit-penyakit lain yang berisiko.

9. Visum et Reperturn
Visum et Repertum ffeR) adalah surat keterangan yang dikeluarkan dokter
untuk polisi dan pengadilan.VeR mempunyai daya bukti dar' alat bukti yang
sah dalam perkara pidana.
VeR berisi laporan tertulis tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada
benda-benda,/korban yang diperiksa VeR dapat diminta untuk orang hidup,
misalnya korban yang lukaluka karena kekerasan, keracunan, perkosaan, dan
kasus psikiatri. VeR untuk jenazah dapat dibedakan atas visum dengan pe-
merilsaan luar dan visum dengan pemeriksaan luar dan dalam.
a. Kasus perkosaan
Terdapat kesulitan jika korban dikirim terlambat karena hasil pemeriksa-
an tidak menunjukkan keadaan sebenarnya, misalnya luka pada tubuh dan
genitalia eksterna telah sembuh, sel mani dalam liang senggama negatif dan
sebagainya.
b. Bedah mayat kedokteran kehakiman
Harus objektif tanpa pengaruh dari mereka yang berkepentingan dalam
perkara. Keterangan hendaknya dengan istilah yang mudah dipat-rami,
berdasarkan apayang dilihat dan ditemukan, sehingga tidak berulang kali
dipanggil ke pengadilan untuk dimintakan keterangan tambahan.
10. Laporan Penyakit Menular
Kewajiban melaporkan penyakit menular di Indonesia diatur dalam undang-
undang No. 6 tahun 1962 tentang Wabah. Dalam hal ini mudah dipahami
bahwa kepentingan umumlah yang harus diutamakan. Pasal 50 KUHP ber-
bunyi: Tiada boleh dihukum barang siapa melakukan perbuatan untuk men-
jalankan aturan undang-undang.
Bifa penganut aliran mutlak untuk tidak membuka rahasiajabalantaatpada
pendiriannya, ia tidak hanya melanggar pasal ini, tetapi juga membahayakan
masyarakat karena membiarkan penyakit menular berlangsung tanpa tindakan
yang diperlukan. Mengenai aspek hukum dan etik penyakit menular dibahas
lebih lanjut dalam Bab 20.
11. Kuitansi
Dalam praktik sehari-hari tidak jarang seorang dokter diminta tanda bukti
pembayaran (kuitansi) atas imbalan jasa yang diterimanya. Hal ini tidak
menimbulkan masalah asal saja sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Tetapi
kadang-kadang timbul masalah sehubungan dengan penggantian biaya berobat
dari perusahaan dimana pasien atau suaminya bekerja.
Sebagai contoh dapat dikemukakan:
a. Perusahaan hanya mengganti biaya pengobatan sebesar 50%0. Pasien me-
minta aga.r pada kuitansi dituliskan sebesar 2 kali imbalan jasa yang diterima
94 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

dokter, agar dengan demikian seluruh biaya pengobatan ditanggung oleh


perusahaan.
b. Pasien meminta agar imbalan jasa dokter dinaikkan dan sisa antara imbalan
jasa dokter yang sebenarnya dengan yang.dicantumkan dibagi 50-500/o
antara dokter dan pasiennya.
c. Pasien meminta agar biaya pengangkutan pulang pergi dari luar kota ke
tempat berobat dimasukkan dalam kuitansi berobat (built rn), sedangkan
dokter tidak menerima bagian daribiaya pengangkutan itu.
Hal-hal tersebut pada a, dan b, jelas merupakan malpraktik etik dan mal-
praktik kriminil.

fqnhri Huhum
Para dokter dalam memberikan berbagai jenis surat-surat keterangan seperti
tersebut di atas, hendaknya berdasarkan keadaan yang sebenarnya dan dapat
dibuktikan kebenarannya. Penyimpangan dalam pembuatan surat keterangan,
selain tidak etis merupakan pelanggaran terhadap Pasal 267 KUHP sebagai
berikut.
1. Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu
tentang ada atal tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat diancam dengan
hukuman penjara paling lama empat tahun.
2. Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang
dalam rumah sakit gila atau untuk menahannya di situ, dijatuhkan hukuman
penjara paling lama delapan tahun enam bulan.
3. Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memberikan
surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.

Selanjutnya dalam Pasal 179 KUHAP tercantum sebagai berikut.


1. Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman
atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi
kead'ilan.
2. Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang
memberikan'keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan
sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan
sebenar-benarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
l4
MalpnlKTrx Mrox

Tuiuon lnrtruhrionql Khurut


1. Menyebuthon definisi molprohtih medih.
2. Menyebuthqn jenis-jenis molprohtih.
3. Menjelqshon secqro gqris besqr stondqr peloyonon medih.
4. Memberihqn contoh-contoh hosus molprohtih otqu buhon molprohtih
medih.
5. Menjeloshon prosedur tuntuton hqsus dugqon molprohtih medih.
Fohoh Bqhqrqn
1. Mqlprohtih medih.
2. Prosedur tuntuton hosus molprohtih medih.
tub-trohoh Bqhqrqn
1. Pengertion molprqhtih, helqlqion dqn peloyonon hedohterqn di
bowqh stondqr.
2. Molprohtih etih, pidono don perdotq sertq contoh-contohnyo.
3. Upoyq dohter dqlom penyembuhon posien sesuqi prosedur/stqndor.
4. lqlur tuntuton hqrus dugoon molprohtih medih.

95
96 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehotqn

Akhir-akhir ini tuntutan hukum terhadap dokter dengan dakwaan melakukan


malpraktik makin meningkat di mana-mana, termasuk di negara kita. Maraknya
pengaduan tersebut selain disebabkan oleh meningkatnya kesadaran hukum dan
kesadaran akan hak-hak pasien, adalah karena masyarakat menganggap kegagalan
upaya penyembuhan yang dilakukan dokter terhadap pasien identik dengan ke-
gagalan tindakan medik. Padahal dokter tidak dapat disalahkan jika ia telah me-
laksanakan tugas pro{bsinya sesuai dengan standar pelayanan medik, sesuai dengan
standar prosedur yang telah disepakati oleh organisasi profesinya dan Rumah Sakit
tempat ia bekerja.
Seorang dokter tidak menjamin hasil akhir upayanya yar'g sungguh-sungguh
untuk kesembuhan pasien atau meringankan penderitaan pasiennya. Jadi, jika ter-
jadi komplikasi tidak terduga, cedera, bahkan pasiennya meninggal dunia, dokter
tidak dapat dituntut. Yang penting dokter telah bersikap tulus ikhlas dan memper-
gunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan dan keselamatan
pasien dan dalam hal tidak mampu ia telah mengonsultasikan pasiennya kepada
dokter lain yang memiliki keahlian khusus mengenai penyakit yang diderita
pasiennya.
Harapan pasien dalam menerima pelayanan medik adalah kesembuhan dan
sekecil mungkin adanya risiko atau efek samping. Namun, dokter adalah manusia
biasa yang tidak luput dari human ero4 apalagS bekerja dalam kondisi sarana
pelayanan medik yang tidak memadai, peralatan yang kurang faktor lingkungan
dan sebagainya. Di sisi lain para dokter dituntut untuk melaksanakan kewajiban
dan tugas profesinya dengan lebih hati-hati dan penuh tanggungjawab. Seorang
dokter hendaknya dapat menegakkan diagnosis dengan benar sesuai dengan pro-
sedur, memberikan terapi dan melakukan tindakan medik sesuai standar pelayanan
medik, dan tindakan itu memang wajar dan diperlukan.
Di negara maju tiga besar, dokter spesialis menjadi sasaran utama tuntutan
ketidaklayakan dalam praktik, yaitu spesialis bedah (ortopedi, plastik dan saraf),
spesialis anestesi, dan spesialis kebidanan dan penyakit kandungan. Di Indonesia
sengketa medis terbanyak melibatkan Sp.OG., disusul oleh Sp.B., Sp.PD., Sp.An.
dan Sp.A. (MKEK IDlJakarta,2004 danJawa Tengah,2004)
Menurut keluarga korban malpraktik yang tergabung dalam Persaudaraan
Korban Sistem Kesehatan (PKSK) dalam kurun 2 tahun (2004, 2005) terdapat 386
kasus dugaan malpraktik yang dilaporkan ke polisi, namun belum satu pun dapat
dituntaskan.

Fengertisn Mqlprqhtih
Malpraktek (malapraktek) atau malpraktik terdiri dari suku kata mal dan praktik
atau praktek. Mal berasal dari kata Yunani, yang berarti buruk. Praktik (Kamus
Umum Bahasa Indonesia, Purwadarminta, 1976) atau praktik (Kamus Dewan
Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1991) berarti menjalankan
perbuatan yang tersebut dalam teori atau menjalankan pekerjaan (profesi). Jadi,
malpraktik berarti menjalankan pekerjaan yang buruk kualitasnya, tidak lege artis,
tidak tepat. Malpraktik tidak hanya terdapat dalam bidang kedokteran, tetapi juga
dalam profesi lain seperti perbankan, pengacara, akuntan publik, dan wartawan.
eal rc Molptohtih Medih 97

BhcrtJ Lazo Dichuzary mendefinisikan malpraktik sebagai "malprachbe n a


profrssrbnal misconduct or unreasonable kcrt ofshill orfailure ofone rendenngproifrssional
seratVes to exerase tltatdegree ofshtT/ and /earningconmonly app/t'ed undera// arcumstances
tn tlte communr$ by tlte azterage prudent reputable mernber of the projixtbn with tlte
result of in1ury, loss, or damage to t/te reapient of those seratlces or to those entitled to rely
upon thqm"
Menurut WHO (1992)," medical malprach)ce rnztolztes tlze pltyvuan's ikilure to
co&nn to the standard of carelfrr treatment of the patt'ents condition, or lacft of shill, or
negligence in prniding care to the pahent uthiclt u tlte dtrect cause o1f an tn1ury to the
pah'enf.
Longman Dichbnary of Contemporary Engltsh (l,{ew Editnn, 1987) mendefrnisi-
kannya, "failure to cany out one's projlssional duQ praper/y or hones$t ofun resulting tn
in1ury, /oss, or damage to someone".
Dengan demikian, malpraktik medik dapat diartikan sebagai kelalaian atau
kegagalan seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu
pengetahuan yanglazim dipergrnakan dalam mengobati pasien atau orang cedera
menurut ukuran dilingkungan yang sama.
Apapun definisi malpraktik medik pada intinya menga.ndung salah satu unsur
berikut.
1. Dokter kurang menguasai ilmu pengetahuan kedokteran dan keterampilan
yang sudah berlaku umum dikalangan profesi kedokteran.
2. Dokter memberikan pelayanan medik di bawah standar (tidak lege artis)
3. Dokter melakukan kelalaian berat atau kurang hati-hati, yang dapat men-
cakup:
a. Tidak melakukan sesuatu tindakan yang seharusnya dilakukan, atau
b. Melakukan sesuatu tindakan yang seharusnya tidak dilakukan.
4. Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum
Dalam praktiknya banyak sekali hal yang dapat diajukan sebagai mal-
praktik, seperti salah diagnosis atau terlambat diagnosis karena kurang
lengkapnya pemerilsaan, pemberian terapi yang sudah ketinggalan zaman,
kesalahan teknis waktu melakukan pembedahan, salah dosis obat, salah
metode tes atau pengobatan, perawatan yang tidak tepat, kelalaian dalam
pemantauan pasien, kegagalan komunikasi, dan kegagalan peralatan.
Malpraktik medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan
tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yanglazim dipergunakan dalam
mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan
yang sama. Yang dimaksud dengan kelalaian di sini ialah sikap kurang hati-
hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati
melakukannya dengan wajar, atat sebaliknya melakukan apayang seseorang
dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut.
Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran di bawah
' standar pelayanan medik.
Walaupun UU No. 6 tahun 1963 tentangTenaga Kesehatan sudah dicabut
oleh UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, .narnun perumusan mal-
98 Etiho Kedohteron don Huhum Kerehotqn

praktiVkelalaian medik yang tercantum pada Pasal 11b masih dapat


dipergunakan, yaitu:
Dengan tidak mengurangi ketentuan di dalam KUHP dan peraturan per-
undang-undangan lain, terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-
tindakan administratif dalam hal sebagai berikut.
(a) melalaikan kewajiban
ft)inelakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang
tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya, maupun mengingat
sumpah sebagai tenaga kesehatan.
Dari 2 butir tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pada butir (a) melalaikan
kewajiban, yang berarti tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan
sedangkan pada butir (b) berarti melakukan sesuatu tindakan yang seharusnya
tidak dilakukan.
Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan jika kelalaian itu
tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu
dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum "De minimis noncurat /ex," yang
berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele. Akan tetapi, jika
kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut
nyawa orang lain, diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa /ata), serius dan
kriminil.

Tolak ukur culpa lata adalah:


1. bertentangan dengan hukum
2. al<rbatnya dapat dibayangkan
3. akibatnya dapat dihindarkan
4. perbuatannya dapat dipersalahkan.
Jadi malpraktik medik merupakan kelalaian yang berat dan pelayanan kedokteran
di bawah standar.
Malpraktik medik murni (mminal malpracnbe) sebenarnya tidak banyak di-
jumpai. Misalnya melakukan pembedahan dengan niat membunuh pasiennya atau
adanyadokteryang sengaja melakukan pembedahan pada pasiennya tanpa indikasi
medik, (appendektomi, histerektomi dan sebagainya), yang sebenarnya tidak perlu
dilakukan, jadi semata-mata untuk mengeruk keuntungan pribadi. Memang dalam
masyarakat yang menjadi materialistis, hedonistis, dan konsumtif kalangan dokter
turut terimbas, malpraktik seperti di atas dapat meluas.
Pasien,/keluarga menaruh kepercayaan kepada dokter, karena:
L. dokter mempunyai ilmu pengetahuan dan keterampilan untukmenyembuhkan
penyakit atau setidak-tidaknya meringankan penderitaan.
2. dokter akan bertindak dengan hati-hati dan teliti
3. dokter akan bertindak berdasarkan standar profesinya
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran,
ia hanya telah melakukan malpraktik etik. Untuk dapat menuntut penggantian
8a/. 14 Malproktih Medih 99

kerugian (perdata) karena kelalaian, penggugat harus dapat membuktikan adanya


4 unsur berikut.
1. Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien.
2. Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yanglazim dipergunakan.
3. Penggdgat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
4. secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan di bawah standar.

Kadang-kadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian yang ter-


gugat. Dalam hukum terdapat suatu kaedah yang berbunyi "Res Ipsa Loqultur",
yang berarti faktanya telah berbicara, misalnya terdapatnya kain kasa yang ter-
ii"ggul di rongga perut pasien sehingga menimbulkan komplikasi pascabedah.
Dalam hal ini, dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada
dirinya.
Kelalaian dalam arti perdata berbeda dengan arti pidana. Dalam arti pidana
(kriminil), kelalaian menunjukkan kepada adanya suatu sikap yang sifatnya lebih
serius, yaitu sikap yang sangat sembarangan atau sikap sangat tidak hati-hati
terhadap kemungkinan timbulnya risiko yangbisa menyebabkan orang lain terluka
atau mati sehingga harus bertanggung jawab terhadap tuntutan kriminal oleh
negara.

Upqycr pencegqhdn molprchtih


Pelayanan medik merupakan suatu sistem pelayanan yang kompleks dan ketat
sehingga mudah te{adi kecelakaan terutama di UGD, ICU, Kamar Bedah, dan
Kamar Bersalin. Oleh karena itu, pelayanan di sini harus ekstra hati-hati. Setiap
tindakan medik mengandung risiko karena itu harus dilakukan tindakan pen-
cegahan dan berupaya mengurangi risikonya hingga tingkat yang dapat diterima
(accrpnbt). Berikut ini beberapa tips agar terhindar dari tuntutan malpraktik.
1. Senantiasa berpedoman pada standar pelayanan medik dan standar prosedur
operasional.
2. Bekerjalah secara profesional, berlandaskan etik dan moral yang tinggi.
3. Ikuti peraturan perundangan yang berlaku, terutama tentang kesehatan dan
praktik kedokteran.
4. jangan
Jalin komunikasi yang harmonis dengan pasien dan keluarganya dan
pelit informasi baik tentang diagnosis, pencegahan dan terapi. Ada yang
mengatakan bahwa " a good plrysiaan-pattent relationshtp is tlte best prtpltylactic
agatnst a malpracttbe suit'.
5. Tingkatkan rasa kebersamaan, keakraban dan kekeluargaan sestuna sejawat
dan tingkatkan kerja sama tim medik demi kepentingan pasien.
6. Jangan berhenti belajar, selalu tingkatkan ilmu dan keterampilan dalam bidang
yang ditekuni.

Contoh Kqrur
1. Seorang dokter memberi cuti sakit berulang kali kepada seorang tahanan,
padahal orang tersebut mampu menghadiri sidang pengadilan perkaranya.
loo Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

Dalam hal ini, dokter terkena pelanggaran KODEKI Bab-I pasal 7 dan KUHP
pasal267.
KODEKI Bab-I pasal T:
Seorang dokter hanya memberi keterangan atau pendapat yang telah di-
periksa sendiri kebenarannya.
KUHP pasal267:
Do*ter yang dengan sengaja memberi surat keterangan palsu tentang adanya
atau tidak adanya penyakit, kelemahan atau cacat, dihukum dengan hukuman
penjara selama 4 tahun.
2. Seorang pasien gawat darurat dirawat di suatu rumah sakit dan ternyata me-
merlukan pembedahan segera. Ternyata pembedahan tertunda-tunda karena
faktor administrasi keuangan sehingga pasien meninggal dunia. Pelanggaran
etik dan hukum kasus ini ada 2 kemungkinan:
a. Jika tertundanya pembedahan tersebut disebabkan oleh kelalaian dokter,
sikap dokter tersebut bertentangan dengan lafal sumpah dokter, KODEKI
Bab II Pasal 10 dan KUHP pasal 304 dan 306.
Lafal sumpah dokter
Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien.
KODEKI Bab II Pasal 10
Seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
kemanusiaan.
KUHP pasal304
Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan seorang
dalam kesengsaraan, sedangkan ia wajib memberi kehidupan, perawatan
dan pemeliharaan berdasarkan hukum yang berlaku baginya atau karena
suatu perjanjian, dihukum dengan hukum penjara selama-lamanya 2 tahun
8 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-
KUHP pasal306
(2) Jika salah satu perbuatan tersebut berakibat kematian, maka bersalah
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 tahun.
b. Jika tertundanya pembedahan tersebut disebabkan oleh keluarga pasien
belum membayar uang panjar untuk rumah sakit, rumah sakitlah ylng
terkena pasal-pasal KUHP 304 dan 306, sedangkan dokter terkena pe-
langgaran KODEKI.
3. Seorang dokter umum melakukan pembedahan benjolan pada leher seorang
wanita yang kemudian timbul komplikasi pendarahan. Dokter menghentikan
tindakannya sedangkan benjolan tersebut belum diangkat seluruhnya. Pada-
hal di kota tempat dokter ini bekerja ada dokter spesialis bedah. Dalam kasus
. ini dokter umum tersebut melanggar KODEKI Bab-I pasal 2 dan ll, KUHP
pasal 360.
KODEKI Bab I pasal2
Seorang dokter hams senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai
dengan standar profesi yang tertinggi.
€4/ 14 MolpraH,ih Medih 101

KODEKI Bab I pasal 10


Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergmakan segala ilmu
dan keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ia tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan sehingga atas persetujuan
pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang memiliki keahlian dalam
penyakit tersebut.
KUHP pasal350:
Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang lain mendapat luka
berat atau luka sedemikian sehingga berakibat penyakit atau halangan se-
mentara untuk menjalankan jabatan atau pekerjaannya, dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun.
Bagaimana jika pasien meninggal dunia selagi dilakukan penyelidikan
tentang penyakitnya, apakah dokter dapat diminta untuk pertanggung-
jawaban? Dalam hal ini bergantung pada indikasi pemeriksaan tersebut,
apakah pemeriksaan telah dilakukan dengan hati-hati dan sesuai prosedur,
dan apakah sewaktu terjadi komplikasi telah diupayakan menyelamatkan
pasien secara maksimal dengan carayang cepat dan tepat.
4. Seorang wanita, usia 31 tahun dirawat dengan benjolan pada leher, lemah
dan tidak mempunyai nafsu makan. Dugaan diagnosis adalah suatu penyakit
darah, mungkin limfoma atau leukemia.
Pemeriksaan darah menunjukkan leukemia akut. Namun, pada tahap itu
tidak dapat dipastikan tipenya. Karena itu, diperlukan punksi sumsum tulang
untuk mengetahui tipe sel dan menetapkan terapi yang tepat. Punksi sumsum
tulang telah dicoba sebanyak 6 kali, pada tulang dada dan tulang panggul.
Pada punksi tulang dada terakhir kali, tiba-tiba pasien menjadi sesak,
Resusitasi dilakukan segera, namun pasien meninggal dunia 45 menit ke-
mudian. Pada autopsi dijumpai bahwa pasien meninggal karena komplikasi
haemopericardium (perdarahan) yang disebabkan luka punksi pada bilik
kanan jantung sewaktu melakukan punksi tulang dada.
Dalam penyelidikan di pengadilan dibuktikan bahwa prosedur punksi
perlu dilakukan untuk diagnosis dan terapi serta tekniknya telah dilaksanakan
dengan hati-hati dan sesuai prosedur. Komplikasi yang timbul memang dapat
terjadi pada aspirasi sumsum tulang. Pertolongan yang diberikan setelah
komplikasi adalah cepat dan tepat dan dinilai tidak ada kelalaian dokter.
5. Seorang wanita usia 70 tahun dirujuk ke rumah sakit untuk appendektomi
karena radang usus buntu. Pada waktu pembedahan, spesialis bedah meng-
angkat suatujaringan yang diduganya usus buntu yang sedang meradang.
Namun, pada pemeriksaan patologi anatomi, ternyata jaringan tersebut
bukan suatu usus buntu, melainkan jaringan lemak. Pasien meninggal 2 hari
setelah operasi. Pada autopsi dijumpai usus buntu yang mengalami perforasi
masih melekat pada coecum. Kematian disebabkan oleh sepsis yang timbul
akibat appendicitis akut yang perforasi.
Di pengadilan dinyatakan bahwa dokter spesialis bedah tersebut kurang
teliti dan hati-hati dan dinilai keterampilannya di bawah standar. Kalaupun
to2 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

spesialis patologi segera memberitahukan hasil pemeriksaannya kepada


spesialis bedah tersebut dan ia sempat melakukan operasi kedua, belum tentu
pasien dapat diselamatkan.

Dari kasus-kasus tersebut di atas dapat diambil pelajaran sebagai berikut.


1. Dari seorang dokter dituntut penampilan sesuai dengan standar dalam me-
laksanakan.tugas proGsinya, serta berusaha dengan sungguh-sungguh dan
hati:hati dalam mencegah komplikasi saat menegakkan diagnosis.
It $ tlte du$ of a phyv'aan or surgeon in dtagnosmg a case t0 use diligence, tn
ascertainmg all az.tailab/e facts and collemng data essential to a praper dngnosn
(Lousell dan Williams, 1986).
2. Jika pemeriksaan pasien telah dilakukan dengan teliti, menegakkan diagnosis
berlandaskan data-data yang memadai, mempertimbangkan diagnosis dife-
rensial dengan tes-tes tambahan yang diperlukan, mengobati pasiennya de-
ngan cara-cara yang tepat, membuat catatan medik dengan adekuat termasuk
tindak lanjutnya @//* up), menyadari benar-benar apa yang dilakukannya
dan memberikan pertolongan dengan cepat dan tepat jika te{adi komplikasi,
dokter tidak akan dapat dituntut melakukan kelalaian apabila te{adijuga hal-
hal yang tidak diinginkan.
The pnnupb oflaw ts utell establnhed that a prach'tioner cannot be held negligent
rfthe treads the we// zuotu path, he cannot be lteld negtigent tfhefollozus zuhat is the
general and ap,proaed practtbe tn tlte situah'on witlt ztiticlz lte wasfoced.
Not all mistahes ulticlt resuh rn in1ury to a patient are actionable malpract/ce,A
pltyuAan * not an tnsurer oifthe results ofltts dtagnuts and treatment (Lousell dan
Williams, 1986).
3. Jika suatu kasus yang diduga malpraktik diajukan ke depan pengadilan,
diperlukan bukti-bukti yang cukup untuk menega.kkan kebenaran.Jika pasien
meninggal dunia, diperlukan autopsi klinik untuk menetapkan sebab kematian
yang pasti. Pada tahap sekarang ini, tindakan tersebut masih sulit dilalaanakan
- di negara kita disebabkan oleh pengaruh sosio-budaya.
Jadi, walaupun kesadaran hukum meningkat akhir-akhir ini, namun untuk
menegakkan hukum itu di tengah-tengah masyarakat, masih menghadapi
banyak hambatan. Hambatan lain tentunya adalah bahwa unsur-unsur pe-
negak hukum kadang kala belum siap menangani kasus-kasus yang diajukan
karena terbatasnya pengetahuan dalam bidang medik dan belum adanya
peraturan perundang-undanga.n yang berkaitan dengan kasus-kasus' yang
diajukan.

Fencnganon dugqcn mclprohtih


Selama ini pasien dan atau keluarga mengadukan dokter yang diduga melakukan
malpraktik ke berbagai instansi dan badan seperti polisi, jaksa pengacara, lDl/
MKEK, Dinas Kesehatan, Menteri Kesehatan, LSM, Komnas HAM, dan media
cetaVelektronik.
Dengan terbitnya UU R.I. No. 29 Thhun 2004 tentang Praktik Kedokteran,
diharapkan bahwa setiap orang yang merasa kepentingannya dirugikan atas
9al 14 Malproktih Medih to3

(E
L
(E
p E
)
(L lZ^
- -:Z
:! Ip
o)
vX
;+o)
lz 6'o-
L
lz o
(E
L
(L
o-
6
.g
a
o)
c
o
'1O
c
c(6 l="-=frfig.l
L
o
lz
o
E
o
_:z
Yc
o=
\1 .!+
t/)
-c.'d
c
G
(5
E
ffEffi
t\H
o
Y
o r.-Er
.a
6
lH-
'o-'
to4 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

tindakan dokter dapat mengadukan kasusnya ke Majelis Kehormatan Disiplin


Kedokteran Indonesia (MKDKI).secara tertulis, atau lisanjika tidak mampu secara
tertulis. Pengaduan ini tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan
adanya dugaan tindak pidana kepada pihak berwenang dan atau menggugat
kerugian perdata kepada pengadilan
MKDKI memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan tersebut.
Apabila ditemukan pelanggaran etik, MKDKI meneruskan pengaduan dimaksud
kepada MKEK IDI.Jika terdapat pelanggaran disiplin oleh dokter, MKDKI dapat
memberikan sanksi disiplin berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan
Surat Thnda Registrasi (STR), atau Surat Izin Praktik (SIP) atau wajib mengikuti
pendidikan,/pelatihan kembali di Institusi Pendidikan Kedokteran. Tirjuannya
adalah untuk penegakan disiplin dokter, yaitu penegakan aturan-aturan dan/atau
ketentuan penerapan keilmuan dalam hubungannya dengan pasien.
Jika terdapat bukti-bukti awd, adanya dugaan tindak'pidana, MKDKI menen$-
kan pengaduan tersebut kepada pihak yang berwenang dan/atau pengadu meng-
gugat kerugian perdata ke pengadilan.
Penga.laman adalah guru yang terbaik. Pengetahuan dan keterampilan yang
baik saja tidak cukup dalam upaya penyembuhan pasien; upaya tersebut harus
diiringi sikap profesional yang baik pula. Pendekatan hendaknya holistih dengan
memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai aspek, ekonomi-sosial-budaya
dan psikis pasien. Perbanyak komunikasi dan pemberian informasi kepada pasien
dan/atau keluarganya karena ternyata banyak kasus dugaan malpraktik hanya
karena salah paham dan dapat diselesaikan di luar pengadilan.
t5
Repiroouxlr MINUTA

Tuiuqn lnrtruhrionql Khurur


1. Menyebuthon definisi qbortus don jenis-jenisnyo.
2. Menjelqshon pondongon etih don huhum tentong obortus legqldqn
ilegol.
3. Menjeloshqn corq-cqrq hontrqsepsi umumnyq dqn hhususnyo tentong
pondongon etih dqn huhum terhodop coro hontop.
4. Menyebuthon definisi tehnologi reproduhsi buoton dqn jenis-jenisnyo
secoro singhqt.
5. Menjelqshon posol-posoltentong hehomilon di luor coro olomiyong
tercontum dqlom UU No.23 tohun 1992.
6. Menjeloshqn secqrq singhot soqt melohuhqn selehsigender, oloson- .

olosonnyq, don pondongon etih terhodqpnyq.


7. Menjeloshqn secorq singhot tentong penelition genetih don pondongon
etih terhodop rehoyoso genetih di moso mendotqng.
8. Menjelqshqn secorq singhot tentong tehnih hlonqsidon pondongon,
terhodop hlonqsi podq monusio dengon tujuon reproduhsi.
9. Menjeloshon pondongon etih terhodop hehomilon dengqn HlV.
Pohoh Bqhqron
1. Abortus
2. Kontrqsepsi
3. Tehnologi reproduhsi buqtqn
4. Selehsi helqmin onqh
5. Rehqyoso genetih
6. Klonosipodo monusio
7. HIV dolom hehomilon
fub-trohoh Bqhqrqn
1. Abortus, jenis-jenisnyo serto pondongon etih dqn huhum.
2. Kontrosepsidengon fohus podo hontop, segi etih dqn huhum.
3. Tehnologi reproduhsi buoton, jenir-jenisnyq serto morqloh etih don
huhum.
Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

4. Selehsi helqmin qnqh, qspeh etih don huhum


5. Rehoyoso genetih, orpeh etih don huhum
' 6. Klonqsipodo monusio, ospeh etih, huhum, sosiql, don ogomo
7. HIV dqlqm hehomilon, ospeh itlh dqn huhum.
e4/ 6 Reproduhii Monusio

Dalam Bab ini dibahas aspek etik dan hukum masalah-masalah abortus, kontrasepsi,
teknologi reproduksi buatan, seleksi kelamin anak, rekayasa genetik, klonasi pada
manusia, dan HIV dalam kehamilan.

Abortur
Abortus adalahberakhirnya kehamilan sebelum berusia 22 minggu. Abortus dapat
terjadi secarA spontan atau secara buatan. Abortus spontan (keguguran, mtscamag)
dapat merupakan suatu mekanisme alamiah urttuk mengeluarkan hasil konsepsi
yang abnormal.
Abortus buatan (pengguguran, aborsi, abortus provocatus) adalah abortus yang
terjadi akibat intervensi tertentu yang bertujuan mengakhiri proses kehamilan.
Abortus buatan dapat bersifat legal, (abortus proaocatus medianalu/tlterapeuh'cas)
yang dilakukan berdasarkan indikasi medik. Abortus buatan ilegal (abortw prwocatus
mninatrs) adalah abortus yang dilakukan berdasarkan indikasi nonmedik. Abortus
ini dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten atau tenaga yang tidak kom-
peten. Aborsi yang dilakukan oleh tenaga yang tidak kompeten biasanya dengan
cara:caraseperti memifit-miy'it perut bagian bawah, memasukkan benda asing atau
jenis tumbuh-tumbuhan/rumput-rumputan ke dalam leher rahim, dan pemakaian
bahan-bahan kimia yang dimasukkan ke dalam jalan lhhir sehingga sering terjadi
perdarahan dan infeksi yang berat, bahkan dapat berakibat fatal. Berlandaskan
La{hl Sumpah Hippokrates, Lafal Sumpah Dokter Indonesia dan Internattbnal'Code
of Medical Ethics rnaupun KODEKI, setiap dokter wajib menghormati dan me-
lindungi makhluk hidup insani. Karena itu, aborsi berdasarkan indikasi nonmedik
adalah tidak etis.
Abortus buatan legal dilakukan dengan cara tindakan operatif (paling sering
dengan cara kuretase, aspirasi vakum) atau denga.n cara medikal. Dalam Deklarasi
Oslo (1970) dan UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, mengenai abortus
buatan legal terdapat ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
. Abortus buatan legal hanya dilakukan sebagai suatu tindakan terapeutik yang
keputusannya disetujui secara tertulis oleh 2 orang dokter yang dipilih berkat
kompetensi profesional mereka dan prOsedur operasionalnya dilakukan oleh
seorang dokter yang kompeten diinstalasi yang diakui suatu otoritas yang
sah, dengan syarat tindakan tersebut disetujui oleh ibu hamil bersangkutan,
suami, atau keluarga.
. Jika dokter yang melaksanakan tindakan tersebut merasa bahwa hati
nurani-
nya tidak membenarkan ia melakukan pengguguran itu, ia berhak meng-
undurkan diri dan menyerahkan p&"kru.ruu" ii"a** medik itu kepada
teman sejawat lain yang komPeten.
. Yang dimaksud dengan indikasi medis dalam abortus buatan legal ini adalah
suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan tersebut
sebab tanpa tindakan tersebut dapat membahayakan jiwa ibu atau adanya
ancaman gangguan fisik, mental dan psikososial jika kehamilan dilanjutkan,
atau risiko yang sangat jelas bahwa anak yang akan dilahirkan menderita
cacat mental , atan cacat fisik yang berat.
Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

. Hak utama untuk memberikan persetujuan tindakan medik adalah pada ibu
hamil yang bersangkutan, narnun pada keadaan tidak sadar atau tidak dapat
memberikan persetujuannya dapat dimint a pada suaminya,/wali yang sah.
Pernyataan Oslo didukung oleh General ,4ssembly dari WMA, namun tidak
mengikat para anggotanya. Ada negara yang melegalkan abortus sebagai salah satu
cara keluarga berencana.
Suatu,masalah yang sulit dihadapi adalah kehamilan tidak diinginkan (KTD)
seperti pada kasus kegagalan kontrasepsi, kehamilan di luar nikah, kehamilan
karena perkosaan, tidak adanya akses untuk pelayanan KB, tekanan pasangan, dan
faktor ekonomi. Setiap wanita memiliki hak reproduksi, yaitu hak menentukan
jumlah, penjarakan, dan waktu kelahiran anak. oleh karena aborsi atas alasan non-
medik dianggap tindakan melanggar hukum (tindakan kriminal) dan aborsi bukan
salah satu cara KB di Indonesia, banyak wanita dengan KTD mencari pelayanan
aborsi pada tenaga tidak terlatih dan memakan sendiri bermacam-macam obat
untuk menggugurkan kandungannya. Akibatnya, angka kesakitan dan kematian
ibu di Indonesia akibat aborsi tidak aman menjadi tinggi.
Aborsi tidak aman merupakan ancarnan bagi kesehatan dan hidup wanita.
Tindakan konkrit pemecahan masalah aborsi tidak aman merupakan bagian upaya
peningkatan kualitas kesehatan reproduksi di Indcinesia dan pemenuhan hak
reproduksi wanita. Penelitian pada banyak negara menunjukkan bahwa di negara-
negara yang mengizinkan aborsi dengan indikasi yang lebih luas, insiden aborsi
tidak aman lebih rendah dan angka kematian akibat aborsi tidak aman jauh lebih
rendah dibandingkan dengan negara-negara yang melarang aborsi secara ketat
(Betrer,2004).
Di Indonesia, diperkirakan sekitar 1,5-2 juta aborsi tidak aman setiap tahunnya
dan kontribusi Angka Kematian Ibu (AKI) sebab aborsi tidak aman adalah !1,70/0.
Oleh karena itu, dalam beberapa tahun terakhir ini diperkenalkan program
aborsi berbasis konseling dengan tujuan menyelengga.rakan aborsi yang aman
sesuai standar setelah pasien mendapat konseling dengan baik. Bukan mustahil
bahwa ibu dengan KTb mengu*rrgtun niatnyairntuliaborsi setelah mendapat
konseling tersebut. selanjutnya, konseling pasca-aborsi, pendidikan, dan pelayanan
KB harus diberikan secara bermutu sehingga dapat mencegah aborsi berulang.
secara rinci KUHP mengancam pelaku-pelaku aborms buatan ilegal sebagai
berikut.
1. Wanita yang sengaja menggugurkan kandungan atau menyuruh orang lain
melakukanny4 hukuman maksimal 4 tahun (KUHP pasal336).
2. Seseorang yang menggugurkan klndrrng"r, tanpa seizinnya, hukuman mak-
simal 12 tahun dan bila wanita tersebut meninggal, hukuman maksimum
15 tahun (KUHP pasal347).
3. Seseorang yang menggugurkan kandungan wanita dengan seizin wanita
tersebut, hukuman maksimum 5 tahun 6 bulan dan bila wanita tersebut
meninggal, maksimum 7 tahun (KUHP pasal348).
4. Dokter, bidan atau juru obat yang melakukan kejahatan di atas, hukuman
ditambah dengan sepertiganya dan pencabut- tt"t peke4'aannya (KUHP
pasal 3a9).
8a/ 15 Reproduhsi Monusio 109

5. Barang siapa memperlunjukkan alat/cara menggugurkan kandungan kepada


anak di bawah usia 17 tahun/di bawah umur, hukuman mal$imum 9 bulan
(KUHP pasal383).
6. Barang siapa menganjurkan./merawat/memberi obat kepada seorang wanita
dengan memberi harapan agar gugur kandungannya, hukuman malsimum
4 tahun (KUHP pasal299).

Kontrorepsi
Sejak program Keluarga Berencana (KB) menjadi program nasional pada tahun
1970 berbagai cara kontrasepsi telah ditawarkan dalam pelayanan KB di Indonesia'
Mulai dari cara tradisional, sistem kalender, barier, hormonal (pil, suntikan, susuk
KB), alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), dan kontrasepsi mantap (KONTAP).
Dari sudut pandang hak-hak pasien,/klien, segala cara kontrasepsi yang ditawarkan
haruslah mendapat persetujuan pasangan suami isteri (PASUTRI), setelah mem-
peroleh penjelasan, (Persetujuan Setelah Penjelasan, PSP) dengan cara lisan untuk
cara-cara non-bedah dan secara tertulis untuk cara kontap. Seorang dokter harus
memberikan konseling kepada PASUTRI atau calon akseptor, dengan penjelasan
lebih dahulu tentang indikasi kontra, efektivitas, dan keamanan setiap jenis kon-
trasepsi dan akhirnya PASUTRI lah yang menentukan pilihannya.
Di Indonesia, kotrasepsi mantap (kontap, sterilisasi), yaitu tubektomi pada
wanita dan vasektomi pada pria telah dikembangkan sejak tahun 1974 oleh PUSSI
(Perkumpulan Untuk Sterilisasi Sukarela), yang kemudian berubah nama menjadi
PKMI (Perkumpulan Kotrasepsi Mantap Indonesia).Tirjuan kontap adalah kontra-
sepsi permanen, kontrasepsi yang aman dan mantap manfaatnya, namun tidak
mustahil karena sesuatu alasan (biasanya musibah), akseptor kontap meminta
rekanalisasi. Oleh karena itu, pertimbangan dan keputusan mengikuti kontap
haruslah hati-hati.
Peraturan perundangan tentang kontap belum ada di Indonesia. Penerimaan
masyarakat teihadap metode kontrasepsi ini belum bulat. Tokoh agama banyak
yang menentang cara kontrasepsi ini karena mengurangi harkat martabat dan
kodiat seseorang. Oleh karena itulah, kontap tidak termasuk dalam program
nasional KB. Cara kontap sebenarnya berperan penting dalam mengendalikan
pertumbuhan penduduk dan menjanjikan perlindungan fertilitas yang amat tinggi.

Keunggulan kontap adalah:


a. Me*pakr" caia kontrasepsi yang paling efekti{ angka kegagalannya kecil,
sehingga sesuai bagi pasangan yang tidak mau menambah jumlah anak lagi.
b. Prosedur pelaksanaan hanya satu kali
c. Risiko komplikasi dan kematian sangat kecil.
d. Relatif lebih murah dari cara lain karena tidak perlu diganti dengan alat baru
atau diberi obat berulang dan tidak perlu kunjungan ulang yang teratur.
Konsumen KB berhak memperoleh informasi, hak didengar,/memilih, hak akses,
aman, privasi dan kerahasiaan. Berilah waktu yang cukup untuk PASUTRI dalam
mengambil keputusan penting dan yang diyakininya, setelah mendapat penjelasan
menyeluruh tentang kontap, yaitu prosedur, manfaat, efek samping/komplikasi,
110 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

keamanan, kenyamanan, alternatif tindakan, kemungkinan kegagalan, biaya dan


sebagainya. Memantapkan suatu PASUTRI untuk dapat menerima kontap tidak
dapat dilakukan dalam waktu yang singkat dan memang memerlukan konseling.
Cara kontap merupakan pilihan terakhir. Karena itu, memerlukan keputusan
pasangan suami isteri (PASUTRD yang mantap dan bi;'aksana. Dalam menentukan
cara kontrasepsi yang dipilihnya PASUTRI baik suami maupun istri mempunyai
hak dan kewajiban yang sama serta kedudukan yang sederajat. PASUTRI yang
memilih kontap merupakan PASUTRI yang harmonis dan hidupnya bahagia,
Di antara alasan-alasan memilih kontap adalah karena kegagalan cara-cara KB
sebelumnya, memiliki cukup anak dan atas pertimbangan faktor ekonomi, pen-
didikan, dan kesehatan, termasuk pencegahan penyakit. Akseptor kontap memiliki
kemandirian yang tinggi dan bermental tangguh karena berani mengambil ke-
putusan menghadapi masa depan keluargajangka panjang dan berani menghadapi
risiko.
Dalam UU RI No. 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera terdapat butir-butir tentang penyelenggaraan
KB dari segi hak PASUTRI dan etik, yangantara lain berbunyi:
Pengaturan kelahiran diselenggarakan dengan tata carayangberdaya guna dan berhasil
guna serta dapat diterima oleh PASUTRI seseuai dengan pilihannya, dilakukan dengan cara
yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi kesehatan, etik dan agama yang dianut
penduduk yang bersangkutan. Untuk menghindarkan hal yang berakibat negatif setiap alat,
obat dan carayang dipakai harus aman dari segi medik dan dibenarkan oleh agama, moral
dan etika.

Setiap PASUTRI dapat menentukan pilihannya dalam merencanakan dan meng-


atur jumlah anak, dan jarakantarakelahiran anak yang berlandaskan pada kesadar-
an dan rasa tanggungjawab terhadap generasi sekarang ataupun generasi yang
akan datang.
Suami dan isteri mempunyai hak dan kewajiban yang sama serta kedudukan
yang sederajat dalam menentukan cara KB dan harus sepakat mengenai carayang
akan dipakai agar tujuannya tercapai dengan baik. Keputusan atau tindakan se-
pihak dapat menimbulkan kegagalan atau masalah di kemudian hari. Kewajiban
yang sama antara keduanya berarti juga bahwa apabila isteri tidak dapat memakai
alat, obat, atdu cara KB, misalnya karena alasan kesehatan, suamilah yang meng-
gunakan alat, obat, dan cara yang diperuntukkan bagi pria.
Mengingat dalam pelaksanaan penggunaan alat, obat, dan cara KB berkaitan
erat denga.n masalah kesehatan, agar tidak menimbulkan bahaya, penggunaaan
metode KB tersebut dilakukan atas petunjuk dan/atau oleh tenaga kesehatan.
Tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan KB memperoleh perlindungan
hukum dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan standar profesi yang telah
ditentukan. Mempertunjukkan dan atau memperagakan alat, obat dan cara KB
hanya dapat dilakukan oleh tenaga yang berwenang di bidang penyelenggaraan
KB serta dilaksanakan di tempat dan dengan carayanglayak.
8a/ 15 Reproduhsi Monusio 111

Tehnologi Reproduhri Buotsn


Dalam 3 dasa warsa terakhir, kemajuan iptek kedokteran dalam bidang reproduksi
manusia begitu pesatnya sehingga dewasa ini terdapat berbagai cara pelaksanaan
dalam upaya kehamilan di luar caraa\amiyang disebut teknologi reproduksi buatan
(TRB). irri *.*pukun teknik oosit yang dimanipulasi sebelum ditandur-alihkan
(transfer), baik sebagai oosit maupun sebagai embrio. Hal ini dilakukan sebagai
upaya terakhir pengobatan PASUTRI kurang subur (infertil). Dilakukan sebagai
upaya terakhir karena TRB memerlukan biaya yang sangat besar, dapat menim-
bulka" distress pada pasangan yang bersangkutan, dan dengan cara lain mungkin
kehamilannya masih bisa berhasil.
sejak lahirny a"bayitabung' pertama Louise Brown di Inggris pada tahun 1978,
telah dikembangkan berbagai cara TRB, arttara lain adalah:
1. Fertilisasi In Vtro dan Thndur Alih Embrio (In Vitro Fertilization and Embryo
TLansfen IW dan E7)
2, tndur Alih Embrio IntrarTirba (Tubal Embryo Thansfer TET atau Zygote Intra
Fal/ op ian Tlz b e, Z IF"I)
3. Gamete IntralTuba Fallopii (Ganete Intra Fallopt:an Tube' GIF"I)
4. Kriopreservasi Embrio (Embryo Cryopraeraahbn)
5. Donasi Oosit (Ooqtte donatn) dan atau sperma (S\trm donattbn)
6. Suntikan Sperma Intra-Sitoplasmik (Intra CyttPlasmtb Sperm Inlech'on, ICSI)
7. Pembelahan Embrio (Embryo SQlx'tting)

Semua cara-caratersebut di atas dan masalah-masalah lain seperti donasi oosit


untuk wanita pascamenopause, reproduksi pascameninggal dunia (posthumous
reproduch'on), dan ibu pengganti (swrogate nothe), mempunyai implikasi terhadap
huk rm, aga-irra, dan etik, yang memerlukan pertimbangan berbagai pakar terkait.
Dalam UU No. 23 tahun 1992 tentangKesehatan, terdapat butir-butir tentang
kehamilan di luar cara alami yang menyatakan bahya TRB dapat dilaksanakan
sebagai upaya terakhir untuk membantu PASUTRI mendapat keturunan, namun
hanya dapat dilakukan pada PASUTRI yang sah, oleh tenaga kesehatan yang
kompeten, dan pada sarana kesehatan tertentu. Keikutsertaan donor dalam upaya
tersebut adalah tidak legal.

Jelehri Kelqmin Anoh


Sudah sejak beberapa ratus tahun sebelum Masehi, masyarakat memiliki budaya
untuk mimilih anak dengan jenis kelamin tertentu; memilih anak lelaki lebih sering
dari anak wanita. Perkembangan ilmu genetika dan teknologi reproduksi mem-
perluas pilihan seseorang untuk menentukan kualitas keturunan yang diinginkan-
nya. Pilihan tersebut tidak hanya berupa penapisan terhadap.kemungkinan ter-
iadinya penyakit keturunan, tetapi dapat pula dilakukan untuk menyeleksi jenis
kelamin anak (gender) y-g diinginkan'
Dewasa ini ada tiga cara saat melakukan seleksi gender, yaitu:
a. Setelah mengetahui jenis kelamin janin dalam kandungan'
b. Sebelum implantasi mudigah ke dalam rahim'
c. Menyaring sperma sebelum TRB.
112 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

Seleksi gender atas indikasi medik dengan tujuan menghindari terjadinya sex linfr
genettb dzsorders, misalnya penyakit hemofilia dapat dibenarkan. Namun, untuk
indikasi nonmedik masih terdapat perbedaan pendapat.
Indikasi nonmedik seleksi gender bertujuan:
a. Ingin anak pertama anak lakilaki.
b. Jumlah anak lakilaki dan perempuan berimbang.
c. D4ri segi ekonomi, anak lakilaki mengrntungkan (sekarang anak perempuan
pun banyak yang bekerja dan produktif).
d. Alasan budaya dan alasan-alasan pribadi.

Seleksi gender ini tentunya menimbulkan perdebatan dari segi hukirm, etika dan
sosial (et/ttba/, legal and soaal inpltbahbn, ELS\. untuk indikasi nonmedik ini, ada
yang setuju dan ada yang tidak setuju dengan seleksi gender. Bagi yang tidak setuju
menganggap tindakan tersebut sebagai diskriminasi kelamin dan bertentangan
dengan keadilan, sebagai salah satu prins.ip etika profesi kedokteran. Di Indonesia
belum ada peraturan perundangan yang berkaitan dengan seleksi gender.

Rehoyora Genetih
Salah satu terobosan penting yang terjadi dalam bidang biologi rnolekuler adalah
penemuan struktur DNA (daoxyn'bose nucleid aa'a) oleh watson dan crick 1953.
DNA tersusun dalam untuaian gen-gen yang terdapat daIam23 pasang kromosom
yang merupakan pembawa materi informasi genetik. Penemuan ini membuka pintu
untuk perkembangan penting di bidang genetik yang puncaknya dikenal dengan
rekayasa genetik seperti teknologi DNA-rekombinan dan teknologi hibrinoma
untuk pembuatan antibodi monoklonan. Dengan integrasi gen insulin dan Escheria
coh'telah dapat diproduksi insulin. Begitu pula untuk pernbuatan Human Growtlz
Factor (HGfl dan Tlisue Plasmrnogen Acttbator (TPA) untuk pelarut gumpalan darah
pada penyrrmbatan pembuluh darah. Kecanggihan yang sama terjadi pada pe-
ngembangan pada perangkat yang diperlukan untuk diagnostik penyakit. Misalnya,
pembuatan kultur mikroba dan penetapan morpologi parasit dapat diganti dengan
pemeriksaan pelacak DNA. Kemajuan menakjubkan dalam laboratorium adalah
teknik PCR (Polymer chain Reaction) dengan pelacak genetik yang ada pada sample
jaringan, cacat kecil sekalipun dalam gen dapat diungkap dengan PCR, misalnya
pada sel telur manusia dapat dilakukan pengenalan dini dua penyakit herediter
penting, yaitu muscular dystrophy dan rystici1brosts.
Kini manusia menjadi fokus penelitian di bidang genetik (Human Genom Project,
HGP). Penelitian mengenai fungsi seluruh gen akan memberikan pengertian
tentang sifat sifat manusia dengan pemahaman tentang bagaimana komponen
berinteraksi sehingga akan te{'adi perubahan paradigma dalam dunia kedokteran
dari model reaktif-Anda datang ketika sakit dan dokter akan mengupayakan pe-
nyembuhan menjadi pengobatan prediktif, preventi{ dan akhirnya pengobatan
personal.
Sejak ditemukannya enzimyangdapat memotong dan menyambung pita DNA
di akhir tahun 70-an, rekayasa genetik semakin berkembang. Dengan memper-
gunakan restriksi endonuh/ease dan enzlm /tgase memungkinkan untuk menyrsun
?a( 15 Reproduhsi Monusio

gen pilihan tertentu guna mendapatkan sifat yang diinginkan dan menghindari
kelainan genetik yang tidak dikehendaki.
Jika manusia kelak akan mampu pula merakit manusia dengan mengubah
susunan gen berdasarkan kehendak hatinya, bagaimana bila ditinjau dari segi hati
nurani (etik), hukum, agar.rra, dan sosial? Dari segi etik dan dampak sosial saat ini
terdapat beberapa pedoman tentang rekayasa genetik, yaitu:
a. Pengubahan gen pada individu yang sudah sehat, dengan tujuan eugenetik
seperti peningkatan kualitas fisik dan sangat intelegen pada saat ini dianggap
tidak etis.
b. Terapi genetik dengan mengubah gen yang bertujuan meringankan penderitaan
atau penyakit seseorang adalah etis sepanjang berdasarkan altruistik dan tanpa
eksploitasi komersial.
c. Penelitian pengubahan gen pada sperma, oosit, atau zigolyang kemudian di-
implantasikan pada uterus saat ini dianggap tidak etis karena perubahan genetik
,itu akan diteruskan pada keturunan dan saat ini belum ditemukan teknik yang
tepat, aman, dan dapat dipertanggungiawabkan.

Klonqri podc Monurio


Keberhasilan klonasi domba Dolly yang dilakukan Ian Wilmut dan rekan-rekannya
dari Roslin Insitute, Edinburg Skotlandia pada tahun 1977 met'tpakan terobosan
ilmiah yang penting. Klonasi (clontng) sebenarnya bukan hal yang baru sama sekali,
dunia pertanian dan kedokteran telah lama mengenal dan mempraktikkannya.
Dalam bidang kedokteran sudah lazim dilakukan klonasi sel-sel danjaringan kanker
pada hewan percobaan dan pada manusia untuk tujuan penelitian. Bidang ke-
doktera.r molekuler banyak membutuhkan klonasi sel dan jaringan manusia untuk
rnengetahui seluk beluk penyakit, terutama penyakit genetik. Klonasi dalam
bioindustri baik pada tumbuh-tumbuhan maupun pada hewan telah dimanfaatkan
untuk kesejahteraan manusia. Yang menjadi masalah sekarang adalah jika klonasi
individu (manusia duplikat, kembaran identik, manusia fotokopi) memungkinkan
di masa depan, bagaimana sikap ilmuwan, agamawan, dan masyarakat pada
umumnya.
Berbagai kalangan, baik pemerintah, kelompok masyarakat, ilmuwan, maupun
agamawan telah memberi pernyataan bahwa klonasi pada manusia adalah tidak etis
dan bertentangan dengan harkat martabat manusia.
Direktur WHO Hiroshi Nakajima mengeluarkan pernyataan yang berbunyi:
WHO considers the use of cloningfor the rQlfcah'on of ltuman zndhduals to be et/tica//1
unacceptable as it znould ztiolate some of the bavc pnnaples ralticlt goaerm medically
assistid procreation. Tltae include respectilbr the dtq"iU oftlte human batng and protech'on
of t/te sican:ry Etlruman genetlc maten'al.Jadi, WHO memberikan dua alasan penting
penolakan fuonasi pada manusia, yaitu karena bertentangan dengan martabat dan
integritas manusia, yang seharusnya memiliki ibu dan bapak biologis. Klonasi pada
manusia berarti mempermainkan kehidupannya, berdampak terhadap aspek
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama.
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) pada tahun 20Q2 telah menyatakan
pandangannya tentang teknologi klonasi untuk kesejahteraan umat manusia
114 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

dengan dinyatakannya bahwa teknologi klon dapat dimanfaatkan untuk proses


pemuliaan dan perbanyakan hewan guna peningkatan gSzi masyarakat, serta
sebagai wahana baru untuk produksi vaksin dan obat. Klonasi pada manusia
(reproductive doning) secara etis tidak dapat diterima sedangkan rekayasa jaringan
(therapeuhb cloning) dianggap etis dan perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut.
Pada Kongres Obstetri dan Ginekologi Indonesia (KOGI) diJogjakarta (2003)
telah diambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Kloriasi pada manusia menimbulkan berbagai kesulitan antara lain masalah
surplus zigot, mengurangi keunikan genetis, menghasilkan individu dengan
orang tua biologis tunggal, dan mengaburkan nama keluarga serta garis
silsilah, pewarisan dan perwalian.
2. Pada tahap sekarang ini klonasi reproduksi tidak dibenarkan, namun peneliti-
an klonasi terapeutis perlu dilanjutkan dan dilindungi.
3. Diperlukan pemantauan dan penilaian secara berkala dalam perkembangan
klonasi serta dampaknya terhadap aspek-aspek etik, hukum dan sosial ter-
masuk aspek ekonomi, agama dan psikologis.

Dalam Deklarasi Persatuan Bangsa Bangsa tentang Klonasi pada Manus ia (tJnited
Nah'ons Declarahbn on Human C/oning,2005) dinyatakan bahwa negara anggota
harus mencegah segala bentuk klonasi pada manusia yang tidak sesuai dengan
harkat martabat manusia dan harus melindungi makhluk insani.
Dengan demikian, hingga saat ini sikap para ilmuwan, organisasi profesi dokter
dan masyarakatpadaumumnya adalah bahwa klonasi individu untuk tujuan repro-
duksi yang berasal dari sel induk dengan cara implantasi inti sel tidak dibenarkan,
tetapi untuk tujuan terapi dianggap etis.

HtV dqlqm Kehqmilqn


Sebagaimana diketahui penderita HIY (Human Immunodefa'enqt tr/inu) dan AIDS
(Acgurred Imnunodei1abnqt Syndrome) meningkat setiap tahunnya di seluruh dunia,
terutama di Afrika dan Asia. Diperkirakan dewasa ini terdapat puluhan juta
penderita HIV,/AIDS. Sekitar 8070 penularan terjadi melalui hubungan seksual,
10%o melalui suntikan obat (terutama penyalahgunaan narkotika), 5%o melalui
transfusi darah dan 50/o dari ibu melalui plasenta kepada janin (transmisi vertikal).
Angka terjadinya transmisi vertikal berkisar antara 13-48 0/0.
Pada pemeriksaan antenatal (ANC), pada ibu hamil biasanya dilakukan pe-
meriksaan laboratorium terhadap penyakit menular seksual. Namun, ibu hamil
memiliki otonomi untuk menyetujui atau menolak pemeriksaan terhadap HIV,
setelah diberikan penjelasan yang memuaskan mereka dan dokter harus meng-
hormati otonomi pasiennya. Bagi ibu hamil yang diperiksa dan ternyata HIV sero-
positi{ perlu diberi kesempatan untuk konseling mengenai pengaruh HIV terhadap
kehamilan dan sebaliknya pengaruh kehamilan terhadap HIV, risiko penularan
dari ibu ke anah tentang pemeriksaan dan terapi selama hamil, rencana persalinan,
masa nifas dan masa menlrrsui.
844 15 Reqoduhsi Monusio

Kerahasiaan perlu di1'aga dalam melaporkan .kasus-kasus HfV sero-positif


Dalam hal ini diserahkan kepada ibu bersangkutan untuk menyampaikan hasilnya
kepada pasangannya atau pihak ketiga lainnya karena ia memiliki hak dan tanggung
jawab untuk itu. Jika keadaan ibu hamil tersebut membahayakan pasangannya,
perlu dipertimbangkan'untung ruginya membuka rahasia pekerjaan dokter. Tentu-
lah dalam membuka rahasia ini akan berpengaruh (erhadap hubungannya dengan
keluarga, teman-teman, dan kesempatan keq'a, juga berkurangnya kepercayaan
pasien terhadap dokternya
Untuk pasangan infertil yang menginginkan teknologi reproduksi yang dibantu
dan salah satu atau keduanya terinfeksi HIV adalah etis, jika kepada mereka di-
berikan pelayanan tersebut. Dengan kemajuan pengobatan masa kini, penderita
HIV dapat hidup lebih panjang dan risiko penularan dari ibu ke anak berkurang.
Dokter dengan HIV positif tidak pdrlu memberitahukan pasiennya tentang
dirinya, tetapi harus berhati-hati melakukan tindakan-tindakan medik yang me-
ngandung risiko, seperti pembedahan obstetrik dan ginekologik, serta berhati-hati
dengan alat-alat yan g digunakan.
16
Eurmrlln

Tuiuqn lnrtruhrionql Khurur


t. Menyebuthon mqhnq eutonosio
2. Menjeloshqn jenis tindohqn eutqndsiq yqng dopqt terjodidqlom
peloyonon hedohterqn.
3. Menjelqshqn eutonosio dolom KUHP.
Pohoh Bqhqrqn
1. Konsep tentong hemotion.
2. Perhembqngqn eutonosio don jenis-jenisnyo.
3. Eutqnosio dqlom KUHP.
Jub-Pohoh Bcrhqrqn
1. Eutonosio dqriwqhtu he wqhtu.
2. Pengertiqn eutonqsio.
3. Konsep tentong hemotion.
4. lenis eutonosio.
5. Popl KUHP yong berhqitqn dengqn eutonosio.

116
8a/.16 Eutonqsio

Ada dua masalah dalam bidang kedokteran/kesehatan yang berkaitan dengan


aspek hukum yang selalu aktual dibicarakan dari waktu ke waktu sehingga dapat
digolongkan ke dalam masalah klasik dalam bidang kedokteran, yaitu tentang
abortus provokatus dan eutanasia. Dalam lafal sumpah dokter yang disusun oleh
Hippokrates (460-377 SM), kedua masalah ini telah ditulis dan diingatkan. Sampai
kini, tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah ini tidak dapat
diatasi atari diselesaikan dengan baih atau dicapainya kesepakatan yang dapat
diterima oleh semua pihak. Di satu pihak, tindakan abortus provokatus dan eutana-
sia pada beberapa kasus dan keadaan memang diperlukan. Sementara di lain piha[
tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan hukum, moral, dan agama.
Kedua masalah ini setiap waktu dihadapi oleh kalangan kedokteran dan masyarakat.
Bahkan dapat diperkirakan akan semakin meningkat di masa mendatang.
Mengenai masalah eutanasiabila ditinjau ke belakangboleh dikatakan masalah-
nya sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tidak ter-
sembuhkan, sementbra pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam
situasi demikian, tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan
ini dan tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi. Pada pasien yang sudah tidak sadar,
keluarga yang tidak tega melihat orang sakit penuh penderitaan menjelang ajalnya
minta kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan, bahkan ada pula yang
minta diberikan obat untuk mempercepat kematian. Dari sinilah istilah eutanasia
muncul, yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari penderitaan,.ata!
mati secara baik (mati enak).
Masalah ini makin sering dibicarakan dan menarik banyak perhatian karena
semakin banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat ter-
utama setelah ditemukannya tindakan di dalam dunia pengobatan dengan mem-
pergunakan teknologi canggih dalam mengatasi keadaan gawat dan mengancam
kelangsungan hidup. Banyak kasus di pusat pelayanan kesehatan terutama di
bagian gawat darurat dan di bagian unit perawatan intensif yang pada masa lalu
sudah merupakan kasus yang tidak dapat dibantu lagi.
Namun, pada kasus-kasus tertentu tetap saja muncul persoalan dasar kembali,
yaitu dilema meneruskan atau tidak tindakan medik yang memperpanjang ke-
hidupan.
Apa yang harus dilakukan dokter menghadapi korban yang telah mati otak
atau mati batang otak ini, karena belum ada kasus yang dapat keluar dari keadaan
ini, sebab kerusakan jaringan otak sudah ireaersib/e, atau pada kasus'kanker sta-
dium terminal dengan penderitaan yang hebat, sementara obat untuk itu belum
ada. Begitu jugapadapasien gagal grnjal kronis yang memerlukan pencucian darah
secara berkala, sementara dana untuk tindakan ini ditanggung pasien/keluarga.
Dan masih banyak alasan lain.
Sesuai dengan makin meningkatnya kesadaran akan hak untuk menentukan
nasib sendiri (u/f deterrninanbn), di nanyat< negara mulai timbul gerakan dan
penghargaan atas hak seseorang untuk mengakhiri hidup. Di beberapa negara, hak
ini diakui oleh pemerintah karena diatur dalam undang-undang, seperti di negeri
Belanda, Belgia, dan Northern Territory, Australia.
Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

Mengenai masalah eutanasia yang kita ikuti dari media cetak dan elektronik
adalah 2 kasus pasien di Australia yang mengakhiri hidup atas permintaan sendiri
dengan menekan "mter" pada Laptop yang sudah diprogramkan untuk usaha
eutanasia.

Pengertiqn
Eutanasia berasal dari kata Yunani Eutltanathos. Eu : baik, tanpa penderitaan;
sedang tanathos: mati. Dengan demikian, eutanasia dapat diartikan mati dengan
baik tanpa penderitaan. Ada yang menerjemahkannya sebagai mati cepat tanpa
derita.
Belanda, salah satu negara di Eropa yang maju dalam pengetahuan hukum
kesehatan mendefinisikan eutanasia sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh
Eutanasra Study Grzup dari KNMG (Ikatan Dokter Belanda):
"Eutanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memper-
panjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memper-
pendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk
kepentingan pasien sendiril'

Konsep Tentong Kemqtiqn


Perkembangan eutanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep tentang
kematian. Usaha manusia untuk memperpanjang kehidupan dan menghindari
kematian dengan mempergunakan kemajuan iptek kedokteran telah membawa
masalah baru dalam eutanasia, terutama berkenaan dengan penentuan kapan
seorang dinyatakan telah mati.
Beberapa konsep tentang mati yang dikenal adalah:
1. Mati sebagai berhentinya darah mengalir.
2. Mati sebagai saat terlepasnyanyawa dari tubuh.
3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen.
4. Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan
interaksi sosial.

Konsep mati dari berhentinya darah mengalir seperti dianut selama ini dan yang
juga diatur dalam PP. 18 Tfiun 1981 menyatakan bahwa mati adalah berhentinya
fungsi jantung dan paru, tidak bisa dipergunakan lagi karena teknologi resusitasi
telah memungkinkan jantung dan paru yang semua terhenti, kini dapat dipacu
untuk berdenyut kembali dan paru dapat dipompa untuk berkembang kempis
kembali.
Konsep mati terlepasnya roh dari tubuh sering menimbulkan keraguan karena
misalnya pada tindakan resusitasi yang berhasil, keadaan demikian menimbulkan
kesan seakan-akan nyawa dapat ditarik kembali.
Mengenai konsep mati, dari hilangnya kembali kemampuan tubuh secara per-
manen untuk menjalankan fungsinya secara terpadu, juga dipertan;'akan karena
organ berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali karena otak telah mati. Untuk
kepentingan transplantasi konsep ini menguntungkan, tetapi secara moral tidak
8q116 Eutonotia 119

dapat diterima karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak


terpadu lagi.
Bila dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk sosial, yaitu individu yang
mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannya, kekhususannya, kemampuan-
nya mengingat, menentukan sikap, dan mengambil keputusan, mengajukan alasan
yang masuk akal, mampu berbuat, menikmati, mengalami kecemasan dan se-
bagainya, kemampuan untuk melakukan interaksi sosial tersebut makin banyak
otoffiTil*.ndali
ini terletak dalam batang otak. Oleh karena itu, iil.u batang
otak telah mati (brain stem death) dapat diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan
sosial telah mati.
Dalam keadaan demikian kalangan medis sering menempuh pilihan tidak
meneruskan resusitasi (DNR, do not resua'tattbn).
Penentuan saat mati ini juga dibahas dan ditetapkan dalam World Medical
Asembly tahun 1968 yang dikenal dengan Deklarasi Sydney. Di sini dinyatakan
bahwa penentuan saat kematian di kebanyakan negara merupakan tanggrngjawab
sah dokter. Dokter dapat menentukan seseorang sudah mati dengan menggunakan
lciiteria yang lazim tanpa bantuan alat khusus, yang telah diketahui oleh semua
dokter.
Hal penting dalam penentuan saat mati di sini adalah proses kematian tersebut
sudah tidak dapat dibalikkan lagS Qrrnernble), mesl<t menggunakan teknik peng-
hidupan kembali apapun. Walaupun sampai sekarang tidak ada alat yang sungluh-
sungguh memuaskan dapat digunakan untuk penentuan saat mati ini, alat elektro-
ensefalograf dapat diandalkan untuk maksud tersebut.
Jika penentuan saat mati berhubungan dengan kepentingan transplantasi organ,
keputusan saat mati harus dilakukan oleh 2 orang dokter atau lebih, dan dokter
yang menentukan saat mati itu tidak boleh ada kaitannya langsung dengan pe-
laksanaan transplantasi tersebut.

fenir Eutqnqriq
Eutanasia bisa ditinjau dari beberapa sudut.
Dilihat dari cara dilaksanakan, eutanasia dapat dibedakan atas:
1. Eutanasia pasif
Eutanasia- pasrf adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala
tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup
manusia.
2. Eutanasia aktif
Eutanasia ahttf adalah perbuatan yang dilakukan secara medik melalui
intervensi aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup
manusia.
120 Etiho Kedohteron dqn Huhum Kesehoton

Eutanasia aktif ini dapat pula dibedakan atas: u r


1. Eutanasia aktif langsun g (dtrecfl
Eutanasra ahttfkngsung adalah dilakukannya tindakan medik secara terarah
yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien,, atau memperpendek
hidup pasien.Jenis eutanasia ini dikenal juga sebagai nerry hilling.
2. Eutanasia aktif tidak langsung Qndtrecr)
Eutanasia ahttf tidah langsung adalah saat dokter atau tenaga kesehatan
melakukan tindakan medik untuk meringankan penderitaan pasien, namun
mengetahui adanya risiko tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri
hidup pasien.
Ditinjau dari permintaan, eutanasia dibedakan atas:
1. Eutanasia voluntir atau eutanasia sukarela (atas permintaan pasien)
Eutanasia atas permintaan panen adalah eutanasia yang dilakukan atas per-
mintaan pasien secara sadar dan diminta berulang-ulang.
2. Eutanasia involuntir (tidak atas permintaan pasien)
Eutanasia tidafr atas permmtaan pasren adalah eutanasia yang dilakukan pada
pasien yang (sudah) tidak sadar, dan biasanya keluarga pasien yang me-
minta.
Keduajenis eutanasia di atas dapat digabung, misalnya eutanasia pasifvoluntir,
eutanasia aktif invulontir, dan eutanasia aktif langsung involuntir.
Ada yang melihat pelalsanaan eutanasia dari sudut lain dan membaginya atas
empat kategori, yaitu:
1. Tidak ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud memperpendek
hidup pasien.
2. Ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud memperpendek hidup
pasien.
3. Tidak ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek
hidup pasien
4. Ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek hidup
pasien.

Eutqnqrio dqn Huhum


Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengatur seseorang dapat dipidana atau
dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena
kurang hati-hati. Ketentuan pelanggaran pidana yang berkaitan langsung dengan
eutanasia aktifterdapat pada pasal344 KUHP.
Pasal344 KUHP
Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutnya dengan nyata dan dengan sungg-uh-sunggrrh, dihukum penjara selama-
lamanya dua belas tahun.

Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa
alasan kuat untuk membantu pasien/keluarga pasien mengakhiri hidup atau mem-
perpendek hidup pasien, ancaman hukuman ini harus dihadapinya.
e4/b Eulonasia 121

Untuk jenis eutanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal di
bawah ini perlu diketahui oleh dokter.
Pasal338 KUHP
Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihuklm karena makar
mati, dengan penjara selamalamanya lima belas tahun.
Pasal340 KUHP
Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang
lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (**r4, dengan hukuman mati atau
penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua
puluh tahun.
Pasal 359 KUHP
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-
lamanya lima tahun atau kurungan selamalamanya safu tahun.

Selanjutnya, di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingat-


kan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus eutanasia.
Pasal345 KUHP
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya
dalam perbuatan itu, atau memberikan dayatpaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara
selama-lamanya empat tahun.

Pasalini mengingatkan dokter untuk, jangankan melakukan eutanasia, menolong


atau memberi harapan ke arah perbuatan itu saja pun sudah mendapat ancaman
pidana.
l7
TmnlnuNTAl Oncaru DAN fnnrruclN TusuFt

Tuiuqn Inrtruhrionql Khurur


1. Menjeloshon tujuqn tronsplontosiorgon dqn/otqu jqringon podo tubuh
monusio.
2. Menyebuthon jenis-jenis tronsplontosi orgon otou joringcin.
3. Menjelqshon ospeh huhum tronsplontosiorgon qtqu jqringon.
4. Menjeloshon posol-pqsol tentong tronsplontosi olqt serto iqringon
tubuh mqnusio yong tercontum dqlom PP No.18 tqhun 1981.
5. Menyebuthqn definisi moti menurut pondongon lDl.
6. Menjeloshon posol-posol tentong tronsplontosi orgon don otou
jqringon tubuh monusio yong tercqntum dqlqm UU No.23 tohun 1992.
7. Membqhos ospeh etih tronsplqntqsiorgon don joringqn tubuh.
Pohoh Bqhorqn
1. Pengertion tronsplontosi orgon don joringon tubuh.
2. Peroturqn perundong-undongon yqng berhoiton dengqn tronsplontosi
orgon dqn joringqn tubuh.
3. Aspeh etih tronsplqntqsi orgqn don jqringqn tubuh.
tub-Pohoh Bqhqrqn
1. Pengertion tronsplontosi orgon don joringon tubuh serto jenis-jenisnyo.
2. Aspeh Huhum Tronsplontosiorgon tubuh dqn joringon.
3 PP No.18 tohun 1981.
4. UU No.23 tqhun 1992 yong berhoitqn dengon tronsplontosiorgon don
otou joringon tubuh.
s. 5K pB lDl no.336/PB lDlA.4 dqn No.231/pB lDlA.4 tentong definisi
moti.
6. Aspeh'etih tronsplontosi orgon dqn joringon tubuh.

1?2
8a/ 17 Tronsplontqsi Orgon don loringqn Tubuh 123

tansplantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia merupakan tindakan medik
yang sangat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan fungsi organ tubuh yang
berat. tansplantasi adalah terapi pengganti (alternatif) yang rnerupakan upaya
terbaik untuk menolong pasien dengan kegagalan organnya karena hasilnya lebih
memuaskan dibandingkan dengan terapi konservatif Walaupun transplantasi organ
dan atau jaringan itu telah lama dikenal dan hingga dewasa ini terus berkembang
dalam dunia kedokteran, namun tindakan medik ini tidak dapBt dilakukan begitu
saja karena masih harusdipertimbangkan dari segi nonmedik, yaitu dari segi agama,
hukum, budaya, etika, dan moral. Kendala lain yang dihadapi Indonesia dewasa ini
dalam menetapkan terapi transplantasi, adalah terbatasnya jumlah donor kelu.arga
(Lfuing Related Donon LRD) dan donasi organ jenazah. Karena itu diperlukan kerja
sama yang saling mendukung antara para pakar terkait (hukum, kedokteran,
sosiologi, pemuka agama, pemuka masyarakat), dengan pemerintah dan swasta.

f enir-ienir Trqnsplqntqri
Hingga waktu ini telah dikenal beberapa jenis transplantasi atau pencangkokan,
baik berupa sel, jaringan, maupun organ tubuh, yaitu sebagai berikut.
l. Autografi, yaitu pemindahan dari satu tempat ke tempat lain dalam tubuh itu
sendiri.
2. Allografi, yaitu pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang sama
spesiesnya.
3. Isografr,yaitu pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang identik, misalnya
pada kembar identik.
4. Xenogrqft, yaitu pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang tidak sama
spesiesnya.

Organ atau jaringan tubuh yang akan dipindahkan dapat diambil dari donor yang
hidup atau dari jenazah orang yang baru meninggal (untuk keperluan ini, definisi
meninggal adalah mati batang otak). Organ atau jaringan yang dapat diambil dari
donor hidup adalah kulit, ginjal, sumsum tulang dan darah (transfusi darah).
Organ,/jaringan yang diambil dafi jenazah adalah jantung hati, ginjal, kornea,
pankreas, paru, dan sel otak. Dalam 2 dasa warsa terakhir ini telah pula dikembang-
kan teknik transplantasi seperti transplantasi arteria mamaria interna dalam operasi
lintas koroner oleh George E. Green, dan transplantasi sel-sel substansia nigra dari
bayi yang meninggal kepada pasien penyakit Parkinson. Semua upaya dalam
bidang transplantasi tubuh, jaringan dan sel manusia itu tentu memerlukan pe-
ninjauan dari sudut hukum dan etika kedokteran.

Aspeh Huhum Trcnrplontcri


Dari segi hukum, transplantasi organ, jaringan, dan sel tubuh dipandang sebagai
suatu usaha mulia dalam upaya menyehatkan dan menyejahterakan manusia,
walaupun ini adalah suatu perbuatan yang melawan hukum pidana yaitu tindak
pidana penganiayaan. Namun, karena adanya alasan pengecualian hukuman, atau
paham melawan hukum secara material, perbuatan tersebut tidak lagi diancam
pidana, dan dapat dibenarkan.
124 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

Dalam PP No. 18 tahun 1981 tentang bedah mayat klinis, bedali mayat anatomis
dan transplantasi alat sertajaringan tubuh manusia, tercantum pasal-pasal tentang
transplantasi sebagai berikut.
Pasal 1
a. Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringan tubuh yang dibentuk oleh
beberapa jenis sel dan mempunyai bentuk serta faal (fungsi) tertentu untuk tubuh
tersebut.
b. Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mempunyai bentuk dan faal (fungsi) yang
sama dan tertentu.
c. tansplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan dan atau
jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatan
untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.
d. Donor adalah orang yang men)'umbangkan alat atau jaringan tubuhnya kepada
orang lain untuk keperluan kesehatan.
e. Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang
berwenang bahwa fungsi otak, pernapasan, dan atau denl'ut janfung seseorang telah
berhenti.
Ayat e di atas mengenai definisi meninggal dunia kurang jelas. Karena itu, IDI
dalam seminar nasionalnya telah mencetuskan fatwa tentang masalah mati yang
dituangkan dalam SK PB IDI No.336,zPB IDI/A. tertanggal 15 Maret 1988 yang
disusul dengan SK PB IDI No. 23VPB/A.4/07/90. Dalam fatwa tersebut dinyata-
kan bahwa seorang dikatakan mati bila fungsi spontan pernapasan dan jantung
telah berhenti secara pasti atau ureuersible, atau terbukti telah te{adi kematian
batang otak.
Selanjutnya dalam PP tersebrit di atas terdapat pasal-pasal berikut.
Pasal 10
tansplantasi a.lat dan atau jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan huruf b, yaitu
harus dengan persetujuan tertulis pasien dan/atat keluarganya yang terdekat setelah
pasien meninggal dunia.

Pasal 11
1. tansplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia hanya boleh dilakukan oleh
dokter yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
2. tansplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh
dokter yang merawat atau mengobati donor yang bersangkutan.
Pasal 12
Dalam rangka transplantasi, penentuan saat mati ditentukan oleh 2 (dua) orang dbkter
yang tidak ada sangkut paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi.

Pasal 13
Persetujuan tertulis sebagaimana dirnalsud dalam Pasal 2 huruf a, Pasal 14 dan Pasal 15
dibuat di atas kertas bermaterai dengan 2 (dua) orang saksi.
Pasal 14
Pengambilan alat dan atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau
Bank Mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia, dilakukan dengan persetujuan
tertulis keluarga yang terdekat
8a/ 17 Tronsplantosi Orgon don Joringon Tubuh 1?S

Pasal 15
1. Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia
diberikan oleh donor'hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberi
tahu oleh dokter yang merawatnya temasuk dokter konsultan mengenai operasi,
akibat-akibatnya, dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat teq'adi.
2. Dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus yakin benar, bahwa calon donor
yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut.

Pasal 16
Donor atau keluarga donor yang meninggai dunia tidak berhak atas kompensasi material
apapun sebagai imbalan transplantasi.

Pasal,17
Dilarang mempe4'ualbelikan alat atau jaringan tubuh manusia.
Pasal 18
Dilarang mengirim d:n menerima alat dan atau jaringan tubuh manusia dalam semua
benruk ke dan dari luar negeri,

Sebagai penjelasan Pasd,17 dan 18, disebutkan bahwa alat dan atau jaringan tubuh
manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap insan tidaklah
sepantasnya dijadikan objek untuk mencari keuntungan. Pengiriman alat dan atau
jaringan tubuh manusia ke dan dari luar negeri haruslah dibatasi dalam rangka
penelitian ilmiah, ke5'a sama dan saling menolong dalam keadaan tertentu.
Selanjutnya dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, dicantuinkan
beberapa pasal tentang transplantasi sebagai berikut.
Pasal 33
1. Dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan trans:
plantasi organ dan atau jaringan tubuh, transfusi darah, implan obat dan atau alat
kesehatan, serta bedah plastik dan rekonstruksi.
2. Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh serta transfuii darah sebagaimana
dimaksud dalarn ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kernanusiaan dan dilarang
untuk tujuan komersial.
Pasal 34
1. Tiansplantasi organ dan atau jaringan tubuh fianya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di
sarana kesehatan tertenfu .

2. Pengambilan organ dan atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memper-
hatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan ada persetujuan ahli waris atau
keluarganya.
3. Ketentuan mengenai syarat dantata carapenyelenggaraan transplantasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Apabila diperhatikan kedua pasal di atas, isi dan tujuannya hampir sama dengan
yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Thhun 1981 tentang bedah
mayat klinis, bedah mayat anatomis, dan transplantasi alat serta jaringan tubuh
manusia. Dalam Undang-undang Kesehatan kembali ditegaskan bahwa transplan-
tasi organ atau jaringan tubuh dan transfusi darah hanya dapat dilakukan untuk
126 Etiho Kedohteron dqn Huhum Kesehotqn

tujuan kernanusiaan, dilarang untuk dijadikan objek untuk mencari keuntungan,


jual beli dan komersialisasi bentuk lain.

Arpeh Etih Trqnrplqntqri


tansplantasi merupakan upaya terakhir untuk menolong seorang pasien dengan
kegagalan fungsi salah satu organ tubuhnya. Dari segi etika kedokteran, tindakan
ini wajlb dilakukanjika ada indikasi, berlandaskan beberapa pasal dalam KODEKI'
yaitu:
Pasal2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan
standar profesi yang tertinggi.

Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup insani.

Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ia tidak mampu melakukan Suatu
pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien
kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

Bertitik tolak dari pasal-pasal tersebut di atas, para dokter harus menguasai, me-
ngembangkan, dan memanfaatkan iptek transplantasi untuk kemashlahatan pasien
dan keluarganya.
Pasal,pasal tentang transplantasi dalam PP No. 18 tahun 1981, pada hakikatnya
telah mencakup aspek etik, terutama mengenai dilarangnya memperjualbelikan
alat atau jaingan tubuh untuk tujuan transplantasi ataupun meminta kompensasi
material lainnya. Namun, timbul pertanyaan jika tidak boleh diperjualbelikan atau
diganti rugi, b agumana caranya meningkatkanjumlah donor. Apakah imbalan non-
materiil dibolehkan? Misalnya, meminta narapidana menjadi donbr dan kepadanya
diberikan pengurangan masa pidana atau remisi sebagai imbalan. Agaknya transaksi
ini bukan mustahil dilaksanakan karena tidak ada yang dirugikan, bahkan saling
menguntungkan
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam tindakan transplantasi adalah penentuan
saat mati seseorang akan diambil organnya, yang dilakukan oleh 2 (dua) orang
dokter yang tidak ada sangkut paut medik dengan dokter yang melakukan
transplantasi. Ini berkaitan denga.n keberhasilan transplantasi karena bertambah
segar organ atau jaringan bertambah baik hasilnya. Namun, jangan sampai terjadi
penyimpangan, yaitu pasien yang hampir meninggal, tetapi belum meninggal telah
diambil organ tubuhnya. Penentuan saat meninggal seseorang di rumah sfit
modern dewasa ini dilakukan dengan pemeriksaan elektroensefalografi dan di-
nyatakan meninggal jika telah terdapat mati batang otak dan secara pasti tidak
terjadi lagi pernapasan dan deny'ut jantung secara spontan. Pemeriksaan ini
dilakukan oleh para dokter lain yang bukan pelaksana tfansplantasi aga.r benar-
benar objektif,
Dalam dekade terakhir ini telah mulai diteliti kemungkinan dilakukannya
transplantasi wajah face tranEknts), sesuatu hal yang baru dalam teknologi
9aI 17 Trcnsplantosi Orgqn don loringon Tubuh 127

kedokteran.Tiansplantasi wajah bukan bertujuan untuk kosmetik atau kecantikan,


melainkan suatu terapi untuk mengubah wajah yang telah rusak berat, misalnya
karena trauma, luka bakar, dan kanker mulut yang melibatkan mata, bibir, dan pipi.
Melalui transplantasi wajah dan metode bedah rekonstruksi diharapkan penampil-
an wajahnya lebih normal
Tiansplantasi wajah pertama kali dilakukan di Rumah Sakit Lyon, Perancis
pada tahun 2005 di bawah pimpinan Dr. Jean-Michel'Dubernard pada pasien
Adelie yang wajahnya robek akibat anjingnya mengganas, sehingga bagian hidung
dagu dan bibirnya hilang. Donornya adalah seorang pasien yang otaknya sudah
tidak berfungsi lagi. tansplantasi berlansung sukses; Adelie memiliki hidung, dagu,
dan bibir baru.
Dari segi medis, masalah utama adalah baga.imana agar pasien memiliki ke-
mampuan menoleransi terapi imunosupresi agresif yang sangat dibutuhkan untuk
mengatasi reaksi penolakan tubuh terhadap kulit dan organ yang dicangkokkan.
Obat-obat ini harus dikonsumsi seumur hidup oleh resipiens, padahal selain
harganya mahal, dapat menimbulkan efek samping yang berat seperti gagal gnjal.
Hallainyangmencemaskanadalahjikaobat-obattersebutdihentikanpemakaiannya,
dapat mengakibatkan komplikasi yangfatal. Masalah medis lainnyaadalilr bahwd
prosedur operasionalnya belum sempurna, terutam4 mengenai penyambungan
pembuluh darah dan saraf di wajah, yang dapat mengakibatkan ekspresi dan per-
gerakan wajah tidak sepenuhnya ideal, bahkan terlihat seolah-olah "tqpeng'
belaka.
Dari segi etik, transplantasi wajah telah mengundang banyak kritik dari pakar
bioetika, psikolog psikiater dan lainlainnya. Bagr yang pro menyatakan bahwa
transplantasi wajah sangat membantu resipiens dalam penampilannya di tengah-
tengah masyarakat. Bagi yang kontra, merasa amat berat bagi resipiens mengemban
pemakaian wajah orang lain yang telah meninggal, dampaknya terhadap keluarga
donor dan resipiens dan masalah kepribadian resipiens yang tidak sesuai dengan
donor sehingga menyulitkan adaptasi terhadap wajah baru. Penerimaan masyarakat
sekitar merupakan hal yang penting pula, jangan sampai resipiens dikucilkan,
bahkan sebaliknya masyarakat harus menunjukkan rasa simpati dan menghibur
mereka yang mempunyai masalah.
Di Indonesia, transplantasi wajah @o ofrl telah dilakukan pertama kali pada
seorang wanita bernama Siti Nurjazila (Lisa) berusia 22 tahun, di RS Sutomo,
Surabaya pada tahun 2006, oleh tim yang dipimpin dr. M. Syaifuddin Noer, Sp.BP.
Wuj"h Lisa menderita cedera berat dan rusak, diduga karena ulah suaminyayang
kasar. Pada operasi face of ini kulit diambil dari punggung pasien sendiri dan
memerlukan pembedahan bertahap. Karena rumitnya transplantasi wajah ini, dari
segi medis, etik, dan hukum masih memerlukan pembahasan lanjutan.
t8
Arpex Enx DAN Huxuu Krlrnluu LlttcKuNGAN

Tuiuqn lnstruhrionql Khurur


t. Menjelqshon pengertiqn hesehqton linghungqn.
2. Menjeloshon hetentuon huhum yong berhubungqn dengon hesehqtqn
linghungqn.
g. Menjelqshon ospeh etih hesehoton linghungqn
Pohoh Bqhqrqn
t. Pengertiqn hesehoton linghungqn/higiene don tujuonnyo.
2. Kesehoton linghungon dqlom perundong-undongon.
l. Aspeh etih hesehotqn linghungon
tub-Pohoh Bqhqrqn
1. Empot fqhtor yqng memengoruhiderqjst hesehqton.
2. Pengertion hesehqtqn linghungon/higiene.
3. Usqho-usoho bogiumum dqlom hesehqton linghungon.
4. Sqnhsi huhum bqgi pelqnggqr hetentuon tentong hesehqtqn
linghungon.

128
8a/ 18 Aspeh Etih don Huhum Kesehoton Linghungqn 129

Keterkaitan pelayanan kedokteran,/kesehatan dengan kesehatan lingkungan lebih


banyak berhubungan dengan kalangan yang terlibat dalam bidang kesehatan
masyarakat atau para dokter yang bertugas di Puskesmas dan perusahaan. Untuk
para dokter yang bertugas di rumah sakit, apalagi yang menjalankan profesi
kedokteran di praktik pribadi masalah ini mungkin tidak telalu menjadi perhatian.
Begitu pun sebagai insan yang perhatiannya terutama untuk meningkatkan ke-
sehatan orang per orang atau masyarakat secara keselumhan, kita perlu juga me-
mahami hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan lingkungan. Kenyataan mem-
buktikan lingkungan yang kurang baik atau yang tidak menguntungkan akan
mempenganrhi kesehatan manusia.
Hal demikian dapat dimaklumi karena p ara ahh sepakat bahwa faktor lingkung-
an merupakan faktor yang sangat dominan di antara 4 faktor yang mempengaruhi
derajat kesehatan, yakni faktor lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan, dan
keturunan. Oleh karena itu, pengelolaan lingkungan secara baik akan memberikan
andil yang besar kepada kesehatan perseorangan ataupun kesehatan masyarakat.
Hal yang dibicarakan dalam aspek hukum kesehatan lingkungan ini adalah
ketentuan hukum yang berhubungan dengan higiene baik perusahaan pemerintah
maupun swasta serta sanitasi lingkungan.
Pembahasan kesehatan lingkungan yangjauh dari jangkauan petugas kesehatan
seperti masalah bocornya lapisan ozon, perambahan hutan, perembesan air laut ke
darat, limbah nuklir, dan asap tidak dibahas karena hal yang demikian masuk ke
masalah lingkungan hidup.

Pengertiqn Kerehqtqn Linghungqn


Dalam Undang-undang Kesehatan, tidak ada penjelasan tentang pengertian
kesehatan lingkungan. Untuk mengetahui pengertian kesehatan lingkungan kita
harus melihat ketentuan hukum sebelumnya yang mengatur tentang materi yang
sama, yaitu dalam Undang-undang No. 11 tentang Higiene untuk Usaha-usaha
Bagi Umum Thhurt 1962 dan Undang-undang tentang Higiene Tahun 1966.
Walaupun kedua undang-undang di atas sudah tidak berlaku lagi sebab sudah
dicabut dengan diberlakukannya UU Kesehatan, namun isinya perlu diketahui
untuk memahami tentang kesehatan lingkungan yang terdapat dalam ketentuan
hukum yang baru.
Sebelum istilah'kesehatan lingkungan yang dipergunakan sekarang dalam
undang-undang untuk maksud yang sama dipergunakan istilah Higiene.
Dalam Undang-undang No. 11 Thhun 1962 tentang Higiene untuk Usaha-
Usaha Bagi Umum dijelaskan: Higiene ialah segala usaha untuk memelihara dan
mempertinggi derujat kesehatan.
Usaha-usaha bagi umum ialah usaha-usaha yang dilakukan oleh badan-badan
pemerintah, swasta maupun perseorangan yang menghasilkan sesuatu untuk atau
yang langsung dapat dipergunakan oleh urnum.
Usaha-usaha bagi umum yang menghasilkan sesuatu untuk dipergunakan
masyarakat adalah umpamanya perusahaan air minum, pabrik minuman, dan
pabrik makanan.
130 Etiho Kedohteron don Huhum Keiehotqn

Usaha-usaha bagi umum yang langsung dipergunakan gleh masyarakat


umpamanya kereta api, kapal laut, terminal, bioskop, tempat pemandian, dan
sekolah.
Dalam Undang-undang Higiene tahun 1966 dil'elaskan yang dimaksud dengan
higiene adalah kesehatan masyarakat yang khusus meliputi segala usaha untuk
melindungi, memelihara, dan mempertinggi derajat kesehatan dengan tujuan mem-
beri dasar-dasar kelanjutan hidup yang sehat serta mempertinggi kesejahteraan
dan daya guna perikehidupan manusia.
Dalam Undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup, dijelaskan bahwa kesehatan lingkungan adalah
suatu kondisi lingkungan yang mampu menopang keseimbangan ekologis yang
dinamis untara manusia dan lingkungan untuk mendukung tercapainya kualitas
hidup manusia yang sehat, sejahtera dan bahagia.

Arpeh Etih Kerehotqn Linghungqn


Aspek etik dalam kesehatan lingkungan perlu dikaitkan dengan prinsip-prinsip ber-
buat baik, tidak merugikan orang lain dan prinsip keadilan. Dalam pasal 8 KODEKI
jelas dinyatakan bahwa kepentingan masyarakat harus diperhatikan tanpa meng-
abaikan kepentingan perseorangan.
Sebagai bagian dari tanggungjawab dalam menjaga kesehatan lingkungan, para
tenaga kesehatan perlu menegakkan aspek etik dalam kesehatan lingkungan. Ini
untuk mengingatkan anggota masyarakat bahwa setiap orang perlu berpartisipasi
menjaga kesehatan lingkungan yang hasilnya akan dinikmati oleh masyarakat luas.
Tidak bisa disangkal bahwa berbagai kasus lingkungan hidup yang akhirnya
berdampak pada kesehatan lingkungan yang terjadi sekarang baik pada skala global
maupun nasional sebagaian besar bersumber dari perilaku manusia yang tidak
bertanggung jawab, tidak perduli, dan hanya mementingkan diri sendiri. Me-
nanamkan pentingnya pemahaman terhadap aspek etik dalam kesehatan lingkung-
an tidak saja sebagai ilmuwan di bidang kesehatan, tetapi juga untuk disampaikan
kepada masyarakat di lingkungannya merupakan tanggung jawab tenaga kesehat-
an juga. Menyampaikan hal yang sederhana seperti tidak membuang sampah
sembarangan, tidak membiarkan genangan air dalam wadah yang dapat menjadi
sarang jentik, dan.perlunya menanam pohon adalah bagian dari etika menjaga
kesehatan lingkungan. Perlu pendekatan yang bersifat penyadaran pentingnya
menjaga kesehatan lingkungan yang baik, agar anggota masyarakat dapat ber-
integrasi sehingga tercipta kesehatan lingkungan yang sehat.
Dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, seperti pemanfaatan potensi per-
industrian, pertambangan, dan perkebunan, perlu diperhatikan dampak lingkungan
dan masalah kesehatan masyarakat di sekitarnya Untuk itu, kajian risiko kesehatan
lingkungan perlu dilakukan secara berkala untuk rnemarttau dan mengevaluasi
dampak risiko terhadap kesehatan masyarakat yang sering dikeluhkan oleh masya-
rakat sekitar proyek. Pengelola yang tidak memperhatikan lingkungan dan
dampaknya pada kesehatan masyarakat, perlu diingatkan. Misalnya, pembuangan
sampah dan limbah ke darat atau sungai yang dapat membahayakan kesehatan
manusia, kehidupan fauna dan flora sehingga memicu gejolak sosial perlu diawasi.
?a/. 18 Aspeh Etih don Huhum Kesehoton Linghungon 131

Hubungan arrtafa pencemaran lingkungan dan penyakit yang diderita masyarakat


karena faktor lingkungan memang tidak mudah mengetahuinyakarena keaneka-
ragaman zat perrcerrrar dan sulitnya mendeteksi zat pencemar tersebut. Pada awal
eksploitasi suatu proyek pelu dikaji Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL) dan baseltnekesehatan masyarakat sekitar. Bukan mustahil proyek dapat
mengubah ekosistem dan menimbulkan risiko kesehatan lingkungan selanjutnya..
Demikian pentingnya masalah kesehatan lingkungan yang bila dikaitkan de-
ngan lingkungan hidup secara global, PBB telah mengadakan 3 kali Konferensi
Tingkat Tinggr yang melahirkan kesepakatan tahun 1972 di Stockholom, tahun
lgg2 di Rio DeJaneiro dan tahun 2002 diJohanesburg mengenai penataan ke-
sehatan lingkungan dan lingkungan hidup.

Kerehqtqn Linghungqn dqlqm Perundcng-Undongon


Pemerintah sejak semula sudah memperhatikan dan mengatur tentang kesehatan
lingkungan.
Seperti diutarakan di atas, sebelum UU Kesehatan diberlakukan, telah ada dua
undang-undang yang secara khusus mengatur tentang kesehatan lingkungan, yaitu
Undang-undang No. 11 tahun 1962 tentang Higiene untuk Usaha-Usaha Bagi
Umum dan Undang-undang No. 2 Thhun 1966 tentang Higiene.
1. Undang-undang No. ll tahun 1962 tentang Higiene untuk Usaha-
Usaha Bagi Umum
Dalam undang-undang ini dijelaskan dasar pertimbangan perlunya undang-
undang ini adalah untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan
rakyat.
Adapun higiene untuk usaha-usaha bagi umum yang diatur dalam undang-
undang No. 11 tahun 1962 ini meliputi:
a. Higiene air, susu, makanan, dan minuman untuk konsumsi bagi umum,
perlu diawasi mutu kesehatannya, tidak mengandung kuman penyal<t, zat-
zat r acun, dan sebagainya.
b. Higiene perusahaan-perusahaan dan lingkungannya perlu memenuhi syarat-
syarat kesehatan agarkaryawan tidak mudah mengalami bahaya dan bekerja
dalam suasana yang sehat.
c. Higiene bangunan-bangunan umum, seperti stasiun, pelabuhan, bioskop,
sekolah, dan lainlain harus memenuhi syarat-syarat kesehatan, se;ierti
ventilasi, kebersihan, dan sebagainya.
d. Higiene tempat pemandian umum, harus bersih dan sehat serta aman
terhadap penyebaran penyakit menular.
e. Higiene alat-alat pengangkutan umum seperti kereta api, bus, kapal, dan
pesawat terbang perlu memenuhi syarat-syarat kesehatan.
f dan lainnya diatur oleh Menteri Kesehatan'

Dalam Undang-Undang Higiene tahun 7962 ini juga telah dicantumkan sanksi
hukum pidana bagi yang melanggarnya berupa pidana kurungan dan atau
denda.
132 Etiho Kedokteron dqn Huhum Kesehoton

2. Undang-undang No. 2 Tirhun 1966 tentang Higiene ,

Dalam Undang-undang No. 2 Thhun 1966 tentang Higiene dijelaskan istilah


higiene digunakan untuk mencakup seluruh usaha manusia ataupun masya-
rakat yang perlu d!'alankan guna mempertahankan dan memperkembangkan
kesejahteraannya di dalam lingkungannya yang bersifat badan dan jiwa atau-
pun sosial.
Dalam undang-undang ini dicantumkan usaha di bidang higiene dan
pelaksanaan usaha tersebut.
Intisari dari ketenfuan undang-undang ini adalah:
a. Rakyat harus.mengerti dan sadar akan pentingnya keadaan yang sehat, baik
kesehatan pribadi, maupun kesehatan masyarakat.
b. Pemerintah harus memberikan pelayanan di bidang kesehatan bagi rakyat.
3. UU Kesehatan
UU Kesehatan menghimpun semua ketentuan-ketentuan hukum yang ber-
kaitan dengan pelayanan kesehatan menjadi satu sehingga dengan demikian
tidak tersebar di berapa undang-undang seperti sebelumnya.
Kesehatan lingkungan dalam Undang-undang ini termasuk dalam bagian
ke lima dari enam belas bagian pada Bab mengenai PenyelenggaraanlJpaya
Kesehatan.

Dalam pasil22 tentang kesehatan lingkungan diy'elaskan:


a. Kesehatan lingkungan diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas lingkungan
hidup.
b. Kesehatan lingkungan dilaksanakan terhadap tempat umum, lingkungan pe-
mukiman, lingkungan kerja, angkutan umum, dan lingkungan lainnya.
c. Kesehatan lingkungan meliputi penyehatan air dan udara, pengamanan limbah
padat; limbah cair, limbah gas, radiasi dan kebisingan, pengendalian vektor pe-
nyakit dan penyehatan atau pengamanan lainnya.
d. Setiap tempat atau sarana pelayanan umum wajib memelihara dan meningkatkan
Iingkungan yang sehat sesuai dengan standar dan pelayanan.
Dalam penjelasan ketentuan di atas, dikemukakan bahwa untuk mencapai ke-
sehatan masyarakat yang optimal, perlu ditingkatkan sanitasi lingkungan, baik
pada lingkungan tempatnya maupun terhadap wujud atau bentuk subs(antifnya
yang berupa fisik, kimiawi, atau biologik, termasuk perubahan perilaku.
Mengenai tempat umum dimaksud antara lain hotel, pasar, pertokoan, pasar
swalayan, mal, dan bioskop. Demikian pula lingkungan keg'a, lingkungan pe-
mukiman dan angkutan umum sama saja dengan yang diatur pada undang-undang
kesehatan lingkungan/higiene yang lama.
Penyehatan air dan udara untuk meningkatkan kualitas, termasuk penekanan
pada masalah polusi. Pengamanan ditujukan untuk limbah padat, cair, dan gas
serta pengamanan terhadap limbah yang berasal dari rumah tangga dan industri,
begitu pula pengamanan dan penetapan standar penggunaan alat yang meng-
hasilkan radioaktif, gelombang elektromagnetik, listrik tegangan tinggi, sinar infra
merah, dan ultra violet.
8d/18 Aspeh Etihdon Huhum Kesehoton Linghungon

Demikian pula pengamanan terhadap ambang batas bising yang dapat


mengganggu kesehatan di pabrik-pabrik serta pengendalian vektor penyakit dari
binatang pembawa penyakit seperti serangga dan binatang pengerat.
Dalam undang-undang ini juga diatur tentang sanksi hukum bagi yang
melanggar ketentuan tentang kesehatan lingkungan terdapat pada pasal 84 yang
diatur sebagai berikut.
1. dst.
2. , menyelenggarakan tempat atau sarana pelayanan umum yang tidak memenuhi
ketentuan standar dan atau persyaratan lingkungan yang sehat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp. 15.000.000'-
(lima belas juta rupiah).

Ketentuan-ketentuan hukum yang diterbitkan pemerintah di atas perlu diketahui


dan dipahami oleh kalangan kesehatan terutama yang berhrgas dalam bidang
kesehatan masyarakat, dokter puskesmas dan para dokter perusahaan agar dapat
menunjang dan mengamankan usaha pemerintah mencapai derajat kesehatan
yang optimal bagi setiap masyarakat.
t9
Alpex Enx DAN Huxuu Kr$xlmn Kerul

Tujucn lnrtruhrionql Khurur


1. Menjelorhon pengertion hesehotqn herjo.
2. Menjeloshon ospeh huhum herehoton herjo.
3. Menjelqshon ospeh etih hesehqton herjo

it'[:.:,:lHil dorom pembonsunon don perhem bonson industri.


2. Higiene perusohoon don hesehoton herjq (hiperhes).
3. Beberopq hetentuon huhum yqng terhoit dengon Hiperhes.
4. Beberopq ospeh etih yong terhqit dengon Hiperhes
tub-Pohoh Bqhqrqn
1. Perqnon dohter perusohoon dqlqm hiperhes.
2. Sosoron dori hiperhes.
3. Pengertiqn huhum hesehqtqn herjq.
4. Sosoron huhum hesehoton herjo.
5. Ketentuon huhum dotom hesehqtqn herjo.
6. Asuronsitenogo herjo (ASTEK).
7. Pengertion etih hesehoton herjo

134
8a/ 19 Aspeh Etih don Huhum Kesehoton Kerio t35

Sama halnya dengan kesehatan lingkungan, pengetahuan tentang kesehatan kerja


juga akan lebih banyak melibatkan kalangan kedokteran./kesehatan yang me-
nangani kesehatan peketja di pabrik, pertambangan, dan perusahaan. Kini, di dunia
kesehatan dikenal istilah hiperkes; kependekan dari higiene perusahaan dan
kesehatan kery'a.
Sasaran higiene perusahaan adalah lingkungan kerja dan bersifat teknik, sedang-
kan sasarankesehatan kerja adalah manusia dan bersifat medik. Penggabungan dua
disiplin yang berbeda ini dalam praktiknya seperti condih'o n:ne gua non, dengan
kemajuan di bidang yang satu memerlukan kemajuan atau bergantung pada bidang
yang lain. Penggabungan yang serasi ini membuka kemungkinan sebesar-besarnya
untuk kesempurnaan penyelenggaraan higiene perusahaan dan kesehatan kerja. "
Dengan demikian, akan sulit membicarakan kesehatan kerja tanpa membicara-
kan kesJhatan lingkungan sebab hakikat dari kedua disiplin ini adalah:
1. Sebagai alat untuk mencapai derajat kesehatan tenaga kerja setinggitinggi-
nya, baik buruh, petani, nelayan, pegawai negeri, maupun pekerja lepas.
Dengan demikian, hakikat kedua disiplin ini dimaksudkan untuk kesejahtera-
an tenaga kerja
2. Sebagai alat untuk meningkatkan produksi melalui efisiensi dan dayaproduk-
tivitas manusia.

Undang-undang kesehatan kerja ini semakin penting diatur sejalan dengan semakin
meningkatnya pembangunan di segala bidang, khususnya di bidang industri yang
memerlukan tenaga kerja yang tidak saja terampil di bidangnya, tetapi juga mem-
punyai derajat kesehatan yang baik.
Bab ini tidak akan membicarakan tentang kesehatan kerja secara keseluruhan,
tetapi hanya akan dibicarakan tentang aspek etik dan hukum kesehatan kerl'a.

Arpeh Etih Kerehqtqn Kerio


Oleh karena dalam upaya kesehatan keq'a tercakup berbagai disiplin ilmu seperti
disiplin rekayasa, sosial budaya, ekonomi, hukum, dan cabang-cabang ilmu ke-
sehatan, untuk menyelesaikan masalah kesehatan kerja dari segi etik lebih tepat
diterapkan etika biomedis ftioetika).
Berbagai upaya peningkatan ke{a mengandung komponen bioetika, dan para
doker yuig -."g.l,ola kelsehatan ke4a ditunfut mempedomani Kode EtiL Dokter
Kesehatan Kerja (KEDKD. Hal-hal yang menuntut perhatian dokter kesehatan
keq'a meliputi:
1. Kontrak kerja dan pelaksanaan fungsi profesi
a. Profesi dokter kesehatan kerja di Indonesia akan terus berkembang sesuai
dengan pertumbuhan dan perkembangan industrialisasi
b. Dokter kesehatan ke{a harus menghindari diri dari setiap pertimbangan
atau'kegiatan yang dapat mengurangi intensitas dan kemandirian atau
kebebasari profesi dan tetap memelihara komunikasi yang serasi dengan
tenaga kerja dan manajemen perusahaan
c. Dalam setiap pertentangan kepentingan, dokter kesehatan kerja tidak boleh
memihak manajemen perusahaan
136 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

2. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja


Melaksanakan secara berkala pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dengan
baik dan benar dan memberikan penjelasan rrranfaat serta tujuan pemeriksaan
kesehatan dalam rangka perlindungan kesehatan tenaga kery'a dengan fokus
pada upaya pencegahan.
3. Perlindungan terhadap tenaga kerja
a. MeJaksanakan profesi berlandaskan KODEKI
b. Memelihara, membina, dan meningkatkan derajat kesehatan, produktivitas
dan kesejahteraan tenaga ke{a baik perseorangan maupun kelompok
c. Memberi penyrluhan kesehatan untuk kepentingan kesehatan tenaga kerja,
guna menceg ah bahay a pekerjaan
4. Pengembangan kebijakan dan program kerja
Dokter kesehatan kerja bersama-sama pengusaha dan wakil tenaga kerja mem-
buat rencana pengembangan kebil'akan program kesehatan kerja di tempatnya
sesuai kebutuhan dan kemampuan perusahaan serta sesuai perkembangan iptek
kedokteran mutakhir dan berpartisipasi dalam upaya perlindungan komunitas
dan lingkungan
5. Mengikuti perkembangan iptek
Dokter kesehatan kerja bertanggung jawab terhadap peningkatan derajat
kesehatan tenaga kerja sesuai perkembangan iptek kedokteran mutakhir, me-
ngenal dan memahami pekerjaan dan lingkungan kerjanya serta masalah-
masalah yang mungkin timbul.

Arpeh Huhum Kerehqtqn Keriq


Pengetahuan tentang aspek hukum ini perlu dipahami karena atas kekuatan
undang-undanglah para pejabat departemen tenaga kerja atau departemen ke-
sehatan dapat melakukan inspeksi dan memaksakan segala sesuatu yang diatur
dalam undang-undang dan peraturan yang dikeluarkan pemerintah ke perusahaan-
perusahaan.
Bila nasihat dan peringirtan demikian tidak dihiraukan, atas kekuatan undang-
undang dapat dipaksakan sanksi hukum yang diatur dalam undang-undang.
Hal ini perlu diketahui kalangan kedokteran,/kesehatan karena tugas utama
kalangan kedokteran,/kesehatan adalah membina agar kesehatan kerja dan ke-
sehatan lingkungan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Pengertian Kerehqtqn Keriq


Sebelum menelusuri aspek etik dan hukum kesehatan kerja, harus dipahami terlebih
dahulu tentang pengertian kesehatan kerja.
Kesehatan kerja adalah spesialisasi dalam ilmu kesehatan,/kedokteran beserta
praktiknya yang bertujuan agur masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan
setinggi-tingginya, baik fisih mental, maupun sosial, dengan usaha preventif dan
kuratif, terhadap penyakit,/gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor pe-
kerjaan dan lingkungan kerja, serta penyakit umum.
9a/ 19 Aspeh Etih don Huhum Kesehqton Kerjo 137

$qrqrsn Huhum Kerehqtqn Kerio


Sejalan dengan pengertian hukum kesehatan, hukum kesehatan kerja adalah semua
ketentuan hukum yang berhubungan dengan pemeliharaan/ pelayanan kesehatan
kerja dan penerapannya serta hak dan kewajiban baik dari perseorangan maupun
segenap lapisan masyarakat. Sebagai penerima pelayanan kesehatan ataupun dari
pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspek organisasi, sarana,
pedoman medik" ilmu pengetahuan kesehatan, dan hukum serta sumber hukum
Iainnya.
Adapun sasaran dari hukum kesehatan ke{a adalah:
1. Mencegah terjadinya kecelakaan.
2. Mencegah timbulnya penyakit akibat pekerjaan.
3. Mencegah atau mengurangi kernatian.
4. Mencegah atau mengurangi cacat tetap.
5. Mengamankan material, konstruksi, pemakaian, pemeliharaan bangunan,
alat kerja, mesin, pesawat, instalasi, dan sebagainya.
6. Meningkatkan produktivitas ke{a tanpa memeras tenaga kerja dan men-
jamin kehidupan produktifryu.
7. Mencegah pemborosan tenaga kerja, modal, alat, dan sumber produksi
lainnya pada saat bekerja dan sebagainya.
8. Menjamin tenaga kerja yang sehat, bersih, nyaman, dan aman sehingga
dapat menimbulkan kegembiraan dan semangat keq'a.
9. Memperlancar, meningkatkan, dan mengamankan produksi, industri serta
pembangunan.

Beberqpq Ketentuqn Hqhum'tentqng Kerehqtqn Keriq


Undang-undang kesehatan kerja telah menjadi perhatian pemerintah sejak ber-
dirinya negara Republik Indonesia. Pemerintah merasa perlu merumuskan suatu
kebijakan umum yang mengatur kesejahteraan pekeq'a dengan mengeluarkan
perundang-undanga.n yang mengatur dan melindungi kesejahteraart pekerja.
Di antara beberapa undang-undang yang pernah dibuat adalah:
A. Undang-undang Kerja (1948-1951), walaupun tidak untuk seluruh pasalnya,
dengan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1951 mengatur tentang jam kerja,
cuti tahunan, cuti melahirkan, cuti haid bagi pekerja wanita, peraturan tentang
kerja bagi anak, orang muda, wanita, persyaratan tempat kerja dan lain-lain.
B. Undang-undang Kecelakaan diumumkan tahun 1947, dinyatakan berlaku tahun
1951. Undang-undang kecelakaan ini disebut juga Undang-undang Kompensasi
Pekerja (Worhmen Compensatrbn Laut) mengattr tentang penggantian kerugian
kepada buruh yang mendapat kecelakaan atau penyakit akibat kerja.

Beberapa pasal yang patut diketahui antara lain adalah:


1. Di perusahaan yang di*ajibkan memberi tunjangan, majikan berkewajiban
membayar ganti rugi kepada buruh yang mendapat kecelakaan berhubung-
an dengan hubungan kerja pada perusahaan itu.
2. Penyakit yang timbul karena hubungan ke{a dipandang sebagai kecelaka-
an-
138 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

3. Jikalau buruh meninggal dunia akibat kecelakaan yang demikian itu, ke-
wajiban membayar kerugian itu berlaku terhadap keluarga yang ditinggal-
kannya.
4. Dan seterusnya.
C. Undang-undang Keselamatan Kerja tahun 1970, Undang-undang ini berisi
ketentuan umum tentang keselamatan kerja yangsesuai dengan perkembangan
masy4rakat, industrialisasi, teknik, dan teknologi dalam rangka pembinaan
norma keselamatan kerja.
Dalam Undang-undang Keselamatan ke5'a ini diatur tentang keselamatan ke4'a
di segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam
air, maupun di udara dalam wilayah hukum Indonesia.
Dalam Undang-undang KeselamatanKe1a ini juga dicantumkan hak dan
kewajiban tenaga kerja, yaitu:
1. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas
dan atau ahli keselamatan keq'a.
2. Memakai alat perlindungan dirinya yang diwajibkan.
3. Memenuhi dan menaati semua syarat keselamatan dan kesehatan ke{a yang
diwajibkan.
4. Meminta kepada Pengurus agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan
kesehatan kerja yang diwajibkan.
5. Menyatakan keberatan kef a pada pekerjaan dengan syarat keselamatan dan
kesehatan ke4'a serta alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan oleh-
nya kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas
dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggungjawabkan.
D. Ketentuan'hukum mengenai kesehatan kerja juga terdapat dalam UU Ke-
sehatan.
Pasal 23 Undang-undang Kesehatan ini menyatakan:
1. Kesehatan keq'a diselenggarakan untuk mewujudkan produktivitas kerja
yang optimal.
2. Kesehatan kerja meliputi pelayanan kesehatan kerja, pencegahan penyakit
akibat kerja, dan syarat kesehatan kery'a.
3. Setiap tempat kerja wajib menyelenggarakan kesehatan kerja
4. Ketentuan mengenai kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat Q)
dan (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pada pasal ini diatur agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa mem-
bahayakan diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya untuk memperoleh produk-
tivitas kerja yang optimal.
Diingatkan dalam pasal ini bahwa kesehatan kerja meliputi pelayanan kesehat-
an kerja, pencegahan penyakit akibat kery'a dan syarat-syarat kesehatan. Dengan
demikian, upaya kesehatan kerja pada hakikatnya merupakan penyerasian kapa-
sitas kel'a, beban kerja dan lingkungan kerja.
Pelayanan kesehatan kerja adalah pelayanan kesehatan yang diberikan kepada
pekerja sesuai denganjaminan sosial tenaga kerja dan mencakup upaya peningkat-
?a/ 19 Aspeh Etih don Huhum Kesehoton Kerjo 139

an kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, dan pemulihan ke-


sehatan.
Syarat kesehatan kerja meliputi persyaratan kesehatan pekerja baik fisik maupun
psikis sesuai dengan jenis pekerjaannya, persyaratan bahan baku,.peralatan, dan
ptor.t kery'a serta persyaratan tempat atau lingkungan kerja. Yang dimaksud dengan
i"-p"t t e4a ai sini adalah tempat kerja yang terbuka atau tertutup, bergerak atau
tidak bergerak yang dipergunakan untuk memproduksi barang atal jasa oleh satu
atau beberapa orang pekerja.
Dalam pasal ini ditegaskan bahwa yang wajib menyelenggarakan kesehatan
kerja adalah tempat yang mempunyai risiko bahaya kesehatan atau mudah
terj-angkit pettyakii atau yang mempunyai karyawan lebih dari 10 orang.
-Sanksi
hukum bagr yang melanggar ketentuan tentang |<esehatan keq'a, diatur
dalam pasal yang sama dengan sanksi hukum pada pelanggaran kesehatan
lingkungan.
UU Kesehatan pasal 94 berbunyi:
"Barang siapa yang menyelenggarakan tempat ke{a yang tidak memenuhi ketentuan
dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan atau pidana denda paling
banyak lima belas juta':

Arurqnri Tenago Kerio


Membicarakan aspek hukum tentang kesehatan ke{a pada masa kini harus
diketahrri pula tentang program Asuransi Tenaga Kerja (Astek). Program ini sangat
penting
- programuntuk tenaga kerja yang bukan pegawai negeri sipil dan anggota ABRI.
ini dilaksanakan berdasarkan pengalaman banyaknya korban yang
terjadi akibat kecelakaan kerja yang mendatangkan kerugian baikjasmani maupun
rohani. Karena itu, peherintah membuat satu jaminan sosial bagi pekerja yang
dapat kecelakaanpadawaktu melakukan pekerjaan di suatu perusahaan'
risiko sosial
Jaminan sosial ini bertujuan memberikan perlindungan terhadap
ekonomi yang menimpa pekerja. Ketentuan pokok mengenai jaminan sosial ini
diatur dalam Undang-undangNo. 14 tahun 1969. Salah satu darijaminan ini adalah
program Astek. Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 33 tahun 1977 tentang
Astek, programnya adatah berupa Asuransi Kecelakaan Keq'a, Asuransi Thbungan
Hari Tira dan Asuransi Kematian.
Dalam pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah ini dil'elaskan bahwa setiap per-
usahaan wajib menyelenggarakan program Astek. Dengan demikian, program ini
akan memberikan jaminan terhadap kecelakaan, penyakit atau kematian yang
timbul dan dengan hubungan kerja.
20
Aspex Enx DAN Huxuu Penvlxlr Menunn

Tujucn lnrtruhrionql Khurur


l. Menjeloshon ospeh etih dqn huhum woboh penyohit menulor
umumnyq.
2. Menjelqshon ospeh etih don huhum penyohit menulqr sehsuol.

Pohoh Bqhqrqn
1. Pengertion penyohit menulor don wqbqh penyohit menulqr.
2. Beberopo undong-undqng tentong wqboh penyohit menulqr.
3. Aspeh etih don huhum penyohit menutor umumnyq don penyohit
menulor sehsuol hhususnyo.

$ub-fohoh Bqharon
1. Peroturon perundong-undongon tentong wobqh penyohit menulor
umumnyo, penyohit menulqr sehsuql, AlDt SARS, don flu burung
hhususnyo.
2. Orons denson HIV/AIDS (ODHA).
3. Pemberontoson penyohit menulqr dqlom Undong'undqng Kesehoton.

140
84/ 20 Aspeh Etih don Huhum Penyohit Menulor

Ada dua hal yang perlu disampaikan tentang aspek etik dan h,pkum penyakit
menular, yaitu yang berkaitan dengan:
1. Wabah Penyakit Menular.
2. Penyakit Menular Seksual (PMS) atau Sexual Tlansmitted Dueares (SlD).
Wabah Penyakit Menular lebih banyak berkaitan dengan masalah epidemiologi
dengan beberapa peraturan dan perundang-undangan, sementaxa PMS perlu di-
bicarakan karena penyakit ini banyak menimbulkan permasalahan etik dan hukum
dengan pasien dan keluarga bila para dokter dan kalangan kesehatan tidak berhati-
hatilenghadapinya. Kebijakan ini perlu diperhatikan dokter dan tenaga kesehatan
lainnya agar pasien secara moral turut bertanggung jawab sehingga penyakit
menular atau wabah demikian tidak tertular kepada orang lain.

Wqbqh Penychit Menulqr


Penyakit menular (Communicable Daease) adalah penyakit yang disebabkan oleh
adanyaagen penyebab yang mengakibatkan perpindahan atau penularan penyakit
dari orang atau hewan yang terinfeksi, kepada orang atau hewan yang rentan
(potential hos), bal< secara langsung maupun tidak langsung melalui perantara
(aectol atau lingkungan hidup.
Dalam kurun waktu 20-30 tahun terakhir perkembangan penyakit menular
menjadi sedemikian menonjol sehingga memerlukan perhatian yang menuntut
berbagai kebijakan nasional ataupun internasional untuk mengatasinya. Paling
tidah ditemukan sekitar 30 penyakit infeksi baru (neza emergt:ng desease) yang di-
perkirakan berkaitan dengan perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan, pe-
ningkatan lalu lintas internasional serta perubahan lingkungan hidup, laju per-
tambahan penduduk, dan lainlain. Sejumlah penyakit infeksi yang sebelumnya
tidak diketahui mulai teridentifikasi
Undang-undang tentang wabah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 6
Tfiun 1962 danUndang-undang Nomor 7 Thhun 1968 tentang Perubahan Pasal 3
Undang-undang Nomor 6 Thhun 1962 tentang Wabah, ternyata kurang mampu
memenuhi kebutuhan untuk penanggulangan wabah dewasa ini. Masalahnya
adalah pengertian wabah dalam undang-undang ini didasarkan pada penjalaran
penyakit yang dalam waktu singkat menyebabkan jumlah pasien meningkat.
Sementara saat ini menghendaki suatu wabah dapat segera ditetapkan, walaupun
penyakit tersebut belum menjalar dan belum menimbulkan malapetaka dalam
masyarakat.
Karena itu, pemerintah mengeluarkan Undang-undang RI Nomor 4, Thhun
1984 tentang Wabah Penyakit Menular dengan tujuan melindungi penduduk dari
malapetaka yang ditimbulkan wabah sedini mungkin..Dalam undang-undang ini
dinyatakan yang dimaksud dengan wabah penyakit menular atau disebut wabah
adalah kejadian tery'angkitnya suatu penyfit menular dalam masyarakal yang
jumlah pasiennya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan lazim pada
waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka. Dalam undang-
undang ini disebut sumber penyakit dapat berasal dari manusia, hewan, tumbuhan,
dan benda-benda yang mengandung dan atau tercemar bibit penyakit yang dapat
menimbulkan wabah.
Etihq Kedohteron don Huhum Kesehoton

Aspek etik dan hukum dalam penanggulangan wabah penyakit menular perlu
diketahui kalangan kedokteran dan kesehatan karena mereka termasuk orang-
orang yang memiliki tanggung jawab dalam lingkungannya dalam mengatasi
dampak dan upaya penanggulangannya.
Upaya penanggulangan dimaksud meliputi penyelidikan epidemiologis, pe-
meriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi pasien termasuk tindakan karantina,
pencega[an dan pengebalan, pemusnahan penyebab penyakit, penangananj enazah
akibat wabah peny'uluhan kepada masyarakat dan penanggulangan lainnya.
Selanjutnya, dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 560/Menkes/Per/
VIII/1989 tentangJenis Penyakit Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah, Thta
Cara Penyampaian Laporannya dan Tata Cara Penanggulangan Seperlunya, diper-
oleh kejelasan tentang jenis penyakit yang dapat menimbulkan wabah serta cara
pelaporan dan penanggulangannya. Dalam Peraturan Menteri ini, disebut jenis
penyakit yang dapat menimbulkan penyakit wab ah, antaralain Kolera, Pes, Demam
kuning, Deman rekuren, Tifus Bercak Wabah, Deman Berdarah Dengue, Campak,
Polio, Difteri, Pertusis, Rabies, Malaria, Influenza, Hepatitis, Tifus perut, Meningitis,
Ensefalitis, dan Antrax. Penyakit lain yang dapat menimbulkan wabah dapat
ditentukan kemudian oleh Menteri Kesehatan.
Laporan tentang adanya pasien atau tersangka pasien disebut Laporan Ke-
waspadaan, dan harus disampaikan segera, dapat dipercaya, dan bertanggung
jawab kepada Kepala Desa dan atau Kepala unit kesehatan. Laporan ini memuat:
a. Nama,/nama-nama pasien atau yang meninggal
b. Golongan umur
c. Tempat/ alamal kejadian
d. Waktu kejadian
e. Jumlah yang sakit atau meninggal

Pihak yang diharuskan menyampaikan laporan kewaspadaan adalah termasuk


orang tua pasien, kepala keluarga, Ketua Rukun Tetangga, Ketua Rukun Kampung,
dokter, petugas kesehatan yang memeriksa pasien, dokter hewan yang memeriksa
hewan tersangka pasien, kepala asrama, pimpinan perusahaan, kepala stasiun
kereta api, dan lainlain.
Melaluijenjang administratifnegara, akhirnya dalam waktu singkat akan sampai
ke Dinas Kesehatan Dati II dan I serta Kepala Wilayah/Daerah. Laporan dapat
disampaikan dengan lisan atau tulisan, melalui tatap muka, telepon, radio, surat,
teleks, faksimile, dan alat komunikasi lainnya dengan tujuan segera diketahui dan
bertanggung jawab.
Dalam peraturan ini dijelaskan pengertian Kejadian Luar Biasa (KLB), yaitu
timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan,/kematian yang bermakna secara
epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Penanggulangan
seperlunya dapat berupa pemeriksaan, pengobatan, perawatan, isolasi, pembentuk-
an tim gerak cepat, dan bila perlu, vaksinasi.
Pemahaman ini diperlukan agar semua jajarun kesehatan dapat memberikan
kontribusi yang tepat secaia etik dan hukum sehingga wabah dapat teratasi dengan
segera.
8a/ 20 Aspeh Etih don Huhum Fenyohit Menulor

Menteri Kesehatan akan menerima perkembangan wabah penyakit menular


melalui Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Pemukiman (PPM dan PLP).

tARt dsn Flu Burung


Padd awal milenium kedua, dunia dihebohkan dengan munculnya penyakit baru
dengan kumpulan gejala infeksi pernapasan yang akut dengan yang dinar'nakan
Snire Acute nespntory Syndrome (SARE.Berselang beberapa wakq kemudian
muncul pula wa6ah flubumng (Aaian Infumza). Walaupun penyebab pasti SARS
belum dlpastikan WHO, diperkirakan penyebabnya adalah corona virus. Penyakit
ini dicurfoai muncul pertama kali di Guandong (RRC) tahun 1997. Pemerintah
dengan cepat mengeluarkan beberapa pedoman penanggulangan _sebagai acuan
bagi"setiap p"togu, k.r"hatan agar ancaman masuknya penyakit baru dapat di-
.e[ah. Uiattt*u.ryu adalah Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 424/Menkes/
SWWIZOOS tentang Penetapan Seaere Acute Respiratory Syndrome (SARS) sebagai
Penyakit yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Pedoman Penanggulangannya.
Keb{akarrpenanggulanga.t sARS bertujuan untuk memperkecil angka kemati-
*, *.-butu.i p..tJurun, serta penyebaran penyakit agar wabah tidak meluas.
Kebil'akan ini mencakup :

1. Implementasi penerapan sistem Kewaspadaan Dini/Surveilans Epidemiologi


KLB di seluruh Indonesia, khususnya Pelabuhan,/Bandata-/Pos lintas Batas.
2. Penerapan upaya kekarhntinaan
3. Penanggulangan SARS, dilakukan terpadu dengan upaya kesehatan pencegah-
an, tatalaksana, dan pemulihan kasus.
4. penanggulangan SARS aiUmkan secara dini untuk mencegah timbulnya
wabah yang dapat menyebabkan malapetaka.
5. Pemerintah menetapkan Rumah Sakit Rujukan SARS
6. Mengembangkan jejaring kerja antar instansi dalam rangka penanggulangan
SARS
7. Penyebaran informasi tentang penyakit SARS

Keb!;'akan ini diteruskan dengan beberapa ketentuan, di antaranya Keputusan


Menteri Kesehatan RI No. 724/Menkes/SK/V/2003 tentang Kartu Pernyataan
Kesehatan Seaere Acute ResptVatory Syndrome (S-ZR^D yang memutuskan agar setiap
orang yang akan melakukan perjalanan internasional dari Indonesia yang meng-
go"ul"" p"esawat udara atau kapal laut wajib mengisi Kartu Pernyataan Kesehatan
Sens yuttg disahkan oleh Petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan. Formulir ini
diperoleh fada setiap tempat penjualan tiket perjalanan internasional, diisi dan
diserahkankepadapetugas Kantor Kesehatan Pelabuhan untukmemperoleh penge-
sahan. Perjalanan internasionalnya akan ditunda bila isi Pernyataan mengandung:

1. dalam 10 hari terakhir kontak erat dengan pasien SARS atau tinggal atau
berkunjung ke negara./wilayah yang terjangkit SARS
2. demam
3. batuk atau susah bernapas dan pada waktu pemeriksaan ditemukan suhu
38"C atau lebih
144 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

sama dengan sARS dan AIDS, wabah flu burung yang dikenal dengan nama kode
H5N1 termasuk neu emerging daease, yang tergolong sangat berbahaya dan kini
menjadi ancaman bagi penduduk di mana saja di dunia. Awalnyapadatahun l99z
hanya dikenal menginfeksi unggas melaluivirus influenzatipe Ayangmenyebabkan
kematian unggas dalan skala besar. Namun, ketika di Hongkong ditemukan orang
mati akibat virus yang mengalami mutasi ini dengan cepat menyebar ke r"g"."
tetangga sepetriJepang, vietnam, Thailand, dan Korea. Di Indonesia, sejak tahun
2005 diy'umpai kejadian matinya ayam dan berbagai unggas lainnya secara massal
di beberapa provinsi. Kejadian ini kemudian diikuti dengan kematian manusia yang
positif dinyatakan menderita flu burung. Bahkan beberapa hewan lainnya seperti
babi, kuda dan kucing juga dideteksi tertular virus yang berbahaya ini. Walaupun
belum ada bukti virus ini dapat menul ar antaramanusia ke manusia, berbagai usaha
untuk mencegahnya telah dilakukan. Bila teg'adi mutasi virus yang dapat menular
dari manusia ke manusia, akan dapat menimbulkan pandemi seperti yang pernah
terjadi pada tahun 1918 oleh virus influenza A dari jenis H1N1 yang menewaskan
hampir 20-40 juta manusia dan epidemi tahun 7952 oleh virus jenis H2N2 dan
tahun 1968 oleh virus H3N2 yang juga menewaskan jutaan manusia. Berbagai
usaha telah dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah agar kejadian serupa tidak
terjadi.

Penyahit Menulqr Sehsucl


Pada masa kini, pasien yang menderita penyakit kelamin makin sering dihadapi
oleh dokter, bahkan banyak pula yang masih di bawah umur. Bagi dokter,
menghadapi pasien-pasien Penyakit Menular seksual (PMS) dari aspek kesehatan
tidak akan banyak masalah karena banyak pilihan pengobatan dapat diberikan.
Namun, sebagai dokter yang diajarkan untuk bertindak holistik, masalahnya men-
jadi tidak sederhana apabila yang dihadapi adalah salah satu pasutri, anak di bawah
umur,'pembantu rumah tangga adalah pasien yang telah mempunyai pasangan
tetap/pacar. Apalagi untuk pasien yang menderita Hrv positif atau AIDS masalah-
nya akan menjadi lebih rumit, karena menyangkut masyarakat luas.
Berbeda dengan PMS seperti gonorea, sifilis, atau herpes genitalis yang pe-
nularannya terutama karena hubungan seksual, penularan penyakit AIDS bisapula
karena transfusi darah, melalui jarum suntik yang terkontaminasi virus, dan meialui
plasenta. Penyebaran penyakit HIV,/AIDS lebih berbahaya karena tidak saja meng-
ganggu kesehatan, tetapi mengundang kematian.
Oleh karena itu, dalam mengobati pasien PMS dan,/atau HIVIAIDS, para
doker atau kalangan kesehatan, juga. harus memahami aspek etik dan hukum yang
terkait dengan penyakit ini.
Dalam pengobatan kepada pasien yang belum terikat dalam perkawinan, perlu
diingatkan pasien untuk tidak menularkan penyakit ini pada orang lain, begitupula
bila kita mengetahui profesi pasien adalah wanita tuna susila.
sikap para dokter tentu akan berbeda bila yang dihadapi salah satu dari pasutri
yang menderita PMS. Persoalannya menjadi mudah bila pasangannya telah
mengetahui pasien menderita PMS. Bila belum mengetahui, harapan dokter pada
pasien adalah agar ia tidak menularkan penyakitnya pada pa.sangan, sementara
8a/ 20 Aspeh Etih don Huhum Penyohit Menulqr 145

penyakitnya diobati. Masalah baru muncul bila pasangannya ingin mengetahui


penyakit pasien dari dokter. Bolehkah dokter menyampaikan penyakit salah
seorang pasutri kepada yang lainnyai
Be.ticara terbuka di hadapan kedua pasutri tanpa mengetahui terlebih dahulu
apakah pasien setuju kalau penyakitnya boleh diketahui oleh pasangannya, bisa
membawa persoalan tentang wajib simpan rahasia kedokteran, rahasiajabatan dan
peke{aan yang menjurus pada perkara medik. Untuk itu, para dokter perlu berhati-
hati menghadapi situasi demikian. Bila dokter menduga pasangannya telah tertular
tanpa disadarinya, sebaiknya dokter mengobati pasien tanpa harus menyatakan ia
telah tertular, kecuali terpaksa bila pasien mau tatiu tentang penyakitnya' Membuka
rahasia pasien kepada orang lain, biarpun dalam ikatan suami isteri, harus dihindari
dokter.
Sanksi hukum terhadap pelanggaran ini terdapat pada KUHP pasal322, KUH
Perdata pasal 1365 dan pasal 1366 dan sanksi administratif seperti dijelaskan dalam
UU Kesehatan pasal 23 tahun t992 ayat 1:
"Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplini'

Selain sanksi hukum atau sanksi administratif yang bisa menyebabkan dicabutnya
izin menjalankan praktik, masyarakatpun dapat menjatuhi hukuman dengan
menjauhi dokter yang tidak hati-hati dalam menjaga rahasia pasien.

Orqns Denson HtV/AlDt (ODHA)


Penyakit ini diramalkan akan makin sering dihadapi karena belum ada obat
penangkalnya, sementara penyebarannya tidak dapat dibendung. Penyakit ini yang
pertama kali diketahui pada tahun 1981, dan kini telah menjadi pandemi di seluruh
iunia. Sampai tahun 2000 yang lalu sudah terdapat 36,1 juta, pasien HIVIAIDS
(34,7 jutapasien orang dewasa dan 1,4 juta pasien anak). Di Asia pada tahun 2006
terdapat 8,6 juta pasien dengan angka kematian 630.000 pada tahun yang sama.
Dipeikirakan di Asia sepanjang tahun 2005 pasien bertambah 960.000 kasus baru.
Df Indonesia sampai dengan bulan Juni tahun 2005 terdapat 7.098 kasus. Per-
tambahan ini signifikan bila dibandingkan tahun 2005 dengan 6'789 kasus dengan
jumlah terbanyak di DKI Jakarta (3107 kasus) disusul Papua (1067 kasus), Jawa
"Ti-rr.
(538 kasus), Jawa Barat (346 kasus), dan diikuti oleh berbagai provinsi
lainnya.
intuk menghambat laju penyebaran dan peningkatan ODF{A, berbagai usaha
perlu ditempuh. Walaupun telah mulai ditemukan obat yang dapat menga.tasi
pe"yakit ini, tetapi hasilnya belum seperti yang diharapkan. Belum pula didapati
ri" yang efektif sehingga untuk sementaraupaya pencegahan menjadi tumpu-
"ut
an.
Untuk menemukan pasien AIDS sedini mungkin, Instruksi Menteri Kesehatan
RI No.72,/Menkes/Inst,/1988 tentang Kewajiban Melaporkan Pasien dengan
Gejala AIDS menetapkan bahwa petugas kesehatan wajib melapor ke sarana
kesehatan terdekat dengan memperhatikan kerahasian pribadi pasien. Selanjut-
nya, sarana pelayanin kesehatan wajib segera melaporkan secara rahasia melalui
146 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehqton

prosedur tertentu ke Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit.Menular dan


Penyehatan Lingkungan Permukiman
Pada tahun 1998, keb!'akan ini dipertegas dengan diterbitkannya Keputusan
Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Pemukiman No. KH.00.06.4.323 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kewajiban Me-
laporkan Pasien dengan Gejala AIDS. Laporan ini berbentuk formulir "Laporan
Surveilans Pasien AIDS", baik untuk pasien hidup maupun yang telah meninggal.
sarand kesehatan dimaksud adalah balai pengobatan, pusat kesehatan masya-
rakat, rumah sakit umum, rumah sakit khusus, praktik dokter,/dokter gigzspesialis,
dan sarana kesehatan lainnya. Kebijakan yang ditempuh adalah laporan tersebut
harus memperhatikan kerahasiaan identitas pasien dan nama pasien cukup ditulis
dengan inisial saja, begitu pula alamat pasien cukup diisi dengan nama Kabupaten/
Kotamadya saja (lihat lampiran).
Tbmpaknya kebijaksanaan yang ditempuh seperti di atas juga dianut oleh
banyak negara lain dalam menghadapi dan menanga.ni pasien ODHA, dan yang
utama adalah pelayanan kesehatan tanpa pasien mengalami diskriminasi di ling-
kungan tempat tinggalnya, tempat kerjanya, dan dijaga kerahasiaan penyakitnya
kepada orang lain. Dengan menghindari masalah hukum ini, diharapkan kualitas
hidup orang dengan HIV,/AIDS (ODHA) dapat diperbaiki. Sementara di lain
pihak, masyarakat dilindungi terhadap bahayapenularan, terutama melalui Komu-
nikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) tentang masalah AIDS dan HIV.
Di Indonesia kebijaksanaan ini dapat terlihat dari strategi Nasional penang-
gulangan HIV,/AIDS sebagai berikut.
a. setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi yang baru mengenaiHV/
AIDS, baik untuk melindungi diri sendiri maupun mencegah penularan kepada
orang lain.
b. Tetap menghormati harkat dan martabat para pasien Hlvlpasien AIDS dan
keluarganya.
c. Mencegah perlakuan diskriminatif kepada pengidap HlV,/pasien AIDS dan
keluarganya.
d. setiap upaya diarahkan untuk mempertahankan dan memperkuat ketahanan
keluarga yang menjadi salah satu pilar dari kesejahteraan keluarga.
e. Dalam jangka panjang membentuk perilaku bertanggung jawab khususnya
dalam kesehatan reproduksi yang mampu menangkal penyebaran virus HIV.

Pemberontoran Penyohit Menulqr dqlqm UU Kerehqtqn


Pemberantasan penyakit yang diatur dalam Undang-undang Kesehatan, dilaksana-
kan terhadap penyakit menular dan penyakit tidak menular.
Tentang penyfit menular diatur secara khusus pada Pasal 30 dan 31.
Pasal 30.
Pemberantasan penyakit menular dilaksanakan dengan upaya penyuluhan, penyelidikan,
pengebalan, menghilangkan sumber dan pemberantasan penyakit, tindakan karantina
dan upaya Iain yang diperlukan.
€an 20 AsWh Etih don Huhum Fenyohit Menulor

Pasal 31
Pemberantasan penyakit menular yang dapat menimbulkan wa6ah da.t penyakit
karantina dilalaanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.

Dengan demikian, pemahaman yang baik para dokter dan tenaga kesehatan lainnya
tentang aspek etik hukum penyakit menular dapat membantu tidak saja dalam
penanggulangan peningkatan dan penyebaran penyakit, tetapijuga menghindarkan
para dokter.dan tenaga. kesehaian lainnya dari masalah hukum.
2l
PervemBuHAN TmouloNAL DAN
KrooxrERAN Mooennr

Tuiuan lnrtruhlionql Khurur


1. Menjeloshon lotor belohqng upoyq penyembuhqn trodisionoldi
lndonesiq.
2. Menyebuthqn coro-coro penyembuhon dqn pengobotqn trqdisionql.
3. Menjeloshon prinsip-prinsip hedohteron modern.
4. Menjeloshon sihop dohter menghodopi penyembuhon trqdisionol.
5. Menjeloshon tujuon riset hebenorqn ilmioh tentqng penyembuhon
trqdisionql.
6. Memberihon contoh-contoh penyembuhon trodisionql don hedohteron
modern dopot beherjo somq don soling mengisi;

Pohoh Bqhqrqn
l. Penyembuhontrodisionql.
2. Kedohteron modern.
3. Sihop dohter terhodop penyembuhqn trodisionql.
tub-Pokoh Bohsrsn
L Lotor belohong penyembuhon trqdisionql di lndonesis.
2. Corq-cqro penyembuhqn trodisionsl.
3. Lstqr belohong hedokteron modern.
4. Prinsip-prinsip dosor hedohteron modern.
5. Arqh riset penyembuhon don pemohoiqn obot trsdisionol.
6. Contoh herjq sqmq penyernbuhon trqdisionoldengon hedohteron
modern.

148
8a/ 2l Penyembuhon Trodisionol don Kedohteron Modern 149

Penyembuhan tradisional sebagai budaya bangsa merupakan salah satu upaya


penyembuhan dan perawatun cara lain di luar ilmu kedokteran atau ilmu kepe-
rawatan. Kenyataan menunjukkan bahwa kedua cara pelayanan kesehatan baik
upaya penyembuhan tradisional atau pengobatan alternatif maupun kedokteran
modern hingga waktu ini tetap mendapat tempat di tengah-tengah masyarakat
Indonesia. Kedua sistem memiliki kelebihan dan kekurangannya. Masyarakat,
khususnya orang sakit, akan memilih cara penyembuhan apapun, asalkan cepat
sembuh. Karena itu, penyembuhan tradisional dan kedokteran modern tidak perlu
dipertentangkan.

Penyembuhqn Trodirionql
Penyembuhan tradisional sudah lama dikenal di kalangan masyarakat, jauh se-
belum kedokteran modern (Barat) masuk ke kepulauan Indonesia. Pada awalnya,
pengobatan tradisional itu banyak berdasarkan pada kepercayaan yang bersifat
mistih kepercayaan pada tenaga-tenaga gaib yang berakar pada animisme. Di
samping itu, penyembuhan tradisional terbentuk melalui suatu proses, yaitu men-
coba berulang-ulang cara-cara dan obat-obat tertentu dalam menangani berbagai
macam penyakit (cara empirik). Upaya penyembuhan ini kemudian dipengaruhi
oleh berbagai kebiasaan dan pandangan dari luar, antara lain dari India, Cina,
Timur Tengah, dal Eropa. Berbagai agama yang masuk dan berkembang di
kepulauan Nusantara kita juga memengaruhi cara penyembuhan tradisional itu
seperti agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Sejak abad ke-19 terdapat pula
pengaruh Ilmu Kedokteran Modern kedalam penyembuhan tradisional.
Pada umumnya cara-cara penyembuhan tradisional di Indonesia dapat dikate-
gorikan dalam upaya penyembuhan dengan:
1. ramuan tumbuhan obat
2. cara fisik (dukun beranak, sunat, patah tuluttg, susuk, ketok, refleksologi,
akupunktur, dan sebagainya)
3. meditasi, pernapasan dan tenaga dalam
4. penyembuhan dengan cara spirituil (doa, mantera, psikoterapi, dsb.).
Seorang tabib atau dukun dapat melakukan salah satu atau beberapa cara tersebut
di atas, namun pendekatannya selalu holistik dengan mengutamakan kepentingan
orang sakit. Seorang pelaksana penyembuhan tradisional selalu memperhatikan
latar belakang orang sakit, seperti keluarga, agarr'a dan kepercayaan, budaya,
tradisi, dan lingkungan. Ciri-ciri pelayanan adalah akrab, ramah, penuh perhatian,
penuh kesabaran, serta pasrah kepada Tirhan Yang Maha Kuasa atau kepada
kekuatan gaib tersebut . Biaya pengobata4 tradisional umumnya teq'angkau.
Ilmu dan cara penyembuhan tradisional diwariskan secara informal dalam
ikatan keluarga kekerabatan atau sahabat dekat, lazimnya diterima dan dipercaya
begitu saja tanpa bersikap kritis. Bidang gerak dukun sangat luas. Dukun bukan saja
mengobati orang sakit, melainkan ada pula dukun dalam bidang asmara dan
perjodohan, meramalkan masa depan tentang kekayaan, kedudukan dan pangkat.
Ada pula dukun yang dapat mencelakakan orang lain, bahkan membunuh pasien-
nya, seperti kasus Dukun A.S. alias Datuk di Daerah Deli Serdang Sumatera Utara
tso Etiho Kedohteron dqn Huhum Kesehoton

yang mengaku telah membantai 42 wanita dalam kurun waktu tahun 1988-1997.
Selain itu ada yang mempergunakan ilmu sulap dengan gerakan-gerakan tangan
yang memesona sehingga dapat mengeluarkan batu grnjal, paku, beling, dan benda-
benda lain dari tubuh pasien. Ini jelas merupakan penipuan dan semata-mata
mencari keuntungan. Ada pula yang menjalankan praktik seperti dokter, memakai
stetoskop, melakukan operasi, dan sebagainya, yang akhirnya menimbulkan
komplikasi yang berbahayaba$ orang sakit. Tidaklah benar bahwa dukun adatah
orang-orang sakti dan dapat mengdbati segala penyakit. Namun, tidak semua
dukun jelek dan suka menipu. Banyak di antara mereka yang benar-benar baik dan
jujur, ingin menolong orang sakit, bahkan tanpa imbalan jasa.
Hingga saat ini, penerimaan masyarakat Indonesia terhadap penyembuhan
tradi.sional masih tetap tinggi, bukan saja di tengah-tengah masyarakat pedesaan,
melainkan juga masyarakat perkotaan. Bukan hanya oleh masyarakat golongan
bawah, melainkan juga oleh golongan menengah dan atas. Hal ini disebabkan oleh
faktor budaya, sistem nilai, dan tradisi yang memengaruhi sikap dan pengetahuan
mereka tentang sakit, penyakit, dan upaya penyembuhannya.
Di negara-negaru Barat sistem pengobatan tradisional disebut Compitmentary
and Alternahbe Medmne (CAM, yang merupakan pengobatan pelengkap dan
alternatifdan tidak berarti tradisi asli dari negara yang bersangkutan. Di beberapa
negara tersebut C'4Mtelah disetarakan status hukumnya dengan ilmu kedokteran
modern sehingga terdapat dokter-dokter dengan sertifikasi ganda. Di Indonesia,
seharusnya cara penyembuhan tradisional diupayakan terintegrasi dengan sistem
pelayanan nasional untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan seperti di Cina,
Jepang dan Korea. Harus diakui bahwa cara pengobatan modern tidak selalu
berhasil mengatasi masalah-masalah kesehatan.
Obat herbal atau obat bahan alam (OBA) harus memenuhi kriteria aman sesuai
persyaratan yang ditetapkan; khasiatnya harus dibuktikan berdasarkan uji klinis
dan memenuhi standar mutu. Evaluasi dan pengawasan obat herbal harus diper-
ketat untuk mengurangi terjadinya risiko yang membahayakan jiwa manusia atau
gangguan kesehatan yang berat. Obat herbal seharusnya tidak dipakai untuk
penyakit yang serius yang diagnosisnya hanya dapat ditegakkan oleh dokter. Obat
herbal dapat digunakan bila tidak ada lagi obat rasional yang dapat menyembuh-
kan.
Di antara sistem pengobatan tradisional yang paling terkenal dewasa iai
adalah:
1. Ayrverda.
Telah dikenal sejak abad ke-10 S.M. dan banyak dipraktikkan di Asia Selatan.
Dalam Bahasa Sanskert4 ayrverda berarti "Ilmu tentang Hidup'i Falsafahnya
ialah bahwa semua objek dan benda hidup terdiri dari 5 unsur dasar, yaitu
tanah, air, api, udara, dan langit. Dalam hidup ini perlu adanya kbserasian
fundamental dalam hubungan antara lingkungan (mahrohosmos) dengan
individu (rnihrohosmos). Pengobatan Ayrrverda bukan hanya untuk mengobati
penyakit, melainkan juga untuk mencegah penyakit dengan menggunakan
obat-obatan herbal dan mandi untuk pengobatan.
3a/ 21 Penyembuhon Trodisionol don Kedohteron Modern 151

2. Pengobatan tadisional Cina


Telah dikenal sejak abad ke-8 S.M. Diagnosis penyakit dan terapi didasarkan
pada pandangan holistik tentang pasien dan gejala-gejalayang dideritanya,
yang dinyatakan dalam keseimbangan antara Yin, yang mewakili bumi,
dingin, dan kewanitaan, serta Yang yang mewakili langit, panas, dan ke-
lelakian.
Sis(em pengobatan ini mencakup praktik akupunktur (puli"g banyak
digunakan), moxibustion, obat herbal, tuina (massage), olah tubuh (Chinese
exerases), latihan teknik pernapasan, dan diet.
Pengobatan dengan cara akupunktur sudah dipraktikkan sejak ribuan
tahun yang lalu. Petunjuk tentang pengobatan ini terdapat dalam bukt"Huang
Di Nei Jing' (The Yellouti Emperor Classic oflnternal Medt'a:ne) , yang didalamnya
dinyatakan bahwa penusukan dengan jarum batu di satu tempat tertentu
dapat menghilangkan rasa sakit di bagian tubuh yang lain. Akupunktur tidak
saja berkembang di negara asalnya dan di negara-negara tetangga, seperti
Jepang Korea, India,Vietnam, dan Thailand, tetapi telah merambat ke seluruh
dunia. Pada tahun 1978, WHO merekomendasikan pengobatan cara aku-
punktur sebagai salah satu pelayanan formal yang dapat diberikan di semua
sarana pelayanan kesehatan. Pada tahun 2001, WHO menetapkan 28 jenis
penyakit yang telah terbukti efektifdengan pengobatan akupunktur, sedang-
kan 63 jenis penyakit lainnya telah menunjukkan keberhasilan, namun me-
merlukan penelitian lebih lanjut. Di Indonesia, melalui Permenkes No. 1186
tahun 1996, pengobatan akupunktur ditetapkan dapat dilaksanakan di semua
sarana'kesehatan negeri maupun swasta.
3. Chiropractic
Diperkenalkan sejak abad ke-19 oleh Daniel David Palmer, seorang Magnetuc
Therapist (Amerika Serikat). chiropractt'c didasarkan pada asosiasi antara
trlutg punggung dan susunan saraf dan pada kemampuan tubuh untuk
menyembuhkan dirinya sendiri.
4. Homeopati
Dasar dasarnya diletakkan oleh Dr. Hahnemann dari Jerman (1755-1843).
Penyakit tidak dilawan secara langsung, tetapi diberikan obat sebagai pe-
rangsang bagi tubuh untuk melawan penyakit. Homeopati sudah diintegrasikan
dalam sistem pelayanan kesehatan nasional di India, Pakistan, Srilanka
Meksiko, dan Inggris.
5. Unani
Unani disebut juga pengobatan tradisional Arab. Dasarnya adalah teori
Hippokrates tentang 4 jenis cairan tubuh, yaitu darah, lendir, empedu kuning,
dan empedu hitam. Unani mengambil pengalaman dari sistem-sistem peng-
obatan tradisional Cina, Mesir, India, Irak, Persia, dan Syria dan dikembangkan
oleh Galen (131-210.M), Rhazes (850-925 M), dan Ibnu Sina (980-1037 M)'

llmu Kedohterqn Modern


Ilmu kedokteran modern (kedokteran ilmiah) dapat dikatakan lahir pada tahun
1850, pada waktu Robert Koch untuk pertama kalinya menemukan kuman TBC,
152 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

(basil Koc/t) sebagai penyebab penyakit TBC paru. Penemudn ini sangat me-
mengaruhi perkembangan ilmu kedokteran selanjutnya, khususnya memacu dan"
memberi arah baru riset kedokteran mengenai sebab-sebab penyakit. Para dokter
menegakkan diagnosis penyakit berdasarkan pada gejala, pemeriksaan fisik, dan
melakukan pemeriksaan penunjang kemudian memberikan pengobatan sesuai
dengan sebab atau gejala penyakit. Jadi, para dokter memberikan pengobatan
rasional, berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) kedokteran.
Perkenalan masyarakat Indonesia dengan ilmu kedokteran modern dapat
dikatakan baru terjadi pada waktu Belanda terpaksa menanggulangi wabah cacar
pada abad ke-19. Sejak itu ilmu kedokteran dan pendidikan dokter di Indonesia
mulai tumbuh berkembang, dengan didirikannya Sekolah Juru Cacar, kemudian
Sekolah Dokter Jawa, disusul dengan Sekolah Tinggr Ilmu Kedokteran di Jakarta
dan Surabaya. Penyebaran pelayanan kedokteran modern makin menyebar ke
daerah pedesaan, terutama. setelah Indonesia memperoleh kemerdekaannya se-
hingga makin banyak rakyat yang terjangkau oleh pelayanan kedokteran modern
itu. Penyebaran pelayanan kedokteran modern ini tentu berhadapan dengan
kepercayaan rakyat pada pengobatan tradisional dan dukun. Pada waktu ini, ilmu
kedokteran modern telah diakui dan diterima oleh masyarakat pedesaan, namun
hal ini tidak berarti bahwa pelayanan kedokteran modern akan menggantikan
upaya penyembuhan tradisional. Kenyataannya kedua sistem pengobatan sama-
sama mempunyai tempat dalam masyarakat
Akibat perkembangan Iptek k'edokteran yang begitu pesat akhir-akhir ini,
makin banyak terdapat spesialisasi dan subspesialisasi dalam pelayanan kedokteran.
Berbagai alat-aIat mutakhir baik untuk diagnostik maupun untuk terapi telah masuk
ke Indonesia . Alat-alat laboratorium otomatik, peralatan canggih, seperti CT- Scan,
MRI, USG, endoskopi, elektroensefalografi, dan Color Doppler telah banyak
digunakan di klinik-klinik. Berbagai obat baru dan berbagai teknik pembedahan,
seperti bedah otak, bedah jantung, dan transplantasi organ telah memberikan
dampak yang besar pada pelayanan kedokteran. Walaupun perkembangan Iptek
kedokteran begitu majunya, para dokter tetap dituntut agar dalam penanganan
orang sakit, hendaknya tetap melakukan .pendekatan holistik, memperhatikan
aspek non-medi[ seperti keadaan kejiwaan orang sakit, keluarganya, faktor sosial,
budaya, ekonomi, dan lingkungan orang sakit, karena yang diobati adalah orang
sakit bukan hanya penyakitnya. Dalam menjalankan tugasnya, seorang dokter
dituntut pula untuk tetap berpegang teguh pada Kode Etik Kedokteran (KODEKI),
yang bertujuan untuk keharmonisan hubungan dokter dengan orang sakit dan
untuk ketenterarnan dan ketertiban masyarakat. Seorang dokter harus senantiasa
mengutamakan keselamatan orang sakit, melakukan prbfesinya menunrt ukuran
tertinggi dan tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi:
Namun, dalam zaman dengan unsur materialisme, hedonisme, dan konsumerisme
menonjol sekarang ini, ada saja oknum dokter yang tergoda untuk melanggar etik
profesinya yang luhur, bahkan melakukan malpraktik pidana.
?4/ 21 penyembuhon Trodisionol don Kedohteron Modern 153

Menyihqpi Penyembuhqn Trqdirionql


Fakta menunjukkan ada orang sakit yang berobat ke dokter menjadi sembuh atau
tetap sakit. Orang sakit yang tidak sembuh itu kemudian berobat kepada tabib atau
dukun dan menjadi sembuh. Sebaliknya ada orang sakit yang berobat kepada
dukun menjadi sembuh atau tetap sakit. Orang sakit yang tidak sembuh ini
kemudian berobat kepada dokter dan menjadi sembuh. Tentu ada pula orang sakit
yang berobat kepada kedua-duanya, narnun tetap sakit. Dari kenyataan di atas
jelaslah bahwa dalam upaya penyembuhan, tidak selalu diperlukan pendekatan
kedokteran ilmiah, tetapi dapatjuga dilakukan dengan memberikan perhatian pada
aspek-aspek non-medih seperti latar belakang sosial dan budaya termasuk agama
dan kepercayaan masyarakat. Dari penelitian di Amerika Serikat akhir-akhir ini
ditemukan bahwa makin dapat dibuktikan secara ilmiah, peran agama, kepercayaan
dan spiritual dalam membantu penyembuhan berbagai penyakit.
Dalam menanggapi keberadaan penyembuhan tradisional para dokter hendak-
nya bersikap terbuka dan objekti{ namun sebaliknya juga tidak menerima begitu
saja hasil penyembuhan tradisional. Menilai hasil penyembuhan tradisional dengan
metodologi ilmiah memang sukar karena hingga saat ini belum ada tolok ukur
yang baku, kenyataannya orang sakit merasa sehat kembali, walaupun kadang-
kadang hanya secara subjektifdan merasa puas dengan pelayanan tabib atau dukun.
Jadi, perlu dilakukan kajian untuk membuktikan manfaat berbagai jenis upaya pe-
nyembuhan tradisional itu.
Berbagai ramuan tumbuhan obat dapat diteliti secara farmakologik khasiatnya
dan efek sampingnya. Riset ini harus digiatkan, terarah, terkoordinasi dan terkendali.
Riset ditujukan terutama untuk:
1. mengetahui berbagai elemen dan senyawa yang terdapat dalam tumbuhan
obat,
r)
menemukan bahan baku alternatif untuk campuran obat,
J. membukikan efek farmakolo giknya,
4. menemukan bahan aktif dari tumbuhan yang telah digunakan untuk
pengobatan,
5. menemukan senyawa yang mempunyai efek farmakologik, dan
6. menemukan gen yang setelah dilakukan rekayasa dapat menghasilkan se-
nyawa untuk digunakan sebagai obat.

Jadi, riset yang dilakukan adalah mulai dari analisis kimia, riset farmakodinamik,
riset farmakokinetik, sampai riset dan uji klinik, dan semuanya memerlukan ko-
ordinasi.
Cara lain seperti meditasi dan cara penyembuhan dengan latihan pernapasan
atau tenaga dalam mungkin dapat mengubah metabolisme dan konsumsi oksigen
atau dapat menimbulkan perubahan pada gelombang listrik otak. Manfaat aku-
punktur untuk menghilangkan rasa nyeri, mungkin dapat dinilai dengan mengukur
setelah berapa lama rasa nyerinya hilang atau berkurang intensitasnya dan
bagaimana mekanismenya. lJpaya penyembuhan dengan cara spiritual, mungkin
dapat diteliti apakah keberhasilannya temtama pada kasus penyakitjiwa atau kasus
psikosomatik. Jadi, riset yang dilakukan itu bertujuan menghimpun kebenaran
154 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

ilmiah daritiap-tiap carapenyembuhantradisional, yangsecarafaktual dimanfaatkan


masyarakat. Berdasarkan hasil riset itu dapat pula dilakukan riset lanjutan dengan
pemeriksaanlaboratorium (kuantitatif) atau pemeriksaan dengan alat-alat kedokter-
an yang canggih untuk memperoleh tolok ukur fisik, yang lebih objektif sifatnya
dan menjadi buki kebenaran ilmiah penyembuhan tradisional. Di satu sisi dampak
hasil-hasil riset itu adalah untuk melindungi masyarakat dari efek samping yang
merugikar,r, dan di sisi,lain untuk melestarikan cara-cara penyembuhan tradisional
yang efektif yang benar-benar bermanfaat untuk menyembuhkan orang sakit. Pe-
nyembuhan tradisional yang sudah dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya perlu terus dikembangkan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat baik fisik, mental dan spiritualnya. Sebaliknya penyimpangan dan pe-
nyalahgunaan yang merugikan masyarakat perlu ditingkatkan pengawasan dan
penertibannya.
Praktik penyembuhan tradisional harus diupayakan agar dapat dimanfaatkan
untuk menopang pengembangan dan pembinaan pelayanan kedokteran modern,
setelah terbukti secara ilmiah memang bermanfaat. Oleh karena itu, terhadap cara-
cara penyembuhan tradisional perlu dilakukan riset yang terarah dan mendasar,
dilakukan secara seksama dan tuntas sehingga dapat ditentukan sikap dan ke-
bljaksanaan dalam pemanfaatannya. Riset praktik penyembuhan tradisional harus
dilakukan oleh ilmuwan kedokteran yang menguasai riset dan uji klinik, dilakukan
di pusat-pusat riset (termasuk rumah sakit-rumah sakit untuk uji klinik), yang
memiliki peneliti tangguh serta sarana dan prasarana riset yang memadai. Uji klinik
hanya dilakukan bagi bahan tumbuhan obat yang telah memenuhi persyaratan
farmakologik dan toksikolo gik.
Penyembuhan tradisional dan kedokteran modern tidak perlu dipertentangkan,
bahkan harus diusahakan teg'alinnya kerja sama atau pembagian peran antara
pelaksana penyembuhan tradisional yang bonafide dengan pelaksana praktik ke-
dokteran modern, atas dasar saling hormat menghormati, saling belajar, dan saling
dukung. Orang sakit yang menderita penyakit mendadak dan serius ditangani
segera oleh dokter dan kalau perlu dirawat di rumah sakit.Jika ditangani oleh tabib
atau dukun berlama-lama, mungkin akan membahayakan jiwa orang sakit atau
mengurangi kesempatan untuk sembuh sempurna. Pasien penyakit yangtidak akut
atau penyakit menahun dapat memilih untuk meminta pertolongan penyembuhan
tradisional. Walaupun nantinya penyakitnya juga tidak akan sembuh, misalnya
karena penyakit kanker tingkat lanjut atau AIDS, namun orang sakit merasa lebih
tenang, lebih sehat, dan lebih nyaman. Dalam kaitan seperti itulah penyembuhan
secara kedokteran modern dan penyembuhan tradisional saling mengisi.
Berikut ini diuraikan butir-butir tentang Pengobatan tadisional yangtercantum
dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentangKesehatan, yaitu:
Pasal 47
1. Pengobatan tradisional merupakan salah satu upaya pengobatan dan atau
perawatan cara lain di luar ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan.
2. Pengobatan tradisional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) perlu dibina
dan diawasi untuk diarahkan agar dapat menjadi pengobatan dan atau
8a/ 2l penyembuhon Trodisionol don Kedohteron Modern r55

perawatan cara lain yang dapat dipertanggungiawabkan manfaat dan ke-


amanannya.
3. Pengobatan tradisional yang sudah dapat dipertanggungiawabkan manfaat
dan keamanannya perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan untuk di-
gunakan dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masya-
rakat.
4. Ketentuan mengenai pengobatan tradisional sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan:
i{yat ( t )
Pengobatan tradisional mencakup cara, obat dan pengobatannya yang mengacu k.puda
pengalaman dan keterampilan, baik yang asli maupun.yang berasal dari luar Indonesia.

Ayat (2)
Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengobatan tradisional,
agar dapat dipertanggrngiawabkan manfaat dan keamanannya sehinggatidak merugikan
masyarakat.

Ayat (3) dan ayat (4) cukupjelas.


22
Enx DAN Huxuu Ruru*r tmr

Tuiuon lnrtruhrionql Khurur


l. Menjeloshon Etih dqn Huhum Rumqh Sohit.
2. Menyebuthon hqh serto hewojibon rumqh sohit dqn posien dirumoh
sqhit.

Pohoh Bqhqrqn
l. Huhum rumoh sqhit.
2. Peneropqn etih rumoh sohit.
$ub-Pohoh Bqhqrqn
l. Pengertion rumoh sohit don huhum rumoh sohit.
2. Pdneropqn etih di rumoh sohit.
3. Fungsidon hegunoqn KomisiEtih Rumqh Sqhit.
4. Hoh serto hewojibon rumoh sohit dqn posien di rumoh sqhit.
5. Kondungon Etih Rumoh Sqhit lndonesio (ERS|).

156
Bal 22 Elih don Huhum Rumoh Sohit 1s7

Hukum kesehatan terdiri dari banyak disiplin, di antaranya hukum kedokteran,


hukum keperawatan, hukum farmasi, hukum kesehatan masyarakat, hukum rumah
sakit dan lain-lain. Walaupun yang paling banyak dibicarakan dalam buku ini
adalah tentang hukum kedokteran, yaitu ketentuan hukum yang berhubungan
dengan pelayanan kesehatan, disiplin hukum yang lain tentu tidak kalah penting-
nya, sebab bagaimanapun bidang pelayanan kesehatan atau pemeliharaan kesehat-
an dalam penerapannya akan saling berkaitan dan saling menunjang.
Rumah sakit adalah tempat berkumpul sebagian besar tenaga kesehatan dalam
menjalankan profesinya, seperti dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, bidan,
nutrisionis, fisioterapis, dan ahli rekam medik.
Tiap-tiap disiplin ini umumnya telah memiliki etik profesi yang harus diamalkan
anggotanya. Begitu pula rumah sakit sebagai suatu institusi dalam pelayanan
kesehatan juga telah mempunyai etika yang di Indonesia terhimpun dalam Etik
Rumah Sakit Indonesia (ERSI).
Dengan demikian, dalam menjalankan pelayanan kesehatan tiap-tiap profesi
harus berpedoman pada etik profesinya dan harus pula memahami etika profesi
disiplin lainnya apalagr dalam wadah mereka berkumpul (rumah sakit), agar tidak
saling berbenruran.
OIeh karena itu, pada bagian akhir bab ini perlu pula disampaikan secara ringkas
.tentang etik rumah sakit dan hukum rumah sakit.

Penercpon Etih di Rumqh tqhit


Seperti dikemukakan sebelumnya, berbagai jenis tenaga kesehatan yang menjalan-
kan profesinya di rumah sakit telah mempunyai kode etik yang harus dipedomani
tiap-tiap profesi. Struktur etik profesi di bidang kesehatan ini umumnya tidak jauh
berbeda, dalam kode etik tiap-tiap profesi terdapat ketentuan yang memuat tentang
kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap teman sejawat,
dan kewajiban terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, secara umum kemungkinan
berbentuian sebetulnyajarang sebab tujuannya adalah untuk peningkatan pelayan-
an kepada masyarakat agar pelayanan kesehatan dapat berlangsung dengan baik.
ERSI disusun oleh Persatuan Rumah Sakit seluruh Indonesia (PERSD, memuat
tentang kewajiban umum rumah sakit, kewajiban rumah sakit terhadap masyarakat,
kewajiban rumah sakit terhadap pasien, kewajiban rumah sakit terhadap tenaga
stafl dan lainlain. Pihak yang bertanggungjawab terhadap pelanggaran etik rumah
sakit adalah rumah sakit itu sendiri.
Pada saat ini, beberapa rumah sakit telah mulai merasakan perlunya sebuah
badan yang menangani pelanggaran etik yang terjadi di rumah sakit. Di rumah
sakit-rumah sakit besar di Indonesia telah ada badan yang dibentuk di bawah nama
Panitia Etika Rumah Sakit (PERS) yang di luar negeri disebut Hospital Ethical
Commitee, yang anggotanya terdiri dari staf medis, perawatan, administati{ dan
pihak lain yang berkaitan dengan tugas rumah sakit.
Fungsi PERS ini adalah memberikan nasihat,/konsultasi melalui diskusi atau
berperan dalam menilai penyelesaian melalui kebijaksanaan, pendidikan pada
lingkungannya dan memberikan anjuran-anjuran pada pelayan kasus-kasus sulit.
1s8 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehotqn

Dengan demikian, PERS dapat memberikan manfaat:


1. Sebagai sumber informasi
yang relevan untuk menyelesaikan masalah etik di
' rumah sakit.
2. Mengidentifikasi masalah pelanggaran etik di rumah sakit dan memberikan
pendapat unruk penyelesaian.
3. Memberikan nasihat kepada direksi rumah sakit untuk meneruskan atau
tidak, perkara pelanggaran etik ke MKEK.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tugas PERS adalah membantu para
dokter, perawat, dan anggota tim kesehatan di rumah sakit dalam menghadapi
masalah-masalah pelanggaran etik maupun pemantapan pengamalan kode etik
tiap-tiap profesi.
Secara umum masalah etik rumah sakit yang perlu diatur, antaralain adalah:
1. RM
2. Keperawatan
3. Pelayanan laboratorium
4. Pelayanan pasien dewasa
5. Pelayanan kesehatan anak
6. Pelayanan klinik medik
7. Pelayanan intensif anestesi dan eutanasia
8. Pelayanan radiologi
9. Pelayanan kamar operasi
10. Pelayanan rehabilitasi medik
11. Pelayanan gawat darurat
12. Pelayanan medikolegal

Huhum Rsmqh tqhit


Sesuai dengan pengertian hukum kesehatan, hukum rumah sakit dapat disebut
sebagai semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemelihara-
an/pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban segenap
lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak
penyelenggara pelayanan kesehatan. (rumah sakit; catatan penulis) dalam segala
aspek organisasi, sarana, pedoman medik serta sumber-sumber hukum lainnya.
Rumah sakit menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor l19b/Menkes/
Per/lI/1988 tentang Rumah Sakit adalah "Sarana upaya kesehatan yang
menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk
pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian".
Sedangkan yang dimaksud dengan rumah sakit menurut perumusan WHO
adalah suatu badan usaha yang menyediakan pemondokan yang'memberikan jasa
pelayanan medik jangka pendek dan jangka panjang yang terdiri atas tindakan
observasi, diagnosti( terapeutik, dan rehabilitatif untuk orang-orang yang men-
derita sakit, terluka, dan untuk mereka yang mau melahirkan. Di samping itu,
rumah sakit dapat juga menyediakan atan tidak pelayanan atas dasar berobat jalan
kepada pasien-pasien yang bisa langsung pulang.
Mengenai beberapa ketentuan hukum yang berhubungan dengan usaha pe-
layanan medik baik pemerintah maupun swasta yang akan meliputi persyaratan,
ea"/ 22 Etih dan Huhum Rumoh Sohit ts9

perizinan, penyelenggaraan, tarif, pembinaan, dan lainlain tidak perlu dibahas di


sini.
Hal yang akan dikemukakan adalah hal yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban rumah sakit yang berhubungan dengan pasien.

Hqh Rumqh $chit


a. Membuat peraturan yang berlaku di rumah sal<tt (ltospttal fuk*l
b. Mensyaratkan bahwa pasien harus menaati segala peraturan rumah sfit
c. Mensyaratkan bahwa pasien harus menaati segala instruksi yang diberikan
dokter kepadanya
d. Memilih tenaga dokter yang akan bekerja di rumah sakit
e. Menuntut pihak-pihak yang telah melakukan wanprestasi (termasuk pasien,
pihak ketiga, dan lain-lain).

Kewoiibqn Rumqh tqhit


a. Merawat pasien sebaik-baiknya
b. Menjaga mutu perawatan
c. Memberikan pertolongan pengobatan di Unit Gawat Darurat flJGD)
d. Menyediakan sarana dan peralatan umum yang dibutuhkan
e. Menyediakan sarana dan peralatan medik yang dibutuhkan sesuai dengan
tingkat rumah sakit dan urgensinya.
f Menjaga agar semua sarana dan peralatan senantiasa dalam keadaan siap
pakai
g. Merujuk pasien kepada rumah sfit lain apabila tidak mempunyai peralatan
medis khusus atau tenaga dokter khusus yang diperlukan
h. Menyediakan daya penangkal kecelakaan (alat pemadam api, sarana dan alat
pertolongan penyelamatan pasien dalam keadaan darurat).
Dari ketentuan di atas terlihat bahwa rumah sakit sebagai institusi pelayanan
kesehatan juga mempunyai hak dan kewajiban yang perlu diketahui oleh semua
yang terlibat dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit agar dapat menyesuaikan
dengan hak dan kewajiban di bidang profesi masing-masing. Karena hak dan
tanggnngjawab ini berkaitan erat dengan pasien sebagai penerima jasa, masyarakat
pun harus mengetahui dan memahaminya.
Sebaliknya, kitajuga harus mengetahui hak dan kewajiban pasien dalam kaitan-
nya dengan rumah sakit.

Hqh Pqrien di Rumqh tqhit


a. Atas pelayanan yang manusiawi.
b. Memperoleh asuhan perawatan yang bermutu baik.
c. Memilih dokternya.
d. Meminta dokter yang merawat agar mengadakan konsultasi dengan dokter
lain.
e. Atas kebebasan individu Qnbary) dan kerahasiaan penyakit yang diderita.
160 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

f Mendapatkan informasi tentang:


.penyakit yang diderita,
.tindakan medik apayang hendak dilakukan, kemungkinan penyrrlit setagai
akibat tindakan,
. alternatifterapi lainnya,
. prognosis, dan
. perkiraan biaya pengobatan.
g. Meminta tidak diinformasikan tentang penyakitnya (Hah wahe).
h. Menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya.
i. Mengajukan keluhan-keluhan dan memperoleh tanggapan.
j. Didampingi keluarga dalam keadaan kritis.
k. Mengakhiri pengobatan dan rawat inap atas tanggungjawab sendiri.
l. Menjalankan agama dan kepercayaannya di rumah sakit (tidak sampai meng-
ganggu pasien lainnya).

Kewqiibon Pqrien di Rumqh tqhit


Pasien mempunyai kewajiban, antaru lun:
a. Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan tala-
tertib rumah sakit.
b. Pasien wajib untuk menceritakan sejujurjujurnya tentang segala sesuatu me-
ngenai penyakit yang dideritanya.
c. Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter dalam rairgka
. pengobatannya.
d. Pasien dan/atau penanggungnya berkewajiban untuk melunasi semua imbalan
atas jasa pelayanan rumah sakit/dokter.
e. Pasien dan/atau penanggungnya berkewajiban untuk memenuhi segala per-
janjian yang ditandatanganinya.
Sama halnya denga.n hak dan kewajiban pasien dalam kaitannya dengan hak dan
kewajiban para dokter, di sini juga ditegaskan adanya hak dan kewajiban rumah
sakit, tempat dimana mereka dirawat.
Walaupun hak dan kewajiban kedua belah pihak belum banyak diketahui
kalangan kesehatan dan masyarakat, dalarn perkembangan pelayanan kesehatan
yang makin bermutu hal ini akan semakin perlu didalami, dipahami, dihayati dan
diamalkan.
2?
Prmrumn lurenrull
Ruu*r taxrr DAN trm Mror
(Hosennt Bvuws DAN Meorcn hnt Bvuwsl
Tuiuqn lnrtruhrionql Umum
t. Menjeloshqn pentingnyq heberqdoon Peroturon lnternolRumoh Sohit
(PIRS, HospitalBylaws) dqn Perqturon Internol Stqf Medis (PlsM,
Medical Stoff Bylows)
2. Menielqshon peronon tigq pilor utomo (tigo tunghu seierqngon) di
rumoh sohit
l. Menjeloshon pentingnyo mencqpcli good governqncedqlom
pengelolqqn rumoh sqhit
4. Meroncqng PIRS don P|SM secorq tailor's mode
Tuiuqn lnrtruhtionql Khurut
1. Menjelqshon Keputuson Menteri Kesehoton Rl No.772lMenhes/SK/
vll2o'o/2
z. Menjelqshon Keputuson Menteri Kesehotqn Rl No.631/Menhes/SK/
lv/200s
a. Menjeloshon herongho dqsqr dolom menyusun PIRS don PISM
4. Menjeloshqn Fungsi PIRS don P|SM
Pohoh Bqhqrqn
1. Pengertion Bylows
2. Peroturqn lnternol Rumqh Sqhit (Hoipitol Bylows)
3. Peroturqn lnternql Stof Medis (Medical Staff'Bylows)
4. Meroncqng PIRS don PISM

161
t62 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

Perkembangan baru tentang perlunya berbagai peraturan dan ketentuan hukum


yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan di rumah sakit pada masa kini
adalah mengenai Peraturan Internal Rumah Sakit (PIRS, Hospital Bytauts) din
Peraturan Internal Staf Medis (PISM, lnedtbal StaffBykws). Kedua peraturan ini
telah dilansir sejak awal abad ke-21 oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia SERSD dalam Seminar Nasional IV dan Hospital Expo XIV diJakarta
tahun 20Q1, kemudian diperkuat dengan diierbitkannya Keputusan Menteri
Kesehatan RI No. 772/Menkes/SWVI/2002 tentang Pedoman Peraturan Internal
Rumah Sal<rt (Hospital Byku:s) serta Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 637
Menkes,/SK,/N/2005 tentang Pedoman Peraturan, Internal Staf Medis (Medrcal
StaffBykws) di rumah sakit. Pada masa sekarang peraturan seperti ini diperlukan
karena RS sudah berubah dari tempat pelayanan sosial menjadi pelayanan sosio-
ekonomis yang memerlukan manajemen yang rumit. Diperlukan banyak tenaga
kesehatan ataupun tenaga lainnya, peralatan dan sistem yang dapat menunjang
pengelolaan, dan kelancaran pelayanan kesehatan sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Apalagi dihadapkan dengan masyarakat yang
cenderung menuntut dokter ataupun rumah sakit untuk dapat memberikan pe-
layanan kesehatan yang makin baik. Kita harus membedakannya dengan Hukum
Rumah Sakit karena peraturan ini adalah ketentuan hukum yang dikeluarkan pe-
merintah yang bersifat umum dan berhubungan dengan pemeliharaan dan pe-
layanan kesehatan, sementara PIRS dan PISM dibuat rinci oleh dan untuk ke-
perluan rumah sakit yang bersangkutan (tailori made).Dapat dikatakan PIRS dan
PISM adalah perpanjangan tangan hukum unttrk kepentingan internal rumah sakit
sendiri. Pada masa sekarang ketentuan dan peraturan hukum ini diperlukan sebagai
bahan rujukan dalarn menyelesaikan masalah internal di rumah sakit itu sendiri.
Hal itu tidak sekadar dalam hubungan dokter dan pasien, tetapi jauh lebih luas,
yaitu kerangka hukum dan lingkup hubungan hukum di suatu rumah sakit. Dalam
hal akreditasi yang dilakukan pemerintah terhadap rumah sakit, isi dari PIRS dan
PISM ini akan menjadi bahan pertimbangan yang penting dalam menilai kejelasan
dari peraruran serta prosedur yang dibuat oleh rumah sakit iru sendiri.
Hilman (2004) sebagai Ketua PERSI menyatakan:
. Tanpa PIRS, Kode Etik Rumah Sakit Seluruh Indonesia tidak punya arti
. Thnpa PIRS, rumah sakit sangat rawan terhadap konflik, dan rawan terhadap
kolusi, koneksi, dan nepotisme (KKN)
. Tanpa PIRS, konflik yang terjadi di RS akan sulit diselesaikan dan sulit
dicegah
. Thnpa PIRS, rumah sakit ditentukan oleh "siapa yang kuat", Pemilik, Direktur,
ataupata dokter
. Belum dimilikinya PIRS, bukan berarti tidak dapat berbuat apa-apa.Jadikan
"aturan intern" yang ada sebagai modalawaVsebagai embrio dari PIRS untuk
setiap kali disempurnakan
. PIRS diperlukan guna menjamin rumah sakit sebagai lembaga profesi yang
selfgoaernance dan guna tegaknya wibawa.
3a/ 23 Peroturon lnternol Rumoh Sohit don Stof Medis t63

Pengertiqn Bylaws
Disebut By/azas karena produk hukum itu merupakan perpanjangan ketentuan
hukum yang ada dari pemerintah pusat ataupun daerah yang dibuat oleh organisasi
atau badan hukum, termasuk rumah sakit. Beberapa pengertian dari kepustakaan
dljelaskan bahwa bylara atau foie kzr adalah:
. ... t0 goaern interna/funch'on orpracttbe zt;t'tltin that gr0up,.......
. ...forits lnterna/ goaernance
. ... A nle adopted hy organisahon (as a club or muniapaliry) cht:efly for tlte
gooernment o1f its members and regu/ahbn 0f its afaxr
. ... /aws, ru/es, regulatnn manfestoes, orders and conshltuhbn oif corperatt'on, for
gou erning tlteir mem b e rs.
. ... The medtbal stalf organuation shall purpose and adapt bykzas, rules and
regulanbnfor its internal gaaernance rahich shall ffictizte zoltm approued by Board.
Thr bylazls shall create an ffictfue admintstratbe unit to dtscltarye the function
and resporuibilities asssign to the medical ttnf h, the Board.
Dengan demikian, PIRS dan PISM berisi ketentuan hukum dan peraturan yang
dibuat dengan sistematis oleh rumah sakit, menga.tur semua manajemen dalam
suatu rumah sakit itu sendiri. Dalam bahasa Indonesia, Hospital bylazas dan Medical
staffhylazos dapat diartikan sebagai Peraturan Dasar atau Peraturan Internal Rumah
Sakit dan Perhturan Dasar atau Peraturan Internal Staf Medis

Perqturqn lnternql Rumqh tohit (PlRt, Hospital Bylaws)


Dalam rangka pelaksanaan good gouernance (pengelolaan yang baih mekanisme
kendali suatu badan usaha terhadap unsur-unsurnya agar berperilaku secara ade-
kuat) untuk memelihara eksistensi badan usaha tersebut baik dalam korporasi
maupun pelayanan klinis di rumah sakit diperlukan adanya peraturan yang jelas
tentangperan, tugas, kewajiban, kewenangan, tanggungjawab, dan hubungan kerja
dari berbagai pihak terkait dalam terselenggarunya pelayanan kesehatan di rumah
sakit. Di antara demikian banyak pihak yang terkait dalam pelayanan kesehatan di
rumah sakit, seperti dokter, perawat, karyawan, penyandang dana, pasien, mana-
jerial, dan rekanan, ada 3 badan atau pilar utama yang memerlukan pengaturan
hubungan yangjelas sehingga keberadaan RS dalam pelayanan kesehatan dapat
berjalan aman dan bermutu. Ketiga badan tersebut adalah pemilik (yang diwakili
oleh badan pengampu atau wali amanah), pimpinan atau badan eksekutif dan staf
medis. Ketiga pilar utama ini dapat diibaratkan sebagai tripartit, tritunggal, atau tiga
tungku sejerangan dalam hadirnya rumah sakit dalam pelayanan kesehatan keppda
masyarakat. Ketiganya mempakan satuan fungsional yang berbeda tugas dan
tanggung jawab, tetapi harus bekerja sama secara integratif dalam s/tared account-
abili4t. Tidak satupun dari ketiga kekuasaan ini dapat berjalan jika tidak didukung
oleh dua yang lain. Ini merupakan ciri khas rumah sakit yang berbeda dengan
institusi atau organisasi yang lain.
Pemilik rumah sakit atau yang mewakili pemilik sebagai wali amanah atau
badan pengampu mempunyai otoritas pemanduan. Pimpinan, direksi atau badan
eksekutifmempunyai fungsi sebagai motor penggerak sedangkan stafmedis adalah
164 Etiha Kedohteron don Huhum Kesehaton

pelaku utama (core business) yang saat ini jumlah dan jenis spesialisasinya semakin
bertambah dan berkembang. Supaya tiap-tiap pihak dapat memahami peran, tugas,
wewenang, dan tanggung jawab, perlu dibuat dan disusun dalam satu peraturan
t""f,ft?*"
yang terlihat, pemilik dapat dari negaraatau dari swasta. Pemilik dari
negara yang dapat berbentuk perusahaan jabatan (perjan) atau non-perjan, Badan
Usaha Milik Negara (BUMI\Q, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau Badan
Hukum Milik Nasional atau Milik Daerah. Pemilik swasta bisa dari pemodal (PT,
koperasi, pribadi, keluarga) dan bisa bukan pemodal (dari perkumpulan atau
yayasan). Dari kacamata ini dapat dipahami bila pemilik perlu diwakili oleh suatu
badan pengampu atau wali amanah. Dengan demikian, ketiga pilar tersebut adalah
Badan Pengampu, Pimpinan,/Direksi/Eksekutif dan Staf Medis. Perlu diatur ten-
tang corporate hadershrp antara Badan Pengampu dengan Direksi, clinical leadershtp
antara Direksi dan Komite Medis,/Staf Medis Fungsional. Kerja sama yang baik di
anlara ketiga badan ini dapat melahirkan corporate goaernance melalui kebiy'akan
Direksi dan clintbal gouernance melalui Komite medik dalam komunitas staf medik.
Harus dipahami bahwa dalam hubungan ketiga pilar ini, pengampu adalah
penanggung-jawab tertinggi dalam bidang hukum dan peraturan yang diterbitkan
dan disetujui oleh Pemilik
Kerangka dasar yang perlu diatur dan dil'elaskan adalah tentang:
1. Kontitusi korporasi (AD, ART dariPT/Yayasan, aset rumah sakit, dan lain-
lain).
2. Peraturan perundang-undangan tentang,rumah sakit (HoEttal /aza).
3, Kebijakan Kesehatan Pemerintahan setempat (Kebiakan Dinas Kesehatan).
4. Peraturan Internal Rumah Sakit (Statuta, HoEttal Bylazus).
. 5. Kebljakan/Perafiyan Penyelenggaraan Rumah Sal<tt (Standard Operating
Procedure pada setiap bagian atau pelayanan, job damption dan lain-lain).
6. Aturan Hukum Umum (KUHPerdata, KUHP, Undang-undang Tenaga
Kerja).
SamsiJacobalis dalam ProposalModel Hospital Bylazasuntuk rumah sakit di Indonesia
dalam pandangannya tentang "Rumah Sakit dari Pendekatan Manajemen Strategis"
seperti yang dikutip oleh Herkutanto dalam Pelatihan Peningkatan Keterampilan
Medikolegal di rumah sakit tahun 2004 di RS. H. Adam Malik menjelaskan
perlunya pemilik mempunyai visi tentang keberadaan rumah sakit, disertai tujuan
dan nilai utama yairg didukung oleh analisis situasi baik eksternal, internal dan
kecenderungan Qrend) pelayanan kesehatan sesuai perkembangan. Badan peng-
ampu yang dapat merumuskannya dalam.misi dan tujuan keberadaan rumah sakit
dis6rtai dengan strategi dan kebiy'akan yang perlu ditempuh. Rumusan ini harus
dapat diimplementasikan secara strategis oleh Direftsi dan Staf klinis dalam
program-program yang perlu dilaksanakan serta anggaran yang diperlukan. Hasil
dari kejasama ini perlu dipantau dan diawasi badan pengawas berdasarkan hasil
pelaksanaan semua kebil'akan dan pelayanan yang telah dilaksanakan melalui eva-
luasi dan bila perlu mengoreksi kesalahan atau kekeliruan yang mungkin terjadi.
Dengan demikian, inti dan esensi dari PIRS adalah mengatur pembagian tugas,
kewajiban dan wewenang secara jelas, tegas dan proporsional antara ketiga kom-
?a/ 23 Perqturon lnternol Rumoh Sohit don Stof Medis

ponen tersebut, pedoman bagi rumah sakit dalam menyelenggarakan pelayanan


kesehatan dan dapat mengeliminasi setiap celah konflik kepentingan yang dapat
terjadi. Dengan demikian, dapat dikatakan PIRS berfungsi sebagai:
. 1. Acuan untuk pemilik rumah sakit dalam melakukan pengawasan.
2. Acuan untuk direkrur dalam mengelola rumah sakit.
3. Acuan untuk direktur dalam menyusun kebil'akan operasional.
4. Sarana untuk menjamin efettivitas, efisiensi dan mutu pelayanan.
5. Sarana perlindungan hukum bagi semua pihak yang terkait dengan rumah
sakit.
6. Acuan dalam menyelesaikan konflik di rumah sakit.
Adalah keliru kalau mengasumsikan PIRS adalah peraturan teknis operasional,
Standard Operating Procedure dan peraturan-peraturan dari direksi rumah sakit

Perqturqn lnternol ttqf Medir (PltM, Medical ltall Bylaw)


Pada dasarnya, Peraturan Internal Staf Medis tergolong ke dalam PIRS. Namun,
karena bagian ini memerlukan pengaturan dan kejelasan tersendiri, dalam pe-
nyusunan dipisah dari PIRS. Dengan demikian, PIRS hanya mengatur tentang
komponen administratif (Adnintsbanae Bylaws) yang mengatur pembagian tugas,
kewajiban, wewenang dan tanggung jawab antarapemilik, gnernment body (Majelis
Wali Amanah), dan pimpinan atau direksi rumah sakit.
Pemisahan ini perlu dilakukan karena staf medis mempunyai ciri sendiri di
rumah sakit. Staf medis adalah pengelola core bussines di rumah sakit. Berbeda
dengan tenaga kesehatan lainnya yang bekerja di rumah sakit yang terikat dengan
jam dinas dan jam kerja yang diatur sesuai dengan jadwal dinasnya dan peraturan
kepegawaian, dokter memiliki kemandirian dan kebebasan profesi dalam meng-
ambil keputusan klinis pada pasien sesuai standar profesi, kompetensi, dan standar
pelayanan medis. Staf medis pada faktanya tidak terikat dengan satu unit ke{a saja,
bisa berpindah tempat lebih dari satu unit kerja seperti di poliklinik, rawat jalan,
rawat inap, dan mungkin melakukan operasi di unit lain. Dengan demikian, per-
aturan kepegawaian rumah sakit tidak dapat diterapkan seluruhnya untuk staf
medis. Oleh karena itu, perlu ada peraturan tersendiri yang dapat mengatur staf
medis secara internal.
Untuk menjaga mutu pelayanan dan tanggung jawab medis, staf medis di-
harapkan dapat melakukan selfgoaenting self nnnlling dan self drsaplining. Saiap
staf medis di rumah sakit harus menyadari bahwa praktik di rumah sakit berbeda
dengan praktik pribadi di rumah karena doker, dokter gigi, dokter (dan dokter
gigi) spesialis memiliki otonomi kolektifdan mempertanggungjawabkan pelayanan
ke pimpinan lewat Komite Medik. OIeh karena itu, setiap dokter harus menaati
semua prosedur dan standar pelayanan yang berlaku.
Dalam Peraturan Internal Staf Medis diatur tentang:
1. Nama dan tujuan pengorganisasian staf medis
2. Keanggotaan staf medis
3. Kategori staf medis: dokter tetap, tamu, konsultan, staf pengajar, residen,
serta pengaturan wewenang dan tanggungjawab
166 Etiho Kedokteron don Huhum Kesehoton

4. Pelayanan medik
5. Komite medik
6. Pengaturan mengenai jasa medis
7. Mekanisme reut'np dan revisi
8. Pengaturan yang terkait dengan kewajiban dokter dalam mengisi RM,
Persetujuan Tindakan Medik dan lainlain.

Meroncong PIRS dqn trltM


Guwandi mengemukakan kita tidak dapat meniru begitu saja PIRS dan PISM versi
Indonesia dengan mencontoh apa yang telah disusun dan dirumuskan di luar
negeri karena perbedaan latar belakang sejarah, sosial budaya, kebiasaan dan
pertimbangan hukum.
Kita harus mernpunyai peraturan di bidang perumahsakitan yang sesuai dan
selaras dengan sosial budaya kita sendiri. Dalam bukunya "Merangkai Hospibl
BylazasRumah Sakit Anda dengan versi Indonesia (2004)", Guwandi mengemuka-
kan salah satu contoh yang dapat digunakan. Dalam garis besar susunan PIRS
adalah sebagai berikut.
1. Anggaran Dasar (AD)
2. Anggaran Rumah Timgga (ART)
.1, Peraturan Rumah Sakit

- Bidang Medik
- BidangUmum
4. Surat Keputusan.
5. Pengumuman

Di Indonesia dibuat berjenjang demikian agar penyusun menyadari dari awal agar
peraturan lebih rendah yang disusun tidak bertentangan dengan yang lebih tinggi,
misalnya yang terdapat dalam AD. AD yang dibuat dengan ake notaris disahkan
oleh Departemen Kehakiman dan diumumkan dalam Lembaran Negara.
ART memuat garis-garis besar dan peraturan dasar yang penting-penting saja
yang berhubungan dengan tugas manajemen sehari-hari antara lain meliputi Visi
dan misi, struktur organisasi, kebijakan-kebijakan strategis, urutanjenjangperaturan
dasar di Rumah Sakit, hubungan antara pemili( dan direktur rumah sakit (direksi),
hak dan kewajiban, batas kewenangan dan tanggungjawab direktur, rapat berkala,
kedudukan dan fungqi komite medih dan masa jabatan direktur.
Peraturan rumah sakit adalah peraturan-peraturan yang dibuat berdasarkan ke-
bijakan yang telah ditentukan menyangkut manajemen rumah sakit. Untuk yang
bersifat strategis biasanya ditentukan oleh direktur dan sta{ seperti standar prose-
dur tetap di setiap pelayanan kesehatan di rumah sakit, petunjuk pelaksanaan dan
petunjuk teknis, komite medik, hubungan dengan tenaga medis, dan pardtia etika
kedokteran.
Dalam versi yang dikemukakan dalam Pedoman PIRS dan PISM yang
dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan R.I., DirektoratJenderal Pelayanan Medih
Direktorat Pelayanan Medik dan Gigi Spesialistik (2002) disusun lebih rinci dengan
susunan antara lain:
84/ 23 Percturon lntemol Rumoh Sohit don Stof Medis 167

1. Nama, tujuan, dan filosofi rumah sakit.


2. Pengaturan tentang goaent"s body.
3. Pengorganisasian.
4. Mekanisme Pengawasan.
5. Direktur rumah sakit.
6. Mekanisme reaiezp dan revisi.
7. Tirjuan dan fungsi PISM.
8. Keanggotaan, kategori staf medis.
9. Pelayanan medik meliputi jenis, mekanisme, tugas dan tanggung jawab,
peran pengampu dan residen.
10. Upaya peningkatan mutu, antara lun cltnfual ish management, audit medis,
monitoring dan evaluasi mutu pelayanan, dan mekanisme pengawasan.
11. Komite medik
t2.Jasa medis.
Dalam menyusun, tiap-tiap rumah sakit tentu dapat mengembangkan sesuai
dengan pola dan kebutuhan tiap-tiap rumah sakit. Makin besar dan kompleks
organisasi, sar^na pelayanan rumah sakit dan sesuai dengan visi, misi rumah sakit
tentu semakin dibutuhkan peraturan yang lebih luas.
24
PenmclNAN Pllrr Glwlr Dmumr

Tujusn lnrtruhrionol Khurur


1. Menyebuthqn definisi gowot dorurqt.
2. Menyebuthon posol-posol KODEK|yong berhoitqn dengon
penqngqnon gowqt dorurot.
3. Menjeloshon beberqpo contoh pelqnggorsn etih don pidono podo
penongqnqn hqsus gqwot dorurot.
4. Meneronghon pedomon yong digunohon dolom mempertimbonghqn
hosus pelonggorqn etih.

Pohoh Bqhqrqn
l. Gqwqt Dqrurot Medih.
2. Posol-posol KODEKI terhoit.

tub-Pohoh Bqhqrqn
1. Pengertiqn gowot dorurot medih.
2. Posol-posql KODEKI terhoit.
3. Contoh-contoh hosus pelonggoron etih dqn pidono pqdq penongonon
hosus gowot dqrurot.

168
&al 24 penangonon Posien Gowqt Dorurot 169

Yang dimaksud dengan darurat (Emergenq) adalah kejadian yang tidak disangka-
sangka dan memerlukan tindakan segera. Gawat (Cnticol) adalah suatu keadaan
yang berbahaya, genting, penting, tingkat kritis suatu penyakit.
Gawat darurat medik ddalah suatu kondisi yuog dalam pandangan pasien,
keluarga atau siapapun yang bertanggungjawab dalam membawa pasien ke rumah
sakit, memerlukan pelayanan medik segera. Kondisi ini berlanjut hingga petugas
kesehatan y.ang profesional menetapkan bahwa keselamatan pasien atau kesehat-
annya tidak terancam. Namun, keadaan gawat darurat yang sebenarnya adalah
suatu kondisi klinik yang memerlukan pelayanan medik segera. Kondisi tersebut
berkisar antara yang memerlukan pelayanan ekstensif segera dengan rawat inap di
rumah sakit dan yang memerlukan pemeriksaan diagnostik atau pengamatan, yang
setelahnya mungkin rriemerlukan atau mungkin juga tidak memerlukan rawat inap
(The Arreican Hospttal Assoa:ation).
Gawat darurat medik dapat timbul pada siapa saja, kapan saja dan di mana saja.
Gawat darurat dapat menimpa seseorang karena penyakit mendadak (akut) atau
kecelakaan dan dapat menimpa sekelompok orang seperti pada kecelakaan masal,
bencana alam, atau karena peperangan. Pasien ga.wat darurat ini memerlukan
pelayanan medik yang cepat, tepat, bermutu, dan terjangkau. Dalam pelayanan
medik itulah para petugas kesehatan dituntut untuk benar-benar menghayati dan
mengamalkan etik profesinya karena dalam kondisi gawat darurat aspek psiko-
emosional memegang peranan penting baik bagi penerima pelayanan medik
maupun bagi petugas kesehatan terkait.

Pedomqn Etihq Kedohterqn Menghqdopi Porien Gawqt Dqrurqt


Etika kedokteran terutama berlandaskan pada Pancasila dengan silanya perike-
manusiaan yang adil dan beradab, LSDI dan KODEKI. Di samping itu, perlu
dipahami, dihayati dan diamalkan hak pasien dan kewajiban-kewajiban lain dokter.
Hampir semua butir lafal sumpah dokter berkaitan erat dengan pelayanan medik
pasien gawat darurat, yaitu bahwa setiap dokter akan membaktikan hidupnya guna
kepentingan perikemanusiaan, mengutamakan kesehatan pasien, mengutamakan
kepentingan masyarakat, menghormati hidup insani dan dalam menunaikan ke-
wajibannya seorang dokter tidak akan terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan,
kesukuan, perbedaan kelamin, politik kepartaian, atau kedudukan sosial.
Dalam KODEKI terdapat butir-butir yang berkaitan dengan kasus-kasus gawat
darurat yang kalau ditempatkan mepurut urutan yang relevan lebih dahulu, susun-
annya menjadi sebagai berikut.
1. Seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
kemanusiaan, kecuali bila yakin ada orang lain bersedia dan mampu mem-
berikannya (Pasal 13).
2. Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai
dengan standar profeSi yang tertinggi (Pasal 2).
3. Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi
hidup insani (Pasal 7d).
4. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan ilmu kete-
rampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal tidak mampu melakukan
Etiho Kedohteron don Huhum Kesehaton

suatu pemeriksaan atau pengobatan, atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk


pasien kepada doker yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut
(Pasal 10).
5. Dalam melakukan peke{aan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh di-
pengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi (Pasal 3).
6. Seorang dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan
dan bidang lainnya serta masyarakat harus saling menghormati (Pasal 9).
7. Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa
dapat berhubungan dengan keluarga dan penasihatnya dalam beribadat dan
atat dalal;rr masalah lainnya (Pasal 11).
8. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia (Pasal 12).
9. Setiap dokter harus memelihara kesehatannya supaya dapat bekery'a dengan
baik (Pasal 16).
Dari butir-butir KODEKI di atas, jelas bagaimana seharusnya seorang dokter
berperilaku pada saat menghadapi kasus-kasus gawat darurat yang tidak jarang
berakhir dengan kematian pasien. Upaya dokter dengan penuh perhatian membantu
pasien disertai sikap manusiawi dan empati pada saat pasien mengalami saat-saat
kritis, walaupun akhirnyapasien meninggal dunia, kiranyakeluarga dapat menerima
musibah itu dengan ikhlas, bahkan berterima kasih kepada dokter yang telah
berikhtiar dengan sungguh-sungguh untuk menyelematkan jiwa pasien.

Bebercpc Contoh Karut


Pelayanall medik pasien gawat darurat mempunyai aspek khusus karena ini me-
nyangkut kelangzungan hidup seseorang. Di sini pasien secara tiba-tiba atau tidzik
terduga sebelumny4 menghadapi ancaman bahaya maut sehingga memerlukan
tindakan segera untuk menyelamatkan jiwanyu mencegah bertambahnya pen-
deritaan,bertambah parahnyapenyakit atau mencegah timbulnya cacat permanen
anggota tubuhnya. Oleh karena rttt, ada hal-hal yang pada pasien biasa tidak dapat
dibenarkan, pada kasus-kasus gawat dawat diperbolehkan pengecualian. Contoh-
contoh kasus gawat dan$at yang berkaitan dengan etik dan pidana adalah:
1. Seorang dokter spesialis yang tugas jaga tidak bersedia datang untuk me-
meriksa pasien gatizat daruratyangdikonsul kepadanya dan kemudian pasien
meninggal dunia. Dengan demikian, dokter bukan saja dianggap telah me-
lakukan malpraktik etik, tetapi juga malpraktik pidana karena kelalaiannya
menyebabkan seseorang meninggal dunia. Instruksi dokter mengenai pe-
meritsaan dan pengobatan per telepon juga dianggap pelanggaran karena
pelayanannya di bawah standar pelayanan medik.
2. Dokter yang langsung mentransfer seorang pasien gawat darurat ke rumah
sakit rujukan tanpa memberi pertolongan pertama untuk memperbaiki ke-
adaan umum pasien sehingga pasien meninggal dunia di perjalanan, dianggap
suatu kelalaian (malpraktik etik dan pidana) dan dapat dituntut pasal KUHP'
3. Rumah sakit dan/atau seorang dokter yang menunda-nunda rawat inap
pasien gawat darurat atau menunda-nunda tindakan medik terhadap pasien-
&i 24 Penongonon Posien Gowct Dorurot 17l

nya ata.s alasan belum membayar uang muka berarti telah melanggar etik dan
hukum sehingga dapat digugat di pengadilan.
4. Pasien gawat darurat yang dalam keadaan tidak sadar (misalnya, petinju
dengan trauma capitis) dan tidak didampingi oleh keluarga yang memerlukan
tindakan pembedahan segera (ato) rx:r'.;uk menyelamatkan jiwanya, tidak di-
perlukan Persetujuan Tindakan Medik (PI1\0 dari siapa pun. Ini sesuai de-
ngan (ODEKI, yaitu dokter mengutamakan kesehatan pasien dan melindungi
hidup insani dan Permenkes No. 585 Thhun 1989, pasal l!, yang berbunyi
"Dalam hal pasien tidak sadar/pingsan serta tidak didarnpingi oleh keluarga
terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat dan atau darurat
yang memerlukan tindakan medik segera untuk kepentingannya, tidak di-
perlukan persetujuan dari siapa pun".
5. Seorang anak atau seorang pasien penyakit jiwayang mendapat kecelakaan
lalu lintas dan tiba di rumah sakit tanpa didampingi orang tua atau walinya
untuk menandatangani PTM, sedangkan pembedahan tidak dapat ditunda-
tunda lagi demi menyelamatkan jiwanya atau mencega.h bertambah parah
penyakitnya, tindakan dokter melakukan pembedahan itu dapat dibenarkan
dan sesuai dengan KODEKI.
6. Padaprosedur diagnostik atau terapi yang segera harus dilakukan pada pasien
gawat darurat, baik yang rnemerlul<an ata.u tidak memerlukan PTM, tidak
diharuskan kepada dokter untuk menjelaskan segala aspek dari tindakan
medik itu secara rinci karena waktu yang sangat terbatas, tetapi penjelasan
perlu diberikan setelah tindakan.Jadijika timbul komplikasi yang tidak sempat
di'elaskan sebelumnya, tidak dapat dipersalahkan.
Demikian beberapa contoh kasus ga.wat darurat yang sifatnya individual yang
berkaitan dengan etik dan pidana. Masalah yang lebih rumit ialah apabila meng-
hadapi sekelompok besar orang yang mengalami kecelakaan masal, bencarta alam,
atau korban pertempuran, sedangkan tenaga kesehatan yang menanganitya ter-
balas. Bagaimana sikap dokter dan tim kesehatannya dalam memberikan pelayan-
an kepada korban yang begitu banyak? Dalam hal demikian ada yang membagi,
korban atas 3 kelompok sebagai berikut.
1. Kelompok dengan cedera ringan yang tanpa pelayanan kedokteran tidak
akan mengancam jiwanya.
2. Kelompok dengan cedera sedang atau berat yangjika diberi pertolongan akan
dapat menyelamatkan jiwanya.
3. Kelompok dengan cedera sangat berut/parah, yang walaupun diberi per-
tolongan tidak akan dapat menyelarratkannya.
Dalam hal ini, sebaiknya tim kesehatan mengu.tamakan pertolongan untuk ke-
lompok 2.
Pemilahan pasien-pasien seperti di atas, sering dilakukan dalam medan per-
tempuran, yang disebut "tn'asd' (nner dalam Bahasa Perancis berarti skrining di
medan pertempuran). Para dokter dan perawat yang melakukan skrining ini,
biasanya telah terlatih untuk tindakan tersebut. Dari hasil pemeriksaan tim
kesehatan, pasien dikelompokkan dengan memberi pita berwama sebagai berikut.
Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

Merah, prioritas I, pasien dalam kondisi kritis, tetapi dapat,diselamatkan jika


dilakukan pertolongan yang tidak banyak memerlukan petugas dan
peralatan.

Kuning prioritas II, kemungkinan besar pa.sien bertahan hidup beberapa jam
(dapat menunggu), setelah dilakukan stabilisasi.

Hijau, prioritas III, cedera ringair yang dapat ditangani sementara oleh perawat.
Biru, prioritas II atau III, pasien dengan cedera berat yang tidak akan bertahan
hidup jika tidak dilakukan tindakan spesialistik yang memakan waktu
lama.

Hitam, tidak diprioritaskan karena cedera begitu parah sehingga jiwa korban
kiranya tidak mungkin diselamatkan.
25
faruxlr PrunccARAN Ellt< KeooxrERAN

Tujuan ln*ruhrionql Khurus


1. Menyebuthon butir-butir pelonggoron LSDI don KODEKI yong
merupohon pelonggorqn etih murni don pelonggqrqn etih yqng
seholigus merupohon pelonggoron huhum (etiholegol).
2. Meneronghqn pedomqn yqng digunohqn dolqm mempertimbonghon
hosus pelonggqrqn etih hedohteron.
3. Menjeloshon prosedur penongqnon hqsus dugoon pelonggoron etih
hedohterqn.
4. Menjeloshqn sqnhsi-sonhsiyqng dopot dihenohqn dqlqm pelonggorqn
etih hedohterqn.
Pohoh Bqhqrqn
t. Butii-butir LSDI dqn KODEKI yong bersifot etiho murnidon etiho yqng
seholigus terhoit huhum.
2. Pedomon dqlom mempertimbonghon berot ringqnnyo pelonggorqn
etih hedohterqn.
3. Prosedur penqngonon hqsus dugoon pelonggoron etih hedohteron.
$ub-Pohoh Bqhqrqn
1. Contoh-contoh hosus pelonggqrqn etih murni don pelonggorqn etih
yong sehqligus merupohon pelonggqrqn huhum.
2. Pedomon pertimbongon dolqm menongoni hosus-hosus pelqnggqrqn
etih hedohteron.
3. Prosedurdqn bodon-bqdon yong menqngoni hosus dugoon
pelonggoron etih
4. tsentuh-bentuh sqnhsi terhodop pelonggoron etih hedohteron.

173
174 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

Dalam LSDI dan KODEKI telah tercantum secara garis besar perilaku atau
tindakan-tindalan yang layak dan tidak layak dilakukan seorang dokter dalam
menjalankan profesinya. Namun, ada saja oknum dokter yang tega melakukan
pelanggaran etik bahkan pelanggaran etik sekaligus hukum Qtiholegafi,lebih-lebih
dalam lingkungan masyarakatyang sedang mengalami berbagai krisis akhir-akhir
ini, dan sebagian sanksi yang diberikan oleh atasan atau oleh organisasi profesi
kedokteran selama ini terhadap pelanggaran itu tidak tegas dan konsisten. Hal ini
disebabkan antara lain oleh tidakjelasnya batas-batas antata yang boleh dan tidak
boleh, antara yanglayakdan tidak layak dilakukan seorang dokter terhadap pasien;
teman sejawat, atal masyarakat umumnya. Inilah bedanya etik dengan hukum.
Hukum lebih tegas dan lebih objektif menunjukkan hal-hal yang merupakan pe-
langgaran hukum sehinggajika terjadi pelanggaran dapat diproses sesuai dengan
hukum yang berlaku.

Pelonggqrsn Etih Murni don Etiholegql


Pelanggaran terhadap butir-butir LSDI dan KODEKI ada yang merupakan pe-
langgaran etik semata-mata dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan
sekaligus pelanggaran hukum. Pelanggaran etik tidak selalu berarti pelanggaran
hukum, sebaliknya pelanggaran hukum tidak selalu merupakan pelanggaran etik
kedokteran. Berikut ini diajukan beberapa contoh.

I. Pelanggaranetikmurni
1. Menarik imbalan yang tidak wajar atat menarik imbalan jasa dari keluarga
sejawat dokter dan dokter gigi.
Hidup yang cenderung materialistis, hedonistis dan bersifat konsumeris-
me dapat menyebabkan kecintaan terhadap material yang berlebihlebihan
dan berakibat memancing keserakahan, dengan menarik imbalan jasa yang
berlebihlebihan. Dalam melakukan peke{aan kedokterannya, seorang
dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya
kebebasan dan kemandirian profesi (KODEKI, Pasal3)
2. Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya.
Sejaqrat adalah mitra ke4'a seorang dokter dan bukan saingan. Pembinaan
kerja sama dalam satu tim harus selalu diupayakan guna kepentingan pasien.
Anggota suatu tim harus saling hormat menghormati, saling bantu, saling
belajar, dan saling ingat mengingatkan. Seorang dokter yang baik tidak me-
nyalahkan sejawatnya di depan pasiennya (walaupun dokter itu benar-benar
salah), tetapi secara bijaksana membahas kasusnya dengan sejawatnya dan
sebaliknya mengembalikan pasien kepada sejawatnya yang pertama kali
dikunjungi pasien tersebut.
3. Memuji diri sendiri di depan pasien.
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat
memuji diri (KODEKI, Pasal 4). Termasuk dalam hal memuji diri sendiri
adalah mencautumkan gelar pada papan praktik yang tidak terkait dengan
pelayanan jasa kedokteran yang diberikannya, mengadakan wawancara pers
untuk mempromosikan cara pengobatan sesuatu penyakit, ataupun ber-
€*& 8s Sankcl Felqnggorqn Etlh Kedohteran 175

partisipasi dalam promosi obat, kosmetika, alat, dan taraRa kesehatan,


makaRaR, miRuman, dan perbekalan kesehatan rumah tangga. Dalam
deHarasi Muktamar IDI ke=?3 di Padang tanggal 12 December 1997, di=
nyatakan bahwa pada dasarnya dokter sama sekali tidak boleh melibatkan
diri dalam pelbagai kegiatan promosi, karcnapromosi t€rsebut selalu terkait
kepada kepentingan=kepentingan yang sering kali bertentangan atau tidak
menunjang tugas mulia kedokteran, Perbuatan dokler sebagai pemeran
langsung suatu iklan promooi komoditi yang dimuat media massa dan/ataa
elektrsnik merupakan perbuatan tereela karena tidak dapat disingkirkan
penafsiran adanya suatu niat lain untuk memuji diri gendiri sebagaimana
yang telah ditentukan dalam KODEKL Kendatipun pameran langsung
promosi komoditi dilakukan dalam wahana ilmiah kedokteran, hal ini
diangg"ap juga suatu perbuaian tercela, apalagt jika tidak berlandaskan pe=
ng,etahuan kedokteran tertinggi dalam bidangnya sehingga tidak diyakini
oebagai produk yang layak diberikan kepada pasien, apa.Lagtr unt.uk dirinya
sendiri ataupun kepada sanak keluarganya bila mengalami halyang sama,
4. Tidak pernah mengrkuti pendidikan kedokteran berkeeinambungan,
Salah satu kewajiban dokter terhadap diri sendiri adalah senantiasa
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/
kesehatan (KODEKI, Paoal 17), Ilmu pengetahuan dan teknologr kedokteran
berkembang dengan pesat, lebih=lebih dalam tiga dekade terakhir ini, Setiap
dokter harus mengikuti perkembangan ini baik untuk manftat diri sendiri
dan keluarga! maupun untuk paoien dan masyarakat, Tuntutan maoyarakat
akan pelayanan kedokteran yang bermutu dan mutakhir eesuai dengan per-
kembangan Iptek Kedokteran global hendaknya ditanggapi oleh dokter
dengan mengadakan konsolidasi diri, yaitu dengan mengikuti kursu.s:kursus,
seminar, lokakarya, ataupun mengikuti program pendidikan spesialisasi/
sutrspesial isasi,
5, Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri,
Dokter seharusnya memberi teladan kepada masyarakat dalam me:
melihara kesehatan, melakukan peneegahan terhadap penyalut, berperilaku
sehat sehingga dapat bekerja dengan baik dan tenang (KODEKI, Pasal 16),
Jika dokter jatuh sakit, oelayaknya berobat kepada sejawatnya dan tidak
mengobati diri sendiri,

II. Pelanggaran etikolegal


1, Pelayanan kedokleran di bawah standar,
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya
sesuai dengan standar profesi yang tertinggi (KODEKI, Pasal 2), mem=
- perhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh, yaitu
promotif preventif, kurati{ dan rehabilitatif (KODEKI, Pasal 8) dan mem-
pergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan pasien
(KODEKI, Pasal 10)" Dengan demikran, seorang dokter yang memberikan
pelayanan kedokteran di bawah standar menrpakan suatu tindakan mal=
praktik, dan dapatdikenakan Pasal350 KUHP, yang berbunyi "Barang siapa
176 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehaton

karena kesalahannya menyebabkan orang lain mendapat llka berat atau


luka sedemikian sehingga berakibat penyakit atau halangan sementara untuk
menjalankan jabatan atau pekery'aannya, dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya 5 tahun. Padahal seorang dokter senantiasa membaktikan
hidupnya guna kepentingan perikemanusiaan (LSDI, butir 1), menjalankan
tugasnya dengan mengutamakan kepentinga.n masyarakat (LSDI, butir 1),
menjalankan tugasnya dan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien
(LSDI, butir 7).
Menerbitkan surat keterangan palsu.
, Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang
telah diperiksa sendiri kebenarannya (KODEKI, Pasal T).Jadi, jika seorang
dokter menerbitkan surat keterangan cuti sakit berulang kali kepada seorang
tahanan, padahal orang tersebut mampu menghadiri sidang pengadilan per-
karanya, dalam hal ini dokter telah melanggar etik dan juga KUHP Pasal
267 yangberbunyi "Dokter yang dengan sengaja memberi surat keterangan
palsu tentang adanya atau tidak adarrya penyakit, kelemahan ata:u cacat,
dihukum dengan hukuman penjara selama 4 tahun".
J. Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter.
Sejak zaman Hippokrates rahasia pekerjaan dokter menduduki tempat
yang penting dalam hubungan dokter dengan pasien. 'Apapun yang saya
dengar atau lihat tentang kehidupan seseorang yang tidak patut disebar-
luaskan, tidak akan saya ungkapkan karena saya harus merahasiakahnya
(Sumpah Hippokrates, butir 9). Prinsip ini tercantum pula dalam LSDI,
butir 5 yang berbunyi "Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya
ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai dokter", sedangkan
dalarir KODEKI Pasal 12 tercantum bahwa setiap dokter wajib merahasia-
kan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkanjuga
setelah pasien itu meninggal dunia.Jadi, seorang dokter yang menyebarluas-
kan rahasia pribadi pasiennya di depan orang atau sekelompok orang lain
sehingga atas pengaduan pasien bersangkutan, dokter dapat dituntut di
depan pengadilan. Dokter tersebut yang dengan sengaja membuka suatu
rahasia yang wajib disimpannya karenajabatan atau pekerjaannya baik yang
sekarang maupun yang dulu, dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya 9 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 600,- (harus disesuai-
kan dengan keadaan moneter saat ini) (KUHP, pasd'322). Lain halnyajika
dokter menjadi saksi ahli di pengadilan, yang mempunyai peraturan ter-
sendiri.
4. Abortus provokatus.
Masalah abortus telah dibahas di berbagai pertemuan ilmiah dalam lebih
dari 3 dekade terakhir ini, baik di tingkat nasional maupun regional. Namun,
hingga saatiniRancangan Peraturan Pengguguran Berdasarkan Pertimbangan
Keslhatan belum terwujud. Secara umum hal ini telah dicantumkair dalam
UU No. 23 Thhun 1992 tentang Kesehatan, namun Peraturan Pemerintah
yang mengatur hal ini belum diterbitkan hingga sekarang. Begitu pula belum
ada petunjuk bagairnana seharusnya sikap dokter yang menyangkut tindakan
84/ 25 Sonhsi Pelonggorqn Etih Kedohteron 177

abortus provokatus para kasus-kasus misalnya perkosaan, kehamilan pada


wanita dengan grande multipara (telah banyak anak), dan kegagalan kontra-
sepsi.
Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi
hidup makhluk insani (KODEKI, Pasal 7d). Undang-undang No. 23 tahun
1992 tentang Kesehatan, menyatakan bahwa dalam keadaan darurat, sebagai
upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan
tindakan medik tertentu dan ini dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
memiliki keahlian, dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau
suami atau keluarganya dan dilakukan pada sarana kesehatan tertentu.
Dalam KUHP secara rinci terdapat pasal-pasal yang mengancam pelaku-
pelaku abortus ilegal sebagai berikut.
a. Wanita yang sengaja menggugurkan kandungan atau menyuruh orang
lain melakukannya (KUHP, Pasal346, hukuman maksimum 4 tahun).
b. Seseorang yang menggugurkan kandungan wanita tanpa seizinnya
(KUHP, PasaI 347, hukuman maksimum 12 tahun dan bila wanita ter-
sebut meninggal, hukuman maksimum 15 tahun).
c. Seseorang yang menggugurkan kandungan wanita dengan seizin wanita
tersebut (KUHP, Pasal34B, hukuman maksimun 5 tahun 6 bulan dan
bila wanita tersebut meninggal, maksimum 7 tahun).
d. Dokter, bidan atau juru obat yang melakukan kejahatan di atas (KUHP,
Pasal 349, hukuman ditambah sepertiganya dan pencabutan hak pe-
kerjaan).
5. Pelecehan seksual.
Hubungan pasien dengan SpOG merupakan hubungan yang sangat
khusus karena menyangkut pelayanan kesehatan reproduksi. Peluang untuk
melakukan pelecehan seksual terbuka lebih lebar dibandingkan dengan
pelayanan kesehatan oleh disiplin lain Ilmu Kedokteran. Sejak zaman
Hippokrates masalah ini telah disorot dengan sumpahnya, "Rumah siapa
pun yang saya masuki, kedatangan saya itu saya tujukan untuk kesembuhan
yang sakit dan tanpa niat-niat buruk atau mencelakakan dan lebih jauh lagi
tanpa niat berbuat cabul terhadap wanita ataupun pria, baik merdeka mau-
puan hamba sahaya". Selanjutnya dalam LSDI secara umum dicantumkan
bahwa seorang dokter senantiasa menjalankan tugasnya dengan cara ter-
hormat dan bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaannya (LSDI, butir 3)
dan akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur
jabatan kedokteran (LSDI, butir 2).
Dari segi hukum, pengertian perbuatan cabul (pelecehan seksual) adalah
perbuatan yang sengaja dilakukan untuk membangkitkan nafsu birahi atau
nafsu seksual di luar perkawinan termasuk persetubuhan. Dalam KUHP
secara rinciterdapat pasal-pasal tentang sanksi terhadap kejahatan kesusilaan,
yaitu sgbagai berikut.
a. Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan me-
maksa seorang wanita yang bukan isterinya, bersetubuh dengan dia
(Pasal285 KUHP), hukuman maksimum 12 tahun.
178 Etlhs Xedohteron dqn Hukum Kcrchctqn

b, Barang siapa bersetubuh dengan wanita yang bukan isterinya, padahal


diketahui wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (Pasal
286 KUHP), hukuman maksimum 9 tahun.
Barang siapa bersetubuh dengan wanita yang bukan isterinya, padahal
diketahuinya atau patut disangkanya umur wanita itu belum cukup
15 tahun atau belum pantas buat dikawin (Pasa|287 KUHP), hukuman
maksimum 9 tahun.
Pejabat yang melakukan perbuatan eabul dengan orang yang karena
jabatan adalah bawahannya atau dengan orang yang penjag'aannya
dipereayakan atau diserahkan kepadanya (pasal294 KUHP), hukuman
maksimum 7 tahun.
Pengurus, dokter, guzu, pegawai, pengawas, atau pesuruh dalam peqjara,
tempat pekerjaan Regara, tempat pendidikan, mmah piatu, rumah sakit,
rumah sakit jiwa, atau lembaga sosial yang melakukan perbuatan eabul
dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya (Pasal 294 KUHP),
hukuman maheimum 7 tahun.

Proredur Pcnsngqnqn DcgEqn Pelqnggqrqn Etlh


Dalam Bab VIII, UU RI No. ?9 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dinyatakan
trahwa untuk menegaktrean disiplin dokter dan dokter grgi dalam penyelenggaraan
praktik kedokteran dibentuk Majelis KehormataR Disiplin Kedokteran (MKDKD'
Majelis ini merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI)
dalam menjalankan tugasnya bersifat independen.

MKDKI bertugas:
1, Menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran
disiplin dokter dan dokter grgr yang diajrikan
2. Menyusun pedoman dan tataearu pcnanganan kasus pelanggaran disiplin
dokter atau dokter gigi,
Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter
atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan seeara
teftulis kepada Ketua MKDKI atau sceara lisan jika tidak mampu secara tertulis.
Pengaduan sekurang-kurangnya berisi identitas pengadu, nama dan a\amat tempat
praktik dokter atau dokter grgr, dan waktu tindakan dilakukan serta alasan
pengaduan, Pengaduan tersebut di atas tidak menghilangkan hak setiap orang
untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak berwenang dan/
atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etik, MKDKI meneruskan
pengaduan pada organisaoi pro{bsi (lDI, MKEK). Apabila terdapat bukti-bukti
awal adanya dugaan tindak pidana, MKDKI meneruekan pengaduan tersebut
kepada pihak yang benvenang.
Apabila terdapat pelanggaran disiplin oleh dokter atau dokter gigi, MKDKI
dapat memberikan canksi disiplin berupa peringatan tertulis, rekomendasi pen=
eabutan Surat Tanda Regictrasi (STR) atau Surat Izin Praktik (SIP) atau wajib
8a/ 85 Sanhgl Felonggoron Etlh Kcdohtersn 179

mengikuti pendidikan/pelatihan kembali di Institugi Pendidikan Kedokteran,Tuju=


annya adalah untuk penegakan disiplin dokter dan dokter gigr, yaitu penegakan
aturan=aturaR danlatau ketentuan penerapan keilmuan dalam hubungannya dc-
ngan pasien. Keputusan MKDKI mengikat dokter, dokter gxgi, dan KKI. Keputusan
dapat berupa pemberian sanksi disiplin atau dokter/dokter grgr dinyatakan tidak
bersalah.
Ikatan Dokter Indonesia (lDI) memiliki Majelis Kchormatan Etika Kedokteran
Indonesia (MKEK) dari pusat hingga ke wilayah:wilayah dan mungkin eabang=
cabangnya,
Wblaupun demikian, MKEK ini belum lagi dimanfaatkan dengan baik oleh para
dokter ataupun masyarckat.MKEK tidak mungkin melaklkan pengawasan sampai
ke ruang praktik dokter:dokter, Masyarakaf yang menilai perilaku dokter ber-
tentangan dengan etik prsfesi kedokteran, seharuonya mengambil prakarsa meng-
ajukan kasus-kasus dugaan pelanggaran etik itu kepada IDI setempat, yang nantinya
akan meneruskan kasus tersebut pada MKtrK. Namun, pengetahuan masyarakat
umum tentang etika kedokteraR saRgat terbatas sehingga kadang=kadang yang
terjadi adalah ada kasus pelanggaran etik murni yang keburu diajukan ke pengadilan
sebelum ditangani MKEK,
Mengingat belum lanearnya penatalaksanaan pelanggaran etik, Departemen
Kesehatan (Depkes) dengan Permenkes l{omor 554,/Menkes/Per/XII/1982
membentuk Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etika Kedokteran (P3EK), Di
Pusat, P3EK terdiri dari unsur:unsur Depkes, Depdikbud eq Fakultas Kedokteran,
Fakultas Kedokteran Gigi, Pengurus Besar IDI dan Persatuan Dokter Gigt Indonesia
(PDGI),Jumlah'anggotanyaantaru 7--9 orang. TUgao P3EK Pusat adalah:
1. Memberi pertimbangan tentang etika kedokteran kepada Menteri,
2, Membina dan mengembangkan seeara aktifKODEKI dan Kode Etik Kedokteran
Gigi Indonesia (KODEKGI) dengan bekerja sama dengan IDI dan PDGL
3, Memberi pertimbangan dan usul kepada pejabat yang berwenang di bidang
kesehatan.
4. Menyelesaikan persoalan yang tidak dapat disclesaikan oleh PSEK Provinsi.
'etika
5, Menyelesaikan rujukan i.rutt-it dalam permasalahan pelanggaran
kedokteran atau etika kedokteran gigi.
6. Mengadakan konsultasi dengan inctansi penegak hukum dan instansi lain yang
berkaitan,

Pada tahun 1985 Rapat Kerja antara PSEK, MKEK, dan MKEKG telah meng-
hasilkan pedoman keq'a yang menyangkut para dokter, antara lain sebagai ber:
ikut.
1, Pada prinsipnya semua masalah yang menyangkut pelanggaran etik diteruskan
terlebih dahulu kepada MKEK.
2. Masalah etik murni diselesaikan oleh MKEK'
3. Masalah yang tidak murni etik serta masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh
MKEK dirujuk ke P3EK Provinsi,
Etihq Kedohteron dqn Huhum Kesehotan

4. Dalam sidang MKEK atau P3EK untuk pengambilan keputusan, Badan Pem-
bela Anggota IDI dapat mengikuti persidangan jika dikehendaki oleh yang
bersangkutan (tanpa hak untuk mengambil keputusan).
5. Masalah yang menyangkut profesi dokter atau dokter gigi akan ditangani
bersama.oleh MKEK dan MKEKG terlebih dahulu sebelum diteruskan ke
P3EK apabila diperlukan.
6. Untuk kepentingan pencatatan, tiap kasus pelanggaran etika kedokteran serta
penyelesaiannya oleh MKEK dilaporkan ke P3EK Provinsi.

P3EK Provinsi terdiri dari unsur-unsur Kantor Wilayah Depkes Provinsi, Dinas
Kesehatan Provinsi Daerah Tingkat I, Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran
Gigi (ika ada), IDI Provinsi dan PDGI Provinsi. Jumlah pengurusnya antara 5-
7 orang. T[gas P3EK Provinsi adalah menerima dan memberi pertimbangan
tentang persoalan dalam bidang etik profesi di wilayahnya kepada Kepala Kantor
Wilayah Depkes Provinsi, mengawasi pelaksanaan kode etik dalam wilayahnya,
mengadakan konsultasi dengan instansi penegak hukum dan instansi lain yang
berkaitan, memberi nasihat kepada dokter dan dokter gigi, membina dan me-
ngembangkan secara efektif kode etik proGsi dan memberi pertimbangan serta
usul-usul kepada pejabat yang berwenang di bidang kesehatan dalam wilayah
provinsi.Jadi dalam pelanggaran etika kedokteran, Kepala Kantor Wlayah Depkes
Provinsi yang berwenang mengambil tindakan berupa peringatan atau tindakan
administratif terhadap dokter atau dokter gigi sesuai berat ringannya pelanggaran.
Apabila dokter atau dokter gigi bersangkutan berkeberatan terhadap keputusan
bersalah yang dinyatakan oleh pihak berwenang, yang bersangkutan dapat meng-
ajukan banding dalam waktu 20 hari ke P3EK Pusat, melalui P3EK Provinsi.
Keputusan banding oleh P3EK Pusat disampaikan kepada Menteri Kesehatan
untuk mengambil tindakan yang diperlukan terhadap dokter atau dokter grgl yang
bersangkutan.
Kasus-kasus pelanggaran etik yang tidak murni, yang tidak dapat diselesaikan
oleh P3EK Provinsi diteruskan ke P3EK Pusat. Dengan demikian, kasus-kasus
pelanggaran etik tidak murni dibahas lebih dahulu di P3EK sebelum diteruskan
t.p"d" p".ryidik.Jadi, pada tahap pertama penanganan kasus-kasus tersebut tidak
perlu dicampuri oleh pihak luar. Pembelaan cukup dilakukan oleh kalangan profesi
sendiri, yaitu Badan Pembela Anggota IDI atau PDGI. Kasus-kasus yang sudah
jelas melanggar peraturan perundang-undangan dapat dilaporkan langsung kepada
pihak yang berwenang.

Fedomqn Penilqiqn Kqrur-Korus Pelqnggqrqn Etihq Kedohterqn


Etik lebih mengandalkan itikad baik dan keadaan moral para pelakunya dan untuk
mengukur hal ini tidaklah mudah. Karena itu, timbul kesulitan dalam menilai
pelanggaran etik, selama pelanggaran itu tidak merupakan kasus-kasus pelanggar-
an hukum.
Dalam menilai kasus pelanggaran etika kedokteran, MKEK berpedoman
pada:
1. Pancasila
?a/ 25 Sonhsi Pelonggoron Etih Kedohteron 181

2. Prinsip-prinsip dasar moral umumnya


3. Ciri dan hakikat pekerjaan profesi
4. LSDI
5. Tiadisi luhur kedokteran
6. KODEKI
7. Hukum kesehatan terkait
8. Hak dan kewajiban dokter
9. Hak dan kewajiban pasien
10. Pendapat tata-(ata masyarakat kedokteran
11. Pendapat pakar-pakar dan praktisi kedokteran yang senior
Selanjutnya MKEK menggunakan pula beberapa pertimbangan berikut.
1. Tujuan spesifik yang ingin dicapai
2. Manfaatnya bagi kesembuhan pasien
3. Manfaatnya bagi kesejahteraan umum
4. Penerimaan pasien terhadap tindakan itu
5. Preseden tentang tindakan semacam itu
6. Standar pelayanan medik yang berlaku

Jika semua pertimbangan menunjukkan bahwa telah terjadi pelanggaran etik, pe-
langgaran itu dikategorikan kelas ringan, sedang atau berat berdasarkan pada:
1. Akibat terhadap kesehatan pasien
2. Akibat bagi masyarakat umum
3. Akibat bagi kehormatan prolesi
4. Peran pasien yang mungkin ikut mendorong terjadinya pelanggaran
5. Alasan-alasan lain yang diajukan tersangka
Dengan adanyapedoman penilaian tersebut di atas diharapkan faktor subjektivitas
MKEK dapat dibatasi sekecil mungkin. Namun, sanksi profesional yang diberikan
harus benar-benar memegang peranan sentral dan tidak hanya merupakan
semboyan yang muluk-muluk atau merupakan /tps Jervice saja pada acara-acara
akademik atau acara-acara perhimpunan profesi.

Bentuh-Bentuh Jsnhri
Pelanggaran etik tidak menimbulkan sanksi formal bagi pelakunya sehingga ter-
hadap pelakunya hanya diberikan tuntunan oleh MKEK. Secara maksimal mungkin
MKEK memberikan usul ke Kanwil Depkes Provinsi atSu Depkes untuk mem-
berikan tindakan administrati{ sebagai langkah pencegahan terhadap kemungkin4n
pengulangan pelanggaran yang sama di kemudian hari atau terhadap makin
besarnya intensitas pelanggaran tersebut.
Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran etika kedokteran bergantung pada
berat ringannya pelanggaran etik tersebut. Yang terbaik tentulah upaya pencegahan
pelanggaran etik, yaitu dengan cara terus menerus memberikan peny'uluhan kepada
anggota IDI, tentang etika kedokteran dan hukum kesehatan. Namun, jika terjadi
pelanggaran, ,sanksi yang diberikan hendaknya bersifat mendidik sehingga pe-
Etlhq K€dohterqn don Huhum Kenhotqn

langgaran yang sama tidak terjadi lagi di masa depan dan sanl$i'tersebut menjadi
pelqjaran bagi dokter lain. Bentuk sanksi pelanggaran etik dapat berupa:
1. Tegpran atau tuntunan ceeara lisan atau f.rlisan.
2. Penundaan kenaikan gaji ataupangkat
3, Penunrnan gaji ataupangkat setingkat lebih rendah
4. Dicabut izin praktik dokter unfirk sementara atau selamalamanya.
5. Pada kacus-kacus pelanggaran etikolegal diberikan hukuman sesuai peraturan
kepegawaian yang berlaku dan diproses ke pengadilan.
26
Enx PEneurnn KcTHATAN

Tuluqn lnrtruhrlonql Khurut


t. Menyebuthqn definili dqn tujuon penelition hesehqton.
2. Menyebuthon referenllyqng digunqhqn untuh merumushon etih
penelition hesehotqn.
I Menjeloshon prinsip umum etih penelitiqn hesehqton yong
memonfqqthon monusiq.
4. Menjelqlhqn tugEl, wewenqng don fungsi Komisi Etih Penelitiqn
Kesehqtqn (KEPK) lnltitusidon Komisi Nqsionql Etih Penelition
Kerehotqn (KNEPK).
5. MenJelqlhEn etlh penelitian Bohqn Biologih Tenimpon (BBT),
penggunqqn hewqn percoboqn, etih penelitian epidemiologidqn etih
penelition genetih.

Pohoh Bshqrsn
1. Prlnsip umum etih penelitiqn hesehqtqn.
2. KEPKdqnKNEPK.
3. Penetuiuon Setelqh Penielolon (PSP).
4. Eilh penellilon hhulus podq qnoh, ibu homil/menyusuidon posien
penyqhit iiwq.
5. Etlh penelition BBT, hewqn percobqqn, epidemiologidqn genetih.
Jub-Pohoh Bqhqrsn
1. Referensi untuh etih penelitiqn helehqton.
2. Pentlngnyq PSP dqrl berbqgai helompoh subieh penelition'
3. Etih penelitiqn BBT.
4. Etih penelition penggunoon hewon percoboon.
5. Etik penelition ePidemiologi.
6. Etih penelltlon genetih.

183
t84 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

Ilmu kesehatan telah berhasil memberi banyak sumbangan bermakna yang me-
mungkinkan umat manusia meningkatkan derajat kesehatan sehingga meningkat-
kan kesejahteraannya. Kebanyakan sumbangan ilmu kesehatan tersebut merupa-
kan hasil penelitian kesehatan dan penerapannya.
Menurut PP No. 39 Thhun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Ke-
sehatan, yang dimaksud dengan penelitian kesehatan adalah kegiatan ilmiah yang
dilakukan. menurut metode secara sistematik untuk menemukan informasi ilmiah
dan/atau teknologi yang baru dan membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran
hipotesis sehingga dapat dirumuskan teori atau suatu proses gejala alam dan/atau
sosial di bidang kesehatan dan dilanjutkan dengan menguji penerapannya untuk
tujuan praktis di bidang kesehatan. WHO menyatakan bahwa yang termasuk
dalam penelitian kesehatan ialah penelitian biomedik, mengenai obat-obatan, alat-
alat kedokteran, radiasi dan pencitraan, rekam medih bahan biologik, dan juga pe-
nelitian epidemiologi, sosial dan psikologik.
Penelitian kesehatan dengan melibatkan manusia sebagai subjek penelitian,
yang disebut juga riset biomedik pada manusia harus bertujuan untuk menyem-
pumakan tata cara diagnosis, terapi, pencegahan, serta pengetahuan tentang
etiologi dan patogenesis penyakit
Tirjuan penelitian kesehatan ini adalah untuk memberikan masukan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta pengetahuan lain yang diperlukan, untuk me-
nunjang pembangunan kesehatan dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan
yang optimal bagi masyarakat.
Tujuan akhir ilmu pengetahuan adalah untuk kesejahteraan umat manusia, jadi
nilai sebenarnya suatu ilmu pengetahuan terletak pada penerapannya dalam
masyarakat.
Dokumen-dokumen Internasional dan Nasional yang digrnakan untuk me-
nyusun pedoman etik penelitian adalah:
1. Nuremberg Code (1947\
Kode Nuremberg merupakan instrumen internasional pertama tentang etik
penelitian kedokteran pada manusia. Kode ini diciptakan sebagai tindak lanjut
keputusan pengadilan terhadap dokter-dokter NAZI yang telah melakukan
penelitian kesehatan secara paksa pada tawanan kamp konsentrasi selama
perang dunia II, tanpa tujuan ilmiah yang rasional dan dilakukan oleh personel
yang tidak memenuhi syarat. Kode ini bertujuan untuk melindungi integritas
subjek penelitian. Salah satu butir penting dalam Kode Nuremberg ialah" The
aoluntary consent o1f tlze ltuman subject u absolutely essential'
2. Universal Declaration of Human Rights (1948)
Deklarasi ini diadopsi Sidang Umum PBB pada tahun 1948 dan pada sidang
tahun 1966 ditetapkan International Covenant on Civil and Political Rights,
yang menyatakan bahwa: "No one s/ta// be sufuected to torture or to mte/, inhuman
or degradtng treatment orpunisltment. In pafiiculari no one shall be sublected raithout
/usfree cznsent t0 rnedica/ or saenttJlc expenrnentation".
eal 26 Etih Penelition Kesehoton 185

3. The Declaration of Helsinki (WMA,2000)


Deklarasi ini dikeluarkan oleh World Medical Association (WMA) pertama kali
pada tahun 1964 dan merupakan dokumen utama untuk etik penelitian kesehat-
an. Deklarasi ini telah 6 kali diamandemen, yang terakhir di Washington D.C
tahun 2002 berisi pedoman etik penelitian kesehatan baik klinik maupun non-
klinik.
4. Operational Guidelines for ethics Committee that Review
Biomedical Research (WHO, 2000)
Dokumen ini membahas cara pembentukan Komisi Etik Penelitian Kesehatan
(KEPK), tuiuan, keanggotaan, tata cara kerja, cara pengajuan proposal, peng-
kajian protokol, pembuatan keputusan, dan lain-lain.
5. International Ethical Guidelines for Biomedical Research Involving
. Fluman Subjects (CIOMS 2002)
Counal of Intemahbnal Organizahlons of Medical Su'ences (CIOMS) adalah
organisasi non-pemerintah yang berafiliasi resmi dengan WHO. Dokumen I
diterbitkan tahun 1982, Dokumen II tahun 1993 dan Dokumen III tahun 2002.
Pedoman CIOMS ini memberi perhatian khusus pada etik penelitian kesehatan
di negara berkembang.
6. Pedoman Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) di Indonesia
(Badan POM 2001)
Pedoman ini adalah standar etik dan ilmiah untuk mendesain, melaksanakan,
mencatat, dan melaporkan uji klinik yang melibatkan subjek manusia. Naskah
ini berasal dari Guidelme for Good Chnical Prach'ce (Internah'onal Corllfrrence on
Harmonizah'on of Technica/ Requirements for Regtstrahon of Ph'armaceuh'ca/s for
Human Ue, 1966).

Prinrip Etihq Umum


Prinsip etika umum adalah sebagai berikut.
1. Menghormati harkat martabat manusia (respectfor pernns)
Secara mendasar piinsip ini bertujuan:
a. Menghormati otonomi y*g mempersyaratkan bahwa manusia yang
mampu menalar pilihan pribadinya harus diperlakukan dengan menghormati
kemampuannya untuk mengambil keputusan mandiri (self detemtnahbn)-
b. Melindungi manusia yang otonominya terganggu atau kurang, memper-
syaratkan bahwa manusia yang bergantrng (dependents atau tentan (ztu/-
nerable) perlu diberikan perlindungan terhadap kerugian atau penyalah-
gunaan (ltarm and abuse).
2. Berbuat baik (benefcence)
Prinsip etika berbuat baik menyangkut kewajiban membantu orang lain, di-
lakukan dengan mengupayakan manfaat maksimal dengan kerugian minimal.
Prinsip ini diikuti prinsip tidak merugikan Qln'mum non nocere,l?rst no harm, non
malei7cence) yang menyatakan bahwa jika orang tidak dapat melakukan hal-hal
yang bermanfaat, setidak-tidaknya jangan merugikan orang lain.
Etiho Kcdohterqn den Huhum Kecehetsn

3. Keadilan Q'usn'c)
Setiap orang hanrs diperlakukan sama (tidak diskriminatif) dalam memperoleh
haknya. Prinsip etik keadilan terutama menyangkut keadilan distributif yang
mempersyaratkan pembagian seimbang elalam hal beban dan manfaat, Hal ini
dilakukan dengan memperhatikan distribusi usia dan gender, status ekonomi,
budaya, dan etnik. Salah satu perbedaan yang dapat dipertanggungjawabkan
adalah kerentanan, yaitu kelompok yang tidak berkemampuan melindungi
kepentingan sendiri.

Komirl Etih Fenelltian KerehEtan lnrtituri (tohol)


Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) Institusi merupakan komisi yang
independen, dibentuk dan diangkat oleh Kepala Lembaga Pcnelitian setempat
seperti di Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan (FK, FKG, FKM dan Fakultas Keperawat-
an), di rumah oakit-rumah sakit, dan laboratorium. KEPK dalam melakukan
pengkajian protokol penelitian perlu mempertimbangkan dan memperhatikan
aspek etik dari segi metode dan perlakuan terhadap subjek penelitian, eara-eara
peneliti memilih subjek penelitian, (hriteria inklusi dan ekoklusi), kemampuan
subjek untuk menyatakan kesediaannya dengan tekanan melindungi subjek yang
rentan dan cara randomisasi subjek,

Komhi Nqrionql Etih trenelltisn Karehstqn


Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan (KNEPK) adalah suatu lembaga non:
struktural dan berkedudukan di lingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. KNEPK dibentuk dengan SK Menkes No. 1334lMenkes,/SK,A,/ 2002
dan keanggotaannya dengan SK Menkes No, 187lMenkes./SK[4003,
Keanggotaan KNEPK terdiri dari peneliti, dokter, dokter gigi, sarjana farmasi,
psikologi, hukum, sosiologi, filsafat, agamawan, ahli lainnya, dan masyarakat awam,
maksimal2S orang.
Di samping itu, terdapat pula Komisi Bioetika Nasional (KBI.Q yang dibentuk
dengan SK Bersama Menteri Riset dan Teknologl, Menteri Kesehatan, dan Menteri
Pertanian. KBN menangani secaraumum masalah bioetika dalam bidangkesehatan,
pertanian dan teknologr. Di lingkup Internasional KBN bernaung di bawah
UNESCO.
Hingga saat ini, KNEPK telah menerbitkan Pedoman Nasional Etik Penelitian
Kesehatan beserta suplemennya tentang Etik Penggunaan Hewan Peresbaan dan
Bahan Biologik Tersimpan (BBT)"

Perretuf uqn $etelqh Fenielqrqn


Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) atau lrfonned Coruentadalahpilihan sukarela
seseorang untuk berpartisipasi dalam penelitian setelah mendapat penjelaoan dan
telah memahami seluruh aspek penelitian yang relavan terhadap keputusannya
untuk berpartisipasi. Ini merupakan suatu proses edukasi yang berlangsung antara
peneliti dan calon subjek penelitian dan tidak merupakan formalitas belaka.
Sal e6 Ellh Penelltlan Kerehqtan

1, Persyaratan Umum
a. Padasemua penelitian kedokteran pada manusia, peneliti harus memperoleh
PSP perseorangan Qndfu/dual tnformed consenfl dari ealon subjek penelitian.
jika subjek penelitian tidak mampu memberi PSP, persetujuan harus diper-
ut*h drii seorang yaRg menurut hukum yang berlaku, berhak mewakilinya.
b, Informasi harus disampaikan dalam bahasa yang dimengerti oleh calon
subjek atau wakilnya, Lrerupa bahasa awam dan tidak berisi istilah-istilah
teknis yang sulit dimengerti,
e. Peneliti tidak boleh melaksanakan penelitian pada subjek penelitian sebelum
mendapat PSP dari subjek yang bersangkutan. ealon subjek harus diberi
kesempatan seeukupnya untuk mempertimbangkan benar-benar risiko dan
manflaat serta mengajukan pertanyaan sehingga akhirnya memutuskan
apakah ealon subjek mau ikut serta atau tidak dalam penelitian.
d. Rekam Medis (RM, Medieal reeorfl dan spesimen biologik yang terhimpun
pada pelayanan ldinik hanya dapat digunakan untuk penelitian tanpa PSP
dari pasien atas persetujuan KEPK,
,)
Unsur Informasi kepada ealon subjek penelitian.
Informasi yang harus diberikan kepada calon subjek penelitian mencakup:
a. Penjelasan bahwa partisipasi adalah sukarela, bukan karena perangsang atau
paksaan.
b, Fenielasan tentang fujuan, prosedur penelitian, jumlah subjek yang ikut,. dan
perkiraan lama berpartsipasi,
5.mua manfaat bagi subjek atau orang lain yang diharapkan dari penelitian,
", termasuk sumbangan khazanah ilmu pengetahuan.
d" Semua risiko, rasa nyeri, rasa tidak nyaman, dan kerugian yang dapat di-
perkirakan sebelumnya.
e, Pemberitahuan mengenai prosedur alternatif terhadap keikutsertaannya.
f, Siapa yang dihubungijika ada pertanyaan tentang penelitian dan hak-hak
subjek,
r' Siapa yang dihubungi jika subjek mengalami hal yang tidak diharapkan
terkait dengan penelitian.
h" Semua kompensasi atau pelayanan medik jika terjadi akibat yang tidak
diinginkan.
i. Subjek dapat berhenti berpartisipasi setiap waktu, tanpa ada pinalti, atau
kehilangan keuntungan,
j. Pernyataan yang menjelaskan sejauh mana privasi dan kerahasiaan pribadi
akan dijaga,

Dalam Pasal 10 PP RI No. 39 Thhun 1995, dinyatakan bahwa calon subjek


penelitian berhak mendapat informasi terlebih dulu dari penyelenggara pe-
nelitian mengenai tujuan penelitian dan penggunaan hasilnya, jaminan ke-
rahasiaan tentang identitas dan data pribadi, metode yang digunakan, risiko
yang mungkin timbul dan hal-hal lain yang perlu diketahui oleh yang ber-
rungkutun. Selanjutnya, dalam Pasal 11 dinyatakan bahwa penyelenggara
p.o![ti*o berkewajiban menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan
Etiho Kedohterqn don Huhum Kesehoton

pribadi, keluarga, atau masyarakat yang bersangkutan. Dalam Pasa! 14,


dinyatakan bahwa manusia, keluarga, atau masyarakat berhak atas ganti rugi
apabila pelaksanaan penelitian dan pengembanga.n kesehatan terhadapnya
mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat, atau kematian yang terjadi
karena kesalahan atdu kelalaian penyelenggara penelitian.
Peneliti harus menjamin, bahwa subjek penelitian yang mengalami kerugian
akibat-keikutsertaannya berhak mendapatkan pengobatan bebas biaya dan
bantuan keuangan atau bantuan lain yang merupakan kompensasi secara wajar
untuk setiap cedera, atau cacat.Jika te{adi kematian akibat keikutsertian dalam
penelitian, tanggungan /keluarganya berhak menerima kompensasi.
3. Kewajiban sponsor dan peneliti
a. Tidak melakukan penipuan dan tidak memberi pengaruh berlebihan atau
melakukan intimidasi.
b. Hanya meminta PSP setelah yakin bahwa subjek cukup memahami semua
fakta dan akibat keikutsertaannva.
c. Sebagai tanda bukti, PSP haris ditandatangani. Untuk yang buta aksara
memakai cap jempol dan tanda tangan saksi dengan mencantumkan sendiri
tanggalnya. Perkecualian dari aturan umum harus disetujui lebih dahulu
oleh KEPK.
d. Memperbarui PSP kalau terjadi perubahan berarti pada keadaan dan
prosedur penelitian atau penelitian berlangsung dalam jangka panjang.

Dalam Pasal 8 PP RI No. 39 Tirhun 1995, dinyatakan bahwa "Persetujuan ter-


tulis dapat dilakukan oleh orang tua atau ahli warisnya apabila manusi4 sebagai
subjek penelitian, tidak mampu melakukan tindakan hukum karena keadaan ke-
sehatan atau jasmaninya sama sekali tidak memungkinkan dapat menyatakan per-
setujuan secara tertulis atau telah meninggal dalam hal jasadnya akan digunakan
sebagai objek penelitian dan pengembangan kesehatan. Selanjutnya, untuk keluarga
diberikan oleh kepala keluarga yang bersangkutan dan untuk masyarakat dalam
wilayah tertentu oleh Bupati,/W'alikotamadya Kepala Daerah yang bersangkutan.

Penelitiqn pqdq tubieh Khusur


1. Penelitian pada anak-anak
Penelitian pada anak-anak dilakukan jika penelitian tersebut tidak dapat
dilaksanakan'dengan hasil yang sama baiknya dengan orang dewasa dan
tujuannya adalah untuk memperoleh pengetahuan sesuai kebutuhan kesehatan
anak. PSP untuk penelitian pada anak diberikan oleh orang tua atau wakil yang
sah. Penolakan anak untuk ikut serta dalam penelitian harus dihormati.
2. Penelitian pada pasien gangguan jiwa.
Penelitian pada pasien gangguan jiwa dilakukan jika penelitian tersebut tidak
dapat dilaksanakan sama baikny;a pada manusia yang berkemampuan memberi
PSP yang tidak terganggu jiwanya dan bertujuan untuk memperoleh penge-
tahuan sesuai kebutuhan kesehatan pasien gangguan jiwa atau perilaku. PSP
untuk pasien penyakit jiwa diperoleh dari anggota keluarga yang terdekat atau
wakil yang sah.
3a/ 26 Elih Penelition Kesehqton

3. Penelitian pada wanita hamil dan masa menfrsui.


Wanita hamil dan masa menyusui berhak untuk ikut serta dalam penelitian
kesehatan. Peneliti dan KEPK harus menjamin bahwa calon subjek penelitian
yang hamil menerima penjelasan yang memadai tentang risiko dan manfaat
untuk dirinya, kehamilannya,janinnya, keturunan berikutnya, dan kesuburan-
nya. Penelitian pada wanita hamil atau masa men)'usui hanya boleh dilaku-
kan jika penelitian sesuai dengan kebutuhan kesehatan khas wanita hamil dan
anaknya.
Dalam Pasal 13 PP RI No. 39 tahun 1995, dinyatakan bahwa penelitian pada
anak hanya dapat dilakukan dalam rangka peningkatan kesehatan anak, pada
wanita hamil atau menyrrsui dalam rangka pembenahan masalah kehamilan,
persalinan atau peningkatan derajat kesehatannya, dan pada pasien penyakit
jiwa atau lemah ingatan dalam rangka mengetahui sebab terjadinya penyakit
jiwa atau lemah ingatan, pengobatan, atau rehabilitasi sosial.
4. Penelitian pada manusiayang rentan (ztulnerable)
Manusia rentan adalah manusia yang secara relatif atau absolut tidak mampu
melindungi kepentingan sendiri. Karena itu, diperlukan pembenaran khusus
untuk meminta manusia yang rentan ikut serta sebagai subjek penelitian. Jika
mereka dipilih, sarana untuk melindungi hak dan kesejahteraannya harus di-
gunakan secara ketat. Yang termasuk kelompok rentan adalah mereka yang
takut menerima hukuman bila menolak ikut serta, seperti mahasiswa kedokteran
dan keperawatan, karyawan rumah sakit, pegawai pabrik farmasi, tentara, dan
polisi.Juga termasuk rentan adalah manusia usia lanjut dengan gejala demensia,
orang miskin,ttnakarya, kelompok minoritas etnik, tuna wisma, pengembara,
pengungsi, narapidana, dan pasien penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Pada
penelitian tersebut di atas, jika calon subjek penelitian tidak mampu memberi
PSP, persetujuannya harus dilengkapi izin penanggung jawabnya secara sosial
atau wakil yang sah dan telah disetujui KEPK terlebih dahulu.
5. Penelitian pada penduduVmasyarakat dengan sumber daya terbatas.
Penelitian pada kelompok masyarakat ini misalnya pada penduduk asli atau
suku-pribumi (tndigenous people) sesuatu negara, perlu diperhatikan kebutuhan
kesehatan dan prioritasnya, sedangkan produVpengetahuan yang dihasilkan
harus disediakan secara wajar untuk penduduVmasyarakat tersebut.
Pada penelitian ini karena faktor sosial budaya, PSP perseorangan dapat
diperoleh secara lisan jika disetujui oleh KEPK atau dari pimpinan, tokoh
masyarakat setempat, atau dari organisasi penduduk asli (umbre//a organtzation),
atau dari kepala suku dan dapat merupakan persetujuan kolektif (.collectioe
consen h.

Dengan demikian, PSP berperan penting dalam penelitian kesehatan dengan


melibatkan manusia sebagai subjek demi menghormati martabat dan hak asasi,
melindungi hidup insani, kesehatan, kesejahteraan, dan keselamatan subjek
penelitian. Karena itu,
1. sebelum penelitian mulai dilaksanakan, peneliti harus meminta persetujuan
KEPK tentang informasi yang akan diberikan kepada subjek penelitian dan
Etlho Kedohterqn don Huhum Kenhoton

format PSP yang akan diminta dari subjek penelitian atau wakilnya yang sah.
Peneliti tidak boleh melaksanakan penelitian sebelum memperoleh PSP dari
subjek penelitian;
2. tanpa PSP dari subjek penelitian, hasil penelitian tidak dapat dipublikasikan;
3, tanpa PSP dari subjek penelitian, peneliti tidak berhak memperoleh dana dari
sponsor dan/ataupengelola dana penelitian (dono); dan
4. pelanggaran terhadap peraturan penrndangan tentang PSP dapat dikenakan
sanksi administratif danlatau pidana,

Etlhq Pemqnfqotan Bqhqn Blologlh Terrlmpon


Dewasa ini, dalam masyarakat ilmu kedokteran belum terdapat kesarnaan pendapat
dan kesepakatan bersama mengenai Bahan Biologik Tersimpan @BT, Arch.med
Brblogtbal Matmbk) yang secara etis dapat dipertanggrrngjawabkan, Penanganan
BBT secara teknis mencakup aspek pengpmpulan, penyimpanan, pemanfaatan,
dan pemusnahannya. BBT merupakan bahan biologik tersisa dan disimpan setelah
kegiatan yang membutuhkan dan mengumpulkannya selesai. BBT dapat berupa
sisa kegiatan penelitian atau sisa upaya pengobatan, yaitu sisa kegiatan diagrostik
ftiopsi), tindakan pembedahan (operasi), atau otopsi.

Ada 2 macarn BBT, yaitu:


1" BBT annnynt, maksudnya BBT yang diterima oleh peneliti tanpa inf-ormasi
apapun tentang asal usul bahan biologik sehingga peneliti tidak mungkin dapat
menemukan kembali dan menghubungi manusia sumber BBT
2. BBT dengan identitas (ld*Afrud lengkap dengan berbagai informasi (narna,
alamat, nomor KTP, nomor RS) sehingga manusia sumber BBT dapat
ditemukan kembali dan dihubungi.
Pada penelitian kesehatan umumnya masih mungkin menghubungi manusia
sumber BBT sehingga jika ditemukan eara diagnostik atau pengobatan baru
yang menguntungkan manusia sumber BBT, dapat diambil bahan biologik
tambahan untuk penelitian atau untuk kepentingan manusia sumber BBT

Pemanfaatan BBT yang seeara etis dapat dipertanggungjawabkan adalah sebagai


berikut.
1. Menghormati BBT sebagai bagian tubuh manusia dan menguburnya ataa
memusnahkannya dengan dibakar.
2. BBT dimanfaatkan untuk pendid ikail pengajarun
3. BBT dimanfaatkan untuk penelitian kesehatan
4. BBT diperlakukan dengan hormat dan tetap disimpan. Ttrjuannya untuk di-
gunakan pada penelitian kesehatan di kemudian hari jika diperlukan.
Penelitian dengan memanfaatkan BBT banr boleh dimulai jika telah men=
dapat persetqiuan dari komisi ilmiah dan etik yang benmenang. Penelitian
protokol penelitian dan pemberian persetu.juan etik dimaksud untuk menjamin
kehidupan (/giQ), kesehat an (health), kesejahteraan (wefate), keleluasaan pribadi
@rirod dan martabat (dtSrriil manusia sumber BBT,
Aal 26 Elih Penelition Kesehoton 191

Kepemilikan dan pengelolaan BBT


1. Semua bahan biologik y-g dikumpulkan untuk penelitian kesehatan adalah
milik lembaga penelitian.
2. Kepala lembaga penelitian bertanggung jawab tentang penyimpanan' P€-
manfaatan dan pemusnahan BBT
3. BBT tidak boleh diy'ual atau diperdagangkan
4. Perlu diangkat seorang pemelihara yang memenuhi persyaratan untuk meng-
administrasikan koleksi BBT, yan$ jika telah berkembang dapat dijadikan
repositorium BBT.

PSP untuk pemanfaatan BBT diperoleh dengan tiga cara, yaitu:


1. PSP sudah tercakup dalam PSP waktu bahan biologik dikumpulkan.
2. Dimintakan PSP baru dengan menghubungi setiap manusia sumber BBT jika
PSP yang pertama tidak mencakup penggunaan BBT.
3. Pada keadaan menghubungi manusia sumber BBT tidak praktis dilaksanakan'
dapat dimintakan perkecualian (waiae) dari KEPK

Etih trenggunqqn Hewqn Fercobocn


Sebagian penelitian biomedik dapat diselesaikan di laboratorium dengan cara kerja
in aitro atau dengan menggunakan bahan hidup, seperti galur sel dan biakan
jaringan. Pada tahap berikutnya seringkali diperlukan penelitian dengan qeng-
gunakan makhluk hidup utuh agar keseluruhan interaksi yang terjadi dalam
tobrrhnyu dapat diamati dan dikaji. Keamanan dan khasiat obat misalnya, perlu
diteliti dengan menggmakan hewan percobaan sebelum penelitian layak dilanjut-
kan dengan mengikutsertakan relawan manusia. Obat baru tidak boleh digunakan
untuk pertama kali langsung pada manusia, sekalipun tanpa uji coba pada hewan
percobaan telah dapat diduga dengan wajar keamanannya'
Hewan percobaan akan mengalami berbagai keadaan luar biasa yang me-
nyebabkan penderitaan, seperti rasa nyeri, ketidaknyamanan, ketidaksenangan dan
pada akhirnya kematian. Sebagai bangsa yang beradab hewan percobaan yang
menderita untuk kebaikan manusia, wajib dihormati hak azasinya dan diperlakukan
secara manusiawi.

Penelitian kesehatan dengan menggunakan hewan percobaan secaia etis hanya


dapat dipertanggrngiawabkan, jika:
1. Tujuan penelitian dinilai cukup bermanfaat
2. Desain penelitian dapat menjamin bahwa penelitian akan mencapai tujuannya.
3. Tujuan penelitian tidak dapat dicapai dengan menggunakan subjek atau
prosedur alternatif
4. N4anfaat yang akan diperoleh jauh lebih berarti dibandingkan dengan pen-
deritaan yang dialami hewan percobaan.

Beberapa prinsip dasar adalah sebagai berikut.


1. Untukie.nuj,l- pengetahuan biologi dan pengembangan cafa-cara lebih baik
dalam melindungi kesehatan dan kesejahteraan manusia, diperlukan percobaan
192 Etiho Kedohterqn don Huhum Kesehoton

pada berbagai spesies hewan yang utuh. Ini dilakukan setelah pertimbangan
yang seksama karena jika laya( harus digunakan metode seperti model mate-
matika, simulasi komputer, dan sistem in ztitro.
2. Hewan yang dipilih untuk penelitian harus sesuai spesies dan mutunya, serta
jumlahnya hendaknya sekecil mungkin, narnun hasil penelitiannya absah secara
ilmiah.
3. Peneliti dan tenaga kerja lainnya harus memperlakukan hewan percobaan
sebagai makhluk perasa, memperhatikan pemeliharaan dan pemanfaatannya
serta memahami cara mengurangi penderitaannya.
Peneliti harus menganggap bahwa prosedur yang menimbulkan rasa nyeri pada
manusia, juga menimbulkan rasa nyeri pada spesiesbertulang belakang termasuk
primata.
5. Pada akhir penelitian bahkan pada waktu dilakukan percobaan, hewan yang
menderita nyeri hebat atau terus menerus atau menjadi cacatyangtidak dapat
dihilangkan harus dimatikan tanpa rasa nyeri.
6. Flewan yang akan dimanfaatkan untuk penelitian hendaknya dipelihara de-
ngan bai[ termasuk kandang makanan, air minum, transportasi dan cara
menanganinya sesuai tingkah laku dan kebutuhan biologik tiap spesies.
Pimpinan lembaga yang memanfaatkan hewan percobaan bertanggung jawab
penuh atas segala hal yang tidak mengikuti etik pemanfaatan hewan percobaan
di lembaganya Sebaliknya pimpinan wajib menjaga keselamatan dan kesehatan
para pengelola, dengan cara:
a. Pemeriksaan kesehatan setiap tahun sekali dan memberikan imunisasi ter-
hadap penyakit-penyakit yang mungkin ditularkan akibat pekerj aarrnya.
b. Menyediakan alat pelindung seperti masker, samng tangan, sepatu karet/
pelindung sepatu, tutup kepala, pelindung mata, dan jas laboratorium.
c. Menyediakan fasilitas fisik baik mangan maupun peralatan yang memenuhi
persyaratan keamanan kel' a dan ergonomebsehingga mengurangi kemungkin-
an terjadinya kecelakaan.
d. Penanganan limbah yang baik dan benar untuk mencegah terjadinya pen-
cemaran.

Dalam hal memanfaatkan hewan percobaan untuk penelitian kesehatan digunakan


prinsip 3R, yaitu: replacement, reduction dan
relfrnemenf. (Hume and Russel, 1957)
1. RElacement
Ada dua alternatif untuk replacement,yaitw:
a. Replacement relatff, yaitu tetap memanfaatkan hewan percobaan sebagai
donor organ,jaringan, atau sel.
b. Replacement absolut, yaitu tidak memerlukan bahan dari hewan, melainkan
rnemanfaatkan galur sel (cell lina) atau progr4m komputer.
2. Reduchon
Mengurangi pemanfaatanjurnlah hewan percobaan sehingga sesedikit rnungkin
dengan bantuan ilmu statistik, program komputer, dan teknik-teknik biokimia
serta tidak mengulangi penelitian dengan hewan percobaan apabila tidak
perlu.
A& 26 Etih Penelition Kesehoton r93

3. Refnemenl
Mengurangi ketidaknyamanan yang diderita oleh hewan percobaan sebelum,
selama, dan setelah penelitian, misalnya dengan pemberian analgetik.

Etih Penelitiqn Epidemiotogi


Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari frekuensi, distribusi dan determinan
suatu masalah yang sedang berlangsung di masyarakat dan juga mempelajari
aplikasinya untuk menyelesaikan, memecahkan, mengendalikan masalah tersebut
(Bambang Sutrisna, 1997).

Epidemiologi banyak berjasa meningkatkan kondisi kesehatan masyarakat, me-


lalui:
1. Penelitian epidemiologi yang telah meningkatkan pemahaman tentang bahaya
akibat pengaruh buruk lingkungan fisik, biologi, sosial dan perilaku terhadap
kesehatan.
2. Perubahan kebiasaan dan perilaku individu yang bertaitan dengan kesehatan,
seperti merokok, diet, dan olahraga yang berpengaruh terhadap penyakit
jantung dan pemakaian sabuk pengaman yang berkaitan dengan cedera dan
kematian akibat kecelakaan lalu lintas.

Penelitian epidemiologi terdiri atas:


1. Penelitian eksperimental.
Umumnya pada penelitian eksperimental ini subjek penelitian ditetapkan
secara acak (random), menjadi kelompok kelola dan kelompok kontrol. Hasil
penelitian kedua kelompok dibandingkan, biasanya secara analisis statistik.
Subjek penelitian eksperimental harus dimintakan PSP'
2. Penelitian observasional
Penelitian epidemiologi obserwasional umumnya:
1) Memiliki risiko rendah terhadap subjek penelitian.
2) Tidak menggunakan intervensi yang berbahaya.
3) Sering hanya menggunakan kuesioner, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang (pemeriksaan Rontgen atau uji laboratorium).

Penelitian epidemiologi observasional ada 3 jenis, yaitu:


a. Cross sech'onal (potong lintang)
Penelitian ini bertujuan menilai aspek kesehatan penduduk atau uji hipotesis
tentang penyebab penyakit atau faktor risiko yang dicurigai. Penelitian ini
memerlukan PSP.
b. Case contro/ study
Pada penelitian ini, jika terjadi kontak langsung antara peneliti dengan subjek
penelitian, diperlukan PSP.Jika penelitian dilakukan melalui peninjauan RM
atau datalain yang telah tersedia, tidak diperlukan PSP.
c. Cohorl study
Cohon study disebut juga longtudzlnal atau prospectizte study. Penelitian ini
biasanya melibatkan sejumlah besar subjek penelitian, waktu penelitiannya
Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

lama, dan memerlukan biaya yang besar. Oleh karena itu; pada penelitian ini
tidak diperlukan PSP.
Pengecualian dari ketentuan-ketentuan di atas harus disetujui oleh KEPK.

Etlh Penelitlqn Genetih


Proyek genom manusia telah menghasilkan berbagai temuan yang berkaitan de-
ngan informasi genetik, narnun hingga saat ini masih terdapat celah yang cukup
lebar antara penemuan dalam bidang genetik itu dan kemampuan untuk mencegah
penyakit dan meningkatkan taraf kesehatan. Oleh karena itu, penelitian berbasis
populasi mengenai peran variasi genetik dan interaksi genAinglttngan terhadap
berbagai penyakit perlu terus ditingkatkan [usu{ 2007).
Penelitian gehetik dapat meniberikan informasi mengenai kepekaan seseorang
terhadap penyakit dan dapat melakukan reduksi tentang kemungkinan untuk
menderita penyakit di kemudian hari dengan upaya pencegahannya.
Setiap.aktMtas penelitian genetik baik pada individu, keluarga ataupun populasi
dihadapkan pada masalah etih hukum, sosial, dan agama mulai dari desain
penelitian, pengumpulan data, dan publikasi hasil.penelitian. Dari segi eti( pe-
nelitian genetik mempunyai ruang lingkup khusus.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melaporkan hasil penelitian geneti\
yaitu:
1. Peneliti harus mempertimbangkan anta.ra manfaat dan kerugian dalam me-
laporkan hasil genotiping kepada subjek.
2. Perhatian khusus harus diberikan bila melakukan penelitian pada keluarga,
lebihlebih dalam hal memberikan informasi mengenai penyakit, misalnya
penyakit yang diderita isteri kepada suami.

Penelitian genetik antara lain adalah:


I. Analisis pe&gree (asal usul)
Anilisis pedrgree diperlukan untuk melihat insiden dan perjalanan penyakit dalam
keluarga. Risiko berupa informasi yang tidak diharapkan dapat menyebabkan
stres sosial dan psikologi, stigma sosial dan diskriminasi di tempat kerja atau
oleh asuransi. Oleh karena itu, kerahasiaan harus behrl-betul diy'aga.
2. Analisis lokalisasi dan identifikasi gen
Analisis lokalisasi dan fungsi gen yangmenyebabkan penyakit dapat melibatkan
analisis pedigree atau analisis risiko spesifik pada populasi. Masalah kerahasiaan
merupakan hal yang penting untuk mencegah beban psikososial.
3. Penapisan genetik (Geneab screening)
Penapisan genetik bertujuan untuk mencari individu dalam populasi yang
mempunyai risiko atau kepekaan untuk menderita penyfit genetik (pembawa
sifat) sehingga berisiko untuk memperoleh anak yang menderita penyakit
genetik.
A44 26 Elih Penelition Kesehoton

4. Ujiprenatal
qi prenatal hanya dilakukan d"rrg* alasan medis yang kuat baik untuk
". rnu.rpon untuk ibu. Uji prenatal tidak boleh dilakukan hanya untuk
"n"k
menyeleksi jenis kelamin, kecuali bila ada kelainan kromosom X..
b. Uji prenatal dapat dilakukan untuk mempersiapkan orang tua secara
' prikologir bahwa anak yang lahir mungkin cacat atau menderita penyakit.
Pada beberapa kasus uji prenatal dapat dilakukan untuk melindungi kesehatan ibu,
terutama kesehatan mental pada korban perkosaan.
27
Prnuulllr lwnn Keooxrrmru/Kr*nlmn

Tuiuqn lnrtruhsionol Khurut


1. Menyebuthon heronghq dqn unsur-unsur moholoh ilmioh hedohterqn/
hesehqton.
2. Menguroihqn isitiop-tiop unsur podo mohqlqh ilmioh don ospeh
etihnyq.
3. Menyebuthon ospeh etiho podo publihosi mqholoh ilmioh.
Pohoh Bqhqrqn
1. Penulisqn mohqlqh ilmiqh hedohteron/hesehotqn.
2. Publihosi mqholoh ilmioh hedohteron/hesehoton.
tub-Pohoh Bqhqron
1. Tujuon penulison mqholoh ilmioh don publihosi.
2. Keronghq dqn unsur-unsur moholqh itmioh hedohterqnihesehotqn,
serto ospeh etihnyo.
3. Aspeh etiho publihosiilmiqh.
4. Contoh coro-coro penulison rujuhqn.

t96
4al 27 Penulison llmioh Kedohteron/Kesehotqn 197

Perkembangan serta timbunan ilmu pengetahuan yang sangat pesat dewasa ini
adalah berkat akumulasi hasil-hasil riset yang dipublikasikan serta kontribusi
ilmuwan-ilmuwan sebelumnya. Setiap peneliti berkewajiban membuat publikasi
hasil-hasil risetnya sehingga dapat dimanfaatkan oleh ilmuwan.-ilmuwan lain serta
masyarakat luas. Selain itu, peneliti akan memperoleh umpan balik untuk mem-
perbaiki atau menyempurnakan risetnya sekaligus menguji pendapat atau buah
pikirannya. '
Etik merupakan norma-norma atau nilai-nilai yang disepakati oleh sesuatu
kelompok tertentu masyarakat, umumnya kelompok profesi. Etik ditetapkan ber-
dasarkan ajaran agama, pandangan tokoh-tokoh , alau pafa pakar dalam bidangnya
dan lazimnya berkaitan dengan nilai moral. Bukanlah hal yang mudah untuk
memberikan batasan yang tegas mengenai etik karena dapat terjadi bahwa se-
seorang menganggap sesuatu hal dapat diterima secara etih namun orang lain
berpendapat hal itu bertentangan dengan etik. Walaupun demikian, masyarakat
ilmiah agaknya sepakat bahwa dalam penulisan dan publikasi ilmiah perlu diper-
hatikan butir-butir dalam kode etik.
Yang dimaksud dengan tulisan ilmiah kedokeran,/kesehatan ialah laporan hasil
penelitian dan makalah ilmiah yang dipresentasikan pada pertemuan-pertemuan
ilmiah atau akan dipublikasikan dalam majalah-majalah ilmiah kedokteran,/ke-
sehatan.

Kerqnghq don Unlur-Unlur Tulirqn llmiqh


Kerangka tulisan ilmiah lazirnnya sesuai dengan kerangka usul penelitian. Laporan
penelitian lebih lengkap dan lebih panjang dari makalah ilmiah.
Dalam suatu majalah ilmiah profesi kedokteran,/kesehatan, makalah biasanya
disajikan dengan urutan sebagai berikut.
1. Jndul (TIk)
2. Nama penulis (.4ut/to)
3. Nama institusi./tempat penelitian (Name of tlze Institution)
4. Abstrak (abstmctl
5. Pendahultan (Introduction)
6. Bahan/pasien dan cara ke4'a (Maten:als/pattents and metltods)
7. Hasil (Raul*)
8. Diskusi (Ducussion) q

9. Ringkasan (Sunmary)
10. Kesimpulan (Conc/ustbns)
11. Ucapan terima kasih (Ahnowledgemen*)
12. Daftar rujukan (Refrrenca)

tegi Etih dolqm Unrur-Unsur Tulirqn llmioh


1. Judul tulisan
Judul tulisan ilmiah haruslah singkat, tepat, logik dan informati{
mencakup
penelitian yang telah dilaksanakan. Jumlah kata dalam judul paling banyak
!2kata,kalau perlu dapat dipakai anakjudul. Tidaklah etis membesar-besarkan
198 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

judul, mencantumkanjudul yang umum dan sangat luas, padahal penelitiannya


sangat terbatas dan spesifik. Misalnya,judul yang dicantumkan adalah "Masalah
KB Susuk di Indonesia", sedangkan penelitiannya hanya berupa "Pengalaman
KB Susuk di RSU Lubuk Pakaml'
Nama penulis
Penulis dapat terdiri dari satu orang atau lebih.Jika lebih dari satu orang perlu
ditetapkan siapa penulis utama (autltor) dan siapa./siapa-siapa penulis penyerta
(co-aut/to). Penulis utama ialah seorang yang mencetuskan ide riset, memiliki
andil besar dalam riset itu, dan yang paling bertanggungjawab dalam menyusun
laporan atau makalahnya. Jadi, bukan seseorang yang senior dalam jabatan,
pangkat, atau umur. Penulis penyerta ialah seorang yang turut melakukan riset
dan membantu dalam menyusun laporan atau pembuatan makalah, atau se-
seorang yang bertindak sebagai sapentisor, pembimbing penelitian.Jadi tidak-
lah etis jika Direktur, Kepala Bagian, atau Profesor,/dosen senior ingin diy'adikan
penulis utama, sedangkan perannya kecil. Keikutsertaan seorang ilmuwan
terkenal kadang kala diperlukan untuk menjamin mutu riset, apalagi jika
peneliti masih muda dan belum mempunyai reputasi. Namun, tidaklah layak
ilmuwan terkemuka tersebut dijadikan sebagai penulis utama, sedangkan
fungsinya hanya sebagai konsultan. Kejujuran sangat penting diperhatikan
dalam pencantuman narna-narna penulis sehingga setiap orang yang namanya
tertera sebagai penulis, benar-benar mempunyai peranan dalam karya ilmiah
tersebut. Untuk laporan kasus, dianjurkan agar penulis dibatasi 4 orang.
3. Nama institusTtempat penelitian
Nama institusi yang dicantumkan biasanya tempat penulis bekerja yang dapat
digabungkan dengan tempat riset. Misalnya, Fhkultas Kedokteran USU,/RS
Dr. Pringadi Medan. Jika penulis lebih dari satu orang dan berbeda tempat
bekerj'anya, masing-masing dicantumkan nama institusi./tempat bekerjanya.
Ini biasanya pada proyek riset kolaboratif antara berbagai Perguruan Tinggl/
Lembaga Penelitian.
Abstrak
Dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris dengan maksimal 200kata.
Abstrak berisi secara singkat seluruh unsur makalah, terdiri dari judul,
nama./nama-nama penulis, narna institusi, tujuan penelitian, desain penelitian,
bahan/pasien, cara, hasil, dan kesimpulan. Secara singkat dapat dikatakan
bahwa komponen abstrak terdiri dari IMRAD (ntroduchbn, Metltods, Results
and Dtscasubn).
Di bawah abstrak biasanya dicantumkan kata kunci (hey uords), yutu
beberapa kata yang paling penting dan menonjol dalam makalah itu untuk
membantu penyusun indeks.
Pendahuluan
Dalam pendahuluan makalah, dicantumkan latar belakang masalah, termasuk
tinjauan pustaka, perumusan masalah, dan hipotesis fiika ada), semuanya
secara ringkas. Pada laporan riset yang lengkap bagian-bagian ini dibuat dalam
3a/ 2? Penulison llmioh Kedohteron/Keseho'ton

bab-bab tersendiri. Dalam tinjauan pustaka harus diperhatikbn agar kutipan-


kutipan dari penulis lain disertai rujukan. Penulis memiliki kewajiban moral
untuk memberikan penghargaan terhadap hasil-hasil riset orang lain sebelum-
nyayang dipakai untuk membantu riset sendiri. Tidaklah etis mengutip buah
pikiran atau pandangan peneliti lain tanpa mencantumkan sumbernya, apalagl
jika kutipannya panjang dan kata-katanya sama benar, hal ini berarti plagiat
(membajak, ;u'enttfc mrsconducfl. Menurut Undang-Undang RI No. 6 Thhun
1982 tentang Hak Cipta, pengutipan ciptaan pihak lain hanya sampai sebanyak
10%o saja yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta.

6. Bahan/pasien dan cara kerja


Dalam bagian ini diuraikan secara terinci bahan-bahan yang dipakai dalam
riset atau pasien-pasien yang dimasukkan dalam riset itu. Dalam uraian tentang
cara, dicantumkan denganjelas tahap demi tahap riset itu beserta prosedurnya.
Untuk suatu teknik pemeriksaan laboratorium yang telah baku cukup
dicantumkan nama alat yang digunakan dan metode yang telah dikenal oleh
para ilmuwan kedokteran pada umumnya, misalnya penentuan Hb dengan
metode Sahli. Untuk metede yang tidak lazim, ditulis secara rinci berikut
rujukan metode tersebut. Cara-carapengambilan sampel dan pengolahan data,
metode statistik dan maknanya, perlu pula dicantumkan dengan jelas, agar
dapat dinilai apakah kesimpulan yang diambil telah benar.
Hasil
Datayang disajikan di bagian ini hendaklah relevan, mendukung tujuan riset
dan hipotesisnya, serta tidak menyimpang dari judul, Penulis hendaknya
bersikap jujur dan objektif dalam mengajukan datanya, menggunakan data
yang benar, jangan mengarang-ngarang atau membuat data yang tidak ada
seolah-olah ada fabnbanbn of data) dengan tujuan tertentu dan jangan meng-
ubah data (falsrfcahbn of dotn) agar sesuai dengan keinginan peneliti, atau
sesuai dengan hipotesis. Tidaklah pula etis melaporkan hal-hal yang tidak
dilakukan dalam riset atau mengubah dalauntuk menyenangkan dan menarik
simpati para sponsor riset, Singkatan-singkatan yang dibuat haruslah sesuai
dengan anjuran S4tle Manualfor Brblogt'cal Su'ences, misalnya mm (millmete),
m (mete), mg (niiligram), kg (hilogram), kCal (hilocalon), ml (nilh'h'te) dan
I (liter).langan memulai kalimat dengan suatu bilangan numerik, tetapi tuliskan
dengan huruf, misalnyaS40/0, tuliskan Delapan puluh empat persen.
Thbel harus diketik 2 spasi. Nomor tabel berurutan sesuai dengan urutan
penyebutan dalam teks. Setiap tabel diberikanjudul dan setiap kolom diberi
subjudul singkat. Penjelasan ditempatkan pada catatan kaki, seperti singkatan
dalam tabel, dan hasil statistik.
8. Diskusi
Dalam bagian diskusi dibahas hasil-hasil riset penulis dibandingkan dengan
hasil-hasil peneliti lain. Perlu diperhatikan agar diskusi tidak melantur ke hal-
hal yang tidak berkaitan dengan masalah, tujuan riset dan hipotesis yang
diajukan. Rujukan sumber informasi harus dicantumkan setiap kali mengutip
200 Etiho Kedokteron don Huhum Kesehoton

hasil riset atau pendapat penulis lain. Dalam mengajukan pendapatnya, penulis
hendaknya tidak menonjolkan hasil riset sendiri dan menganggap rendah hasil
riset orang lain. Hal ini dapat dihindarkan dengan menggunakan kalimat-
kalimat pasif dan tidak memakai kalimat-kalimat aktif
9. Ringkasan
Ringkasan berisi pokok-pokok informasi tulisan ilmiah yang telah dibahas
secara singkat. Kalau abstrak bermanfaat bagi para pembaca yang belum mem-
baca tulisan lengkap, ringkasan mengutarakan kembali secara ringkas apayalg
telah ditelaah dalam tulisan lengkapnya. Tidak semua tulisan ilmiah memuat
ringkasan.

10. Kesimpulan
Kesimpulan yang diambil pada akhir tulisan ilmiah, hendaknya didukung oleh
data yang konkret, hasil riset penulis sendiri. jangan menarik kesimpulan
berdasarkan hasil riset.orang lain atau hasil tinjauan pustaka. Kesimpulan itu
harus pula berkaitan erat dengan penyelesaian masalah iiset dan dengan tegas
menyatakan mendukung atau menolak hipotesis yang diajukan.
11. Ucapan terima kasih
Bagian ini memuat pernyataan terima kasih kepada orang atau instansi yang
telah memungkinkan dilaksanakannya riset dan penulisan laporan atau
makalahnya. Tidaklah etis bila tidak menghargai bantuan pikiran, waktu,
tenaga, sarana, peralatan, bahan, dan dana dari pihak lain untuk riset penulis.

12. Daftar rujukan


Apa yang diuraikan dalam laporan riset atau makalah ilmiah yang berasal dari
sumber informasi hasil riset orang lain, haruslah dicantumkan rujukannya yang
akurat. Tidaklah etis jika pendapat seseorang dikutip di dalam teks laporan
atau makalah, tetapi tidak ada nama penulis atau sumber lain dalam daftar
rujukan. Begitu pula sebaliknya, tidaklah etis jika sumber informasi terdapat
dalam daftar rujukan, tetapi tidak terdapat kutipan apapun dari yang ber-
sangkutan di dalam teks. Sewajarnya pula rujukan yang dicantumkan itu
relevan dengan isi tulisan ilmiah yang disajikan dan benar-benar mendukung
uraian di dalamnya. Tidaklah etis mencantumkan begitu banyak rujukan yang
ternyata tidak terkait, bahkan tidak dibaca sama sdkali. Apalagr jika hanya
menyalin daftar rujukan dari makalah penulis lain yang makalahnya digunakan
sebagai rujukan.
Daftat rujukan yang dituliskan pada bagian akhir tulisan ilmiah itu hendak-
nya sesuai dengan pedoman yang berlaku. Pada waktu ini terdapat empat cara
penulisan rujukan, yaitu sistem nomor, sistem nama dan tahun publikasi
(Haruard), sistem kombinasi alfabet dan nomor, dan sistem Vancouzter (1978)'
Yang banyak digunakan dewasa ini ialah sistem Vancouzter karena cara
penulisannya lebih ringkas, yaitu tidak menaruhkan titik di belakang inisial
nama penulis dan setelah singkatan nama jurnal, serta titik dua setelah nama
penulis. Rujukan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam
keseluruhan tela, bukan menurut abjad.
84r' 27 Penulison ltmioh Kedohteron/Kesehoton 201

Nama penulis dimulai dengan nama keluarga, misalnya'nama orang tua


pada sukuJawa,'nama marga, nama ayah, nama suami, atau nama tunggal.
Gelar kesarjanaan tidak perlu dituliskan jika tidak diminta oleh sponsor atau
majalah ilmiah yang bersangkutan.
Nama-nama majalah ilmiah kedokteran sebagai referensi ditulis dengan
singkatan sesuai standar yanglazim digunakan mdex rnediczu, misalnya:
1. Am HeartJ adalah singkatan dari Amenlcan Heart Journal
2. BrJ Plast Surg adalah singkatan dari Bn'ttslz Journal ofPlarh:c Surgery
3. CanJ Microbiol adalah singkatan Canadian Journal ofMicrobrbhgt
4. Eur J Clin Pharmacol adalah singkatan dari European Journal of Cltnrcal
Plurmacologt
5. IntJ Cancer adalah singkatan dari Intemational Journal oif Cancer
6. Maj Obstet Ginekol Indones adalah singkatan dari Majalah Obstetri dan
Ginekologi Indonesia
7. Postgrad MedJ adalah singkatan dari Posgraduate Medrbal Journal

Setelah nama majalah dicantumkan tahun penerbitan, nomor volume,


halaman awal dan akhir setiap makalah.

Berikut adalah contoh-contoh cara menuliskan berbagai macam rujukan, sesuai


sistem Vancouzter
1) Artikel standar
Linjakumpu T, Harti Kainen S, Klaukka T . Ue oifmedtbahbn: andpolgharmaqt
are t:ncreasing among e Iderly. J of Chn ical Epidemio I og 2 002 5 5 :8 09- 1 6.
;

Bila jurnlah penulis lebih dari 6 orang, tulis nama 6 penulis pertama diikuti
et al, misalnya:
Parkin DM, Clapon D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al.
Childhood leuhcmia m Eurrpe alher Chemohyl: 5 yearfollou up. Br J Cancer
1996;73:1006-12
2) Organisasi sebagai penulis
American Society for Reproductive Medicine. Reaised Classtfcahbn of
Endometnbstj. Fertil Sten| 1997 ;67 :819 -20.
3) Thnpa nama penulis
Cancer in South Africa (Editorial) S Afr Med J 1994; B4:I5
4) Buku yang dihrlis oleh:
a. Perseoranga.n
Amir A. IImu Kedokteran Forensih Edisi III, cetakan III, Penerbit
Ramadhan, Medan,2004.
b. Editor
Norman IJ, Redfern SJ, Editors. Mental Heahh Care 1fir Elderly Petple,
New Yorh Churchill Livingstone; 1996
c. Organisasi
WHO Study Group.The hypertensive disorders in pregnancy In: WHO
Technical Report Series No. 758. World Health Organization, Geneva
1987.
2o.2 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehotcn

5) Bab dalam buku


Hanafiah MJ. Haid dan siklusnya, dalam Wiknyosastro H, Saifuddin AB,
Rachimhadi T (Editor) Ilmu Kandungan, Edisi kedua,Jakarta Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardj o, 1999 :t03-24
6) Prosiding dalam konferensi
Said U, Prarriono H, Dewata L. Dismenorea di lingkungan siswi SPK dan
bidan di Surabaya, dalam Saifuddin AB, Moeloek FA. Prosiding PIT POGI
I,Jakarta 28-27 Juni 1981:333-8.
7) Makalah dalam konferensi
Suwondo A. Gambaran klinik tuberkulosis paru pada manula. Simposium
Tuberkulosis pada manula, FKUI, Pendidikan Berkesinambungan Ilmu
Penyakit Dalam,Jakarta, 13 Oktober 1990.
8) Disertasi
Jacoeb TZ.Faktor imunoendokrinologis dan seluler lingkungan mikro zalir
peritoneal yang berperan pada infertilitas idiopatik wanita. Disertasi. Jakarta,
Universitas Indonesia, 8 Agustus 1990.
9) Artikel dalam Koran
Lee G. Hospitalizahlon h'ed to ozone pollution: study eshmates 50.000 annually,
Tlte Washr:ngton Post 1996 Jun 21, Secl A:3 (C01.5)
10) Materi elektronik
Clarke AM, Heck AM . A Duease ofDiagnostic and Therapeuhlc Contrsaersy (on
Iine), http:/ /www.uspharmacis t.com./ ce/ stevepsjohnson 4esson.cfrn diakses
tanggal 23 Maret2004.
11) Untuk materi yang belum diterbitkan, dirujuk sebagai unpublished obser
oahbn.
L2) Makalah yang telah diterima untuk publikasi, tetapi belum terbit, dapat
dituliskan "in presf', misalnya Leshner AL Molecu/ar mechanisms o1f cocatne
addicnbn. N Engl J Med. In press 1996
13) Komunikasi pribadi Q2ersonal communication) harus disebutkan nama sumber
dan tanggal komunikasi.
r4) Materi audiovisual
HIV + AIDS: the facts and the future (videocassette). St Louis (MO):
Mosby-Year Book, 1995
15) Jika pernyataanseorang peneliti dikutip dari makalah penulis lain, selayaknya
dituliskan sebagai rujukannya, "dalam X" atau "dikutip dari X" dalam tanda
kurung,
16) Abstrak
Jika hanya'labstrak" suatu makalah yang diperoleh, selayaknya dicantumkan
kata'Abstrak" dalam tanda kurung

Publlhqri
Salah satu prinsip dalam pengembangan Iptek adalah adanya penyebarluasan
hasil-hasil penelitian melalui presentasi di pertemuan-pertemuan ilmiah yang
diikuti selanjutnya dengan publikasi. Peneliti wajib berbagi informasi dengan
e4/ 27 penulison llmioh Kedohterqn/Kesehoton

sejawat-sejawatnya sekaligus memberi kesempatan dikritik oleh peneliti lain,


sehingga dapat menguji pendapat sendiri dan menghargai pendapat orang lain.
Umpan balik yang diberikan para sejawatnya merupakan sumbangan yang b erharga
untuk memperbaiki riset atau laporan,/makalah yang telah dibuat.
Dalam mempublikasikan hasil-hasil riset, hendaknya diperhatikan aspek etik
berikut.
1. Sebaiknya hasil riset dipresentasikan lebih dahulu di forum ilmiah untuk mem-
peroleh tanggapan, pembahasan, kritik dan saran-saran perbaikan sebelum
dipublikasikan.
2. Pemuatan ilustrasi, seperti gambar, tabel, atau grafik ying dikutip dari penulis
lain, sebaiknya minta izin dari pemiliknya jika dipersyaratkan demikian.
3. Pemuatan foto wajah seseorang haruslah seizin yang bersangkutan dan bagian
matanya harus ditutup, agar tidak dikenali.Jika yang ingin ditunjukkan penyakit
di sekitar bagian mata, tidak perlu ditampilkan seluruh wajahnya.
4. Pemuatan foto bayi, anak, dan orang dewasa yang menderita penyakit jiwa
harus ada izin orang tua/wali atau keluarganya.
5. Pada foto yang dimuat tidak dicantumkan nama pasien, baik lengkap maupun
singkatan dan nomor pendaftarannya.
6. Manusluip tidak dikirimkan ke lebih dari satu majalah sekaligus. Demikian pula
halnya dengan tulisan yang telah dimuat pada satu majalah, tidak dikirimkan
lagi ke majalah lain untuk dipublikasikan kembali.
Dmrln Purrlxl

1. Ameln F. Korelasi Hukum Kesehatan, Etik Kesehatan dan Kode Etik


Kedokteran, Majalah Gema No.25, 1981.
2. Ameln F, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya,l99l.
3. Amir A. Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Fakultas Kedoktean USU Medan
1 995.
4. Assi Ba'i ZA. Dokter, Bagaimana Akhlakmu, Gema Insani Press, Jakarta
1991.
5. Aswin S. Etika dalam Penelitian, dalam ljokronegoro A. Utama B, dan
Rukmono B. (Ed.) Dasar-Dasar Metodologi Riset Ilmu Kedokteran, Dep. P
dan K Konsorsium. Ilmu Kedoktera4 J akarta !9 81.
6. Azwar A. Profesi Kedokteran, Thntangan dan Harapan, Ikatan Dokter
Indonesia, Jakarta 19 9 l.
7. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Pedoman Cara Uji l(inik yang Baik
(CUKB) di Indonesia, Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial,
Jakarta 2001
8. Bagian Neurologi dan Psikiatri Fakultas Kedokteran UNAIR. Seksi Psikiatri
Etika dan Moral Kedokteran, Rangkaian Ceramah, $urabaya, 1967.
9. Bagian Hukum, Organisasi dan Humas Direktorat Jenderal Bina Pelayanan
Medik, Departemen Kesehatan R..I, Himpunan Peraturbn Perundang-
undangan di Bidang Pelayanan Medik, Jakart a, 200 6
10. Beauchamp TL, Children JF. Principles of Biomedical Ethics, Oxford
University Press, New York, Oxford 1979.
11. Bertens K. Perspektif Etika, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,200l.
12. Bertens K. Aborsi Sebagai Masalah Etika, PT Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta, 2002
13. Biben A. Alternatif: Bentuk Informed Consent Dalam Praktik Penelitian
Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS dr. Hasan
Sadikin, Bandung 2005.
14. Budiyanto A, Sudiono S, Purwadianto A, Kejahatan Seks dan Aspek
Medikolegal Gangguan Psikoseksual
15. Budiyanto A, WidiatmakaW, Sudiono S dkk.Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi
I, Cetakan Kedua, bagian Kedokteran Forensik FKUI,Jakarta,1997.

20,4
Doftor Pustoho 205

16. Chellilah DES. Legal Implication of Medical Practice. A Legal View dalam
Current Problem in Legal Medicine, A Publication ofThe Medicolegal Society
ofSingapore, 1981.
17. Cheng CT. Legal Implications of Medical Practicb. A medical View, dalam
Current Problem in Legal Medicine, A Publication ofThe Medicolegal Society
ofSingapore, 1981.
18. Council of International Organization of Medical Science International.
Guidelines for Etical Review of Epidemiological studies, Geneve, 1991.
19. Council for International Organization of Medical Sciences (CIOMS) in
collaboration with the World Health Organization 0A,TIO) International
Ethicals Guidelines for Biomedical Research Involving Human Subjects,
Geneva, 1993.
20. Council for International Organizations of Medical Sciences (CIOMS)
International Ethical Guidelines for Biomedical Research Involving Human

,t. i**"'"i:33:[?l?"m, Hukum Kesehatan Kedokteran (Sudut pandang


Praktikus), Editor Suharto G dan Prasetyo A, Bagian Ilmu Kedokteran Forensik
dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Diponegoro, Semarang 2004
22. Darmadiputra MS. Kajian Bioetik 2005, Cetakan 1, Unit Bioetik Fakultas
Kedokteran Univ. Airlangga, Surabaya, 2005
23. Departemen Kesehatan RI Peraturan Pemerintah RI Nomor 39 Thhun 1995
Tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, J akarta 199 B
24. Departemen Kesehatan RI, Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan.
Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan, Jakarta 2005.
25. Departemen Kesehatan RI, Himpunan Peraturan. Perundang-undangan
Bidang Kesehatan, Buku I, II, III, ry, V,Jakarta, 2006.
26. Departemen Kesehatan RI, Di{en PPM dan PLP. Petunjuk Pelaksanaan
Undang-undang Wabah (Himpunan Peraturan Perundang-undangEr Tentang
Penanggulangan KLB/W'abah Penyakit Menular), Edisi I, Jakart a 199 1.
27. Departemen Kesehatan RI, Dirjen PPM dan SLP. Petunjuk Pelaksanaan
Undang-undang Wabah (Himpunan Peraturan perundang-undangan Tentang
Penanggulangan KLB,/W'abah Penyakit Menular), Edisi II, Jakart a 799 4.
28. Dirjen Pelayanan Medis. Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Rekam Medis
Rumah Sakit. Depkes. RI,Jakarta 1990.
29. Dewan Pelindung Susila Kedokteran (Hanafiah MA, Ketua). Naskah Susila
Kedokteran, J akarta 19 69.
30. Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (PPM
dan PLM), Laporan Hasil Kegiatan Thhun 1995/l996,Jakarra,1996.
31. Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (PPM
dan PLM), Petunjuk Pelaksanaan Proyek-Proyek Daerah di Lingkungan
Thhun 199 6 / 1997, Jakarta 199 6.
32. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. ProceedingPertemuan Nasional [V
JBHKI (faringan Bioetika dan Humaniora Kesehatan Indonesia), Airlangga
University Press, 2006.
Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

33. Fuady M, Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum MalpraktikDokter), PT, Citra


Aditya Bakti, Bandung 2005.
34. Gunawan, Memahami Etika Kedokteran, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
1992.
35. GuwandiJ. Dokter dan Hukum. Monella,Jakarta 1988.
36. GuwandiJ. Dokter dan Rumah Sakit. Fakultas Kedokteran Ul,Jakarta 1991.
37. Guwandi J. Etika dan Hukum Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI, Jakarta
1991.
38. GuwandiJ. Malpraktik Medik. Balai Penerbit Fakulas Kedokteran UlJakarta
1993.
39. Guwandi J. Kelalaian Medik (Medical Negligence), Edisi II, Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Ul, J^karta L99 4.
40. GuwandiJ. 208 TanyaJawab Persetujuan Tindakan Medik (In1frnned Consen),
Edisi II. Fakulas Kedokteran Ul,Jakarta t994
41. Guwandi J. Merangkai Hospital Bylazus Rumah Sakit Anda dengan HBL
versi Indonesia, Fakultas Kedokteran UI,2004
42. Guwandi J, Hukum Rumah Salat (Hlvpttal Lau:), Fakultas Kedokteran UI,
Jil<arta2005.
43. GuwandiJ. Mediml Ermrdan Hukum Medis, Fakultas Kedokteran Ul,Jakarta,
2005
44. Hamdani N. Ilmu Kedokteran Kehakiman, Edisi Kedua, Cetakan I, PI
Gramedia,Jakafta L992.
45. Hanafiah MJ. Etik Penelitian Kesehatan, Penataran Tenaga Peneliti Tingkat
Lanjut, Universitas Sumatera Utara, Medan 3-8 Maret 1986.
46. Hanafiah MJ. Bunga Rampai Etika Kedokteran. USU Press, Medan 1991.
47. Hanafiah I\,{f, Amir A. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Edisi 3,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1999.
48. Hanafiah MJ. Sanksi Pelanggaran Etik dan Etikolegal Profesi Kedokteran, PIT
XI POGI, Semarang 1999.
49. Hanafiah MJ. Keterkaitan aspek etik, hukum dan sosial dengan aborsi, bayi
tabung dan adopsi. Seminar Ikatan Bidan Indonesia, Medan 2000,
50. Hanafiah MJ. Unsur bisnis memasuki profesi kedokteran. Quo Vadis Etika
kedokteranl Seminar Etika, l]ltah RS Santa Elisabeth Medan, 7 Oktober
2000.
51. Hanafiah MJ. Kedudukan, fungsi dan komponen Komite Etik Penelitian
Kesehatan, Seminar Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran USU,
Medan 2001.
52. Hanafiah MJ, Amir A, Syamsul Bahri T dan Suwarto. Abortus ditinjau dari
sudut pandang Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Seminar "Abortus
yang Tidak Aman", Medan 24Maret200l.
53. Hanafiah MJ. Pembinaan Kerja Sama Tim Kesehatan Berlandaskan Etika
Profesi, Seminar Kolegialitas dalam Pelayanan Kesehatan, HUT Fakultas
Kedokteran USU ke-50, Medan 9 Agustus, 2002.
Doftor Pustohq

54. Hanafiah MJ, Kurikulum Bioetika, Hukum Kesehatan dan Humaniora Flakultas
Kedokteran USU, Pertemuan Nasional ll Bioetika dan Humaniora, Bandung
31 Oktober- 2 Nopember 2002.
55, Hanafiah MJ, Beberapa Isu Bioetika dalam Obstetri dan Ginekologi, Pidato
Ilmiah Purnabakti Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran USU, Medan
2003.
56. Hanafiah MJ. Aspek Etik Penelitian Kerja Sama Internasional Bidang
Kesehatan, Rakernas Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan, Jakarta,
2005.
57. Hanafiah N4J, Etika Terapan Profesi Kedokteran, Seminar "Medical Ethics
incorporate with Medical Law, Health and Human Right," Medan, 22 Juli
2006.
58, Hanafiah N4J. Sekali lagi: Pentingnya Irformed Consent dalam Penelitian
Kesehatan, Pertemuan Nasional IV Bioetika dan Humaniora, Surabaya, 29
Nopember - 2 Desember 2006.
59. Hanafiah MJ. Tingkat Perkembangan Pendidikan dan Pengajaran Etika
Kedokteran Saat ini, Seminar Etik Ilmu Pengetahuan, Komisi Ilmu Kedokteran;
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta 2006.
60. Hasil Seminar Rekam Medis dan Informasi Kesehatan, PORMIKI Daerah
Sumatera Utara, Medan 1990,
61. Herkutanto. Penerapan Etik dan Aspek Medikolegal di Rumah Sakit, Dirjen
Pelayanan Medik, Depkes, RI, 1994.
62. Heuken A, Ensiklopedi Etika Medis. Yayasan Cipta toka Caraka, Jakarta
1979
63, Husein K. Segi-segi Etis dan Yuridis lrfonncd ConsenL Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta 1993,
64. Ikatan Dokter Indonesia Pengurus Besar. Surat Keputusan Pengurus Besar
Ikatan Dokter Indonesia No. 221/PB / A.4/ 0 4/2002 tentang Penerapan Kode
Etik Kedokteran Indonesia, MKEK IDI,Jakarta, 2002.
65. Isfandyarie A. Malpraktik dan Risiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana,
Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta 2005.
66. Isfandyarie A. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, Buku I,
Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta 2006.
67. Isfandyarie A, Afandi F, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter,
Buku II, Prestasi Pustaka Publisher,Jakarta 2006.
68. Jonsen AR, Siegler M, Winslade WJ, Clincal Ethics. Third edition. McGraw-
Hill, Inc, New York, 1992.
69, KansilCTS. Pengantar Hukum Kesehatan Indonesia. Rinekaapta 1991.
70. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI), Perhimpunan Rumah Sakit
Seluruh Indonesia,2001
71. Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan RL Pedoman Nasional Etik
Penelitian Kesehatan, Suplemen I, Etik Pemanfaatan Bahan Biologik Tersimpan
@BT),Jakarta2006
Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

72. Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan RL Pedoman Nasional Etik


Penelitian Kesehatan, Suplemen II, Etik Penggunaan Hewan Percobaan,
Jakarta2006
73. Laporan Hasil Rakernas I dan Kumpulan Makalah Seminar Nasional I dan
Rakernas I PORMIKI.Jakarta, Agustus 1993.
74. LeiboJ. Bunga Rampai Hukum dan Profesi Kedokteran Dalam Masyarakat
Indonesia. Liberty, Yogyakarta 1985.
75. Loisell DW. and Williams H. Medical Malpractice Vol. I Matthew Bender,
New York 1986.
76. Lubis HR, Amir A, Lubis K, Dalimunthe F, (Ed.) tansplantasi Organ Tubuh
Manusia. PERHUKI Wilayah Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara,
Medan 1992.
77. Maertens G, de Wachter M, Bone E, Harvey SC, Bertens K. Bioetika, Refleksi
atas Masalah Etika Biomedis, Penerbit PT. Gramedia,Jakarta.
78. Mardiono M, Loedin AA, Rukmono B, Husin DM, Hanafiah MJ. Pandangan
tentang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kedokteran Indonesia, Akademi
Ilmu Pengetahuan Indonesia, Komisi Bidang Ilmu Kedokteran, Jakarta, 1995.
79. Martowg-ono dkk., Informed Consent. Forum Diskusi R.S. PertaminaJakarta
bekerja sama dengan Fak. Hukum Ul,Jakarta 1991.
80. Menteri Kesehatan R.I. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1333,/Menke s/ SK/X/2002 tentang Persetujuan Penelitian Kesehatan
Terhadap Manusia.
81. Perhimpunan Dokter Kesehatan Kerja Indonesia. Kode Etik Dokter Kesehatan
Ke{a,Indonesia, Prigen, 16 Nopember 1995.
82. Perhimpunan Profesional Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Indonesia
(PORMIKI), Laporan Hasil Keputusan Kongres l,Jakafia 1992.
83. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Kode Etik POGI, Jakarta
2002.
84. Pertemuan Ilmiah Tentang Hukum Kedokteran, diselenggarakan oleh
PERHUKI. IDl, dan PERSI, Medan 1986.
85. PraktiknyaAW., Sofro ASM.Islam, Etika dan Kesehatan, CV. EkoJaya,Jakarta
1986.
86. Purwanto AP, Hadijanto BT, Wijaya I. Pedoman Penyelenggaraan Praktik
Dokter, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang 2006.
87. Samil, RS., Kode Etik Kedokteran Indonesia. Bagian Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UI, Jakarta 1980.
88. Samil RS. Rekomendasi dan Pandangan mengenai etik terutama dalam
bidang-bidang reproduksi manusia. Makalah Mimbar 1985, Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Ujung Pandang, TJuli 1985.
89. Samil RS. Etika Kedokteran Indonesia, edisi kedua, Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, Jakarta 200t. .

90. Samil RS. Masalah Bioetik dalam Rekayasa Genetika Kedokteran, Pertemuan
Nasional II Bioetika dan Humaniora. Bandung 31 Oktober - 2 Nopember
2002.
Doftor Pustoho 209

91. Samsuhidayat S.S. Review Peraturan Perundang-undangan Mengenai Etik


Kesehatan, Raker VI Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan, Jakarta, ll
Mei 2005.
92. Sastroasmoro S. Logika dalam Kedokteran: Dari Hippocrates, Ibnu Sina,
hingga Wacana "Evidence Base Medicine", Pidato pada Upacara Pengukuhan
Sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Kesehatan Anak pada Fakultas
Kedokteran Univ. Indonesia, Jakarta 2000.
93. Sastrowi;'oto S, Padmawati RS, Mahardinata NA, Sasongko TH (ed).
Proceeding Bioethics 2000. an International Exchange, First Edition Center
for Bioethics and Medical Humanities, Yogy?ka;rta,2002.
94. Satrio. TitikrTitik Terang dalam Profesi Kedokteran di Indonesia, Cermin
Dunia Kedokteran, 1980.
95. Senoaji O. Tbnggung Jawab Dokter dan Aspek Hukum. Temu Ilmiah V
PERHUKI Wilayah Sumatera Utara Medan.
96. Shannon TA. An Intoduction to Bioethics (Pengantar Bioetika); diterjemahkan
oleh Bertens K. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta,2}AL
97. Sing KT, Rahasia Pekel'aan Dokter dan Advokat, PT Gramedia, Jakarta
t978.
98. Soekanto S. Segi-segi Hukum Hak dan Kewajiban Pasien, dalam Kerangka
Hukum Kesehatan, Mandar Maju, Bandung, 1990.
99. Sri Oeniijati dkk., Pedoman Penelitian Kedokteran Indonesia, Fakultas
Kedokteran UI, Jakarta 19 87.
100.Sri Oemyati dkk. Kode Etik Penelitian Kedokteran, Fakultas Kedokteran UI,
Jakarta 1982.
101.Subiyanto. Etika dalam Teknologi Reproduksi Buatan. Pertemuan Nasional II
Bioetika dan Humaniora, Bandung, 31 Okt - 2 Nov. 2002.
102. Subpokja Pengobatan dan Perawatan Komite Nasional Penanggulan gm HN /
AIDS, Pedoman penatalaksanaan, Perawatan, Pengobatan dalam Rangka
Penanggulangan AIDS. Depkes. F.I, Jakarta 1997.
103.Suma'mur P.K. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Ke{a. CV. Haji Masagung,
Jakarta 1992.
l04.Suparto P, Hariadi R, Daeng HB, Sukanto H, Annaningsih HA. Etik dan
Hukum di Bidang Kesehatan, Komite Etik Rumah Sakit, RSUD Dr. Sutomo,
Surabaya 2001
105.Supriadi. Hukum Lingkungan di Indonesia, Sebuah Pengantar, Sinar Grafika,
Jakarta,2004.
106.Syamsul Bahri T, Beberapa Aspek Hukum dari tansaksi Terapetik antara
Pasien dan Dokter, Pertemuan Ilmiah Tentang Hukum Kedokteran, Medan
1986.
107. Tirhir T, Medical Ethics, Manual Praktis Etika Kedokteran untuk Mahasiswa,
Dokter dan Tenaga Kesehatan, PT, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta2\\3
108.Tengker F, Mengapa Eutanasia?, Kemampuan Medis dan Konsekuensi Yuridis,
Penerbit Nova, Bandung1990.
109. The American College ofObstetricians and Gynecologists. Ethics in Obstetrics
and Gynecology, Washington DC, 2002.
Etlho Kedohteron don Huhum Kesehoton

ll0.Tjokronegoro A, Baziad A. (Ed.) Penelitian Obat tadisional, Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia, Jakafta, 1992,
111.Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, CV EkoJaya,
Jakarca L992.
112.Undang-undang Republik Indonesia No. 29 Thhun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, 2004.
113.Van der Mijn WB.Issues on Health Law. Temu Ilmiah PERHUKI dan IDI
, s€rto BPHN,Jakarta 1986.
114.Vaux K. Biomedical Ethics, Morality for the New Medicine, Harper and Row
Publishers, New York, 1976.
115.Vayena E, Rowe PJ, Griffin PD (ed). Current Practices and Controversies In
Assisted Reproduction, World Health Organization, Geneva, 2002.
116.WalterJK, Klein EP (Editors);The Story ofBioethics, Georgetown University
Press, Washington DC, 2003.
117. Wasisto B. Etika dalam Pemanfaatan/Terapan IImu Kedokteran, Rapat
Lengkap Akademi IImu Pengetahuan Indonesia Komisi Bidang IImu
Kedokeran, J akarta, 2 Desember 2 005
118.Wibisana W. Etika Dokter Kesehatan Kerja, PDKI,Jakarta'
119.Widjaya G, Yani A. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta 2000.
l2O.Wikonyosastro H. Segi-segi Etika Kedokteran dan Beberapa Aspek Hukum,
'1985,
Khususnya di Bidang Obstetri dan Ginekologi, Makalah Mimbar
Yayasan Bina Pusaka Sarwono Prawirohardjo, Ujung Pandang 7Juli, 1985.
121.World Health Organization. Indigenous People dan Participatory Health
Research, Planning dan Management, Preparing research agreements, Geneve,
2005.
122.World Health Organization. Operational Guidelines for Ethics Committee
that Review Biomedical Research, Geneva 2000. .
123,Yusuf I. Etik Riset Genetik, Raker Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 2007.
Conron toll.foal Ulnn
Enxa KrooxrERAN DAN Huxutrt Krsennmu

I. Pilihlah satu jawaban yang benar dengan mencanturnkan satu huruf


abjad di lembar jawaban.
1. Etika kedokteran mempunyai ciri-ciri berikut, KECUALI:
A, Tidak jelas benar mana yang boleh dan mana yang tidak boleh
B. Berlaku untuk umum
C, Tidak tercantum dalam undang-undang
D. Jika terjadi pelanggaran, sanksi formilnya belum ada
E. Bukti-bukti tentang pelanggaran etik, sering susah sekali diajukan,
2. Yang TIDAK merupakan kewajiban dokter terhadap pasien ialah;
A. Kewajiban melindungi hidup makhluk insani
B. Kewajiban memegang teguh rahasia jabatan
C, Kewajiban memperlakukan teman sejawat sebagaimana diri sendiri
ingin diperlakukan
D. Kewajiban yang berhubungan dengan standar profesi medik
E. Semua yang disebut di atas benar
3. Seorang dokter dapat memberikan surat keterangan berikut ini kepada
pasien, KECUA|,I:
A. Suratkelahiran/kematian
B. Vsum et Repertum
C. Surat kesehatan untuk nikah
D. Surat keterangan cuti hamil
E. Bukan salah satu yang disebut di atas
. 4. Pernyataan tentang pengguguran kandungan (tgrminasi kehamilan) atas
indikasi medik terdapat dalam:
A. Deklarasi Geneva (1948)
B. Deklarasi Helsinki (1964)
C, Kode Neurenberg (1947)
D. Deklarasi Oslo (1970)
E. Deklarasi Sydney (1968)
5. Pernyataan tentang riset klinik dicantumkan dalam:
A. Deklarasi ry'atikan
B. Deklarasi Helsinki
C. Deklarasi Tokyo
D. Deklarasi Sydney
E. Deklarasi Geneva
211
212 Etiho Kedohteron don Huhum Ketehoton

6. Hak-hak pasien adalah semua tersebut di bawah ini, KECUALI:


A. Memperoleh pelayanan yang manusiawi
B. Memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi terhadapnya
C. Dirujuk kepada dokter spesialis jika ada indikasi
D. Semua mengenai penyakitnya diperlakukan sebagai rahasia pekery'aan .

dokter
E. .Menolak untuk ikut dalam penelitian.
7. Blla dokter telah mendapat surat izin praktik, pada waktu menerima pasien
dan menyetujui untuk mengobatinya secara hukum sesungguhnya telah
terjadi:
A. Persetujuan perikatan
B. Perjanjian hubungan pasien
C. tansaksi terapeutik
D. Ikatan hubungan dokter-pasien
E. Semua yang disebut di atas benar
8. Beberapa hak yang dimiliki dokter antara lain:
A. Memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasien
B. Menolak tindakan medik yang bertentangan dengan hukum, aga,ma
dan etik
C. Ketentraman dalam bekerja
D. Mengikuti pendidikan kedokteran berkesinambungan
E. Semua yang disebut di atas benar
9. Undang-undang RI No. 23 Tirhun 1992 adalah undang-undang tentang:
A. Malpraktik
B. Rekam Medis
C.
Persetujuan Tindakan Medik
D.
Kesehatan
E.
Bukan salah satu yang disebut di atas
10. Dalam pelayanan kesehatan dokter harus belpegang pada:
A.
Kode etik profesi
B.
Lafal sumpah dokter
C. Ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku di bidang kesehatan
D. Jalinan komunikasi yang baik dengan pasien dan keluarga
E. Semua yang disebut di atas benar
11. Prinsip mendahulukan kepentingan pasien dari kepentingan diri sendiri di
bidang kesehatan dikenal sebagai:
A. Beneficence
B. Primum non-nocere
.C. Altruism
D. Autonom
E. Justice
12. Seorang dikatakan menjalankan suatu profesi bila mempunyai ciri-ciri,
KECUALI:
A. Mendapatkan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan yang
intensifdan ekstensif
Contoh Sool-Sool Ujion Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton 213

B. Mempunyai kode etik profesi


C. Para anggotanya bergabung dalam ikatan profesi
D. Berpegang teguh pada prinsip efektif dan efisien
E. Semua yang disebut di atas benar
13. Tujuan riset kedokteran adalah yang termasuk di bawah ini, KECUALI:
A. Menemukan obat/alat kedokteran baru
B. Menguji kebenaran suatu teori
C. Mengembangkan penatalaksanaan perawatan/pengobatan
D. Memenuhi kepentingan sponsor
E. Mengembangkan alat-alat kedokeran
14. Pengertian sehat dalam Undang-undang RI No. 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan adalah, KECUALI:
A. Bebas dari penyakit
B. Bebas dari gangguan jiwa
C. Dapat bergaul baik dengan masyarakat
D. Dapat hidup produktif secara ekonomi
E. Bukan salah satu yang disebut di atas
15. Dalam rangka mewujudkan kesehatan yang optimal bagi masyarakat, pe-
merintah menerbitkan beberapa ketentuan hukum, antara lain:
A. Undang-undang RI. No. 23 Thhun 1992 tentang Kesehatan
B. Permenkes No. 585 Thhun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik
C. Permenkes No 749a Thhun 1989 tentang Rekam Medis
D. Undang-undang RI. No. 29 Thhun 2004 tentang Praktik Kedokteran
E. Semua yang disebut di atas benar
16. Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ditujuk4n
untuk:
A. Memberikan perlindungan kepada penerima pelayanan kesehatan
B. Memberikan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesehatan,
dokter dan dokter gigi
C. Memberdayakan organisasi profesi
D. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan '
E. Semua yang disebut di atas benar
17. Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk:
A. Memberikan perlindungan kepada penerima pelayanan medis
B. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang
diberikan oleh tenaga kesehatan
C. Memberikan kepastian hukum kepada penerima dan penyelenggara
pelayanan medis
D. Hanya A dan B yang benar
E. Semua yang disebut di atas benar
18. Konsil Kedokteran memiliki tugas-tugas tersebut di bawah ini, KECUALI:
A. Melakukan registrasi tenaga medis
B. Melakukan penapisan terhadap Iptek kedokteran baru yang akan di-
terapkan di Indonesia
C. Menetapkan standar profesi kedokteran
Etlho Kedohteron don Huhum Kesehotqn

D. Melakukan pembinaan terhadap penyelenggara praktik kedokteran


E. Semua yang disebut di atas benar
19. Wewenang Konsil Kedokteran Indonesia adalah yang disebut di bawah ini,
KECUALI:
A. Menyetujui dan menolak permohonan registrasi
B. Menerbitkan dan mencabut surat tanda registrasi
C. Menjatuhkan sanksi hukum kepada dokter dan atau dokter gigi
D. Mengesahkan standar kompetensi dokter dan doker gigi
E. Mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi
20. Pernyataan yangbenar mengenai Surat lzin Praktik adalah yang disebut di
bawah ini, KECUALI:
A, Setiap dokter dan doker grgr yang melakukan praktik kedokterdn di
Indonesia harus mempunyai surat izin praktik
B. Dokter yang sedang menjalani pendidikan spesialisasi tidak memerlukan
izin praktik
C. Surat izin praktik adalah bukti tertulis yang diberikan badan yang
berwenang setelah memenuhi persyaratan
D. Surat izin praktik hanya dapat dilaksanakan untuk 3 tempat prakti(
termasuk di rumah sakit/puskesmas
E. Semua yang disebut di atas benar
21. Dalam Undang-undang Praktik Kedokteran, mengenai Rekam Medis diatur
hal sebagai berikut, KECUALI:
A. Setiap praktik harus memiliki rekam medis
B. Setiap catatan dalam Rekam Medis harus dibubuhi nama, waktu dan
tanda tangan dokter yang memberikan pelayanan atau tindakan.
C. Rekam Medis dapat diisi sesudah dokter mempunyai waktu untuk
menulisnya.
D. Isi Rekam Medis merupakan milik pasien
E. Semua yang disebut di atas benar.
22. Prinsip etika kedokteran adalah semua tersebut di bawah ini, KECUALI:
A. Berbuat yang terbaik (bmeficencQ
B. Tidak merugikan (non malefcence)
C. Keadilan (/^h'ce)
D. Menghormati otonomi dokter
E. Bukan salah satu yang disebut di atas
23. Peran dan tanggungjawab Komisi Etik Penelitian Kesehatan adalah sebagai
berikut, KECUALI:
A. Melindungi martabat, hak, keselamatan dan kesejahteraan subjek pe-
nelitian
B. Memenuhi [einginan sponsor dan pimpinan lembaga
C. Menelaah protokol, risiko, kerahasiaan dan privacy subjek
D. Memantau dan mengevaluasi waktu penelitian sedang berjalan
E. Tidak seperti tersebut di atas
24. Prinsip memperoleh persetujuan setelah peqjelasan @SP) pada penelitian
kesehatan sebagai berikut, KECUALI:
Contoh Sool-Sool Ujion Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton 215

A. Telah mendapat penjelasan dalam bahasayangdimengerti calon subjek


tanpa dipaksa dan diintimidasi
B. Telah diberi cukup waktu untuk mengambil keputusan
C. Yang memberi penjelasan mengerti penelitian dan sebaiknya seorang
peneliti
D. Diberikan lisan atau tertulis dan tidak memerlukan saksi
E. Perlu diulangi, kalau terjadi perubahan atau penelitian berjangka
panjang.
25. Penelitian kesehatan pada hewan perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip
berikut, KECUALI:
A. Prinsip Reduction, RelZnenment, atau Replacement (3R)
B. Cara pembunuhan yang manusiawi, dengan mengurangi rasa nyeri dan
kesusahan
C. Sembarang hewan boleh digunakan asal mudah didapat
D.Keseimbangan manfaat dan risiko
E.Bukan salah satu yang disebut di atas
26. Malpraktik medik, mengandung salah satu unsur berikut, KECUALI:
A. Dokter melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum.
B, Dokter melakukan tindakan medik di bawah standar.
C. Pasien cacat ataumeninggal dunia
D. Dokter melakukan kelalaian ringan
E. Dokter melakukan kesalahan prosedur operasional yang mengakibatkan
kerugian
27. Tenaga medis yang telah melakukan registrasi mempunyai wewenang
sebagi berikut, KECUALI:
A. Memeriksa fisik dan mental pasien
B. Menulis resep dan menyerahkan semua obatnya
C. Melakukan tindakan medis
D. Menggunakan alat kesehatan
E. Menerbitkan surat-surat keterarigan tentang sehat, sakit atau kecacatan
fisik
28. Pengungkapan rahasia pasien hanya dapat dilakukan berdasarkan:
A. Ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
B. Perintah hakim di sidang pengadilan
C. Kepentingan umum
D. Persetujuan pasien
E. Semua tersebut di atas benar
29. Alasan pasien atau keluarga mengajukan tuntutan terhadap tenaga medis
karena dugaan malpraktik adalah:
A. Melakukan perbuatan asusila
B. Melakukan aborsi tidak atas persetujuan pasien
C. Menolak menolong pasien tanpa alasan yangjelas
D. Dokter pengganti tidak memiliki SIP
E. Semua tersebut di atas benar
216 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

30. Upaya menghindari malpraktik adalah sebagai berikut.


A. Beke{a profesional berlandaskan etik profesi
B. Mematuhi peraturan perundang-undangan
C. Berpedoman pada standar pelayanan medik
D. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien
E. Semua yang disebut di atas benar.
31. Ten4ga kesehatan perlu memahami hukum kesehatan agar:
A. Mengetahui aspek hukum dalam pelayanan kesehatan yang dilakukan-
nya
B. Memperkuat benteng terhadap tuntutan yang mungkin timbul
C. Lebih yakin diri dalam menjalankan profesi
D. Menjalankan proGsi sesuai peraturan dan ketentuan hukum
E. Semua yang disebut di atas benar
32. Hal-hal yang tersebut di bawah ini adalah kewajiban dokter, KECUALI:
A. Kewajiban yang berhubungan dengan standar profesi medik
B. Kewajiban yang berhubungan dengan hak-hak pasien
C. Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial dari pemeliharaan
kesehatan
D. Kewajiban melakukan semua pelayanan kesehatan sesuai permintaan
pasien
E. Bukan salah satu yang disebut di atas
33. Rahasia kedokteran hanya dapat dibuka untuk hal-hal berikut, KECUALI:
A. Memenuhi permintaan aparatur penegak hukum
B. Kepentingan kesehatan pasien
C. Menjalankan ketentuan perundang-undangan
D. Memenuhi permintaan Perusahaan Asuransi Kesehatan setelah disetufui
pasien
E. Untuk pendidikan kedokteran walaupun pasien tidak setuju
34. Pernyataan mana tentang RM yang tidak benar:
A. Pemaparan isi RM hanya boleh dilakukan oleh dokter yang merawat
pasien dan seizin pasien
B. Pimpinan sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas rusak
dan pemalsuan RM
C. Pimpinan sarana kesehatan dapat memaparkan isi RM tanpaizinpasien
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
D. Pembetulan kesalahan dapat dilakukan dengan mencoret bagian yang
salah dan memberi paraf
E. Kesalahan isi RM dapat dibaiki dengan melakukan penghapusan.
35. Setiap kasus di klinik yang kental aspek etiknya perlu dipertimbangkan hal-
hal berikut dalam mengambil keputusan tindakan mediknya.
A. Indikasi medik.
B. Pilihan pasien
C. Kualitas hidup
D. Gambaran kontekstual
E. Semua yang disebut di atas benar
Contoh Sool-5ool Ujion Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

36. Standar pelayanan medik adalah:


A. Menyangkut aspek prosedur
B. Mengatur prosedur operasional yang dibakukan organisasi profesi
C. Tetap berlaku di sarana pelayanan kesehatan selamalamanya.
D. Untuk melindungi masyarakat dari praktik di bawah standar
E. Pedoman pengawasan dan peningkatan mutu.
Englirh tection
37. Which statement with regard to ethics is {blse
A. Ethics and law share the same purpose i'e peace and harmony in
society
B. The word ethics originates from word "ethos" which means upliftment
of the spirit
C. Ethics constitute professional norms in providing service to society
D. Medical ethics is the oldest form of professional ethics in the world
E. Not any of the above
38. All the below are patient's rights, except:
A. The right to receive humane treatment
B. The right to receive information regarding the diagnosis and treatment
C. The right to be referred to specialists as indicated
D. All things regarding his illness are considered a secret matter
E. The right to refuse in research
39. A doctor has the responsibilities written bellow, except:
A. To make the health of his patient his prime concern
B. Should be careful in announcing new findings in the field of medicine
C. Places importance on truth and honesty
D. Do not need to give a complete medical treatment
E. Understand the teamwork involved in working with other related
bodies.
40. Informed Consent given by the patient from his behavior (following doctor's
advice) is
A. Directly giving consent
B. Inderectly giving consent
C. Express consent
D. Implied consent
E. Not one ofthe above
II. Tirliskan S jika pernyataan Salah; B jik" pernyataan Benar
41. Dalam tiap-tiap Negara ada Undang-undang yang melarang melakukan
abortus.
42. Pasien TIDAK berhak memperoleh penjelasan tentang diagnosis, prosedur
pengobatan dan prognosis penyakitnya, karena jika diketahuinya, pasien
akan gelisah.
43. Pasien harus mengikuti uji coba klinik, karena hasil penelitian tersebut akan
dimanfaatkan untuk kepentingan umum.
218 Etiho Redohteron don Huhum Kesehcton

44. Seorang dokter dapat dituntut di depan pengadilan jika tejadi sesuatu kom,
plikasi pada pasiennya, walaupun ia telah memeriksa pasiennya dengan
teliti dan sesuai dengan prosedur.
45. Rekam medis seorang pasien merupakan rahasia yang perlu dilindungi.
46. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
kemanusiaan.
47. KODEKI d{1'abarkan dari Sumpah Hippokrates, Deklarasi Geneva (1948)
dan Lafal Sumpah Dokter Indonesia (1960).
48. Hukum bertujuan untuk ketertiban dan ketenteraman masyarakat, sedang-
kan etika kedokteran hanya untuk ketertiban dan ketentraman hubungan
dokter dengan pasien.
49. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) adalah suatu badan bertanggungjawab
langsung kepada Presiden.
50. KKI memutuskan melakukan pencatatan atau tidak terhadap tenaga medis
yang dikenakan sanksi oleh organisasi profesi karena melanggar ketentuan
etika profesi.
51. Untuk Sertifikasi dan Registrasi Tenaga Medis diperlukan f'azah dokter.
52. Karena pasien mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri (self
deterwmatnn), ia berhak untuk memilih dilakukan eutanasia.
53. Eutanasia aktif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala
tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan kehidupan
manusia.
54. Bila pasien menjadi cacat atau meninggal dalam pelayanan kesehatan, itu
merupakan indikasi telah terjadi suatu malpraktik.
55. Pengungkapan rahasia pasien dapat dilakukan tanpa persetujuan pasien,jika
ada perintah hakim di sidang pengadilan.
56. Yang dimaksud dengan Persetujuan Tindakan Medik hanyalah persetujuan
tertulis seperti yang terdapat dalam Surat Izin Operasi (SIO).
57. Dokter boleh merujuk pasien kepada dokter lain tanpa persetujuan pasien
atau keluarga, untuk kepentingan pasien.
58. Untuk menyelamatkan jiwa pasien yang tidak sadar tanpa keluarga, tidak
diperlukan PTM
59. Menurut UUPK tahun 2004 kasus dugaan malpraktik dapat diadukan ke
MKDKI, boleh langsung ke Penyidik atau kepada kedua badan ini.
60. Unsur bisnis yang merusak profesi kedokteran akhir-akhir ini merupakan
tindakan tidak etis karena pada hakikatnya honorarium dokter diterima
dengan rasa penuh kehormatan (ltonorable).
61. Salah diagnosis tidak merupakan malpraktik medik jika prosedur dan
standar pelayanan kedokteran dalam suatu kasus telah dilakukan dengan
seksama.
62. Etik klinik merupakan etika terapan untuk mengenal, menganalisis dan
menyelesaikan masalah etik dalam pelayanan klinik.
63. Dalam menangani kasus-kasus di klinik setiap dokter harus berupaya dengan
sungguh-sungguh untuk mempertahankan hidup insani, tanpa memper-
hitungkan kualitas hidup (gualiry ofhfr) pasien seterusnya.
Contoh Socl-Sool Uiion Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton 219

64. Dokter dapat menggunakan hak undur diri sebagai saksi ahli di sidang
pengadilan bila berkaitan dengan rahasia pasien yang perlu dilindunginya.
65. Orang dikatakan telah mati bila dapat dibuktikan telah terjadi mati batang
otak yang dibuktikan {engan pemeriksaan elektroensefalografi dan tidak
terjadi denyut jantung dan pernapasan spontan.
66. Dalamrangka transplantasi tubuh manusia, saat mati donor dapat ditentukan
oleh dokter yang merawat pasien.
67, Penelitian kesehatan pada hewan tidak memerlukan persetujuan Komisi
Etik.
68. Pada masa sekarang tenaga kesehatan perlu memahami hukum kesehatan
supaya dapat menghindari malpraktik.
69. Peraturan internal Rumah Sakit harus dibuat oleh tiap-tiap Rumah Sakit.
III. Cocokkan soal-soal berikut ini dengan jawaban yang tercantum di
bawahnya
A. Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik,
pasal 11
B. Hukum Kesehatan
C. Malpraktik Perdata
D. Malpraktik Etik
E. Peraturan Pemerintah No. 10 Thhun 1966.
70. Pelanggaran terhadap KUH Perdat
71. Tidak merlukan surat izin operasi
72. Pelanggaran KODEKI dan lafal sumpah dokter
73. Ketentuan hukum yang berkaitan dengan pemeliharaan dan pelayanan
kesehatan
74. Peraturan pemerintah tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran
A. Tindakan kriminal
B. Tiansaksi terapetik
C. MKEK,/P3EK
D. Malpraktik Pidana
E. Sanlai pelanggaran KODEKI
75. Tindakan dokter di bawah standar
76. Diberi tuntunan dan kalau perlu tindakan administratif
77. Hubungan dokter dengan pasien dalam upaya penyembuhan
78. Menangani kasus-kasus diduga pelanggaran etika kedokteran
79. Memerlukan bukti fisik
IV. Tulis jawaban menurut petunjuk ini:
A. Bila yang benar No. 1, 2, dan 3
B. Bila yang benar No. 1 dan 3
C. Bila yang benar No. 2 dan 4
D. Blla yang benar No. 4
E. Bila semua benar
80. Dalam menjalankan profesi kedokteran, dokter bertanggung jawab ter-
hadap:
220 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehqton

1. Pelayanan kesehatan dalam bidang kurati{ preventi{ promotif dan


rehabilitatif
2. Mutu pelayanan sesuai standar medik
3. Gugatan hukum yang mungkin datang dari pasien
4. Hasil akhir pengobatan yang baik
81. Seorang dokter memberi cuti berulang-ulang kepada seorang saksi di sidang
pengadilan, padahal orang tersebut mampu menghadiri sidang pengadilan.
1. Pelanggaran etika kedokteran (KODEKI)
2. Pelanggaran tata tertib
3. Pelanggaran ketentuan KUHP pasal267
4. Pelanggaran hukum perdata
82. Jika suatu operasi tertunda akibat kelalaian dokter pada suatu kasus gawat
darurat di suatu rumah sakit, maka dokter dapat dikenakan sanksi etik dan
hukum berdasarkan:
1. Kode Etik Kedokteran Bab II pasal 10
2. Lafal sumpah dokter
3. KUHP pasal304
4. KUHP pasal306
83. Ti.rgas P3EK, suatu badan dalam Departemen Kesehatan, antara lain:
1. Menjatuhkan sanksi hukum pidana pada pelanggaran ketentuan
hukum
2. Menangani kasus-kasus malpraktik etik yang tidak dapat ditanggulangi
oleh MKEK
3. Menjatuhkan sanksi hukum perdata
4 Memberi pertimbangan dan usul kepada pejabat berwenang.
84. Yang termasuk dalam lafal sumpah dokter:
1. Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara terhormat dan ber-
susila
2. Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan
pernyataan terima kasih yang selayaknya
3. Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pem-
buahan
4.Teman sejawat saya akan saya perlakukan sebagaimana saya sendiri
ingin diperlakukan.
85. Lembaga dalam UUPK yang disebut Majelis Kehormatan Disiplin Ke-
dokteran Indonesia (MKDKI) berfungsi:
1. Menentukan adanya kesalahan yang dilakukan oleh dokter/dokter
ctct.
2. Memberikan sanksi bila dokter/dokter $g1 telah melakukan kesalahan
dalam praktik."
3. Merupakan lembaga otonom dari KKI
4.Bertanggungjawab kepada Menteri Kesehatan.
86. Yang mana pernyataan benar mengenai Hukum Kesehatan:
1. Yang dimaksud dengan hukum kedokteran adalah bagian dari hukum
kesehatan yang menyangkut pelayanan medis.
Contoh Sool-5oql Uiion Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton 221

2. Hukum kedokteran adalah bagian dari hukum kesehatan


3. Semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan peme-
llharaan/pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan
kewajiban baik dari perseorangan dan segenap lapisan masyarakat se-
bagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara
pelayanan kesehatan.
4. Yang dimaksud dengan hukum kedokteran adalah bagian dari hukum
pidana yang menyangkut pelayanan medis
87. Dalam menjalankan profesi kesehatan, dokter bertanggngjawab terhadap:
1. Pelayanan kesehatan dalam bidang preventif, kuratif dan rehabilitatif
2. Mutu tertinggi pelayanan kesehatan
3. Gugatan hukum yang mungkin datang dari pasien
4. Hasil akhir pengobatan yang baik
88. Sesuatu yang dapat dituntut itu dinamakan "prestasi" yang menurut undang-
undang dapat berupa:
1. Melakukan sesuatu yang terbaik
2. Melakukan suatu perbuatan
3. Mencapai sesuatu target
4. Tidak melakukan suatu perbuatan.
89. Ketentuan yang mengatur tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran
adalah:
1. Sumpah kedokteran
2. Kode Etik Kedokteran Indonesia
3. Pasal322 KUHP
4. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1966
90. Beberapa kewajiban yang dimiliki pasien adalah sebagai berikut.
1. Kewajiban memberi informasi yang sebenarnya kepada tenaga ke-
sehatan
2. Kewajiban mematuhi nasihat dokter yang menolongalya
3. Kewajiban menyimpan rahasia pribadi dokter yang mengobatinya
4. Kewajiban untuk memberikan imbalan,/honorium sejumlah yang di-
kehendaki pasien,/keluarga
91. Kegunaan Rekam Medis adalah:
1. Untuk perencanaan pengobatan
2. Sebagai alat bukti bila te{adi perkara medik
3. Dipakai sebagai sarana untuk penelitian
4. Melihat mutu pelayanan kesehatan di suatu institusi pelayanan ke-
sehatan
92. Pemuatan foto seseorang dalam penelitian kesehatan seharusnya memenuhi
aspek:
1. Persetujuan yang bersangkutan
2. Bagian mata harus ditutup
3. Pada bayi dan anak harus seizin orang tua atau wali
4. Izin penasihat hukum
Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

93. The roles played by the Ethics Committee in Indonesia Health Departemen
(P3EK) are:
1. .Persecutesin court of law all form of violation
2. Handles all cases of ethical malpractice which can not be handled by
Indonesian Medical Asociation's Council of Ethics (MKBK)
3. Persecutes all violation's Oarth, 1960
4. .Give consult and suggestion to related organization
94. The framework of Indonesia Medical Ethics is base on:
1. Geneva Declaration, 1948
. 2. the Indonesian Doctor's Oarth, 1960
3. The Indonesian Medical Ethics Code, 1983
4. The Indonesian Medical Association's Conference (IDI) held inJakarta
1988

V. Analisislah kasus berikut ini dari segi etik dan hukum kesehatan dan
apakah kasus tersebut cenderung kepada malpraktik atau tidak:
95. Seorang wanita berusia 37 tahun, G3P2 AbO, datang ke sebuah klinik swasta
SpOG dengan keluhan haid telah terlambat 3 hari. Ia belum siap untuk
hamil lagi karena anak terkecil baru berusia 11 bulan. SpOG melakukan
dilatasi dan kerokan (D dan K) dengan anestesi induksi yang diberikan oleh
perawat. Sepuluh menit kemudian pasien menjadi sianosis dan meninggal
dunia.
96. Seorang petinju jatuh KO dan tidak sadarkan diri. Ia segera dilarikan ke
Rumah Sakit. DSB menegakkan diagrrosis perdarahan otak dan harus segera
dioperasi. Keluarga tidak berada di tempat untuk menandatangani Surat
Izin. Operasi tertunda dan baru dilakukan 5 jam kemudian. Pasien meninggal
dunia.
97. Seorang anak lakilaki berusia 2 tahun dirawat di ICU bagian anak dengan
suhu tinggi dan sedikit kejang-kejang pada kaki dan tangannya. Satu minggu
setelah dirawat dapat dipastikan diagnosanya meningo-ensefalitis tuber-
kulosa. Harapan hidup anak ini kecil dan kalaupun ia sembuh kualitas
hidupnya diperkirakan sangat rendah, tidak mampu berkomunikasi dan
. bersosialisasi. Orang tua anak tersebut kurang mampu dan harus meminjam
uang kesana-kemari untuk biaya perawatan dan pengobatan anaknya. Pada
suatu hari dokter menjelaskan kepada orang tua anak tersebut tentang
diagnosis dan prognosis anaknya, yang walaupun masih ada harapan
menyelamatkan jiwanya, tetapi kualitas hidupnya bermasalah. Orang tua
anak tersebut memutuskan membawa pulang anak tersebut dan t hari
kemudian meninggal dunia.
Pertanyaan:
a) Seberapa jauh dokter harus mgmpertahankan kehidupan seorang
pasien?
b) Apakah kasus ini dapat digolongkan dalam eutanasial Aktif atau pasi{?
Seberapa jauh faktor kualitas hidup dan kemampuan finansial dapat
") dipakai sebagai justifikasi moral untuk menghentikan pengobatanl
Contoh 5ool-5ool Ujion Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton 223

98. Salah satu prinsip dasar dalam Etika Biomedis adalah berkeadilan (Jtuhbe).
Di negara-negara berkembang banyak sekali kasus dilematis, yang me-
merlukan keb!'aksanaan petugas pelayanan kesehatan,/kedokteran. Misalnya,
dalam pelayanan gtrzi di Puskesmas, tersedia hanya 100 paket makanan
'sedanfka.t
tambahan, yang memerlukannya 200 pasien kurang gizi
(malnutnlh'on). Di unit renal dialisis hanya ada 2 (dua) alat dialisis, sedang-
kan penderita gagal ginjal yang memerlukan pelayanan pada hari itu ada
12 orang.Hanya ada 1 (satu) alat ventilator, sedangkan pasien di ICU yang
memerlukan alat ini ada 3 orang, yang satu berumur 30 tahun, yang lainnya
50 dan 80 tahun. Uraikan pertimbangan-pertimbangan saudara pada kasus-
kasus seperti tersebut di atas untuk menegakkan rasa adil terhadap pasien-
pasien.

VI. Esai
99. Buatlah uraian singkat tentang syarat-syarat, unsur yang perlu diperhatikan
dan pentingnya Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) pada penelitian ke-
sehatan yang melibatkan manusia sebagai subjek.
100, Jelaskan kegunaan isi dan informasi Rekam Medis berkaitan dengan aspek
hukum
hwlgnN

1.8 35. E 69. B


2.C 36. C 70. c
3.B 37. B 71. A
4.D 38. D 72. D
5.8 39. D 73. B
6.D 40. D 74. E
7.C 41. s 75. D
8.8 42. S 76. E
9.D 43. S 77. B
10. E 44. S 78. C
11. C 45. B 79. A
12. E 46. B 80. A
13. D 47. B 81. B
14. E 48. S 82. E
15. A 49. B 83. C
1,6. E 50. B 84. E
17. E 51. B 85. A
18. C 52. S 86. A
t9. c 53. S 87. A
20. B 54. S 88. C
21. c 55. B 89. D
22. D 56. S 90. A
23. B 57. S 91. E
24. D 58. B 92. A
25. C 59. B 93. C
26. D 60. B 94. A
27. B 61. B 95. Cenderungmalpraktik
28. E 62. B 96. Cenderungmalpraktik
29. E 63. S 97. a. Bahas
30. E 64. B b. Eutanasia pasif
31. E 65. B c. Bahas
32. D 66. S 98. Keputusan oleh Tim
33. E 67. S 99. Esai
34. E 68. B 100. Esai
224
Lqmpirqn I
Tnr Hppocmnc Olrn (B.C.)

Iswear by Apollo Physician and Asclepius and Hygieia and Panaceia and all the
godesses,'maljng them my witnesses, that I will fulfil according to my ability and
judgement this oath and this covenant:
'
Ib hold him who has taught me this art as equal to my parents and to live my
life in partnership with him, and if he is in need of money to give him a share of
mine, and to regard his offspring as equal to my brothers in male lineage and to
teach them this art-if they desire to learn it-without fee and covenant; to give a
share of precepts and oral instruction and all the other learning to my sons and to
be sons ofni- who has instructed me and to pupils who have signed the covenant
and have taken an oath according to the medical law, but to no one else.
I will apply dietetic measures for the benefit of the sick according to my ability
and judgement; I will keep from harm and in justice.
iwill neither give a dladly drug to anybody if asked for it, nor will I make a
suggestion to this effect. Similarly I will not give to woman an abortive remedy' In
purity
- and holiness I will guard my life and my art.
I will not use the knife, not even on sufferers from stone, but will withdraw in
favor of such men as are engaged in this work.
What ever houses I may visit, I will come for the benefit of the sich remaining
free of all intentional injustice, of all mischief and in particular of sexual relations
with both female and male persons, be the free or slaves'
What I may see or hear in the course of the treatment or even outside of the
treatment in regard to the life of men, which on no account one must spread
abroad, I will keep to my self holding such things shameful to be spoken about.
If I fulfiI this oath -d do not violate it, may it be granted to me to enjoy life and
art, being honored with fame among all men for all time to come; if I transgress it
and swear f"lt"ly, may the opposite of all this be my lot.

225
Lsmpirqn 2
Nuneusenc Cooe (9al)

1. The voluntary consent of the human subject is absolutely essential.


2. The experiment should be such as to yield fruitful result for the good of
society, unprocurable by other means or methods of study and not random
and unnecessary in nafure.
3. The experiment should be so designed and based on the results of animal
experimentation and a knowledge of the natural history of the disease or
other problem under study that the anticipated result will justify the
performance of the experiment.
4. The experiment should be so conducted as to avoid all unnecessary physical
and mental suffering and injury.
5. No experiment should be conducted where there is an a priori reason to
believe that death or disabling injury will occur; except, perhaps, in.those
experiments where the experimental physicians also serve as subjects.
6. The degree of risk to be taken should never exceed that determined by the
humanitarian importance of the problem to be solved by the experiment.
7.' Proper preparations should be made and adequate facilities provided to
protect the experimental subject againts even remote possibilities of injury.
8. The experiment should be conducted only by scientifically qualified persons.
The highest degree of skill and care shouid be required through all stages of
the experiment of those who conduct or engage the experiment.
9. During the course of the experiment the human subject should be at Iiberty
'to bring the experiment to an end if he has reached the physical or mental
state where continuation of experiment seems to him to be impossible.
10. During the course of the experiment the scientist in charge must be prepared
to terminate the experiment at any stage, if he has probable cause to believe,
in the exercise of the good faith, superior skill, and careful judgment required
of him that a continuation of the experimental is likely to result in injury,
disability or death to the experimental subject.

226
Lqmpirqn 3
Tnr Wonlo MeplclL ArocnfloN:
DrcmnnnoN or Genrvl (tsae)

Phyriclcn'r ooth
At the time ofbeing admitted as a member of the medical profession:
I solemnly pledge myself to consecrate my life to service of humanity;
I will give to my teacher the respect and gratitude which is their due;
I will practice my profession with conscience and dignity; the health of my patient
will be my first consideration;
I will respect the secrets which are confined in me, even after the patient has
died;
I will maintain by all means in my power, the honor and the noble traditions ofthe
medical profession; my colleagues will be my brothers;
I will not permit consideration of my religion, nationality , race, par\t politics or
social standing to intervene between my duty and my patient;
I will maintain the utmost respect for human life from the time of conception, even
under threat, I will not use my medical knowledge contrary to the laws of
humanity;
I make these promises solemnly, freely and upon my honor'
(Adopted by General Assembly of the WMA, Geneve, September 1948 and
amended by the 22nd World Medical Assembly, Sydney, August 1968.)

227
Lompirqn 4
lnrennlrpNAr Cooe or MrorcAL Ernlcl (1949)

Dutier of Doctors in Generol


A doctor must always maintain the highest standards of professional conduct.
A doctor must practice his profession uninfluenced by motives ofprofit.
The following practices are deemed unethical:
a. Any selfadvertisement except such as is expressly authorized by the national
code of medial ethics.
b. Collaborate in any forms of medical service in which the doctor does not
have professional independence.
c. Receiving any money in connection with service rendered to patient other
.than a proper professional fee, even with the knowledge of patient.
Any act, or advice which could weaken physical or mental resistance of a human
being may be used only of his interest.
A doctor is advised to use great caution in divulging discoveries or new techniques
or treatment.
A doctor should certify or testify only to that which he has personally verified.
Duties of Doctorr to The tich
A doctor must always bear in mind the obligations on preserving human life.
A doctor ows to his patient complete Ioyalty and all the resources of his science.
'Whenever an examination or treatment is beyond his
capacity he should summon
another doctor who has the necessary ability.
A doctor shall preserve absolute secrecy on all he knows about his patient even
after the patient has died, because ofthe confidence entrusted in him.
A doctor must give emergency care as humanitarian duty unless he assured that
others are willing and able to give such care.
Dutier of Doctorr to Eoch Other
A doctor thought to behave to his colleagues as he would have them behave to
him.
A doctor must not entice patients from his collegues.
A doctor must observe the principles of the "Declaration of Geneve" approved by
the World Medical Association.

228
(Adopted by the Third General Assembly of the World Medical Association,
e"dand, October 1949. Amended by The Twenty second World Medical
Assembly, Sydney, August 1968)
, Lcmpirqn 5
Wonro Meolcru ArocnrpN (WMA)
DrcnnarrcN or Heuruxl

Adtpted by the l9tlt WMA General,4ssembly, Helsmhi, Finland, June 1964,


and amended foi
tlte 29thWMA General Assembly, Toiyo. Japan, October 1975
35t/t WMZ General Assembly, Ventlce. Italy, October 1983
41st Wt['4 General Assembly, Hong Kong, Septenber 1989
49th WMA General Assembly, Somerset West,

andthe,,,r^H#;i:I\::!ffirrfl:,::#;,'!!,k*,october2000
Note of Clanfcahbn on Paragraph 29 added by
the WMA General Assembly, Washington 2002
Note ofClanfcah'on on Paragraph 30 added by
the WMA General Assenbly. Tohyo 2004

A.INTRODUCTION
1. The World Medical Association has developed the Declaration ofHelsinki as
a statement of ethical principles to provide guidance to physicians and other
participants in medical research involving human subjects. Medical research
involving human subjects includes research on identifiable human material or
identifiable data.
2. It is the duty of the physician to promote and safeguard the health of the
people. The physician's knowledge and conscience are dedicated to the
fulfillment of this duty.
3. The Declaration of Geneva of the World Medical Association binds the
physician with the words, "The health of my patient will be my first
consideration," and the International Code ofMedical Ethics declares that, 'A
physician shall act only in the patient's interest when providing medical care
which might have the effect ofweakening the physical and mental condition
of the patient".
4. Medical progress is based on research which ultimately must rest in part on
experimentation involving human subjects.
5. In medical research on human subjects, considerations related to the well-
being of the human subject should take precedence over the interests of
science and society.

230
Lompiron 231

6. The primary purpose of medical research involving human subjects is to


improve prophylactic, diagnostic, and therapeutic procedures and the
understanding of the aetiology and pathogenesis of disease. Even the best
proven prophylactic, diagnostic, and therapeutic methods must continuously
. be challenged through research for their effectiveness, efficiency, accessibility
and quality.
7. In current medical practice and in medical research, most prophylactic,
diagnostic, and therapeutic procedures involve risks and burdens.
8. Medical research is subject to ethical standards that promote respect for all
human beings and protect their health and rights. Some research populations
are wrlnerable and need special protection. The particular needs of the
economically and medically disadvantaged must be recognized. Special
attention is also required for those who cannot give or refuse consent for .
themselves, for those who may be subject to giving consent under duress, for
those who will not benefit personally from the research and for those fo'r
whom the research is combined with care.
9. Research Investigators should be aware of the ethical, legal and regulatory
requirements for research on human subjects in their own countries as well as
applicable international requirements. No national ethical, legal or regulatory
requirement should be allowed to reduce or eliminate any of the protections
for human subjects set forth in this Declaration.

B. BA'IC PRINCIPLE' FOR ALL MEDICAL RE'EARCH


1. It is the duty of the physician in medical research to protect the life, health,
privary, and dignity ofthe human subject.
2. Medical research involving human subjects must conform to generally
accepted scientific principles, be based on a thorough knowledge of the
scientific literature, other relevant sources of information, and on adequate
laboratory and, where appropriate, animal experimentation.
3. Appropriate caution must be exercised in the conduct ofresearch which may
affect the environment, and the welfare of animals used for research must be
respected.
4. The design and performance of each experimental procedure involving
human subjects should be clearly formulated in an experimental protocol.
This protocol should be submitted for consideration, comment, guidance,
and where appropriate, approval to a specially appointed ethical review
committee, which must be independent of the investigator, the sponsor or
any other kind ofundue influence. This independent committee should be in
conformity with the laws and regulations ofthe country in which the research
experiment is performed. The committee has the right to monitor on going
trials. The researcher has the obligation to provide monitoring information to
the committee, especially any serious adverse events. The researcher should
also submit to the committeb, for review, information regarding funding
sponsors, institutional affiliations, other potential conflicts of interest and
incentives for subjects.
232 Etihq Kedohteron dqn Huhum Kesehotqn

5. The research protocol should always contain a statement of the ethical


considerations involved and should indicate that there is compliance with the
principles enunciated in this Declaration.
6. Medical research involving hpman subjects should be conducted only by
scientifically qualified persons and under the supervision of a clinically
competent medical person. The responsibility for the human subject must
always rest with a medically qualified person and never rest on the subject of
the research, even though the subject has given consent.
Every medical research project involving human subjects should be preceded
by careful assessment of predictable risks and burdens in comparison with
foreseeable benefits to the subject or to others. This does not preclude the
participation of healthy volunteers in medical research. The design of all
studies should be publicly available.
Physicians should abstain from engaging in research projects involving human
subjects unless they are confident that the risks involved have been adequately
assessed and can be satisfactorily managed. Physicians should cease any
investigation if the risks are found to outweigh the potential benefits or if
there is conclusive proof of positive and beneficial results.
9. Medical research involving human subjects should only be conducted if the
importance of the objective outweighs the inherent risks and burdens to the
subject. This is especially important when the human subjects are healthy
volunteers.
10. Medical research is only justified if there is a reasonable likelihood that the
populations in which the research is carried out stand to benefit from the
results ofthe research.
11. The subjects must be volunteers and informed participants in the research
project.
12. The right of research subjects to safeguard their integrity must always be
respected. Every precaution should be taken to respect the privacy ofthe
subject, the confidentiality of the patient's information and to minimize the
impact ofthe study on the subject's physical and mental integrity and on the
personality of the subject.
13. In any research on human beings, each potential subject must be adequately
informed of the aims, methods, sources of funding any possible conflicts of
interest, institutional affiliations ofthe researcher, the anticipated benefits and
potential risks of the study and the discomfort it may entail. The subject
should be informed of the right to abstain from participation in the study or
to withdraw consent to participate at any time without reprisal. After
ensurineg that the subject has understood the information, the physician
should then obtain the subject's freely-given informed consent, preferably in
writing. Ifthe consent cannot be obtained in writing, the non-written consent
must be formally documented and witnessed.
14. When obtaining informed consent for the research project the physician
should be particularly cautious if the subject is in a dependent relationship
with the physician or may consent under duress. In that case the informed
Lompiron

consent should be obtained by awell-informed physician who is not engaged


in the investigation and who is completely independent of this relationship.
15. For a reisearch subject who is legally incompetent, physically or mentally
incapable of giving consent or is a legally incompetent minor, the investigator
must obtain informed consent from the legally authorized representative in
accordance with applicable law. These groups should not be included in
research unless the research is necessary to promote the health of the
population represented and this research cannot instead be performed on
Iegally competent persons.
t6. When a subject deemed legally incompetent, such as a minor child, is able to
give assent to decisions about participation in research, the investigator must
obtain that assent in addition to the consent of the legally authorized
representative.
t7. Research on individuals from whom it is not possible to obtain consent,
including proxy or advance consent, should be done only if the physical,/
mental condition that prevents obtaining informed consent is a necessary
characteristic of the research population.'Ihe specific reasons for involving
research subjects with a condition that renders them unable to give informed
consent should be stated in the experimental protocol for consideration and
approval of the review committee. The protocol should state that consent to
remain in the research should be obtained as soon as possible {iom the
individual or a legally authorized surrogate.
18. Both authors and publishers have ethical obligations. In publication of the
results ofresearch, the investigators are obliged to preserve the accuracy of
the results. Negative as well'as positive results should be published or
otherwise publicly available. Sources of funding institutional afiliations and
any possible conflicts ofinterest should be declared in the publication. Reports
of experimentation not in accordance with the principles laid down in this
Declaration should not be accepted for publication.

C. ADDITIONAL PRINCIPLE' FOR MEDICAL RE'EARCH COMBINED


WITH MEDICAL CARE
1. The physician may combine medical research with medical care, only to the
extent that the research isjustified by its potential prophylactic, diagnostic or
therapeutic value. When medical research is combined with medical care,
additional standards apply to protect the patients who are research subjects.
3. The benefits, risks, burdens and effectiveness of a new method should be
tested against those of the best current prophylactic, diagnostic, and
therapeutic methods. This does not exclude the use of placebo, or no
treatment, in studies where no proven prophylactic, diagnostic or therapeutic
method exists. See footnote
3. At the conclusion ofthe study, every patient entered into the study should be
assured ofaccess to the best proven prophylactic, diagnostic and therapeutic
methods identified by the study. See footnote
Etiho Kedokteron don Huhum Kesehoton

4. The physician should fully inform the patient which aspects of the care are
related to the research. The refusal of a patient to participate in a study must
never interfere with the patient- physician relationship.
5. In the treatment of a patient, where proven prophylactic, diagnostic and
therapeutic methods do not exist or have been ineffective, the physician, with
informed consent from the patient, must be free to use unprovcn or new
prophylactic, diagnostic and therapeutic measures, if in the physician's
judgement it offers hope of saving life, re-establishing health or alleviating
sulfering. Where possible, these measures should be made the object of
research, designed to evaluate their safety and efficary. In all cases, new
information shouldbe recorded and, where appropriate, published. The other
relevant guidelines of this Declaration should be followed.

Note of clqrificqtion on polqgroph 29 of


the WMA Declsrqtion of Hekinhi
The WMA hereby reafirms its position that extreme care must be taken in making
use of a placebo-controlled trial and that in general this methodology should only
be used in the absence of existing proven therapy. However, a placebo-controlled
trial may be ethically acceptablb, even if proven therapy is available, under the
following circumstances :
- Where for compelling and scientifically sound methodological reasons its use
is necessary to determine the efficacy or saGty of a prophylactic, diagnostic
or therapeutic method; or
- Where a prophylactic, diagnostic or therapeutic method is being investigated
for a minor condition and the patients who receive piacebo will not be subject
to any additional risk of serious or irreversible harm.
All other provisions of the Declaration of Helsinki must be adhered to, especially
the need for appropriate ethical and scientific review.

Note of clqrificqtion on polcgrEph 30 of


the WMA Declqrqtion of Hebinhi
The WMA hereby reaffirms its position that it is necessary durineg the study
planning process to identify post-trial access by study participants to prophylactic,
diagnostic and therapeutic procedures identified as beneficial in the study or access
to other appropriate care. Post-trial access arrangements or other care must be
described in the study protocol so the ethical review commiffee may consider such
arrangements durineg its review.
The Declaration of Helsinki (Document 17.C) is an official policy document of
the World Medical Association, the global representative body for physicians. It
was first adopted in 1964 ftIelsinki, Finland) and revised ln 1975 (Tokyo, Japan),
1983 ffenice, ft"ly), 1989 (Hong Kong), 1996 (Somerset-West, South Africa) and
2000 (Edinburgh, Scotland). Note of clarification on Paragraph 29 added by the
WMA General Assembly, Washington 2002. 9.10.200 4
Lqmpirqn 6
Penlrumu PruenrNTAH No. lO Tmuu 1966
Tenrmtc Wflls fn*lpltt Rlnlln KeooxrERAN

PRE'IDEN REPUBLIK INDONE'IA

Menimbang:
Bahwa perlu ditetapkan peraturan tentang wajib simpan rahasia kedokteran.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Pasal I0 ayat (4) Undang-undang tentang Pokok-pokok Kesehatan
(Lembaran Negara tahun 1960 No. 131);
3. Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1960 tentang Lafal Sumpah Dokter
(Lembaran Negara tahun 1960 No. 69).

MEMUTUTKAN:
Mendengar:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG
WAJIB SIMPAN RAHASIA KEDOKTERAN
Pasal 1
Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh
orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekel'aannya
dalam lapangan kedokteran.

Pasal 2
Pengetahuan tersebut pasal t harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut dalam
pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi daripada
Peraturan Pemerintah ini menentukan lain.

Pasal 3
Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:
a. tenaga kesehatan menurut pasal 2 Undang-undang tentang Tbnaga Kesehatan
(Lembaran Negara tahun 1963 No. 78);
b. mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan, peng-
, obatan dan/atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh Menteri Ke-
sehatan.

Pasal 4
Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia kedokteran yang tidak
atau tidak dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 Kitab Undang-undang

235
Etiho Kedohteron don Huhum Kesehqton

Hukum Pidana. Menteri Kesehatan dapat melakukan tindakan administratifberdasarkan


pasal 11 Undang-undang tentang Tenaga Kesehatan.

Pasal 5
Apabila pelanggaran yang dimaLsud dalam pasal 4 dilakukan oleh mereka yang disebut
dalam pasal 3 hurufb, maka Menteri Kesehatan dapat mengambil tindakan berdasarkan
wewenang dan kebijaksanaannya.

Pasal 6
Dalam pelaksanaan peraturan ini Menteri Kesehatan dapat mendengar Dewan Pelindung
Susila Kedokteran dan/atau badan-badan lain bilamana perlu.

Pasal 7
Peraturan ini dapat disebut "Peraturan Pemerintah tentang Wajib Simpan Rahasia
Kedokteranl'
Pasal 8
Peraturan ini mulai berlaku pada hari diundangkannya.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1966 NO. 21


Lompiron 237

PENIELA'AN PERATURAN PEMERINTAH NO.IO TAHUN 1966


TENTANG WAIIB RAHA'IA KEDOKTERAN UMUM
'IMPAN
Setiap orang harus dapat meminta pertolongan kedokteran dengan perasaan aman
dan bebas. Ia harus dapat menceritakan dengan hati terbuka segala keluhan yang
mengganggunya, baik bersifat jasmaniah maupun rohaniah, dengan keyakinan
bahwa hak.itu berguna untuk menyembuhkan dirinya. Ia tidak boleh merasa
khawatir bahwa segala sesuatu mengenai keadaannya akan disampaikan kepada
orarig lain, baik oleh dokter maupun oleh petugas kedokteran yang beke{a sama
dengan dokter tersebut.
Ini adalah syarat utama untuk hubungan baik antara dokter dengan penderita.
Pada waktu menerima !'azah seorang dokter bersumpah:
"Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan
saya dan karena keilmuan saya sebagai dokterl'
Dan sebagai pemangku suatu jabatan ia wajib merahasiakan apa yang dike-
tahuinya karena jabatannya, menurut pasa|322 KUHP yang berbunyi:
"Barang siapa dengan sengaja membuka suatu rahasia yang ia wajib menyimpan
oleh karena jabatan atau peke4'aannya baik yang sekarang maupun yang dahulu,
dihukum dengan penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-
banyaknya enam ratus rupiahl'
'Jika kejahatan ini dilakukan terhadap seorang yang tertentu maka ini hanya
dituntut atas pengaduan orang itui'
Peraturan Pemerintah ini diperlukan untuk mereka yang melakukan perbuatan-
perbuatan pelanggaran rahasia kedokeran yang tidak dapat dipidana menurut
pasal 322 KUHP tersebut atau pasal 112 KUHP tentang pengrahasiaan sesuatu
yang bersifat umum.

PA'AL DEMI PA'AL


Pasal 1
Dengan kata-kata, "segala sesuatu yang diketahui," dimaksud:
Segala fakta yang didapat dalam pemeriksaan penderita, interpretasinya untuk me-
negakkan diagnose dan melakukan pengobatan: dari anamnese, pemeriksaanjasmaniah,
pemeriksaan dengan alat-alat kedokteran d4n sebagainya.Juga termasuk fakta yang
dikumpulkan oleh pembantu-pembantunya. Seorang ahli obat dan mereka yang beke{a
dalam apotik harus pula merahasiakan obat dan khasiatnya yang diberikan dokter pada
pasiennya. Merahasiakan resep dokter adalah sesuatu yang penting dari etika pejabat
yang beke{a dalam Apotik

Pasal 2
Berdasarkan pasal ini orang (selain dari pada tenaga kesehatan) yang dalam pekeq'aannya
berurusan dengan orang sakit atau mengetahui keadaan si sakit, baik yang tidak maupun
yang belum mengucapkan sumpah jabatan, berkewajiban menjunjung tinggi rahasia
mengenai keadaan si sakit.
Dengan demikian, para mahasiswa kedokteran, kedokteran glg1, ahli farmasi,
ahli laboratorium, ahli sinar, bidan, para pegawai, murid para medis, dan sebagainya
termasuk dalam golongan yang diwajibkan menyimpan rahasia. Menteri Kesehatan
238 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehqton

dapat menetapkan, baik secara umum, maupun secara insidentil, orang-orang yang
wajib menyimpan rahasia kedokteran, misalnya pegawai tata-usaha pada rumah-rumah
sakit dan laboratorium-laboratorium.

Pasal 3
Cukup jelas

Pasal 4
Berdasarkan pasal322 KUHP, maka pembocoran rahasiajabatan, dalam hal ini rahasia
kedokteran, adalah suatu tindak pidana yang dituntut atas penga.duan (klachdelict),
apabila kejahatan itu ditujukan pada seseorang tertentu. Demi kepentinga.n umum
Menteri Kesehatan dapat bertindak terhadap pembocoran rahasia kedokteran, meskipun
tidak ada suatu pengaduan.
Sebagai contoh:
Seorang pejabat kedokteran berulang kali mengobrolkan di depan orang banyak
tentang keadaan dan tingkah laku pasien yang diobatinya. Dengan demikian, ia
merendahkan martabatjabatan kedokteran dan mengurangi kepercayaan orang kepada
pejabatpejabat kedokteran.
Pasal 5
Berdasarkan pasal ini Menteri Kesehatan dapat meminta kepada instansi yang
berwenang (umpama untuk mahasiswa kepada Departemen P.T,I.P. dan sebagarnya)
agar mengambil tindakan administratif yang wajar bila mana melanggar wajib simpan
rahasia kedokteran ini.

Pasal 6
Menteri Kesehatan membentuk Dewan Pelindung Susila Kedokteran justru untuk
mendapat nasihat dalam soal-soal susila kedokteran.

Pasal 7 dan 8
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. 2803


Lompison 7
DrcnmnoN oF tvonrv
A JrlreMENT or Drlrn

Adqpted by the 22th World Medicql Arembly, tydnev,


Augurt,1968
The determination ofthe time of death is in most countries the legal responsibility
of the physician and should remain so. Usually he will be able without special
assistance to decide that a person is dead, employing the classical criteria known
to all physicians.
The modern practices in medicine, however, have made it necessary to study
question of the time of death further:
1. the ability to maintain by artificial means the circulation of oxygenated
blood through tissues ofthe body which may have been irreversibly injured

' ,. ffii"re of cadaver organs such as heart or kydneys for transplantation.

A complication is that death is gradual process at the cellular level with tissues
varying in their ability to withstand deprivation of isolated cells but in the fate of a
person. Here the point ofdeath ofthe different cells and organs is not important as
ihe certainty suscitation that may be employed. This determination will be based
on clinical enjudgment.supplemented if necessary by a number of diagnostic aids
ofwhich the electro-encephalograph is currently most helpfirl. However, no single
technological criterion is entirely satisfactory in the present state of medicine nor
can any one technological procedure be substituted for the'overall judgment ofthe
physician. If transplantation of an organ is involved, the decision that death exists
should be made by two or more physicians and the phyisicians determine the
moment ofdeath shouldin nowaybe immediately concerned with the performance
of the transplantation.
Determination of the point of death of the person makes countries where the
law permits, to remove organs from the cadaver provided that prevailing legal
requirements of consent have been firlfilled.

239
Lcmpirqn 8
CournuiloN oF
Tne Wonlo Hrllrn OncmlzAnoN (1926)

The States Parties of this Constitution declare, in comformity with the Charter of
the United Nations, that the following principles are basic to the happiness,
harmonious relations and security of all peoples.
Health is a state on complete physical, mental and social well-being and not
merely the absence of disease or infirmity.
The enjoyment of the highes attainabee standard of health is one of the
fundamental rights of every human being without distinction of race, religion,
political believe, economic or social condition.
The health ofall peoples is fundamental to the attainment ofpeace and security
and is dependent upon the fullest co-operation of individuals and States.
The achievement of any State in the promotion and protection of health is of
value to all.
Unequal development in the different countries in the promotion of health and
control disease, especially communicable disease, is a common danger.
Healthy development of the child is a basic importance; the ability to live
harmoniously in a changing total enviromental is essential to such development.
The extention to all peoples ofthe benefits ofmedical, psychological and related
knowledge is essential to the fullest attainment of health.
Informed opinion and active co-operation on the part of the public are the
utmost importance in the improvement of the health ofthe people.
Government have responsibility for the health of their peoples which can be
fi.rlfied only by the provision of adequate health and social measures.
Accepting of these principles, and for the purpose of co-operation among
themselves and with others to promote protect the health of all peoples, the
Contracting Parties agree to the present Constitution and hereby establish the
World Health Organization as a specialized agency within the terms ofArticles 57
of the Charter of the United Nations.
(World Health Organization: Basic Documents, 26th ed., Geneve, 1976.)

240
Lompirqn 9
Penlrunln Rl No. 18 Tlnun l98l
FeuERtNTAH
Terurmlc Beoan Mlvlr Kunu DAN
Beo*t Mnvlr ANnrouF TERTA TnansplANTAtl
Aur omlhmu fmncff{ Tusuu Mntulll

PRE'IDEN REPUBLIK INDONE'IA

Menirnbang:
a. bahwa dalam pengembangan usaha kesehatan untuk meningkatkan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat, perlu adanya berbagai upaya agar
usaha tersebut di atas diselenggarakan dengan baik, antara lain dengan
kegiatan melakukan bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta
transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia yang bertujuan untuk
keselamatan umat manusia maupun meningkatkan ilmu kesehatan dan
kedokteran pada umumnya,
b. bahwa untuk melaksanakan maksud tersebut pada huruf a di atas, perlu
diadakan ketentuan-ketentuan tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat
anatomis serta transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia dengan
Peraturan Pemerintah.

Mengingat:
1. Pasal 5 ayat Q) Undang-undang Dasar 1945;
2. undang-undang No. 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 1960 No. 131, Tambahan Lembaran Negara
No.2068);
3. Undang-undang No. 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggr (Lembaran
Negara Thhun 1961 No. 302, Tambahan Lembaran Negara No' 236);
4. undang-undang No. 6 Tfiun 1962 tentang wabah(Lembaran Negara
Tahun 1962 No. 12, Tambahan Lembaran Negara No, 2390 jo Undang-
undang No. 7 Tfiun 1968 tentang Perubahan Pasal 3 Undang-undang
No. 6 Thhun 1962 (Lembaran Negara Tahun 1968 No' 38, Tambahan
Lembaran Negara No. 2863);
5. Undang-undang No. 6 Tifiun 1963 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran
NegaraTfiun 1963 No. 79, Tambahan Lembaran Negara No' 2576);
6. Staatsblad Tahun 1927 No.245;

241
242 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

MEMUTU'KAN
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BEDAH MAYAT KLINIS DAN
BEDAH MAYAT ANATOMIS SERT,A. TRANSPLANTASI ALAT DAN,{T{U
JARINGAN TUBUH MANUSIA

BAB I
I KETENTUANUMUM
Pasal 1
Dalam Peraturin Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
a. Bedah mayat klinis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara pembedahan
terhadap mayat untuk mengetahui dengan pasti penyakit atau kelainan yang menjadi
sebab kematian dan untuk penilaian hasil usaha pemulihan kesehatan.
b. Bedah mayat anatomis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara pembedahan
terhadap mayat untuk keperluan pendidikan di bidang ilmu kedokteran; .
c. Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringan tubuh yang di bentuk oleh
beberapa jenis sel dan -"-pnnyui bentuk serta faal (fungsi) tertentu untuk tubuh
tersebut;
d. Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mempunyai bentuk dan faal (fungsi) yang
sama dan tertentu;
e. tansplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan alat dan
atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka
pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi
dengan baik.
f Donor adalah orang yang menyrrmbangkan alat dan ataujaringan tubuhnya kepada
orang lain untuk keperluan kesehatan;
g. Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang
berwenang bahwa fungsi otalq pernapasan, dan atau dennrt jantung seseorang telah
berhenti;
h. Ahli urai adalah dokter atau sa4'ana kedokteran yang diakui telah memperoleh

t i;fmHJffi o* patologi adalah tempat menfmpan jaringan dan alat tubuh


manusia yang sehat dan yang sakit yang diawetkan untuk tujuan pendidikan ilmu
kedokteran;
j. Bank alat dan jaringan tubuh adalah suatu unit kedokteran yang bertugas untuk
pengambilan, penyimpanan, dan pengawetan jaringan dan alat tubuh manusia untuk
transplantasi dan penggantian (substitusi) dalam rangka pemulihan kesehatan.

BAB II
, BEDAH MAYAT KLINI'
Pasal 2
Bedah mayat klinis hanya boleh dilakukan dalam keadaan sebagai berikut.
a. Dengan persefujuan tertulis penderita dan atau keluarganya yang terdekat setelah
penderita meninggal dunia, apabila sebab kematiannya belum dapat ditentukan
dengan pasti;
Lompiron 243

b. Timpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila diduga


penderita menderita penyakit yang dapat membahayakan orang lain atau masyarakat
sekitarnya.
c. Tanpa persetujuan penderita atau keluargany^yang terdekat, apabila ddam jangka
waku 2x24 (dua kali dua puluh empat) jam tidak ada keluarga terdekat dari yang
meninggal dunia datang ke rumah Sakit.

Pasal 3
Bedah mayat klinis hanya dilakukan di ruangan dalam rumah sakit yang disediakan
. untuk keperluan itu.
Pasal 4
Perawatan mayat sebelum, selama, dan sesudah bedah mayat klinis dilaksanakan sesuai
dengan masing-masing agama dan kepercayaan kepada Tirhan Yang Maha Esa, dan
diatur oleh Menteri Kesehatan.

BAB III
BEDAH MAYATANATOMI'
Pasal 5
Untuk bedah mayat anatomis diperlukan mayat yang diperoleh dari rumah sakit dengan
memperhatikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan c.
Pasal 6
Bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan dalam bangsal anatomis suatu fakultas
kedokteran.

Pasal 7
Bedah mayat anatomis dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Sa{ana
Kedokteran di bawah pimpinan dan tanggungjawab langsung seorang ahli urai.

Pasal 8
Perawatan mayat sebelum, selama dan sesudah bedah mayat anatomis dilaksanakan
sesuai dengan masing-masing agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
dan diatur oleh Menteri Kesehatan.

BAB IV
MU'EUM ANATOMI' DAN PATOLOGI
Pasal 9
Untuk kepentingan pendidikan, penyelidikan penyakit, dan pengembangan ilmu
kedokteran diadakan museum anatomis dan patologi yang diatur oleh Menteri
Kesehatan.

BAB V
TRAN'PLANTA'I ALAT DAN ATAU TUBUH MANU'IA
'ARINGAN
Pasal 10
(1) Tlansplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhati-
kan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan huruf
b.
244 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

Q) Tata cara transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia diatur oleh Menteri
Kesehatan.

Pasat 11
(1) tansplantasi alat dan atau jaririgan tubuh manusia hanya boleh dilakukan oleh
dokter yang beke4'a pada sebuah rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri Ke-
sehatan.
(2) tansplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh
dokter yang merawat atau mengobati donor yang bersangkutan.
Pasal 12
Dalam rangka transplantasi penentuan saat mati ditentukan oleh 2 (dua) orang dokter
yang tidak ada sangkut-paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi.

Pasal 13
Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, Pasal 14 dan Pasal 15
dibuat di atas kertas bermaterai dengan 2 (dua) orang saksi.

BAB VI
PENGAMBILAN ALAT DAN/ATAU
IARINGAN TUBUH MANU'IA KORBAN KECELAKAAN

Pasal 14
Pengambilan alat dan atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau
Bank Mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia, dilakukan dengan persefujuan
tertulis keluarga yang terdekat.

BABVII
DONOR
Pasal 15
(1) Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia
diberikan oleh calon donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dulu di-
beri tahu oleh dokter yang merawathya, termasuk dokter konsultan mengenai sifat
-operasi, akibat, dan kemungkinan yang dapat te4'adi.
(2) Dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (l) harus yakin benar, bahwa calon donor
yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut.

Pasal 16
Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak atas sesuatu kompensasi
material apapun sebagai imbalan transplantasi.

BAB VIII
PERBUATAN YANG DIL/ARANG
Pasal 17
Dilarang mempeq'ual belikan alat dan atau jaringan tubuh manusia.
Pasal 18
Dilarang mengirim dan menerima alat dan atau jaringan tubuh manusia dalam semua
bentuk ke dan dari luar negeri.
Lompiron 245

Pasal 19
Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 tidak berlaku untuk
keperluan penelitian ilmiah dan keperluan lain yang ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan.

BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 20
(1) Pelanggaran atas ketentuan dalam Bab II, Bab III, Bab V, Bab VI, Bab VII, dan Bab
VIII, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 7.5 00,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
(2) Di samping ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (l) dapat pula
diambil tindakan administratif

BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1981 NO.23


246 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

PEN'ELA'AN ATA' PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONE'IA


NO. 18 TAHUN r98r
TENTANG BEDAH MAYAT KLINI' DAN BEDAH MAYAT ANATOMI'
TRAN'PLANTA'I ALAT DAN/ATAU TUBUH MANU'IA
'ERTA
'ARINGAN
UMUM
A. Bedah-Mayat Klinis
Ilmu kedokteran selalu berkembang berkat ketekunan ahli-ahli yang sudah
dapat menyusun penyakit-penyakit dalam bentuk gejala, perubahan-perubahan
yang terjadi akibat penyakit serta pengobatannya baik secara anatomi fisiologi
dan biokimia. Namun, selalu terdapat di dalam rumah sakit, penyakit-penyakit
yang belum jelas sebab musababnya dan perubahan yang terjadi umpamanya
seorang menderita penyakit demam yang mungkin gejalanya menyerupai tifus
abdominalis, namun pada waktu pengobatan dia tidak memberikan reaksi
sebagaimana diharapkan, sampai ia meninggal dunia, maka bedah mayat
klinislah yang akan memberikan jawaban terhadap rahasia ini.
Bedah mayat klinis diperlukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
klinis dan ilmu pengobatan.
Untuk itu diperlukanmayat penderita yang meninggal dunia di rumah sakit
yang pembedahannya memerlukan kesediaan atau izin dari penderita atau
keluarganya.
Bedah mayat klinis juga mernerlukan Peraturan'Pemerintah yang menjamin
perlakuan dan penghormatan terhadap jenazah, demikian pula terhadap peng-
ambilan sebagian alat tubuh yang memperlihatkan kelainan seperti kanker, dan
lainlain, yang akan disimpan dalam suatu museum, sebagai alat peraga baik
untuk mahasiswa, maupun penelitian di bidang ilmu kedokteran.

B. Bedah Mayat Anatomis


Mahasiswa fakultas kedokteran untuk menjadi dokter harus diberi pelajaran
ilmu urai baik secara makroskopis, yang disebut ilmu urai tubuh (anatomis)
maupun secara mikroskopis yang disebut ilmu jaringan tubuh (histologi). Ilmu
urai tubuh memberikan kepada mahasiswa ilmu pengetahuan tentang alat
tubuh serta letaknya di dalam tubuh, serta otot, tulang belulang hati, jantung
dan lainlainnya, sedangkan ilmu uraijaringan tubuh memberikan pengetahuan
kepada mahasiswa tentang susunan sel-sel berbagai alat tubuh (organ).
Thnpa pelajaran ilmu anatomi dan histologi tidaklah mungkin seorang
dokter mengetahui tentang susunan tubuh manusia yang sehat, walaupun ada
ilat-alat peraga tubuh manusia yang dibuat dari bahan tiruan. Namun, hal ini
tidak memberikan kesan yang sebenarnya.
Semua agama dan kepercayaankepadaTuhanYangMaha Esa pada dasarnya
tidak melarang pemakaian mayat seorang dengan ketentuan bahwa mayat
tersebut diperlukan sesuai menurut tiap-tiap agama dan kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu, diperlukan suatu Peraturan Pemerintah yang menjamin
perlakuan yang baik dan terhormat terhadap mayat sejak manusia meninggal
Lompiron 247

dunia sampai ia dikuburkan atau diselesaikan dengan cara sebagaimana yang


ditentukan oleh agama atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
dianut oleh mayat tersebut.

C. Tiansplantasi Alat dan/ataruJaringan Tubuh Manusia


tansplantasi alat dan atau jaringan tubuh rnanusia ialah pemindahan alat dan
atau jarir,rgan tubuh yang masih mempunyai daya fildrrp dan sehat untuk
menggantikan alat dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.
Kita mengenal berbagai macam transplantasi seperti transplantasi kulit akibat
kebakaran yang berasal dari tubuh penderita sendiri yang disebut "auto*
transplantasi", transplantasi kornea, yaitu pemindahan selaput bening mata
yang merupakan bagian dari permukaan bola mata kepada seorang buta akibat
kerusakan kornea (karena luka bakar, kemasukan benda halus) dan trakoma,
transplantasi ginjal jantung dan lainJain. Pada umumnya transplantasi alat
tubuh diambil dari orangyangbaru meninggal dunia dan transplantasi itu harus
dilakukan tidak lama sesudah penderita meninggal dunia. Sebab kalau sudah
lama meninggal dunia maka alat dan atau jaringan tubuh ikut mati dan tidak
dapat dipergunakan lagi.
Tiansplantasi ginjal dapat juga dilakukan dengan ginjal yang diambil dari
tubuh manusia yang masih hidup.
Semua agamadan kepercayaan kepada Tirhan Yang Maha Esa pada dasar-
nya tidak melarang transplantasi ini, asal penentuan saat mati dan penyeleng-
garaan jenazah terjamin sehingga tidak terjadi penyalahgunaan. Dengan
transplantasi, ilmu kedokteran membuktikan bahwa manusia yang meninggal
duniapun masih dapat berbuat amal saleh terhadap saudara-saudarunya yang
sedang menderita penyakit. Jelaslah bahwa transplantasi berfungsi sebagai
usaha pengobatan.
Adanya Peraturan Pemerintah ini diperlukan untuk menjamin bahwa
pengambilan alat dan atau jaringan tubuh manusia yang akan dipindahkan,
betJl-betul untuk maksud pengobatan untuk menolong penderita. Peraturan
Pemerintah ini diperlukan juga untuk memberikan perlindungan hukum kepada
pelaksana bedah mayat anatomis, bedah mayat klinis dan pelaksana trans-
plantasi.

PA'AL DEMI PA'AL

Pasal 1 Cukupjelas
Pasal 2
Huruf a
Persetujuan tertulis dapat berasal dari:
- Penderita sendiri, yang diberikan sebelum ia meninggal dunia tanpa sepengetahuan
keluarganya yang terdekat, dan keluargany^ yafig terdekat ikut menyetujuinya
pula;
- Keluarganya yang terdekat dengan pertimbangan untuk kepentingan ilmu ke-
dokteran sehingga dapat diketahui sebab kematian penderita yang bersangkutan.
248 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

Yang dimaksud dengan keluarga terdekat ialah isteri, suami, ibu, bapah atau saudara
seibu-sebapak (sekandung) dari penderita dan saudara ibu, saudara bapak serta anak
yang telah dewasa dari penderita

Huruf b
Meskipun tanpa persetujuan tertulis dari penderita atau keluarganya yang terdekat,
berdasarkan pertimbangan untuk melindungi masyarakat dari penyakit yang diderita
oleh penderita dan yang menyebabkan kematiannya, maka bedah mayat klinis dapat
dilakukan.

Huruf c
Apabila rumah sakit tempat penderita dirawat dan meninggal dunia setelah memberikan
jangka waktu sampai 2 x 24 (dta kali dua puluh empat) jam tidak ada keluargatyayang
terdekat datang ke Rumah Sakit, bedah mayat klinis dapat dilakukan.

Pasal 3 Cukupjelas

Pasal 4
Untuk bedah mayat klinis pelaksanaan penyelenggaraan mayat agak berbeda sedikit
dari penyelenggar^an mayat untuk bedah mayat anatomis karena pengambilan alat dan
atau jaringan tubuh haruslah dike{akan secepat-cepatnya sesudah penderita meninggal
dunia. Artinya pengambilan alat dan atau jaringan tubuh dapat dilakukan terlebih
dahulu, sebelum penyelenggaraan mayat dilakukan seperti yang dilakukan pada bedah
mdyat anatomis.
Untuk hal tersebut akan diatur oleh Menteri Kesehatan agar supaya teq'amin
pelaksanaannya.

Pasal 5, 6, 7, 8,9, 10, 11, Cukup jelas

Pasal 12
Penentuan saat meninggal dunia seorang di rumah sakit yang sudah modem tidak
lagi dilakukan dengan cara lama yaitu seseorang dianggap meninggal dunia apabila
pernapasan dan peredaran darahnya sudah berhenti, akan tetapi dengan menggunakan
alat yang disebut elektroencepalograf (alat yang mencatat aktivitas otak). Meskipun
dengan elektroencepalograf menunjukkan seseorang telah meninggal dunia, namun
ada alat dan atau jaringan tubuh yang masih hidup secara fisiologi dalam jangka waktu
tertentu, sehingga dapat dilakukan pengambilan dan pemindahan alat dan ataujaringan
tubuh untuk keperluan transplantasi. Untuk menjamin penentuan saat meninggal dunia
seorang secara obyekti{ maka penentuan ini dilakukan oleh dokter lain, yang tidak
melaksanakan transplantasi.

Pasal 13 Cukupjelas
Pasal 14
Korban kecelakaan adakalanya dalam keadaan gawat dan tidak sadar. Apabila korban
tersebut menderita luka berat hingga tidak mungkin ia diajak bicara untuk mengizinkan
pengambilan alat dan atau jaringan tubuhnya apabila ia sudah meninggal dunia, maka.
izin pengambilan hanya dilakukan dengan persetujuan keluarga terdekat, yaitu isterV
suami./ibu./bapak atau saudara seibu-sebapak dan saudara ibu dan bapak dan anak yang
telah dewasa.
Sebelum pengambilan alat dan ataujaringan tubuhnya dilakukan maka dalamjangka
waktu 2 x 24 (dua kali dua puluh empat)jam sejak ia meninggal dunia keluarganya yang
terdekat harus diberitahu. Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ada keluarga yang
Lompiron 249

datang mengambil atau mengurus jenazah maka haruslah pengambilan alat dan atau
jaringan tubuhnya boleh dilakukan.

Pasal 15 Cukupjelas
Pasal 16 Cukupjelas
Pasal 17
Alat dan atau jaringan tubuh manusia sebagai anugerah Tirhan Yang Maha Esa kepada
setiap insan tidaklah sepantasnya di1'adikan obyek untuk mencari keuntungan.

Pasal 18 dan Pasal 19


Pengiriman alat dan atau jaringan rubuh manusia ke dan dari luar negeri haruslah
dibatasi dalam rangka penelitian ilmiah, ke{a sama dan saling menolong dalam keadaan
tertentu.

Pasal 20
Ancaman pidana tersebut ditetapkln berdasarkan ketentuan Staatsllad Tahun 1927 No.
346 yang menetapkan bahwa kecuali apabila dengan ordonansi ditetapkan lain, maka
dalam "peraturan pelaksanaan" dapat ditetapkan sebagi hukuman kurungan tehadap
pelanggar peraturan selama-lamanya 3 (tiga) bulan btau denda sebanyak-banyaknya
Rp. 7.500,- (tujuh ribu limaratus rupiah) dengan disertai perampasan barang tertentu
ataupun tidak, bagi pelanggar ketentuan da.lam Bab II, Bab III, Bab V, Bab VI, Bab \rII
dan Bab VIII Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 21 Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. 3195.


Lompirqn lO
Pemrunmr Mrrreru Kelenlrnn Rl
No. 554/Menxel/Pen/X!l/1982
Teruraruc Pmurn PrnnusANGAN DAN FeMslNnntl
Enxn KEDoKTERAN

MENTERI KE'EHATAN REPUBLIK INDONE'IA

Menimbang:
a. bahwa tugas proGsional dokter dan dokter gigi dalam pengabdiannya makin
bertambah berat sesuii dengan perkembangan ilmu kedokteran modern,
sehingga setiap dokter dan dokter gigi menghayati dan mengamalkan Kode
Etika kedokteran yang berlaku sebagai salah satu unsur peran serta aktif
dalam rangka mencapai tujuan pembangunan Nasional dan pembangunan
kesehatan pada khususnya;
b. bahwa Peraturan.Menteri Kesehatan RI No. 02,2 Birhukmas/I /75 tentang
Panitia Pertimbangan dan Pembinaan etika kedokteran sudah tidak memadai
untuk menampung hal-hal sebagaimana dimaksud huruf a di atas, oleh
karena itu perlu diganti.
Mengingat:
1. Undang-undang No. 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan
(Lembaran Negara Thhun 1960 No. 131, Tambahan Lembaran Negara No.
2068);
2. Undang-undang No. 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran
Negara Thhun 1963 No. T9,Tambahan Lembaran Negara No. 2576);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 44 dan No. 45 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok dan Susunan Organisasi Departemen;
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. L2SAY/KAB/
BU /l9TStentangSusunan Organisasi dan Thta Kery'a Departemen Kesehatan
Republik Indonesia,
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 275/Menkes/SK/Vll/79 tentang
Susunan Organisasi dan Thta Keq'a Kantor Wilayah Departemen Kesehatan
Kabupaten Kotamadya.
Memperhatikan:
1. Hasil Musyawarah Kel'a Nasional Etika kedokteran ke II yang di-
selenggarakan pada tanggal 14-17 Desember 1981 diJakarta.

2so
Lompiron 251

2. Hasil Musyawarah Kerja Nasional Etika kedokteran Gigi tanggal 11 Agustus


1979 dan tanggal2l Nopember 1979 diJakarta.

. MEMUTU'KAN
lVlenetapkan:
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK IND ONESIA TENTANG
PANITIA PERTIMBANGAN DAN PEMBINAAN ETIKA KEDOKTERAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM
1. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan ini yang dimaksud dengan:Etika
kedokteran ialah norma yang berlaku bagi dokter dan dokter gigi dalam
menjalankan profesinya sebagai tercantum dalam kode etik masing-masing
yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
2. DirekturJenderal adalah DirekturJenderal yang bertanggung jawab di bidang
pelayanan kesehatan.
3. Menteri adalah Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

BAB II
PANITIA PERTIMBANGAN DAN PEMBINAAN
ETIKA KEDOKTERAN PU'AT

BAGIAN PERTAMA
Pembentuhon Ponitiq
Pasal 2
Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etika kedokteran Pusat (selanjutnya disebut
P3EK) terdiri dari unsur-unsur Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan c.q. Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi, Pengurus Besar Ikatan
Dokter Indonesia, dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia.
Pasal 3
P3EK Pusat berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.

Pasal 4
(1) Personalia P3EK Pusat dibentuk dan diangkat oleh Menteri.
(2) P3EK Pusat diangkat untuk masa jabatan 1 (satu) tahun dan selanjutnya dapat
diangkat kembali.
Pasal 5
(1) Personalia P3EK Pusat terdiri sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang dan selanyak-
banyaknya 9 (sembilan) orang dokter dan dokter gigi dengan susunan sebagai
berikut.
a. Kefua merangkap anggota;
b. Wakil Ketua merangkap anggota;
c. Sekretaris merangkap anggota;
d. Anggota.
252 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

(2) Administrasi Sekretariat P3EK Pusat diselenggarakan oleh Sub Direktorat Rehabili-
tasi Medis dan Kedokteran Sosial Direktorat Rumah Sakit atau Satuan Kerja yang
ditunjuk oleh Direktorat Jenderal.
Pasal 6
Apabila ada anggota mengundurkan diri atau meninggal dunia, Menteri mengangkat
penggantinya dengan memperhatikan pasal 2.

BAGIAN KEDUA
Tugor dqn Wewenqng
Pasal 7
P3EK Pusat berrugas:
a. memberi pertimbangan tentang Etika kedokteran kepada.Menteri.
b. membina dan mengembangkan secara aktif Kode Etik Kedokteran Indonesia dan
Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia dengan bekerja sama dengan Ikatan Dokter
Indonesia dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia.
c. memberi pertimbangan dan usul kepada pejabat yang berwenang di bidang
kesehatan.
d. menyelesaikan persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh P3EK Provinsi.
e. menerima rujukan terakhir dalam permasalahan pelanggaran Etika kedokteran atau
Etika kedokteran Gigi.
f mengadakan konsultasi dengan instansi penegak hukum dan instansi lain yang
berkaitan.

Pasal 8
P3EK Pusat dalam persoalan Etika kedokteran dan khususnya dalam menangani
pelanggaran Kode Etik masing-masing bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia
atau Persatuan Dokter Gigi Indonesia.

Pasal 9
Wilayah wewenang (teritorial) P3EK Pusat adalah:
a. Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia
b. Wilayah lain yang tunduk pada hukum Negara Republik Indonesia.
Pasal 10
(1) P3EK Pusat atas nama Menteri berwenang memanggil mereka yang dirujuk dalam
suatu persoalan Etika kedokteran untuk diminta keterangannya.
(2) Biaya pemanggilan dimaksud dalam ayat (1) dibebankan pada Anggaran Belanja
. Departemen Kesehatan c.q. Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan.
Pasal 11
Biaya P3EK Pusat dibebankan kepada Anggaran Belanja Departemen Kesehatan c.q.
Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan.
Lompiron 253

BAB III
PANITIA PERTIMBANGAN DAN PEMBINAAN
ETIKA KEDOKTERAN PROVIN'I

BAGIAN PERTAMA
Pembentuhqn Pqnitiq
Pasal 12
Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etika kedokteran Provinsi (selanjutnya disebut
P3EK Provinsi) terdiri dari unsur Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi,
Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Tingkat I, Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran
gigi (ika ada), Ikatan Dokter Indonesia Provinsi dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia
Provinsi.

Pasal 13
P3EK Provinsi berkedudukan di Ibukota Provinsi.

Pasal 14
(1) P3EK Provinsi dibentuk dan diangkat oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen
Kesehatan Provinsi setelah berkonsultasi dengan Gubernur Kepala Daerah Tingkat
L
(2) P3EK Provinsi diangkat untuk masa jabatan 1 (satu) tahun dan selanjutnya dapat
diangkat kembali.

Pasal 15
(1) P3EK Provinsi terdiri sekurang-kurangnya 5 (lima) orang dan sebanyak-banyaknya
7 (tujuh) orang dokter dan dokter gigi dengan susunan sebagai berikut.
Ketua merangkap anggota;
^.
b. Wakil Ketua merangkap anggota
c. Sekretaris merangkap anggota
d. Anggota.
(2) Adminsitrasi Sekretariat P3EK Provinsi berkedudukan di Kantor Wilayah
Departemen Kesehatan Provinsi.

Pasal 16
Apabila ada anggota yang mengundurkan diri atau meninggal . dunia, Kepala
Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi megangkat penggantinya dengan
memperhatikan pasal 12.

BAGIAN KEDUA
Tugor dan Wewenong
Pasal 17
(1) P3EK Provinsi bertugas dan berwenang:
a. Menerima dan memberi peftimbangan tentang persoalan dalam bidang Etika
kedokteran dan Etika kedokteran Gigi di Wilayahnya kepada Kepala Kantor
Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi.
b. Mengawasi pelaksanaan Kode Etik Kedokteran dan Kode Etik Kedokteran Gigi
dalam wilayahnya.
c. Mengadakan konsultasi dengan instansi penegak hukum dan instansi lain yang
berkaitan dalam tingkat provinsi.
254 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

d. Memberi nasihat kepada dokte.r dan dokter gigi.


e. Membina dan mengembangkan secara efektif Kode Etik Kedokteran Indonesia
dan Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia dan Persatuan Dokter Gigi
Indonesia.
f, Memberi pertimbangan-pertimbangan dan usul-usul kepada pejabat yang
berwenang di bidang kesehatan dalam wilayah Provinsi.
(2) P3EK Provinsi atas nama Kepala Kantor Wilayah Kesehatan Provinsi berwenang
memanggil mereka yang bersangkutan dalam suatu persoalan Etika kedokteran dan
Etika kedokteran g1g1 untuk diminta keterangannya, dengan pemberitahuan kepada
Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi dan Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi.

Pasal 18
Wilayah wewenang P3EK Provinsi ialah Wilayah Daerah Tingkat I Provinsi yang
bersangkutan.

Pasal 19
(1) Untuk keperluan tersebut dalam pasal 17 ayat (2) P3EK Provinsi jika perlu dapat
membentuk Panitia Ad Hoc untuk Daerah Kabupaten./Kotamadya Daerah Tingkat
II.
(2) P3EKProvinsiberdasarkanhasilpemeriksaanyangdirnaksud adilahayat (1) dapat
menyatakan bersalah.

Pasal 20
P3EK Provinsi dalam persoalan Etika kedokteran dan khususnya dalam menangani
pelanggaran Kode Etik masing-masing bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia
Provinsi atau Persatuan Dokter Gigi Indonesia Provinsi dan cabang-cabangnya.

Pasal 21
Biaya P3EK Provinsi dibebankan pada Anggaran Belanja Departemen Kesehatan cq
Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi.
Pasal 22
(1) P3EK Provinsi dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasall9 ayat (2) mengusulkan
kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi untuk mengambil
tindakan yang diperlukan terhadap dokter atau dokter gigi yang bersangkutan.
(2) Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi dapat mengambil tindakan
berupa peringatan atau tindakan administratif terhadap dokter atau dokter gigi
sesuai dengan berat ringannya pelanggaran.
(3) Keputusan Kepala Kantor Wilayah yang dimaksud dalam ayat Q) disampaikan
kepada dokter atau dokter gigi yang bersangkutan dengan tembusan kepada Menteri
Kesehatan, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, P3EK Brovinsi, dan P3EK Pusat.
(4) Dalam hal dokter atau dokter grgr yang melakukan pelanggaran berstatus Pegawai
Negeri Sipil yang diperbantukan pada Daerah, kepada yang bersangkutan akan
diambil tindakan administratif, yang sebelumnya perlu dikonsultasikan dengan
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
Pasal 23
(1) Apabila dokter dan dokter gigi bersangkutan sebagaimana dimaksud dalampasd,22
berkeberatan terhadap keputusan bersalah yang dinyatakan oleh pihak yang
berwenang, yang bersangkutan dapat mengajukan banding dalam waktu 20 (dua
puluh) hari ke P3EK Pusat.
Lompiron 255

(2) Pernyataan banding dalarn ayat (1) disampaikan ke P3EK Pusat melalui P3EK
Provinsi.
(3) P3EK Provinsi meneruskan banding tersebut dalam ayat (2) dalam waktu selambat-
lambatnya 7 (tujuh).hari terhitung sejak tanggal diterimanya banding.
(4) Apabila dokter.atau dokter gigi dalam waktu 20 (duapuluh) hari tidak mengajukan
banding dokter atau dokter gigi yang bersangkutan dianggap telah menerima
keputusan yang dimaksud dalam pasal22.
(5) Kepah Kantor Wilayah Kesehatan Provinsi belum diperkenankan menjalankan
keputusan dimaksud dalam pasal 22 apabila yang bersangkutan mengajukan
banding.

Pasal24
(1) P3EK Pusat setelah menerima berkas banding segera memeriksa dan mengambil
keputusan banding.
(2) P3EK Pusat meyampaikan keputusan kepada Menteri untuk mengambil tindakan
yang diperlukan terhadap dokter atau dokter gigi yang bersangkutan.
(3) Keputusan Menteri baik berupa peringatan atau tindakan administratif disampaikan
kepadS dokter atau doker gigi dengan tembusan ke instansi yang bersangkutan.

BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
(1) Pelaksanaan Peraturan Menteri yang bersifat teknis diatur lebih lanjut oleh Direktur
Jenderal.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, Peraturan Menteri Kesehatan No. 02,2
Birhukmas/I/75 tentang Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etika kedokteran
dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 26
Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia'

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. 14 TAHUN 1983


Lampircn ll

o
,t 3 5
H C\t
o
o tu
d
-!O
!
E
o
3 cd
H

-.bg
e
ds E Is
dg
d

L
(.)
H
t
E

ulho
! n F:
()
-!4
!?

8 E= Sf a.
9pa

E
(n
o
F=
=d .i'E=i
z
e
F
?> .v
o.
cg

a !e
JA.!-= bo ei

EE (.)
qA

=g
f;
ts

= :$x
o
ti bn
-0)
F
i
E

!$
o b0 d
-v
P
!i E cd
bo
C)
.E
L IJ
gJ bo <-
g C(
'?
IL J ,Cd
F
s
.:j -O
cd 0)
U)Fr

bna
x5
O

O
{-

256
Lqmpiron 257

L/AFAL TUMPAH DOKTER

Berdasarkan
SK. MENKES No. 434,2M enkes/ SK/X/ 1983
Potret, tanda tangan, dan No. pendaftaran fakultas dari pemilik
(Sesudah ditempelkan, potret harus dicap dengan cap fakultas)

DEMI ALLAH SAYA BERSUMPAH BAHWA:


Saya akan membaktikan hidup saya, guna kepentingan perikemanusiaan.
Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga, martabat dan tradisi luhur jabatan
kedokteran
Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila,
sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter.
Saya akan menjalankan tugas saya, dengan mengutamakan kepentingan
masyarakat.
Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya,
dan karena keilmuan saya sebagai dokter.
Saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kedokteran saya, untuk sesuatu
yang bertentangan dengan perikemanusiaan sekalipun diancam.
Saya akan menghormati setiap hidup insani, mulai dari saat pembuahan.
Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita.
Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh, supaya saya tidak terpengaruh
oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, perbedaan kelamin,
politik kepartaian, atau kedudukan sosial, dalam menunaikan kewajiban ter-
hadap penderita.
Saya akan memberikan kepada guru-guru saya, penghormatan dan pernyataan
terima kasih yang selayaknya.
Saya akan perlakukan teman sejawat saya, sebagaimana saya sendiri ingin
diperlakukan.
Saya akan mentaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh, dan dengan mempertaruhkan
kehormatan diri saya.
Lcmpirqn 12
FennvlrAAN IDI TeTTANG
Rrxau Mror/KETEHATA n (Meorcnr Recono)
(Launnm tK PB IDI No.3|5/PB/A.4/BB)

1. Rekam medis kesehatan adalah rekam dalam bentuk tulisan atau gambaran
'akivitas pelayanan yang diberikan oleh pemberi pelayanan medis,/kesehatan
kepada seorang pasien.
2. Rekam medis,/kesehatan meliputi: identitas lengkap pasien, catatantentang
penyakit (diagnosis, terapi, pengamatan perjalanan penyakit), catatan dari
pihak ketiga, hasil pemeriksaan laboratorium, foto rontgen, pemeriksaan
USG, dan lain-lain serta resume.
J. Rekam medis,/kesehatan harus dibuat segera dan dilengkapi seluruhnya
paling lambat 48 jam setelah pasien pulang atau meninggal.
4. Perintah dokter melalui telepon untuk suatu tindakan medis, harus diterima
oleh perawat senior. Perawat senior yang bersangkutan harus membaca ulang
catatannya tentang perintah tersebut dan dokter yang bersangkutan.men-
dengarkan pembacaan ulang itu dengan seksama serta mengoreksi bila ada
kesalahan. Dalam waktu paling lambat 24 jam, dokter yang memberi perintah
harus menandatangani catatan tersebut.
5. Perubahan terhadap rekam medis,/kesehatan harus dilakukan dalam lembar
khusus yang harus diy'adikan satu denga.n dokumen untuk rekam medis,/
kesehatan lainnya.
Rekam medis,/kesehatan harus ada untuk mempertahankan kualitas pelayan-
an profesional yang tinggi, untuk melengkapi kebutuhan informasi locum
tennens, untuk. kepentingan dokter pengganti yang meneruskan perawatan
pasien, untuk referensi masa datang, serta diperlukan karena adanya hak
untuk melihat dari pasien.
Berdasarkan butir 6 di atas, rekam medis,/kesehatan wajib ada di rumah sakit,
Puskesmas atau balai kesehatan dan praktik dokter pribadi atau praktik
berkelompok.
8. Berkas rekam medis,/kesehatan adalah milik rumah sakit, fasilitas kesehatan
lain atau dokter praktik pribadi./kelompok. Oleh karena itu, rekam medis,/
kesehatan hanya boleh disimpan di rumah sakit, fasilitas kesehatan lainnya
dan dokter prakik prib;adi/ kelompok.
9. Pasien adalah pemilik kandungan isi rekam medis,/kesehatan yang bersangkut-
an, maka dalam hal pasien tersebut menginginkannya dokter yang merawat
harus mengutarakannyabaik secara lisan maupun terfulis.

258
Lompiron 259

10. Pemaparan isi kandungan rekam medis,/kesehatan hairya boleh dilakukan


oleh dokter yang bertanggung jawab dalam perawatan pasien yang ber-
sangkutan. Dan hal ini hanya boleh dilakukan untuk (1) pasien yang ber-
sangkutan, Q) ataukepada konsumen, atau (3) untuk kepentingan pengadilan.
Untuk rumah sakit permintaan pemaparan ini untuk kepentingan pengadilan
harus ditujukan kepada kepala rumah sakit.
11. Lama penyimpanan berkas rekam medis/kesehatan adalah lima tahun dari
tanggal terakhir pasien berobatatau dirawat, dan selama lima tahun itu pasien
yang bersangkutan tidak berkunjung lagi untuk berobat. Lama penyimpanan
berkas rekam medis/kesehatan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat
khusus dapat ditetapkan lain.
t2. Setelah batas waktu tersebut pada butir 11 dilampaui, berkas rekam medis./
kesehatan dapat dimusnahkan.
13. Rekam medis,/keseh atan adalahberkas yang perlu dirahasiakan. Oleh karena
itu, sifat kerahasiaan ini perlu selalu diiaga oleh setiap petugas yang ikut
menangani rekam medis,/kesehatan.
Lcmpirqn 13
FrnruvlrAAN lDl renrnNc lruronneruo CoNsext
(Lrunrnnr.r IKB IDI No. 319/PBl A,4188)

1. Manusia dewasa dan sehat rohaniah berhak sepenuhnya menentukan apa


yang hendak dilakukan tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan
medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk ke-
pentingan pasien itu sendiri.
2. Oleh karena itu, semua tindakan medis (diagnostik, terapeutik ataupun
paliatif) memerlukan iniftrmed consent secara lisan ataupun tertulis.
Setiap tindakan medis yang menga.ndung risiko cukup besar, mengharuskan
adanya persetujuan tertulis yang ditanda-tangani oleh pasien, setelah se-
belumnya pasien itu memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya
tindakan medis yang bersangkutan serta risiko yang berkaitan dengannya
(in1frnned corcenfi.
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan per-
setujuan lisan atau sikap diam (stil zzaygend).
Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta
oleh pasien (maupun tidak). Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila
dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan
kesehatan pasien. Dalam hal ini, dokter dapat memberikan informasi itu
kepada keluarga terdekat. Dalam memberikan informasi kepada keluarga
terdekat pasien, kehadiran seorang perawat/paramedik lain sebagai saksi
adalah penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang
direncanakan, baik diagnosti( terapeutik maupun paliatif Informasi biasanya
diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan
informasi "inlbnned consenl'). Informasi harus diberikan secarajujur dan benar,
terkecuali bila dokter menilai bahwa hal ini dapat merugikan kepentingan
pasien. Dalam hal ini, dokter dapat memberikan informasi yang benar itu
kepada keluarga terdekat pasien.
Dalam hal tindakan bedah (operasi) dan tindakan invasif lainnya, informasi
harus diberikan oleh dokter yang bersangkutan sendiri. Untuk tindakan yang
bukan bedah (operasi) dan tindakan invasi{ informasi dapat diberikan oleh
perawat atau dokter lain, sepengetahuan atau dengan petunjuk dokter yang
merawat.
8. Perluasan operasi yarrg dapat diduga sebelum tindakan dilakukan, tidak boleh
dilakukan tanpa informasi sebelumnya kepada keluarga yang terdekat atau

260
Lompiron 261

yang menunggu. Perluasan yang tidak dapat diduga sepelum tindakan


dilakukan, boleh dilaksanakan tanpa informasi sebelumnya bila perluasan
operasi tersebut perlu untuk menyelamatkan nyawapasien pada waktu itu.
9. I@med cznsent diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan
sehat rohaniah.
10. Untuk orang dewasa yang berada di bawah pengampuan, informed consent
diberikan oleh orang tua./kurator/wali. Untuk yang di bawah umur dan tidak
mempunyai orangbn/wali, inlformed consenldiberikan oleh keluarga terdekat/
induk seman g (guardr:an).
11. Dalam hal pasien tidak sadar/pingsan, serta tidak didampingi oleh yang
tersebut dalam butir 10, dan yang dinyatakan secara medis berada dalam
keadaan gawat dan/atau darurat yang memerlukan tindakan medik segera
untuk kepentingan pasien, tidak diperlulan tnformed consent dari siapa pun ini
menjadi tanggung jawab dokter.
t2. Dalam pemberian persetujuan berdasarkan informasi untuk. tindakan medis
di rumah sakitzklinih maka rumah sakit/klinik yang bersangktrtan ikut ber-
tanggungjawab.
Lampirqn l4
Frmrumru Meurenl Ke*HATAN
Repugr.rx lnooueln
No. 7 49 al Mnrxg/Fen/X! l/l989
Terurlnc Rexau MeotsI iyleotctt Rpcono

MENTERI KE'EHATAN REPUBLIK INDONE'IA

Menimbang:
a. Bahwa dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi
seluruh masyarakat perlu adanya peningkatan mutu pelayanan kesehatan;
b. Bahwa peningkatan mutu pelayanan kesehatan harus disertai adanyasarana
penunjang yang memadai antara lain melalui penyelenggaraan rekam medis
pada setiap sarana pelayanan kesehatan;
c. Bahwa untuk mencapai tujuan huruf a dan b tersebut di atas dipandang
perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Rekam Medis.
Mengingat:
1. Undang-undang No. 9 Tfiun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 1960 No. 131, Tambahan Lembaran Negara No.
2068);
2. Undang-undang No. 6 Tfiun 1963 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran
Negara Tahun 1963 No. T9,Tambahan Lembaran Negara No. 2576);
3. Undang-undang No. 7 Tfiun l97t tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kearsipan (Lembaran Negara Tahun 1971 No. 32, Tbmbahan Lembaran
Negara No. 2964);
4. Peraturan Pemerintah No. 10 Thhun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia
Kedokteran (Lembaran Negara 1966 No. 2l,Timbahan Lembaran Negara
No.2803);
5. Peraturan Pemerintah No. 7 Thhun 1987 tentang Penyerahan Sebagian
Urusan Pemerint4han Dalarir Bidang Kesehatan Kepada Daerah (Lembaran
Negara 1987 No. 9, Thmbahan Lembaran Negara No. 3347)1

MEMUTU'KAN
Menetapkan:
PERATURAN MENTERI KESEHIIAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG
REKAM MEDIS.

262
Lompiron 263

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
a. Rekam Medis adalah berkas yang berisikan catalan, dan dokumen tentang identitas
pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain pada pasien pada
sarana'pelayanan kesehatan.
b. Sarana pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakanuntuk menyelenggarakan
upaya kesehatan baik untuk rawat jalan maupun. rawat inap yang dikelola oleh
Pemerintah ataupun swasta.
c. Dokter adalah dokter umum/dokter spesialis dan dokter gigildokter gigi spesialis.
d. Tenaga Kesehatan lain adalah tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan
kesehatan secara langsung kepada pasien.
e. Direktur Jenderal adalah Direktur Pelayanan Medik dan atau Direktur Jenderal
Pembinaan Kesehatan Masyarakat.

BAB II
TATA CARA PENVELENGGARAAN
Pasal 2
Setiap sarana pelayanan kesehatan yang melakukan pelayanan rawat jalan maupun
rawat inap wajib membuat rekam medis.

Pasal 3
Rekam medis sebagaimana yang dimaksud pasal2 dibuat oleh dokter dan atau tenaga
kesehatan lainnya yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien.

Pasal 4
Rekam medis harus dibuat segera dan dilengkapi diseluruhnya setelah pasien menerima
pelayanan.

Pasal 5
(1) Pembetulan kesalahan catatar' dilakukan pada tulisan yang salah dan diberi paraf
oleh petugas yang bersangkutan.
(2) Penghapusan tulisan dengan cara apapun tidak diperbolehkan.
Pasal 6
(1) Lama penfmpanan rekam medis sekurang-kurangnya untukjangka waktu 5 (ima)
tahun terhitung dari tanggal terakhir pasien berobat.
Q) Lama penyimpanan rekam medis yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat
khusus dapat ditetapkan tersendiri.

Pasal 7
(1) Setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pasal 7 dilampaui, rekam medis dapat
dimusnahkan.
Q) Taia cara pemusnahan sebagaimana dimaksud ayat (l) ditetapkan oleh Direktur
Jenderal.
Pasal 8
Rekam medis harus disimpan oleh petugas yang ditunjuk oleh pimpinan sarana
pelayanan kesehatan.
264 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

PEM r Lr KAN FAATAN


Pasal 9
"it"Jll^N
(1) Berkas rekam medis milik sarana pelayanan kesehatan.
(2) Isi rekam medis milik pasien.
Pasal 10
Rekam niedis merupakan bekas yang wajib dijaga kerahasiaannya.

Pasal 11
(1) Pemaparan isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter yang merawat pasien
dengan izin tertulis dari pasien.
(2) Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat memaparkan isi rekam medis tanpa izin
pasien berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 12
Pimpinan sarana kesehatan bertanggung jawab atas :

hilangnya, rusaknya, atau pemalsuan rekam medis.


^.
b. penggunaan oleh oranglbadan yang tidak berhak.

Pasal 13
Rekam medis dapat dipakai sebagai:
a. dasar pemiliharaan kesehatan dan pengobatan pasien
b. bahan pembuktian dalam perkara hukum
c. bahan untuk keperluan penelitian dan pendidikan
d. dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan
e. bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan

BAB IV
I'I REKAM MEDIK
Pasal 14
IsirekammedisuntukpasienrawatjalandapatdibuatselengkapJengkapnyadansekurang-
kurangnya memuat: identitas, anamnese, diagnosis dan tindakan /pengobatan.

Pasal 15
Isi rekam medis untuk pasien rawat inap sekurang-kurangnya memuat:
- identitas pasien;
anamnese;
- riwayat penyakit;
- hasil pemeriksaan laboratorik;
- diagnosis;
- persetujuan tindak medik;
_ tindakan,zpengobatan;
- catatan perawat;
- catatan observasi klinis dan hasil pengobatan;
- resume akhir dan evaluasi pengobatan
Lompiron 265

BAB V
PENGORGANI'A'IAN
Pasal 16
Pengelolaan rekam medis dilaksanakan sesuai dengan tala cara ke{a organisasi sarana
pelayanan kesehatan.

Pasal 17
Pimpinan sarana pelayanan kesehatan wajib melakukan pembinaan terhadap petugas
rekam medis unhrk meningkatkan keterampilan.

Pasal 18
Pengawasan terhadap penyelenggaraan rekam medis dilakukan oleh DirekturJenderal.

BABVI

'ANK'I
Pasal 19
Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam peraturan ini dapat dikenakan sanksi
administratif mulai dari teguran lisan sampai pencabutan surat izin.

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 20
Semua sarana pelayanan kesehatan harus menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan
dalam peraturan ini paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya peraturan ini.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Hal-hal teknis yang belum diatur dalam petunjuk pelaksanaan peraturan ini akan
ditetapkan oleh DirekturJenderal sesuai denga.n bidang tugas masing-masing.

Pasal 22
Peraturan Menteri ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Lompirqn 15
PennrumN Merurrnl KeITHATAN
Rrpuellx ltrponetn
No. 585/Menxg/Pen/lX/l989
Texranc PenserutuAN Tnolxln Meolx

MENTERI KE'EHATAN REPUBLIK INDONE'IA

Menirnbang:
a. bahwa dalam menjalankan profesi kedokteran perlu ditetapkan landasan
hukum untuk menjadi pedoman bagi para dokter, baik yang beke{a di
rumah sakit, puskesmas, klinik maupun pada praktik perorangan atau
bersama.
b. bahwa pengaturan tentang persetujuan tindakan mediVinformed consent
merupakan suatu hal yang berkaitan erat dengan tindakan medik yang
dilakukan oleh dokter dan oleh karenanya perlu diatur dalam suatu Peraturan
Menteri Kesehatan.
Mengingat:
1. Undang-undangNo. 9 Tbhun 1960 tentangPokok-pokok Kesehatan (Lembar-
an Negara Tahun 1960 No. 131, Tambahan Lembaran Negara No. 2068);
2. Undang-undang No. 6 Tbhun 1963 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran
Negara Thhun 1963 No. Tg,Tambahan Lembaran Negara No. 2576).

MEMUTU'KAN
Menetapkan:
PERATURAN MENTERI KESEH,{TAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PERS ETUJUAN TINDAKAN MEDIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal I
Dalam Persetujuan ini yang dimaksud dengan:
a. Persetujuan tindakan mediVinformed consent adalah persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang
akan dilakukan terhadap pasien tersebut;
b. Tindakan medik adalah suatu tindakan yang dilakukan terhadap pasien berupa
diagnostik atau terapeutik;

266
Lompiron 267

c. Tindakan invasif adalah tindakan medik yang langsung dapat mempengaruhi


keutuhan jaringan tubuh;
d. Dokter adduh dokt"r umum./dokter spesialis dan dokter gigi,/dokter gigi spesialis
yang beke{a di rumah.sakit puskesmas, klinik atau praktik perorangan/bersarna.

BAB II
. PER'ETUIUAN
Pasal 2
(1) Sernua tindakan medik yang akan dilakukan tehadap pasien harus mendapat
persetujuan.
(2) Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.
(:) ferretuluan sebagaimana dimaksud ayat (l) diberikan setelah pasien mendapat
informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta
risiko yang dapat ditimbulkannya.
(4) Caru penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan
serta kondisi dan situasi pasien.

Pasal 3
(1) Setiap tindakan medik yang mengandung risiko tinggi harus dengan persetujuan
tertulis yang ditandatangani oleh yang hendak memberikan persetujuan'
(2) Tindakan medik yang tidak termasuk sebagaimana dimaksud dalam pasal ini tidak
diperlukan persetujuan tertulis, cukup persetujuan lisan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat Q) dapat diberikan secara nyata-nyata.atatu
secara diam-diam.

BAB III
INFORMA'I
Pasal 4
(1) Informasi tentang tindakan medik harus diberikan kepada pasien, baik diminta
maupun tidak diminta.
(2) Dokter harus memberikan informasi selengkapJengkapnya, kecuali bila dokter
menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien
atau pasien menolak diberikan informasi.
(3) Dalam hal-hal sebagaimana dimaksud Q) dokter dengan persetujuan pasien
^yat
dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi
oleh seorang perawat/ parartedtk lainnya sebagai saksi.
Pasal 5
(1) Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian daripada tindakan
medik yang akan dilakukan, baik diagnostik maupun terapeutik.
(2) Informasi diberikan secara lisan.
(S) Infotnturl harus diberikan secara jujur dan benar kecuali bila dokter menilai bahwa
hal itu dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien-
(4) Dalam hal-hal sebagaimana dimaksud ayat (3) dokter dengan persetujuan pasien
dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga pasien terde.kat'

Pasal 6
(1) Dalam hal tindakan bedah (operasi) atau tindakan invasif lainnya, informasi harus
diberikan oleh dokter yang akan melakukan operasi tersebut'
268 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

(2) Dalam keadaaan teftentu dimana tidak ada dokter sebagaimana dimaksud ayat (1)
informasi harus diberikan oleh dokter lain dengan pengetahuan atau petunjuk yang
bertanggungjawab.
(3) Dalam hal tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan tidak invasif lainnya,
informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau perawat, dengan pengetahuan atau
petunjuk dokter yang bertanggung.jawab.
Pasal 7
(1) Informasi juga harus diberikan jika ada kemungkinan perluasan operasi.
(2) Perluasan operasi yang tidak dapat diduga sebelumnya, dapat dilakukan untuk
menyelamatkan jiwa pasien.
(3) Setelah perluasan operasi sebagaimana dimaksud ayat (!) dilakukan, dokter harus
memberikan informasi kepada pasien dan kelu.arganya.

BAB IV
YANG BERHAK MEMBERIKAN PER'ETU'UAN
Pasal 8
(1) Persetujuan diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sadar dan
sehat mental.
(2) Pasien dewasa sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah yang telah berumur 21 (dua
puluh satu) tahun atau telah menikah.
Pasal 9
(1) Bagi pasien dewasa yang berada di bawah pengampuan (curate/e) persetqjuan
diberikan oleh w ali/ cura to r.
(2) Bagi pasien dewasa yang menderita gangguan mental, persetujuan diberikan oleh
orang tualwalil cu ralor.

Pasal 10
Bagi pasien di bawah umur 2l ldua puluh satu) lahun dan tidak mempunyai orang
tua/wa\, dan atau orangtta/wali berhalangan, persetujuan diberikan oleh keluarga atau
induk semang.
Pasal 11
Dalam hal pasien tidak sadar',/pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan
secara medik berada dalam keadaan gawat dan atau danrrat yang memerlukan tindakan
medik segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan dari siapapun.

BAB V
TANGGUNG TAWIE
Pasal 12
(1) Dokter bertanggungjawab atas pelaksanaan ketentuan tentang persetujuan tindakan
medik.
(2) Pemberian persetujuan tindakan medik yaog dilaksanakan di rumah sakit/klinik,
maka rumah sakit/klinik yang bersangkutan ikut bertanggung jawab.
Lompiron 269

BAB VI

'ANK'I
Pasal 13
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa adatya persetujuan dari pasien
atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat izin
praktiknya.

BAB VII
KETENTUAN LIAIN

Pasal 14
Dalam hal tindakan medik yang harus dilalaanakan sesuai dengan program pemerintah
dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyah maka per-
setujuan tindakan medik tidak diperlukan.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 15
Hal-hal yang bersifat teknis yang belum diatur dalam peraturan Menteri ini, ditetapkan
oleh Direktur Pelayanan Medik.

Pasal 16
Peraturan Menteri ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap prang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Lcmpirqn 16
PenruvlrAAN lxnmru Doxren lruooueln
Tenranc Man

Lompiron tK PB lDl No. 3r6lpBIA.4l88 mensenci


Pernyotcon lDl tentqng MATI
1. Mati adalah proses yang berlangsung secara berangsur. Tiap sel dalam tubuh
manusia mempunyai daya tahan yang berbeda-beda terhadap tidak adanya
oksigen dan oleh karenanya, mempunyai saat kematian yang berbeda pula.
2. BagJ dokter, kepentingan bukan terletak pada tiap butir sel tersebut, tetapi pada
kepentingan manusia itu sebagai kesatuan yang utuh.
3. a. Dalam tubuh manusia, ada tiga organ penting yang selalu dilihat dalam
penentuan kematian seseorang yaitujantung, paru-paru dan otak (khususnya
batang otak).
b. Di antara ketiga organ tersebut, kerusakan permanen pada batang otak,
merupakan tanda bahwa manusia itu secara keseluruhan tidak dapat
dinyatakan hidup lagi.
4. Definisi mati.
Seseorang dinyatakan mati bilamana:
a. fungsi spontan pernapasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau
tlrreaerst'b/e, atau
b. bila terbukti telah terjadi kematian batang otak.
5. Untuk tujuan transplantasi organ, penentuan mati didasarkan pada mati batang
otak. sebelum dilakukan pengambilan organ, semua tindakan medis diteruskan
agar organ tetap baik.
6. sadar bahwa pernyataan tentang kematian ini akan mempunyai irnplikasi
hukum dan implikasi teknis lapangan, maka dengan ini Ikatan Dokter Indonesia
mengajukan usul perubahan dan penambahan terhadap PP no. 18 tahun 1981,
. terutama yang berkenaan dengan definisi seperti yang tercantum dalam pasal
1, ayat 9 dari Peraturan Pemerintah tersebut.
7. Pada situasi dan keadaan penderita belum mati, tetapi tindakan terapeutiVpaliatif
tidak ada gunanya lagi sehingga bertentangan dengan tujuan ilmu kedokteran.
Dengan demikian, tindakan terapeutivpaliatif dapat dihentikan. penghentian
tindakan terapeutiVpaliatif tersebut di atas, sebaiknya dikonsultasikan dengan
sedikit-dikitnya seorang dokter lain.

270
Lompiron 271

PENIELA'AN
1. Cukup jelas.
2. Cukup jelas.
3. a. Cukupjelas.
b. Cukup jelas.
4. Seseorang dinyatakan mati jika fungsi spontan pernapasan dan jantung telah
berhenti iecata pasll/irrnersible, yaitu misalnya pada kematian normal yang
biasaterjadi pada penyakit akut atau kronikyangberat. Pada keadaan ini, denl'ut
jantung dan nadi berhenti pada suatu saat ketikajantung ataupun organisme
lain secara keseluruhan begitu terpengaruh oleh penyakit tersebut, sehingga
orang yang bersangkutan tidak mungkin untuk tetap hidup lebih lama lagi.
Upaya resusitasi padakeadaan ini tidak berarti lagi.
lJpayaresusitasi dilakukan pada keadaan mati klinis, yaitu bila deny'ut nadi
besar (sirkulasi) dan napas berhenti dan diragukan apakah kedua fungsi spontan
jantung dan pernapasan telah berhenti secara pasti/irrnersible, misalnya pada
kematian mendadak.
IJpayaresusitasi darurat ini dapat diakhiri bila:
a. diketahui kemudian, bahwa sesudah dimulai resusitasi, pasien temyata
berada dalam stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan
lagi; atau hampir dapat dipastikan bahwa pasien tidak akan memperoleh
kembali fungsi cerebralnya, yaitu sesudah 1 jam, terbukti tidak ada nadi
pada normoternia tanpa resusitasi jantung baru.
b. terdapat tanda-tanda klinis mati otalq yaitu sesudah resusitasi, pasien tetap
tidak sadar, tidak timbul napas spontan dan gag refleks, pupil tetap dilatasi
selama paling sedikit 15-30 menit;
" Perkecualian untuk itu ialah hipoterrnia atau di bawah pengaruh barbi-
turat atau anestesi umum.
c, terdapat tanda mati jantung yaitu asistole listrik membandel (garis datar
pada EKG) selama paling sedikit 30 menit, meskipun telah dilakukan
resusitasi dan pengobatan optimal.
d. penolong terlalu lelah sehingga tidak dapat melanjutkan upaya resusitasi.
Jika ada kaitannya dengan kepentingan transplantasi organ' yang berwenang
menentukan kematian adalah 2 (dua) orang dokter yang tidak terikat dengan
tindakan transplantasi tersebut.
Diagnosis Mati Batang Otak (MBO)
Ada tiga langkah untuk menegakkan diagnosis MBO: a) meyakini bahwa telah
terdapat pra kondisi tertentu, b) menyingkirkan penyebab koma dengan henti
napas yang trreoersib/e, c) memastikan arefleksia batang otak dan henti napas
yang menetap. Bila setiap kasus didekati secara sistematis, tak akan terjadi
kesalahan.
Terdapat dua pra kondisi yang diperlukan: a) bahwa pasien dalam keadaan
koma dan henti napas, yaitu tidak responstbe dan dibantu ventilator, b) bahwa
penyebabnya adalah kerusakan otak struktural yang tidak dapat diperbaiki lagi,
yang disebabkan oleh gangguan yang dapat menuju MBO.
272 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehotqn

Intoksikasi obat, hipotermia dan gangguan metabolik atau endokrin, semua


dapat menyebabkan perubahan berat pada fungsi batang ota[ tetapi reaersible.
"Memorandum" atau "(JK Code" menegaskan bahwa MBO tidak boleh
dipertimbangkan bila terdapat kondisi ini, baik sebagai penyebab koma primer
ataupun faktor penunjang.
Untuk memantapkan prakondisi guna memapankan diagnosis kerusakan
'otak stuktural sehingga diyakini kondisi yang bersangkutan tidak dapat
diperbaiki, perlu ditunggu beberapa waktu lamanya. Ini berkisar antara beberapa
jam sampai beberapa hari, bergantung pada kasus.
Tes-tes yang diperlukan untuk menunjukkan bahwa batang otak tidak
berfungsi, hanya memerlukan beberapa menit. Tes-tes ini membuktikan bahwa
refleks batang otak telah hilang, dan memastikan adanya henti napas yang
menetap. Sebelum melakukan tes, hendaknya diperhatikan bahwa pada fungsi
batang otak yang menghilang, terdapat tanda-tanda berikut: 1) koma, 2) tidak
ada sikap abnormal (dekortikasi, deserebrasi), 3) tidak ada sentakan epileptik,
4) tidak ada refleks batang otak, dan 5) tidak ada napas spontan. Bila misalnya
ada sikap abnormal seperti dekortikasi, ini berarti masih ada unsur neuron
hidup di batang otak. Karena itu, tes untuk MBO tidaklah tepat untuk dilakukan,
karena akan membuang waktu saja.
Bila memang tanda-tanda fungsi batang otak yang hilang di atas, ada semua,
hendaknya secara sistematis diperiksa lima refleks batang otak (lihat Thbel 1).
Kelima refleks harus negatif sebelum dapat didiagnosis MBO.

Tabel 1. Refleks batang otak tidak ada

Tes terhadap refleks-refleks batang otak dapat menilai integritas fungsional


batang otak dengan curayang unik. Tak ada daerah otak lainnya yang dapat
diperiksa sepenuhnya seperti ini. Hal ini menguntungkan, karena konsep mati
yang baru, secara tidak langsung menyatakan bahwa semua yang berarti bagi
kehidupan manusia bergantung pada integritas jaringan yang hanya beberapa
cm3 ini. Tes ini ditujukan untuk mencai ada atau tidak adanya respons, dan
bukan gradasi fungsi. Ini mudah dilakukan dan dapat dimengerti oleh setiap
dokter atau perawat yang terlatih. Ini tidak bergantung pada mesin, atau super
spesialis.
Tes yang paling pokok untuk fungsi batang otak adalah tes untuk henti
napas (lihat Thbel2).
Lompiron 273

Tabel 2. Tes untuk henti napas

Tes ulang perlu dilakukan untuk mencegah kesalahan pengamatan dan


perubahan tanda-tanda Interval waktu berkisar dari 25 menit sampai 24 jam,
bergantung pada rumah sakit atau rekomendasi yang dianut.
Dalam mem|uat diagnosis MBO, kadang-kadang di1'umpai kesukaran (lihat
Thbel 3).

Thbel3. Beberapa kesukaran dalam diagnosis MBO


'IIsriI kusra
1.'Ftryil,terfihs*si -,abatanti *Iiner ,

-:oliatpal#prrh:otot

?. Refl efu i okulo-vestitiular negatif


- obat penekan vestibuiar
.penyakit
3,,.T.a[s.ads,napa$ - heati napa*: p- aspa'hiperventilxi
- obat pelurnpuh,$tot
4.,fid 'ada *tifitqs' notor "; obat pelqtqFuh"ot-ot
1,. lotfud,,in':t:tgte,,,,,',,'
:,;,t.::',:::: l:r.:t:i.:r::r:i:t:, :,.:t
- s$s1*d[tif]=: I ,,

5" E[ft .etel.trik

Bila dokter yang bertugas masih ragu-ragu mengenai: a) diagnosis primer,


b) kausa disfungsi batang otak yang reuersible (obat atau gangguan metabolik),
dan c) kelengkapan tes klinis, hendaknya jangan dibuat diagnosis MBO!
Diusulkan untuk mengubah definisi mati menjadi, seseorang dianggap mati
bilamana:
a. fungsi spontan pernapasan dan jantung telah berhenti secara pasti/
ireuersib/e, atau
b. telah terbukti terjadi kematian batang otak.
274 Etihq Kedohteron don Huhum Kesehoton

7. Penghentian tindakan terapeutiVpaliatif dilakukan secara bertahap sesuai


dengan kondisi,/keparahan penyakit pasien.
a. Untuk pengakhiran resusitasi jangka panjang dipakai triase gawat darurat
(cnnbal care tn)age), yaitu:
1) Bantuan total untuk pasien sakit atau cedera kritis yang diharapkan
tetap dapat hidup tanpa kegagalan otak berat yang menetap. Sistem
organ vital, walaupun biasanya terpengaruh, tidak rusak secara tlr-
reaerst'ble. Semua yang mungkin, dilakukan untuk mengurangi mortalitas
dan morbiditas.
2) Semua diusahakan kecuali resusitasi jantung paru (RJP) untuk pasien
dengan fungsi otakyangtetap ada,atau dengan
3). Haiapan ada pemulihan otak pasien yang mengalami kegagalanjantung
paru atau organ multipel yang lain atau dalam tingkat akhir penyakit
yang tidak dapat disembuhkan, misalnya karsinomatosis lanjut. Semua
yang mungkin, dilakukan untuk kenyamanan pasien. Perpanjangan
hidup tidak dilakukan setelah henti jantung.
4) Tidak dilakukan tindakan-tindakan lua. bi"asa bagi pasien-pasien yang
bila diberi beberapa bentuk terapi tampaknyahanya berarti memper-
panjang kematian, bukannya kehidupan. Sebagai contoh ialah pasien
dengan fungsi otak minimum tanpa harapan perbaikan sehingga tidak
ada kemungkinan untuk mentasi manus ia (human mentattbn) selanjutnya.
Pasien moribund sadar tanpa harapan, dibuat merasa nyaman dan bebas
nyeri.
5) Penentuan dan sertifikasi mati batang otak; Pengakhiran semua bantuan
. hidup untdk pasien dengan penghentian fungsi batang otak yang
ineoersible. Setelah kriteria mati batang otak dipenuhi, pasien dinyatakan
meninggal dan semua terapi dihentikan. Jika sedang dipertimbangkan
donasi organ, bantuan jantuflg paru pasien diteruskan sampai organ
yang diperlukan telah diambil.
Paling sedikit 2 dokter membuat klasifikasi dan secara berkala
melakukan reklasifikasi tiap pasien ICU ke dalam 1-4 kategori tersebut
di atas. Klasifikasi sebaiknya dikerjakan oleh kelompok dokter (lebih
dari 1 orang), kecuali di tempat terpencil,/tersendiri.
b. Hal yang dapat digolongkan ke dalam tindakan-tindakan luar biasa ialah
perawatan di ICU, RJP, pengendalian disritmia, intubasi trakhea, ventilasi
mekanis, infus i.v., obat vasoaktif kuat, nutrisi parenteral total. Makanan
lewat pipa lambung cairan i.v. antibiotika masih dapat diberikan pada
keadaan tertentu.
c. Keputusan untuk menghentikan tindakan-tindakan luar biasa untuk bantuan
hidup merupakan keputusan medis. Ini dibuat oleh dokter-dokter yang
berpengalaman, yang memahami kasus secara keseluruhan, dan sebaiknya
setelah mengadakan konsultasi dengan dokter spesialis berpengalaman
. (yaitu, spesialis anestesiologi, dokter cy'r'ttlcal care, spesialis neurologi). Selain
itu, hendaknya dipertimbangkan pula keinginan pasien yang dinyatakan
Lompiron 275

sebelumnya, sikap keluarga dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan,


tetapi keluarga tidak diminta membuat keputusan membiarkan mati.
d. Bila pasien diputuskan untuk diberikan kesempatan meninggal dengan
wajar dengan mematikan mesin ventilator, maka setelah mesin dimatikan
dicoba untuk mengembalikan napas spontan' Bila upaya ini gagal, tetapi
ventilator tidak lagi diberikan dan pasien dibiarkan mati secara alamiah. Bila
secara tidak terduga pasien dapat bernapas spontan kembali, terapi ventilator
dapat diteruskan.

Jakarta 5 Maret 1988


Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia,

Ketua Umum, Sekretaris Jenderal,

Ttd. Ttd.

Dr. Kartono Mohamad Dr. H. Dede Kusmana


Lcmpircn 17
Fenlrumn PeuentNTAH Rl No. 32 Tluur.r 1996
Terumrc Tenncl Kesenamn

PRE'IDEN REPUBLIK INDONE'IA

Menimbang:
Bahwa sebagai pelaksana ketentuan undang-undang No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Tenaga Kesehatan.

Mengingat:
1. Pasal 5 ayat Q) Undang-Undang Dasar 1945
2. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentangKesehatan (Lembaran Negara
Tahun 1992 No. 100, Thmbahan Lembaran Negera No. 3495);
MEMUTU'KAN

Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TENAGA KESEHITIAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang ke-
sehatan serta memiliki pengetahuan dan/atar keterampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan yang untuk jenis tertenfu memerlukan untuk melakukan upaya
kesehatan.
2. Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan;
3. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat;
4. Menteri adalah Mente.i y*g bertanggung jawab di bidang kesehatan.

276
Lompiron 277

BAB II
IENI' TENAGA KE'EHATAN
Pasal 2
(1) Tenaga kesehatan terdiri dari:
a. tenaga medis;
b. tenaga keperawatan;
c. tenaga kefarmasian;
d. tenaga kesehatan masyarakat;
e. tenagaglzi;
f. tenagaketerapianfisik;
g. tenaga keteknisian medis.
(2) Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi.
(3) Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.
(4) Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analisis farmasi dan asisten apoteker.
(5) Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog kesehat-
an, mikrobiolog kesehatan, penyrluh kesehatan, administrator kesehatan dan sani-
tarian.
(6) Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien.
(7) Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara.
(8) Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi
elektromedis, analisis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi trans-
fusi dan perekam medis.

BAB III
PER'YARATAN

Pasat 3
Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan
yang dinyatakan dengan ljazah dartlembaga pendidikan.

Pasal 4
(1) Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenaga kesehatan
yang bersangkutan memiliki izin dari Menteri.
(2) Dikecualikan dari pemilikan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi tenaga
kesehatan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur oleh Menteri.
Pasal 5
(1) Selain izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayal (l), tenaga medis dan tenaga
kefarmasian lulusan dari lembaga pendidikan di luar negeri hanya dapat melakukan
upaya kesehatan setelah yang bersangkutan melakukan adaptasi.
(2) Ketentuan tebih larjut mengenai adaptasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur oleh Menteri.
278 Etiho Kedohteron dan Huhum Kerehoton

BAB IV
PERENCANAAN, PENGADAAN, DAN PENEMPATAN

BAGIAN KCIITU
Perencqnqsn
Pasal 6
(1) Pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan untuk memenuhi ke-
butuhan tenaga kesehatan yang merata bagi seluruh masyarakat.
(2) Pengadaan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan
ndsional tenaga kesehatan.
(3) Perencanaan iasional ienaga kesehatan disusun dengan memperhatikan faktor:
a. jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
b. sarana kesehatan.
c. jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan
kesehatan.
' (4) Perencanaan nasional tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.

BAGIAN KEDUA
Pengcdoon
Pasal 7
Pengadaan tenaga kesehatan dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan dibidang
kesehatan.

Pasal 8
(1) Pendidikan di bidang kesehatan dilaksanakan di lembaga pendidikan yang diseleng-
garakan oleh Pemerintah atau masyarakat.
(2) Penyelenggaraan pendidikan di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (l) dilaksanakan berdasarkan izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Pasal 9
(1) Pelatihan dibidang kesehatan diarahkan untuk meningkatkan keterampilan atau
penguasaan pengetahuan di bidang teknis kesehatan.
(2) Pelatihan di bidang kesehatan dapat dilakukan secara be{enjang sesuai dengan jenis
tenaga kesehatan yang bersangkutan.

Pasal 10
(1) Setiap tenaga kesehatan memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan
di bidang kesehatan sesuai dengan bidang tugasnya.
(2) Penyelenggaraan dan/atat pimpinar sarana kesehatan bertangg'ng jawab atas
'pemberian
kesempatan kepada tenaga kesehatan yang ditempatkan din/atatbe-
keq'a pada sarana kesehatan yang bersangkutan untuk meningkatkan keterampilan .

atau pengetahuan melalui pelatihan di bidang kesehatan.

Pasal 11
(1) Pelatihan di bidang kesehatan dilaksanakan di balai pelatihan tenaga kesehat an atau
tempat pelatihan lainnya.
(2) Pelatihan di bidang kesehatan dapat diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atatt
masyarakat.
Lompiron 279

Pasal 12
(1) Pelatihan di bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dilaksanakan
dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelatihan di bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat dilaksanakan
atas dasar izin Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlzinan sebagaimana dimaksud dalam ayat Q)
diatur oleh Menteri.
Pasal 13
(1) Pelatihan di bidang kesehatan wajib memenuhi persyaratan tersedianya:
a. calon peserta pelatihan;
b. tenaga kepelatihan;
c. kurikulum;
d. sumber dana yang tetap untuk menjamin kelangsungan penyelenggaraan pe-
Iatihan;
e. sarana dan prasarana.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pelatihan di bidang kesehatan sebagai-
mana dimaksud dalam ayat (l) diatur oleh Menteri.

Pasal 14
(1) Menteri dapat menghentikan pelatihan apabila pelaksanaan pelatihan di bidang
kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat ternyatai
a. tidak sesuai dengan arah pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1);
b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimal<sud dalam Pasal 13 ayat (1);
(2) Penghentian pelatihan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat men gakib atkan dicabutn y a izin p elatihan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian pelatihan dan pencabutan izin pe-
latihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (l) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.

BAGIAN KETIGA
PenemPoto
Pasal 15
(1) Dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat, Pemerintah
dapat mewajibkan tenaga kesehatan untuk ditempatkan pada sarana kesehatan
tertentu untuk jangka waktu tertentu.
(2) Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaftsud dalam ayat (1) dilakukan
dengan cara masa bakti.
(3) Pelaksanaan penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Pasal 16
Penempatan tenga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1)dan ayat
(2) dilaksanakan oleh dan menjadi tanggungjawab Menteri.

Pasal 17
Penempatan tenaga kesehatan dengan cara masa bakti dilal<sanakan dengan mem-
perhatikan:
a. kondisi wilayah dimana tenaga kesehatan yang bersangkutan ditempatkan;
280 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehotqn

b. lamanya penempatan;
c. jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat;
d. prioritas sarana kesehatan.
Pasal 18
(1) Penempatan tenaga kesehatan dengan c:ra masa bakti dilaksanakan pada:
a. sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah;
b. s4rana kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang ditunjuk oleh
Pemerintah.
c. lingkungan pergunran tinggi sebagai stafpengajar;
d. lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(2) Pelaksanaan ketentuan huruf c dan huruf d sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan dari pimpinan
instansi terkait.

Pasal 19
(1) Tenaga kesehatan yang telah melalaanakan masa bakti diberikan surat keterangan
dari Menteri.
(2) Surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan persyaratan
bagi tenaga kesehatan untuk memperoleh izin menyelenggarakan upaya kesehatan
pada sarana kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian surat keterangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.

Pasal 20
Status tenaga kesehatan dalam penempatan tenaga kesehatan dapat berupa
a. pegawai negeri; atau
b. pegawai tidak tetap.

BAB V
PROFE'I DAN PERLINDUNGAN HUKUM
'TANDAR
BAGIAN KE'ATU
ttqndqr Proferi
Pasal 21
(1) Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi
standar profesi tenaga kesehatan.
(2) Standar profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalamayat (1) ditetapkan
oleh Menteri.
Pasal22
(1) Bugt tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berke-
wajiban untuk:
a. menghormati hak pasien;
b. menjaga kerahasian identitas dan data kesehatan pribadi pasien;
c. memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan
dilakukan.
d. meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan;
e. membuat dan memelihara rekam medis.
Lompiron

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
oleh Menteri.
Pasal 23
(1) Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang diberikan
oleh tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 mengakibatkan
terganggunya kesehatan, cacat atan kematian yang terjadi karena kesehatan atau
kelalaian.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (l) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

BAGIAN KEDUA
Perlindungon Huhum
Pasal24
(1) Perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya
sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan.
(2) Pelaksanan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh
Menteri.

BAB VI
PENGHARGAAN
Pasal 25
(1) Kepada tenaga kesehatan yang bertugas pada sarana kesehatan atas dasar p?estasi
kel'a, pengabdian, kesetiaan, be{asa pada negara atau meninggal dunia dalam
melal<sanakan tugas diberikan penghargaan.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud dalamayat (1) dapat diberikan oleh Pemerintah
dan/atau masyarakat.
(3) Bentuk penghargaan dapat berupa kenaikan pangkat, tandajasa, uang atau bentuk
lain.

BAB VII
IKATAN PROFE'I
Pasal 26
(1) Tenaga kesehatan dapat membentuk ikatan profesi sebagai wadah untuk
meningkatkan dan atau mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, martabat
dan kesejahteraan tenaga kesehatan.
(2) Pembentukan ikatan profesi sebagaimana dimatsud dalam ayat (l) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BABVIII
TENAGA KE'EHATAN WARGA NEGARA A'ING
Pasal2T
(1) Tenaga kesehatan warga negara asing hanya dapat melakukan upaya kesehatan atas
dasar izin dari Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan seba$aimana dimalaud dalam ayat (1)
diatur oleh Mdnteri dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di bidang tenaga keq'a asing.
282 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWA'AN

BAGIAN KE'ATU
Pembinoqn
Pasal 28
(1) Pembinaan karier tenaga kesehatan diarahkan untuk meningkatkan mutu pengabdian

p) i:itl:"ffflrffffHn dimaksud daram ayat(l) dilakukan melalui pembinaan


karier, disiplin dan teknis profesi tanaga kesehatan.

Pasal 29
(1) Pembinaan karier tenaga kesehatan meliputi kenaikan pangkat, jabatan dan
pemberian penghargaan.
(2) Pembinaan karier tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Pasal 30
(1) Pembinaan disiplin tenaga kesehatan menjadi tanggungjawab penyeleng-gara danl
atau pimpinan sarana kesehatan yang bersangkutan.
(2) Pembinaan disiplin tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksalnakan dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 31
(1) Menteri melakukan pembinaan teknis profesi tenaga kesehatan.
(2) Pembinaan teknis profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimal<sud dalam ayat (1)
dilaksanakan melalui:
a. bimbingan;
b. pelatihan dalam bidang kesehatan;
c. penetapan standar profesi tenaga kesehatan.

BAGIAN KEDUA
Pengcwqsqn
Pasal 32
Menteri melakukan pengawasan terhadap tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas
profesinya.

Pasal 33
(1) Dalam rangka pengawasan, Menteri dapat mengambil tindakan disiplin terhadap
tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan tugas dengan standar profesi tenaga
kesehatan yang bersangkutan.
(2) Tindakan disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. teguran;
b. pencabutan bin untuk melakukan upaya kesehatan.
(3) Pengambilan tindakan disiplin terhadap kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (l) dan ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Lompiron 283

BAB X
KETENTUAN PIDANA

Pasal 34
Barang siapa dengan sengaja menyelenggarakan pelatihan di bidang kesehatan tanpa
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal t2 ayat (2), dipidana sesuai dengan ketentuan
Pasal 84.Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.

Pasal 35
Berdasarkan ketentuan Pasal 86 Undang-undang No. 23 Thhun 1992 tentang Kesehatan,
barang siapa dengan sengaja:
a. Melakukan upaya kesehatan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 iyat
(1);
b. Melakukan upaya kesehatan tanpa melakukan adaptasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (l);
c. Melakukan upaya kesehatan tidak sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan
yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2l ayat (l);
d. Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (l);
dipidana paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 36
Dengan berlakunya Peraturan .Pemerintah ini, maka semua ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan tenaga kesehatafl yang telah ada
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 37
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Perafuran Peme-
rintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1996 NO. 49

Salinan sesuai dengan aslinya


Sekretaris Kabinet RI
Kepala Biro Hukum dan Perundang-undangan
Plt.

Lambock V. Nahattands, S.H.


284 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

PENTELAtA.*ti==^H'fi[i]^ifl
i=ill|lilfl ,io'32rAHUNree6
UMUM

Pembangunan kesehatan sebagai bagian integral dari pembangunan Nasional pada


hakekatnya adalah penyelenggaraan upaya kesehatan untuk mencapai kemampuan
hidup sehat-bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal yang besar artinya bagi pengembangan dan pembinaan sumber daya
manusia sebagai modal Pembangunan Nasional. Pembangunan kesehatan diarah-
kanuntukmeningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat dengan menanarn-
kan kebiasaan hidup sehat.
Untuk mewujudkan hal tersebut di atas diselenggarakan berbagai upaya ke-
sehatan yang didukung antara lain oleh sumber dayatenaga kesehatan yang me-
madai sesuai dengan yang dibutuhkan dalam pembangunan kesehatan. Oleh
karena itu, pola pengembangan sumber daya tenaga kesehatan perlu disusun secara
cermat yang meliputi perencanaan, pengadaan dan penemp atan tenaga kesehatan
yang berskala nasional.
Perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan secara nasional disesuaikan dengan
masalah kesehatan, kemampuan daya serap dan kebutuhan pengembangan pro-
gram pembangunan kesehatan. Pengadaan tenaga. kesehatan sesuai dengan pe-
rencanaan kebutuhan tersebut diselenggarakan melalui pendidikan dan pelatihan
baik oleh Pemerintah dan/atau oleh masyarakat termasuk swasta sedangkan
pendayagunaannya diselenggarakan secara efektif dan merata.
Dalam rangka penempatan terhadap jenis tenaga kesehatan tertentu ditetapkan
kebiy'aksanaan melalui pelaksanaan masa bakti terutama bagi tenaga kesehatan
yang sangat potensial di dalam kebutuhan penyelenggar aan upay a kesehatan.
Di samping itu, tenaga kesehatan tertentu yang bertugas sebagai pelaksana atau
pemberi pelayanan kesehatan diberi wewenang sesuai dengan kompetensi pen-
didikan yang diperolehnya sehingga terkait erat dengan hak dan kewajibannya.
Kompetensi dan kewenangan tersebut menunjukkan kemampuan profesional yang
baku dan merupakan standar profesi untuk tenaga. kesehatan tersebut. Tenaga
kesehatan yang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesinya akan men-
dapat perlindungan hukum. Terhadap jenis tenaga kesehatan tersebut di dalam
melaksanakan tugas profesinya tetap diperlukan izin.
Tenaga kesehatan sebagai pendukung upaya kesehatdn dalam menjalankan
tugasnya harus selalu dibina dan diawasi. Pembinaan dilakukan untuk memper-
tahankan dan meningkatkan kemampuannya sehingga tanggap terhadap per-
masalahan kesehatan yang menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan pengawasan
dilakukan terhadap kegiatannya aga.r tenaga kesehatan tersebut dapat melaksana-
kan tugasnya sesuai dengan kebijaksanaan peraturan perundang-undangan dan
sistem yang telah ditetapkan. Setiap penyimpangan pelaksanaan tugas oleh ter:r;ga
kesehatan mengakibatkan konsekuensi dalam bentuk sanksi.
Lompiron 28s

PA'AL DEMI PA'AL


Pasal 1 Cukupjelas
Pasal 2 Ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (T), (8) Cukupjelas

Pasal 3
Persyaratan pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan bagi tenaga kesehatan
harus sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikannya.

Pasal 4
Ayat (1)
Pengertian izin dalam ayat ini, misalnya
- surat penugasan bagi tenaga kesehatan;
- surat izin praktik alau tzin kerja bagi tenaga kesehatan tertentu.
Ayat (2), (3) Cukup jelas

Pasal 5
Ayat (1)
Bagi tenaga kesehatan untuk jenis tenaga medis dan tenaga kefarmasian lulusan
dari lembaga pendidikan di luar negeri disyaratkan melakukan adaptasi untuk dapat
melakukan tindakan kesehatan atau upaya kesehatan. Adaptasi dilakukan dengan
maksud tenaga kesehatan untukjenis tenaga medis dan tenaga kefarmasian memperoleh
penyesuaian ilmu pengetahuan yang diperoleh dari luar negeri dengan ilmu pengetahu-
an yang sesuai untuk melakukan tugas profesi di bidang kesehatan di Indonesia.
Adaptasi perlu dilakukan sebab karakter dan tingkat kesehatan serta lingliungan
masyarakat Indonesia berbeda dengan di luar negeri. Sehingga suatujenis penyakit ter-
tenfu di luar negeri akan memerlukan analisa dan pendekatan, serta upaya pengobatan
yang berbeda dengan di Indonesia. Dengan demikian diharapkan tenaga kesehatanjenis
tenaga medis dan tenaga kefarmasian yang diperoleh dari luar negeri dapat diterapkan
sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia.
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal6 Ayat (1), (2), (3), (4) Cukup jelas
Pasal 7 Cukupjelas
Pasal 8
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2)
Izin penyelenggaraar pendidikan di bidang kesehatan adalah izn dari Menteri
Kesehatan dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bagi pendidikan profesional di
bidang kesehatan misalnya Akademi Perawatan, Akademi Kesehatan Lingkungan,
Akademi Gizi, dan izin oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bagr peqdidikan
akademik di bidang kesehatan misalnya Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi
dan Fakultas Farmasi.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di bidang Pendidikan Nasional.
Etiho Kedohteran don Huhum Kerchoton

Pasal9 Ayat (1), (2) Cukup jelas '

Pasal 10 Ayat (1), (2) Cukup jelas


Pasal 11
Ayat (1)
Tempat pelatihan kesehatan lainnya adalah tempat pelatihan yang memenuhi
persyaratan sebagai tempat pelatihan kesehatan yang ditunjuk oleh Menteri atau pejabat
yang beiwenang.
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 12 Ayat (1), (2), (3) Cukup jelas
Pasal 13 Ayat (1), (2) Cukup jelas
Pasal 14 Ayat (1), (2), (3) Cukup jelas
Pasal 15 Ayat (1), (2), (3) Cukup jelas
Pasal 16 Cukupjelas
Pasal t7 Cukup jelas
Pasal 18 Ayat (1), (2) Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (l)
Pemberian surat keterangan merupakan suatu bentuk penghargaan yang diberikan
oleh Pemerintah kepada tenaga kesehatan bahwh tenaga kesehatan yang bersanlkutan
telah mengabdikan dirinya kepada Negara melalui masa bakti.
Ayat Q), (3) Cukup jelas

Pasal 20
Termasuk dalam pengertian status pegawai tidak tetap antara lain pegawai bulanan,
pegawai harian, pegawai honorer sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau pegawai tidak tetap sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 41 Tirhun
1990 tentang Masa Bakti dan lzin Ke{a Apoteker, Keputusan Presiden No. 37 Tirhun
1991 tentang Pengangkatan Dokter Sebagai Pegawai Tidak Tetap Selama Masa Bakti,
dan Keputusan Presiden No. 23 Tifiun 1994 tentang Pengangkatan Bidan Sebagai
Pegawai Tidak Tetap.

Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan standar profesi tenaga kesehatan adalah pedoman yangharus
dipergunakan oleh tenaga kesehatan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesinya
secara baik.
Ayat Q)
Dalam menetapkan standar profesi untuk masing-masing jenis tenaga kesehatan,
Menteri dapat meminta pertimbangan dari para ahli di bidang kesehatan dan/atutyang
mewakili ikatan profesi tenaga kesehatan.
Pasil22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tenaga kesehatan tertentu dalam ayat ini adalah tenaga
kesehatan yang berhubungan langsung dengan pasien misalnya dokter, dokter gigi,
perawat.
Lompiron 287

Huruf a
Yang dimaksud hak pasien dalam huruf ini antara lain ialah hak atas informasi, hak
untuk memberikan./menolak persetujuan, hak atas pendapat kedua.
Huruf b, c, d, e Cukup jelas
Ayat Q) Cukup jelas

Pasal 23
Ayat (1), (2) Cukup jelas
Pasal24
Ayat (1)
Perlindungan hukum di sini, misalnya rasa arnan dalam melaksanakan tugas
profesinya, perlindungan terhadap keadaan membahayakan yang dapat mengancam
keselamatan atau jiwa karena alam maupun perbuatan manusia.
Ayat Q)
Cukup jelas

Pasal25 Ayat (1), (2), (3) Cukup jelas


Pasal26 Ayat (1), (2) Cukup jelas
Pasal2T Ayat (1), (2) Cukup jelas
Pasal28 Ayat (1), (2) Cukup jelas
Pasal2g Ayat (1), (2) Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Dalam melakukan pembinaan teknis profesi tenaga kesehatan, Menteri dapat
mengikutsertakan para ahli di bidang kesehatan dan/atau yang mewakili ikatan profesi
tenaga kesehatan.
Ayat Q) Cukup jelas

Pasal 31 Ayat (1), (2) Cukupjelas

Pasal 32 Cukup jelas

Pasal3Q Ayat (1), (2), (3) Cukup jelas


Pasal 34 Cukupjelas
Pasal 35 Cukupjelas
Pasal 36 Cukupjelas

Pasal 37 Cukupjelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONBS1A NO.3637


Lompircn 18
Kepurusm Mrxrenr Kmennmn Rl
No. 1334/Mer,rxes/t K lXl2OO2
Tenrlnc Kor'rn Nalonll
Enx Peneurnru KeseHATAN

MENTERI KE'EHATAN REPUBLIK INDONE'IA

Menimbang:
a. bahwa penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan me-
rupakan bagian penting dari pembangunan kesehatan yang hasilnya dapat
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.
b. Bahwa pelaksanaan penelitian yang menggunakan manusia sebagai objek
penelitian wajib menghormati hak-hak azasi manusia dan sesuai dengan
etika penelitian
c. Bahwa sehubungan dengan huruf a dan b tersebut di atas, dipandang perlu
membentuk Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan dan ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Mengingat:
1. Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Tahun 1992 No. 100, Tambahan Lembaran Negara No. 3495.
2. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintfian Daerah
(Lembaran Negara No. 3839)
3. Undang-undangNo.39 Thhun 1999 tentangHakAzasi Manusia (Lembaran
Negara Tfiun 1999 No. 165, Tirmbahan Lembaran Negara No. 3886)
4. Peraturan Pemerintah No. 39 Thhun 1995 tentang Penelitian dan Pe-
ngembangan Kesehatan ( Lembaran Negara Tfiun 1995 No. 67, Tirmbahan
Lembaran Negara No. 3609)
5. Peraturan Pemerintah No. 25 Thhun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara
Tahun 2000 No. 54, Thmbahan Lembaran Negara No. 3952)
6. Keputusan Menteri Kesehatan No.1179A,zMenkes/5K4./ 1999 tentang
Kebijakan Nasional Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
7. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1277/Menkes./SK./XI/2001 tentang
Organisasi dan Thta Kerja Departemen Kesehatan.

288
Lompiron 289

MEMUTU'KAN

Menetapkan:
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG KOMISI NASIONAL
ETIK PENELITIAN KESEHICAN.
Pa.sal 1
(1) Untuk melakukan pembinaan dan pengawasan pelalcanaan etik penelitian dan
pengembangan kesehatan dibentuk Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan yang
selanjutnya disebut Komisi Nasional Etik.
(2) Komisi Nasional Etik sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah suatu lembaga
nonstruktural dan berkedudukan di lingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan.

Pasal 2
Komisi Nasional Etik mempunyai tugas:
a. Membina pelaksanaan penegakan etik penelitian dan pengembangan kesehatan
sesuai etik yarig berlaku.
b. Menyusun pedoman-pedoman nasional di bidang etik penelitian kesehatan
c. Memberikan pertimbangan atau sebagai saksi ahli dalam pemeriksaan penelitian
kesehatan apabila diperlukan.
d. Memberikan persetujuan etiVetJtical clearance terhadap penelitian yang aspek
etiknya perlu ditinjau secara khusus.
e. Mengembangkan jaringan komunikasi nasional etik penelitian kesehatan
f Melindungi hak-hak dan keselamatan objek penelitian
5' Melaksanakan monitoring pelaksanaan etik penelitian di tingkat institusi
h. Menyampaikan laporan tahunan kepada Menteri Kesehatan

Pasal 3
(1) Keanggotaan Komisi Nasional Etik sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (1) terdiri
dari unsur-unsur:
* Peneliti
- Dokter
- Ahli Hukum
- Ahli lainnya
- Wakil masyarakat awam
(2) Jumlah anggota Komisi Nasional Etik sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh lima)
orang.
(3) Anggota Komisi Nasional Etik diangkat untuk masa bakti 4 (empat) tahun dan dapat
diangkat kembali.
(4) Anggota Komisi Nasional Etik dapat diganti dalam masa bakti keanggotaannya
apabila meninggal dunia atau karena sesuatu hal yang tidak dapat melaksanakan
fugasnya.

Pasal 4
(1) Anggota Komisi Nasional Etik diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kesehatan
atas usul kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
(2) Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dapat mengusulkan
keanggotaan Komisi Nasional Etik berkonsultasi dengan organisasi profesi.
290 Etiho Kedohterqn dqn Huhum Kesehoton

Pacal 5
(1) Susunan organisasi Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan terdiri dari:
a. Ketua dan Wakil Ketua, yang dipilih diantara anggota Komisi Nasional Etik.
b. Sekretaris, dijabat oleh staf senior Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan.
c.Anggota
(2) Tata Ke{a dan tata cara pemilihan Ketua, Wakil Ketua dan Sekretaris ditetapkan
oleh-Ketua Komisi Nasional Etik

Pasal 6
Kepada Komisi Nasional Etik diperbantukan sebuah Sekretariat yang ditetapkan oleh
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Pasal 7
Segala pembiayaan yang berkaitan dengan pelatsanaan tugas Komisi Nasional Etik
dibebankan pada Anggaran Belanja Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
dan sumber lainnya yang tidak mengikat

Pasal 8
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan diJakarta
Pada tanggal 29 Oktober 2002

MENTERI KESEH,{TAN,

DT. ACHMAD SUJUDI


Lsmpirqn l9
Femrumu Mrnreru Kernlrln Rl
N o. l4l9 I Mnrxg/Prn/X/2OO5
Trrurlrc PexvTUNGGARAAN
Fmxnx Doxrun DAN Doxren Grcr

MENTERI KE'EHATAN REPUBLTK INDONE'IA

Menimbang:
Bahwa sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 29 Thhun 2004 tentang
Praktik Kedokteran, perlu mengatur penyelenggaraan praktik Dokter dan
Dokter Gigi dengan Peraturan Menteri Kesehatan.
Meningat:
1. Undang-undang Nomor 23 Thhun 2004 Tahun 1992 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Thhun 1992 No. 100, Thmbahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3495)
2. Undang-undang No. 29 Tahun2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran
Negara Republik Indonesia Thhun 2004 No. 116, Thmbahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 4431)
3. Undang-undang Nomor 32 Thhun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4437)
4. Peraturan Pemerintah No. 1 Tfiun 1988 tentang Masa Bakti dan Praktik
Kedokteran dan Dokter Gigi pembaran Negara Republik Indonesia Thhun
1988 No. 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3366).
5. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Thhun L996 tentang Tenaga Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Thhun 1988 Nomor 1, Thmbahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3637).
6. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 No. 54, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 3952).
7. Keputusan Presiden Nomor 9 Thhun 2005 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Ke{a Kementrian Negara Republik
Indonesia.
8. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1277/Menkes,/SK,/XI/2001 tentang
Organisasi dan Thta Kerja Departemen Kesehatan.
292 Etiho l(edohteion don Huhum Kesehoton

MEMUTU'KAN
Menetapkan:
PERATURAN MENTERI KESEFIAIAN TENTANG PENIYELENGGARAAN
PRAKTIK DOKTER DAN DOKTER GIGI

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Praktik Kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan
dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.
2. Dokter dan Dokter Gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi spesialis lulusan
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik dalam maupun di luar negeri yang
diakui Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Peraturan perundang-
undangan.
3. Surat Izin Praktik selanjutnya disebut SIP adalah bukti tertulis yang diberikan Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota kepada dokter dan dokter gigi yang telah memenuhi
persyaratan untuk menjalankan praktik kedokteran.
4. Surat Izin Praktik Sementara adalah bukti tertr.rlis yang diberikan kepada dokter dan
doker gigi yang menunda masa bakti atau dokter spesialis dan dokter gigi spesialis
yang menunggu penempatan dan menjalankan praktik kedokteran di Rurnah Sakit
Pendidikan dan jejaringnya.
5. Surat Izin Praktik Khusus adalah bukti tertulis yang diberikan kepada dokter dan
dokter gigi secara kolektig bagi peserta PPDS dan PPDGS yang menjalankan praktik
kedokteran di Rumah Sakit pendidikan dan jejaringnya serta sarana pelayanan
kesehatan yang ditunjuk.
6. Surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi adalah bukti tertulis yang diberikan oleh
Konsil Kedokteran Indonesia kepada dokter dan dokter gigi yang telah diregistrasi.
7. sarana pelayanan kesehatan adalah tempat penyelenggaraanvpaya kesehatan yang
digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran $gr.
8. Standar Profesi adalah batasan kemampuan (hnoaledge, shill and projisst'onal attilude)
minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiat-
an professionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi
profesi.
9. Organisasi Profesi adalah lkatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan
Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi.
10. Konsil Kedokteran Indonesia adalah suatu badan otonom, mandiri, nonstruktural,
dan bersifat independent yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran
Gis.
11. Menteri adalah Menteri yang bertanggungjawab di bidang kesehatan.

BAB II
IZIN PRAKTIK

Pasal 2
(1) Setiap dokter dan Dokter Gigi yang akan melakukan praktik kedokteran pada sarana
pelayanan kesehatan atau praktik perseorangan wajib memiliki SIP.
Lompiron 293

(2) Untuk memperoleh SIP dokter dan dokter grg1 yang bersangkutan harus meng{u-
kan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat praktik
' kedokterandilaksanakandenganmelampirkan:
a. Foto kopi surat tan{a registrasi dokter atau surat tanda registrasi doker gigi
yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia y^ng masih berlaku yang
dilegalisir oleh pejabat yang berwenang
b. Surat pernyataan mempunyai tempat Praktik
c. Surat rekomendasi dari Organisasi Profesi di wilayah di tempat akan praktik;
d. Foto kopi surat keputusan penempatan dalam rangka masa bakti atau surat
bukti telah selesai menjalankan masa bakti atau surat keterangan menunda masa
bakti yang dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
e. Pas foto berwarna ukuran 4x6 sebanyak 3 (tigt) lembar dan 3x4 sebanyak 2
(dua) lembar
(3) Dalam pengajuan permohonan SIP sebagaimana dimaksu d ayx Q) harus dinyatakan
secara tegas permintaan SIP untuk tempat praktik Pertama, Kedua atau Ketiga.
(4) Bentuk permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sepert contoh sebagai-
mana tercantum dalam Lampiran I Peraturan ini

Pasal 3
(1) Dokter atau dokter ggr yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana yang di-
maksud dalam Pasal 2 ayat Q) diberikan SIP untuk 1 (tuto) tempat praktik.
(2) SIP sebagaimana dimaksud ayat (1) berlaku sepanjang Surat Tianda Registrasi masih
berlaku dan tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIP.
(3) Bentuk format SIP Dokter dan Dokter gigi sebagaimana contoh Formulir pada
lampiran II Peraturan ini.
Pasal 4
(1) SIP diberikan kepada dokter atau dokter gigi paling banyak untuk 3 (tiga) tempat
praktik, baik pada sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah, swasta maupun
praktik perorangan.
(2) SIP 3 (tiga) tempat praktik sebagaimana dimaksud ayx (l) dapat berada dalam 1
(satu) Kabupaten/Kota atau Kabtrpaten/Kota lain baik dari Provinsi yang sama
maupun Provinsi lain.
(3) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam memberikan SIP harus mempertimbangkan
keseimbangan antarajumlah dokter dan dokter gigiyangtelah ada dengan kebutuhan
pelayanan kesehatan.

Pasal 5
(1) SIP bagi dokter dan dokter gtg y*g melakukan praktik kedokteran pada Rumah
Sakit Pendidikan dan sarana pelayanan kesehatan yang menjadi jejaring Rumah
Sakit Pendidikan tersebut dan juga mempunyai tugas untuk melakukan proses
. pendidikan berlaku juga bagi sarana pelayanan kesehatan yang menjadi jejaring
Rumah Sakit Pendidikan tersebut.
(2) Pimpipn Rumah Sakit Pendidikan dan Dekan Fakultas Kedokteran wajib mem-
beritahukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Fakultas Ke-
dokteran tempat sarana pelayanan kesehatan yang menjadi jejaring Rumah Sakit
Pendidikan tersebut.

Pasal 6
(1) Dokter atau dokter grgr, yang diminta megnberikan pelayanan medis oleh suatu
sarana pelayanan kesehatan, bakti sosial, penanganan korban bencana, atau fugas
kenegaraan, yang bersifat insidentil tidak memerlukan SIP
294 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

(2) Pemberian pelayanan yang bersifat insidentil sebagaimana dirnaksud ayat (1) harus
diberitahukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/kota setempat.
Pasal 7
(1) Untuk kepentingan kedinasan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat memberikan
surat tugas kepada dokter dan dokter gigi spesialis tertentu di Rumah Sakit dalam
rangka memenuhi kebutuhan pelayanan.
(2) Surat tugas sebagaimana dimaksud pad a ayat (l) berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga)
bulan dan dapat diperbaharui.

Pasal 8
(1) Dokter atau dokter gigi yang sedang mengikuti program pendidikan Dokter spesialis
(PPDS) atau program pendidikan dokter gigi spesialis (PPDGS) diberikan SIP
khusus secara kolektif oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten /Kota di mana
Rumah Sakit Pendidikan tersebut berada.
(2) SIP khusus sebagaimana dimaksud ayat (l) diberikan kepada Pimpinan Rumah Sakit
Pendidikan tempat program pendidikan dilaksanakan.
(3) SIP khusus sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan Pimpinan Rumah Sakit
Pendidikan tempat program pendidikan dilaksanakan.
(4) SIP khusus sebagaimana dimaksud ayat (2) berlaku di sarana tempat program
pendidikan dilaksanakan dan seluruh sarana pelayanan kesehatan yang menjadi
jejaring Rumah Sakit Pendidikan dan sarana pelayanan kesehatan yang ditunjuk.
(5) Pimpinan Sarana dimaksud ayat (a) harus memberitahukan peserta PPDS dan
PPDGS yang sedang mengikuti pendidikan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten,/Kota dimana sarana pelayanan kesehatan yang menjadi jejaring Rumah
Sakit Pendidikan.

Pasal 9
(1) Peserta pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi (Co-ast) yang sedang mengikuti
pandidikan di sarana pelayanan kesehatan diberikan surat keterangan pelaksanaan
studi secara kolektif oleh Ketua Progaram studi.
(2) Berdasarkan surat keterangan pelaksanaan studi secara kolektif sebagaimana
dimalcsud pada ayat (1) Pimpinan Rumah Sakit Pendidikan menerbitkan Surat
Keterangan Melaksanakan Tugas secara kolekiif yang berlaku pada Rumah Sakit
Pendidikan dan sarana pelayanan kesehatan yang menjadi jejaring Rumah Sakit
Pendidikan, serta sarana pelayanan kesehatan yang ditunjuk.
(3) Surat Keterangan melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat
(2)disampaikan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten,/Kota dimana Rumah Sakit
Pendidikan dan Sarana pelayanan kesehatan yang menjadi jejaring Rumah Sakit
Pendidikan, serta sarana pelayanan kesehatan yang ditunjuk.

Pasal 10
(1) Dokter atau dokter gigi yang telah teregistrasi yang menunda masa bakti dan belum
. diterima sebagai peserta PPDS,/PPDGS dapat diberikan SIP sementera
(2) SIP sementera sebagaimana dimaksud p^da ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 6
(enam) bulan dan dapat diperbaharui dan gugur apabila telah diterima sebagai
peserta PPDS,/PPDGS.

Pasal 11
(1) Dokter atau dokter gigi spesialis yang telah teregistrasi dan bekerja di Rumah Sakit
Pendidikan dan jejaringnya dalam rangka menunggu penempatan dalam rangka
masa bakti dapat diberikan SIP Spesialis Sementara.
Lompiron 295

(2) SIP Spesialis Sementara sebaga.imana dimaksud dalarr ayat (1) hanya berlaku di
Rumah Sakit tempat pelaksanaan pendidikan dan jejaringnya.
(3) SIP Spesialis Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk jangka
waktu 6 (enam) bulan dan gugur apabila telah memperoleh Surat Keputusan
Penempatan.

Pasal 12
(1) Dokter-atau dokter gigi warga Negara asing dapat diberikan SIP sepanjang memenuhi
persyaratan sebaga.imana dimaksud Pasal2 ayat Q)
(2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud ayat (1) juga harus:
a. Memiliki surat izin keq'a dan tinggal sesuai ketentuan perundang-undangan,
b. Mempunyai kemampuan berbahasa Indonesia.

BAB III
PELAK'ANAAN PRAKTIK
Pasal 13
(1) Dokter atau Dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokeran didasarkan pada
kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya pemeliharaan
kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan
pemulihan kesehatan.
(2) Keesepakatan sebagaimana dimaksud ayal (l) merupakan upaya maksimal dalam
rangka penyembuhan dan pemulihan kesehatan.

Prsal 14
(1) Dokter dan dokter gigi data memberikan kewenangan kepada perdwat atau tenaga
kesehatan tertenfu secara tertulis dalam melaksanakan tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi.
(2) Tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud ayat (l) sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki dan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 15
(1) Bidan dapat melaksanakan tindakan medik terhadap ibu, bayi dan anak, balita sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan sesuai keterituan
peraturan perundang-undangan.

"*trtS.ur"r dan dokter gigi dalam pelaksanaan praktik kedokteran wajib membuat rekam
medis.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan
perundang-undangan.

Pasal 17
(1) Doker atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi terlebih dahulu harus memberikan penjelasan kepada pasien tentang
tindakan kedokteran yang dilakukan.
(2) Tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat
persetujuan dari pasien.
(3) Pemberian penjelasan dan persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (I) dan ayat (2)
dilalaanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.
296 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

Pasal 18
(1) Dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan tindakan kedokteran wajib menyimpan
segala sesuatu yang diketahui dalam pemeriksaan pasien, interpretasi penegakan
diagnosis dalam melakukan pengobatan termasuk segala sesuatu yang diperoleh dari
tenaga kesehatan lainnya seb4gai rahasia kedokteran.
. @ Ketentuan rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
sesuai perafuran perundang-undangan.

Pasal 19
(1) Pimpinan sarana pelayanan kesehatan wajib membuat d4ftar dokter dan dokter gigi
yang melakukan praktik di saranan kesehatan yang bersangkutan.
Q) Daftar dokter dan dokter gigi sebagaimana dimaksud ayet (l) meliputi dokter atau
dokter gigi yang memiliki SIP pada sarana kesehatan yang bersangkutan.
(3) Pimpinan sarana kesehatan wajib menempatkan daftar dokter sebagaimana dimalaud
ayat Q) pada tempat yang mudah dilihat.

Pasal 20
(1) Dokter dan dokter gtg y*g telah memiliki SIP dan menyelenggarakan praktik
perorangan wajib memasang papan nama praktik kedokteran.
Q) Papan nama sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memuat nama dokter atau dokter
gtgr dan No. registrasi sesuai dengan SIP yang diberikan.
(3) Dalam hal dokter dan dokter gigi sebagaimana dimaksud ayar Q) berhalangan
melaksanakan praktik dapat menunjuk dokter dan dokter gigi pengganti.
(4) Dokter dan dokter gigi pengganti sebagaimana dimaksud ayat (3) harus dokter dan
dokter gigi yang memiliki SIP atau sertifikat Kompetensi peserta PPDS dan STR.
Pasal 21
(1) Dokter dan dokter gigi yang berhalangan melaksanakan praktik atau telah menunjuk
dokter pengganti sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (3) wajib membuat
pemberitahuan.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud ayat (1) harus ditempelkan atau ditempatkan
pada tempat yang mudah terlihat.

Pasal22
(1) Dokter atau dokter gigi dalam melaksandkan praktikkedokteran harus sesuai dengan
kewenangan dan kompetensi yang dimiliki serta kewenangan lainnya yang ditetapkan
oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
(2) Dokter dan dokter gigi dalam keadaan gaw at dan / atau dantrat berwenang melakukan
tindakan kedokteran atau kedokteran glgl sesuai dengan keburuhan medis dalam
rangka penyelamatan jiwa.
(3) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) harus
dilakukan sesuai dengan standar profesi.

BAB IV
PENCATATAN DAN PELAPORAN
Pasal 23
(1) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melakukan pencatatan terhadap
semua SIP dokter dan dokter gigi yang telah dikeluarkannya.
Q) Catatansebagaimana dimaksud padaayat (1) disampaikan secara berkala minimal 3
(tiga) bulan sekali kepada Menteri Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia dan
tembusannya kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, organisasi profesi setempat.
Lompiron 297

BAB U
PEMBINAAN DAN PENGAWA'AN
Pasil24
(1) Menteri, Konsil Kedokteran Indonesia, Pemerintahan Daerah, dan organisasi profesi
melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan peraturan ini sesuai dengan
fungsi, tugas dan wewenang masing-masing.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayal (1) diarahkan pada
pemetaan dan peningkatan mutu pelayanan yang diberikan oleh dokter dan dokter
oioi
b_b^'

Pasal25
(1) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat
mengambil tindakan administratif terhadap pelanggaran peraturan ini.
(2) Sanlai administratif sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat berupa peringatan lisan,
tertulis sampai dengan pencabutan SIP
(3) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam memberikan sanksi administratif sebagai-
mana dimaksud ayat (2) terlebih dahulu dapat mendengar pertimbangan organisasi
profesi.

Pasal26
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mencabut SIP doker dan dokter gigi:
a. atas dasar keputusan MKDKI
b. STR dokter atau doker gigi dicabut oleh Konsil Kedokteran Indonesia dan
c. Melakukan tindak pidana
Pasal2T
(1) PencabutanSlPyangdilakukanDinasKesehatanKabupaten/Kotawajibdisampaikan
kepada dokter dan dokter gigi yang bersangkutan dalam waktu selambatJambatnya
14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal keputusan ditetapkan.
(2) Datam hal keputusan dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diterima, yangbersangkutan
dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi untuk
diteruskan kepada Menteri Kesehatan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah
keputusan diterima.
(3) Menteri setelah menerima keputusan sebagaimana dimaksud ayat Q) meneruskan
kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia paling lambat 14 (empat
belas) hari.

Pasal 28
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan setiap pencabutan SIP dokter
dan dokter gigi kepada Menteri Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia dan Dinas
Kesehatan Provinsi, serta tembusannya disampaikan ke organisasi profesi setempat.

t u'
.r r-^^.
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 29
(1) Dokter dan dokter gigi yangtelah memiliki Surat Penugasan dan atau SlPberdasarkan
peraturan perundang-undangan sebelum berlakunya Undang-undang No. 29 Tirhun
2004 tentang Praktik Kedokteran dinyatakan telah memiliki Surat Tbnda Registrasi
dan SIP
298 Etihc Kedohteron don Huhum Kesehoton

(2) Dokter dan dokter gtgt yang belum memiliki Surat Penugasan atau Surat Thnda
Registrasi dan SIP sebelum tanggal 6 Oktober 2005, dinyatakan telah memiliki
Sertifikat Komptensi sesuai ijazah yang dimiliki.
(3) Dokter dan dokter gigi sebagaimana dimaksud ayat (l) dan (2), harus menyesuaikan
dengan ketentuan sebaga.imana diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran
Indonesia.
(4) Dokter dan dokter gigi spesialis yang bekerja di Rumah Sakit Pendidikan atau
jejaringnya dalam rangka menunggu penempatan dianggap telah memiliki STR dan
SIP Sementara.
(5) Pimpinan Sarana Pelayanan Kesehatan wajib melaporkan doktEr dan dokter gigi
spesialis sebagaimana dimaksud ayat (4) kepada Menteri c.q. Biro Kepegawaian
dalam jangka waktu 1 (satu) bulan.
(6) Terhadap dokter dan dokter gigi spesialis sebaga.imana dimaksud pada ayat (4)
' dalam jangka waktu 6 (enam) bulan wajib menyelesaikan STR dan SIP Sementera.
(7) Dokter dan dokter gigi yang memiliki SIP lebih dari 3 (tigu) tempat praktik sebelum
berlakunya Undang-undang No. 29 Thhun 2004 tentang Praktik Kedokteran, harus
menetapkan 3 (tigu) tempat praktik yang dipilih paling lambat 6 (enam) bulan
setelah peratura"n ini berlaku.
(8) Terhadap dokter atau dokter gigi yang SIPnya habis dalam masa periode 6 Oktober
2005 sampai dengan 29 April 2007, wajib mengajukan permohonan STR kepada
Konsil Kedokteran Indonesia dengan menggunakan Surat Penugasan yang dimiliki.
(9) Terhadap dokter atau dokter gigi yang berlaku SIPnya habis periode 6 Oktober 2005
sampai dengan 6 April 2006 dinyatakan SIPnya masih tetap berlaku sampai STR
diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
(10) SIP sebagaimana dimaksud ayat (l) wajib diperbarui dengan menggunakan STR
yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.

Pasal 30
(1) Dokter dan dokter glgr yang saat ini sedang mengikuti pendidikan spesialis yang
belum memiliki STR Khusus dan SIP Khusus secara kolektif dinyatakan telah
memiliki SIP Khusus sebagaimana dimaksud dalam Peraturan ini.
(2) Pimpinan Sarana Pendidikan dan Pimpinan Sarana Pelayanan Kesehatan dalam
waktu 6 (enam) bulan wajib menyelesaikan SIP Khusus bagi dokter dan dokter gigi
yang saat ini sedang mengikuti pendidikan spesialis.

Pasal 31
(1) Dokter dan dokter gtgt yang saat ini disamping menjalankan praktik kedokteran
pada Rumah Sakit Pendidikan, menjalankan program pendidikan dokter dan dokter
gg d- atau menjalankan praktik kedokteran pada Rumah Sakit Pendidikan dalam
rangka pendidikan dokter dan dokter gigi atau menjalankan tugas kedinasan pada
sarana pelayanan kesehatan tertentu, dinyatakan telah memiliki SIP yang berlaku
bagi Rumah Sakit Pendidikan danjejaringnya serta pada s aranapelayanan kesehatan
tertentu.
(2) Pimpinan Rumah Sakit Pendidikan dan Pimpinan Fakultas Kedokteran dalam waktu
6 (enam) bulan wajib menyelesaikan SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
memberitahukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat sarurn
pelayanan kesehatan yang menjadi jejaring Rumah Sakit Pendidikan tersebut.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 32
Dengan ditetapkannya Peraturan ini, maka Peraturan Menteri Kesehatan No. 916l
Menkes,/PerlVlll/1997 tentang Izin Praktik Bagi Tenaga Medis, dinyatakan tidak
berlaku lagi.

Pasal 33
Ketentuan teknis pelaksanaan yang diperlukan, ditetapkan lebih lanjut dalam Peraturan
tersendiri.

Pasal 34
Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan diJakarta
Pada tanggal 5 Oktober 2005

MENTERI KESEHATAN,

Dr. dr. SITI FADILAH SUPARI, SpJP(K)


300 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehston

Formulir I

Perihal: Permohonan Surat Izin Praktik (SIP)

Kepada Dinas Kesehatan


Kabupaten/Kota

Di

Dengan hormat,

Yang bertandatangan di bawah ini,


Nama Lengkap
Alamat
Tempat, tanggal lahir
Jenis kelamin
Thhun lulusan
No. Registrasi

Dengan ini mengajukan permohonan untuk mendapatkan Surat Izin Praktik (SIP)
untuk yang ke...............kaIi.

Sebagai bahan pertimbangan bersama ini dilampirkan:

a. Memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi
yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia yang masih berlaku.
b. Fotg copy surat keputusan penempatan dalam rangka masa bakti atau surat
bukfi tehh selesai menjalankan masa bakti atau surat keterangan menunda
masa bakti yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.
c. Surat Pernyataan memiliki tempat praktik
d. Surat rekomendasi dari Organisasi Profesi di wilayah tempat praktik
e. Pas foto berwarna terbaru ukuran 4x6 sebanyak 3 (tigr) lembar dan 3x4
sebanyak 2 (dua) lembar.

Demikian atas perhatian bapaVibu kami ucapkan terima kasih.

Yang memohon

*) coret yang tidak prlu


Lompiron

Formulir II

KOP
DINAS KES EFII(|AN KABUPATEN,/KOTA
suRAr IZIN PRAKrIK.ltl:] GIGI
?*:*.::ouR
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No................ tentang
Izin Praktik Dokter dan Dokter Gigi, yang bertanda tangan di bawah ini, Kepala
Dinas Keseahtan Kabupate n/ Kota*)

0{*u)

Kepala Dinas Kesehatan


Kabupaten/Kota ...............................

Tembusan:
Menteri Kesehatan
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
Ketua Konsil Kedokteran Indonesia
Organisasi Profesi

*) Coret yang tidak perlu


Lcmpirsn 20
tumr'tuRAT KeremrucAN Doxren

1. Surat Keterangan Lahir

Rumah Sakit X
Alamat
Surat Keterangan Lahir
No.

Yang bertanda tangan di bawah ini, dr............. ..........., jabataH Dokter pada Rumah
Sakit X, menerangkan bahwa pada hari...... 1g1..................., puku1.,..............
telah lahir seorang putera"/puteri-) yang kemudian diberi nama:

Berat badan lahir


Tinggr badan
Nama ibu
Nama ayah
Alamat

Dokter tersebut,

(d'.'..'.......'......' . .. .........)

l
*) Coret yang tidak perlu

302
2. Surat Keterangan Meninggal
Dengan ini diterangkan dengan sesungguhnya bahwa:
Nama : ......................
Umur : ......................

Jenis kelamin: ...................


Alamat : ..................,...
Benar dirawat di Rumah Sakit X pada tanggal s'd.'.....'..'..'.,....'...."...'
Nama yang tersebut di atas telah meninggal dunia di Rumah Sakit pada
tanggal........... pukul.,.........,... WIB.
Demikianlah Surat Keterangan ini dibuat untuk dapat dipergunakan seperlu-
nya.

3. Surat Keterangan Sehat


Dengan ini diterangkan dengan sungguh-sungguh bahwa:
Nama
Umur
Jenis kelamin
Pekerjaan
Alamat
Setelah dilakukan pemeriksaan kesehatan sesuai standar, berada dalam keadaan
sehat.

Demikain surat keterangan ini diberikan untuk keperluan '..'...........'


,...........-)

Dokter tersebut,

(d''...'.'..'.'..'..'..'.. .."..'.... ..'.)

*) Diisi sesuai keperluan, misalnya:


Memperoleh SIM, nikah, lamaran ke{a dan pendidikan lanjutan.
304 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

4. Surat Keterangan sakit untuk istirahat


Dengan ini diterangkan dengan sesungguhnya bahwa:
Nama
Umur

Sehubungan dengan sakitnya perlu istirahat/beke4'a ringan selama . (.. )


hari, terhitung mulai tanggaI.............. s.d..................., 200....
Demikian surat keterangan ini diberikan untuk dapat dipergunakan seperlu-
nya.

Dokter yang merawat,

(d...........'..'....... . .)

5. Surat Keterangan Cuti Melahirkan


Dengan ini diterangkan dengan sesunggrhnya bahwa:
Nama : ................. .........................
Umur :.......................
Alamat : .......................
Sehubungan dalam keadaan hamil lanjut perlu beristirahat selama 3 (tigu)
bulan mulai tanggal s.d.....................,200......

Demikain surat keterangan ini diberikan untuk dapat dipergunakan seperlu-


nya.

Dokter tersebut,
305

6. Surat Keterangan Hamil bepergian dengan pesawat u{ara


Dengan ini diterangkan dengan sesungguhnya bahwa:
Nama
Umur
Alamat
Pada waktu ini hamil ......... bulan dan dalam keadaan sehat, dengan demikian
dapat dibenarkan bepergian dengan pesawat udara.

Dokter tersebut,

(d'............................ .'...'..)

Visum et Repertum
Pro-Yustitia

Visum et Repertum
No:..... / VR /..... /..... /

Permintaan Pemeriksa
Thnggal: Nama : dr.
No. Pol : NIP :

Penldik: Instansi:
NRP :

Instansi :

Perihal :

Korban Pemeriksaan
Nama : Thnggal:
Umur : Pukul :

Kelamin : Tempat:
Pekerjaan :

Agama :

Alamat :

Diduga mengalami:
306 Etiho Kedokteron don Huhum Kesehoton

Hasil Pemeriksaan.
A. Fakta dari pemeriksaan pertama sekali.
Thnggal:
Keadaan umum
Tingkat kesadaran
Denyrt nadi Tekanan darah:
Pernapasan Suhu badan :
Kelainan
Bagian luar tubuh
Bagian dalam tubuh:
B. Fakta yang dialami selama perawatan

ffiu$f'o."oaan kelainan luar dan dalam tubutr sebagai berikut:

"""""T""""""'
Kesimpulan
Dali fakta-fakta yang ditemukan dalam pemeriksaan dan perwart aan, dapat
kami simpulkan bahwa penderita telah:
I. Sembuh sempurna dan tidak mendapat halangan dalam melakukair pe-
kerjaannya.
II. Sembuh setelah mendapat perawatan se1ama.,........... dari tanggal .............. s.d.
tanggal ........
III. A. Luka yang dialami korban dapat mengancam kematian
B. Luka yang dialami korban dapat menimbulkan halangan dalam men-
jalankan pencahariannya.
C. Mendapat cacat besar
D. Mengalami kekudungan (amputasi)
E. Gangguan: penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, pengecap-
an.
F. Gangguan ingatan lebih dari 4 minggu
G. Gugurnya kandungan
I
Penutup
Demikian keterangan tertulis ini saya buat dengan sesungguhnya, sesuai
dengan ketentuan dalam KUHAP dan dengan mengingat sumpah waktu
menerima jabatan sebagai dokter.

Tirnda tangan

(I.{a*" dokter pemeriksa)


Lqmptuqn 2l
Coruron'Cotttott
tumr PrnnvlrAAN Prunlr/Wn l

FORMULIR-A

SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN


OPERASI DAN PEMBIUSAN
Saya yang bertmda tangan di bawah
Nama
Umur
Alamat
Hubungan kelurga
dai pasien nama
Bertindak untuk dm atas nama pasien :

dengm ini memberi izin kepada i

unh.rk melakukan tindakan operasi :

Persetujuan inijuga saya berikan untuk pembiusan umum atau lokal yang diperlukan dalam tindakan operasi
Bila pada waktu operasi berlangusng ternyata diperlukan operasi lain demi kepentingan/keselamatan jiwa, saya
juga memberi izin kepada Dokter/Dokter lain untuk melakukan perluasan opermi dimaksud.
kepada saya telah dijelmkan reperlunya tentang prosedur, harapm dan risiko dtri tindakan operasi ini, dhn saya
telah memahaminya.
Saya meyakini Dokter beserta Tim akm berusaha sebaik mungkin dan saya memahami tidak ada jaminm bahwa
opirasi akm selalu berhmil dengan baik dm saya tidak akan menuntut bila segalanya telah dilalsmakm sesuai
stmdar profesi.
Persetujum ini saya berikm dalam keadam sadar tanpa ada pemalsam dari manapun.

Medm, ..........,........
Pukul:. ................. WIB
Yang memberi persetujual

Saksi-saksi
Nama Alamat Thnda tangm
1. ............................ (...........,..... ................)

2. ............................

INFORMASIDOKTER
Saya menyatakm bahwa saya telah menjelaskm seperlunya tentang prosedur, harapm, dan risiko ddi tindakm
operasTpembiusan yang akan dilakukan.

Dokter Bedah, Dokter Anestesi

() ()
Keterangan: *) Coret yang tidak perlu

307
308 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

FORMULIR.B
S URAI PERNYATAAN PERS E"TUJUAN
TINDAKAN PENGOBATAN KHUSUS
Yang bertanda tangan di bawah ini:
(s aya,/istrTsuam t / 1br/b apaV saudara,/dll*)

Nama
IJmur
Alamat
Bertindak untuk dan atas nama
dengan ini memberi izin kepada
untuk melakukan tindakan
dengan menggunakan alat-alat yang diperlukan

Sayajuga telah memberikan persetujuan untuk memberikan pembiusan dan/atau obat


dan/bahan lain yang diperlukan untuk tujuan pengobatan dimaksud.
Untuk itu kepada saya telah diy'elaskan Dokter tentang prosedur, harapan dan risiko
dari tindakan pengobatan yang akan dilakukan, dan saya tidak akan menuntut bila
segalanya telah dilaksanakan sesuai dengan standar profesi.

Persetujuan ini saya berikan dalam keadaan sadar tanpa pemaksaan dari manapun.

Medan,...............i.....................
Pukul :................WIB

Yang memberi persetujuan

Saksi-saksi
Nama Alamat Thnda tangan

1. .................................

Saya menyatakan bahwa saya telah menjelaskan seperlunya tentang prosedur, harapan,
dan risiko dari tindakan pengobatan khusus yang akan dilakukan.

Dokter,

()

Keterangan: *) Coret yang tidak perlu


Lompiron 309

FORMULIR-C
SURAT PERNYATAAN PERS E"TUJUAN
TINDAKAN DIAGNOSTIK
Yang bertanda tangan di bawah ini:
(s ayalistri./suam r/ ibu/b apakl satdar a./ dll')
Nama
Umur
Alamat
Bertindak untuk dan atas nama

Medan,
Rrkul :.............. WIB

Yang memberi perserujuan

()

Saksi-saksi
Nama Alamat Tanda tangan

....)

(.... .... ....... ... ..)

Saya menyatakan bahwa saya telah menjelaskan seperlunya tentang prosedur, harapan,
dan risiko dari tindakan pengobatan khusus yang akan dilakukan.

Dokter,

(________)

Keterangan: *) Coret yang tidak perlu


3to Etiho Kedohterqn don Huhum Kelehoton

SURAT PERNYATAAN PENOI,AKAN U*''* "O*ULIR-D


TINDAKAN OPERASI, TINDAKAN MEDIK LAIN,/RAWAT INAP
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :..............,....,...,...
Umur
Alarnat
Hubungan keluarga :.,,........................
dan pasien nama :........................,.
Bertindak untuk dan atas nama pasien:...,.........
menyatakan dengan sesungguhnya dan atas pertimbangan dan kehendak sendiri, telah
memutuskan untuk menolak dilakukan tindakan operasTtindakan mediVrawat inap*)
pada nama O.S.

Sebelum penolakan ini saya lakukan, kepada saya yelah diterangkan tentang
peringatan akan bahaya, risiko serta kemungkinan-kemungkinan yang akan'timbul
apabila tidak dilakukan operasTtindakan mediVrawat inapl)

Walaupun saya telah memahami sepenuhnya penjelasan tersebut, narnun saya tetap
pada kepufusan di atas dan menyatakan bertanggungjawab sepenuhnya atas keputusan
yang telah saya ambil.

Medan, ...............................
Pukul :..............., WIB

Yang memberi persetujuan

Salsi-saksi
Nama Alamat Thnda tangan

(..........:................)

2..................... (............................)

Saya menyatakan bahwa saya telah menjelaskan seperlunya tentang prosedur, harapan,
dan risiko dari tindakan pengobatan khusus yang akan dilakukan.

Dokter,

()
Keterangan: *) Coret yang tidak perlu
Lompirqn 22
Conron tumr Fenruvarmn
PenrerufuAN terel.lu Pentrulm pff)

Contohr
Penjelasan kepada calon subjek penelitian makanan tradisional sebelum meminta
Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP)
Tirjuan proyek penelitian kami adalah untuk menemukan jenis dan jurnlah
makanan yang dikonsumsi oleh penduduk terutama oleh orang-orang dewasa
yang menggunakan makanan tradisional di daerah ini.
Penelitian ini akan membantu menentukan manfaat dan nilai gizi serta risiko
menggu.nakatt rnuk-ut tradisional tersebut.
Pada akhir penelitian, pimpinan proyek akan menyampaikan laporan kepada
masyarakat dan kalau perlu dibahas hasil-hasilnya.
Jika Anda bersedia ikut, Anda akan diwawancarai selama +30 menit mengenai
makanan tradisional yang dikonsumsi.
Kepada Anda tidak dikenakan biaya apapun.
Semua informasi merupakan rahasia. Nama Anda tidak akan dicantumkan. Di
semua formulir digunakan No. kode.
Penelitian ini dilakukan oleh dokter X dan Y, SKM.
Dana penelitian disediakan oleh donor Z.
Anda dapat menolak menjawab pertanyaan di setiap waktu dan berhak
mengundurkan diri jika tidak bersedia lagi ikut penelitian ini.
Pewawancara atau administrator setempat akan menjawab semua pettanyaan
Anda, namun setelah wawancaratersebut jika Anda memerlukan penjelasan lebih
lanjut atau ada hal-hal terkait dengan penelitian ini harap menghubungi dokter X
atau Y, SKM di alamat..... telp......

3tl
312 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

SURAT PERNY,{TAAN
PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)
UNTUK MENGIKUTI PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,


Nama :

Umur :

Alamat:
Setelah membaca,/mendapatkan penjelasan dan saya memahami sepenuhnya
tentang penelitian,

Judul Penelitian
Nama penelitia utama
Jenis penelitian
Lokasi penelitian
Jangka waktu penelitian
Institusi yang melakukan Penelitian:
Dengan ini, saya menyatakan bersedia mengikuti penelitian tersebut secara sukarela
sebagai subjek penelitian. Saya berhak mengundurkan diri kapan saja tanpa
pengaruh terhadap pelayanan kesehatan kepada saya

Thnda tangan subjek


Nama Tirnggal

Kalau perlu:
Pihak berwenang/wakil yang sah

Thnda tangan subiek


Nama Thnggal

Saksi-saksi

Thnda tansan subiek


Nama Tbnggal

Pewawancara,/p embahas

Timda tangan subjek


Nama Tlmggal
Dlrrnn Jrncxlran

AID - Arteficial Insemination by Donor


AIDS - Acquired Immunodeficienry Syndrome
AIPI - Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
AKDR - Alat Kontrasepsi Dalam Rahim
AKI - Angka Kematian Ibu
AKP - Angka Kematian Perinatal
ANC - Antenatal Care
AMDAL - Analisa Dampak Lingkungan
ART - Assisted Reproductive Technology
ASTEK - Asuransi Kesehatan Tenaga Kerja
BBT - Bahan Biologi Tersimpan
BOR - Bed Occupation Rate
BTO - Bed Tirrn Over
BW - Burgelijk Wetboek
CI.ALFREDS - Comunication, Information, Administration, Legal,
Financial Research, Education and Documentation, Statistic
CIOMS - Council for International Organization of Medical Science
CME - Continuous Medical Education
CT:Scan - Computerized Tomographic Scanning
CUKB - CaraUji KlinikyangBaik
DEPKES - Departemen Kesehatan
DNA - Deoxyribose Nucleid Acid
DNR - Do Not Resuscitate
EEG - Electro Encephalography
ELSI - Ethical, Legal and Social Implication
EQ - Emotional Quotient
ERSI - Etika Rumah Sakit Seluruh Indonesia
ET - Embryo Tiansfer
GDR - Gross Death Rate
GIFT - Gamete Intra Fallopian Tube
HIV - Human Immunodeficiency Virus
HGF - Human Growth Factor
HGP - Human Genome Project
HIPERKES - Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja
313
Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

ICSI - Intra Cltoplasmic Sperm Injection


ICU - Intensive Care Unit
IDI - Ikatan Dokter Indonesia
IFGO - International Federation of Gynaecology and Obstetrics
IQ - Intelectual Quotient
IMRAD - lntroduction, Methods, Result And Discussion
IVF In Vitro Fertilization
KB - Keluarga Berencana
KBK - Kurikulum Berbasis Kompetensi
KEPK - Komite Etik Penelitian Kesehatan
KNEPK - Komite Nasional Etik Penelitian Kesehatan
KIE - Komunikasi, Informasi dan Edukasi
KLB - Kejadian Luar Biasa
KODEKI - Kode Etik Kedokteran Indonesia
Kontap - Kontrasepsi Mantap.
KKI - Konsil Kedokteran Indonesia
KTD - Kehamilan Thk Diinginkan
KUH PERD,{T,{ - Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
KUHP - Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
LOS - Length of Stay
LRD - Living Related Donor
LSDI - Lafal Sumpah Dokter Indonesia
LSM - Lembaga Sosial Masyarakat
MKEK - Majelis Kehormatan Etika kedokteran
MKDKI - Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
MRI - Magnetic Resonance Imaging
NDR - Net Death Rate
ODHA - Orang Dengan HIV/AIDS
P3EK - Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etika Kedokteran
PAPS - Pulang Atas Permintaan Sendiri
PASUTRI - Pasangan Suami Istri
PBB - Perserikatan Bangsa-Bangsa
PCR - Polimerase Chain Reaction
PDGI - Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia
PERHUKI - Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia
PERMENKES - Peraturan Menteri Kesehatan
PERS - Panitia Etika Rumah Sakit
PERSI - Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia
PIRS - Peraturan Internal Rumah Sakit
PISM - Peraturan Internal Staf Medis
PSP - Persetujuan Setelah Penjelasan
PKMI - Perhimpunan Kontrasepsi Mantap Indonesia
PORMIKI - Persatuan Professional Perekam Medis dan Informasi
Kesehatan Indonesia
PP - Peraturan Pemerintah
Doftor lstiloh 31s

PPM dan PLP - Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan


Lingkungan Pemukiman
PMS - Penyakit Menular Seksual
PPDS - Program Pendidikan Dokter Spesialis
PPDGS - Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis
PUSSI - Perkumpulan Untuk Sterilisasi Sukarela
RM Rekam Medis
RSCM - Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
RMK - Rekam Medis,/Kesehatan
RSGS - Rumah Sakit Gatot Subroto
RRC - Republik Rakyat China
SARS - Severe Acute Respiratory Sindrome
SID Surat Izin Dokter
SIP - Surat lzin Praktik
SK - Surat Keputusan
SpAn Spesialis Anestesi
SpB - Spesialis Bedah
SpF - Spesialis Kedokteran Forensik
SpKK - Spesialis Kulit dan Kelamin
SpOG - Spesialis Obstetri dan Ginekologi
SpPD - Spesialis Penyakit Dalam
STD - Sexual tansmitted Disease
STR - Surat Tanda Registrasi
SQ - Spiritual Quotient
TET - Tirbal Embryo Transfer
TOI - Thrn Over Interval
TRB - Teknologi Reproduksi Buatan
UGD - Unit Gawat Darurat
UI - Universitas Indonesia
USG - Llltrasonografi
UNESCO - United Nations Educational, Scientific, and Cultural
Organization
UUPK - Undang-Undang Praktik Kedokteran
UU RI Undang-Undang Republik Indonesia
VER - Visum et Repertum
WHO - World Health Organisation
WMA - World Medical Association
WNA - W-ga Negara Asing
WNI - Warga Negara Indonesia
ZlYt - Zygote Intra Fallopian Tube
KereruruAN Huxun

Hippocratic Oath 8,224


Nuremberg Code (1947) 184,225
Declaration of Geneva (1948) 226
Declaration of Human Right, Persatuan Bangsa-Bangsa (1948) 48, 184
Declaration of Helsinski (1964) 185
Peraturan Pemerintah No. 10 tahun t966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran 79,
234
Deklarasi Oslo 1970 tentang Abortus Buatan Legal 107

Declaration ofSydney 238


Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 03UBirhtp/1972 tentang Medtbal Recording/ Rrponng
dan HoEital Stattsttc 64
Keputusan Menteri Kesehatan Rl No. 034/Birhry/L972 tentang Perencanaan dan Pe-
meliharaan Rumah Sakit 64
Keputusan Menteri Kesehatan Rl No. 134,zMetkes/SWlY/78 tentang Susunan Organisasi
dan Tata Ke{a Rumah Sakit 64
Pernyataan IDI tentang Rekam Medis
SK PB IDI No. 315,zPBlA.4,288 64,257
Pernyataan IDI tentang ltformed Consent
SK PB IDI No.3I9/PB/A.4/88 259
Pernyataan IDI tentang Mati
SK PB IDI No. 23VPBIA.4/07/90 t22,124
Pernyataan PB IDI No. 22VPB/A-4/04/2002 tentang Kode Etik Kedokteran
Indonesia 15

Keputusan Menteri Kesehatan Rl No. 724,zMenkes/SK/Y/2003 tentang Kartu Pernyataan


Kesehatan Seaere Acate ResptVatory Syndromr (SARS) 143
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 424/Menkes/SV\r/2003 tentang Penetapan Seaere
Aaie Respiratory Syndrome (SARS) 143

KUTIAP
Pasal170 81
PasaIlT9 95
Pasal267 101

316
Ketentuon Huhum 317

KUHP
Pasal299 110
Pasal 336 110
Pasal,347 108
Pasal 348 108
Pasal 349 108
Pasal 383 108
Pasal285 177
Pasal286 t77
Pasal287 177
Pasd.294 t77
Pasal322 80
Pasal 338 121
Pasal 340 t21
Pasal 344 12t
Pasal 345 t2t
Pasal 359 12t
KUHPerdata
Pasal 1313 43
Pasal 1320 44
Pasal 1338 45
Pasal 1365 81
Peraturan Menteri Kesehatan Rl No. 560/Menkes/Per/X/1981 tentang Pemberian Izin
menjalankan pekeq'aan dartizin praktik bagi doker umum t43
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. l59b/Menkes/Per/ll/1988 tentang Rumah
Sakit 159
Peraturan Menteri Kesehatan No. 554,/Menkes /Per/Xll/t982 tentang Panitia Pertimbangan
dan Pembinaan Etika Kedokteran (P3EK) 179
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 560/Menkes/Per/YV7989 tentang Jenis Penyakit
Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah, Thta Cara Penyampaian Laporannya
dan TataCara Penanggulangan Seperlunya 143
Peraruran Menteri Kesehatan RI No. 585,zMenkes/IX./1989 tentang Persetujuan Tindakan
Medrk (Infomed Consenf 72
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 749a,/Menke s/Kl,/L989 tentang Rekam M edis (medical
record) 65,261
Peraturan Menteri Kesehatan Rl No. 1419,/Mer*es/Per/X./2005 tentang Penyelenggaraan
Praktik Dokter dan Doker Gigi 34
Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 1958 tentang Wajib Daftar Ijazah Dokter dan Doker
GiCt 54
Peraturan Pemerintah No. 26 Tbhun 1960 tentang Lafal Sumpah Dokter Indonesia 7
Peraturan Pemerintah No. 33 Thhun 1963 tentang Lafal Sumpah,{anji Dokter Gigi 12

Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia kedokteran 79

Peraturan Pemerintah Rl No. 33 tahu+1977 tentang Asuransi Tenaga Ke5'a 139


318 Etiho Redohteron don Huhum Kesehoton

Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1981 tentang Bedah mayat klinis, bedah mayat anatomis
dan transplantasi alat sertajaringan tubuh manusia 22,246,269
Peraturan Pemerintah No. 39 Thhun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehat-
an I85,189,287
Reglement op de Dienst de Volsgezondheid Staatblad 1882 No 97 Lafal Sumpah Dokter di
Indonesia padazarrran Belanda 9
Reglemen Indonesia yang diperbarui Pasal277 81
SK Menkes RI 434lMenkes/SK,/X/1983 tentang Lafbl Sumpah Dokter Indonesia 9
SK Menkes No. 1334lMenkes/SK/X/2002 tentang Pembentukan Komisi Nasional Etik
Penelitian Kesehatan (KNEPK) 287
SK Menkes No. 187lMenkes/SWll/2003 tentang Keanggotaan Komisi Nasional Etik
Penelitian Kesehatan (KNEPK) 186
SK. DirekturJendral Pelayanan Medik No. 78 tahun 1991 tentang Penyelenggaraan RM di
rumah sakit 65
Undang-undang ke4'a (1948-1951) L37
Undang-undang No. 2 Tirhun 1966 tentang hygiene 131
tahw1947 137
Undang-undangKecelakaan
Undang-undang No. 11 Tahun 1962 tentang Hygiene untuk Usaha-usaha Bagi
Umum I28
Undang-undang No. 14 tahun 1969 tentahg ketentuan pokok mengenai jaminan
sosial 138
Undang-undangNo. 6 tahun 1962 tentangwabah 92, 140
Undang-undang No. 7 tahun 1968 tentang Perubahan Pasal 3 Undang-Undang No. 6 tahun
1962 tentangwabah 240
Undang-undang Rl No. 10 tahun 1963 tentangTenaga Kesehatan 27
Undang-undang Keselamatan Kel'a tahun 1970 138
Undang-undang Kompensasi Ke{a 138
Undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup 131
Undang-undang Rl No. 23 tahun t992 tentang Kesehatan 26
Undang-undang RI No. 10 tahun 1992 tenlatg Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera 110
United Nation on Human Cloning 2005 110
Undang-undang Republik Indonesia No. 29 Tirhun 2004 tentang Praktik Kedokteran 34
lnoexr

A Bioetika l, 3, 4, 186, 2I9, 220, 221, 222


pengertian 1
Abortus 105, 107, 176,220, 315 Brain sten dcath lI9
dan Deklarasi Oslo (1970) 107
dan kehamilan tidak diinginkan (KTD) 108
dan KUHP 108
c
definisi 107 Communhable desease l4l
UU No.23 tahun 1992 dan 107 Complinentary and Altenanoe Medrane (CANI)
AIDS (Acgumd Immunodefaenry Syndrome) 114 150
kehamilan dalam 114 Constitutrbn of TIte World Healtlt Organizahon
AKI (angka kematian ibu) 22,108,312 (1976) 23e
AKP (angka kematian peinatal) 22, 3I2
altruism 3
Aspek etik 126, 128, 134, 135, L40, 220
D
kesehatan ke{a 134 Declaration of Geneva (1948) 226, 315
kesehatan lingkungan 128 Declaration of Helsinki 185, 229, 233
penyakit menular 140 additional principles for all medical research
transplantasi 126 combined with medical care 232
Aspek hukum 122, 123, 136, 219, 222, 223 basic principles for all medical research 229,
kesehatan ke{a 134 230
kesehatan lingkungan 128 Declaration oflisbon (1981) 73
penyakit menular 140 dan PTM 73
transplantasi 123 Declaration olsydney A Statement ofDeath
Asuransi tenaga ke{a 139, 316 238
Avicena 14 DeklarasiJenewa 7, 8, 9, l0
pelopor kedokteran 14 Deklarasi Oslo (1970)
dan abortus 107
B Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa tentang
Klonasi pada Manusia 114
Bahan Biologik Tersimpan (BBT) 183, 186, 190, DNA (dnxynbae nucleid aadl 112
tgt,221,312 DNR (do not resaa:tation) 119
etika pemanfaatan 190 Donasi oosit 111
Bayitabung 90,111,220 Donasi sperma 111
donasi oosit 111 Duties of Doctors in General 227
donasi sperma 111 Duties ofDoctors to Each Other 227
fertilisasi in vitro pada 111 Duties of Doctors to The Sick 227
gamete intra-tuba lhllopii 111
kriopreservasi embrio lll E
pembelahan embrio 111
suntikan sperma intra-sitoplasmik 111 Embryo oyopraenation l\I
tandur alih embrio 111 Enbryo splimng lll
tandur alih einbrio intra-tuba 111 Enbyo transfrr (ET) 111, 312,314

3t9
320 Etiho Kedokteron don Huhum Kesehoton

Emohbnal Quottenl (EQ) 3 H


Endonuklease dan enzim ligase 112
dan rekayasa genetik 112 Hak dan kewajiban dokter dan pasien 47
Etltically acceptable 2 ' Hak dokter 54
E tlti ca Ily unaccep ta b le 2 Hak pasien 13,47,48
Ethics 2, 4, 107, 2t0, 215, 2L8, 220, 221, 222, Hippokrates
223,227,229 pelopor kedokteran kuno 14
Ethos 2,3,210 HIV dalam kehamilan 105, 106, 107, ll4
Etika kedoktleran I,2-217 , 204,219-223 Hos|ital Bykzts 16l, 162, 163, 164, 166,219
definisi 2 Hukum kesehatan l, 4, 5,27,28, 63, 128, 134,
pengertian 1 t36, t37, 204, 2I2, 2I3, 2L8, 219, 220,
sanksi pelanggaran 173 221,222,313
Etika klinis 84 dan UU Kesehatan 27
Etika murni 17,173, 174 eutanasia dan 120
pelanggaran 17,174 pengertian 1
Etika penelitian kesehatan I83, 287 Human Growth Factor (HGF 112
etik penggunaan hewan percobaan 191 dan rekayasa genetik 112
komisi etik penelitian kesehatan (KEPK) 186
komisi nasional etik penelitian kesehatan I
(KNEPK) 186
pemanfaatan bahan biologik tersimpan 190 Ibnu Sina (Avicena), pelopor kedokteran 14
penelitian epidemiologi 193 Ikatan Dokter Indonesia (IDD 6, 14, 24, 36, 39,
penelitian genetik 194 56, 65,96,102, r04,122, t24, 175, 178,
penelitian pada subjek khusus 188 179, 180, 181, 2 15, 220, 221, 222, 257,
penggunaan hewan percobaan 191 259,269,313,315
persetujuan setelah penjelasan (PSP) 186 Ikatan Dokter Sedunia 8
prinsip etita umum 185 Imbalan jasa dokter 57
Etika umum 185 pedoman 58
prinsip 185 Imhotep
Etilolegal 17, I73, 174, 175, 182,220 pelopor kedokteran kuno 14
pelanggaran 17,175 Indikasi medik 86,209
Etik penggunaan hewan percobaan 191 Infomed Consmt 7 l, 72, 186, 210, 218, 219, 220,
Eutanasia 22, 116, 718, lI9, 720, 2ll, 2I7, 222 22t,315,316
aktif 119 Intellectual Quotenl (IQ), 3
langsung 120 Intemational Code ofMedical E+Jrrcs (1949) 227
tidak langsung 120 International Ethical Guidelines for Biomedical
dan hukum 120 Research lnvolving Human Subjects
jenis 119 (cIoMS 2002) 185

konsep tentang kematian dan 118 Intra cytoplasmic spenn injection (ICSD 111
pasif 119 In vitro Grtilization (n/$ 90, 111, 313
pengertian 118
J
F tubuh 122,240, 242, 243, 246
Jaringan
Fertilisasi in vitro III transplantasi 122
Flu burung 143
K
G Keharnilan S3, tOS, 106, 707, 108, 111, ll4, 177 ;

Galenus 189,204
pelopor kedokteran kuno 14 HIV pada 114
Gamete intra fallopian tube (GIF-|) 111 Kehamilan tidak diinginkan (KTD) 108
Gawat Darurat 168 abortr-rs dan 108
penanganan pasien 168 Kepastian dan perlindimgan hukum 32
General Assembly World Medical Assocation sanksi pidana 32
321

Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1334,/ UU No.23 tahun 7992 dan 97


Menkes/ SK,/X/ 2002 Tentang Komisi Staf Bykzos t6l,162, 165
Med;cal
Nasional Etika Penelitian Kesehatan Musyawarah Ke{a Nasional Etik Kedokteran
287 ke-2 10
Kesehatan ke{a 134, 135, 136, 137,221,222, tentang sumpah dokter 10
223,3r2
aspeketik 134, 135 N
aspek hukum. 134, 136
asuransi tenaga. ke{a 139 Nuremberg Code $9a\ I84,225
ketentuan hukum tentang 137
pengertian 136
sasaran hukum 137
o
Kesehatan lingkungan 5, 128,129, 131,284 Obat herbal atau obat bahan alam (OBA) 150
aspek etik 130 Ooryte donahon llt
aspekhukum 128 Operational Guidelines for ethics Committee
dalam perundang-undangan 1.31 that Review Biomedical Research
pengertian 129 04,'HO,2000) 185
Kewajiban dokter 15, L6,38,47,54 Orang dengan HIVIAIDS (ODfiA) 140,145,
terhadap diri sendiri 16 146,3t3
terhadap pasien 15 Organ 122,123,221
terhadap teman sejawat 16 transplantasi 122
Kewajiban pasien 38, 52,160,222
Klonasi 105, 106, 113, 114 P
Kongres Obstetri dan Ginekologi Indonesia
(KOGI) dan 114 Pasien gawat darurat 168
padarnanusia 113 pedoman etik kedokteran menghadapi 169
United Nations Declaration on Human penanganan 168
Cloning 2005 IL4 Patients'Bill of Right (American Hospital
Kode etik kedokteran Indonesia (KODEKD 3, Association, L972) 73
11. 13, 14, 16, 17, 18,24, 47, 48, 49, 58, danPTM 73
70,79,88,89, 100, 101, 107, 126, 130, Pedoman Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) di
136, r52,168, 169, 170, 17r, 173, l74, Indonesia (Badan POM 2001) 185
I75, 176, 177, 179, 181,2r1,212,213,313 Pelanggaran etik 178, 220
Komisi etik penelitian kesehatan (KEPK) 183, bentuk-bentuk sanksi 181
185, 186, 187, 188, 189, 191, 194, 3r3 pedoman penilaian kasus 180
Komisi nasional etik penelitian kesehatan prosedur penanganan dugaan 178
(KNEPK) 183, 186. 313, 317 tugas MKDKI 178
Kongres Obstetri dan Ginekologi Indonesia Pelopor kedokteran
(KOGD 114 Galenus 14
Kontap 105,109,110 Hippokrates 14
Kontrasepsi 105, 109, 312, 313 Ibnu Sina (Avicena) 14
Kriopresewasi embrio 111 Imhotep 14
Kualitas hidup 86 Pembangunan kesehatan 35
' dan UUPK 35
Pembelahan embrio 111
M Penelitian 21, 108, 112, 113, 183, 184, 185, 186,
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran 188, 189, 190, 191, 193, 194,198,207,
Indonesia (MKDKD 6, 39, I04, 213 208, 212, 218, 219, 220, 221, 222, 223,
dan UUPK 39 287, 288, 289, 310, 311, 313, 317
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (I\4KEK) pada subjek khusus 188
6,39 Penelitian kesehatan 183, 185, 186, 207,219,
Malpraktik medtk 95, 2I9 220. 22r. 222, 223, 287, 288, 289, 313,
/taman ermrdan 96 3L7
penanganan 102 etika 183
pengertian 96 kerangka dan unsur-unsur tulisan ilrniah 197
upaya pencegahan 99 segi etik dalam unsur-unsur tulisan ilmiah 197
322 Etiho Kedohteran don Huhum Resehotqn

Penerapan Etik di Rumah Sakit 157 Pernyataan lDl tentang InJbrrnmd Consent
Penulisan ilmiah kedokteran/kesehatan 196 (Lampiran SKB IDI No.319,zPB,z
Penyakit menular 93, I40, I4L, 143, 744, 146, 4.4/88) 259
'2t9,3L4 Pernyataan IDI Tentang Rekam Medis,/
aspek etik 140 Kesehatan (Medr:cal RearQ(Lampiran
aspekhukum 140 SK PB IDI No. 315,zPB,zA.4/88\ 257
flu burung 143 Pernyataan Ikatan Dokter Indonesia Tentang
HTV,/AIDS. 145 Mati 269
pemberantasan dengan UU Kes ehatan 146 Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) 74, 183,
penyakit menular seksual (PMS) 144 186, 216,310
SARS 143 Persetujuan Tindakan Medik (F"IM) 21, 45, 50,
wabah 141 72, 73, t66, t7l, 205,206,2lt,219,265,
Penyakit menular seksual (PMS) l4l,l44 316
Penyelenggaraan praktik kedokteran 37 bentuk 74
Penyembuhan tradisional 148, L49, 153 Declaration oflisbon (1981 73
menyikapi 153 informasi 75
vs. kedokteran modern 148 Patients' Bill of Right (American Hospital
Peraturan Internal Rumah Sakit PIF.S, Hlspital Association,1972) 73
ByLmLs) 161, 162, 163, 164, 165,166,3I3 pengertian 73
merancang 166 penolakan 77
Peraturan Internal Staf Medis (PISM, Medt:cal persetujuan 76
SnfBykzol 16l, 162, 163, 165, 166, Praktik Kedokteran 3, 5, 27,34,35, 37, 51, 54,
t67,3t3 60, 74, 78, 83, 89, 102, n8, 206, 207,
merancang 166 222, 290, 291, 296, 297, 314, 3t7
Peraturan Menteri Kesehatan Republik UU RI No. 29 Tahun2004, tentang 34
Indonesia No. 7 49a./ Menkes/Per / PTM lpersetujuan tindakan medik) 2f,50,53,
XII/1989 Tentang Rekam Medis,/ 55, 72, 73, 74, 7 5, 76, 77, 86, 17 l, 2tt
Medical Record 261
Peraturan Menteri Kesehatan Republik
R
Indonesia No. 585 /Menkes/Per /
IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Rahasiajabatan dan peke{aan dokter 78
Medik 265 Reglement op de Dienst de Volsgezondheid
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 554,2 Staatsblad 1882 No.97 9
Menkes,/Per,/Xil / 19 82 Tentang Panitia tentang sumpah dokter 9
Pertimbangan dan Pembinaan Etika Rekam Medis 38, 62, 63, L87, 205, 206, 207, 214,
kedokteran 249 216, 219, 220, 257, 26r, 262, 306, 314,
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1419,/ 315,316
Menkes/ P er/X,/ 2005 tentang informasi kesehatan dan 68
Penyelenggaraan Praktik Dokter dan isi 66
Dokter Gigi 290 kegunaan 67
Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden kerahasiaan 70
26,33 lama penyimpanan 70
Peraturan Pemerintah No. 10 Tirhun 1966 lembaran yang ditandatangani dokter pada 71
Tentang Wajib Simpan Rahasia pemilik 69
. Kedokteran 234 perkembangan di Indonesia 64
Peraturan Pemerintah No. 26 Tirhun 1960 sejarah dan perkembangan 63
tentang Sumpah dokter 10 Rekayasa genetik t 12
Peraturan Pemerintah RI No. 18 Thliun 1981 endonuklease dan enzim ligase 112
tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Human Growth Factor @IGF) 112
Mayat Anatomis serta Transplantasi Tissue Plasminogen Activator (TPA) 112
Nat dan / atau Jaringan T\$uh Manusia Rekayasajaringan 114
240 Reproductioe ckning ll4^
Peraturan Pemerintah RI No.32 Tia.hun 1996 Reproduksi manusia 22, 105
tentang Tenaga Kesehatan 275 abortus 107
Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia HIV dalam kehamilan 114
(PERHUKD 5,221 klonasi pada manusia 113
323

Reproduksi manusia (knjuta) Surat izin praktik (SIP) 42


kontrasepsi 109 Surat keterangan dokter 56, 88,301
rekayasa genetik 112 kuitimsi 93
anak 111
seleksi kelamin laporan penyakit menular 93
teknologi reproduksi buatan 111 sanksi hukum 94
Rumah Sakit 5,36, 64, 65,85,96, 127, 143, 156, surat keterairgan cacat 92
157, 158, 159, 160, 16r, 162, 163, 164, surat keterangan cuti melahirkan 92, 303
L66, 212, 215, 219, 220, 221, 222, 247, surat keterangan ibu hamil bepergian dengan
25r, 29r. 292, 293, 294, 297, 301, 302, pesawat udara 92,304
312,313,314,315,316 surat keterangan lahir 89, 301
dan staf medis 161 surat keterangan meninggal 90,302
peraturan internal 161 surat keterangan penggantian biaya da"ri
etik 156 asuiansi kesehatan 92
hak 159 surat keterangan sakit untuk istirahat 92,302
hak pasien 159 surat keterangan sehat 90,302
hukum 156,158 terkait pasal 179 KUFIAP 94
kewajiban 159 visum et repertum 93,304
kewajiban pasien 160 Surat Pernyataan Pasien/Wali 306
penerapan etik di 157 Surmgate mot/ter, pada reproduksi manusia
peraturan internal 161 buatan 111

S T
Sanlai pidana 32 Thndur alih embrio 111
SARS 140, 143, 144,314, 315 tndur alih embrio intra-tuba 111
Seleksi kelamin anal 1 ll Teknologi reprodulsi buatair 111, 222, 314
pada reproduksi manusia 111 donasi oosit 111
Selfdetermination Il7 donasi sperma 111
Sexual transmitted diteasa (STD) l4l fertilisasi in vitro 111
Spetmdotnhbn llI gamete intra-tuba fallopii 111
Spiilual Quotrcnl (SQ 3 kriopreservasi embrio 111
stafMedis 161, L62, 163, 164,165, 313 pembelahan embrio 111
rumah sakit dan suntikan sperma intra-sitoplasmik 111
peratumn internal 161 sunogate mother pada 111
SumpaVjanji dokter gigi 12 tandur alih embrio 111
l^fd 12 tandur alih embrio intra-tuba 111
PP No. 3 Tiahun 1963 tentang 12 The Declaration of Helsinki (\I4\4A, 2000) 185
Sumpah dokter 7, 8, 9, 10, 11, 79, 107, 2ll, 3L3, The HippocraticOath (B.C) 224
316,317 Tlterapeunc cloning ll4
DeklarasiJenewa (19a8), tentang 10 The World Medical Association 226,229
lafal 7 Declaration of Geneva (L948) 226
pada Musyawarah Ke{a Nasional Etik Trssue Plasmrnogen Axioator QPlt) ll2
Kedokteran ke-2 10 dan rekayasa genetik 112
pada Reglement op de Dienst de Tiansaksi terapeutik 41
Volsgezondheid Staatsblad 1882 No. 97 pembatalan persetujuan dan 45
9 pengertian pada 43
PP No. 26 Tbhun 1960 tentang 10 persetujuan pada 43
Sumpah dokter Indonesia 7,8,9, Il,79, 107, prestasi pada 44
2ll,313,316,3r7 syarat sahnya suatu persetujuandan 44
dibanding sumpah Hippokrates 7 Tiansplantasi 29, 122, 123, 124, I25, L26, 127,
lafal 9 221, 240, 241, 242, 243, 246
Sumpah Hippokrates 7, 8, ll, 107, 176, 2ll aspek etik 126
dibanding sumpah dokter Indonesia 7 aspekhukum pada 123
Suntikan sperma intra-sitoplasmik 111 jenis 123
Surat izin dokter (SID) 42 organ danjaringan tubuh 122
324 Etiho Kedohteron don Huhum Kesehoton

U ketentuan pidana 39
konsil kedokteran dan 36
Undang-Undang Kesehatan 27, 28 penyelenggaraan praktik kedokteran 37
abortus 107 persetujuan tindakan kedokteran 38
dan hukum kesehatan 27 standar pelayanan 38
kutipan 30 tentang disiplin dokter dan dokter gigi 39
pengertian dalam ketentuan umum 29 tujuan dan filosofi 35
perspektif 28
sistematika- 29
Undang-undang RI 27, 28, 3 4,.141, 205, 206, V
3t7 Visum et repertum 89,93,204, 304, 314
Nomor23 Thhun 1992 tentangKesehatan 26
Nomor 29 Tia.hun 2004 tentang Praktik
Kedokteran 34 w
United Nations Declaration on Human Cloning Wabah penyakit menular 141'
2005 tt4 World Congress on Medical Law 5
Universal Declaration of Human Rights (1948) World Medical Association flMMA) 8,785,229
184 Declaration of Helsinki 229
UpayaKesehatan 31 general assembly 9
UUPK (Jndang-Undang tentang Praktik
Kedokteran) 35,36,37, 38,39, 62, 64,
65,72,76,21t,2I3,3I4 Z
biaya 38 Zygote intra fallopian tube (ZIFT) 1 U
kendali mutu 38
INFORMASI

Informasi mengenai buku-buku EGC dapat diperoleh dengan


. menghubungi Bagian Pemasaran:

Kantor Pusat:
Jln, Agung Timur IV Blok O1 No. 39, SunterAgung Podomoro,
Jakarta 14350
Telepon (02 1 ) 6530 6283, (021) 6530 67 12, 08 1 3 993 8 1 543
Faks. (021) 6518178
e-mail : contact@egc-arcan.com, egc *arcan@hotmail.com'
mkJg@egc-arcan.com

Cabang SurabaYa:
Jln. Siwalankerto Permai I/D 1 1, Surabay a 6021 6
Telepon (03 l) 84177 62, 08 133 I 038479
Faks. (031)8433248
e-mail : kcsby@egc-arcan'com

Jrn Bri gj en K",",:lJ3:?#",$i"i, r, Medan 20 1 5 e


Telepon (06 l) 453505 8, 0812657 111 45
Faks. (061) 4sr1s78
e-mail: kcmdn@egc-araan.com

Cabang YogYakarta:
Perum Green Garden C 97, Jln. Godean KM l, Kasihan Bantul,
, YogYakarta 55182
Telepon (027 4) 5 60 17 5, 082138441126
Faks. (0274) 554725
e-mail: kcy og@egc-arcan.com

Dapatkan informasi lengkap dan terbaru di www.egcmedbooks.com


FORMUTIR PESANAN

Yang terhormat
Bagian Pemasaran
Penerbit Buku Kedokteran EGC
IV Blok O1 No. 39
Jl. Agung Timur
Sunter Agung Podomoro, Jakarta 14350
Telepon (021) 6530 6283,6530 6112 o Fax. (021) 651 8178

20 .......

Mohon dikirimkan: E Informasi buku baru E Daftar hargalkatalog

Untuk buku: I Kedokteran Umum E Kesehatan Masyarakat


E Kedokteran Gigi E Famasi
I Kebidanan E Kesehatan Populer
I Keperawatan (Arcan)

Kami juga pesan buku berikut ini:


t.
2.
J.

4.
5.

Mohon informasi berapa jumlah yang harus saya lunasi.


Alamat, nomor telepon, dan email saya adalah sebagai berikut:
Alamat

No. Telp. ,t
Email tltr

F or ntul ir ini d ap at dip er b any ak dengan fot okop i v


A

Anda mungkin juga menyukai