Disusun oleh:
Kelompok B4
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan
tugas tutorial ini.
Laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian dari
pembelajaran yang berbasis Problem Based Learning (PBL) di Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Dra. Lusia Hayati, M. Sc selaku
tutor serta semua pihak yang telah membantu penyusunan laporan tugas tutorial ini.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih
banyak kekurangan dalam laporan ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Kelompok B4
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................................................................. 1
Daftar Isi ...................................................................................................................... 2
Skenario ....................................................................................................................... 4
Klarifikasi Istilah ......................................................................................................... 4
Identifikasi Masalah ..................................................................................................... 6
Analisis Masalah .......................................................................................................... 7
Keterkaitan Antar Masalah .......................................................................................... 9
Learning Issues ............................................................................................................ 9
Hasil Brainstorming ................................................................................................... 10
Sintesis ....................................................................................................................... 30
Kerangka Konsep ....................................................................................................... 91
Kesimpulan ................................................................................................................ 92
Daftar Pustaka ............................................................................................................ 93
2
KEGIATAN DISKUSI
3
I. SKENARIO
Tuan Infak, 55 tahun, dibawa ke IGD rumah sakit dengan keluhan nyeri seperti
diremas pada dada sebelah kiri sejak dua jam yang lalu. Nyeri juga dirasakan pada
bahu kiri yang menjalar ke sisi dalam lengan kiri. Nyeri tidak menghilang meskipun
pasien beristirahat. Keluhan disertai dengan keringat dingin, mual dan muntah.
Keluhan dirasakan setelah pasien melakukan aktivitas gotong royong membersihkan
lingkungan. Pasien merupakan perokok aktif, merokok 2 bungkus per hari sejak usia
20 tahun. Pasien memiliki riwayat hipertensi lama.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien sakit sedang,
kesadaran kompos mentis. Pemeriksaan tanda vital menunjukkan tekanan darah
100/60 mmHg, denyut nadi 46x/menit ireguler, frekuensi napas 22x/menit, suhu
36,5oC. Dari hasil pemeriksaan rontgen thorax didapatkan pembesaran ventrikel kiri.
Dari hasil pemeriksaan elektrokardiogram didapatkan hasil miokard infark
posteroinferior dengan gangguan sistem konduksi. Setelah dilakukan intervensi
farmakologi dan kondisi pasien lebih stabil, dokter memutuskan untuk melakukan
tindakan primary PCI dan didapatkan adanya obstruksi sebagian pada arteria
coronaria dextra bagian proksimal dan obstruksi total pada arteria coronaria dextra
bagian tengah.
4
4. Pemeriksaan tanda vital
Pemeriksaan tanda vital adalah cara untuk mendeteksi perubahan sistem
yang ada di dalam tubuh. Tanda vital meliputi suhu tubuh, denyut nadi,
frekuensi pernapasan, dan tekanan darah.
5. Obstruksi
Tindakan menghambat atau menyumbat.
6. Miokard infark posteroinferior
Perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
7. Intervensi farmakologi
Usaha yang bertujuan untuk meningkatkan aliran darah, baik dengan
menambah suplai oksigen maupun dengan mengurangi kebutuhan oksigen.
8. Elektrocardiogram
Grafik hasil catatan potensial listrik yang dihasilkan oleh aktivitas listrik
otot jantung.
9. Sistem konduksi
Sistem ini membentuk dan mengkoordinasi sinyal listrik yang
menyebabkan kontraksi yang teratur dan berhubungan satu sama lain antara
atrium dan ventrikel.
10.Rontgen dada
Radiograf dada adalah foto yang dihasilkan dari proses radiografi atau
proses pembuatan foto struktur tubuh bagian dada dengan melewatkan sinar x
atau sinar gammar pada tubuh, rontgen itu sendiri adalah satuan radiasi sinar x
dan sinar gamma.
11.Ventrikel
Rongga atau ruang kecil seperti pada otot atau jantung.
12.Arteria coronaria dextra
Arteri yang berasal dari sinus anterior aortae dari aorta ascendens dan
berjalan ke bawah di dalam sulcus atrioventrikularis dextra dan pada pinggir
anterior jantung kemudian lanjut ke posterior untuk berastomosis dengan
arteria coronaria sinistra, dan permbuluh darah ini memperdarahi atrium kanan
dan ventrikel kiri, sebagian atrium kiri dan ventrikel kiri, serta septum
atrioventriculare.
5
13.Intervensi
Setiap tindakan yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan atau
mengubah jalannya penyakit.
6
posteroinferior dengan gangguan sistem konduksi.
Prioritas II
Setelah dilakukan intervensi farmakologi dan kondisi pasien lebih stabil, dokter
memutuskan untuk melakukan tindakan primary PCI dan didapatkan adanya
obstruksi sebagian pada arteria coronaria dextra bagian proksimal dan obstruksi
total pada arteria coronaria dextra bagian tengah. Dari hasil pemeriksaan rontgen
thorax didapatkan pembesaran ventrikel kiri. Dari hasil pemeriksaan
elektrokardiogram didapatkan hasil miokard infark posteroinferior dengan
gangguan sistem konduksi.
1. Bagaimana prosedur tindakan primary PCI?
2. Bagaimana mekanisme terjadinya obstruksi pada sebagian arteri coronaria
dextra bagian proximal dan arteri coronaria dextra bagian tengah?
3. Apa yang menyebabkan perbesaran ventrikel kiri?
4. Bagaimana struktur anatomi, vaskularisasi, dan sistem konduksi dari
jantung?
5. Bagaimana patofisiologi miokard infark posteroinferior?
6. Bagaimana mekanisme terjadinya gangguan sistem konduksi?
7. Bagaiamana anatomi dari cavitas thoracic?
7
8. Bagaimana proyeksi jantung pada dinding dada?
9. Bagaimana histopatologi jantung yang mengalami miokard infark
posteroinferior?
Prioritas III
Keluhan dirasakan setelah pasien melakukan aktivitas gotong royong
membersihkan lingkungan. Pasien merupakan perokok aktif, merokok 2 bungkus
per hari sejak usia 20 tahun. Pasien memiliki riwayat hipertensi lama.
1. Bagaimana perubahan normal pada tubuh setelah melakukan aktivitas
fisik?
2. Bagaimana hubungan antara hipertensi, kebiasaan merokok, dan nyeri
yang dirasakan oleh Tuan Infak?
3. Apakah zat dalam rokok dapat mempengaruhi kerja sistem saraf?
4. Bagaimana mekanisme aktivitas fisik yang mempengaruhi nyeri dada pada
Tuan Infak?
Prioritas IV
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien sakit sedang, kesadaran
kompos mentis. Pemeriksaan tanda vital menunjukkan tekanan darah 100/60
mmHg, denyut nadi 46x/menit ireguler, frekuensi napas 22x/menit, suhu 36,5oC.
1. Berapa tekanan darah, denyut nadi, frekuensi napas, dan suhu pada
manusia yang normal?
2. Apa saja kondisi kesadaran lainnya selain kompos mentis?
3. Bagaimana hasil interpretasi pemeriksaan tanda vital dan mekanisme
abnormal pada tanda vital?
8
V. KETERKAITAN ANTARMASALAH
9
VII. HASIL BRAINSTORMING
Prioritas I
1. Bagaimana mekanisme nyeri dapat menjalar dari bahu hingga
sampai lengan?
Jawab : Pembesaran plak yang menonjol sedikit demi sedikit semakin
mempersempit lumen dan secara progresif mengurangi aliran darah
koroner, memicu serangan iskemia miokard transien yang menjadi
semakin sering seiring dengan semakin terbatasnya kemampuan aliran
darah memenuhi kebutuhan O2 jantung. Iskemia miokard menyebabkan
nyeri yang disebut angina pektoris yang dirasakan di bawah sternum dan
sering menjalar ke bahu kiri dan turun ke lengan kiri. Gejala angina
pektoris kambuh apabila kebutuhan O2 melebihi kemampuan aliran darah
koroner. Nyeri diperkirakan terjadi akibat stimulasi ujung – ujung saraf di
jantung oleh akumulasi asam laktat ketika jantung melakukan
metabolisme anaerob. Iskemia yang berkaitan dengan serangan serangan
angina biasanya sementara dan reversibel, dapat hilang apabila
menggunakan obat vasodilator seperti nitrogliserin dan istirahat.
2. Apa saja struktur penyusun anatomi dari dada dan bahu kiri?
Jawab :
Anatomi dada:
Tabel 2. Struktur Anatomi Dada
Cavitas a. Dinding: 12 vertebra thoracica, 12 tulang costae,
thoracis sternum.
b. Dua cavitas pleuralis: Pleura visceralis dan pleura
parietalis.
c. Pulmo: Pulmo dexter dan pulmo sinister.
d. Mediastinum: Mediastinum Superius, dan
mediastinum inferius yang terpisah lagi menjadi
mediastinum anterius, medium, dan posterius.
Sendi a. Sendi Costovertebralis
b. Sendi Sternocostalis
c. Sendi Interchondrale
10
d. Sendi Manubriosternalis dan sendi xiphisternalis
Musculus a. Intercostalis externa
b. Intercostalis interna
c. Inrercostalis intima
d. Subcostalis
e. Thoracis transeversus
Vaskularisasi a. Arteria intercostales posteriors
b. Arteria intercostales anteriores
c. Vena intercostalis superior dextra
d. Vena intercostalis superior sinistra
e. Vena thoracica interna
f. Vena azygos
Lympathici a. Arteria thoracica interna (nodi parasternales),
b. Caput dan collum costae (nodi intercostales),
c. Diaphragma (nodi diaphragmatici).
Persarafan Nervi intercostales yang memiliki cabang terbesar
ramus cutaneus lateralis dan terbagi menjadi rami
anterior dan posterior.
Anatomi Tangan:
Tabel 3. Struktur Anatomi Tangan
Ligament a. Acromioclavicular (synovial plane) Joint
b. Glenohumeral (multiaxial synovial ball and socket)
Joint
c. Bursae
d. Humeroulnar (Uniaxial Synovial Hinge
[Ginglymus]) Joint
e. Humeroradial Joint
f. Proximal Radioulnar (Uniaxial Synovial Pivot)
Joint
g. Radiocarpal (Biaxial Synovial Ellipsoid) Joint
h. Distal Radioulnar (Uniaxial Synovial Pivot) Joint
i. Intercarpal (Synovial Plane) Joints
11
j. Midcarpal (Synovial Plane) Joints
k. Carpometacarpal (CMC) (Plane Synovial) Joints
(Kecuali Ibu Jari)
Otot a. M. Pectoralis minor
b. M. Subclavius
c. M. Serratus anterior
d. M. Pectoralis major
e. M. deltoideus
f. M. supraspinatus
g. M. trapezius
h. M. Levator scapulae
i. M. Rhomboideus minor
j. M. Rhomboideus major
k. M. Infraspinatus
l. M. teres minor
m. M. teres major
n. M. Subscapularis
o. M. latissimus dorsi
p. M. biceps brachii
q. M. coracobrachialis
r. M. brachialis
s. M. triceps brachii
t. M. anconeus
Persarafan a. N. dorsalis scapulae (C3-C5)
b. N. thoracicus longus (C5-C7)
c. N. suprascapularis (C4-C6)
d. N. subclavius (C5-C6)
e. Nn. subscapulares (CS-C7)
f. N. thoracodorsalis (C6-C8)
g. N. pectoralis lateralis (CS-C7)
h. N. pectoralis medialis (C8-T1)
i. N. axilaris (CS-C6)
j. N. radialis (C5-T1)
12
k. N. musculocutaneus (C5-C7)
l. N. medianus, Radix lateralis (C6-C7)
m. N. medianus, Radix medialis (C8-T1)
n. N. ulnar is (C8-T1)
o. N. cutaneus brachii medialis (C8-T1)
p. N. cutaneus antebrachii medialis (C8-T1)
q. N. digitalis palmaris proprius
Vaskularisasi a. A. subclavia
b. A. axillaris
c. A. brachialis
d. A. radialis
e. A. ulnaris
f. V. cephalica
g. V. basilica
h. V. axilaris
i. V. profuda brachii
j. V. mediana cubiti
k. V. mediana antebrachii
l. V. cephalica antebrachii
m. V. basilica antebrachii
n. Vv. brachiales
o. Vv. Radiales
p. Vv. ulnares
13
dan lengan. Serabut aferen vagal jantung bersinaps di nukleus traktus
solitarius medula dan kemudian turun untuk merangsang sel-sel traktus
spinotalamikus serviks bagian atas. Persarafan ini berkontribusi pada nyeri
anginal yang dialami di leher dan rahang. Traktus spinotalamikus
memproyeksikan ke talamus medial dan lateral dan, berdasarkan studi
tomografi emisi positron, mengaktifkan beberapa area kortikal, termasuk
gyrus cingulate anterior (BA 24 dan 25), korteks frontal basal lateral, dan
korteks mesiofrontal.
14
jantung. Sehingga tubuh akan menggunakan energi lebih besar untuk
memasok darah dan akan menstimulasi sistem saraf otonom untuk
mengeluarkan keringat dalam usaha menurunkan suhu tubuh.
Prioritas II
1. Bagaimana prosedur tindakan primary PCI?
a. Prosedur tindakan PCI
PCI adalah prosedur intervensi non bedah dengan menggunakan
kateter untuk melebarkan atau membuka pembuluh darah koroner
yang menyempit dengan balon atau stent. Proses penyempitan
pembuluh darah koroner ini dapat disebabkan oleh proses
aterosklerosis atau trombosis.
Seperti tindakan kateterisasi, prosedur PTCA atau PCI juga
hanya menggunakan pembiusan/anastesi lokal di kulit. Akses
pembuluh darah bisa di pergelangan tangan ataupun di pangkal paha.
Setelah dipasang selongsong (sheath) di pembuluh darah kaki atau
tangan, maka kateter akan dimasukan sampai pada pembuluh darah
koroner jantung. Kateter yang digunakan mempunyai diameter lumen
yang lebih besar dibandingkan dengan kateter yang digunakan untuk
kateterisasi jantung. Untuk masuk ke pembuluh darah koroner yang
menyempit, harus dipandu dengan menggunakan guide wire dengan
ukuran sangat kecil, yaitu 0,014 inchi.
Setelah guide wire ini melewati daerah penyempitan, baru
dilakukan pengembangan (inflasi) balon pada daerah yang
menyempit. Setelah pembuluh darah terbuka, biasanya akan
dilanjutkan dengan pemasangan stent (gorong-gorong) dengan tujuan
untuk mempertahankan pembuluh darah tersebut tetap terbuka.
15
Ada 2 jenis stent yang ada di pasaran, yaitu stent tanpa salut obat
(bare metal stent) dan stent dengan salut obat (drug eluting stent).
Stent yang telah terpasang ini akan tertinggal di pembuluh darah
koroner dan lama kelamaan akan bersatu dengan pembuluh darah
koroner tersebut.
16
menjadi lebih besar. Kondisi ini juga diperparah oleh hipertensi yang
diderita pasien.
17
terbentuknya regio nekrosis di dinding miokard. Zona nekrosis ini dapat
tetap reversibel dengan bantuan reperfusi. Zona yang mengalami infark
ataupun yang tidak akan mengalami perubahan progresif dalam hitungan
jam, hari, dan minggu setelah trombosis koroner. Antara 4 sampai 12 jam
setelah terjadinya kematian sel miokard akan terjadi nekrosis koagulasi
dan setelah 18 jam neutrofil memasuki zona infark dengan jumlah yang
mencapai puncak pada setelah hari kelima, kemudian menurun. Hal ini
menyebabkan miokardium menjadi kaku. Miokard yang kaku akan
melunak pada hari ke 4 sampai 7, dan beresiko mengalami ruptur kembali
selama 2 minggu pertama. Jaringan granulasi kemudian memasuki zona
infark dan mengalami maturasi secara progresif mengubah jaringan mati
menjadi jaringan parut. Setelah 2-3 bulan, infark sembuh dengan dinding
ventrikel yang non- kontraksi, menipis, mengeras, dan berwarna abu-abu
pucat (Aaronson dan Ward, 2013).
18
asupan darah ke SA Node menjadi kurang dan mengakibatkan terjadinya
gangguan pada SA Node sehingga tidak mampu menjalankan tugasnya
sebagai pacemaker utama pada jantung yang mengakibatkan komplikasi
lainnya seperti bradikardia, aritmia, dan pengalihan pacemaker jantung ke
AV Node.
19
c. Diaphragma (nodi diaphragmatici)
Persarafan Nervi intercostales yang memiliki cabang terbesar
ramus cutaneus lateralis dan terbagi menjadi rami
anterior dan posterior.
20
Batas jantung di kanan bawah dibentuk oleh atrium kanan.
Atrium kanan bersambung dengan mediastinum superior yang
dibentuk oleh v. cava superior.
Batas jantung di sisi kiri atas dibentuk oleh arkus aorta yang
menonjol di sebelah kiri kolumna vertebralis. Di bawah arkus
aorta ini batas jantung melengkung ke dalam (konkaf) yang
disebut pinggang jantung.
Pada pinggang jantung ini, terdapat penonjolan dari arteria
pulmonalis.
Di bawah penonjolan a. Pulmonalis terdapat aurikel atrium kiri
(left atrial appendage).
Batas kiri bawah jantung dibentuk oleh ventrikel kiri yang
merupakan lengkungan konveks ke bawah sampai ke sinus
kardiofrenikus kiri. Puncak lengkungan dari ventrikel kiri itu
disebut sebagai apex jantung.
Aorta desendens tampak samar-samar sebagai garis lurus yang
letaknya para-vertebral kiri dari arkus sampai diafragma.
21
Bagian belakang batas jantung dibentuk oleh atrium kiri. Atrium
kiri ini menempati sepertiga tengah dari seluruh batas jantung
sisi belakang. Dibawah atrium kiri terdapat ventrikel kiri yang
merupakan batas belakang bawah jantung.
Batas belakang jantung mulai dari atrium kiri sampai ventrikel
kiri berada di depan kolumna vertebralis. Ruangan di belakang
ventrikel kiri disebut ruang belakang jantung (retrocardiac
space) yang radiolusen karena adanya paru-paru.
Prioritas III
1. Bagaimana perubahan normal pada tubuh setelah melakukan
aktivitas fisik?
Jawab : Pada saat tubuh melakukan aktivitas fisik, tubuh akan
membutuhkan jauh lebih banyak energi dibanding ketika saat beristirahat,
hal ini mengakibatkan metabolisme tubuh akan meningkat. Meningkatnya
metabolisme tubuh ini akan berdampak pada peningkatan tanda vital
tubuh, baik itu heart rate, respiratory rate, tekanan darah, dan suhu tubuh.
Heart rate saat beraktivitas fisik berat yaitu 120-180 bpm, respiratory
rate bisa sampai 40-50 x/menit, tekanan darah sistolis tubuh bisa sampai
maksimal 220 mm/Hg, dan suhu tubuh tidak berubah drastis tetapi tubuh
akan mengeluarkan panas yang tertahan agar suhu dalam tubuh tetap
normal. Pada fase istirahat setelah selesai melakukan aktivitas fisik, tubuh
22
akan berada dalam fase menormalkan kondisinya kembali secara bertahap
dalam jangka waktu tertentu.
Aktivitas fisik yang berlebihan akan meningkatkan kebutuhan oksigen
sebanyak 100-200 dari kebutuhan saat istirahat yang menyebabkan
terjadinya peningkatan kebocoran electron dari mitokonria yang akan
menjadi Reavtive Oxigen Spacies (Clarakson dan Thomson, 2000).
Peningkatan oksigen akan memicu radikal bebas (terutama superoksida)
pada mitokondria yang dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan sel
dan stress oksidatif.
Namun, jika dilakukan dengan rutin dan tidak berlebihan, aktivitas
fisik seperti olahraga akan memberikan dampak baik bagi tubuh. Dampak
positif tersebut adalah tubuh menjadi lebih sehat dan bugar, mencegah
penyakit kardiovaskular, meningkatkan harapan hidup, serta
meningkatkan kapasitas pada paru.
23
b. Hubungan Hipertensi dengan Aterosklerosis
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah
sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90
mmHg. Istilah tradisional hipertensi “ringan” dan “sedang” gagal
menjelaskan pengaruh utama tekanan darah tinggi pada penyakit
kardiovaskuler. Penderita hipertensi tidak hanya berisiko tinggi
menderita penyakit jantung, tetapi juga menderita penyakit lain
seperti penyakit pembuluh darah (Brown, 2005). Terdapat beberapa
penelitian yang menunjukkan bahwa individu dengan hipertensi
memiliki banyak plak pada aorta dan arteri koronaria dibandingkan
individu dengan tekanan darah normal pada semua usia dan kedua
jenis kelamin. Kerusakan endotel secara langsung akibat kekuatan
tekanan darah yang dimungkinkan sebagai penyebab, namun hal itu
merupakan area shear yang rendah pada daerah vaskuler dengan
aliran turbulensi lokal dan kontak yang lama antara unsur darah
dengan endotelium yang terlibat (Jawaharlal HB, 2000).
Pada penderita hipertensi akan diproduksi lebih banyak hormon
adrenalin dari medulla adrenal. Pelepasan adrenalin akan
mengaktivasi reseptor beta-adrenergik. Jika reseptor ini diaktivasi,
jantung akan meningkatkan influks kalsium ke sel jantung sehingga
denyut jantung akan meningkat dan berhubungan dengan adanya
peningkatan tekanan sistolik. Keadaan ini akan mengakibatkan
perubahan hemodinamik sehingga akan menimbulkan jejas endotel
yang merupakan awal dari aterosklerosis. Penderita hipertensi sering
mengalami peningkatan angiotensin II yang merupakan
vasokonstriktor poten dengan menstimulasi perkembangan miosit
sehingga akan memperberat aterogenesis. Angiotensin II akan
berikatan dengan reseptor spesifik miosit dan akan mengaktivasi
fosfolipase C yang dapat meningkatkan konsentrasi kalsium
intraseluler dan kontraksi miosit, serta meningkatkan aktivitas
lipoksigenase yang dapat meningkatkan inflamasi dan oksidasi LDL.
24
c. Hubungan Rokok dengan Hipertensi
Merokok dapat menyebabkan hipertensi akibat zat-zat kimia
yang terkandung dalam tembakau terutama nikotin yang dapat
merangsang saraf simpatis sehingga memicu kerja jantung lebih cepat
sehingga peredaran darah mengalir lebih cepat dan terjadi
penyempitan pembuluh darah, serta peran karbon monoksida yang
dapat menggantikan oksigen dalam darah dan memaksa jantung
memenuhi kebutuhan oksigen tubuh (Sukmana, 2009). Efek akut
yang disebabkan oleh merokok antara lain meningkatkan denyut
jantung dan tekanan darah dengan adanya peningkatan kadar hormon
epinefrin dan norepinefrin karena aktivasi sistem saraf simpatis.
Banyak penelitian juga mengatakan bahwa efek jangka panjang dari
merokok adalah peningkatan tekanan darah karena adanya
peningkatan zat inflamasi, disfungsi endotel, pembentukan plak, dan
kerusakan vaskular (Gumus et al, 2013).
Seseorang menghisap rokok denyut jantungnya akan meningkat
sampai 30%. Rokok mengandung nikotin sebagai penyebab
ketagihan dan merangsang pelepasan adrenalin sehingga kerja
jantung lebih cepat dan kuat, akhirnya terjadi peningkatan tekanan
darah (Departemen Kesehatan, 2009). Nikotin yang ada di dalam
rokok dapat mempengaruhi tekanan darah seseorang, bisa melalui
pembentukan plak aterosklerosis efek langsung nikotin terhadap
pelepasan hormon epinefrin dan norepinefrin, ataupun melalui efek
karbon monoksida dalam peningkatan sel darah merah. Zat-zat kimia
dalam rokok dapat merusak lapisan dinding arteri berupa plak yang
menyebabkan penyempitan pembuluh darah arteri yang dapat
meningkatkan tekanan darah. Nikotin meningkatkan hormon
epinefrin yang bisa meningkatkan terjadinya penyempitan pembuluh
darah arteri. (Aggie & Herbert, 2012). Karbon monoksida bersifat
toksik yang bertentangan dengan oksigen dalam transpor maupun
penggunaanya. Karbon monoksida juga dapat menimbulkan
desaturasi hemoglobin, menurunkan langsung peredaran oksigen
desaturasi hemoglobin, mengganggu pelepasan oksigen dan
25
mempercepat arterosklerosis (pengapuran dan penebalan pembuluh
darah) (Dwiputra, 2014).
d. Hubungan Aterosklerosis dengan Infark Miokard
Infark miokard dihubungkan dengan terbentuknya plak
aterosklerosis yang mengakibatkan penyempitan pembuluh darah
maupun lepasnya plak aterosklerotik yang akan mengakibatkan
obstruksi sehingga terjadi gangguan pengangkutan oksigen serta hasil
metabolisme ke miokard (Fathoni, 2011). Pada saat episode perfusi
yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan miokard menurun dan
dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis, biokimia dan
elektrikal miokard (Selwyn, 2005). Jika obstruksi pembuluh darah
terus berlanjut, maka miokard akan mengalami infark (Mc Cance,
2006).
Aterosklerosis merupakan proses terbentuknya plak yang
melibatkan tunika intima pada arteri yang berukuran sedang sampai
besar (Kumar dan Cannon, 2009). Plak aterosklerosis terdiri dari inti
lemak (lipid core), fibrous cap, dan infiltrasi sel-sel inflamasi
(makrofag dan sel limfosit T) (Michowitz, 2005). Proses ini berlanjut
seiring dengan bertambahnya usia sampai seseorang mengalami
suatu serangan iskemik. Disfungsi endotel akan menyebabkan
berkurangnya biovailabilitas endotel terhadap nitric oxide dan
meningkatnya produksi endotelin-1 sehingga hemostasis vaskuler
terganggu dan terjadi peningkatan ekspresi molekul adhesi dan
trombogenesitas (Kumar dan Cannon, 2009). Inflamasi memegang
peranan kunci dalam perkembangan dan komplikasi aterosklerosis.
Proses-proses inflamasi berinteraksi dengan disfungsi endotel
menginisiasi proses progresif dalam dinding arteri, menghasilkan
reduksi atau obstruksi aliran darah menuju otak, jantung, organ
intraabdomen, serta ekstremitas bawah, menyebabkan morbiditas dan
mortalitas. Inflamasi juga menyebabkan rupturnya plak
aterosklerosis koroner dan terjadinya trombosis (Demir, 2014 ;Yang,
2013).
Jika endotel mengalami kerusakan maka sel-sel inflamasi
terutama monosit akan bermigrasi ke subendotel dan kemudian
26
mengalami diferensisasi menjadi makrofag. Makrofag akan
memakan low density lipoprotein (LDL) yang teroksidasi menjadi sel
foam dan akhirnya terbentuk fatty streak, serta akan teraktivasi untuk
melepaskan sitokin dan kemoatraktan (misalnya monocyte
chemoattractant protein-1, Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α), dan
interleukin (IL)) yang menarik lebih banyak makrofag dan sel otot
polos dari tunika media bermigrasi ke tunika intima dan berprolifersi.
Makrofag juga akan merangsang terbentuknya matriks
metalloproteinase (MMP) yaitu enzim yang akan menghancurkan
matriks ekstrasel sehingga menyebabkan disrupsi plak. Rasio antara
makrofag dan sel otot polos pembuluh darah berpengaruh terhadap
tingkat kerapuhan plak dan kemungkinan terjadinya ruptur (Kumar
dan Cannon, 2009). Pada kondisi ruptur plak aterosklerosis, terjadi
proses aktivasi dan agregasi platelet, pengeluaran trombin, dan pada
akhirnya menyebabkan pembentukan trombus. Adanya trombus akan
menyebabkan terganggunya aliran darah koroner sehingga terjadi
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Kondisi
ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen yang berat dan
persisten akan menyebabkan terjadinya nekrosis miokardial. Bila
terbentuk thrombus yang bersifat oklusif akan terjadi IMEST,
sedangkan bila thrombus yang terbentuk tidak bersifat oklusif akan
terjadi IMNSTE atau APTS (Antman dan Braunwald, 2007, Topol
dan Werf, 2007, Aaronson, 2012).
27
peningkatan kadar hormon epinefrin dan norepinefrin karena aktivasi
sistem saraf simpatis.
Prioritas IV
1. Berapa tekanan darah, denyut nadi, frekuensi napas, dan suhu pada
manusia yang normal?
Jawab :
a. Tekanan darah pada orang dewasa normal: 120/80 mmHg
b. Denyut nadi pada orang dewasa normal: 60-100 denyut/menit
c. Frekuensi napas pada orang dewasa normal: 12-22 kali/menit
d. Suhu pada orang dewasa normal: 36oC-37.5oC
28
c. Delirium: Penurunan tingkat kesadaran seseorang yang disertai
kekacauan motorik dan siklus tidur bangun yang terganggu.
Pengidapnya akan tampak gelisah, kacau, disorientasi, dan
meronta-ronta.
d. Somnolen (letargi, obtundasi, dan hipersomnia): Kondisi ini ditandai
dengan mengantuk yang masih dapat dipulihkan bila diberi
rangsangan. Namun, saat rangsangan dihentikan, orang tersebut akan
tertidur lagi. Pada somnolen, jumlah jam tidur meningkat dan reaksi
psikologis menjadi lambat.
e. Soporous atau stupor: Keadaan mengantuk yang dalam. Pengidapnya
masih bisa dibangunkan dengan rangsangan kuat. Namun, mereka
tidak terbangun sepenuhnya dan tidak dapat memberi jawaban verbal
yang baik. Pada soporous/stupor, refleks kornea dan pupil baik, tetapi
BAB dan BAK tidak terkontrol. Stupor disebabkan oleh disfungsi
serebral organic difus.
f. Semi koma: Tingkatan penurunan kesadaran selanjutnya semi koma.
Penurunan kesadaran ini terjadi ketika seseorang tidak bisa memberi
respons terhadap rangsangan verbal dan tidak dapat dibangunkan
sama sekali. Namun, refleks kornea dan pupilnya masih baik.
g. Koma: Berbeda dengan semi koma, koma merupakan penurunan
kesadaran yang terjadi sangat dalam. Pada tubuh pengidapnya tidak
ada gerakan spontan dan tak ada respon terhadap nyeri yang
dirasakan.
29
Frekuensi Cepat, hipernea
22 kali/menit
napas
Suhu tubuh 36,5oC Normal
VIII. SINTESIS
A. Anatomi Rongga Thorax dan Proyeksi Jantung pada Dinding Dada
ANATOMI THORAX
Cavitas thoracis adalah suatu ruangan berbentuk silinder tak beraturan
dengan lubang apertura thoracica superior yang sempit dan lubang apertura
thoracica inferior yang relative lebih lebar. Cavitas thoracis terdiri dari:
1. Dinding
2. Dua cavitas pleuralis
3. Pulmo
4. Mediastinum
30
Gambar 5. Cavitas Pleuralis
Dinding Thorax
Dinding thorax terdiri dari elemen skeletal dan musculi:
1. Di posterior, terdiri dari 12 vertebra thoracica beserta discus
intervertebralisnya.
2. Di lateral, dinding tersusun atas tulang costae (12 buah disetiap sisinya)
dan 3 lapis musculus pipih, yang terletak di spatium intercostale, di
antara costae yang berdekatan, untuk menggerakkan costae dan
menyangga spatium intercostale.
3. Di anterior, dindin tersusun dari sternum, yang terdiri atas manubrium
sterni, copus sterni, dan processus xiphoideus
31
Gambar 6. Dinding dan Cavitas Thoracis
Mediastinum
Mediastinum adalah pemisah/partisi tengah yang lebar, yang
memisahkan dua cavitas pleuralis di sisi lateralnya. Mediastinum
membentang:
1. Dari sternum sampai corpus vertebrae; dan
2. Dari apertura thoracica superior sampai diaphragma.
Untuk tujuan-tujuan organisasi, mediastinum dibagi menjadi beberapa
daerah yang lebih kecil. Sebuah bidang transversus membentang dari angulus
sternalis (pertemuan antara manubrium dan corpus sterni) sampai ke discus
intervertebralis antara vertebrae TIV dan TV membagi mediastinum
menjadi:
1. Mediastinum superius; dan
32
2. Mediastinum inferius, yang lebih lanjut terpisah menjadi mediastinum
anterius, medium, dan posterius oleh saccus pericardii.
Gambar 7. Mediastinum
Mediastinum superius
Dari anterior ke posterior mediastinum superius berisi: sisa-sisa thymus,
vena brachiocephalica, bagian atas vena cava superior, arteria
brachiocephalica, arteria carotis communis sinistra, arteria subclavia sinistra,
arcus aorta, nervus phrenicus dan nervus vagus dexter dan sinister, nervus
laryngeus recurrens sinister dan nervi cardiaci, trachea, dan nodus
lymphaticus, esophagus dan ductus thoracicus, serta truncus symphaticus.
Mediastinum Anterius
Isi mediastinum anterius adalah ligamentum sternopericardiacum,
kelenjar limfe, dan sisa thymus.
Mediastinum Medium
Berlokasi di tengah cavitas thoracis. Mediastinum medium berisi
pericardium, jantung, permulaan pembuluh-pembuluh darah besar, nervus
phrenicus, bifucartio trachea, dan kelenjar limfe.
Mediastinum Posterius
Isi mediastinum posterius antara lain aorta descendens, esophagus,
ductus thoracicus, vena azygos dan vena hemiazygous, nervi vagi, nervi
splanchnici, truncus sympathicus, dan nodus lymphaticus.
Vaskularisasi
33
Suplai arterial
Pembuluh-pembuluh darah yang menyuplai dinding thorax terutama
terdiri dari arteriae intercostales posteriores dan arteriae intercostales
anteriores, yang mengelilingi dinding di antara costae yang berdekatan di
dalam spatium intercostale. Arteriae ini berasal dari aorta dan arteria
thoracica interna, yang muncul dari arteria subclavia leher. Bersama-sama,
arteriae intercostales ini membentuk suatu anyaman vaskuler seperti
keranjang di sekeliling dinding thorax.
Gambar 8. Vaskularisasi
34
costalis 1-6, sekitar 1 cm di lateral sternum. Kira-kira setinggi spatium
intercostale keenam, arteria ini terbagi menjadi dua cabang terminal
• Arteria epigastrica superior, yang berlanjut ke inferior menuju dinding
anterior abdomen:
• Arteria musculophrenica, yang melewati arcus costalis, menuju
diaphragma, dan berakhir di dekat spatium intercostale terakhir.
Drainase Vena
35
Drainase lymphatici
Persarafan
Nervi intercostales
36
Gambar 11. Nervus Intercostalis
37
Gambar 12. Pandangan anterior dinding dada pada seorang pria yang
memperlihatkan struktur-struktur tulang skeletal dan proyeksi permukaan
cor
38
Gambar 13. Proyeksi Jantung di Dalam Dada Dilihat dari Ventral
39
Proyeksi keempat katup jantung
40
ke Nodus SA. Cabang lanjutan di dalam facies sternocostalis mensuplai atrium
dan ventrikel kanan. Sebelum A. coronaria dextra mengarah ke facies
diaphragmatoca, terdapat R. marginalis dexter. Pad permukaan caudal jantung,
terdapat cabang R. interventricularis posterior. R. nodi atrioventricularis
dimulai ketika R. intervenricularis posterior belok hamper tegak lurus menuju
Sulcus interventricularis posterior.
Arteri coronaria sinistra bercabang menjadi dua, yaitu: R. interventricularis
anterior yang berjalan kea rah caudal pada facies sternocostalis dan bercabang
lateral mengarah ke apex cordis. Terdapat pula R. circumflexus yang bersama
arteri marginalis sinister mensuplai permukaan pulmoner kiri, sebelum belok ke
facies diaphragmatica. Di sana terdapat cabang terminal r. circumflexus, yaitu
Ramus posterior ventriculi sinistri.
41
Gambar 16. Katup Jantung
Vena
Sinus coronaria menerima empat pembuluh utama, yaitu vena cordis
magna, medius, minimi, dan vena cardiaca posterior.
42
Gambar 18. Vaskularisasi Jantung
INERVASI JANTUNG
Jantung diinervasi oleh sistem saraf otonom yang terdiri dari serabut
simpatis dan parasimpatis, melalui plexus cardiacus yang berada di bawaha
arcus aorta. Saraf simpatis berasal dari bagian cervicale dan thoracale bagian
atas truncus symphaticus, yaitu nervus cardiaca, sedangkan saraf parasimpatis
berasal dari nervus vagus.
Serabut saraf posganglioniik simpatis berakhir di nodus sinoatrialis dan
nodus atrioventricularis, serabut otot jantung, dan arteri coronaria. Bila
serabut-serabut saraf dirangsang, dihasilkan akselerasi jantung, peningkatan
daya kontraksi jantung, dan dilatasi arteri coronaria.
Serabut-serabut saraf posganglionik parasimpatis berakhir pada nodus
sinoatrialis, nodus arioventricularis, dan arteri coronaria. Bila serabut-serabut
saraf ini dirangsang, denyut dan daya kontraksi jantung berurang, serta
konstriksi arteri coronaria.
Serabut aferen yang berjalan bersama saraf parasimpatis berfungsi
membawa impuls saraf. Bila suplai darah ke atrium terganggu, impuls nyeri
dirasakan melalui saraf ini. Serabut aferen yang berjalan bersama nervus vagus
berperan dalam refleks kardiovaskular.
43
Gambar 19. Inervasi Jantung
44
jantung. Mulanya atrium berkontraksi bersama, kemudian diikuti oleh kontraksi
ventrikel secara bersama-sama. Sedikit penundaan penghantaran impuls dari
atrium ke ventrikel memungkinkan atrium mengosongkan isinya ke ventrikel
sebelum ventrikel berkontraksi.
Sistem konduksi jantung tersusun atas otot jantung khusus yang terdapat
pada nodus sonoatrialis, nodus atrioventricularis, fasiculus atrioventricularis
beserta crus dextrum dan sinistrumnya, dan plexus subendocardial serabut
Purkinje. Serabut khusus otot jantung yang membentuk system konduksi
jantung dikenal sebagai serabut Purkinje.
45
trabecular septomarginalis, dan setelah itu menyilang ke dinding anterior
ventrikel kanan. Disinilah fasciculus ini bertemu dengan serabut plexus
Purkinje.
Fasciculus atrioventricularis (beras dari His) merupakan satu-satunya jalur
serabut otot jantung yang menghubungkan miokardium atrium dan miokardium
ventriculus, oleh karena itu fasciculus ini merupakan satu-satunya jalan yang
digunakan olehhh impuls jantung untuk berjalan dari atrium ke ventrikel.
Jadi terlihat bahwa system konduksi jatung bertanggung jawab tidak hanya
utuk pembentukan impuls jantung, tetapi juga untuk penghantaran impuls ini
dengan cepat ke seluruh miokardium jantung, sehingga ruang-ruang jantung
berkontraksi secara terkoordinir dan efisien.
Aktivitas system konduksi dpat dipengaruhi oleh saraf otonom yang
menyarafi jantung. Saraf parasimpatik memperlambat irama dan mengurangi
kecepatan penghantaran impuls; saraf simpatik mempunyai efek yang
berlawanan.
46
Gambar 21. Sistem Konduksi Jantung
47
Gambar 22. Histologi Jantung
48
Dinding jantung terpisah menjadi tiga lapisan yaitu epikardium,
miokardium, dan endokardium. Ketiga lapisan jantung ini secara embriologis
setara dengan tiga lapisan pembuluh darah yaitu tunica adventitia, tunica media,
dan tunica intima. Kantung berisi cairan berlapis ganda yang dikenal sebagai
perikardium yang mengelilingi jantung. Dua lapisan perikardium disebut
perikardium fibrosa luar/parietal dan perikardium serosa/viseral bagian dalam.
Epikardium terdiri dari perikardium viseral, jaringan ikat fibro-elastis yang
mendasari, dan jaringan adiposa. Arteri dan vena koroner, pembuluh limfatik
dan saraf berada di bawah epikardium.
Endokardium terdiri dari endotelium dan lapisan jaringan ikat subendotel.
Subendokardium ditemukan di antara endokardium dan miokardium dan
mengandung sistem penghantar impuls.
Secara histologis, jantung sebagian besar terdiri dari kardiomiosit dan
jaringan ikat. Jaringan ikat padat dengan serat elastis ada pada kerangka
jantung/fibrosa. Perikardium terbagi menjadi dua lapisan, lapisan fibrosa
superfisial, dan lapisan serosa yang lebih dalam. Lapisan fibrosa terdiri dari
jaringan ikat fibrosa. Lapisan serosa selanjutnya terbagi menjadi dua lapisan,
lapisan luar yang tidak dapat dipisahkan dari perikardium berserat dan lapisan
dalam yang menutupi miokardium. Kedua lapisan ini secara histologis sama
yaitu terdiri dari lapisan sel mesothelial terus menerus dengan mikrovili
menghadap rongga perikardial. Perikardium berserat dan perikardium serosa
luar digabungkan dikenal sebagai perikardium parietal. Perikardium serosa
bagian dalam, yang dikenal sebagai perikardium viseral, juga merupakan
bagian dari epikardium. Di antara lapisan serosa luar dan dalam terdapat ruang
potensial yang disebut rongga perikardial berisi cairan perikardial, yang
diproduksi dan diserap kembali oleh mikrovili pada sel mesothelial.
49
Gambar 24. Histologi Otot Jantung
50
Gambar 25. Jantung
51
Gambar 26. Otot Jantung
Sarkomer tunggal pada miofibril dapat dilihat dengan jelas dengan bantuan
mikroskop elektron transmisi. Daerah kritis dari sarkomer termasuk garis-Z di
ujungnya, zona-H tengah, pita-A kaya-miosin, dan pita-I yang kaya aktin.
Endomisium padat kardiomiosit, mitokondria yang melimpah di antara
miofibril, cakram interkalasi, dan tubulus T (ada pada garis Z) terlihat pada
mikroskop elektron.
Dua karakteristik tidak biasa yang dapat ditemukan dalam miosit jantung
adalah butiran lipofuscin dan badan inti padat atrium. Butiran lipofuscin adalah
hasil pencernaan lisosom. Jumlah butiran lipofuscin meningkat seiring
bertambahnya usia. Di sisi lain, badan dengan inti padat atrium ditemukan di
atrium dan secara visual lebih buram daripada butiran lipofuscin.
52
Gambar 27. Jaringan Ikat Tidak Teratur di Jantung
53
Sebuah venula dan vena kecil juga terlihat. Perhatikan dindingnya yang
tipis dan lumen yang besar. Namun, dinding yang tipis tampaknya memiliki
banyak lapisan sel jika vena terpotong dalam bidang oblik. pada potongan
melintang, dinding vena memiliki lapisan sebagai berikut:
1. Tunika intima terdiri atas endotel dan selapis serat kolagen dan elastik
halus yang sangat tipis, yang menyatu dengan jaringan ikat tunika media
2. Tunika media terdiri atas selapis tipis otot polos melingkar yang secara
longgar terbenam di dalam jaringan ikat. Pada vena, lapisan ini jauh lebih
tipis daripada tunika media arteri.
3. Tunika adventisia yang terdiri atas suatu lapisan jaringan ikat yang luas.
Pada vena, lapisan ini jauh lebih tebal daripada tunika media.
54
terdapat jaringan ikat tunika adventisia yang mengandung serat kolagen
terpulas terang dan serat elastik terpulas-gelap. Dinding vena juga mengandung
lapisan tunika intima, tunika media, dan tunika adventisia. Namun, ketiga
lapisan vena ini lauh lebih tipis daripada dinding arteri. Di sekitar kedua
pembuluh itu terdapat kapiler, arteriol, venula, dan sel jaringan adiposa. Di
dalam lumen kedua pembuluh darah terdapat banyak eritrosit dan leukosit.
55
Gambar 30. Jaringan Ikat Tidak Teratur di Jantung
D. Histopatologi Aterosklerosis
Aterosklerosis merupakan suatu penyakit akibat respon peradangan pada
pembuluh darah yang bersifat progresif (Imanual S et al, 2012). Aterosklerosis
disebabkan terjadinya pembesaran dari muskuler arteri dan ditandai adanya
disfungsi endotel, inflamasi vaskuler, terjadi akumulasi dari lipid, kolesterol,
kalsium, debris seluler dalam intima pembuluh darah. Akumulasi tersebut di
atas menyebabkan terbentuknya plak, remodeling vaskuler, akut dan kronik
56
obstruksi luminal, abnormalitas aliran darah dan menurunnya suplai oksigen ke
organ target (Orford JL, 2005). Penyakit arteri ini secara perlahan berkembang
yang diakibatkan adanya penebalan lapisan intima yang terjadi karena
menumpuknya jaringan fibrosa yang secara bertahap menjadi tempat
perdarahan dan pembentukan trombus (Silbernagl, 2006).
Karakteristik aterosklerosis yaitu adanya penebalan fibrosa lokal pada
dinding arteri yang berkaitan dengan plak infiltrasi lemak. Predileksi plak
aterosklerosis ini terdapat pada tempat yang mudah mengalami gesekan,
contohnya percabangan pembuluh darah. Plak ini terdiri dari fibrotic cap yang
mengelilingi lipid-rich core yang berisi selsel imun (terutama makrofag dan sel
T), sel endotel vaskuler, sel-sel otot polos, matriks ekstraselular, lipid, dan
aselular debris kaya lipid. Kejadian aterosklerosis bermula dari infiltrasi lemak
dalam bentuk LDL ke dalam subendotel pembuluh darah. Selain itu, disfungsi
endotel pembuluh darah menyebabkan perubahan lipid menjadi lipid
teroksidasi. Lipid ini merupakan mediator proinflamasi yang menginisiasi
pemanggilan leukosit, komplemen dan akhirnya membentuk sel busa (Mitrovic
I, 2014). Sel busa merupakan sumber inflamasi yang menyebabkan
perpindahan sel otot polos dari media ke intima menyebabkan penebalan intima
(Falk E, 2011).
57
memnuhi kebutuhan O2 yang meningkat . hal ini menjadi krusial karena jantung
mengandalkan proses oksidatif untuk memenuhi kebutuhan ATPnya dan tidak
akan memperoleh ATP yang cukup melalui metabolisme anaerob.
Pada penyakir arteri koroner, aliran darah koroner tidak mampu untuk
mengimbangi peningkatan kebutuhan O2. Pada keadaan ini kecepatan aliran
darah cukup pada keadaaan istirahat tetapi tidak cukup pada keadaan olahraga
atau situasi stress. Penyakit arteri koroner dapat menyebabkan serangan jantung
melalui 3 mekanisme yaitu :
1. Spasme vaskular
Spasme vaskular merupakan suatu konstriksi spastik abnormal yang
secara transien mempersempit pembuluh koroner. Pada keadaan dimana
kadar O2 yang ada terlalu sedikit, endotel akan mengeluarkan
platelet-activating factor (PAF) yang memiliki berbagai efek, dan salah
satunya adalah mengaktifkan trombosit. PAF yang dikeluarkan oleh
endotel akan berdifusi ke otot polos dan menimbulkan kontraksi sehingga
terjadi spasme vaskular
2. Pembentukan aterosklerosis
Aterosklerosis adalah penyakit degeneratif progresif pada arteri yang
menyebabkan oklusi (sumbatan bertahap) dimana pembuluh akan
mengurangi aliran darah yang melewatinya. Aterosklerosis ditandai oleh
adanya plak yang terbentuk di bawah lapisan dalam pembuluh dinding
arteri. Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang kaya lemak dilapisi oleh
pertumbuhan berlebih sel otot polos yang abnormal, ditutupi oleh tudung
jaringan ikat kaya kolagen.
Tahapan pembentukan aterosklerosis yaitu :
a. Cedera pada dinding pembuluh darah yang memicu respons
inflamasi, yaitu respons protektif untuk melawan infeksi dan
mendorong perbaikan jaringan yang rusak. Jika penyebab cedera
menetap di dalam dinding pembuluh, respons inflamasi akan terjadi
berkepanjangan sehingga menyebabkan formasi plak pada arteri.
Hal – hal yang dapat menyebabkan cedera sehingga memicu respons
inflamasi vaskular antara lain :
1) Kolesterol teroksidasi, merupakan penyebab yang paling sering
muncul
58
2) Radikal bebas
3) Tekanan darah tinggi
4) Homosistein
5) Zat kimia yang dilepaskan oleh sel lemak
6) Bakteri dan virus yang dapat merusak pembuluh darah
b. Tahap awal aterosklerosis biasanya diawali oleh penumpukan LDL di
bawah endotel, yang biasa disebut sebagai kolestero “jahat” yang
berikatan dengan protein pembawa. Seiring dengan menumpuknya
LDL pada dinding pembuluh darah, produk kolesterol akan
teroksidasi oleh zat sisa oksidatif yang dihasilkan oleh sel – sel
pembuluh darah.
c. Sebagai respons terhadap LDL yang teroksidasi atau iritan lainnya,
sel – sel endotel akan menghasilkan zat – zat kimia (protein adhesi)
yang menarik monosit sehingga memicu inflamasi lokal.
d. Monosit yang sudah berada di dinding pembuluh darah akan
menetap, membesar, dan menjadi sel – sel makrofag yang akan
memfagosit LDL teroksidasi sehingga sel akan dipenuhi oleh butir –
butir lemak yang disebut sel busa, menumpuk pada bagian bawah
lapisan dinding pembuluh darah dan membentuk fatty streak, yaitu
bentuk paling dini plak aterosklerotik.
e. Pada lokasi inflamasi akan mengeluarkan zat kimia yang merangsang
sel otot polos bermigrasi ke atas endapan lemak tersebut. Inti kaya
lemak dan otot polos di atasnya akan membentuk plak matur.
f. Plak akan semakin berkembang, secara progresif menonjol ke dalam
lumen pembuluh darah dan mempersempit saluran yang dapat dilalui
oleh darah.
g. LDL teroksidasi juga akan menghambat pelepasan nitrat oksida dari
sel endotel yang merupakan zat perantara kimiawi lokal yang dapat
menyebabkan relaksasi lapisan sel otot polos. Relaksasi pembuluh
darah ini akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Apabila
pelepasan nitrat oksida berkurang maka pembuluh tidak mudah untuk
berdilatasi.
h. Plak yang menebal juga akan menghambat pertukaran nutrien pada
dinding arteri sehingga terjadi degenerasi plak. Daerah yang rusak
59
kemudian akan diinvasi oleh fibroblas sehingga membentuk struktur
matriks fibrosis yang terdiri atas kolagen, proteoglikan, kapur,
deposit lipida ekstrasel. Matriks fibrosis tersebut menyatu dan
tersimpan di dalam suatu ruang yang ditutupi oleh tudung
fibromuskular fibrosis dan jaringan endotel baru.
i. Ca2+ juga sering mengendap di plak sehingga menyebabkan
pembuluh darah menjadi keras dan sulit untuk berdilatasi
60
mengurai serat – serat jaringan ikatnya. Apabila suatu plak
ruptur melalui endotel, darah terpajan ke kolagen pada tudung
jaringan ikat kaya kolagen plak. Trombosit pada darah kemudian
akan melekat dan membantu proses pembekuan darah. Bekuan
abnormal yang melekat pada dinding pembuluh darah disebut
trombus yang dapat menyumbat total pembuuh darah apabila
membesar. Aliran daarah yang melewati thrombus juga akan
menyebabkan thrombus terlepas dari dinding pembuluh darah
dan mengapung bebas yang kemudian disebut embolus, yang
dapat menyumbat pembuluh darah yang lebih kecil. Melalui
mekanisme tromboembolisme aterosklerosis dapat
menyebabkan oklusi mendadak atau perlahan.
c. Serangan jantung
Ketika pembuluh darah koroner tersumbat total maka akan
segera mati karena tidak adanya pasokan O2 sehingga terjadi
serangan jantung. Serangan jantung dapat tidak terjadi apabila
daerah tersebut dipasok oleh pembuluh darah lain di sekitarnya.
Sirkulasi kolateral ada ketika cabang – cabang terminal kecil dari
pembuluh darah sekitar memasok nutrisi ke daerah yang sama.
Pembuluh darah ini tidak dapat serta merta terbentuk saat terjadi
sumbatan, tetapi dapat menyelamatkan nyawa apabila sudah
lebih dulu terbentuk. Jalur alternatif ini terbentuk apabila
konstriksi aterosklerosis berjalan lambat atau terbentuk karena
kebutuhan jantung yang terus menerus saat olahraga aerobik
yang teratur.
61
mungkin adalah perangsangan sistem saraf simpatis oleh nikotin,
pergantian O2 di dalam molekul Hb dengan karbon monoksida,
peningkatan daya lekat trombosit dan peningkatan permeabilitas endotel
yang dirangsang oleh unsur pokok yang ada di dalam rokok (Silbernagl,
2006).
62
aktivitas lipoksigenase yang dapat meningkatkan inflamasi dan oksidasi
LDL.
63
mengganggu pelepasan oksigen dan mempercepat arterosklerosis
(pengapuran dan penebalan pembuluh darah) (Dwiputra, 2014).
64
terbentuk fatty streak, serta akan teraktivasi untuk melepaskan sitokin dan
kemoatraktan (misalnya monocyte chemoattractant protein- 1, Tumor
Necrosis Factor-α (TNF-α), dan interleukin (IL)) yang menarik lebih
banyak makrofag dan sel otot polos dari tunika media bermigrasi ke tunika
intima dan berprolifersi. Makrofag juga akan merangsang terbentuknya
matriks metalloproteinase (MMP) yaitu enzim yang akan menghancurkan
matriks ekstrasel sehingga menyebabkan disrupsi plak. Rasio antara
makrofag dan sel otot polos pembuluh darah berpengaruh terhadap tingkat
kerapuhan plak dan kemungkinan terjadinya ruptur (Kumar dan Cannon,
2009). Pada kondisi ruptur plak aterosklerosis, terjadi proses aktivasi dan
agregasi platelet, pengeluaran trombin, dan pada akhirnya menyebabkan
pembentukan trombus. Adanya trombus akan menyebabkan terganggunya
aliran darah koroner sehingga terjadi ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen. Kondisi ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen yang berat dan persisten akan menyebabkan terjadinya nekrosis
miokardial. Bila terbentuk thrombus yang bersifat oklusif akan terjadi
IMEST, sedangkan bila thrombus yang terbentuk tidak bersifat oklusif
akan terjadi IMNSTE atau APTS (Antman dan Braunwald, 2007, Topol
dan Werf, 2007, Aaronson, 2012).
65
a. Lesi tipe I
Lesi tipe I adalah lesi aterosklerotik yang dapat diidentifikasi
secara anatomi. Ciri dari lesi ini adalah adanya infiltrasi pada tunika
intima oleh lipid-laden makrofag dari sirkulasi. Komponen dari sel
makrofag mengalami peningkatan pada densitasnya pada lokasi yang
secara anatomis dikenal sebagai lokasi yang sering terdapat lesi
(Antonio M et al, 2007).
b. Lesi tipe II
Lesi tipe II merepresentasikan progresifitas proses patologis dari
lesi tipe I. Lesi tipe II bersifat mikroskopis dan dapat dilakukan
pewarnaan dengan pewarnaan Sudan, yang bereaksi dengan lemak
dalam pembuluh dan akan memberi warna merah pada lesi. Pada lesi
tipe II terdapat peningkatan densitas dari lipid-laden-monositturunan
sel makrofag dan peningkatan jumlah dari limfosit T dan sel otot
polos. Tipe I dan II pada umumnya subklinis, hal ini dikarenakan
minimnya pengaruh terhadap penurunan aliran darah distal atau
peningkatan kejadian iskemik. Lesi tipe II dapat berkembang menjadi
aterosklerosis yang lebih buruk, terutama 11 pada penderita yang
memiliki faktor risiko seperti dislipidemia, hipertensi, diabetes dan
merokok (Antonio M et al, 2007).
c. Lesi tipe III
Lesi tipe III merupakan lesi intermediet atau preatheromatous
pada tahapan aterosklerosis yang ditandai dengan adanya akumulasi
dari deposisi lipid ektraseluler yang disebut lipid core dan sudah
terdapat pada beberapa area, lesi tipe ini dapat berkembang lebih
buruk yang memiliki potensi menyebabkan iskemia (Antonio M et al,
2007).
d. Lesi tipe IV
Lesi tipe IV merupakan lesi atheromatous yang dapat
diidentifikasi dengan adanya lipid ektraseluler, termasuk deposisi
dari kristal kolesterol pada lapisan musculoelastic dari pembuluh
darah yang dipengaruhi juga oleh penebalan lapisan intima.
Akumulasi dari lemak pada area tersebut menyebabkan kelemahan
66
dari dinding arteri yang disebabkan karena adanya perubahan struktur
dari selsel otot polos. Lesi tipe IV sering terdapat penebalan arteri
koronaria pada bifurcatio. Lesi ini umumnya berbentuk bulan sabit
dan tidak dapat diidentifikasi melalui coronary angiography
(Antonio M et al, 2007).
e. Lesi Tipe V
Pada lesi tipe V terdapat deposisi dari kolagen yang terletak pada
lumen dan lipid core. Peningkatan kolagen juga menyebabkan
peningkatan migrasi dari sel otot polos dan deposisi dari lemak. Hal
ini mengarah pada pembentukan fibroatheroma. Plak pada lesi ini
mudah rupture dan berpotensi membentuk suatu trombus yang
menyebabkan sumbatan (Antonio M et al, 2007).
f. Lesi Tipe VI
Mortalitas dan morbiditas pada coronary atherosclerosis sering
dikaitkan dengan lesi tipe VI. Terdapat celah atau robekan pada
permukaan dari lesi hal ini mengakibatkan pembentukan trombus
yang dipengaruhi oleh aktivitas procoagulant lokal dan procoagulant
sistemik. Robekan sering terdapat pada tepi lesi yang ditandai dengan
peningkatan densitas dari makorfag dan sel busa. Sistem enzim
metalloproteinase (kolagen dan gelatinase) yang dihasilkan oleh sel
makrofag juga dapat melemahkan plak. Celah pada plak dapat
menghasilkan trombus pada permukaan lesi yang dipengaruhi faktor
risiko trombogenik seperti peningkatan agregasi platelet, kadar
fibrinogen yang tinggi dan lipoprotein (Antonio M et al, 2007).
g. Lesi Tipe VII
Lesi tipe VII atau advanced atherosclerosis lesion sering terdapat
pada usia lanjut. Deposit kalsium terdapat pada area yang memiliki
sisa dari extracellular lipid, limfosit yang mati, sel otot polos dan
makrofag. Lipid core terbentuk sangat minim, biasanya seluruh lipid
core tergantikan oleh kalsium. Deposisi dari kalsium dapat
menambahkan kekuatan regang dari deformitas vaskular (Antonio M
et al, 2007).
h. Lesi Tipe VIII
67
Lesi tipe VIII merupakan lesi fibrotic dan keterlibatan lemak
pada lesi ini minimal, belum diketahui proses pembentukan dari lesi
fibrotic ini (Antonio M et al, 2007).
68
pemompaan jantung terganggu. Namun, MI juga dapat menyebabkan
gagal jantung.
69
adanya pembuluh darah kolateral, kebutuhan oksigen, dan
keberhasilan prosedur intervensi.
Luka dan kematian jaringan miokard dapat mengubah jalur
konduksi normal jantung dan melemahkan area yang terkena. Dengan
demikian, seseorang berisiko mengalami irama jantung abnormal
(aritmia) atau penyumbatan jantung, aneurisma (pembengkakkan
akibat dinding lemah) ventrikel jantung, radang dinding jantung
setelah infark, dan pecahnya dinding jantung.
Cedera pada miokardium juga dapat terjadi selama reperfusi
(suplai darah kembali tersedia setelah iskemia) yang mungkin
bermanifestasi sebagai aritmia ventrikel. Cedera reperfusi merupakan
konsekuensi pengambilan kalsium dan natrium dari sel jantung dan
pelepasan radikal oksigen selama reperfusi. Fenomena tidak adanya
aliran balik (ketika darah masih tidak dapat didistribusikan ke
miokardium yang terkena meskipun oklusi telah dibersihkan) juga
berkontribusi pada cedera miokard. Pembengkakan endotel topikal
(langsung) adalah salah satu dari banyak faktor yang berkontribusi
terhadap fenomena ini.
70
Gambar 35. Penanda Jantung
71
bahwa infark miokard telah terjadi dan kemudian dievaluasi untuk
diagnosis yang lebih tepat.
e. Data Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi jantung dapat mengungkapkan infark
pada otopsi. Di bawah mikroskop, infark miokard muncul sebagai
daerah iskemik, nekrosis koagulatif terbatas (kematian sel). Pada
pemeriksaan kasar, infark tidak dapat diidentifikasi dalam 12 jam
pertama.
Meskipun perubahan sebelumnya dapat dilihat dengan
menggunakan mikroskop elektron, salah satu perubahan paling awal
di bawah mikroskop normal disebut serat bergelombang.
Selanjutnya, sitoplasma miosit menjadi lebih eosinofilik (merah
muda) dan sel-sel kehilangan garis transversalnya, dengan perubahan
khas dan akhirnya kehilangan inti sel. Interstitium di tepi area infark
awalnya diinfiltrasi dengan neutrofil, kemudian dengan limfosit dan
makrofag, yang memfagositosis ("memakan") puing-puing miosit.
Area nekrotik dikelilingi dan secara progresif diserang oleh jaringan
granulasi, yang akan menggantikan infark dengan bekas luka fibrosa
(kolagen) (yang merupakan langkah khas dalam penyembuhan luka).
Ruang interstitial (ruang antara sel-sel di luar pembuluh darah) dapat
disusupi oleh sel darah merah.
Ciri-ciri ini dapat dikenali dalam kasus dimana perfusi tidak
pulih; infark reperfusi dapat memiliki ciri lain, seperti nekrosis pita
kontraksi.
Tabel ini memberikan gambaran histopatologi yang terlihat pada
infark miokard pada saat setelah obstruksi.
Parameter Individu
72
Tabel 8. Parameter Individu
Myocardial
histologic Earliest Full Decrease/di
parameters manifest developme sappearanc Image
(HE ation nt e
staining)
Stretched/wa 1–2 h
vy fibres
Interstitial 4–12 h
edema
73
Neutrophil 12–24 h 1–3 days 5–7 days
infiltration
74
Dense 4 weeks 2–3 months No
fibrosis
75
Bahkan, pada beberapa kasus tidak ditemukan ateroma yang kuat pada
aniogram atau pada pemeriksaan postmoterm. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena terdapat vasospasme parah atau pembekuan darah yang
abnormal. Proses infark pada umumnya terjadi ketika jaringan mengalami
periode anoksia dan kemudian terjadi kerusakan yang irreversible serta
diikuti dengan penyembuhan luka dan pengaturan jaringan bekas luka.
Jaringan luka tidak akan memenuhi fungsi dari jaringan semula dan pada
jantung jaringan ini akan menjadi non-kontraktil. Area infark akan
menjadi kaku, kurang terarah, dan menyebabkan beberapa hal potensial,
yaitu :
a. Kontraktilitas mengalami penurunan sehingga kemampuan ejeksi
ikut mengalami penurunan (contoh : kegagalan sistolik)
b. Elastisitas mengalami penurunan sehingga kemampuan pengisian
ikut mengalami penurunan (contoh : kegagalan diastolik)
c. Konduktivitas mengalami penurunan sehingga menyebabkan aritmia
Setiap kasus dapat berbeda tergantung ukuran area miokardium
dengan pembuluh darah coroner yang mengalami penyumbatan. Dilatasi
pada pembuluh yang berdekatan oleh autoregulasi dapat melindungi area
yang berdekatan dengan inti iskemik dari anoksia menyeluruh, sehingga
dapat membatasi ukuran infark. Namun, jika hal tersebut berulang kali
terjadi dalam periode yang panjang, akan menyebabkan meluasnya
‘fibrosis yang tidak sempurna’ dan bahkan gagal ginjal. Penyumbatan
pada arteriola yang besar akan menyebabkan manifestasi klasik infark
miokard. Jika kerusakan area tidak terlalu besar, maka akan ada
kemungkinan pasien dapat bertahan dengan derajat gagal jantung
permanen.
Infark miokard yang paling parah akan menimbulkan kemungkinan
keterlibatan salah satu dari arteri coroner utama (biasanya pada anterior
kiri yang menurun) menyebabkan terjadinya infark anterior. Kematian
kemungkinan terjadi apabila kerusakan ventrikel kiri mencapai lebih dari
50%. Faktor penting yang dapat menentukan hasilnya yaitu seberapa baik
pengembangan pembuluh koroner kolateral pasien dan faktor lainnya
adalah seberapa banyak jaringan konduksi yang terlibat. Konduksi yang
melewati seluruh miokardium diperlukan untuk kontraksi terkoordinasi
76
normal dan otot iskemik dapat terjadi secara tidak teratur. Selain itu,
kerusakan iskemik terhadap jaringan nodal atau jalur nervus dapat
menyebabkan efek tidak seimbang karena aritmia yang terjadi dapat
membahayakan keseluruhan fungsi jantung (Greene dan Harris, 2008).
2. Patofisiologi
Infark miokard akut terjadi saat iskemia miokard yang terlokalisasi
menyebabkan perkembangan suatu regio nekrosis dengan batas yang jelas.
Infark miokard paling sering disebabkan oleh ruptur lesi aterosklerosis
pada arteri koroner. Hal ini menyebabkan terbentuknya trombus yang
menyumbat arteri, sehingga menghentikan atau mengurangi pasokan
darah ke jantung (Aaronson dan Ward, 2013). Infark miokard akut terjadi
ketika ada perubahan iskemik abnormal miokardium yang disebabkan oleh
ketidakmampuan perfusi koroner memenuhi permintaan kontraktil
miokard. Pada tahun 2012, Joint Task Force of the European Society of
Cardiology, American College of Cardiology Foundation, American Heart
Association, dan Federasi Kesehatan Dunia (ESC/ACCF/AHA/WHF)
mendefinisikan ulang infark miokard sebagai kenaikan dan atau
penurunan biomarker jantung dengan setidaknya satu nilai di atas persentil
ke-99 dari batas referensi tertinggi.
Studi yang dilakukan oleh DeWood dan koleganya menunjukkan
bahwa trombosis koroner merupakan kejadian kritikal yang menyebabkan
infark miokard akut. Dari semua pasien yang menunjukkan gejala dengan
onset 4 jam dengan bukti EKG Infark Miokard transmural, angiografi
koroner menunjukkan bahwa 87% pasien memiliki oklusi trombotik
komplet pada arteri yang terkena infark. Insiden oklusi total turun menjadi
65% pada 12-24 jam setelah onset gejala akibat fibrinolisis spontan.
Ditemukan trombus yang masih baru pada bagian atas bercak yang
mengalami ruptur pada arteri yang terkena infark pada pasien yang
meningal akibat infark miokard (Aaronson dan Ward, 2013). Bercak pada
pembuluh darah koroner yang mengalami ruptur biasanya berukuran kecil
dan non-obstruktif dengan inti yang banyak mengandung lipid dan ditutupi
oleh selubung fibrosa. Bercak ini biasanya banyak mengandung makrofag
dan limfosit-T yang dapat melepaskan metaloprotease dan sitokin yang
77
melemahkan selubung fibrosa yang menyebabkan bercak mudah robek
dan mengalami erosi karena adanya tekanan dari aliran darah.
Bercak yang ruptur memicu terjadinya agregasi trombosit dan
membentuk trombus di pembuluh darah yang dilewatinya. Pasien yang
mengalami iskemia dalam waktu yang lama dan berat menyebabkan
terbentuknya regio nekrosis di dinding miokard. Zona nekrosis ini dapat
tetap reversibel dengan bantuan reperfusi. Zona yang mengalami infark
ataupun yang tidak akan mengalami perubahan progresif dalam hitungan
jam, hari, dan minggu setelah trombosis koroner. Antara 4 sampai 12 jam
setelah terjadinya kematian sel miokard akan terjadi nekrosis koagulasi
dan setelah 18 jam neutrofil memasuki zona infark dengan jumlah yang
mencapai puncak pada setelah hari kelima, kemudian menurun. Hal ini
menyebabkan miokardium menjadi kaku. Miokard yang kaku akan
melunak pada hari ke 4 sampai 7, dan beresiko mengalami ruptur kembali
selama 2 minggu pertama. Jaringan granulasi kemudian memasuki zona
infark dan mengalami maturasi secara progresif mengubah jaringan mati
menjadi jaringan parut. Setelah 2-3 bulan, infark sembuh dengan dinding
ventrikel yang non- kontraksi, menipis, mengeras, dan berwarna abu-abu
pucat (Aaronson dan Ward, 2013).
3. Faktor Resiko
Faktor resiko pada miokard akut terbagi menjadi dua, yaitu faktor
resiko yang tidak dapat diubah dan faktor resiko yang tidak dapat diubah.
a. Faktor Resiko yang Tidak Dapat Diubah
Usia
Sindrom coroner akut biasanya terjadi pada pasien dengan
usia di atas 40 tahun dengan Batasan 40-45 tahun dikategorikan
sebagai ‘pasien usia muda’. Walaupun inferk miokard akut
memiliki insidensi yang rendah pada usia muda, tetap terdapat
kemungkinan kejadian pasien dengan usia lebih rendah dari 40
tahun (William, 2007).
Riwayat Keluarga
78
Survei epidemiologis menunjukkan terdapat predisposisi
familial pada penyakit jantung. Sebagian besar hal ini disebabkan
karena banyaknya faktor resiko seperti hipertensi (Aaranson &
Ward, 2010). Riwayat anggota keluarga sedarah yang mengalami
penyakit jantung coroner sebelum usia 70 tahun menjadi faktor
resiko mandiri untuk kejadi penyakit jantung coroner setelahnya.
Agregasi keluarga menandakan adanya predisposisi genetik pada
keadaan onset penderita penyakit jantung coroner pada keluarga
dekat (Kasuari, 2002).
Jenis Kelamin
Menurut beberapa studi observasional, wanita
premanopause memiliki kemungkinan yang jauh lebih jarang
terkena penyakit jantung dibandingkan pria. Namun, setelah
menopause resikonya akan meningkat karena peran dari
esterogen. Kerja esterogen sebagai antioksidan dapat
menurunkan LDL dan meningkatkan HDL, serta aktivitas oksida
nitrat sintase yang dapat menyebabkan vasodilatasi (Fanci, et al.
2008).
79
Merokok
Merokok dengan menggunakan tembakau dapat
menurunkan kadar HDL, meningkatkan koagulabilitas darah,
serta merusak endotel dan memicu aterosklerosis sehingga dapat
menyebabkan penyakit pada jantung. Nikotin juga dapat
menginduksi stimulasi jantung dan menurunkan kapasitas darah
yang mengangkut oksigen dengan menggunakan mediasi karbon
monoksida. Bersamaan dengan peningkatan kejadian spasme
coroner, efek ini juga menentukan tingkat terjadinya iskemik
jantung dan infark miokard (Aaranson & Ward, 2010).
Obesitas
Meskipun obesitas tidak dianggap sebagai penyakit, tetapi
tetap terkait dengan peningkatan prevalensi hipertensi,
intoleransi glukosa, serta aterosklerosis. Pasien obesistas juga
memiliki kelainan kardiovaskular yang ditandai dengan
peningkatan volume total darah, cardiac output, dan tekanan
pengisian ventrikel kiri (Fauci, et al, 2008).
Diabetes Mellitus
Diabetes merupakan faktor resiko utama dari beragam
penyakit, termauk infark miokard yang disebakan oleh
keterkaitan yang dimiliki antara kardiovaskular dan resistensi
insulin sehingga seseorang yang memiliki diabetes mellitus
memiliki faktor resiko yang lebih besar untuk terkena infark
miokard.
4. Komplikasi
Komplikasi pada infark miokard aku yaitu:
a. Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran,
dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark.
Proses ini disebut remodelling ventricular yang sering mendahului
berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan
atau tahun pasca infark. Pembesaran ruang jantung secara
keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark,
80
dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang
mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering
terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.
b. Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama
kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia
mempunyai korelasi dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik
pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya.
c. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan
90% terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang
menjadi syok kardiogenik mempunyai penyakit arteri coroner
multivesel.
d. Infark Ventrikel Kanan
Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan
yang berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali)
dengan atau tanpa hipotensi.
e. Aritmia Paska STEMI
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan
sistem saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan
konduksi di zona iskemi miokard.
f. Ekstrasistol Ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir
semua pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat
beta efektif dalam mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien
STEMI.
g. Takikardia dan Fibrilasi Ventrikel
Takikardia dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya
aritmia sebelumnya dalam 24 jam pertama.
h. Fibrilasi Atrium
i. Aritmia Supraventrikular
j. Asistol Ventrikel
k. Bradiaritmia dan Blok
l. Komplikasi Mekanik
81
Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur
dinding ventrikel.
Aterosklerosis
Aterosklerosis merupakan penyakit yang kerap dihubungkan dengan
gangguan pada metabolisme lemak yang menyebabkan arteri lebih besar dan
penebalan atau pengerasan pada dindingnya. Lalu seiring dengan
berkembangnya waktu, terdapat pula pemahaman bahwa terdapat peranan
inflamasi dalam patogenesis aterosklerosis sehingga aterosklerosis dianggap
sebagai penyakit radang akibat adanya interaksi kompleks antara leukosit
trombosit dan sel-sel dari dinding pembuluh darah. Ateroksklerosis akan
82
ditandai dengan tersembutnya arteriakibat penumpukan bercak kolestrol yang
menghambat aliran darah menuju organ-organ tubuh. Arteri merupakan
pembuluh darah yang akan mengalirkan oksigen dan nutrisi ke berbagai bagian
tubuh, karena itulah, walaupun awalnya aterosklerosis tidak menumbulkan
gejala, tetapi gejala akan berangsur muncul karena aliran darah menuju organ
dan jaringan menjadi terhambat.
1. Patogenesis
Sebelumnya, terdapat dua hipotesis yang menjelaskan penyebab
aterosklerosis, yaitu hipotesis proliferasi sel di dalam intima dan hipotesis
organisasi serta pembentukan trombi berulang-ulang. Saat ini konsep
patogenesis aterosklerosis yang digunakan adalah hipotesis respons
terhadap cedera yang merupakan gabungan dari dua hipotesis sebelumnya.
Dalam hipotesis ini ditunjukkan bahwa aterosklerosis merupakan suatu
respons radang kronik dinding arteri yang dipicu oleh cedera pada endotel.
Dalam aterosklerosis, cedera ini dapat disebabkan oleh kebiasaan
merokok, hipertensi, diabetes melitus, faktor genetik, konsentrasi plasma
homosistein yang meningkat, infeksi mikroorganisme, dan kombinasi dari
faktor-faktor tersebut.
Cedera endotel yang berinteraksi dengan lipoprotein termodifikasi,
makrofag, limfosit T, dan kandungan seluler normal dinding arteri akan
membentuk lesi (ateroma) yang progresif. Lesi yang progresif akan terus
berubah menjadi lebih besar dan dapat menimbulkan bercak. Bercak ini
kemudian akan menonjol ke dalam dan menutupi lumen pembuluh darah
sehingga melemahkan tunika media di bawahnya. Semakin banyak bercak
ateroma yang timbul, dinding arteri lama-kelamaan akan menjadi keras
dan kehilangan sifat elastis pada dindingnya.
Pembentukan bercak ini diawali dengan fatty streak. Fatty streak
biasanya merupakan wujud bintik pipih berwarna kuning, multipel,
berdiameter < 1mm, dan telah terbentuk semenjak usia dini serta paling
sering pada dekade pertama kehidupan. Fatty streak terdiri atas sel
makrofag serta sel otot polos yang menganduk lemak dan dapat
membentuk sel busa. Fatty streak tidak menyebabkan penebalan dinding
pembuluh darah sehingga tidak semua fatty streak akan berkembang
83
menjadi bercak ateroma. Namun, fatty streak merupakan prekursor dari
bercak ateroma yang merupakan proses utama terjadinya aterosklerosis.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diuraikan jika mekanisme
terjadinya arterosklerosis adalah :
Cedera endotel kronik menyebabkan disfungsi endotel yang awalnya
tidak memberikan gejala. Cedera ini akan menurunkan nitrik oksida
(NO) yang akan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan
adhesi leukosit serta memiliki potensi trombotik.
Proses oksidasi akan mengakumulasi lipoprotein pada pembuluh
darah (terutama LDL) dan modifikasi lipoprotein pada lesi. Pada awal
aterogenesis, ekspresi sel endotel melalui ICAM-I (intercellular
adhesion mollecul-I) akan berikatan dengan berbagai macam
leukosit, seperti VCAM-I (vascular adhesion mollecul-I) yang
berikatan dengan monosit dan limfosit T.
Saat monosit melekat pada endotel, monosit akan beremigrasi dan
masuk ke dalam tunika intima serta mengalami tranformasi menjadi
makrofag akibat rangsangan oleh kemokin. Makrofag akan mencerna
LDL serta memproduksi IL-1 (interleukin-1) dan TNF (tumor
necrosis factor) yang akan meningkatkan adhesi leukosit. Makrofag
akan menggerakkan kemokin dan merekrut lebih banyak leukosit ke
dalam bercak atheroma.
Makrofag akan menghasilkan oksigen toksik yang menyebabkan
oksidasi pada LDL. Oksidasi progresif pada LDL akan masuk ke
dalam makrofag dan memudahkan penimbunan ester kolestrol yang
membentuk sel busa. Fatty streak yang terdiri monosit lipid pun
terbentuk. Proses radang akan merangsang migrasi dan poliferasi sel
otot polos pembuluh darah untuk membentuk bercak ateroma. Jika
radang tidak efektif untuk melawan agen penyerang, radang akan
terus berlangsung dan merekrut lebih banyak sel-sel makrofag,
limfosit, dan trombosit. Adhesi trombosit dan pelepasan faktor-faktor
activated platelets, ma- krofag, atau sel-sel pembuluh darah,
menyebabkan migrasi sel-sel otot polos dari tunika media masuk ke
dalam tunika intima. Proliferasi sel-sel otot pada tunika intima dan
matriks ekstrasel mengakibatkan akumulasi kolagen dan
84
proteoglikan, mengubah fatty streak menjadi suatu ateroma fibrofatty
yang matang dan menyo- kong pertumbuhan lesi aterosklerotik yang
progresif.
Fatty streaks yang progresif ber- kembang menjadi lesi sedang dan
lanjut, kemudian akan membentuk fibrous cap yang berbatasan
dengan lumen pembuluh darah. Fibrous cap menutupi campuran dari
lekosit, lemak dan debris seluler yang membentuk suatu pusat
nekrotik. Makrofag pada daerah lesi akan menghasilkan meta
proteinase, yang memiliki efek dalam lisis matriks ekstraseluler.
Sintesis kolagen dihambat oleh TNF-á yang disekresi oleh sel T. Hal
ini menyebabkan rentannya fibrous cap mengalami ruptur.
Kerusakan dari fibrous capakan menyebabkan terekspos nya kolagen
dan lipid terhadap aliran darah, yang kemudian akan mengaktivasi
adhesi platelet dan pembentukan bekuan darah.
85
Gambar 38. Patofisiologi Aterosklerosis
86
Gambar 39. Fase-fase pada Aterosklerosis
2. Gejala
Gejala dari aterosklerosis dapat berbeda tergantung organ apa yang
terkena penyakit tersebut.
a. Aterosklerosis pada jantung
Aterosklerosis pada jantung bisa menyebabkan penyakit jantung
koroner dan serangan jantung. Kedua gangguan tersebut memiliki
sejumlah gejala yang serupa, yaitu:
Nyeri dada seperti ditekan atau diremas (angina).
Nyeri atau tekanan pada pundak, lengan, rahang, atau punggung.
Gangguan irama jantung (aritmia).
Sesak napas, berkeringat, dan gelisah.
b. Aterosklerosis pada tungkai
Aterosklerosis pada area tungkai kaki maupun lengan bisa
menyebabkan penyakit arteri perifer. Gangguan ini ditandai dengan
gejala-gejala sebagai berikut:
Nyeri, kram, hingga mati rasa pada area lengan maupun tungkai.
Nyeri saat berjalan dan mereda setelah beristirahat (klaudikasio
intermiten).
Tungkai bagian bawah terasa dingin.
Luka di jempol, telapak, atau kaki tak kunjung sembuh.
87
c. Aterosklerosis pada otak
Bila terjadi pada pembuluh darah di otak, aterosklerosis bisa
menyebabkan stroke yang ditandai dengan gejala berupa:
Mati rasa hingga lumpuh pada salah satu sisi wajah, lengan, atau
tungkai.
Kebingungan dan sulit untuk dapat berbicara dengan jelas.
Kehilangan penglihatan pada salah satu mata atau kedua mata.
Kehilangan koordinasi dan keseimbangan.
Pusing dan sakit kepala berat.
Sulit bernapas dan kehilangan kesadaran.
d. Aterosklerosis pada ginjal
Penumpukan bercak pada pembuluh arteri di ginjal dapat
menyebabkan gagal ginjal. Gangguan ini bisa dikenali dari sejumlah
gejala, seperti:
Jarang buang air kecil.
Terus menerus merasa mual.
Merasa sangat lelah dan mengantuk.
Tungkai membengkak.
Bingung dan sulit berkonsentrasi.
Sesak napas dan dada terasa nyeri.
3. Komplikasi
Komplikasi awal dari aterosklerosis merupakan disfungsi dari endotel
sehingga endotel tidak dapat bekerja secara maksimal. Jika terus dibiarkan
tanpa pengobatan, bercak-bercak ateroma akan mengalami komplikasi
berupa :
a. Ruptur fokal
b. Ulserasi
c. Erosi fokal permukaan lumen
d. Perdarahan ke dalam bercak
e. Trombosis yang dapat menyebabkan penutupan arteri sebagian atau
secara total
f. Dilatasi aneurisma
88
4. Penanganan
Dalam proses menangani aterosklerosis dilakukan tiga hal utama,
yaitu mengubah gaya hidup, menggunakan obat-obatan, dan prosedur
medis.
a. Mengubah Gaya Hidup
Mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat merupakan hal utama
yang harus dilakukan. Perubahan gaya hidup ini dapat dilakukan
dengan cara membiasakan diri untuk berolahraga, menghindari
stress berlebih, serta mengurangi makanan yang banyak
mengandung kolestrol.
b. Obat-obatan
Obat-obatan untuk mencegah penggumpalan darah.
Obat-obatan untuk menurunkan tekanan darah.
Obat penurun kadar kolesterol
Obat untuk mencegah penyempitan arteri.
Obat-obatan untuk mengendalikan kondisi medis yang bisa
menyebabkan aterosklerosis.
c. Prosedur Medis
Pemasangan ring (stent) dan angioplasty
Prosedur ini digunakan untuk membuka penyumbatan atau
penyempitan arteri, kemudian memasang tabung kecil di sana
agar aliran darah kembali lancar.
Terapi fibrinolitik
Terapi ini dilakukan untuk mengatasi penyumbatan arteri
akibat pembekuan darah, dengan memberikan obat pelarut atau
pemecah gumpalan darah.
Operasi bypass
Prosedur ini dilakukan untuk mengatasi penyumbatan atau
penyempitan arteri dengan cara memintas pembuluh darah yang
tersumbat, menggunakan pembuluh darah dari bagian tubuh lain
atau selang berbahan sintetis.
Endarterektomi
89
Prosedur ini dilakukan untuk membuang tumpukan lemak
pada dinding arteri yang menyempit. Biasanya, prosedur ini
dilakukan pada arteri leher.
Arterektomi
Prosedur ini digunakan untuk membuang bercak dari arteri,
menggunakan kateter berpisau tajam di salah satu ujungnya.
5. Pencegahan
Aterosklerosis dapat dicegah dengan menerapkan pola hidup sehat.
Cara yang bisa dilakukan antara lain:
a. Melakukan pola makan sehat dengan gizi seimbang yang kaya serat
dan karbohidrat kompleks, serta rendah kolesterol.
b. Menghindari atau membatasi konsumsi minuman beralkohol.
c. Berolahraga selama 30 menit per hari, setidaknya 5 hari dalam
seminggu.
d. Berhenti merokok.
e. Menjaga berat badan dalam rentang ideal.
f. Mengelola stress dengan baik.
g. Tidur yang cukup.
90
IX. KERANGKA KONSEP
91
X. KESIMPULAN
Tuan Infak, 55 tahun, seorang perokok aktif yang memiliki riwayat hipertensi lama
mengalami gejala nyeri pada dada dan lengan kiri, keringat dingin, mual, dan muntah
akibat dari infark miokard posteroinferior dan gangguan sistem konduksi yang
disebabkan oleh penyumbatan pada arteria coronaria dextra.
92
DAFTAR PUSTAKA
Arackal, Anita. 2020. Heart Histology. United State of America: StatPearls Publishing
LLC.
Bornstein AB, Rao SS, Marwaha K. Left Ventricular Hypertrophy. [Updated 2020 Aug
10]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557534/
Dorland. 2020. Kamus Saku Kedokteran Dorland, edisi Indonesia ke-30. Indonesia:
Elsevier.
93
Guo, Zongsheng et al. 2015. Impact of Cardiogenic Vomiting in Patients with STEMI :
A Study From China. Med Sci Monit : Volume 21 Halaman 3792-3797. Diakses
29 Desember 2020
Handayani, A., 2017. Sistem Konduksi Jantung. Buletin Farmatera, 2(3), pp.116-1
Jacob Fog Bentzon, Erling Falk. Chapter 47 - Atherosclerosis, Vulnerable Plaques, and
Acute Coronary Syndromes, Editor(s): Geoffrey S. Ginsburg, Huntington F.
Willard, Genomic and Personalized Medicine (Second Edition), Academic Press,
2013, Pages 530-539, ISBN 9780123822277,
https://doi.org/10.1016/B978-0-12-382227-7.00047-1.
(http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9780123822277000471)
Katarzyna Michaud, Cristina Basso, Giulia d’Amati, Carla Giordano, Ivana Kholová,
Stephen D. Preston, Stefania Rizzo, Sara Sabatasso, Mary N. Sheppard, Aryan
Vink, Allard C. van der Wal & on behalf of the Association for European
Cardiovascular Pathology (AECVP) - (2019). "Diagnosis of myocardial infarction
at autopsy: AECVP reappraisal in the light of the current clinical classification".
94
Virchows Archiv. DOI:10.1007/s00428-019-02662-1. ISSN 0945-6317. "This
article is distributed under the terms of the Creative Commons Attribution 4.0
International License (https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/)"
Michael Chute, Preetinder Aujla, Sayantan Jana and Zamaneh Kassiri - (2019). "The
Non-Fibrillar Side of Fibrosis: Contribution of the Basement Membrane,
Proteoglycans, and Glycoproteins to Myocardial Fibrosis". Journal of
Cardiovascular Development and Disease 6 (4): 35. DOI:10.3390/jcdd6040035.
ISSN 2308-3425. - Attribution 4.0 International (CC BY 4.0)
Mikael Häggström, M.D. - Author info - Reusing images Consent from the patient or
patient's relatives is regarded as redundant, because of absence of identifiable
features (List of HIPAA identifiers) in the media and case information (See also
HIPAA case reports guidance). - Own work
Mitchell, Richard Sheppard; Kumar, Vinay; Abbas, Abul K .; Fausto, Nelson (1997).
Patologi Dasar Robbins. Philadelphia: Saunders. ISBN 1-4160-2973-7. Edisi
ke-8.
Moore Keith L., Dalley Arthur F., Agur Anne M.R.. 2014. Clinically Oriented
Anatomy. 7th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins
Morrow, David A.; Braunwald, Eugene (15 September 2016). "Classification and
Diagnosis of Acute Coronary Syndromes". Dalam David A. Morrow (ed.).
Myocardial Infarction: A Companion to Braunwald's Heart Disease. Elsevier. pp.
1–10. ISBN 978-0-323-35943-6.
95
National Heart, Lung, and Blood Institute. Conduction Disorders. U.S. Departement of
Healt & Human Service.
https://www.nhlbi.nih.gov/health-topics/conduction-disorders
Paulsen F, Waschke J. 2019. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Organ – Organ Dalam.
Jilid 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Rene M. H. J. Brouwer et al. 1994. Influence of age on survival, late hypertension, and
recoarctation in elective aortic coarctation repair. The Journal of Thoracic and
Cardiovascular Surgery. 525-531
Romero, S. A., Minson, C. T., & Halliwill, J. R. 2017. The cardiovascular system after
exercise. Journal of applied physiology. Bethesda, Md. : 1985, 122(4), 925–932.
96
RSUD DR. MOEWARDI. FAKULTAS KEDOKTERAN: UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURAKARTA.
Snell, R.S. 2012. Anatomi Klinik Berdasarkan Sistem. Dialihbahasakan oleh Suguharto
L. Jakarta: EGC.
Tindall SC. 1990. Level of Consciousness. Clinical Methods: The History, Physical,
and Laboratory Examination. 3rd Edition. Boston: Butterworths; Chapter 57
Umbas, Irene Megawati; Tuda, Josef; Numansyah, Muhamad. Mei 2019. e-Journal
Keperawatan (e-Kp) Volume 7 Nomor 1, HUBUNGAN ANTARA MEROKOK
DENGAN HIPERTENSI DI PUSKESMAS KAWANGKOAN. Program Studi
Ilmu Keperawatan Kedokteran: Universitas Sam Ratulangi.
97