Anda di halaman 1dari 86

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO B BLOK 4

Disusun oleh:
Kelompok B4

Tutor: Dra. Lusia Hayati, M. Sc


Ruth Margareth Aritonang 04011282025131
Achmad Badarudin Sjazili Muhibat 04011282025134
Devadiza Friankasari 04011282025136
Monica Yolanda 04011282025137
Arizah Hizfariyah 04011282025144
Nyimas Afifah Nadhirah Olivia 04011282025146
Mutia Adilah Almenata 04011282025151
Fadilah Aisyah Nurusman 04011282025152
Hanifah Fadilah Putri 04011382025206
Muhammad Ihsan Hanafi 04011382025208
Arkan Abdullah Nashif 04011382025230
Muhammad Defandra Satrio Nugroho 04011382025233

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG
2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tugas tutorial ini.
Laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian dari
pembelajaran yang berbasis Problem Based Learning (PBL) di Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Dra. Lusia Hayati, M. Sc selaku tutor
serta semua pihak yang telah membantu penyusunan laporan tugas tutorial ini.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak
kekurangan dalam laporan ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Palembang, 17 Desember 2020

Penulis

1
Daftar Isi
Kata Pengantar .......................................................................................................................... 1
Daftar Isi ................................................................................................................................... 2
Skenario .................................................................................................................................... 4
Klarifikasi Istilah ...................................................................................................................... 4
Identifikasi Masalah .................................................................................................................. 6
Analisis Masalah ....................................................................................................................... 6
Keterkaitan Antar Masalah ....................................................................................................... 8
Learning Issues ......................................................................................................................... 8
Hasil Brainstorming .................................................................................................................. 9
Sintesis .................................................................................................................................... 15
Kerangka Konsep .................................................................................................................... 81
Kesimpulan ............................................................................................................................. 82
Daftar Pustaka ......................................................................................................................... 83

2
KEGIATAN DISKUSI

Tutor : Dra. Lusia Hayati, M. Sc


Moderator : Arkan Abdullah Nashif
Sekretaris 1 : Fadilah Aisyah Nurusman
Sekretaris 2 : Muhammad Ihsan Hanafi
Pelaksanaan : 21-23 Desember 2020

Peraturan selama tutorial:


1. Menggunakan fitur raise hand ketika ingin menyampaikan pendapat dan
tidak boleh berbicara sebelum dipersilahkan oleh moderator
2. Izin ke kamar mandi dengan seizin moderator dan tutor, dan maksimal
dua orang
3. Menyampaikan pendapat dengan bahasa yang sopan dan santun
4. Peserta tutorial harus aktif dan mengumpulkan tugas tepat waktu
5. Diperbolehkan untuk makan minum selama tutorial berlangsung
6. Mengetahui batasan-batasan dalam berdiskusi sehingga tidak ada debat
kusir

3
I. SKENARIO
Seorang perempuan berusia 35 tahun mengalami kecelakaan lalu lintas dan menderita
trauma tumpul pada dada. Setibanya di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit setempat, pasien
mengeluh sesak napas dan nyeri dada kanan. Dokter segera melakukan pemeriksaan fisik dan
penunjang pada pasien dan ditemukan tanda-tanda haemopneumothorax yaitu adanya udara
bebas pada cavum pleurae di hemithorax dextra dan darah pada recessus costodiaphragmaticus
dextra, serta ditemukan adanya fraktur os costa quarta dextra dan laserasi pulmo dextra yang
substansial pada segmenta anterior lobus superius. Dokter segera melakukan tindakan operasi
emergensi untuk memperbaiki kondisi pasien dan mencegah komplikasi.

II. KLARIFIKASI ISTILAH


1. Trauma tumpul :
Trauma tumpul adalah perlukaan yang disebabkan oleh benda yang tidak memiliki
sisi runcing atau tajam alias tumpul. Contohnya seperti tongkat, batu, dan pentung.
Jenis luka yang ditimbulkan akibat trauma benda tumpul yaitu luka lecet, memar,
robek, dan patah tulang.
2. Kecelakaan :
Kejadian atau peristiwa yang menyebabkan orang celaka.
3. Instalasi Gawat Darurat :
Bagian dari rumah sakit yang menampung atau melayani pasien yang sangat parah.
4. Sesak napas :
Kesukaran bernapas atau napas yang pendek
5. Nyeri :
(1) Berasa sakit (seperti ditusuk-tusuk jarum atau seperti dijepit pada bagian tubuh);
rasa yang menimbulkan penderitaan: pasien itu mulai meringis-ringis menahan
(2) Pengalaman fisik dan emosional yang diakibatkan karena luka pada jaringan.
6. Laserasi :
Sobekan.
7. Haemopneumothorax :
Gabungan dari hemothorax (darah pada rongga dada) dan pneumothorax (udara
pada rongga dada).

4
8. Cavum pleurae :
Ruang potensial antara pleura parietalis dan viseralis yang dibungkus oleh
membran serurosa.
9. Hemithorax dextra :
Bagian lateral dari dada sebelah kanan.
10. Fraktur os costa quarta dextra :
Pemecahan, pecah atau ruktur khususnya pada tulang atau pemisahan fragmen kecil
pada tulang. Maka fraktur os costa quarta dextra adalah pemecahan, pecah atau
ruktur khususnya pada tulang atau pemisahan fragmen kecil pada tulang bagian os
costa quarta bagian kanan.
11. Segmenta anterior lobus superius :
Paru-paru depan pada bagian atas.
12. Substansial :
Sesuatu yang memiliki kepentingan yang khusus atau tinggi dan sesuatu yang
merupakan hal yg penting untuk suatu hal.
13. Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan yang dilakukan untuk menunjang pemeriksaan lainnya sehingga
ditemukan diagnosis yang akurat.
14. Recessus costodiaphragmaticus dextra :
Area di antara batas inferior paru-paru dan batas inferior cavum pleura.
15. Komplikasi :
Penyakit yang baru timbul kemudian sebagai tambahan dari penyakit yang sudah
ada.
16. Operasi :
Bedah atau bedel untuk mengobati penyakit
17. Emergensi :
Suatu situasi yang genting yang membutuhkan penanganan segera.

5
III. IDENTIFIKASI MASALAH
Masalah:
a. Seorang perempuan berusia 35 tahun mengalami kecelakaan lalu lintas dan
menderita trauma tumpul pada dada. (2)
b. Setibanya di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit setempat, pasien mengeluh sesak
napas dan nyeri dada kanan. (3)
c. Dokter segera melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang pada pasien dan
ditemukan tanda-tanda haemopneumothorax yaitu adanya udara bebas pada
cavum pleurae di hemithorax dextra dan darah pada recessus costodiaphragmaticus
dextra, serta ditemukan adanya fraktur os costa quarta dextra dan laserasi pulmo
dextra yang substansial pada segmenta anterior lobus superius. (4)
d. Dokter segera melakukan tindakan operasi emergensi untuk memperbaiki kondisi
pasien dan mencegah komplikasi. (1)

No. Kalimat O-E Perhatian


1. Seorang perempuan berusia 35 tahun mengalami kecelakaan **
lalu lintas dan menderita trauma tumpul pada dada.
2. Setibanya di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit setempat, ***
pasien mengeluh sesak napas dan nyeri dada kanan.
3. Dokter segera melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang ****
pada pasien dan ditemukan tanda-tanda
haemopneumothorax yaitu adanya udara bebas pada cavum
pleurae di hemithorax dextra dan darah pada recessus
costodiaphragmaticus dextra, serta ditemukan adanya fraktur
os costa quarta dextra dan laserasi pulmo dextra yang
substansial pada segmenta anterior lobus superius.
4. Dokter segera melakukan tindakan operasi emergensi untuk *
memperbaiki kondisi pasien dan mencegah komplikasi.

6
IV. ANALISIS MASALAH
1. Dokter segera melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang pada pasien dan ditemukan
tanda-tanda haemopneumothorax yaitu adanya udara bebas pada cavum pleurae di
hemithorax dextra dan darah pada recessus costodiaphragmaticus dextra, serta
ditemukan adanya fraktur os costa quarta dextra dan laserasi pulmo dextra yang
substansial pada segmenta anterior lobus superius.
a. Bagaimana struktur penyusun pleura dan pulmo secara histologi?
b. Darimanakah sumber perdarahan pada recessus costodiaphragmaticus dextra atau
vaskularisasinya?
c. Apa saja yang dapat disebabkan karena adanya laserasi pada pulmo dextra?
d. Bagaimana struktur thorax secara anatomi?
e. Bagaimana mekanisme adanya udara bebas pada cavum pleura dan darah pada
recessus costodiaphragmaticus?
f. Apakah letak costae yang mengalami fraktur berpengaruh terhadap parahnya
cedera?
g. Bagaimana proses osteogenesis pada tulang yang mengalami fraktur?
h. Apakah perbedaan struktur anatomi pada regio thorax dextra dan sinistra?
i. Apa saja jaringan dan organ yang menyusun sitem respirasi?
2. Setibanya di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit setempat, pasien mengeluh sesak
napas dan nyeri dada kanan.
a. Bagaimana trauma tumpul dada dapat memengaruhi pernapasan?
b. Bagaimana mekanisme terjadinya sesak napas?
c. Bagaimana fisiologi pada pernapasan?
3. Seorang perempuan berusia 35 tahun mengalami kecelakaan lalu lintas dan menderita
trauma tumpul pada dada.
a. Apa saja yang dapat diakibatkan dari trauma tumpul pada dada?
b. Apakah usia memiliki pengaruh terhadap tingkat keparahan trauma tumpul pada
dada?
4. Kalimat Keempat
Dokter segera melakukan tindakan operasi emergensi untuk memperbaiki kondisi
pasien dan mencegah komplikasi.
a. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi apabila tidak segera dilakukan penanganan?

7
V. KETERKAITAN ANTAR MASALAH

Kecelakaan

Pemeriksaan Fisik & Penunjang

Laserasi Fraktur Os Costa


Haemopneumothorax Trauma Tumpul
Pulma Dextra Quatra Dextra

Sesak Napas & Nyeri Dada Kanan

Operasi Emergensi

VI. LEARNING ISSUES


1. Fisiologi pernapasan
2. Anatomi dan topografi regio thorax (tulang otat sendi, vaskularisasi dinding thorax)
3. Trakeobronkial tree
4. Pulmo dan pleura
5. Histologi jaringan dan organ pada sistem respirasi terutama pleura dan pulmo
6. Patofisiologi (aspek anatomi dan histologi), keluhan pada sistem pernapasan di kasus
ini (mekanisme nyeri dan sesak napas)
7. Osteogenesis pada proses penyembuhan

8
VII. HASIL BRAINSTORMING
1. Prioritas Pertama
Dokter segera melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang pada pasien dan ditemukan
tanda-tanda haemopneumothorax yaitu adanya udara bebas pada cavum pleurae di
hemithorax dextra dan darah pada recessus costodiaphragmaticus dextra, serta
ditemukan adanya fraktur os costa quarta dextra dan laserasi pulmo dextra yang
substansial pada segmenta anterior lobus superius.
a. Bagaimana struktur penyusun pleura dan pulmo secara histologi?
Pleura parietalis melapisi permukaan internal rongga toraks dan pleura viseralis
melapisi permukaan eksternal paru. Di antara kedua lapisan tersebut, terdapat
celah sempit rongga pleura.
Kedua lapisan serupa secara histologis dan terdiri atas mesotel skuamosa selapis
atau pada selapis tipis jaringan ikat, seperti yang diperlihatkan pada gambar ini
untuk pleura viseralis yang melapisi alveoli. Jaringan ikat kaya akan serat
kolagen dan elastin serta mengandung pembuluh darah dan pembuluh limfe.

Sistem pernapasan terdiri atas paru dan saluran napas, dibagi menjadi bagian
konduksi dan bagian respirasi. Bagian konduksi terdiri dari rongga hidung,
nasofaring, laring, trakea, bronki, bronkiolus dan bronkiolus terminalis. Bagian
respirasi terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, sakus alveolaris,
dan alveoli.
b. Darimanakah sumber perdarahan pada recessus costodiaphragmaticus
dextra atau vaskularisasinya?
Vaskularisasi dinding thorax berasal dari arteria thoracica interna, arteria
intercostalis posterior, dan vena intercostalis.

9
c. Apa saja yang dapat disebabkan karena adanya laserasi pada pulmo dextra?
Terjadinya laserasi pada pulmo dextra dapat mengakibatkan selain laserasi pada
pleura dan pulmo tetapi juga rupture pada vaskularisasi di jaringan parenkim
pulmo yang menyebabkan pasien mengalami kondisi hemothorax dan
pneumothorax.
d. Bagaimana struktur thorax secara anatomi?
Dinding thorax terdiri dari tulang (ossa), otot (muskulus), dan sendi
(articulatio). Ossa yang membentuknya adalah 12 buah vertebra thoracica, 12
pasang costae, dan sternum. Untuk persendian terdapat persendian sternum,
costae, costae dengan cartilago costalis, dan cartilage costalis dengan sternum.
Otot terdiri dari tiga lapisan yaitu superficial, intermedia, dan profundus. Otot
yang paling berperan saat respirasi ialah pada lapisan intermedi yaitu
m.intercostalis externus dan m.intercostalis internus.
e. Bagaimana mekanisme adanya udara bebas pada cavum pleura dan darah
pada recessus costodiaphragmaticus?
Udara dalam kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh karena adanya kerobekan
pleura visceralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari alveolus akan
memasuki kavum pleura. Apabila kebocoran pleura visceralis yang berfungsi
sebagai katup, maka udara yang masuk saat inspirasi tak akan dapat keluar dari
kavum pleura pada saat ekspirasi. Akibatnya, udara semakin lama semakin
banyak sehingga mendorong mediastinum kearah kontralateral dan
menyebabkan terjadinya tension pneumothorax. Lalu bisa juga disebabkan
karena robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat hubungan
antara kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang yang terjadi lebih besar
dari 2/3 diameter trakea, maka udara cenderung lebih melewati lubang tersebut
dibanding traktus respiratorius yang seharusnya. Pada saat inspirasi, tekanan
dalam rongga dada menurun sehingga udara dari luar masuk ke kavum pleura
lewat lubang tadi dan menyebabkan kolaps pada paru ipsilateral. Laserasi
pembuluh darah interkosta atau arteri mamalia interna disebabkan trauma tajam
atau trauma tumpul yang mengenai dinding toraks. Darah kemudian
terakumulasi di dalam rongga toraks dengan jumlah kurang dari 1500 ml. Pada
trauma tumpul, hemothoraks biasanya disebabkan oleh cedera pada pembuluh
interkostal atau interparenkim pembuluh darah paru karena patah tulang rusuk.

10
Trauma tumpul dan tembus dapat menyebabkan hemotoraks masif dengan arteri
interkostal, laserasi paru, atau pecahnya pembuluh besar mediastinum.
f. Apakah letak costae yang mengalami fraktur berpengaruh terhadap
parahnya cedera?
Ya, terdapat pengaruh dari letak costae yang megalami fraktur. Secara umum,
costae dibagi ke dalam tiga area berdasarkan tingkat trauma yang diperlukan
untuk mengalami suatu cedera. Area 1 (costae I-IV), area 2 (costae V-IX), dan
area 3 (costae X-XII). Pada skenario, pasien mengalami fraktur pada costae ke
4 yang termasuk ke area 1 dimana area ini umumnya memerlukan trauma
dengan kecepatan tinggi dan berhubungan dengan cedera pembuluh darah besar
dan pleksus brakialis.
g. Bagaimana proses osteogenesis pada tulang yang mengalami fraktur?
- Pembuluh darah yang robek melepaskan darah yang membeku sehingga
terbentuk hematoma fraktur yang besar.
- Hematoma secara bertahap hilang oleh makrofag digantikan oleh massa
lunak jaringan prokalus yang kaya kan kolagen fibroblast. Jika terdapat
kerusakan, periosteum membentuk Kembali kontinuitas di atas jaringan.
- Prokalus lunak diinvasi osteoblast dan pembuluh darah yang terbentuk
Kembali. Setalah beberapa minggu fibrokartilago secara berharap digantikan
trabekula tulang primer dan membentuk kalus keras
- Tulang primer remodelling sebagai tulang kompak dan berongga.
h. Apakah perbedaan struktur anatomi pada regio thorax dextra dan sinistra?
Perbedaannya terletak pada pulmo. Pulmo dextra terdapat tiga lobus, sedangkan
pulmo sinistra hanya terdapat dua lobus karena dibawahnya terdapat jantung.
i. Apa saja jaringan dan organ yang menyusun sitem respirasi?
Nasal, pharynx, glottis, trachea, bronchus, bronchioles, alveolus
2. Prioritas Kedua
Setibanya di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit setempat, pasien mengeluh sesak
napas dan nyeri dada kanan.
a. Bagaimana trauma tumpul dada dapat memengaruhi pernapasan?
Pada trauma tumpul seluruh struktur pada thorax memiliki kesempatan untuk
cedera, seperti jaringan pada dinding thorax, thoraxic cage, tulang iga, paru –
paru, pleura, pembuluh darah, diafragma, jantungm dan struktur pada
mediastinum.
11
a. Cedera pada dinding thorax
- Thoracic cage
Cedera yang melibatkan tidak hanya fraktur pada tulang iga tetapi juga
bisa clavicula dan sternum. Fraktur pada tulang iga akan menyebabkan
cedera pada pleura dan jaringan paru – paru, pneumothorax, memar
pada daerah pulmonari, laserasi jaringan parenkim, dan lain – lain.
- Flail chest
Flail chest merupakan kondisi 3 atau lebih tulang iga yang patah pada
paling tidak 2 bagian
b. Cedera pada pleura
- Traumatic pneumothorax
Adanya udara diantara pleura parietal dan visceral yang menyebabkan
terakumulasinya udara pada daerah tersebut sehingga terjadi kolaps
pada paru – paru
- Traumatic hemothorax
Adanya fluida diantara pleura parietal dan viseral
c. Cedera pada jaringan pulmo dan jalan udara
- Memar pada bagian pulmo
Memar pada alveolar hemorage
- Laserasi pulmonari
Cedera yang berada pada jaringan parenkim dari paru – paru
Cedera pada Tracheobroncial
b. Bagaimana mekanisme terjadinya sesak napas?
Kondisi trauma tumpul yang terjadi di dada yang kemudian mengakibatkan
terjadinya laserasi pulmo sekaligus rupture pada vascular pulmo menyebabkan
terjadinya kondisi hemopneumothorax pada pasien. Hemopneumothorax dan
fraktur costa menyebabkan fisiologis pulmo menjadi tidak sempurna karena
terjadi kerusakan pada struktur anatomi dan histologi regio pulmo. Terjadinya
hemopneumothorax mengakibatkan tekanan pada pulmo dan daerah sekitarnya
menjadi netral dan adanya benda asing di tempat yang seharusnya digunakan
untuk zona perkembangan pulmo menyebabkan pulmo tidak dapat
mengembang dengan sempurna baik saat inhalasi dan ekshalasi. Ditambah lagi
fraktur costa menyebabkan terjadinya kondisi flail chest yang mengakibatkan
otot intercostalis tidak mampu mengangkat pulmo dengan sempurna saat proses
12
inhalasi yang menyebabkan kesulitan bernafas bagi penderita. Hal-hal diatas
jika dihubungkan dengan perngertian sesak napas itu sendiri yaitu sukar
bernafas maka dengan adanya gangguan, hambatan, dan kerusakan pada organ
pernapasan maka akan terjadi sesak nafas.
c. Bagaimana fisiologi pada pernapasan?
Otot yang berkontraksi pada saat melakukan inspirasi sewaktu bernapas tenang
adalah diafragma dan otot interkostalis external. Sebelum inspirasi, semua otot
respirasi berada pada keadaan relaksasi. Pada saat onset inspirasi, terjadi
kontraksi otot – otot inspirasi yang memperbesar rongga toraks. Otot utama
pada saat inspirasi adalah diafragma, yang dipersarafi oleh nervus frenikus yang
pada saat relaksasi berbentuk kubah menonjol ke atas rongga ke dalam rongga
toraks. Ketika ada stimulasi dari nervus frenikus (berkontraksi) diafragma turun
dan memperbesar volume rongga toraks dengan meningkatkan ukuran
vertikalnya. Penurunan diafragma akan menekan isi abdomen ke bawah dan
kedepan sehingga bagian abdomen akan mengembang ke depan. Otot
interkostalis externa distimulasi oleh nervus interkostalis selama inspirasi yang
menyebabkan memperbesarkan rongga toraks ke arah lateral dan
anteroposterior. Sewaktu toraks mengembang, paru – paru juga dipaksa untuk
mengembang untuk mengisi rongga toraks yang membesar sehingga tekanan
intra-alveolus turun karena jumlah molekul udara yang sama kini menempati
volume paru yang lebih besar. Adanya penurunan tekanan intraalveolus
menyebabkan udara masuk ke dalam paru – paru hingga tidak tekanan intra-
alveolus setara dengan tekanan atmosfer. Sehingga dapat dikatakan masuknya
udara tidak menyebabkan ekspansi paru – paru, melainkan ekspansi paru - paru
menyebabkan penurunan tekanan intra-alveolus sehingga udara masuk ke paru
– paru. Tekanan parsial O2 alveolus tetap relatif tinggi dan tekanan parsial CO2
alveolus tetap relatif rendah karena sebagian dari udara alveolus ditukar dengan
atmosfer baru tiap kali bernapas. Darah vena sistemik yang masuk ke paru –
paru relatif rendah O2 dan tinggi CO2 karena telah menyerahkan O2 dan
menyerap CO2 di tingkat kapiler sistemik. Hal ini menciptakan gradien tekanan
parsial antara udara alveolus dan darah kapiler paru yang memicu difusi pasif
O2 ke dalam darah dan CO2 keluar darah sampai tekanan parsial darah dan
alveolus setara. Pada akhir inspirasi, otot inspirasi melemas sehingga diafragma
kembali ke bentuk semula yang seperti kubah ketika berelaksasi. Pada saat otot
13
interkostalis external berelaksasi, tulang iga yang tadinya terangkat akan turun
karena gravitasi. Karena tidak ada gaya yang menyebabkan ekspansi dinding
dada, dinding dada yang semulanya terenggang akan mengalaimi rekoil ke
ukuran prainspirasinya karena sifat elastiknya. Pada saat paru – paru mengalami
rekoil, volumenya kembali mengecil sehingga tekanan intraalveolus akan
meningkat hingga 1 mmHg lebih besar dari tekanan atmosfer sehingga udara
dapat keluar dari paru – paru hingga tekanan intra- alveolus menjadi sama
dengan tekanan atmosfer. Setelah mengalami keseimbangan dengan sel – sel
jaringan, darah yang meninggalkan jaringan relatif mengandung O 2 rendah dan
CO2 tinggi. Darah ini kemudian kembali ke paru untuk kembali diisi oleh O 2
dan dikeluarkan CO2
3. Prioritas Ketiga
Seorang perempuan berusia 35 tahun mengalami kecelakaan lalu lintas dan menderita
trauma tumpul pada dada.
a. Apa saja yang dapat diakibatkan dari trauma tumpul pada dada?
Berikut hal-hal yang dapat diakibatkan oleh trauma tumpul pada dada :
- Pneumothorax
- Hemothorax
- Hemopneumothorax
- Flail chest
- Fraktur tulang rusuk
- Kerusakan jaringan parenkim pulmo (memar, laserasi, pseudo kista)
- Tampon jantung
- Pecah atau memar pada jantung
- Trachea deviation
- Cidera tracheobronchial tree
- Cidera esophagus
- Cidera diafragma
b. Apakah usia memiliki pengaruh terhadap tingkat keparahan trauma tumpul
pada dada?
Terdapat hubungan usia terhadap keparahan trauma tumpul pada dada dimana
pada kelompok anak – anak tidak akan terjadi cedera pada dinding dada karena
adanya elastisitas tulang dan akan berujung pada komplikasi dan kematian pada

14
orang dewasa. Pada kelompok anak – anak, fraktur juga tidak akan separah pada
orang dewasa yang dapat menyebabkan trauma ringan
4. Prioritas Keempat
Dokter segera melakukan tindakan operasi emergensi untuk memperbaiki kondisi
pasien dan mencegah komplikasi.
a. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi apabila tidak segera dilakukan
penanganan?
j. Kematian, Cacat permanen, Gangguan sistem pernapasan, Kerusakan jaringan
thorax, Respiratory system collapse, Cardiovascular system collapse, Blood Loss,
Permanent Trauma
VIII. SINTESIS
A. Fisiologi Pernapasan
1. Fisiologi ventilasi paru
Ventilasi paru adalah proses masuk keluarnya udara antara atmosfer dangan
alveoli paru. Pergerakan tersebut disebabkan oleh 3 tekanan, yaitu :
a. Tekanan pleura, yaitu tekanan cairan pada ruang antara pleura paru dan pleura
dinding dada. Normalnya besar tekanan ini sekitar -5 cmH2O, yang merupakan
nilai isap yang dibutuhkan untuk mempertahankan paru agar tetap terbuka
sampai nilai istirahatnya. Selama inspirasi normal, pengembangan rangka dada
akan menarik paru ke arah luar dengan kekuatan yang lebih besar dan
menyebabkan tekanan menjadi lebih negatif (sekitar -7,5 cmH2O).
b. Tekanan alveolus, yaitu tekanan udara di bagian dalam alveoli paru. Ketika
glotis terbuka dan tidak ada udara yang mengalir ke dalam atau keluar paru,
maka tekanan pada semua jalan nafas sampai alveoli, semuanya sama dengan
tekanan atmosfer yaitu tekanan 0 cmH2O. Agar udara masuk, tekanan alveoli
harus sedikit di bawah tekanan atmosfer. Tekanan sedikit ini (-1 cmH2O) dapat
menarik sekitar 0,5 liter udara ke dalam paru selama 2 detik. Selama ekspirasi,
terjadi tekanan yang berlawanan.
c. Tekanan transpulmonal, yaitu perbedaan antara tekanan alveoli dan tekanan
pada permukaan luar paru, dan ini adalah nilai daya elastis dalam paru yang
cenderung mengempiskan paru pada setiap pernapasan, yang disebut tekanan
daya lenting paru.

15
2. Fisiologi kendali persarafan
Ada 2 mekanisme neural terpisah untuk pengaturan persarafan
a. Mekanisme yang berperan pada kendali pernapasan volunter. Pusatnya terletak
di cortex cerebri dan impuls dikirimkan ke neuron motorik otot pernapasan
melalui jaras kortikospinal.
b. Mekanisme yang mengendalikan pernapasan otomatis. Pusatnya terletak di
pons dan medulla oblongata, dan keluaran eferen dari sistem ini terletak di rami
alba medulla spinalis di antara bagian lateral dan ventral jaras kortikospinal.
Serat saraf yang meneruskan impuls inspirasi, berkumpul pada neuron motorik
N. Phrenicus pada kornu ventral C3-C5 serta neuron motorik intercostales externa
pada kornu ventral sepanjang segmen toracal medulla. Serat saraf yang membawa
impuls ekspirasi, bersatu terutama pada neuron motorik intercostales interna
sepanjang segmen toracal medulla.
Neuron motorik untuk otot ekspirasi akan dihambat apabila neuron motorik
untuk otot inspirasi diaktifkan, dan sebaliknya. Meskipun refleks spinal ikut
berperan pada persarafan timbal-balik (reciprocal innervation), yang berperan
utama adalah aktivitas pada jaras descendens. Impuls melalui jaras descendens akan
merangsang otot agonis dan menghambat yang antagonis. Satu pengecualian
kecil pada inhibisi timbal balik ini adalah terdapatnya sejumlah kecil aktifitas pada
akson N.Phrenicus untuk jangka waktu singkat, setelah proses inspirasi. Fungsi
keluaran pasca inspirasi ini nampaknya adalah untuk meredam daya rekoil elastik
jaringan paru dan menghasilkan pernapasan yang halus.
3. Pengangkutan oksigen ke jaringan
Sistem pengangkut oksigen di dalam tubuh terdiri atas paru dan sistem
kardiovaskuler. Pengangkutan oksigen menuju jaringan tertentu bergantung pada
jumlah oksigen yang masuk ke dalam paru, adanya pertukaran gas dalam paru yang
adekuat, aliran darah menuju jaringan dan kapasitas darah untuk mengangkut
oksigen.
Aliran darah bergantung pada derajat konstriksi jalinan vaskular di dalam
jaringan serta curah jantung. Jumlah oksigen di dalam darah ditentukan oleh jumlah
oksigen yang larut, jumlah hemoglobin dalam darah dan afinitas hemoglobin
terhadap oksigen.

16
4. Kontraksi otot selama respirasi
a. Kontraksi otot inspirasi
Otot yang berkontraksi pada saat melakukan inspirasi sewaktu bernapas
tenang adalah diafragma dan otot interkostalis external. Sebelum inspirasi,
semua otot respirasi berada pada keadaan relaksasi. Pada saat onset inspirasi,
terjadi kontraksi otot – otot inspirasi yang memperbesar rongga toraks. Otot
utama pada saat inspirasi adalah diafragma, yang dipersarafi oleh nervus
frenikus yang pada saat relaksasi berbentuk kubah menonjol ke atas rongga ke
dalam rongga toraks. Ketika ada stimulasi dari nervus frenikus (berkontraksi)
diafragma turun dan memperbesar volume rongga toraks dengan meningkatkan
ukuran vertikalnya. Penurunan diafragma akan menekan isi abdomen ke bawah
dan kedepan sehingga bagian abdomen akan mengembang ke depan. Otot
interkostalis externa distimulasi oleh nervus interkostalis selama inspirasi yang
menyebabkan memperbesarkan rongga toraks ke arah lateral dan
anteroposterior.
Sewaktu toraks mengembang, paru – paru juga dipaksa untuk
mengembang untuk mengisi rongga toraks yang membesar sehingga tekanan
intra-alveolus turun karena jumlah molekul udara yang sama kini menempati
volume paru yang lebih besar. Adanya penurunan tekanan intraalveolus
menyebabkan udara masuk ke dalam paru–paru hingga tidak tekanan intra-
alveolus setara dengan tekanan atmosfer. Sehingga dapat dikatakan masuknya
udara tidak menyebabkan ekspansi paru – paru, melainkan ekspansi paru – paru
menyebabkan penurunan tekanan intra-alveolus sehingga udara masuk ke paru
– paru.
Selain otot interkostalis dan diafragma, inspirasi dapat diperkuat dengan
otot tambahan yaitu otot yang berada pada leher yang dapat mengangkat
sternum dan dua iga pertama. Adanya kontraksi dari otot ini akan menyebabkan
tekanan intraalveolus semakin menurun dan aliran udara yang masuk ke paru –
paru semakin besar.
b. Kontraksi otot ekspirasi
Pada akhir inspirasi, otot inspirasi melemas sehingga diafragma kembali
ke bentuk semula yang seperti kubah ketika berelaksasi. Pada saat otot
interkostalis external berelaksasi, tulang iga yang tadinya terangkat akan turun
karena gravitasi. Karena tidak ada gaya yang menyebabkan ekspansi dinding
17
dada, dinding dada yang semulanya terenggang akan mengalaimi rekoil ke
ukuran prainspirasinya karena sifat elastiknya. Pada saat paru – paru mengalami
rekoil, volumenya kembali mengecil sehingga tekanan intraalveolus akan
meningkat hingga 1 mmHg lebih besar dari tekanan atmosfer sehingga udara
dapat keluar dari paru – paru hingga tekanan intra-alveolus menjadi sama
dengan tekanan atmosfer.
5. Pertukaran gas
Pertukaran gas di tingkat kapiler paru dan kapiler jaringan berlangsung secara
difusi pasif sederhana O2 dan CO2 menuruni gradien tekanan parsial. Pada
pertukaran gas ini, tidak terdapat mekanisme transpor aktif.
Udara pada atmosfer terdiri atas 79% N2, dan 21% O 2, dengan persentase CO2,
uap air, gas lain, dan polutan diabaikan. Secara keseluruhan tekanan udara pada
atmosfer di ketinggian permukaan laut sebesar 760 mmHg. Tekanan total ini sama
dengan tekanan yang disumbangkan oleh tiap – tiap gas yang terdapat dalam
campuran.
Tekanan yang ditimbulkan oleh gas tertentu berbanding lurus dengan
persentase gas tersebut dalam campuran. Pada O2 tekanan saka dengan 160
mmHg karena terdapat 21% dari 760 mmHg, sedangkan N 2 memiliki tekanan 600
mmHg berasal dari persentase pada udara sebesar 79%. Tekanan yang ditimbulkan
secara independen oleh tiap – tiap molekul gas ini disebut dengan tekanan parsial,
dimana tekanan parsial O2 dalam atmosfer yang dapat dituliskan PO2 normalnya
sebesar 160 mmHg dan pada gas N2 normalnya 600 mmHg. Semakin besar
tekanan parsial gas tersebut maka semakin besar persentasi gas tersebut dalam
campuran.
Komposisi udara alveolus tidak sama dengan udara atmosfer karena :
a. Setelah udara atmosfer masuk ke saluran napas, pajanan saluran napas yang
lembab menjenuhkan udara dengan H2O. Seperti gas lainnya, uap air juga
menimbulkan tekanan parsial, pada suhu tubuh, tekanan parsial uap air sebesar
47 mmHg. Humidifikasi udara ini “mengencerkan” tekanan parsial gas – gas
inspirasi sebesar 47 mmHg. Karena jumlah tekanan harus sama dengan tekanan
atmosfer yaitu 760 mmHg maka dalam udara lembap tekanan H 2O sebesar 47
mmHg, tekanan O2 sebesar 150 mmHg, dan tekanan CO2 sebesar 563 mmHg
b. Tekanan O2 di alveolus lebih rendah dari pada tekanan O2 di atmosfer karena
udara yang masuk akan bercampur dengan sejumlah besar udara lama yang
18
berada di paru – paru ( volume residu ) . pada akhir inspirasi hanya sekitar 13%
udara di alveolus merupakan udara segar. Akibat kelembapan dan pertukaran
udara alveolus yang rendah ini, tekanan parsial O 2 alveolus rerata adalah 100
mmHg dibandingkan pada atmosfer sebesar 160 mmHg

Tekanan parsial O2 pada alveolus hanya berfluktuatif kecil karena sebagian


kecil udara alveolus total yang dipertukarkan setiap kali bernapas. Volume udara
yang kaya akan O2 yang relatif kecil cepat bercampur dengan volume udara alveolus
sisa yang jumlahnya jauh lebih banyak. Karena itu, O2 inspirasi hanya sedikit
meningkatkan tekanan parsial O2 pada alveolus.

Mekanisme pertukaran gas:

a. Tekanan parsial O2 alveolus tetap relatif tinggi dan tekanan parsial CO2
alveolus tetap relatif rendah karena sebagian dari udara alveolus ditukar dengan
atmosfer baru tiap kali bernapas
b. Darah vena sistemik yang masuk ke paru – paru relatif rendah O2 dan tinggi
CO2 karena telah menyerahkan O2 dan menyerap CO2 di tingkat kapiler sistemik
c. Hal ini menciptakan gradien tekanan parsial antara udara alveolus dan darah
kapiler paru yang memicu difusi pasif O2 ke dalam darah dan CO2 keluar darah
sampai tekanan parsial darah dan alveolus setara.
d. Karena itu, darah meninggalkan paru – paru relatif mengandung O2 tinggi dan
CO2 rendah. Darah ini disalurkan ke jaringan dengan kandungan gas darah yang
sama dengan ketika darah tersebut meninggalkan paru – paru
e. Tekanan parsial O2 relatif rendah dan CO2 relatif tinggi di sel jaringan yang
mengonsumsi O2 dan memproduksi CO2.
f. Akibatnya, gradien tekanan parsial untuk pertukaran gas di tingkat jaringan
mendorong perpindahan pasif O2 keluar darah menuju sel untuk menunjang
kebutuhan metabolik sel – sel tersebut dan juga mendorong perpindan secara
simultan CO2 ke dalam darah.
g. Setelah mengalami keseimbangan dengan sel – sel jaringan, darah yang
meninggalkan jaringan relatif mengandung O2 rendah dan CO2 tinggi.
h. Darah ini kemudian kembali ke paru untuk kembali diisi oleh O 2 dan
dikeluarkan CO2

19
B. Anatomi dan Topografi Regio Thorax
Cavitas thoracis adalah suatu ruangan berbentuk silinder tak beraturan dengan
lubang/bukan superior (apertura thoracia superior) yang sempit dan lubang/ bukan
inferior (apertura thoracica inferior) yang relatif lebih lebar. Cavitas thoracis terdiri
dari :

• Dinding
• 2 cavitas pleuralis
• Pulmo
• Mediastinum
Mediastinum merupakan ruang jaringan ikat yang memisahkan kedua rongga
pleura. Mediastinum terbagi menjadi mediastinum inferior yang berisi jantung, dan
mediastinum superior. Mediastinum inferior terbagi lagi menjadi mediastinum
anterior yang berada di depan jantung, mediastinum medium yang berisi
pericardium, dan mediastinum posterior di belakang pericardium. Mediastinum
termasuk di dalalamnya yaitu jantung yang berada di dalam kantong pericardium,
thymus, dan jalur neurovaskular menghubungkan rongga dada dengan leher melalui
Apertura thoracis superior, dan dengan abdomen melalui diaphragma.
Tulang

Elemen skeletal dinding thorax terdiri dari vertebra thoracica, discus intervertebralis,
costae, dan sternum.

20
a. Vertebrae thoracicae

Ada 12 vertebrae thoracicae, masing masing ditandai oleh persendian dengan


costa. Vertebrae thoracicae memiliki bentuk corpus vertebrae, seperti jantung.
Biasanya foramen vertebralenya melingkar dan laminanya lebar dan tumpang tindih
dengan lamina vertebralis di bawahnya.
Vertebrae thoracicae yang khas memiliki 3 tempat sendi dengan costae pada
masing-masing sisi
• Dua demifacies (yakni, facies parsial). Facies costalis superior bersendi dengan
sebagian dari caput costae yang bersesuaian dengannya, dan facies costalis
inferior bersendi dengan sebagian dari caput costae yang terletak di bawahnya.
• Facies ovalis (facies costalis transversus) pada bagian akhir processus
transversus bersendi dengan tuberculum costae yang bersesuaian dengannya.
Tidak semua vertebrae thoracicae bersendi dengan costa dengan cara yang
sama.
• Facies costa superior corpus vertebrae TI adalah lengkap dan bersendi dengan
satu facies pada caput costae yang bersesuaian dengannya—dengan kata lain,
caput costae 1 tidak bersendi dengan vertebra CVII.

21
• Hal yang serupa, vertebra TX (dan seringkali TIX) hanya bersendi dengan
costae yang bersesuaian dengannya sehingga tidak memiliki demifacies
inferior pada corpusnya.

• Vertebra TXI dan TXII hanya bersendi dengan caput costae yang bersesuaian
dengannya—vertebrae ini tidak memiliki facies costalis dan hanya memiliki
satu facies yang lengkap di setiap sisi corpusnya.

22
b. Costae

Terdapat 12 pasang costae, masing-masing berakhir dengan cartilago costalis


di sisi anterior. Meskipun semua costae bersendi dengan columna vertebralis.
hanya cartilago costalis 1-7, yang dikenal sebagai costae sejati/ costae verae,
bersendi langsung dengan sternum. Costae 8-12 merupakan costae palsu/ costae
spuriae:
• Di sebelah anterior cartilago costalis 8-10 bersendi dengan cartilago costalis di
bagian atasnya.
• Costae 11 dan 12 tidak memiliki hubungan anterior dengan costae lainnya
ataupun dengan sternum dan sering disebut sebagai costae melayang/costae
fluitantes.
Ciri khusus costae teratas dan terbawah :
1. Costa 1
Caput costae 1 bersendi dengan corpus vertebrae TI dan hanya memiliki
satu facies articularis. Tuberculumnya memiliki facies articularis untuk
bersendi dengan processus transversus. Permukaan superior costa memiliki
tuberculum yang khas, tuberculum scaleni, yang memisahkan dua sulcus
halus yang menyilang costa kira-kira pada pertengahan corpusnya.

23
2. Costa 2
Costa 2, seperti costa 1, pipih namun dua kali lebih panjang. Costa ini
bersendi dengan columna vertebralis seperti layaknya costae yang lain.
3. Costa 10
Caput costae 10 memiliki satu facies untuk persendian dengan vertebranya.
4. Costa 11 dan 12
Costae 11 dan 12 hanya bersendi dengan corpus vertebraenya dan tidak
memiliki tuberculum dan collum. Kedua costae ini pendek, memiliki sedikit
lengkungan, dan mengarah ke anterior.

c. Sternum
Sternum membentuk Incisura jugularis yang merupakan batas atas ventral dari
Apertura thoracis superior dan beraktikulasi dengan clavicula melalui incisurae
claviculares serta dengan costae I sampai VII melalui incisurae costales.
Manubrium dan Corpus dihubungkan melalui Symphysis[Synchondrosis]
manubrio sternalis, Corpus dan Proc. Xiphoideus melalui Symphysis
xiphosternalis.
Sternum terdiri dari tiga bagian besar, yaitu
• Manubrium sterni. Disini terdapat tempat perlekatan cartilago costalis pertama.
Pada bagian bawah tepi lateralnya juga terdapat demifacies untuk persendian
dengan setengah bagian atas ujung anterior cartilago costalis kedua.
• Corpus sterni. Di inferior demifacies ini terdapat empat facies persendian
dengan cartilago costalis III sampai VI.
• Processus xiphoideus. Bentuknya bervariasi: bisa lebar, tipis, menajam,
bercabang dua/bifida, melengkung, atau berbelah. Pada tiap sisi bagian tepi
lateral atasnya terdapat demifacies untuk persendian dengan ujung inferior
cartilago costalis ketujuh.

24
Sendi
a. Sendi-sendi costovertebralis
1. Sendi dengan caput costae
Kedua facies pada capitulum costa bersendi dengan facies superior
corpus vertebrae yang bersesuaian dan dengan facies inferior corpus vertebrae
di atasnya
2. Sendi-sendi costotransversarium
Sendi synovialis antara tuberculum costae dan processus transversus
vertebra yang bersesuaian. Sendi ini distabilkan oleh dua ligamentum
extracapsularia yang kuat, yaitu ligamentum costotransversarium dan
ligamentum costotransversarfum, serta distabilkan juga dengan ligamentum
costotransversarium superior. Gerakan menggeser ringan terjadi pada sendi-
sendi costotransversarium.
Bersama-sama, sendi costovertebralis dan ligamentum yang terkait
memungkinkan collum costae untuk berputar mengelilingi sumbu
longitudinalisnya, yang terutama terjadi pada costae atas, atau untuk bergerak naik
dan turun relatif terhadap columna vertebralis, yang terutama terjadi pada costae
bawah. Kombinasi gerakan seluruh costae pada columna vertebralis penting untuk
mengubah volume cavitas thoracis selama proses bernafas.

25
b. Sendi-sendi sternocostalis
Sendi-sendi sternocostalis adalah sendi-sendi antara cartilago costalis 1-7 dan
sternum. Sendi di antara costae 1 dan manubrium sterni bukan merupakan sendi
fibrocartilago, sedangkan sendi-sendi antara costae 2-7 dan sternum adalah sendi
synovialis dan memiliki capsula tipis yang diperkuat oleh ligamentum sternocostale
yang megelilinginya.
1. Sendi-sendi interchondrale
Sendi-sendi interchondrale terjadi antara cartilago costalis dari costae
yang bersebelahan, terutama antara cartilago costalis 7-10, tapi juga dapat
melibatkan cartilago costalis 5 dan 6. Sendi-sendi interchondrale merupakan
tempat melekat tidak langsung ke sternum dan sekaligus menyebabkan
terbentuknya tepi inferior arcus costalis yang halus. Sendi-sendi ini biasanya
synovialis, dan capsula fibrosa tipis diperkuat ligamentum interchondralis.
2. Sendi manubriosternalis dan sendi xiphisternalis
Sendi-sendi antara manubrium dan corpus sterni serta antara corpus
sterni dan processus xiphoideus biasanya adalah symphysis. Hanya gerakan
angulasi ringan yang terjadi antara manubrium dan corpus sterni selama
respirasi. Sendi antara corpus sterni dan processus xiphoideus seringkali
mengalami osifikasi seiring bertambahnya usia.
Lebih lanjut, angulus sternalis terletak di bidang horizontalis yang melewati
discus intervertebralis antara vertebra TIV dan TV. Bidang ini memisahkan
mediastinum superius dari mediastinum inferius dan menandai tepi superior
pericardium. Angulus sternalis juga memisahkan akhiran aorta ascendens dari
permulaan arcus aortae, akhiran arcus aortae dari permulaan aorta thoracica, dan
melewati bifurcatio trachea di superior truncus pulmonalis.

26
Otot
Musculi dinding thorax meliputi musculi yang mengisi dan menyangga spatium
intercostale (musculi intercostales externi, musculi intercostales interni, dan musculi
intercostales intimi); musculi yang melewati beberapa costae di antara tempat lekat
costanya (musculi subcostalis); dan musculi yang 1ewat di antara sternum dan costae
(musculi transversus thoracis).

Vaskularisasi
Pembuluh-pembuluh darah yang menyuplai dinding thorax terutama terdiri dari
arteriae intercostales posteriores dan arteriae intercostales anteriores, yang mengelilingi
dinding di antara costae yang berdekatan di dalam spatium intercostale. Arteriae ini
berasal dari aorta dan arteria thoracica interna, yang muncul dari arteria subclavia leher.

27
Bersama-sama, arteriae intercostales ini membentuk suatu anyaman vaskuler seperti
keranjang di sekeliling dinding thorax.
a. Arteriae intercostales posteriors
Arteriae intercostales posteriores berasal dari pembuluhpembuluh darah yang
terkait dengan dinding posterior thorax. Dua arteriae intercostales posteriores
teratas di setiap sisi berasal dari arteria intercostalis suprema, yang turun ke thorax
sebagai cabang truncus costocervicalis di leher. Truncus costocervicalis adalah
cabang posterior arteria subclavia
b. Arteriae intercostates anteriores
Arteriae intercostales anteriores berasal dari cabang lateral arteria thoracica
interna secara langsung atau tidak langsung. Kira-kira setinggi spatium intercostale
keenam, arteria thoracica interna terbagi menjadi dua cabang terminal, yaitu:
1. Arteria epigastrica superior, yang berlanjut ke inferior menuju dinding anterior
abdomen.
2. Arteria musculophrenica, yang melewati arcus costalis, menuju diaphragma,
dan berakhir di dekat spatium intercostale terakhir.
c. Drainase Vena
Biasanya drainase vena dari dinding thorax paralel dengan pola arteriaenya. Di
tengah. akhirnya venae intercostales akan mengalir menuju sistem vena azygos atau
menuju venae thoracica interna, yang berhubungan dengan venae brachiocephalica
di leher. Seringkali venae intercostales posteriores atas pada sisi kiri menyatu dan
membentuk vena intercostalis superior sinistra, yang bermuara ke dalam vena
brachiocephalica sinistra. Hal yang serupa, venae intercostales posteriores atas di
sisi kanan dapat menyatu dan membentuk venae intercostalis superior dextra, yang
mengalir menuju vena azygos.

28
Persarafan
Persarafan dinding thorax terutama oleh nervi intercostales, yang merupakan
rami anteriores nervi spinalis Tl-T11 yang terletak pada spatium intercostale di antara
costae yang bersebelahan. Ramus anterior nervus spinalis T12 (nervus subcostalis) ada
di bawah costa 12.
Nervus intercostalis yang khas melintas ke lateral mengelilingi dinding thorax
didalam spatium intercostale. Cabang-cabang terbesar adalah ramus cutaneus lateralis,
yang menembus dinding lateral thorax dan terbagi menjadi rami anterior dan posterior
yang mempersarafi kulit di atasnya. Nervi intercostales berakhir sebagai ramus
cutaneus anterior, yang muncul di parasternalis, atau di antara cartilago costalis yang
berdekatan, atau di lateral dari garis tengah tubuh, di atas dinding anterior abdomen,
untuk menyuplai kulit. Selain cabang-cabang utama ini, rami collateralis kecil dapat
ditemui di spatium intercostale yang berjalan di sepanjang tepi superior costae bawah.
Pada cavitas thoracis, nervi intercostales membawa:
a. Persarafan somatomotorium untuk musculi dinding thorax (intercostalis.
subcostalis. dan transversus thoracis).
b. Persarafan somatosensorium dari kulit dan pleura parietalis, dan
c. Serabut-serabut sympathicum postganglionares untuk daerah perifer.
Persarafan sensorius dari kulit di atas dinding thorax bagian atas disuplai oleh
rami cutaneus (nervi supraclaviculares), yang turun dari plexus cervicalis di leher.
Selain persarafan untuk dinding thorax, nervi intercostales mempersarafi daerah-daerah
lain:
a. Ramus anterior T1 ikut membentuk plexus brachialis.
b. Ramus cutaneus lateralis nervus intercostalis 2 (nervus intercostobrachiales) ikut
membentuk persarafan cutaneus permukaan medial lengan atas.
c. Nervi intercostales bawah menyuplai musculi, kulit, dan peritoneum parietalis
dinding abdomen.

29
C. Tracheobronchial tree
a. Struktur dan Fungsi
Tracheobroncial tree adalah saluran pernapasan yang terdiri dari trakea,
bronkus, dan bronkiolus atau sebagai organ respirasi komponen konduksi.
Struktur ini berawal dari trakea yang berhulu di laring dan bermuara di percabangan
bronkus. Fungsi utama dari trakea adalah untuk jalan kelluar masuk udara dari luar
tubuh ke dalam tubuh. Berlokasi di tengah tubuh dan berada di depan esofagus.
Percabangan dari trakea adalah bronkus, titik percabangan dari bronkus disebut
dengan carina. Trakea memiliki 16-20 cincin kartilago yang disambung oleh
membrane tipis untuk membentuk sebuah selang yang dinamakan trakea.
Trakea memiliki beberapa lapisan, yang terdapat adalah lapisan mukosa yang
memiliki epitel pseudostratified columnar bersilia dan goblet sel. Sel-sel tersebut
bertugas untuk mensekresi mucus yg melapisi permukaan dalam dari trakea yg
berfungsi untuk menangkap partikel asing seperti debu sebelum mencapai ke paru-
paru dan silianya berfungsi untuk mentraspor partikel asing tersebut keluar dari
tubuh.
Lapisan kedua adalah submucosa yang mengandung pembuluh darah dan
persyarafan, lapisan submucosa ini juga mengandung fiber elastin dan kolagen yang
memberikan trakea strukturnya yang kuat dan elastis. Pada lapisan ini juga terdapat
otot polos yang memungkinkan trakea untuk dapat merubah ukurannya atau untuk
proses kontraksi. Cincin kartilago hyalin yang memberi trakea rigiditasnya juga
berada di lapisan submucosa. Cincin kartilago ini tidak berbentuk cincin
sempurna, hal ini karena trakea perlu untuk mengecil ketika esofagus sedang
dimasuki makanan.

30
Lapisan terluar dari trakea adalah adventitia, yang terdiri dari connective tissue
longgar yang mengaikan trakea ke jaringan lain disekitarnya. Otot trakealis yang
ada di permukaan luar trakea juga membuat trakea mampu berkontraksi dan
mengatur ukurannya. Otot ini sangat vital untuk batuk, sebuah proses untuk
mengeluarkan partikel asing, saliva, atau makanan.
b. Embriologi
Proses perkembangan sistem respirasi dimulai saat embrio berusia 22 hari, dan
dibagi menjadi lima sesi yaitu: embryonc, pseudoglandular, canalicular, saccular,
dan alveolar. Maturasi dari sistem pernapasan manusia akan komplit pada usia
delapan tahun kehidupan
1. Embryonic (3 – 6 Minggu)
2. Pseudoglandular ( 5 – 17 Minggu)
3. Canalicular (16 – 25 Minggu)
4. Saccular (24 Minggu kelahiran)
5. Alveolar ( 36 Minggu – 8 Tahun kehidupan
c. Vaskularisasi
Vaskularisasi dari trakea bagian proximal disupply oleh percabangan artery
tracheoesophageal dari inferior thyroid arteri dan cabang subclavian, internal
mammary, dan innominate arteri. Trakea bagian distal, carina, dan bronkiolus
divaskularisasi oleh arteri bronkus yang berasal dari arkus aorta. Sebelum
memasuki trakea, tiap cabang pembuluh darah menjulur ke beberapa cincin trakea
dan menciptakan lateral longitudinal anastomosis. Dari anastomosis inilah, arteri
transverse intercartilaginous memasuki trakea. Pembuluh tersebut akan berakhir di
submucosal capillary plexus ketika sudah memasuki tengah jaringan pembentuk
trakea. Plexus inilah yang akan mensupply darah ke kartilago di trakea dan darah
untuk membrane trakea akan disupply oleh cabang kedua dari arteri
tracheoesophageal.
Vascularisasi ke paru-paru terdiri dari dua buah supplier, yaitu arteri bronkial
yang bertekanan tinggi dan arteri pulmonallis yang bertekanan rendah. Arteri
bronkial mensupply 1% total kebutuhan darah paru-paru dan mensupply
kebutuhan non- respiratory bagi paru-paru, pleura, pembuluh intrapulmonary,
dan sistem lymphatic. Arteri pulmonalis mesupply sisa 99% alliran darah ke paru-
paru dan bertugas untuk membawa darah yang kurang oksigen ke paru-paru untuk
ditukar dengan darah kaya oksigen.
31
d. Innervasi
Trakea memiliki sistem inervasi parasimpatis dari percabangan syaraf vagus
(CNX). Setelah keluar dari tenkorak, syaraf vagus bilateral berjalan menyusuri
aspek posterolateral dari arteri korotid sampai ke mediastinum superior
mediastinum. Syaraf reccurent laryngeal kanan yang pertama kali bercabang,
melewati bawah arteri sublaclavian kanan dan melintasi diatas celah
tracheosophagel kanan. Syaraf reccurent laryngeal kiri bercabang kebawah arkus
aorta, kea rah lateral dari ligament arteriosum, dan melewati diatas celah
tracheoesophageal kiri. Seiring berjalannya syaraf tersebut, syaraf-syaraf itu
mempersyarafi trakea dengan syaraf parasimpatis, syaraf somatic, dan syaraf
motoris. Kemudian kedua syaraf reccurent laryngeal memasuki faring. Kerusakan
pada syaraf reccurent laryngeal dapat menyebabkan vocal chord terparalisis yang
menyebabkan suara serak atau bahkan suara hilang. Persyarafan simpatis trakea
dipersarafi oleh middle cervical ganglia bilaterally.
e. Muskularisasi
Cincin kartilago di trakea disambungkan oleh membrane antar satu sama lain
dan oleh otot polos pada bidang transversal yang sama yang disebut otot trachealis.
Otot trachealis berfungsi untuk melakukan kontraksi salurang napas dengan cara
menarik kartilago di trakea untuk meningkatkan kekuatan batuk. Otot polos yang
terdapat di dinding dalam trakea berfungsi untuk proses bronchoconstriction.
f. Histologi
1. Laring
Epitel bersilia kolumnar semu dengan kelenjar seromukus di lamina
propria (mukosa laring) melapisi laring, meliputi pita suara semu dan ujung
ventrikel laring (depresi antara pita suara semu dan pita suara asli).
Sel goblet, kelenjar seromukus, nodul limfatik dan adiposit terdapat di
seluruh lamina propria hingga ujung ventrikel. Silia berfungsi untuk menopang
lapisan mukosa dan membantu mengurangi kerusakan yang disebabkan selama
fonasi (proses pita suara menghasilkan suara tertentu melalui getaran kuasi-
periodik). Karena konsentrasi nodul limfatiknya yang tinggi, ventrikel dikenal
sebagai tonsil laringeal.
Setelah melewati batas inferior ventrikel, epitel berubah lagi menjadi
epitel skuamosa berlapis non-keratin yang menutupi pita suara asli. Pada titik
ini, lamina propria bersifat avaskuler dan tipis. Lamina propria juga tidak
32
memiliki kelenjar dan jaringan limfatik. Lapisan sel tambahan
menggantikan sel-sel yang hilang selama fase getaran tertutup.
Serat elastis padat dari ligamen vokalis menonjol ke dalam lamina
propria dan menempel pada otot vokalis (otot rangka). Epitel kembali berubah
menjadi epitel bersilia kolumnar semu. Kartilago krikoid (hialin) membentuk
batas bawah antara laring dan trakea.

2. Trakea
Trakea melekat pada kartilago krikoid laring berkat membran
krikotiroid dan terletak di samping anterior esofagus. Pada dasarnya, trakea
adalah tabung mukokartilagen yang dilengkapi secara posterior oleh otot
trakea polos. Cincin tulang rawan hialin mencegah saluran udara runtuh selama
inspirasi.
Sepanjang lengkungan cincin berbentuk C, tunika adventitia
mengandung banyak adiposit, pembuluh darah dan saraf, dan menyatu dengan
perikondrium dari tulang rawan hialin.

Di cekungan cincin tulang rawan, lapisan submukosa memiliki banyak


kelenjar seromukosa, pembuluh darah, serat jaringan ikat yang longgar dan
jaringan limfatik yang tersebar. Lumen trakea memiliki banyak lipatan
mukosa di sepanjang dinding posterior yang tidak mempunyai tulang rawan

33
hialin. Lumen dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia semu dan sel goblet
(epitel pernapasan).

3. Bronkus Primer
Setelah 10--15 cm, trakea bercabang di karina dan membentuk bronkus
primer kiri dan kanan. Bronkus juga dicirikan oleh cincin tulang rawan
hialin berbentuk C. Lumennya juga dilapisi dengan epitel pernapasan.

4. Bronkus Sekunder
Bronkus primer memasuki paru-paru dan selanjutnya membelah
menjadi bronkus sekunder (intrapulmonal). Bronkus yang lebih kecil ini tidak
mempunyai cincin C, tetapi dibiarkan terbuka dengan lempengan tulang rawan
hialin. Lapisan epitel pernapasan berlanjut dari bronkus primer ke dalam
lumen bronkus intrapulmonal sekunder.
Lamina propria dibatasi oleh lapisan tipis otot polos yang juga
memisahkan lapisan otot polos sebelumnya dari lapisan submukosa (yang
mengandung kelenjar seromukosa). Kehadiran lapisan otot menyebabkan
lipatan mukosa yang signifikan di sepanjang lumen bronkus intrapulmonal.
5. Bronkus Tersier

34
Setiap bronkus sekunder membelah menjadi bronkus tersier dengan
lumen yang lebih kecil. Lempeng hialin masih ada, tetapi lebih kecil dan lebih
terpisah dibandingkan yang ada di sekitar bronkus sekunder. Mukosa lumen
juga menunjukkan lipatan akibat otot polos di dinding bronkus.
Kelenjar seromukus dan arteri dan vena yang lebih kecil juga dapat
diamati masing-masing di submukosa dan jaringan ikat sekitarnya. Pada tingkat
ini, alveoli dapat terlihat di sekitar bronkus meskipun alveoli belum terhubung
langsung dengan bronkus.

6. Pulmo dan Pleura


Rongga paru dilapisi oleh membrane pleural (pleura) yang juga
berefleksi di atas dan menutupi permukaan luar paru yang terdapat di dalam
rongga. Selama periode embrionik, paru yang berkembang mengalami
invaginasi (tumbuh ke dalam) saluran pericardioperitoncalis, primordia (awal)
cavitas pleuralis. Epitel coelom yang berinvaginasi menutupi primordia paru
dan menjadi pleura viscelaris. Epitel yang melapisi dinding saluran
pericardioperitonealis membentukpleura parietalis. Selama embryogenesis,
cavitas pleularis terpisah dari cavitas percardiaca dan peritonealis; namun, suatu
defek diaphragmatic kongenital dapat menyebabkan suatu hernia
diaphragmatika yang menghubungkan rongga peritoneal dengan salah satu
cavitas pleularis (biasanya bagian kiri), dan herniasi viscera abdominal ke
dalam toraks.

35
D. Pleura
a. Anatomi Pleura
Setiap paru tertanam pada dan ditutup pada kantong pleura serosa yang terdiri
dari dua membrane kontinu: pleura viceralis yang menginvestasi semua permukaan
paru yang membentuk permukaan luar yang berkilau dan pleura parietalis, yang
melapisi rongga paru. Rongga pleura -ruang potensial di antara lapisan pleura-
terdiri dari suatu lapisan kapiler cairan pleura serosa, yang melumasi permukaan
pleura dan memungkinkan lapisan-lapisan pleuran bergeser secara halus satu sama
lain selama respirasi. Tegangan permukaannya juga memberikan kohesi yang
menjaga permukaan paru bersentuhan dengan dinding toraks; akibatnya, paru
mengembang dan terisi udara. Ketika toraks mengembang sementara masih
memungkinkan terjadinya pergeseran.

Pleura visceralis (pleura pulmonalis) menutupi paru dan menempel pada semua
permukaannya, yang meliputi permukaan di dalam fissure horizontalis dan obliqua;
pleura tersebut tidak dapat didiseksi dari permukaannya. Pleura viscelaris
memberikan paru permukaan yang llici dan halus, yang memungkinkannya
bergerak bebas pada pleura parietalis. Pleura visceralis berlanjut dengan pleura
parietalis pada hilum paru, tempat struktur-struktur yang Menyusun akar paru
(misalnya, bronkus dan pembuluh darah paru) masuk dan meninggalkan paru.
Pleura visceralis dipersarafi oleh persarafan otonom dari plexus pulmonalis.
Sedangkan pleura visceralis terbagi menjadi tiga area sesuai dengan topografinya
yaitu :

36
Area Letak Inervasi
Facies Costalis Posisi lateral Nervus intercostalis
Facies Diaphragmatica Di bawah margo inferior Nervus phrenicus dan di
sekitar pinggirnya
dipersarafi oleh enam
nervus intercostalis bagian
bawah

Facies Mediastinalis Sisi medial margo anterior Nervus phrenicus


dan pada margo posterior
yang tumpul

Pleura parietalis melapisi rongga paru, sehingga menempel pada dinding toraks,
mediastinum, dan diphragma. Pleura tersebut lebih substansial daripada pleura
vaskularis dan pada pembedahan dan diseksi mayat, lapisan itu dapat dipisahkan
dari permukaan yang menutupinya. Pleura parietalis terdiri dari empat bagian:
- Pars costalis menutupi permukaan interna dinding toraks
- Pars mediastinalis menutupi aspek lateral mediastinum—massa jaringan dan
organ yang memisahkan rongga paru dan kantong pleuranya
- Pars diaphragmatica menutupi permukaan superior atau torasik diaphragma
pada setiap sisis mediastinum
- Pleura cervicalis memanjang di seluruh apertura throacis superior ke dalam
akar leher, yang membentuk kubah plueral berbentuk kubah pada apex paru
(bagian yang membentang di atas costa I)

37
Resesus pleura adalah area rongga yang tidak berisi jaringan paru. Area ini
muncul pada saat pleura periental bersilangan dari satu permukaan ke permukaan
lain.
Recessus costomediastinalis Di anterior, recessus costomedistinalis berada di
setiap sisi, di tempat pleura costalis dihadapkan dengan pleura mediastinalis. Yang
terbesar ada di sisi kiri, pada daerah yang menutupi jantung
Recessus costodiaphragmaticus Recessus terbesar dan penting secara klinis
adalah recessus costodiaphragmaticus, yang terjadi di setiap cavitas pleuralis di
antara pleura costalis dan pleura diaphragmatica. Recessus costodiaphragmaticus
adalah daerah di antara tepi inferior pulmo dan tepi inferior cavitas pleuralis.
Recessus ini terdalam setelah ekspirasi paksaan dan terdangkal setelah inspirasi
paksaan.
Recessus pleurales Pulmo tidak mengisi seluruh daerah anteroinferior atau
posteroinferior cavitas pleuralis. Hal ini mengakibatkan terjadinya recessus dengan
kedua lapis pleura parietalis terletak berhadapan. Biasanya ekspansi pulmo ke
dalam ruang ini terjadi hanya saat inspirasi paksaan; recessus juga menyebabkan
terbentuknya suatu ruang potensial, sehingga cairan dapat terkumpul dan dapat
diaspirasi.

38
b. Histologi

c. Pleura merupakan membran serosa yang berhubungan dengan setiap paru dan
rongga toraks.
1. Diagram ini menggambarkan pleura parietalis yang melapisi permukaan
internal rongga toraks dan pleura viseralis yang melapisi permukaan eksternal
paru. Di antara kedua lapisan tersebut, terdapat celah sempit rongga pleura.
2. Kedua lapisan serupa secara histologis dan terdiri atas mesotel skuamosa selapis
(M) atau pada selapis tipis jaringan ikat, seperti yang diperlihatkan pada gambar
ini untuk pleura viseralis yang melapisi alveoli (A). Jaringan ikat kaya akan
serat kolagen dan elastin serta mengandung pembuluh darah (V) dan pembuluh
limfe (L). 140X.
E. Paru
a. Anatomi
Pulmo merupakan organ respirasi dan terletak di masing-masing mediastinum
dilkelilingi oleh cavitas pleuralis dexter dan sinister. Udara memasuki dan
meninggalkan pulmo melalui bronchus principalis, yang merupakan cabang
trachea. Arteria pulmonalis dextra dan sinistra mengalirkan darah deoksigenasi ke
pulmo dari ventriculus dexter cordis. Darah teroksigenasi kembali ke atrium
sinistrum melalui venae pulmonales. Normal pulmo dexter sedikit lebih besar
dibandingkan pulmo sinister karena mediastinum medium, yang berisi jantung,
lebih menonjol ke kiri dibandingkan ke kanan.

39
Tiap pulmo memiliki bentuk separuh kerucut, dengan basis, apex, dua
permukaan, dan tiga batas-batas
• Basis berada di atas diaphragma
• Apex berproyeksi di atas costa 1 dan ke dalam pangkal leher.
• Dua permukaan-facies costalis terletak langsung berdekatan dengan costae
dan spatium intercostale dinding cavitas thoracis. Di anterior, facies
mediastinalis terletak berhadapan dengan mediastinum dan di posterior
dengan columna vertebralis dan berisi hilum pulmonis yang berbentuk koma,
yang melaluinya banyak struktur masuk dan keluar.

• Tiga batas-margo inferior pulmo tajam dan terpisah dari basis permukaan
costalis. Margo anterior dan posterior memisahkan facies costalis dari
permukaan medial. Tidak seperti margines anterior dan inferior, yang tajam,
margo posterior halus dan membulat.
• Radix dan hilum
Radix setiap pulmo merupakan kumpulan struktur tabung pendek yang
bersama-sama melekatkan pulmo ke struktur-struktur di mediastinum. Radix
ditutupi oleh selubung pleura mediastinalis yang terrefleksi ke permukaan
pulmo sebagai pleura visceralis. Daerah yang dibatasi oleh refleksi pleura di
permukaan medial pulmo ini adalah hilum, tempat struktur-struktur masuk
dan keluar.
Di dalam setiap radix pulmonis dan hilum terdapat :
1. Arteria pulmonatis.

40
2. Dua venae pulmonales,
3. Satu bronchus principalis,
4. Pembuluh-pembuluh darah bronchialis.
5. Nervi, dan
6. Lymphatici.
• Pulmo dexter

Pulmo dexter memiliki tiga lobus dan dua fissura Normal, lobus
bergerak bebas terhadap satu dengan yang lain karena lobus-lobus ini
terpisah, hampir sampai hilum, oleh invaginasi pleura visceralis. Invaginasi ini
membentuk:
1. Fissura obliqua memisahkan lobus inferior (lobus bawah) dari lobus
superior dan lobus medius pulmo dexter:
2. Fisura horizontalis memisahkan lobus superior (lobus atas) dari lobus
medius.
Permukaan medial pulmo dexter terletak berdekatan dengan beberapa
struktur penting di mediastinum dan pangkal leher, Ini meliputi:
1. Cor
2. Vena cava inferior
3. Vena cava superior
4. Vena azygous, dan
5. Esophagus

41
Arteria dan vena subclavia dextra dan lengkungan venae melewati dan
berhubungan dengan lobus superior pulmo dexter saat pembuluh tersebut
melintasi kubah pleura cervicalis dan saat menuju axilla.

• Pulmo sinister

Pulmo sinister lebih kecil dibandingkan pulmo dexter dan rnemiliki dua
lobus yang terpisah oleh fissura obliqua. Fissura obliqua pulmo sinister sedikit
lebih serong dibandingkan dengan fissura yang sesuai pulmo dexter.

Permukaan terbesar lobus superior berkontak dengan bagian atas


dinding anterolateral, dan apex lobus ini berproyeksi ke dalam pangkal leher.
Facies costalis lobus inferior berkontak dengan dinding posterior dan inferior.
Bagian inferior permukaan medial pulmo sinister, tidak seperti pulmo dexter,
mempunyai takik/incisura akibat proyeksi cor ke dalam cavitas pleuralis sinister
dari mediastinum medium. Dari margo anterior bagian bawah lobus superior,
pemanjangan berbentuk seperti lidah (lingula pulmonis sinistri) berproyeksi
di atas tonjolan cor.

42
Permukaan medial pulino sinister terletak berdekatan dengan beberapa
struktur penting di medistinum dan pangkal leher. Struktur-struktur ini
termasuk :

1. Cor
2. Arcus aortae
3. Aorta thoracica
4. Esophagus

Arteri dan vena subclavia sinistra dan melengkung di atas dan terikat
dengan lobus superior pulmo sinister saat pembuluh tersebut melewati kubah
pleura cervicalis dan ke dalam axilla.

b. Histologi

Sistem pernapasan terdiri atas paru dan saluran napas, dibagi menjadi bagian
konduksi dan bagian respirasi. Bagian konduksi terdiri dari rongga hidung,
nasofaring, laring, trakea, bronki, bronkiolus dan bronkiolus terminalis. Bagian
respirasi terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, sakus alveolaris,
dan alveoli.

c. Mekanisme Pernapasan
• Dalam Keadaan Normal
1. Pernapasan Dada
Fase inspirasi pada pernapasan dada terjadi akibat aktivitas otot-otot antar
tulang rusuk.

43
Otot-otot antar tulang rusuk -> berkontraksi -> tulang rusuk terangkat
menyebabkan rongga dada membesar -> tekanan udara dalam paru-paru
menurun -> udara dari lingkungan masuk ke dalam paru-paru melewati
hidung.
Fase ekspirasi terjadi ketika otot-otot antar tulang rusuk berelaksasi.
Tulang rusuk kembali pada posisi semula -> menyebabkan mengecilnya
rongga dada -> tekanan udara dalam paru-paru meningkat kembali ->
mengakibatkan keluarnya udara dari paru-paru ke lingkungan.
2. Pernapasan Perut
Inspirasi pada pernapasan perut terjadi akibat aktivitas otot-otot diafragma.
Otot diafragma berkontraksi -> diafragma akan mendatar -> menyebabkan
membesarnya rongga dada -> tekanan udara dalam paru-paru menurun ->
udara dari lingkungan masuk dari lingkungan ke dalam paru-paru melewati
hidung.
Fase ekspirasi terjadi ketika otot diafragma berelaksasi.
Diafragma kembali pada posisi semulanya yaitu melengkung ke atas ->
menyebabkan rongga dada mengecil -> tekanan udara dalam paru-paru
meningkat kembali -> mengakibatkan udara dalam paru-paru keluar ke
lingkungan.

F. Histologi Jaringan dan Organ Sistem Respirasi


Sistem respirasi pada manusia dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian
penghantar dan bagian respiratorik. Bagian penghantar merupakan bagian sistem
respirasi yang menghantarkan udara ke paru dan dari paru dalam proses pertukaran gas
sedangkan bagian respiratorik merupakan bagian sistem respirasi yang berupa saluran
pernapasan di dalam paru yang tidak hanya menghantarkan udara, tetapi juga
memungkinkan berlangsungnya respirasi atau pertukaran gas. Bagian penghantar dan
bagian respiratorik dipisahkan oleh brokiolus respiratorius yang merupakan transisi
dari bagian penghantar ke bagian respiratorik.
a. Bagian konduksi sistem pernapasan terdiri atas rongga hidung, faring, laring,
trakea, bronkus ekstra-pulmonal, dan serangkaian bronkus dan bronkiolus
intrapulmonal dengan diameter yang semakin kecil yang berakhir sebagai
bronkiolus terminalis. Bagian konduksi memiliki dua fungsi utama yaitu:

44
b. Menyediakan sarana bagi udara yang keluar masuk paru
c. Mengondisikan udara yang dihirup tersebut.

Untuk menjamin kelangsungan pasokan udara yang kotinu, kombinasi tulang


rawan, serat elastin dan kolagen, dan otot polos, memberikan bagian konduksi ini sifat
kaku dan fleksibilitas serta ekstensibilitas yang diperlukan.

a. Bagian respiratorik merupakan tempat berlangsungnya pertukaran gas yang terdiri


atas bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, dan alveoli. Alveoli merupakan
struktur mirip kantung yang membentuk sejumlah besar bagian paru. Alveoli adalah
tempat utama bagi paru yang berfungsi sebagai tempat pertukaran oksigen dan
karbondioksida antara udara yang dihirup dan darah.
1. Rongga Hidung
Rongga hidung kiri dan kanan terdiri atas dua struktur: vestibulum di
luar dan rongga hidung (atau fossa nasalis) di dalam. Kulit hidung memasuki
nares (cuping hidung) yang berlanjut ke dalam vestibulum dan memiliki
kelenjar keringat, kelenjar sebasea, dan vibrisa (bulu hidung) yang menyaring
partikel-partikel besar dari udara inspirasi.
Vestibulum adalah bagian paling anterior dan paling lebar di setiap
rongga hidung. Rongga hidung berada di dalam tengkorak berupa dua bilik
kavernosa yang dipisahkan oleh septum nasi oseosa. Dari setiap dinding lateral,
terdapat tiga tonjolan bertulang mirip rak yang dikenal sebagai conchae. Concha
media dan inferior ditutupi dengan epitel pernapasan; langit-langit rongga
hidung dan conchae superior ditutupi dengan epitel penciuman khusus.
• Epitel Respiratorik
Sebagian besar rongga hidung dan jalur sistem pernafasan sebagian dilapisi
dengan mukosa memiliki epitel kolumnar bersilia pseudostratifid. Epitel ini
sedikitnya memiliki lima jenis sel, yang kesemuanya menyentuh membran
basal yang tebal :
a. Sel kolumnar bersilia yang paling banyak, masingmasing dengan 250-
300 silia pada permukaan apikalnya.
b. Sel goblet juga banyak dijumpai di sejumlah area epitel respiratorik,
yang terisi di bagian apikalnya dengan granula glikoprotein musin.
c. Sel sikat (brush cells) adalah jenis sel kolumnar jauh lebih sedikit, di
mana permukaan apikal kecil dan jarang, mikrovili tumpul. Sel sikat
45
reseptor kemosensori menyerupai sel gustatoris, dengan komponen
transduksi sinyal yang sama dan kontak sinaptik dengan ujung saraf
aferen pada permukaan basal.
d. Sel granula kecil (atau sel Kulchitsky) juga sulit ditemukan pada
sediaan rutin, tetapi memiliki banyak granula padat diameter 100-300
nm. Seperti sel-sel enteroendokrin dari usus, adalah bagian dari sistem
neuroendokrin difus. Seperti sel sikat, sel-sel ini hanya mewakili sekitar
3% dari sel-sel di epitel pernapasan.
e. Sel basal, yaitu sel bulat kecil pada membran basal tetapi tidak meluas
sampai permukaan lumen epitel, merupakan sel punca yang membentuk
jenis sel lain.

• Epitel Menghidu (Olfaction)


Udara yang masuk ke paru-paru mula-mula melewati bagian atap atau
superior rongga hidung. Di atap hidung terdapat epitel yang sangat khusus,
yaitu epitel olfaktorius, yang mendeteksi dan meneruskan bau-bauan. Sel
olfaktorius terentang di seluruh ketebalan epitel dan berakhir di permukaan
epitel olfaktorius berupa bulbus bulat yang kecil yaitu vesikel olfaktorius.
Epitel ini merupakan epitel bertingkat silindris yang terdiri atas tiga jenis
sel :
46
a. Neuron olfaktorius adalah neuron bipolar yang berada di seluruh epitel
ini serta berada di antara sel penyokong dan sel basal. Epitel ini
memiliki inti lonjong atau bulat. Ujung dendrit setiap neuron bipolar
merupakan ujung apikal (luminal) sel dan memiliki tonjolan dengan
sekitar lusinan badan basal. Dari badan basal tersebut, silia panjang
nonmotil menonjol dengan aksonema tetapi memiliki luas permukaan
yang bermakna untuk kemoreseptor membran. Reseptor tersebut
berespon terhadap zat pembau dengan menimbulkan potensial aksi di
sepanjang akson (basal) neuron. Akson meninggalkan epitel dan
bersatu di lamina propria sebagai saraf yang sangat kecil yang
kemudian melalui foramina di lamina cribriformis ossis ethmoidalis ke
otak. Ditempat tersebut, saraf ini membentuk saraf kranial I, nervus
olfaktorius.
b. Sel penyongkong berbentuk kolumnar dengan apeks silindris, dasar
yang lebih sempit, dan memiliki inti lonjong yang terletak apikal atau
supervisial di epitel. Pada permukaan bebasnya terdapat mikrovili, yang
terendam dalam selapis cairan. Kompleks tautan yang berkembang baik
mengikat sel-sel penyongkong ada sel-sel olfaktori di sebelahnya. Peran
suportif sel-sel ini tidak begitu dipahami, tetapi sel tersebut memiliki
banyak kanal ion dengan fungsi yang tampaknya diperlukan untuk
memelihara lingkungan mikro yang kondusif untuk fungsi penghidup
dan ketahanan hidup.
c. Sel-sel basal adalah sel kecil, sferis atau terbentuk kerucut dan
membentuk suatu lapisan di lamina basal. Sel-sel ini adalah sel puncak
untuk kedua tipe sel lainnya. Sel basal merupakan sel pendek yang
terletak di basis epitel, di antara sel penyokong dan sel olfaktorius.
Di bawah epitel di jaringan ikat terdapat kelenjar olfaktorius serosa.
Silia olfaktorius nonmotil yang panjang dan terletak sejajar dengan
permukaan epitel, terjulur dari setiap vesikel olfaktorius. silia nonmotil ini
berfungsi sebagai reseptor bau. Berbeda dari epitel respiratorik (epithelium
respiratorium), epitel olfaktorius tidak memiliki sel goblet atau silia motil.
Di jaringan ikat tepat di bawah epitel olfaktorius terdapat saraf olfaktorius
(nervi olfactorii) dan kelenjar olfaktorius (glandula olfactoria). Kelenjar
olfaktorius (Bowman) menghasilkan cairan serosa yang membasahi silia
47
olfaktorius dan berfungsi sebagai pelarut molekul bau untuk dideteksi oleh
sel olfaktorius.
Apeks dan basis sel olfaktorius pipih. Permukaan apikalis sel olfaktorius
mengandung mikrovili nonmotil halus yang terjulur ke dalam mukus yang
menutupi permukaan epitel. Dari basis sel olfaktorius terjulur akson yang
berjalan ke dalam lamina propria berupa berkas saraf olfaktorius tidak
bermielin atau fila olfactoria. Saraf olfaktorius meninggalkan rongga
hidung dan masuk ke dalam bulbus olfaktorius di dasar otak. Transisi dari
epitel olfaktorius menjadi epitel respiratorik terjadi secara tiba-tiba. Epitel
respiratorik adalah epitel bertingkat semu silindris dengan silia dan banyak
sel goblet. Lamina propria di bawahnya mengandung banyak kapiler,
pembuluh limfe, arteriol , venula dan kelenjar olfaktorius (Bowman)
tubuloasinar serosa yang bercabang. Kelenjar olfaktorius mencurahkan
sekretnya melalui duktus eksretorius kecil yang menembus epitei
olfaktorius. Sekret dari kelenjar olfaktorius membasahi permukaan epitel,
melarutkan molekul zat yang berbau, dan merangsang sel olfaktorius.
Terdapat perbedaan signifikan antara epitel respiratorik dan epitel
olfaktorius, di mana epitel respiratorik dilapisi oleh silia motil dan
mengandung sel goblet, sementara epitel olfaktorius tidak memiliki silia
dan sel goblet tetapi memiliki inti sel penyokong di dekat permukaan epitel,
inti sel olfaktorius yang menerima rangsang bau, yang terletak di bagian
tengah epitel, dan sel basal yang berada di dekat membrana basalis. Di
bawah epitel olfaktorius di jaringan ikat lamina propria terdapat pembuluh
darah, saraf olfaktorius, dan kelenjar olfaktorius (bowman).

48
2. Sinus dan Nasofaring
Sinus paranasalis adalah rongga bilateral di tulang frontal, maksila,
ethmoid, dan sfenoid tengkorak. Sinus-sinus ini dilapisi oleh epitel respiratorik
yang lebih tipis dengan sedikit sel goblet. Sinus paranasalis berhubungan
langsung dengan rongga hidung melalui lubang-lubang kecil dan mucus yang
dihasilkan dalam sinus ini terdorong kedalam hidung sebagai akibat dari
aktivitas sel-sel epitel bersilia.
Nasofaring adalah bagian pertama faring yang berlanjut sebagai
orofaring ke arah kaudal yaitu bagian posterior rongga mulut. Nasofaring
dilapisi oleh epitel respiratorik dan memiliki tonsil pharyngealis di media dan
muara bilateral tuba auditorius untuk setiap telinga tengah.
3. Laring
Laring adalah saluran kaku yang pendek (4 cm x 4 cm) untuk udara
antara faring dengan trakea. Dindingnya diperkuat oleh kartilago hialin (di
tiroid, krikoid, dan cartilago arytenoid inferior) dan kartilago elastis yang lebih
kecil (di epiglotis, cuneiformis, cornikulatum, dan cartilago arytenoid superior),

49
yang kesemuanya dihubungkan oleh ligamen. Selain menjaga agar jalan napas
terbuka, pergerakan kartilago ini oleh otot rangka berperan pada produksi suara
selama fonasi.
Plika vokalis palsu (superior), juga disebut pita suara, dilapisi oleh
mukosa yang bersambungan dengan permukaan posterior epiglotis. Seperti di
epiglotis, plika vokalis palsu dilapisi oleh epitel bertingkat semu silindris
bersilia dengan sel goblet. Di lamina propria terdapat banyak kelenjar campuran
seromukosa. ouktus ekskretorius dari kelenjar campuran ini bermuara di
permukaan epitel. Banyak nodulus limfoid, pembuluh darah, dan sel adiposa
juga terletak di lamina propria plika vokalis palsu.
Ventrikulus adalah lekukan atau resesus dalam yang memisahkan plika
vokalis palsu (superior) dari plika vokalis seiati (inferior). Mukosa di dinding
ventrikulus mirip dengan mukosa plika vokalis palsu . Nodulus limfoid lebih
banyak di daerah ini dan kadang-kadang disebut “tonsil laringeal”. Lamina
propria menyatu dengan perikondrium tulang rawan hialin tiroid . Submukosa
tidak terlihat jelas. Dinding bawah ventrikulus membuat peralihan menjadi
plika vokalis sejati. Mukosa plika vokalis seiati dilapisi oleh epitel berlapis
gepeng tanpa lapisan tanduk dan lamina propria padat yang tipis tanpa kelenjar,
jaringan limfoid, atau pembuluh darah. Di apeks plika vokalis sejati yaitu
ligamentum vokalis dengan serat elastik padat yang meluas ke dalam lamina
propria dan otot rangka vokalis di dekatnya. Otot rangka tiroaritenoid dan tulang
rawan tiroid membentuk bagian dinding lainnya. Epitel laring bagian bawah
berubah menjadi epitel bertingkat semu silindris bersilia, dan lamina propria
mengandung kelenjar campuran seromukosa. tulang rawan hialin krikoid
adalah tulang rawan terbawah di laring.

50
Epiglotis adalah bagian superior laring yang menonjol ke atas dari
dinding anterior laring. Struktur ini memiliki permukaan lingualis dan laringeal.
Kerangka epiglotis dibentuk oleh tulang rawan elastik epiglotis di bagian
tengah. Mukosa lingual (sisi anterior) dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa
lapisan tanduk. Lamina propria di bawahnya menyatu dengan jaringan ikat
perikondrium tulang rawan elastik epiglotis. Mukosa lingual dengan epitel
berlapis gepeng melapisi apeks epiglotis dan sekitar separuh dari mukosa
laringeal . Ke arah basis epiglotis di permukaan laringeal, epitel berlapis gepeng
berubah menjadi epitel bertingkat semu silindris bersilia. Di bawah epitel di
lamina propria pada sisi laringeal epiglotis terdapat kelenjar seromukosa
tubuloasinar. Selain lidah, kuncup kecap dan nodulus limfoid soliter mungkin
terlihat di epitel lingualis atau epitel laryngeal. Di bawah ini merupakan gambar
epiglotis pada potongan longitudinal.

51
Di bawah epiglotis dan laring vestibularis, mukosa menunjukkan ke
lumen bilateral dengan dua pasang lipatan dipisahkan oleh celah sempit atau
vertikel. Pasangan atas, yaitu plica vestibularis atau pita suara palsu, yang
sebagian dilapisi epitel respiratorik yang di bawahnya terdapat banyak kelenjar
seromukosa. Pasangan lipatan bawah membentuk pita suara sejati atau plica
vocalis (atau tali), memiliki berkas serat elastis parallel.
Lipatan vokal ditutupi dengan epitel skuamosa stratifid yang melindungi
mukosa dari abrasi dan pengeringan dari gerakan udara yang cepat.
Sebuah bundel biasa yang padat pada jaringan ikat yang elastis, ligamentum
vokal, mendukung tepi bebas dari setiap lipatan vokal.
Mendalam untuk mukosa tiap lipatan vokal yang bundel besar dari serat
lurik yang terdiri dari otot vocalis.
Selama fonasi otot vocalis menarik vokal dipasangkan lipatan bersama-
sama (adduksi), mempersempit ruang intervensi luminal, yang rima glottidis,

52
dan udara dikeluarkan dari paru-paru menyebabkan vokal adduksi lipatan
bergetar dan menghasilkan suara.

4. Trakea
Trakea adalah saluran dengan panjang 12-14 cm. Dinding trakea dilapisi
oleh epitel respiratorik khas yang terletak dibawah jaringan ikat dan kelenjar
seromukosa pada lamina propria. Submukosa memiliki cincin kartilago hialin
yang berbentuk huruf C yang dilapisi oleh perikondrium dan berfungsi menjaga
trakea tetap terbuka. Cairan mukosa encer yang dihasilkan sel goblet dan
kelenjar membentuk suatu lapisan yang memungkinkan pergerakan silia
mendorong partikel asing secara kontinu keluar dari system pernapasan di
ekskalator mukosiliar. Pintu masuk pada cincin kartilago berada pada
permukaan posterior, yang berhadapan dengan esophagus, dan memiliki otot
polos dan jaringan elastis. Hal ini memungkinkan distensi lumen trakea ketika
sebagian makanan melewati esophagus. M.Trachealis di pintu masuk kartilago

53
C juga berkontraksi selama refleks batuk untuk menyempitkan lumen trakea
dan menghasilkan dorongan udara dengan kuat dan mengeluarkan mucus dari
saluran napas.
Lalu, dinding trakea terdiri dari empat lapisan, yaitu mukosa,
submukosa, tulang rawan hialin, dan adventisia. Tulang rawan hialin dikelilingi
oleh jaringan ikat padat perikondrium, yang menyatu dengan submukosa di satu
sisi dan adventisia di sisi yang lain. Banyak saraf, pembuluh darah, dan jaringan
adiposa terletak di adventisia. Celah di antara ujung posterior tulang rawan
hialin terisi oleh otot polos trakealis . Otot trakealis terletak di jaringan ikat jauh
di dalam membrana elastika mukosa. Sebagian besar serat otot trakealis
berinsersi di perikondrium yang melapisi tulang rawan hialin . Lumen trakea
dilapisi oleh epitel bertingkat semu silindris bersilia dengan sel goblet. Lamina
propria di bawahnya mengandung serat jaringan ikat halus, jaringan limfoid
difus, dan kadangkala nodulus limfoid soliter. Jauh di dalam lamina propria
terdapat membrana elastika longitudinalis yang dibentuk oleh serat elastik.
Membrana elastika memisahkan lamina propria dari submukosa, yang
mengandung jaringan ikat longgar mirip dengan yang terdapat di lamina
propria. Di submukosa ditemukan kelenjar trakealis seromukosa tubuloasinar
yang duktus sekskretoriusnya berjalan menembus lamina propria ke lumen
trakea. Mukosa menunjukkan lipatan mukosa di sepanjang dinding posterior
trakea tempat tulang rawan hialin tidak ada. Kelenjar trakealis seromukosa yang
terdapat di submukosa dapat meluas dan terlihat di adventisia.

54
5. Paru (Pandangan Menyeluruh)

Histologi bronkus intrapulmonal mirip dengan histologi trakea dan


bronkus ekstrapulmonal, kecuali bahwa di bronkus intrapulmonal, cincin tulang
rawan trakea bentuk-C diganti dengan lempeng tulang rawan. Semua tulang
rawan di trakea dan paru adalah tulang rawan hialin. Dinding bronkus
intrapulmonal diidentifikasi oleh adanya lempeng tulang rawan hialin . Bronkus
juga dilapisi oleh epitel bertingkat semu silindris bersilia dengan sel goblet.
Dinding bronkus intrapulmonal terdiri dari lamina propria yang tipis, lapisan
tipis otot polos, submukosa dengan kelenjar bronkialis, lempeng tulang rawan
hialin, dan adventisia. Ketika bronkus intrapulmonal bercabang menjadi
bronkus yang lebih kecil dan bronkiolus, ketinggian epitel dan tulang rawan di
sekitar bronkus berkurang, sampai kadangkala hanya ditemukan potongan kecil
tulang rawan. Bronkus dengan diameter kurang dari 1 mm tidak memiliki tulang
rawan. Di bronkiolus, lumen dilapisi oleh epitel bertingkat semu silindris
bersilia dengan adakalanya ditemukan sel goblet. Lumen menunjukkan lipatan
mukosa akibat kontraksi lapisan otot polos. Kelenjar bronkialis dan lempeng
tulang rawan sudah tidak ada, dan bronkiolus dikelilingi oleh adventisia, suatu
nodulus limfoid dan vena dekat adventisia menyertai bronkiolus.

55
6. Percabangan Bronkus dan Paru
Pada percabangan antara bronkus dan paru, terdapat bronkus,
bronkiolus, duktus alveoris, dan alveolus. Bronkiolus merupakan jalan napas
intralobular dengan diameter 5mm atau kurang, terbentuk setelah generasi ke
10 percabangan, dan tidak memiliki katilago maupun kelenjar pada mukosanya.
Bronkiolus dapat dibedakan menjadi :
Bronkus Intrapulmonaris
Bronkioluss Terminalis

Bronkiolus bercabang menjadi bronkiolus terminalis yang lebih kecil,


yang berdiameter sekitar 1 mm atau kurang. Bronkiolus terminalis dilapisi oleh
epitel selapis silindris. Di bronkiolus terkecil, epitelnya mungkin selapis
kuboid. Bronkiolus terminalis tidak mengandung lempeng tulang rawan,
kelenjar bronkialis, dan sel goblet. Sel Clara menggantikan sel goblet dan
menjadi sel predominan di bronkiolus terminalis dan bronkiolus respiratorius.
Sel Clara adalah sel sekretorik tidak bersilia yang jumlahnya bertambah seiring
dengan berkurangnya sel bersilia yang mengeluarkan komponen lipoprotein
surfaktarl suatu bahan penurun tegangan permukaan juga dapat berfungsi
sebagai sel induk untuk mengganti sel epitel bronkus yang rusak atau cedera
melalui pengeluarkan protein ke dalam percabangan bronkus untuk melindungi
paru dari peradangan atau polutan toksik. Bronkiolus terminalis merupakan
saluran terkecil untuk menghantarkan udara. Karena adanya kontraksi otot
polos, maka lipatan mukosa lebih menonjol di bronkiolus. Lapisan otot polos
yang berkembang baik mengelilingi lamina propria tipis, yang selanjutnya

56
dikelilingi oleh adventisia. Di dekat bronkiolus terdapat sebuah cabang kecil
arteri pulmonalis. Bronklolus terminalis dikelilingi oleh alveoli paru. Alveoli
dikelilingi oleh septum interalveolare tipis dengan kapiler. Bronchiolus
terminalis bercabang menjadi bronchiolus respiratorius yang kemudian
bercabang lebih lanjut menjadi duktus alveolaris dan setiap alveoli. Bronchiolus
respiratorius mirip dengan sebagian besar bronchiolus terminalis kecuali
adanya sebaran alveoli disepanjang permukaannya.
Bronkiolus Respiratoris

Bronkiolus terminalis membentuk bronkiolus respiratorius. Bronkiolus


respiratorius adalah bagian transisi antara bagian konduksi dan respiratorik
sistem pernapasan. Dinding bronkiolus respiratorius dilapisi oleh epitel
selapis kuboid. Di dinding setiap bronkiolus respiratorius terdapat kantung
alveolus tunggal. Silia mungkin dijumpai di epitel bagian proksimal
bronkiolus respiratorius namun menghilang di bagian distal. Selapis tipis
otot polos mengelilingi epitel. Suatu cabang kecil arteri pulmonalis
menyertai bronkiolus respiratorius ke dalam paru. Setiap bronkiolus
respiratorius membentuk duktus alveolaris dengan alveoli bermuara ke
dalamnya. Di lamina propria yang mengelilingi deretan alveoli di duktus
alveolaris yaitu berkas otot polos. Bronchiolus respiratorius masih memiliki
lapisan otot polos dan sejumlah region epitel kuboid, tetapi duktus alveolaris
memiliki untaian otot polos dan epitel yang terdiri atas serangkaian alveoli
yang berdekatan. Berkas otot polos tampak berupa tombol di antara alveoli
yang berdekatan.

57
7. Dinding Alveolus dan Sel Alveolus (D, H)

Pertukaran gas di paru-paru berlangsung di alveoli, yaitu kantung udara


terminal pada sistem pernapasan. Di alveoli, sel goblet tidak ada dan epitelnya
adalah epitel selapis gepeng. Respirasi hanya dapat berlangsung di dalam
alveoli karena penghalang antara udara yang masuk ke dalam alveoli dan darah
vena dalam kapiler sangat tipis. Struktur intrapulmonal lainnya tempat
berlangsungnya respirasi adalah duktus alveolaris dan sakus alveolaris
(sacculus alveolaris). Alveoli adalah evaginasi atau kantung-luar (berdiameter
sekitar 200pm) pada bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, dan sakus
alveolaris, ujung terminal duktus alveolaris. Alveoli dilapisi oleh selapis tipis
sel alveolus gepeng atau sel pneumosit tipe I. Alveoli yang berdekatan
dipisahkan oleh septum interalveolare atau dinding alveolus.
Septum interalveolare terdiri dari sel alveolus selapis gepeng, serat
jaringan ikat halus, dan fibroblas, dan banyak kapiler yang terletak di septum

58
interalveolare tipis. Septum interalveolare yang tipis menyebabkan kapiler
berdekatan dengan sel alveolus gepeng di alveoli yang berdekatan. Selain itu,
alveoli juga mengandung makrofag alveolaris atau sel debu. Dalam keadaan
normal, makrofag alveolaris mengandung beberapa partikel karbon atau debu
di sitoplasmanya. Di alveoli juga ditemukan sel alveolus besar atau pneumosit
tipe II. Sel alveolus besar terselip di antara sel alveolus selapis gepeng di
alveoli . Di ujung bebas septum interalveolare dan di sekitar ujung terbuka
alveoli terdapat berkas tipis serat otot polos. Serat otot ini bersambungan dengan
lapisan otot yang melapisi bronkiolus respiratorius.
Alveoli juga bertanggung jawab atas terbentuknya struktur berongga
dalam paru secara structural, alveolus menyerupai kantong kecil yang terbuka
pada satu sisinya, yang mirip dengan sarang lebah. Didalam struktur mirip
mangkuk ini, berlangsung pertukaran oksigen dan karbondioksida antara udara
dan darah. Struktur dinding alveolus dikhususkan untuk memudahkan dan
memperlancar difusi antara lingkungan luar dan dalam.
8. Pembuluh Darah dan Saraf Paru
Sirkulasi darah di paru-paru meliputi sirkulasi paru, yang membawa
darah rendah O2- untuk pertukaran gas, dan sirkulasi bronkial, membawa darah
sistemik, yang kaya nutrisi. Arteri-arteri dan vena-vena paru menggambarkan
sirkulasi fungsional dan arteri tersebut memiliki dinding yang tipis akibat
tekanan yang rendah (25 mm Hg sistolik, 5 mm Hg diastolik) di dalam sirkulasi
paru. Di dalam paru, a. pulmonalis bercabang mengikuti percabangan bronkus,
dengan cabang-cabang yang dikelilingi adventisia bronkus dan bronkiolius. Di
tingkat duktus alveolaris, cabang-cabang arteri ini membentuk jalinan kapiler
di dalam septum interalveolus dan berkontak erat dengan alveolus.
Venula yang berasal dari jalinan kapiler ditemukan satusatu di dalam
parenkim, dan agak menjauh dari jalan napas, yang ditopang oleh selapis tipis
jaringan ikat. Setelah meninggalkan lobulus, vena mengikuti percabangan
bronkus ke arah hilus.
Cabang arteri bronkial bersamaan sepanjang dan mengikuti cabang
bronkial, mendistribusikan darah ke sebagian paru-paru ke tingkat bronkiolus,
pada saat mana cabang ini beranastomosis dengan cabang kecil arteri paruparu
dan campuran darah dengan memasuki kapiler jaringan dikosongkan oleh
venula paru. Vena bronkial hanya terjadi di dalam dan sekitar hilus.
59
Pembuluh limfe muncul di jaringan ikat bronkiolus. Pembuluh ini
mengikuti bronkiolus, bronkus dan pembuluh-pembuluh pulmonal serta
semuanya mencurahkan isinya ke dalam kelenjar getah bening di daerah hilus.
Jalinan limfatik ini disebut jalinan dalam untuk membedakannya dari jalinan
superfisial pembuluh limfe di pleura viseral. Pembuluh limfe tidak ditemukan
di bagian terminal percabangan bronkus atau di luar duktus alveolaris. Kedua
serat otonom parasimpatis dan simpatis menginervasi paru-paru dan refleks
kontrol mengatur kelancaran kontraksi otot yang menentukan diameter dari
saluran udara. Serat aferen visceral umum, membawa sensasi nyeri terlokalisasi
secara buruk, juga hadir. Saraf yang ditemukan terutama pada jaringan ikat yang
mengelilingi elemen yang lebih besar dari cabang bronkial dan keluar dari paru-
paru pada hilus.
9. Membran Pleura
Permukaan luar paru dan dinding internal rongga toraks dilapisi oleh
suatu membran serosa yang disebut pleura. Membran yang melekat pada
jaringan paru disebut pleura viseralis dan membran yang melapisi dinding
toraks adalah pleura parietalis. Kedua membran tersebut menyatu di hilum dan
keduanya terdiri atas sel-sel mesotel skuamosa selapis yang berada pada lapisan
jaringan ikat tipis yang mengandung serat kolagen dan elastis. Serat-serat
elastin pleura viseral menyatu dengan serat elastin parenkim paru.
Rongga pleura yang sempit diantara lapisan parietal dan viseral
seluruhnya dilapisi sel-sel mesotel yang normalnya membentuk suatu lapisan
cairan serosa tipis yang bekerja sebagai pelumas, yang mempermudahkan
pergeseran antar permukaan pleura selama gerakan pernapasan.
Pada keadaan patologis tertentu, rongga pleura dapat mengandung
cairan atau udara. Seperti dinding rongga peritoneal dan perikardial, serosa
rongga pleura cukup permeabel untuk air dan cairan yang keluar melalui
eksudasi dari plasma darah sering menumpuk (berupa efusi pleura) dalam
rongga ini dalam keadaan abnormal.

60
10. Mekanisme Pengenalan Bau
Untuk mengenali bau, substansi bau harus dilarutkan lebih dahulu.
Molekul bau yang terlarut berikatan dengan molekul reseptor bau di silia
olfaktorius dan merangsang reseptor pengikat-bau di silia epitel olfaktorius
untuk menghasilkan impuls. Akson aferen tidak bermielin sel-sel olfaktorius
meninggalkan epitel olfaktorius dan membentuk banyak berkas saraf
olfaktorius halus di lamina propria. lmpuls dari sel olfaktorius dihantarkan di
dalam saraf yang berjalan menembus tulang etmoid di tengkorak dan bersinaps
di bulbus olfaktorius otak. Bulbus olfaktorius terletak di ronggi tengkorak di
atas rongga hidung. Dari sini, neuron-neuron menyebarkan informasi ke pusat
ying lebih tinggi di korteks untuk interpretasi bau. Epitel olfaktorius selalu
lembab oleh sekret cair yang dihasilkan oleh kelenjar olfaktorius (Bowman)
tubuloasinar serosa yang terdapat tepat di bawah epitel di lamina profria. Sekret
ini, dicurahkan melalui duktus, terus-menerus membasahi permukaan epitel
olfaktorius. Dengan cara ini, molekul bau larut dalam cairan sekret dan terus
menerus dibersihkan oleh cairan yang baru, sehingga sel reseptor dapat
mendeteksi dan berespons terhadap bau yang baru.
11. Mekanisme Pernapasan
Selama inspirasi, kontraksi otot intercostal menaikan iga dan kontraksi
diafragma menurunkan dasar rongga toraks, yang menambah diameter rongga
tersebut dan menimpulkan pengembangan paru. Diameter dan panjang bronkus
dan bronkiolus bertambah selama inspirsi. Bagian respiratorik juga membesar,

61
terutama akibat pengembangan duktus alveolaris. Alveoli hanya sedikit
membesar. Serat elastin parenkim baru direnggangkan oleh pengembangan ini
selama ekspirasi, retraksi paru terjadi secara pasif akibat relaksasi otot dan
kembalinya serat elastin ke keadaan semula.
G. Patofisiologi
a. Trauma Tumpul Dada
Utuhnya suatu dinding thorax sangat diperlukan untuk sebuah ventilasi
pernapasan yang normal. Pengembangan dinding thorax ke arah luar oleh otot-otot
pernapasan diikuti dengan turunnya diafragma menghasilkan tekanan negatif dari
intrathorax. Proses ini menyebabkan masuknya udara pasif ke paru-paru selama
inspirasi. Trauma thorax mempengaruhi strukur-struktur yang berbeda dari dinding
thorax dan rongga thorax.
Thorax dibagi kedalam 4 komponen, yaitu :
1. Dinding dada, yang juga termasuk tulang-tulang dada dan otot-otot yang
terkait.
2. Rongga pleura yang berada diantara pleura viseral dan parietal. Rongga pleura
memiliki kemungkinan untuk terisi oleh darah ataupun udara jika terjadi suatu
trauma thorax.
3. Parenkim paru termasuk paru-paru dan jalan napas yang berhubungan, dan
mungkin dapat mengalami kontusio, laserasi, hematoma dan pneumokel.
4. Mediastinum (termasuk jantung, aorta/pembuluh darah besar dari thorax,
cabang trakeobronkial, dan esofagus).
Secara normal thorax bertanggung jawab untuk fungsi vital fisiologi
kardiopulmoner dalam menghantarkan oksigenasi darah untuk metabolisme
jaringan pada tubuh. Karena itu, gangguan pada aliran udara dan darah, salah
satunya, maupun kombinasi keduanya dapat timbul akibat dari cedera thorax
(Sudoyo, 2009). Secara klinis penyebab dari trauma thorax bergantung juga
pada beberapa faktor, antara lain mekanisme dari cedera, luas dan lokasi dari
13 cedera, cedera lain yang terkait, dan penyakit-penyakit komorbid yang
mendasari. Pasien-pasien trauma thorax cenderung akan memburuk sebagai akibat
dari efek pada fungsi respirasinya dan secara sekunder akan berhubungan
dengan disfungsi jantung (Sudoyo, 2009).
Dalam mekanismenya, taruma tajam atau tumpul pada thorax dapat
mengakibatkan cedera jaringan lunak dan cedera/hilangnya kontinuitas struktur.
62
Cedera ini dapat berujung ke perdarahan jaringan interstitium, perdarahan intra
alveolar, kolaps arteri dan arteri-arteri kecil, hingga tahanan perifer pembuluh darah
paru meningkat. Hal ini membuat reabsorbsi darah oleh pleura tidak memadai/tidak
optimal. Oleh karena itu dapat menyebabkan hemithorax.
Selain itu trauma tumpul dapat menyebabkan :
1. Sucking wound pada dada
2. Tension pneumothorax
3. Robek jalur udara
4. Robek diafragma
5. Robek aorta
6. Robek atau memar pada jantung
b. Hemothorax
Hemothorax merupakan kondisi ketika cairan pada cavum pleura berisi >50%
sel darah merah (hematocrit). Namun jika pleural fluidnya mengandung hematocrit
dan konsentrasi hematocritnya <50% maka penderita mengalami efusi
hemorrhagic. Jika ada darah yang masuk ke pleural cavity tetapi hanya sedikit maka
dengan otomatis pleura dapat membersihkan darah tersebut, taetpi ketika terdapat
lebih dari 100.000 eritrosit/ml pleural fluid, maka kondisi tersebut sudah bisa
dianggap sebagai efusi hemorrhagic. Trauma dada ini jika sampai mengakibatkan
lebih dari 1500mL darah masuk ke dalam cavum pleurae dapat mengakibatkan
paru-paru collapse. Hal ini dapat diakibatkan oleh terjadinya kerusakan pembuluh
utama, terkoyaknya pleura, paru, dan pembuluh di dada, dan luka pada dada
(intercostalis artery/vena).
Hemothorax terjadi karena adanya perdarahan pada thorax/trauma thorax.
Sumber terjadi darah di dinding dada, parenkim paru, jantung atau pembuluh darah
besar. Kondisi biasanya merupakan konsekuensi dari trauma benda tumpul atau
benda tajam. Ini juga mungkin merupakan komplikasi dari beberapa penyakit
(Pusponegoro, 1995). Penyebab utama hemothorax adalah laserasi pembuluh darah
interkosta atau Arteri mamalia interna disebabkan trauma tajam atau trauma tumpul
yang mengenai dinding thorax. Darah kemudian terakumulasi di dalam rongga
thorax dengan jumlah kurang dari 1500 ml. Pada cedera tulang belakang juga dapat
dijumpai keadaan hemothorax. Perdarahan yang terjadi umumnya dapat sembuh
sendiri dan jarang memerlukan tindakan operatif, namum pada keadaan akut,
hemothorax dapat ditatalaksana menggunakan selang berukuran besar dengan
63
nomor 36 atau 40 French. Pada trauma tumpul, hemothorax biasanya disebabkan
oleh cedera pada pembuluh interkostal atau interparenkim pembuluh darah paru
karena patah tulang rusuk. Trauma tumpul dan tembus dapat menyebabkan
hemothorax masif dengan arteri interkostal, laserasi paru, atau pecahnya pembuluh
besar mediastinum.
Terdapat juga kondisi bernama massive hemothorax yaitu merupakan keadaan
di mana trauma tumpul yang mengenai pembuluh darah menyebabkan darah
berakumulasi lebih dari 1500 ml di rongga pleura. Keadaan ini biasanya disebabkan
efek dari fraktur iga yang mengenai pembuluh darah vena, trauma paru dan jarang
pada pembuluh darah arteri, dan yang paling sering disebabkan trauma tumpul.
Pada pasien dengan massive hemothorax, pembuluh vena di leher dapat menjadi
kolaps karena hipovolemia berat, atau pembuluh darahnya dapat melebar jika
didapati juga tension pneumothorax pada kasus ini. Diagnosa massive hemothorax
dapat dilakukan dengan memperkusi bagian paru yang mengalami massive
hemothorax, suara perkusi akan menghilang atau dullness.
1. Etiologi
Hemothorax pada umumnya disebabkan oleh trauma pada daerah
pulmo, trauma tumpul yang menyebabkan patah tulang rusuk dapat melaserasi
jaringan pleura dan pembuluh darah sekitarnya yang dapat mengakibatkan
hemothorax. Kanker di dada seperti kanker paru dan kanker payudara juga bisa
mengakibatkan efusi yang berkaitan dengan hemothorax, penyumbatan
pembuluh di paru-paru juga bisa menjadi salah satu penyebab hemothorax.
(Namun, hemothorax yang telah terjadi selama lebih dari satu tahun tidak
merupakan efusi yang membahayakan, hemothorax ini diakibatkan oleh emboli
terus menerus atau kelainan khusus penyebab hemothorax). Hematocrit 1%-
25% pada pleura disebabkan oleh emboli pada pembuluh, bawaan dari penyakit
lain, dan trauma. Namun, jika hematocrit telah diatas 50% maka penyebabnya
kemungkinan besar adalah trauma, komplikasi penyakit lain sangat jarang
menyebabkan terbentuknya hematocrit diatas 50% pada pleural cavity.
2. Pathofisiology
Hemothorax dapat terjadi dari pendarahan pada diafragma, mediastinal,
pulmonary, pleura, dinding dada, dan luka di abdomen. Tiap hemithorax tubuh
manusia dapat menampung 40% dari total darah yang bersirkulasi di tubuh.
Luka dan injuri pada pembuluh intercostal mengakibatkan dampak terbesar
64
dalam pendarahan hemithorax dan hemothorax sehingga diperlukan perawatan
intensive sejak awal. Tingkat keparahan dari hemothorax ditentukan dari lokasi
luka tersebut, bagian mana yang tidak terkena luka, volume darah yang
terbuang, dan laju akumulasi darah yang masuk ke pleural cavity.
Respon awal yang terjadi sesaat setelah injury terjdai, hypovolemia akut
mengakibatkan penurunan preload, vdisfungsi ventrikel kiri, dan penurunan
output pemompaan jantung. Darah yang berada di pleural cavity berdampak
pada pengurangan fungsional kapasitas vital paru-paru karena terjadi
hypoventilasi alveoral, V/Q mismatch dan anatomic shunting. Hemothorax
dengan volume yang besar dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
hydrostatic yang berakibat penekanan pada vena cava dan parenkim pulmo
yang menyebabkan gangguan ketika preload dan peningkatan resistansi aliran
darah dari arteri pulmonalis ke atrium kiri. Mekanisme tersebut akan
menghasilkan hemothorax physiology dan menyebabkan ketidakstabilan
hemodynamic, cardiovascular collapse, dan kematian.
3. Ciri Klinis
Ciri klinis paling terlihat pada pasien penderita hemothorax adalah
terjadinya tekanan darah rendah, berkurang/hilangnya suara napas, kurangnya
reaksi jika dilakukan percussion, vena di leher tidak mengembang karena
terjadinya hypovolemia, dan kebalikannya yaitu penggembungan vena di leher
jika hemothorax terjadi bersamaan dengan tension pneumothorax.
Penderita hemothorax bisa jadi asymptomatis, tapi biasanya diiringi
dengan sakit dada, batuk, dan napas pendek. Batuk terjadi karena reaksi refleks
paru-paru yang mendeteksi zat asing di segmen paru. Napas pendek disebabkan
oleh kurang berkembangnya paru saat inhalasi yang sangat dipengaruhi dengan
volume dari efusi (cairan yang ada di cavum pleura). Penderita juga bisa jadi
mengalami demam jika terjadi infeksi, emboli, atau pneumonia yang mengiringi
hemothorax. Emboli pada saluran pernapasan juga dapat menyebabkan
terjadinya ciri-ciri diatas, tapi meski emboli dapat menjadi penyebab
hemothorax, emboli pada saluran pernapasan tidak bisa didefinisikan sebagai
adanya hemothorax. Hemothorax juga bisa terjadi karena komplikasi dari
penyakit lain, tapi pneumonia jarang menjadi salah satu penyebab hemothorax,
baik itu tuberculosis, tularemia, dan plak.

65
Blood loss juga bisa terjadi jika menderita hemothorax, darah bocor ke
cavum pleura paru-paru. Blood loss ini menyebabkan pusing-pusing, mudah
Lelah, orhostasis, shock, dan juga bisa menyebabkan Tachypnea (kenaikan
respiratory rate) dan Tachycardia (kenaikan heart rate) sesuai dengan volume
hemothoraxnya. Hemothorax dengan volume yang besar juga bisa
menyebabkan trakea tertekan dan terdorong ke arah lateral dan menyebabkan
tracheal deviation yang berdampak pada perubahan tekanan pada salah satu sisi
pulmo. Suara pasien juga dapat terganggu dengan adanya hemothorax karena
trakea yg tertekan. Pada kasus trauma yang menyebabkan costa patah, dapat
terjadi kondisi flail chest yang menyebabkan pulmo tidak bisa terangkat dengan
sempurna, terangkat ke arah lain, atau bahkan tidak terangkat sama sekali ketika
proses inhalasi.
Hemothorax yang tidak terlokalisasi dapat menyebabkan costophrenic
angle menjadi tidak dapat digunakan oleh pulmo. Efusi dengan volume besar
juga dapat menyebabkan pergeseran mediastinum, tapi jika mediastinum tidak
tertekan maka perlu dicurigai pasien menderita carcinoma (kanker) di pleura
cavity atau bahkan sudah mengalamai alectasis (collapse paru-paru).
Hemothorax yang terjadi karena emboli pembuluh darah di paru-paru biasanya
berukuran kecil dan mudah terdeteksi pada pemeriksaan radiograph.
4. Pathogenesis
Hemothorax yang paling umum terjadi adalah hemothorax yang terjadi
karena adanya trauma pada daerah dada – Traumatic Hemothorax – diaibatkan
karena adanya gangguan pada vascularisasi regio pulmo. Terdapatnya tumor
atau terjadinya emboli dapat menyebabkan peningkatan tekanan pada pembuluh
darah sehingga permeabilitas pembuluh meningkat dan sel darah merah dapat
melakukan diapedesis (Kemampuan menembus membrane kapiler keluar dari
pembuluh yang seharusnya harnya dimiliki leukocyte). Pleural cavity pada
dasarnya memiliki cairan pelumas agar tidak terjadi pleuropericardial rub dan
cairan itu secara terus menerus disekresi dan direabsorbsi. Namun, ketika terjadi
hemothorax dengan volume yang cukup banyak maka darah dapat mengendap
di pleural cavity dan menggumpal. Gumpalan darah tersebut membentuk
neomatriks transisi yang bersifat seperti luka di luar tubuh sehingga
menstimulasi sel inflamasi dan fibroblast untuk membentuk jaringan baru

66
seperti pada proses penyembuhan luka di luar tubuh. Jaringan baru ini akan
semakin memperparah hemothorax yang terjadi.
5. Dampak
Hemothorax ini memiliki beberapa dampak yaitu :
Hemothorax akan merangsang reseptor nyeri pada pleura visceralis dan
parietalis yang akan menyebabkan diskontinuitas jaringan dan berujung ke
timbulnya nyeri akut.
Hemothorax akan berdampak ke penurunan ekspansi paru yang
mengakibatkan gangguan ventilasi sehingga terjadi ketidakefektifan pola
napasas, salah satunya adalah sesak napas. Ekspensi paru ini juga dapat
menyebabkan Edema tracheal/faringeal, peningkatan produksi secret dan
penurunan kemampuan batuk efektif.
Selain itu, penyebab lain dari terjadinya sesak napas ialah oleh adanya
penyempitan saluran napas. Penyempitan saluran napas ini terjadi karena
adanya hiperaktifitas dari saluran napas terhadap berbagai macam rangsang,
sehingga menyebabkan spasme otot-otot polos bronkus yang dikenal dengan
bronkospasme, edema membrana mukosa dan hipersekresi mukus. Sehingga di
dalam saluran napas tersebut akan menyebabkan sulitnya udara yang
melewatinya, maka penderita asma akan cenderung melakukan pernapasan
pada volume paru yang tinggi, yang mana akan membutuhkan kerja keras dari
otot-otot pernapasan.
Hal ini akan menyebabkan pasien mengalami kesulitan bernapas dan
ekspirasinya akan lebih panjang sehingga otot-otot ekspirasi akan turut bekerja,
yang mana akan menambah energi untuk pernapasan dan berakibat pada
terjadinya hambatan waktu mengeluarkan udara ekspirasi yang menyebabkan
udara yang masih tertinggal di dalam paru-paru semakin meningkat. Bila hal
tersebut terjadi maka akan menyebabkan obstruksi saluran napas. Obstruksi
saluran napas terjadi saat ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas
menyempit, sehingga mengakibatkan udara terjebak dan tidak bisa
diekspirasikan. Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai
secara objektif dengan VEP 1 (Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama ),atau
APE (Arus Puncak Ekspirasi ) (Sundaru, 1995).

67
6. Penanganan
Pada dasarnya, pleura dapat menangani kasus efusi yang terjadi, kondisi
ketika terdapat darah di pleural cavity adalah kasus yang wajar terjadi dan
umumnya tubuh mampu mengeluarkan darah yang terdapat di pleural cavity
dengan sendirinya sehingga pada kasus efusi ringan tidak menjadi sebuah
emergensi dan memerlukan perawatan. Namun, pada kasus hemorrhagic atau
hemothorax yang menyebabkan darah terus menerus mengalir ke pleural cavity
dan fungsi tubuh tidak mampu untuk mengatasinya sendiri maka diperlukan
perawatan segera karena dapat terjadi komplikasi lain seperti blood loss
sehingga perlu dilakukan traumatic thoracentesis untuk mengeluarkan cairan
yang berada di pleural cavity. Penyedotan cairan berlebih di pleural cavity
secara terus menerus akan memberikan kesempatan bagi pleura untuk me-
“tamponade” daerah yg luka.
Hemothorax yang terjadi karena adanya luka pada pleura dan pembuluh
di sekitarnya akan dilakukan perawatan intensif baik itu penyedotan cairan dan
darah di pleural cavity dan transfusi darah sesuai dengan jumlah darah yang
terbuang. Pada kondisi hemothorax yang stabil maka kondisi pasien hanya akan
diamati dan jika darah di pleural cavity tidak berukrang atau dicurigai terdapat
infeksi baru akan dilakukan penyedotan darah dari pleural cavity. Thoracoscopy
atau thoracotonomy akan dilakukan ketika terdapat 500mL darah atau ketika
opasifikasi (rasio jaringan dan ruang kosong) di hemithorax mencapai lebih dari
1/3 total ruangan. Pada tahap akhir ketika hemothorax terjadi karena gangguan
baik pada bronkiolus atau jika thoracoscopy tidak mampu untuk menghilangkan
kondisi hemothorax pada pasien maka akan dilakukan thoracotomy.
Penyedotan darah akan terus dilakukan untuk menghidari kondisi endapan
darah akan membetuk fibrothorax dan menyebabkan terbentuknya jaringan
baru yang akan semakin parah jika dibiarkan.
Hemothorax tidak bisa dilakukan chemotherapy dan pemaparan radiasi
karena hemothorax yang diakibatkan oleh emboli tidak melibatkan faktor
koagulan dan dapat hilang dengan sendirinya dalam waktu sekitar 10 hari tapi
jika lebih dari itu maka akan dibutuhkan Tindakan medis. Namun, jika
hemothorax terjadi dengan level hematocrit diatas 50% maka kemungkinan
hemothorax merupakan hasil dari adanya luka dan perlu dilakukan pengobatan

68
intensif. Jika sudah terlanjur dan terbentuk fibrothorax dan pasien mengalami
dyspnea maka perlu dilakukan operasi untuk mengangkat endapan tersebut.

c. Pneumothorax
Pneumothorax adalah adanya udara yang terdapat antara pleura visceralis dan
cavum pleura. Pneumothorax dapat terjadi secara spontan atau karena trauma. Pada
kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga paru-paru dapat leluasa
mengembang terhadap rongga dada. Udara dalam kavum pleura ini dapat
ditimbulkan oleh karena adanya kerobekan pleura visceralis sehingga saat inspirasi
udara yang berasal dari alveolus akan memasuki kavum pleura. Pneumothorax jenis
ini disebut sebagai closed pneumothorax. Apabila kebocoran pleura visceralis
berfungsi sebagai katup, maka udara yang masuk saat inspirasi tak akan dapat

69
keluar dari kavum pleura pada saat ekspirasi. Akibatnya, udara semakin lama
semakin banyak sehingga mendorong mediastinum kearah kontralateral dan
menyebabkan terjadinya tension pneumothorax.
Yang kedua disebabkan karena robeknya dinding dada dan pleura parietalis
sehingga terdapat hubungan antara kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang
yang terjadi lebih besar dari 2/3 diameter trakea, maka udara cenderung lebih
melewati lubang tersebut dibanding traktus respiratorius yang seharusnya. Pada
saat inspirasi, tekanan dalam rongga dada menurun sehingga udara dari luar masuk
ke kavum pleura lewat lubang tadi dan menyebabkan kolaps pada paru ipsilateral.
Saat ekspirasi, tekanan rongga dada meningkat, akibatnya udara dari kavum pleura
keluar melalui lubang tersebut. Kondisi ini disebut sebagai open pneumothorax.
Terdapat beberapa jenis pneumothorax yang dikelompokkan berdasarkan
penyebabnya:
1. Pneumothorax primer, adalah jenis pneumothorax terjadi tanpa disertai
penyakit paru yang mendasarinya.
2. Pneumothorax sekunder, adalah jenis pneumothorax yang merupakan
komplikasi dari penyakit paru yang mendahuluinya.
3. Pneumothorax traumatic, adalah jenis pneumothorax yang terjadi akibat cedera
traumatik pada dada. Traumanya bisa bersifat menembus (luka, tusuk, peluru
atau tumpul, dan benturan pada kecelakaan bermotor).
Pneumothorax juga bisa merupakan komplikasi dari tindakan medis tertentu,
misalnya torakosentesis (Alsegaf,2004).
Apabila pneumothorax terjadi ketika udara dalam rongga pleura memiliki
tekanan yang lebih tinggi daripada udara dalam paru sebelahnya.Udara memasuki
rongga pleura dari tempat ruptur pleura yang bekerja seperti katup satu arah.
Kesulitan dalam proses ekspirasi akan mengarah pada terperangkapnya udara di
dalam pulmo, yang dikenal sebagai hiperinflasi. Rongga besarberisi udara yang
terperangkap. Pada foto polos thorax, tampak sebagai lesi yang timbul di parenkim
pulmo yang normal, yang dibatasi oleh membran fibrous yang tipis dan irreguler.
Pada keadaan infeksi, selain terisi udara, juga akan terisi cairan. Selain dapat
menimbulkan obstruksi pada jaringan pulmo yang berdekatan, juga dapat
menimbulkan tekanan pada pulmo kontralateral sehingga menggangu fungsinya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa bahkan jaringan pulmo yang tidak terpengaruh.
Langsung, akan menjadi kurang efektif. Sebagian besar membesar dalam waktu
70
lama. Namun terdapat kasus dimana membesar dalam waktu singkat, sehingga
secara cepat akan mempengaruhi parenkim pulmo di sekitarnya. Selain dengan
terapi yang bersifat invasif,dapat menghilang atau mengecil baik secara spontan
atau setelah terjadi infeksiatau perdarahan (Jennifer, 2011).
Pneumothorax dapat terjadi pada trauma tumpul dada dalam empat mekanisme:
1. Ruptur alveolar akibat peningkatan tekanan alveolar,
2. Efek paperbag (terjadi jika epiglotis tertutup selama peningkatan tekanan
mendadak pada pohon trakeobronkial),
3. Cedera akselerasi-deselerasi, dan
4. Patah tulang rusuk yang merusak pleura.
Pada periode awal, pasien mungkin mengalami nyeri dada, dispnea, kecemasan,
takipnea, takikardia dan hiperrezonansi dan penurunan suara pernapasan di sisi
pneumothorax. Pada periode akhir, tanda-tanda seperti penurunan kesadaran,
deviasi trakea, hipotensi, distensi vena serviks dan sianosis dapat terlihat.104, 105,
106 Ketakutan utama adalah perkembangan pneumothorax tegangan.
Pada pneumothorax, udara masuk ke ruang pleura pada setiap inspirasi,
sedangkan udara di ruang pleura tidak dapat keluar dari ruang pleura karena
mekanisme katup satu arah. Karena akumulasi udara yang terus menerus di pleura,
paru-paru runtuh, hipoksia menjadi parah, dan hipotensi terjadi. Ini juga
mempengaruhi paru-paru lain dengan meluncur ke sisi yang berlawanan dan
menyebabkan kolaps kardiovaskular. Pada pneumothorax, pasien mungkin
mengalami takipnea dan takikardia, hiperresonansi dapat diperoleh pada perkusi
dan deviasi trakea dapat terlihat pada fase akhir.
Perawatan pneumothorax memerlukan pendekatan holistik termasuk
pemantauan, istirahat, suplai oksigen, dan torakostomi tabung. Kontinuitas jalan
napasas, pernapasasan dan sirkulasi pasien harus dipantau berulang kali.
Pemberian bantuan oksigen 100% kepada pasien meningkatkan absorpsi udara dari
rongga pleura. Terapi oksigen tambahan sebagai pengganti udara ruangan
mempercepat reabsorpsi udara empat kali lipat. Selain itu, posisi tegak dapat
bermanfaat pada pasien kecuali ada a kontraindikasi seperti cedera tulang
belakang. Standar emas dalam pengobatan adalah torakostomi tabung. Alat bantu
kehidupan trauma tingkat lanjut merekomendasikan torakostomi tabung untuk
semua kasus pneumothorax traumatis karena risiko pneumothorax tegangan. Selain

71
itu, jika dukungan ventilasi mekanis diperlukan, risiko pneumothorax tegangan
meningkat secara signifikan dan torakostomi tabung adalah wajib.
Pengobatan yang dapat dilakukan :
1. Thoracostomy (chest tube insertion)
Menempatkan pipa plastic diantara costa sekitar paru-paru untuk
mengeluarkan udara dan darah di pleura, pipanya disambungkan ke mesin
untuk menghisap cairan/udara tersebut.
2. Operasi
Pada prinsipnya sama dengan thoracostomy, tapi jika luka penyebab
terjadinya hemopneumothorax besar atau sulit diobati maka diperlukan
operasi untuk mengobati lukanya terlebih dahullu sebelum dilakukan
thoracostomy
3. Obat-obatan
Sebelum dilakukan thoracostomy, penderita akan diberi antibiotic untuk
menghindari infeksi pada jaringan pleura dan obat pengurang sakit sebelum
dan sesudah operasi.
Gejala
1. Sakit dada yang bertambah parah setelah batuk atau deep inhale
2. Dyspnea (sulit bernapas)
3. Napas pendek
4. Dada sesak
5. Tachycardia (Heart rate tinggi)
6. Kulit pucat atau berwarna biru karna kekurangan oksigen
Komplikasi
1. Infeksi, contohnya pneumonia
2. Shock hopovolemik, sebuah kondisi ketika tubuh kehilangan darah dan
cairan tubuh dalam jumlah besar dan mengakibatkan fungsi tubuh terhenti
3. Cardiac Arrest (Jantung tiba-tiba berhenti)
4. Empyema, sebuah kondisi ketika cavum pleura dipenuhi oleh nanah yang
biasanya disebabkan oleh pneumonia
5. Gagal fungsi pernapasan

72
d. Hemopneumothorax
Hemopneumothorax adalah kondisi ketika seseorang mengalami pneumothorax
dan hemothorax di saat yang sama. Pneumothorax, atau collapsed lung, terjadi
ketika terdapat udara di cavum pleurae, sedangkan hemothorax terjadi ketika ada
darah di cavum pleurae. Hemopneumothorax terjadi ketika terdapat luka di area
dada baik karena trauma tusukan, trauma tumpul, atau karena komplikasi penyakit
lain seperti kanker paru. Hemopneumothorax juga dapat terjadi secara tiba-tiba
tanpa gejala sebelumnya (spontanteous hemopneumothorax).
Hemopneumothorax dapat terjadi ketika daerah dada mengalami luka sehingga
mengakibatkan darah, udara, atau keduanya memasuki cavum pleura. Hal ini
menyebabkan fungsi kerja paru-paru terganggu, yaitu tidak mampu mengembang
sepenuhnya karna terhambat udara dan darah yang ada di cavum pleura. Pada kasus
ekstrem atau berkepanjangan, paru-paru yang teru mengalami hemopneumothorax
dan tidak mengembang total akan mengecil dan collapse.
Hemopneumothorax merupakan sebuah kondisi yang jika tidak ditangani
dengan baik berpotensi mematikan. Jika disebabkan oleh trauma atau luka pada
dada, maka tingkat keparahannya bisa dilihat dari lukanya. Pada spontaneous
hemopneumothorax, pengangannya adalah dengan mengeluarkan darah atau udara
yang ada di dalam cavum pleuranya. Pada umumnya, hemopneumothorax tidak
akan menimbulkan komplikasi lanjutan setelah diobati dan hanya kemungkinan
kecil akan ada efek samping setelahnya. Pengobatan untuk hemopneumothorax
adalah dengan mengeluarkan udara dan darah yang ada di cavum pleura untuk
mengembalikan fungsi paru-paru dan memperbaiki luka yang terjadi di dada untuk
menghindari komplikasi lanjutan.
Penanganan hemopneumothorax dimulai dengan torakostomi kemudian
mengevakuasi darah dan udara. Indikasi dilakukan pembedahan bila pasien
mengalami syok, pasien terus menerus mengalami perdarahan, atau pasien
mengalami gagal napas.
H. Osteogenesis pada Proses Penyembuhan
Tulang pada awalnya dapat terbentuk melalui satu dari dua cara berikut:
a. Osifikasi intramembranosa, osteoblas berdiferensiasi langsung dari mesenkim dan
mulai menyekresi osteoid.
b. Osifikasi endokondral, matriks tulang rawan yang sudah ada mengalami erosi dan
digantikan dengan osteoblas yang menghasilkan osteoid.
73
Nama-nama mengacu pada mekanisme yang bentuk tulang awalnya; pada kedua
proses, jaringan tulang mula-mula tampak sebagai tulang primer atau tulang anyaman.
Selama pertumbuhan tulang, daerah tulang primer, daerah resorpsi, dan daerah tulang
sekunder terlihat berdampingan.
a. Osifikasi Intramembranosa
Osifikasi intramembranosa, yang menghasilkan sebagian besar tulang pipih,
disebut demikian karena terjadi di dalam kondensasi ("membran") jaringan
mesenkimal embrio. Tulang frontal dan parietal tengkorak—selain bagian tulang
oksipital dan temporal dan mandibula serta maksila— terbentuk karena osifikasi
intramembranosa. Pada lapisan kondensasi mesenkimal atau membran, titik awal
untuk pembentukan tulang disebut pusat osifikasi.
Di area ini sel mesenkimal berdiferensiasi menjadi sel osteoprogenitor yang
berproliferasi dan membentuk lapisan yang tidak lengkap dari osteoblas sekitar
jaringan dari kapiler berkembang. Dari permukaan osteoblas berlawanan jauh dari
pembuluh darah tersebut, osteoblas terpolarisasi mensekresikan komponen osteoid
yang mengapur seperti yang dijelaskan sebelumnya dan bentuk trabekula dari
tulang primer.
Osteosit yang diferensiasi sekarang tertutup dalam lakuna matriks menahan
kontak interseluler melalui proses sitoplasmik tipis osteosit dalam matriks
kanalikuli. Sekresi matriks memanjang, kalsifikasi, dan memimpin pertumbuhan
trabekular perlahan untuk fusi dari pusat osifikasi bersebelah dan secara bertahap
menghasilkan lapisan tulang kompak yang luas melampirkan regio tulang kanselus
dengan sumsum dan pembuluh darah besar.
Pada tulang pipih tengkorak terdapat pembentukan tulang yang lebih mencolok
ketimbang resorpsi tulang pada permukaan internal dan eksternal. Jadi, dua lapisan
tulang kompakta (lempeng internal dan eksternal) terbentuk, sedangkan bagian
pusat (diploe) tetap mempertahankan ciri sponsnya. Fontanel atau ubun-ubun di
kepala neonatus merupakan area di tengkorak yang sesuai dengan bagian jaringan
ikat yang belum mengalami penulangan. Bagian lapisan jaringan ikat yang tidak
mengalami osifikasi menghasilkan endosteum dan periosteum tulang baru.

74
b. Osifikasi Endokondral
Osifikasi endokondral (Yun. endon, di dalam, + chondros, tulang rawan) terjadi
di dalam sepotong tulang rawan hialin yang bentuknya menyerupai miniatur tulang
yang akan dibentuk. Jenis osifikasi ini pada dasarnya berperan untuk memulai
sebagian tulang dari tubuh dan terutama juga dipelajari di pembentukan tulang
panjang.
Jaringan tulang pertama tampak berupa suatu kerah yang mengelilingi diafisis
model kartilago. Kerah tulang (bone collar) ini dihasilkan melalui aktivitas
osteoblas setempat dalam perikondrium sekitarnya. Kerah tersebut kini
menghambat difusi oksigen dan nutrien ke dalam kartilago di bawahnya, yang
memicu perubahan degeneratif di tempat tersebut.
Kondrosit mulai memproduksi fosfatase alkali dan membengkak (hipertrofi),
yang memperbesar lakunanya. Perubahan tersebut mengompresi matriks menjadi
trabekula yang lebih sempit dan menimbulkankalsifikasi di struktur tersebut.
Kematian kondrosit menghasilkan struktur 3-dimensi berpori yang dibentuk
oleh sisa-sisa matriks tulang rawan yang mengapur. Pembuluh darah dari bekas
perikondrium yang kini menjadi periosteum, berpenetrasi melalui kerah tulang yang
sebelumnya disusupi osteoklas, yang membawa sel-sel osteoprogenitor ke daerah
sentral berpori tersebut.
Berikutnya, osteoblas melekat pada matriks kartilago yang telah mengapur dan
menghasilkan lapisan-lapisan tulang primer yang mengelilingi sisa matriks tulang

75
rawan. Pada tahap ini, kartilago berkapur tampak basofilik, dan tulang primer
terlihat eosinofilik.
Proses pada diafisis ini membentuk pusat osifikasi primer dimulai pada banyak
tulang awal trimester pertama. Pusat osifikasi sekunder muncul tidak lama
kemudian di epifisis model kartilago dan berkembang dengan cara serupa. Selama
perluasan dan remodeling berlangsung, pusat osifikasi primer dan sekunder
membentuk rongga yang secara berangsur diisi dengan sumsum tulang dan
trabekula dari tulang kanselus.
Dengan pusat-pusat osifikasi primer dan sekunder, dua regio dari tulang rawan
tetap:
1. Lapisan dari tulang rawan artikular dalam sendi, yang biasanya berlangsung
melalui kehidupan dewasa dan tidak memberikan kontribusi ke pertumbuhan
tulang.
2. Terorganisir khusus epifisis tulang rawan (juga disebut epifisis piring atau
lempeng pertumbuhan), yang menghubungkan setiap epifisis ke diafisis.
Tulang-tulang epifisis bertanggung jawab atas pertumbuhan memanjang tulang,
dan tidak terdapat lagi pada orang dewasa, yang menjadi sebab terhentinya
pertumbuhan tulang pada saat dewasa. Hilangnya lempeng epifiseal ("penutupan
epifisis") terjadi pada waktu yang berbeda dengan tulang yang berbeda pula serta
akan tuntas di semua tulang saat berumur sekitar 20 tahun. Pemeriksaan kerangka
yang sedang tumbuh dengan pemeriksaan forensik atau sinar-X memungkinkan kita
menetapkan "usia tulang" seseorang, dengan memperhatikan epifisis mana yang
terbuka dan yang sudah tertutup. Begitu epifisis sudah menutup, pertumbuhan
memanjang tulang menjadi tidak mungkin, meskipun pelebaran tulang masih dapat
terjadi.
Sebuah lempeng pertumbuhan epifisis menunjukkan regio yang berbeda dari
aktivitas selular dan sering dibahas dalam hal lima zona, mulai dari regio tipis tulang
rawan yang normal:
1. Zona istirahat terdiri atas kartilago hialin dengan kondrosit yang tipikal.
2. Dalam zona proliferasi, kondrosit mulai cepat membelah dan membentuk
kolom-kolom sel yang paralel terhadap sumbu panjang tulang.
3. Zona hipertrofi tulang rawan mengandung kondrosit besar dengan sitoplasma
yang telah menimbun glikogen. Hipertrofi mengompresi matriks menjadi septa
tipis di antara kondrosit.
76
4. Di zona kalsifikasi tulang rawan, kehilangan kondrosit mati melalui apoptosis
disertai oleh kalsifikasi septa matriks tulang rawan melalui pembentukan kristal
hidroksiapatit.
5. Di zona osifikasi, jaringan tulang muncul pertama kali. Kapiler darah dan sel-
sel osteoprogenitor yang berasal dari periosteum menginvasi rongga yang
ditinggalkan kondrosit. Banyak rongga tersebut akan bersatu dan menjadi
ronga sempit. Sel osteoprogenitor membentuk osteoblas, yang menetap di suatu
lapisan diskontinu di atas septa matriks kartilago yang berkapur. Osteoblas
menumpuk osteoid di atas spikula matriks kartilago yang berkapur, yang
membentuk tulang anyaman.
Sebagai kesimpulan, pertumbuhan memanjang tulang-tulang panjang terjadi
melalui proliferasi kondrosit di lempeng epifisis yang berdekatan dengan epifisis.
Pada waktu yang sama, kondrosit di sisi diafisis lempeng tersebut mengalami
hipertrofi, matriksnya mengalami perkapuran, dan sel-selnya mati. Osteoblas
meletakkan selapis tulang primer pada matriks yang berkapur itu. Karena laju
kedua kejadian yang berlawanan ini (proliferasi dan destruksi) kurang lebih sama,
tebal lempeng epifisis tidak berubah. Alih-alih, lempeng epifisis didesak menjauhi
bagian tengah diafisis sehingga tulang tersebut bertambah panjang.

c. Osteogenesis pada Fraktur


Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan
epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial. Mayoritas fraktur terjadi
karena tulang gagal menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar dan
tarikan.
Fraktur tulang dan kerusakan lain diperbaiki secara efisien dengan
menggunakan sel dan proses yang sudah berlangsung aktif pada remodeling tulang.
77
Karena mengandung sel punca, osteoprogenitor di seluruh endosteum dan
periosteum serta memiliki suplai darah yang ekstensif, tulang memiliki kapasitas
yang baik untuk perbaikan dan regenerasi.
Fraktur costa dapat terjadi dimana saja disepanjang costa. Costa merupakan
tulang pipih dan memiliki sifat yang lentur. Tulang ini berada dekat dengan kulit
dan tidak banyak memiliki pelindung oleh karena itu setiap terjadi trauma dada
maka akan sekaligus terjadi trauma kepada costa. Dari kedua belas pasang costa
yang ada, tiga costa pertama paling jarang mengalami fraktur hal ini disebabkan
karena costa tersebut sangat terlindung. Costa ke 4-9 paling banyak mengalami
fraktur, karena posisinya sangat terbuka dan memiliki pelindung yang sangat
sedikit, sedangkan tiga costa terbawah yakni costa ke 10-12 juga jarang mengalami
fraktur.
Fraktur kosta terjadi karena adanya gaya tumpul secara langsung maupun tidak
langsung. Fraktur kosta terjadi sekitar 35% - 40% pada trauma toraks. Karakteristik
dari trauma kosta tergantung dari jenis benturan terhadap dinding dada. Gejala yang
spesifik pada fraktur kosta adalah nyeri, yang meningkat pada saat batuk, bernafas
dalam atau pada saat bergerak. Pasien akan berusaha mencegah daerah yang terkena
untuk bergerak sehingga terjadi hipoventilasi. Hal ini meningkatkan risiko
atelektasis dan pneumonia.
Fraktur tulang dapat mengalami proses penyembuhan dalam 5 tahap yaitu:
1. Fase hematoma
Apabila tejadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil
yang melewati kanalikuli dalam system haversian mengalami robekan dalam
daerah fraktur dan akan membentuk hematoma diantara kedua sisi fraktur.
Hematoma yang besar diliputi oleh periosteum. Periosteum akan terdorong dan
mengalami robekan akibat tekanan hematoma yang terjadi sehingga dapat
terjadi ekstravasasi darah kedalam jaringan lunak. Osteosit dengan lakunannya
yang terletak beberapa millimeter dari daerah fraktur akan kehilangan darah dan
mati, yang akan menimbulkan suatu daerah cincin avaskular tulang yang mati
pada sisi – sisi fraktur segera setelah trauma. Waktu terjadinya proses ini
dimulai saat fraktur terjadi sampai 2 – 3 minggu.
2. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal
Pada saat ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu
reaksi penyembuhan. Penyembuhan fraktur terjadi karena adanya sel – sel
78
osteogenik yang berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus
eksterna serta pada daerah endosteum membentuk kalus interna sebagi aktivitas
seluler dalam kanalis medularis. Apabila terjadi robekan yang hebat pada
periosteum, maka penyembuhan sel berasal dari diferansiasi sel – sel
mesenkimal yang berdiferensiasi kedalam jaringan lunak. Pada tahap awal dari
penyembuhan fraktur ini terjadi penambahan jumlah dari sel – sel osteogenik
yang memberi penyembuhan yang cepat pada jaringan osteogenik yang sifatnya
lebih cepat dari tumor ganas. Jaringan seluler tidak terbentuk dari organisasi
pembekuan hematoma suatu daerah fraktur. Setelah beberapa minggu, kalus
dari fraktur akan membentuk suatu massa yang meliputi jaringan osteogenik.
Pada pemeriksaan radiologist kalus belum mengandung tulang sehingga
merupakan suatu daerah radioluscen. Pada fase ini dimulai pada minggu ke 2 –
3 setelah terjadinya fraktur dan berakhir pada minggu ke 4 – 8.
3. Fase pembentukan kalus (Fase union secara klinis)
Setelah pembentukan jaringan seluler yang tumbuh dari setiap fragmen
sel dasar yang berasal dari osteoblast dan kemudian pada kondroblast
membentuk tulang rawan. Tempat osteoblas diduduki oleh matriks interseluler
kolagen dan perlekatan polisakarida oleh garam – garam kalsium pembentuk
suatu tulang yang imatur. Bentuk tulang ini disebut moven bone. Pada
pemeriksaan radiolgis kalus atau woven bone sudah terlihat dan merupakan
indikasi radiologik pertama terjadinya penyembuhan fraktur.
4. Fase konsolidasi (Fase union secara radiology)
Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan – lahan
diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi
struktur lamellar dan kelebihan kalus akan di resorpsi secara bertahap. Pada fase
3 dan 4 dimulai pada minggu ke 4 – 8 dan berakhir pada minggu ke 8 – 12
setelah terjadinya fraktur.
5. Fase remodeling
Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru akan membentuk
bagian yang meyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis
medularis. Pada fase remodeling ini perlahan – lahan terjadi resorpsi secara
osteoklastik dan tetapi terjadi osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna secara
perlahan – lahan menghilang. Kalus intermediet berubah menjadi tulang yang
kompak dan berisi system haversian dan kalus bagian dalam akan mengalami
79
peronggaan untuk membentuk susmsum. Pada fase terakhir ini, dimulai dari
minggu ke 8 – 12 dan berakhir sampai beberapa tahun dari terjadinya fraktur.

80
IX. KERANGKA KONSEP

81
X. KESIMPULAN
Seorang wanita, 35 tahun, mengalami haemopneumothorax disertai dengan fraktur os
costa quarta dextra dan laserasi pulmo dextra yang disebabkan oleh trauma tumpul dada.

82
DAFTAR PUSTAKA
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online
Lestari, C.E., Mansuri, M. and Marwoto, J., 2019. POLA LUKA AKIBAT TRAUMA
TUMPUL BERDASARKAN HASIL VeR di RUMAH SAKIT BHAYANGKARA
PALEMBANG PERIODE 2016-2018 (Doctoral dissertation, Sriwijaya University
Mescher, Anthony L. Histologi Dasar Junqueira Edisi 12
Eroschenko, Victor P. Difiore’s Atlas of Histology Edisi 11
Heil, M., Hazel, A. and Smith, J. (2008). The mechanics of airway closure. Respiratory
Physiology & Neurobiology, 163(1-3), pp.214-221.
Majumder, N. (2015). Physiology of Respiration. IOSR Journal of Sports and Physical
Education, 2(3), pp.16-17
Patwa, A. and Shah, A. (2015). Anatomy and physiology of respiratory system relevant to
anaesthesia. Indian Journal of Anaesthesia, 59(9), p.533.
Runyan, C. M., & Gabrick, K. S. (2017). Biology of Bone Formation, Fracture Healing, and
Distraction Osteogenesis. Journal of Craniofacial Surgery, 28(5), 1380–
1389. doi:10.1097/scs.0000000000003625 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/2856242
4/ (diakses pada 22 Desember 2020)
Richard L Drake; Wayne Vogl; Adam W M Mitchell. 2014. Gray’s Anatomy: Anatomy of the
Human Body. Elsevier; 2014.
Moore Keith L., Dalley Arthur F., Agur Anne M.R.. 2014. Clinically Oriented Anatomy. 7th
ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins
Mescher, L. A. (2009). Junqueira's Basic Histology Text and Atlas. English: McGrawHill
Medical.
Eroschenko, V. P. (2012). Atlas Histologi diFiore. jakarta: EGC.
Fam, I., Prajoko, Y.W. and Margawati, A., 2016. PENGARUH PEMBERIAN INJEKSI
KETOROLAC INTRAPERITONEAL TERHADAP PENYEMBUHAN FRAKTUR
KRURIS TIKUS WISTAR DEWASA. Journal of Medical and Environmental
Sciences, 5(4), pp.1074-1080.
Handayani, N.S.D., 2013. Penatalaksanaan Terapi Latihan Pada Pre Operasi Kondisi Fraktur
Clavicula Dextra 1/3 Lateral Dan Fraktur Costae 3, 4, 5, 6 Dextra Di RSO Prof. Dr.
Soeharso Surakarta (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).

83
Afiarahma, A.I. and Witjahyo, B., 2015. Pengaruh Pemberian Susu Kambing Terhadap
Gambaran Mikroskopis Paru Dan Kadar Hemoglobin (Hb) Tikus Wistar Yang
Terpapar Asap Kendaraan Bermotor (Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).
Mahartha, G.R.A., Maliawan, S., Kawiyana, K.S. and Sanglah, S.U.P., 2013. Manajemen
Fraktur pada Trauma Muskuloskeletal. Bali: Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.
Snell. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. 2011. Jakarta : EGC
med.unhas.ac.id. Biomedik 1. Diakses pada 22 Desember 2020, dari
https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/10/Dinding-thorax
mediastinum.pdf
Downey RP, Samra NS. 2020. Anatomy, Thorax, Tracheobrondhial Tree. StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.
Drake, Richard L. 2012. Gray’s Basic Anatomy. Elsevier: Canada
Paulsen, Friedrich. 2019. Atlas Anatomi Manusia Sobotta. Elsevier: Indonesia
Harsismanto. 2018. “Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada Pasien Trauma Thoraks
(Hemathoraks)”. Makalah. Fakultas Ilmu Kesehatan. Jurusan Ilmu Keperawatan.
Universitas Muhammadiyah Bengkulu: Bengkulu
Eroschenko, Victor P. 2013. Atlas Histologi DiFiore dengan Korelasi Fungsional, Ed. 12.
Penerbit Buku Kedokteran EGC:Jakarta.
Paulsen, HVF dan Waschke, J. 2019. Sobotta Atlas Anatomi Manusia, edisi Indonesia 24.
Elsevier:Singapura.
Sherwood, Lauralee. 2020. FISIOLOGI MANUSIA : DARI SEL KE SISTEM, Ed. 9. Jakarta
: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Mescher, Anthony L. 2019. HISTOLOGI DASAR JUNQUEIRA: TEKS & ATLAS, Ed. 14.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Dogrul, Bekir Nihat et al. 2020. Blunt Trauma Related Chest Wall and Pulmonary Injuries :
An Overview. Chinese Journal of Traumatology : Volum 23 issue 3 (Pages 125-138).
Diakses 22 Desember 2020.
PRATAMA, VINDO DWIKA. 2014. PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA
KASUS PNEUMOTHORAKS DEXTRA DI RSU PKU MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA. PROGRAM STUDI DIPLOMA III FISIOTERAPI FAKULTAS
ILMU KESEHATAN: UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA.

84
Dogrul, Bekir Nihat; Kiliccalan, Ibrahim; Asci, Ekrem Samet; Can Peker, Selim. June 2020.
Blunt trauma related chest wall and pulmonary injuries: An overview. Chinese Journal
of Traumatology Volume 23, Issue 3 Pages 125-13.
Eroschenko, Victor P. 2013. Difiore’s Atlas of Histology With Functional Correlation, 12th Ed.
United State of America: Lippincott Williams & Wilkins/Wolter Kluwer Healt Inc.
Snell, Richard S. 2011. Clinical Anatomy by Systems. Jakarta: EGC
Drevet, G., Conti, M., & Deslauriers, J. (2016). Surgical anatomy of the tracheobronchial tree.
Journal of thoracic disease, 8(Suppl 2), S121–S129.
https://doi.org/10.3978/j.issn.2072-1439.2016.01.69
Patwa, A; Shah, A (September 2015). "Anatomy and physiology of respiratory system relevant
to anaesthesia". Indian Journal of Anaesthesia. 59 (9): 533–41. doi:10.4103/0019-
5049.165849. PMC 4613399. PMID 26556911.
Kenhub. (2020). Anatomy of Trachea. Diakses pada tanggal 23 Desember 2020.
Kenhub. (2020). Anatomy of Bronchi. Diakses pada tanggal 23 Desember 2020.
Kenhub. (2020). Histology of the Lower Respiratory Tract. Diakses pada tanggal 23 Desember
2020.

85

Anda mungkin juga menyukai