Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN

SMALL GROUP DISCUSSION LBM 3

RESPIRASI II

Disusun Oleh :

Nama : Haikal Youris Febrian

NIM : 021.06.0032

Kelas :A

Kelompok :4

Tutor : dr. I Nyoman Cahyadi Tri Setiawan, S.Ked

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM

2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami sampaikam ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya
kami dapat melaksanakan dan menyusun laporan LBM 3 ini pada tepat waktunya.

Laporan ini disusun untuk memenuhi persyaratan sebagai syarat nilai SGD (Small Group
Discussion). Dalam penyusunan laporan ini, kami mendapat banyak bantuan , masukan,
bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, melalui kesempatan ini kami
menyampaikan terima kasih kepada :

1. dr. I Nyoman Cahyadi Tri Setiawan, S.Ked selaku tutor dan fasiliator SGD (Small Group
Disscusion) kelompok 4

2. Bapak/ibu Dosen Universitas Islam Al-Azhar yang telah memberikan masukan terkait
laporan yang penulis buat.

3. Serta kepada teman-teman yang memberikan masukan dan dukungannya kepada kami.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna dan perlu
pendalaman lebih lanjut .Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif
demi kesempurnaan laporan ini. Akhir kata, kami berharap semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi berbagai pihak.

Mataram, 12 Februari 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................

DAFTAR ISI...............................................................................................................................

BAB I ...........................................................................................................................................

PENDAHULUAN ......................................................................................................................

Skenario....................................................................................................................................

Deskripsi Masalah ....................................................................................................................

BAB II .........................................................................................................................................

PEMBAHASAN .........................................................................................................................

Pembahasan DD .......................................................................................................................

Pembahasan DX .......................................................................................................................

BAB III ........................................................................................................................................

PENUTUP ...................................................................................................................................

Kesimpulan...............................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

Skenario

Ny. Ratih usia 40 tahun datang ke UGD RS dengan keluhan sesak napas sejak 3 hari
yang lalu dan dirasakan semakin memberat. Sebelumnya, Ny. Ratih mengeluhkan batuk yang
tidak kunjung sembuh selama 1 bulan terakhir. Ia juga sering merasa sedikit demam pada
malam hari dan nafsu makan menurun. Dalam satu bulan ini ia menyatakan penurunan berat
badan 2 kg la mengaku tidak memiliki Riwayat penyakit lain. Tiga minggu yang suami Ny.
Ratih meninggal karena sesak akibat batuk lama.
Pemeriksaan didapatkan TD: 130/70 mmhg, Nadi: 109x/m, suhu 36,9°C, RR: 35 x/m.
Napas cuping hidug, dyspneu, otot-otot bantu napas aktif, retraksi subcosta, dan menurunnya
rasio inspirasi/ekspirasi, ronkhi diffuse (-), wheezing eskpiratorik (-). Suara dasar vesikuler
kanan menurun dari SIC II-bawah.
Deskripsi Masalah

Berdasarkan skenario, dikatakan bahwa Ny. Ratih berusia 40 tahun datang ke UGD
rumah sakit dengan mengeluhkan sesak napas sejak 3 hari yang lalu dan dirasakan semakin
memberat. Sebelumnya, Ny. Ratih juga mengeluhkan batuk yang tidak kunjung sembuh selama
1 bulan terakhir. Dari gejala tersebut didapatkan bahwa Ny. Ratih mempunyai gejala berupa
sesak napas serta batuk yang tidak kunjung sembuh, kondisi ini kemungkinan berkaitan dengan
adanya suatu penyakit pada saluran atau organ pernapasan pasien. Hal ini dikarenakan pada
kondisi seseorang yang mengalami gangguan pada pernapasan umumnya akan mengalami
gejala berupa sesak napas serta batuk.

Selain itu, dalam satu bulan ini pasien menyatakan adanya penurunan berat badan,
sering demam pada malam hari serta nafsu makan menurun. Hal tersebut kemungkinan
berkaitan dengan kondisi yang dialami Ny. Ratih dimana organ yang mengalami gangguan
seperti peradangan memerlukan energi yang lebih banyak untuk peningkatan metabolisme
organ yang terkena sehingga organ tubuh lain tidak mendapat cukup asupan yang
menyebabkan nafsu makan menurun dan terjadi penurunan berat badan. Sedangkan demam
yang dialami oleh Ny. Ratih sepertinya berkaitan dengan aktivitas sistem imun di dalam tubuh
untuk melawan pathogen akibat peradangan. Ny. Ratih mengaku tidak mempunyai riwayat
penyakit lain akan tetapi tiga minggu yang lalu, suami Ny. Ratih meninggal karena sesak akibat
batuk yang lama. Dari pernyataan tersebut juga perlu dicurigai kemungkinan kondisi yang
dialami oleh Ny. Ratih akibat tertular kondisi yang dialami oleh suaminya dan penularannya
terjadi sebelum suaminya meninggal tetapi gejala yang dirasakan baru muncul.

Pada skenario juga didapatkan beberapa hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan,
dimana didapatkan tekanan darah yang masih dalam kondisi normal (130/70 mmHg), suhu
tubuh masih dalam rentan yang normal yaitu 36,9 derajat celcius. Sedangkan untuk respiration
rate didapatkan 35 x/menit, ini menunjukkan respiration rate yang tinggi melebihi batas normal
yaitu sekitar 16-20 x/menit, kondisi ini kemungkinan terjadi karena adanya gangguan pada
saluran pernapasan yang membuat Ny. Ratih menghirup oksigen lebih banyak dari biasanya
sehingga menyebabkan Ny. Ratih bernapas dengan frekuensi yang cepat. Selain itu, juga
disebutkan bahwa otot-otot bantu pernapasan aktif serta adanya retraksi costa yang
menunjukkan bahwa pasien melakukan inspirasi maksimal ataupun mungkin kesulitan untuk
bernapas sehingga memerlukan bantuan dari otot bantu pernapasan saat bernapas. Selain itu
juga didapatkan adanya napas cuping hidung, menurunnya rasio inspirasi/ekspirasi, ronkhi
diffuse (-), wheezing eskpiratorik (-). Pada pemeriksaan fisik auskultasi didapatkan suara dasar
6 vesikuler kanan menurun dari SIC II – bawah, hal ini kemungkinan menunjukkan adanya
massa ataupun cairan yang menumpuk pada paru kanan sehingga suara vesikuler menurun.
Selain itu, pada skenario diperlihatkan hasil pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen toraks
dan terlihat bahwa terdapat gambaran putih atau radioopaque pada paru kanan yang sudah
hampir memenuhi paru kanan. Seharusnya gambaran yang terlihat adalah radiolusen akan
tetapi ditemukan gambaran putih yang kemungkinan itu merupakan penumpukan cairan
ataupun massa. Sehingga dari hal-hal tersebut, kelompok kami mensuspek kemungkinan
penyakit yang dialami oleh pasien pada skenario adalah efusi pleura yang dilihat dari foto
rongten toraks.
BAB II
PEMBAHASAN

Diagnosis Difrensial (DD)

Efusi Pleura
➢ Definisi
Efusi pleura adalah keadaan yang ditandai dengan adanya penumpukan cairan melebihi
normal di dalam cavum pleura yaitu diantara pleura parietalis yang menempel pada thoraks
dan pleura viseralis yang menempel pada paru. Efusi pleura merupakan penyakit sekunder
terhadap penyakit lain, jarang merupakan penyakit primer. Secara normal ruang pleura
mengandung sejumlah kecil cairan (5-15 ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan
permukaan pleura bergerak tanpa adanya friksi. Cairan pada efusi pleura dapat berupa cairan
transudat atau cairan eksudat (Puspita, I., Soleha, T.U. & Berta G., 2020).
➢ Epidemologi
Di Amerika Serikat, 1,5 juta kasus efusi pleura terjadi tiap tahunnya. Sementara pada
populasi umum secara internasional, diperkirakan tiap 1 juta orang, 3000 orang terdiagnosa
efusi pleura. Di negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung
kongestif, sirosis hati, keganasan, dan pneumonia bakteri, sementara di negara- negara yang
sedang berkembang, seperti Indonesia, lazim diakibatkan oleh infeksi tuberkulosis (Puspita, I.,
Soleha, T.U. & Berta G., 2020).
Sedangkan etiologi tersering adalah tuberkulosis (44,2%) diikuti tumor paru (29,4%).
Ada lebih dari 55 penyebab efusi pleura yang telah dicatat. Sedangkan insidensi berdasarkan
penyebabnya sendiri bervariasi bergantung dari area 11 demografik serta geografisnya. Sisi
paru yang terkena pada pasien efusi pleura yang paling sering ditemukan adalah paru kanan
sebanyak (48,2%) dan sebagian besar efusi pleura terjadi unilateral (85,5%) (Puspita, I.,
Soleha, T.U. & Berta G., 2020).
➢ Etiologi
Klasifikasi dan etilogi efusi pleura berdasarkan jenis cairan dalam cavum pleura yaitu :
1) Efusi Pleura Transudat
Transudat yaitu apabila akumulasi cairan terjadi akibat proses non inflamasi, biasanya
disebabkan oleh suatu kelainan pada tekanan intrapulmonal seperti peningkatan produksi
cairan karena tekanan hidrostatik yang meningkat atau terjadi penurunan tekanan onkotik.
Contohnya pada penyakit gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis
peritoneum, hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan, perikarditis konstriktiva, keganasan,
atelektasis paru akut, emboli paru dan pneumotoraks (Nurtanio, G.M., Widianingsih, Y. &
Sennang N., 2019).
2) Efusi Pleura Eksudat
Eksudat yaitu akumulasi cairan yang terjadi bila ada proses inflamasi di dalam rongga
serosa yang menyebabkan permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat
sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboid dan terjadi pengeluaran cairan
ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena
Mycobacterium tuberculosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa.
Penyebab lain dari efusi pleura eksudat adalah pneumonia (efusi parapneumonia), infeksi
bakteri (Legionella), infeksi virus, infeksi jamur, infeksi Rickettsia, infeksi parasit (ameba,
paragonimiasis, Echinococcus), asbestosis, sindroma Meig, penyakit pankreas, pleuritis
uremia, pleuritis lupus, atelektasis paru kronik, kilotoraks, sarkoidosis, reaksi obat, dan
akibat radiasi (Nurtanio, G.M., Widianingsih, Y. & Sennang N., 2019).

KRITERIA TRANSUDAT EKSUDAT


Kadar protein < 30 g/l > 30 g/l
Rasio protein pleura/serum < 0,5 > 0,5
Berat jenis < 1,016 > 1,016
Kadar LDH < 200 IU/l > 200 IU/l
Rasio LDH pleura/serum < 0,6 > 0,6
Kadar kolesterol < 60 mg/dl > 60 mg/dl
Rasio kolesterol pleura/serum < 0,3 > 0,3
Derajat albumin serum/efusi < 1,2 gr/dl > 1,2 gr/dl
Rasio bilirubin pleura/serum < 0,6 > 0,6
Kadar prostaglandin E < 50 g/ml > 50 g/ml
Kadar RBC < 10/lpb > 10/lpb

➢ Manifestasi Klinis
Pasien efusi pleura secara khas memperlihatkan keluhan dan gejala yang berkaitan
dengan kondisi patologis yang mendasari. Sebagian besar pasien dengan efusi yang luas,
khususnya pasien yang menderita penyakit paru sebagai penyebab yang mendasari, akan
mengeluh sesak napas (dispnea). Keluhan ini pada keadaan efusi yang berkaitan dengan
pleuritis akan disertai keluhan nyeri pleuritik dada. Gambaran klinis lain bergantung pada
penyebab efusi. Tanda dan gejala dari efusi pleura adalah sebagai berikut (Setiati, dkk., 2014):
• Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan, setelah cairan
cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas.
• Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada
pleuritic (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebrile (tuberkulosis), banyak keringat,
batuk, banyak riak.
• Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan
pleural yang signifikan.
• Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan akan
berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan, fremitus
melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk
permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
• Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas
garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan
mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler
melemah dengan ronki.
• Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi

➢ Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan adalah sebagi berikut (Puspita, I., Soleha, T.U.
& Berta G., 2020):
1) Pengukuran tanda-tanda vital seperti tekanan darah, nadi, suhu, laju pernapasan.
• Pada laju pernapasan akan ditemukannya peningkatan yang signifikan, akibat paru
didesak oleh penumpukan cairan yang ada pada cavum pleura.
2) Pemeriksaan fisik paru seperti inspeksi bentuk dada, palpasi, perkusi suara paru dan
asukultasi.
• Pada palpasi ditemukannya fremitus taktil menurun terutama pada daerah basal,
yang terjadi akibat penumpukan cairan pada cavum pleura yang menuju basal yaitu
sudut costophrenicus sehingga fremitus taktil (gerakan udara dalam paru) tidak
terasa/menurun.
• Pada perkusi ditemukannya suara tumpul/redup karena adanya penumpukan cairan,
yang normalnya perkusi paru berbunyi sonor.
• Pada auskultasi, terdapat penurunan suara dasar vesikuler paru yang diakibatkan
paru terdesak ke dalam karena cairan yang menumpuk banyak pada cavum pleura,
sehingga saat auskultasi suara vesikuler paru tidak terdengar/menurun. Dan sesekali
akan terdengar suara pleura friction rub pada akhir inspirasi.
➢ Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks adalah pemeriksaan yang dasar dan utama dalam
mendiagnosis efusi pleura. Beberapa proyeksi yang dapat digunakan yaitu
posteroanterior (PA), lateral, anteroposterior (AP), dan lateral dekubitis. Proyeksi yang
digunakan tergantung dari kondisi pasien dan gambaran yang dibutuhkan untuk
menentukan diagnosis efusi pleura. Gambaran utama efusi pelura adalah sudut
costophrenicu tumpul akibat cairan pada cavum pleuran akan mengarah ke basal. Dan
kadang akan ditemukan gambaran meniscus sign (Marvellini, R.Y., 2020).

Gambar. Small Pleural Efusion.


Gambar. Moderate Pleural Efusion Gambar. Large (Masif) Pleural Efusion

2) Pemeriksaan CT Scan
CT scan merupakan modalitas paling baik dan akurat untuk mendiagnosis suatu
efusi pleura daripada foto torak dan ultrasonografi. Pada pemeriksaan CT scan untuk
efusi pleura membutuhkan kontras untuk membedakan apakah itu cairan efusi atau
parenkim paru. CT scan dapat memperlihatkan posisi dari efusi pleura dari berbagai
aspek dengan potongan coronal, axial maupun sagital dan dapat digunakan untuk
memperkirakan jenis efusi pleura (Marvellini, R.Y., 2020).

Gambar. Efusi Pleura pada CT scan potongan sagittal.

Gambar. Efusi Pleura pada CT scan potongan axial.


3) Pemeriksaan Sonografi
Pemeriksaan sonografi toraks merupakan pemeriksaan dasar yang penting pada
kasus emergensi untuk mendiagnosis penyakit paru salah staunya adalah efusi pleura.
Pemeriksaan sonografi digunakan untuk mendiagnosis dan menentukan jumlah volume
efusi pleura. Sonografi lebih akurat dalam mendeteksi efusi pleura daripada foto toraks
konvensional. Efusi pleura dapat dilihat pada apek maupun dasar toraks dengan berbagai
posisi yaitu supine maupun elbow position (Marvellini, R.Y., 2020).
Gambar. Pemeriksaan Sonografi Efusi Pleura dengan “Elbow Position”.
4) Tes Rivalta Tes
Rivalta merupakan pemeriksaan konvensional yang masih sering dilakukan hingga
saat ini untuk membedakan efusi pleura transudat (tes Rivalta negatif) dan eksudat (tes
Rivalta positif). Interpretasi dari tes Rivalta dilakukan dengan menilai ada tidaknya
kekeruhan setelah cairan efusi pleura diteteskan pada cairan aquades yang mengandung
asam acetat glasial. (Marvellini, R.Y., 2020).
5) Tes Mikroskopis
Pada pewarnaan MGG (May Grunwald Giemsa) cairan pleura dapat membedakan
dua golongan jenis sel yaitu golongan yang berinti satu (MN) dan golongan sel
polinuklear (PMN). MN (Mononuklear sel) terdiri dari limfosit dan monosit. Sedangkan
Polimorfonuklear (PMN) terdiri dari Netrofil, eosinofil dan basofil. Bila leukosit PMN
yang banyak dapat diduga adanya infeksi akut, bakteri ataupun virus, dan reaksi alergi,
sedangkan limfosit yang meningkat dapat ditemukan pada infeksi kronik bakteri ataupun
virus. (Marvellini, R.Y., 2020).

Abses Paru
➢ Definisi
Abses paru merupakan kerusakan lokal pada parenkim paru yang disebabkan infeksi
bakteri anaerob yang mengakibatkan kerusakan dan supurasi pada jaringan paru. Kerusakan
jaringan paru tersebut akan membentuk rongga atau kavitas sebanyak satu atau beberapa yang
berisikan air fluid level. (Lawrence, S, 2021)
➢ Epidemologi
Frekuensi abses paru yang terjadi di masyarakat umum Amerika Serikat tidak diketahui.
Abses paru lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dan umumnya terjadi pada
umur tua karena terdapat peningkatan insiden penvakit periodontal dan peningkatan prevalensi
disfagi dan aspirasi, namun pada daerah urban dengan tingginya prevalensi alcoholism
dilaporkan abses paru rata-rata terjadi pada umur 41 tahun. Kemajuan ilmu kedokteran saat ini
menyebabkan angka kejadian abses paru menurun (jarang ditemukan) karena adanva
penurunan risiko terjadinya abses paru seperti teknik operasi dan anestesi yang lebih baik dan
penggunaan antibiotika lebih dini, kecuali pada kondisi-kondisi yang memudahkan terjadinya
aspirasi pada immunocompromised. Dengan angka harapan hidup yang lebih baik pada pasien
HIV maka pada tahun-tahun belakangan ini kasus abses paru tampak mengalami peningkatan
lagi. (Setiati, dkk., 2014)
➢ Klasifikasi
Berdasarkan lama penyakitnya, abses paru diklasifikasikan menjadi (Setiati, dkk., 2014):
• Akut, yaitu kurang dari 6 minggu
• Kronis, yaitu lebih dari 6 minggu

Berdasarkan perkembangannya, abses paru diklasifikasikan menjadi (Setiati, dkk., 2014):

• Primer, yaitu abses paru tanpa adanya lesi paru yang mendasari. Dapat disebabkan oleh
aspirasi sekret orofaringeal.
• Sekunder, yaitu abses paru dengan adanya lesi paru yang mendasari seperti
bronkiektasis, emfisema bulosa, atau fibrosis kistik.

Berdasarkan cara penyebarannya, abses paru dapat terjadi melalui (Setiati, dkk., 2014):

• Bronkogenik, yaitu terjadi melalui aspirasi atau inhalasi sekret orofaringeal.


• Hematogenik, yaitu penyebaran dari tempat lain yang terinfeksi, seperti sepsis abdomen,
endokarditis infektif, tromboemboli septik.
➢ Etiologi
Timbulnya abses paru sering disebabkan oleh radang paru-paru akibat nekrosi bakteri.
Secara mikrobiologis, abses paru disebabkan oleh infeksi bakteri anaerob, seperti
Fusobacterium nucleatum, atau Peptostreptococcus sp. Selain infeksi bakteri anaerob, abses
paru dapat disebabkan oleh campuran infeksi bakteri anaerob dengan bakteri aerob pula. Pada
necrotizing/suppuratif pneumonia, abses paru disebabkan oleh bakteri Staphylococcus. aureus,
Streptococcus pyogenes, Ktebsiella pneumoniae dan Pseudomonas aeruginosa. Bakteri gram
negatif lainnya, seperti Euschereria colli, Haemophilus influenza type 6, juga dapat
mengakibatkan abses paru. Selain disebabkan oleh infeksi bakteri anaerob dan aerob pada
umumnya, abses paru juga dapat dijumpai pada penderita tuberkulosis. Abses paru juga dapat
disebabkan oleh organisme selain bakteri, seperti jamur (Mucoraceae, Aspergillus sp.) atau pun
protozoa (Lawrence, S., 2021).
Bakteri juga dapat timbul sebagai hasil pembusukan emboli. Selain itu, keadaan-
keadaan yang mempermudah terjadinya aspirasi benda asing, yaitu klien dengan kerusakan
reflek batuk, kesulitan mengunyah dang gangguan pada esofagus serta yang mengalami
penurunan kesadaran akibat anestesia juga dapat beresiko terhadap timbulnya abses paru
(Lawrence, S., 2021).
➢ Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang sering timbut pada penderita abses paru adalah batuk yang disertai
dengan dahak yang purulen, diikuti dengan sesak nafas dan nyeri dada yang bersifat pleuritik.
Pasien juga sering mengaiami demam tinggi yang dapat disertai dengan menggigil bahkan
kejang. Apabila telah terjadi nekrosis pada jaringan paru yang mempunyai hubungan langsung
dengan bronkus, maka batuk pada penderita abses paru disertai dengan dahak purulen semakin
banyak dan adanya bau yang khas merupakan gejaia klinis yang spesifik untuk penderita abses
paru. Batuk yang disertai dengan darah dapat terjadi walaupun jarang, dan bila terjadi batuk
darah, maka hai ini akan menjadf faktor pemberat bagi penderita, bahkan dapat mengancam
jiwa penderita itu sendiri. Selain itu dispenea, kelemahan, anoreksia dan penurunan berat badan
juga bisa terjadi pada penderita abses paru. Jika abses paru pecah kedalam rongga pleura, akan
terjadi nyeri pleura yang hebat disertai dengan dispenea dan tanda-tanda empiema atau
pneumotoraks. Sedangkan pada pemeriksaaan rongga mulut sering menunjukkan keadaan
higiene mulut yang jelek dengan adanya karies dentis, ginggivitis, periodonitis, dan keadaan
lain yang meningkatkan jumlah kuman anaerob dirongga mulut. (Lawrence, S., 2021)
➢ Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dada, tidak ada tanda-tanda yang spesifik untuk penderita abses
paru. Pada perkusi, akan didapati suara sonor memendek, dan pada auskultasi kita akan
menjumpai adanya suara pemafasan yang melemah bahkan menghilang bila abses paru besar
dan terletak dekat dengan permukaan paru. Pada suara pemafasan kita dapat mendengarkan
adanya suara tambahan. (Setiati, dkk., 2014)
➢ Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Radiologi
Secara radiologis, penderita abses paru akan memberikan gambaran abnormalitas,
mulai dari infiltrat pneumonia, yang diikuti kemudian dengan konsolidasi homogen.
Apabila telah adanya kavitas dengan air fluid level, maka mengindikasikan telah adanya
hubungan langsung antara jaringan paru dan bronkus. Pembengkakan pada septum
interlobar merupakan ciri khas pada infeksi Klebsiella sp. Foto roentgen toraks lateral akan
membantu dalam menentukan letak lesi di paru. Hal ini akan mempermudah kita saat
melakukan pemeriksaan fisik dada dan dapat membantu dalam pemeriksaan penunjang
yang akan kita lakukan berikutnya, seperti CT scan toraks dan bronkoskopi. Segmen
posterior lobus atas paru kanan merupakan tempat yang paling sering terjadinya abses paru,
diikuti dengan segmen apikal dan Iobus bawah sesuai dengan gerakan gravitasi. Selain
gambaran radiologis di atas, ditemukan adanya abnormalitas seperti adanya konsolidasi
homogen dengan meniskus sign, bila telah terjadi elusi pteum, juga dapat temukan adanya
pleura line pada penderita yang teteh mengalami pneumotoraks. (Setiati, dkk., 2014)

Gambar. Gambaran Abses Paru pada pemeriksaan Foto Toraks


2) Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum sangat memegang peranan penting dalam mengetahui jenis
bakteri yang msnyebabkan terjadinya abses paru. Pada infeksi yang disebabkan oteh bakteri
anaerob, akan dijumpai sputum mukopurulen yang mengandung banyak neutrofil yang
merupakan campuran dengan bakteri coccus gram positif dan bakteri batang gram negatif.
(Setiati, dkk., 2014)
3) Pemeriksaan Bronkoskopi
Bronkoskopi digunakan sebagai atat diagnostik yang paling membantu pada penderita
abses paru. Hal ini dikarenakan dengan pemeriksaan bronkoskopi dapat langsung melihat
kelainan dan lokasi sumber infeksi pada bronkus. Dengan bronkoskopi, kita dapat langsung
mengambil sampel sputum dari bronkus, dan menemukan bakteri penyebab terjadinya
abses paru. Hal ini sangat membantu kita dalam pemberian pengobatan antibiotika yang
sesuai dan sensitif terhadap bakteri yang kita temukan. Selain sebagai atat penegakan
diagnostik, bronkoskopi juga dapat kita tekukan dalam mengambil bahan bahan iritan,
seperti jarum, peluru ataupun corpus alienum lainnya yang menyebabkan terjadinya infeksi
dan terbentuknya abses. (Setiati, dkk., 2014)

Tumor Paru
➢ Definisi
Kanker paru dalam artian yang luas adalah seluruh penyakit keganasan di paru,
mencakup keganasan yang berasal dari paru itu sendiri (primer) dan metastasis tumor di paru.
Metastasis tumor di paru adalah tumor yang tumbuh sebagai akibat penyebaran dari tumor
primer organ lain. Definisi khusus untuk kanker paru primer yakni tumor ganas yang berasal
dari epitel saluran napas atau bronkus. Terdapat dua jenis kanker paru yaitu karsinoma paru sel
kecil (SCLC) dan karsinoma paru non-sel kecil (NSCLC). Kanker paru ini merupakan
penyebab utama kematian pada kelompok kanker. Kanker paru membutuhkan pengobatan
yang begitu tepat. Diagnosis buruk penyakit ini merujuk pada fakta bahwa pasien lebih jarang
pergi ke dokter karena penyakitnya masih di stadium awal. (Setiati, dkk., 2014)
➢ Epidemologi
Prevalensi kanker paru di negara maju sangat tinggi, di USA pada tahun 2002 dilaporkan
terdapat 169.400 kasus baru (mewakili 13% dari semua kanker yang baru didiagnosis) dengan
154.900 kematian (mewakili 28% dari seluruh kematian akibat kanker). Di Inggris insidennya
mencapai 40.000/tahun. Di Indonesia kanker paru menempati urutan ke 4 kanker terbanyak,
menurut data di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta pada tahun 1998 menempati urutan ke
3 setelah kanker payudara dan leher rahim. Angka kematian akibat kanker paru di seluruh
dunia mencapai kurang lebih satu juta orang setiap tahunnya. Karena sistem pencatatan yang
masih kurang baik, prevalensi pastinya belum diketahui, tetapi klinik tumor dan paru di rumah
sakit tersebut benar-benar mengalami peningkatan. Di negara berkembang lainnya, dilaporkan
kejadiannya meningkat pesat, antara lain karena konsumsi rokok yang berlebihan, seperti di
China yang mengonsumsi 30% rokok dunia. Sebagian besar kanker paru-paru menyerang pria
(65%) dengan risiko seumur hidup 1:13 sedangkan pada wanita 1:20. (Setiati, dkk., 2014)
➢ Etiologi
Penyebab sebenarnya dari kanker paru belum diketahui, tetapi ada beberpa faktor yang
bertanggung jawab dalam peningkatan inseden kaker paru (Setiati, dkk., 2014):
a. Merokok
Kanker paru berisiko 10 kali lebih tinggi dialami perokok berat dibandingkan dengan
bukan perokok. Peningkatan faktor resiko ini berkaitan dengan riwayat jumlah merokok
dalam tahun (jumlah bungkus rokok yang digunakan setiap hari dikali jumlah tahun
merokok) serta factor saat mulai merokok (semakin muda individu mulai merokok,
semakin besar terhadinya resiko kanker paru). Factor lain yang dipertimbangkan termasuk
di dalamnya jenis rokok yang diisap (kandungan tar, rokok filter, dan kretek) Perokok pasif
beresiko tinggi untuk melangalmi kanker paru. Dengan kata lain, individu yang secara tidak
sengaja terpapar asap rokok (di dalam mobil, gedung, atau tempat lainnya) juga berisiko
tinggi mengalami kanker paru.
b. Populasi
Lingkungan kerja Pada keadaan tertentu, karsinma bronkhogenik tempaknya
merupakan suatu penyakit akibat populasi lingkungan kerja. Dari berbagai bahay industri,
yang paling berbahaya adalah asbes yang kini banyak sekali diproduksi dan digunkan pada
bangunan. Risiko kanker paru di antar para pekerja yang berhubungan atau lingkungannya
mengandung asbes kali lebih besar dari pada masyarakat umum. Peningkatan resiko ini
juga dialami oleh mereka yang bekerja dengan uranium, kromat, arsen (misalnya
insektisida yang digunakan dalam pertanian),besi, dan oksida besi. Risko kanket paru baik
akibat kontak dengan asbes maupun uranium akan menjadi lebih besar lagi jika orang itu
juga merokok.
c. Populasi udara
Ada beberapa karsinogen yang telah teridentifikasi, termasuk didalam sulfur, emisi
kendaraan bermotor, dan polutan dari pengolahan dan pabrik. Bukti-bukti menunjukan
bahwa insiden kanker paru lebih besar di daerah perkotaan sebagai akibat penumpukan
polutan dan emisi kendaraan bermotor.
d. Genetik
Pada sel kanker paru didapatkan sejumlah lesi genetic termasuk aktivitas onkogen
dominan dan inaktivitas supresor tumor atau onkogen resesif.
e. Rendahnya asupan Vitamin A
Beberapa penelitian telah menunjukan bahwa perokok yang dietnya rendah vitamin
A dapat memperbesar risiko terjadinya kanker paru. Hipotesis ini didapatkan dari beberapa
penelitian yang menyimpulkan bahwa vitamin A dapat menurunkan risiko peningkatan
jumlah sel-sel kanker. Hal ini berkaitan dengan fungsi vitamin A yang turut berperan dalam
diferensi sel.
➢ Manifestasi Klinis
Pada fase awal, sebagian besar kanker paru tidak menunjukkan gejala klinis. Jika
terdapat gejala, maka pasien tersebut dalam stadium lanjut. Gejala utama pada pasien kanker
antara lain batuk, batuk darah, sesak napas, suara serak, nyeri dada, penurunan berat badan,
nafsu makan menurun, timbul demam, menangis, benjolan di pangkal leher, bengkak di wajah
dan leher, serta paraneoplastik. sindrom. (PDPI, 2021)
Gambaran klinis kanker paru dapat dibagi menjadi gejala intrapulmoner, gejala
intratoraks ekstrapulmoner, gejala ekstratoraks non-metastatik dan gejala ekstratoraks
metastatik. Gejala intrapulmoner disebabkan oleh gejala lokal tumor pada paru yang
mengakibatkan gangguan pergerakan silia dan ulserasi bronkus sehingga mudah terjadi
peradangan berulang dan timbul keluhan batuk. Gejala intratoraks ekstrapulmoner muncul
ketika tumor menyebar ke mediastinum yang akan menekan atau merusak struktur di dalamnya
sehingga dapat menyebabkan kelumpuhan diafragma, kelumpuhan pita suara, sindrom Horner,
disfagia dan sindrom vena kava superior. Gejala extrathoracic non-metastatik, yaitu sindrom
paraneoplastik (gejala tumor bermanifestasi pada neuromuskuler, endokrin metabolik, jaringan
ikat dan tulang, serta pembuluh darah dan hematologis). Gejala extrathoracic metastatik adalah
gejala yang disebabkan oleh penyebaran sel kanker ke organ lain, terutama otak, hati, dan
tulang. (PDPI, 2021)
➢ Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, tanda yang dapat ditemukan pada kanker paru dapat bervariasi
tergantung pada letak, besar tumor dan penyebarannya. Pembesaran kelenjar getah bening
(KGB) supraklavikula, leher dan aksila menandakan telah terjadi penyebaran ke KGB atau
tumor di dinding dada, kepala atau lokasi lain juga menjadi peta penyebaran. Tumor kecil dan
letak di perifer masih menandakan gambaran yang normal. Tumor ukuran besar, yang terletak
di sentral yang disertai ateletaksis mengakibatkan penarikan trakea atau esofagus. (Setiati, dkk.,
2014)
Sesak napas dengan penemuan suara napas yang abnormal pada pemeriksaan fisik yang
didapatkan jika terdapat massa yang besar, efusi pleura atau atelektasis. Venektasi (pelebaran
vena) di dinding dada dengan pembengkakan (edema) wajah, leher dan lengan yang
berhubungan dengan bendungan pada vena kava superior (SVKS). Sindroma Horner sering
terjadi pada tumor yang terletak di apeks (tumor pancoast). Trombus pada vena ekstremitas
ditandai dengan edema disertai nyeri pada anggota gerak dan gangguan sistem hemostatis
(peningkatan kadar D-dimer) menjadi gejala telah terjadinya bendungan vena dalam (DVT).
Tanda- tanda patah tulang patologik dapat terjadi pada kanker yang bermetastasis ke tulang.
Tanda-tanda gangguan syaraf akan didapat jika kanker sudah menyebar ke otak atau tulang
belakang. (Setiati, dkk., 2014)
➢ Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi Foto Toraks
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang paling penting. digunakan
untuk mendiagnosis kanker paru-paru. Kanker paru-paru memiliki berbagai gambaran
radiologis. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui keganasan tumor dengan melihat
ukuran tumor, kelenjar getah bening, dan metastase ke organ lain. (Setiati, dkk., 2014)
Pada kanker paru, pemeriksaan foto rontgen dada diperlukan juga untuk menilai
doubling timenya. Dilaporkan bahwa, kebanyakan kanker paru mempunyai doubling time
antara 37-465 hari. Bila doubling time > 18 bulan, berarti tumornya jinak. Tanda-tanda
tumor jinak lainnya adalah lesi berbentuk bulat konsentris, solid dan adanya kalsifikasi
yang tegas. (Setiati, dkk., 2014)
Kanker paru umumnya memberikan gambaran radiologi berupa nodul soliter. Nodul
soliter paru biasanya akan memberikan gambaran lesi berbentuk seperti koin yang dikenal
sebagai “coin lesion”. Pembesaran hilum merupakan gambaran radiografi yang didapatkan
adanya massa hilum atau perihilum. Massa tumor dan pembesaran kelenjar limfe
menyebabkan gambaran hilum menjadi lebih opaque. Gambaran radiografi lain yang
biasanya menyertai adanya karsinoma paru adalah kalsifikasi pada lesi, lesi berbentuk
kavitasi, adanya lesi satelit, adanya tanda metastasis ke tulang rusuk, serta pembesaran
bayangan jantung akibat adanya efusi pericardium. (Setiati, dkk., 2014)

Gambar. Gambaran karsinoma paru pada pemeriksaan foto polos toraks.


2. CT Scan Toraks
Pemeriksaan CT scan pada toraks, lebih sensitif daripada pemeriksaan foto dada
biasa, karena bisa mendeteksi kelainan atau nodul dengan diameter minimal 3 mm,
walaupun hasil positif palsu untuk kelainan sebesar itu mencapai 25-60%. Salah satu
kelebihan CT-Scan toraks dibandingkan foto toraks konvensional adalah kemampuan
dalam menilai tumor secara lebih detail sehingga ukuran dan tepi tumor dapat dinilai lebih
jelas, begitu pula dengan penilaian terhadap ada tidaknya kalsifikasi, kavitasi, dan lemak.
selain itu, penilaian terhadap attenuation dan ground-glass opacity pada CT-Scan dapat
membantu dalam membedakan sifat karsinoma, jinak atau ganas. (Setiati, dkk., 2014)
3. Bone Scan
Pemeriksaan ini diperlukan bila diduga ada tanda-tanda metastasis ke tulang. Insidens
metastasis tumor Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC) ke tulang dilaporkan sebesar 15%.
(Setiati, dkk., 2014)
4. Pemeriksaan radiologi lain
Kekurangan dari foto toraks dan CT-scan toraks adalah tidak mampu mendeteksi
telah terjadinya metastasis jauh. Untuk itu dibutuhkan pemeriksaan radiologik lain,
misalnya Brain-CT untuk mendeteksi metastasis di tulang kepala / jaringan otak, bone scan
dan/atau bone survey dapat mendeteksi metastasis diseluruh jaringan tulang tubuh. USG
abdomen dapat melihat ada tidaknya metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ lain
dalam rongga perut. (Setiati, dkk., 2014)
➢ Pemeriksaan Khusus :
5. Bronkoskopi
Bronkoskopi serat optik menunjukkan pemeriksaan rinci pada segmen bronkial dan
membantu mengidentifikasi sumber sel-sel maligna. Selama dilakukan prosedur ini akan
dilakukan bilas bronkial untuk mendapatkan sel tumor secara patologi dan sitologi. Setiap
pasien yang dicurigai menderita tumor bronkus merupakan indikasi untuk bronkoskopi.
Dengan menggunakan bronkoskop fiber optik, perubahan mikroskopik mukosa bronkus
dapat dilihat berupa nodul atau gumpalan daging. Bronkoskopi akan lebih mudah dilakukan
pada tumor yang letaknya di sentral. Tumor yang letaknya di perifer sulit dicapai oleh ujung
bronkoskop. (Setiati, dkk., 2014)
6. Sitologi Sputum
Pemeriksaan sitologi sputum rutin dikerjakan terutama bila pasien ada keluhan seperti
batuk. Pemeriksaan itologi tidak selalu memberikan hasil positif karena ia ergantung dari:
• Letak tumor terhadap bronkus.
• Jenis tumor
• Teknik mengeluarkan dahak Jumlah dahak yang diperiksa. Anjuran pemeriksaan 3-
5 hari berturut- turut
• Waktu pemeriksaan sputum (sputum harus segar)
Pada kanker paru yang letaknya sentral, pemeriksaan sputum yang baik dapat
memberikan hasil positif sampai 67-85% pada karsinoma sel skuamosa. Pemeriksaan
sitologi sputum dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin dan penapisan untuk diagnosis dini
kanker paru. (Setiati, dkk., 2014)
7. Trans bronchial lung biopsy (TBLB)
Biopsi transbronchial paru adalah prosedur pengangkatan jaringan paru-paru sebagai
sampel untuk menentukan apakah ada penyakit paru-paru atau kanker. Jika terdapat lesi
kecil dan lokasi agak di perifer serta ada sarana untuk fluoroskopik maka biopsi paru lewat
bronkus (TBLB) harus dilakukan. (Setiati, dkk., 2014)
8. Trans Torakal Biopsi (TTB)
Biopsi transtorakal (transthoracal biopsy/TTB) merupakan tindakan biopsy paru
transtorakal yang dapat dilakukan tanpa tuntunan radiologic (blinded TTB) maupun dengan
tuntunan USG (USG-guided TTB) atau CT scan toraks (CT-guided TTB) untuk
mendapatkan sitologi atau histopatologi kanker paru. Biopsi dengan TTB terutama untuk
lesi yang letaknya perifer dengan ukuran > 2 cm, sensitivitasnya mencapai 90-95%. (Setiati,
dkk., 2014)
9. Torakoskopi
Biopsi tumor di daerah pleura memberikan hasil yang lebih baik dengan cara
torakoskopi daripada cara membuta (blind). Untuk tumor yang letaknya dipermukaan
pleura visceralis biopsi dengan cara Video Assisted Thorascoscopy memiliki sensitivitas
dan spesifisitas hingga 100%, dengan risiko komplikasi yang amat rendah. (Setiati, dkk.,
2014)
10. Mediatinoskopi
Lebih dari 20% kanker paru bermetastasis ke mediastinum, terutama Small Cell Ca
dan Large Cell Ca. Untuk mendapatkan tumor metastasis atau kelenjar getah bening yang
terlibat dapat dilakukan dengan cara mediastinoskopi di mana mediastinoskopi dimasukkan
melalui insisi supra sternal. Hasil biopsi memberikan nilai positif 40%. Dari studi lain nilai
negatif palsu pada mediastinoskopi didapat sebesar 8-12 (diikuti dengan torakotomi)
(Setiati, dkk., 2014)
11. Torakotomi
Torakotomi untuk diagnostik kanker paru dikerjakan bila berbagai prosedur non
invasif dan invasif sebelumnya gagal mendapatkan sel tumor. (Setiati, dkk., 2014)

Penentuan Diagnosis Tegak (DX)

Berdasarkan skenario di atas kelompok kami menetapkan diagnosis tegak yaitu Efusi
Pleura. Efusi pleura adalah keadaan yang ditandai dengan adanya penumpukan cairan melebihi
normal di dalam cavum pleura yaitu diantara pleura parietalis yang menempel pada thoraks
dan pleura viseralis yang menempel pada paru. Dilihat dari keluhan yang dialami seperti sesak
nafas, batuk, demam pada malam hari, dan nafsu makan menurun serta pada pemeriksaan fisik
didapatkan, Nadi: 109x/m, suhu 36,9°C, RR: 35 x/m. Napas cuping hidug, dyspneu, otot-otot
bantu napas aktif, retraksi subcosta, dan menurunnya rasio inspirasi/ekspirasi, Suara dasar
vesikuler kanan menurun dari SIC II-bawah serta pada pemeriksaan foto rontgen toraks
didapatkan gambaran putih atau opaque yang hampir memenuhi paru kanan disebabkan oleh
adanya penumpukan cairan pada paru kanan. Hal ini merujuk pada menifestasi klinis dari efusi
pleura.

Pembahasan Diagnosis Kerja

Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan
protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat
sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini terjadi karena perbedaan tekanan
osmotik plasma dan jaringan interstisial submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk
ke dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura.
Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh peradangan. Bila proses
radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga terjadi empiema/piotoraks.
Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan hemotoraks.
(Huether, dkk., 2017)

Proses terjadinya pneumotoraks karena pecahnya alveoli dekat pleura perietalis sehingga
udara akan masuk ke dalam rongga pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada atau
alveoli pada daerah tersebut yang kurang elastis lagi seperti pada pasien emfisema paru. Efusi
cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain bukan primer paru seperti
gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis peritoneum, hipoalbuminemia
oleh berbagai keadaan, perikarditis konstriktiva, keganasan, atelektasis paru dan
pneumotoraks. Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan
permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah
menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab
pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberkulosis dan dikenal
sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa. Sebab lain seperti parapneumonia, parasit (amuba,
paragonimiosis, ekinokokkus), jamur, pneumonia atipik (virus, mikoplasma, fever, legionella),
keganasan paru, proses imunologik seperti pleuritis lupus, pleuritis rematoid, sarkoidosis,
radang sebab lain seperti pankreatitis, asbestosis, pleuritis uremia dan akibat radiasi. (Huether,
dkk., 2017)

Faktor Resiko

1. Umur
Semakin semakin bertambahnya umur maka semakin tinggi resiko terkena pajanan
terhadap zat karsinogen semakin banyak baik melalui makanan dan minuman yang
diawetkan, radiasi, terhirup ataupun terkontaminasi zat yang bersifat karsinogenik yang
mulai menimbulkan efek pada usia tua. (Setiati, dkk., 2014)
2. Jenis Kelamin
Laki-laki lebih banyak kontak dengan masyarakat terkhusus pasien TB dibandingkan
perempuan dan cenderung lebih aktif sehingga menyebabkan daya tahan tubuhnya
menurun dan memudahkan terjadinya infeksi penyakit. Faktor kebiasaan seperti merokok
dan mengonsumsi alkohol diduga juga mempengaruhi hal tersebut. (Setiati, dkk., 2014)
3. Riwayat Penyakit Tuberkulosis Paru
Riwayat penyakit tuberculosis merupakan salah satu penyebab terjadinya efusi pleura
karena penyakit ini mudah menular kepada orang lain baik melalui nafas maupun sputum
pasien TB terutama bila orang yang tertular memiliki daya imun yang lemah. Selain itu
dapat juga disebabkan karena pasien TB tidak patuh minum obat anti tuberkulosis (OAT)
selama waktu yang telah ditentukan sehingga pengobatannya tidak tuntas akibatnya
penyakit ini sering berulang dan sering timbul resistensi terhadap OAT yang telah
diberikan. (Setiati, dkk., 2014)
Faktor resiko lain terjadinya efusi pleura diakibatkan karena lingkungan yang tidak bersih,
sanitasi yang kurang, lingkungan yang padat penduduk, kondisi sosial ekonomi yang menurun,
serta sarana dan prasarana kesehatan yang kurang dan kurangnya masyarakat tentang
pengetahuan kesehatan. (Setiati, dkk., 2014)

Komplikasi

1. Fibrothoraks
Efusi pleura eksudat yang sudah tidak dapat ditangani oleh tindakan drainase dengan baik
maka akan menimbulkan perlekatan pada fibrosa antara pleura viseralis dan pleura
parietalis. Jika fibrothoraks meluas dapat menimbulkan hambatan mekanis yang berat pada
jaringan- jaringan yang berada dibawahnya dan harus segera dilakukan pembedahan.
2. Atelektasis
Atelectasis merupakan pengembangan paru-peru yang tidak sempurna di sebabkan karena
adanya penekanan akibat efusi pleura.
3. Fibrosis
Fibrosis paru merupakan suatu keadaan patologis dimana terdapat jaringan ikat paru dalam
jumlah yang berlebihan. Fibrosis dapat timbul akibat proses perbaikan jaringan sebagai
lanjutan dari sebuah penyakit paru yang menimbulkan peradangan. Pada efusi pleura
atelaktasis yang berkepanjangan dapat juga menyebabkan pergantian jaringan baru yang
terserang dengan jaringan fibrosis.
4. Efusi pleura berulang
Salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada efusi pleura adalah efusi pleura yang
berulang. Efusi pleura berulang merupakan kondisi dimana pada seseorang yang dulunya
sudah mengalami efusi pleura dan melakukan pengambilan cairan pleura tetapi kondisi
sebelumnya yaitu efusi pleura kembali terjadi (Wardhani, 2016).
5. Empiema
Empiema secara definisi merupan pus (nanah) didalam rongga pleura. Empiema adalah
efusi pleura dengan kultur bakteri yang positif atau jumlah leukosit lebih besar dari
15,000/mm3 dan level protein diatas 3,0 g/dL. Ketika pus menembus bronkus maka akan
timbul bronkhopleural fistel. Sedangkan jika pus menembus dinding toraks dan keluar
melalui kulit disebut empiema nesessitasis. Empiema dapat digolongkan menjadi akut dan
kronis. Empiema akut dapat berlanjut menjadi kronis. Empiema akan mengalami organisasi
setelah seminggu 25 dan proses ini berjalan terus sampai terbentuknya jaringan yang
bersepta septa (Hasan & Ambarwarti, 2018).
6. Gagal napas
Efusi pleura dapat menyebabkan dispnea karena penurunan komplians dinding dada,
sehingga pertukaran udara tidak adekuat. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya gagal
napas. Gagal napas adalah suatu kondisi ketidakmampuan sistem pernapasan untuk
mengambil oksigen yang cukup dan mengeluarkan karbon dioksida, yang disebabkan oleh
gangguan pada sistem pernapasan dan sistem lainnya, termasuk gangguan sistem saraf.
Keadaan ini menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, atau bahkan kombinasi keduanya
(Wardhani, 2016).

Tatalaksana

Penatalaksanaan yang utama pada kasus effusi pleura adalah dengan mengurangi gejala
yang ditimbulkan dengan jalan mengeluarkan cairan dari dalam rongga pleura kemudian
mengatasi penyakit yang mendasarinya. Pilihan terapinya bergantung pada jenis effusi pleura,
stadium, dan penyakit yang mendasarinya. Pertama, harus ditentukan terlebih dahulu apakah
cairan pleura eksudat atau transudat. Tujuan penatalaksanaan efusi pleura terlebih dahulu
meringankan gejala simptomatik dengan cara mengeluarkan akumulasi cairan dari cavum
pleura dan menangani penyebab efusi pleura. Efusi pleura tuberkulosa yang tidak diterapi akan
mengalami resolusi spontan dalam waktu 4-16 minggu dengan adanya kemungkinan
perkembangan TB paru aktif atau TB ekstraparu pada 43-65% pasien sehingga sangat penting
untuk dapat mendiagnosis dan memberikan terapi yang tepat untuk kasus ini. (Setiati, dkk.,
2014)

1. Water Seal Drainage (WSD) / Tube Thoracostomy


Modalitas terapi yang bekerja dengan menghubungkan cavum pleura yang berisi
cairan abnormal dengan botol perangkat WSD yang nantinya akan menarik keluar isi
cairan abnormal yang ada di dalam cavum pleura dan mengembalikan cairan pleura
seperti semula sera mengurangi kompresi terhadap paru yang tertekan hingga akhirnya
par akan mengembang kembali. (PDPI, 2021)
2. Thoracosintesis
Modalitas terapi yang bekerja dengan cara melakukan aspirasi menggunakan
jarum yang ditusukkan pada linea axillaris media spatium intercostalis. Aspirasi
dilakukan dengan menggunakan jarum dan spuit atau dapat juga menggunakan kateter
dengan batas maksimal 1000-1 500 cc untuk menghindari komplikasi reekspansi edema
pulmonum dan pneumothoraks akibat terapi. Indikasi untuk thoracocentesis adalah
adanya efusi pleura klinis yang signifikan (lebih dari 10 mm pada ultrasonografi atau foto
lateral decubitus). Jika pasien datang dengan gagal jantung kongestif dan efusi bilateral
dengan ukuran yang sama, afebris, dan tidak memiliki nyeri dada, percobaan diuresis
dapat dilakukan. Sejak lebih dari 80 persen pasien dengan efusi pleura disebabkan oleh
gagal jantung kongestif memiliki bilateral efusi pleura, thoracentesis diindikasikan jika
efusi adalah unilateral. Jika efusi tetap selama lebih dari tiga hari, thoracocentesis dapat
diterapkan. (PDPI, 2021)
3. Pleurodesis
Pleurodesis adalah penyatuan pleura viseralis dengan parietalis baik secara
kimiawi, mineral ataupun mekanik, secara permanen untuk mencegah akumulasi cairan
maupun udara dalam rongga pleura. Secara umum, tujuan dilakukannya pleurodesis
adalah untuk mencegah berulangnya efusi berulang (terutama bila terjadi dengan cepat),
menghindari torakosintesis berikutnya dan menghindari diperlukannya insersi chest tube
berulang, serta menghindari morbiditas yang berkaitan dengan efusi pleura atau
pneumotoraks berulang (trapped lung, atelektasis, pneumonia, insufisiensi respirasi,
tension pneumothoraks). Efusi pleura maligna merupakan indikasi paling utama pada
pleurodesis. Beberapa keadaan yang dapat dianggap sebagai kontraindikasi relatif
pleurodesis meliputi:
- Pasien dengan perkiraan kesintasan < 3 bulan.
- Tidak ada gejala yang ditimbulkan oleh efusi pleura.
- Pasien tertentu yang masih mungkin membaik dengan terapi sistemik (kanker
mammae, dll).
- Pasien yang menolak dirawat di rumah sakit atau keberatan terhadap rasa tidak
nyaman di dada karena slang torakostomi.
- Pasien dengan re-ekspansi paru yang tidak sempurna setelah pengeluaran semua
cairan pleura (trapped lung). (PDPI, 2021)
Prognosis

Prognosis efusi pleura tergantung pada etiologi yang mendasari respon terapi. Prognosis
efusi pleura erat terkait dengan etiologi penyakit yang mendasarinya, tingkat keparahan dan
staging (khusus keganasan) penyakit tersebut saat ditemukan, serta hasil temuan biokimia dari
analisis cairan pleura. Pasien yang memperoleh diagnosis dan pengobatan lebih dini
prognosisnya baik dan akan lebih jauh terhindar dari komplikasi daripada pasien yang tidak
memedapatkan pengobatan dini. Efusi ganas menyampaikan prognosis yang sangat buruk,
dengan kelangsungan hidup rata-rata 4 bulan dan berarti kelangsungan hidup kurang dari 1
tahun. Selain itu, Temuan seluler dan biokimia dalam cairan juga dapat menjadi indikator
prognosis. Misalnya, pH cairan pleura lebih rendah sering dikaitkan dengan beban tumor lebih
tinggi dan prognosis yang buruk. (Setiati, dkk., 2014)

KIE

Edukasi dan promosi kesehatan efusi pleura terutama agar pasien memahami bahwa efusi
pleura hanya merupakan kondisi yang diakibatkan oleh penyakit lain. Oleh karena itu,
kepatuhan minum obat dan pengobatan penyakit yang menyebabkan efusi pleura hingga tuntas.
Edukasi yang dapat diberikan yaitu (Setiati, dkk., 2014):

• Hindari sumber infeksi


• Hindari asap rokok
• Kurangi dan hilangkan kebiasaan merokok
• Segera kontrol ke layanan kesehatan jika mengalami sesak napas, nyeri dada yang
memburuk, batuk berkelanjutan, atau demam
BAB III

PENUTUP
Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dari keluhan dan
pemeriksaan pada skenario kelompok kami menentapkan diagnosis tegak dari kasus skenario
adalah efusi pleura. Ny. Ratih mengalami kondisi efusi pleura atau penumpukan cairan pada
pleuranya. Efusi pleura sering terjadi karena ada penyakit lain yang mendasarinya. Efusi pleura
yang terjadi dapat berupa efusi pleura transudat dan eksudat. Pada pasien dengan efusi pleura,
gejala klinis yang terjadi dapat berupa keluhan sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri bisa
timbul akibat efusi yang banyak berupa nyeri pleuritik atau nyeri tumpul yang terlokalisir, pada
beberapa penderita dapat timbul batuk-batuk kering. Pemeriksaan penunjang salah satunya foto
rontgen toraks merupakan salah satu pemeriksaan yang penting dilakukan untuk memastikan
kondisi terkait penyakit paru salah satunya efusi pleura. Efusi pleura dapat menyebabkan
beberapa komplikasi yaitu fibrotoraks, ateletaksis, fibrosis paru, empyema, gagal nafas, serta
efusi pleura yang berulang. Pada kondisi efusi pleura tatalaksana yang dapat dilakukan adalah
seperti pungsi paru, torakosintesis, ataupun WSD. Pasien yang memperoleh diagnosis dan
pengobantan lebih dini akan lebih jauh terhindar dari komplikasi sedangkan pasien dengan
efusi ganas menyampaikan prognosis yang sangat buruk.
DAFTAR PUSTAKA

Huether, S. E., McCance, K. L., Brashers, V. L., & Rote, N. S. (2019). Buku Ajar
Patofisiologi. Edisi keenam, Volume 2. Singapore: Saunders Elsevier.

Lawrence, S. 2021. Abses Paru: Diagnosis dan Perawatan, Journal CDK Edisis CME-2,
Vol. 48, HH. 286-288.

Mariana, E. R., & Ningsih, E. S. P. (2022). Literature Review Faktor yang


Mempengaruhi Pneumonia Aspirasi pada Pasien Stroke dengan Disfagia. Jurnal
Citra Keperawatan, 10(2), 73-80.

Marvellini, R.Y. (2020). Gambaran Volume Efusi Pleura, Artikel Penelitian, Departemen
Radiologi Fakultas Kedokteran UKI, Jakarta.

Nurtanio, G.M., Widianingsih, Y. & Sennang N. (2019). Evaluasi Derajat Efusi Albumin
Serum dan Kriteria Light dalam Menentukan Jenis Efusi Pleura, Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan WADI HUSADA, Vol. 2, No. 1, Hh. 11-19.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (Panduan Umum Praktik Klinis Penyakit Paru Dan
Pernafasan), Diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI. Jakarta. 2021.

Puspita, I., Soleha, T.U. & Berta G. (2020). Penyebab Efusi Pleura di Kota Metro pada
tahun 2020, Jurnal Agromed Unila, Vol. 4, No. 1, Hh. 25-35.

Setiati S, Alwi II, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam A. (2014). Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid I. Edisi VI. Jakarta: InternaPublishing.

Anda mungkin juga menyukai