Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN

TUTORIAL LBM 1 “LEHERKU BENGKAK”


BLOK DIGESTIVE II

Nama : Ni Ketut Ayu Rachma Nanda Sapitri


NIM : 020.06.0058
Kelompok : 12 (Dua Belas)
Kelas :B
Tutor : dr. Deny Sutrisna Wiatma, M.Biomed

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan hasil Laporan Tutorial LBM 1 “Leherku Bengkak” Blok Digestive II.
Dalam penyusunan Laporan Tutorial LBM 1 ini, kami menyadari sepenuhnya
masih terdapat kekurangan di dalam penyusunannya. Hal ini disebabkan karena
terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang kami miliki, kami menyadari bahwa
tanpa adanya bimbingan dan petunjuk dari semua pihak tidaklah mungkin hasil
Laporan Tutorial LBM 1 ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan laporan dengan baik.
2. dr. Deny Sutrisna Wiatma, M.Biomed selaku fasilitator dalam SGD kelompok
12, atas segala masukan, bimbingan dan kesabaran dalam menghadapi
keterbatasan kami.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna dan perlu
pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang sifatnya konstruktif demi kesempurnaan laporan ini. Akhir kata, penulis
berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Mataram, 20 Juli 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i


DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Skenario LBM ......................................................................................... 1
1.2 Deskripsi Masalah ................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 4
2.1 Interpretasi Hasil Pemeriksaan ................................................................ 4
2.2 Pembahasan Diagnosis Diferensial (DD)................................................ 5
2.2.1 Parotitis (Mumps)......................................................................... 5
2.2.2 Limfadenitis ................................................................................. 11
2.2.3 Limfadenitis TB ........................................................................... 19
2.2.4 Angina Ludwig............................................................................. 23
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 31
3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 31
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 32

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Skenario LBM


LBM 1
LEHERKU BENGKAK

Tn. D usia 20 tahun datang dengan keluhan nyeri hebat pada leher sejak 2 hari
yang lalu. Nyeri dirasakan memberat terutama saat menelan dan makan makanan
yang asam. Leher sisi kanan membengka disertai nyeri telinga kanan. Pasien juga
mengeluh demam, sakit kepala dan lemas.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 110/70 mmHg, Nadi 97 kali/menit, RR
20 kali/menit, suhu 38,50C. pada pemeriksaan ekstra oral didapatkan
pembengkakak (+) pada leher dan tidak bergerak pada saat menelan.
Apakah kemungkinan yang terjadi pada pasien tersebut?

1.2 Deskripsi Masalah


Berdasarkan skenario LBM 1 yang berjudul “Leherku Bengkak” menjelaskan
pasien mengeluhkan nyeri hebat di leher sejak 3 hari lalu. Pada pemeriksaan
didapatkan adanya pembengkakan di leher sisi kanan. Kedua hal tersebut dapat
dikaitkan. Secara anatomi, di regio leher terdapat beberapa organ seperti kelenjar
saliva (kelenjar parotis), kelenjar tiroid dan paratiroid serta kelenjar getah bening
(KGB). Kelenjar-kelenjar tersebut tentunya memiliki duktus atau saluran.
Penyebab adanya pembengkakan dapat disebabkan oleh sumbatan pada duktus
yang menyebabkan drainase tidak lancar dan mengalami penumpukan dan
akhirnya membengkak. Selain disebabkan oleh sumbatan ductus, dapat
disebabkan pula oleh infeksi mikroorganisme sehingga kelenjar mengalami
peradangan dan produksi cairan tidak normal (hipervolume) ditambah dengan

1
adanya sumbatan duktus yang menyebabkan semakin bertumpuknya cairan dan
menghasilkan pembengkakan.
Nyeri yang dirasakan memberat terutama saat menelan dan makan makanan
yang asam. Hal ini diakibatkan oleh karena pembengkakan kelenjar tersebut
menekan tenggorokan sehingga saluran napas dan saluran cerna bagian atas tejepit,
sehingga pasien juga kesulitan dalam menelan. Haln ini akan berhubungan pula
dengan kondisinya yang tampak lemas. Selain itu, nyeri lebih memberat ketika
mengkonsumsi makanan yang asam, hal ini dapat disebabkan oleh karena kondisi
asam pada makanan akan menimbulkan efek iritasi pada kelenjar. Sehingga ketika
terpapar makanan asam akan menimbulkan rasa nyeri pada kelenjar yang
terinfeksi.
Selain leher sisi kanan yang membengkak, keluhan juga disertai dengan nyeri
telinga kanan. Hal ini dapat disebabkan oleh karena letak kelenjar yang
membengkak dan terinfeksi dapat menekan beberapa struktur disekitarnya seperti
pembuluh darah dan saraf. Aliran darah ke arah kepala dapat berkurang akibat
penyempitan pembuluh darah, sehingga pasokan oksigen berkurang dan
menyebabkan timbulnya gejala nyeri kepala. Selain itu, saraf yang berada disekitar
kelenjar yang membesar akan mengirimkan impuls atau sinyal ke sistem saraf
pusat dan diterjamhkan sebagai bentuk atau rasa nyeri pada area kepala dan area
sekitar kelenjar seperti telinga.
Pasien juga mengeluh demam, yang merupakan salah satu tanda inflamasi.
Demam terjadi sebagai bentuk kompensasi tubuh terhadap masuknya
mikroorganisme penyebab infeksi baik bakteri, virus, jamur maupun parasit. Pada
pemeriksaan vital sign tidak ditemukan kondisi yang abnormal terkecuali pada
pengukuran suhu didapatkan 38,50C dan dikatakan febris atau demam. Serta pada
pemeriksaan ekstra oral, didaptkan kelenjar yang membengkak di leher tidak
bergerak pada saat menelan.

2
Berdasarkan penjelasan di atas, secara anatomi dan hasil pemeriksaan bahwa
kelenjar tidak ikut bergerak ketika menelan, maka kemungkinan kelenjar tiroid
maupun paratiroid dapat disingkirkan. Dan kelompok kami mengajukan diagnosis
diferensial (DD) berupa infeksi yang menyerang suatu organ yang, secara ekstra
oral dapat dinilai atau ditemukan adanya pembengkakan di daerah servikal, yaitu
parotitis, limfadenitis dan angina ludwig.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Interpretasi Hasil Pemeriksaan


1) Tekanan darah 110/70 mmHg (normal)
2) Nadi 97 kali/menit (normal)
3) Respiratory rate 20 kali/menit (normal)
4) Suhu 38,50C (febris)
Nilai rujukan suhu tubuh normal 36,5 – 37,50C
Peningkatan suhu tubuh dapat disebabkan oleh penyebab yang dikeluhkan
pasien yaitu adanya infeksi pada kelenjar di leher yang telah membengkak.
Peningkatan suhu tubuh (febris/demam) menjadi salah satu cara
pertahanan/bentuk perlawanan tubuh terhadap mikroorganisme yang
menyebabkan infeksi. Karena beberapa mikroorganisme tidak dapat bertahan
hidup dalam suhu yang lebih tinggi di dalam tubuh.
5) Pemeriksaan ekstra oral: pembengkakak (+) pada leher & tidak bergerak pada
saat menelan
Pemeriksaan ekstra oral yang dimaksud adalah pemeriksaan yang dilakukan
diluar dari oral (rongga mulut) yang dalam skenario disebutkan di bagian leher.
Terlihat pembengkakan di leher dan tidak bergerak saat menelan, yang
menandakan bahwa salah satu organ di regio leher mengalami pembengkakan.
Secara anatomi regio leher terdiri dari beberapa organ seperti kelenjar parotis,
kelenjar getah bening (KGB), kelenjar tiroid dan paratiroid. Namun yang
dijelaskan di skenario lebih mengarah ke kelenjar parotis dan kelenjar getah
bening (KGB). Karena apabila kelenjar tiroid dan paratiroid mengalami
pembengkakan, maka pada saat menelan kelenjar akan ikut bergerak.

4
2.2 Pembahasan Diagnosis Diferensial (DD)
Parotitis Epidemika/ Mumps/ Penyakit Gondongan

Gambar 1. Penyakit Parotitis


Definisi
Parotitis epidemika atau mumps/gondong, termasuk penyakit infeksi virus
menular yang disebabkan oleh mumps virus yang menyerang kelenjar ludah
(kelenjar parotis) yang terletak diantara telinga dan rahang, sehingga
menyebabkan pembengkakan pada leher bagian atas atau pipi bagian bawah.
Dapat pula menyerang organ lain seperti testis dan pancreas (Leli, N., 2021).

Epidemiologi
Di seluruh dunia, kejadian gondong tidak terkontrol dengan baik. Dari 1999-
2019, rata-rata sekitar 500.000 kasus gondong dilaporkan ke WHO setiap tahun.
Hingga 2019, vaksin gondong secara rutin digunakan di 122 dari 194 (63%)
negara. Sejak pertengahan 2000-an, wabah gondok juga telah dilaporkan di antara
populasi dengan cakupan vaksin MMR 2 dosis tinggi, termasuk Inggris, Irlandia,
Selandia Baru, Kanada, Belanda, Spanyol, dan Norwegia. Terlepas dari wabah ini,
kejadian gondok masih jauh lebih tinggi di negara-negara yang tidak memiliki
vaksinasi gondong secara rutin (Leli, N., 2021).
Gondongan adalah penyakit serius yang menyebabkan morbiditas dan
mortalitas yang signifikan di seluruh dunia sebelum program vaksinasi gondongan

5
dimulai. Di era pra-vaksin, gondongan adalah penyakit menular yang parah
dengan morbiditas tinggi sekitar 40-726 kasus per 100.000 populasi per tahun.
Selama era pra-vaksin, gondongan beredar secara endemik dengan lonjakan
berkala 2-5 tahun dan insiden puncak infeksi di antara anak-anak berusia 5-7 tahun
di beberapa wilayah secara global. Infeksi gondongan sering terjadi di pusat-pusat
populasi yang ramai, misalnya, penjara, taman kanak-kanak, sekolah asrama,
barak militer, dan tempat ramai serupa lainnya. Data menunjukkan bahwa 50%
anak-anak berusia 4-6 tahun dan 90% anak-anak berusia 14-15 tahun, dengan
peningkatan tajam dalam kadar antibodi gondongan pada usia 2-3 tahun. Hasil ini
menunjukkan bahwa hampir semua individu tanpa menerima vaksinasi gondongan
pada akhirnya dapat terinfeksi (Su, S. B., Chang, H. L., & Chen, K. T., 2020).

Etiologi
Virus penyebab parotitis epidemika yaitu mumps virus adalah virus RNA dari
anggota famili Paramyxoviridae dan genus Paramyxovirus. Yaitu virus yang
bentuknya sferik atau pleomorfik dan mempunyai selubung (enveloped virus).
Virus ini dapat menyerang manusia, tikus dan hamster (Leli, N., 2021).
Tidak semua kasus parotitis disebabkan oleh infeksi gondong. Parotitis dapat
disebabkan oleh virus parainfluenza tipe 1-3, virus Epstein Barr, virus influenza A
(H3N2), virus herpes manusia 6A dan 6B, virus herpes simpleks 1 dan 2, virus
Coxsackie A, echovirus, adenovirus, virus limfositik koriomeningitis, dan virus
imunodefisiensi manusia. Parotitis juga dapat disebabkan oleh penyebab non-
infeksi seperti obat-obatan, tumor, penyakit imunologis, dan obstruksi duktus
salivarius. Namun, penyebab lain tidak menghasilkan parotitis pada skala epidemi
(Su, S. B., Chang, H. L., & Chen, K. T., 2020).

Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko telah dilaporkan pada infeksi gondongan diantaranya
usia, kekebalan tubuh (imunitas) yang terganggu, status vaksinasi dan lain-lain.
Meskipun tidak ada bukti perbedaan terjadinya infeksi mumps virus antara jenis

6
kelamin, namun laki-laki tampaknya memiliki risiko lebih tinggi untuk timbulnya
komplikasi (Su, S. B., Chang, H. L., & Chen, K. T., 2020).

Patogenesis
Masa inkubasi untuk gondongan berkisar antara 12-25 hari pasca paparan dan
parotitis biasanya terjadi 16-18 hari setelah paparan. Setidaknya ada 12 genotipe
yang didefinisikan berdasarkan urutan gen hidrofobik kecil. Saat ini, genotipe
gondongan yang paling sering terdeteksi dalam wabah baru-baru ini di seluruh
dunia adalah genotipe G (Su, S. B., Chang, H. L., & Chen, K. T., 2020).
Mumps virus (MuV) ditularkan ke orang-orang melalui saluran pernapasan
atau mulut melalui tetesan air liur atau sekresi pernapasan yang telah terinfeks.
Virus ini telah diisolasi di air liur dari 7 hari sebelumnya hingga 8 hari setelahnya
akan timbul gejala klinis. Setelah terpapar, MuV menginfeksi saluran pernapasan
bagian atas melalui pengikatan asam sialat (sialic acid) untuk memasuki sel epitel
di saluran pernapasan dan meningkatkan invasi virus gondong ke sel-sel tetangga.
MuV secara nyata dikeluarkan dari sel-sel epitel, yang menyebabkan pertumbuhan
virus di epitel kelenjar dan penumpahan virus gondong dalam air liur (Su, S. B.,
Chang, H. L., & Chen, K. T., 2020).
MuV dapat menyebar secara sistemik dalam tubuh manusia yang
mengakibatkan viremia selama fase awal infeksi. Manusia dikenal sebagai satu-
satunya inang alami MuV. Sebagian besar kasus, penderita tidak menunjukkan
gejala atau hanya menderita gejala pernapasan ringan atau demam setelah
terinfeksi MuV. Organ selain kelenjar ludah, seperti sistem saraf pusat (SSP),
jantung, ginjal, dan organ genital juga dapat dipengaruhi melalui penyebaran
viremia (Su, S. B., Chang, H. L., & Chen, K. T., 2020).
Viremia tampaknya dihambat oleh antibodi humoral dan tingkat virus dalam
sekresi saliva yang berkorelasi terbalik dengan tingkat lokal IgA sekretori khusus
virus yang diproduksi. Sehingga dihipotesiskan bahwa antibodi penetral yang
diproduksi di kelenjar ludah dapat memainkan peran penting dalam membatasi

7
replikasi virus gondong dan ekskresinya ke dalam air liur (Su, S. B., Chang, H. L.,
& Chen, K. T., 2020).

Manifestasi Klinis
Gejala klinis penderita gondongan dapat bersifat asimptomatik hingga berat.
Gambaran klinis infeksi mumps virus (MuV) ditandai dengan rasa sakit dan timbul
pembengkakan dan nyeri tekan pada kelenjar parotis, dapat pula melibatkan
berbagai jaringan dan organ lain seperti testis dan prankreas. Pembengkakan
kelenjar parotis di awali dengan pembengkakan salah satu sisi kelenjar kemudian
keduanya. Pada pria akil baligh terkadang disertai dengan pembengkakan buah
zakar (testis) akibat penyebaran virus melalui aliran darah (Younus, A. M. dkk,
2020).
Gejala prodromal yang timbul meliputi suhu tinggi/demam (38,5-400C), sakit
kepala, nyeri otot, kelelahan, dan kehilangan nafsu makan. Gejala sering muncul
2 minggu setelah terinfeksi, dan dapat berlanjut 2-3 minggu. Banyak penderita
mengalami gejala lebih lanjut yang melibatkan sistem dan organ lain seperti leher
kaku, kepekaan terhadap cahaya, dan muntah. Peningkatan suhu yang tinggi dapat
berlangsung lebih dari 6 hari, dan pembengkakan kelenjar ludah dapat berlangsung
selama 10 hari atau lebih (Younus, A. M. dkk, 2020).

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dan hasil yang ditemukan adalah:
1) Keadaan umum: bervariasi tampak sakit ringan hingga berat
2) Pemeriksaan tanda vital:
• Suhu: peningkatan suhu tubuh (febris)
3) Pemeriksaan ekstra oral:
• Inspeksi: area preauricular dan leher (letak kelenjar parotis) terlihat
edema dan eritema
• Palpasi: bengkak disertai nyeri tekan

8
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dan hasil yang ditemukan adalah:
1) Pemeriksaan darah rutin:
• Leukopenia ringan
• Limfositosis relatif
• Laju endap darah (LED) meningkat
2) Pemeriksaan urine, virus dapat ditemukan dalam urine dari hari 1-14 setelah
terjadi pembesaran kelenjar
3) Pemeriksaan C-Reactive Protein (CRP) meningkat
4) Pemeriksaan amylase serum meningkat mencapai puncaknya setelah 1
minggu terinfeksi dan dapat kembali normal dalam < 2 minggu
5) Tes serologi yaitu test antibody spesifik terhadap parotitis meningkat seperti:
• Complement Fixation Test (CF)
• Hemagglutination-Inhibition (HI)
• Virus Neutralizing (NT)
• Enzim Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
6) Pemeriksaan radiologi, untuk mengkonfirmasi parotitis epidemika (mumps)
dan mengidentifikasi diagnosis lain seperti tumor parotis atau sialolithiasis
dengan pemeriksaan:
• Ultrasonografi (USG)
• CT-Scan
• MRI

Tatalaksana
Tidak ada terapi antivirus yang spesifik pada mumps karena merupakan penyakit
self-limited. Tatalaksana non-farmakologi ditujukan untuk:
• Tirah baring
• Menjaga hidrasi tetap adekuat dengan rehidrasi

9
• Hindari makanan dan minuman yang asam seperti tomat, cuka, atau jus jeruk,
karena dapat menyulitkan proses menelan dan menimbulkan iritasi pada
lambung
• Diet makanan lunak dan cair
• Kompres air dingin/es dapat meringankan gejala pada kelenjar yang
membengkak
Selain itu, tatalaksana farmakologi yang dapat diberikan:
• Untuk mengurangi demam dan nyeri dapat diberikan analgetik dan antipiretik.
➢ Obat analgetik dapat berupa metampiron untuk anak di atas 6 bulan
dengan dosis 250-500 mg/hari maksimal 2 g/hari.
➢ Obat antipiretik dapat diberikan paracetamol 7,5-10 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 3 dosis atau ibuprofen
• Antibiotik hanya diberikan bila dicuriga parotitis supuratif. Antibiotik
spektrum luas yang efektif terhadap S. aureus, Streptococcus spp, organisme
gram negatif, dan anaerob dapat diberikan secara empirik. Misalnya golongan
penicilin resisten penicilinase, sefalosporin generasi pertama, dan klindamisin
yang dikombinasi dengan aminoglikosida.
• Terapi bedah berupa insisi dan drainase diindikasikan bila respon pengobatan
lambat dan fluktuasi bertambah.
• Penderita yg mengalami serangan virus pada organ pankreas (pankreatitis),
dimana menimbulkan gejala mual dan muntah sebaiknya di berikan cairan
melalui infus, untuk mencegah dehidrasi.
• Pemberian kortikosteroid selama 2-4 hari dan 20 ml convalescent
gammaglobulin diperkirakan dapat mencegah terjadinya orkitis.
• Perlu diperhatikan bahwa penggunaan aspirin tidak diperbolehkan untuk
anak-anak karena memiliki resiko terjadinya Sindroma Reye.

10
Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi 5 hari setelah mendapatkan gondok. Komplikasi dapat
mempengaruhi pria dan wanita. Diantaranya ensefalitis, meningitis, orkitis,
miokarditis, mastitis, ooforitis, pankreatitis, dan nefritis. Komplikasi lain dapat
terjadi, seperti kejang, kelumpuhan saraf kranial, hidrosefalus, dan gangguan
penderangan (tuli) (Marlow, M. dkk, 2020).

Prognosis
Meskipun gondongan adalah penyakit jinak, seringkali pemulihan total dalam
beberapa minggu setelah terinfeksi. Frekuensi komplikasi lebih rendah pada
pasien yang divaksinasi dibandingkan dengan pasien yang tidak divaksinasi.
Kematian karena gondok sangat jarang terjadi (Marlow, M. dkk, 2020).

KIE & Pencegahan


Gondongan dikenal sebagai penyakit virus masa kanak-kanak penting yang
dapat dicegah dengan sediaan vaksin mumps dikenal sebagai MMR (measles,
mumps dan rubella). Vaksin MMR diberikan secara subkutan pada anak berusia >
15 bulan. Anak yang telah mendapat imunisasi tidak akan mengeluarkan virus dari
dalam tubuhnya, sehingga tidak menular kepada orang lain (Younus, A. M. dkk,
2020).

Limfadenitis
Definisi
Limfadenitis merupakan peradangan yang terjadi pada kelenjar limfe atau getah
bening karena infeksi, yang merupakan reaksi mikroorganisme yang terbawa oleh
limfa dari daerah yang terinfeksi ke kelenjar limfa regional dan terkadang disertai
dengan pembengkakan. Peradangan akan menimbulkan hyperplasia kelenjar getah
bening hingga terada membesar membentuk benjolan (McCance, 2017).
Sedangkan limfadenitis tuberculosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar
limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberculosis. Apabila

11
peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula.
Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya paling sering terjadi.
Istilah scrofula diambil dari bahasa latin yang berarti pembengkakan kelenjar.
Infeksi Mycobateruium tuberculosis pada kulit disebabkan oleh perluasan
langsung tuberculosis ke kulit dari struktur dasarnya atau terpajan langsung
melalui kontak dengan Mycobateruium tuberculosis yang disebut dengan
scrofuloderma (McCance, 2017).

Epidemiologi
Dalam penyebarannya, tuberkulosis dapat dikategorikan menjadi dua bagian
yaitu TB paru dan TB di luar paru. Limfadenitis yang lebih dikenal dengan TB
kelenjar getah bening termasuk salah satu penyakit TB di luar paru (TB ekstra
paru) (Patel, 2019).
TB ekstra paru merupakan sekitar 15-20% dari semua kasus TB. Limfadenitis
TB terlihat pada hampir 35% kasus TB ekstra paru. Di antara kasus limfadenitis
TB, kelenjar getah bening servikalis adalah tempat yang paling umum
terlibat dengan dapat berkisar dari 60-90%, kemudian diikuti oleh kelenjar
mediastinal, aksilaris, mesentrikus, portal hepatikus, perihepatik dan kelenjar
inguinalis (Patel, 2019).

Klasifikasi
Limfadenitis terbagi ke dalam dua yaitu:
1) Limfadenitis Akut
2) Limfadenitis Kronis, yang terbagi lagi menjadi dua macam yaitu:
• Limfadenitis kronis spesifik
• Limfadenitis non spesifik/ Limfadenitis tuberculosis

12
Etiologi
Beberapa penyebab yang memungkinkan seseorang mengalami limfadenitis
adalah (McCance, 2017):
1) Infeksi Virus
Infeksi yang disebabkan oleh virus pada saluran pernapasan bagian atas
seperti:
• Rinovirus, Parainfluenza Virus,
• Influenza Virus,
• Respiratory Syncytial Virus (RSV),
• Coronavirus,
• Adenovirus,
• Retrovirus,
• Ebstein Barr Virus (EBV),
Virus lainnya yang dapat menjadi penyebab seperti:
• Cytomegalo Virus (CMV),
• Rubela, Rubeola,
• Varicella-Zooster Virus,
• Herpes Simpleks Virus,
• Coxsackievirus, dan
• Human Immunodeficiency Virus (HIV)
2) Infeksi Bakteri
Peradangan kelenjar getah bening dapat disebabkan oleh infeksi bakteri
seperti:
• Myocabateruium tuberculosis, yang menyebabkan penyakit
tuberkolosis (TBC)
• Streptococcus pyogenes, yang menyebabkan radang tenggorokan
• Staphylococcus aureus, yang menyebabkan tubuh mengalami
keracunan

13
3) Infeksi Parasit
• Toksoplasmosis
• Filariasis
4) Infeksi Jamur
• Candidiatis
• Tinea
• Histoplasmosis
Sedangkan limfadenitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Mycobacterium tergolong dalam family Mycobactericeae dan ordo
Actinomyceales. Spesies patogen yang termasuk dalam Mycobacterium
kompleks, yang merupakan agen penyebab penyakit yang tersering dan terpenting
adalah Mycobacterium tuberculosis. Yang tergolong dalam Mycobacterium
tuberculosis complex adalah M. tuberculosae, M. bovis, M. caprae, M. africanum,
M. microti, M. pinnipedii, M. canettii. Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan
epidemiologi (PDPI, 2011).

Patofisiologi
Pembesaran kelenjar getah bening dapat berasal dari penambahan sel-sel
pertahanan tubuh yang berasal dari kelenjar getah bening itu sendiri seperti
limfosit, sel plasma, monosit dan histiosit atau karena datangnya sel-sel
peradangan (neutrofil) untuk mengatasi infeksi di kelenjar getah bening
(limfadenitis), infiltrasi sel-sel ganas atau timbunan dari penyakit metabolite
macrophage (gaucher disease).
Dengan mengetahui lokasi pembesaran kelenjar getah bening maka kita dapat
mengarahkan kepada lokasi kemungkinan terjadinya infeksi atau penyebab
pembesaran kelenjar getah bening. Benjolan, bisa berupa tumor baik jinak atau
ganas, bisa juga berupa pembesaran kelenjar getah bening. Kelenjar ini ada banyak
sekali di tubuh kita, antara lain di ujudaerah leher, ketiak, dalam rongga dada dan
perut, di sepanjang tulang belakang kiri dan kanan sampai mata kaki. Kelenjar

14
getah bening berfungsi sebagai penyaring bila ada infeksi lokal yang disebabkan
bakteri atau virus. Jadi, fungsinya justru sebagai benteng pertahanan tubuh.

Peningkatan ukuran kelenjar getah bening disebabkan oleh:


• Multiplikasi sel-sel di dalam nodul, termasuk limfosit, sel plasma, monosit,
histiosit
• Infiltrasi sel dari luar nodus seperti sel ganas atau neutrofil
• Pengeringan infeksi (misalnya abses) ke kelenjar getah bening lokal.
Manifestasi Klinis
Kemunculan penyakit ini ditandai dengan gejala munculnya benjolan pada
saluran getah bening misalnya ketiak, leher dan sebagainya. Kelenjar getah bening
yang terinfeksi akan membesar dan biasanya teraba lunak dan nyeri. Selain itu
gejala klinis yang timbul adalah demam, nyeri tekan, dan tanda radang. Kulit di
atasnya terlihat merah dan terasa hangat, pembengkakan ini akan menyerupai
daging tumbuh atau biasa disebut dengan tumor.
Pembesaran kronis yang spesifik dan masih banyak di Indonesia adalah akibat
tuberkulosa. Limfadenitis tuberkulosa ini ditandai oleh pembesaran kelenjar getah
bening, padat/keras, multiple dan dapat berhubungan satu sama lain. Dapat pula
sudah terjadi perkijuan seluruh kelenjar, sehingga kelenjar itu melunak seperti
abses tetapi tidak nyeri seperti abses banal. Apabila abses ini pecah kekulit,
lukanya sulit sembuh oleh karena keluar secara terus menerus sehingga seperti
fistula.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adalah:
1) Ukuran: normal bila diameter < 1cm (pada epitroclear > 0,5 cm dan lipat paha
> 1,5cm dikatakan abnormal).
2) Nyeri tekan: umumnya diakibatkan peradangan atau proses perdarahan.

15
3) Konsistensi: keras seperti batu mengarahkan kepada keganasan, padat seperti
karet mengarahkan kepada limfoma; lunak mengarahkan kepada proses
infeksi; fluktuatif mengarahkan telah terjadinya abses/pernanahan.
4) Penempelan: beberapa Kelenjar Getah Bening yang menempel dan bergerak
bersamaan bila digerakkan. Dapat akibat tuberkulosis, sarkoidosis keganasan.

Pemeriksaan Penunjang
Modalitas diagnostik dapat dibagi menjadi beberapa (Sitohang, I. W. D. (2021):
1) Tuberkulin Skin Test (TST)
Tes kulit tuberkulin positif pada sebagian besar penderita limfadenitis TB
tanpa disertai HIV, meskipun TST positif tidak cukup untuk menegakkan
diagnosis. TST negatif kurang membantu dalam mendiagnosis terutama pada
pasien imunosupresan atau pada pasien dengan imun yang rendah.
2) Pemeriksaan Sitologi
Fine needle aspiration biopsy (FNAB) merupakan salah satu prosedur untuk
mendiagnosis limfadenitis TB yang simpel, aman, dan murah. Selain memiliki
nilai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Pemeriksaan FNAB dilakukan
apabila ditemukan adanya tanda-tanda dari pemeriksaan fisik berupa
pembesaran pada KGB dari tubuh pasien.
3) Pemeriksaan Histopatologi
Secara histologi, tempat keterlibatan aktif ditandai dengan reaksi peradangan
granulomatosa khas yang membentuk tuberkel perkijuan dan non perkijuan.
Setiap tuberkel berukuran mikroskopis, jika menyatu dalam jumlah banyak,
barulah granuloma tersebut terlihat secara makroskopis. Granuloma biasanya
terbungkus dalam satu cincin fibroblastik disertai limfosit, pada granuloma,
ditemukan multinucleatid giant cell.
4) Biopsi KGB
Bakteri M. tuberculosis biasanya dikultur dari biopsi eksisional pada sekitar
70-90% kasus. Biopsi eksisional lebih sering digunakan daripada biopsi

16
insisional. Pada kelenjar getah bening mediastinum, biopsi dengan panduan
Computed tomography (CT) atau biopsi dengan panduan Ultrasonography-
Endobronchial (USG-EBUS) dan mediastinoskopi yang jarang digunakan.
5) Tes Molekuler
Diagnosis molekuler atau amplifikasi asam nukleat (NAA) digunakan untuk
mendeteksi DNA (deoxyribonucleic acid) bakteri TB daripada deteksi bakteri
TB secara langsung. Pemeriksaan molekuler memiliki sensitivitas lebih tinggi
dan lebih cepat dibandingkan metode konvensional dalam mengidentifikasi
spesies bakteri dan resistensi obat.

Tatalaksana
Tatalaksana non-farmakologi:
Untuk membantu mengurangi rasa sakit, kelenjar getah bening yang terkena bisa
dikompres hangat. Biasanya jika infeksi telah diobati, kelenjar akan mengecil
secara perlahan dan rasa sakit akan hilang. Kadang-kadang kelenjar yang
membesar tetap keras dan tidak lagi terasa lunak pada perabaan

Tatalaksana farmakologi:
Pengobatan tergantung dari organisme penyebabnya. Untuk infeksi bakteri,
biasanya diberikan antibiotik per-oral (melalui mulut) atau intravena (melalui
pembuluh darah). Pembesaran KGB biasanya disebabkan oleh virus dan sembuh
sendiri, walaupun pembesaran KGB dapat berlangsung mingguan.
• Pengobatan pada infeksi KGB oleh bakteri (limfadenitis) adalah antibiotik
oral 10 hari dengan pemantauan dalam 2 hari pertama flucloxacillin 25
mg/kgBB 4 kali sehari.
• Bila ada reaksi alergi terhadap antibiotik golongan penicillin dapat diberikan
cephalexin 25 mg/kg (sampai dengan 500 mg) 3 kali sehari atau erythromycin
15 mg/kg (sampai 500 mg) 3 kali sehari.

17
Obat antituberkulosis merupakan terapi yang biasa diberikan dalam
mengobati pasien limfadenitis TB. Berdasarkan pedoman, WHO
merekomendasikan pengobatan TB menggunakan dosis obat yang telah ditetapkan
(fixed dose) dengan regimen obat yaitu isoniazide (H), rifampicin (R),
pyrazinamide (Z), ethambutol (E) selama 2 bulan diikuti oleh isoniazide (H),
rifampicin (R), ethambutol selama 4 bulan pada pasien yang peka terhadap
pengobatan TB (Sitohang, I. W. D. (2021).

Komplikasi
Limfadenitis yang tidak segera ditangani dapat menimbulkan komplikasi, seperti:
• Selulitis
• Terbentuknya kumpulan nanah atau abses di rongga dada
• Perikarditis yang disertai kumpulan nanah
• Pecahnya pembuluh darah arteri karotis, yaitu pembuluh darah besar di leher
• Terbentuknya gumpalan darah pada pembuluh darah vena di leher
• Fistula, terutama pada limfadenitis yang disebabkan oleh tuberkulosis
• Sepsis, yaitu infeksi yang menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah

Prognosis
Prognosis limfadenitis ditentukan oleh etiologi dan tatalaksana yang
dilakukan pada penderita. Limfadenitis yang disebabkan oleh mikobakterium non-
tuberkulosis dan diterapi dengan eksisi saja memberikan angka kesembuhan
sebesar 45%. Sementara itu, kasus yang dikombinasi dengan kemoterapi
memberikan angka kesembuhan sebesar 61%. Beberapa kasus proses
penyembuhan memerlukan waktu beberapa minggu hingga bulan dan tergantung
pada penyebab infeksi.

18
KIE & Pencegahan
Pencegahan limfadenitis TB dilakukan dengan menerapkan pola hidup sehat
seperti:
• Beristirahat yang cukup
• Makan makanan bergizi
• Rutin berolahraga
• Menghindari orang yang sedang sakit
• Rutin menjaga kebersihan, seperti mencuci tangan dengan air dan sabun
• Segera mengoleskan antiseptik jika kulit terluka dan tutup luka dengan perban

Limfadenitis TB/ Skrofula


Definisi
Limfadenitis TB merupakan bentuk TB ekstraparu pada anak yang paling
sering terjadi dan banyak terdapat pada kelenjar limfe leher. Skrofuloderma
biasanya ditemukan di leher dan wajah, dan di tempat yang memiliki kelompok
kelenjar limfe. Skrofuloderma merupakan salah satu jenis tuberkulosis kulit yang
ditandai dengan adanya nodul atau bintil pada kulit yang terletak di atas kelenjar
getah bening, tulang, atau persendian yang terinfeksi (Sitohang, I. W. D. (2021).

Epidemiologi
Insidensi limfadenitis TB meningkat seiring dengan peningkatan angka
kejadian infeksi TB di seluruh dunia. Limfadenitis TB terlihat pada hampir 35%
TB ekstraparu yang jumlahnya sekitar 15-20% dari semua kasus TB. Kelenjar
getah bening servikal merupakan lokasi yang paling umum terjadi pembesaran dan
sekitar 60-90% pasien ini biasanya didapati dengan atau tanpa keterlibatan
jaringan limfoid lainnya. Limfadenitis servikal disebut juga dengan skrofula yang
merupakan salah satu manifestasi sistemik penyakit TB atau penyakit lainnya di
leher (Sitohang, I. W. D. (2021).

19
Etiologi & Faktor Risiko
M. tuberculosis merupakan etiologi paling umum terjadinya limfadenitis di
India. Insiden limfadenitis TB berhubungan dengan endemisitas dari bakteri M.
tuberculosis. Penderita limfadenitis TB terbanyak berada dalam rentang usia
antara 18-45 tahun. Hal ini disebabkan karna rentang usia tersebut adalah usia
produktif dimana usia produktif mempengaruhi risiko tinggi untuk terkena TB
karena kecenderungan untuk berinteraksi dengan orang banyak di wilayah kerja
lebih tinggi dibandingkan dengan bukan usia produktif sehingga insidensi TB
banyak terjadi pada usia tersebut (Sitohang, I. W. D. (2021).
Berdasarkan beberapa penelitian disebutkan insiden limfadenitis TB lebih
banyak terjadi pada kaum laki-laki, karena terdapat beberapa faktor risiko
mendukung di antaranya karena laki-laki mempunyai kebiasaan merokok yang
lebih sering dibandingkan dengan perempuan. Merokok akan merusak mekanisme
pertahanan paru yang disebut mucociliary clearance. Pajanan asap rokok juga
dapat merangsang pembentukan mukus dan menurunkan pergerakan silia yang
berdampak terhadap penimbuan mukosa dan peningkatan risiko pertumbuhan
bakteri sehingga dapat menimbulkan infeksi, sumber lain mengatakan bahwa
rokok juga menyebabkan perubahan imunitas sel alami maupun didapat yang
dapat berakibat terhadap makrofag dan leukosit (Sitohang, I. W. D. (2021).
Dalam sebuah penelitian, didapati adanya pengaruh ras, etnis, gender, warna
kulit terhadap kejadian limfadenitis TB. Orang asia dan orang dengan kulit hitam
lebih rentan terkena limfadenitis TB dibandingkan dengan individu berkulit putih
non-hispanik (Sitohang, I. W. D. (2021).

Patofisiologi
Limfadenitis TB dapat terjadi secara primer atau melalui reaktivasi dari
bakteri TB yang dorman di paru-paru kemudian menyebar secara limfogen ke
kelenjar gentah bening (KGB) regional. Selanjutnya bakteri akan menyebar ke
kelenjar getah bening lainnya melalui sistemik. Selain itu, penyebaran bakteri

20
dapat melalui aliran darah (hematogen). Bakteri akan dibawa oleh sel monosit
melalui KGB hingga mencapai aliran darah yang kemudian dapat menyebar ke
seluruh organ. KGB pada daerah hilus, mediastinum dan paratrakeal merupakan
kelenjar getah bening pertama dalam penyebaran M. tuberculosis dari parenkim
paru. Limfadenitis TB supraklavikula merupakan manifestasi dari penyebaran
secara limfogen karena adanya drainase limfatik dari parenkim paru. Sedangkan
limfadenitis TB servikal dapat terjadi akibat penyebaran dari fokus primer pada
tonsil, adenoid, sinusoid atau osteomyelitis dari tulang etmoid (Sitohang, I. W. D.
(2021).
Pada stadium awal pembesaran kelenjar getah bening (KGB) superfisial
menunjukkan adanya multiplikasi yang progresif dari M. tuberculosis, terjadi
reaksi hipersensitifitas tipe lambat yang diikuti dengan hiperemi, pembengkakan,
nekrosis dan kaseosa di inti nodus. Hal ini diikuti dengan adanya inflamasi,
pembengkakan yang progresif dan melekat pada nodus dan membentuk suatu
kelompok. Perlekatan dengan kulit disekitarnya menyebabkan adanya indurasi dan
perubahan warna kulit menjadi keunguan. Pada bagian tengah kelenjar yang
membesar didapati konsistensi yang kenyal dan kaseosa dapat ruptur dan masuk
ke jaringan sekitarnya atau melalui kulit dengan membentuk sinus (Sitohang, I. W.
D. (2021).

Manifestasi Klinis
Limfadenitis merupakan gambaran klinis, paling umum dari TB ekstraparu
dan dapat menjadi manifestasi lokal dari suatu penyakit sistemik. Limfadenitis TB
paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikal. Diikuti dengan kelenjar
getah bening pada mediastinum, aksila, mesenterium, portal hepatik, perihepatik
dan inguinal (Sitohang, I. W. D. (2021).
Lama berlangsungnya gejala berkisar pada beberapa minggu hingga bulan.
Pembengkakan dapat muncul hanya satu benjolan saja (single) maupun lebih dari
satu (multiple) pada satu sisi ataupun kedua sisi. Benjolan dapat berkembang

21
secara lambat dalam kurun waktu beberapa minggu hingga beberapa bulan tanpa
rasa nyeri. Benjolan paling sering didapati di daerah servikal posterior dan paling
jarang didapati di daerah supraklavikula. Pembentukan fistula ditemukan sekitar
10% pada pasien limfadenitis TB servikal. Pembesaran nodus servikal di daerah
submandibular sering dijumpai pada pasien anak. Pada pasien anak juga paling
sering ditemukan lesi tunggal. Nodus tunggal terutama di daerah segitiga
jugulodigastrik kemungkinan besar bukan merupakan suatu limfadenitis
(Sitohang, I. W. D. (2021).
Pada limfadenitis TB, gejala sistemik sering dijumpai. Pasien umumnya
datang dengan keluhan demam, penurunan berat badan, kelelahan dan keringat
malam. Batuk bukanlah ciri yang spesifik dari pasien limfadenitis TB.
Multiplisitas, perlekatan antar nodus dan kaseosa merupakan tiga temuan penting
yang dijumpai pada limfadenitis TB (Sitohang, I. W. D. (2021).
Abses kelenjar getah bening dapat pecah namun jarang menyebabkan sinus
kronik yang menetap dan pembentukan ulkus. Umumnya, sinus TB memiliki tepi
yang tipis, berwarna kebiruan, dan dengan sedikit discharge yang encer.
Skrofuloderma merupakan manifestasi dari infeksi bakteri TB yang
penyebarannya melalui lapisan bawah kulit (Sitohang, I. W. D. (2021).

Tatalaksana
Obat antituberkulosis merupakan terapi yang biasa diberikan dalam
mengobati pasien limfadenitis TB. Berdasarkan pedoman, WHO
merekomendasikan pengobatan TB menggunakan dosis obat yang telah ditetapkan
(fixed dose) dengan regimen obat yaitu isoniazide (H), rifampicin (R),
pyrazinamide (Z), ethambutol (E) selama 2 bulan diikuti oleh isoniazide (H),
rifampicin (R), ethambutol selama 4 bulan pada pasien yang peka terhadap
pengobatan TB (Sitohang, I. W. D. (2021).

22
Indikasi tindakan pembedahan pada pasien limfadenitis TB meliputi (Sitohang, I.
W. D. (2021):
• Kegagalan pengobatan
Tindakan pembedahan bermanfaat untuk mendiagnosis dan menatalaksana
pasien dengan resistensi bakteri terhadap obat.
• Terapi tambahan pada kasus pasien yang masih sensitif obat.
Pada pasien yang mengalami rasa kurang nyaman dengan intensitas yang
berat, kelenjar getah bening yang berfluktuasi pilihan terapi pembedahan
dapat dilakukan.
• Mikobakteria non-TB
Pada pasien anak dengan NTM pengangkatan kelenjar getah bening dipercaya
dapat memberikan hasil yang lebih baik.

Angina Ludwig/ Angina Ludovici

Gambar 2. Penyakit Angina Ludwif


Definisi
Angina ludwig adalah gangren progresif cepat dan sering fatal ditandai
dengan edema jaringan lunak pada leher dan dasar mulut, tanpa disertai
pembentukan abses atau keterlibatan pembuluh limfatik. Infeksi ini bersifat
bilateral, dimulai dari dasar mulut dan kemudian melibatkan ruang submandibular,
sublingual dan submental (Dowdy, R. A., Emam, H. A., & Cornelius, B. W.,
2019).

23
Epidemiologi
Data epidemiologi menunjukkan bahwa kejadian angina ludwig semakin
menurun. Sebuah studi menunjukkan bahwa angka kejadian angina ludwig
berkisar 4-8% dari seluruh infeksi jaringan lunak leher. Angina Ludwig ditemukan
lebih banyak pada laki-laki. Rentang usia pasien berkisar 20-60 tahun. Angina
ludwig juga dapat terjadi pada anak tanpa faktor risiko yang jelas. Sebuah studi
menemukan bahwa angka kejadian angina ludwig berkisar 4-8% dari seluruh
infeksi jaringan lunak leher.

Etiologi & Faktor Risiko


Sebagian besar infeksi angina ludwig bersifat odontogenik, yang dapat
menyebar melalui jaringan ikat (perkontinuitatum), pembuluh darah
(hematogenous) dan pembuluh limfe (limfogenous). Penyebaran secara
perkontinuitatum sering terjadi karena adanya celah/ruang di antara jaringan yang
berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus atau nanah (Saifeldeen, K., & Evans,
R., 2020).
Penyebabnya meliputi abses peritonsil atau parafaring, fraktur mandibula,
laserasi/tindik mulut, atau sialodentitis submandibularis. Faktor predisposisi
meliputi karies gigi, perawatan gigi, penyakit sistemik seperti diabetes mellitus,
malnutrisi, alkoholisme, gangguan sistem kekebalan tubuh (imunosupresi) seperti
AIDS, dan transplantasi organ dan trauma. Pada orang dewasa, abses periapikal
antara mandibula geraham adalah etiologi yang paling umum, sedangkan infeksi
saluran pernapasan atas bertanggung jawab untuk sebagian besar kasus pada anak-
anak (Saifeldeen, K., & Evans, R., 2020).

Patofisiologi
Otot mylohyoid membagi ruang submandibular menjadi ruang sublingual dan
ruang submylohyoid. Akar gigi mandibula terletak di bawah perlekatan mandibula
mylohyoid, memungkinkan infeksi untuk memasuki ruang submylohyoid. Infeksi

24
kemudian menyebar ke posterior dan superior, ruang sublingual dan
submandibular. Keterlibatan ruang-ruang ini dapat mengakibatkan pembesaran
lidah dengan faktor 2-3 dan elevasi terhadap hipofaring, akhirnya menyebabkan
oklusi jalan napas jika tidak ada intervensi yang dilakukan. Infeksi juga dapat
mengakibatkan edema yang melibatkan epiglotitis, pita suara dan lipatan
aryepiglottic. Edema dari struktur saluran napas dapat berkembang pesat, terjadi
dalam 30-45 menit dari awal terinfeksi. Infeksi juga dapat menyebar melalui otot
styloglossus ke ruang parafaring, retrofaring, dan akhirnya ke mediastinum
superior (Bridwell, R., Gottlieb, M., Koyfman, A., & Long, B., 2021).
Infeksi biasanya polimikrobial, terutama termasuk flora normal rongga mulut.
grup viridan streptokokus ditemukan di lebih dari 40% kasus, diikuti oleh
Staphylococcus aureus (27%) dan Staphylococcus epidermis (23%). Bakteri lain
yang umum terlibat termasuk spesies Enterokokus, E. coli, Fusobacterium, spesies
Streptococcus, Klebsiella pneumonia, dan spesies Actinomyces. Penyakit yang
berasal dari abses gigi sering termasuk bakteri anaerob oral seperti Actinomyces,
Peptostreptococcus, Fusobacterium, Bacteroides. Pasien immunocompromised
berada pada risiko tinggi aerobik gram-negatif infeksi serta methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) (Bridwell, R., Gottlieb, M., Koyfman, A., &
Long, B., 2021).

Manifestasi Klinis
Penderita sering datang dengan gejala demam, malaise, menggigil, dan
kelemahan umum. Gejala lebih lanjut, seperti trismus (ketidakmampuan mebuka
mulut/rahang kaku), meningismus, drooling (air liur mengalir di luar mulut), nyeri
tekan dan keras seperti kayu pada palpasi, dasar mulut membengkak, dapat
mendorong lidah ke atas belakang sehingga menimbulkan sesak nafas akibat
sumbatan jalan nafas disertai dengan disfagia (kesulitan menelan). Gangguan dan
kegagalan pernapasan ditandai dengan kesulitan bernapas, stridor, sianosis, dan
perubahan status mental. Trismus meluas ke ruang parapharyngeal, sementara

25
meningismus menunjukkan keterlibatan ruang retropharyngeal (Bridwell, R.,
Gottlieb, M., Koyfman, A., & Long, B., 2021).

Diagnosis
Berdasarkan anamnesis didapatkan gejala berupa rasa nyeri pada leher dan
memiliki riwayat sakit gigi, mengorek dan mencabut gigi. Ditambah dengan hasil
pemeriksaan fisik dan penunjang.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan (Bridwell, R., Gottlieb, M., Koyfman, A., &
Long, B., 2021):
• Area submandibular yang lunak, simetris, tegang dan indurasi
• Pembengkakan lingual dapat membuat mulut tetap terbuka
• Dasar mulut didapatkan eritematosa, nyeri tekan, dan meninggi
• Leher luar mungkin tampak eritematosa dan edematous
• Limfadenopati sublingual, submental, dan servikal juga dapat terjadi

Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan (Bridwell, R., Gottlieb, M.,
Koyfman, A., & Long, B., 2021):
1) Pemeriksaan laboratorium melalui aspirasi jarum atau swab tidak dianjurkan
karena hasil diagnostiknya rendah, tingginya tingkat kontaminan, dan dapat
memicu memburuknya obstruksi jalan napas. Dapat dilakukan dengan metode
kultur darah.
2) Pemeriksaan radiologi lebih lanjut dapat membantu untuk mendiagnosis atau
menyingkirkan diagnosis lain dalam kasus awal atau tidak jelas.
• Computed tomography (CT) leher dengan kontras intravena (IV) adalah
modalitas pilihan, karena dapat membantu dalam menentukan lokasi dan
luasnya infeksi. Temuan pada CT dapat mencakup penebalan jaringan
lunak, peningkatan atenuasi lemak subkutan, hilangnya bidang lemak di

26
ruang submandibular, gas jaringan lunak, pengumpulan cairan fokal, dan
edema otot.
• USG juga dapat digunakan untuk mendeteksi dengan mengevaluasi lesi
hypoechoic di wajah dan leher. USG bisa juga menilai keterlibatan jalan
napas dan memperkirakan diameter saluran napas subglotis.

Tatalaksana
Manajemen berfokus pada penilaian jalan napas pasien dan status
hemodinamik. Pasien harus dimulai dengan suplemen oksigen jika mengalami
hipoksia. Penggunaan ventilasi masker kemungkinan akan sulit karena
pembengkakan leher (Bridwell, R., Gottlieb, M., Koyfman, A., & Long, B., 2021).
Intubasi nasotrakeal di mana tabung endotrakeal dilewatkan tanpa laringoskop
atau visualisasi laring dapat mengakibatkan trauma jalan napas yang menyebabkan
edema yang memburuk dan bahkan laringospasme parah; oleh karena itu,
pendekatan ini tidak dianjurkan. Perangkat saluran napas supraglotis juga harus
dihindari karena mereka dapat dipindahkan saat pembengkakan berlangsung
(Bridwell, R., Gottlieb, M., Koyfman, A., & Long, B., 2021).
Jika memungkinkan, pasien harus diintubasi nasotrakeal dalam posisi duduk
dengan intubasi fleksibel endoskopi menggunakan teknik intubasi sadar dengan
persiapan untuk bedah jalan napas (krikotirotomi). Intubasi sadar harus
memasukkan lidokain dengan pertimbangan agen sedatif. Sementara dokter harus
mempersiapkan diri untuk bedah jalan napas. Trakeotomi sadar mungkin
diperlukan pada pasien dengan edema berat (Bridwell, R., Gottlieb, M., Koyfman,
A., & Long, B., 2021).

27
Prosedur intubasi sadar dilakukan dengan cara antara lain (Bridwell, R., Gottlieb,
M., Koyfman, A., & Long, B., 2021):
1) Persiapan
a) Pasien duduk tegah
b) Jika waktu tersedia, berikan glikopirolat 0,2-0,4 mg secara IV untuk
membantu mengeringkan selaput lendir, meskipun ini mungkin
memerlukan 15 menit untuk onset kerja. Jika menggunakan rute hidung,
gunakan oxymetazoline.
c) Berikan lidokain topikal
• Lidokain diatomisasi 2-4% ke faring posterior, langit-langit lunak,
dan inlet glottis.
• Salep lidokain 4-5% untuk lidah dan faring posterior, berlaku untuk
nasofaring jika rute hidung akan digunakan.
d) Dapat mempertimbangkan obat penenang seperti ketamin dalam dosis
kecil.
2) Intubasi
e) Gunakan endoskopi untubasi fleksibel
• Jika menggunakan rute oral, gunakan jalan napas oral intubasi
melalui mulut untuk melewati endoskopi.
• Jika menggunakan rute hidung, masukkan tabung endotrakeal yang
dilumasi dan dihangatkan melalui saluran hidung.
• Semprotkan lidokain tambahan sambal memajukkan pipa
endotrakeal melewati pita suara.
f) Berikan sedasi pasca intubasi (seperti propofol, ketamin) dengan tujuan
mempertahankan tekanan arteri rata-rata > 65 mmHg

Setelah memperbaiki jalan napas, dapat diberikan antibiotic dosisi tinggi dan
spektrum luas secara intravena untuk organisme gram positif dan gram negatif
serta kuman aerob dan anaerob. Antibiotik yang di berikan sesuai dengan kultur

28
dan hasil sensifitas pus, meliputi (Bridwell, R., Gottlieb, M., Koyfman, A., &
Long, B., 2021):
1) Kondisi immunocompetent
• Ampicillin-sulbactam 3 gram setiap 6 jam secara IV atau
• Ceftriaxone 2 gram setiap 12 jam & metronidazole 500 mg setiap 8 jam
secara IV atau
• Clindamycin 600 mg setiap 6-8 jam & levofloxacin 750 mg setiap 24 jam
secara IV
2) Kondisi immunocompromised
• Cefepime 2 gram setiap 8 jam & metronidazole 500 mg setiap 8 jam
secara IV atau
• Imipenem 1 gram stiap 6-8 jam secara IV atau
• Meropenem 2 gram setiap 8 jam secara IV atau
• Piperacillin-tazobactam 4,5 gram setiap 6 jam secara IV
3) Kondisi methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
Untuk cakupan di atas dan tambahkan:
• Vankomicin 20 mg/kg secara IV atau
• Linezolid 600 mg setiap 12 jam secara IV

Perawatan tambahan lainnya termasuk pemberian steroid dan epinefrin nebulisasi


(Bridwell, R., Gottlieb, M., Koyfman, A., & Long, B., 2021):
1) Steroid dapat mengurangi pembengkakan wajah dan edema saluran napas,
serta meningkatkan penetrasi antibiotik. Steroid yang umum digunakan adalah
deksametason 10 mg diberikan dalam 48 jam secara IV.
2) Epinefrin nebulasi 1 mL dengan perbandingan 1 : 1000 diencerkan hingga 5
mL dalam salin normal 0,9%, juga dapat mengurangi obstruksi jalan napas.

29
Komplikasi
Meskipun angka kematian telah menurun, mulai dari 10% jika ditangani
dengan tepat hingga 50% pada mereka yang tidak menerima manajemen yang
tepat. Beberapa komplikasi dapat terjadi, yaitu mediastinitis merupakan salah satu
komplikasi yang paling parah. Lainnya termasuk nekrotikan fasciitis leher dan
dada, perikarditis, ruptur arteri karotis, trombosis vena jugularis, empiema pleura,
pneumonia, dan sindrom gangguan pernapasan akut. Komplikasi mungkin terjadi
pada lebih dari seperempat pasien (Bridwell, R., Gottlieb, M., Koyfman, A., &
Long, B., 2021).

Prognosis
Karena risiko gangguan jalan napas dan komplikasi parah dapat terjadi, maka
pasien harus dirawat di ruang perawatan intensif. Pasien dengan risiko kematian
dan komplikasi tertinggi termasuk mereka yang berusia lebih dari 65 tahun,
diabetes, penggunaan alkohol, dan immunocompromise. Mortalitas penyakit ini
sudah mengalami penurunan hingga 0-10% dengan penatalaksanaan
menggunakan antibiotik. Sebelum ditemukannya antibiotik, diperkirakan 50-60%
pasien mengalami kematian akibat sepsis. Pasien juga bisa mengalami mortalitas
akibat asfiksia karena obstruksi atau kompresi jalan napas (Bridwell, R., Gottlieb,
M., Koyfman, A., & Long, B., 2021).

KIE & Pencegahan


Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari penyebab dan faktor risiko
dengan melakukan:
 Pemeriksaan gigi ke dokter secara teratur dan rutin.
 Penanganan infeksi gigi dan mulut yang tepat dapat mencegah kondisi yang
akan meningkatkan terjadinya angina ludwig.

30
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas bahwa pasien mengalami pembengkakan
kelenjar pada regio servikal yang lebih mengarah ke infeksi kelenjar saliva
(kelenjar parotitis) atau kelenjar getah bening. Ketika kelenjar mengalami infeksi
dan menyebabkan produksi cairan tidak normal dan drainase tidak lancar akibat
adanya sumbatan pada duktus dapat menyebabkan penumpukan cairan dan
menimbulkan tanda berupa pembengkakan pada kelenjar disertai dengan
kemerahan serta nyeri tekan.
Namun pada kasus ini lebih mengarah ke infeksi kelenjar parotis yang disebut
dengan parotitis, yang merupakan infeksi virus yang disebabkan oleh mumps virus
(MuV), merupakan anggota famili Paramyxoviridae dan genus Paramyxovirus.
Terapi yang diberikan adalah terapi non farmakologi dengan tirah baring,
mencegah dehidrasi, tindakan pembedahan berupa insisi dan drainase serta terapi
farmakologi untuk meredakan nyeri dan demam dengan memberikan analgetik dan
antipiretik. Jika kondisi tersebut tidak segera ditangai, infeksi virus akan menyebar
ke beberapa organ seperti testis pada pria sehingga menyebabkan kondisi orkitis.
Selain itu, ditandai juga dengan gejala khas yaitu nyeri dirasakan semakin
memberat ketika mengkonsumsi makanan atau minuman yang asam. Serta gejala
lain seperti sakit kepala, lemas/kelelahan dan nyeri/kaku leher. Sedangkan, apabila
kondisi sudah semakin memburuk hingga menimbulkan gejala sesak napas akibat
sumbatan jalan napas, maka hal tersebut lebih mengarah ke arah angina ludwig.

31
DAFTAR PUSTAKA

Bridwell, R., Gottlieb, M., Koyfman, A., & Long, B., 2021, Diagnosis and
Management of Ludwig's Angina: An Evidence-Based Review, The American Journal
of Emergency Medicine, Vol 41, Hh 1-5.
Dowdy, R. A., Emam, H. A., & Cornelius, B. W., 2019, Ludwig's Angina:
Anesthetic Management, Anesthesia Progress Journal, Vol 66, No 2, Hh 103-110.
Leli, N., 2021, Pengetahuan Ibu Tentang Parotitis Epidemika
(Gondongan/Mumps) Pada Anak di Lingkungan 2 Kelurahan Dataran Tinggi, Jurnal
Kesehatan Bukit Barisan, Vol 3, No 6.
Marlow, M., Leung, J., Shepersky, L., Pham, H., & Patel, M., 2020, Mumps.
Saifeldeen, K., & Evans, R., 2020, Ludwig’s Angina, Emergency Medicine
Journal, Vol 21, No 2, Hh 242-243.
Sitohang, I. W. D., 2021, Karakteristik Penderita Limfadenitis Tuberkulosis di
RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2018-2021.
Sue E. Huether & Kathryan L. McCance, 2017. Buku Ajar Patofisiologi, Edisi
6, Volume 1, Singapore: Saunders Elsevier.
Su, S. B., Chang, H. L., & Chen, K. T., 2020, Current Status of Mumps Virus
Infection: Epidemiology, Pathogenesis, and Vaccine, International Journal of
Environmental Research and Public Health, Vol 17, No 5.
Younus, A. M., Sarhat, A. R., Karrar, A. L., Sajad, R. J., Doaa, E. K., & Ahlam,
K., 2020, Mumps Control and Prevention Knowledge in The Primary School in Balad
City, Middle East Journal of Nursing, Vol 14, No 3.

32

Anda mungkin juga menyukai