Tutor :
dr. Yuniati, M.Kes
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkahNya kami selaku kelompok
4 telah menyelesaikan diskusi dan laporan hasil diskusi kelompok kecil pada Blok 13
Kelainan Thoraks pada Modul 4 Nyeri dada
Dalam proses penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Yuniati, M.Kes selaku tutor kelompok 4 yang telah membimbing kami selama
menjalani diskusi kelompok kecil (DKK) I dan II sehingga materi diskusi dapat
mencapai sasaran pembelajaran yang sesuai.
2. Rekan kelompok yang telah bekerja samamengkondusifkan suasana diskusi tutorial
dalam penyelesaian laporan ini.
3. Dosen-dosen yang telah memberikan materi pendukung pada pembahasan sehingga
semakin membantu pemahaman kami terhadap materi ini.
4. Kepada seluruh pihak yang turut membantu penyelesaian laporan ini, baik sarana dan
prasarana kampus yang kami pergunakan.
Kami mengharapkan agar laporan ini dapat berguna baik bagi penyusun maupun bagi
para pembaca di kemudian hari. Kami memohon maaf apabila dalam penulisan laporan
hasil diskusi kelompok kecil (DKK) ini terdapat kata-kata yang kurang berkenan di hati para
pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak.
Semoga laporan kami ini dapat mendukung pemahaman pembaca terhadap materi tersebut.
Hormat kami,
Kelompok 4
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II ISI
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Nyeri dada merupakan salah satu keluhan yang paling banyak ditemukan di
klinik.Sebagian besar penderita merasa ketakutan bila nyeri dada tersebut disebabkan oleh
penyakit jantung ataupun penyakit paru yang serius.Diagnosa yang tepat sangat tergantung
dari pemeriksaan fisik yang cermat, pemeriksaan khusus lainnya serta anamnesa dari sifat
nyeri dada mengenai lokasi, penyebaran, lama nyeri serta faktor pencetus yang dapat
menimbulkan nyeri dada.Salah satu bentuk nyeri dada yang paling sering ditemukan adalah
angina pektoris yang merupakan gejala penyakit jantung koroner dan dapat bersifat
progresif serta menyebabkan kematian, sehingga jenis nyeri dada ini memerlukan
pemeriksaan yang lebih lanjut dan penanganan yang serius. Agar diagnosa lebih cepat
diarahkan, maka perlu juga lebih dulu mengenal macammacam jenis nyeri dada yang
disebabkan oleh berbagai penyakit lain.
Beberapa organ dapat menyebabkan keluhan berupa nyeri dada antara lain jantung,
paru, dan diafragma. Nyeri dada dapat dialami oleh semua umur tidak hanya terfokus pada
para orang-orang yang berumur lanjut. Nyeri dada dapat didasari oleh beberapa penyakit.
Sepertinya kita perlu mengetahui bagaimana nyeri dada itu dapat terjadi dan penyakit-
paenyakit apa saja yang mendasari serta bagaimnakan penatalkasanaannya. Oleh sebab
itu ada baiknya bila kita mempelajari hal-hal yang menyangkut penyakit-penyakit tersebut,
khususnya Angina Pektoris dan Infark Miokardyang dapat menyebabkan komplikasi
Tujuan
ISI
SKENARIO
Seorang laki-laki usia 55 tahun datang ke klinik dengan keluhan nyeri dada. Dia mengeluh
dalam 6 bulan terakhir sering mengalami nyeri dada substernal bersifat intermitten dan
menjalar ke lengan kiri. Nyeri pertama terjadi ketika melakukan kegiatan dan mereda ketika
beristirahat. Riwayat penyakit sebelumnya pernah mengalami hipertensi dan dislipidemia.
Dari riwayat keluarga, diperoleh keterangan bahwa bapaknya meninggal karena penyakit
infark miokard pada usia 56 tahun.
a) Substernal
Bagian yang berada tepat di bawah (maksudnya di balik) os sternum, sinonim dari
retrosternal.
b) Intermitten
Terjadi secara bergantian dengan fase istirahat di antara dua fase aktif.
c) Dislipidemia
d) Infark Miokard
Nama lain dari serangan jantung dimana miokardium mengalami kematian akibat
hipoperfusi jaringan, umumnya disebabkan penyakit jantung iskemik
2.2 Identifikasi Masalah
a) Mengapa bisa terjadi nyeri dada yang bersifat intermitten dan menjalar ke lokasi
lain ?
c) Apa hubungan riwayat penyakit hipertensi dan dislipidemia dengan keluhan nyeri
dada ?
a) Nyeri dada yang dialami pasien diduga berkaitan dengan penyakit sistem
kardiovaskuler. Nyeri dada sendiri bisa diklasifikasikan menjadi : (1) nyeri dada
pleuritik dan (2) nyeri dada non-pleuritik. Nyeri dada pleuritik menandakan adanya
gangguan pada sistem respirasi yang terasa menusuk ketika aktivitas bernapas,
sementara nyeri dada non-pleuritik dapat berasal dari sistem gastrointestinal
(umumnya gastro-oesophageal reflux yang terasa seperti terbakar di ulu hati)
maupun sistem kardiovaskular (dapat bersifat seperti tertindih (bila akibat penyakit
jantung iskemik) ataupun tersayat (pada ruptur pembuluh besar)). Dalam kasus di
atas, dugaan terbesar condong pada nyeri dada akibat sistem kardiovaskular
melihat adanya riwayat penyakit vaskular sistemik (hipertensi) dan faktor resiko
penyakit jantung koroner (dislipidemia).
Dengan adanya dua faktor resiko (HT dan dislipidemia), dapat dibayangkan
bahwa kemungkinan terbentuk oklusi berupa plak aterosklerosis di pembuluh darah
koroner yang bertugas memasok nutrisi dan oksigen ke sel-sel miokardium. Akibat
sumbatan di atas, aliran darah akan menurun dan menyebabkan hipoperfusi
jaringan miokardium yang jika berlangsung dalam beberapa saat (tanpa disertai
kompensasi yang cepat) akan menimbulkan hipoksia jaringan. Sel-sel yang
kekurangan oksigen akan mengeluarkan mediator-mediator seperti adenosin,
bradikinin, histamin, dan lain-lain yang merangsang free nerve ending di sekitar
lokasi iskemik. Selain dari mediator, sel yang hipoksia akan mengalami metabolic
change dari aerob menjadi anaerob sehingga terjadi akumulasi metabolit anaerob
seperti asam laktat. Mediator dan metabolit inilah yang merangsang saraf-saraf
nosiseptor. Salah satu serat yang dirangsang adalah saraf dari nervus kranialis ke
X, yaitu N. Vagus. Oleh karena itu, rasa nyeri akan menjalar di sepanjang jaras
persarafan N. Vagus, yang disebut juga nyeri transfer.
c) Hipertensi dan dislipidemia --dalam kasus ini lebih merujuk pada hiperlipidemia--
merupakan dua dari banyak faktor resiko terbentuknya plak aterosklerosis.
f) Untuk meredakan nyeri dapat diberikan obat analgesik seperti aspirin (yang juga
memiliki efek antitrombosis) atau dosis kuat seperti morfin. Selain itu, dapat
diberikan vasodilator kerja cepat seperti nitrat (nitrogliserida).
2.4 Kerangka Konsep
Riwayat penyakit
Hipertensi
dahulu/sekarang
Dislipidemi
a
Pemeriksaan penunjang
Penatalaksanaan
Setelah diskusi kelompok kecil pertama pada hari Selasa, 26 September 2017,
mahasiswa melakukan belajar mandiri hingga hari Kamis, 28 September 2017.
Non ST Elevasi
Miokard Infark
a. Angina Pectoris
Angina pectoris (AP) adalah rasa nyeri yang timbul karena iskemia miokardium. (IPD,
2015)
Angina pectoris adalah nyeri dada intermiten yang disebabkan oleh iskemia
miokardium sementara dan reversibel. Nyeri yang dirasakan mungkin merupakan pelepasan
adenosin, bradikinin, dan molekul lain yang diinduksi oleh iskemia tersebut yang mestimulasi
saraf autonom aferen. Terdapat tiga varian yang telah diketahui:
1. Angina tipikal atau stabil, merupakan episode nyeri dada yang dapat diprediksi karena
terkait dengan kadar aktivitas tertentu atau peningkatan kebutuhan oleh sebab lain (mis:
takikardi). Nyeri tersebut biasanya berkurang dengan istirahat atau oleh obat vasodilator.
2. Angina Prinzmetal atau varian, terjadi pada saat istirahat dan disebabkan oleh spasme
arteri koronaria. Angina prinzmetal biasanya memberikan respon terhadap vasodilator
seperti nitrogliserin dan penghambat kanal kalsium.
3. Angina tak stabil atau angina kresendo, ditandai dengan frekuensi nyeri yang
meningkat, dipicu oleh aktivitas yang ringan atau bahkan terjadi saat istirahat. (Robbins,
2015)
Gradasi beratnya nyeri dada telah dibuat oleh Canadian Cardiovascular Society
(CCS) sebagai berikut :
CCS Kelas I
Aktivitas sehari-hari seperti jalan kaki, berkebun, naik tangga 1-2 lantai dan lain-
lain tak menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada baru timbul pada saat latihan yang berat,
berjalan cepat, dan terburu-buru eaktu kerja atau bepergian.
CCS Kelas II
Aktifitas sehari-hari agak terbatas,misalnya AP timbul bila melakukan aktifitas
lebih berat dari biasanya, seperti jalan kaki 2 blok, naik tangga lebih dari 2 lantai atau
terburu-buru, berjalan menangjak atau melawan angin dll.
CCS Kelas III
Aktifitas sehari-hari terbatas. AP timbul bila berjalan 1 sampai 2 blok, naik tangga
1 lantai dengan kecepatan yang biasa.
CCS Kelas IV
AP bisa timbul waktu istirahat sekalipun. Hampir semua aktifitas dapat
menimbulkan Angina termasuk mandi,menyapu dll. (IPD, 2015)
b. Etiologi
Penyebab paling sering dari APS adalah adanya aterosklerotik yang
mempersempit arteri koroner. (IPD, 2015)
Pravelensi dan tingkat keparahan aterosklerosis dan PJK telah dikorelasikan
dengan sejumlah faktor dengan sejumlah faktor risiko dalam beberapa penelitian
prospektif (mis : Framingham Heart Study); beberapa faktor risiko ada sejak lahir /
konstitusional (sehingga tidak dapat dikontrol) namun faktor risiko yang lain
merupakan hal yang didapat atau berkaitan dengan perilaku yang dapat
diubah/dikontrol. (Robbins, 2015)
Tidak Dapat Dimodifikasi (Telah Ada Sejak Lahir)
Kelainan genetik
Riwayat Keluarga
Bertambahnya usia
Jenis Kelamin laki-laki
Dapat Dimodifikasi
Hiperlipidemia
Hipertensi
Merokok
Diabetes
Inflamasi peradangan
Tabel.1 Faktor Risiko Utama Aterosklerosis (Robbins, 2015)
c. Patofisiologi
Adanya jejas endotel kronik seperti hiperlipidemia, hipertensi, merokok,
homosistein, faktor hemodinamik, toksin, virus, dan reaksi imun, menyebabkan
timbulnya respon terhadap jejas dengan adanya disfungsi endotel. Dua penyebab
paling penting dari disfungsi endotel adalah gangguan hemodinamik dan
hiperkolesterolemia. Sel endotel yang disfungsi ini menunjukkan peningkatan
permeabilitas, peningkatan perlekatan leukosit, dan adhesi serta emigrasi monosit..
Gangguan hemodinamik pada aterogenesis dapat dilihat dari pengamatan
bahwa plak sering terjadi pada percabangan pembuluh darah dan disepanjang
dinding posterior aorta abdominalis, lokasi turbulensi aliran darah. Penelitian in vitro
selanjutnya menunjukkan bahwa aliran laminar non-turbulen menginduksi gen
endotel yang produknya bersifat melindungi terhadap aterosklerosis.
Mekanisme dislipedemia berperan pada aterogenesis mencakup hal-hal
berikut:
Hiperlipidemia kronik, terutama hiperkolestrolemia, secara langsung dapat
menganggu fungsi sel endotel dengan cara meningkatkan produksi radikal bebas
oksigen lokal, salah satu peran radikal bebas oksigen tersebut ialah meningkatkan
degradasi NO sehingga menghambat aktivitas vasodilator.
Ketika terjadi hiperlipidemia kronik, lipoprotein terakumulasi didalam tunika intima,
tempat lipoprotein tersebut di perkirakan menimbulkan 2 zat yang patogen, LDL
teroksidasi dan kristal kolesterol. LDL dioksidasi zat yang radikal bebas oksigen
yang dihasilkan oleh makrofag setempat atau sel endotel dan kemudian difagosit
oleh makrofag melalui reseptor pemburu ( scavenger), mengakibatkan
pembentukan sel buih (foam cell). LDL yang teroksidasi menstimulasi pelepasan
faktor pertumbuhan, sitokin, dan kemokin setempat, meningkatkan rekrutmen
monosit dan juga sitotoksik terhadap sel endotel dan sel otot polos
Sel endotel yang disfungsi mengekpresikan molekul adhesi yang
mengakibatkan leukosit, melekat, vacular cell adhesion molecule-1 (VCAM-I)
terutama mengikat monosit dan sel T. Setelah sel-sel ini melekat pada endotel
mereka bermigrasi ke intima dibawah pengaruh kemokin yang diproduksi tempat
tersebut.
Monosit berdiferensiasi menjadi makrofag dan secara aktif memfagositosis
lipoprotein, termasuk LDL teroksidasi dan kristal kolesterol kecil. Kristal kolestrol
agaknya merupakan pemicu penting inflamasi /peradangan melalui pengaktifan
inflammasome dan pelepasan IL-1. Makrofag juga teraktifkan untuk menghasilkan
spesies oksigen toksik yang mengakibatkan oksidasi LDL dan berbagai
pertumbuhan yang menstimulasi proliferasi sel otot polos.
Limfosit T yang direkrutke intima berinteraksi dengan makrofag dan juga
berkontribusi untuk terjadinya kondisi inflamasi kronik. Sel t teraktifkan pada lesi
intima yang sedang tumbuh melengkapi sitokin inflamasi (mis IFN-) yang
menstimulasi makrofag, sel endotel, dan sel otot polos.
Gambar.2 Pembentukan Aterosklerosis
e. Penegakan diagnosa
1. Anamnesis
- Menanyakan keluhan pasien (SOCRATES), riwayat penyakit dahulu,
anamnesis sistem, riwayat penyakit keluarga, riwayat psikososisal dsb.
- Menemukan adanya faktor risiko pada pasien atau keluarga :
1. Kebiasaan makan/kolesterol
2. Diabetes
3. Hipertensi
4. Merokok
5. Penyakit vaskuler lain seperti stroke dan penyakit vaskuler perifer.
6. Obes
7. Kurang latihan
8. Dll (IPD, 2015)
2. Pemeriksaan Fisik
Sering didapatkan hasil pemeriksaan fisik yang normal pada kebanyakan
pasien. Mungkin pemeriksaan fisis yang dilakukan waktu nyeri dada dapat
menemukan adanya aritmia, gallop bahkan murmur, split S2 paradoksal,
ronki basah dibagian basal paru, yang menghilang lagi pada waktu nyeri
sudah berenti. Penemuan adanya tanda-tanda aterosklerosis umumnya
seperti A.Carotis, aneurisma abdominalis, nadi dorsalis pedis/tibialis
posterior yang tidak teraba, penyakit valvular karena sklerosis, adanya HT,
left ventricle hypertrophy (LVH), xantoma, kelaianan fundus mata, dan lain-
lain tentu amat membantu.
3. Pemeriksaan Lanjutan
- Pemeriksaan Laboratorium
1. Hb
2. Ht
3. Trombosit
4. Pemeriksaan terhadap faktor risiko koroner seperti gula darah, profil
lipid, dan penanda inflamasi akut bila diperlukan, yaitu bila nyeri dada
cukup berat dan lama, seperti enzim creatinine kinase (CK)/creatinine
kinasemuscle brain (CKMB) C-reaktive protein (CRP)/high sensitive
(hs) CRP, dan troponin. Bila nyeri dada tidak mirip suatu UAP/AtPS
maka tidak semuanya pemeriksaan ini diperlukan.
- Untuk memastikan adanya iskemia miokardium sebagai penyebab nyeri
dada maka diperlukan beberapa pemeriksaan berikut.
1. EKG waktu istirahat
2. Foto thoraks
3. EKG waktu aktivitas/latihan
4. Ekokardiografi
5. EKG latihan dengan Skintigrafi 201Th dan 99mTc
6. Uji latih dengan farmakologis dan teknik pencitraan
7. Stress imaging, dengan ekokardiografi atau radionuklir
8. Angiografi koroner
Non farmakologis :
- Diet. Energi dan asupan makanan yang dikonsumsi biasanya disesuaikan
dan ditargetkan dengan BMI yang ditargetkan yakni < 25 kg/m 2. Disarankan
untuk mengkonsumsi :
1. Buah-buahan 200 gr/minggu (dalam 2-3 penyajian)
2. Asupan sayur-sayuran 200 gr/minggu (dalam 2-3 penyajian)
3. Asam lemak tak jenuh (PUFA) yang bisa didapat dari minyak ikan.
4. Asupan energi asam lemak jenuh dibatasi hanya < 1% dari total asupan
energi.
5. Asupan garam < 5 gr/hari
6. Asupan serat 30-45 gr/hari
7. Asupan ikan setidaknya 2x/minggu
8. Konsumsi alkohol dibatasi 2 gelas/ hari untuk pria, dan 1 gelas/hari untuk
wanita.
- Aktivitas olahraga, 3 kali / minggu dengan durasi 30 menit setiap sesinya.
- Aktivitas seksual dapat memicu terjadinya angina, dapat digunakan
nitrogliserin pada saat melakukan hubungan seksual, dan hindari pemberian
sildenafil bersamaan dengan nitrat.
- Pengelolaan berat badan.
Reperfusi Miokardium
Dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti intervensi koroner dengan
balon dan pemakaian stent sampai operasi CABG.
b. Angina Pectoris Tak Stabil / Non- ST Elevasi Miokardiak Infark
a) Definisi
Angina pektoris tidak stabil di definisikan sebagai angina pektoris ( atau ekuivalen rasa
tidak nyaman di dada tipe iskemik ) dengan satu diantara tampilan klinis : 1. Terjadi saat
istirahat ( atau aktivitas minimal ) dan biasanya berlangsung lebih dari 20 menit ( jika tidak
ada penggunaan nitrat atau analgetik ) 2. Nyeri hebat dan biasanya nyeri nya jelas 3.
Biasanya lambat laun bertambah berat ( misalnya nyeri yang membangunkan pasien dari
tidur atau semakin parah, terus menerus atau lebih sering dari sebelum nya ).
Klasifikasi berdasarkan berat nya serangan angina dan keadaan klinik. Berat nya
angina :
1. Kelas I. Angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah berat nya nyeri
dada.
2. Kelas II. Angina pada waktu istirahat dan terjadi nya subakut dalam 1 bulan, tapi tak ada
serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir.
3. Kelas III. Adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadi nya secara akut baik sekali
atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.
b) Patofisiologi
1. Ruptur Plak atau Erosi plak dengan tumpukan trombus non oklusif
Ruptur Plak
Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina pektoris tak stabil,
sehingga tiba - tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelum
nya mengalami penyempitan 50% atau kurang, dan pada 97% pasien dengan angina tak
stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70%. Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang
mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotik ( fibrotic cap ). Plak yang tidak
stabil terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan ada nya infiltrasi sel makrofag.
Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau
pada bahu dari timbunan lemak. Kadang - kadang keretakan timbul pada dinding plak yang
paling lemah karena ada nya enzim protease yang dihasilkan makrofag secara enzimatik
melemahkan dinding plak.
Terjadi nya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan
menyebabkan aktivasi terbentuk nya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100%
akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat
100% dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadi nya
ngina tak stabil. Terjadi nya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena interaksi
yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag dan kolagen. Inti lemak merupakan
bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit, sedangkan sel otot
polos dan sel busa yang ada dalam plak berhubungan dengan eskpresi faktor jaringan
dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi
dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan
pembentukan trombin dan fibrin.
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan platelet
melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokontriksi dan
pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadi
nya hemostase dan koagulasi dan berperan damlam memulai trombosis yang intermiten,
pada angina tak stabil.
Vasospasme
Terjadi nya vasokonriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil.
Diperkirakan ada nya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet
yang berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme.
Spasme yang terlokalisir seperti pada angina Printzmetal juga dapat menyebabkan angina
tak stabil. Adanya spasme sering kali terjadi pada plak yang tak stabil, dan mempunyai
peran dalam pembentukan trombus.
Terjadi nya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadi nya poliferasi dan
migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel, adanya perubahan
bentuk dan lesi karena bertambah nya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan
pembuluh darah dengan cepat dan keluhan iskemia.
Keluhan pasien umum nya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang
bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama,
mungkin timbul pada waktu istirahat atau timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada
dapat disertai keluhan sesak nafas, mual sampai muntah kadang keluhan disertai keringat
dingin. Pada pemeriksaan jasmanai seringkali tidak ada yang khas.
d) Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiografi
Pemeriksaan EKG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi risiko pasien
angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukkan kemungkinan ada
nya iskemia akut. Gelombang T negatif juga salah satu tanda iskemia atau NSTEMI.
Perubahan gelombang ST dan T yang nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang dari
0,5 mm dan gelombang T negatif kurang dari 2 mm, tidak spesifik untuk iskemiadan dapat
disebabkan karena hal lain. Pada angina tak stabil 4% mempunya EKG normal, dan pada
NSTEMI 1-6% EKG juga normal.
Uji Latih
Pasien yang telah stabil dengan terapi medikamentosa dan menunjukkan tanda risiko
tinggi perlu pemeriksaan exercise test dengan alat treadmill. Bila hasil nya negatif maka
prognosis baik. Sedang kan bila hasil nya positif lebih - lebih bila didapatkan depresi
segmen ST yang dalam, dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan angiografi koroner, untuk
menilai keadaan pembuluh koroner nya apakah perlu tindakan revaskularisasi karena risiko
terjadi nya komplikasi kardiovaskular dalam waktu mendatang cukup besar.
Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak stabil
secara langsung. Tetapi bila tampak ada nya gangguan faal ventrikel kiri, adanya
insufisiensi mitral dan abnormalitas gerakan dinding regional jantung menandakan prognosis
kurang baik.
Rontgen Toraks
Rontgen dada sangat berperan untuk mengidentifikasi ada nya kongesti pulmonal atau
oedem, yang biasanya terjadi pada pasien NSTEMI luas yang melibatkan ventrikel kiri
sehingga terjadi disfungsi ventrikel kiri.
Pemeriksaan Laboratorium
CK - MB kurang spesifik untuk diagnosis karena juga diketemukan di otot skeletal, tapi
berguna untuk diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan kembali
normal dalam 48 jam.
Kenaikan CRP dan SKA berhubungan dengan mortalitas jangka panjang. Marker yang lain
seperti amioid A, Interleukin-6 belum secara rutin dipakai dalam diagnosis SKA.
e) Penatalaksanaan APTS/NSTEMI
Tindakan Umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit, sebaiknya di unit intensif coroner, pasien
perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen. Sangat dianjurkan pemberian
oksigen tambahkan kepada pasien yang sianotik atau terdapat ronki yang memberat dan
jika saturasi oksigen arteri di bawah 90%. Berkurangnya nyeri dada merupakan target terapi
awal. Pemberian morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada
walaupun sudah mendapat nitrogliserin.
Terapi Medikamentosa
1) Nitrat
Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah vena dan arteriol perifer,
dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall stress dan
kebutuhan oksigen suplai dengan vasodilatasi pembuluh coroner dan memperbaiki aliran
darah kolateral. Dalam keadaan akut nitrogliserin atau isosorbide dinitrat diberikan secara
sublingual atau melalui infus intravena; yang ada di Indonesia terutama isosorbide dinitrat,
yang dapat diberikan secara intravena dengan dosis 1-4 mb per jam. Karena adanya
toleransi terhadap nitrat, dosis dapat dinaikkan dari waktu ke waktu. Bila keluhan sudah
terkendali infus dapat diganti isosorbid dinitrat per oral.
2) Penyekat Beta
Kontraindikasi pemberian penyekat beta antara lain pasien dengan asma bronkial
dengan bradiaritmia.
Terapi penyekat beta oral harus segera dimulai dalam 24 jam pertama pada pasien
yang tidak mempunyai kontraindikasi: (1) tanda gagal jantung, (2) bukti rendahnya cardiac
output, (3) peningkatan resiko syok kardiogenik, atau (4) kontraindikasi relative lainnya
(interval PR >0,24 detik, blok jantung derajat 2 atau 3, asthma yang aktif, penyakit saluran
napas yang reaktif). Penyekat beta dapat diberikan dengan dosis rendah pada pasien gagal
jantung ketika sudah stabil. Jika iskemia dan nyeri dada terus berlangsung walaupun telah
diberikan terapi nitrat intravena, penyekat beta intravena dapat diberikan secara hati-hati,
yang kemudian diikuti pemberian secara oral.
3) Antagonis Kalsium
Meta analisis studi pada pasien dengan angina tak stabil yang mendapat antagonis
kalsium, menunjukkan tak ada pengurangan angka kematian dan infark. Pada pasien yang
sebelumnya tidak mendapat antagonis pemberian nifepidin menaikkan infark dan angina
yang rekuren sebesar 16% sedangkan kombinasi nifepidin dan metoprolol dapat
mengurangi kematian dan infark sebesar 20%, tapi kedua studi secara statistic tak
bermakna. Kenaikan mortalitas mungkin karena pemberian nifepidin menyebabkan
takikardia dan kenaikan kebutuhan oksigen.
Verapamil dan diltiazem dapat memperbaiki survival dan mengurangi infark pada
pasien dengan sindrom coroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang
berkurang, pengurangan afterload memberikan keuntungan pada golongan nondihidropiridin
pada pasien SKA dengan faal jantung normal. Pemakaian antagonis kalsium biasanya pada
pasien yang ada kontraindikasi dengan antagonis atau telah diberi penyekat beta tapi
keluhan angina masih refrakter.
4) Obat Antiagregasi Trombosit
Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan angina tak stabil
maupun infark tanpa elevasi ST segmen. Tiga golongan obat anti platelet seperti aspirin,
tienopiridin, dan inhibitor GP IIb/IIIa telah terbukti bermanfaat.
5) Aspirin
Banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi kematian jantung
dan mengurangi infark fatal maupun non fatal dari 51% sampai 72% pada pasien dengan
angina tak stabil. Oleh karena itu aspirin dianjurkan untuk diberikan seumur hidup dengan
dosis awal 160 mg per hari dan dosis selanjutnya 80 sampai 325 mg per hari.
6) Tiklopidin
Tiklopidin suatu derivate tienopiridin merupakan obat lini kedua dalam pengobatan
angina tak stabil bila pasien tidak tahan aspirin. Studi dengan tiklopidin dibandingkan
placebo pada angina tak stabil ternyata menunjukkan bahwa kematian dan infark non fatal
berkurang 46,3%. Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan efek samping
granulositopenia, di mana insidennya 2,4%. Dengan adanya klopidogrel yang lebih aman
pemakaian tiklopidin mulai ditinggalkan.
7) Klopidogrel
Pada UA/STEMi, dosis loading awal klopidogrel sebesar 300 sampai 600 mb diikuti
dengan dosis rumatan 75 mg/hari. Pemberian awal dengan hanya 75 mg per hari akan
mencapai target level inhibisi trombosit setelah 3 sampai 5 hari, sedangkan dosis loading
300 mb akan mencapai inhibisi trombosit yang efektif dalam 4 sampai 6 jam. Penggunaan
600 mg dosis loading mencapai steady-state level dari inhibisi trombosit hanya dalam 2 jam.
8) Prasugrel
Prasugrel merupakan derivate tienopiridin lain selain tiklopidin dan klopidogrel yang
juga merupakan suatu prodrug. Meskipun efikasi biologic metabolit aktif klopidogrel dan
prasugrel dalam studi invitro memiliki efek antikoagulan yang sama, metabolit prasugrel
memiliki efek 10 kali lebih kuat dan lebih poten dibandingkan klopidogrel.
Dalam studi crossover pada pasien yang menjalani PCl untuk angina yang stabil,
Wiviott dan rekan-rekan melaporkan bahwa dosis loading dengan 60 mg prasugrel
menghambat inhibisi trombosit yang lebih baik bila dibandingkan dengan dosis loading
klopidogrel 600 mg. hal yang sama terlihat selama terapi rumatan, antara dosis prasugrel 10
mg dan klopidogrel 150 mg per hari.
Efek inhibisi trombosit yang lebih baik dari prasugrel dikaitkan dengan perdarahan
serius yang lebih sering terjadi. Pada TRITON-TIMI 38, terdapat 32% kejadian serius yang
relative lebih tinggi, termasuk perdarahan fatal. Resiko perdarahan biasanya lebih tinggi
pada lansia (75 tahun), penggunaan prasugrel harus terbatas pada yang beresiko tinggi,
dan yang mengalami penurunan berat badan (<60 kg, 132 pounds). Prasugrel disarankan
dihindari pada lansia kecuali mereka dengan resiko tinggi thrombosis dengan dosis rumatan
5 mg. Prasugrel dikontraindikasikan pada pasien riwayat stroke atau Transient Ischemic
Attack (TIA). Prasugrel sebaiknya dihentikan setidaknya seminggu sebelum operasi.
9) Ticagrelor
Studi PLUTO memperhitungkan jika terdapat 1.000 pasien dengan ACS yang
diberikan ticagrelor dan aspilet jika dibandingkan dengan grup yang sama yang diberikan
klopidogrel dan aspilet akan terdapat 14 kematian lebih sedikit, 11 kejadian MI lebih sedikit,
dan 6 sampai 8 kasus strent thrombosis lebih sedikit serta diperkirakan terdapat 9 pasien
yang mengganti ticagrelor dengan thienopyridine karena sesak akibat efek obat. Ticagrelor
harus dimulai saat munculnya gejala akut pada perawatan gawat darurat dan dilanjutkan
pada pasien yang direncanakan PCI, namun dapat juga dihentikan apabila diperlukan, dan
CABG dapat dilaksanakan dalam 48 sampai 72 jam.
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir pada
proses agregasi platelet. Karena inhibitor GP IIb/IIIa menduduki reseptor tadi maka ikatan
platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi.
Pada saat ini ada 3 macam obat golongan ini yang telah disetujui untuk pemakaian
dalam klinik yaitu: absiksimab, suatu antibody monoclonal; eptifibatid, suatu siklik
heptapeptid; dan tirofiban, suatu nonpeptid memtik. Obat-obat ini telah dipakai untuk
pengobatan angina tak stabil maupun untuk obat tambahan dalam tindakan PCI terutama
pada kasus-kasus angina tak stabil. Suatu metaanalisis dari 12.296 pasien didapatkan
pengurangan mortalitas dan infark miokard secara relative sebesar 34% selama 24 jam
terapi medikamentosa tanpa revaskularisasi. (2,5% vs 3,5%; p = 0,001). Keuntungan lebih
nyata pada pasien resiko tinggi, dan lebih tampak pada pasien dengan PCI karena strategi
invasive dini. Penelitian pada pasien SKA tanpa elevasi segmen ST dan mendapat tindakan
PCI, kematian dan infark miokard dalam 30 hari berkurang dari 30-70%. Tirofiban dan
eptifibatid harus diberikan bersama aspirin dan heparin pada pasien dengan iskemia terus-
menerus atau pasien resiko tinggi dan pasien yang direncanakan untuk tindakan PCI.
Abciximab disetujui untuk pasien dengan angina tak stabil dan NSTEMI yang direncanakan
untuk tindakan invasive dini di mana PCI direncanakan dalam 12 jam.
Unfractionated Heparin
Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari berbagai rantai polisakarida
yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagulan yang berbeda-beda. Antitrombin III,
bila terikat dengan heparin, akan bekerja menghambat thrombin dan faktor Xa. Heparin juga
mengikat protein plasma yang lain, sel darah dan sel endotel, yang akan mempengaruhi
bioavailibilitas. Kelemahan lain heparin adalah efek terhadap thrombus yang kaya trombosit
dan heparin dapat dirusak oleh platelet faktor 4.
Karena adanya ikatan protein yang lain dan perubahan bioavailibilitas yang berubah-
ubah maka pada pemberian selalu perlu pemeriksaan laboratorium untuk memastikan dosis
pemberian cukup efektif. Activated partial thromboplastin time (APTT) harus 1.5-2.5 kali
control dan dilakukan pemantauan tiap 6 jam setelah pemberian. Pemeriksaan trombosit
juga perlu untuk mendeteksi adanya kemungkinan heparin induced thrombocytopenia (HIT).
Low molecular weight heparin (LMWH) yang ada di Indonesia ialah dalteparin,
nadroparin, dan enoksaparin.
Fondaparinux
Pada pasien dengan penyempitan di left main atau penyempitan pada 3 pembuluh
darah, bila disertai faal ventrikel kiri yang kurang tindakan operasi atau penyempitan pada 3
pembuluh darah, bila disertai faal ventrikel kiri yang kurang tindakan operasi bypass (CABG)
dapat memperbaiki harapan hidup, kualitas hidup, dan mengurangi masuknya kembali ke
rumah sakit. Pada tindakan bedah darurat mortalitas dan morbiditas lebih buruk daripada
bedah elektif.
Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik dengan penyempitan pada satu
pembulluh darah atau 2 pembuluh darah atau bila ada kontra-indikasi tindakan pembedahan
PCI merupakan pilihan utama.
Pada angina tak stabilm apa perlu tindakan invasive dini pada resiko tinggi, seperti
angina terus-menerus, adanya deoresi segmen ST, kadar troponin ynag meningkat, faal
ventrikel kiri yang buruk, adanya gangguan irama jantung yang maligna seperti takikardia
ventrikel, perlu tindakan invasive dini.
Stratifikasi Resiko
Delapan puluh persen pasien dengan angina tak stabil dapat distabilkan dalam 48
jam setelah diberi terapi medikamentosa secara agresif. Pasien-pasien ini kemudian
membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut dengan treadmill test atau ekokardiografi untuk
menentukan apakah pasien cukup dengan terapi medikamentosa atau pasien
membutuhkan pemeriksaan angiografi dan selanjutnya tindakan revaskularisasi.
Pasien yang termasuk resiko rendah antara lain pasien yang tidak mempunyai
angina sebelumnya, dan sudah tidak ada serangan angina, sebelumnya tidak memakain
obat anti angina dan ECG normal atau tak ada perubahan dari sebelumnya; enzim jantung
tidak meningkat termasuk troponin dan biasanya usia masih muda. Resiko sedang bila ada
angina yang baru dan makin berat, didapatkan angina pada waktu istirahat, tak ada
perubahan segmen ST, dan enzim jantung tidak meningkat. Resiko tinggi bila pasien
mempunyai angina waktu istirahat, angina berlangsung lama atau angina pasca infark,
sebelumnya sudah mendapat terapi yang intensif, usia lanjut, didapatkan perubahan
segmen ST yang baru, didapatkan kenaikan troponin, dan ada keadaan hemodinamik tidak
stabil.
Bila manifestasi iskemia datang kembali secara sponta atau pada waktu
pemeriksaan, maka pasien sebaiknya dilakukan angiografi. Bila pasien resiko stabil dan
termasuk resiko rendah maka terapi medikamentosa sudah cukup. Hanya pasien dengan
resiko tinggi yang mebutuhkan tindakan invasive segera, dengan kemungkinan tindakan
revaskularisasi.
A) Definisi
Infark Miokard Akut (IMA) dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction =
STEMI) merupakan bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari
angina pectoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA dengan elevasi ST.
STEMI adalah sindrom klinis yang didefinisikan sebagai gejala infark miokard khas yang
dikaitkan dengan gambaran EKG berupa elevasi ST yang persisten dan diikuti pelepasan
biomarker nekrosis miokard. Mortalitas selama perawatan (5-6%) dan mortalitas 1 tahun (7-
18%) cenderung menurun dikaitkan dengan peningkatan terapi medis sesuai pedoman
(guideline) dan intervensi.
B) Patofisiologi
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak setelah okulasi thrombus pada plak aterosklerotik yang
sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu.
STEMI terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara c epat pada lokasi injuri vascular, di
mana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi pada plak aterosklerosis mengalami fisur,
rupture atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga
terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner.
Penelitian histologist menunjukkan plak koroner cenderung mengalami rupture jika
mempunyai fibrous cap yang tipis dan kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran
patologis klasik terdiri dari fibrin rich red thrombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga
STEMI memberikan respons terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin,
serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
tromboksan A2 (vasokonstriktor local yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu
perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya,
reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang
larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, di mana keduanya adalah
molekul multivalent yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan,
menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi thrombin, yang
kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit)
kemudian akan mengalami oklusi oleh thrombus yang terdiri dari agregat trombosit dan
fibrin.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh okulasi arteri koroner
yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner dan
berbagai penyakit inflamasi sistemik.
C) Diagnosis
Anamnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara cermat
apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada
yang berasal daari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau
bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-
faktor risiko antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta
riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti
aktivitas fisik berat, stress emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI bisa
terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam
beberapa jam setelah bangun tidur.
Nyeri dada
Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat apakah
pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau yang salah, dalam jangka
panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang berat.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA. Seorang dokter harus
mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya,
karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA.
Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru, diseksi aorta
akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada
STEMI. Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) tanpa nyeri lebih sering dijumpai
pada diabetes mellitus dan usia lanjut.
Pemeriksaan Fisis
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat
disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat
dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai
manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipotensi) dan hampir setengah
pasien infark inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau
hipotensi).
Tanda fisis lain pada disfungsi ventricular adalah S4 dan split paradoksikal bunyi jantung
kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apical yang bersifat sementara
karena disfungsi apparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu
sampai 380C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.
Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau
keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit
sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan di IGD merupakan landasan dalam menentukan
keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat
mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan
EKG awal tidak diagnostic untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat
kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12
sadapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi
segmen ST. pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk
mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q.
Sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi thrombus
tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak
ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tak
stabil atau non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa evelasi ST berkembang tanpa
menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard
transmural digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R
dan infark miokard non transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara
segmen ST dan gelombang T, namun ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran patologis
EKG dengan lokasi infark (mural/transmural) sehingga terminology IMA gelombang Q dan
non Q menggantikan IMA mural/transmural.
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana pasien STEMI
namun tidak boleh menghambat implementasi terapi perfusi.
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiacspesific troponin
(cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda
optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini
juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi
reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis
jantung (infark miokard).
- CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung miokarditis dan
kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB
- cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada
infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari
- mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8
jam
- creatinin kinase (CK): meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari
- lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard,
mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari
garis horizontal menunjukkan upper reference limit (URL) biomarker jantung pada
laboratorium kimia klinis. URL adalah nilai yang mempresentasikan 99th percentile kelompok
control tanpa STEMI.
Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis polimorfonuklear yang dapat
terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit
dapat mencapai 12.000-15.000/ul.
D) Penatalaksanaan
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST saat ini mengacu pada data-data dari evidence based
berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembang ataupun consensus
dari para ahli sesuai pedoman (guideline).
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian
dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan
terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Terdapat
beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari
ACC/AHA tahun 2013 dan ESC tahun 2012. Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan
kondisi sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang ada
(khususnya di bidang kardiologi intervensi).
Tatalaksana awal
o Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar bergantung adanya 2 kelompok
komplikasi umum yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi
mekanik (pump failure).
Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam
24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam
pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada pasien
yang dicurigai STEMI antara lain:
Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan
medis
Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan
tindakan resusitasi
Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas
ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih
Melakukan terapi perfusi
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya
bukan selama transportasi ke Rumah Sakit, namun karena lama waktu
mulai onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta
pertolongan. Hal ini bisa ditanggulangi dengan cara edukasi kepada
masyarakat oleh tenaga professional kesehatan mengenai pentingnya
tatalaksana dini.
Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika ada
paramedic di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG
dan tatalaksana STEMI dan kendali komando medis online yang
bertanggung jawab pada pemberian terapi.
Tatalaksana Umum
o Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen
arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan
oksigen selama 6 jam pertama.
o Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4
mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain
mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen
miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen
miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau
pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan
NTG intravena. NTG intravena juga diberikan untuk mengendalikan
hipertensi atau edema paru.
Terapi nitrat harus dihindasi pada pasien dengan tekanan darah sistolik
<90 mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan
(infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru bersih dan hipotensi).
Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang menggunakan
phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena
dapat memicu efek hipotensi nitrat.
o Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic
pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan
dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit
sampai dosis total 20 mg. efek samping yang perlu diwaspadai pada
pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan
simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah
jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan
elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu dapat diatasi dengan elevasi
tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV
dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang
menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama
pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan
pemberian atropine 0,5 mg IV.
o Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI
dan efektif pada spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat
siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2
dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di
ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162
mg.
o Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat
beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan
adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan
syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg,
interval PR <0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma.
Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol
oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan 100
mg tiap 12 jam.
o Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan
pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia
ventricular yang meligna.
Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau
medical contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat
dicapai dalam 30 menit atau door-to-balloon (atau medical contact-to-
balloon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.
LEARNING OBJECTIVE 2
Keluhan Nyeri
Dada
(Suspect SKA)
Pemeriksaan
Petanda Biokimia
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil DKK I dan II, kami menarik kesimpulan bahwa angina pektoris dan
infark miokard adalah kelainan yang tejadi di jantung yang memberikan manifestasi klinis
berupa nyeri dada pada bagian substernal berupa nyeri yang tajam dan rasa seperti tertindih
yang dapat berlangsung kurang dari 20 menit yaitu angina stabil atau lebih dari 20 menit
yaitu angina tidak stabil bahkan bisa nyeri dengan durasi lebih lama yaitu lebih dari 30 menit
dan tidak hilang meskipun istirahat yaitu infark miokard. Baik angina pektoris maupun infark
miokard kedua-duanya terjadi akibat iskemia otot jantung baik disebabkan obstruksi,
kompresi, ruptur karena trauma, amupun vasokontriksi yang mana semua ini terjadi di
pembuluih darah arteri utama yang memvaskularisasi otot jantung yaitu arteri koroner dextra
maupun sinistra. Adapun hal lain yang dapat membedakan antara angina pektoris dan infark
miokard selain onset dan durasi nyeri dada yang di rasakannya yaitu dari oklusi pada
pembuluh darahnya, dimana pada infark miokard terjadi akibat adanya oklusi pada
pembuluh darah arteri koroner sekitar 70% sedangkan pada infark miokard sekitar 100%
sehingga pada infark miokard tidak saja terjadi iskemia lokal tapi juga nekrosis pada jaringan
miokard yang nantinya akan menganggu fungsi pemompaan jantung. Oleh karena itu,
penanganan yang cepat dan tepat sangat penting pada kedua penyakit ini selain untuk
mencegah terjadinya gagal jantung yang nantinya berakhir dengan kematian tapi juga untuk
meningkatkan kualitas hidupnya.
SARAN
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi diskusi
kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan kritik dan
saran dari dosen-dosen yang mengajar baik sebagai tutor maupun dosen yang memberikan
materi kuliah.
DAFTAR PUSTAKA
McPhee SJ & Ganong WF, 2010. Patofisiologi Penyakit Pengantar Menuju Kedokteran
Klinis, Edisi 5.
Alihbahasa oleh Brahm U Pendit, Jakarta : EGC
Perhimpunan Dokter Speasialis Penyakit Dalam. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jakarta;Interna Publishing.
Sudoyo, Aru W. dkk, (Ed). 2009. Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta: Internal Publishing