Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1

BLOK DIGESTIF

“ DADAKU TERASA PANAS!”

Oleh : Kelompok 2

Nama Tutor : dr. Iwal Reza Ahdi, Sp. PD

Ketua Kelompok : Hasna Fathin Nabila (19910041)


Sekretaris 1 : Aulia Sri Nastiti Suwondo (19910029)
Sekretaris 2 : Muhammad Nurul Makki (19910048)

Anggota :
Alya Labibah (17910044)
Retno Hera Wiji Mufidya (19910002)
Muhammad Ikrom Arifin (19910007)
M. Nur Faizin (19910012)
Sinta Septerina (19910018)
Farah Haaniya Nuriswarin (19910021)
Kiki Rizqi Amalia (19910024)
Putih Indah Lestari (19910036)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2021

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................................................. 2


SKENARIO 1 ................................................................................................................................. 3
BAB I ............................................................................................................................................. 4
1.1 KATA SULIT ................................................................................................................. 4
1.2 RUMUSAN MASALAH ................................................................................................ 5
BAB II ............................................................................................................................................ 6
2.1 BRAINSTORMING ....................................................................................................... 6
2.2 PETA MASALAH .......................................................................................................... 9
2.3 LEARNING OBJECTIVE ............................................................................................ 10
BAB III......................................................................................................................................... 11
3.1 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 11
3.1.1 Mahasiswa Mampu Memahami Definisi dan Klasifikasi GERD .............................. 11
3.1.2 Mahasiswa Mampu Memahami Epidemiologi GERD .............................................. 12
3.1.3 Mahasiswa Mampu Memahami Etiologi GERD ....................................................... 12
3.1.4 Mahasiswa Mampu Memahami Faktor Risiko GERD .............................................. 13
3.1.5 Mahasiswa Mampu Memahami Manifestasi Klinis GERD....................................... 14
3.1.6 Mahasiswa Mampu Memahami Patofisiologi GERD ............................................... 14
3.1.7 Mahasiswa Mampu Memahami Pemeriksaan Penunjang GERD .............................. 20
3.1.8 Mahasiswa Mampu Memahami Kriteria Diagnosis GERD....................................... 22
3.1.9 Mahasiswa Mampu Memahami Diagnosis Banding GERD ..................................... 26
3.1.10 Mahasiswa Mampu Memahami Komplikasi GERD ................................................. 26
3.1.11 Mahasiswa Mampu Memahami Tata Laksana GERD .............................................. 26
3.1.12 Mahasiswa Mampu Memahami Prognosis GERD .................................................... 31
3.1.13 Mahasiswa Mampu Memahami Pencegahan GERD ................................................. 31
3.1.14 Mahasiswa Mampu Memahami Integrasi Islam GERD ............................................ 33
3.2 PETA KONSEP ............................................................................................................ 34
3.3 NARASI PETA KONSEP ............................................................................................ 34
3.4 SOAP ................................................................................................................................ 37
BAB IV ........................................................................................................................................ 42
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 42

2
SKENARIO 1

Dadaku terasa panas !

Seorang perempuan bernama Dona berusia 22 tahun yang bekerja sebagai editor majalah
datang ke klinik UMMI dengan tergopoh- gopoh, nampak membungkuk serta memegang
perutnya. Pasien tersebut datang dengan keluhan nyeri di ulu hati sejak sejak 1 minggu
terakhir. Pasien juga mengeluh dada terasa panas sejak 4 bulan yang lalu. Panas terasa
sampai tembus ke tulang belakang, Keluhan disertai dengan makan cepat kenyang, dan
perut kembung dan sering sendawa setelah makan. Pasien mengeluh nyeri hilang timbul,
mual, muntah terasa asam di mulut. Pasien mengeluh sesekali terbangun dari tidur karena
keluhan tersebut. Pasien mengaku sering minum kopi kenangan. Riwayat sosialnya pasien
merupakan anak tunggal dengan pekerjaan lembur dalam 1 minggu ini karena dikejar target
sehingga bekerja hingga larut malam sampai lupa makan dan mandi
Pemeriksaan Fisik:

Keadaan umum : tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis.


Tanda Vital : Tekanan darah 120/70 mmHg, denyut nadi 70 x/menit, frekuensi napas
20x/menit, suhu aksiler 36 C VAS 6/10
BB: 65 kg, TB : 158 cm
Pemeriksaan Spesifik
Kepala dalam batas normal
Leher dan thoraks dalam batas normal
Abdomen :
inspeksi : datar
Palpasi : soefl, nyeri tekan epigastrium (+) , hepar lien tidak teraba Perkusi :
shifting dullness (-)
Ekstremitas : palmar eritema (-), akral pucat, edema perifer (-)

3
BAB I

1.1 KATA SULIT


1.1.1 Epigastrium : daerah ulu hati yang terletak di bawah dada dan di atas pusar dan terletak di
perut bagian atas. Epigastrium terdapat pada pertengahan kuadran paling atas dari 9
kuadran
1.1.2 Sendawa : reflex fisiologis tubuh untuk mengeluarkan gas dalam penuh (normal 3-4 kali
dalam sehari).
1.1.3 Palmar eritema : kemerahan pada kulit karena pelebaran pembuluh darah di bawah kulit di
palmar
1.1.4 VAS : Visual Analog Scale, skala untuk mengukur nyeri
6 : nyeri sedang, kaku, terbakar
1.1.5 Kembung : sensasi yang dirasakan ketika ada akumulasi gas dalam lambung yang atau
perasaan kurang nyaman karena perut penuh
1.1.6 Shifting dullness : termasuk pemeriksaan perkusi abdomen untuk mengetahui terdapat
asites atau tidak. Jika terdapat shifting dullnes perbedaan pekak dan timpani tidak begitu
jelas

4
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Mengapa Dona yang bekerja sebagai editor majalah datang ke klinik UMMI dengan
tergopoh-gopoh, nampak membungkuk serta memegang perutnya?
1.2.2 Apakah terdapat hubungan antara usia (22 tahun) dan jenis kelamin dengan keluhan
pasien ?
1.2.3 Mengapa pasien tersebut datang dengan keluhan nyeri di ulu hati sejak sejak 1
minggu terakhir ?
1.2.4 Mengapa pasien juga mengeluh dada terasa panas sejak 4 bulan yang lalu dan panas
terasa sampai tembus ke tulang belakang ?
1.2.5 Apakah keluhan disertai dengan makan cepat kenyang, dan perut kembung dan
sering sendawa setelah makan ada hubungan dengan keluhan utama ?
1.2.6 Bagaimana mekanisme terjadinya perut kembung
1.2.7 Mengapa pasien baru memeriksakan diri setelah 4 bulan mengalami keluhan ?
1.2.8 Mengapa pasien mengeluh nyeri hilang timbul, mual, muntah terasa asam di mulut
?
1.2.9 Mengapa keluhan tersebut membuat pasien sesekali terbangun dari tidur?
1.2.10 Apakah kebiasaan pasien sering minum kopi kenangan berhubungan dengan
keluhan utama pasien ?
1.2.11 Apa hubungan riwayat sosialnya pasien merupakan anak tunggal dengan pekerjaan
lembur dalam 1 minggu ini karena dikejar target sehingga bekerja hingga larut
malam sampai lupa makan dan mandi ada hubungan dengan keluhan yang diderita
pasien ?
1.2.12 Apa interpretasi hasil pemeriksaan fisik
1.2.13 Apa interpretasi pemeriksaan spesifik ?
1.2.14 Penyakit apa yang kira-kira diderita oleh pasien ?
1.2.15 Apa tata laksana yang diberikan kepada pasien ?

5
BAB II

2.1 BRAINSTORMING
2.1.1 Mengapa Dona yang bekerja sebagai editor majalah datang ke klinik UMMI
dengan tergopoh-gopoh, nampak membungkuk serta memegang perutnya?
Pasien dating tergopoh-gopoh supaya lebih cepat dating ke klinik dan memegang
perut supaya rasa nyerinya berkurang.
2.1.2 Apakah terdapat hubungan antara usia (22 tahun) dan jenis kelamin dengan
keluhan pasien ?
Pasien adalah jenis kelamin wanita yang lebih sering terkena masalah pencernaan
dan dalam usia yang produktif.
2.1.3 Mengapa pasien tersebut datang dengan keluhan nyeri di ulu hati sejak sejak
1 minggu terakhir ?
Katup penghubung kerongkongan dan kambung bermasalah sehingga jika tidak ditangani
semakin lama terjadi masalah di kerongkongan yaitu iritasi. Keluhan memberat 1 minggu
ini karena akhir-akhir ini ada stress yang meningkat. Stress bisa parasimpatis yang memicu
refluks HCl.
2.1.4 Mengapa pasien juga mengeluh dada terasa panas sejak 4 bulan yang lalu dan
panas terasa sampai tembus ke tulang belakang ?
Kemungkinan terdapat isi lambung yang naik ke esofagus. Pekerjaan pasien sedang
menumpuk dan hobinya minum kopi. Di lambung ada berbagai sel. Sel parietal bisa
dipicu oleh stress yang meningkatkan aktivitasnya sehingga terjadi peningkatan
HCl. Pada saat pasien tidur, pasien terjadi masalah pada sfingter bawah, tekanannya
berkurang .
Pada chief cell menghasilkan pepsinogen. HCl dan pepsinogen bisa bersifat
membahayakan apabila berada di luar lambung. Lambung memiliki sel faveolar
yang melindungi lambung. Lambung juga banyak vaskularisasi. Ketika LES
mengalami penurunan tekanan, cairan lambung bisa naik ke esofagus yang lebih
rentan terhadap asam.
2.1.5 Apakah keluhan disertai dengan makan cepat kenyang, dan perut kembung
dan sering sendawa setelah makan ada hubungan dengan keluhan utama ?
Pasien mengalami keluhan cepat kenyang karena perutnya mengalami peningkatan
asam lambung dan meningkatan gas (bereaksi dengan bikarbonat). Sendawa
dilakukan untuk menghilangkan gas dalam tubuh.
6
2.1.6 Bagaimana mekanisme terjadinya perut kembung ?
Perut kembung bisa diakibatkan beberapa pemicu (co: kafein, alcohol). Ketika
lambung terlalu banyak menghasilkan HCl, akan terjadi peningkatan gas yang bisa
memicu perut menjadi kembung.
2.1.7 Mengapa pasien baru memeriksakan diri setelah 4 bulan mengalami keluhan
?
Pada awal pasien muncul gejala, pasien merasa penyakitnya bisa disembuhkan sendiri.
Pasien kemungkinan berada agak jauh dari faskes sehingga kesulitan memeriksa. Sehingga
semakin lama saat dibiarkan, penyakit pasien bertambah parah
2.1.8 Mengapa pasien mengeluh nyeri hilang timbul, mual, muntah terasa asam di
mulut ?
Pasien dengan asam lambung yang naik, mulut bisa terasa bau.
Perasaan kembung yang diteruskan ke medulla oblongata bisa memicu muntah.
Gerakan peristaltic ada anterograde dan retrograde, gerakan tidak terjadi terus menerus,
sehingga nyeri tidak terus menerus naik dari lambung ke esophagus.
Nyeri bisa timbul ketika ada pemicu (co: tiduran saat perut dalam keadaan penuh)
2.1.9 Mengapa keluhan tersebut membuat pasien sesekali terbangun dari tidur?
Salah satu pemicu refluks asam lambung, adalah posisi tidur. Sehingga di pagi hari
pasien mengalami terbangun.
2.1.10 Apakah kebiasaan pasien sering minum kopi kenangan berhubungan dengan
keluhan utama pasien ?
Kopi mengandung kafein yang bisa meningkatkan produksi asam dan peradangan
lambung. Kafein bisa memicu sfingter/cincin (LES/ Lower Esophagel Sphingter)
menjadi rileks dan asam lambung bisa naik ke kerongkongan. Saat orang minum
kopi dalam keadaan perut kosong, peningkatan asam lambung bisa semakin tinggi.
2.1.11 Apa hubungan riwayat sosialnya pasien yang merupakan anak tunggal
dengan pekerjaan lembur dalam 1 minggu ini karena dikejar target sehingga
bekerja hingga larut malam sampai lupa makan dan mandi ada hubungan
dengan keluhan yang diderita pasien ?
Bekerja hingga larut memicu stress. Stress dan kecemasan bisa memicu peningkatan asam
lambung. Ketika orang terlambat makan dan meningkatkan asam lambung dan bisa terjadi
refluks. Refluks asam lambung bisa ditandai dengan mual, rasa pahit dan asam

7
2.1.12 Apa interpretasi hasil pemeriksaan fisik ?

Keadaan umum : tampak sakit Keadaaan umum sakit


sedang,
kesadaran kompos : mentis. Kesadaran - sadar
Tanda Vital
Tekanan darah 120/70 mmHg, TD normal
denyut nadi 70 x/menit, Denyut nadi normal
frekuensi napas 20x/menit, Frekuensi napas normal
suhu aksiler 36 C Suhu aksiler normal
VAS 6/10 Pasien kesakitan
BB: 65 kg, IMT obesitas tingkat 1
TB : 158 cm

2.1.13 Apa interpretasi pemeriksaan spesifik ?

Pemeriksaan Spesifik
Kepala dalam batas normal Normal
Leher dan thoraks dalam Normal
batas normal
Abdomen :
 Inspeksi : datar Normal

 Palpasi : soefl, nyeri tekan Nyeri tekan epigastrium bisa dipicu

epigastrium (+) , hepar lien beberapa penyakit, seperti maag, gerd,

tidak teraba tukak lambung, dll.

 Perkusi : shifting dullness (-


) Tidak ada asites

Ekstremitas :
palmar eritema (-), akral Akral pucat karena pasien mengalami
pucat, edema perifer (-) kesakitan

8
2.1.14 Penyakit apa yang kira-kira diderita oleh pasien ?
Pasien menderita gastroesofageal refluks disease karena manifestasi klinisnya sesuai (mual,
kembung, rasa pahit di lidah)
2.1.15 Apa tata laksana yang diberikan kepada pasien ?
Pasien diberikan PPI tes selama 2-4 minggu dan dilihat apakah gejalanya mereda atau tidak.

2.2 PETA MASALAH

9
2.3 LEARNING OBJECTIVE
2.3.1 Mahasiswa mampu memahami definisi dan klasifikasi GERD
2.3.2 Mahasiswa mampu memahami epidemiologi GERD
2.3.3 Mahasiswa mampu memahami etiologi GERD
2.3.4 Mahasiswa mampu memahami faktor risiko GERD
2.3.5 Mahasiswa mampu memahami manifestasi klinis GERD
2.3.6 Mahasiswa mampu memahami patofisiologi GERD
2.3.7 Mahasiswa mampu memahami pemeriksaan penunjang GERD
2.3.8 Mahasiswa mampu memahami kriteria diagnosis GERD
2.3.9 Mahasiswa mampu memahami diagnosis banding GERD
2.3.10 Mahasiswa mampu memahami komplikasi GERD
2.3.11 Mahasiswa mampu memahami tata laksana GERD
2.3.12 Mahasiswa mampu memahami prognosis GERD
2.3.13 Mahasiswa mampu memahami pencegahan GERD
2.3.14 Mahasiswa mampu memahami integrasi Islam GERD

10
BAB III
3.1 TINJAUAN PUSTAKA
3.1.1 Mahasiswa Mampu Memahami Definisi dan Klasifikasi GERD

Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal reflux disease/ GERD) adalah suatu


keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan
berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas 1
Klasifikasi kelompok pasien GERD, yaitu 2
 Pasien dengan esofagitis erosif yang ditandai dengan adanya kerusakan mukosa
esofagus pada pemeriksaan endoskopi (Erosive Esophagitis/ERD)
 Pasien dengan gejala refluks yang mengganggu tanpa adanya kerusakan mukosa
esofagus pada pemeriksaan endoskopi (Non-Erosive Reflux Disease/NERD).
Klasifikasi GERD berdasarkan hasil pemeriksaan endoskopi2

Data yang ada menunjukkan bahwa gejala-gejala yang dialami oleh pasien NERD juga
disebabkan oleh asam, berdasarkan pemantauan pH, respons terhadap penekanan asam
dan tes Bernstein yang positif.2
GERD refrakter2
GERD refrakter adalah pasien yang tidak berespons terhadap terapi dengan penghambat
pompa proton (Proton Pump Inhibitor/PPI) dua kali sehari selama 4-8 minggu.
Pembedaan ini penting oleh karena individu dengan GERD refrakter ini harus menjalani
endoskopi saluran cerna bagian atas (SCBA) untuk mengeksklusi diagnosis penyakit
ulkus peptik atau kanker dan mengidentifikasi adanya esofagitis.
Refluks non-asam (Non Acid Reflux/NAR) 2
NAR adalah suatu kondisi di mana refluksat dapat berupa cairan empedu, cairan asam
lemah atau alkali, dan/atau gas. NAR dapat merujuk kepada:
(a) episode refluks yang terdiagnosis dengan manometri atau skintigrafi tanpa adanya
penurunan pH di bawah 4

11
(b) kejadian GERD yang terdiagnosis dengan pemantauan metode spektrofotometri
(Bilitec)
(c) kejadian refluks yang terdiagnosis dengan pemantauan impedansi tanpa adanya
penurunan pH atau penurunan pH yang tidak mencapai angka 4; dan
(d) kejadian refluks yang terdiagnosis dengan pemantauan impedansi tanpa adanya
perubahan pH atau penurunan pH kurang dari 1.

3.1.2 Mahasiswa Mampu Memahami Epidemiologi GERD

Prevalensi GERD dan komplikasinya di Asia, termasuk Indonesia, secara umum


lebih rendah dibandingkan dengan negara barat, namun demikian data terakhir
menunjukkan bahwa prevalensinya semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh karena
adanya perubahan gaya hidup yang meningkatkan seseorang terkena GERD, seperti
merokok dan juga obesitas. Data epidemiologi dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa
satu dari lima orang dewasa mengalami gejala refluks esofageal (heartburn) dan atau
regurgitasi asam sekali dalam seminggu, serta lebih dari 40% mengalami gejala tersebut
sekurangnya sekali dalam sebulan.
Prevalensi esofagitis di negara-negara barat menunjukkan rerata berkisar antara 10-
20%, sedangkan di Asia prevalensinya berkisar antara 3-5% dengan pengecualian di Jepang
dan Taiwan yang berkisar antara 13-15% dan 15%. Suatu studi prevalensi terbaru di Jepang
menunjukkan rerata prevalensi sebesar 11,5% dengan GERD didefinisikan sebagai
perasaan dada terbakar paling tidak dua kali dalam seminggu.6,7 Indonesia sampai saat ini
belum mempunyai data epidemiologi yang lengkap mengenai kondisi ini.
Laporan yang ada dari penelitian Lelosutan SAR dkk di FKUI/RSCM-Jakarta
menunjukkan bahwa dari 127 subyek penelitian yang menjalani endoskopi SCBA, 22,8%
(30%) subyek di antaranya menderita esofagitis.8 Penelitian lain, dari Syam AF dkk, juga
dari RSCM/FKUI-Jakarta, menunjukkan bahwa dari 1718 pasien yang menjalani
pemeriksaan endoskopi SCBA atas indikasi dispepsia selama 5 tahun (1997-2002)
menunjukkan adanya peningkatan prevalensi esofagitis, dari 5,7% pada tahun 1997
menjadi 25,18% pada tahun 2002 (rata-rata 13,13% per tahun).2

3.1.3 Mahasiswa Mampu Memahami Etiologi GERD

Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat terjadi sebagai


akibat dari refluks gastroesofageal apabila:1
12
1. terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa
esofagus,
2. terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak antara
bahan refluksat dengan esofagus tidak cukup lama
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone)
yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal,
pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi
pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran
balik dari gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau
sangat rendah (<3 mmHg).1
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme:1
1. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat,
2. aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan,
3. meningkatnya tekanan intra abdomen

3.1.4 Mahasiswa Mampu Memahami Faktor Risiko GERD

Beberapa faktor risiko untuk kejadian GERD telah dievaluasi pada populasi Asia-Pasifik,
beberapa di antaranya termasuk1,2,6,7
 usia lanjut (> 40 tahun)
 jenis kelamin pria
 ras
 riwayat keluarga
 status ekonomi tinggi
 makan makanan berlemak
 peningkatan indeks massa tubuh, obesitas
 kehamilan
 hernia hiatus
 penyakit paru seperti asma dan PPOK
 beberapa obat diantaranya nitrat, teofilin dan verapamil
 merokok
 konsumsi alkohol dan penggunaan terapi pengganti hormon estrogen.
 pakaian ketat, atau pekerja yang sering mengangkat beban berat

13
Bukti terkuat untuk keterkaitan faktor risiko tertentu dengan kejadian GERD pada populasi
Asia-Pasifik ditemukan untuk peningkatan indeks massa tubuh, lebih dari 25 studi klinis
mendukung korelasi tersebut. Penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk
timbulnya GERD karena timbulnya perubahan anatomis di daerah gastroesophageal high
pressures zone akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES (misalnya
teofilin).

3.1.5 Mahasiswa Mampu Memahami Manifestasi Klinis GERD

Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium atau
retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar
(heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan
makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat
ringannya keluhan heartburn ternyata tidak berkorelasi dengan temuan endoskopik.
kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan keluhan pada
serangan angina pektoris.1
Disfagia yang timbul saat makan makanan padat mungkin terjadi karena striktur
atau keganasan yang berkembang dari Barrett's esophagus. Odinofagia (rasa sakit pada
waktu menelan makanan) bisa timbul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat.
GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esofageal yang atipik dan sangat
bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest pain/NCCP), suara serak,
laringitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya bronkiektasis atau asma.
Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode akut
atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu, umumnya pasien dengan
GERD memerlukan penatalaksanaan secara medik 1

3.1.6 Mahasiswa Mampu Memahami Patofisiologi GERD

Patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari


esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat1
Yang termasuk faktor defensif esofagus adalah:
a. Pemisah antirefluks.
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya Tonus LES dapat
menyebabkan timbulnya refluks retrograd pada saat terjadinya peningkatan tekanan intra

14
abdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal.
Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES:1
1) adanya hiatus hernia,
2) panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya),
3) obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan lain-lain,
4) faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat
menurunkan tonus LES.
Namun dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa
pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam terjadinya
proses refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang
bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses menelan.
Belum diketahui bagaimana terjadinya LES ini, tetapi pada beberapa individu diketahui
ada hubungannya dengan pengosongan lambung lambat (delayed gastric emptying) dan
dilatasi lambung. Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih
kontroversial. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi ditemukan hiatus
hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus
hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus
serta menurunkan tonus LES.1
b. Bersihan asam dari lumen esofagus1
Faktor-faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi,
peristaltik, sekresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan
refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh
proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar
saliva dan kelenjar esofagus. Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama
kontak antara bahan refluksat dengan esofagus (waktu transit esofagus) makin besar
kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD ternyata memiliki waktu
transit esofagus yang normal sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena peristaltik
esofagus yang minimal. Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi
menimbulkan kerusakan esofagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan
esofagus tidak aktif.
c. Ketahanan epitelial esofagus1
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan mukus
yang melindungi mukosa esofagus. Mekanisme Ketahanan Epitelial esofagus terdiri dari:
 Membran sel
15
 Batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ kejaringan
esofagus. Aliran darah esofagus yang mensuplai nutrisi, oksigen dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO,
 Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H+ dan CI
intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.
Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esofagus, sedangkan
alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion yang dimaksud
dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang
menambah potensi daya rusak refluksat terdiri dari HCI, pepsin, garam empedu, enzim
pankreas
Faktor ofensif dari bahan refluksat1
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya.
Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada pH 2, atau adanya pepsin atau
garam empedu. Nama dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi
adalah asam. Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah
kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluk fisiologis, antara lain: dilatasi
lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.

16
Sumber : Calagary Guide9,10

17
Patogenesis GERD2
Peranan Infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan
kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara infeksi
H. pylori dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, Barrert's
esophagus dan adenokarsinoma esofagus. Pengaruh dari infeksi H.pylori terhadap GERD
merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam
lambung. Pengaruh eradikasi infeksi H.pylori sangat tergantung kepada distribusi dan
lokasi gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H.pylori
dengan predominant antral gastritis, pengaruh eradikasi H.pylori dapat menekan
munculnya gejala GERD.
Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi
H.pylori dengan corpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi H.pylori dapat
meningkatkan sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD. Pada pasien-pasien
dengan gejala GERD pra infeksi H. pylori dengan antral predominant gastritis, eradikasi
H.pylori dapat memperbaiki keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung.
Sementara itu pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H.pylori dengan corpus
predominant gastritis, eradikasi H.pylori dapat memperburuk keluhan GERD serta
meningkatkan sekresi asam lambung. Pengobatan PP/jangka panjang pada pasien-pasien
dengan infeksi H. pylori dapat mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab itu,
pemeriksaan serta eradikasi H. pylori dianjurkan pada pasien GERD sebelum pengobatan
PPI jangka panjang.
Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa non-acid reflux
turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Yang dimaksud dengan non-
acid reflux antara lain berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau refluks gas.
Dalam keadaan ini, timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas viseral. GERD
merupakan penyakit multifaktorial, di mana esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari
refluks kandungan lambung ke dalam esofagus apabila:2

 Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa
esofagus.
 Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak antara
bahan refluksat dengan esofagus tidak cukup lama.
 Terjadi gangguan sensitivitas terhadap rangsangan isi lambung, yang disebabkan oleh
adanya modulasi persepsi neural esofageal baik sentral maupun perifer.

18
Kandungan isi lambung yang menambah potensi daya rusak bahan refluksat di
antaranya adalah: asam lambung, pepsin, garam empedu, dan enzim pankreas. Dari semua
itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah asam lambung. Beberapa hal
yang berperan dalam patogenesis GERD, di antaranya adalah: peranan infeksi Helicobacter
pylori, peranan kebiasaan/gaya hidup, peranan motilitas, dan hipersensitivitas viseral.

Peranan infeksi H. pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang
didukung oleh data yang ada. Namun demikian, ada hubungan terbalik antara infeksi H.
pylori dengan strain virulen (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, esofagus Barrett
dan adenokarsinoma esofagus H. pylori tidak menyebabkan atau mencegah penyakit
refluks dan eradikasi dari H. pylori tidak meningkatkan risiko terjadinya GERD.

Peranan alkohol, diet serta faktor psikis tidak bermakna dalam patogenesis GERD,
namun demikian khusus untuk populasi Asia-Pasifik ada kemungkinan alkohol mempunyai
peranan lebih penting sebagaimana ditunjukkan dalam studi epidemiologi terkini dari
Jepang.Beberapa studi observasional telah menunjukkan bahwa pengaruh rokok dan berat
badan berlebih sebagai faktor risiko terjadinya GERD.Beberapa obat-obatan seperti
bronkodilator juga dapat mempengaruhi GERD.

Peranan motilitas, pada pasien GERD, mekanisme predominan adalah transient


lower esophageal spinchter relaxation (TLESR). Beberapa mekanisme lain yang berperan
dalam patogenesis GERD antara lain menurunnya bersihan esofagus, disfungsi sfingter
esofagus, dan pengosongan lambung yang lambat.

Hipersensitivitas viseral, akhir-akhir ini diketahui peranan refluks non-asam/gas


dalam patogenesis GERD yang didasarkan atas hipersensitivitas viseral. Sebagaimana telah
dijelaskan di atas, hipersensitivitas viseral memodulasi persepsi neural sentral dan perifer
terhadap rangsangan regangan maupun zat non-asam dari lambung.

19
3.1.7 Mahasiswa Mampu Memahami Pemeriksaan Penunjang GERD

Pemeriksaan Penunjang GERD1


1. Endoskopi Saluran cerna bagian atas
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk
diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks).
Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan makroskopik dari
mukosa esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat
menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan
endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini
disebut sebagai nonerosive reflux disease (NERD). Ditemukannya kelainan esofagitis pada
emeriksaan endoskopi yang dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat
mengkonfirmasikan bahwa gejala heartburn atau regurgitasi tersebut disebabkan oleh
GERD. Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrett's esophagus,
displasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan
histopatologi/biopsi pada GERD.

20
Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi dari pasien
GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan klasifikasi Savarry-Miller.
2. Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak
menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih
berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus atau
penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitif untuk diagnosis
GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari
endoskopi, yaitu pada 1). stenosis esofagus derajat ringan akibat esofagitis peptik dengan
gejala disfagia, 2). hiatus hernia.
3. Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esofagus.
Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada
bagian distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus bagian distal dapat memastikan ada
tidaknya refluks gastroesofageal. pH di bawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap
diagnostik untuk refluks gastroesofageal.
4. Tes Bernstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCI 0,1 M dalam waktu kurang dari satu
jam. Test ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan
gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya
dialami pasien, sedangkan larutan NaCI tidak menimbulkan rasa nyeri, makatest ini
dianggap positif. Test Bernstein yang negatif tidak menyingkirkan adanya nyeri yang
berasal dari esofagus.
5. Manometri esofagus
Test manometri akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien-pasien dengan
gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan
endoskopi yang normal.
6. Skintigrafi gastroesofageal
Pemeriksaan ini menggunakan cairan atau campuran makanan cair dan padat yang
dilabel dengan radioisotop yang tidak diabsorpsi, biasanya technetium. Selanjutnya sebuah
penghitung gamma (gamma counter) eksternal akan memonitor transit dari cairan/
makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas test ini masih diragukan.

21
7. Tes penghambat pompa proton (Proton Pump Inhibitor /PPI Testi (tes supresi
asam) Acid Suppression Test.
Pada dasarnya test ini merupakan terapi empirik untuk menilai gejala dari GERD
dengan memberikan PP/ dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil melihat respons yang
terjadi. Test ini terutama dilakukan jika tidak tersedia modalitas diagnostik seperti
endoskopi, pH metri dan lain-lain. Test ini dianggap positif jika terdapat perbaikan dari
gejala yang terjadi. Dewasa ini terapi empirik /PPI test merupakan salah satu langkah yang
dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama
untuk pasien-pasien yang tidak disertai dengan gejala alarm (yang dimaksud dengan gejala
alarm adalah: berat badan turun, anemia, hematemesis/melena, disfagia, odinofagia,
riwayat keluarga dengan kanker esofagus/ lambung) dan umur >40 tahun.
8. Biopsi
Biopsi dilakukan pada keempat kuadran area lesi, secara sirkumferensial tiap 1 cm.
Esofagus Barret akan tampak sebagai metaplasia kolumnar interstinal dengan atau tanpa
displasia. Bila ekstensi metaplasia kolumnar kurang dari 3 cm, risiko adenokarsinoma lebih
rendah.7

3.1.8 Mahasiswa Mampu Memahami Kriteria Diagnosis GERD

Anamnesis yang cermat merupakan cara utama untuk menegakkan diagnosis


GERD. Gejala spesifik untuk GERD adalah heartburn dan/ atau regurgitasi yang timbul
setelah makan. Meskipun demikian, harus ditekankan bahwa studi diagnostik untuk gejala
heartburn dan regurgitasi sebagian besar dilakukan pada populasi Kaukasia. Di Asia
keluhan heartburn dan regurgitasi bukan merupakan penanda pasti untuk GERD. Namun,
terdapat kesepakatan dari para ahli bahwa kedua keluhan tersebut merupakan karakteristik
untuk GERD.
Pada RS rujukan, sebelum dilakukan pemeriksaan endoskopi untuk menegakkan
diagnosis GERD, sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang lain untuk menyingkirkan
penyakit dengan gejala yang menyerupai GERD (laboratorium, EKG, USG, foto thoraks,
dan lainnya sesuai indikasi). Para ahli Asia-Pasifik secara aklamasi menyatakan bahwa
strategi diagnostik GERD regional, harus mempertimbangkan adanya kemungkinan
timbulnya GERD bersamaan dengan kondisi lainnya seperti kanker lambung dan ulkus
peptikum. Terkait pemeriksaan H. pylori untuk menyingkirkan infeksi pada pasien dengan
gejala GERD di daerah dengan prevalensi tinggi untuk kanker lambung dan ulkus

22
peptikum, para ahli masih bertentangan pendapat. Namun demikian, pemeriksaan tetap
direkomendasikan dengan mempertimbangkan faktor-faktor risiko termasuk komorbid,
usia, histologi lambung, riwayat keluarga, dan pilihan pasien.
1. Gerd-Q
Kuesioner GERD (GERD-Q)
merupakan suatu perangkat kuesioner
yang dikembangkan untuk membantu
diagnosis GERD dan mengukur
respons terhadap terapi. Kuesioner ini
dikembangkan berdasarkan data-data
klinis dan informasi yang diperoleh
dari studi-studi klinis berkualitas dan
juga dari wawancara kualitatif
terhadap pasien untuk mengevaluasi
kemudahan pengisian kuesioner.
Kuesioner GERD merupakan
kombinasi kuesioner tervalidasi yang
digunakan pada penelitian
DIAMOND. Tingkat akurasi
diagnosis dengan mengkombinasi
beberapa kuesioner tervalidasi akan
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas diagnosis.
Analisis terhadap lebih dari 300 pasien di pelayanan primer menunjukkan bahwa
GERD-Q mampu memberikan sensitivitas dan spesifisitas sebesar 65% dan 71%, serupa
dengan hasil yang diperoleh oleh gastroenterologis. Selain itu, GERD-Q juga menunjukkan
kemampuan untuk menilai dampak relatif GERD terhadap kehidupan pasien dan
membantu dalam memilih terapi.
Di bawah ini adalah GERD-Q yang dapat diisi oleh pasien sendiri. Untuk setiap
pertanyaan, responden mengisi sesuai dengan frekuensi gejala yang dirasakan dalam
seminggu. Skor 8 ke atas merupakan nilai potong yang dianjurkan untuk mendeteksi
individu-individu dengan kecenderungan tinggi menderita GERD. GERD-Q telah
divalidasi di Indonesia.

23
2. Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA)
Standar baku untuk diagnosis GERD dengan esofagitis erosif adalah dengan
menggunakan endoskopi SCBA dan ditemukan adanya mucosal break pada esofagus.
Endoskopi pada pasien GERD terutama ditujukan pada individu dengan gejala alarm
(disfagia progresif, odinofagia, penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya,
anemia awitan baru, hematemesis dan/atau melena, riwayat keluarga dengan keganasan
lambung dan/atau esofagus, penggunaan OAINS kronik, dan usia lebih dari 40 tahun di
daerah prevalensi kanker lambung tinggi) dan yang tidak berespons terhadap terapi empirik
dengan PPI dua kali sehari. Sedangkan sampai saat ini belum ada standar baku untuk
diagnosis NERD. Sebagai pedoman untuk diagnosis NERD adalah dengan menggunakan
kriteria sebagai berikut:
 Tidak ditemukannya mucosal break pada pemeriksaan endoskopi SCBA,
 Pemeriksaan pH esofagus dengan hasil positif,
 Terapi empiris dengan PPI sebanyak dua kali sehari memberikan hasil yang positif.
Endoskopi pada GERD tidak selalu harus dilakukan pada saat pertama kali, oleh karena
GERD dapat ditegakkan berdasarkan gejala dan/atau terapi empirik. Peran endoskopi
SCBA dalam penegakan diagnosis GERD adalah:
 Memastikan ada tidaknya kerusakan di esofagus berupa erosi, ulserasi, striktur,
esofagus Barrett atau keganasan, di samping untuk menyingkirkan kelainan SCBA
lainnya.
 Menilai berat ringannya mucosal break dengan menggunakan klasifikasi Los Angeles
modifikasi atau Savarry-Miller.
 Pengambilan sampel biopsi dilakukan jika dicurigai adanya esofagus Barrett atau
keganasan.
3. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dalam diagnosis GERD adalah untuk menentukan adanya
metaplasia, displasia, atau keganasan. Tidak ada bukti yang menunjang diperlukannya
pengambilan sampel biopsi pada kasus NERD. Di masa yang akan datang, diperlukan studi
lebih lanjut mengenai peranan pemeriksaan endoskopi resolusi tinggi (magnifying scope)
pada NERD.
4. Pemeriksaan pH-metri 24 jam
Pemeriksaan pH-metri konvensional 24 jam atau kapsul 48 jam (jika tersedia) dalam
diagnosis NERD adalah:
 Mengevaluasi pasien-pasien GERD yang tidak berespons dengan terapi PPI.
24
 Mengevaluasi apakah pasien-pasien dengan gejala ekstra esofageal sebelum terapi PPI
atau setelah dinyatakan gagal dengan terapi PPI.
 Memastikan diagnosis GERD sebelum operasi anti-refluks atau untuk evaluasi gejala
NERD berulang setelah operasi anti-refluks.
5. PPI test
PPI test dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis pada pasien dengan gejala
tipikal dan tanpa adanya tanda bahaya atau risiko esofagus Barrett. Tes ini dilakukan
dengan memberikan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu tanpa didahului dengan
pemeriksaan endoskopi. Jika gejala menghilang dengan pemberian PPI dan muncul
kembali jika terapi PPI dihentikan, maka diagnosis GERD dapat ditegakkan. Tes dikatakan
positif, apabila terjadi perbaikan klinis dalam 1 minggu sebanyak lebih dari 50%.
Dalam sebuah studi metaanalisis, PPI test dinyatakan memiliki sensitivitas sebesar
80% dan spesifitas sebesar 74% untuk penegakan diagnosis pada pasien GERD dengan
nyeri dada non kardiak. Hal ini menggambarkan PPI test dapat dipertimbangkan sebagai
strategi yang berguna dan memiliki kemungkinan nilai ekonomis dalam manajemen pasien
nyeri dada non kardiak tanpa tanda bahaya yang dicurigai memiliki kelainan esofagus.
6. Penunjang diagnosis lain
Pilihan pemeriksaan lain yang dapat dilakukan selain pemeriksaan endoskopi dan pH metri
yaitu:
 Esofagografi barium
Walaupun pemeriksaan ini tidak sensitif untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan
tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dibandingkan endoskopi, yaitu pada
kondisi stenosis esofagus dan hernia hiatal.
 Manometri esofagus
Tes ini bermanfaat terutama untuk evaluasi pengobatan pasienpasien NERD dan untuk
tujuan penelitian.
 Tes impedans
Metode baru ini dapat mendeteksi adanya refluks gastroesofageal melalui perubahan
resistensi terhadap aliran listrik di antara dua elektroda, pada saat cairan dan/atau gas
bergerak di antaranya. Pemeriksaan ini terutama berguna untuk evaluasi pada pasien
NERD yang tidak membaik dengan terapi PPI, di mana dokumentasi adanya refluks
non-asam akan merubah tatalaksana.
 Tes Bilitec

25
Tes ini dapat mendeteksi adanya refluks gastroesofageal dengan menggunakan sifat-
sifat optikal bilirubin. Pemeriksaan ini terutama untuk evaluasi pasien dengan gejala
refluks persisten, meskipun dengan paparan asam terhadap distal esofagus dari hasil
pH-metri adalah normal.

3.1.9 Mahasiswa Mampu Memahami Diagnosis Banding GERD

Ulkus peptic, Dispepsia, Ulkus duodenum, Pankreatitis, Akhalasia, Angina pectoris. 4

3.1.10 Mahasiswa Mampu Memahami Komplikasi GERD

Erosive esophagitis (EE)


EE ditandai dengan erosi atau ulkus pada mukosa esofagus. Pasien mungkin asimtomatik
atau dapat datang dengan gejala GERD yang memburuk. Derajat esofagitis dinilai secara
endoskopi menggunakan sistem klasifikasi esofagitis Los Angeles, yang menggunakan
sistem penilaian A, B, C, D berdasarkan variabel yang mencakup panjang, lokasi, dan
keparahan melingkar dari kerusakan mukosa di kerongkongan.3
Striktur esofagus
Iritasi asam kronis pada esofagus distal dapat menyebabkan jaringan parut pada esofagus
distal yang mengarah pada pembentukan striktur peptik. Pasien bisa datang dengan gejala
disfagia esofagus atau impaksi makanan. Pedoman ACG merekomendasikan dilatasi
esofagus dan melanjutkan terapi PPI untuk mencegah perlunya dilatasi berulang. 3
Esofagus Barrett
Komplikasi ini terjadi akibat paparan asam patologis kronis pada mukosa esofagus bagian
distal. Ini mengarah pada perubahan histopatologis dari mukosa esofagus distal, yang
biasanya dilapisi oleh epitel skuamosa bertingkat menjadi epitel kolumnar metaplastik.
Esofagus Barrett lebih sering terlihat pada pria Kaukasia di atas 50 tahun, obesitas, dan
riwayat merokok dan merupakan predisposisi perkembangan adenokarsinoma esofagus.
Pedoman saat ini merekomendasikan kinerja endoskopi pengawasan berkala pada pasien
dengan diagnosis esofagus Barrett.3

3.1.11 Mahasiswa Mampu Memahami Tata Laksana GERD

Pendekatan klinik penatalaksanaan GERD meliputi pengobatan GERD (NERD dan ERD),
GERD refrakter dan non-acid GERD. Pada lini pertama, diagnosis GERD lebih banyak
26
ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan kuesioner GERD berdasarkan gejala.
Penatalaksanaan diberikan berdasarkan diagnosis klinis2
1. Penatalaksanaan non-farmakologik
Perhatian utama ditujukan kepada memodifikasi berat badan berlebih dan
meninggikan kepala lebih kurang 15-20 cm pada saat tidur, serta faktor-faktor tambahan
lain seperti menghentikan merokok, minum alkohol, mengurangi makanan dan obat-obatan
yang merangsang asam lambung dan menyebabkan refluks, makan tidak boleh terlalu
kenyang dan makan malam paling lambat 3 jam sebelum tidur. 2
2. Penatalaksanaan farmakologik
Obat-obatan yang telah diketahui dapat mengatasi gejala GERD meliputi antasida,
prokinetik, antagonis reseptor H2, Proton Pump Inhibitor (PPI) dan Baclofen. Lihat tabel
2 mengenai efektivitas masing-masing golongan obat.2

Dari semua obat-obatan tersebut di atas, PPI paling efektif dalam menghilangkan
gejala serta menyembuhkan lesi esofagitis pada GERD. PPI terbukti lebih cepat
menyembuhkan lesi esofagitis serta menghilangkan gejala GERD dibanding golongan
antagonis reseptor H2 dan prokinetik. Apabila PPI tidak tersedia, dapat diberikan
H2RA.30,31,32 Pada individu-individu dengan gejala dada terbakar atau regurgitasi
episodik, penggunaan H2RA (H2-Receptor Antagonist) dan/atau antasida dapat berguna
untuk memberikan peredaan gejala yang cepat. Selain itu, di Asia penggunaan prokinetik
(antagonis dopamin dan antagonis reseptor serotonin) dapat berguna sebagai terapi
tambahan2

27
Pengobatan GERD dapat dimulai dengan PPI setelah diagnosis GERD ditegakkan. Dosis
inisial PPI adalah dosis tunggal per pagi hari sebelum makan selama 2 sampai 4 minggu.
Apabila masih ditemukan gejala sesuai GERD (PPI failure), sebaiknya PPI diberikan secara
berkelanjutan dengan dosis ganda sampai gejala menghilang. Umumnya terapi dosis ganda
dapat diberikan sampai 4-8 minggu2

Apabila kondisi klinis masih belum menunjukkan perbaikan harus dilakukan pemeriksaan
endoskopi untuk mendapatkan kepastian adanya kelainan pada mukosa saluran cerna atas.
Pengobatan selanjutnya dapat diberikan sesuai dengan ringan-beratnya kerusakan mukosa.
Untuk esofagitis ringan dapat dilanjutkan dengan terapi on demand. Sedangkan untuk
esofagitis berat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan kontinu, yang dapat diberikan
sampai 6 bulan.2

28
Grade A dan B termasuk kategori klinis esofagitis ringan. Grade C dan D termasuk
kategori klinis esofagitis berat. Untuk NERD, pengobatan awal dapat diberikan PPI dosis
tunggal selama 4-8 minggu. Setelah gejala-gejala klinis menghilang, terapi dapat
dilanjutkan dengan PPI on demand. Penggunaan on demand ini disarankan untuk
memaksimalkan supresi asam lambung, diberikan 30-60 menit sebelum makan pagi.
GERD yang refrakter terhadap terapi PPI (tidak berespons terhadap terapi PPI dua
kali sehari selama 8 minggu) harus dikonfirmasi untuk reevaluasi diagnosis GERD dengan
pemeriksaan endoskopi dalam rangka memastikan adanya esofagitis. Apabila tidak
ditemukan esofagitis, dilanjutkan dengan pemeriksaan pH-metri. Dari hasil pemeriksaan
pH-metri akan dapat ditentukan keterlibatan dominan refluks asam lambung oleh faktor
hiperasiditas atau oleh faktor patologi anatomik (gangguan SEB, hiatus hernia, dsb).
Apabila kesimpulan pHmetri menunjukkan adanya dominan faktor patologi anatomik
dengan tetap ditemukan gejala klinis, maka dapat dipertimbangkan tindakan diagnostik
esophageal impedance dan pH (lihat gambar 4) untuk memastikan langkah terapeutik
berikutnya (langkah terapi tersier).2

29
Saat ini terapi untuk refluks non-asam (NAR) masih berkembang. Studi dengan
Baclofen (sebuah agonis GABA-B) memberikan hasil yang menjanjikan, namun masih
memerlukan data lebih lanjut untuk dapat direkomendasikan rutin. Terapi yang disarankan
termasuk menghindari makan besar dan terlalu malam, mempertahankan posisi tegak
sampai 3 jam setelah makan, penurunan berat badan dan tidur dengan kepala ditinggikan.
Namun demikian masih belum ada yang memastikan bahwa tindakan-tindakan ini
bermakna secara klinis Intervensi gaya hidup lainnya seperti menghentikan merokok dan
alkohol serta merubah pola diet mampu mengurangi gejala GERD secara bermakna.
Modifikasi gaya hidup digunakan sebagai terapi lini pertama seperti penurunan berat
badan, mengurangi merokok, pengosongan lambung lebih dari 3 jam sebelum tidur malam.
Sebuah studi sistematik yang baru-baru ini dilakukan menunjukkan bahwa dari semua
intervensi gaya hidup yang dilakukan, hanya penurunan berat badan dan meninggikan
kepala saat tidur yang mempengaruhi gejala GERD secara bermakna. Saat ini konsensus
penanganan GERD baik dari Asia-Pasifik maupun Amerika tidak menyarankan perubahan
gaya hidup yang terlampau ketat dalam penanganan keadaan ini.2
Oleh karena perubahan gaya hidup, sebagaimana telah disebutkan di atas tidak
memberikan pengaruh yang signifikan dalam pengurangan gejala GERD dan memberikan
tekanan yang berlebihan terhadap pasien. Namun demikian, berdasarkan meta-analisis
yang dilakukan terhadap faktorfaktor gaya hidup tersebut, konsensus Asia-Pasifik
menyarankan dilakukan modifikasi terhadap berat badan berlebih dan meninggikan kepala
pada saat tidur.2
3. Penatalaksanaan endoskopik2
Komplikasi GERD seperti Barret’s esophagus, striktur, stenosis ataupun perdarahan, dapat
dilakukan terapi endoskopik berupa Argon plasma coagulation, ligasi, Endoscopic Mucosal
Resection, bouginasi, hemostasis atau dilatasi.
Terapi endoskopi untuk GERD masih terus berkembang dan sampai saat ini masih dalam
konteks penelitian. Terapi endoskopi yang telah dikembangkan adalah:
• Radiofrequency energy delivery
• Endoscopic suturing
Namun demikian sampai saat ini masih belum ada laporan mengenai terapi endoskopi
untuk GERD di Indonesia.
4. Penatalaksanaan bedah2
Penatalaksanaan bedah mencakup tindakan pembedahan antirefluks (fundoplikasi Nissen,
perbaikan hiatus hernia, dll) dan pembedahan untuk mengatasi komplikasi. Pembedahan
30
antirefluks (fundoplikasi Nissen) dapat disarankan untuk pasien-pasien yang intoleran
terhadap terapi pemeliharaan, atau dengan gejala mengganggu yang menetap (GERD
refrakter). Studi-studi yang ada menunjukkan bahwa, apabila dilakukan dengan baik,
efektivitas pembedahan antirefluks ini setara dengan terapi medikamentosa, namun
memiliki efek samping disfagia, kembung, kesulitan bersendawa dan gangguan usus pasca
pembedahan.

3.1.12 Mahasiswa Mampu Memahami Prognosis GERD

Prognosis umumnya bonam tetapi sangat tergantung dari kondisi pasien saat datang dan
pengobatannya.6

3.1.13 Mahasiswa Mampu Memahami Pencegahan GERD

Adapun pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya refluks


gastroesofageal adalah sebagai berikut 5

a. Peninggian kepala.

Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa meninggikan kepala pada tempat tidur
pasien 4 hingga 8 inci, serta menghindari posisi berbaring selama 3 jam atau lebih setelah
makan besar atau berlemak, dapat menurunkan paparan asam pada esofagus bagian distal.
Namun, data yang mendukung keberhasilan dari manuver ini pada hasil yang dilaporkan
pasien masih kurang. Pasien juga disarankan untuk menghindari tidur di atas bantal
tambahan, karena hal ini dapat meningkatkan tekanan perut dan menyebabkan peningkatan
refluks.

b. Hindari makanan tertentu.

Beberapa makanan yang diyakini dapat menyebabkan iritasi esofagus langsung: jus jeruk,
minuman berkarbonasi, kopi dan kafein, coklat, makanan pedas, berlemakatau makan
malam. Namun, tidak ada uji coba terkontrol secara acak yang tersedia untuk mendukung
rekomendasi untuk menghindari atau meminimalkan makanan ini. Uji coba modifikasi diet
individual mungkin masuk akal untuk membantu menjelaskan faktor penyebab diet
potensial.

31
c. Penurunan berat badan.

Hubungan langsung antara komplikasi berat badan, refluks, dan refluks telah dibuktikan.
Penurunan berat badan telah terbukti meningkatkan skor gejala global, terutama jika
penambahan berat badan terjadi sebelum timbulnya gejala GERD.

d. Penghentian merokok dan minimalisasi alkohol.

Penghentian merokok dan penghapusan atau minimalisasi alkohol juga dianjurkan karena
berbagai alasan kesehatan. Baik nikotin dan alkohol telah terbukti menurunkan tekanan
sfingter esofagus bagian bawah dan menyebabkan iritasi esofagus lebih lanjut. Tinjauan
sistematis menemukan bahwa merokok dikaitkan dengan peningkatan gejala GERD (lebih
dari 1-2 hari); namun penghentian merokok tidak terbukti menurunkan gejala GERD dalam
3 penelitian berkualitas rendah. Penggunaan alkohol mungkin atau mungkin tidak terkait
dengan gejala refluks.

e. Hindari obat-obatan yang menurunkan tekanan esofagus atau mengiritasi


esofagus.

Pengobatan yang menurunkan tekanan sfingter esofagus bagian bawah harus dihindari
pada pasien dengan gejala GERD. Obat-obatan ini termasuk penghambat saluran kalsium,
agonis beta, agonis alfa-adrenergik, teofilin, nitrat, penghambat PDE-5 (misalnya, avanafil,
sildenafil, tadalafil, vardenafil), antikolinergik, narkotika, dan beberapa obat penenang
(benzodiazepin). Obat yang mengiritasi kerongkongan termasuk NSAIDS, ferrous sulfate,
dan bifosfonat.

f. Hindari pakaian ketat di sekitar pinggang.

Saran anekdot lainnya adalah bahwa pasien menahan diri dari mengenakan pakaian ketat
di sekitar pinggang untuk meminimalkan refluks yang disebabkan oleh ketegangan

Secara historis, pasien telah disarankan untuk menghindari merokok, coklat,


minuman berkarbonasi, makanan pedas, makanan berlemak, alkohol, dan makanan besar.
Sejauh ini, tidak ada penelitian yang menemukan perbaikan gejala GERD dengan
penghentian merokok atau alkohol.8

32
3.1.14 Mahasiswa Mampu Memahami Integrasi Islam GERD

QS Abasa ayat 24-32


26 ‫ض ش ََّق‬ َّ ‫صبَبْنَا ْال َما َء‬
َ ‫ ث ُ َّم شقَ ْقنَا ْاْلَ ْر‬25 ‫صبًا‬ َ ‫ اَنّا‬24 ‫ام ِه‬ َ ‫اْل ْن َس ُن اِلَى‬
ِ َ‫طع‬ ُ ‫فَ ْليَ ْن‬
ِ ْ ‫ظ ِر‬

30 ‫غ ْلبًا‬
ُ َ‫ َو َحدَائِق‬29 ً‫ َو َّز ْيتُونًا َونَ ْخال‬28 ‫ضبًا‬
ْ َ‫ َو ِعنَبًا َوق‬27 ‫فَا َ ْنبَتْنَا فِ ْي َها َحبًّا‬

32 ‫ َمتَعًا لَ ُك ْم َو ِْلَنْعَ ِم ُك ْم‬31 ‫َوفَ ِك َهةً َواَبًّا‬

Artinya :
Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya (24) Sesungguhnya Kami
benar-benar telah mencurahkan air (dari langit) (25) kemudian Kami belah bumi dengan
sebaik-baiknya (26) lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu (27) anggur dan sayur-
sayuran (28) zaitun dan kurma (29) kebun-kebun (yang) lebat (30) dan buah-buahan serta
rumput-rumputan (31) untuk kesenanganmu dan untuk hewan-hewan ternakmu (32).

33
3.2 PETA KONSEP

34
3.3 NARASI PETA KONSEP
Status ekonomi tinggi, usia lanjut, jenis kelamin pria, ras, riwayat keluarga, dan
kebiasaan/ gaya hidup (alkohol, diet, bb berlebih, psikis, obat-obatan, dan merokok)
merupakan etiologi dan faktor risiko yang dapat memicu terjadinya patogenesis gerd.
Patogenesis gerd didasari atas peranan motilitas dan hipersensitivitas viseral. Pada GERD,
motilitas lambung bermasalah yaitu terjadi penurunan bersihkan esofagus, disfungsi
sfingter esofagus, dan pengosongan lambung yang lambat. Hipersensitivitas viseral
memicu modulasi persepsi neural sentral dan yang bisa memicu gangguan sensitivitas
terhadap rangsangan isi lambung.

Ketika isi lambung berlebih maka akan dan sampai di esofagus / terjadi refluks.
Bahan refluksat dan esofagus kontak dalam waktu yang cukup lama sehingga bisa
menyebabkan penurunan resistensi jaringan esofagus. Ketika resistensi jarigan esofagus
menurun, hal ini dapat menyebabkan esofagitis yang merupakan tanda utama terjadinya
35
GERD. Manifestasi klinis terjadinya GERD yang umum terjadi yaitu heatburn, disfagia,
dan mual, terkadang mulut juga terasa pahit dan berbau karena refluks asam lambung.

Dalam menegakkan diagnosis GERD, selain anamnesis juga diperlukan skoring


GERD. jika GERD Q menghasilkan poin 8-18, maka pasien tersebut bisa didiagnosis
GERD. Setelah kuesioner, pasien juga bisa diberikan tes proton pump inhibitor (PPI).
Ketika terjadi perbaikan klinis dalam 1 minggu sebanyak >50% maka pasien dicurigai
menderita GERD.

Dari anamnesis, GERD Q, dan PPI, tanda bahaya bisa ditemukan dan tidak. Ketika
terjadi tanda bahaya, perlu dilakukan endoskopi, radiologi dan pHmetri kemudian
dilakukan impedansi. GERD memiliki diagnosis banding ulkus peptik, dispepsia, ulkus
duodenum, pankhreatitis, akhalasia, dan angina pectoris. Komplikasi GERD yaitu
esofagitis erosif, struktur esofagus, dan barret esophagus.

Setelah dianamnesis, diskoring dan dites PPI seseorang menunjukkan tanda bahaya
GERD makan perlu untuk segera dilakukan endoskopi, radiologi, dan ph metri. Setelah itu
dilakukan pemeriksaan impedansi, manometri esofagus, dan skintigrafi gastrik.

Jika seseorang pasien tidak menunjukan tanda bahaya GERD, pasien tetap
diberikan terapi empirik selama 4 minggu dan evaluasi dalam 2-4 minggu. Jika gejalanya
menetap perlu dilakukan pemeriksaan seperti saat ada tanda bahaya, tapi jika gejala
berkurang/ membaik PPI bisa dihentikan. Apabila terjadi kekambuhan/ relaps, dilakukan
pemberian PPI lagi, terapi on demand, dan jika kekambuhan mulai sering bisa merujuk
algoritma pada saat terjadi tanda bahaya.

36
3.4 SOAP

TABEL ALUR PENGELOLAAN PASIEN


Data Umum Pasien

1. Nama Nn. Dona

2. Usia 22 tahun

Perempuan
3. Jenis Kelamin

4. Pekerjaan
Editor majalah

5. Cara datang Diantar oleh keluarga

(S-ubjektif)

1. Keluhan utama
Nyeri di ulu hati sejak sejak 1 minggu terakhir

2. Riwayat alergi (-)


makanan
3. Riwayat alergi (-)
obat
4. Riwayat penyakit (-)
terdahulu
5. Riwayat (-)
Pengobatan
6. Riwayat Penyakit
(-)
Keluarga
7. Riwayat Sering minum kopi kenangan
Kejadian
8. Riwayat
Kebiasaan Pekerjaan lembur dalam 1 minggu ini
karena dikejar target sehingga bekerja
hingga larut malam sampai lupa makan
dan mandi

37
(O-bjektif)

Status Generalis

1. KU Tampak sakit sedang

2. Kesadaran Composmentis

Vital Sign

1. GCS 456

2. BP 120/70 mmHg,

3. HR 70x/menit regular

4. RR 20x/menit,

5. Tax 36 derajat celcius

6. VAS 6/10

7. BB/TB 65/158

Status lokalis

1. Kepala / Leher Dbn

2. Thorak Dbn

3. Abdomen Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+)

4. Ekstremitas
akral pucat

(A-ssesment)

1. DDx
1. Ulkus peptic
2. Dispepsia
3. Ulkus duodenum
4. Pankreatitis
5. Akhalasia
6. Angina pectoris.

38
2. WDx Gastroesofageal Reflux (GERD)

Tingkat kemampuan: 4A (mendiagnosis dan


memberikan terapi)

(P-lanning)

1. Planning 1. GERD-Q
diagnosis Menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Penyakit Refluks Gastroesofageal di Indonesia tahun
2013, terapi GERD dilakukan pada pasien terduga
GERD yang mendapat skor GERD-Q > 8 dan tanpa
tanda alarm
2. Endoskopi Saluran cerna bagian atas
3. Esofagografi dengan barium
4. Pemantauan pH 24 jam
5. Tes Bernstein
6. Manometri esofagus
7. Skintigrafi gastroesofageal
8. Tes penghambat pompa proton (Proton Pump
Inhibitor / PPI Test (tes supresi asam) Acid
Suppression Test.
9. Biopsi

Penunjang diagnosis lain


 Esofagografi barium
 Manometri esofagus
 Tes impedans
 Tes Bilitec

39
2. Planning terapi Terapi GERD dilakukan pada pasien terduga GERD
yang mendapat skor GERD-Q > 8 dan tanpa tanda
alarm.

Penggunaan PPI sebagai terapi inisial GERD menurut


Guidelines for the Diagnosis and Management of
Gastroesophageal Reflux Disease dan Konsensus
Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks
Gastroesofageal di Indonesia adalah dosis tunggal
selama 8 minggu.

40
a. Planning Apabila gejala tidak membaik setelah terapi inisial
selama 8 minggu atau gejala terasa mengganggu di
monitoring
malam hari, terapi dapat dilanjutkan dengan dosis ganda
selama 4 – 8 minggu. Bila penderita mengalami kekambuhan,
terapi inisial dapat dimulai kembali dan dilanjutkan dengan
terapi maintenance. Terapi maintenance merupakan terapi
dosis tunggal selama 5 – 14 hari untuk penderita yang
memiliki gejala sisa GERD

b. Planning KIE Edukasi gaya hidup sehat :


 memodifikasi berat badan berlebih
 meninggikan kepala lebih kurang 15-20 cm pada saat tidur,
 menghentikan merokok, minum alkohol, mengurangi
makanan dan obat-obatan yang merangsang asam lambung
dan menyebabkan refluks
 makan tidak boleh terlalu kenyang
 makan malam paling lambat 3 jam sebelum tidur. 2

Merujuk ke spesialis penyakit dalam


c. Planning
Follow-
up

41
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Alwi Idrus, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiati SB, Setiyohadi B. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jakarta; 2006. 400–411 p.
2. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI). Revisi Konsensus
NasionalPenatalaksanaan Penyakit Reuks Gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux
Disease/GERD) di Indonesia Tahun 2013
3. Catiele A; Abdul A; Sean AC. Gastroesophageal Reflux Disease. [Updated 2021
January 10]. StatPearls Publishing, 2021. Available from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441938/
4. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. 1st ed. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2017.
5. Joel J Heidelbaugh, Harrison R Van, McQuillan MA, Nostrant TT. Gastroesophageal
Reflux Disease ( GERD ) Patient population : Adults Key Points : UMHS GERD
Guidel [Internet]. 2013;1–12. Available from: http://www.med.umich.edu/1info/fhp/
6. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. 2nd ed. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2017.
7. Arifputera A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Editor, Tanto C, dkk. Edisi 4. Jakarta:
Media Aesculapius. 2014; jilid 2.
8. Andrew Young, DO, Mythri Anil Kumar, MD and Prashanthi N. Thota, MD,
FACG (2020) GERD: A practical approach. Cleveland Clinic Journal of
Medicine April 2020, 87 (4) 223-230; DOI:
https://doi.org/10.3949/ccjm.87a.19114. Accessed at
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&ca
d=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjw6Zn3__3vAhWVj-
YKHVYHCY0QFjABegQIAhAD&url=https%3A%2F%2Fwww.ccjm.org%
2Fcontent%2F87%2F4%2F223&usg=AOvVaw1ePQd_h01N2Skyjz8n67_H9
9. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD): Pathogenesis and clinical findings
| Calgary Guide [Internet]. The Calgary Guide to Understanding Disease. 2015
[cited 2021 Apr 15]. Available from:
https://calgaryguide.ucalgary.ca/gastroesophageal-reflux-disease-gerd-
pathogenesis-and-clinical-findings/

42
10. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD): Complications | Calgary Guide
[Internet]. The Calgary Guide to Understanding Disease. 2019 [cited 2021
Apr 15]. Available from: https://calgaryguide.ucalgary.ca/gastroesophageal-
reflux-disease-gerd-complications/

43

Anda mungkin juga menyukai