Anda di halaman 1dari 30

PAPER

MENENTUKAN LAMANYA KEMATIAN

Paper ini Disusun Sebagai Satu persyarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik


Senior Bagian Kedokteran Forensik RumahmSakit Umum Haji Medan

Dibimbing Oleh :
dr.Surjit Singh, MBBS,Sp.F,DFM.

Disusun oleh :

Mutia Hoirunnisah (20360087)


Nabella Putri Munggaran (20360088)
Nabilah Tarisa (20360089)
Nada Irmilia Sari (20360090)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN PROVINSI SUMATRA
UTARA FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya sehingga Paper ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya dengan judul
“MENENTUKAN LAMANYA KEMATIAN ”.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa laporan kasus ini
masih jauh dari kesempurnaan, baik dara cara penulisannya, penggunaan tata bahasa,
dan dalam penyajiannya sehingga penulis menerima saran dan kritik konstruktif dari
semua pihak. Namun terlepas dari semua kekurangan yang ada, semoga dapat
bermanfaat bagi pembacanya.
Penulis tak lupa pula mengucapkan terima kasih kepada dr.Surjit Singh,
MBBS,Sp.F,DFM.yang telah membimbing dan mengarahkan kami dalam
menyelesaikan paper ini. Penulis juga berterima kasih kepada rekan-rekan yang telah
bekerja sama membantu menyusun laporan kasus ini..
Akhirnya semoga paper ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan,
khususnya di bidang kedokteran. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, Aamiin

Medan, 20 Oktober 2020

Penulis
7/14/2019 Referat Tanda Kematian

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari segala macam aspek yang

berkaitan dengan mati meliputi pengertian (definisi), cara-cara melakukan

diagnosis, perubahan-perubahan yang terjadi sesudah mati serta kegunaannya.

Dalam ilmu tanatologi akan dipelajari mengenai penentuan kematian, perubahan-

perubahan sesudah mati, saat kematian, dan kegunaan tanatologi. Penentuan

kematian dilakukan berdasarkan konsep mati otak dan mati batang otak, yang

ditandai dengan tidak berespon terhadap semua rangsangan, tidak sadarnya pasien,

hilangnya refleks pupil, hilangnya refleks kornea, tidak ada refleks menelan, tidak

ada refleks vestibulokoklearis dan tidak adanya pernafasan spontan. 1

Ada beberapa perubahan yang terjadi pada saat manusia mengalami

kematian, yaitu perubahan pada kulit muka, relaksasi otot, perubahan pada mata,

penurunan suhu tubuh, lebam jenazah, dan kaku jenazah. Perubahan yang terjadi

pada muka yaitu berubahnya warna wajah menjadi lebih pucat, akan tetapi pada

jenazah yang mengalami kematian karena keracunan gas CO (karbon monooksida),

perubahan warna kulit muka menjadi pucat terjadi lebih lambat. Pada saat mati

sampai beberapa saat sesudahnya, otot-otot polos akan mengalami relaksasi

sebagai akibat dari hilangnya tonus. Pada orang yang sudah mati pandangan

matanya terlihat kosong, refleks cahaya dan reflek kornea menjadi negatif. Vena-

vena pada retina akan mengalami kerusakan dalam waktu 10 detik sesudah mati.

Jika sesudah kematiannya keadaan mata tetap terbuka maka lapisan kornea yang

http://slidepdf.com/reader/full/referat-tanda-kematian 1/22
paling luar akan mengalami kekeringan. Sesudah mati, metabolisme yang

menghasilkan panas akan terhenti sehingga suhu tubuh akan turun menuju suhu

udara atau medium sekitarnya. Penurunan ini disebabkan oleh adanya proses

radiasi, konduksi, dan pancaran panas.1

Untuk menentukan saat kematian dapat dilihat dari perubahan pada mata,

lambung, kuku, rambut, cairan serebrospinal, dan adanya reaksi supravital. Pada

mata kita dapat melihat perubahan warna menjadi lebih keruh, pada lambung

kita bisa melihat waktu pengosongan lambung meski tidak memberikan banyak

arti, pada rambut kita dapat mengukur saat kematian dilihat dari pertambahan

panjang rambut, begitu pula yang dapat kita liat pada kuku. Pada cairan

serebrospinal saat kematian dapat dilihat dari kadar nitrogen yang menurun setelah

10 jam kematian, sedangkan reaksi supravital yaitu reaksi jaringan tubuh sesaat

pasca mati klinis yang masih sama seperti reaksi jaringan tubuh pada seseorang

yang hidup.1,2,3

Referat ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai thanatologi,

definisi kematian, perubahan yang terjadi setelah kematian dan faktor-faktor yang

mempengaruhi perubahan tersebut dan menerapkan tanatologi pada pemecahan

kasus.
7/14/2019 Referat Tanda Kematian

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Tanatologi berasal dari dua buah kata, yaitu “thanatos” yang berarti mati dan

“logos” yang berarti ilmu. Jadi arti sesungguhnya dari tanatologi adalah ilmu

yang mempelajari segala macam aspek yang berkaitan dengan mati; meliputi

pengertian (definisi), cara-cara melakukan diagnosis, perubahan-perubahan yang

terjadi sesudah mati serta kegunaannya.1,2

Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu mati somatis

(mati klinis), mati suri, mati seluler mati serebral, dan mati otak (mati batang otak). 4

1. Mati somatis (mati klinis) akibat terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang

kehidupan, yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular dan sistem pernafasan

yang menetap atau irreversibel. 4

2. Mati suri ( suspended animation, apparent death) adalah terhentinya ketiga sistem

kehidupan tersebut yang ditentukan dengan alat kedokteran sederhana. Keadaan

ini mirip dengan kematian somatis, akan tetapi gangguan yang terdapat pada

ketiga sistem ini bersifat sementara. Mati suri ini sering ditemukan pada keadaan,

misalnya keracunan obat tidur, terkena arus listrik dan tenggelam. 2,4

3. Mati seluler (mati molekuler) adalah kematian organ atau jaringan tubuh yang

timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup masing-masing

organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian seluler pada

tiap organ atau jaringan tidak bersamaan. Seperti contoh susunan saraf pusat

mengalami mati seluler dalam waktu 4 menit, otot mengalami mati seluler dalam

waktu 4 jam, kornea masih dapat ditransplantasikan dan darah masih dapat

http://slidepdf.com/reader/full/referat-tanda-kematian 3/22
ditranfusikan sampi 6 pasca mati.4

4. Mati serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang irreversibel kecuali

batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yakni sistem

kardiovaskuler dan pernafasan masih berfungsi dengan bantuan alat.4

5. Mati otak (mati batang otak) adalah bila telah terjadi kerusakan seluruh isi

neuronal intrakranial yang irreversibel, termasuk batang otak dan serebelum.3

Kematian adalah proses yang dapat dikenal secara klinis melalui tanda-tanda

kematian berupa perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan tersebut dapat

timbul dini saat meninggal atau eberapa menit kemudian. Setelah beberapa waktu

timbul perubahan pasca mati yang jelas yang memungkinkan diagnosis kematian

lebih pasti.4

2. Tanda Kematian Tidak Pasti

2.1 Pengertian Tanda Kematian Tidak Pasti

Tanda kematian yang muncul dini pada saat meninggal atau beberapa menit

kemudian, antara lain:4

1. Pernafasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit (inpeksi, palpasi,

auskultasi).

2. Terhentinya nadi dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba.

3. Kulit pucat, tetapi bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya, karena mungkin

terjadi spasme agonal sehingga wajah tampak kebiruan.

4. Tonus otot menghilang dan relaksasi. Relaksasi dari otot-otot wajah

menyebabkan kulit menimbul sehingga kadang-kadang membuat orang menjadi

tampak lebih muda. Kelemasan otot sesaat setelah kematian disebut relaksasi

primer. Hal ini mengakibatkan pendataran daerah-daerah yang tertekan, misalnya


daerah belikat dan bokong pada mayat yang terlentang.

5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit kemudian.

Segmen-segmen tersebut bergerak ke arah tepi retina dan kemudian menetap.

6. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang masih

dapat dihilangkan dengan meneteskan air.

2.2 Cara Memastikan Kematian1,4

Tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pada seseorang itu telah meninggal

dunia adalah terhentinya denyut jantung, terhentinya pergerakan pernafasan, kulit

tampak pucat, melemasnya otot-otot tubuh serta terhentinya aktifitas otak. Untuk

dapat memastikan bahwa aktifitas otak telah berhenti secara tepat dan cepat, yaitu bila

dikaitkan dengan kepentingan transplantasi, ialah dengan melakukan pemeriksaan

Elektro Ensefalograf (EEG), dimana akan terlihat mendatar selama 5 menit.

Untuk dapat memastikan bahwa terhentinya sistem sirkulasi, yaitu denyut

nadi berhenti pada palpasi, denyut jantung berhenti selama 5-10 menit pada

auskultasi, EKG (elektrokardigrafi) mendatar, tidak ada tanda sianotik pada ujung jari

tangan setelah jari tangan korban kita ikat (tes magnus), daerah sekitar penyuntikan

icard subkutan tidak berwarna kuning kehijauan (tes icard), warna kulit tangan yang

disorot dengan lampu akan berwarna kuning pucat (tes diafanus), dan tidak keluarnya

darah dengan pulsasi pada insisi arteri radialis.

Untuk dapat memastikan tidak berfungsinya sistem pernafasan, antara lain

tidak ada gerak nafas pada inspeksi dan palpasi, tidak ada bising nafas pada

auskultasi, tidak ada uap air pada cermin yang diletakkan di depan lubang hidung atau

mulut korban.
3. Tanda Pasti Kematian

3.1 Lebam Mayat (Livor Mortis)

Lebam mayat biasanya mulai tampak pada 20 – 30 menit post mortem dimana

makin lama intensitasnya akan bertambah dan menjadi lengkap dan menetap setelah

8 – 12 jam. Sebelum waktu ini, lebam mayat yang ada masih hilat atau memucat bila

dilakukan penekanan dan dapat berpindah bila posisi mayat diubah. Lebam mayat

yang belum menetap atau masih dapat hilang saat dilakukan penekanan menunjukkan

saat kematian kurang dari 8 – 12 jam sebelum saat pemeriksaan. Bila penekanan atau

perubahan posisi tubuh dilakukan setelah 6 jam pertama kematian klinis, pemucatan

yang terjadi dapat lebih cepat dan lebih sempurna. Tetapi, walaupun setelah 24 jam

kematian klinis, darah masih tetap cukup cair sehingga sejumlah darah masih dapat

mengalir dan membentuk lebam mayat di tempat terendah yang baru. Kadang

dijumpai bercak berwarna biru kehitaman akibat pecahnya pembuluh darah. 1,2

Lebam mayat terjadi akibat eritrosit yang menempati tempat terbawah akibat

adanya gaya gravitas bumi, mengisi vena dan venula, membentuk bercak warna

merah ungu (livide) pada bagian terbawah tubuh, kecuali pada bagian tubuh yang

tertekan alas keras. Menetapnya lebam mayat disebabkan oleh sel eritrosit

tertumpuk dalam jumlah yang cukup banyak dan sulit untuk berpindah lagi. Selain itu

kekakuan otot dinding pembuluh darah dapat mempersulit perpindahan eritrosit

tersebut. Apabila mayat terlentang yang telah timbul lebam mayat belum menetap

dilakukan perubahan posisi menjadi telungkup, maka setelah beberapa saat akan

terbentuk lebam mayat baru di daerah dada dan perut.1,2

Lebam mayat digunakan untuk menunjukkan tanda pasti kematian,

mengetahui perubahan posisi mayat yang dilakukan setelah terjasdi lebam mayat yang

menetap, memperkirakan saat kematian. Selain itu lebam mayat dapat digunakan
untuk memperkirakan sebab kematian, sebagai contoh lebam mayat akan berwarna

merah terang pada keracunan CO atau CN, berwarna kecoklatan pada keracunan

aniline, nitrit, nitrat, sulfonal. Pada kasus tenggelam atau pada kasus dimana suhu

tubuh berada pada suhu lingkungan yang rendah maka lebam mayat khususnya yang

letaknya dekat dengan lingkungan dengan suhu yang rendah akan berwarna merah

terang. 1,2

Mengingat pada lebam mayat, darah terdapat di dalam pembuluh darah maka

keadaan ini digunakan untuk membedakan resapan darah akibat trauma (ekstravasasi).

Bila pada daerah tersebut dilakukan irisan dan kemudian disiram dengan air, maka

warna merah darah akan hilang atau pudar pada lebam mayat, sedangkan pada

resapan darah tidak menghilang. 1,2

Tabel 1. Perbedaan Lebam Mayat dengan Memar

Lebam Mayat Memar


Sifat

Epidermal (karena pelebaran Subepidermal (karena


Letak pembuluh darah yang rupture pembuluh darah
tampak sampai ke permukaan yang letaknya superficial
kulit atau lebih dalam)

Kultikula (kulit ari) Tidak rusak Rusak

Terdapat pada daerah yang Dapat tampak dimana saja


luas, terutama luka pada pada bagian tubuh dan
Lokasi
bagian tubuh yang letaknya tidak meluas
lebih rendah

Tidak terdapat evalasi dari


Gambaran Biasanya bengkak akibat
kulit
resapan darah dan edema

Pinggiran Jelas Tidak jelas


Warna Warnanya sama Memar yang lama
memiliki warna yang
bervariasi, sedangkan
memar yang baru
berwarna lebih tegas
daripada warna lebam
mayat disekitarnya.

Menunjukkan adanya
Darah tampak di dalam
resapan darah ke jaringan
pembuluh darah dan mudah
sekitar, susah dibersihkan
dibersihkan.Jaringan subkutan
jika hanya dengan air
Pada pemotongan tampak pucat.
mengalir, jaringan
subkutan berwarna merah
kehitaman

Warnanya berubah sedikit


Dampak setalah Akan hilang walaupun hanya
saja bila diberikan
penekanan diberi penekanan yang ringan
penekanan.

Gambar 1. Lebam Mayat

Gambar 2. Memar
3.2 Kaku Mayat (Rigor Mortis)

Kaku mayat adalah suatu keadaan dimana tubuh mayat mengalami perubahan,

berupa kekakuan oleh karena proses biokimiawi Kaku mayat dimulai sekitar 1-2 jam,

setelah kematian (berhentinya 3 sistem dalam tubuh). Dan setelah 12 jam kaku mayat

menjadi lengkap diseluruh tubuh, dan pada 12 jam berikutnya akan berangsur

menghilang (setelah 24-36 jam).11

Gambar 3. Kaku Mayat (Rigor Mortis).

Gambar 4. Rigor Mortis yang ditemukan pada mayat setelah 2 hari kematian.

a) Cadaveric spasme

Cadaveric spasme atau instantaneous rigor adalah suatu keadaan dimana

terjadi kekakuan pada sekelompok otot dan kadang-kadang pada seluruh otot, segera

setelah terjadi kematian somatis dan tanpa melalui relaksasi primer.1


b) Heat Stiffening

Heat Stiffening adalah suatu kekakuan yang terjadi akibat suhu tinggi,

misalnya pada kasus kebakaran.1

Gambar 5. Heat Stiffenig.

c) Cold Stiffening

Cold Stiffening adalah suatu kekakuan yang terjadi akibat suhu rendah, dapat

terjadi bila tubuh korban diletakkan dalam freezer, atau bila suhu keliling sedemikian

rendahnya, sehingga cairan tubuh terutama yang terdapat sendi-sendi akan membeku.1

3.3 Penurunan Suhu Tubuh (Algor Mortis)

Algor mortis adalah penurunan suhu tubuh mayat akibat terhentinya

produksi panas dan terjadinya pengeluaran panas secara terus-menerus. Pengeluaran

panas tersebut disebabkan perbedaan suhu antara mayat dengan

lingkungannya. Algor mortis merupakan salah satu perubahan yang dapat kita

temukan pada mayat yang sudah berada pada fase lanjut post mortem.

Pada beberapa jam pertama, penurunan suhu terjadi sangat lambat dengan

bentuk sigmoid. Hal ini disebabkan ada dua faktor, yaitu masih adanya sisa

metabolisme dalam tubuh mayat dan perbedaan koefisien hantar sehingga butuh

waktu mencapai tangga suhu. Ada sembilan faktor yang mempengaruhi cepat atau
lamanya penurunan suhu tubuh mayat, yaitu :

1. Besarnya perbedaan suhu tubuh mayat dengan lingkungannya.

2. Suhu tubuh mayat saat mati. Makin tinggi suhu tubuhnya, makin lama penurunan

suhu tubuhnya.

3. Aliran udara makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat.

4. Kelembaban udara makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat.

5. Konstitusi tubuh pada anak dan orang tua makin mempercepat penurunan suhu

tubuh mayat.

6. Aktivitas sebelum meninggal.

7. Sebab kematian, misalnya asfiksia dan septikemia, mati dengan suhu tubuh tinggi.

8. Pakaian tipis makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat.

9. Posisi tubuh dihubungkan dengan luas permukaan tubuh yang terpapar.

Penilaian algor mortis dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut, antara lain :

1. Lingkungan sangat mempengaruhi ketidakteraturan penurunan suhu tubuh mayat.

2. Tempat pengukuran suhu memegang peranan penting.

3. Dahi dingin setelah 4 jam post mortem.

4. Badan dingin setelah 12 jam post mortem.

5. Suhu organ dalam mulai berubah setelah 5 jam post mortem.

6. Bila korban mati dalam air, penurunan suhu tubuhnya tergantung dari suhu, aliran,

dan keadaan airnya.

7. Rumus untuk memperkirakan berapa jam sejak mati yaitu:

98,6oF suhu rektal

1,5
III.4 Pembusukan (Decomposition, Putr efaction)

Pembusukan adalah proses degradasi jaringan pada tubuh mayat yang

terjadi sebagai akibat proses autolisis dan aktivitas mikroorganisme. Maio

mengatakan autolisis adalah perlunakan dan pencairan jaringan yang terjadi

dalam keadaan steril melalui proses kimia yang disebabkan oleh enzim-enzim

intraseluler, sehingga organ- organ yang kaya dengan enzim-enzim akan

mengalami proses autilisis lebih cepat daripada organ-organ yang tidak

memiliki enzim, dengan demikian pankreas akan mengalami autolisis lebih

cepat dari pada jantung.5

Proses autolisis ini tidak dipengaruhi oleh mikroorganisme oleh karena


itu pada mayat yang steril misalnya mayat bayi dalam kandungan proses
autolisis ini tetap terjadi. Atmaja, Dahlan dan Marshall mengatakan proses
auotolisis terjadi sebagai akibat dari pengaruh enzim yang dilepaskan pasca
mati. Mula-mula yang terkena ailah nukleoprotein yang terdapat pada
kromatin dan sesudah itu sitoplasmanya, kemudian dinding sel akan
mengalami kehancuran sebagai akibatnya jaringan akan menjadi lunak dan
mencair.6
Pada mayat yang dibekukan pelepasan enzim akan terhambat oleh
pengaruh suhu yang rendah maka proses autolisis ini akan dihambat demikian
juga pada suhu tinggi enzim-enzim yang terdapat pada sel akan
mengalami kerusakan sehingga proses ini akan terhambat pula. Coe and
Currant mengatakan pembusukan adalah proses penghancuran jaringan pada
tubuh yang disebabkan terutama oleh bakteri anaerob yang berasal dari traktus
gastrointestinal. Dimana basil Coliformis dan Clostridium Welchii merupakan
penyebab utamanya, sedangkan bakteri yang lain seperti Streptococcus,
Staphylococcus, B.Proteus,jamur dan enzim-enzim seluler juga memberikan
kontribusinya sebagai organisme penghancur jaringan pada fase akhir dari
pembusukan.5,6,7
Setelah seseorang meninggal, maka semua sistem pertahanan tubuh
akan hilang, bakteri yang secara normal dihambat oleh jaringan tubuh akan
segera masuk ke jaringan tubuh melalui pembuluh darah, dimana darah
merupakan media yang terbaik bagi bakteri untuk berkembang biak. Bakteri
ini menyebabkan hemolisa, pencairan bekuan darah yang terjadi sebelum dan
sesudah mati, pencairan trombus atau emboli, perusakan jaringan-jaringan dan
pembentukan gas pembusukan. Bakteri yang sering menyebabkan destruktif
ini sebagian besar berasal dari usus dan yang paling utama adalah Cl. Welchii.
Bakteri ini berkembang biak dengan cepat sekali menuju ke jaringan ikat
dinding perut yang menyebabkan perubahan warna. Perubahan warna ini
terjadi oleh karena reaksi antara H2S (gas pembusukan yang terjadi dalam usus
besar) dengan Hb menjadi Sulf-Meth-Hb.5,6,7,8

Tanda pertama pembusukan baru dapat dilihat kira-kira 24 jam - 48 jam

pasca mati berupa warna kehijauan pada dinding abdomen bagian bawah,
lebih sering pada fosa iliaka kanan dimana isinya lebih cair, menngandung

lebih banyak bakteri dan letaknya yang lebih superfisial. Perubahan warna

ini secara bertahap akan meluas keseluruh dinding abdomen sampai ke dada

dan bau busuk pun mulai tercium. Perubahan warna ini juga dapat dilihat

pada permukaan organ dalam seperti hepar, dimana hepar merupakan organ

yang langsung kontak dengan kolon transversum. Bakteri ini kemudian

masuk kedalam pembuluh darah dan berkembang biak di dalamnya yang

menyebabkan hemolisa yang kemudian mewarnai dinding pembuluh darah

dan jaringan sekitarnya. Bakteri ini memproduksi gas-gas pembusukan yang

mengisi pembuluh darah yang menyebabkan pelebaran pembuluh darah

superfisial tanpa merusak dinding pembuluh darahnya sehingga pembuluh

darah beserta cabang-cabangnya tampak lebih jelas seperti pohon gundul

(arborescent pattern atau arborescent mark ) yang sering disebut

marbling. Selain bakteri pembusukan ini banyak terdapat dalam intestinal dan

paru bakteri-bakteri ini cenderung berkumpul dalam sistem vena, maka

gambaran marbling ini jelas terlihat ada bahu,dada bagian atas, abdomen

bagian bawah dan paha.8,9

Bila Cl.Welchii mulai tumbuh pada satu organ parenkim, maka

sitoplasma dari organ sel itu akan mengalami desintegrasi dan nukleusnya

akan dirusak sehingga sel menjadi lisis atau rhexis. Kemudian sel-sel

menjadi lepas sehingga jaringan kehilangan strukturnya. Secara mikroskopis

bakteri dapat dilihat menggumpal pada rongga-rongga jaringan dimana bakteri

tersebut banyak memproduksi gelembung gas. Ukuran gelembung gas yang

tadinya kecil dapat cepat membesar menyerupai honey combed appearance.

Lesi ini dapat dilihat pertama kali pada hati. Kemudian permukaan lapisan
atas epidermis dapat dengan mudah dilepaskan dengan jaringan yang ada

dibawahnya dan ini disebut „ skin slippage’ . Skin slippage ini menyebabkan

identifikasi melalui sidik jari sulit dilakukan. Pembentukan gas yang terjadi

antara epidermis dan dermis mengakibatkan timbulnya bula-bula yang bening,

fragil, yang dapat berisi cairan coklat kemerahan yang berbau busuk. Cairan

ini kadang-kadang tidak mengisi secara penuh di dalam bula. Bula dapat

menjadi sedemikian besarnya menyerupai pendulum yang berukuran 5 - 7.5cm

dan bila pecah meninggalkan daerah yang berminyak, berkilat dan berwarna

kemerahan, ini disebabkan oleh karena pecahnya sel-sel lemak subkutan

sehingga cairan lemak keluar ke lapisan dermis oleh karena tekanan gas

pembusukan dari dalam. Selain itu epitel kulit, kuku, rambut kepala, aksila dan

pubis mudah dicabut dan dilepaskan oleh karena adanya desintegrasi pada

akar rambut.5,6,7,8,9

Selama terjadi pembentukan gas-gas pembusukan, gelembung-

gelembung udara mengisi hampir seluruh jaringan subkutan. Gas yang

terdapat di dalam jaringan dinding tubuh akan menyebabkan terabanya

krepitasi udara. Gas ini menyebabkan pembengkakan tubuh yang

menyeluruh, dan tubuh berada dalam sikap pugilistic attitude. Scrotum dan

penis dapat membesar dan membengkak, leher dan muka dapat menggembung,

bibir menonjol seperti “ frog-like-fashion”, Kedua bola mata keluar, lidah terjulur

diantara dua gigi, ini menyebabkan mayat sulit dikenali kembali oleh

keluarganya. Pembengkakan yang terjadi pada seluruh tubuh mengakibatkan

berat badan mayat yang tadinya 57-63 kg sebelum mati menjadi 95-114 kg

sesudah mati.

Tekanan yang meningkat didalam rongga dada oleh karena gas


pembusukan yang terjadi didalam cavum abdominal menyebabkan

pengeluaran udara dan cairan pembusukan yang berasal dari trachea dan

bronchus terdorong keluar, bersama-sama dengan cairan darah yang keluar

melalui mulut dan hidung. Cairan pembusukan dapat ditemukan di dalam

rongga dada, ini harus dibedakan dengan hematotorak dan biasanya cairan

pembusukan ini tidak lebih dari 200 cc. Pengeluaran urine dan feses dapat

terjadi oleh karena tekanan intra abdominal yang meningkat. Pada wanita

uterus dapat menjadi prolaps. Pada anak-anak adanya gas pembusukan dalam

tengkorak dan otak menyebabkan sutura-sutura kepala menjadi mudah

terlepas.10

Organ-organ dalam mempunyai kecepatan pembusukan yang berbeda-

beda dalam. Jaringan intestinal, medula adrenal dan pancreas akan mengalami

autolisis dalam beberapa jam setelah kematian. Organ-organ dalam lain seperti

hati, ginjal dan limpa merupakan organ yang cepat mengalami pembusukan.

Perubahan warna pada dinding lambung terutama di fundus dapat dilihat

dalam 24 jam pertama setelah kematian. Difusi cairan dari kandung empedu

kejaringan sekitarnya menyebabkan perubahan warna pada jaringan

sekitarnya menjadi coklat kehijauan. Pada hati dapat dilihat gambaran honey

combs appearance, limpa menjadi sangat lunak dan mudah robek, dan otak

menjadi lunak. Organ dalam seperti paru, otot polos, otot lurik dan jantung

mempunyai kecendrungan untuk lambat mengalami pembusukan. Sedangkan

uterus non gravid, dan prostat merupakan organ yang lebih tahan

terhadap pembusukan karena strukturnya yang berbeda dengan jaringan

yang lain yaitu jaringan fibrousa. Organ-organ ini cukup mudah dikenali

walaupun organ-organ lain sudah mengalami pembusukan lanjut. Ini sangat


membantu dalam penentuan identifikasi jenis kelamin. Yang menarik pada

pembusukan lanjut dari organ dalam ini adalah pembentukan granula-granula

milliary atau “milliary plaques” yang berukuran kecil dengan diameter 1-3 mm

yang terdapat pada permukaan serosa yang terletak pada endotelial dari

tubuh seperti pleura, peritoneum, pericardium dan endocardium.“Milliary

plaques” ini pertama kali ditemukan oleh Gonzales yang secara mikroskopis berisi

kalsium pospat, kalsium karbonat, sel-sel endotelial, massa seperti sabun dan

bakteri, yang secara medikolegal sering dikacaukan dengan proses peradangan

atau keracunan.1

Pada orang yang obese, lemak-lemak tubuh terutama perirenal,

omentum dan mesenterium dapat mencair menjadi cairan kuning yang

transluscent yang mengisi rongga badan diantara organ yang dapat

menyebabkan autopsi lebih sulit dilakukan dan juga tidak menyenangkan. 1

Disamping bakteri pembusukan insekta juga memegang peranan

penting dalam proses pembusukan sesudah mati. Beberapa jam setelah

kematian lalat akan hinggap di badan dan meletakkan telur-telurnya pada

lubang-lubang mata, hidung, mulut dan telinga. Biasanya jarang pada daerah

genitoanal. Bila ada luka ditubuh mayat lalat lebih sering meletakkan telur-

telurnya pada luka tersebut, sehingga bila ada telur atau larva lalat didaerah

genitoanal ini maka dapat dicurigai adanya kekerasan seksual sebelum

kematian. Telur-telur lalat ini akan berubah menjadi larva dalam waktu 24

jam. Larva ini mengeluarkan enzim proteolitik yang dapat mempercepat

penghancuran jaringan pada tubuh. Insekta tidak hanya penting dalam

proses pembusukan tetapi meraka juga memberi informasi penting yang

berhubungan dengan kematian. Insekta dapat dipergunakan untuk


memperkirakan saat kematian, memberi petunjuk bahwa tubuh mayat telah

dipindahkan dari satu lokasi ke lokasi lainnya, memberi tanda pada badan

bagian mana yang mengalami trauma, dan dapat dipergunakan dalam

pemeriksaan toksikologi bila jaringan untuk specimen standart juga sudah

mengalami pembusukan. 8,9,10

Hasil akhir dari proses pembusukan ini adalah destruksi jaringan pada

tubuh mayat. Dimana proses ini dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu, Aktifitas

pembusukan sangat optimal pada temperatur berkisar antara 70°-100°F (21,1-

37,8°C) aktifitas ini dihambat bila suhu berada dibawah 50°F(10°C) atau pada

suhu diatas 100°F (lebih dari 37,8°C). Bila mayat diletakkan pada suhu

hangat dan lembab maka proses pembusukan akan berlangsung lebih cepat.

Sebaliknya bila mayat diletakkan pada suhu dingin maka proses pembusukan

akan berlangsung lebih lambat. Pada mayat yang gemuk proses pembusukan

berlangsung lebih cepat dari pada mayat yang kurus oleh karena kelebihan

lemak akan menghambat hilangnya panas tubuh dan kelebihan darah

merupakan media yang baik untuk perkembangbiakkan organisme

pembusukan. Pada bayi yang baru lahir hilangnya panas tubuh yang cepat

menghambat pertumbuhan bakteri disamping pada tubuh bayi yang baru lahir

memang terdapat sedikit bakteri sehingga proses pembusukan

berlangsung lebih lambat. Proses pembusukan juga dapat dipercepat dengan

adanya septikemia yang terjadi sebelum kematian seperti peritonitis fekalis,

aborsi septik, dan infeksi paru. Disini gas pembusukan dapat terjadi walaupun

kulit masih terasa hangat. Media di mana mayat berada juga memegang

peranan penting dalam kecepatan pembusukan mayat. Kecepatan

pembusukan ini di gambarkan dalam rumus klasik Casper dengan


perbandingan tanah : air : udara = 1 : 2 : 8 artinya mayat yang dikubur di tanah

umumnya membusuk 8 x lebih lama dari pada mayat yang terdapat di udara

terbuka. Ini disebabkan karena suhu di dalam tanah yang lebih rendah

terutama bila dikubur ditempat yang dalam, terlindung dari predators seperti

binatang dan insekta, dan rendahnya oksigen menghambat berkembang

biaknya organisme aerobik. Bila mayat dikubur didalam pasir dengan

kelembaban yang kurang dan iklim yang panas maka jaringan tubuh mayat

akan menjadi kering sebelum terjadi pembusukan. Penyimpangan dari proses

pembusukan ini disebut mumifikasi. 5,6,7,8

Pada mayat yang tenggelam di dalam air pengaruh gravitasi tidaklah

lebih besar dibandingkan dengan daya tahan air akibatnya walaupun mayat

tenggelam diperlukan daya apung untuk mengapungkan tubuh di dalam air,

sehingga mayat berada dalam posisi karakteristik yaitu kepala dan kedua

anggota gerak berada di bawah sedangkan badan cenderung berada di atas

akibatnya lebam mayat lebih banyak terdapat di daerah kepala sehingga

kepala menjadi lebih busuk dibandingkan dengan anggota badan yang lain.

Pada mayat yang tenggelam di dalam air proses pembusukan umumnya

berlangsung lebih lambat dari pada yang di udara terbuka. Pembusukan di

dalam air terutama dipengaruhi oleh temperatur air, kandungan bakteri di

dalam air. Kadar garam di dalamnya dan binatang air sebagai predator. 5,6,7,8,9

Degradasi dari sisa-sisa tulang yang dikubur juga cukup bervariasi.

Penghancuran tulang terjadi oleh karena demineralisasi, perusakan

oleh akar tumbuhan. Derajat keasaman yang terdapat pada tanah juga

berpengaruh terhadap kecepatan penghancuran tulang. Sisa-sisa tulang yangn

dikubur pada tanah yang mempunyai derajat keasaman yang tinggi lebih cepat
terjadi penghancuran daripada tulang yang di kubur di tanah yang bersifat

basa.1

III. 5 Adiposera

Adiposera merupakan terbentuknya bahan berwarna keputihan, lunak

atau berminyak, berbau tengik yang terjadi di dalam jaringan lunak tubuh pasca

mati. Dulu disebut sebagai saponifikasi, tetapi istilah adiposera lebih disukai

karena menunjukan sifat-sifat diantara lemak dan lilin.4

Adiposera terutama terdiri dari asam-asam lemak tak jenuh yang

terbentuk oleh hidrolisis lemak dan mengalami hidrogenasi sehingga

terbentuk asam lemak jenuh pasca mati yang tercampur dengan sisa-sisa

otot, jaringan ikat, jaringan saraf yang termumifikasi dan kristal-kristal sferis

dengan gambaran radial. Adiposera terapung di air, bila dipanaskan mencair

dan terbakar dengan nyala kuning, larut dalam alkohol panas dan eter.4,5

Adiposera dapat terbentuk disembarang lemak tubuh, bahkan dalam

hati, tetapi lemak superfisial yang pertama kali terkena. Biasanya perubahan

berbentuk bercak, dapat terlihat dipipi, payudara atau bokong, bagian tubuh

atau ekstrimitas. Jarang seluruh lemak tubuh berubah menjadi adiposera. 4,5

Adiposera akan membuat gambaran permukaan luar tubuh dapat

bertahan hingga bertahun-tahun, sehingga identifikasi mayat dan perkiraan

sebab kematian masih dimungkinkan. Faktor-faktor yang mempermudah

terbentuknya adiposera adalah kelembapan dan lemak tubuh yang cukup,

sedangkan yang menghambat adalah air yang mengalir yang membuang

elektrolit. Udara yang dingin menghambat pembentukan, sedangkan suhu

yang hangat akan mempercepat pembenukannya. 4


Pembusukan akan terhambat oleh adanya adiposera, karena derajat

keasaman dan dehidrasi jaringan bertambah. Lemak segar hanya mengandung

kira-kira 0,5% asam lemak bebas, tetapi dalam waktu 4 minggu pasca mati

dapat naik menjadi 20% dan setelah 12 minggu menjadi 70% atau lebih. Pada

saat ini adiposera menjadi lebih jelas secara makroskopik sehingga bahan

berwarna putih kelabu yang menggantikan atau menginfiltrasi bagian-bagian

lunak tubuh. Pada stadium awal pembentukannya sebelum makroskopik jelas,

adiposera paling baik dideteksi dengan analisis asam palmitat.4

III. 6 Mumifikasi
Mumifikasi merupakan suatu proses penguapan cairan atau dehidrasi

jaringan yang cukup cepat sehingga terjadi pengeringan jaringan yang dapat

menghentikan proses pembusukan. Jaringan tubuh manusia berubah menjadi

keras dan kering dengan warna gelap, berkeriput serta tidak terjadi lagi

pembusukan. Hal ini terjadi karena kuman tidak dapat berkembang pada

lingkungan yang kering. Pengeringan akan mengakibatkan menyusutnya alat-

alat dalam tubuh sehingga tubuh akan menjadi lebih kecil dan ringan. Proses

mumifikasi terjadi apabila suhu hangat, kelembaban rendah, aliran udara yang

baik, tubuh yang dehidrasi dan terjadi pada waktu yang lama (12 – 14 minggu

dan dapat mencapai beberapa bulan). Namun proses mumifikasi jarang

dijumpai pada cuaca yang normal.

Gambar 3. Mumifikasi
IV. Perkiraan Saat Kematian

Selain perubahan pada mayat tersebut di atas, beberapa perubahan lain

dapat digunakan untuk memperkirakan saat mati.

1. Perubahan pada mata. Bila mata terbuka pada atmosfer yang kering,

sclera di kiri kanan kornea akan bewarna kecoklatan dalam beberapa jam

berbentuk segitiga dengan dasar di tepi kornea (taches noires sclerotiques).

Kekeruhan terjadi lapis demi lapis. Kekeruhan yang terjadi pada lapis luar

dapat dihilangkan dengan meneteskan air, tetapi kekeruhan yang terjadi

pada lapisan paling dalam tidak dapat dihilangkan dengan tetesan air.

Kekeruhan yang menetap ini terjadi sejak kira-kira 6 jam pasca mati.

Baik dalam keadaan mata tertutup maupun terbuka, kornea menjadi

keruh kira kira 10-12 jam pasca mati dan dalam beberapa jam pasca mati

dan dalam beberapa jam saja fundus tidak tampak jelas.

Setelah kematian tekanan bola mata menurun, memungkinkan distorsi

pupil pada penekanan bola mata. Tidak ada hubungan antara diameter

pupil dengan lamanya mati. Perubahan pada retina dapat menunjukan saat

kematian hingga 15 jam pasca mati. Hingga 30 menit pasca mati

tampak kekeruhan macula dan mulai memucatnya diskus optikus.

Kemudian hingga 1 jam pasca mati, macula lebih pucat dan tepinya tidak

tajam lagi.

Selama 2 jam pertama pasca mati, retina pucat dan daerah sekitar

diskus menjadi kuning. Warna kuning juga tampak di sekitar macula yang

menjadi lebih gelap. Pada saat itu pola vascular koroid yang tampak

sebagai bercak bercak dengan latar belakang merah dengan pola


segmentasi yang jelas, tetapi pada kira kira 3 jam pasca mati menjadi

kabur dan setelah 5 jam menjadi homogen dan lebih pucat. Pada kira kira

6 jam pasca mati, batas discus kabur dan hanya pembuluh-pembuluh besar

yang mengalami segmentasi yang dapat dilihat dengan latarbelakang

kuning kelabu.

Dalam waktu 7-10 jam pasca mati akan mencapat tepi retina dan batas

diskus akan sangat kabur. Pada 12 jam pasca mati, discus hanya dapat

dikenal dengan adanya konvergensi beberapa segmen pembuluh darah

yang tersisa. Pada 15 jam oasca mati tidak ditemukan lagi gambaran

pembuluh darah retina dan discus, hanya macula saja yang tampak

berwarna coklat gelap.

2. Perubahan dalam lambung. Kecepatan pengosongan lambung sangat

bervariasi, sehingga tidak dapat digunakan untuk memberikan petunjuk

pasti waktu antara makan terkahir dan saat mati. Namun keadaan lambung

dan isinya mungkin membantu dalam membuat keputusan. Ditemukannya

makanan tertentu (pisang, kulit tomat, biji-bijian) dalam isi lambung dapat

digunakn untuk menyimpulkan bahwa korban sebelum meninggal telah

makan makanan tersebut.

3. Perubahan rambut. Dengan mengingat bahwa kecepatan tumbuh rambut

rata-rata 0,4 mm perhari, panjang rambut kumis dan jenggot dapat

dipergunakan untuk memperkirakan saat kematian. Cara ini hanya dapat

digunakan bagi pria yang mempunyai kebiasaan mencukur kumis atau

jenggotnya dan diketahui saat terakhir ia mencukur.

4. Pertumbuhan kuku. Sejalan dengan hal rambut tersebut diatas,

pertumbuhan kuku yang diperkirakan sekitar 0,1 mm perhari dapat


digunakan untuk memperkirakan saat kematian bila dapat diketahui saat

terakhir yang bersangkutan memotong kuku.

5. Perubahan dalam cairan serebrospinal. Kadar nitrogen asam amino

<14mg% menunjukkan kematian belum lewat 10 jam, kadar nitrogen

nonprotein <80mg% menunjukkan kematian belum 24 jam, kadar

kreatinin < 5mg% dan 10 mg% masing-masing menunjukkan kematian

belum mencapai 10 jam dan 30 jam.

6. Dalam cairan vitreus terjadi peningkatan kadar kalium yang cukup

akurat untuk memperkirakan saat kematian antara 24 hingga 100 jam

pasca mati.

7. Kadar semua komponen darah berubah setelah kematian, sehingga

analisis darah pasca mati tidak memberikan gambaran konsentrasi zat-zat

tersebut semasa hidupnya. Perubahan tersebut diakibatkan oleh aktifitas

enzim dan bakteri, serta gangguan permeabilitas dari sel yang telah mati.

Selain itu gangguan fungsi tubuh selama proses kematian dapat

menimbulkan perubahan dalam darah bahkan sebelum kematian itu

terjadi. Hingga saat ini belum ditemukan perubahan dalam darah yang

dapat digunakan untuk memperkirakan saat mati dengan lebih tepat.

8. Reaksi supravital, yaitu reaksi jaringan tubuh sesaat pasca mati klinis

yang masih sama dengan reaksi jaringan tubuh pada seorang yang hidup

Beberapa uji dapat dilakukan pada mayat yang masih segar, misalnya

rangsang listrik masih dapat menimbulkan kontraki otot mayat hingga

90-120 menit pasca mati dan mengakibatkan sekresi kelenjar keringat

sampai 60-90 menit pasca mati, sedangkan trauma masih dapat

menimbulkan perdarahan bawah kulit sampai 1 jam pasca mati.


BAB III

KESIMPULAN

Tanda kematian dapat berupa perubahan tubuh yang timbul dini atau

beberapa menit setelah kematian yang disebut tanda kematian tidak pasti

yakni pernafasan dan sirkulasi berhenti, kulit berubah pucat, tonus otot

menghilang dan relaksasi, pembuluh darah retina mengalami segmentasi,

kekeruhan kornea. Berikutnya setelah beberapa waktu akan timbul perubahan

pasca mati yang jelas sehingga memungkinkan diagnosis kematian lebih pasti

yang disebut tanda pasti kematian. Cara memastikan kematian dinilai dari ketiga

sistem kehidupan yaitu memastikan aktifitas otak telah berhenti dapat

menggunakan EEG yang mendatar selam 5 menit, memastikan sistem sirkulasi

berhenti dari palpasi dan aukultasi denyut jantung selam 5-10 menit, EKG

mendatar, tes magnus berwarna pucat, tes icard tidak berwarna kuning

kehijauan, tes diafanus berwarna kuning pucat, memastikan sistem pernafasan

berhenti dengan inspeksi dan palpasi tidak ada pergerakan pernafasan, auskultasi

tidak ada bunyi nafas, aliran uap air dari lubang hidung ataupun mulut juga tidak

ada.

Tanda pasti kematian antara lain pertama lebam mayat (livor

mortis) berupa lebam merah keunguan yang terletak di bagian bawah tubuh

akibat penumpukan eritrosit oleh gaya gravitasi yang mulai terjadi 20-30 menit

post mortem dan meluas serta menetap dalam 8-12 jam post mortem. Kedua

kaku mayat (rigor mortis) berupa kekakuan otot yang terjadi pada sebagian atau

seluruh otot tubuh akibat serabut otot aktin dan miosin menggumpal dan kaku

oleh karena cadangan glikogen otot dan ATP habis setelah kematian dapat berupa
cadaveric spasm, heat stiffening, cold stiffening. Ketiga penurunan suhu tubuh

(algor mortis) berupa penurunan suhu tubuh mayat sama dengan suhu

lingkungan dipengaruhi beberapa factor yakni suhu tubuh mayat saat meninggal,

suhu lingkungan, posisi meninggal, pakaian yang dipakai, aktivitas fisik

sebelum meninggal. Keempat pembusukan (decomposition) berupa proses

degradasi jaringan pada tubuh mayat yang terjadi sebagai akibat proses autolisis

dan aktivitas mikroorganisme yang mulai 24-48 jam post mortem dibagian perut

kanan bawah kemudia meluas keseluruh tubuh.

Kelima adiposera, terbentuknya bahan berwarna keputihan, lunak atau

berminyak, berbau tengik yang terjadi di dalam jaringan lunak tubuh pasca mati

yang dapat menghambat pembusukan terutama pada tempat yang memiliki

jaringan lemak superfisial terlebih dahulu. Keenam mumifikasi, suatu proses

penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang cukup cepat sehingga terjadi

pengeringan jaringan yang dapat menghentikan proses pembusukan

dipengaruhi oleh suhu, aliran udara dan kelembaban lingkungan

sehingga jaringan tubuh manusia berubah menjadi gelap, keras dan kering.

Tanda pasti kematian ini bermanfaat untuk memperkirakan waktu kematian serta

sebab dan cara kematian. Selain dari tanda pasti kematian, waktu kematian dapat

diperkirakan dengan perubahan-perubahan tubuh lain seperti perubahan pada

mata dan vitreus, perubahan rambut dan kuku, perubahan pada lambung, cairan

serebrospinal serta darah.


DAFTAR PUSTAKA

1. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I. Jakarta: Binarupa Aksara,

1997; p.131-168.

2. Hueske E. Firearms and Tool Mark The Forensic Laboratory Handbooks, Practice

and Resource. 2006.

3. Abdussalam. Forensik. Jakarta: Restu Agung, 2006; p. 41-43.

4. Bagian Kedokteran Forensik. Ilmu Kedokteran Forensik. Fakultas Kedokteran

Uniersitas Indonesia.

5. Dahlan S. Ilmu kedokteran forensik. Semarang: Badan Penerbit Universitas

Diponegoro; 2000.

6. Simpson K. Modern trends in forensic medicine 2. London: London Butterworths;

2003.

7. Murray RK, Daryl KG, Peter AM, Victor WR. Biokimia harper. Trans. Andry H

(editor).25th ed.Jakarta: EGC; 2003.

8. Tomita Y, Nihira M, Ohno Y, Sato S. Ultrastuctural changes during in situ

early postmortem autolysis in kidney, pancreas, liver, heart and skeletal musle of

rats. Legal Medicine (Tokyo), 2004; 6.

9. Anonim. The laboratory rat. [Available at

URL.http://www.Issu.edu/faculty/jroese/Animalcare/rat/blood.htm, diakses pada

tanggal 20 Juni 2013].

10. Pryce DM, CF Ross. Ross‟s post-mortem appearences. 6th ed. London:Oxford

University Press; 1963.

11. Singh S. Ilmu Kedokteran Forensik. 2014. Hal: 46-82.

Anda mungkin juga menyukai