Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN SMALL GROUP DISCUSSION LBM 1

BLOK MEDIKOLEGAL
“ICE COLD”

DISUSUN OLEH:

Nama : Dwik Putra Nickontara


NIM : 018.06.0048
Kelas :B
Blok : Medikolegal
Kelompok :7

Tutor: dr. Irsandi Rizki Farmananda, S.Ked

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHARMATARAM
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-
Nya dan dengan kemampuan yang kami miliki, penyusunan laporan SGD (Small Group
Discussion) LBM 1 yang berjudul “Ice Cold ” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Laporan ini membahas mengenai hasil SGD lembar belajar mahasiswa LBM 1 yang
meliputi seven jumps step yang dibagi menjadi dua sesi diskusi. Penyusunan laporan ini tidak
akan berjalan lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini
kami mengucapkan terimakasih kepada:
1. dr. Irsandi Rizki Farmananda, S.Ked sebagai dosen fasilitator kelompok SGD 7
yangsenantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan SGD.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi kami dalam
berdiskusi.
3. Keluarga yang kami cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman kami yang terbatas untuk menyusun
makalah/laporan ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat
diharapkan demi kesempurnaan laporan ini. Kami berharap semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR ISI
BAB I ....................................................................................................................................
PENDAHULUAN .............................................................................................................
BAB II...................................................................................................................................
PEMBAHASAN ...............................................................................................................
BAB III .................................................................................................................................
PENUTUP .........................................................................................................................
Daftar Pustaka .......................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Scenario

Ice Cold
Nadin, mahasiswa kedokteran tahap akademik semester 7. sekarang nadin sedang
menempuh blok forensic dan medicolegal. Secara tidak sengaja, di suatu hari, nadin menonton
salah satu film berjudul “Ice Cold”, film ini mengangkat cerita mengenai kematian seorang
perempuan muda setelah meminum es kopi di sebuh kafe di Jakarta.
Gambar

nadin penasaran, bagaimana seorang dokter dapat menentukan status kematian sesorang,
menentukan perkiraan waktu kematiannya, mekanisme dan cara kematian, serta mengetahui
identitas dari jenazah, jika tidak ada saksi mata yang melihat kejadian kematian tersebut. nadin
juga mencari tahu, suatu saat nanti jika dia sudah jadi dokter, apa yang harus ia lakukan jika
menghadapi suatu kasus seperti yang ada di film tersebut, serta apa peran dokter dalam proses
penegakan hukum.
Deskripsi: Secara umum cara kematian dibagi menjadi dua, yakni wajar dan tidak wajar.
Kematian wajar disebabkan penyakit atau usia tua (> 80 tahun) sedangkan kematiantidak wajar
disebabkan berbagai jenis kekerasan (pembunuhan, bunuh diri, dan kecelakaan kerja serta
kecelakaan lalu lintas), kematian akibat tindakan medis, tenggelam, intoksikasi, dan kematian
yang tidak jelas penyebabnya. Surat keterangan penyebab kematian yang diterbitkan dokter dapat
digunakan sebagai salah satu petunjuk untuk memperkirakan cara
kematian korban. Otopsi verbal untuk memperkirakan penyebab kematian dilakukan
dengan melakukan wawancara medikolegal. Secara medis dilakukan heteroanamnesis terhadap
pihak yang mengetahui riwayat kesehatan almarhum/ah sehari-hari, meliputi sacred seven dan
fundamental four. Selain itu, ringkasan rekam medis, hasil pemeriksaan laboratorium dan
radiologi serta halhal lain yang dapat membantu penegakkan diagnosis penyebab kematian perlu
dimintakan kepada keluarga almarhum/ah. Demi kepentingan hukum, pertanyaan-pertanyaan
yang memuat 5W+1H (Who, Where, When, Why, What, How) juga perlu diajukan.
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi forensic dan medicolegal ?
Ilmu Kedokteran Forensik merupakan salah satu cabang spesialistik ilmu kedokteran
yang digunakan untuk membantu kepentingan peradilan dalam hal penegakan hukum maupun
masalah-masalah terkait hukum. Medikolegal sendiri juga merupakan bidang interdisipliner
antara kedokteran dengan ilmu hukum. Aspek medikolegal pada pelayanan di rumah sakit
meliputi hak-kewajiban pasien, kewajiban dokter, kewajiban rumah sakit, jaminan pelayanan
kesehatan melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan peningkatan mutu profesi medis
(Iswara, et all, 2023)
Tanatologi ?
Thanatologi berasal dari kata thanatos mempunyai arti : segala hal yang berhubungan
dengan kematian sedangkan logos adalah ilmu. Jadi arti kata Thanatologi adalah : Bagian dari
Ilmu Kedokteran Forensik, yang mempelajari tentang kematian dan perubahan-perubahan yang
terjadi setelah kematian (Parinduri, 2020).
Dalam Thanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati yaitu : Mati somatis (mati
klinis) serta mati seluler (mati mollekuler) :
1. Mati somatis (mati klinis) adalah
Kematian yang terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang
kehidupan, yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular dan sistem pernapasan, yang
menetap (irreversible). Secara klinis tidak ditemukan lagi refleks-refleks tubuh, nadi
tidak teraba (palpasi), denyut jantung tidak terdengar (auskultasi), tidak ada gerak
pernapasan (inspeksi), dan suara nafas tidak terdengar juga (auskultasi)
2. Mati seluler (mati molekuler) adalah
Kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian
somatis. Daya tahan hidup masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda dalam
merespon ketiadaan oksigen, sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap organ atau
jaringan tidak bersamaan. Pengetahuan ini penting dalam transplantasi organ. Sebagai
gambaran dapat dikemukakan bahwa susunan saraf pusat mengalami mati seluler dalam
waktu 4 menit, otot masih dapat dirangsang (listrik) sampai kira-kira 2 jam pasca mati,
dan mengalami mati seluler setelah 4 jam, dilatasi pupil masih terjadi pada pemberian
adrenalin 0,1% atau penyuntikan sulfas atropin 1% dan fisostigmin 0.5% akan
mengakibatkan miosis hingga 2 jam pascamati. Kulit masih dapat berkeringat, sampai
lebih dari 8 jam pasca mati dengan cara menyuntikkan subkutan pilokarpin 2% atau
asetilkolin 20%, spermatozoa masih bertahan hidup beberapa hari dalam epididimis,
kornea masih dapat ditransplantasikan 6 jam pasca mati
Tanda kematian pasti dan tidak pasti ?
1. tanda kematian tak pasti
a. Terhentinya pernafasan, selama lebih dari 10 menit (inspeksi, palpasi, auskultasi
Terhentinya sirkulasi, selama 15 menit nadi karotis tidak teraba (palpasi).
b. Kulit pucat, tetapi bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya, karena mungkin
terjadi spasme agonal sehingga wajah tampak kebiruan.
c. Tonus otot menghilang dan relaksasi. Relaksasi dari otot-otot wajah menyebabkan
kulit menimbul sehingga kadang-kadang membuat orang menjadi tampak lebih
muda. Kelemahan otot sesaat setelah kematian disebut relaksasi primer.
d. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah kematian.
Segmen - segmen tersebut bergerak ke arah tepi retina dan kemudian menetap.
e. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang masih
dapat dihilangkan dengan meneteskan air.
2. tanda kematian pasti
Sedangkan tanda-tanda kematian yang pasti, terjadi pada tingkat kematian mollekuler,
dimana jarak antara kematian somatik dan mati mollekuler tidak serentak pada semua sel
atau jaringan tubuh, bergantung dari kemampuan sel atau jaringan dalam bertahan hidup
dengan keterbatasan dan ketiadaan oksigen. Dan hal ini menimbulkan perubahan-
perubahan bentuk yang nyata pada tubuh seseorang setelah kematian (post mortem).
Berdasarkan teori tersebut, maka tanda-tanda kematian yangpasti dapat dinyatakan, jika
ditemukannya perubahan - perubahan pada tubuh mayat sebagai berikut :
a. Perubahan temperature tubuh.
b. Lebam mayat.
c. Kaku mayat.
d. Proses pembusukan.
e. Adiposere.
f. Mumifikasi
Pemeriksaan sederhana ?
Ada beberapa pemeriksaan (subsidairy test) yang dapat dilakukan untuk memastikan
kematian pada seseorang, disamping pemeriksaan fisik pada umumnya. Pemeriksaan sederhana
ini untuk menilai 3 sistem penunjang kehidupan, yaitu :
1. berhentinya sirkulasi darah
Dengan berhentinya jantung yang berdenyut, maka aliran darah dalam arteri juga
berhenti. Denyut nadi tidak dapat lagi diraba dan pada auskultasi juga tidak dapat
didengar bunyi jantung. Beberapa pemeriksaan subsidairy yang dapat memastikan
berhentinya sistem sirkulasi adalah sebagai berikut :
a. tes magnus : Dengan mengikat salah satu ujung jari tangan/ kaki, yang akan
menunjukkan reaksi bengkak dan sianos pada orang hidup.
b. Test Diaphanous : Dengan cara menyenter telapak tangan, akan terlihat warna
merah muda di pinggir telapak tangan pada orang hidup.
c. test icard : Menyuntikkan larutan dari campuran 1 gram fluorescein dan 1
gram natrium bicarbonas dalam 8 ml air secara subcutan. Jika pada orang yang
masih hidup warna kulit sekitarnya akan terlihat kehijauan. Pada orang yang
sudah meninggal dimana tidak ada lagi sirkulasi darah, hal diatas tidak akan
terjadi.
d. Test Spointing : Dengan memotong arteri, maka darah masih memancar aktif
pada orang hidup, sementara pada orang mati mengalir pasif.
2. berhentinya Pernafasan
Henti nafas akan terjadi menyusul kematian. Hal ini dapat dibuktikan dengan
tidak adanya suara nafas pada bagian dada (auskultasi). Biasanya untuk memastikan
berhentinya fungsi pernafasan cukup hanya dengan auskultasi pada bagian dada. Tetapi
selain itu ada juga pemeriksaan subsidairy yang dapat dilakukan, antara lain :
a. Test Winslow : Secangkir cairan air raksa atau air diletakkan diatas bagian
dada atau abdomen. Pada orang yang masih hidup maka gerakan respirasi
akan menunjukkan gelombang pada cairan, yang bisa diamati daripantulan
cahaya pada cairan tersebut.
b. Test Mirror : Cermin yang bersih ditempatkan pada rongga hidung
seseorang. Jika orang tersebut masih hidup, maka akan tampak berkas
penguapan berupa kabut pada cermin tersebut.
c. Test feather : Dengan meletakkan sehelai bulu unggas di bawah lubang
hidung, yang akan berspon bila masih ada hembusan nafas.
3. berhentinya innervasi
Fungsi motorik dan sensorik berhenti, dapat dilihat dengan hilangnya semua
refleks pada tubuh tersebut. Subsidairy test yang dilakukan, dengan menguji reflek
motorik dan sensorik itu sendiri. Misalnya :
a. refleks pupil
b. refleks cahaya
c. refleks menelan atau batuk ketika tuba endo trakeal di dorong ke dalam.
d. refleks vestibuloookularis rangsangan air es yang di masukkan ke dalam
telinga.
Interval post mortem ?
Perubahan-perubahan tubuh yang terjadi setelah mati (post mortem), dapat dibagi
menjadi perubahan dini/ segera dan perubahan lanjut. Dalam perubahan dini, dapat
diklasifikasikan atas :
A. Perubahan segera paska kematian
1. perubahan suhu tubuh (algor mortis)
Penurunan suhu adalah : Suatu keadaan dimana tubuh mayat mengalami
perubahan/ penurunan temperature, oleh karena penghantaran panas / temperatur
suhu tubuh mayat ke temperature sekitar melalui proses radiasi, konduksi dan
pancaran panas (proses perpindahan panas dari benda yang mempunyai temperatur
tinggi ke benda yang mempunyai temperatur rendah. Sehingga suhu tubuh mayat
dengan sekitar menjadi sama
Penurunan suhu tubuh mayat, juga dipengaruhi media lingkungan. Di media air :
udara : tanah adalah 4 : 2 : 1, artinya : Di media air (tenggelam) penurunan suhu tubuh
mayat Lebih cepat 4 kali dibanding di dalam tanah (kubur).
2. lebam mayat (livor mortis)
Lebam mayat adalah : Suatu keadaan, dimana tubuh mayat mengalami
perubahan warna akibat terkumpulnya darah pada jaringan kulit dan subkutan
disertai, pelebaran pembuluh kapiler pada bagian tubuh yang letaknya rendah oleh
karena gaya grafitasi bumi. Keadaan ini memberi gambaran berupa warna ungu
kemerahan (reddisk blue).
Setelah seseorang yang meninggal, mayatnya menjadi suatu benda mati sehingga
darah akan berkumpul sesuai dengan (hukum gravitasi) di daerah yang letaknya
paling rendah dari tubuh. Aliran darah akan terus mengalir pada daerah tersebut,
sehingga pembuluh-pembuluh kapiler akan mengalami penekanan oleh aliran darah
tersebut, dan menyebabkan sel-sel darah ke luar dari kapiler menuju sel-sel serta
jaringan sekitar dan memberi kesan warna. Pada daerah lebam mayat terkadang
dijumpai bintik-bintik perdarahan (tardieu spots) akibat pecahnya cabang-cabang
kecil dari vena. Kemudian dalam waktu sekitar 6 jam, lebam mayat ini semakin
meluas dan menetap (setelah darah masuk ke jaringan), yang pada akhirnya akan
membuat warna kulit menjadi gelap (livid).
Di India bagian utara, lebam mayat mulai tampak 30 menit sampai 1 jam setelah
kematian dan lebam jelas dan menetap antara waktu 8 sampai 12 jam. Pengamatan
ini tentunya bisa membantu untuk menentukan perkiraan saat kematian. Oleh karena
proses pembekuan darah, terjadi dalam waktu 6-10 jam setelah kematian, selain itu
juga oleh karena sel-sel darah merah telah terfiksasi masuk ke dalam sel dan jaringan.
Lebam mayat ini bisa berubah baik ukuran maupun letaknya, hal ini tergantung pada
perubahan-perubahan posisi mayat tersebut. Karena itu penting sekali untuk,
memastikan apakah mayat belum disentuh/ diubah posisinya oleh orang lain. Posisi
mayat ini juga penting untuk menentukan apakah kematian disebabkan karena
pembunuhan atau bunuh diri
3. kaku mayat (rigor mortis)
Kaku mayat adalah : Suatu keadaan dimana tubuh mayat mengalami perubahan,
berupa kekakuan oleh karena proses biokimiawi. Kaku mayat dimulai sekitar 1-2 jam,
setelah kematian (berhentinya 3 sistem dalam tubuh). Dan setelah 12 jam kaku mayat
menjadi lengkap diseluruh tubuh, dan pada 12 jam berikutnya akan berangsur
menghilang (setelah 24-36 jam).
Proses kaku mayat dibagi dalam 3 tahap :
a. Periode relaksasi primer (flaksiditas primer)
Hal ini terjadi segera setelah kematian dan berlangsung selama 2-3 jam. Seluruh
otot tubuh mengalami relaksasi, dan bisa digerakkan ke segala arah. Iritabilitas otot masih
ada tetapi tonus otot menghilang. Pada kasus di mana mayat letaknya berbaring rahang
bawah akan jatuh dan kelopak mata juga akan turun dan lemas
b. Kaku mayat (rigor mortis)
Kaku mayat akan terjadi setelah sekitar 2-3 jam, setelah kematian atau setelah
fase relaksasi primer. Keadaan ini berlangsung setelah terjadinya kematian tingkat
sel, dimana aktivitas listrik otot tidak ada lagi
c. Periode relaksasi sekunder
Otot menjadi relaks (lemas) dan mudah digerakkan. Hal ini terjadi karena
pemecahan protein, dan tidak mengalami reaksi secara fisik maupun kimia. Proses
pembusukan juga mulai terjadi. Pada beberapa kasus, kaku mayat sangat cepat
berlangsung sehingga sulit membedakan antara relaksasi primer dengan relaksasi
sekunder
B. Perubahan lanjut paska kematian
1. pembusukan
Pembusukan adalah : Perubahan terakhir yang terjadi (late post-mortem
periode) pada tubuh mayat setelah kematian, dimana terjadi pemecahan protein komplek
menjadi protein yang lebih sederhana disertai timbulnya gas-gas pembusukan yang bau
dan terjadinya perubahan warna. Penimbunan asam laktat serta bahan yang bersifat toksik
akan berlangsung didalam sel.
Kestabilan dan keutuhan membran sel tidak dapat dipertahankan. Organel
didalam sel mulai pecah, terutama lisososom yang mengandung enzim proteolitik.
Enzim-enzim ini mencernakan sel itu sendiri (aotulisis). Mikroorganisme juga
memainkan peranan dalam proses pembusukan mayat, bahan kimia yang terdapat dalam
jaringan yang membusuk ialah asam formik, asam asetik, asam butirik, asam valerianik,
asam palmitik, asam laktik, asam suksinik dan asam oksalik, amina, asam amino, seperti
leusin, dan bahan lain seperti indol dan skatol.
Organisme dari usus akan masuk kedalam darah lalu merebak keseluruh bagian
lain dalam tubuh organisme anerobik lebih banyak dijumpai dalam jaringan yang
membusuk. Bakteri Clostridium welchii menghasilkan enzim lesitinase. Enzim ini
menghidrolisiskan lesitin yang terkandung didalam semua membran sel didalam darah,
enzim ini bertanggung jawab terhadap hemolisis darah post mortem.
2. Adiposer
Adiposere adalah : Fenomena yang terjadi pada mayat yang tidak mengalami proses
pembusukan yang biasa. Melainkan mengalami pembentukan adiposere. Adiposere merupakan
subtansi yang mirip seperti lilin yang lunak, licin dan warnanya bervariasi mulai dari putih keruh
sampai coklat tua. Adiposere mengandung asam lemak bebas, yang dibentuk melalui proses
hidrolisa dan hidrogenasi setelah kematian disebut saponifikasi.
Adanya enzim bakteri dan air sangat penting untuk berlangsungnya proses tersebut.
Dengan demikian, maka adiposere biasanya terbentuk pada mayat yang terbenam dalam air atau
rawa-rawa. Lama pembentukan adiposere ini juga bervariasi, mulai dari 1 minggu sampai 10
minggu. Warna keputihan dan bau tengik seprti bau minyak kelapa. Dapat digunakan sebagai
kepentingan identifikasi ataupun pemeriksaan luka-luka, oleh karena proses pengawetan alami,
meskipun kematian telah lama
3. Mumifikasi
Mummifikasi adalah : Mayat yang mengalami pengawetan akibat proses pengeringan
dan penyusutan bagian-bagian tubuh. Kulit menjadi kering, keras dan menempel pada tulang
kerangka. Mayat menjadi lebih tahan dari pembusukan sehingga masih jelas menunjukkan ciri-
ciri seseorang. Fenomena ini terjadi pada daerah yang panas dan lembab, di mana mayat
dikuburkan tidak begitu dalam dan angin yang panas selalu bertiup sehingga mempercepat
penguapan cairan tubuh. Jangka waktu yang diperlukan sehingga terjadi mumifikasi biasanya
lama, bisa dalam waktu 3 bulan atau lebih, mayat relatif masih utuh, maka identifikasi lebih
mudah dilakukan. Begitu pula luka-luka pada tubuh korban kadang masih dapat dikenal.
Kematian wajar dan tak wajar ?
Secara umum cara kematian dibagi menjadi dua, yakni wajar dan tidak wajar. Kematian
wajar disebabkan penyakit atau usia tua (> 80 tahun) sedangkan kematian tidak wajar disebabkan
berbagai jenis kekerasan (pembunuhan, bunuh diri, dan kecelakaan kerja serta kecelakaan lalu
lintas), kematian akibat tindakan medis, tenggelam, intoksikasi, dan kematian yang tidak jelas
penyebabnya. Surat keterangan penyebab kematian yang diterbitkan dokter dapat digunakan
sebagai salah satu petunjuk untuk memperkirakan cara kematian korban. Berdasarkan pedoman
WHO penyebab kematian dibagi menjadi penyebab langsung, penyebab antara, dan penyebab
dasar yang saling berkaitan satu sama lain. Selain itu terdapat kondisi lain yang tidak
bertanggung jawab secara langsung terhadap kematian pasien/ korban atau sebagai penyulit.
Penyebab langsung adalah mekanisme kematian yaitu gangguan fisiologis dan biokimiawi yang
ditimbulkan penyebab dasar kematian. Sedangkan penyebab dasar merupakan penyebab
kematian utama yang sarat muatan medikolegalnya sehingga berhubungan langsung dengan cara
kematian. Dengan demikian, penyebab dasar adalah penyebab kematian yang perlu ditelaah
secara seksama untuk memperkirakan cara kematian (Henky, et all, 2020)
Cara identifikasi mayat yang tidak dikenal ?
1. metode identifikasi primer
Berdasarkan DVI Interpol (2014), metode primer dan yang merupakan paling reliable
adalah analisis sidik jari, analisis perbandingan dental, dan analisis DNA. Menurut Taylor (2016),
identifikasi primer dilakukan dengan analisis visual, sidik jari, data dental, dan analisis medis
antropologis. Senn dan Weems (2013) menyatakan analisis sidik jari, forensik odontologi,
analisis dna, dan alat-alat kesehatan digunakan dalam metode identifikasi primer.3 Namun
demikian, identifikasi yang hanya didasari foto sangat bersifat unreliable dan sebisa mungkin
dihindari. Identifikasi visual mungkin memberikan indikasi identitas namun tidak cukup untuk
memberikan identifikasi positif korban dalam skala bencana massal, karena korban biasanya
mengalami trauma berat sehingga perbandingan visual hampir tidak mungkin dilakukan. Alasan
lainnya juga karena kerabat seringkali tidak mampu mengatasi emosi dan stress psikologis dalam
kasus keluarga meninggal dunia. Jadi, identifikasi yang hanya berdasar pada foto tidak reliable
dan harus dihindari. Semua data post-mortem yang diperoleh dari jenazah nantinya dievaluasi
dengan referensi pada informasi mengenai orang hilang (Brough, A,et al,2014)

2. metode identifikasi sekunder


INTERPOL DVI (2014) meyatakan identifikasi sekunder meliputi deskripsi personal,
temuan medis, tato, dan segala pakaian maupun aksesoris yang ditemukan pada jenazah. Tujuan
identifikasi ini adalah mendukung metode identifikasi lainnya dan biasanya tidak cukup kuat jika
dipakai sebagai satu-satunya metode dalam identifikasi. Identifikasi sekunder jika
dikombinasikan dapat memberikan informasi memadai untuk membuat identifikasi pada kasus-
kasus tertentu, dan pada kasus dimana identifikasi primer dapat dilakukan dengan terbatas atau
bahkan tidak mungkin dilakukan. Oleh sebab itu data-data sekunder ini tidak boleh diabaikan saat
mengumpulkan data AM (Brough, A,et al,2014).
Bagaimana Prosedur Medikolegal (Uud, Ver) ?
Medikolegal adalah suatu ilmu terapan yang melibatkan dua aspek ilmu yaitu medico
yang berarti ilmu kedokteran dan -legal yang berarti ilmu hukum. Pelayanan medikolegal adalah
bentuk pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga medis denganmenggunakan ilmu dan
teknologi kedokteran atas dasar kewenangan yang dimiliki untuk kepentingan hukum dan untuk
melaksanakan peraturan yang berlaku.
Prosedur medicolegal adalah tatacara penatalaksanaan dari berbagai aspek yang
berkaitan dengan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum (Purwani, 2018). Secaragaris
besar prosedur medicolegal mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, dan pada beberapa bidang juga mengacu kepada sumpah dokter danetika kedokteran.
Dalam melaksanakan prosedur medicolegal perlu dilakukannya Persetujuan Tindakan
Kedokteran (PTK) atau yang lebih dikenal dengan informed consent.Istilah Persetujuan Tindakan
Kedokteran (PTK) resmi dipakai setelah diterbitkannyaPeraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, yang
mendefinisikan bahwa “Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan
pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan lengkap mengenai tindakan
kedokteran atau kedokteran gigiyang akan dilakukan terhadap pasien”. Dari sisi etik, PTK wajib
dilaksanakan oleh dokter sesuai dengan Pasal 10 Kode Etik Kedokteran Indonesia, yaitu :
”Seorang dokter wajib senantiasa menghormati hak-hak- pasien, teman sejawatnya, dan tenaga
kesehatan lainnya, serta wajib menjaga kepercayaan pasien”
Ada 2 tujuan utama dari Persetujuan Tindakan Kedokteran yaitu: (1) Melindungi pasien
terhadap segala tindakan medik yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien, misalnya hendak
dilakukan prosedur medik yang sebenarnya tidak perlu dan tanpa ada dasar mediknya, (2).
Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tak terduga dan bersifat
negatif. Perlindungan hukum yang dimaksud di sini adalahperlindungan yang terbatas pada
keadaan “risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan, walaupun sang dokter sudah
berusaha sedapat mungkin dan bertindak dengansangat hati-hati dan teliti. Karena setiap tindakan
medis yang dilakukan oleh dokter, terkadang hasilnya bersifat ketidakpastian (uncertainty) dan
tidak dapat diperhitungkan secara matematik karena dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang
berada di luar kekuasaan dan kontrol dokter, misalnya virulensi penyakit, kepatuhan pasien,
kualitas obat dan sebagainya (Afandi, 2018).
Setelan mendapatkan peresetujuan selanjutnya pihak keluar harus melaporkan kasus
kematian kapada kepolisian untuk mendapatkan Surat Permintaan Visum (SPV) agar tim ahli
dapat melakukan visum et repertum. Visum et Repertum merupakan keterangan tertulis yang
dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap
seseorang manusia baik hidup maupunmati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan
dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan. Visum et Repertum
dibuat berdasarkan Undang-Undang yaitu pasal 120, 179 dan 133 KUHAP dan dokter dilindungi
dari ancaman membuka rahasia jabatan meskipunVisumet Repertum dibuat dan dibuka tanpa
izin pasien, asalkan ada permintaan dari penyidik dandigunakan untuk kepentingan peradilan.
Berikut merupakan isi pasal 133 KUHAP:
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korbanbaik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya.
a. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
b. Permintaan visum et repertum antara lain, bertujuan untuk membuat terang peristiwa
pidana yang terjadi. Oleh karena itu, penyidik dalam permintaan tertulisnya padadokter
menyebutkan jenis visum et repertum yang diperlukan dengan menggunakan format
sesuai dengan kasus yang sedang ditangani. Macam visum et repertum berdasarkan
penggunaannya sebagai alat bukti adalah sebagai berikut:
- Untuk korban hidup:
• Visum et repertum yang diberikan sekaligus, yaitu pembuatan visum et repertum yang
dilakukan apabila orang yang dimintakan visum et repertum tidak memerlukanperawatan
lebih lanjut atas kondisi luka-luka yang disebabkan dari tindak pidana. Pada umumnya
visum et repertum sekaligus diberikan untuk korban penganiayaan ringan yang tidak
memerlukan perawatan di rumah sakit.
• Visum et repertum sementara, diperlukan apabila orang yang dimintakan visum et
repertum memerlukan perawatan lebih lanjut berhubungan dengan luka-luka yang
disebabkan dari tindak pidana. Visum et repertum sementara diberikan sementara waktu,
untuk menjelaskan keadaan orang yang dimintakan visum et repertum pada saat pertama
kali diperiksa oleh dokter, sehingga masih memerlukan visum etrepertum lanjutan dalam
rangka menjelaskan kondisi orang yang dimintakan visum et repertum pada saat terakhir.
• Visum et repertum lanjutan, diberikan apabila orang yang dimintakan Visum et Repertum
hendak meninggalkan rumah sakit dikarenakan telah sembuh, pulang paksa, pindah
rumah sakit atau mati.
- Visum et repertum atas mayat, tujuan pembuatannya untuk orang yang mati atau diduga
kematiannya dikarenakan peristiwa pidana. Pemeriksaan atas mayat haruslahdilakukan
dengan cara bedah mayat atau otopsi forensik, yang dilakukan untuk mengetahui
penyebab pasti kematian seseorang. Pemeriksaan atas mayat dengan cara melakukan
pemeriksaan di luar tubuh, tidak dapat secara tepat menyimpulkan penyebab pasti
kematian seseorang. Hanya bedah mayat forensik yang dapat menentukan penyebab pasti
kematian seseorang.
- Visum et repertum penggalian mayat, dilakukan dengan cara menggali mayat yang telah
terkubur atau dikuburkan, yang kematiannya diduga karena peristiwa pidana.
Penggunaan istilah visum et repertum penggalian mayat lebih tepat daripada visum et
repertum penggalian kuburan, karena orang yang mati terkubur dikarenakan peristiwa
pidana belum tentu posisinya dikuburkan/terkubur di kuburan. Visum et repertum
penggalian mayat dilakukan, baik atas mayat yang telah maupun yang belum pernah
diberikan visum et repertum. Atas mayat yang telah diberikan visum et repertum
dimungkinkan untuk dibuatkan visum et repertum ulang apabila hasil visum et repertum
sebelumnya diragukan kebenarannya, misalnya dalam kasus pembunuhan aktifis buruh
perempuan Marsinah pada masa pemerintahan orde baru yang penggalian mayatnya
dilakukan lebih dari satu kali.
- Visum et Repertum tentang Umur, tujuan pembuatannya untuk mengetahui kepastian
umur seseorang, baik sebagai korban maupun pelaku tindak pidana. Kepentingan dalam
menentukan kepastian umur seseorang berkaitan dengan korban tindak pidana biasanya
berhubungan dengan delik kesusilaan atau tindak pidana lain yang korbannyaanakanak
sebagaimana ditentukan di dalam UU Perlindungan Anak 2014 maupun KUHP;
sedangkan penentuan kepastian umur seseorang berhubungan dengan pelaku tindak
pidana berhubungan dengan hak seseorang untuk disidangkan dalam pemeriksaan
perkara anak sebagaimana ditentukan di dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
- Visum et Repertum Psikiatrik, diperlukan berhubungan dengan pelaku tindak pidana
yang diduga jiwanya cacat dalam tumbuh kembangnya atau terganggu karena penyakit.
Visum et Repertum Psikiatrik biasanya juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana
yang dalam melakukan tindak pidana di luar batas-batas kewajaran manusia normal,
misalnya, pembunuhan dengan cara memutilasi korban, atau tindak pidana yang
dipandang sadis yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh pelaku dalam kondisi jiwa
yang normal.
- Visum et Repertum untuk korban persetubuhan illegal atau tindak pidana di bidang
kesusilaan, merupakan visum et repertum yang diberikan untuk tindak pidana di bidang
kesusilaan, baik yang. Pemeriksaan terhadap korban tindak pidana di bidang kesusilaan,
khusus pada tindak pidana yang mengandung unsur persetubuhan pembuktiannya secara
medis lebih mudah daripada tindak pidana kesusilaan yang tidak mensyaratkan adanya
unsur persetubuhan (misalnya, pelecehan seksual, percabulan, dan sebagainya).

Terdapat prosedur permohonan pasa VeR berdasarkan pasal 222 dan 216 KUHP
diketahui bahwa pada akhirnya tugas seorang dokter untuk membantu memberikan data
keterangan untuk kepentingan proses peradilan menjadi sebuah kewajiban, sehingga yang
meminta keterangan tersebut untuk kepentingan yang sama adalah merupakan sebuah
kewenangan. Untuk itu, yang berwenang untuk meminta bantuan kepada ahli kedokteran
kehakiman adalahhakim pidana, hakim perdata, hakim pada penuntut umum dan penyidik.
Hal-hal yang harus diperhatikan untuk permohonan VeR, yaitu:
a. Permohonan harus dilakukan secara tertulis, Permohonan Visum et Repertumharus
dilakukan secara tertulis oleh pihak-pihak yang diperkenankan.
b. Permohonan Visum et Repertum harus diserahkan oleh penyidik bersamaan dengan
korban, tersangka dan juga barang bukti kepada dokter ahli kedokteran kehakiman.
Pada skenarion dibuatka surat kematian untuk dapat memproses administrasi bagi WNA
yang dapat di serakan ke kementrian perhubungan atau kantor imigran. Surat kematian atau surat
keterangan kematian merupakan surat yang menyatakan tentangmeninggalnya seseorang dengan
identitas tertentu, tanpa menyebutkan sebab kematiannya.Surat kematian tidak boleh dibuat pada
orang yang meninggal diduga akibat peristiwa pidana jika tanpa pemeriksan kedokteran forensic
terlebih dahulu. Surat KeteranganKematian ada 2 macam, yaitu:
a. Surat Keterangan Kematian Biasa (Ordinary Death Certificate). Surat ini mencatat
kematian seseorang yang meninggal secara alamiah, yang tidak berhubungan dengan
suatu kekerasan, tetapi dibawah pengawasan dokter.
b. Surat Keterangan Kematian yang dikeluarkan oleh dokter forensic (Medical Examiner’s
Death Certificate).
Berdasarkan dari tata cara pengeluaran surat kematian terdapat dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan nomor 15 tahun 2010 tentang pelaporan kematian dan
penyebab kematian dan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) bab 1 pasal 7. Dalam
peraturan tersebut mengatakan bahwa setiap rumah sakit harus memenuhi syarat dan peraturan
dalam mengeluarkan surat keterangan kematian. Surat keterangan kematian yang dikeluarkan
olek pihak rumah sakit harus mendapat pertanggungjawaban oleh dokter yang memeriksa dan
menyatakan jenazah telah meninggal dunia dengan menandatangani surat keterangan kematian
tersebut
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mediko legal adalah Bidang interdisipliner antara ilmu kesehatan/kedokteran dengan
ilmu hokum. Adalah bentuk pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga medis dengan
menggunakan ilmu dan teknologi kedokteran atas dasar kewenangan yang dimiliki untuk
kepentingan hukum dan untuk melaksanakan peraturan yang berlaku. Masalah Mediko Legal
adalah kejadian/kasus medis, masalah etik/disiplin yang berpotensi menjadi masalah hukum
perdata atau pidana dan ber implikasi pada rumah sakit sebagai identitas organisasi maupun
pegawai rumah sakit, termasuk pimpinan rumah sakit. Etika rumah sakit adalah norma yang
memuat kewajiban dan tanggung jawab moral dalam kehidupan dan perilaku setiap individu
yang bekerja di rumah sakit baik sebagai pribadi maupun mewakili rumah sakit dalam
menyelenggarakan pelayanan kesehatan paripurna (good corporate governance dan good
clinicical governance).
DAFTAR PUSTAKA
Henky. Yulianti, Kunthi dkk. 2017. Buku Panduan Belajar Koas Ilmu Kedokteran Forensikdan
Medikolegal. Bali: Udayana University Press.
Purwani, S. P. M. E. (2018). ASPEK MEDIKOLEGAL DALAM PELAYANANMASYARAKAT.
1–13.
RSUD Dr Soetomo Surabaya. 2019. Panduan Praktik Klinis Kedokteran Forensik dan
Medikolegal.
Parinduri, A. G. (2020). Buku Ajar Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
Iswara, R. A. F. W., Dewi, R. K., Maulia, S. R., Bagiastra, I. N., Rumancay, S., Rompas, E., ...
& Purwanti, T. (2023). Pengantar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Brough, A. L., Morgan, B., & Rutty, G. N. (2015). Postmortem computed tomography (PMCT)
and disaster victim identification. La radiologia medica, 120, 866-873.

Anda mungkin juga menyukai