Anda di halaman 1dari 16

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanatologi
2.1.1. Definisi Tanatologi
Tanatologi berasal dari kata thanatos (yang berhubungan dengan
kematian) dan logos (ilmu). Tanatologi adalah bagian dari Ilmu Kedokteran
Forensik yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kematian yaitu definisi
atau batasan mati, perubahan yang terjadi pada tubuh setelah terjadi kematian dan
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut (Idries, 1997).
Mati menurut ilmu kedokteran didefinisikan sebagai berhentinya fungsi
sirkulasi dan respirasi secara permanen (mati klinis). Dengan adanya
perkembangan teknologi ada alat yang bisa menggantikan fungsi sirkulasi dan
respirasi secara buatan. Oleh karena itu definisi kematian berkembang menjadi
kematian batang otak. Brain death is death. Mati adalah kematian batang otak
(Idries, 1997).

2.1.2. Manfaat
Ada tiga manfaat tanatologi ini, antara lain untuk dapat menetapkan hidup
atau matinya korban, memperkirakan lama kematian korban, dan menentukan
wajar atau tidak wajarnya kematian korban.
Menetapkan apakah korban masih hidup atau telah mati dapat kita ketahui
dari masih adanya tanda kehidupan dan tanda-tanda kematian. Tanda kehidupan
dapat kita nilai dari masih aktifnya siklus oksigen yang berlangsung dalam tubuh
korban. Sebaliknya, tidak aktifnya siklus oksigen menjadi tanda kematian (Al-
Fatih II, 2007).

2.1.3. Jenis Kematian


Agar suatu kehidupan seseorang dapat berlangsung, terdapat tiga sistem
yang mempengaruhinya. Ketiga sistem utama tersebut antara lain sistem
persarafan, sistem kardiovaskuler dan sistem pernapasan. Ketiga sistem itu sangat

Universitas Sumatera Utara


mempengaruhi satu sama lainnya, ketika terjadi gangguan pada satu sistem, maka
sistem-sistem yang lainnya juga akan ikut berpengaruh (Idries, 1997).
Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu mati somatis
(mati klinis), mati suri, mati seluler, mati serebral dan mati otak (mati batang
otak).
Mati somatis (mati klinis) ialah suatu keadaan dimana oleh karena sesuatu
sebab terjadi gangguan pada ketiga sistem utama tersebut yang bersifat menetap
(Idries, 1997).
Pada kejadian mati somatis ini secara klinis tidak ditemukan adanya
refleks, elektro ensefalografi (EEG) mendatar, nadi tidak teraba, denyut jantung
tidak terdengar, tidak ada gerak pernapasan dan suara napas tidak terdengar saat
auskultasi.
Mati suri (apparent death) ialah suatu keadaan yang mirip dengan
kematian somatis, akan tetapi gangguan yang terdapat pada ketiga sistem bersifat
sementara. Kasus seperti ini sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur,
tersengat aliran listrik dan tenggelam (Idries, 1997).
Mati seluler (mati molekuler) ialah suatu kematian organ atau jaringan
tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup
masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian
seluler pada tiap organ tidak bersamaan (Budiyanto, 1997).
Mati serebral ialah suatu kematian akibat kerusakan kedua hemisfer otak
yang irreversible kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem
lainnya yaitu sistem pernapasan dan kardiovaskuler masih berfungsi dengan
bantuan alat (Budiyanto, 1997).
Mati otak (mati batang otak) ialah kematian dimana bila telah terjadi
kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang irreversible, termasuk batang
otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati otak (mati batang otak) maka
dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi,
sehingga alat bantu dapat dihentikan (Budiyanto, 1997).
2.1.4. Cara Mendeteksi Kematian
Melalui fungsi sistem saraf, kardiovaskuler, dan pernapasan, kita bisa
mendeteksi hidup matinya seseorang.
Untuk mendeteksi tidak berfungsinya sistem saraf, ada lima hal yang harus
kita perhatikan yaitu tanda areflex, relaksasi, tidak ada pegerakan, tidak ada tonus,
dan elektro ensefalografi (EEG) mendatar/ flat.
Untuk mendeteksi tidak berfungsinya sistem kardiovaskuler ada enam hal
yang harus kita perhatikan yaitu denyut nadi berhenti pada palpasi, denyut jantung
berhenti selama 5-10 menit pada auskultasi, elektro kardiografi (EKG) mendatar/
flat, tidak ada tanda sianotik pada ujung jari tangan setelah jari tangan korban kita
ikat (tes magnus), daerah sekitar tempat penyuntikan icard subkutan tidak
berwarna kuning kehijauan (tes icard), dan tidak keluarnya darah dengan pulsasi
pada insisi arteri radialis.
Untuk mendeteksi tidak berfungsinya sisteim pernapasan juga ada
beberapa hal yang harus kita perhatikan, antara lain tidak ada gerak napas pada
inspeksi dan palpasi, tidak ada bising napas pada auskultasi, tidak ada gerakan
permukaan air dalam gelas yang kita taruh diatas perut korban pada tes, tidak ada
uap air pada cermin yang kita letakkan didepan lubang hidung atau mulut korban,
serta tidak ada gerakan bulu ayam yang kita letakkan didepan lubang hidung atau
mulut korban (Modi, 1988).

2.1.5. Tanda Kematian


Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada
seseorang berupa tanda kematian yang perubahannya biasa timbul dini pada saat
meninggal atau beberapa menit kemudian. Perubahan tersebut dikenal sebagai
tanda kematian yang nantinya akan dibagi lagi menjadi tanda kematian pasti dan
tanda kematian tidak pasti.
A. Tanda kematian tidak pasti
1. Pernapasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit.
2. Terhentinya sirkulasi yang dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak
teraba.
3. Kulit pucat.
4. Tonus otot menghilang dan relaksasi.
5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah
kematian.
6. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang
masih dapat dihilangkan dengan meneteskan air mata (Budiyanto, 1997).
B. Tanda kematian pasti
1. Livor mortis
Nama lain livor mortis ini antara lain lebam mayat, post mortem
lividity, post mortem hypostatic, post mortem sugillation, dan vibices.
Livor mortis adalah suatu bercak atau noda besar merah kebiruan
atau merah ungu (livide) pada lokasi terendah tubuh mayat akibat
penumpukan eritrosit atau stagnasi darah karena terhentinya kerja
pembuluh darah dan gaya gravitasi bumi, bukan bagian tubuh mayat yang
tertekan oleh alas keras.
Bercak tersebut mulai tampak oleh kita kira-kira 20-30 menit pasca
kematian klinis. Makin lama bercak tersebut makin luas dan lengkap,
akhirnya menetap kira-kira 8-12 jam pasca kematian klinis (Idries, 1997).
Sebelum lebam mayat menetap, masih dapat hilang bila kita
menekannya. Hal ini berlangsung kira-kira kurang dari 6-10 jam pasca
kematian klinis. Juga lebam masih bisa berpindah sesuai perubahan posisi
mayat yang terakhir. Lebam tidak bisa lagi kita hilangkan dengan
penekanan jika lama kematian klinis sudah terjadi kira-kira lebih dari 6-10
jam.
Ada 4 penyebab bercak makin lama semakin meluas dan menetap,

yaitu :

1. Ekstravasasi dan hemolisis sehingga hemoglobin keluar.


2. Kapiler sebagai bejana berhubungan.
3. Lemak tubuh mengental saat suhu tubuh menurun.
4. Pembuluh darah oleh otot saat rigor mortis.
Livor mortis dapat kita lihat pada kulit mayat. Juga dapat kita
temukan pada organ dalam tubuh mayat. Masing-masing sesuai dengan
posisi mayat.
Lebam pada kulit mayat dengan posisi mayat terlentang, dapat kita
lihat pada belakang kepala, daun telinga, ekstensor lengan, fleksor tungkai,
ujung jari dibawah kuku, dan kadang-kadang di samping leher. Tidak ada
lebam yang dapat kita lihat pada daerah skapula, gluteus dan bekas tempat
dasi.
Lebam pada kulit mayat dengan posisi mayat tengkurap, dapat kita
lihat pada dahi, pipi, dagu, bagian ventral tubuh, dan ekstensor tungkai.
Lebam pada kulit mayat dengan posisi tergantung, dapat kita lihat pada
ujung ekstremitas dan genitalia eksterna.
Lebam pada organ dalam mayat dengan posisi terlentang dapat kita
temukan pada posterior otak besar, posterior otak kecil, dorsal paru-paru,
dorsal hepar, dorsal ginjal, posterior dinding lambung, dan usus yang
dibawah (dalam rongga panggul).
Ada tiga faktor yang mempengaruhi livor mortis yaitu volume
darah yang beredar, lamanya darah dalam keadaan cepat cair dan warna
lebam.
Volume darah yang beredar banyak menyebabkan lebam mayat
lebih cepat dan lebih luas terjadi. Sebaliknya lebih lambat dan lebih
terbatas penyebarannya pada volume darah yang sedikit, misalnya pada
anemia.
Ada lima warna lebam mayat yang dapat kita gunakan untuk
memperkirakan penyebab kematian yaitu (1) warna merah kebiruan
merupakan warna normal lebam, (2) warna merah terang menandakan
keracunan CO, keracunan CN, atau suhu dingin, (3) warna merah gelap
menunjukkan asfiksia, (4) warna biru menunjukkan keracunan nitrit dan
(5) warna coklat menandakan keracunan aniline (Spitz, 1997).
Interpretasi livor mortis dapat diartikan sebagai tanda pasti
kematian, tanda memperkirakan saat dan lama kematian, tanda
memperkirakan penyebab kematian dan posisi mayat setelah terjadi lebam
bukan pada saat mati.
Livor mortis harus dapat kita bedakan dengan resapan darah akibat
trauma (ekstravasasi darah). Warna merah darah akibat trauma akan
menempati ruang tertentu dalam jaringan. Warna tersebut akan hilang jika
irisan jaringan kita siram dengan air (Mason, 1983).

2. Kaku mayat (rigor mortis)


Kaku mayat atau rigor mortis adalah kekakuan yang terjadi pada
otot yang kadang-kadang disertai dengan sedikit pemendekan serabut otot,
yang terjadi setelah periode pelemasan/ relaksasi primer; hal mana
disebabkan oleh karena terjadinya perubahan kimiawi pada protein yang
terdapat dalam serabut-serabut otot (Gonzales, 1954).
a. Cadaveric spasme
Cadaveric spasme atau instantaneous rigor adalah suatu keadaan
dimana terjadi kekakuan pada sekelompok otot dan kadang-kadang
pada seluruh otot, segera setelah terjadi kematian somatis dan tanpa
melalui relaksasi primer (Idries, 1997).
b. Heat Stiffening
Heat Stiffening adalah suatu kekakuan yang terjadi akibat suhu tinggi,
misalnya pada kasus kebakaran (Idries, 1997).
c. Cold Stiffening
Cold Stiffening adalah suatu kekakuan yang terjadi akibat suhu
rendah, dapat terjadi bila tubuh korban diletakkan dalam freezer, atau
bila suhu keliling sedemikian rendahnya, sehingga cairan tubuh
terutama yang terdapat sendi-sendi akan membeku (Idries, 1997).

3. Penurunan suhu tubuh (algor mortis)


Algor mortis adalah penurunan suhu tubuh mayat akibat
terhentinya produksi panas dan terjadinya pengeluaran panas secara terus-
menerus. Pengeluaran panas tersebut disebabkan perbedaan suhu antara
mayat dengan lingkungannya. Algor mortis merupakan salah satu
perubahan yang dapat kita temukan pada mayat yang sudah berada pada
fase lanjut post mortem.
Pada beberapa jam pertama, penurunan suhu terjadi sangat lambat
dengan bentuk sigmoid. Hal ini disebabkan ada dua faktor, yaitu masih
adanya sisa metabolisme dalam tubuh mayat dan perbedaan koefisien
hantar sehingga butuh waktu mencapai tangga suhu.
Ada sembilan faktor yang mempengaruhi cepat atau lamanya
penurunan suhu tubuh mayat, yaitu :
1. Besarnya perbedaan suhu tubuh mayat dengan lingkungannya.
2. Suhu tubuh mayat saat mati. Makin tinggi suhu tubuhnya, makin lama
penurunan suhu tubuhnya.
3. Aliran udara makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat.
4. Kelembaban udara makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat.
5. Konstitusi tubuh pada anak dan orang tua makin mempercepat penurunan
suhu tubuh mayat.
6. Aktivitas sebelum meninggal.
7. Sebab kematian, misalnya asfiksia dan septikemia, mati dengan suhu
tubuh tinggi.
8. Pakaian tipis makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat.
9. Posisi tubuh dihubungkan dengan luas permukaan tubuh yang terpapar.
Penilaian algor mortis dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut, antara lain :
1. Lingkungan sangat mempengaruhi ketidakteraturan penurunan suhu tubuh
mayat.
2. Tempat pengukuran suhu memegang peranan penting.
3. Dahi dingin setelah 4 jam post mortem.
4. Badan dingin setelah 12 jam post mortem.
5. Suhu organ dalam mulai berubah setelah 5 jam post mortem.
6. Bila korban mati dalam air, penurunan suhu tubuhnya tergantung dari
suhu, aliran, dan keadaan airnya.
0
7. Rumus untuk memperkirakan berapa jam sejak mati yaitu (98,4 F - suhu
0 0
rectal F) : 1,5 F (Gonzales, 1954).

4. Pembusukan
Pembusukan mayat nama lainnya dekomposisi dan putrefection.
Pembusukan mayat adalah proses degradasi jaringan terutama protein
akibat autolisis dan kerja bakteri pembusuk terutama Klostridium welchii.
Bakteri ini menghasilkan asam lemak dan gas pembusukan berupa H 2S,
HCN, dan AA. H2S akan bereaksi dengan hemoglobin (Hb) menghasilkan
HbS yang berwarna hijau kehitaman. Syarat terjadinya degradasi jaringan
yaitu adanya mikroorganisme dan enzim proteolitik.
Proses pembusukan telah terjadi setelah kematian seluler dan baru
tampak oleh kita setelah kira-kira 24 jam kematian. Kita akan melihatnya
pertama kali berupa warna kehijauan (HbS) di daerah perut kanan bagian
bawah yaitu dari sekum (caecum). Lalu menyebar ke seluruh perut dan
dada dengan disertai bau busuk.
Ada 17 tanda pembusukan, yaitu wajah dan bibir membengkak,
mata menonjol, lidah terjulur, lubang hidung dan mulut mengeluarkan
darah, lubang lainnya keluar isinya seperti feses (usus), isi lambung, dan
partus (gravid), badan gembung, bulla atau kulit ari terkelupas, aborescent
pattern/ marbling yaitu vena superfisialis kulit berwarna kehijauan,
pembuluh darah bawah kulit melebar, dinding perut pecah, skrotum atau
vulva membengkak, kuku terlepas, rambut terlepas, organ dalam
membusuk, dan ditemukannya larva lalat.
Organ dalam yang cepat membusuk antara lain otak, lien, lambung,
usus, uterus gravid, uterus post partum, dan darah. Organ yang lambat
membusuk antara lain paru-paru, jantung, ginjal dan diafragma. Organ
yang paling lambat membusuk antara lain kelenjar prostat dan uterus non
gravid.
Larva lalat dapat kita temukan pada mayat kira-kira 36-48 jam
pasca kematian. Berguna untuk memperkirakan saat kematian dan
penyebab kematian karena keracunan. Saat kematian dapat kita perkirakan
dengan cara mengukur panjang larva lalat. Penyebab kematian karena
racun dapat kita ketahui dengan cara mengidentifikasi racun dalam larva
lalat.
Ada sembilan faktor yang mempengaruhi cepat-lambatnya
pembusukan mayat, yaitu :
1. Mikroorganisme. Bakteri pembusuk mempercepat
pembusukan.
0
2. Suhu optimal yaitu 21-37 C mempercepat pembusukan.
3. Kelembaban udara yang tinggi mempercepat pembusukan.
4. Umur. Bayi, anak-anak dan orang tua lebih lambat terjadi
pembusukan.
5. Konstitusi tubuh. Tubuh gemuk lebih cepat membusuk
daripada tubuh kurus.
6. Sifat medium. Udara : air : tanah (1:2:8).
7. Keadaan saat mati. Oedem mempercepat pembusukan.
Dehidrasi memperlambat pembusukan.
8. Penyebab kematian. Radang, infeksi, dan sepsis mempercepat
pembusukan. Arsen, stibium dan asam karbonat memperlambat
pembusukan.
9. Seks. Wanita baru melahirkan (uterus post partum) lebih cepat
mengalami pembusukan.
Pada pembusukan mayat kita juga dapat menginterpretasikan suatu
kematian sebagai tanda pasti kematian, untuk menaksir saat kematian,
untuk menaksir lama kematian, serta dapat membedakannya dengan bulla
intravital (Al-Fatih II, 2007).
Tabel 2.1. Perbedaan bulla intravital dan bulla pembusukan

Bulla Intravital Perbedaan Bulla pembusukan

Kecoklatan Warna kulit ari Kuning

Tinggi Kadar albumin & klor Rendah atau tidak ada


bulla

Hiperemis Dasar bulla Merah pembusukan

Intraepidermal Jaringan yang terangkat Antara epidermis &


dermis

Ada Reaksi jaringan & Tidak ada


respon darah

5. Adipocere (lilin mayat)


Adipocere adalah suatu keadaan dimana tubuh mayat mengalami
hidrolisis dan hidrogenisasi pada jaringan lemaknya, dan hidrolisis ini
dimungkinkan oleh karena terbentuknya lesitinase, suatu enzim yang
dihasilkan oleh Klostridium welchii, yang berpengaruh terhadap jaringan
lemak.
Untuk dapat terjadi adipocere dibutuhkan waktu yang lama,
sedikitnya beberapa minggu sampai beberapa bulan dan keuntungan
adanya adipocere ini, tubuh korban akan mudah dikenali dan tetap
bertahan untuk waktu yang sangat lama sekali, sampai ratusan tahun
(Idries, 1997).

6. Mummifikasi
Mummifikasi dapat terjadi bila keadaan lingkungan menyebabkan
pengeringan dengan cepat sehingga dapat menghentikan proses
pembusukan. Jaringan akan menjadi gelap, keras dan kering. Pengeringan
akan mengakibatkan menyusutnya alat-alat dalam tubuh, sehingga tubuh
akan menjadi lebih kecil dan ringan. Untuk dapat terjadi mummifikasi
dibutuhkan waktu yang cukup lama, beberapa minggu sampai beberapa
bulan; yang dipengaruhi oleh keadaan suhu lingkungan dan sifat aliran
udara (Idries, 1997).

2.2. Tenggelam
Tenggelam adalah penyebab signifikan kecacatan dan kematian.
Tenggelam telah didefenisikan sebagai kematian sebelumnya sekunder untuk
sesak napas sementara terbenam dalam suatu cairan, biasanya air, atau dalam
waktu 24 jam perendaman. Pada Kongres Dunia 2002 yang diadakan di
Amsterdam, sekelompok ahli menyarankan sebuah definisi konsensus baru untuk
tenggelam dalam rangka mengurangi kebingungan atas jumlah istilah dan definisi
(> 20) merujuk kepada proses ini yang telah muncul dalam literatur. Grup yang
percaya bahwa definisi yang seragam akan memungkinkan analisa lebih akurat
dan perbandingan studi, memungkinkan peneliti untuk menarik kesimpulan lebih
bermakna dari mengumpulkan data, dan meningkatkan kemudahan kegiatan
surveilans dan pencegahan (Shepherd, 2009).

2.2.1. Definisi Tenggelam


Secara definisi tenggelam diartikan sebagai suatu keadaan tercekik dan
mati yang disebabkan oleh terisinya paru dengan air atau bahan lain atau cairan
sehingga pertukaran gas menjadi tidak mungkin. Sederhananya, tenggelam adalah
merupakan akibat dari terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh ke dalam cairan
(Idries, 1997).

2.2.2. Jenis Tenggelam


Tenggelam dibagi menjadi beberapa jenis antara lain (A) wet drowning,
(B) dry drowning, (C) secondary drowning, dan (D) the immersion
syndrome (cold water drowning) (Modi, 1988).
Wet drowning adalah kematian tenggelam akibat terlalu banyaknya air
yang terinhalasi. Pada kasus wet drowning ada tiga penyebab kematian yang
terjadi, yaitu akibat asfiksia, fibrilasi ventrikel pada kasus tenggelam di air tawar,
dan edema paru pada kasus tenggelam di air asin.
Dry drowning adalah suatu kematian tenggelam dimana air yang
terinhalasi sedikit. Penyebab kematian pada kasus ini sendiri dikarenakan
terjadinya spasme laring yang menimbulkan asfiksia dan terjadinya refleks vagal,
cardiac arrest, atau kolaps sirkulasi (Modi, 1988).
Secondary drowning adalah suatu keadaan dimana terjadi gejala beberapa
hari setelah korban tenggelam (dan diangkat dari dalam air) dan korban meninggal
akibat komplikasi.
Immersion drowning adalah suatu keadaan dimana korban tiba-tiba
meninggal setelah tenggelam dalam air dingin akibat refleks vagal. Pada
umumnya alkohol dan makan terlalu banyak merupakan faktor pencetus pada
kejadian ini (Modi, 1988).

2.2.3. Pemeriksaan pada Kasus Tenggelam


1. Pemeriksaan luar
0
Penurunan suhu mayat, berlangsung cepat, rata-rata 5 F per menit.
Suhu tubuh akan sama dengan suhu lingkungan dalam waktu 5 atau 6 jam.
Lebam mayat, akan tampak jelas pada dada bagian depan, leher
dan kepala. Lebam mayat berwarna merah terang yang perlu dibedakan
dengan lebam mayat yang terjadi pada keracunan CO.
Pembusukan sering tampak, kulit berwarna kehijauan atau merah
gelap. Pada pembusukan lanjut tampak gelembung-gelembung
pembusukan, terutama bagian atas tubuh, dan skrotum serta penis pada
pria dan labia mayora pada wanita, kulit telapak tangan dan kaki
mengelupas.
Gambaran kulit angsa (goose-flesh, cutis anserina), sering
dijumpai; keadaan ini terjadi selama interval antara kematian somatik dan
seluler, atau merupakan perubahan post mortal karena terjadinya rigor
mortis. Cutis anserina tidak mempunyai nilai sebagai kriteria diagnostik.
Busa halus putih yang berbentuk jamur (mushroom-like mass)
tampak pada mulut atau hidung atau keduanya. Terbentuknya busa halus
tersebut adalah masuknya cairan ke dalam saluran pernapasan merangsang
terbentuknya mukus, substansi ini ketika bercampur dengan air dan
surfaktan dari paru-paru dan terkocok oleh karena adanya upaya
pernapasan yang hebat. Pembusukan akan merusak busa tersebut dan
terbentuknya pseudofoam yang berwarna kemerahan yang berasal dari
darah dan gas pembusukan.
Perdarahan berbintik (petechial haemmorrhages), dapat ditemukan
pada kedua kelopak mata, terutama kelopak mata bagian bawah.
Pada pria genitalianya dapat membesar, ereksi atau semi-ereksi.
Namun yang paling sering dijumpai adalah semi-ereksi.
Pada lidah dapat ditemukan memar atau bekas gigitan, yang
merupakan tanda bahwa korban berusaha untuk hidup, atau tanda sedang
terjadi epilepsi, sebagai akibat dari masuknya korban ke dalam air.
Cadaveric spasme, biasanya jarang dijumpai, dan dapat diartikan
bahwa berusaha untuk tidak tenggelam, sebagaimana sering didapatkannya
dahan, batu atau rumput yang tergenggam, adanya cadaveric spasme
menunjukkan bahwa korban masih dalam keadaan hidup pada saat
terbenam.
Luka-luka pada daerah wajah, tangan dan tungkai bagian depan
dapat terjadi akibat persentuhan korban dengan dasar sungai, atau terkena
benda-benda di sekitarnya; luka-luka tersebut seringkali mengeluarkan
darah, sehingga tidak jarang memberi kesan korban dianiaya sebelum
ditenggelamkan.
Pada kasus bunuh diri dimana korban dari tempat yang tinggi
terjun ke sungai, kematian dapat terjadi akibat benturan yang keras
sehingga menyebabkan kerusakan pada kepala atau patahnya tulang leher.
Bila korban yang tenggelam adalah bayi, maka dapat dipastikan
bahwa kasusnya merupakan kasus pembunuhan. Bila seorang dewasa
ditemukan mati dalam empang yang dangkal, maka harus dipikirkan
kemungkinan adanya unsur tindak pidana, misalnya setelah diberi racun
korban dilempar ke tempat tersebut dengan maksud mengacaukan
penyidikan (Idries, 1997).
2. Pemeriksaan dalam
Untuk sebagian kasus asfiksia merupakan penyebab umum
terjadinya kematian ini. Hal tersebut dikarenakan air yang masuk ke paru-
paru akan bercampur dengan udara dan lendir sehingga menghasilkan
buih-buih halus yang memblok udara di vesikula. Dalam beberapa kasus,
kematian dapat terjadi dari asfiksia obstruktif yang juga dikenal sebagai
tenggelam kering yang disebabkan oleh kejang laring yang dibentuk oleh
sejumlah kecil air yang memasuki laring. Pada beberapa kasus lainnya air
tidak masuk ke paru-paru sehingga tanda-tanda klasik tenggelam tidak
dapat kita temukan (Modi, 1988)
Sebelum kita melakukan pemeriksaan dalam pada korban
tenggelam, kita harus memperhatikan apakah mayat korban tersebut sudah
dalam keadaan pembusukan lanjut atau belum. Apabila keadaan mayat
telah mengalami pembusukan lanjut, maka pemeriksaan dan pengambilan
kesimpulan akan menjadi lebih sulit.
Pemeriksaan terutama ditujukan pada sistem pernapasan, busa
halus putih dapat mengisi trakhea dan cabang-cabangnya, air juga dapat
ditemukan, demikian pula halnya dengan benda-benda asing yang ikut
terinhalasi bersama air.
Benda asing dalam trakhea dapat tampak secara makroskopik
misalnya pasir, lumpur, binatang air, tumbuhan air dan sebagainya.
Sedangkan yang tampak secara mikroskopik diantaranya telur cacing dan
diatome (Idries, 1997).
Diatome adalah sejenis ganggang yang mempunyai dinding dari
silikat. Silikat ini tahan terhadap pemanasan dan asam keras. Diatome
dijumpai di air tawar, air laut, sungai, sumur, dan lain-lain.
Pada korban mati tenggelam diatome akan masuk ke dalam saluran
pernafasan dan saluran pencernaan, karena ukurannya yang sangat kecil, ia
di absorpsi dan mengikuti aliran darah. Diatome ini dapat sampai ke hati,
paru, otak, ginjal, dan sumsum tulang. Bila diatome positif berarti korban
masih hidup sewaktu tenggelam.
Oleh karena banyak terdapat di alam dan tergantung musim, maka
tidak ditemukannya diatome tidak dapat menyingkirkan bahwa korban
bukan mati tenggelam. Relevansi diatome terbatas pada tenggelam dengan
mekanisme asfiksia.
Cara pemeriksaan diatome adalah :
1. Ambil jaringan paru sebanyak 150-200 gram, bersihkan lalu masukkan
ke dalam tabung Erlenmeyer, masukkan H2SO4 pekat sampai menutup
seluruh jaringan paru dan biarkan selama 24 jam sehingga seluruh
jaringan paru hancur dan seperti bubur hitam.
2. Panaskan dengan api yang kecil sampai mendidih sehingga semuanya
benar-benar hancur.
3. Tuangkan ke dalamnya beberapa tetes HNO 3 pekat, sampai warnanya
kuning jernih.
4. Cairan disentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm.
5. Sedimennya dicuci dengan akuades kemudian disentrifuge lagi.
Sedimennya dilihat dibawah mikroskop. Periksalah kerangka diatome
yang berupa sel-sel yang cerah dengan dinding bergaris-garis bentuk
bulat, panjang, dan lain-lain (Modi, 1988).
Pleura juga dapat kita temukan pada pemeriksaan kasus ini. Pleura
yang ditemukan dapat berwarna kemerahan dan terdapat bintik-bintik
perdarahan, perdarahan ini dapat terjadi karena adanya kompresi terhadap
septum inter alveoli atau oleh karena terjadinya fase konvulsi akibat
kekurangan oksigen.
Bercak perdarahan yang besar (diameter 3-5 cm), terjadi karena
robeknya partisi interalveolar dan sering terlihat di bawah pleura. Bercak
ini disebut bercak Paltouf yang ditemukan pada tahun 1882 dan diberi
nama sesuai dengan nama yang pertama mencatat kelainan tersebut.
Bercak paltouf berwarna biru kemerahan dan banyak terlihat pada
bagian bawah paru-paru, yaitu pada permukaan anterior dan permukaan
antar bagian paru-paru. (Spitz, 1997).
Kongesti pada laring merupakan kelainan yang berarti, paru-paru
biasanya sangat mengembang, seringkali menutupi perikardium dan pada
permukaan tampak adanya jejas dari tulang iga, pada perabaan kenyal.
Edema dan kongesti paru-paru dapat sangat hebat sehingga
beratnya dapat mencapai 700-1000 gram, dimana berat paru-paru normal
adalah sekitar 250-300 gram (Williams, 1998).
Paru-paru pucat dengan diselingi bercak-bercak merah di antara
daerah yang berwarna kelabu. Pada pengirisan tampak banyak cairan
merah kehitaman bercampur buih keluar dari penampang tersebut, yang
pada keadaan paru-paru normal, keluarnya cairan bercampur busa tersebut
baru tampak setelah dipijat dengan dua jari. Gambaran paru-paru seperti
tersebut diatas dikenal dengan nama emphysema aquosum atau
emphysema hydroaerique.
Obstruksi pada sirkulasi paru-paru akan menyebabkan distensi
jantung kanan dan pembuluh vena besar dan keduanya penuh berisi darah
yang berwarna merah gelap dan cair, tidak ada bekuan (Idries, 1997).

Anda mungkin juga menyukai