THANATOLOGI
Pembimbing:
dr. Sani Tanzilah, Sp. FM
Disusun oleh:
Bob Muhammad (2016730023)
Dina Syafaati (2016730026)
Agustus 2020
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Kematian secara medis dan ilmiah, kematian merupakan proses di mana proses
metabolisme seluler di berbagai jaringan dan organ berhenti berfungsi dengan kecepatan
yang berbeda. Definisi kematian juga tercantum dalam undang-undang Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, pasal 117 yang berbunyi :
“Seseorang dikatakan mati apabila fungsi sistem jantung, sirkulasi, dan sistem pernafasan
terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila ada kematian batang otak telah
dapat dibuktikan ”.
Segala macam aspek yang berkaitan dengan mati, meliputi pengertian, cara – cara
melakukakan diagnosis, perubahan – perubahan sesudah mati serta untuk memastikan
kematian klinis, sebab kematian, saat kematian dan perkiraan cara kematian dipelajari
dalam tanatologi. Pada tanatologi dipelajari perubahan-perubahan pada manusia setelah
meninggal dunia. Perubahan – perubahan yang terjadi setelah kematian dibedakan
menjadi dua yaitu perubahan yang terjadi secara cepat (early) dan perubahan yang terjadi
secara lambat (late).
Kepentingan mempelajari tanatologi adalah untuk menentukan apakah seseorang
benar – sudah meningal atau belum, menetapkan waktu kematian, sebab kematian, cara
kematian, dan mengangkat atau mengambil organ untuk kepentingan donor atau
transplantasi dan untuk membedakan perubahan-perubahan yang terjadi post mortal
dengan kelainan-kelainan yang terjadi pada waktu korban masih hidup.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Thanatologi berasal dari kata thanatos yang berarti segala hal yang berhubungan
dengan kematian) dan logos yang berarti ilmu. Dalam definisi, Thanatologi merupakan
Ilmu Kedokteran Forensik, yang mempelajari tentang kematian dan perubahan-
perubahan yang terjadi setelah kematian, serta faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan-perubahan tersebut.
3. Berhentinya innervasi
Fungsi motorik dan sensorik berhenti, dapat dilihat dengan hilangnya semua
refleks pada tubuh tersebut. Subsidairy test yang dilakukan, dengan menguji reflek
motorik dan sensorik itu sendiri. Misalnya : refleks pupil, refleks cahaya, refleks
menelan atau batuk ketika tuba endo trakeal di dorong ke dalam,refleks
vestibuloookularis rangsangan air es yang di masukkan ke dalam telinga.
Aspek medikolegal :
1. Merupakan tanda pasti dari kematian.
2. Dapat memperkirakan lamanya kematian tersebut. Bila kematian di jumpai
dengan lebam mayat yang warnanya masih dapat menghilang karena
penekanan, maka kematian tersebut masih di bawah 6 jam.
3. Bisa membantu dalam menentukan posisi dari mayat saat kematian. Jika
mayat terletak pada posisi punggung dibawah, maka lebam mayat pertama
sekali terlihat pada bagian leher dan bahu, baru kemudian menyebar ke
punggung. Pada mayat dengan posisi tergantung, lebam mayat tampak pada
bagian tungkai dan lengan.
4. Dapat memperkirakan penyebab kematian. Pada beberapa kasus, warna dari
lebam mayat ini bisa lain dari pada umumnya, misalnya :
a. Kematian karena keracunan karbon monoksida, lebam mayat berwarna
merah cerah (bright red).
b. Pada keracunan asam hidrosianida, lebam mayat berwarna merah terang
atau merah jambu (cherry red).
c. Pada keracunan Potasium klorat, lebam mayat berwarna coklat (light
brown).
d. Pada keracunan fosfor, lebam mayat berwarna kebiruan lebih gelap.
e. Warna merah gelap menunjukkan asfiksia
f. Warna biru menunjukkan keracunan nitrit
g. Warna coklat menandakan keracunan aniline
Dan setelah 12 jam kaku mayat menjadi lengkap diseluruh tubuh, dan pada 12
jam berikutnya akan berangsur menghilang (setelah 24-36 jam).
Gambaran ini sangat jelas tampak pada abdomen, dada, dan bahu.
Kondisi ini akan berlangsung selama satu minggu pasca mati dengan kondisi
mayat berada di udara terbuka pada suhu 18-20°C. Kondisi ini akan timbul
lebih cepat pada suhu lingkungan optimal yaitu 26,5°C. Sesaat atau sebelum
timbulnya kondisi di atas, epidermis akan terkelupas atau membentuk
gelembung berisi cairan kemerahan berbau busuk. Rambut akan mudah
tercabut, dan kuku akan mudah terlepas. Gas yang terbentuk pada proses
pembusukan akan mengakibatkan perut tampak tegang.
1. Temperatur
2. Udara
3. Ruangan dan pakaian
4. Umur
5. Keadaan tubuh
6. Penyakit
1. Usia.
Mayat anak-anak dan orang tua lebih lambat terapung.
2. Bentuk tubuh.
Orang yang gemuk dan kuat, mayatnya cepat terapung. Mayat yang kurus
lebih lambat terapung.
3. Keadaan air.
Pada air yang jernih, pengapungan mayat lebih lambat terjadi dibandingkan
pada air kotor.
4. Cuaca.
Pada musin panas, pengapungan mayat 3 kali lebih cepat dibandingkan pada
musim dingin.
2) Adiposera
Adiposera adalah terbentuknya bahan yang berwarna keputihan, lunak,
atau berminyak seperti substansi lilin, berbau tengik yang terjadi di dalam
jaringan lunak pasca mati. Substansi ini berasal dari jaringan lemak tubuh yang
kadang-kadang muncul pada perubahan post mortem. Adiposere adalah
fenomena yang terjadi pada mayat yang tidak mengalami proses pembusukan
yang biasa. Melainkan mengalami pembentukan adiposere. Adiposere
merupakan subtansi yang mirip seperti lilin yang lunak, licin dan warnanya
bervariasi mulai dari putih keruh sampai coklat tua.
Adiposera terutama terdiri dari asam-asam lemak tak jenuh yang
terbentuk oleh hidrolisis lemak dan mengalami hidrogenisasi sehingga
terbentuk asam lemak jenuh pasca mati yang tercampur dengan sisa-sisa otot,
jaringan ikat, jaringan saraf yang termumifikasi. Adiposera dapat terbentuk di
sembarang lemak tubuh bahkan didalam hati, tetapi lemak superfisial yang
pertama kali terkena. Biasanya perubahan berbentuk bercak yang terlihat di
pipi, payudara atau bokong, bagian tubuh atau ekstrimitas. Waktu yang
dibutuhkan untuk membentuk adiposera sekitar 3-12 bulan pasca mati. Namun
penelitian terbaru menunjukkan bahwa adiposera dapat terbentuk dalam
rentang waktu yang lebih pendek.
Faktor-faktor yang mempermudah dan mempercepat terbentuknya
adiposera adalah kelembaban, lemak tubuh yang cukup, dan suhu yang hangat,
serta invasi bakteri endogen ke dalam jaringan pasca mati. Sedangkan yang
menghambat adalah air yang mengalir yang membuang elektrolit, dan udara
yang dingin.
Pengaruh lingkungan : Pada korban yang tenggelam di perairan hangat
maupun perairan dingin, proses pembentukan adiposera sering kali muncul.
Tapi pembentukan adiposera lebih cepat muncul di perairan hangat. Pada
perairan dingin adiposera terbentuk dalam 12 – 18 bulan, sementara pada
perairan hangat adiposera dapat muncul dalam rentang waktu 2 bulan saja.
Adiposere mengandung asam lemak bebas, yang dibentuk melalui proses
hidrolisa dan hidrogenasi setelah kematian disebut saponifikasi. Adanya enzim
bakteri dan air sangat penting untuk berlangsungnya proses tersebut. Dengan
demikian, maka adiposere biasanya terbentuk pada mayat yang terbenam
dalam air atau rawa-rawa. Lama pembentukan adiposere ini juga bervariasi,
mulai dari 1 minggu sampai 10 minggu.
Jangka waktu yang terkecil untuk pembentukan adiposere di daerah
tropis dimulai sesudah 1-3 minggu. Untuk perubahan seluruhnya pada orang
dewasa diperlukan 3-6 bulan bahkan sampai 12 bulan, tergantung tempat,
kelembaban, dan suhu sekitar. Warna keputihan dan bau tengik seprti bau
minyak kelapa. Dapat digunakan sebagai kepentingan identifikasi ataupun
pemeriksaan luka-luka, oleh karena proses pengawetan alami, meskipun
kematian telah lama.
3) Mumifikasi
Mumifikasi adalah proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang
menimbulkan pengeringan jaringan dan selanjutnya dapat menghentikan
pembusukan. Mayat mengalami mengalami pengawetan akibat proses
pengeringan dan penyusutan bagian-bagian tubuh. Kulit menjadi kering, keras
dan menempel pada tulang kerangka. Mayat menjadi lebih tahan dari
pembusukan sehingga sehingga masih jelas menunjukkan ciri-ciri seseorang.
Faktor penyebab terjadinya mumifikasi adalah
Suhu hangat,
Kelembaban yang rendah, kelembaban yang rendah akan menghambat
kerja bakteri, serta menjauhkan serangga, dan hewan-hewan predator lain
dari tubuh mayat. Kelembaban yang rendah atau dalam hal ini kondisi
yang kering akan mempercepat terjadinya proses penguapan cairan tubuh.
Jaringan berubah menjadi lebih keras dan kering, berwarna gelap, keriput,
dan tidak membusuk karena bakteri tidak dapat berkembang pada
lingkungan yang kering.
Aliran udara yang cukup.
Mumifikasi tidak hanya dapat terjadi di daerah kering dan panas seperti
digurun, namun juga bisa terjadi pada lingkungan yang membekukan seperti di
belahan bumi utara. Setengahnya dikarenakan kekeringan pada udara di daerah
tersebut, dan setengahnya lagi akibat dari penghambatan pertumbuhan bakteri.
Tampilan yang muncul pada mayat yang mengalami mumifikasi berupa
kondisi tubuh yang kering, kulit yang keriput terutama di bagian tulang pipi,
dagu,dada, dan panggul. Kulit menjadi berwarna coklat, kecuali timbul koloni
sekunder akibat jamur, mungkin akan menambahkan warna, putih, hijau,
ataupun kehitaman. Kulit dan jaringan di bawahnya menjadi keras, sehingga
diseksi pada autopsi akan lebih sulit. Kondisi organ dalam bervariasi,
tergantung lama mayat ditemukan sejak ia meninggal.
Fenomena ini terjadi pada daerah yang panas dan lembab, di mana mayat
dikuburkan tidak begitu dalam dan angin yang panas selalu bertiup sehingga
mempercepat penguapan cairan tubuh. Jangka waktu yang diperlukan sehingga
terjadi mumifikasi biasanya lama, bisa dalam waktu 3 bulan atau lebih, mayat
relatif masih utuh, maka identifikasi lebih mudah dilakukan. Begitu pula luka-
luka pada tubuh korban kadang masih dapat dikenal.
Tanda-tanda mummifikasi :
Dari kisaran waktu hidup lalat diatas, dapat diperkirakan waktu kematian mayat
yang dijumpai membusuk. Bila terdapat telur tampa larva, waktu kematian kurang dari 48
jam. Jika terdapat larva tanpa kepompong, waktu kematian kurang dari 5-6 hari. Jika
tedapat kepompong yang telah menetas menjadi lalat dewasa, waktu kematian lebih
kurang 11 hari.
Cara mengambil sampel larva. Ambil 40 ekor larva dari mayat dengan ukuran
yang berbeda.pisahkan 20 ekor unuk diukur panjang dan umurnya. Masukkan 20 ekor
larva yang lain bersama sedikit daging yang busuk, kedalam wadah untuk dibiakan dan
dikenal spesiesnya. Karena spesies lalat yang berbeda mempunyai kisaran hidup yang
berbeda. Tuliskan waktu dan tempat mayat dijumpai, waktu mayat diperiksa dan waktu
sampel larva diambil. Hal ini untuk memudahkan ahli entomologi forensik memberikan
penjelasan waktu kematian.
Dalam kasus tertentu, terutama yang berkaitan dengan pembunuhan dimana tidak
ada saksi diperlukan penentuan saat kmatian korban untuk mencari siapa yang mungkin
terlibat dalam peristiwa tersebut. Peneilitian berbasis perubahn fisik, kimia, biokimia,
histologi dan perubahan enzim telah banyak dilakukan tetapi belum ada cara atau metode
yang handal untuk menentukan lama kematian.
Ini disebabkan faktor yang mempengaruhi sangat banyak, baik dari pengaruh luar
tubuh (iklim, suhu, kelembapan,ruang terbuka atau tertutup, aliran udara) maupun dari
tubuh korban (jenis kelamin, umur, perawakan, gizi, penyakit, sebab kematian, dll).
Penentuan lama kematian secara kasar dengan menggunakan perubahan temperatur dan
kaku mayat dapat dipedomani tabel berikut.
Perkiraan saat kematian dengan cara lain. Beberapa petunjuk lain dapat juga
dipergunakan untuk membantu penentuan lama kematian.
a. Kekeruhan kornea
Sklera di kiri kanan kornea akan berwarna kecoklatan dalam beberapa jam
berbentuk segitiga dasar di tepi kornea (taches noires sclerotiuqes)
Kekeruhan kornea terjadi lapis demi lapis
Mata terbuka pada atmoser kering
- Kekeruhan yang mencapai lapisan lebih dalam tidak dapat dihilangkan
- Kekeruhan yang menetap terjadi ±6 jam pasca mati
Mata tertutup maupun terbuka
- Kornea menjadi keruh 10 -12 jam pasca mati
- Fundus tidak tampak jelas dalam beberapa jam
Tekanan bola mata menurun
Distorsi pupil pada penekanan bola mata
Tidak ada hubungan antara diameter pupil dengan lamanya mati
b. Retina
Berubah saat kematian hingga 15 jam pasca mati
Hingga 30 menit pasca mati tampak kekeruhan makula dan mulai memucatnya
discus optikus
Hingga 1 jam pasca mati tampak makula lebih pucat, dan tepinya tidak tajam lagi
2 jam pertama pasca mati, retina pucat dan daerah sekitar diskus menjadi kuning
- Warna kuning juga tampak disekitar makula yang menjadi lebih gelap
- Pola vaskular koroid yang tampak sebagi bercak –bercak latar belakang
merah dengan pola segmentasi yang jelas
±3 jam pasca mati menjadi kabur
±5 jam pasca mati menjadi homogen dan lebih pucat
±6 jam pasca mati, batas diskus menjadi kabur dan hanya pembuluh besar yang
mengalami segmentasi, dapat dilihat dengan latar belakang kuning kelabu
±7 -10 jam pasca mati, mencapai tepi retina dan batas diskus akan sangat kabur
±12 jam pasca mati, diskus hanya dapat dikenali dengan konvergensi beberapa
segmen pembuluh darah yang tersisa
±15 jam pasca mati, tidak ditemukan lagi gambaran pembuluh darah retina dan
diskus, hanya makula saja tampak coklat gelap
d. Perubahan rambut
Dengan mengingat bahwa kecepatan tumbuh rambut rata-rata 0.4 mm/hari, panjang
rambut kumis dan jenggot dapat dipergunakan untuk memperkirakan saat kematian. Cara
ini hanya dapat digunakan bagi pria yang mempunyai kebiasaan mencukur kumis atau
jenggotnya dan diketahui saat terakhir ia mencukur.
e. Pertumbuhan kuku
Sejalan dengan hal rambut tersebut di atas, pertumbuhan kuku yang diperkirakan
sekitar 0,1 mm per hari dapat digunakan untuk memperkirakan saat kematian bila dapat
diketahui saat terakhir yang bersangkutan memotong kuku.
f. Perubahan dalam cairan serebrospinal
Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14 mg% menunjukkan kematian belum
lewat 10 jam, kadar nitrogen non-protein kurang dari 80mg% menunjukkan kematian
belum 24 jam, kadar kreatin kurang dari 5 mg% dan 10 mg% masing- masing
menunjukkan kematian belum mencapai 10 jam dan 30 jam.
g. Cairan Vitreus
Dalam cairan vitreus terjadi peningkatan kadar Kalium yang cukup akurat untuk
memperkirakan saat kematian antara 24 hingga 100 jam pasca mati.
h. Reaksi supravital
Reaksi jaringan tubuh sesaat pasca mati klinis yang masih sama seperti reaksi
jaringan tubuh pada seseorang yang hidup. Beberapa uji dapat dilakukan terhadap mayat
yang masih segar, misalnya rangsang listrik masih dapat menimbulkan kontraksi otot
mayat hingga 90-120 menit pasca mati dan mengakibatkan sekresi kelenjar keringat
sampai 60-90 menit pasca mati, sedangkan trauma masih dapat menimbulkan perdarahan
bawah kulit sampai 1 jam pasca mati.
BAB III
KESIMPULAN
Secara medis, kematian merupakan suatu proses dimana fungsi dan metaboliseme sel
organ-organ internal tubuh terhenti. Dikenal beberapa istilah kematian, yaitu: mati somatis, mati
celluler, mati cerebral, dan mati batang otak.
Terdapat perubahan-perubahan setelah terjadinya kematian. Perubahan tersebut anara lain
perubahan dini dan perubahan lanjutan. Setelah beberapa waktu akan timbul tanda-tanda berupa
perubahan dini antara lain lebam mayat, kaku mayat, penurunan suhu tubuh, serta perubahan
lanjutan antara lain pembusukan, mumifikasi dan adiposere. Perubahan perubahan inin memiliki
kepentingan medico legal antara lain dapat memperkirakan waktu kematian, penyebab kematian,
dan cara kematian.
Selain itu,terdapat juga metode penentuan cara kematian terkini yaitu, berdasarkan
entomologi forensik,pengosongan isi lambung dan penelitian tulang. Namun, walaupun
dimanfaatkan semua sarana yang ada, penentuan saat kematian yang tepat adalah tidak mungkin
hanya untuk memperkirakan saat kematian yang mendekati ketepatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Knight, Bernard. 2016. Knight’s Forensic Pathology 4th Edition. New York: CRC Press.
2. Tjondroputranto, Handoko. 2001. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran
Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Dahlan S, Ilmu Kedokteran Forensik, Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum. Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang 2000, Hal 47-66.
4. Amir A, Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik USU, Edisi Ke-2, Medan 2005,Hal. 45-
71.
5. Modi’s Texbook of Medical Jurisprudence and Toxicologi, 1988, ed. 21 st, N.M. Tripathi
Private Limited, Bombay 1988, Hal 155-187.
6. Vincent J. Di Maio dan Dominick Di Maio, Forensic Pathology, CRC Series in Practical
Aspects Of Criminal and Forensic Investigation, New York City, Edisi Ke-2 Tahun 2001,
Hal 21-41..
7. Singh S. Ilmu Kedokteran Forensik. 2014. Hal: 46-82.
8. Singh A. Ilmu Kedokteran Kehakiman. 2010. Diktat. Hal: 12- 22.
9. Mistar. Penentuan Lama Kematian Dilihat Dari Keadaan Tulang. Hal: 1-6.
10. Puwanti, Summy Hastry. 2014. Imu Kedokteran Forensik Untuk Kepentingan
Penyidikan. Jakarta: Raya Komunikasindo