Anda di halaman 1dari 32

TUGAS FORENSIK

THANATOLOGI

Pembimbing:
dr. Sani Tanzilah, Sp. FM

Disusun oleh:
Bob Muhammad (2016730023)
Dina Syafaati (2016730026)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


RS DR HASAN SADIKIN BANDUNG
PENDIDIKAN DOKTER TAHAP PROFESI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT, dengan rahmat dan hidayah-
Nya tugas referat dengan topik tanatologi ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari terselesaikannya tugas referat ini tidak lepas dari bimbingan dan dukungan
yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada
dr. dr. Sani Tanzilah, Sp. FM yang telah membimbing penulis hingga tugas ini dapat selesai,
serta kedua orang tua dan teman-teman yang selalu mendukung dan memberi semangat.
Penulis menyadari tugas referat ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
kekurangan. Sehingga dengan segala kerendahan hati, penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun untuk memperbaiki tugas ini.
Penulis berharap tugas ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, serta semoga Allah
Subhanallahu Wata’ala membalas semua kebaikan dengan balasan yang terbaik. Aamiin Ya
Robbal Alamin.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Agustus 2020
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Kematian secara medis dan ilmiah, kematian merupakan proses di mana proses
metabolisme seluler di berbagai jaringan dan organ berhenti berfungsi dengan kecepatan
yang berbeda. Definisi kematian juga tercantum dalam undang-undang Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, pasal 117 yang berbunyi :
“Seseorang dikatakan mati apabila fungsi sistem jantung, sirkulasi, dan sistem pernafasan
terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila ada kematian batang otak telah
dapat dibuktikan ”.
Segala macam aspek yang berkaitan dengan mati, meliputi pengertian, cara – cara
melakukakan diagnosis, perubahan – perubahan sesudah mati serta untuk memastikan
kematian klinis, sebab kematian, saat kematian dan perkiraan cara kematian dipelajari
dalam tanatologi. Pada tanatologi dipelajari perubahan-perubahan pada manusia setelah
meninggal dunia. Perubahan – perubahan yang terjadi setelah kematian dibedakan
menjadi dua yaitu perubahan yang terjadi secara cepat (early) dan perubahan yang terjadi
secara lambat (late).
Kepentingan mempelajari tanatologi adalah untuk menentukan apakah seseorang
benar – sudah meningal atau belum, menetapkan waktu kematian, sebab kematian, cara
kematian, dan mengangkat atau mengambil organ untuk kepentingan donor atau
transplantasi dan untuk membedakan perubahan-perubahan yang terjadi post mortal
dengan kelainan-kelainan yang terjadi pada waktu korban masih hidup.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi
Thanatologi berasal dari kata thanatos yang berarti segala hal yang berhubungan
dengan kematian) dan logos yang berarti ilmu. Dalam definisi, Thanatologi merupakan
Ilmu Kedokteran Forensik, yang mempelajari tentang kematian dan perubahan-
perubahan yang terjadi setelah kematian, serta faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan-perubahan tersebut.

2.2. Klasifikasi Jenis Kematian


1. Mati somatis (mati klinis)
Kematian yang terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang
kehidupan, yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular dan sistem
pernapasan, yang menetap (irreversible). Secara klinis tidak ditemukan lagi
refleks-refleks tubuh, nadi tidak teraba (palpasi), denyut jantung tidak terdengar
(auskultasi), tidak ada gerak pernapasan (inspeksi), dan suara nafas tidak
terdengar juga (auskultasi).
2. Mati seluler (mati molekuler)
Kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah
kematian somatis. Kematian seluler, di mana jaringan dan sel-sel penyusunnya
mati yaitu sel atau jaringan tidak lagi berfungsi atau memiliki aktivitas metabolik,
terutama respirasi aerobik.
Kematian seluler mengikuti iskemia dan anoksia pasti terjadi akibat
kegagalan kardiorespirasi, tetapi ini lebih merupakan proses daripada peristiwa,
kecuali dalam keadaan yang sangat jarang dari kerusakan tubuh total yang hampir
seketika, seperti jatuh ke logam cair atau ledakan nuklir.
Daya tahan hidup masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda dalam
merespon ketiadaan oksigen, sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap organ
atau jaringan tidak bersamaan. Pengetahuan ini penting dalam transplantasi organ.
Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa susunan saraf pusat
mengalami mati seluler dalam waktu 4 menit, otot masih dapat dirangsang
(listrik) sampai kira-kira 2 jam pasca mati, dan meng-alami mati seluler setelah 4
jam, dilatasi pupil masih terjadi pada pemberian adrenalin 0,1% atau
penyuntikan sulfas atropin 1% dan fisostigmin 0.5% akan mengakibatkan
miosis hingga 2 jam pascamati. Kulit masih dapat berkeringat, sampai lebih
dari 8 jam pasca mati dengan cara menyuntikkan subkutan pilokarpin 2%
atau asetilkolin 20%, spermatozoa masih bertahan hidup beberapa hari dalam
epididimis, kornea masih dapat ditransplantasikan dan darah masih dapat
dipakai untuk transfusi sampai 6 jam pasca mati.

Perlu diketahui ada beberapa jenis kematian lainnya, seperti


a) Mati suri (suspended animation, apparent detah)
Terhentinya ketiga sistem penunjang kehidupan yaitu susunan saraf pusat,
sistem kardiovaskular dan sistem pernapasan yang ditentukan dengan alat
kedokteran sederhana. Dengan perelatan kedokteran canggih masih dapat
dibuktikan bahwa ketiga sistem tersebut masih berfungsi.
b) Mati serebral
Kerusakan kedua hemisfer otak yang ireversibel kecuali batang otak dan
serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem pernapasan dan
kardiovaskular masih berfungsi dengan bantuan alat.
c) Mati otak (mati batang otak)
Terjadi kerusakan pada seluruh isi neuronal intracranial yang ireversibel,
yang sudah meliputi batang otak dan serebelum. Dalam tahap ini, seseorang sudah
mati secara keseluruhan, dan tidak dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga alat
bantu dapat dihenikan.
2.3. Tanda-Tanda Kematian
1. Tanda kematian yang tidak pasti.
a. Terhentinya pernafasan, selama lebih dari 10 menit.
b. Terhentinya sirkulasi, selama 15 menit nadi karotis tidak teraba.
c. Kulit pucat, tetapi bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya, karena
mungkin terjadi spasme agonal sehingga wajah tampak kebiruan.
d. Tonus otot menghilang dan relaksasi. Relaksasi dari otot-otot wajah
menyebabkan kulit menimbul sehingga kadang-kadang membuat orang
menjadi tampak lebih muda. Kelemasan otot sesaat sesaat setelah kematian
disebut relaksasi primer. Hal ini mengakibatkan pendataran daerah – daerah
yang tertekan, misalnya daerah belikat dan bokong pada mayat yang terlentang.
e. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah
kematian. Segmen segmen tersebut bergerak ke arah tepi retina dan kemudian
menetap.
f. Penegeringan kornea, terjadi kekeruhan dalam waktu 10 menit yang masih
dapat dihilangkan dengan meneteskan air.

2. Tanda kematian yang pasti.


Sedangkan tanda-tanda kematian yang pasti, terjadi pada tingkat kematian
mollekuler, dimana jarak antara kematian somatik dan mati mollekuler tidak
serentak pada semua sel atau jaringan tubuh, bergantung dari kemampuan sel atau
jaringan dalam bertahan hidup dengan keterbatasan dan ketiadaan oksigen. Dan hal
ini menimbulkan perubahan-perubahan bentuk yang nyata pada tubuh seseorang
setelah kematian (post mortem). Berdasarkan teori tersebut, maka tanda-tanda
kematian yang pasti dapat dinyatakan, jika ditemukannya perubahan- perubahan
pada tubuh mayat sebagai berikut :
a. Perubahan temperature tubuh.
b. Lebam mayat.
c. Kaku mayat.
d. Proses pembusukan.
e. Adiposere.
f. Mumifikasi

2.4. Pemeriksaan Sederhana


Ada beberapa pemeriksaan (subsidairy test) yang dapat dilakukan untuk
memastikan kematian pada seseorang, disamping pemeriksaan fisik pada umumnya.
Pemeriksaan sederhana ini untuk menilai 3 sistem penunjang kehidupan, yaitu :
1. Terhentinya sirkulasi darah.
Dengan berhentinya jantung yang berdenyut, maka aliran darah dalam arteri juga
berhenti. Denyut nadi tidak dapat lagi diraba dan pada auskultasi juga tidak dapat
didengar bunyi jantung. Beberapa pemeriksaan subsidairy yang dapat memastikan
berhentinya sistem sirkulasi adalah sebagai berikut :
1. Test Magnus
Dengan mengikat salah satu ujung jari tangan/ kaki, yang akan menunjukkan
reaksi bengkak dan sianos pada orang hidup.
2. Test Diaphanous
Dengan cara menyenter telapak tangan, akan terlihat warna merah muda di pinggir
telapak tangan pada orang hidup.
3. Test Icard
Menyuntikkan larutan dari campuran 1 gram fluorescein dan 1 gram natrium
bicarbonas dalam 8 ml air secara subcutan. Jika pada orang yang masih hidup
warna kulit sekitarnya akan terlihat kehijauan. Pada orang yang sudah meninggal
dimana tidak ada lagi sirkulasi darah, hal diatas tidak akan terjadi.
4. Test Spointing
Dengan memotong arteri, maka darah masih memancar aktif pada orang hidup,
sementara pada orang mati mengalir pasif.
5. Test nail
Dengan menekan ujung kuku, bila dilakukan pada orang yang masih hidup, kuku
yang ditekan akan berwarna pucat dan kembali ke warna semula, setelah tekanan
dilepaskan. Tetapi warna pucat tidak berubah pada orang yang sudah mati.
2. Berhentinya pernafasan.
Henti nafas akan terjadi menyusul kematian. Hal ini dapat dibuktikan dengan
tidak adanya suara nafas pada bagian dada (auskultasi). Biasanya untuk memastikan
berhentinya fungsi pernafasan cukup hanya dengan auskultasi pada bagian dada.
Tetapi selain itu ada juga pemeriksaan subsidairy yang dapat dilakukan, antara lain :
1. Test Winslow
Secangkir cairan air raksa atau air diletakkan diatas bagian dada atau abdomen.
Pada orang yang masih hidup maka gerakan respirasi akan menunjukkan
gelombang pada cairan, yang bisa diamati dari pantulan cahaya pada cairan
tersebut.
2. Test Mirror
Cermin yang bersih ditempatkan pada rongga hidung seseorang. Jika orang
tersebut masih hidup, maka akan tampak berkas penguapan berupa kabut pada
cermin tersebut.
3. Test Feather
Dengan meletakkan sehelai bulu unggas di bawah lubang hidung, yang akan
berspon bila masih ada hembusan nafas.

3. Berhentinya innervasi
Fungsi motorik dan sensorik berhenti, dapat dilihat dengan hilangnya semua
refleks pada tubuh tersebut. Subsidairy test yang dilakukan, dengan menguji reflek
motorik dan sensorik itu sendiri. Misalnya : refleks pupil, refleks cahaya, refleks
menelan atau batuk ketika tuba endo trakeal di dorong ke dalam,refleks
vestibuloookularis rangsangan air es yang di masukkan ke dalam telinga.

2.5. Perubahan Pasca Kematian


Perubahan-perubahan tubuh yang terjadi setelah mati (post mortem), dapat dibagi
menjadi perubahan dini/ segera dan perubahan lanjut. Dalam perubahan dini, dapat
diklasifikasikan atas:
A. Perubahan Segera Pasca Kematian
1) Lebam mayat (Livor mortis)
Lebam mayat adalah suatu keadaan, dimana tubuh mayat mengalami
perubahan warna akibat terkumpulnya darah pada jaringan kulit dan subkutan
disertai, pelebaran pembuluh kapiler pada bagian tubuh yang letaknya rendah
oleh karena gaya grafitasi bumi. Keadaan ini memberi gambaran berupa warna
ungu kemerahan (reddisk blue).

Setelah seseorang yang meninggal, mayatnya menjadi suatu benda mati


sehingga darah akan berkumpul sesuai dengan (hukum gravitasi) di daerah yang
letaknya paling rendah dari tubuh. Aliran darah akan terus mengalir pada daerah
tersebut, sehingga pembuluh-pembuluh kapiler akan mengalami penekanan oleh
aliran darah tersebut, dan menyebabkan sel-sel darah ke luar dari kapiler menuju
sel-sel serta jaringan sekitar dan memberi kesan warna. Pada daerah lebam
mayat terkadang dijumpai bintik-bintik perdarahan (tardieu spots) akibat
pecahnya cabang-cabang kecil dari vena.
Lebam mayat ini akan mulai tampak sekitar 20-30 menit dan akan hilang
dengan penekanan dan berpindah pada perubahan posisi mayat. Kemudian
dalam waktu sekitar 8-12 jam, lebam mayat ini semakin meluas dan menetap
(setelah darah masuk ke jaringan), yang pada akhirnya akan membuat warna
kulit menjadi gelap (livid). Hal ini disebabkan karena timbunan sel darah dan
kekakuan otot serta dinding vascular. Berikut ini onset dan waku maksimal
terjadinya lebam mayat menurut beberapa referensi atau sumber.

Aspek medikolegal :
1. Merupakan tanda pasti dari kematian.
2. Dapat memperkirakan lamanya kematian tersebut. Bila kematian di jumpai
dengan lebam mayat yang warnanya masih dapat menghilang karena
penekanan, maka kematian tersebut masih di bawah 6 jam.
3. Bisa membantu dalam menentukan posisi dari mayat saat kematian. Jika
mayat terletak pada posisi punggung dibawah, maka lebam mayat pertama
sekali terlihat pada bagian leher dan bahu, baru kemudian menyebar ke
punggung. Pada mayat dengan posisi tergantung, lebam mayat tampak pada
bagian tungkai dan lengan.
4. Dapat memperkirakan penyebab kematian. Pada beberapa kasus, warna dari
lebam mayat ini bisa lain dari pada umumnya, misalnya :
a. Kematian karena keracunan karbon monoksida, lebam mayat berwarna
merah cerah (bright red).
b. Pada keracunan asam hidrosianida, lebam mayat berwarna merah terang
atau merah jambu (cherry red).
c. Pada keracunan Potasium klorat, lebam mayat berwarna coklat (light
brown).
d. Pada keracunan fosfor, lebam mayat berwarna kebiruan lebih gelap.
e. Warna merah gelap menunjukkan asfiksia
f. Warna biru menunjukkan keracunan nitrit
g. Warna coklat menandakan keracunan aniline

Berikut ini perbedaan lebam mayat dan memar.


2) Kaku mayat (Rigor mortis, Post mortem rigidity)
Kaku mayat adalah suatu keadaan dimana tubuh mayat mengalami
perubahan, berupa kekakuan oleh karena proses biokimiawi. Kaku mayat
dimulai sekitar 1-2 jam, setelah kematian (berhentinya 3 sistem dalam tubuh).

Dan setelah 12 jam kaku mayat menjadi lengkap diseluruh tubuh, dan pada 12
jam berikutnya akan berangsur menghilang (setelah 24-36 jam).

Proses kaku mayat dibagi dalam 3 tahap :


a. Periode relaksasi primer (flaksiditas primer)
Hal ini terjadi segera setelah kematian dan berlangsung selama 2-3 jam.
Seluruh otot tubuh mengalami relaksasi, dan bisa digerakkan ke segala arah.
Iritabilitas otot masih ada tetapi tonus otot menghilang. Pada kasus di mana
mayat letaknya berbaring rahang bawah akan jatuh dan kelopak mata juga
akan turun dan lemas.

b. Kaku mayat (rigor mortis)


Kaku mayat akan terjadi setelah sekitar 2-3 jam, setelah kematian
atau setelah fase relaksasi primer. Keadaan ini berlangsung setelah
terjadinya kematian tingkat sel, dimana aktivitas listrik otot tidak ada lagi.
Kaku mayat dipengaruhi oleh
a) Aktifitas fisik sebelum mati
Lebih cepat terjadi jika aktifitas meningkat sebelum kematian.
b) suhu tubuh dan lingkungan
Jika suhu tinggi, kaku mayat lebih cepat terjadi.
c) bentuk tubuh
Tubuh mayat urus lebih cepat mengalami kaku mayat dari pada tubuh
gemuk, mayat anak-anak lebih cepat dari dewasa.
Fenomena kaku mayat ini pertama sekali terjadi pada otot-otot mata,
bagian belakang leher, rahang bawah, wajah, bagian depan leher, dada,
abdomen bagian atas dan terakhir pada otot tungkai. Kaku mayat dapat
berlangsung lebih cepat yang disebabkan peningkatan kotraksi otot yang
abnormal, misalnya pada mayat yang tersengat listrik, keracunan striknin,
malnutrisi.
Mekanisme terjadinya kaku mayat, yaitu :
Berkaitan dengan adanya filament / serabut actin dan myosin yang
mempunyai sifat menyimpan glikogen, untuk menghasilkan energi. Energi
ini digunakan untuk mengubah ADP (adenosinediphosphatase) menjadi
ATP (adenosinetriphosphatase), selama masih ada ATP serabut actin dan
miosin tetap lentur dan masih dapat berkontraksi dan relaksasi. Reaksi ini
dapat terjadi bila, tubuh cukup oksigen. Bila cadangan glikogen habis, maka
energi tidak dapat terbentuk lagi, akan terjadi penimbunan ADP (tidak dapat
dirubah jadi ATP) dan penimbunan asam laktat, akibatnya actin dan myosin
menjadi masa seperti jelli yang kaku (stiffgel) dan akhirnya muncul keadaan
rigiditas. Reaksi biokimia terjadi serentak di seluruh otot tubuh, yang mulai
kaku otot kecil (mempunyai kandungan glikogen relatif sedikit). Akibat
kaku mayat ini seluruh tubuh menjadi kaku, otot memendek dan persendian
pada mayat akan terlihat dalam posisi sedikit fleksi. Keadaan ini
berlangsung selama 24-48 jam pada musim dingin dan 18-36 jam pada
musim panas. Disebabkan oleh karena otot tetap dalam keadaan hidrasi oleh
karena adanya ATP. Jika tidak ada oksigen, maka ATP akan terurai dan
akhirnya habis, sehingga menyebabkan penumpukan asam laktat dan
penggabungan aktinomiosin (protein otot).
c. Periode relaksasi sekunder

Berikut ini kondisi kekakuan yang mirip kaku mayat:


 Cadaveric spasm (instantaneous rigor) merupakan kekakuan otot yg
sangat kuat pada saat kematian dan menetap, tanpa didahului relaksasi
primer. Karena habisnya cadangan glikogen dan ATP yg bersifat lokal
akibat kelelahan atau emosi yg hebat sebelum meninggal

 Heat stiffening (koagulasi protein otot) merupakan kekakuan otot akibat


koagulasi protein otot oleh panas. Otot berwarna merah muda, kaku, tapi
rapuh (mudah robek). Serabut ototnya memendek sehingga menimbulkan
fleksi leher, siku, paha, lutut, membentuk sikap petinju (pugilistic
attitude).
 Cold stiffening (pembekuan cairan tubuh) adalah kekakuan akibat
lingkungan dingin sehingga terjadi pembekuan cairan tubuh termasuk
cairan sendi, pemadatan jaringan lemak subkutan & otot. Bila sendi
ditekuk akan terdengar bunyi pecahnya es dalam rongga sendi.

Kepentingan aspek medikolegal antara lain:


 Pada kasus bunuh diri, mungkin alat yang digunakan Pada kasus bunuh
diri, mungkin alat yang digunakan untuk tujuan bunuh diri masih berada
dalam untuk tujuan bunuh diri masih berada dalam genggaman.
genggaman.
 Pada kasus kematian karena tenggelam, mungkin pada Pada kasus
kematian karena tenggelam, mungkin pada tangan korban bisa terdapat
daun atau rumput. tangan korban bisa terdapat daun atau rumput. tangan
korban bisa terdapat daun atau rumput. tangan korban bisa terdapat daun
atau rumput.
 Pada kasus pembunuhan, pada gemgaman korban Pada kasus
pembunuhan, pada gemgaman korban mungkin bisa diperoleh sesuatu
yang memberi petunjuk mungkin bisa diperoleh sesuatu yang memberi
petunjuk untuk mencari pembunuhnya.

3) Perubahan temperatur tubuh (algor mortis)


Penurunan suhu adalah suatu keadaan dimana tubuh mayat mengalami
perubahan/ penurunan temperature, oleh karena penghantaran panas / temperatur
suhu tubuh mayat ke temperature sekitar melalui proses radiasi, konduksi dan
pancaran panas (proses perpindahan panas dari benda yang mempunyai
temperatur tinggi ke benda yang mempunyai temperatur rendah. Sehingga suhu
tubuh mayat dengan sekitar menjadi sama.
Keadaan ini terjadi karena, terhentinya metabolisme yang menghasilkan
panas (energi) dari tubuh mayat tersebut, oleh karena ketiadaan oksigen.
Penilaian untuk mengukur penurunan suhu tubuh, dilakukan dengan cara per
rectal (long chemical termometer).
Ada beberapa teori dalam menentukan lamanya kematian berdasarkan
penurunan temperatur tubuh mayat, yaitu bahwa dalam keadaan biasa tubuh
yang tertutup pakaian mengalami penurunan temperatur 2,50F atau 1,50C setiap
jam, pada enam jam pertama dan 1,6-20F atau 0,9-1,20C pada enam jam.

Perubahan temperatur tubuh mayat dipengaruhi oleh:


a. Suhu sekitar
b. Umur
c. Jenis kelamin
d. Gizi
e. Penutup tubuh
f. Ruangan
g. Penyakit
Mayat yang mati karena penyakit kronis, penurunan suhu tubuhnya lebih
cepat. Jika mati dengan demam akut, akan lebih lama penurunan suhu tubuhnya,
oleh karena terjadinya proses post mortem caloricity atau post mortem
glycogenolysis yaitu keadaan dimana tubuh mayat bukannya turun, malah naik
sesudah mati. Hal ini terjadi jika :
1. Jika sistem regulasi suhu tubuh terganggu sesaat sebelum kematian,
misalnya meninggal akibat sengatan matahari.
2. Jika terdapat aktivitas bakteri yang berlebihan, misalnya pada septikemia.
3. Adanya proses peningkatan suhu tubuh akibat kejang-kejang, misalnya pada
tetanus dan keracunan striknin.
Penurunan suhu tubuh mayat, juga dipengaruhi media lingkungan. Di media
air : udara : tanah adalah 4 : 2 : 1, artinya : Di media air (tenggelam)
penurunan suhu tubuh mayat Lebih cepat 4 kali dibanding di dalam tanah
(kubur).
Kepentingan aspek medikolegal antara lain:
1) Menetukan kematian yang pasti.
2) Memperkirakan lamanya kematian.
3) Memperkirakan keadaan lingkungan/ lokasi korban saat kematian
4) Mengarahkan penyebab kematian.

B. Perubahan Lanjutan Pasca Kematian


1) Dekomposisi / Putrefaction / Pembusukkan
Pembusukan ini merupakan serangkaian proses, dimulai dari autolisis
akibat dilepaskannya enzim pada jaringan sesaat setelah mati, sampai pada
pembusukan yang disebabkan oleh bakteri dan jamur dari usus dan lingkungan
lain di tubuh. Hewan predator, mulai dari belatung sampai mamalia juga bisa
dimasukkan dalam faktor-faktor penyebab pembusukan.
Pembusukan adalah perubahan terakhir yang terjadi (late post-mortem
periode) pada tubuh mayat setelah kematian, dimana terjadi pemecahan protein
komplek menjadi protein yang lebih sederhana disertai timbulnya gasgas
pembusukan yang bau dan terjadinya perubahan warna.
Segera setelah seseorang meninggal, bakteri yang normal terdapat pada
tubuh dilepaskan ke jaringan. Sebagian besar bakteri berasal dari usus,
terutama Clostridium welchii, dimana pada proses pembusukannya juga akan
membentuk gas-gas seperti alkana HCN (hidrogen siaida), dan H2S (hidrogen
sulfida).
Secara visual proses pembusukan baru tampak pada 24 jam pasca
kematian berupa warna kehijauan di kanan bawah abdomen. Secara bertahap
warna kehijauan ini akan menyebar ke seluruh perut dan dada, dan bau busuk
akan segera tercium. Penyebaran bakteri menyebabkan perubahan warna pada
banyak jaringan diiringi dengan udem. Wajah dan leher menjadi memerah dan
mulai membengkak. Bakteri ini kemudian menyebar melalui pembuluh vena,
menyebabkan hemolisis dari darah yang masih menetap dalam pembuluh dan
jarinagan di sekitarnya. Hal Ini akan menimbulkan gambaran kelereng
(marbling), garis merah bercabang, dan dilanjutkan dengan timbulnya pola
kehijauan di kulit.

Gambaran ini sangat jelas tampak pada abdomen, dada, dan bahu.
Kondisi ini akan berlangsung selama satu minggu pasca mati dengan kondisi
mayat berada di udara terbuka pada suhu 18-20°C.  Kondisi ini akan timbul
lebih cepat pada suhu lingkungan optimal yaitu 26,5°C. Sesaat atau sebelum
timbulnya kondisi di atas, epidermis akan terkelupas atau membentuk
gelembung berisi cairan kemerahan berbau busuk. Rambut akan mudah
tercabut, dan kuku akan mudah terlepas. Gas yang terbentuk pada proses
pembusukan akan mengakibatkan perut tampak tegang.

Gas yang terdapat di jaringan dinding tubuh akan menimbulkan bunyi


derik. Tubuh akan membentuk sikap seperti petinju (pugilistic attitude) karena
terkumpulnya gas pembusukan di dalam rongga sendi. Lama kelamaan gas
akan menyebabkan bengkak di seluruh tubuh terutama pada jaringan ikat
longgar seperti payudara dan skrotum. Hal ini akan menyebabkan sulitnya
identifikasi mayat. Proses pembusukan bisa sangat berbeda pada tiap kasus,
bahkan bisa berbeda pada mayat yang sama. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai
keadaan yang menyertainya, seperti iklim, lokasi, dan kelembaban.
Pengaruh lingkungan : Korban yang mati tenggelam biasanya
mengalami perlambatan proses pembusukan, disebabkan suhu lingkungan yang
rendah dan proteksi dari serangga maupun mamalia predator. Formasi gas yang
timbul akibat pembusukan akan menyebabkan korban mengapung kembali ke
permukaan setelah sebelumnya tenggelam. Namun perkiraan mengapung
kembali ini sangat berbeda untuk tiap individu. Posisi korban ketika
mengapung biasanya adalah wajah mengarah ke bawah, karena kepala secara
relatif bersifat padat dan pembentukan gas yang tidak muncul pertama kali
pada abdomen dan dada. Posisi wajah yang berada lebih di bawah
menyebabkan terkumpulnya cairan akibat pengaruh gravitasi.
Akibatnya, pembusukan wajah pada kasus tenggelam lebih parah daripada
kasus yang bukan tenggelam. Sehingga identifikasi wajah pada korban
tenggelam lebih sulit, walaupun proses pembusukan baru terjadi.
Pembusukan dimulai di usus, manifestasinya terlihat di perut kanan
bawah daerah caecum yang isinya lebih cair, penuh dengan bakteri, dan dekat
dinding perut. Terlihat bewarna kehijauan kemudian menyebar ke seluruh
tubuh melalui pembuluh darah dan penyebaran ke jaringan tetangga
(continuitatum). Dalam 2 hari akan terlihat tanda-tanda pembusukan berupa :
1. Garis-garis pembusukan di seluruh aliran darah.
2. Warna hitam kehijauan di sepanjang aliran darah disebabkan cairan dan
butir darah yang mengalami pembusukan.
3. Darah keluar dari pembuluh darah memasuki jaringan di sekitar pembuluh
darah.
4. Menghasilkan gas pembusukan, menyebabkan perut gembung, kantong
pelir gembung (membesar), prolaps uterus, prolaps anus dan akhirnya
seluruh tubuh gembung (kulit, otot, organ)
5. Kulit mudah terkelupas dan mudah dilepaskan dengan sedikit tekanan saja.
6. Mayat menjadi besar karena gas pembusukan memasuki jaringan, apalagi
perut yang banyak mengandung kuman pembusukan menjadi sangat besar,
mulut terbuka karena bibir atas dan bawah menjadi bengkak.
7. Gas pembusukan juga terjadi di dalam sendi-sendi sehingga jika tekanan
cukup tinggi dapat membuat persendian menjadi bengkok, sendi utama
adalah lutut, siku, dan pangkal paha sehingga terjadi posisi seperti petinju.

Organ-organ dalam memiliki kecepatan pembususkan yang berbeda-


beda. Jaringan intestinal, medulla adrenal dan pancreas akan mengalami
autolysis dalam beberapa jam setelah kematian. Organ dalam lain seperti hati
dan limpa merupakan organ yang cepat mengalami pembusukan. Perubahan
warna pada dinding lambung terutama fundus, dpat dilihat dalam 24 jam
pertama setelah kematian. Berikut ini golongan organ berdasarkan kecepatan
pembusukan yaitu:
1. Early: Organ dalam yang cepat membusuk antara lain jaringan intestinal,
medulla adrenal, pancreas, otak, lien/limpa, usus, uterus gravid, uterus
post partum.
2. Moderate: Organ dalam yang lambat membusuk antara lain paru-paru,
jantung, ginjal, diafragma, lambung, otot polos, dan lurik.
3. Late: uterus no gravid dan prostat merupakan organ yang lebih tahan
terhadap pembusukan karea memiliki struktur yang berbeda dengan
jaringan lain yaitu jaringan fibrosa.

Untuk kepentingan identifikasi, pada mayat yang sudah mengalami


proses pembusukan sidik jari masih dapat diperiksa yaitu dengan menyuntik
jari yang terkelupas dengan cairan. Dalam 3-5 hari perut mengecil kembali
karena gas pembusukan akan keluar melalui jaringan yang rusak karena proses
pembusukan. Proses pembusukan berlangsung terus sehingga jaringan lunak
menjadi hancur. Proses pembusukan dapat terjadi di dalam berbagai media,
dapat diperkirakan perbandingan proses pembusukan kira-kira, (media air :
udara terbuka : tanah = 1 : 2 : 8). Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan
pembusukan :

1. Temperatur
2. Udara
3. Ruangan dan pakaian
4. Umur
5. Keadaan tubuh
6. Penyakit

Kecepatan pengapungan oleh karena pembusukan mayat tergantung dari :

1. Usia.
Mayat anak-anak dan orang tua lebih lambat terapung.
2. Bentuk tubuh.
Orang yang gemuk dan kuat, mayatnya cepat terapung. Mayat yang kurus
lebih lambat terapung.
3. Keadaan air.
Pada air yang jernih, pengapungan mayat lebih lambat terjadi dibandingkan
pada air kotor.
4. Cuaca.
Pada musin panas, pengapungan mayat 3 kali lebih cepat dibandingkan pada
musim dingin.
2) Adiposera
Adiposera adalah terbentuknya bahan yang berwarna keputihan, lunak,
atau berminyak seperti substansi lilin, berbau tengik yang terjadi di dalam
jaringan lunak pasca mati. Substansi ini berasal dari jaringan lemak tubuh yang
kadang-kadang muncul pada perubahan post mortem. Adiposere adalah
fenomena yang terjadi pada mayat yang tidak mengalami proses pembusukan
yang biasa. Melainkan mengalami pembentukan adiposere. Adiposere
merupakan subtansi yang mirip seperti lilin yang lunak, licin dan warnanya
bervariasi mulai dari putih keruh sampai coklat tua.
Adiposera terutama terdiri dari asam-asam lemak tak jenuh yang
terbentuk oleh hidrolisis lemak dan mengalami hidrogenisasi sehingga
terbentuk asam lemak jenuh pasca mati yang tercampur dengan sisa-sisa otot,
jaringan ikat, jaringan saraf yang termumifikasi. Adiposera dapat terbentuk di
sembarang lemak tubuh bahkan didalam hati, tetapi lemak superfisial yang
pertama kali terkena. Biasanya perubahan berbentuk bercak yang terlihat di
pipi, payudara atau bokong, bagian tubuh atau ekstrimitas. Waktu yang
dibutuhkan untuk membentuk adiposera sekitar 3-12 bulan pasca mati. Namun
penelitian terbaru menunjukkan bahwa adiposera dapat terbentuk dalam
rentang waktu yang lebih pendek.
Faktor-faktor yang mempermudah dan mempercepat terbentuknya
adiposera adalah kelembaban, lemak tubuh yang cukup, dan suhu yang hangat,
serta invasi bakteri endogen ke dalam jaringan pasca mati. Sedangkan yang
menghambat adalah air yang mengalir yang membuang elektrolit, dan udara
yang dingin.
Pengaruh lingkungan : Pada korban yang tenggelam di perairan hangat
maupun perairan dingin, proses pembentukan adiposera sering kali muncul.
Tapi pembentukan adiposera lebih cepat muncul di perairan hangat. Pada
perairan dingin adiposera terbentuk dalam 12 – 18 bulan, sementara pada
perairan hangat adiposera dapat muncul dalam rentang waktu 2 bulan saja.
Adiposere mengandung asam lemak bebas, yang dibentuk melalui proses
hidrolisa dan hidrogenasi setelah kematian disebut saponifikasi. Adanya enzim
bakteri dan air sangat penting untuk berlangsungnya proses tersebut. Dengan
demikian, maka adiposere biasanya terbentuk pada mayat yang terbenam
dalam air atau rawa-rawa. Lama pembentukan adiposere ini juga bervariasi,
mulai dari 1 minggu sampai 10 minggu.
Jangka waktu yang terkecil untuk pembentukan adiposere di daerah
tropis dimulai sesudah 1-3 minggu. Untuk perubahan seluruhnya pada orang
dewasa diperlukan 3-6 bulan bahkan sampai 12 bulan, tergantung tempat,
kelembaban, dan suhu sekitar. Warna keputihan dan bau tengik seprti bau
minyak kelapa. Dapat digunakan sebagai kepentingan identifikasi ataupun
pemeriksaan luka-luka, oleh karena proses pengawetan alami, meskipun
kematian telah lama.
3) Mumifikasi
Mumifikasi adalah proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang
menimbulkan pengeringan jaringan dan selanjutnya dapat menghentikan
pembusukan. Mayat mengalami mengalami pengawetan akibat proses
pengeringan dan penyusutan bagian-bagian tubuh. Kulit menjadi kering, keras
dan menempel pada tulang kerangka. Mayat menjadi lebih tahan dari
pembusukan sehingga sehingga masih jelas menunjukkan ciri-ciri seseorang.
Faktor penyebab terjadinya mumifikasi adalah
 Suhu hangat,
 Kelembaban yang rendah, kelembaban yang rendah akan menghambat
kerja bakteri, serta menjauhkan serangga, dan hewan-hewan predator lain
dari tubuh mayat. Kelembaban yang rendah atau dalam hal ini kondisi
yang kering akan mempercepat terjadinya proses penguapan cairan tubuh.
Jaringan berubah menjadi lebih keras dan kering, berwarna gelap, keriput,
dan tidak membusuk karena bakteri tidak dapat berkembang pada
lingkungan yang kering.
 Aliran udara yang cukup.
Mumifikasi tidak hanya dapat terjadi di daerah kering dan panas seperti
digurun, namun juga bisa terjadi pada lingkungan yang membekukan seperti di
belahan bumi utara. Setengahnya dikarenakan kekeringan pada udara di daerah
tersebut, dan setengahnya lagi akibat dari penghambatan pertumbuhan bakteri.
Tampilan yang muncul pada mayat yang mengalami mumifikasi berupa
kondisi tubuh yang kering, kulit yang keriput terutama di bagian tulang pipi,
dagu,dada, dan panggul. Kulit menjadi berwarna coklat, kecuali timbul koloni
sekunder akibat jamur, mungkin akan menambahkan warna, putih, hijau,
ataupun kehitaman. Kulit dan jaringan di bawahnya menjadi keras, sehingga
diseksi pada autopsi akan lebih sulit. Kondisi organ dalam bervariasi,
tergantung lama mayat ditemukan sejak ia meninggal.

Mummifikasi adalah mayat yang mengalami pengawetan akibat proses


pengeringan dan penyusutan bagian-bagian tubuh. Kulit menjadi kering, keras,
dan menempel pada tulang kerangka. Mayat menjadi lebih tahan dari
pembusukan sehingga masih jelas menunjukkan ciri-ciri seseorang.

Fenomena ini terjadi pada daerah yang panas dan lembab, di mana mayat
dikuburkan tidak begitu dalam dan angin yang panas selalu bertiup sehingga
mempercepat penguapan cairan tubuh. Jangka waktu yang diperlukan sehingga
terjadi mumifikasi biasanya lama, bisa dalam waktu 3 bulan atau lebih, mayat
relatif masih utuh, maka identifikasi lebih mudah dilakukan. Begitu pula luka-
luka pada tubuh korban kadang masih dapat dikenal.

Tanda-tanda mummifikasi :

 Mayat jadi mengecil.


 Kering, mengkerut, atau melisut.
 Warna coklat kehitaman.
 Kulit melekat erat dengan tulangnya.
 Tidak berbau.
 Keadaan anatominya masih utuh.
4) Penulangan / Skeletonization
Keadaan hancurnya jaringan mayat akibat pembusukan sehingga mayat hanya
tinggal tulang. Setelah proses pembusukan, mayat akan tinggal tulang dan sisa-
sisa ligamen yang terlekat padanya. Biasanya penulangan mulai terjadi sekitar
4 minggu. Pada waktu ini, tulang masih menunjukkan sisa-sisa ligamen yang
terlekat padanya disamping bau tulang yang masih busuk.
Setelah 3 bulan, tulang kelihatan berwarna kuning. Setelah 6 bulan, tulang
tidak lagi memberi kesan ligamen dan berwarna kuning keputihan, serta tidak
lagi mempunyai bau busuk pada mayat.
Aspek Medikolegal :
1. Memperkirakan lamanya kematian
2. Memastikan adanya kematian
3. Mengarahkan penyebab kematian
4. Membantu dalam identifikasi bila telah terjadi proses pengawetan tubuh
mayat secara alami (adiposere dan mummifikasi).

2.6 Entomologi Forensik

Entomologi forensik adalah ilmu yang mempelajari tentang serangga yang


dijumpai pada mayat. Ilmu ini dapat di pergunakan untuk memperkirakan waktu
kematian, Ilmu ini amat penting apabila mayat yang dijumpai sudah membusuk, sehingga
penurunan suhu, lebam mayat dan kaku mayat tidak dapat digunakan lagi.
Serangga yang terdapat pada hewan atau manusia ialah dari keluarga lalat atau
Diptera, khususnya lalat biru (calliphora erytrocephala), lalat hijau (lucilia caecar atau
cericata) dan lalat rumah (musca domestica). Serangga yang hidup setelah lalat dari jenis
kumbang (coleoptera), selanjutnya serangga omnivorus seperti semut, penyegat dan
sebagainya. Serangga yang paling sering dijumpai pada mayat yang membusuk lalat,
dalam bentuk telur, larva atau lalat dewasa. Spesies lalat yang berlainan mempunyai
kisaran waktu yang berbeda.
Jangka waktu kisaran hidup lalat
Fase Waktu
Lalat bertelur pada mayat 18-36 jam setelah mati
Menetas menjadi larva 24 jam kemudian
Larva menjadi pupa (kepompong) 4-5 hari kemudian
Pupa menjadi lalat dewasa 4-5 hari kemudian
Jumlah waktu telur menjadi lalat dewasa 11 hari

Dari kisaran waktu hidup lalat diatas, dapat diperkirakan waktu kematian mayat
yang dijumpai membusuk. Bila terdapat telur tampa larva, waktu kematian kurang dari 48
jam. Jika terdapat larva tanpa kepompong, waktu kematian kurang dari 5-6 hari. Jika
tedapat kepompong yang telah menetas menjadi lalat dewasa, waktu kematian lebih
kurang 11 hari.
Cara mengambil sampel larva. Ambil 40 ekor larva dari mayat dengan ukuran
yang berbeda.pisahkan 20 ekor unuk diukur panjang dan umurnya. Masukkan 20 ekor
larva yang lain bersama sedikit daging yang busuk, kedalam wadah untuk dibiakan dan
dikenal spesiesnya. Karena spesies lalat yang berbeda mempunyai kisaran hidup yang
berbeda. Tuliskan waktu dan tempat mayat dijumpai, waktu mayat diperiksa dan waktu
sampel larva diambil. Hal ini untuk memudahkan ahli entomologi forensik memberikan
penjelasan waktu kematian.

2.7 Penentuan Lama Kematian

Dalam kasus tertentu, terutama yang berkaitan dengan pembunuhan dimana tidak
ada saksi diperlukan penentuan saat kmatian korban untuk mencari siapa yang mungkin
terlibat dalam peristiwa tersebut. Peneilitian berbasis perubahn fisik, kimia, biokimia,
histologi dan perubahan enzim telah banyak dilakukan tetapi belum ada cara atau metode
yang handal untuk menentukan lama kematian.
Ini disebabkan faktor yang mempengaruhi sangat banyak, baik dari pengaruh luar
tubuh (iklim, suhu, kelembapan,ruang terbuka atau tertutup, aliran udara) maupun dari
tubuh korban (jenis kelamin, umur, perawakan, gizi, penyakit, sebab kematian, dll).
Penentuan lama kematian secara kasar dengan menggunakan perubahan temperatur dan
kaku mayat dapat dipedomani tabel berikut.

Temperatur Tubuh Kaku Mayat Lama Kematian


Hangat Tidak Kaku <3 Jam
Hangat Kaku 3-8 Jam
Dingn Kaku 8-24 Jam
Dingin Tidak Kaku >24 Jam

Perkiraan saat kematian dengan cara lain. Beberapa petunjuk lain dapat juga
dipergunakan untuk membantu penentuan lama kematian.
a. Kekeruhan kornea
 Sklera di kiri kanan kornea akan berwarna kecoklatan dalam beberapa jam
berbentuk segitiga dasar di tepi kornea (taches noires sclerotiuqes)
 Kekeruhan kornea terjadi lapis demi lapis
 Mata terbuka pada atmoser kering
- Kekeruhan yang mencapai lapisan lebih dalam tidak dapat dihilangkan
- Kekeruhan yang menetap terjadi ±6 jam pasca mati
 Mata tertutup maupun terbuka
- Kornea menjadi keruh 10 -12 jam pasca mati
- Fundus tidak tampak jelas dalam beberapa jam
 Tekanan bola mata menurun
 Distorsi pupil pada penekanan bola mata
 Tidak ada hubungan antara diameter pupil dengan lamanya mati

b. Retina
Berubah saat kematian hingga 15 jam pasca mati
 Hingga 30 menit pasca mati tampak kekeruhan makula dan mulai memucatnya
discus optikus
 Hingga 1 jam pasca mati tampak makula lebih pucat, dan tepinya tidak tajam lagi
 2 jam pertama pasca mati, retina pucat dan daerah sekitar diskus menjadi kuning
- Warna kuning juga tampak disekitar makula yang menjadi lebih gelap
- Pola vaskular koroid yang tampak sebagi bercak –bercak latar belakang
merah dengan pola segmentasi yang jelas
 ±3 jam pasca mati menjadi kabur
 ±5 jam pasca mati menjadi homogen dan lebih pucat
 ±6 jam pasca mati, batas diskus menjadi kabur dan hanya pembuluh besar yang
mengalami segmentasi, dapat dilihat dengan latar belakang kuning kelabu
 ±7 -10 jam pasca mati, mencapai tepi retina dan batas diskus akan sangat kabur
 ±12 jam pasca mati, diskus hanya dapat dikenali dengan konvergensi beberapa
segmen pembuluh darah yang tersisa
 ±15 jam pasca mati, tidak ditemukan lagi gambaran pembuluh darah retina dan
diskus, hanya makula saja tampak coklat gelap

c. Perubahan dalam lambung


 Kecepatan pengosongan lambung sangat bervariasi  tidak dapat digunakan untuk
memberikan petunjuk pasti waktu antara makan terkahir dan saat mati
 Namun keadaan lambung dan isinya mungkin membantu dalam membuat
keputusan.
 Ditemukannya makanan tertentu dalam isi lambung dapat digunakan untuk
menyimpulkan bahwa korban sebelum meninggal telah makan makanan tersebut.

d. Perubahan rambut

Dengan mengingat bahwa kecepatan tumbuh rambut rata-rata 0.4 mm/hari, panjang
rambut kumis dan jenggot dapat dipergunakan untuk memperkirakan saat kematian. Cara
ini hanya dapat digunakan bagi pria yang mempunyai kebiasaan mencukur kumis atau
jenggotnya dan diketahui saat terakhir ia mencukur.

e. Pertumbuhan kuku

Sejalan dengan hal rambut tersebut di atas, pertumbuhan kuku yang diperkirakan
sekitar 0,1 mm per hari dapat digunakan untuk memperkirakan saat kematian bila dapat
diketahui saat terakhir yang bersangkutan memotong kuku.
f. Perubahan dalam cairan serebrospinal

Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14 mg% menunjukkan kematian belum
lewat 10 jam, kadar nitrogen non-protein kurang dari 80mg% menunjukkan kematian
belum 24 jam, kadar kreatin kurang dari 5 mg% dan 10 mg% masing- masing
menunjukkan kematian belum mencapai 10 jam dan 30 jam.

g. Cairan Vitreus

Dalam cairan vitreus terjadi peningkatan kadar Kalium yang cukup akurat untuk
memperkirakan saat kematian antara 24 hingga 100 jam pasca mati.

h. Reaksi supravital

Reaksi jaringan tubuh sesaat pasca mati klinis yang masih sama seperti reaksi
jaringan tubuh pada seseorang yang hidup. Beberapa uji dapat dilakukan terhadap mayat
yang masih segar, misalnya rangsang listrik masih dapat menimbulkan kontraksi otot
mayat hingga 90-120 menit pasca mati dan mengakibatkan sekresi kelenjar keringat
sampai 60-90 menit pasca mati, sedangkan trauma masih dapat menimbulkan perdarahan
bawah kulit sampai 1 jam pasca mati.
BAB III
KESIMPULAN

Secara medis, kematian merupakan suatu proses dimana fungsi dan metaboliseme sel
organ-organ internal tubuh terhenti. Dikenal beberapa istilah kematian, yaitu: mati somatis, mati
celluler, mati cerebral, dan mati batang otak.
Terdapat perubahan-perubahan setelah terjadinya kematian. Perubahan tersebut anara lain
perubahan dini dan perubahan lanjutan. Setelah beberapa waktu akan timbul tanda-tanda berupa
perubahan dini antara lain lebam mayat, kaku mayat, penurunan suhu tubuh, serta perubahan
lanjutan antara lain pembusukan, mumifikasi dan adiposere. Perubahan perubahan inin memiliki
kepentingan medico legal antara lain dapat memperkirakan waktu kematian, penyebab kematian,
dan cara kematian.
Selain itu,terdapat juga metode penentuan cara kematian terkini yaitu, berdasarkan
entomologi forensik,pengosongan isi lambung dan penelitian tulang. Namun, walaupun
dimanfaatkan semua sarana yang ada, penentuan saat kematian yang tepat adalah tidak mungkin
hanya untuk memperkirakan saat kematian yang mendekati ketepatan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Knight, Bernard. 2016. Knight’s Forensic Pathology 4th Edition. New York: CRC Press.
2. Tjondroputranto, Handoko. 2001. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran
Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Dahlan S, Ilmu Kedokteran Forensik, Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum. Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang 2000, Hal 47-66.
4. Amir A, Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik USU, Edisi Ke-2, Medan 2005,Hal. 45-
71.
5. Modi’s Texbook of Medical Jurisprudence and Toxicologi, 1988, ed. 21 st, N.M. Tripathi
Private Limited, Bombay 1988, Hal 155-187.
6. Vincent J. Di Maio dan Dominick Di Maio, Forensic Pathology, CRC Series in Practical
Aspects Of Criminal and Forensic Investigation, New York City, Edisi Ke-2 Tahun 2001,
Hal 21-41..
7. Singh S. Ilmu Kedokteran Forensik. 2014. Hal: 46-82.
8. Singh A. Ilmu Kedokteran Kehakiman. 2010. Diktat. Hal: 12- 22.
9. Mistar. Penentuan Lama Kematian Dilihat Dari Keadaan Tulang. Hal: 1-6.
10. Puwanti, Summy Hastry. 2014. Imu Kedokteran Forensik Untuk Kepentingan
Penyidikan. Jakarta: Raya Komunikasindo

Anda mungkin juga menyukai