Anda di halaman 1dari 42

BAB 1

PENDAHULUAN

Tanatologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perubahanperubahan pada tubuh seseorang yang telah meninggal. Perubahan perubahan
yang terjadi setelah kematian dibedakan menjadi dua yaitu perubahan yang terjadi
secara cepat (early) dan perubahan yang terjadi secara lambat (late). (FK UI,
2007) & (Apuranto, 2007).
Ilmu tanatologi merupakan ilmu yang paling dasar dan paling penting
dalam ilmu kedokteran kehakiman terutama dalam hal pemeriksaan jenazah
(visum et repertum). Kepentingan mempelajari tanatologi adalah untuk
menentukan apakah seseorang benar benar sudah meningal atau belum,
menetapkan waktu kematian, sebab kematian, cara kematian, dan mengangkat
atau mengambil organ untuk kepentingan donor atau transplantasi dan untuk
membedakan perubahan-perubahan yang terjadi post mortal dengan kelainankelainan yang terjadi pada waktu korban masih hidup, serta untuk mengetahui saat
waktu kematian. (FK UI, 2007) & (Apuranto, 2007).

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanatologi
Tanatologi berasal dari kata thanatos (yang beerhubungan dengan
kematian) dan logos (ilmu). Tanatologi adalah bagian dari Ilmu Kedokteran
Forensik yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kematian yaittu definisi
atau batasan mati, perubahan yang terjadi pada tubuh setelah terjadi kematian dan
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut (FK UI, 1997).
Mati menurut ilmu kedokteran didefinisikan sebagai berhentinya fungsi
sirkulasi dan respirasi secara permanen (mati klinis). Dengan adanya
perkembangan teknlogi ada alat menggantikan fungsi sirkulasi dan respirasi
seecara buatan. Oleh karena itu definisi kematian berkembang menjadi kematian
batang otak. Brain death is death. Mati adalah kematian batang otak (FK UI,
1997).
Ada tiga manfaat tanatologi ini, antara lain untuk dapat menetapkan hidup
atau matinya korban, memperkirakan lama kematian korban, dan menentukan
wajar atau tidak wajarnya kematian korban (FK UI, 1997).
Menetapkan apakah korban masih hidup atau telah mati dapat kita ketahui
dari masih adanya tanda kehidupan dan tanda-tanda kematia. Tanda kehidupan
dapat kita nilai dari masih aktifnya siklus oksigen yang berlangsung dalam tubuh
korban. Sebaliknya tidak aktifnya siklus oksigen menjadi tanda kematian (FK UI,
1997).

2.2 Jenis Kematian


Agar suatu kehidupan seseorang dapat berlangsung, terdapat tiga sistem
yang mempengaruhinya. Ketiga sistem utama tersebut antara lain sistem
persarafan, sistem kardiovaskuler dan sistem pernapasan. Ketiga sistem itu sangat
mempengaruhi satu sama lainnya, ketika terjadi gangguan pada satu sistem, maka
sistem-sistem yang lainnya juga akan ikut berpengaruh (FK UI, 1997).
Mati menurut ilmu kedokteran didefinisikan sebagai berhentinya fungsi
sirkulasi dan respirasi secara permanen (mati klinis). Dengan adanya
perkembangan teknologi ada alat yang bisa menggantikan fungsi sirkulasi dan
respirasi secara buatan. Oleh karena itu definisi kematian berkembang menjadi
kematian batang otak. Brain death is death. Mati adalah kematian batang otak
(FK UI, 1997).
Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu mati somatis
(mati klinis), mati suri, mati seluler, mati serebral dan mati otak (mati batang
otak). (FK UI, 1997).
Mati somatis (mati klinis) ialah suatu keadaan dimana oleh karena sesuatu
sebab terjadi gangguan pada ketiga sistem utama tersebut yang bersifat menetap
(FK UI, 1997). Pada kejadian mati somatis ini secara klinis tidak ditemukan
adanya refleks, elektro ensefalografi (EEG) mendatar, nadi tidak teraba, denyut
jantung tidak terdengar, tidak ada gerak pernapasan dan suara napas tidak
terdengar saat auskultasi.

Mati suri (apparent death) ialah suatu keadaan yang mirip dengan
kematian somatis, akan tetapi gangguan yang terdapat pada ketiga sistem bersifat
sementara. Kasus seperti ini sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur,
tersengat aliran listrik dan tenggelam (FK UI, 1997).
Mati seluler (mati molekuler) ialah suatu kematian organ atau jaringan
tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup
masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian
seluler pada tiap organ tidak bersamaan (FK UI, 1997).
Mati serebral ialah suatu kematian akibat kerusakan kedua hemisfer otak
yang irreversible kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem
lainnya yaitu sistem pernapasan dan kardiovaskuler masih berfungsi dengan
bantuan alat (FK UI, 1997).
Mati otak (mati batang otak) ialah kematian dimana bila telah terjadi
kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang irreversible, termasuk batang
otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati otak (mati batang otak) maka
dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi,
sehingga alat bantu dapat dihentikan (FK UI, 1997).

2.3 Perubahan Post Mortem


Beberapa tanda kematian tidak pasti :
1. Pernapasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit.
2. Terhentinya sirkulasi yang dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba.

3. Kulit pucat.
4. Tonus otot menghilang dan relaksasi.
5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah kematian.
6. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang
masih dapat dihilangkan dengan meneteskan air mata (FK UI, 1997).

A.

Perubahan fase awal


1. Terhentinya 3 sistem vital dalam tubuh, yaitu sistem kardiovaskuler, sistem
respirasi, sistem sarap pusat.
Ada 6 cara mendeteksi tidak berfungsinya sistem kardiovaskuler :
a) Denyut nadi berhenti pada palpasi.
b)

Detak jantung berhenti selama 5-10 menit pada auskultasi.

c)

Elektro Kardiografi (EKG) mendatar/flat.

d) Tes magnus : tidak adanya tanda sianotik pada ujung jari tangan setelah jari
tangan korban kita ikat.
e) Tes Icard : daerah sekitar tempat penyuntikan larutan Icard subkutan tidak
berwarna kuning kehijauan.
f)

Tidak keluarnya darah dengan pulsasi pada insisi arteri radialis.

Ada 5 cara mendeteksi tidak berfungsinya sistem respirasi :


a) Tidak ada gerak napas pada inspeksi dan palpasi.
b) Tidak ada bising napas pada auskultasi.

c) Tidak ada gerakan permukaan air dalam gelas yang kita taruh diatas perut korban
pada tes Winslow.
d) Tidak ada uap air pada cermin yang kita letakkan didepan lubang hidung atau
mulut korban.
e) Tidak ada gerakan bulu burung yang kita letakkan didepan lubang hidung atau
mulut korban.

Ada 5 cara mendeteksi tidak berfungsinya sistem saraf :


a)

Areflex

b)

Relaksasi

c)

Pergerakan tidak ada

d)

Tonus tidak ada

e)

Elektoensefalografi (EEG) mendatar/flat

2. Kulit wajah:
Kulit wajah tampak memucat, ini dikarnakan sirkulasi darah berhenti, akan terjadi
pengendapan darah terutama pembuluh darah besar
3. Relaksasi primer :
Relaksasi primer terjadi akibat menghilangnya tonus otot, ini akan tampak jelas
terlihat pada otot yang menyokong organ melawan gravitasi, seperti pada rahang
bawah yang tampak melorot
4. Perubahan pada mata :
Perubahan pada mata setelah kematian dapat dipakai sebagai penentuan saat mati.
Perubahan ini meliputi :

hilangnya reflek kornea dan reflek cahaya yang menyebabkan kornea


menjadi tidak sensitif dan reaksi pupil yang negative, hilangnya reflek
cahaya pada kornea ini disebabkan karena kegagalan kelenjar lakrimal
untuk membasahi bola mata.

Kekeruhan pada kornea akan timbul beberapa jam setelah kematian,


kekeruhan pada lapisan dalam kornea ini tidak dapat dihilangkan atau
diubah kembali walaupun digunakan air untuk membasahinya. Bila
kelopak mata dalam keadaan terbuka , kekeruhan pada kornea secara
keseluruhan akan tampak jelas dalam waktu 10-20 jam setelah kematian.

Penurunan tekanan intra okuler, tekanan intra okuler yang turun ini mudah
menyebabkan kelainan bentuk pupil sehingga pupil kehilangan bentuk
sirkuler setelah mati dan ukurannya pun menjadi tidak sama ,pupil dapat
berkontraksi dengan diameter 2 mm atau berdilatasi sampai 9 mm dengan
rata-rata 4-5 mm oleh karena pupil mempunyai sifat tidak tergantung
dengan pupil lainnya maka sering terdapat perbedaan sampai3 mm. Nicati
(1894) telah melakukan pengukuran terhadap tekanan bola mata
posmortem dimana tekanan normal pada bola mata pada waktu hidup
adalah 14g -25g akan tetapi begitu sirkulasi terhenti maka penurunan
tekanan bola mata menjadi sangat rendah (tidaksampai mencapai 12g) dan
dalam waktu 30 menit akan berkurang menjadi 3g yang kemudian menjadi
nol setelah 2 jam kematian. Penurunan tekanan bola mata ini pernah
dicoba untuk menentukan perkiraan saat kematian.

Perubahan warna retina, perubahan yang terjadi pada retina dicoba


dihubungkan dengan perkiraan saat kematian. Dengan berhentinya aliran
darah maka pembuluh darah retina akan mengalami perubahan yang
disebut segmentasi atau trucking dan ini terjadi dalam 15 menit pertama
setelah kematian. Pada pemeriksaan dalam 2 jam pertama setelah
kematian, dapat dilihat retina tampak pucat dan daerah sekitar fundus
tampak kuning, demikian pula daerah sekitar makula. Sekitar 6 jam batas
fundus menjadi tidak jelas, dan tampak gambaran segmentasi pada
pembuluh darah, dengan latar belakang yang berwarna kelabu kekuningan.
Gambaran ini mencapai seluruh perifer retina sekitar 7-10 jam. Setelah 12
jam diskus hanya dapat dilihat sebagai titik yang terlokalisasi dengan sisasisa pembuluh darah yang bersegmentasi hingga pada akhirnya diskus dan
pembuluh darah retina menghilang yang ada hanya makula yang berwarna
coklat gelap. Beberapa pengamat menggambarkan perubahan dini
posmortem yang terjadi pada retina mempunyai arti yang kecil untuk
dihubungkan dengan perkiraan saat mati. Sedangkan Tomlin ( 1967)
beranggapan bahwa segmentasi pada retina lebih berindikasi pada
kematian serebral daripada penghentian sirkulasi. Wroblewski dan Ellis
(1970) mempelajari perubahan mata pada 300 mayat dimana tidak
hanyaperubahan yang terjadi pada retina tetapi juga perubahan yang terjadi
pada kornea juga dicatat. Mereka telah memeriksa 204 fundus dari subjek
dan 115 diantaranya terdapat segmentasi atau trucking pada satu atau
kedua matasetelah satu jam posmortem dan negatif pada 89 lainnya.

B. Perubahan fase lanjut


1.

Penurunan suhu badan (Algor Mortis)


Setelah sesorang meninggal, maka produksi panas akan berhenti, sedang

pengeluaran panas berlangsung terus, dengan akibat suhu jenazah akan turun.
Cara pengukuran penurunan suhu jenazah adalah dengan thermo couple
(Apuranto, 2007).
Penurunan suhu tubuh terjadi karena proses pemindahan panas dari badan
ke benda yang lebih dingin, malalui cara radiasi, konduksi, evaporasi dan
konveksi. Berdasarkan penelitian, kurva penurunan suhu mayat akan berbentuk
kurva sigmoid, dimana pada jam-jam pertama penurunan suhu akan berlangsung
dengan lambat, demikian pula bila suhu tubuh mayat telah mendekati suhu
lingkungan. Tubuh terdiri dari lapisan yang tidak homogen, maka lapisan yang
berada di bawah kulit akan menyalurkan panasnya ke arah kulit, sedangkan
lapisan tersebut juga menerima panas dari lapisan yang berada dibawahnya.
Keadaan tersebut yaitu dimana terjadi pelepasan atau penyaluran panas secara
bertingkat dengan sendirinya membutuhkan waktu, hal ini menerangkan mengapa
pada jam-jam pertama setelah terjadinya kematian somatik penurunan suhu
berlangsung lambat (Apuranto, 2007).
Bila telah tercapai suatu keadaan yang dkenal sebagai temperature
gradient, yaitu suatu keadaan dimana telah terdapat perbeadaan suhu yang
bertahap di antara lapisan-lapisan yang menyusun tubuh, maka penyaluran panas
dari bagian tubuh ke permukaan dapat berjalan dengan lancar, penurunan suhu

tubuh mayat akan tampak jelas. Proses metabolisme sel yang masih berlangsung
beberapa saat setelah kematian somatik dimana juga terbentuk energi, merupakan
faktor yang menyebabkan mengapa penurunan suhu mayat pada jam-jam pertama
berlangsung dengan lambat (Apuranto, 2007).
Oleh karena suhu mayat akan terus menurun, maka akan dicapai suatu
keadaan dimana perbedaan antara suhu mayat dengan suhu lingkungan tidak
terlalu besar, hal ini yang menerangkan mengapa penurunan suhu mayat pada saat
mendekati suhu lingkungan berlangsung lambat (Apuranto, 2007).
Kecepatan turunnya suhu dipengaruhi oleh (Apuranto, 2007).
1. Suhu udara : makin besar perbedaan suhu udara dengan suhu tubuh jenazah, maka
penurunan suhu jenazah makin cepat.
2. Pakaian : makin tebal pakaian makin lambat penurunan suhu jenazah.
3. Aliran udara dan kelembaban : aliran darah mempercepat penurunan suhu
jenazah.
4. Keadaan tubuh korban : apabila tubuh korban gemuk, yang berarti mengandung
banyak jaringan lemak, maka penurunan jenazah lambat.
5. Aktifitas : apabila sesaat sebelum korban meninggal korban melakukan aktifitas
yang hebat, maka suhu tubuh waktu meninggal lebih tinggi.
6. Sebab kematian : bila korban meninggal karena keradangan (sepsis), suhu tubuh
waktu meninggal malah meningkat.
Apabila korban meninggal di dalam air, maka penurunan suhu jenazah
tergantung pada (Apuranto, 2007).
a. Suhu air

b. Aliran air
c. Keadaan air
Pengukuran suhu mayat dilakukan dengan memasukkan thermometer kedalam
rectum atau dapat pula dalam alat dalam seperti otak atau hati yang tertentunya
baru dapat dilakukan bila dilakukan bedah mayat. Bila yang dipergunakan
thermometer air raksa konversional, maka pembacaan hasil dilakukan setelah
sekurang-kurangnya 3 menit, thermometer dimasukkan dalam rektum sedalam 10
cm. bila thermometer elektronis, pembacaan hasil pengukuran dapat dilakukan
segera (Idries, 1997).
Perbedaan saat kematian dapat dihitung dari pengukuran suhu mayat
perrektal. (Rectal temperature/ RT). Saat kematian (dalam jam) dapat dihitung
rumus Post Mortem Interval (PMI) oleh Glaister Dan Rentoul :
Formula untuk suhu dalam oCelcius
PMI =37 oC-RT oC+3
Formula untuk suhu dalam ofahrenheit
PMI = 98,6o F-RToF
1,5
Suhu tubuh normal adalah sebesar 98,6 oF, sedangkan rata-rata penurunan
suhu per jam dimana suhu lingkungan 70o F (21o C) adalah 1,5. Rata-rata
penurunan suhu pada jam-jam pertama adalah 2o F, 1o F setelah tercapainya
keseimbangan antara suhu tubuh dengan lingkungan (Idries, 1997).
Saat kematian (dalam jam) dapat dihitung rumus Post Mortem Interval (PMI) oleh
Glaister dan Rentoul :

Formula untuk suhu dalam derajat Celcius


PMI = 37 o C - RT o C +3

Formula untuk suhu dalam derajat Fahrenheit


PMI = 98,6 o F - RT o F
1,5

2. Lebam Mayat (Livor mortis)


Lebam mayat memiliki nama lain, diantaranya post mortem hypostasis,
lividitii, staining, atau sugilasi. Apabila seseorang meninggal, peredaran darahnya
berhenti dan timbul stagnasi sebagai akibat gravitasi maka daah mencari tempat
yang terendah.1 Lebam mayat terjadi saat kegagalan sirkulasi, ketika arteri rusak
dan aliran balik vena gagal mempertahankan darah mengalir melalui saluran
pembuluh darah kapiler, maka darah dengan butir sel darahnya saling tumpuk
memenuhi saluran tersebut dan sukar dialirkan di tempat lain seperti pada
fenomena kopi tubruk. Gaya gravitasi meyebabkan darah yang terhenti tersebut
mengalir ke area terendah. Sel darah merah (eritrosit) adalah yang paling terkena
efeknya, dimana akan bersedimentasi melalui jaringan longgar, tetapi plasma akan
berpindah ke jaringan longgar yang menyebabkan terbentuknya edema setempat,
dimana timbul blister pada kulit. Dari luar akan terlihat bintik-bintik berwarna
merah kebiruan , atau adanya eritrosit pada daerah terendah terlihat dengan
timbulnya perubahan warna kemerahan pada kulit yang disebut Lebam Mayat.
Lebam mayat mulai tampak 20-30 menit pasca mati, makin lama intensitasnya
bertambah dan menjadi lengkap dan menetap setelah 8-12 jam. Sebelum waktu
ini, lebam mayat masih bisa hilang (memucat) pada penekanan dan dapat

berpindah jika posisi mayat diubah. Tidak hilangnya lebam mayat dikarenakan
telah terjadi perembesan darah akibat rusaknya pembuluh darah ke dalam jaringan
di sekitar pembuluh darah itu, walaupun setelah 24 jam, darah masih tetap cukup
cair sehingga sejumlah masih dapat mengalir dan membentuk lebam mayat di
tempat terendah yang baru (Budiyanto, 1997).
Bentuk dari lebam mayat tergantung posisi tubuh pasca mati. Sering posisi
mayat terlentang dengan bahu, pantat, dan punggung menekan permukaan tanah.
Hal ini menyebabkan tekanan pada aliran darah di area-area tersebut, sehingga
lebam tidak timbul pada daerah tersebut dan kulit tetap berwarna sama. Bila tubuh
dalam posisi vertikal setelah mati, dalam kasus penggantungan, lebam mayam
terbanyak terletak di kaki, tungkai kaki, ujung jari tangan, dan lengan bawah
(Apuranto, 2007).
Bagian pucat terjadi juga pada daerah penunjang atau daerah tertekan
lainnya sehingga meniadakan adanya lebam mayat dan membentuk pola. Sebagai
contoh, daerah pucat yang tidak rata akibat penekanan daerah tubuh mayat oleh
tepi sprei, tekanan oleh ikat pinggang yang ketat,bahkan kaos kaki. Pada korban
yang terkena arus listrik, yang mengambil tempat di air (biasanya bak mandi)
lebam mayat terbatas dalam bentuk horisontal menurut batas air (Apuranto, 2007).
Lebam mayat sering berwarna merah padam, tetapi bervariasi, tergantung
oksigenasi sewaktu korban meninggal. Bila terjadi bendungan atau hipoksia,
mayat memiliki warna lebam yang lebih gelap karena adanya hemoglobin
tereduksi dalam pembuluh darah kulit. Lebam mayat merupakan indikator kurang
akurat dalam menentukan mekanisme kematian, dimana tidak ada hubungan

antara tingkat kgelapan lebam mayat dengan kematian yang disebabkan oleh
asfiksia. Kematian dengan sebab wajar oleh karena gangguan koroner atau
penyakit lain memiliki lebam yang lebih gelap. Terkadang area lebam mayat
berwarna terang dan dilanjutkan dengan area lebam mayat yang lebih gelap. Hal
ini akan berubah seiring dengan memanjangnya interval posterior mortem. Sering
kali warna lebam mayat merah terang atau merah muda. Kematian yang
disebabkan oleh hipotermi atau terpapar udara dingin selama beberapa waktu
seperti tenggelam, dimana warna lebam mayat dapat menentukan penyebab
kematian tetapi relatif tidak spesifik oleh karenamayat yang terpapar udara dingin
setelah mati (terutama bila mayat yang berada dalam lemari es mayat) dapat
terjadi perubahan lebam dari merah padam menjadi merah muda (Apuranto,
2007).
Mekanismenya belum pasti, tetapi sangatlah jelas merupakan hasil dari
perubahan hemoglobin tereduksi menjadi oksihemoglobin. Hal ini dapat
dimengerti pada kasus hipotermi, dimana metabolise reduksi dari jaringan gagal
mengambil oksigen dari sirkulasi darah (Apuranto, 2007).
Korban meninggal maka peredaran darah berhenti (stagnasi) dan sesuai dengan
arah gravitasi maka darah akan mencari tempat yang terendah hingga terlihat
bintik-bintik merah kebiruan. Timbul : 30 menit setelah kematian somatis dan
intensitas maksimal (menjadi lengkap) setelah 8-12 jam post mortal. Sebelum
waktu ini, lebam mayat masih dapat berpindah-pindah, jika posisi mayat diubah,
misalnya dari terlentang menjadi tengkurap. Namun setelahnya, lebam mayat
sudah tidak dapat hilang (fenomena kopi tubruk).

Tidak hilangnya lebam mayat pada saat itu, dikarenakan telah terjadinya
perembesan darah kedalam jaringan sekitar akibat rusaknya pembuluh darah
akibat tertimbunnya sel sel darah dalam jumlah yang banyak, adanya proses
hemolisa sel-sel darah dan kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah. Dengan
demikian penekanan pada daerah lebam yang dilakukan setelah 8 12 jam tidak
akan menghilang. Hilangnya lebam pada penekanan dengan ibu jari dapat
memberi indikasi bahwa suatu lebam belum terfiksasi secara sempurna. Atas
dasar keadaan tersebut, maka dari sifat-sifat serta distribusi lebam mayat dapat
diperkirakan apakah pada tubuh korban telah terjadi manipulasi merubah posisi
korban.
Diketahui bahwa warna lebam mayat yang merah padam berubah menjadi
merah muda pad batas horisontal anggota tubuh bagian atas, warna lebam pada
anggota tubuh bagian bawah tetap gelap, sehingga perubahan secara kuantitatif
lebam dapat ditentukan, dimana hemoglobin lebih mudah mengalami reoksigenasi
karena eritrosit kurang mengendap pada bagian lebam (Apuranto, 2007).
Perubahan lainnya pada warna lebam lebih berguna. Yang paling sering
adalah merah terang (Cherry red), oleh karena karboksihemoglobin (CO-Hb)
terletak pada seluruh jaringan, warna ini khas dan sering merupakan indikasi
pertama adanya keracunan karbonmonoksida (CO). Keracunan sianida (CN)
memiliki ciri khas tertentu, yaitu warna lebam mayat merah kebiruan yang
disebabkan terjadinya bendungan dan sianosis (kurang O2, karena pelepasan O2 ke
jaringan dihambat). Bila ahli forensik tidak teliti terhadap penyebab dari riwayat
dan bau sianida (CN-bau amandel), sangatlah susah menggunakan lebam mayat

sebagai satu-satunya indikasi penyebab kematian. Lebam mayat yang berwarna


merah kecoklatan pada methemoglobinemia dan dapat memiliki warna yang
bervariasi pada keracunan anilin dan klor. Kematian yang disebabkan oleh sepsis
akibat Clostridium perfringens sebagai agen infeksi, bercak berwarna pucat
keabuan dapat terkadang terlihat pada kulit, walaupun hal ini tidak timbul pada
lebam (Apuranto, 2007).
Warna lebam mayat:
- Normal

: Merah kebiruan

- Keracunan CO

: Cherry red

- Keracunan CN

: Bright red

- Keracunan nitrobenzena

: Chocolate brown

- Asfiksia

: Dark red

Pemeriksaan laboratorium sederhana yaitu tes resistensi alkali dapat juga


dilakukan, yaitu dengan menetesi contoh darah yang telah diencerkan dengan
NaOH/KOH 10%. Pada CO : warna tetap beberapa saat oleh karena resistensi,
sedangkan pada CN : warna segera menjadi coklat oleh karena terbentuk hematin
alkali. Pada anemia berat, lebam mayat yang terjadi sedikit, warna lebih muda dan
terjadinya biasanya lebih lambat. Pada polisitemia sebaliknya lebih cepat terjadi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pembentukan lebam mayat
adalah : viskositas darah, termasuk berbagai penyakit yang mempengaruhinya,
kadar Hb, dan perdarahan (hipovolemia) (Apuranto, 2007).
Mengingat pada lebam mayat darah terdapat di dalam pembuluh darah,
maka keadaan ini digunakan untuk membedakannya dengan resapan darah akibat

trauma (ekstravasasi). Bila pada daerah tersebut dilakukan irisan dan kemudian
disiram dengan air, maka warna merah darah akan hilang atau pudar pada lebam
mayat, sedangkan pada resapan darah tidak menghilang. Lamanya darah dalam
keadaan tetap mencair, bila koagulasi darah terganggu, sehingga lebam mayat
lebih ceapt muncul. Baila darah cvepat mengalami koagulasi, lebam mayat
lebihlambat terbentuk (Apuranto, 2007).

3.Kaku Mayat (Rigor Mortis)


Setelah kematian, otot-otot tubuh akan melalui tiga fase. Pertama, terjadi
inisial flaksid atau flaksid primer segera setelah kematian somatik, yaitu relaksasi
tubuh dan mata tapi masih berespon terhadap rangsangan kimia dan listrik.
Tahapan kedua, yaitu onset rigiditas otot yang disebut kaku mayat. Tidak ada lagi
respon terhadap rangsang kimia dan listrik. Terakhir, fase flaksid sekunder, ketika
kaku mayat hilang dan terjadi pembusukan, terbentuk kaku mayat karena
kombinasi aktin dan myosin otot akibat kurangnya ekstensibilitas otot
(Sampurna,2004).
Pada otot orang hidup terdapat cadangan glikogen. Glikogen oleh enzim
diubah menjadi asam laktat dengan berupa energi dalam ikatan senyawa fosfat.
Energi ini kemudian berikatan dengan ADP menjadi ATP. ATP digunakan untuk
memisahkan ikatan aktin dan myosin sehinggan terjadi relaksasi otot. Bila
cadangan glikogen dalam otot habis, maka energi tidak terbentuk lagi, aktin dan
myosin menggumpal dan otot menjadi kaku (Sampurna,2004).

Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian. Kaku mayat mulai


tampak kira-kira 2 jam setelah mati klinis, dimulai dari bagian luar tubuh (otototot kecil) ke arah dalam (sentripetal). Teori lama menyebutkan bahawa kaku
mayat ini menjalar kraniokaudal. Setelah mati klinis 12 jam, lewat 36 jam pasca
mati klinis, tubuh mayat mulai lemas kembali sesuai urutan terbentuknya
kekakuan . ini disebut dengan relaksasi sekunder. Kaku mayat umumnya tidak
disertai pemendekan serabut otot, tetapi jika sebelum terjadi kaku mayat otot
berada pada posisi teregang, maka saat kaku mayat terbentuk akan terjadi
pemendekan otot (Sampurna,2004).
Faktor yang mempercepat terjadinya rigor mortis, yaitu (Apuranto, 2007).
1. Suhu sekitar
Bila suhu sekitanya tinggi, rigor mortis akan cepat timbul dan cepat hilang,
sebaliknya bila suhu skitanya rendah, rigor mortis lebih lama serta lebih lama
hilang. Pada suhu di abwah 100C tidak akan terbentuk rigor mortis.
2. Keadaan otot saat meninggal
Apabila korban meninggal dalam keadaan konvulsi atau lelah, rigor mortis akan
cepat timbul. Dan apabila korba meninggal secara mendadak atau dalam keadaan
relaks, timbulnya rigor mortis lebih lambat.
3. Umur dan gizi
Pada anak-anak timbulnya rigor mortis relative cepat daripada orang dewasa. Dan
apabila keadaan gizi korban jelek, timbulnya rigor mortis juga lebih cepat.
Terdapat kekakuan pada mayat yang menyerupai pada kaku mayat
(Apuranto, 2007).

1. Cadaveric spasm (instantneous rigor), adalah bentuk kekakuan otot yang terjadi
pada saat kematian menetap. Cadaveric spasm sesungguhnya merupakan kaku
mayat yang timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului tanpa relaksasi
primer malainkan mayat langsung mengalami kelakuan secara terus-menerus
sampai terjadi relaksasi sekunder. Penyebabnya adalah akibat habisnya cadangan
glikogen dan ATP yang bersifat setempat pada saat mati klinis karena kelelahan
atau emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal. Lokasi kaku biasanya setempat
dan pada kelompok otot-otot tertentu misalnya otot lengan bawah tau tangan.
Lebih kaku dari pada rigor mortis. Kordinasi otot bagus, ada pengaruh faktor
psikis atau emosi dan aktivitas setempat. Salah satu kematian intravital. Kasus
yang bias kita temukan mayat mengalami cadaveric spasme, yaitu bunuh diri
dengan pistol atau senjata tajam, mati tenggelam, mati mendaki gunung,
pembunuhan dimana korban menggenggamkan robekan pakaian pembunuh.
Table 1. Perbedaan Cadaveric spasm dengan kaku mayat
Cadaveric Spasm

Kaku mayat

Waktu terjadinya

Cenderung intravital

Post mortal

Relaksasi primer

Tidak ada

Ada

Timbulnya

Cepat

Lambat

Derajat waktu

Tinggi

(seperti Kurang

kontraksi)
Lamanya

Lambat hilang

Cepat

Koordinasi otot

Baik

Kurang

Lokasi otot-otot

Setempat (yang aktif)

Menyeluruh

2. Heat stiffening, yaitu kekakuan pada otot akibat koagulasi protein otot oleh panas.
Otot-otot bewarna merah muda, kaku, tetapi rauh (mudah robek). Keadaan ini
dapat dijumpai pada mati terbakar. Pada Heat stiffening serabut-serabut ototnya
memendek sehingga menimbulkan fleksi leher, siku, paha dan lutut, membentuk
seperti petinju (pugilistic attitude). Perubahan sikap ini tidak memberikan arti
tertentu bagi sikap sesame hidup, intravitalitas, penyebab atau cara kematian.
3. Cold stiffening. Yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin, sehingga terjadi
pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan sendi ditekuk akan terdengar bunyi
pecahnya es dalam rongga sendiri.

Skema Terjadinya Rigor Mortis

Adamya kelenturan otot setelah mati karena adanya metabolisme tingkat


selular masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen untuk menghasilkan
energi. Selama masih ada energy maka aktin dan miosin masih dapat meregang.
Jika glikogen otot habis dan energi tidak ada maka ADP tidak bisa dirubah
menjadi ATP. Menurut Szent-Gyorgyi di dalam pembentukan rigor mortis
peranan ATP sangat penting. Rigor mortis terjadi akibat hilangnya ATP. ATP
digunakan untuk memisahkan ikatan aktin dan myosin sehingga terjadi relaksasi
otot. Namun karena pada saat kematian proses metabolisme tidak terjadi sehingga
tidak ada produksi ATP. Karena kekurangan ATP sehingga kepala miosin tidak
dapat dilepaskan dari filamen aktin, dan sarkomer tidak dapat berelaksasi. Karena
hal ini terjadi pada semua otot tubuh maka terjadilah kekakuan dan tidak dapat
digerakkan.ATP dibutuhkan untuk mengambil kembali kalsium ke dalam
retikulum sarkoplasma dari sarkomer. Untungnya ketika otot berelaksasi, kepala
miosin dikembalikan keposisinya, siap dan menunggu untuk berikatan dengan sisi
dari filamen aktin. Sebab tidak ada ATP yang bisa digunakan, pelepasan ion
kalsium tidak dapat kembali ke retikulum sarkoplasma. Ion kalsium bergerak
melingkar di samping sarkomer dan menemukan cara untuk berikatan dengan sisi
filamen tebal dari protein regulator.
Timbul : 1-3 jam postmortem (rata-rata 2 jam), dipertahankan 6-24 jam,
dimulai dari otot kecil : rahang bawah, anggota gerak atas, dada, perut dan
anggota bawah kemudian kaku lengkap. Menurun setelah 24 jam.

Pembeda

Rigor Mortis

Waktu

Dua jam setelah meninggal.

Cadaveric Spasm

Sesaat sebelum meninggal


timbul

Rigor mortis lengkap setelah 12


(intravital) dan menetap.
jam.

Faktor

Kelelahan, emosi hebat, ketegangan,


-

predisposisi
Etiologi

dll.
Habisnya cadangan glikogen

Habisnya cadangan glikogen pada

secara general.

otot setempat.

Sentripetal, dari otot-otot kecil

Kaku otot pada satu kelompok otot

kemudian otot besar.

tertentu.

Pola
terjadinya
kaku otot
Kepentingan

Untuk menunjukkan sikap terakhir

medikolegal

masa hidupnya. Biasanya pada


Untuk penentuan saat kematian.
kasus pembunuhan, bunuh diri, dan
kecelakaan.

Pembeda

Rigor Mortis

Cadaveric Spasm

Suhu mayat

Dingin.

Hangat.

Ada.

Tidak ada.

Ada

Tidak ada

Lambat

Cepat

Kematian
sel.
Relaksasi
primer
Timbulnya

Lamanya

Cepat hilang

Lambat hilang (dipertahankan)

Kurang

Baik

Menyeluruh

Setempat (yang aktif)

Tidak ada respon otot.

Ada respon otot.

Dapat dilawan dengan sedikit

Perlu tenaga kuat untuk

tenaga.

melawannya.

Koordinasi
otot
Lokasi otot
Rangsangan
sel.
Kaku otot.

Tabel. Perbedaan Rigor Mortis dan Cadaveric Spasm

Kekakuan yang menyerupai kaku mayat :


1.

Cadaveric spasm (instantaneous rigor)

o akibat habisnya cadangan glikogen dan ATP yang bersifat setempat pada saat
mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal
o kaku mayat timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului oleh relaksasi
primer, mayat langsung mengalami kekakuan secara terus-menerus sampai terjadi
relaksasi sekunder
o Terlihat pada kasus : bunuh diri dengan pistol atau senjata tajam, mati tenggelam,
mati mendaki gunung, pembunuhan dimana korban menggenggam robekan
pakaian pembunuh
2. Heat stiffening :
o kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas

o serabut-serabut ototnya memendek sehingga menimbulkan fleksi leher, siku, paha


dan lutut, membentuk sikap petinju (pugilistic attitude) pada kasus mati terbakar
3.

Cold stiffening

o terjadi pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan sendi, pemadatan jaringan lemak
subkutan dan otot

4. Pembusukan / Decomposition
Pembusukan adalah proses degradasi jaringan pada tubuh mayat yang
terjadi sebagai akibat proses autolisis dan aktivitas mikroorganisme. Di Maio
mengatakan autolisis adalah perlunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam
keadaan steril melalui proses kimia yang disebabkan oleh enzim-enzim
intraseluler, sehingga organ-organ yang kaya dengan enzim-enzim akan
mengalami proses autilisis lebih cepat daripada organ-organ yang tidak memiliki
enzim, dengan demikian pancreas akan mengalami autolisis lebih cepat dari pada
jantung. (Basbeth F, 2009)
Proses autolisis ini tidak dipengaruhi oleh mikroorganisme oleh karena itu
pada mayat yang steril misalnya mayat bayi dalam kandungan proses autolisis ini
tetap terjadi (Basbeth F, 2009).
Atmaja, Dahlan dan Marshall mengatakan proses auotolisis terjadi sebagai
akibat dari pengaruh enzim yang dilepaskan pasca mati. Mula-mula yang terkena
ailah nukleoprotein yang terdapat pada kromatin dan sesudah itu sitoplasmanya,
kemudian dinding sel akan mengalami kehancuran sebagai akibatnya jaringan
akan menjadi lunak dan mencair (Basbeth F, 2009).

Pada mayat yang dibekukan pelepasan enzim akan terhambat oleh


pengaruh suhu yang rendah maka proses autolisis ini akan dihambat demikian
juga pada suhu tinggi enzim-enzim yang terdapat pada sel akan mengalami
kerusakan sehingga proses ini akan terhambat pula (Basbeth F, 2009).
Coe and Currant mengatakan pembusukan adalah proses penghancuran
jaringan pada tubuh yang disebabkan terutama oleh bakteri anaerob yang berasal
dari traktus gastrointestinal. Dimana basil Coliformis dan Clostridium Welchii
merupakan

penyebab

utamanya,

sedangkan

bakteri

yang

lain

seperti

Streptococcus, Staphylococcus, B.Proteus,jamur dan enzim-enzim seluler juga


memberikan kontribusinya sebagai organisme penghancur jaringan pada fase
akhir dari pembusukan (Basbeth F, 2009).
Setelah seseorang meninggal, maka semua sistem pertahanan tubuh akan
hilang,bakteri yang secara normal dihambat oleh jaringan tubuh akan segera
masuk ke jaringan tubuh melalui pembuluh darah, dimana darah merupakan
media yang terbaik bagi bakteri untuk berkembang biak. Bakteri ini menyebabkan
hemolisa, pencairan bekuan darah yang terjadi sebelum dan sesudah mati,
pencairan trombus atau emboli, perusakan jaringan-jaringan dan pembentukan gas
pembusukan. Bakteri yang sering menyebabkan destruktif ini sebagian besar
berasal dari usus dan yang paling utama adalah Cl. Welchii. Bakteri ini
berkembang biak dengan cepat sekali menuju ke jaringan ikat dinding perut yang
menyebabkan perubahan warna. Perubahan warna ini terjadi oleh karena reaksi
antara H2S (gas pembusukan yang terjadi dalam usus besar) dengan Hb menjadi
Sulf-Meth-Hb. (Basbeth F, 2009)

Tanda pertama pembusukan baru dapat dilihat kira-kira 24 jam - 48 jam


pasca mati berupa warna kehijauan pada dinding abdomen bagian bawah, lebih
sering pada fosa iliaka kanan dimana

isinya lebih cair, menngandung lebih

banyak bakteri dan letaknya yang lebih superfisial.Perubahan warna ini secara
bertahap akan meluas keseluruh dinding abdomen sampai ke dada dan bau
busukpun mulai tercium (Basbeth F, 2009).
Perubahan warna ini juga dapat dilihat pada permukaan organ dalam
seperti hepar, dimana hepar merupakan organ yang langsung kontak dengan kolon
transversum (Basbeth F, 2009).
Bakteri ini kemudian masuk kedalam pembuluh darah dan berkembang
biak didalamnya yang menyebabkan hemolisa yang kemudian mewarnai dinding
pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Bakteri ini memproduksi gas-gas
pembusukan yang mengisi pembuluh darah yang menyebabkan pelebaran
pembuluh darah superfisial tanpa merusak dinding pembuluh darahnya sehingga
pembuluh darah beserta cabang-cabangnya tampak lebih jelas seperti pohon
gundul (arborescent pattern atau arborescent mark) yang sering disebut marbling.
Selain bakteri pembusukan ini banyak terdapat dalam intestinal dan paru bakteribakteri ini cenderung berkumpul dalam sistem vena, maka gambaran marbling ini
jelas terlihat pada bahu,dada bagian atas, abdomen bagian bawah dan paha
(Basbeth F, 2009).
Bila Cl.Welchii mulai tumbuh pada satu organ parenchim, maka
sitoplasma dari organ sel itu akan mengalami desintegrasi dan nukleusnya akan
dirusak sehingga sel menjadi lisis atau rhexis. Kemudian sel-sel menjadi lepas

sehingga jaringan kehilangan strukturnya. Secara mikroskopis bakteri dapat


dilihat menggumpal pada rongga-rongga jaringan dimana bakteri tersebut banyak
memproduksi gelembung gas. Ukuran gelembung gas yang tadinya kecil dapat
cepat membesar menyerupai honey combed appearance. Lesi ini dapat dilihat
pertama kali pada hati (Basbeth F, 2009).
Kemudian permukaan lapisan atas epidermis dapat dengan mudah
dilepaskan dengan jaringan yang ada dibawahnya dan ini disebut skin slippage.
Skin slippage ini menyebabkan identifikasi melalui sidik jari sulit dilakukan.
Pembentukan gas yang terjadi antara epidermis dan dermis mengakibatkan
timbulnya bula-bula yang bening, fragil, yang dapat berisi cairan coklat
kemerahan yang berbau busuk. Cairan ini kadang-kadang tidak mengisi secara
penuh di dalam bula. Bula dapat menjadi sedemikian besarnya menyerupai
pendulum yang berukuran 5 - 7.5cm dan bila pecah meninggalkan daerah yang
berminyak, berkilat dan berwarna kemerahan, ini disebabkan oleh karena
pecahnya sel-sel lemak subkutan sehingga cairan lemak keluar ke lapisan dermis
oleh karena tekanan gas pembusukan dari dalam. Selain itu epitel kulit, kuku,
rambut kepala, aksila dan pubis mudah dicabut dan dilepaskan oleh karena adanya
desintegrasi pada akar rambut (Basbeth F, 2009).
Selama terjadi pembentukan gas-gas pembusukan, gelembung-gelembung
udara mengisi hampir seluruh jaringan subkutan. Gas yang terdapat di dalam
jaringan dinding tubuh akan menyebabkan terabanya krepitasi udara. Gas ini
menyebabkan pembengkakan tubuh yang menyeluruh, dan tubuh berada dalam
sikap pugilistic attitude (Basbeth F, 2009).

Scrotum dan penis dapat membesar dan membengkak, leher dan muka
dapat menggembung, bibir menonjol seperti frog-like-fashion, Kedua bola mata
keluar, lidah terjulur diantara dua gigi, ini menyebabkan mayat sulit dikenali
kembali oleh keluarganya. Pembengkakan yang terjadi pada seluruh tubuh
mengakibatkan berat badan mayat yang tadinya 57 - 63 kg sebelum mati menjadi
95 - 114 kg sesudah mati (Basbeth F, 2009).
Tekanan yang meningkat didalam rongga dada oleh karena gas
pembusukan yang terjadi didalam cavum abdominal menyebabkan pengeluaran
udara dan cairan pembusukan yang berasal dari trachea dan bronchus terdorong
keluar, bersama-sama dengan cairan darah yang keluar melalui mulut dan hidung.
Cairan pembusukan dapat ditemukan di dalam rongga dada, ini harus dibedakan
dengan hematotorak dan biasanya cairan pembusukan ini tidak lebih dari 200 cc.
Pengeluaran urine dan feses dapat terjadi oleh karena tekanan intra abdominal
yang meningkat. Pada wanita uterus dapat menjadi prolaps dan fetus dapat lahir
dari uterus yang pregnan (Basbeth F, 2009).
Pada anak-anak adanya gas pembusukan dalam tengkorak dan otak
menyebabkan sutura-sutura kepala menjadi mudah terlepas. Organ-organ dalam
mempunyai kecepatan pembusukan yang berbeda-beda dalam. Jaringan
intestinal,medula adrenal dan pancreas akan mengalami autolisis dalam beberapa
jam setelah kematian. Organ-organ dalam lain seperti hati, ginjal dan limpa
merupakan organ yang cepat mengalami pembusukan. Perubahan warna pada
dinding lambung terutama di fundus dapat dilihat dalam 24 jam pertama setelah
kematian. Difusi cairan dari kandung empedu kejaringan sekitarnya menyebabkan

perubahan warna pada jaringan sekitarnya menjadi coklat kehijauan. Pada hati
dapat dilihat gambaran honey combs appearance, limpa menjadi sangat lunak dan
mudah robek, dan otak menjadi lunak (Basbeth F, 2009).
Organ dalam seperti paru, otot polos, otot lurik dan jantung mempunyai
kecendrungan untuk lambat mengalami pembusukan. Sedangkan uterus non
gravid, dan prostat merupakan organ yang lebih tahan terhadap pembusukan
karena strukturnya yang berbeda dengan jaringan yang lain yaitu jaringan
fibrousa. Organ-organ ini cukup mudah dikenali walaupun organ-organ lain sudah
mengalami pembusukan lanjut. Ini sangat membantu dalam penentuan identifikasi
jenis kelamin (Basbeth F, 2009).
Yang menarik pada pembusukan lanjut dari organ dalam ini adalah
pembentukan granula-granula milliary atau milliary plaques yang berukuran
kecil dengan diameter 1-3 mm yang terdapat pada permukaan serosa yang terletak
pada endotelial dari tubuh seperti pleura, peritoneum, pericardium dan
endocardium. Milliary plaques ini pertama kali ditemukan oleh Gonzales yang
secara mikroskopis berisi kalsium pospat, kalsium karbonat, sel-sel endotelial,
massa seperti sabun dan bakteri, yang secara medikolegal sering dikacaukan
dengan proses peradangan atau keracunan (Basbeth F, 2009).
Pada orang yang obese, lemak-lemak tubuh terutama perirenal, omentum
dan mesenterium dapat mencair menjadi cairan kuning yang transluscent yang
mengisi rongga badan diantara organ yang dapat menyebabkan autopsi lebih sulit
dilakukan dan juga tidak menyenangkan (Basbeth F, 2009).

Disamping bakteri pembusukan insekta juga memegang peranan penting


dalam proses pembusukan sesudah mati. Beberapa jam setelah kematian lalat
akan hinggap di badan dan meletakkan telur-telurnya pada lubang-lubang mata,
hidung, mulut dan telinga. Biasanya jarang pada daerah genitoanal. Bila ada luka
ditubuh mayat lalat lebih sering meletakkan telur-telurnya pada luka tersebut,
sehingga bila ada telur atau larva lalat didaerah genitoanal ini maka dapat
dicurigai adanya kekerasan seksual sebelum kematian. Telur-telur lalat ini akan
berubah menjadi larva dalam waktu 24 jam. Larva ini mengeluarkan enzim
proteolitik yang dapat mempercepat penghancuran jaringan pada tubuh (Basbeth
F, 2009).
Insekta tidak hanya penting dalam proses pembusukan tetapi meraka juga
memberi informasi penting yang berhubungan dengan kematian. Insekta dapat
dipergunakan untuk memperkirakan saat kematian, memberi petunjuk bahwa
tubuh mayat telah dipindahkan dari satu lokasi ke lokasi lainnya, memberi tanda
pada badan bagian mana yang mengalami trauma, dan dapat dipergunakan dalam
pemeriksaan toksikologi bila

jaringan untuk specimen standart juga sudah

mengalami pembusukan (Basbeth F, 2009).


Hasil akhir dari proses pembusukan ini adalah destruksi jaringan pada
tubuh mayat. Dimana proses ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Aktifitas
pembusukan sangat optimal pada temperatur berkisar antara 70-100F (21,137,8C) aktifitas ini dihambat bila suhu berada dibawah 50F(10C) atau pada
suhu diatas 100F (lebih dari 37,8C) (Basbeth F, 2009).

Bila mayat diletakkan pada suhu hangat dan lembab maka proses
pembusukan akan berlangsung lebih cepat. Sebaliknya bila mayat diletakkan pada
suhu dingin maka proses pembusukan akan berlangsung lebih lambat (Basbeth F,
2009).
Pada mayat yang gemuk proses pembusukan berlangsung lebih cepat dari
pada mayat yang kurus oleh karena kelebihan lemak akan menghambat hilangnya
panas tubuh dan kelebihan darah merupakan media yang baik untuk
perkembangbiakkan organisme pembusukan (Basbeth F, 2009).
Pada bayi yang baru lahir hilangnya panas tubuh yang cepat menghambat
pertumbuhan bakteri disamping pada tubuh bayi yang baru lahir memang terdapat
sedikit bakteri sehingga proses pembusukan berlangsung lebih lambat (Basbeth F,
2009).
Proses pembusukan juga dapat dipercepat dengan adanya septikemia yang
terjadi sebelum kematian seperti peritonitis fekalis, aborsi septik, dan infeksi paru.
Disini gas pembusukan dapat terjadi walaupun kulit masih terasa hangat (Basbeth
F, 2009).
Media di mana mayat berada juga memegang peranan penting
dalam kecepatan pembusukan mayat. Kecepatan pembusukan ini di gambarkan
dalam rumus klasik Casper dengan perbandingan tanah : air : udara = 1 : 2 : 8
artinya mayat yang dikubur di tanah umumnya membusuk 8 x lebih lama dari
pada mayat yang terdapat di udara terbuka (Basbeth F, 2009).
Ini disebabkan karena suhu di dalam tanah yang lebih rendah terutama bila
dikubur ditempat yang dalam, terlindung dari predators seperti binatang dan

insekta, dan rendahnya oksigen menghambat berkembang biaknya organisme


aerobik (Basbeth F, 2009).
Bila mayat dikubur didalam pasir dengan kelembaban yang kurang dan
iklim yang panas maka jaringan tubuh mayat akan

menjadi kering sebelum

terjadi pembusukan. Penyimpangan dari proses pembusukan ini di sebut


mumifikasi (Basbeth F, 2009).
Pada mayat yang tenggelam di dalam air pengaruh gravitasi tidaklah lebih
besar dibandingkan dengan daya tahan air akibatnya walaupun mayat tenggelam
diperlukan daya apung untuk mengapungkan tubuh di dalam air, sehingga mayat
berada dalam posisi karakteristik yaitu kepala dan kedua anggota gerak berada di
bawah sedangkan badab cenderung berada di atas akibatnya lebam mayat lebih
banyak terdapat di daerah kepala sehingga kepala menjadi lebih busuk
dibandingkan dengan anggota badan yang lain (Basbeth F, 2009).
Pada mayat yang tenggelam di dalam air proses pembusukan
umumnya

berlangsung lebih lambat dari pada yang di udara terbuka.

Pembusukan di dalam air terutama dipengaruhi oleh temperatur air, kandungan


bakteri di dalam air. Kadar garam di dalamnya dan binatang air sebagai predator
(Basbeth F, 2009)
Degradasi dari sisa-sisa tulang yang dikubur juga cukup bervariasi.
Penghancuran tulang terjadi oleh karena demineralisasi, perusakan oleh akar
tumbuhan. Derajat keasaman yang terdapat pada tanah juga berpengaruh terhadap
kecepatan penghancuran tulang. Sisa-sisa tulang yangn dikubur pada tanah yang

mempunyai derajat keasaman yang tinggi lebih cepat terjadi penghancuran


daripada tulang yang di kubur di tanah yang bersifat basa (Basbeth F, 2009).
Faktor-faktor yang mempengaruhi cepat-lambatnya pembusukan mayat,
yaitu :
a. dari luar
1) Mikroorganisme/sterilitas.
2) Suhu optimal yaitu 21-380C (70-1000F) mempercepat pembusukan. Berhenti pada
suhu 2120F
3) Kelembaban udara yang tinggi mempercepat pembusukan.
4) Sifat medium. Udara : air : tanah = 8 : 2 : 1 (di udara pembusukan paling cepat, di
tanah paling lambat). Hukum Casper.

b. dari dalam
1) Umur. Bayi yang belum makan apa-apa paling lambat terjadi pembusukan.
2) Konstitusi tubuh. Tubuh gemuk lebih cepat membusuk daripada tubuh kurus.
3) Keadaan saat mati. Udem, infeksi dan sepsis mempercepat pembusukan.
Dehidrasi memperlambat pembusukan.
4) Seks. Wanita baru melahirkan (uterus post partum) lebih cepat mengalami
pembusukan.

Golongan alat tubuh berdasarkan kecepatan terjadi pembusukan :


a. cepat : otak, lambung, usus, uterus hamil/post partum
b. lambat : jantung, paru, ginjal, diafragma

c. paling lambat : prostate, uterus yang tidak hamil

Perbedaan Bulla Intravital dan Bulla Pembusukan


Bulla

Perbedaan

Bulla Pembusukan

Kecoklatan

Warna kulit ari

Kuning

Tinggi

Kadar albumin & klor Bulla

Rendah atau tidak ada

Hiperemis

Dasar bulla

Merah pembusukan

Intraepidermal

Jaringan yang terangkat

Antara epidermis & dermis

Ada

Reaksi jaringan & respon darah

Tidak ada

Intravital

Variasi-variasi pembusukan:
a. Mummifikasi
o Terjadi bila temperatur turun, kelembaban turun dehidrasi viceral sehingga
kuman-kuman tidak berkembang tidak terjadi pembusukan mayat mengecil,
bersatu berwarna coklat kehitaman, struktur anatomi masih lengkap sampai
bertahun-tahun.
o Proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang cukup cepat sehingga
terjadi pengeringan jaringan
o Syarat terjadinya mummifikasi :

Suhu relatif tinggi

Kelembaban udara rendah

Aliran udara baik

Waktu yang lama (12-14 minggu)

o Yang terlihat pada mummifikasi adalah penyusutan bentuk tubuh, kulit padat
hitam seperti kertas perkamen

Gambar. mummifikasi
b. Adipocare
o Terjadi karena hidrogenisasi asam lemak tidak jenuh (asam palmitat, asam stearat,
asam oleat) dihidrogenisasi menjadi asam lemak jenuh yang relatif padat .
o Suhu tinggi kelembaban tinggi lemak asam lemak pH turun kuman
tidak bisa berkembang asam lemak dehigrogenase penyabunan mayat
menjadi kebalikannya mumifikasi.
o Syarat terjadinya adiposera :

Suhu rendah, kelembaban tinggi

Lemak cukup

Aliran udara rendah

Waktu yang lama

Gambar adipocere
5. Perubahan biokimia
Perubahan biokimia pada fase lanjut post mortem adalah :
-

Perubahan plasma

Perubahan humor vitreus

Perubahan jantung
Perubahan biokimia plasma ada 2 yaitu peningkatan kalium, fosfor, CO,
asam laktat dan penurunan kadar glukosa & pH. Perubahan humor vitreus
berupa peningkatan kadar kalium yang terjadi antara 24 sampai 100 jam
post mortem. Perubahan jantung berupa chicken fat clot (bekuan lemak
ayam) yaitu bekuan darah post mortem menyerupai lemak ayam yang
berwarna merah kekuningan. Bekuan ini biasanya kita temukan pada
jantung mayat yang mati dengan prosus kematian lama.

C. Grafik Perubahan Pada Tubuh Post Mortem

Perubahan pada Kulit (Apuranto, 2007).


-

Hilangnya elastitas kulit

Adanya lebam mayat yang berwarna merah kebiruan

Terdapatnya kelainan yang dikenal sebagai Cutis Anserina sebagai akibat


kontraksi Mm. Erektor Pillae.

Perubahan pada Mata (Apuranto, 2007).


-

Reflex cornea dan reflex cahaya hilang

Cornea menjadi keruh, sebagai akibat tertutup oleh lapisan tipis secret mata yang
mengering. Keadaan ini diperlamnat bila kelopak mata tertutup.

Bulbus oculi melunak dan mengkerut akibat turunnya tekanan intra oculer.

Pupil dapat berbentuk bulat, lonjong atau ireguler sebagai akibat menjadi
lemasnya otot-otot iris.

Perubahan pada pembuluh darah retina. Setelah orang meninggal, aliran darah
dalam pembuluh darah retina berhenti dan mengalami segmentasi. Tanda ini
timbul beberapa menit setelah orang meninggal.

Faktor-faktor yang digunakan untuk menentukan saat terjadinya kematian


adalah:
1. Livor mortis (lebam jenazah)

2. Rigor mortis (kaku jenazah)


3. Body temperature (suhu badan)
4. Degree of decomposition (derajat pembusukan)
5. Stomach Content (isi lambung)
6. Insect activity (aktivitas serangga)
7. Scene markers (tanda-tanda yang ditemukan pada sekitar tempat kejadian)

Temuan lain saat otopsi yang dapat membantu untu menentukan saat
terjadinya kematian :
Perubahan pada mata
Kekeruhan menyeluruh pada kornea terjadi kira-kira 10-12 jam pasca mati
Perubahan dalam lambung / stomach content
Pengosongan lambung yang terjadi dalam 3-5 jam setelah makan terakhir,
misalnya sandwich akan dicerna dalam waktu 1 jam sedangkan makan besar
membtuhkan waktu 3 sampai 5 jam untuk dicerna. Kecepatan pengosongan
lambung ini dipengaruhi oleh penyakit-penyakit saluran cerna, konsistensi
makanan dan kandungan lemaknya. (Apuranto, 2007).
Bila ditemukan lambung tak berisi makanan, rectum penuh dengan feces dan
kandung seni penuh , berarti korban meninggal waktu masih pagi sebelum
bangun. Jadi bila lambung berisi makanan kasar berarti korban meninggal dalam
waktu kurang lebih 6 jam setelah makan terakhir. Bila ditemukan lambung tak
berisi makananm duodenum dan ujung atas usus halus berisi makanan yang telah
tercerna, berarti korban meninggal dalam waktu lebih kurang 6 jam setelah makan
terakhir. (Apuranto, 2007).

Perubahan Rambut dan jenggot


Panjang rambut kumis dan jenggot dapat dipergunakan untuk memperkirakan
saat kematian, kecepatan tumbuh rambut rata-rata 0,4 mm/hari. Dapat mengetahui
saat kematian dalam hubungan dengan saat terakhir korban mencukur jenggotnya.
Rambut pada orang hidup mempunyai kecepatan tumbuh 0,5mm/hari dan setelah
meninggal tidak tumbuh lagi. Pemeriksaan rambut jenggot ini harus dilakukan
dalam 24 jam pertama sebab lebih dari 24 jam kulit mengkerut dan rambut dapat
lebih muncul diatas kulit sehingga seolah-olah rambut masih tumbuh. Rambut
lepas setelah 14 hari. (Apuranto, 2007).
Pertumbuhan kuku
Pertumbuhan kuku yang diperkirakan sekitar 0,1 mm/hari. Kuku akan lepas
setelah 21 hari. (Apuranto, 2007).
Perubahan dalam cairan serebrospinal
Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14 mg% menunjukkan kematian belum
lewat 10 jam, Kadar nitrogen non protein kurang 80 mg% menunjukkan kematian
belum 24 jam
Metode Entomologik / Larva lalat / insect activity
Ini dipakai untuk memperkirakan saat kematian dengan jalan menentukan siklus
hidupnya.
Siklus : Telur (8-14 jam) (larva (9-12 hari) (kepompong 12 hari) lalat dewasa)
Syarat : tidak boleh ada kepompong & dicari larva lalat yang paling besar.

Bila sudah ada kepompong, maka penentuan saat kematian berdasarkan umur
larva tidak dapat dipakai. Karena kepompong it statis (besarnya selalu tetap
meskipun isinya bertambah). Bila belum ada kepompong, hanya ada larva lalat
dapat dipakai untuk menentukan umurnya karena larva lalat bila tumbuh akan
menjadi bertambah besar. (Apuranto, 2007).
Larva Musca domestica mencapai panjang 8 mm pada hari ke-7, berubah menjadi
kepompong pada hari ke-8, menjadi lalat pada hari ke-14. Larva Sarcophaga
cranaria mencapai panjang 20 mm pada hari ke-9, menjadi kepompong pada hari
ke-10 dan menjadi lalat pada hari ke-18. Necrophagus species akan memakan
jaringan tubuh jenazah. Sedangkan predator dan parasit akan memakan serangga
Necrophagus. Omnivorus species akan memakan keduanya baik jaringan tubuh
maupun serangga. Telur lalat biasanya akan mulai ditemukan pada jenazah
sesudah 1-2 hari postmortem. Larva ditemukan pada 6-10 hari postmortem.
Sedangkan larva dewasa yang akan berubah menjadi pupa ditemukan pada 12-18
hari. (Apuranto, 2007).
Reaksi supravital
Reaksi jaringan tubuh sesaat pasca mati klinis yang masih sama seperti reaksi
jaringan tubuh pada seseorang yang hidup. Rangsang listrik dapat menimbulkan
kontraksi otot mayat hingga 90-120 menit pasca mati, mengakibatkan sekresi
kelenjar sampai 60-90 menit pasca mati, trauma masih dapat menimbulkan
perdarahan bawah kulit sampai 1 jam pasca mati

BAB III
PENUTUP

Tanatologi merupakan ilmu yang sangat berperan penting dalam ilmu


kedokteran kehakiman terutama dalam hal pemeriksaan jenazah dan pembuatan
visum et repertum. Dengan mengetahui dan memahami ilmu tanatologi, maka
penentuan mengenai apakah seseorang benar benar sudah meningal atau belum,
penetapan waktu kematian, sebab kematian, cara kematian dapat diperkirakan
dengan tepat. Dan dapat pula membantu dalam kepentingan mengenai
mengangkat atau mengambil organ untuk kepentingan donor atau transplantasi
dan untuk membedakan perubahan-perubahan yang terjadi post mortal dengan
kelainan-kelainan yang terjadi pada waktu korban masih hidup.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tim Penulis Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia, Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: FKUI; 1997.
2. Apuranto Hariadi, Hoediyanto. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal. BAgian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas
Kedokteran Universita Airlangga, Surabaya. 2007
3. Idries, Abdul Munim. Saat Kematian dalam Ilmu Kedokteran Forensik.
Binarupa Aksara, Jakarta. 1997
4. Budiyanto Arif, Wibisana Widiatmaka, Siswandi Sudiono, et al.
Tanatologi dalam Ilmu Kedokteran Forensik. FK UI, Jakarta. 1997
5. Sampurna Budi, Zulhasmar Samsu. Tanatologi dan Perkiraan Saat
Kematian dalam
Peranan Ilmu Forensik dalamPenegakan Hukum, Sebuah Pengantar.
Jakarta. 2004.
6. Basbeth F, 2009.
Dekomposisi Pasca Mati. Bagian Forensik &
Medikolegal FKUI Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai