PENDAHULUAN
Tanatologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perubahanperubahan pada tubuh seseorang yang telah meninggal. Perubahan perubahan
yang terjadi setelah kematian dibedakan menjadi dua yaitu perubahan yang terjadi
secara cepat (early) dan perubahan yang terjadi secara lambat (late). (FK UI,
2007) & (Apuranto, 2007).
Ilmu tanatologi merupakan ilmu yang paling dasar dan paling penting
dalam ilmu kedokteran kehakiman terutama dalam hal pemeriksaan jenazah
(visum et repertum). Kepentingan mempelajari tanatologi adalah untuk
menentukan apakah seseorang benar benar sudah meningal atau belum,
menetapkan waktu kematian, sebab kematian, cara kematian, dan mengangkat
atau mengambil organ untuk kepentingan donor atau transplantasi dan untuk
membedakan perubahan-perubahan yang terjadi post mortal dengan kelainankelainan yang terjadi pada waktu korban masih hidup, serta untuk mengetahui saat
waktu kematian. (FK UI, 2007) & (Apuranto, 2007).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanatologi
Tanatologi berasal dari kata thanatos (yang beerhubungan dengan
kematian) dan logos (ilmu). Tanatologi adalah bagian dari Ilmu Kedokteran
Forensik yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kematian yaittu definisi
atau batasan mati, perubahan yang terjadi pada tubuh setelah terjadi kematian dan
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut (FK UI, 1997).
Mati menurut ilmu kedokteran didefinisikan sebagai berhentinya fungsi
sirkulasi dan respirasi secara permanen (mati klinis). Dengan adanya
perkembangan teknlogi ada alat menggantikan fungsi sirkulasi dan respirasi
seecara buatan. Oleh karena itu definisi kematian berkembang menjadi kematian
batang otak. Brain death is death. Mati adalah kematian batang otak (FK UI,
1997).
Ada tiga manfaat tanatologi ini, antara lain untuk dapat menetapkan hidup
atau matinya korban, memperkirakan lama kematian korban, dan menentukan
wajar atau tidak wajarnya kematian korban (FK UI, 1997).
Menetapkan apakah korban masih hidup atau telah mati dapat kita ketahui
dari masih adanya tanda kehidupan dan tanda-tanda kematia. Tanda kehidupan
dapat kita nilai dari masih aktifnya siklus oksigen yang berlangsung dalam tubuh
korban. Sebaliknya tidak aktifnya siklus oksigen menjadi tanda kematian (FK UI,
1997).
Mati suri (apparent death) ialah suatu keadaan yang mirip dengan
kematian somatis, akan tetapi gangguan yang terdapat pada ketiga sistem bersifat
sementara. Kasus seperti ini sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur,
tersengat aliran listrik dan tenggelam (FK UI, 1997).
Mati seluler (mati molekuler) ialah suatu kematian organ atau jaringan
tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup
masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian
seluler pada tiap organ tidak bersamaan (FK UI, 1997).
Mati serebral ialah suatu kematian akibat kerusakan kedua hemisfer otak
yang irreversible kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem
lainnya yaitu sistem pernapasan dan kardiovaskuler masih berfungsi dengan
bantuan alat (FK UI, 1997).
Mati otak (mati batang otak) ialah kematian dimana bila telah terjadi
kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang irreversible, termasuk batang
otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati otak (mati batang otak) maka
dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi,
sehingga alat bantu dapat dihentikan (FK UI, 1997).
3. Kulit pucat.
4. Tonus otot menghilang dan relaksasi.
5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah kematian.
6. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang
masih dapat dihilangkan dengan meneteskan air mata (FK UI, 1997).
A.
c)
d) Tes magnus : tidak adanya tanda sianotik pada ujung jari tangan setelah jari
tangan korban kita ikat.
e) Tes Icard : daerah sekitar tempat penyuntikan larutan Icard subkutan tidak
berwarna kuning kehijauan.
f)
c) Tidak ada gerakan permukaan air dalam gelas yang kita taruh diatas perut korban
pada tes Winslow.
d) Tidak ada uap air pada cermin yang kita letakkan didepan lubang hidung atau
mulut korban.
e) Tidak ada gerakan bulu burung yang kita letakkan didepan lubang hidung atau
mulut korban.
Areflex
b)
Relaksasi
c)
d)
e)
2. Kulit wajah:
Kulit wajah tampak memucat, ini dikarnakan sirkulasi darah berhenti, akan terjadi
pengendapan darah terutama pembuluh darah besar
3. Relaksasi primer :
Relaksasi primer terjadi akibat menghilangnya tonus otot, ini akan tampak jelas
terlihat pada otot yang menyokong organ melawan gravitasi, seperti pada rahang
bawah yang tampak melorot
4. Perubahan pada mata :
Perubahan pada mata setelah kematian dapat dipakai sebagai penentuan saat mati.
Perubahan ini meliputi :
Penurunan tekanan intra okuler, tekanan intra okuler yang turun ini mudah
menyebabkan kelainan bentuk pupil sehingga pupil kehilangan bentuk
sirkuler setelah mati dan ukurannya pun menjadi tidak sama ,pupil dapat
berkontraksi dengan diameter 2 mm atau berdilatasi sampai 9 mm dengan
rata-rata 4-5 mm oleh karena pupil mempunyai sifat tidak tergantung
dengan pupil lainnya maka sering terdapat perbedaan sampai3 mm. Nicati
(1894) telah melakukan pengukuran terhadap tekanan bola mata
posmortem dimana tekanan normal pada bola mata pada waktu hidup
adalah 14g -25g akan tetapi begitu sirkulasi terhenti maka penurunan
tekanan bola mata menjadi sangat rendah (tidaksampai mencapai 12g) dan
dalam waktu 30 menit akan berkurang menjadi 3g yang kemudian menjadi
nol setelah 2 jam kematian. Penurunan tekanan bola mata ini pernah
dicoba untuk menentukan perkiraan saat kematian.
pengeluaran panas berlangsung terus, dengan akibat suhu jenazah akan turun.
Cara pengukuran penurunan suhu jenazah adalah dengan thermo couple
(Apuranto, 2007).
Penurunan suhu tubuh terjadi karena proses pemindahan panas dari badan
ke benda yang lebih dingin, malalui cara radiasi, konduksi, evaporasi dan
konveksi. Berdasarkan penelitian, kurva penurunan suhu mayat akan berbentuk
kurva sigmoid, dimana pada jam-jam pertama penurunan suhu akan berlangsung
dengan lambat, demikian pula bila suhu tubuh mayat telah mendekati suhu
lingkungan. Tubuh terdiri dari lapisan yang tidak homogen, maka lapisan yang
berada di bawah kulit akan menyalurkan panasnya ke arah kulit, sedangkan
lapisan tersebut juga menerima panas dari lapisan yang berada dibawahnya.
Keadaan tersebut yaitu dimana terjadi pelepasan atau penyaluran panas secara
bertingkat dengan sendirinya membutuhkan waktu, hal ini menerangkan mengapa
pada jam-jam pertama setelah terjadinya kematian somatik penurunan suhu
berlangsung lambat (Apuranto, 2007).
Bila telah tercapai suatu keadaan yang dkenal sebagai temperature
gradient, yaitu suatu keadaan dimana telah terdapat perbeadaan suhu yang
bertahap di antara lapisan-lapisan yang menyusun tubuh, maka penyaluran panas
dari bagian tubuh ke permukaan dapat berjalan dengan lancar, penurunan suhu
tubuh mayat akan tampak jelas. Proses metabolisme sel yang masih berlangsung
beberapa saat setelah kematian somatik dimana juga terbentuk energi, merupakan
faktor yang menyebabkan mengapa penurunan suhu mayat pada jam-jam pertama
berlangsung dengan lambat (Apuranto, 2007).
Oleh karena suhu mayat akan terus menurun, maka akan dicapai suatu
keadaan dimana perbedaan antara suhu mayat dengan suhu lingkungan tidak
terlalu besar, hal ini yang menerangkan mengapa penurunan suhu mayat pada saat
mendekati suhu lingkungan berlangsung lambat (Apuranto, 2007).
Kecepatan turunnya suhu dipengaruhi oleh (Apuranto, 2007).
1. Suhu udara : makin besar perbedaan suhu udara dengan suhu tubuh jenazah, maka
penurunan suhu jenazah makin cepat.
2. Pakaian : makin tebal pakaian makin lambat penurunan suhu jenazah.
3. Aliran udara dan kelembaban : aliran darah mempercepat penurunan suhu
jenazah.
4. Keadaan tubuh korban : apabila tubuh korban gemuk, yang berarti mengandung
banyak jaringan lemak, maka penurunan jenazah lambat.
5. Aktifitas : apabila sesaat sebelum korban meninggal korban melakukan aktifitas
yang hebat, maka suhu tubuh waktu meninggal lebih tinggi.
6. Sebab kematian : bila korban meninggal karena keradangan (sepsis), suhu tubuh
waktu meninggal malah meningkat.
Apabila korban meninggal di dalam air, maka penurunan suhu jenazah
tergantung pada (Apuranto, 2007).
a. Suhu air
b. Aliran air
c. Keadaan air
Pengukuran suhu mayat dilakukan dengan memasukkan thermometer kedalam
rectum atau dapat pula dalam alat dalam seperti otak atau hati yang tertentunya
baru dapat dilakukan bila dilakukan bedah mayat. Bila yang dipergunakan
thermometer air raksa konversional, maka pembacaan hasil dilakukan setelah
sekurang-kurangnya 3 menit, thermometer dimasukkan dalam rektum sedalam 10
cm. bila thermometer elektronis, pembacaan hasil pengukuran dapat dilakukan
segera (Idries, 1997).
Perbedaan saat kematian dapat dihitung dari pengukuran suhu mayat
perrektal. (Rectal temperature/ RT). Saat kematian (dalam jam) dapat dihitung
rumus Post Mortem Interval (PMI) oleh Glaister Dan Rentoul :
Formula untuk suhu dalam oCelcius
PMI =37 oC-RT oC+3
Formula untuk suhu dalam ofahrenheit
PMI = 98,6o F-RToF
1,5
Suhu tubuh normal adalah sebesar 98,6 oF, sedangkan rata-rata penurunan
suhu per jam dimana suhu lingkungan 70o F (21o C) adalah 1,5. Rata-rata
penurunan suhu pada jam-jam pertama adalah 2o F, 1o F setelah tercapainya
keseimbangan antara suhu tubuh dengan lingkungan (Idries, 1997).
Saat kematian (dalam jam) dapat dihitung rumus Post Mortem Interval (PMI) oleh
Glaister dan Rentoul :
berpindah jika posisi mayat diubah. Tidak hilangnya lebam mayat dikarenakan
telah terjadi perembesan darah akibat rusaknya pembuluh darah ke dalam jaringan
di sekitar pembuluh darah itu, walaupun setelah 24 jam, darah masih tetap cukup
cair sehingga sejumlah masih dapat mengalir dan membentuk lebam mayat di
tempat terendah yang baru (Budiyanto, 1997).
Bentuk dari lebam mayat tergantung posisi tubuh pasca mati. Sering posisi
mayat terlentang dengan bahu, pantat, dan punggung menekan permukaan tanah.
Hal ini menyebabkan tekanan pada aliran darah di area-area tersebut, sehingga
lebam tidak timbul pada daerah tersebut dan kulit tetap berwarna sama. Bila tubuh
dalam posisi vertikal setelah mati, dalam kasus penggantungan, lebam mayam
terbanyak terletak di kaki, tungkai kaki, ujung jari tangan, dan lengan bawah
(Apuranto, 2007).
Bagian pucat terjadi juga pada daerah penunjang atau daerah tertekan
lainnya sehingga meniadakan adanya lebam mayat dan membentuk pola. Sebagai
contoh, daerah pucat yang tidak rata akibat penekanan daerah tubuh mayat oleh
tepi sprei, tekanan oleh ikat pinggang yang ketat,bahkan kaos kaki. Pada korban
yang terkena arus listrik, yang mengambil tempat di air (biasanya bak mandi)
lebam mayat terbatas dalam bentuk horisontal menurut batas air (Apuranto, 2007).
Lebam mayat sering berwarna merah padam, tetapi bervariasi, tergantung
oksigenasi sewaktu korban meninggal. Bila terjadi bendungan atau hipoksia,
mayat memiliki warna lebam yang lebih gelap karena adanya hemoglobin
tereduksi dalam pembuluh darah kulit. Lebam mayat merupakan indikator kurang
akurat dalam menentukan mekanisme kematian, dimana tidak ada hubungan
antara tingkat kgelapan lebam mayat dengan kematian yang disebabkan oleh
asfiksia. Kematian dengan sebab wajar oleh karena gangguan koroner atau
penyakit lain memiliki lebam yang lebih gelap. Terkadang area lebam mayat
berwarna terang dan dilanjutkan dengan area lebam mayat yang lebih gelap. Hal
ini akan berubah seiring dengan memanjangnya interval posterior mortem. Sering
kali warna lebam mayat merah terang atau merah muda. Kematian yang
disebabkan oleh hipotermi atau terpapar udara dingin selama beberapa waktu
seperti tenggelam, dimana warna lebam mayat dapat menentukan penyebab
kematian tetapi relatif tidak spesifik oleh karenamayat yang terpapar udara dingin
setelah mati (terutama bila mayat yang berada dalam lemari es mayat) dapat
terjadi perubahan lebam dari merah padam menjadi merah muda (Apuranto,
2007).
Mekanismenya belum pasti, tetapi sangatlah jelas merupakan hasil dari
perubahan hemoglobin tereduksi menjadi oksihemoglobin. Hal ini dapat
dimengerti pada kasus hipotermi, dimana metabolise reduksi dari jaringan gagal
mengambil oksigen dari sirkulasi darah (Apuranto, 2007).
Korban meninggal maka peredaran darah berhenti (stagnasi) dan sesuai dengan
arah gravitasi maka darah akan mencari tempat yang terendah hingga terlihat
bintik-bintik merah kebiruan. Timbul : 30 menit setelah kematian somatis dan
intensitas maksimal (menjadi lengkap) setelah 8-12 jam post mortal. Sebelum
waktu ini, lebam mayat masih dapat berpindah-pindah, jika posisi mayat diubah,
misalnya dari terlentang menjadi tengkurap. Namun setelahnya, lebam mayat
sudah tidak dapat hilang (fenomena kopi tubruk).
Tidak hilangnya lebam mayat pada saat itu, dikarenakan telah terjadinya
perembesan darah kedalam jaringan sekitar akibat rusaknya pembuluh darah
akibat tertimbunnya sel sel darah dalam jumlah yang banyak, adanya proses
hemolisa sel-sel darah dan kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah. Dengan
demikian penekanan pada daerah lebam yang dilakukan setelah 8 12 jam tidak
akan menghilang. Hilangnya lebam pada penekanan dengan ibu jari dapat
memberi indikasi bahwa suatu lebam belum terfiksasi secara sempurna. Atas
dasar keadaan tersebut, maka dari sifat-sifat serta distribusi lebam mayat dapat
diperkirakan apakah pada tubuh korban telah terjadi manipulasi merubah posisi
korban.
Diketahui bahwa warna lebam mayat yang merah padam berubah menjadi
merah muda pad batas horisontal anggota tubuh bagian atas, warna lebam pada
anggota tubuh bagian bawah tetap gelap, sehingga perubahan secara kuantitatif
lebam dapat ditentukan, dimana hemoglobin lebih mudah mengalami reoksigenasi
karena eritrosit kurang mengendap pada bagian lebam (Apuranto, 2007).
Perubahan lainnya pada warna lebam lebih berguna. Yang paling sering
adalah merah terang (Cherry red), oleh karena karboksihemoglobin (CO-Hb)
terletak pada seluruh jaringan, warna ini khas dan sering merupakan indikasi
pertama adanya keracunan karbonmonoksida (CO). Keracunan sianida (CN)
memiliki ciri khas tertentu, yaitu warna lebam mayat merah kebiruan yang
disebabkan terjadinya bendungan dan sianosis (kurang O2, karena pelepasan O2 ke
jaringan dihambat). Bila ahli forensik tidak teliti terhadap penyebab dari riwayat
dan bau sianida (CN-bau amandel), sangatlah susah menggunakan lebam mayat
: Merah kebiruan
- Keracunan CO
: Cherry red
- Keracunan CN
: Bright red
- Keracunan nitrobenzena
: Chocolate brown
- Asfiksia
: Dark red
trauma (ekstravasasi). Bila pada daerah tersebut dilakukan irisan dan kemudian
disiram dengan air, maka warna merah darah akan hilang atau pudar pada lebam
mayat, sedangkan pada resapan darah tidak menghilang. Lamanya darah dalam
keadaan tetap mencair, bila koagulasi darah terganggu, sehingga lebam mayat
lebih ceapt muncul. Baila darah cvepat mengalami koagulasi, lebam mayat
lebihlambat terbentuk (Apuranto, 2007).
1. Cadaveric spasm (instantneous rigor), adalah bentuk kekakuan otot yang terjadi
pada saat kematian menetap. Cadaveric spasm sesungguhnya merupakan kaku
mayat yang timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului tanpa relaksasi
primer malainkan mayat langsung mengalami kelakuan secara terus-menerus
sampai terjadi relaksasi sekunder. Penyebabnya adalah akibat habisnya cadangan
glikogen dan ATP yang bersifat setempat pada saat mati klinis karena kelelahan
atau emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal. Lokasi kaku biasanya setempat
dan pada kelompok otot-otot tertentu misalnya otot lengan bawah tau tangan.
Lebih kaku dari pada rigor mortis. Kordinasi otot bagus, ada pengaruh faktor
psikis atau emosi dan aktivitas setempat. Salah satu kematian intravital. Kasus
yang bias kita temukan mayat mengalami cadaveric spasme, yaitu bunuh diri
dengan pistol atau senjata tajam, mati tenggelam, mati mendaki gunung,
pembunuhan dimana korban menggenggamkan robekan pakaian pembunuh.
Table 1. Perbedaan Cadaveric spasm dengan kaku mayat
Cadaveric Spasm
Kaku mayat
Waktu terjadinya
Cenderung intravital
Post mortal
Relaksasi primer
Tidak ada
Ada
Timbulnya
Cepat
Lambat
Derajat waktu
Tinggi
(seperti Kurang
kontraksi)
Lamanya
Lambat hilang
Cepat
Koordinasi otot
Baik
Kurang
Lokasi otot-otot
Menyeluruh
2. Heat stiffening, yaitu kekakuan pada otot akibat koagulasi protein otot oleh panas.
Otot-otot bewarna merah muda, kaku, tetapi rauh (mudah robek). Keadaan ini
dapat dijumpai pada mati terbakar. Pada Heat stiffening serabut-serabut ototnya
memendek sehingga menimbulkan fleksi leher, siku, paha dan lutut, membentuk
seperti petinju (pugilistic attitude). Perubahan sikap ini tidak memberikan arti
tertentu bagi sikap sesame hidup, intravitalitas, penyebab atau cara kematian.
3. Cold stiffening. Yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin, sehingga terjadi
pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan sendi ditekuk akan terdengar bunyi
pecahnya es dalam rongga sendiri.
Pembeda
Rigor Mortis
Waktu
Cadaveric Spasm
Faktor
predisposisi
Etiologi
dll.
Habisnya cadangan glikogen
secara general.
otot setempat.
tertentu.
Pola
terjadinya
kaku otot
Kepentingan
medikolegal
Pembeda
Rigor Mortis
Cadaveric Spasm
Suhu mayat
Dingin.
Hangat.
Ada.
Tidak ada.
Ada
Tidak ada
Lambat
Cepat
Kematian
sel.
Relaksasi
primer
Timbulnya
Lamanya
Cepat hilang
Kurang
Baik
Menyeluruh
tenaga.
melawannya.
Koordinasi
otot
Lokasi otot
Rangsangan
sel.
Kaku otot.
o akibat habisnya cadangan glikogen dan ATP yang bersifat setempat pada saat
mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal
o kaku mayat timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului oleh relaksasi
primer, mayat langsung mengalami kekakuan secara terus-menerus sampai terjadi
relaksasi sekunder
o Terlihat pada kasus : bunuh diri dengan pistol atau senjata tajam, mati tenggelam,
mati mendaki gunung, pembunuhan dimana korban menggenggam robekan
pakaian pembunuh
2. Heat stiffening :
o kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas
Cold stiffening
o terjadi pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan sendi, pemadatan jaringan lemak
subkutan dan otot
4. Pembusukan / Decomposition
Pembusukan adalah proses degradasi jaringan pada tubuh mayat yang
terjadi sebagai akibat proses autolisis dan aktivitas mikroorganisme. Di Maio
mengatakan autolisis adalah perlunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam
keadaan steril melalui proses kimia yang disebabkan oleh enzim-enzim
intraseluler, sehingga organ-organ yang kaya dengan enzim-enzim akan
mengalami proses autilisis lebih cepat daripada organ-organ yang tidak memiliki
enzim, dengan demikian pancreas akan mengalami autolisis lebih cepat dari pada
jantung. (Basbeth F, 2009)
Proses autolisis ini tidak dipengaruhi oleh mikroorganisme oleh karena itu
pada mayat yang steril misalnya mayat bayi dalam kandungan proses autolisis ini
tetap terjadi (Basbeth F, 2009).
Atmaja, Dahlan dan Marshall mengatakan proses auotolisis terjadi sebagai
akibat dari pengaruh enzim yang dilepaskan pasca mati. Mula-mula yang terkena
ailah nukleoprotein yang terdapat pada kromatin dan sesudah itu sitoplasmanya,
kemudian dinding sel akan mengalami kehancuran sebagai akibatnya jaringan
akan menjadi lunak dan mencair (Basbeth F, 2009).
penyebab
utamanya,
sedangkan
bakteri
yang
lain
seperti
banyak bakteri dan letaknya yang lebih superfisial.Perubahan warna ini secara
bertahap akan meluas keseluruh dinding abdomen sampai ke dada dan bau
busukpun mulai tercium (Basbeth F, 2009).
Perubahan warna ini juga dapat dilihat pada permukaan organ dalam
seperti hepar, dimana hepar merupakan organ yang langsung kontak dengan kolon
transversum (Basbeth F, 2009).
Bakteri ini kemudian masuk kedalam pembuluh darah dan berkembang
biak didalamnya yang menyebabkan hemolisa yang kemudian mewarnai dinding
pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Bakteri ini memproduksi gas-gas
pembusukan yang mengisi pembuluh darah yang menyebabkan pelebaran
pembuluh darah superfisial tanpa merusak dinding pembuluh darahnya sehingga
pembuluh darah beserta cabang-cabangnya tampak lebih jelas seperti pohon
gundul (arborescent pattern atau arborescent mark) yang sering disebut marbling.
Selain bakteri pembusukan ini banyak terdapat dalam intestinal dan paru bakteribakteri ini cenderung berkumpul dalam sistem vena, maka gambaran marbling ini
jelas terlihat pada bahu,dada bagian atas, abdomen bagian bawah dan paha
(Basbeth F, 2009).
Bila Cl.Welchii mulai tumbuh pada satu organ parenchim, maka
sitoplasma dari organ sel itu akan mengalami desintegrasi dan nukleusnya akan
dirusak sehingga sel menjadi lisis atau rhexis. Kemudian sel-sel menjadi lepas
Scrotum dan penis dapat membesar dan membengkak, leher dan muka
dapat menggembung, bibir menonjol seperti frog-like-fashion, Kedua bola mata
keluar, lidah terjulur diantara dua gigi, ini menyebabkan mayat sulit dikenali
kembali oleh keluarganya. Pembengkakan yang terjadi pada seluruh tubuh
mengakibatkan berat badan mayat yang tadinya 57 - 63 kg sebelum mati menjadi
95 - 114 kg sesudah mati (Basbeth F, 2009).
Tekanan yang meningkat didalam rongga dada oleh karena gas
pembusukan yang terjadi didalam cavum abdominal menyebabkan pengeluaran
udara dan cairan pembusukan yang berasal dari trachea dan bronchus terdorong
keluar, bersama-sama dengan cairan darah yang keluar melalui mulut dan hidung.
Cairan pembusukan dapat ditemukan di dalam rongga dada, ini harus dibedakan
dengan hematotorak dan biasanya cairan pembusukan ini tidak lebih dari 200 cc.
Pengeluaran urine dan feses dapat terjadi oleh karena tekanan intra abdominal
yang meningkat. Pada wanita uterus dapat menjadi prolaps dan fetus dapat lahir
dari uterus yang pregnan (Basbeth F, 2009).
Pada anak-anak adanya gas pembusukan dalam tengkorak dan otak
menyebabkan sutura-sutura kepala menjadi mudah terlepas. Organ-organ dalam
mempunyai kecepatan pembusukan yang berbeda-beda dalam. Jaringan
intestinal,medula adrenal dan pancreas akan mengalami autolisis dalam beberapa
jam setelah kematian. Organ-organ dalam lain seperti hati, ginjal dan limpa
merupakan organ yang cepat mengalami pembusukan. Perubahan warna pada
dinding lambung terutama di fundus dapat dilihat dalam 24 jam pertama setelah
kematian. Difusi cairan dari kandung empedu kejaringan sekitarnya menyebabkan
perubahan warna pada jaringan sekitarnya menjadi coklat kehijauan. Pada hati
dapat dilihat gambaran honey combs appearance, limpa menjadi sangat lunak dan
mudah robek, dan otak menjadi lunak (Basbeth F, 2009).
Organ dalam seperti paru, otot polos, otot lurik dan jantung mempunyai
kecendrungan untuk lambat mengalami pembusukan. Sedangkan uterus non
gravid, dan prostat merupakan organ yang lebih tahan terhadap pembusukan
karena strukturnya yang berbeda dengan jaringan yang lain yaitu jaringan
fibrousa. Organ-organ ini cukup mudah dikenali walaupun organ-organ lain sudah
mengalami pembusukan lanjut. Ini sangat membantu dalam penentuan identifikasi
jenis kelamin (Basbeth F, 2009).
Yang menarik pada pembusukan lanjut dari organ dalam ini adalah
pembentukan granula-granula milliary atau milliary plaques yang berukuran
kecil dengan diameter 1-3 mm yang terdapat pada permukaan serosa yang terletak
pada endotelial dari tubuh seperti pleura, peritoneum, pericardium dan
endocardium. Milliary plaques ini pertama kali ditemukan oleh Gonzales yang
secara mikroskopis berisi kalsium pospat, kalsium karbonat, sel-sel endotelial,
massa seperti sabun dan bakteri, yang secara medikolegal sering dikacaukan
dengan proses peradangan atau keracunan (Basbeth F, 2009).
Pada orang yang obese, lemak-lemak tubuh terutama perirenal, omentum
dan mesenterium dapat mencair menjadi cairan kuning yang transluscent yang
mengisi rongga badan diantara organ yang dapat menyebabkan autopsi lebih sulit
dilakukan dan juga tidak menyenangkan (Basbeth F, 2009).
Bila mayat diletakkan pada suhu hangat dan lembab maka proses
pembusukan akan berlangsung lebih cepat. Sebaliknya bila mayat diletakkan pada
suhu dingin maka proses pembusukan akan berlangsung lebih lambat (Basbeth F,
2009).
Pada mayat yang gemuk proses pembusukan berlangsung lebih cepat dari
pada mayat yang kurus oleh karena kelebihan lemak akan menghambat hilangnya
panas tubuh dan kelebihan darah merupakan media yang baik untuk
perkembangbiakkan organisme pembusukan (Basbeth F, 2009).
Pada bayi yang baru lahir hilangnya panas tubuh yang cepat menghambat
pertumbuhan bakteri disamping pada tubuh bayi yang baru lahir memang terdapat
sedikit bakteri sehingga proses pembusukan berlangsung lebih lambat (Basbeth F,
2009).
Proses pembusukan juga dapat dipercepat dengan adanya septikemia yang
terjadi sebelum kematian seperti peritonitis fekalis, aborsi septik, dan infeksi paru.
Disini gas pembusukan dapat terjadi walaupun kulit masih terasa hangat (Basbeth
F, 2009).
Media di mana mayat berada juga memegang peranan penting
dalam kecepatan pembusukan mayat. Kecepatan pembusukan ini di gambarkan
dalam rumus klasik Casper dengan perbandingan tanah : air : udara = 1 : 2 : 8
artinya mayat yang dikubur di tanah umumnya membusuk 8 x lebih lama dari
pada mayat yang terdapat di udara terbuka (Basbeth F, 2009).
Ini disebabkan karena suhu di dalam tanah yang lebih rendah terutama bila
dikubur ditempat yang dalam, terlindung dari predators seperti binatang dan
b. dari dalam
1) Umur. Bayi yang belum makan apa-apa paling lambat terjadi pembusukan.
2) Konstitusi tubuh. Tubuh gemuk lebih cepat membusuk daripada tubuh kurus.
3) Keadaan saat mati. Udem, infeksi dan sepsis mempercepat pembusukan.
Dehidrasi memperlambat pembusukan.
4) Seks. Wanita baru melahirkan (uterus post partum) lebih cepat mengalami
pembusukan.
Perbedaan
Bulla Pembusukan
Kecoklatan
Kuning
Tinggi
Hiperemis
Dasar bulla
Merah pembusukan
Intraepidermal
Ada
Tidak ada
Intravital
Variasi-variasi pembusukan:
a. Mummifikasi
o Terjadi bila temperatur turun, kelembaban turun dehidrasi viceral sehingga
kuman-kuman tidak berkembang tidak terjadi pembusukan mayat mengecil,
bersatu berwarna coklat kehitaman, struktur anatomi masih lengkap sampai
bertahun-tahun.
o Proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang cukup cepat sehingga
terjadi pengeringan jaringan
o Syarat terjadinya mummifikasi :
o Yang terlihat pada mummifikasi adalah penyusutan bentuk tubuh, kulit padat
hitam seperti kertas perkamen
Gambar. mummifikasi
b. Adipocare
o Terjadi karena hidrogenisasi asam lemak tidak jenuh (asam palmitat, asam stearat,
asam oleat) dihidrogenisasi menjadi asam lemak jenuh yang relatif padat .
o Suhu tinggi kelembaban tinggi lemak asam lemak pH turun kuman
tidak bisa berkembang asam lemak dehigrogenase penyabunan mayat
menjadi kebalikannya mumifikasi.
o Syarat terjadinya adiposera :
Lemak cukup
Gambar adipocere
5. Perubahan biokimia
Perubahan biokimia pada fase lanjut post mortem adalah :
-
Perubahan plasma
Perubahan jantung
Perubahan biokimia plasma ada 2 yaitu peningkatan kalium, fosfor, CO,
asam laktat dan penurunan kadar glukosa & pH. Perubahan humor vitreus
berupa peningkatan kadar kalium yang terjadi antara 24 sampai 100 jam
post mortem. Perubahan jantung berupa chicken fat clot (bekuan lemak
ayam) yaitu bekuan darah post mortem menyerupai lemak ayam yang
berwarna merah kekuningan. Bekuan ini biasanya kita temukan pada
jantung mayat yang mati dengan prosus kematian lama.
Cornea menjadi keruh, sebagai akibat tertutup oleh lapisan tipis secret mata yang
mengering. Keadaan ini diperlamnat bila kelopak mata tertutup.
Bulbus oculi melunak dan mengkerut akibat turunnya tekanan intra oculer.
Pupil dapat berbentuk bulat, lonjong atau ireguler sebagai akibat menjadi
lemasnya otot-otot iris.
Perubahan pada pembuluh darah retina. Setelah orang meninggal, aliran darah
dalam pembuluh darah retina berhenti dan mengalami segmentasi. Tanda ini
timbul beberapa menit setelah orang meninggal.
Temuan lain saat otopsi yang dapat membantu untu menentukan saat
terjadinya kematian :
Perubahan pada mata
Kekeruhan menyeluruh pada kornea terjadi kira-kira 10-12 jam pasca mati
Perubahan dalam lambung / stomach content
Pengosongan lambung yang terjadi dalam 3-5 jam setelah makan terakhir,
misalnya sandwich akan dicerna dalam waktu 1 jam sedangkan makan besar
membtuhkan waktu 3 sampai 5 jam untuk dicerna. Kecepatan pengosongan
lambung ini dipengaruhi oleh penyakit-penyakit saluran cerna, konsistensi
makanan dan kandungan lemaknya. (Apuranto, 2007).
Bila ditemukan lambung tak berisi makanan, rectum penuh dengan feces dan
kandung seni penuh , berarti korban meninggal waktu masih pagi sebelum
bangun. Jadi bila lambung berisi makanan kasar berarti korban meninggal dalam
waktu kurang lebih 6 jam setelah makan terakhir. Bila ditemukan lambung tak
berisi makananm duodenum dan ujung atas usus halus berisi makanan yang telah
tercerna, berarti korban meninggal dalam waktu lebih kurang 6 jam setelah makan
terakhir. (Apuranto, 2007).
Bila sudah ada kepompong, maka penentuan saat kematian berdasarkan umur
larva tidak dapat dipakai. Karena kepompong it statis (besarnya selalu tetap
meskipun isinya bertambah). Bila belum ada kepompong, hanya ada larva lalat
dapat dipakai untuk menentukan umurnya karena larva lalat bila tumbuh akan
menjadi bertambah besar. (Apuranto, 2007).
Larva Musca domestica mencapai panjang 8 mm pada hari ke-7, berubah menjadi
kepompong pada hari ke-8, menjadi lalat pada hari ke-14. Larva Sarcophaga
cranaria mencapai panjang 20 mm pada hari ke-9, menjadi kepompong pada hari
ke-10 dan menjadi lalat pada hari ke-18. Necrophagus species akan memakan
jaringan tubuh jenazah. Sedangkan predator dan parasit akan memakan serangga
Necrophagus. Omnivorus species akan memakan keduanya baik jaringan tubuh
maupun serangga. Telur lalat biasanya akan mulai ditemukan pada jenazah
sesudah 1-2 hari postmortem. Larva ditemukan pada 6-10 hari postmortem.
Sedangkan larva dewasa yang akan berubah menjadi pupa ditemukan pada 12-18
hari. (Apuranto, 2007).
Reaksi supravital
Reaksi jaringan tubuh sesaat pasca mati klinis yang masih sama seperti reaksi
jaringan tubuh pada seseorang yang hidup. Rangsang listrik dapat menimbulkan
kontraksi otot mayat hingga 90-120 menit pasca mati, mengakibatkan sekresi
kelenjar sampai 60-90 menit pasca mati, trauma masih dapat menimbulkan
perdarahan bawah kulit sampai 1 jam pasca mati
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA