Anda di halaman 1dari 51

CASE REPORT

VERTIGO VESTIBULER PERIFER, EPILEPSI

Pembimbing

dr. Tutwuri Handayani, Sp. S, M.Kes

Disusun oleh:

Rifani Nugroho

2016730135

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

PERIODE 21 JUNI – 18 JULI 2021

RSUD R. SYAMSUDIN SH SUKABUMI

2021
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus “VERTIGO VESTIBULER PERIFER,
EPILEPSI” ini tepat pada waktunya.
Dalam penulisan laporan ini, tidak lepas dari bantuan dan kemudahan yang diberikan
secara tulus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. Tutwuri Handayani Sp.S, M.Kes sebagai dokter pembimbing.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembuatan laporan ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak yang membaca ini, agar penulis dapat mengoreksi dan dapat membuat laporan
referat ini yang lebih baik kedepannya.
Demikianlah laporan ini dibuat sebagai tugas dari kegiatan klinis di stase Saraf serta
untuk menambah pengetahuan bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Jakarta, Juni 2021

Penulis
STATUS PASIEN

2.1. Identitas Pasien


Nama : Nn. AP
Umur : 19 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kp. Sukamantri
Pekerjaan : Mahasiswi
Status : Lajang
No. RM : 0003****
Tanggal masuk : 28/06/2021
Tanggal pemeriksaan : 29/06/2021

2.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan kepada keluarga pasien (alloanamnesis) pada tanggal 29 Juni 2021
di ruang rawat inap Teratai Atas di RSUD Syamsudin, SH. Sukabumi
 Keluhan Utama
Pasien pusing berputar sejak 2 hari SMRS

 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD R. Syamsudin SH diantar oleh keluarganya pada
tanggal 26 Mei 2021 dengan keluhan pusing berputar sejak 2 hari SMRS. Pusing
dirasakan tiba-tiba saat berubah posisi dari tidur ke duduk dan berkurang bila
beristirahat.
11 jam SMRS pasien kejang 1 kali selama ± 3 menit dengan kaki tangan
kelojotan, mata mendelik ke atas dan mulut terbuka kaku. Selama kejang pasien tidak
diberikan obat apapun. Setelah kejang pasien sadar dan mengeluhkan sakit kepala,
mual, muntah sebanyak 10x dengan sekali muntah ± 350 ml.
1 jam SMRS pasien kejang 1 kali selama ± 2 menit dengan kaki tangan kelojotan,
mata mendelik ke atas, mulut terbuka dengan lidah menjulur keluar. Setelah kejang
pasien sadar dan dibawa ke IGD RSUD R. Syamsyudin SH. Keluhan demam, batuk
dan sesak disangkal.

 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah mengeluh keluhan seperti ini.
Riwayat epilepsi sejak 5 tahun yang lalu.
 Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan serupa pada keluarga pasien disangkal
Riwayat epilepsi, hipertensi, DM, jantung, stroke pada keluarga disangkal.
 Riwayat Pengobatan
Pasien rutin konsumsi Bamgetol 2x1/hari.
 Riwayat Psikososial
Pasien merupakan seorang mahasiswi semester 4, tidak mengalami gangguan dalam
pemahaman materi selama kuliah.
 Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat, makanan maupun cuaca.

2.3. Pemeriksaan Fisik


29/06/2021
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4M6V5
Tanda vital
 Tekanan darah : 120/70 mmhg
 Nadi : 88x/menit
 Pernapasan : 18x/menit
 Suhu : 36.8°C
 SpO2 : 98%
Status Generalis
 Kepala : Normocephal
 Wajah : Simetris
 Mata : Konjungtiva anemis (-)/(-), sklera ikterik (-)/(-)
 Telinga : Simetris, deformitas (-)/(-), sekret (-)/(-)
 Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-)/(-), darah (-)/(-)
 Mulut : Sianosis (-), mukosa bibir kering, faring hiperemis (-)
 Leher : Pembesaran KGB dan tiroid (-), JVP tidak meningkat.
 Toraks
Jantung
-Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
-Palpasi : Ictus cordis teraba
-Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)

Paru

- Inspeksi : Dinding toraks simetris


- Palpasi : Vocal fremitus sama kuat kanan dan kiri
- Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
- Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen
- Inspeksi : Perut datar, massa (-), pulsasi abnormal (-)
- Palpasi : Supel, hepar dan lien dalam batas normal, nyeri tekan (-)
- Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
- Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ekstremitas
- Superior : Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis (-/-) akral hangat
(+/+), edema (-/-), CRT < 2 detik
- Inferior : Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis (-/-) akral hangat
(+/+), edema (-/-), CRT < 2 detik

2.4. Pemeriksaan Neurologis


a. Pemeriksaan Rangsangan Meningeal
1) Kaku kuduk : - (tidak terdapat tahanan pada tengkuk)
2) Brudzinski I : -/- (tidak ditemukan fleksi pada tungkai)
3) Brudzinski II : -/- (tidak ditemukan fleksi pada tungkai)
4) Kernig : -/- (tidak terdapat tahanan sebelum mencapai 135º)
5) Laseque : -/- (tidak terdapat tahanan pada kedua kaki sebelum mencapai
70o)

b. Pemeriksaan Nervus Kranialis


1) N-I (Olfaktorius) : Tidak dilakukan pemeriksaan
2) N-II (Optikus)
a) Tajam penglihatan : Tidak dilakukan pemeriksaan
b) Lapang penglihatan : Tidak dilakukan pemeriksaan
Tes warna : Tidak dilakukan pemeriksaan
c) Fundus oculi : Tidak dilakukan pemeriksaan
3) N-III, IV, VI (Okulomotorius, Trochlearis, Abducens)
a) Kelopak mata :
Ptosis : -/-
Endopthalmus : -/-
Exophtalmus : -/-
b) Pupil : Isokor, bulat, 3mm/3mm
Refleks Pupil
 direk : +/ +
 indirek : +/ +
c) Gerakan bola mata : normal
4) N-V (Trigeminus)
a) Sensorik
 N-V1 (ophtalmicus) : tidak dilakukan
 N-V2 (maksilaris) : tidak dilakukan
 N-V3 (mandibularis) : tidak dilakukan
b) Motorik
Membuka mulut : dalam batas normal
Menggigit dan mengungah : dalam batas normal
c) Refleks :
Reflek kornea : dalam batas normal

  Dextra Sinistra
5) Motorik     N-VII
a. Mengangkat alis (+) (+)
(Fasialis)
b. Menutup mata (+) (+)
c. Tersenyum sambil (+) (+)
memperlihatkan gigi
Sensorik    
a. Daya kecap lidah 2/3 Tidak Tidak
depan dilakukan dilakukan

6) N. VIII (Vestibulocochlearis)
a) Keseimbangan
 Nistagmus : Dalam batas normal
 Romberg : Positif (ke arah kanan)

b) Pendengaran
 Tes Rinne : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
 Tes Schwabach : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
 Tes Weber : Tidak Dilakukan Pemeriksaan

7) N-IX, X (Glosofaringeus, Vagus)


a) Refleks menelan : +
b) Refleks batuk : +
c) Perasat lidah (1/3 anterior) : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
d) Refleks muntah : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
e) Posisi uvula : Dalam batas normal
f) Posisi arkus faring : Dalam batas normal

8) N-XI (Akesorius)
a) Kekuatan M. Sternokleidomastoideus : normal
b) Kekuatan M. Trapezius : normal

9) N-XII (Hipoglosus)
a) Tremor lidah : Tidak ditemukan
b) Atrofi lidah : Tidak ditemukan
c) Ujung lidah saat istirahat : Simetris
d) Ujung lidah saat dijulurkan : Simetris
e) Fasikulasi : Tidak ditemukan

c. Pemeriksaan Motorik
1) Refleks
a) Refleks Fisiologis
 Biceps : +/ +
 Triceps : +/ +
 Achiles : +/ +
 Patella : +/ +

b) Refleks Patologis
 Babinski :-/-
 Oppenheim :-/-
 Hoffman-Trommer :-/-

2) Kekuatan Otot
5 5
Ekstremitas Superior Dextra Ekstremitas Superior Sinistra
5 5
Ekstremitas Inferior Dextra Ekstremitas Inferior Sinistra

3) Tonus Otot
Lengan : - Istirahat : normotonus/normotonus
- Gerakan pasif : spasisitas (-/-), rigiditas (-/-)
Tungkai : - Istirahat : normotonus/normotonus
- Gerakan pasif : spasisitas (-/-), rigiditas (-/-)

d. Pemeriksaan Sistem Koordinasi


1) Romberg Test : Positif
2) Tandem Walking : Negatif
3) Finger to Finger Test : Negatif
4) Finger to Nose Test : Negatif
5) Diadokokinesia : Negatif
6) Rebound phenomenom : Negatif

e. Pemeriksaan Fungsi Luhur


Tidak dilakukan pemeriksaan

f. Pemeriksaan Susunan Saraf Otonom


Miksi : Tidak ada kelainan
Defekasi : Tidak ada kelainan

g. Sensibilitas
Eksterospektif / rasa permukaan (superior dan inferior)
Rasa raba : normal
Rasa nyeri : normal
Rasa getar : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Rasa nyeri dalam : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Rasa suhu panas : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Rasa suhu dingin : Tidak Dilakukan Pemeriksaan

2.5 Pemeriksaan Penunjang


1) Foto Thorax AP (28/06/2021)

Interpretasi:
• Kolom udara trakhea tampak baik
• Daerah mediastinum tidak melebar
• Cor tidak membesar, CTR <50%
• Pinggang jantung normal
• Apex pada diafragma, sinus dan diafragma normal
• Pulmo: corakan paru normal, hilli normal, tidak tampak perbercakan, infiltrate
maupun opasitas ground glass
Kesan
• Cor dan pulmo normal
2) Pemeriksaan Laboratorium
 28/06/2021
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hb 13,0 g/dl
Leukosit 13,300/µL (H)
Hematokrit 40%
Eritrosit 4,6 juta/µL
Indeks Eritrosit
MCV 85,2 fL
MCH 28,2 pg
MCHC 33,1 g/dl
Trombosit 350,000 /µL
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 1%
Eosinofil 0 % (L)
Neutrofil Batang 0%
Neutrofil Segmen 90 % (H)
Limfosit 7 % (L)
Monosit 2%
NLR 12,9
ALC 931/µL (L)
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah Sewaktu 94 mg/dl

2.6 Resume
Pasien datang ke IGD RSUD R. Syamsudin SH diantar oleh keluarganya pada tanggal 26
Mei 2021 dengan keluhan pusing berputar sejak 2 hari SMRS. Pusing dirasakan tiba-tiba
saat berubah posisi dari tidur ke duduk dan berkurang bila beristirahat. 11 jam SMRS
pasien kejang 1 kali selama ± 3 menit dengan kaki tangan kelojotan, mata mendelik ke atas
dan mulut terbuka kaku. Selama kejang pasien tidak diberikan obat apapun. Setelah kejang
pasien sadar dan mengeluhkan sakit kepala, mual, muntah sebanyak 10x dengan sekali
muntah ± 350 ml. 1 jam SMRS pasien kejang 1 kali selama ± 2 menit dengan kaki tangan
kelojotan, mata mendelik ke atas, mulut terbuka dengan lidah menjulur keluar. Setelah
kejang pasien sadar dan dibawa ke IGD RSUD R. Syamsyudin SH. Keluhan demam, batuk
dan sesak disangkal. Riwayat epilepsy sejak 5 tahun yang lalu dan minum obat bamgetol
2x1/hari
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah
120/70mmHg, nadi 88x/menit, pernapasan 18x/menit, suhu 36,8oC. Pada pemeriksaan
sistem koordinasi Romberg test (+). Pada pemeriksaan foto thorax didapatkan hasil cor dan
pulmo normal.

2.7 Assessment
• Vertigo Vestibuler Perifer
• Epilepsi

2.8 Tata Laksana


• IVFD Futrolit + 1 amp mecobalamin 15 tpm
• Inj. Ranitidine 2 x 50 g
• Asam valproate syr 2x1
• Bamgetol 200mg 2x1
• Betahistine 6mg 3x1
• Flunarizine 5mg 2x1

2.9 Edukasi
Edukasi mengenai penyakit dan kondisi pasien

2.10 Prognosis
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Functionam : dubia ad malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
PEMBAHASAN
VERTIGO VESTIBULER PERIFER
Definisi Vertigo
Vertigo adalah ilusi ketika seseorang merasa dirinya bergerak (berputar) terhadap
sekitarnya atau lingkungan yang bergerak terhadap dirinya.

Vertigo adalah persepsi yang salah dari gerakan seseorang atau lingkungan sekitarnya.
Persepsi gerakan bisa berupa: 4

a. Vertigo vestibular adalah rasa berputar yang timbul pada gangguan vestibular.
b. Vertigo non vestibular adalah rasa goyang, melayang, mengambang yang timbul pada
gangguan sistem proprioseptif atau sistem visual

Berdasarkan letak lesinya dikenal 2 jenis vertigo vestibular, yaitu: 4

a. Vertigo vestibular perifer.

Terjadi pada lesi di labirin dan nervus vestibularis


b. Vertigo vestibular sentral.

Timbul pada lesi di nucleus vestibularis batang otak, thalamus sampai ke korteks serebri.

Etiologi
Penyebab vertigo perifer yang paling sering adalah vertigo posisi paroksismal jinak
(BPPV), penyakit Ménière, dan neuritis vestibular.

Epidemiologi

Adanya perbedaan definisi dan konsep dari vertigo menyebabkan adanya variasi
frekuensi etiologi vertigo.  studi yang meneliti mengenai gejala vertigo pada  14.790  subjek
mendapatkan Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)  sebagai etiologi terbanyak.
Pada penelitian retrospektif yang lain,  dari 4000  kunjungan ke unit gawat darurat
neurologi didapatkan dizziness (12%)  merupakan keluhan ketiga terbanyak setelah nyeri
kepala (21%),  dan stroke (13%). Pada  kasus kegawatdaruratan neurologi,  kemampuan
untuk dapat mendiagnosis vertigo sentral dan perifer menjadi penting karena berkaitan
dengan tatalaksana dan prognosis.

Patofisiologi

Sistem  vestibular secara umum dibagi menjadi komponen perifer dan sentral.
Komponen  perifer terdiri dari kanalis semisirkularis (posterior,  horizontal,  anterior)  dan
organ otolit (sakulus dan utrikulus)  bilateral. Kanalis  semisirkularis mendeteksi gerakan
berputar,  sedangkan urtikulus  dan sakulus berespons terhadap akselerasi linear dan
gravitasi.  Organ vestibular berada dalam aktivitas tonik simetris, bila tereksitasi akan
menstimulasi sistem vestibular sentral.
Pada keadaan normal,  sistem saraf pusat memberikan respons terhadap setiap
perbedaan aktivitas dari kedua kompleks nukleus vestibular. Dalam  keadaan statis (tidak ada
pergerakan kepala), aktivitas neural pada kedua nukleus vestibular simetris (gambar 3A).
Bila kepala digerakkan, terjadi aktivitas asimetris pada nukleus vestibular, yang
diinterpretasikan oleh sistem saraf pusat sebagai gerakan kepala. Adanya  proses patologis
juga akan diinterpretasikan sebagai aktivitas asimetris oleh sistem saraf pusat ( gambar 3 B).

Benign Paroxysmal Positional Vertigo

BPPV terjadi saat otokonia, suatu kalsium karbonat yang terbentuk di makula


utrikulus,  terlepas dan masuk ke dalam kanalis semisirkularis. Hal ini menyebabkan sensasi
berputar ketika terjadi perubahan posisi kepala. Lokasi tersering BPPV ialah  pada kanalis
semisirkularis posterior, yaitu kanal yang paling dipengaruhi oleh perbedaan gravitasi.
Lepasnya otokonia juga cukup sering terjadi pada kanalis semisirkularis horizontal, namun
keluhan umumnya akan spontan membaik dibandingkan dengan kanalis semisirkularis
posterior. BPPV jarang terjadi pada kanalis semisirkularis anterior, dapat disebabkan karena
posisi kanal yang paling atas, sehingga otokonia jarang masuk ke dalamnya.

Gejala dan Tanda Klinis BPPV Kanalis Semisirkularis Posterior :

Gejala utama  BPPV meliputi pusing berputar (Vertigo vestibular/ rotatoar)  berdurasi singkat
(beberapa detik), intensitas berat,  dan disertai mual dan muntah. Keluhan  ini sering kali
terjadi pada pagi hari, dipicu oleh perubahan posisi kepala relatif terhadap gravitasi,  seperti
berbaring, bangun dari tidur, berguling, membungkuk, dan posisi kepala mengadah dalam
waktu yang cukup lama. Gejala klinis BPPV  umumnya sangat khas, sehingga seringkali
diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, bahkan sekaligus dapat mengidentifikasi sisi
telinga yang terkena.

Respon positif pada manuver Dix-Hallpike (Gambar 5) merupakan standar penegakan


diagnosis klinis BPPV dengan cara sebagai berikut:

1. Pasien duduk diatas tempat tidur


2. Kepala dirotasikan 45 derajat ke satu sisi
3. Secara cepat keringkan pasien dengan kepala menggantung pada tepi tempat tidur dengan
sudut 20 derajat di bawah garis horizontal
4. Perhatikan adanya nistagmus

Pada pemeriksaan Dix-Hallpike, saat terjadi pergerakan  otokonia  pada kanalis


semisirkularis posterior (kanalolitiasis), endolimfe bergerak menjauhi kupula dan merangsang
kanal posterior. Hal  ini menimbulkan upward-beating  nystagmus dan nistagmus torsional.
Nistagmus timbul setelah periode latensi (2 sampai 5 detik) dan menghilang dalam 1 menit
(biasanya 30 detik). Dengan ulangan manuver, nistagmus akan berkurang (fatig). Bila
otokonia melekat pada kupula (kupulolitiasis), cetusan nistagmus serupa seperti nistagmus
pada kanalolitiasis  tapi memiliki durasi yang lebih panjang.
Ada nystagmus torsional yang menyertainya dengan pemukulan tiang atas ke lantai; arah
vertigo dan nistagmus terbalik saat duduk lagi. Dengan lesi perifer (labirin), gejala dan tanda
berlangsung selama sekitar 30 detik dan kelelahan dengan pengulangan sehingga mereka
tidak dapat direproduksi.
Gejala dan Tanda Klinis BPPV Kanalis Semisirkularis Horizontal
Diagnosis BPPV pada kanalis semisirkularis horizontal dilakukan dengan head-roll test
atau log-roll test di mana pasien berbaring, kepala diputar 90 o ke arah kiri kemudian kanan.
Nistagmus horizontal akan timbul saat kepala diputar ke kedua arah. Bila nistagmus menuju ke
bawah disebut nistagmus geotropic, bila menuju ke atas disebut nistagmus ageotropik. Hal ini
akan mempengaruhi pilihan terapi reposisi kanal yang sesuai.

Neuritis vestibularis

Neuritis vestibular merupakan kondisi inflamasi pada nervus vestibularis yang


kemungkinan disebabkan oleh virus.  Biasanya  diawali gejala prodromal infeksi menyerupai
viral- like illness. Riwayat  infeksi saluran nafas ditemukan sebanyak 23-100%  mendahului
gejala neuritis vestibular.

Gambaran klinis neuritis vestibular merupakan gejala keterlibatan nervus vestibularis


cabang superior,  yaitu kanalis semisirkularis horizontal,  anterior,  serta utrikulus. Hal  ini
disebabkan oleh karena cabang superior dari nervus vestibularis melewati celah yang lebih
panjang dan sempit pada ospetrosum dibandingkan  cabang inferior,  sehingga lebih rentan
mengalami edema  dan kompresi. Bila  disertai dengan gangguan pendengaran telinga, lesi
telinga dalam seperti  labirintitis,  infark labirin,  dan fistula perilimfe harus
dipertimbangkan.2

Neuritis Vestibular dan Labirinitis

Pasien dengan neuritis vestibular umumnya mengeluh vertigo yang timbul mendadak,
berlangsung beberapa hari, disertai gejala otonom, tanpa gejala koklear (gangguan
pendengaran).   Keluhan vertigo akan membaik secara bertahap dalam hitungan hari hingga
Minggu, walaupun demikian gangguan keseimbangan dapat bertahan selama beberapa bulan
setelah gejala akut vertigo menghilang. Gejala klinis neuritis vestibular akut meliputi (gambar
6).

 Vertigo vestibular ( rotatoar) persisten dengan osilopsia


 Nistagmus  horizontal spontan, makin nyata saat melirik ke sisi telinga yang sehat
 Gangguan gait dan kecenderungan jatuh ke sisi telinga yang sakit
 Mual dan muntah
 Adanya gangguan fungsi kanalis semisirkularis horizontal dapat dilakukan dengan
head impuls test

Labirinitis merupakan proses inflamasi yang melibatkan organ vestibular dan koklea,
dapat terjadi unilateral atau bilateral. Berbeda dengan neuritis vestibular di mana pada
labirinitis didapatkan adanya gangguan pendengaran. Serupa dengan neuritis vestibular,
penyakit ini juga didahului dengan proses infeksi virus, namun dapat juga disebabkan oleh
bakteri.

Meniere disease

Penyakit meniere merupakan penyakit multifaktorial yang menyebabkan kelainan di


telinga dalam dan bermanifestasi sebagai sindrom vertigo episodik  disertai dengan gangguan
pendengaran yang fluktuatif. Terdapat  beberapa pendapat mengenai patofisiologi penyakit
meniere,  namun yang paling banyak dikenal ialah teori hidrops endolimfatik.
Cairan endolimfatik diproduksi di koklea dan kanalis semisirkular,  dan diabsorpsi di
kantong endolimfatik (endolymphatik sac). Terjadinya  hidrops endolimfatik diperkirakan
akibat peningkatan volume atau gangguan mekanisme absorpsi (gambar 4). Salah  satu
pencetus gangguan ini adalah infeksi atau inflamasi pada kantung endolimfatik, sehingga
menyebabkan gangguan absorbsi cairan endolimfatik. Hipotesis lain menyebabkan adanya
korelasi dengan kondisi metabolik, hormon, alergi, genetik, atau stres. Hingga  saat ini belum
ditemukan etiologi pasti terjadinya hidrops endolimfatik pada penyakit meniere. Teori  ini
masih dalam perdebatan, karena tidak semua pasien dengan gejala penyakit meniere memiliki
hidrops, dan pada studi autopsi didapatkan bahwa individu dengan hidrops tidak semua
simtomatik.

Penyakit meniere ditandai dengan trias gejala, yaitu vertigo, tinnitus, dan gangguan
pendengaran dan. adanya keluhan serangan berulang dari vertigo vestibular perifer disertai
dengan gejala aural/ koklea ( penurunan pendengaran, tinnitus, atau rasa penuh) merupakan
dasar penegakan diagnosis klinis penyakit meniere. pada awalnya, keluhan ini dapat sembuh
sendiri (self-limiting Symptoms). bentuk aktivitas penyakit meniere yang lain dapat berupa
serangan berulang dari gangguan pendengaran fluktuatif (hidrops koklea) atau vertigo
(hydrops vestibular). Gejala klinik penyakit meniere dibagi kedalam dua tahap,  yaitu:

1. Tahap fluktuasi, yaitu gangguan pendengaran masih mengalami perbaikan setelah


serangan,   lalu diikuti dengan
2. Tahap neural, yaitu gangguan pendengaran bersifat menetap dan makin memberat.
pasien pada tahap fluktuasi umumnya masih berespon dengan obat-obatan
medikamentosa, sedangkan pada tahap neural membutuhkan terapi yang lebih invasif. 
Diagnosis banding pada penyakit meniere diantaranya ialah migrain basilar. adanya
gangguan vaskuler kanalis auditorik internal yang terjadi pada migrain basilar dapat
menimbulkan gejala mirip dengan penyakit meniere. Diagnosis banding lain ialah labirinitis
dan penyakit autoimun lain yang menyerang telinga dalam. Diagnosis penyakit meniere
ditegakkan berdasarkan anamnesis gejala khas penyakit menular dan adanya defisit
neurologis melalui pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang pada tahap awal gejala dan
diluar serangan umumnya akan memberikan hasil yang normal. Pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan antara lain:

 Pemeriksaan audiometri, pada penyakit meniere biasanya akan ditemukan adanya tuli
sensorineural nada rendah
 Elektrokokleografi
 Brainstem audiotory evoked potentials (BAEP)

Diagnosis dan Diagnosis Banding


Dalam pendekatan diagnosis vertigo vestibular sangat penting untuk menentukan
apakah vertigo berasal dari gangguan organ vestibular perifer atau Sentral. anamnesis
merupakan kunci utama untuk membedakan keduanya. pokok-pokok yang perlu digali
meliputi konsep dan durasi vertigo,  faktor pencetus atau memperberat, dan gejala lain yang
menyertai. khususnya defisit neurologis dan gangguan pendengaran.
Diagnosis Banding
1. Stroke vertebrobasilar
2. Penyakit demielinisasi
3. Meniere disease
4. Neuritis vestibularis

Anamnesis
Pada anamnesis perlu digali penjelasan mengenai: Deskripsi jelas keluhan pasien. Pusing yang
dikeluhkan dapat berupa sakit kepala, rasa goyang, pusing berputar, rasa tidak stabil atau
melayang.

a. Bentuk serangan vertigo:


Pusing berputar atau rasa goyang atau melayang.
b. Sifat serangan vertigo:

Periodik. kontinu, ringan atau berat.


c. Faktor pencetus atau situasi pencetus dapat berupa:
- Perubahan gerakan kepala atau posisi.
- Situasi: keramaian dan emosional
- Suara
d. Gejala otonom yang menyertai keluhan vertigo:

Mual, muntah, keringat dingin ; Gejala otonom berat atau ringan.


e. Ada atau tidaknya gejala gangguan pendegaran seperti : tinitus atau tuli.
f. Obat-obatan yang menimbulkan gejala vertigo seperti: streptomisin, gentamisin,
kemoterapi.
g. Tindakan tertentu: temporal bone surgery, transtympanal treatment.
h. Penyakit yang diderita pasien: DM, hipertensi, kelainan jantung.
i. Defisit neurologis: hemihipestesi, baal wajah satu sisi, perioral numbness, disfagia,
hemiparesis, penglihatan ganda, ataksia serebelaris.

Pemeriksaan Fisik
• Pemeriksaan umum
• Pemeriksaan system kardiovaskuler yang meliputi pemeriksaan tekanan darah pada saat
baring, duduk dan berdiri dengan perbedaan lebih dari 30 mmHg.
• Pemeriksaan neurologis
1. Kesadaran : kesadaran baik untuk vertigo vestibuler perifer dan vertigo non vestibuler,
namun dapat menurun pada vertigo vestibuler sentral.
2. Nervus kranialis : pada vertigo vestibularis sentral dapat mengalami gangguan pada
nervus kranialis III, IV, VI, V sensorik, VII, VIII, IX, X, XI, XII.
3. Motorik : kelumpuhan satu sisi (hemiparesis).
4. Sensorik : gangguan sensorik pada satu sisi (hemihipestesi).
5. Keseimbangan (pemeriksaan khusus neuro-otologi)
• Tes nistagmus:
- Pemeriksaan fisik dilakukan dengan meminta pasien berputar selama 30 detik.
Setelah berhenti berputar, pasien akan diminta untuk menatap suatu objek. Pada
pasien yang mengalami nistagmus, mata akan bergerak perlahan ke satu arah,
kemudian bergerak cepat ke arah berlawanan.
- Nistagmus disebutkan berdasarkan komponen cepat, sedangkan komponen lambat
menunjukkan lokasi lesi: unilateral, perifer, bidireksional, sentral.
• Tes Rhomberg :
- Pasien berdiri tegak kedua kaki sejajar bersentuhan dan mata lalu dipejamkan.
Apabila gangguan vestibuler pasien tidak dapat mempertahankan posisinya, ia akan
bergoyang menjauhi garis tengah dan akan kembali ke posisi duduk dan berdiri
seketika, jika ada lesi pasien akan jatuh ke sisi lesi. Kemampuan normal minimal
dengan mata tertutup selama sekitar 6 detik. Dewasa muda seharusnya dapat
melakukannya sekitar 30 detik, dan kemampuan menurun seiring usia. Pasien dengan
gangguan vestibuler bilateral secara moderat mengalami ataksia menjadi sangat
tergantung terhadappenglihatan dan merasa tidak seimbang apabila mata tertutup.
Tidak ada pasien dengan gangguan bilateral yang dapat berdiri dengan mata tertutup
pada test Romberg selama 6 detik.
- Jika pada keadaan mata terbuka pasien jatuh, kemungkinan kelainan pada serebelum.
Jika pada mata tertutup pasien cenderung jatuh ke satu sisi, kemungkinan kelainan
pada system vestibuler atau proprioseptif.
• Tes rhomberg dipertajam (Sharpen Rhomberg):
- Tes Romberg yang dipertajam dilakukan dengan responden berdiri dalam posisi
tandem yaitu meletakkan tumit kaki yang tidak dominan di depan kaki yang lain
dengan posisi lengan yang sama dengan tes Romberg. Setelah merasa nyaman dengan
posisinya, subjek diminta untuk menutup matanya. Posisi ini dipertahankan selama 30
detik.pemeriksa berada di sisi subjek. Tes Romberg negatif bila responden dapat
mempertahakan keseimbangannya. Tes Romberg positif bila responden tidak mampu
mempertahankan posisi seimbang saat mata tertutup yang ditandai dengan adanya
peningkatan goyangan, gerakan tangan atau kaki yang berpindah atau subjek
membbuka matanya pada salah satu baik pada pemeriksaan dengan tes Romberg atau
tes Romberg yang dipertajam.
- Jika pada keadaan mata terbuka pasien jatuh, kemungkinan kelainan pada serebelum.
- Jika pada mata tertutup pasien cenderung jatuh ke satu sisi, kemungkinan kelainan
pada system vestibuler atau proprioseptif.
• Tes jalan tandem:
- Pasien kaki saling menyilang dan tangan menyilang didada. Pasien di suruh berjalan
lurus, pada saat melangkah tumit kaki kiri djiletakkan pada ujung jari kaki kanan dan
seterusnya. Adanya gangguan vestibuler akan menyebabkan arah jalanannya
menyimpang.
- Pada kelainan serebelar, pasien tidak dapat melakukan jalan tandem dan jatuh ke satu
sisi. Pada kelaianan vestibuler, pasien akan mengalami deviasi.
• Tes Fukuda :
- Dilakukan dengan 100 langkah di tempat dengan mata tertutup dimana nilai normal
adalah tidak bergeser lebih dari 1 m atau tidak berputar lebih dari 45. Pada disfungsi
vestibuler terjadi pergeseran dan rotasi lebih dari normal ke sisi lesi.
- Dianggap abnormal jika deviasi ke satu sisi lebih dari 30 derajat atau maju mundur
lebih dari satu meter.
• Tes past pointing :
- Dengan mata terbuka pasien di minta untuk mengangkat lengannya lurus keatas
dengan telunjuk ekstensi. Kemudian lengan tersebut di turunkan sampai menyentuh
telunjuk pemeriksa. Selanjutnya dengan mata  tertutup pasien di minta untuk
mengulang gerakan tersebut. Adanya gangguan vestibuler menyebabkan
penyimpangan tangan pasien sebhingga telunjuknya tidak dapat menyentuh telunjuk
pemeriksa.
- Pada kelainan vestibuler ketika mata tertutup maka jari pasien akan deviasi ke arah
lesi. Pada kelainan serebelar akan terjadi hipermetri atau hipometri.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan etiologi:

1. Pemeriksaan darah rutin seperti elektrolit, kadar gula darah direkomendasikan bila ada
indikasi tertentu dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisis.
2. CT Scan atau MRI Brain

Tatalaksana
Tatalaksana pada vertigo meliputi terapi kausal,terapi simtomatik, dan terapi
rehabilitatif. Khusus untuk penyakit meniere, terdapat beberapa rekomendasi tatalaksana pada
saat serangan, tatalaksana pencegahan, hingga terapi pembedahan. Sebelum memulai terapi,
pasien perlu mendapat penjelasan bahwa prognosis vertigo vestibular perifer pada umumnya
baik dan dapat sembuh spontan, melalui perbaikan fungsi vestibular perifer sebab adanya
kompensasi sentral.
Tatalaksana medikamentosa:
Nama Obat Dosis Obat Anti Sedasi Mukosa Ekstra
Kering piramidal
emetik
Antihistamin

Dimenhidrinat 50mg/4-8jam + + + -

Prometazin 25mg/4-8jam + ++ ++ -

Cinarizin 25mg/8jam + + - +
Benzodiazepin

Diazepam 2-5mg/8jam + +++ - -

Klonazepam 0,5mg/4-6jam + +++ - -


Butirofenon
Haloperidol 0,5-2mg/8jam ++ +++ + ++
Histaminik

Betahistin 24mg/12jam + + - +

Sindrom:

72-144mg/hari
Penyekat kanal
kalsium
5-10mg/12 jam + + - +
Flunarizin

Antiepilepsi
Paroksismia - + - -
Karbamazepin vestibular:200-
600mg/hari

Epilepsi vestibular:
800-2000mg/hari

Migren vestibular: 50- - + - -


Topiramat 150mg/hari

Asam valproat Migren vestibular: - + - -

600-1500mg/hari
Penyekat kanal
kalium
5-10mg/8-12jam - - - -
4-Aminopiridin

Pemberian obat-obatan simptomatik untuk mengobati gejala dizziness, mual dan


muntah pada vertigo meliputi golongan antikolinergik, antihistamin dan benzodiazepine.
Obat-obatan anti vertigo hanya diindikasikan untuk:

 Gejala vertigo vestibular perifer atau Sentral akut ( maksimal 3 hari)  


 Profilaksis mual dan muntah dalam tindakan liberatory maneuver pada BPPV
 Profilaksis mabuk perjalanan
 Sebagai terapi pada vertigo posisional Sentral dengan mual 

Obat-obatan tersebut tidak direkomendasikan untuk pemberian jangka panjang karena


akan mengganggu mekanisme kompensasi sentral pada gangguan vestibular perifer, bahkan
dapat menyebabkan adiksi obat.
Berdasarkan studi, betahistine dapat menurunkan frekuensi dan keparahan serangan
pada penyakit meniere. dosis awal yang dapat digunakan ialah 16 mg 3 kali sehari, dititrasi
bertahap hingga dosis 72-144 mg per hari. Diuretik juga dapat ditambahkan sebagai
tatalaksana meniere, dengan hipotesis untuk mengurangi hidrops endolimfatik. steroid oral
atau intratimpani juga dikatakan dapat mengendalikan gejala vertigo pada penyakit meniere.
Modalitas farmakologi terakhir yang dapat dikerjakan ialah ablasi telinga dalam
dengan aminoglikosida intratimpani.pengobatan ini dikerjakan dengan tujuan untuk
menciptakan kerusakan permanen pada organ vestibular sehingga dapat mengakhiri serangan
pada penyakit meniere. streptomisin merupakan obat pilihan karena sifat ototoksik yang
dimiliki.   studi menunjukkan pasca pemberian terapi ini,Sebanyak 71% pasien mengalami
bebas serangan. namun efek samping berupa pendengaran memberat dan gangguan
keseimbangan akibat hilangnya kompensasi fungsi vestibular unilateral yang dapat muncul
pasca pengobatan ini masih menjadi perdebatan.

Tatalaksana non medikamentosa


1. Terapi reposisi kanalit

Manuver epley merupakan tindakan yang efektif untuk pasien dengan bppv kanalis
semisirkularis posterior. keberhasilan terapi ini dilaporkan 80% pada satu kali terapi, dan 
92% pada  pengulangan. cochrane systematic review menyebutkan bahwa manuver epley
aman untuk dikerjakan kan dan memperbaiki gejala hingga menyebabkan konversi manuver
dix hallpike dari positif ke negatif.

Manuver epley dilakukan untuk mengembalikan kan otoconia dari kanalis


semisirkularis posterior kembali ke articulus untuk kemudian akan diresorpsi kembali.Setiap
posisi dipertahankan minimal 30 detik.

Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut (gambar 7)


1) Manuver dix hallpike
2) Bila positif, pertahankan 30 detik
3) Putar kepala 90 derajat ke arah berlawanan, pertahankan 30 detik
4) Putar kepala 90 derajat ke arah bawah ( wajah menghadap ke lantai), pertahankan 30
detik
5) Pasien kembali ke posisi duduk

Manuver semont juga dapat digunakan sebagai terapi reposisi kanalit pada bppv kanal
sirkular posterior .manuver ini dikerjakan dengan cara (gambar 8)

1) Pasien duduk ditepi tempat tidur


2) Memutar kepala pasien sebanyak 45 derajat ke sisi telinga yang sehat
3) Tubuh pasien diputar 90 derajat ke sisi telinga yang sakit, tetap berbaring selama 1
menit
4) Secara cepat diikuti posisi tubuh 180 derajat ke sisi telinga yang sehat, dan tetap
berbaring selama 1 menit
Manuver ini memiliki kelebihan dapat dikerjakan pada pasien yang lehernya sulit
diekstensikan. Pada saat melakukan terapi reposisi kanalit,Pasien perlu mendapat penjelasan
bahwa tindakan ini dapat disertai dengan munculnya nya mual,  muntah, dan vertigo. Pasien
juga dapat mengeluhkan gangguan keseimbangan serta dizziness yang dipengaruhi posisi
kepala selama beberapa hari setelah manuver dilakukan. komplikasi lain dari manuver ini
adalah konversi bppv dari kanalis semisirkularis posterior ke kanan horizontal. Hal ini dapat
di tata laksana dengan manuver bppv kanalis semisirkularis horizontal seperti dijelaskan di
bawah ini.

1. Terapi reposisi canalith pada bppv kanalis semisirkularis horizontal

Manuver yang dapat dilakukan pada kasus bppv ada kanalis semisirkularis  horizontal
dengan stagnasi geotropic adalah rotasi barbecue  (manuver lempert). manuver ini dikerjakan
dengan rotasi kepala 90 derajat ke arah telinga yang sakit lalu kearah telinga yang sehat.
gerakan ini akan menyebabkan debris otoconia bermigrasi dan keluar dari kanalis
semisirkularis horizontal, lalu masuk ke utrikulus (gambar 9).
2. Latihan Mandiri di rumah

Latihan brandt-daroff (gambar 10) dapat dikerjakan sendiri oleh pasien apabila gejala
tidak membaik dengan manuver epley. langkah-langkah latihan ini ialah:

1) Latihan dilakukan dengan kedua mata terbuka


2) Pasien duduk tegak di tepi tempat tidur, dengan kedua kaki tergantung
3) Kepala diarahkan 45 derajat ke kiri, elu baringkan tubuh dengan cepat ke arah kanan,
pertahankan posisi selama 30 detik
4) Duduk kembali seperti posisi awal selama 30 detik
5) Kepala kembali diarahkan 45 derajat ke kanan, lalu baringkan tubuh dengan cepat ke
arah kiri, pertahankan posisi selama 30 detik
6) Pasien duduk kembali
7) Latihan ini dilakukan 3 set/ hari, masing-masing lima siklus ke kiri dan ke kanan
selama 2 minggu
Pada umumnya, vertigo perifer terutama bppv memiliki prognosis baik dengan
kekambuhan 2 tahun sekitar 27% bila latihan brandt-daroff dikerjakan secara rutin. rekurensi
tersering terjadi pada 6 bulan pertama. bila rekurensi vertigo sangat sering dengan derajat
yang makin berat maka perlu dipikirkan diagnosis banding vertigo lainnya.

Edukasi
 Keluarga turut mendukung dengan memotivasi pasien dalam mencari penyebab vertigo
dan mengobatinya sesuai penyebab.
 Mendorong pasien untuk teratur melakukan latihan vestibular.

Prognosis
• Ad vitam : dubia ad bonam
• Ad Sanationam : dubia ad malam
• Ad Fungsionam : dubia ad bonam

EPILEPSI
A. Definisi
Secara konseptual, epilepsi didefinisikan sebagai kelainan otak yang ditandai dengan
kecendrungan untuk menimbulkan bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan
konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial. Definisi ini mensyaratakan
terjadinya minimal 1 kali bangkitan epilepsi. Sedangkan secara konseptual, bangkitan
epileptik didefinisikan sebagai terjadinya suatu tanda/gejala yang bersifat sesaat akibat
aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di otak.
Definisi epilepsi dalam praktis dapat didefinisikan sebagai suatu penyakit otak yang
ditandai dengan kondisi dan gejala berikut:
1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan
jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.
2. Terdapat satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan
kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan.
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.
Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor pencetus
spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitf, dan somatomotor.

B. Epidemiologi
Menurut WHO, diperkirakan terdapat 50 juta orang di seluruh dunia yang menderita
epilepsi. Secara umum diperkirakan terdapat 2,4 juta pasien yang didiagnosis epilepsi
setiap tahunnya. Angka prevalensi dan insidens epilepsi di Indonesia belum diketahui
secara pasti. Hasil penelitian Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Saraf
Indonesia (Pokdi Epilepsi PERDOSSI) di beberapa RS di 5 pulau besar di Indonesia
(2013) mendapatkan 2.288 penyandang epilepsi dengan 21,3 % merupakan pasien baru.
Rerata usia pasien adalah usia produktif dengan etiologi epilepsi tersering adalah cedera
kepala, infeksi susunan saraf pusat (SSP), stroke, dan tumor otak. Sebagian besar pasien
(83,17%) adalah epilepsy parsial dengan aura yang tersering adalah sensasi epigastrium
dan gejala autonomy (60,1%)
C. Klasifikasi
Klasifikasi kejang berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE) 1981
untuk epilepsi diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Bangkitan Umum
1.1. Tonik-Klonik
1.2. Absens
1.3. Klonik
1.4. Tonik
1.5. Atonik
1.6. Mioklonik
2. Bangkitan Parsial/Fokal
2.1. Parsial sederhana
2.2. Parsial komplek
2.3. Kejang umum sekunder
3. Tidak terklasifikasi
Pada bangkitan umum, kesadaran akan terganggu pada awal kejadian kejang. Terjadi
diseluruh bagian otak. Pada kejang umum dapat diawali kejang parsial simpleks atau
kejang parsial kompleks. Jika ini terjadi, dinamakan kejang umum tonik-klonik sekunder.
 Tonik-Klonik (GRAND MAL)
Merupakan jenis kejang yang paling dikenal. Diawali dengan hilangnya
kesadaran dan sering penderita akan menangis. Jika berdiri, orang akan terjatuh,
tubuh menegang (tonik) dan diikuti sentakan otot (klonik). Bernafas dangkal dan
sewaktu-waktu terputus seingga sebabkan bibir dan kulit terlihat keabuan/ biru.
Air liur dapat terakumulasi dalam mulut, terkadang bercampur darah jika lidah
tergigit. Dapat terjadi kehilangan kontrol pada kandung kemih. Kejang biasanya
berlangsung sekitar dua menit atau kurang. Hal ini sering diikuti dengan periode
kebingungan, agitasi dan tidur. Sakit kepala dan nyeri juga biasa terjadi
setelahnya.
 Absens (PETIT MAL)
Kejang ini biasanya dimulai pada masa anak-anak (tapi bisa terjadi pada orang
dewasa), seringkali keliru dengan melamun atau pun tidak perhatian. Sering
terdapat riwayat yang sama dalam keluarga. Diawali secara mendadak ditandai
dengan menatap, hilangnya ekspresi, tidak ada respon, menghentikan aktifitas
yang dilakukan. Terkadang dengan kedipan mata atau juga gerakan mata ke atas.
Durasi kurang lebih 10 detik dan berhenti secara tiba-tiba. Penderita akan segera
kembali sadar dan melanjutkan aktifitas yang dilakukan sebelum kejadian, tanpa
ingatan tentang kejang yang terjadi. Penderita biasanya memiliki kecerdasan
yang normal. Kejang pada anak-anak biasanya teratasi seiring dengan pubertas.
 Tonik
Terjadi secara mendadak. Kekakuan yang singkat pada otot seluruh tubuh,
sehingga sebabkan orang menjadi kaku dan terjatuh jika dalam posisi berdiri.
Pemulihannya cepat namun cedera yang terjadi dapat bertahan. Kejang tonik
dapat terjadi pula saat tertidur.
 Atonik
Terjadi secara mendadak, kehilangan kekuatan otot, sehingga sebabkan
penderita lemas dan terjatuh jika dalam posisi berdiri. Biasanya terjadi cedera
dan luka pada kepala. Tidak ada tanda kehilangan kesadaran dan cepat
pemulihan kecuali jika terjadi cedera.
 Mioklonik
Kejang berlangsung singkat, biasanya sentakan otot secara intens terjadi pada
anggota tubuh bagian atas. Sering setelah bangkitan mengakibatkan
menjatuhkan dan menumpahkan sesuatu. Meski kesadaran tidak terganggu,
penderita dapat merasa kebingungan dan mengantuk jika beberapa episode
terjadi dalam periode singkat. Terkadang dapat memberat menjadi kejang tonik-
klonik.
Pada bangkitan fokal/parsial terjadi di satu area otak dan terkadang menyebar ke area
otak yang lain. Jika menyebar ke area otak yang lain, akan menjadi kejang umum
(sekunder), paling sering terjadi kejang tonik-klonik. Sebesar 60 % penderita epilepsi
merupakan kejang parsial dan kejang ini terkadang resisten terhadap terapi antiepileptik.
 Parsial sederhana
Kejang singkat ini diistilahkan “aura” atau “warning” dan terjadi sebelum kejang
parsial kompleks atau kejang tonik klonik. Tidak ada penurunan kesadaran,
dengan durasi kurang dari satu menit.
 Parsial kompleks
Serangan ini dapat sangat bervariasi, bergantung pada area dimulai dan
penyebaran di otak. Banyak kejang parsial kompleks dimulai dengan tatapan
kosong, kehilangan ekspresi atau samar-samar, penampilan bingung. Kesadaran
terganggu dan orang mungkin tidak merespon. Kadang-kadang orang memiliki
perilaku yang tidak biasa. Perilaku umum termasuk mengunyah, gelisah,
berjalan di sekitar atau bergumam. Kejang parsial dapat berlangsung dari 30
detik sampai tiga menit. Setelah kejang, penderita sering bingung dan mungkin
tidak ingat apa-apa tentang kejang.
Sedangkan klasifikasi berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE)
2017 untuk epilepsi diklasifikasikan sebagai berikut :

Gambar Klasifiasi Epilepsi berdasarakan ILAE 2017

Pada kejang fokal dapat diklasifikasikan sebagai kesadaran fokal (sesuai dengan
istilah 1981 "kejang parsial sederhana ") atau kejang fokal dengan gangguan kesadaran
(sesuai dengan 1981 istilah "kejang parsial kompleks”). Pada kejang fokal yang sadar
atau terdapat gangguan kesadaran secara opsional dapat diklasifikasikan dengan
menambahkan salah satu onset motor atau istilah non motor-onset di bawah,
mencerminkan tanda atau gejala yang awal selain terkait dengan kesadaran. Untuk kejang
dengan fokal onset, dokter harus menilai tingkatan kesadaran. Tanyakan kepada pasien
apakah kesadaran saat kejadian yang terjadi selama kejang dipertahankan atau terganggu,
walaupun saat orang yang kejang itu tidak responsif atau tidak bisa mengerti bahasa. Jika
ada yang masuk kedalam ruangan disaat orang tersebut sedang kejang, akankah
kehadiran orang tersebut dapat diingat oleh pasien. Dengan menanyakan saksi dapat
memperjelas sifat perilaku selama kejang.
Perilaku onset fokal motorik meliputi aktivitas: atonik (hilangnya tonus fokal), tonik
(kekakuan fokal yang terus berlanjut), Klonik (menyentak berirama fokal), mioklonik
(tidak teratur, singkat focal menyentak), atau kejang epilepsi (focal fleksi atau ekstensi
pada lengan dan fleksi batang tubuh). Perilaku motorik fokal yang lainnya meliputi
hiperkinetik (mengayuh, meronta-ronta) dan otomatisme (keadaan lebih atau kurang
terkoordinasi, tanpa tujuan, serta aktivitas motor yang berulang).
Klasifikasi kejang onset umum serupa dengan klasifikasi 1981, dengan penambahan
beberapa jenis baru. Kesadaran biasanya terganggu dengan kejang onset umum, sehingga
tingkat kesadaran tidak digunakan sebagai pengklasifikasi untuk kejang ini. Pada kejang
umum tonik, memiliki manifestasi berupa kekakuan dan elevasi pada kedua tungkai, dan
sering terjadi kekakuan leher. Klasifikasi ini menganggap bahwa aktivitas tonik tidak
diikuti dengan gerakan klonik. Aktivitas tonik bisa berupa postur yang abnormal, antara
ekstensi atau fleksi, terkadang bersamaan dengan tremor pada ektremitas.
Pada kejang umum mioklonik dapat timbul terpisah atau bersama aktivitas tonik
maupun klonik. Mioklonus dibedakan dari klonus dengan gerakan berulang yang lebih
singkat dan ireguler. Sedangkan pada kejang umum mioklonik tonik klonik bermula
dengan beberapa sentakan mioklonik dan diikuti dengan aktivitas tonik klonik.
Kejang mioklonik atonik memiliki gambaran berupa seperti sentakan yang singkat
pada tangan dan kaki, dan berubah menjadi kelemahan. Pada kejang umum atonik berarti
tidak adanya tonus sehingga tonus kaki menghilang saat kejang umum atonik, pasien
akan terjatuh dalam posisi duduk atau terkadang juga pada posisi berlutut atau muka
terlebih dahulu.
. Pada kejang umum spasme epilepsi memiliki gambaran berupa fleksi, ekstensi, atau
campuran antara ekstensi dan fleksi secara mendadak pada bagian otot proksimal dan
trunkal. Kejang ini sering ditemukan secara berkelompok dan paling sering selama masa
kanak-kanak.
Pada kejang umum non motorik meliputi beberapa variasi dari kejang absen.
Sekelompok ilmuan mempertahankan perbedaan antara absen tipikal dan atipikal, karena
kedua jenis kejang ini mempunyai perbedaan pada gambaran EEG, sindrom epilepsi,
terapi, dan prognosis. Menurut klasifikasi tahun 1981, dimana berdasarkan dari beberapa
analisis yang berasal dari beberapa rekaman video EEG, kejang absen dianggap sebagai
atipikal jika kejang tersebut berupa perubahan tonus yang lebih dibandingkan absen
tipikal atau onsetnya atau selesainya tidak mendadak. Pemeriksaan EEG mungkin
dibutuhkan untuk memperjelas dalam membedakan kejang absen tipikal dan atipikal.
Pada kejang absen mioklonik merupakan kejang absen yang disertai gerakan
mioklonik yang mempunyai ritmik 3 kali per detik, yang menyebabkan gerakan abduksi
searah dari tungkai atas yang berujung dengan elevasi tangan yang progresif. Dan pada
kejang mioklonik kelopak mata merupakan sentakan mioklonik dari kelopak mata dan
disertai mata melirik ke arah atas, dan sering diakhiri dengan menutup mata.

D. Etiologi
Etiologi dari epilepsi dapat dibagi menjadi beberapa kategori yaitu:

1) Idiopatik: Tidak terdapat lesi struktural pada otak ataupun defisit neurologis.
Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan
usia penderita.
2) Kriptogenik: Dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui.
Termasuk di sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.
3) Simtomatis: Bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi struktural pada otak,
misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, peningkatan tekanan
intrakranial, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat), metabolik, dan
kelainan neurodegeneratif.

E. Patofisiologi
Secara normal aktivitas otak terjadi oleh karena perpindahan sinyal dari satu neuron
ke neuron yang lain. Perpindahan itu terjadi antara akson terminal suatu neuron dengan
dendrit neuron yang lain melalui sinaps. Sinaps adalah suatu area yang penting untuk
perpindahan elektrolit dan sekresi neurotransmiter yang berada di dalam vesikel presinaps.
Komposisi elektrolit dan neurotransmiter saling mempengaruhi satu sama lain untuk
menjaga keseimbangan gradien ion di dalam dan di luar sel melalui ikatan antara
neurotransmiter dengan reseptornya serta keluar dan masuknya elektrolit melalui kanalnya
masing-masing. Aktivitas tersebut akan sebabkan terjadinya depolarisasi, hiperpolarisasi,
dan repolarisasi, sehinga terjadi potensial eksitasi dan inhibisi pada sel neuron. Potensial
eksitasi diproyeksikan oleh sel-sel neuron yang berada di korteks yang kemudian
diteruskan oleh akson, sementara sel interneuron berfungsi sebagai inhibisi.
Elektrolit yang berperan penting dalam aktivitas otak adalah natrium (Na+), kalsium
(Ca2+), kalium (K+), magnesium (Mg2+), dan klorida (Cl-). Neurotransmiter utama pada
proses eksitasi adalah glutamat yang akan berikatan dengan reseptornya, yaitu metil-D-
aspartat (NMDA) dan non-NMDA (amino-3-hydroxy-5-methyl-isoxasole pro-pionic
acid/AMPA dan kainat). Sementara pada proses inhibisi, neurotransmiter utama adalah γ-
asam aminobutirik (GABA) yang akan berikatan dengan reseptornya yaitu GABA A dan
GABAB. GABA merupakan neurotransmiter yang disintesis dari glutamat oleh enzim
glutamic acid decarboxylase (GAD) dengan bantuan pirodoksin (Vitamin B6) di terminal
presinaps.
Saat potensial eksitasi dihantarkan oleh akson menuju celah sinaps, akan terjadi
sekresi glutamate ke celah sinaps. Glutamat akan berikatan dengan reseptor non-NMDA,
dan Na+ akan masuk ke dalam sel menyebabkan terjadinya depolarisasi cepat. Apabila
depolarisasi mencapai ambang potensial 10-20 mV, maka Mg2+ yang menduduki reseptor
NMDA yang sudah berikatan dengan glutamat dan glisin dikeluarkan ke celah sinaps,
sehingga Na+ yang masuk ke dalam sel akan diikuti oleh Ca 2+. Masuknya Na+ dan Ca2+
akan memperpanjang potensial eksitasi, disebut sebagai depolarisasi lambat. Setelah Na+
mencapai ambang batas depolarisasi, K+ akan keluar dari dalam sel, yang disebut sebagai
repolarisasi.6
Sementara itu, Ca2+ yang masuk ke dalam sel juga akan mendorong pelepasan
neurotransmiter GABA ke celah sinaps. Saat GABA berikatan dengan reseptor GABA A
pascasinaps dan mencetuskan potensial inhibisi, Cl- akan masuk ke dalam sel dan
menurunkan ambang potensial membran sel sampai kembali ke ambang istirahat yang
disebut hiperpolarisasi. Reseptor GABAB di presinaps berperan memperpanjang potensial
inhibisi.
Epilepsi terjadi akibat terjadi ketidakseimbangan antara inhibisi dan eksitasi.
Aktivitas kejang dapat dipicu oleh eksitasi ataupun inhibisi pada sel saraf. Gangguan dapat
disebabkan oleh sifat reseptor glutamat dan GABA dalam merespons jumlah
neurotransmiter di celah sinaps. Reseptor glutamate merupakan reseptor yang peka
terhadap perubahan jumlah glutamat. Pada keadaan eksitasi berlebihan maka reseptor akan
meningkatkan kepekaan atau jumlah reseptor. Sebaliknya dengan respons reseptor GABA
terhadap peningkatan aktivitas GABA, reseptor-reseptor tersebut justru akan tersublimasi
menjadi bentuk yang tidak sensitif terhadap neurotransmiternya sehingga menyebabkan
epilepsi yang berkepanjangan, dimana reseptor glutamate akan semakin meningkat dan
reseptor GABA akan semakin berkurang.

F. TANDA DAN GEJALA KLINIS


1) Bangkitan Umum Tonik Klonik
Bangkitan ini secara etiologi dapat berupa idiopatik, kriptogenik, atau simptomatik.
Tipe bangkitan ini dapat terjadi di semua usia kecuali neonatus. Manifestasi klinis:
hilang kesadaran sejak awal bangkitan hingga akhir bangkitan, bangkitan tonik-
klonik umum, dapat disertai gejala otonom seperti mengompol dan mulut berbusa.
Gambaran iktal: tiba-tiba mata melotot dan tertarik ke atas, seluruh tubuh kontraksi
tonik, dapat disertai teriakan, selanjutnya diikuti gerakan klonik berulang simetris di
seluruh tubuh, dan lidah dapat tergigit. Setelah iktal pasien akan mejadi hipotonus,
pasien dapat tertidur dan terasa lemah.
Pada pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG) saat interiktal didapatkan aktivitas
epileptiform umum berupa kompleks gelombang paku-ombak (spike wave).
2) Bangkitan Tonik
Bangkitan ini ditandai oleh kontraksi semua otot yang berlangsung terus menerus,
berlangsung selama 2-10 detik namun dapat hingga beberapa menit disertai hilang
kesadaran. Dapat disertai gejala otonom seperti apnea. Gambaran
elektroensefalografi (EEG) interiktal menunjukan irama cepat dan gelombang paku
atau kompleks paku-ombak frekuensi lambat.
3) Bangkitan Klonik
Bangkitan ini ditandai oleh gerakan kontraksi klonik yang ritmik (1-5 Hz) di seluruh
tubuh disertai hilang kesadaran sejak awal bangkitan. Pada elektroensefalografi
(EEG) iktal didapatkan aktivitas epileptiform umum berupa gelombang paku, paku
multipel, atau kombinasi gelombang irama cepat dan lambat.
4) Bangkitan Mioklonik
Bangkitan ini ditandai gerakan kontraksi involunter mendadak dan berlangsung
sangat singkat tanpa disertai hilangnya kesadaran. Otot yang berkontraksi dapat
tunggal atau multipel atau berupa sekumpulan otot yang agonis dari berbagai
topografi. Mioklonik dapat berlangsung fokal, segmental, multifokal, atau umum.
Gambaran elektroensefalografi (EEG) berupa gelombang polyspikes yang bersifat
umum dan singkat.
5) Bangkitan Atonik
Bangkitan ini ditandai oleh hilangnya tonus otot secara mendadak. Bangkitan atonik
dapat didahului oleh bangkitan mioklonik atau tonik. Bentuk bangkitan bisa berupa
jatuh atau kepala menunduk. Pemulihan pascaiktal cepat, sekitar 1-2 detik.
Gambaran elektroensefalografi (EEG) dapat berupa gelombang paku atau polyspikes
yang bersifat umum dengan frekuensi 2-3 Hz dan gelombang lambat.
6) Bangkitan Ablans Tipikal
Bangkitan Ablans (petit mal) berlangsung sangat singkat (dalam hitungan detik)
dengan onset mendadak dan berhenti mendadak. Bentuk bangkitan berupa hilang
kesadaran atau pandangan kosong. Dapat disertai komponen motorik yang minimal
(mioklonik, atonik, klonik, automatisme). Pada pemeriksaan elektroensefalografi
(EEG) didapatkan aktivitas epileptiform umu berupa kompleks paku-ombak > 2,5
Hz.
7) Bangkitan Ablans Atipikal
Bangkitan ini berupa gangguan kesadaran disertai perubahan tonus otot (hipotonia
atau atonia), tonik atau automatisme. Pada pasien dengan bangkitan ablans atipikal
biasanya mengalami kesulitan dalam belajar akibat seringnya terjadi bangkitan tipe
lain seperti atonik, klonik, dan mioklonik. Pada elektroensefalografi (EEG)
didapatkan gambaran kompleks paku ombak frekuensi lambat (1-2,5 Hz atau < 2,5
Hz) yang iregular dan heterogen serta dapat bercampur dengan irama cepat.
8) Bangkitan Fokal
Bentuk bangkitan yang terjadi tergantung letak fokus epileptik di otak. Fokus
epileptik berasal dari area tertentu yang kemudia mengalami propagasi dan menyebar
ke bagian otak yang lain.
Bentuk bangkitan dapat berupa gejala motorik, sensorik (kesemutan, baal), sensorik
spesial (halusinasi visual, halusinasi auditorik), emosi (takut, marah), autonom (kulit
pucat, merinding, rasa mual). Bangkitan parsial sederhana yang diikuti bangkitan
parsial kompleks disebut aura.

G. DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dalam praktik klinis, langkah-langkah
dalam penegakkan diagnosis adalah sebagai berikut:
1. Anamnesis:
Dapat dilakukan auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata
mengenai hal-hal terkait dibawah ini:
a. Gejala atau tanda sebelum, pada saat bangkitan, atau pasca bangkitan:
 Sebelum bangkitan/ gajala prodomal:
o Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan
terjadinya bangkitan, misalnya perubahan perilaku, perasaan
lapar, menjadi sensitive, mengantuk, berkeringat, hipotermi,
dan lain-lain.
 Selama bangkitan/ iktal:
o Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal
bangkitan?
o Bagaimana pola/ bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata,
gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi, aumatisasi,
gerakan pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai,
bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat,
berkeringat, dan lain-lain. ( Akan lebih baik bila keluarga
dapat diminta menirukan gerakan bangkitan atau merekam
video saat bangkitan)
o Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
o Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya?
o Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat
tidur, saat terjaga, bermain video game, berkemih, dan lain-
lain.
 Pasca bangkitan/ post- iktal:
o Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur atau gaduh
gelisah.
b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis,
alkohol.
c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang
antara bangkitan, kesadaran antara bangkitan.
d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya.
 Jenis obat anti epilepsi (OAE)
 Dosis obat anti epilepsi (OAE)
 Jadwal minum obat anti epilepsi (OAE)
 Kepatuhan minum obat anti epilepsi (OAE)
 Kombinasi obat anti epilepsi (OAE)
e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik
maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun
komorbiditas.
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga.
g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang.
h. Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam.
i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP), dll.
2. Pemeriksaan fisik umum
Pemeriksaan fisik umum dilakukan untuk mencari tanda-tanda gangguan yang
berkaitan dengan epilepsi, misalnya:
 Trauma kepala
 Tanda-tanda infeksi
 Kelainan congenital
 Kecanduan alcohol atau napza
 Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
 Tanda-tanda keganasan
3. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis
fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam
beberapa menit setelah bangkitan, maka akan tampak pasca bangkitan terutama
tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:
 Paresis Todd
 Gangguan kesadaran pascaiktal
 Afasia pascaiktal
4. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)
Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada
dugaan suatu bangkitan untuk:
o Membantu menunjang diagnosis.
o Membantu penentuan jenis bangkitan maupun sintrom
epilepsi.
o Membatu menentukan prognosis.
o Membantu penentuan perlu/ tidaknya pemberian OAE.
 Pemeriksaan pencitraan otak
Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik pada otak. MRI beresolusi
tinggi (minimal 1,5 Tesla) dapat mendiagnosis secara non-invasif
berbagai macam lesi patologik misalnya mesial temporal sclerosis,
glioma, ganglioma, malformasi kavernosus, DNET (dysembryoplastic
neuroepithelial tumor), tuberous sclerosiss.
Fuctional brain imaging seperti Positron Emission Tomography (PET),
Singel Photon Emission Computed Tomography (SPECT) dan Magnetic
22 Resonance Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam memberikan
informasi tambahan mengenai dampak perubahan metabolik dan
perubahan aliran darah regional di otak yang berkaitan dengan bangkitan.
Indikasi pemeriksaan neuroimaging (CT scan kepala atau MRI kepala)
pada kasus kejang adalah bila muncul kejang unprovoked pertama kali
pada usia dewasa. Tujuan pemeriksaan neuroimaging pada kondisi ini
adalah untuk mencari adanya lesi struktural penyebab kejang. CT scan
kepala lebih ditujukan untuk kasus kegawatdaruratan, karena teknik
pemeriksaannya lebih cepat. Di lain pihak MRI kepala diutamakan untuk
kasus elektif. Bila ditinjau dari segi sensitivitas dalam menentukan lesi
kasus elektif. Bila ditinjau dari segi sensitivitas dalam menentukan lesi
structural, maka MRI lebih sensitif dibandingkan CT scan kepala.
 Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis,
hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium,
kalium, kalsium, magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi
hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan albumin.
H. PENATALAKSANAAN
Titik berat tatalaksana epilepsi adalah pencegahan bangkitan berulang dan pencarian
etiologi. Prinsip dari tatalaksana farmakologi epilepsi adalah:
 OAE dapat diberikan apabila
o Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
o Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
o Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang
tujuan pengobatan.
o Penyandang dan/ atau keluarga telah diberitahu tentang kemungkinan
efek samping yang timbul dari OAE
o Bangkitan terjadi berulang walaupun faktor pencetus sudah dihindari
(misalnya: alcohol, kurang tidur, stress, dll)
 Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan
jenis bangkitan.
 Pemberian obat dimulai dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap
sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping
 Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. Caranya bila OAE telah mencapai
kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering off). Bila terjadi
bangkitan saat penurunan OAE pertama sedang dilakukan, maka kedua OAE
tetap diberikan. Bila respons yang didapat buruk, kedua OAE harus diganti
dengan OAE yang lain. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat
respons dengan OAE kedua, tetapi respons tetap suboptimal walaupun
pergunaan kedua OAE pertama sudah maksimal.
 OAE kedua harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan OAE
pertama.
 Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi
bila kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila:
o Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG.
o Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi
dengan bangkitan; misalnya meningioma, neoplasma otak, AVM, abses
otak ensafalitis herpes.
o Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang mengarah pada
adanya kerusakan otak.
o Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua).
o Riwayat bangkitan simtomatis.
o Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko kekambuhan tinggi seperti JME
(Juvenile Myoclonic Epilepsi).
o Bangkitan pertama berupa status epilepticus.
o Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran
stroke, infeksi SSP.
Gambar tabel OAE berdasarkan Tipe Bangkitan

 Fenitoin
Fenitoin berefek antikonvulsi tanpa menyebabkan depresi umum SSP. Sifat
antikonvulsi fenitoin didasarkan pada penghambatan penjalaran rangsang dari
fokus ke bagian lain di otak. Fenitoin juga mempengaruhi perpindahan ion
melintasi membran sel; dalam hal ini, khususnya dengan menggiatkan pompa
Na+, K+, Ca2+ dan mengubah neurotransmiter NEPI, asetilkolin, dan GABA.
Efek samping yang biasa terjadi ialah diplopia, ataksia, vertigo, nistagmus, sukar
berbicara disertai gejala lain seperti tremor, gugup, kantuk, dan rasa lelah. Dosis
pada dewasa adalah 300 mg/hari sedangkan dosis pada anak adalah 5
mg/KgBB/hari.
 Karbamazepin
Indikasi karbamazepin pada bangkitan parsial kompleks, bangkitan tonik-klonik,
serta trigeminal neuralgia. Dosis pemberian karbamazepin pada dewasa adalah 2
x 200 mg sehari pertama selanjutnya dosis ditingkatkan secara bertahap. Dosis
pemberian pada anak adalah 100 mg sehari. Dosis pemeliharaan berkisar antara
800-1200 mg sehari untuk dewasa dan 20-30 mg/KgBB untuk anak. Efek
samping dari karbamazepin adalah pusing, vertigo, atalaksia, diplopia, dan
penglihatan kabur.
 Asam Valporat
Asam Valporat menyebabkan hiperpolarisasi potensial istirahat membran
neuron, akibat peningkatan daya konduksi membrane untuk kalium. Efek
antikonvulsi didasarkan oleh meningkatnya kadar asama gama aminobutirat
(GABA) di dalam otak. Toksisitas valporat dapat berupa gangguan cerna seperti
mual, anoreksia, dan muntah. Efek terhadap SSP dapat berupa kantuk, ataksia,
dan tremor. Dosis terapi pada dewasa dimulai dengan dosis 3 kali 200 mg/hari;
jika perlu, setelah 3 hari dosis dinaikan menjadi 3 kali 400 mg/hari. Sedangkan
pada anak dosis yang dapat diberikan berkisar 20-30 mg/KgBB/hari.
 Fenobarbital
Mekanisme kerja dari fenobarbital yaitu membatasi penjalaran aktivitas dan
bangkitan dan menaikan ambang rangsang. Fenobarbital masih merupakan
pilihan obat antikonvulsi pilihan karena cukup efektif, dan murah. Penggunaan
fenobarbital dapat sebabkan efek samping berupa sedasi, psikosis akut, dan
agitasi. Dosis pemberian pada dewasa ialah 2 kali 120-250 mg sehari, sedangkan
dosis pada anak ialah 30-100 mg/hari.
 Gabapentin
Gabapentin merupakan suatu analog GABA. Gabapentin tidak berperan pada
reseptor GABA melainkan berperan pada metabolism GABA. Efek samping
yang dapat ditimbulkan berupa ataksia, pusing, sakit kepala, somnolen, dan
tremor. Dosis gabapentin (dewasa dan anak >12 tahun) adalah 900-1800
mg/hari. Pemberian gabapentin pada anak dibawah 12 tahun tidak dianjurkan.
 Lamotrigin
Mekansime kerja dari lamotrigine adalah melalui inaktivasi kanal Na+, Ca+, dan
mencegah pelepasan neurotransmiter glutamat dan aspartat. Efek samping
lamotrigine antara lain berupa kulit kemerahan, pusing, sakit kepala, diplopia,
dan somnolen. Dosis pemberian lamotrigine adalah 50-100 mg/hari.
 Topiramat
Topiramat merupakan turunan monosakrida yang sangat berbeda dengan struktur
antikonvulsan lainnya. Mekanisme kerjanya ialah melalui blok kanal Na+,
inhibisi efek GABA. Dosis pemberian 200-600 mg/hari. Topiramat seringkali
diberikan bersamaan dengan obat antikonvulsan lainnya.
 Zonisamid
Merupakan turunan sulfonamide dan bekerja melalui blok kanal Na+ dan Ca2+.
Dosis dewasa 100 mg/hari sampai dengan 600 mg/hari. Sedangkan dosis anak
sebesar 4 mg/hari sampai dengan 12 mg/hari. Efek samping zonisamid
diantaranya adalah pusing dan gangguan kognitif.
 Levetirasetam
Merupakan analog pirasetam. Mekanisme kerjanya masih belum terlalu jelas,
namun diduga berperan pada reseptor GABA, kanal Ca2+ dan K+. Dosis
levetirasetam adalah 2 x 500 mg/hari dan dapat dinaikan hingga 3000 mg/hari.
Efek sampingnya berupa somnolen, dan pusing.
Pada pasien dewasa, penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan
setelah 3-5 tahun bebas dari bangkitan. OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada
60% pasien. Dalam hal penghentian OAE, maka ada hal penting yang perlu diperhatikan,
yaitu syarat umum untuk menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhan bangkitan
setelah OAE dihentikan.
Tabel Syarat Umum Menghentikan OAE dan Keadaan yang dapat
menimbulakan Kekambuhan Setelah OAE Dihentikan
Keadaan yang kemungkinannya besar
Syarat umum untuk menghentikan
terjadi kekambuhan setelah penghentian
pemberian OAE
OAE
o Setelah minimal 3 tahun bebas o Semakin tua usia kemungkinan
bangkitan dan gambaran EEG normal timbul kekambuhan semakin tinggi
o Penghentian OAE disetujui oleh
o Epilepsi simtomatis
penyandang atau keluarganya.
o Harus dilakukan secara bertahap,
25% dari dosis semula setiap bulan o Gambaran EEG yang abnormal
dalam jangkat waktu 3-6 bulan.
o Bila dilakukan lebih dari 1 OAE,
o Bangkitan yang sulit terkontrol
maka penghentian dimulai dari 1
dengan OAE
OAE yang bukan utama
o Penggunaan lebih dari satu OAE.
o Telah mendapat terapi 10 tahun atau
lebih (kemungkinan kekambuhan
lebih kecil pada penyandang yang
telah bebas bangkitan selama 3-5
tahun, atau lebih dari lima tahun).
Pada keadaan dimana terjadi kegagalan setelah mencoba dua OAE pilihan yang
dapat ditoleransi, dan sesuai dosis ( baik sebagai monoterapi atau kombinasi) yang
mencapai kondisi bebas bangkitan atau yang disebut resisten terhadap OAE, dapat
dilakukan terapi kombinasi, mengurangi dosis OAE ( pada OAE induced seizure), terapi
bedah, dan dipikirkan penggunaan terapi nonfarmakologis.
Gambar Tabel Kombinasi OAE
Penatalaksanaan non-medikamentosa pada epilepsi yang dapat dilakuakn antara lain:
 Pembedahan epilepsi
Pembedahan epilepsi merupakan salah satu tatalaksana non-medikamentosa yang
efektif pada pasien epilepsi fokal yang resisten terhadap OAE. Angka
keberhasilan pembedahan epilepsi antara lain 66 % pasien bebas bangkitan pada
epilepsy lobus temporal, 46 % pada epilepsy lobus oksipital dan pariental, serta 27
% pada epilepsi lobus frontal.
 Stimulasi nervus vagus
Merupkan suatu terapi adjuvan untuk mengurangi frekuensi bangkitan pada
penyandang epilepsi refrakter usia dewasa dan anak-anak yang tidak memenuhi
syarat operasi. Dapat digunakan pada bangkitan parsial dan bangkitan umum. 2
Stimulasi nervus vagus (SNV) merupakan metode invasive pada terapi paien
epilepsi yang resisten terhadap OAE. Metode ini menggunakan elektroda yang
ditanam dibawah kulit pada dada kiri dan berhubungan dengan elektroda
stimulator yang diletakan di nervus vagus kiri. Stimulator ini mengeluarkan
impuls dengan berbagai frekuensi sesuai dengan kebutuhan pasien. Frekuensi
bangkitan menurun setelah penggunaan stimulasi nervus vagus ini. Penurunan
frekuensi bangkitan sekitar 35-75% setelah 10 tahun penggunaan SNV.
 Diet ketogenik
Diet ketogenik sampai saat ini terbukti efektif pada pasien epilepsi anak-anak.
Diet ketogenik adalah diet dengan tinggi lemak, rendah protein, dan rendah
karbohidrat. Angka bebas bangkitan pada anak-anak mencapai 16 %, penurunan >
90 % frekuensi bangkitan sebesar 32 %, penurunan > 50 % frekuensi bangkitan
sebesar 56 %. Namun diet ketogenik ini belum terbukti efektif pada pasien
dewasa.

I. PROGNOSIS
Prognosis pada epilepsi bergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi,
faktor penyebab, saat pengobatan dimulai dan ketaatan minum obat. Pada umumnya
prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70 % penderita epilepsi, serangan
dapat dicegah dengan obat-obatan, sedangkan sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat
berhenti minum OAE. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum maupun
kejang absence mempunyai prognosis yang baik. Sebaliknya epilepsi yang serangan
pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang disertai kelainan neurogenik dana tau
disertai retardasi mental mempunyai prognosis yang relatif jelek.
DAFTAR PUSTAKA

1. Allan H. Ropper Martin A. Samuels, Joshua P. Klein SP. Adams and Victor’s Principles
of Neurology. 10th ed. New York, editor. McGraw-Hill; 2014.
2. Aninditha T, Wiratman W. Buku Ajar Neurologi. Departemen Neurologi FKUI Jakarta.
Penerbit Kedokteran Inonesia; 2017.
3. Biller J, Gruener G, Brazis P. DeMyer’s The Neurologic Examination. 6 th ed. New York,
editor. McGraw-Hill; 2011.
4. Kurniawan M., Suharjanti I, & Pinzon R. T. Acuan Panduan Praktek Klinis Neurologi.
Jakarta. PERDOSSI; 2016
5. Yogarajah, M. Neurology [Crash Course]. Edinburgh: Mosby/ Elsevier. 2013
6. Beghi, E., 2019. The Epidemiology of Epilepsy. Neuroepidemiology.
7. Fithri, A., Winnifred, K., Kusumastuti, K. & Warongan, A. W., 2014. Pedoman
Tatalaksana Epilepsi. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR.
8. Wulan, N. C., 2016. Epilespi dan Budaya. Buletin Psikologi, pp. 22-31.
9. Kristanto, A., 2017. Epilepsi Bangkitan Umum Tonik-Klonik di UGD RSUP Sanglah
Denpasar - Bali. Intisari Sains Medis, 8(1), pp. 69-73.
10. Fisher, R. S., D'Souza, C. & French, J. A., 2017. Instruction manual for the ILAE 2017
operational classification of seizure types. Epilepsia, 58(4), pp. 531-542.
11. Aninditha, T. & Wiratman, W., 2017. Buku Ajar Neurologi. 1 ed. Tangerang:
Departemen Neurologi FKUI-RSCM.
12. Utama, H. & Gan, V. H., 2007. Antiepilepsi dan Antikonvulsi. In: Farmakologi dan
Terapi. Jakarta: Gayabaru, pp. 179-196.
13. Harsono, 2017. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai