Anda di halaman 1dari 8

2.

1 Definisi Thanatologi

Istilah Thanatologi berasal dari Bahasa Yunani, terdiri dari kata thanatos

(berhubungan dengan kematian) dan logos (ilmu). Thanatologi adalah bagian dari

ilmu kedokteran forensik yang mempelajari segala macam aspek yang berkaitan

dengan mati, meliputi pengertian, tipe kematian, cara-cara melakukan diagnosis,

perubahan-perubahan yang terjadi sesudah mati serta kegunaannya. Kegunaannya

yaitu untuk memastikan kematian klinis, memperkirakan sebab kematian,

memperkirakan saat kematian dan memperkirakan cara kematian.1-4

Menurut ilmu kedokteran, kematian manusia dapat dilihat dalam dua dimensi

yaitu kematian sel (cellular death) akibat ketiadaan oksigen baru akan terjadi setelah

kematian manusia sebagai individu (somatic death). Selain kematian individu dan

kematian sel, terdapat jenis kematian lain yaitu mati suri (apparent death), mati

somatic, mati seluler, mati serebral dan mati otak. 1-3

2.2 Kegunaan Thanatologi

Kegunaan Thanatologi dalam bidang forensik adalah sebagai penentu

diagnosis kematian, penentu saat kematian, perkiraan sebab kematian dan perkiraan

cara kematian. 1

2.2.1 Penentu Diagnosis Kematian1-2


Menentukan kematian seseorang tidaklah sulit sehingga orang awam

(termasuk penegak hukum) dapat melakukannya, tetapi juga tidak selalu mudah

1
sehingga kadang-kadang dokter pun dapat melakukan kesalahan. Oleh karena itu,

ilmu ini perlu dipahami sungguh-sungguh agar tidak terjadi kesalahan dalam

menegakkan diagnosis kematian.


Dalam situasi seperti ini penentuan kematian dapat dilakukan dengan

menggunakan tanda-tanda pasti kematian, antara lain :


Lebam mayat
Kaku mayat
2.2.2 Penentu Saat Kematian1-2

Perubahan eksternal maupun internal yang terjadi pada tubuh seseorang yang

sudah meninggal dunia dapat digunakan sebagai bahan kajian untuk memperkirakan

saat terjadinya kematian meskipun sebenarnya interval dari variasi terjadinya

perubahan-perubahan itu sangat luas.

Perubahan-perubahan yang dapat dijadikan bahan kajian tersebut terdiri atas :

a. Perubahan eksternal, antara lain :


- Penurunan suhu
- Lebam mayat
- Kaku mayat
- Pembusukan
- Timbulnya larva
b. Perubahan internal, antara lain :
- Kenaikan Potasium pada cairan bola mata
- Kenaikan non protein nitrogen dalam darah
- Kenaikan ureum darah
- Penurunan kadar gula darah
- Kenaikan kadar dekstrose pada vena cava inferior
2.2.3 Perkiraan Sebab Kematian1-2
Perubahan tidak lazim yang ditemukan pada tubuh mayat sering dapat

memberi petunjuk tentang sebab kematiannya.


- Perubahan warna lebam mayat menjadi :
o Merah cerah (cherry-red) memberi petunjuk keracunan Carbo

Monoksida (CO).
o Coklat memberi petunjuk keracunan Potasium Chlorate.
o Lebih gelap, memberi petunjuk kekurangan oksigen.

Keluarnya urine, faeces atau vomitus memberi petunjuk adanya relaksasi

sphincter akibat kerusakan otak, anoksia atau kejang-kejang.

2.2.4 Perkiraan Cara Kematian1-2

Perubahan yang terjadi pada tubuh mayat juga dapat memberi petunjuk cara

kematiaannya seperti distribusi lebam mayat dapat memberi petunjuk apakah yang

bersangkutan mati bunuh diri atau karena pembunuhan.

Pada mayat dari orang yang mati akibat gantung diri (bunuh diri dengan cara

menggantung) biasanya didapati lebam mayat pada ujung kaki, ujung tangan atau alat

kelamin laki-laki. Jika disamping itu juga ditemukan lebam mayat di tempat lain

maka hal itu dapat dipakai sebagai petunjuk cara kematiannya karena akibat

pembunuhan

2.3 Perubahan perubahan Postmortem3,6-7


Perubahan yang terjadi setelah kematian dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan

waktu terjadinya.yaitu early (immediete), early (non immediete) dan late changes.

Berikut adalah perubahan yang terjadi paska kematian :


Early changes (immediete) of death : Berhentinya system pernapasan,

berhentinya system sirkulasi, relaksasi muskulus, menghilangnya reflex,

kulit pucat, pupil dilatasi


Early changes (not immediate) of death : Livor mortis, rigor mortis, algor

mortis.
Late changes of death : Pembusukan dan modifikasinya, skeletonisasi
2.3.1 Perubahan Kulit Muka3

Perubahan paska kematian yang dapat terlihat adalah perubahan yang terjadi

pada kulit muka. Perubahan kulit muka terjadi akibat berhentinya sirkulasi darah

maka darah yang berada pada kapiler dan venula di bawah kulit muka akan mengalir

ke bagian yang lebih rendah sehingga warna raut muka menjadi lebih pucat.

2.3.2 Relaksasi Otot


2.3.2.1 Relaksasi Prmer

Pada saat mati sampai beberapa saat sesudahnya, otot-otot polos akan

mengalami relaksasi sebagai akibat dari hilangnya tonus. Relaksasi pada stadium

itu disebut relaksasi primer.1 Relaksasi perimortal didapatkan 2 3 jam setelah

kematian. Sel-sel jaringan otot masih hidup. Peristaltik usus positif atau masih

bergerak. Leukosit darah masih bergerak. Pupil masih bereaksi. Pada fase ini otot

sudah tidak memiliki rangsangan dari sistem saraf pusat. Akibat tidak adanya impuls

listrik darisistem saraf pusat maka tidak ada lagi koordinasi otot-otot tubuh yang

selalu berusaha menjaga keseimbangan dalam segala posisi tubuh. Pada fase ini

kematian sel belum terjadi sempurna. Korban masih dalam pengertian mati somatik.3,6

2.3.2.2 Relaksasi Sekunder


Rigor mortis menghilang secara bertahap sesuai urutan timbulnya. Relaksasi

sekunder ini terjadi karena mulai terjadi lisis dari sel-sel otot akibat proses

pembusukan. Hancurnya sel otot, jaringan otot membuat tulang-tulang tidak lagi

dipertahankan posisinya, kecuali akan dijatuhkan posisinya karena adanya gaya

berat otot dan tulang akibat daya tarik grafitasi.3,6

2.3.3 Perubahan Pada Mata

Bila mata terbuka pada atmosfer yang kering, sklera di kiri-kanan kornea akan

berwarna kecoklatan dalam beberapa jam berbentuk segitiga dengan dasar di tepi

kornea (taches noires sclerotique). Kekeruhan kornea terjadi lapis demi lapis.

Kekeruhan yang terjadi pada lapis terluar dapat dihilangkan dengan meneteskan air,

tetapi kekeruhan yang yang telah mencapai lapisan lebih dalam tidak dapat

dihilangkan dengan tetesan air. Kekeruhan yang menetap ini terjadi sejak kira-kira 6

jam pasca mati. Baik dalam keadaan mata terbuka maupun tertutup, kornea menjadi

keruh kira-kira 10-12 jam pasca mati dan dalam beberapa jam saja fundus tidak

tampak jelas. 3,8

Perubahan pada mata juga meliputi hilangnya reflek kornea dan reflek cahaya.

Hilangnya reflek kornea berhubungan dengan kegagalan proses lakrimasi. 1,8 Pada

pemeriksaan mata juga akan didapatkan midriasis akibat adanya proses relaksasi. 1,3

2.3.4 Perubahan Suhu Tubuh


Sesudah mati, metabolism yang menghasilkan panas akan terhenti sehingga

suhu tubuh akan turun menuju suhu udara atau medium di sekitarnya. Penurunan ini

disebabkan oleh adanya proses radiasi, konduksi, dan pancaran panad. Proses

penurunan suhu pada mayat ini biasa disebut algor mortis. Algor mortis ini

merupakan salah satu perubahan yang dapat kita temukan pada mayat yang sudah

berada pada fase lanjut postmortem.3,6

Pada jam jam pertama penurunannya sangat lambat tetapi sesudah itu

penurunan menjadi lebih cepat dan pada akhirnya menjadi lebih lambat kembali. Jika

dirata rata maka penurunan suhu tersebut antara 0,9 sampai 1 Celcius atau sekitar

1,5 Fahrenheit setiap jam, dengan catatan perubahan suhu dimulai dari 37 Celcius

atau 98,4 Fahrenheit sehingga dengan dapat dirumuskan cara untuk memperkirakan

berapa jam mayat telah mati dengan rumus (98,6 F suhu rectalF): 1,5F.

pengukuran dilakukan per rectal dengan menggunakan thermometer kimia (long

chemical thermometer).3,6,7

Terdapat dua hal yang mempengaruhi cepatnya penurunan suhu mayat ini yakni:1,3

1. Faktor internal
a. Suhu tubuh saat mati
b. Keadaan tubuh mayat
2. Faktor Eksternal
a. Suhu medium
b. Keadaan udara di sekitarnya
c. Jenis medium
d. Pakaian mayat3,6,7
DAFTAR PUSTAKA

1. Dahlan, Sofwan. Ilmu Kedokteran Forensik.pedoman Bagi Dokter dan

Penegak hukum. Cetakan V. Semarang : Badan Penerbut Universitas

Diponegoro, 2007; p.47-65.


2. NN. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian Forensik Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, 1997; p.25-35.


3. Vij, Krishan. Forensic Medicine and Toxicology.5 th Ed. Death and Its

Medicolegal (Forensic Thanatology). New Delhi : Elsevier, 2011; p.74-99.


4. Idris, MA Dr. Saat Kematian. Edisi Pertama. Pedoman Ilmu Kedokteran

Forensik. Jakarta : Bina Rupa Aksara, 1997; p.53-77.


5. Yu X, Wang H, Feng L, Zhu J. Quantitative Research in Modern Forensic

Analysis of Death Cause : New Classification of Death Cause, Degree of

Contribution, and Determination of Manner of Death. J Forensic Res 5:221.

Shantou : Departemen of Forensic Medicine of Shntou University College,

2014
6. Bate-Smith EC, Bendall JR. Rigor Motis and Adenosinetriphosphate. J

Physiol 106, 1947; p.177-185


7. Poposka V, Gutevska A, Stankov A, Pavlovski G, Jakovski Z, Janeska B.

Estimation of Time Since Death by using Algorithm in Early Postmortem


Period. Global Journal of Medical Research. USA ; Global Journals Inc,

2013; Volume 13 Issue 3 Version 1.0


8. Abraham dkk. Tanya Jawab Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi II. Semarang :

Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2010; p.43-50.


9. Prasad BK. Postmortem Ocular Changes : A Study on Autopsy Cases in

Bharatpur Hospital. Nepal : Kathmandu University Medical Journal, 2003;

Vol.1 No.4 Issue 4 p. 276-277


10. Lee, GM. Early Post Mortem Changes and Stage of Decomposition in

Exposed Cadavers. USA : Springer, 2009; Volume 49 p. 21-36.


11. Pounder, Derrick. Post Mortem Changes and Time of Death. Departemen of

Forensic Medicine University of Dundee, 1995.


12. Hau TC, Hamzah NH, Lian HH, Hamzah SPAA. Decomposition Proccess

and Postmortem Changes. Kuala Lumpur : Sains Malaysiana, 2014; volume

43 Issue 12 p. 1873-1882.
13. Cox, William A. Early Postmortem Changes and Time of Death. Forensic

Pathologist, 2009.

Anda mungkin juga menyukai