HEPATITIS B KRONIK
Disusun Oleh:
Fizal Gunawan (01073190166)
Pembimbing:
dr. Ignatius Bima Prasetya, Sp.PD
i
DAFTAR GAMBAR
ii
DAFTAR TABEL
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Sekitar 240 juta orang terinfeksi oleh VHB3, dimana prevalensi infeksi VHB
di Indonesia sendiri adalah sekitar 4-20.3% populasi. 4,5 Bila infeksi VHB tidak
ditangani dengan tepat, hepatitis B akut akan berubah menjadi hepatitis B kronik
yang mana sekitar 8-20% kasusnya akan memunculkan sirosis pada pasien selama 5
tahun dan karsinoma hepatoselular sekitar 21% pada pasien yang sudah mengalami
sirosis.6
Oleh karena itu, referat ini ditulis untuk memberikan pemahaman bagi klinisi
untuk mengenali pasien yang memiliki hepatitis B dan hepatitis B kronik dan
memberikan tatalaksana yang tepat.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Hepatitis merupakan suatu istilah yang menggambarkan peradangan pada sel-
sel hati, baik yang disebabkan oleh infeksi, obat-obatan, konsumsi alkohol, lemak
yang berlebih, maupun penyakit autoimun. Salah satu penyebab dari hepatitis adalah
infeksi virus yang terdiri dari virus hepatitis A, B, C, D, dan E. 1 Hepatitis B
disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB), yaitu virus DNA hepatotropik non-sitopatik
yang menghasilkan perantara DNA sirkuler tertutup kovalen di dalam inti sel yang
terinfeksi serta urutan terintegrasi yang bertindak sebagai template transkripsi untuk
protein dari virus yang mengakibatkan infeksi akut maupun kronik.2,4,5
Hepatitis B kronik merupakan perkembangan dari hepatitis B akut yang
didefinisikan sebagai adanya hepatitis B surface antigen (HBsAg) setelah 6 bulan
infeksi.1,2
2.2 Epidemiologi
Terdapat sekitar 240 juta orang di dunia yang terinfeksi oleh VHB, yang mana
orang-orang tersebut menyumbang sekitar 30% kasus sirosis dan 45% kasus
karsinoma hepatoselular.5 Infeksi VHB ini masih merupakan masalah yang sering
terjadi, yaitu dengan prevalensi 4-20.3% pada populasi umum di Indonesia. Terdapat
sebanyak 887.000 kematian pada tahun 2015 yang diakibatkan oleh hepatitis B,
dimana kematian-kematian tersebut kebanyakan disebabkan oleh komplikasi hepatitis
B yaitu sirosis dan karsinoma hepatoselular.4,5
Hepatitis B kronik yang tidak diterapi dengan tepat dapat menimbulkan sirosis
dan karsinoma hepatoselular. Selama 5 tahun, insidens kumulatif sirosis pada pasien
hepatitis B kronik yang tidak diterapi sebesar 8-20%, dimana 20% dari kasus tersebut
akan berkembang menjadi sirosis dekompensata. Selain itu, insidensi kumulatif dari
2
karsinoma hepatoselular pada pasien hepatitis B yang sudah mengalami sirosis
mencapai 21% selama pemantauan 6 tahun.6
2.3 Etiologi
Etiologi dari hepatitis B kronik adalah infeksi VHB. VHB merupakan virus
terselubung (enveloped) berukuran sekitar 42 nm dengan genom DNA yang
sebagiannya beruntai ganda sebanyak 3,2 kilo basa yang berasal dari familia
Hepadnaviridae. Selama siklus hidupnya, RNA pra-genomik (pgRNA) dari VHB
ditranskipsi dari DNA sirkular tertutup kovalen dan difungsikan sebagai template
untuk dilakukannya replikasi DNA VHB melalui transkripsi terbalik yang dimediasi
oleh enzim polymerase virus.6,7,8
VHB memiliki tiga buah selubung atau surface protein yang ditranslasikan
dari dua mRNA yang berbeda, yaitu large surface antigens (LHBs), middle surface
antigens (MHBs), small surface antigens (SHBs). LHBs dikodekan oleh RNA
subgenomik 2,4 kilo basa yang diprakarsai oleh promoter preS1, sedangkan MHBs
dan SHBs dikodekan oleh RNA subgenomik 2,1 kilo basa yang diprakarsai oleh
promoter preS2. RNA subgenomik 2,4 dan 2,1 kilo basa memiliki ujung 3’ yang
sama. Namun demikian, terdapat perbedaan Panjang karena perbedaan pada ujung 5’
yang mengakibatkan perbedaan daerah amino-terminal tetapi memiliki kesamaan
pada daerah carboxy-terminal. Oleh karena itu, LHBs mengandung preS1, preS2, dan
S sebesar 389 atau 400 residu asam amino; MHBs mengandung preS2 dan S sebesar
281 residu asam amino; dan SHBs mengandung domain S sebesar 226 residu asam
amino. Perbandingan LHBs, MHBs, dan SHBs pada selubung dari virion yang sudah
matur atau infeksius adalah sekitar 1:1:4 (gambar 2.1).7
3
Gambar 2.1 – Transkripsi surface protein dari VHB7
2.4 Patogenesis
Setelah masuknya virus kedalam hepatosit melalui reseptor berafinits tinggi
dari sodium taurocholate co-transporter, relaxed circular DNA (rcDNA) dari VHB
masuk ke dalam nucleus dan diubah menjadi DNA sirkular tertutup kovalen. Dalam
bentuk minichromosome, yaitu template transkripsi utama dari virus. Hasil-hasil
transkripsi kemudian diekspor dari nucleus, dengan RNA pregenomik (pgRNA) yang
lebih besar dimasukkan kedalam kompleks replikasi dalam sitoplasma yang terdiri
dari enzim polymerase virus dan protein utama. Dalam kompleks replikasi ini,
pgRNA ditranskripsikan secara terbalik menjadi DNA VHB yang dapat mengisi
Kembali DNA sirkular tertutup kovalen atau mengalami pengemasan lebih lanjut.
4
Kapsid yang mengandung DNA VHB kemudian akan berikatan dengan surface
protein dari reticulum endoplasma ditranslokasikan kedalam lumen sebelum keluar
dari hepatosit melalui jalur sekretori dan kemudian akan dilepaskan sebagai partikel
virus yang matur. mRNA yang ditranskripsikan dari DNA sirkular tertutup kovalen
juga akan menghasilkan berbagai antigen virus. Selain DNA sirkular tertutup
kovalen, hasil virus lainnya (rcDNA VHB, RNA VHB, HBeAg, HBsAg, HBcAg, dan
p22cr) dapat dengan mudah diukur dalam darah.2
Setelah 60-90 hari masa inkubasi, VHB akan menyebabkan hepatitis B akut
pada orang yang terinfeksi. Terdapat beberapa gejala yang dapat timbul pada hepatitis
B akut seperti rasa lesu, nafsu makan yang berkurang, demam ringan, nyeri abdomen
sebelah kanan, icterus, dan urin yang berwarna seperti teh. Namun, gejala-gejala yang
5
muncul diatas merupakan gejala yang tidak khas dan sebaiknya diagnosis ditegakkan
melalui pemeriksaan penunjang berupa tes fungsi hati berupa serum transaminase
(ALT) yang meningkat, juga pemeriksaan serologi berupa HBsAg dan IgM anti HBC
dalam serum.1
Dua kemungkinan yang dapat terjadi pada orang yang terinfeksi VHB, yaitu:
1) Hepatitis akut akan sembuh secara spontan dan akan terjadi kekebalan terhadap
infeksi berulang, atau 2) Infeksi berkembang menjadi infeksi kronik.6,10 WHO11
mengatakan bahwa hanya terdapat kurang dari 5% kemungkinan orang dewasa sehat
yang terinfeksi dengan VHB yang akan menimbulkan infeksi kronik, sedangkan 80-
90% bayi yang terinfeksi dalam tahun pertama hidupnya akan menimbulkan infeksi
kronik.
Pasien dengan infeksi B akut yang berkembang menjadi infeksi VHB kronik
melewati 4 fase, yaitu fase immune tolerance, immune-reactive, low replicative, dan
inaktivasi.6,10
Fase immune tolerance merupakan fase pertama pada infeksi VHB kronik.
Durasi dari fase ini bervariasi tergantung dari usia infeksi, moda infeksi (transmisi),
status kekebalan tubuh, etnisitas, aktivitas biokimia dan histologis, genotype VHB,
dan ALT flare. Pada transmisi secara vertical dari ibu yang memiliki HBeAg positif,
fase immune tolerance dapat berlangsung selama lebih dari 3 dekade; sedangkan pada
transmisi secara horizontal, fase ini berlangsung dengan sangat cepat dan sulit untuk
dideteksi. Fase immune tolerance didefinisikan sebagai adanya infeksi VHB yang
memiliki HBeAg positif persisten tanpa adanya penyakit nekroinflamatorik hati
secara signifikan yang sedang berlangsung. Fase ini ditandai dengan adanya serum
ALT normal yang persisten, serum VHB DNA >2x10 7 IU/mL, dan biopsy hati yang
menunjukkan adanya perubahan histologi hati yang minimal.10
6
Serkonoversi HBeAg secara spontan biasanya terjadi sebelum usia 40 tahun
pada lebih dari 90% pasien yang memiliki HBsAg positif. Kehilangan toleransi
kekebalan tubuh terjadi dengan laju 10-15% per tahun, dimana pasien yang berlanjut
pada fase immune clearance (immune-reactive) sering mengalami progresi dari
penyakit.10
2.5.2 Immune-Reactive
Fase ini disebut juga sebagai inactive HBsAg carrier state. Walaupun pada
fase sebelumnya terdapat hasil yang tidak diinginkan karena adanya progresi dari
nekroinflamasi hati yang sudah ada sebelumnya dan fibrosis menjadi sirosis dan
bahkan pembentukan karsinoma hepatoseslular dan bahkan kematian, Sebagian besar
berakhir pada clearance HBeAg dan mengalami transisi ke fase low replicative. Fase
7
ini ditandai dengan ketidakadaan HBeAg, adanya anti-HBe, kadar aminotransferase
normal yang persisten, dan serum DNA VHB yang rendah atau tidak dapat dideteksi.
Biopsi hati yang dilakukan pada fase ini biasanya menunjukkan adanya hepatitis
ringan dan fibrosis yang minimal; namun demikian didapati adanya sirosis inaktif
pada pasien yang mengalami cedera hati berat selama fase immune clearance
sebelumnya. Kadar ALT dapat berfluktuasi dengan periode kadar ALT normal dalam
jangka waktu yang Panjang pada 45-65% pasien.10
Walaupun disebut sebagai inactive HBsAg carrier state, sebutan tersebut tidak
berlaku untuk Sebagian besar pasien dikarenakan hepatitis flare yang masih dapat
terjadi dan komplikasi lainnya seperti karsinoma hepatoselular masih dapat terjadi.
Tetapi memang untuk pasien-pasien yang terinfeksi pada usia dini, Sebagian besar
komplikasinya terjadi setelah adanya serokonversi dari HBeAg.10
2.5.4 Inaktif
Fase inaktif ditandai dengan kadar DNA VHB yang rendah, serum ALT
normal, dan kerusakan hati yang minimal. Walaupun demikian, pasien pada fase
inaktif ini sering mengalami fase reaktivasi dimana kadar DNA VHB kembali
meningkat hingga >2.000 IU/mL dengan inflamasi pada hati yang kembali terjadi.6
8
Gambar 2.3 – Fase-fase hepatitis B kronik9
Terdapat 2 komplikasi utama pada pasien dengan infeksi VHB kronik, yaitu
sirosis dan karsinoma hepatoselular. Sirosis pada pasien dengan infeksi VHB kronik
memiliki insidens per tahun sebesar 2-6% pada pasien HBeAg-positif dan 8-10%
pada pasien dengan HBeAg-negatif. Insidensi sirosis pada pasien dengan HBeAg-
negatif lebih besar karena usia yang lebih tua dan penyakit hati yang lebih lanjut pada
presentasi awal. Pada pasien dengan HBeAg-positif, kemungkinan perkembangan
sirosis lebih besar pada pasien yang masih memiliki HBeAg-positif saat dilakukan
follow-up. Faktor tambahan yang telah diidentifikasi berhubungan dengan
perkembangan sirosis anatra lain adalah kebiasaan konsumsi alcohol, koinfeksi virus
hepatitis C (VHC) atau human immunodeficiency virus (HIV), kadar replikasi VHB
yang tinggi, dan pasien yang memiliki reversi HBeAg, genotype VHB (C>B), dan
mutasi basal core promoter (BCP) dengan proporsi yang lebih tinggi (>45%). 10
Insidensi karsinoma hepatoselular pada infeksi VHB tanpa sirosis per tahun
adalah sekitar <1% sedangkan pada pasien dengan sirosis adalah 2-3%. Faktor resiko
9
tambahan untuk munculnya karsinoma hepatoselular adalah koinfeksi dengan VHC,
riwayat keluarga dengan karsinoma hepatoselular, kebiasaan untuk mengonsumsi
alcohol, tingkat replikasi VHB yang tinggi (genotype C>B), dan mutasi core
promoter (CP); serta adanya obestias, diabetes, dan konsumsi rokok.10
10
2.6 Pengobatan
Tabel 2.2 – Indikasi pengobatan pada pasien dengan infeksi VHB kronik10
VHB DNA
Pasien HBsAg-positif ALT Pengobatan
(IU/mL)
Sirosis dekompensata Dapat dideteksi Berapa saja Obati. Histologi tidak
dibutuhkan. Pertimbangkan
transplantasi hati tanpa
stabilisasi
Sirosis terkompensasi >2.000 Berapa saja Obati. Histologi sebaiknya
didapatkan atau nilai fibrosis
secara noninvasif
Reaktivasi VHB kronik Dapat dideteksi Meningkat Obati secepatnya
yang berat
Hepatitis B kronik >20.000 >2xULN Observasi selama 3 bulan bila
yang HBeAg-positif tidak terdapat masalah
tanpa sirosis dekompensasi hati.
Obati. Histologi sebaiknya
didapatkan atau nilai secara
noninvasif
1-2xULN Nilai fibrosis secara
noninvasif. Monitor setiap 3
bulan. Biopsi bila kajian
noninvasif menunjukkan bukti
fibrosis yang signifikan, ALT
meningkat secara persisten,
usia >35 tahun atau riwayat
11
kelluarga dengan sirosis atau
karsinoma hepatoselular.
Obati bila terdapat inflamasi
sedang sampai berat atau
fibrosis yang signifikan
Normal persisten Nilai fibrosis secara
(usia <30) [fase noninvasif. Monitor setiap 3
immune tolerant] bulan. Biopsi bila kajian
noninvasif menunjukkan bukti
fibrosis yang signifikan, atau
terdapat riwayat keluarga
dengan sirosis atau karsinoma
hepatoselular. Obati bila
terdapat inflamasi sedang
sampai berat atau fibrosis yang
signifikan
2.000-20.000 Berapa saja Singkirkan penyebab lain yang
meningkatkan ALT. Nilai
fibrosis secara noninvaasif.
Monitor setiap 3 bulan. Biopsi
bila kajian noninvasif
menunjukkan buti fibrosis
signifikan, usia >35 tahun,
peningkatan ALT yang
persisten, atau riwayat
keluarga dengan sirosis atau
karsinoma hepatoselular. Obati
bila terdapat inflamasi sedang
sampai berat atau fibrosis yang
signifikan
<2.000 <ULN Nilai fibrosis secara
noninvasif. Monitor setiap 3
bulan. Biopsi bila kajian
noninvasif menunjukkan buti
fibrosis signifikan, usia >35
12
tahun, peningkatan ALT yang
persisten, atau riwayat
keluarga dengan sirosis atau
karsinoma hepatoselular. Obati
bila terdapat inflamasi sedang
sampai berat atau fibrosis yang
signifikan
>ULN Singkirkan penyebab lain yang
meningkatkan ALT. Nilai
fibrosis secara noninvaasif.
Monitor setiap 3 bulan. Biopsi
bila kajian noninvasif
menunjukkan buti fibrosis
signifikan, usia >35 tahun,
peningkatan ALT yang
persisten, atau riwayat
keluarga dengan sirosis atau
karsinoma hepatoselular. Obati
bila terdapat inflamasi sedang
sampai berat atau fibrosis yang
signifikan
Hepatitis B krinik >2.000 >2x ULN Observasi selama 3 bulan bila
dengan HBeAg-negatif tidak terdapat masalah
tanpa sirosis dekompensasi hati.
Obati. Histologi sebaiknya
didapatkan atau nilai secara
noninvasif
1-2x ULN Singkirkan penyebab lain yang
meningkatkan ALT. Nilai
fibrosis secara noninvaasif.
Monitor setiap 3 bulan. Biopsi
bila kajian noninvasif
menunjukkan buti fibrosis
signifikan, usia >35 tahun,
peningkatan ALT yang
13
persisten, atau riwayat
keluarga dengan sirosis atau
karsinoma hepatoselular. Obati
bila terdapat inflamasi sedang
sampai berat atau fibrosis yang
signifikan
Normal persisten Nilai fibrosis secara
noninvasif. Monitor setiap 3
bulan. Biopsi bila kajian
noninvasif menunjukkan buti
fibrosis signifikan, usia >35
tahun, peningkatan ALT yang
persisten, atau riwayat
keluarga dengan sirosis atau
karsinoma hepatoselular. Obati
bila terdapat inflamasi sedang
sampai berat atau fibrosis yang
signifikan
<2.000 >ULN Singkirkan penyebab lain yang
meningkatkan ALT. Nilai
fibrosis secara noninvaasif.
Monitor setiap 3 bulan. Biopsi
bila kajian noninvasif
menunjukkan buti fibrosis
signifikan, usia >35 tahun,
peningkatan ALT yang
persisten, atau riwayat
keluarga dengan sirosis atau
karsinoma hepatoselular. Obati
bila terdapat inflamasi sedang
sampai berat atau fibrosis yang
signifikan
Normal persisten Nilai fibrosis secara
noninvasif. Monitor setiap 3
bulan. Biopsi bila kajian
14
noninvasif menunjukkan buti
fibrosis signifikan, usia >35
tahun, peningkatan ALT yang
persisten, atau riwayat
keluarga dengan sirosis atau
karsinoma hepatoselular. Obati
bila terdapat inflamasi sedang
sampai berat atau fibrosis yang
signifikan
Pasien dengan sirosis terkompensasi dan memiliki DNA VHB >2.000 IU/mL
sebaiknya juga diertimbangkan untuk memulai pengobatan walaupun kadar ALT
normal. Biopsi hati direkomendasikan tetapi pilihan lainnya yang dapat digunakan
adalah penilaian fibrosis secara noninvasif.
15
Gambar 2.4 – Indikasi pengobatan untuk infeksi VHB kronik dengan sirosis atau reaktivasi infeksi
VHB kronik10
Pengobatan dapat dimulai pada pasien dengan infeksi VHB kronik pra-sirotik
jika didapati adanya peningkatan ALT >2 kali ULN (setidaknya dalam 1 bulan
diantara observasi) dan DNA VHB >20.000 IU/mL jika HBsAg-positif dan >2.000
IU/mL jika HBeAg-negatif. Pada pasien demikian, biopsy hati dapat memberikan
infeormasi tambahan yang berguna terlebih pada pasien dengan nekroinflamasi
hepatic yang penyebabnya dipertanyakan. Pada pasien yang memulai pengobatan
tanpa biopsy hati, metode secara noninvasif dapat digunakan untuk memperkirakan
tingkat fibrosis hati.
16
Gambar 2.5 – Indikasi pengobatan pada pasien dengan infeksi VHB kronik dengan HBeAg-negatif
tanpa sirosis`0
Gambar 2.6 – Indikasi pengobatan pada pasien dengan infeksi VHB kronik dengan HBeAg-positif
tanpa sirosis10
17
Jenis obat yang dapat digunakan untuk pengobatan hepatitis adalah interferon
dan NA. Interferon yang dipakai adalah interferon konvensional, pegylated interferon
(peg-IFN) α-2a, atau peg-IFN α-2b; sedangkan NA yang digunakan terdiri dari
lamivudin, adefovir, entecavir, telbivudine, dan tenofovir. Kekurangan dan kelebihan
masing-masing golongan obat diatas dapat dilihat pada table berikut ini.6
2.6.1 Interferon
18
Interferon merupakan mediator inlamasi fisiologis tubuh yang berfungsi
dalam pertahanan terhadap virus. IFN- α konvensional merupakan obat pertama yang
diakui sebagai obat untuk hepatitis B kronik. Interferon bekerja dengan cara
mengaktifkan sel T sitotoksik, sel natural killer (NK), dan makrofag. Selain aktivasi,
interferon juga akan merangsang produksi protein kinase spesifik yang berfungsi
untuk mencegah sintesis protein. Aktivasi protein kinasi ini akan menghambat
replikasi virus dan merangsang apoptosis sel-sel yang telah terinfeksi oleh virus.
Waktu paruh dari interferon dalam darah adalah sekitar 3-8 jam. Untuk
memperpanjang kadar interferon dalam darah, maka interferon diikat pada molekul
polyethylene glycol yang disebut juga sebagai pegylation.6
Saat ini terdapat 2 jenis peg-IFN yaitu α-2a dan α-2b. IFN konvensional
diberikan dengan dosis 5 MU per hari atau 10 MU sebanyak 3 kali per minggu,
sementara pemberian peg-IFN α-2a sebesar 180 mcg per minggu dan peg-IFN α-2b
diberikan dengan dosis 1-1.5 mcg per kilogram per minggu. Pemberian interferon
dilakukan secara injeksi subkutan dengan durasi pemberian selama 16-24 minggu,
namun pada peg-IFN didapatkan bahwa pemberian selama 48 minggu menunjukkan
hasil yang lebih baik. Komplikasi dari IFN adalah gejala “flu like” yang berat, depresi
sumsum tulang, gangguan emosi, reaksi autoimun, dan reaksi lainnya; namun
kebanyakan dari efek samping ini bersifat reversible dan akan hilang bila penggunaan
obat dihentikan.6
1. Pasien muda yang telah memenuhi indikasi terapi, tanpa penyakit penyerta,
dan memiliki biaya yang mencukupi.
2. Pada pasien yang diketahui terinfeksi VHB dengan genotype A atau B, karena
terapi interferon akan memberikan efektivitas terapi yang lebih baik pada
genotype yang bersangkutan.
19
Sebaliknya, interferon tidak boleh diberikan dengan pasien dengan karakteristik:
2.6.2 NA
2.6.2.1 Lamivudin
Lamivudin masih dapat diberikan sebagai obat lini pertama pada kondisi
seperti sirosis dekompensata dan pasien di negara berkembang. Hal yang harus
diperhatikan untuk pemberian lamivudin sebagai lini pertama adalah pasien yang
memiliki: DNA VHB <2.000 IU/mL, status HBeAg positif, dan ALT >2x UL. Pasien
yang tidak mencapai DNA VHB<2.000 IU/mL pada minggu ke-4 atau DNA
VHB<200 IU/mL pada minggu ke-24 harus dipertimbangkan penggantian terapi.
20
Pasien yang sudah mengalami resistensi terhadap lamivudin, telbivudine, maupun
entecavir tidak dapat diberikan terapi ini.6
Sama seperti lamivudin, adefovir juga merupakan pilihan terapi yang kurang
efektif bila dibandingkan dengan pilihan terapi lainnya. Namun demikian, efektivitas
adfovir dapat ditingkatkan bila pemberiannya sesuai dengan kelompok tertentu.
Kelompok tertentu tersebut diantaranya adalah pasien hepatitis B kronik yang
memiliki BHeAg-negatif dengan DNA VHB rendah dan ALT tinggi, juga pasien
dengan riwayat gagal terapi dengan pemberian NA. Tetapi adefovir tidak disarankan
penggunaannya pada pasien hepatitis B kronik dengan gangguan gnjal, pasien
hepatitis B yang resisten terdhadap adefovir, dan pasien dalam pengobatan adefovir
yang tidak emnunjukkan respon pada minggu ke-24.6
2.6.2.3 Entecavir
21
negative DNA, dan sintesis rantai positif DNA. Pemberian obat ini lebih poten
dibandingkan dengan lamivudin maupun adefovir, dan masih bekerja efektif pada
pasien dengan resistensi lamivudin walaupun potensinya tidak sebaik pasien naif.
Pemberian obat ini melalui oral dengan dosis 0.5 mg per hari untuk pasien naif dan 1
mg per hari untuk pasien yang mengalami resistensi lamivudin. Walau demikian,
pasien yang sudah mengalami resistensi terhadap lamivudin juga dapat mengalami
resistensi terhadap entecavir. Hal ini terjadi bila terjadi mutase pada rtL180M,
rtM204V, dan ditambah salah satu dari rtT184, rtS202, atau rtM250. Pemberian
entecavir juga dapat diberikan pada pasien yang mengalami sirosis dan tidak
disarankan pemberiannya pada pasien yang memiliki resistensi terhadap entecavir.6
2.6.2.4 Telbivudin
22
sebesar 300 mg per hari. Tenofovir efektif digunakan pada pasien yang sudah
memiliki resistensi terhadap terapi lainnya karena tingkat resistensi dari tenofovir
masih terbilang rendah. Namun, di Indonesia obat ini belum tersedia untuk kasus
hepatitis B, sehingga tidak dapat diterapkan begitu saja. Tenofovir dapat diberikan
pada pasien dengan keadaan hepatitis B naif dan hepatitis B kronik dan sirosis,
sedangkan sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan hepatitis B yang resisten
terhadap tenofovir dan memiliki gangguan ginjal.
23
Tenofovir Entecavir Lanjutkan tenofovir;
tambahkan entecavir
Multi-drug resistance tenofovir Kombinasi tenofovir dan
entecavir
2.7 Pencegahan
24
11. Anak-anak yang lahir dari Ibu pengidap hepatitis B kronik.
Selain melalui vaksinasi, penyebaran infeksi VHB juga dapat dicegah dengan cara
menghindari kontak dengan caian tubuh pasien dengan infeksi VHB. Bagi orang yang
tidak tervaksinasi dan terpapar dengan cairan tubuh pasien dengan infeksi VHB,
harus diberikan kombinasi HBIg dan vaksin hepatitis B. Pemberian HBIg memiliki
tujuan untuk mencapat kadar anti-HBs yang tinggi dalam waktu yang singkat,
sedangkan pemberian vaksin hepatitis B memiliki tujuan untuk kekebalan tubuh
jangka panjang dan dapat mengurangi gejala klinis yang mungkin timbul. Pemberian
HBIg dengan dosis 0.06 mL/kgBB yang disusul dengan vaksin hepatitis B diperlukan
pada pasien yang tidak memiliki kekebalan terhadap VHB sedangkan sumber
penyebaran (cairan tubuh pasien) memiliki status HBsAg-positif. Oleh karena itu,
penting untuk diketahui status anti-HBs orang yang terkena paparan dan status
HBsAg dari orang yang memberi paparan.6
25
BAB III
KESIMPULAN
26
resistensi. Interferon tidak akan mengalami resistensi sedangkan penggunaan antiviral
lebih banyak memiliki kendala terhadap resistensi.
27
DAFTAR ISI
28
https://www.who.int/vaccine_safety/initiative/tools/Hep_B_Vaccine_rates_inf
ormation_sheet.pdf?ua=1
13. Terrault N, Lok A, McMahon B, Chang K, Hwang J, Jonas M et al. Update on prevention,
diagnosis, and treatment of chronic hepatitis B: AASLD 2018 hepatitis B guidance.
Hepatology. 2018;67(4):1560-1599.
29