Anda di halaman 1dari 53

MAKALAH

PENYAKIT TUBERCULOSIS (TBC) - TB MDR

Mata kuliah : Farmakoterapi 2


Dosen : Andi Muh Farid, S.Si., M.Si., Apt

Disusun Oleh:

Rahmawati Duwila (51123011157)


Febriyanti (51923011018)
Reski Ridwan (51923011097)

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
UNIVERSITAS PANCASAKTI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat-Nya kami
dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Tak lupa pula kami mengucapkan terima
kasih kepada dosen Mata Kuliah Farmakologi 2 yang telah memberikan tugas ini kepada kami
sebagai upaya untuk menjadikan kami manusia yang berilmu dan berpengetahuan.
Keberhasilan kami dalam menyelesaikan makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak. Untuk itu, kami menyampaikan terima kasih pada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan
masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Untuk itu, kami mengharapkan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya.
Wassalam...

Makassar, 22 November 2023

Penulis
DAFTAR ISI

BAB 1............................................................................................................................................ 6
PENDAHULUAN......................................................................................................................... 6
Latar Belakang.............................................................................................................................6
BAB II........................................................................................................................................... 7
PEMBAHASAN............................................................................................................................7
Tuberculosis ( TBC).....................................................................................................................7
Pengertian Penyakit Tuberkulosis (TBC).................................................................................7
Perkembangan Penyakit Tuberkulosis (TBC)..........................................................................8
Penyebaran Penyakit Tuberkulosis........................................................................................10
Penyebab Penyakit (TBC)......................................................................................................13
Patogenesis atau Proses Terjadinya Penyakit TBC................................................................15
Cara Penularan Penyakit TBC................................................................................................16
Gejala Penyakit TBC..............................................................................................................18
Klasifikasi pasien TB.............................................................................................................19
Diagnosis TB..........................................................................................................................22
Terapi TBC.............................................................................................................................26
Prinsip Pengobatan.................................................................................................................27
Pengobatan TBC.....................................................................................................................28
Multi Drug Resisten Tuberkulosis ( TB-MDR )........................................................................34
Definisi...................................................................................................................................34
Epidemiologi..........................................................................................................................35
Faktor faktor terjadinya resistensi..........................................................................................35
Mekanisme terjadinya resistensi............................................................................................39
Diagnosis TB-MDR...............................................................................................................43
Tatalaksana.............................................................................................................................45
Beberapa strategi pengobatan TB-MDR................................................................................45
Prinsip pengobatan TB-MDR.................................................................................................46
Fase-fase Pengobatan TB-MDR.............................................................................................47
Pemantauan dan hasil pengobatan..........................................................................................48
BAB III........................................................................................................................................ 49
PENUTUP................................................................................................................................... 49
Kesimpulan................................................................................................................................49
Saran...........................................................................................................................................51
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................52
1.1 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian penyakit Tuberkulosis?


2. Bagaimana penyebaran penyakit Tuberkulosis?
3. Apa Gejala dan Penyebab Penyakit Tuberkulosis ?
4. Bagaimana cara penularan Tuberkulosis ?
5. Bagaiamana cara pengobatan dan pencegahan penyakit Tuberkulosis?
6. Bagaimana Pencegahan Penyakit Tuberkulosis?
7. Apa Epidemiologi dari TB MDR?
8. Apa Mortabiitas dari TB MDR ?
9. Apa Prognosis dari TB MDR?
10. Apa Patofisiologi dari TB MDR?
11. Apa Diagnosis dari TB MDR?
12. Apa Etiologi dari TB MDR?
13. Apa Penatalaksanaan dari TB MDR?

1.2 Tujuan Penulisan

1. Untuk memahami pengertian penyakit Tuberkulosis


2. Untuk memahami penyebaran penyakit Tuberkulosis
3. Untuk memahami Gejala dan Penyebab Penyakit Tuberkulosis
4. Untuk memahami cara penularan Tuberkulosis
5. Untuk memahami cara pengobatan dan pencegahan penyakit Tuberkulosis
6. Untuk memahami Pencegahan Penyakit Tuberkulosis
7. Untuk memahami Epidemiologi dari TB MDR
8. Untuk memahami Mortabiitas dari TB MDR
9. Untuk memahami Prognosis dari TB MDR
10. Untuk memahami Patofisiologi dari TB MDR
11. Untuk memahami Diagnosis dari TB MDR
12. Untuk memahami Etiologi dari TB MDR
13. Untuk memahami Penatalaksanaan dari TB MDR
BAB 1

PENDAHULUAN

1.3 Latar Belakang

Tuberkulosis (TBC) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mikrobakterium Tuberkulosa. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang sangat kuat
sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih sering
menginfeksi organ paru-paru dibandingkan bagian lain tubuh manusia. Tuberkulosis (TB)
merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia. Organisasi Kesehatan
Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan sepertiga dari populasi dunia
telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis masih merupakan salah satu
masalah kesehatan yang utama di dunia Insiden TBC dilaporkan meningkat secara drastis
pada dekade terakhir ini di seluruh dunia. Demikian pula di Indonesia, Tuberkulosis
/TBC merupakan masalah kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka
kejadian penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Dengan jumlah
penduduk yang ada di Indonesia, Indonesia menempati urutan ketiga India DAN China
dalam hal jmlah penderita diantara 22 negara dengan masalah TBC terbesar di dunia.
Hasil survei kesehatan Rumah Tangga Depkes RI tahun 1992, menunjukkan bahwa
Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit kedua penyebab kematian, sedangkan pada
tahun 1986 merupakan penyebab kematian keempat. Pada tahun 1999 WHO Global
Surveillance memperkirakan di Indonesia terdapat 583.000 penderita TBC baru pertahun
dengan 262.000 positif atau insiden rate kira-kira 130 per 100.000 penduduk. Kematian
akibat tuberkulosis diperkirakan meninmpa 140.000 penduduk tiap tahun. Jumlah
penderita TBC paru di Indonesia dari tahun ketahun terus meningkat. Kenyataan
mengenai penyakit TBC di Indonesia begitu mengkhawatirkan, sehingga kita harus
waspada sejak dini dan mendapatkan informasi lengkap tentang penyakit TBC.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tuberculosis ( TBC)

A. Pengertian Penyakit Tuberkulosis (TBC)

Tuberkulosis (TBC atau TB) merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan

oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang

sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih

sering menginfeksi organ paru-paru dibandingkan bagian lain tubuh manusia.

TBC umumnya dikenal sebagai TB, adalah infeksi bakteri yang dapat menyebar

melalui kelenjar getah bening dan aliran darah ke organ dalam tubuh Anda. Hal ini

paling sering ditemukan di paru-paru. Kebanyakan orang yang terkena TB tidak

mengetahui gejalanya karena bakteri dapat hidup dalam bentuk tidak aktif di dalam

tubuh. Tetapi jika sistem kekebalan tubuh melemah, seperti pada orang dengan HIV

atau orang dewasa lanjut usia, bakteri TB dapat menjadi aktif. Dalam keadaan aktif

mereka, bakteri TB menyebabkan kematian jaringan di organ mereka menginfeksi.

Penyakit TB aktif dapat berakibat fatal jika tidak diobati.


B. Perkembangan Penyakit Tuberkulosis (TBC)

Tuberkulosis telah hadir pada manusia sejak jaman dahulu. Deteksi jelas awal

Mycobacterium tuberculosis adalah sisa-sisa bison tanggal 17.000 tahun sebelum

sekarang ini. Namun., Apakah berasal TBC pada sapi dan kemudian ditransfer ke

manusia, atau menyimpang dari satu nenek moyang, saat ini tidak jelas.

Menunjukkan sisa-sisa kerangka manusia prasejarah (4000 SM) telah TB, dan

pembusukan TBC telah ditemukan di punggung mumi Mesir 3000-2400 SM

penyakit paru-paru adalah istilah Yunani untuk konsumsi;. sekitar 460 SM,

Hippocrates diidentifikasi penyakit paru-paru sebagai penyakit yang paling luas kali

melibatkan batuk darah dan demam, yang hampir selalu fatal. Studi genetik

menunjukkan bahwa TB hadir di The Amerika dari sekitar tahun 100 Masehi.

Sebelum Revolusi Industri, tuberkulosis kadang-kadang mungkin telah dianggap

sebagai vampir. Ketika salah satu anggota keluarga meninggal dari itu, anggota lain

yang terinfeksi akan kehilangan kesehatan mereka perlahan-lahan. Orang percaya

bahwa ini disebabkan oleh korban asli menguras kehidupan dari anggota keluarga

lainnya. Selanjutnya, orang yang memiliki TB menunjukkan gejala mirip dengan apa

yang orang dianggap sifat vampir. Orang dengan TB seringkali memiliki gejala

seperti merah, mata bengkak (yang juga menciptakan kepekaan terhadap cahaya

terang), kulit pucat dan batuk darah, menunjukkan gagasan bahwa satu-satunya cara

untuk menderita untuk mengisi ini kehilangan darah adalah dengan menghisap

darah.
Meskipun didirikan bahwa bentuk paru dikaitkan dengan “tuberkel ‘oleh Dr

Richard Morton tahun 1689, karena berbagai gejalanya, TB tidak diidentifikasi

sebagai penyakit tunggal hingga 1820-an dan tidak bernama ‘TBC’ sampai 1839

oleh Schönlein JL. Selama tahun 1838-1845, Dr John Croghan, pemilik Mammoth

Cave, membawa jumlah penderita tuberkulosis ke dalam gua dengan harapan

penyembuhan penyakit dengan suhu konstan dan kemurnian udara gua: mereka

meninggal dalam setahun Yang sanatorium TB pertama kali dibuka pada 1859 di

Sokołowsko, Polandia oleh Hermann Brehmer..

Dr Robert Koch menemukan basil tuberkulosis. Basil yang menyebabkan

tuberkulosis, Mycobacterium tuberculosis, telah diidentifikasi dan dijelaskan pada

tanggal 24 Maret 1882 oleh Robert Koch. Ia menerima Penghargaan Nobel dalam

Fisiologi atau Kedokteran pada tahun 1905 untuk penemuan ini Koch tidak percaya

bahwa bovine (sapi) dan TB manusia adalah serupa, yang menunda pengakuan susu

yang terinfeksi sebagai sumber infeksi.. Kemudian, sumber ini telah dieliminasi oleh

proses pasteurisasi. Koch mengumumkan gliserin ekstrak dari basil tuberkulum

sebagai “obat” untuk TB pada tahun 1890, menyebutnya “tuberkulin”. Itu tidak

efektif, tetapi kemudian diadaptasi sebagai tes untuk pre-gejala TB.Keberhasilan asli

pertama di imunisasi terhadap TBC dikembangkan dari sapi-regangan dilemahkan

oleh Albert Calmette TB dan Camille Guerin pada tahun 1906. Itu disebut ‘BCG’

(Bacillus Calmette dan Guerin dari). Vaksin BCG pertama kali digunakan pada

manusia pada tahun 1921 di Perancis, tetapi tidak sampai setelah Perang Dunia II

yang BCG menerima penerimaan luas di Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman.
Tuberkulosis disebabkan perhatian publik yang paling luas di abad ke-20 ke-19

dan awal sebagai penyakit endemis masyarakat miskin perkotaan. Pada tahun 1815,

satu dari empat kematian di Inggris konsumsi; oleh 1918 satu dari enam kematian di

Prancis masih disebabkan oleh TB. Setelah berdirinya di tahun 1880-an bahwa

penyakit ini menular, TB adalah membuat penyakit dilaporkan di Inggris, ada

kampanye untuk berhenti meludah di tempat umum, dan kaum miskin terinfeksi

“didorong” untuk masuk sanatorium yang mirip penjara, sedangkan santoria untuk

kelas menengah dan atas menawarkan perawatan yang sangat baik dan perhatian

medis konstan. Apapun manfaat yang diklaim sebagai udara segar dan tenaga kerja

di sanatorium, bahkan di bawah kondisi terbaik, 50% dari mereka yang memasuki

mati dalam lima tahun (1916).

C. Penyebaran Penyakit Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksius terbanyak penyebab kematian di

dunia. Menurut WHO pada tahun 2014, 9,6 juta jiwa terjangkit penyakit

Tuberkulosis dan 1,5 juta diantaranya meninggal akibat penyakit tersebut. Hampir

95 % kasus kematian akibat Tuberkulosis (TB) berada di negara berpendapatan

menengah ke bawah. Tuberkulosis bukan hanya banyak ditemukan pada dewasa,

namun juga pada anak-anak. Bersumber yang sama dari WHO, sekitar 1 juta anak-

anak terkena penyakit TB dan 140.000 diantaranya meninggal akibatnya.

Indonesia menempati peringkat keempat di antara negara-negara TB tertinggi di

dunia. Estimasi prevalensi TB di Indonesia dikutip dari TB Indonesi adalah sekitar

690.000 pada tahun 2011, dan perkiraan jumlah kematian akibat TB adalah sebanyak
64.000 kematian per tahun. TB merupakan penyebab tersering kematian pada

seseorang dengan HIV positif. Pada tahun 2015, di dunia 1 dari 3 pasien dengan HIV

meninggal akibat TB. Dan kasus yang lebih serius saat ini adalah kasus Multidrug-

resistant TB (MDR TB). Secara global di seluruh dunia, kasus MDR TB mencapai

480.000 orang.

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2013 terdapat 9

juta penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB (WHO, 2014). Pada tahun 2014

terdapat 9,6 juta penduduk dunia terinfeksi kuman TB (WHO, 2015). Pada tahun

2014, jumlah kasus TB paru terbanyak berada pada wilayah Afrika (37%), wilayah

Asia Tenggara (28%), dan wilayah Mediterania Timur (17%) (WHO, 2015). Di

Indonesia, prevalensi TB paru dikelompokkan dalam tiga wilayah, yaitu wilayah

Sumatera (33%), wilayah Jawa dan Bali (23%), serta wilayah Indonesia Bagian

Timur (44%) (Depkes, 2008). Penyakit TB paru merupakan penyebab kematian

nomor tiga setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan pada semua kelompok

usia serta nomor satu untuk golongan penyakit infeksi. Korban meninggal akibat TB

paru di Indonesia diperkirakan sebanyak 61.000 kematian tiap tahunnya (Depkes RI,

2011). Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Sumatera Barat merupakan salah

satu provinsi di Indonesia yang angka kejadian TB parunya cukup tinggi.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun

2013, angka kejadian TB paru di Sumatera Barat adalah 0,2 %. Angka kejadian TB

paru di Sumatera Barat terus mengalami peningkatan setiap tahunnya yaitu pada

tahun 2007 sebanyak 3660 kasus, tahun 2008 sebanyak 3896 kasus, tahun 2009

sebanyak 3914 kasus, dan pada tahun 2010 ditemukan sebanyak 3926 kasus yang
tersebar dalam 19 kabupaten/kota dalam Propinsi Sumatera Barat termasuk Kota

Padang. Kota Padang sebagai ibu kota provinsi Sumatera Barat merupakan salah

satu kabupaten/kota yang menyumbang angka kejadian TB paru yang cukup tinggi.

Jumlah kasus TB paru di kota Padang pada tahun 2008 sebanyak 699 kasus (52%),

tahun 2009 sebanyak 748 kasus (56,6%), tahun 2010 sebanyak 853 kasus (62%),

tahun 2011 sebanyak 942 kasus, tahun 2012 sebanyak 628 kasus ditambah dengan

kasus lama (kambuh) 8 kasus, dan tahun 2013 jumlah kasus baru sebanyak 927

kasus dengan jumlah seluruh kasus TB paru adalah 1.288 kasus (Riskesdas, 2013).

Tingginya angka kejadian TB paru di seluruh dunia sering terjadi karena kepatuhan

pasien dalam pengobatan yang rendah (45%)(Viney, 2011).Kepatuhan minum obat

merupakan salah satu indikator penting dalam keberhasilan pengobatan suatu

penyakit.Kepatuhan rata-rata pasien pada pengobatan jangka panjang terhadap

penyakit kronis sangat bervariasi.Di negara maju persentase kepatuhan pasien

minum obat adalah sebesar 50% sedangkan untuk negara berkembang persentase

hanya sekitar 24% (WHO, 2003).

D. Penyebab Penyakit (TBC)

Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri

Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam

sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Kuman ini cepat mati

jika terkena sinar matahari lansung dan akan tetap bertahan hidup beberapa jam pada

tempat yang gelap dan lembab.

Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret

1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch.
Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum

(KP).

Berikut adalah beberapa faktor yang dapat menyebabkan risiko seseorang terkena

penyekit TBC :

1. Kontak langsung dengan penderita TBC

Orang yang sering kontak atau berhubungan langsung dengan penderita

TBC sangat berisiko tertular. Sebagai contoh, orang yang tinggal satu

rumah, melakukan kontak dekat, atau perawat yang merawat pasien TB

setiap hari akan lebih berisiko terkena TBC dibandingkan orang yang

berusaha menghindari kontak dengan penderita.

2. Kekebalan tubuh yang lemah

Seseorang yang memiliki kekebalan tubuh yang lemah seperti penderita

penyakit HIV/AIDS, Penderita Diabetes atau mereka yang menjalani

pengobatan kanker , terapi lainnya serta lingkungan tempat tinggal.

a. Pada penderita HIV/ AIDS

HIV/AIDS merupakan infeksi virus yang secara langsung menyerang

sistem kekebalan tubuh sehingga fungsi perlawanannya terhadap

infeksi penyakit semakin lemah. Dengan kata lain, penderita HIV/

AIDS perlu melakukan pengecekan TBC, karena jauh lebih rentan

terserang Mycobacterium tuberculosis.

b. Pada penderita Diabetes


Penderita diabetes yang memiliki bakteri penyebab TBC di dalam

tubuhnya memiliki peluang mengembangkan TBC aktif lebih tinggi

dibanding orang normal.

c. Orang yang menderita tukak lambung, kanker, penyakit ginjal, atau

hemofilia, berisiko mengalami TBC. Penderita penyakit-penyakit ini

memiliki peluang lebih besar untuk terinfeksi bakteri TBC karena

sistem imunnya tidak mampu menekan pertumbuhan bakteri.

3. Lingkunga tepat tinggal

lingkungan tinggal yang lembap, sempit, dan tidak terpapar sinar matahari.

Ruang tinggal dengan ventilasi udara yang buruk atau bahkan tidak terdapat

ventilasi sama sekali akan meningkatkan risiko seseorang untuk terkena TB

paru aktif. Hal ini dikarenakan bakteri yang dikeluarkan saat penderita batuk

atau bersin akan terperangkap di dalam ruangan tersebut dan terus-menerus

terhirup.

4. Jenis kelamin

Penyakit TB-Paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki

dibandingkan perempuan. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih

tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat

menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan

bakteri penyebab TB-Paru.

E. Patogenesis atau Proses Terjadinya Penyakit TBC

Secara klinis, TB dapat terjadi melalui infeksi primer dan infeksi pasca primer.

Infeksi primer terjadi pada saat seseorang terkena kuman TB untuk pertama kalinya.
Setelah terjadi infeksi melalui saluran pernafasan, didalam alveoli (gelembung paru)

akan terjadi peradangan. Hal ini disebabkan oleh kuman TB yang berkembang biak

dengan cara pembelahan diri di paru paru.

Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk

dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler) yang dapat menghentikan

perkembangan kuman TB dengan cara menyelubungi kuman dengan jaringan

pengikat. Ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant,

sehingga daya tahan tubuh tidak dapat menghentikan perkembang biakan kuman,

akibatnya yang bersangkutan menjadi penderita TB dalam beberapa bulan. Pada

infeksi primer biasanya menjadi abses (terselubung) dan berlangsung tanpa gejala

dan hanya terjadi batuk dan nafas berbunyi. Tetapi pada orang- orang yang

mempunyai sistem imun lemah dapat timbul radang paru hebat dengan ciri- ciri yaitu

batuk kronik dan bersifat sangat menular.

Infeksi Pasca Primer terjadi setelah beberapa bulan atau tahun dari infeksi primer.

Ciri TB pasca primer adalah kerusakan pada paru- paru yang luas dengan terjadinya

kavitas atau efusi pleura.

F. Cara Penularan Penyakit TBC

Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri

Mikobakterium tuberkulosis yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan

pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa.

Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang

biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah),
dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab

itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru,

otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain,

meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru.

Saat Mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan

segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya

melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TBC ini akan berusaha dihambat

melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme

pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan

bakteri TBC akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang

sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.

Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap

dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan


tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel

bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam

paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak).

Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami

pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TBC.

G. Gejala Penyakit TBC

Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang

timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas

terutama p ada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara

klinik.

1). Gejala Sistemik / Utama

Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan

malam hari disertai keringat malam.

a. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan

bersifat hilang timbul.

b. Penurunan nafsu makan dan berat badan.

c. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).

d. Perasaan tidak enak (malaise), lemah.

2). Gejala Khusus


a. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian

bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah

bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah

yang disertai sesak.

b. Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paruparu), dapat disertai deng

an

keluhan sakit dada.

c. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada

suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit diatasnya,

pada muara ini akan keluar cairan nanah.

d. Pada anak–anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut

sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi,

adanya penurunan kesadaran dan kejang – kejang.

H. Klasifikasi pasien TB

1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit :

a. Tuberculosis paru : Tuberculosis paru adalah TB yang berlokasi pada

parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB paru karena

adanya lesi pada jaringan paru. Pasien yang menderita TB paru dan

sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien

TB paru

b. Tuberculosis ekstra paru: Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru,

misalnya pleura, kelenjar limfe,abdomen, saluran kencing, kulit,sendi,

selaput otak dan tulang. Linfadenitis TB di rongga dada (hilus dan atau
mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang

mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra paru. Diagnosis

TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan

bakteriologis atau klinis. Diagnosa TB ekstra paru harus diupayakan

secara bakteriologis dengan ditemukannya mycobacterium tuberculosis.

Bila proses TB terdapat dibeberapa organ, penyebutan disesuaikan dengan

organ yang terkena proses TB terberat.

2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya adalah:

a. Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan

pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun

kurang dari 1 bulan atau lebih (< dari 28 dosis)

b. Pasien yang pernah diobati TB : adalah pasien yang sebelumnya pernah

menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (>dari 28 dosis) Pasien ini

selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil

Pengobatan TB terakhir, yaitu :

Kambuh adalah penderita tuberculosis yang sebelumnya pernah mendapat

pengobatan tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan

lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan

bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau reinfeksi).

 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-

up): adalah pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan lost to

follow-up.( klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan

pasien setelah putus berobat/default)


 Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang

pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.

 Lain-lain : adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil

akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

c. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui. Adalah

pasien TB yang tidak masuk dalam kelompok 1) atau 2)

3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeiksaan uji pemeriksaan kepekaan obat.

Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji

mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa:

a. Mono resistan (TB MR): mycobacterium tuberculosis resistan

terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja

b. Poli resistan (TB PR): mycobacterium tuberculosis resistan terhadap

lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan

Rifampisin secara bersamaan.

c. Multi Drug resistan ( TB MDR) : mycobacterium tuberculosis resistan

terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan, dengan

atau tanpa diikuti resistan OAT lini pertama atau lainnya.

d. Extensive drug resistan: adalah TB MDR yang sekaligus juga

mycobacterium tuberculosis resistan terhadap salah satu OAT

golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua

jenis suntikan (kanamisin, kapreomisin, dan Amikasin)


e. Resistan Rifampisin (TB RR): Mycobacterium tuberculosis resistan

terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain

yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat molekuler)

atau metode fenotip (konvensional)

4. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV

a. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV) adalah

pasien TB dengan:

 Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan

ART, atau

 Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB

 Pasien TB dengan HIV negatif adalah pasien TB dengan:

 Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau

 Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB

b. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui adalah pasien TB tanpa

ada bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan.

Catatan :
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV

pasien, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan

hasil tes HIV terakhir.

I. Diagnosis TB

a. Diagnosis TB Paru

Diagnosis TB paru ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis, pemeriksaan

klinis, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.

1. Keluhan dan hasil anamnesis meliputi :

Keluhan yang disampaikan pasien, serta wawancara rinci berdasarkan

keluhan pasien

2. Pemeriksaan klinis

Pemeriksaan klinis berdasarkan gejala dan tanda TB yang meliputi :

a. Gejala utama pasien TB paru adalah penderita mengalami batuk

berdahak selama 2 minggu atau lebih diikuti dengan gejala

tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas

dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan dan berat badan

menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam

hati tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari sebulan. Pada

pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan

gejala TB yang khas.


b. Gejala- gejala diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain

TB, seperti bronkiektasis, bronchitis kronis, asma, kanker paru,

dan lain- lain

c. Selain gejala- gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pemeriksaan

pada orang dengan faktor resiko, seperti: kontak erat dengan pasien

TB, tinggal didaerah padat penduduk, wilayah kumuh, daerah

pengungsian, dan orang yang bekerja dengan bahan kimia beresiko

menimbulkan paparan infeksi paru.

3. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan

diagnosis, juga untuk menentukan potensi penularan dan

menilai keberhasilan pengobatan

b. Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB

c. Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert

MTB/RIF. TCM merupakan sarana untuk penegakan diagnosis,

namun tidak dapat dimanfaatkan untuk evaluasi hasil

pengobatan.

d. Pemeriksaan Biakan

e. Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat

(Lowenstein-Jensen) dan media cair (Mycobacteria Growth

Indicator Tube).
f. Pemeriksaan penunjang lainnya meliputi : Pemeriksaan foto

toraks dan Pemeriksaan hispatologi pada kasus yang dicurigai

TB ekstra paru.

b. Diagnosis TB extra Paru

1. Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya kaku

kuduk pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura, pembesaran

kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB serta deformitas tulang

belakang (gibbus) pada spondylitis TB dan lain- lainnya.

2. Diagnosis pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan

klinis, bakteriologis, dan atau hispatologis dari contoh uji yang diambil dari

organ tubuh yang terkena.

3. Pemeriksaan mikroskopis dahak wajib dilakukan untuk memastikan

kemungkinan TB paru.

4. Pemeriksaan TCM pada beberapa kasus curiga TB ekstra paru dilakukan

dengan contoh uji cairan serebrospinal (Cerebro Spinal Fluid/CSF) pada

kecurigaan TB meningitis, contoh uji kelenjar getah bening melalui

pemeriksaan Biopsi Aspirasi Jarum Halus/ BAJAH (Fine Needle Aspirate

Biopsy/ FNAB) pada pasien dengan kecurigaan TB kelenjar, dan contoh uji

jaringan pada pasien dengan kecurigaan TB jaringan lainnya

c. Diagnosis TB pada anak

Gejala klinis pada anak berupa gejala umum/sistemik atau sesuai organ

terkait. Gejala klinis pada anak tidak terlalu khas karena gejala serupa juga dapat

disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB. Gejala khas TB sebagai berikut:
1. Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya

2. Demam ≥ 2 minggu

3. Lesu atau malaise >2 minggu

4. Batuk ≥ 2 minggu

Gejala- gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi

d. Diagnosis TB pada ODHA

Gejala klinis pada ODHA seringkali tidak spesifik. Gejala klinis yang

sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan

(sekitar 10% atau lebih) dan gejala ekstra paru sesuai organ yang terkena

misalnya TB pleura, TB pericardius, TB Milier, TB meningitis. Pada prinsipnya,

untuk mempercepat penegakan diagnosis TB pada pasien HIV positif dapat

diutamakan menggunakan pemeriksaan TCM TB.

J. Terapi TBC

Di dalam dunia medis, kata terapi dijabarkan sebagai tindakan remediasi

kesehatan yang mengacu pada diagnosis (pemeriksaan), juga bisa diartikan sebagai

usaha untuk memulihkan kondisi tubuh seseorang yang sakit.Terapi didefinisikan

sebagai tindakan perawatan pemulihan atas penyakit apapun yang bertujuan untuk

mengembalikan fungsi tubuh yang terganggu ke fungsi normal.

Pengendalian atau penanggulangan TB yang terbaik adalah mencegah agar tidak

terjadi penularan maupun infeksi. Pencegahan TB pada dasarnya adalah :

1. Mencegah penularan kuman dari penderita yang terinfeksi


2. Menghilangkan atau mengurangi faktor resiko yang menyebabkan terjadinya

penularan.

Tindakan mencegah terjadinya penularan dilakukan dengan berbagai cara, yang

utama adalah memberikan obat anti TB yang benar dan cukup, serta dipakai dengan

patuh sesuai ketentuan penggunaan obat.

Pencegahan dilakukan dengan cara mengurangi atau menghilangkan faktor

risiko, yakin pada dasarnya adalah mengupayakan kesehatan perilaku dan

lingkungan, antara lain dengan pengaturan rumah agar memperoleh cahaya matahari,

mengurangi kepadatan anggota keluarga, mengatur kepadatan penduduk,

menghindari meludah di sembarang tempat, batuk tanpa menutupi wajah,

membiasakan menkonsumsi makanan yang bergizi dengan baik dan seimbang.

Dengan demikian salah satu upaya pencegahan adalah dengan penyuluhan.

Penyuluhan TB dilakukan berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku

masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan,

dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan TB.

Terapi atau Pengobatan penderita TB dimaksudkan untuk menyembuhkan

penderita sampai sembuh, mencegah terjadinya kematian, mencegah kambuh, dan

menurunkan tingkat penularan penyakit.

K. Prinsip Pengobatan

Untuk mendapatkan keberhasilan dalam pengobatan yang efektif dan efisien,

maka ada beberapa prinsip yang harus diterapkan kepada seorang pasien TB

diantaranya adalah :
1. Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberculosis (OAT)

diberkan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, yang dalam

mengkonsumsinya harus dengan jumlah yang cukup dan dosis yang tepat

yang disesuaikan dengan kategori pengobatan. Hal ini dilakukan untuk

mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.

2. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan

dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Oserved Treatment)

oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) sampai selesai pengobatan

3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal dan lanjutan,

sebagai pengobatan yang adekuat untuk mencegah kekambuhan.

a. Tahap Intensif

Pada tahap intensif (awal) pengobatan diberikan setiap hari yang bertujuan

untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh

pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang

mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.

Pengobatan tahap ini pada semua pasien baru harus diberikan

selama 2 bulan. Pada umumnya pengobatan secara teratur dan tanpa

adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah

pengobatan selama 2 minggu pertama.

b. Tahap lanjutan

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun

dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk
membunuh sisa- sisa kuman khususnya kuman persister (dormant)

sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan

L. Pengobatan TBC

Penggunaan obat anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah antibiotik dan

anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium. Aktifitas obat TB

didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas sterilisasi,

dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid, Etambutol,

Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut sebagai obat

primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling paten dalam hal membunuh kuman

dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin. Rifampisin dan pirazinamid paling

paten dalam mekanisme sterilisasi.

Berikut ini adalah macam – macam obat TB antara lain :

1. Isoniazid (H)

Isoniazid dikenal dengan INH, bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosid

dengan KHM (kadar hambatan minum) sekitar 0,025-0,05 µg/mL. Efek

bakterisidnya hanya terlihat pada kuman yang sudah tumbuh aktif.

Mekanisme kerja belum diketahui, namun ada pendapat bahwa efek utamanya

adalah menghambat biosintesis asam mikolat (mycolic acid) yang merupakan

unsur penting penyusun dinding sel mikobakterium.

Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan

intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB


Efek samping INH yang dapat berupa tanda-tanda keracunan pada saraf

tepi, kesemutan dan nyeri otot atau gangguan kesadaran. Efek ini dapat

dikurangi dengan pemberian piridoksin (vitamin B6 dengan dosis 5-10 mg

perhari atau dengan vitamin B kompleks).

Efek samping berat dari INH berupa hepatitis yang dapat timbul pada

kurang lebih 0,5% penderita. Bila terjadi ikterus, hentikan pengobatan sampai

ikterus mambaik. Bila tanda-tanda hepatitisnya berat maka penderita harus

dirujuk ke UPK spesialistik.

2. Rifampisin (R)

Rifampisin bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semidormant

(persister) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniazid. Rifampisin terutama

aktif terhadap sel yang sedang tumbuh. Kerjanya menghambat DNA-

dependent, RNA polymerase dari mikrobakteria dan mikroorganisme lain

dengan menekan terbentuknya rantai dalam sintesis RNA .

Dosis Rifampisin 10 mg/kg BB diberikan untuk pengobatan harian

maupun intermiten 3 kali seminggu

Efek samping Rifampisin yang ringan dapat berupa sindrom kulit

(gatal-gatal kemerahan), sindrom flu (demam, menggigil, nyeri tulang),

sindrom perut (nyeri perut, mual, muntah, kadang-kadang diare). Efek

samping ringan sering terjadi pada saat penberian berkala dan dapat

sembuh sendiri atau hanya memerlukan pengobatan simtomatik.

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air

mata, dan air liur. Hasil ini harus diberitahukan kepada penderita agar
tidak khawatir, warna merah tersebut terjadi karena peroses metabolisme

obat dan tidak berbahaya

Efek samping Rifampisin yang berat berupa sindrom respirasi yang

ditandai dengan sesak nafas, kadang-kadang disertai dengan kolaps,

anemia haemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari

gejala ini terjadi, Rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan

lagi meskipun gejalanya sudah menghilang. Sebaiknya segera dirujuk ke

UPK spesialistik.

3. Pirazinamid (Z)

Pirazinamid bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang

berada dalam sel dengan suasana asam. Mekanisme kerja obat ini belum

diketahui secara pasti. Namun pada umumnya Pirazinamid dapat

menurunkan PH lingkungan yang di perlukankan untuk pertumbuhan

bakteri TBC. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan Mycobacterium

tuberculosis menjadi terhambat.

Dosis harian yang dianjurkan 25mg/kg berat badan, sedang untuk

pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35mg/kg

berat badan.

4. Etambutol (E)

Etambutol bersifat sebagai bakteriostatik. Obat ini bekerja dengan cara

menghambat pemasukan (incorporation) asam mikolat kedalam dinding

sel bakteri (Istiantoro,Setabudy,2009).


Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan

intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa

berkurangnya ketajaman penglihatan, buta warna untuk warna merah dan

hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada

dosis yang dipakai. Efek samping jarang terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg

berat badan yang diberikan tiga kali seminggu

Setiap penderita yang menerima Etambutol harus diingat bahwa bila

terjadi gejala-gejala gangguan penglihatan supaya segera dilakukan

pemeriksaan mata. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam

beberapa minggu setelah obat dihentikan. Karena resiko kerusakan okuler

sulit dideteksi pada anak-anak, maka sebaiknya tidak diberikan pada anak

5. Streptomisin (S)

Streptomisin bersifat bakterisid dengan mekanisme kerja menghambat

sintesis protein sel mikroba, yaitu menguabah bentuk bagian 30 S

sehingga mengakibatkan salah baca kode mRNA.

Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk berumur 60

tahun dosisnya 0,75 gram/hari sedangkan untuk berumur 60 tahun atau

lebih diberikan 0,50 gram/hari.

Efek samping utama dari Streptomisin adalah kerusakan syaraf

kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Resiko


efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis

yang digunakan dan umur penderita. Kerusakan alat keseimbangan

biasanya terjadi 26 pada 2 bulan pertama dengan tanda-tanda telinga

mendenging (tinitus), pusing, dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini

dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi

menjadi 0,25 gram, jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat

keseimbangan akan semakin parah. Resiko ini terutama akan meningkat

pada penderita dengan gangguan fungsi eksresi ginjal. Reaksi

hipersensivitas kadang-kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba

disertai dengan sakit kepala,muntah dan eritema pada kulit. Hentikan

pengobatan dan segera rujuk kependerita ke UPK spesialistik.

Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh

diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak saraf pendengaran janin.
Pengobatan TB dengan paduan OAT lini 1 dapat diberikan dengan dosis harian

maupun dosis intermitten (diberikan 3 kali perminggu) dengan mengacu pada dosis

terapi yang direkomendasikan.

Panduan OAT kategori 1 dan 2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi

dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT-KDT (kombinasi dosis terapi) ini terdiri dari

kombinasi 2 dan 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat

badan pasien. 1 paket untuk 1 penderita dalam 1 masa pengobatan.

Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniazid (H),

Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan Etambutol (E) yang dikemas dalam bentuk

blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk pasien yang tidak bisa

menggunakan OAT-KDT.

Panduan OAT ketegori anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis

tetap OAT-KDT. Tablet OAT-KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam 1

tablet dan dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas

dalam satu paket untuk satu pasien untuk satu (1) masa pengobatan.

Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket dengan tujuan untuk memudahkan

pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai

selesai. Satu (1) paket satu (1) pasien untuk satu (1) masa pengobatan. Obat paket

Tuberkulosis ini disediakan secara gratis melalui institusi pelayanan kesehatan milik

pemerintah, terutama melalui Puskesmas, Balai pengobatan TB paru, Rumah Sakit

Umum dan Dokter Praktek Swasta yang telah bekerja sama dengan Direktorat

Pemberantasan Penyakit Menular.


2.2 Multi Drug Resisten Tuberkulosis ( TB-MDR )

A. Definisi

Tuberculosis Multidrug Resistant (TB MDR) didefinisikan sebagai

resistensi terhadap dua agen anti-TB lini pertama yang paling poten yaitu

Isoniazide (INH) dan Rifampisin. TB MDR berkembang selama pengobatan TB

ketika mendapatkan pengobatan yang tidak akurat. Hal ini dapat terjadi karena

beberapa alasan; Pasien mungkin merasa lebih baik dan menghentikan

pengobatan, persediaan obat habis atau langka, atau pasien lupa minum obat.

Awalnya resistensi ini muncul sebagai akibat dari ketidak patuhan pengobatan.

Selanjutnya transmisi strain TB MDR menyebabkan terjadinya kasus resistensi

primer. Tuberkulosis paru dengan resistensi dicurigai kuat jika kultur Basil Tahan

Asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah

terjadi konversi negatif. Directly Observed Therapy Shortcourse (DOTS)

merupakan sebuah strategi baru yang dipromosikan oleh World Health

Organization (WHO) untuk meningkatkan keberhasilan terapi TB dan mencegah

terjadinya resistensi (Kemenkes RI, 2017).

B. Epidemiologi

”WHO Report On Tuberculosis Epidemic 2008” menyatakan bahwa

resisitensi ganda kini menyebar dengan amat cepat di berbagai belahan dunia.

Lebih dari 50 juta orang mungkin telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang

resisten terhadap beberapa obat anti tuberkulosis khususunya Rifampisin dan

INH, serta kemungkinan pula ditambah obat lainnya. Pada tahun 2010 WHO
menyatakan insidens TB-MDR meningkat secara bertahap merata 2% pertahun.

Enam negara dengan kekerapan TB-MDR tinggi di dunia adalah Estonia,

Kazakhstan, Latvia, Lithunia, bagian dari federasi Rusia dan Uzbekistan.

Indonesia menduduki rangking ke 8 dari 27 negara-negara yang mempunyai

bebantinggi dan prioritas kegiatan untuk MDR. Beban TB-MDR di 27 negara ini

menyumbang 85% dari beban TB-MDR global. Di negara-negara yang termasuk

dalam daftar ini minimal diperkirakan terdapat 4000 kasus TB-MDR atau

sekurangkurangnya10% dari seluruh kasus baru TB-MDR. Laporan WHO

memperkirakan bahwa pada tahun 2008 kasus TB-MDR di Indonesia sebesar

6.427. Angka tersebut merujuk pada perkiraan angka TB-MDR sebesar 2% dari

kasus TB baru dan 20% dari kasus TB pengobatan ulang.

C. Faktor faktor terjadinya resistensi

Kegagalan pada pengobatan poliresisten TB atau TB-MDR akan

menyebabkan lebih banyak OAT yang resisten terhadap kuman M. tuberculosis.

Kegagalan ini bukan hanya merugikan pasien tetapi juga meningkatkan penularan

pada masyarakat. TB resistensi obat anti TB (OAT) pada dasarnya adalah suatu

fenomena buatan manusia, sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak

adekuat yang menyebabkan terjadinya penularan dari pasien TB - MDR keorang

lain / masyarakat.

Faktor penyebab resitensi OAT terhadap kuman M. tuberculosis antara lain:

1. Faktor mikrobiologik

a. Resisten yang natural


b. Resisten yang didapat
c. Amplifier effect
d. Virulensi kuman
e. Tertular galur kuman –MDR

2. Faktor klinik

a. Penyelenggara kesehatan

 Keterlambatan diagnosis

 Pengobatan tidak mengikuti guideline

 Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis

obatnya yang kurang atau karena lingkungan tersebut telah

terdapat resitensi yang tinggi terhadap OAT yang digunakan misal

rifampisin atau INH

 Tidak ada guideline/pedoman

 Tidak ada / kurangnya pelatihan TB

 Tidak ada pemantauan pengobatan

 Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan

pada satu paduan yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi

karena kuman tuberkulosis telah resisten pada paduan yang

pertama maka ”penambahan” 1 jenis obat tersebut akan menambah

panjang daftar obat yang resisten.

 Organisasi program nasional TB yang kurang baik

b. Obat

 Pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan sehingga

membosankan pasien
 Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan

kompllit atau sampai selesai gagal

 Obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum

setelah makan, atau ada diare

 Kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi dosis

tetap yang mana bioavibiliti rifampisinnya berkurang

 Regimen / dosis obat yang tidak tepat

 Pengadaan obat terputus

c. Pasien

 Kurangnya informasi atau penyuluhan

 Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll

 Efek samping obat

 Sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada

 Masalah sosial

 Gangguan penyerapan obat

3. Faktor program

a. Tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan

b. Amplifier effect

c. Tidak ada program DOTS-PLUS

d. Program DOTS belum berjalan dengan baik

4. Faktor AIDS–HIV
a. Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar

b. Gangguan penyerapan

c. Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar

5. Faktor kuman

Kuman M. tuberculosis super strains

a. Sangat virulen

b. Daya tahan hidup lebih tinggi

c. Berhubungan dengan TB-MDR

Sedangkan menurut Aditama dkk ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi

terhadap OAT yaitu:

1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis.

2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang

kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap

obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja

pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut.

3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau

tiga minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian

bepindah dokter mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan

lalu berhenti lagi, demikian seterusnya.

4. Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam

suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu

terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama,


maka “penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan

menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja.

5. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan

secara baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.

6. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti

pengirimannya sampai berbulan-bulan.

D. Mekanisme terjadinya resistensi

Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi genetic, dan hal ini

membuat obat tidak efektif melawan basil. Mutasi terjadi spontan dan berdiri

sendiri menghasilkan resistensi OAT. Sewaktu terapi OAT diberikan galur M. Tb

wild type tidak terpajan. Diantara populasi M. Tb wild type ditemukan sebagian

kecil mutasi resisten OAT. Resisten lebih dari satu OAT jarang disebabkan

genetik dan biasanya merupakan hasil penggunaan obat yang tidak adekuat.

Populasi galur M. Tb resisten mutan dalam jumlah kecil dapat dengan mudah

diobati, tetapi terapi Tb yang tidak adekuat menyebabkan proliferasi dan

meningkatkan populasi galur resisten obat. Kemoterapi jangka pendek pasien

resistensi obat menyebabkan galur lebih resisten terhadap obat yang digunakan

atau sebagai efek penguat resistensi. Sebelum penggunaan OAT sebaiknya

dipastikan M. Tb sensitif terhadap OAT yang akan diberikan. Penularan galur

resisten obat pada populasi juga merupakan sumber kasus resistensi obat baru.

1. Mekanisme Resistensi Terhadap INH

Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang

larut air sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja
obat ini dengan menghambat sintesis dinding sel asam mikolik

(struktur bahan yang sangat penting pada dinding sel mykobakterium)

melalui jalur yang tergantung dengan oksigen seperti rekasi katase

peroksidase.

M.tuberculosis yang resisten isoniazid terjadi secara spontan dengan

kecepatan 1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi isoniazid

diperkirakan oleh adanya asam amino yang mengubah gen katalase

peroksidase (katG) atau promotor pada lokus 2 gen yang dikenal

sebagai inhA. Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan

berkurangnya aktivitas katalase dan peroksidase.

2. Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin

Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces

mediterranei, yang bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun

ekstraseluler. Obat ini menghambat sintesis RNA dengan mengikat

atau menghambat secara khusus RNA polymerase yang tergantung

DNA.

Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram

negatif, mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya

tinggi, biasanya pada semua populasi miikobakterium terjadi pada

frekuensi 1: 107 atau lebih. Resistensi terhadap rifampisin ini

disebabkan oleh adanya permeabilitas barier atau adanya mutasi dari

RNA polymerase tergantung DNA.


Rifampisin mengahambat RNA polymerase tergantung DNA dari

mikobakterium, dan menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada

formasi rantai (chain formation) tidak pada perpanjangan rantai (chain

elongation), tetapi RNA polymerase manusia tidak terganggu.9

Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom

dengan frekuensi tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi, dengan akibat

terjadinya perubahan pada RNA polymerase. Resistensi terjadi pada

gen untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya

perubahan pada tempat ikatan obat tersebut.

3. Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide

Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting

sebagai bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis. Obat ini

bekerja efektif terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH

asam (pH 5,0-5,5). Pada keadaan pH netral, pyrazinamid tidak berefek

atau hanya sedikit berefek. Obat ini merupakan bakterisid yang

memetabolisme secara lambat organisme yang berada dalam suasana

asam pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah

oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam pyrazinoat.

Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya

aktivitas pyrazinamidase sehingga pyrazinamid tidak banyak yang

diubah menjadi asam pyrazinoat. Kebanyakan kasus resistensi

pyrazinamide ini berkaitan dengan mutasi pada gen pncA, yang

menyandikan pyrazinamidase.
4. Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol

Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan

aktif hanya pada mycobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai

bakteriostatik pada dosis standar. Mekanisme utamanya dengan

menghambat enzim arabinosyltransferase yang memperantarai

polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam

dinding sel.

Resistensi ethambutol pd M.tuberculosis paling sering berkaitan

dengan mutasi missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk

arabinosyltransferase. Mutasi ini telah ditemukan pada 70% strain

yang resisten dan keterlibatan pengganti asam amino pada posisi 306

atau 406 pada sekitar 90% kasus.

5. Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomysin

Streptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari

Streptomyces griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis

protein dengan menganggu fungsi ribosomal.

Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin

telah diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target

yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan protein

ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat pada ikatan

streptomysin ribosomal. Mutasi yang utama terjadi pada rpsl. Mutasi

pada rpsl telah diindetifikasi sebanyak 50% isolat yang resisten

terhadap streptomysin dan mutasi pada rrs sebanyak 20%. Pada


sepertiga yang lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frekuensi

resistensi mutan terjadi pada 1 dari 105 sampai 107 organisme. Strain

M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin tidak mengalami

resistensi silang terhadap capreomysin maupun amikasin.

E. Diagnosis TB-MDR

Diagnosis TB-MDR dipastikan berdasarkan uji kepekaan. Semua Pasien

yang dicurigai TB-MDR diperiksa dahaknya untuk selanjutnya dilakukan

pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Jika hasil uji kepekaaan terdapat

M.tuberculosis yang rrsisten minmal terhadap rifampisi dan INH maka dapat

ditegakkan diagnosis TB-MDR. Pasien yang dicurigai kemungkinan TB-MDR

adalah :

1. Kasus TB paru dengan gagal pengobatan pada kategori 1 . Dibuktikan

dengan rekam medis sebelumnya dan riwayat penyakit dahulu

2. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah

sisipan dengan kategori 1

3. Pasien TB yang pernah diobati di fasilitas non DOTS, termasuk yang

mendapat OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin

4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1

5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah

sisipan dengan kategori 1

6. TB paru kasus kambuh

7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan

kategori 1
8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-

MDR konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas dibangsal

TB-MDR

9. TB-HIV

Diagnosis TB-MDR tergantung pada pengumpulan dan proses kultur

spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien

tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak

bisa, dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua

harus dilakukan pada laboratorium rujukan yang memadai.

Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB.

Deteksi resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional

berdasarkan deteksi pertumbuhan M.tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa

metode ini dan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya,

maka belakangan ini diusulkanlah teknologi baru.Yang termasuk metode terbaru

ini adalah metode fenotipik dan genotipik. Pada banyak kasus, metode genotipik

khususnya telah mendeteksi resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini

dipertimbangkan sebagai petanda TB-MDR khususnya pada suasana dengan

prevalensi TB-MDR yang tinggi. Sementara metode fenotipik, di lain sisi,

merupakan metode yang lebih sederhana dan lebih mudah diimplementasikan

pada laboratorium mikrobakteriologi klinik secara rutin

F. Tatalaksana
Idealnya regimen pengobatan kasus TB dengan resistensi obat disusun

berdasarkan hasil in vitro drug susceptibility (DST) yang dilakukan pada masing-

masing pasien. Namun yang menjadi kendala adalah hasil pemeriksaan ini baru

dapat diperoleh dalam 1-2 bulan. Oleh karena itu pada beberapa kondisi berikut

ini antara lain pasien dengan riwayat gagal pengobatan sebelumnya, pasien yang

sebelumnya pernah mendapat terapi OAT, pasien yang ada kontak dengan kasus

TB resisten OAT dan pasien yang lahir dan tinggal pada daerah endemis TB,

resistensi obat harus di antisipasi dan terapi harus dimulai tanpa menunggu hasil

DST.

1. Beberapa strategi pengobatan TB-MDR

1. Pengobatan standar. Data drugs resistancy survet (DRS) dari populasi

pasien yang representatif digunakan sebagai dasar regimen

pengobatan karena tidak tersedianya hasil uji kepekaan individual.

Seluruh pasien akan mendapatkan regimen pengobatan yang sama.

Pasien yang dicurigai TB-MDR sebaiknya dikonfirmasi dengan uji

kepekaan

2. Pengobatan empiris. Setiap regimen pengobatan dibuat berdasarkan

riwayat pengobatan TB pasien sebelumnya dan data hasil uji

kepekaan populasi representatif. Biasanya regimen empiris akan

disesuaikan setelah ada hasil uji kepekaan individual

3. Pengobatan individual. Regimen pengobatan berdasarkan riwayat

pengobatan TB sebelumnya dan hasil uji kepekaan

Golongan dan Jenis Obat


Golongan-1 Obat Lini  Isoniazid (H)  Pyrazinamide (Z)

Pertama  Ethambutol (E)  Rifampicin (R)

 Streptomycin (S)

Golongan-2 / Obat  Kanamycin (Km)  Amikacin (Am)

suntik/ Suntikan lini  Capreomycin

kedua (Cm)

Golongan-3 /  Ofloxacin (Ofx)  Moxifloxacin

Golongan  Levofloxacin (Mfx)

Floroquinolone (Lfx)

Golongan-4 / Obat  Ethionamide (Eto)  Para amino

bakteriostatik lini  Prothionamide salisilat (PAS)

kedua (Pto)  Terizidone (Trd)

 Cycloserine (Cs)

Golongan-5 / Obat  Clofazimine (Cfz)  Thioacetazone

yang belum terbukti  Linezolid (Lzd) (Thz)

efikasinya dan tidak  Amoxilin-  Clarithromycin

direkomendasikan Clavulanate (Clr)

oleh WHO (Amx-Clv)  Imipenem (Ipm)


2. Prinsip pengobatan TB-MDR

Secara umum, prinsip pengobatan TB resist obat, khususnya TB dengan MDR

adalah sebagai berikut:

1. Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang masih

efektif.

2. Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan

silang (cross-resistance)

3. Membatasi pengunaan obat yang tidak aman

4. Gunakan obat dari golongan/kelompok 1 - 5 secara hirarkis

sesuaipotensinya. Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan

pada pertimbangan khusus dari Tim Ahli Klinis (TAK) dan

disesuaikan dengan kondisi program.

5. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal

dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan

dengan lama minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi

biakan.

6. Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan

7. Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan

dengan jarakpemeriksaan 30 hari.

8. Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan

tahaplanjutan menganut prinsip DOT = Directly/Daily Observed

Treatment, dengan PMO diutamakan adalah tenaga kesehatan atau

kader kesehatan.
1. Fase-fase Pengobatan TB-MDR

1. Fase Pengobatan intensif

Fase intensif adalah fase pengobatan dengan menggunakan obat injeksi

(kanamisin atau kapreomisin) yang digunakan sekurang-kurangnya

selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.

a. Fase rawat inap di RS 2-4 minggu

Pada fase ini pengobatan dimulai dan pasien diamati untuk:

 Menilai keadaan pasien secara cermat

 Tatalaksana secepat mungkin bila terjadi efek samping

 Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang intensif

Dokter menentukan kelayakan pasien untuk rawat jalan berdasarkan:

 Tidak ditemukan efek samping

 Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan suntikan sesuai

dengan pedoman pengobatan TB MDR

b. Fase rawat jalan

Selama fase intensif baik obat injeksi dan obat minum diberikan oleh

petugas kesehatan dengan disaksikan PMO kepada pasien.

Pada fase rawat jalan ini obat oral ditelan di rumah pasien hanya

pada waktu libur.


G. Pemantauan dan hasil pengobatan

Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap

pengobatan dan mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB –

batuk, berdahak, demam dan BB menurun – umumnya membaik dalam beberapa

bulan pertama pengobatan. Penilaian respons pengobatan adalah konversi dahak

dan biakan. Hasil uji kepekaan TB MDR dapat diperoleh setelah 2 bulan.

Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan

setiap 2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien TB MDR adalah:

1. Penilaian klinis termasuk berat badan

2. Penilaian segera bila ada efek samping

3. Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada

fase lanjutan

4. Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan

5. Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan

kegagalan pengobatan

6. Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan

(Kanamisin dan Kapreomisin)

7. Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda

hipotiroid

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang adalah TBC) adalah penyakit

infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis tipe

humanus. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang sangat kuat sehingga

memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi

organ paru-paru dibandingkan bagian lain tubuh manusia.

2. Gejala umum dari penyakit TBC :

1) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan pada

malam hari disertai keringat.

2) Penurunan nafsu makan dan berat badan

3) Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).

4) Perasaan tidak enak (malaise), lemah.

3. Gejala khusus dari penyakit TBC :

1) Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian

bronkus akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan

suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.

2) Kalau ada cairan dirongga pleura dapat disertai dengan keluhan sakit dada.

3) Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada

suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara

ini akan keluar cairan nanah.

4) Pada anak-anak dapat mengenai otak dan disebut sebagai meningitis gejalanya

adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.


4. Pencegahan penyakit TBC dengan cara melakukan imunisasi BCG sebanyak 1 kali

ketika bayi berumur 2 bulan, perhatikan kebersihan rumah, jangan dibiasakan

meludah di sembarang tempat, segera periksa ke Puskesmas jika ditemukan tanda-

tanda TBC.

5. Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri

Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan

pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa.

Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang

biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang

rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening.

6. Pengobatan penyakit tbc yaitu dengan cara mengkonsumsi obat antimikobakteri,

seperti : Etambutol, Isoniasid, Rifampisin, Pyrazinamid, Streptomisin dan Sikloserin.

Pengobatan ini dilakukan selama 6 bulan sampai 9 bulan atau bahkan bisa lebih.

Penyakit tbc dapat disembuhkan secara total apabila penderita secara rutin

mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan dokter dan memperbaiki daya tahan

tubuhnya dengan gizi yang cukup baik

Sedangkan pada Prevalensi kasus TB dengan resistensi OAT terutama TB-MDR

terus meningkat. Faktor penyebab terbanyak adalah akibat pengobatan TB yang

tidak adekuat dan penularan dari pasien TB-MDR. Oleh karena itu pada setiap

pasien harus dilakukan penilaian resiko kemungkinan terjadinya resistensi OAT.

Selanjutnya terapi empiris harus segera diberikan pada pasien dengan resiko tinggi

resistensi OAT, terutama pada pasien dengan keadaan penyakit yang berat.

Pemilihan regimen OAT yang tepat sangat diperlukan untuk keberhasilan


pengobatan dan mencegah bertambah banyaknya kasus TB-MDR maupun TB-XDR

dan TB-TDR.

Terapi yang dianjurkan dengan memberikan 4 sampai 6 macam obat. Pilihan obat

yang diberikan yaitu obat lini pertama yang masih sensitif disertai obat lini kedua

berdasarkan aktivitas intrinsik terhadap kuman M.tuberculosis. Pembedahan perlu

dipertimbangkan bila setelah 3 bulan terapi OAT tidak terjadi konversi negatif

sputum. Pemberian nutrisi yang baik dapat membantu keberhasilan terapi.

Konsep ”Direcly Observed Treatment Short Course” (DOTS) merupakan salah

satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat penderita dan menaggulangi

masalah tuberkulosis khususnya TB-MDR. Perkembangan obat baru mungkin juga

diperlukan untuk menanggulangi hal ini.

3.2 Saran

Kepada para pembaca kami ucapakan selamat belajar dan manfaatkanlah makalah

ini dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih perlu

ditingkatkan mutunya, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun

sangat kami harapkan.


DAFTAR PUSTAKA

Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di


Indonesia, PERPARI, Jakarta, 2006.
Dinas Kesehatan Provinsi Bali. (2021). Profil Kesehatan Provinsi Bali Tahun
2020. Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2013–2015.
Departemen Kesehatan RI, 2005. “ Pharmaceutical Care untuk pengakit
Tuberkulosis”. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik,
Ditjen Bina Kefarmasian dan Alkes Departemen Kesehatan RI
Dapartemen Kesehatan RI. Penanggulangan TB kini lebih baik. Available from
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1348penangulanga
n-tb-kini-lebih-baik.html.
Dalimunthe NN, Keliat EN, dan Abidin A. Penatalaksanaan Tuberkulosis dengan
Resistensi Obat Anti Tuberkulosis. Divisi Pulmonologi Alergi Imunologi
FK Universitas Sumatra Utara. Available from
http://www.ikaapda.com/resources/PAI/Reading/PENATALAKSANAAN-
TUBERCULOSIS-DENGAN-RESISTENSI-OBAT-ANTI-
TUBERCULOSIS.pdf.
Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis:
emergency update 2008. Geneva, World Health Organization, 2008
(WHO/HTM/TB/2008.402).
Hiswani (2009). Tuberkulosis merupakan Penyakit Infeksi Yang Masih Menjadi
Masalah Kesehatan Masyarakat. http://library.usu.ac.id/download/fkm-
hiswani6.pdf 2009 – diakses 24 Oktober 2016
Istiantoro, Yati H, Rianto Setiabudy, 2009, Tuberkulostatik dan Lemprostik.
Dalam Gunawan, Sulistia G, Rianto Setiabudy, Nafrialdi, & Elysabeth.
Farmakologi dan Terapi Edisi 5, Departemen Farmakologi dan Terapeutik
FK UI, Jakarta.
Kemenkes, RI. (2021). Jadikan Penerus Bangsa Bebas TBC, dimulai dari Diri
Sendiri dan Keluarga. Kemenkes, RI. (2022). Tahun ini, Kemenkes
Rencanakan Skrining TBC Besar-besaran.
Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan
Penyehatan Lingkungan. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis. Available from http://www.scribd.com
/doc/130737509/Pedoman-Nasional-Penanggulangan-TB-2011.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2016 Tentang
Penanggulangan Tuberkulosis
Tuberkulosis diagnosis, terapi dan masalahnya, ed III. Lab Mikrobiologi RSUP
Persahabatan / WHO Collaborating Center for Tuberculosis; 2000.
World Health Organization. Guideline for the programmatic management of
drugresistant tuberculosis . Emergency Update 2008.

Anda mungkin juga menyukai