Anda di halaman 1dari 31

TUBERKULOSIS

PENYAKIT GLOBAL

Oleh kelompok 2/ GLOBAL B

Yessi Eka Safitri 182310101022

Ghosa Oktavianti Putri 182310101167

Kholisah Widiyawati 182310101173

Faiqoh Salsabillah Ufaidah 182310101186

Arief Budiono 182310101187

Dosen Pembimbing:

Murtaqib, S.Kp, M.Kep

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JEMBER

FAKULTAS KEPERAWATAN

2020
TUBERKULOSIS

PENYAKIT GLOBAL

Oleh

KELOMPOK 2/ GLOBAL B

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JEMBER

FAKULTAS KEPERAWATAN

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas dengan judul
Tuberkulosis dengan baik dan tepat waktu. Dalam penulisan makalah ini, kami selaku
penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bimbingannya kepada :

1. Selaku dosen Penanggung Jawab Mata Kuliah (PJMK) Keperawatan Penyakit


Global sekaligus dosen pembimbing penyusunan makalah
2. Teman-teman kelompok 2

Kami menyadari bahwa tugas makalah ini banyak kekurangannya, baik dalam
penulisannya maupun dalam isinya, untuk itu kami menerima kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak untuk perbaikan makalah ini. Semoga dengan
terselesaikan tugas ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan bermanfaat
pula untuk kedepannya.

Jember, 13 Maret 2020

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................iii

DAFTAR ISI................................................................................................................iv

BAB I.............................................................................................................................1

PENDAHULUAN.........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1

1.2 Epidemiologi........................................................................................................2

1.3 Tujuan..................................................................................................................6

1.4 Rumusan Masalah................................................................................................6

BAB II...........................................................................................................................7

TINJAUAN TEORI.......................................................................................................7

2.1 Definisi Tuberkulosis...........................................................................................7

2.1.1 Pengertian Tuberkulosis....................................................................................7

2.1.2 Karakteristik Virus Tuberkulosis..................................................................8

2.1.3 Cara Penularan Tuberkulosis........................................................................9

2.1.4 Tanda dan Gejala Tuberkulosis...................................................................10

2.2 Hasil Penelitian tentang Intervensi Komplementer (Tindakan Keperawatan). .11

2.3 Kebijakan-kebijakan terkait TB.........................................................................15

2.3.1 Nasional (Kemenkes RI, 2017)...................................................................15

2.3.2 Internasional................................................................................................18

2.4 Upaya pemerintah..............................................................................................19

2.4.1 Target yang diharapkan...............................................................................19

iv
2.4.2 Tindakan yang dilakukan..........................................................................20

BAB 3..........................................................................................................................24

PENUTUP...................................................................................................................24

3.1 Kesimpulan.......................................................................................................24

3.2 Saran..................................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................25

v
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yaitu penyebab utama
kesehatan yang buruk, salah satu dari 10 penyebab utama kematian di seluruh
dunia dan penyebab kematian utama dari satu agen infeksi (peringkat di atas
HIV/AIDS). Tuberkulosis disebabkan oleh Bacillus Mycobacterium Tuberculosis,
yang menyebar ketika orang yang sakit TB mengeluarkan bakteri ke udara
misalnya dengan batuk. Hal ini biasanya mempengaruhi paru-paru (TB paru)
tetapi juga dapat mempengaruhi tempat lain (TB luar paru). Sekitar seperempat
populasi dunia terinfeksi tuberculosis dan karenanya berisiko mengembangkan
penyakit TB. Dengan diagnosis dan perawatan tepat waktu dengan antibiotik
selama 6 bulan, kebanyakan orang yang mengembangkan TB dapat disembuhkan
dan penularan infeksi selanjutnya dibatasi. Jumlah kasus TB yang terjadi setiap
tahun (dan sehingga jumlah kematian terkait TB) juga dapat didorong turun
dengan mengurangi prevalensi risiko terkait kesehatan faktor untuk TB (merokok,
diabetes dan infeksi HIV), memberikan perawatan pencegahan kepada orang yang
terinfeksi TB, dan mengambil tindakan multisektoral secara lebih luas penentu
infeksi dan penyakit TB (kemiskinan, kualitas perumahan dan kurang gizi)

Di Indonesia, tuberkulosis ini termasuk masalah kesehatan dari sisi angka


kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit (mordibitas), maupun diagnosis
dan terapinya. Indonesia menempati urutan ketiga dengan masalah tuberkulosis
terbesar di dunia. Dari data WHO pada tahun 2019 menyebutkan, jumlah
estimasi kasus TBC di Indonesia sebanyak 845.000 orang. Jumlah ini meningkat
dari sebelumnya sebanyak 843.000 orang. Hal ini menepatkan Indonesia sebagai
salah satu negara penyumbang 60% dari seluruh kasus TBC di dunia.
2

1.2 Epidemiologi
Secara global, diperkirakan 10,0 juta (kisaran, 9,0-11,1 juta) 2 orang jatuh
sakit dengan TB pada tahun 2018, jumlah yang memiliki relatif stabil dalam
beberapa tahun terakhir. Beban penyakit sangat bervariasi di antara negara-
negara, dari yang lebih sedikitdari lima hingga lebih dari 500 kasus baru per
100.000 penduduk per tahun, dengan rata-rata global sekitar 130. Diperkirakan
ada 1,2 juta (kisaran, 1,1-1,3 juta) kematian TB di antara orang HIV-negatif pada
tahun 2018 (27% pengurangan dari 1,7 juta pada tahun 2000), dan 251.000
kematian tambahan (kisaran, 223.000–281.000) 3 di antara orang HIV-positif
(pengurangan 60% dari 620.000 pada tahun 2000). TB mempengaruhi orang dari
kedua jenis kelamin di semua kelompok umur tetapi beban tertinggi adalah pada
pria (usia ≥15 tahun), yang bertanggung jawab untuk 57% dari semua kasus TB
pada 2018. Sebagai perbandingan, perempuan menyumbang 32% dan anak-anak
(berusia <15 tahun) sebesar 11%. Di antara semua kasus TB, 8,6% adalah orang
yang hidup dengan HIV (ODHA).
Secara geografis, sebagian besar kasus TB pada tahun 2018 ada di
Wilayah WHO di Asia Tenggara (44%), Afrika (24%) dan Pasifik Barat (18%),
dengan persentase lebih kecil di Mediterania Timur (8%), Amerika (3%) dan
Eropa (3%). Delapan negara menyumbang dua pertiga dari total global: India
(27%), Cina (9%), Indonesia (8%), Filipina (6%), Pakistan (6%), Nigeria (4%),
Bangladesh (4%) dan Afrika Selatan (3%). Ini dan 22 lainnya negara dalam daftar
WHO dari 30 negara dengan beban TB tinggi menyumbang 87% dari kasus
dunia.4 TB yang resistan terhadap obat terus menjadi kesehatan masyarakat
ancaman. Pada 2018, ada sekitar setengah juta kasus baru TB yang resistan
terhadap rifampisin (78% di antaranya memiliki TB multidrugresisten) .6 Tiga
negara dengan proporsi terbesar dari beban global adalah India (27%), Cina
(14%) dan Federasi Rusia (9%). Secara global, 3,4% TB baru kasus dan 18% dari
kasus yang diobati sebelumnya memiliki TB multi-resistan atau rifampisin
resistan (MDR / RR-TB), dengan proporsi tertinggi (> 50% pada pengobatan
sebelumnyakasus) di negara-negara bekas Uni Soviet.
3

Jumlah kasus tuberkulosis pada tahun 2018 di Indonesia ditemukan


sebanyak 566.623 kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis
yang ditemukan pada tahun 2017 yang sebesar 446.732 kasus. Jumlah kasus
tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang
besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kasus tuberkulosis di tiga
provinsi tersebut sebesar 44% dari jumlah seluruh kasus tuberkulosis di
Indonesia. Jumlah kasus tuberkulosis pada laki-laki lebih tinggi daripada
perempuan yaitu 1,3 kali dibandingkan pada perempuan. Pada masing-masing
provinsi di seluruh Indonesia kasus lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibandingkan perempuan.

Gambar 1.1 proporsi kasus tuberkulosis menurut kelompok umur

Gambar 1.1 menunjukan bahwa pada tahun 2018 kasus tuberkulosis


terbanyak ditemukan pada kelompok umur 45-54 tahun yaitu sebesar 14,2%
diikuti kelompok umur 25-34 tahun sebesar 13,8% dan pada kelompok umur 35-
44 tahun sebesar 13,4%. Pada tahun 2018 dilakukan penyisiran kasus di rumah
sakit (Mopping Up) untuk mengurangi under reporting kasus tuberkulosis
khususnya di rumah sakit. Pada data hasil penyisiran di rumah sakit terdapat
4

pengelompokan umur yang tidak diketahui (NA) yang mengakibatkan terjadinya


pergeseran proporsi kasus tuberkulosis berdasarkan kelompok umur dari tahun
2014-2017 dengan tahun 2018.

Gambar 1.2 Case Detection Rate (Cdr) Menurut Provinsi 2018

Gambar 1.2. menunjukan cakupan semua kasus tuberkulosis menurut


Provinsi pada tahun 2018. Provinsi dengan CDR yang tertinggi adalah Provinsi
DKI Jakarta (122,2%), Sulawesi Selatan (84,0%), Papua (78,5%). Sedangkan
CDR yang terendah adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat (29,0%), Bali (29,5%)
dan Kepulauan Bangka Belitung (31,1 %). Angka CDR Provinsi DKI Jakarta
yang lebih dari 100% (122,2%) mungkin disebabkan karena terdapat penderita
tuberkulosis yang terdeteksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan DKI Jakarta yang
5

tidak hanya berasal dari wilayah DKI Jakarta namun dari wilayah luar Povinsi
DKI Jakarta (Jabodetabek). Provinsi dengan kasus tuberkulosis (per 100.000
penduduk) terendah yaitu Provinsi Bali (89), DI Yogyakarta (99) dan Nusa
Tenggara Barat (129). CNR semua kasus tuberkulosis tertinggi yaitu Provinsi
DKI Jakarta (410), Sulawesi Selatan (357) dan Papua (347) Bila dibandingkan
antara tahun 2017 dengan 2018 CNR semua kasus tuberkulosis yang mengalami
kenaikan 28 Provinsi (82,4%) dan yang mengalami penurunan 6 provinsi (17,6%)
yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, Maluku,
Maluku Utara dan Papua.
Kepala Dinkes Jatim mengungkapkan, banyaknya kasus TB positif dapat 
mempercepat penambahan kasus baru TB di Jatim. Dengan 
penanganan dan pencegahan yang benar diharapkan kasus TB di Jatim tidak berta
mbah.. Sampai saat ini kasus TB di Jatim sebanyak 40 ribu orang, sedangkan pasi
en yang berhasil diobati mencapai 28 ribu orang.Sementara daerah penyumbang T
B terbanyak diduduki Surabaya dengan 3.569 kasus, disusul Jember 2.325 kasus, 
Sidoarjo 1.638 kasus, Malang 1.385 kasus dan Gresik 1.294 kasus.  jumlah
penderita TB di Surabaya sebanyak 4.000. Dari jumlah tersebut, penderita baru
yang masuk pendataan sekitar 2.000 penderita. Dan sisanya merupakan penderita
lama. Di Provinsi Jawa Timur memiliki kasus TB terbanyak kedua setelah
Provinsi Jawa Barat (Kemenkes, 2011). Data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Timur tahun 2011 menunjukkan kasus TB mencapai 41.404 kasus, sementara
Jawa Barat mencapai 62.563 kasus. Kota Surabaya memiliki kasus TB terbanyak
di Provinsi Jawa Timur yaitu 3990 kasus, diikuti Kabupaten Jember dengan 3334
kasus. Kematian TB di Kota Surabaya diperkirakan mencapai 10.108 penderita
BTA positif.
6

1.3 Tujuan
Pembahasan tentang tuberkulosis dalam makalah ini memiliki tujuan
sebagai berikut.
a. Untuk mengetahui penyakit tuberkulosis
b. Untuk mengetahui karakter dari virus tuberkulosis
c. Untuk mengetahui cara penularan dari penyakit tuberkulosis
d. Untuk mengetahui adanya tanda dan gejala penyakit tuberkulosis

1.4 Rumusan Masalah


Berdasarkan tujuan di atas, rumusan masalah yang tepat ialah sebagai
berikut.
a. Apa defisini dari penyakit tuberkulosis?
b. Apa pengertian dari penyakit tuberkulosis?
c. Bagaimana karakter virus penyakit tuberkulosis?
d. Bangaimana cara penularan penyakit tuberkulosis?
e. Bangaimana tanda dan gejala dari penyakit tuberkulosis?
7

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Tuberkulosis

2.1.1 Pengertian Tuberkulosis


Tuberculosis (TB) adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Meskipun pada umumnya penyakit ini terjadi di
paru-paru, lebih dari 15% pengalaman dari pasien terjadi di luar paru-paru yang
menjangkiti meninges, ginjal, tulang, dan jaringan lainnya. TB paru dapat
bergerak dari infeksi bronkopneumonia kecil hingga berdifusi menjadi
peradangan hebat, nekrosis, efusi pleura, dan ektensi fibrosis. Meskipun TB
dapat dicegah dan diobati, nyatanya kasus TB ini terus mengalami peningkatan
sejak 1980an. Pada tahun 1990 lebih dari 25.000 kasus dilaporkan oleh
Amerika Serikat, sebagaimana terjadi peningkatan sebanyak 10% dari tahun
sebelumnya. Peningkatan ini diduga karena tingkat infeksi yang tinggi pada
pasien HIV dan pasien yang tertular orang lain yang di rawat di rumah sakit
dengan TB. Sejak tahun 1993, kejadian TB mengalami penurunan sampai 61%
di Amerika Serikat karena kesehatan masyarakat intensif upaya untuk
mencegah dan mengontrol penyakit. Hal ini sekarang menjadi level terendah
dalam sejarah. Komplikasi meliputi pendarahan paru, gangguan sendi, disfungsi
hati dan ginjal, dan pericarditis. Proses terjadinya infeksi di sebabkan karena
adanya inteaksi antara agen atau faktor penyebab penyakit. Penularan penyakit
ini dapat secara individu maupun kelompok misal proses terjadinya penyakit
TB karena adanya mikrobkateirum tuberkulosa yang kontak dengan manusia
sebagai penjamu yang rentan, daya tahan tubuh yang rendah dan perumahan
yang tidak sehat (Budiarto, 2003)
8

Faktor penjamu adalah keadaan manusia yang bisa mnejadi resiko untuk
terjangkitnya penyakit yaitu:
1. Umur: umur yang rentan terkena TB adalah umur 23-45 tahun
2. Tingkat pendidikan: faktor ini adalah faktor yang sangat dominan karena
tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi tentang TB paru. Dengan
adanya pengetahuan yang baik seseorang akan terhindar dari TB paru
3. Keadaan sosail ekonomi
4. Status gizi
5. Faktor lingkungan : lingkungan yang kotor biasanya menjadi faktor
pendukung sesorang terserang penyakit TB
6. Jenis kelamin: penderita TB terbanyak adalah laki-laki dibanbandingkan
dengan perempuan

2.1.2 Karakteristik Virus Tuberkulosis


Mycobacterium tuberculosis merupakan kelompok bakteri gram posifit
yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 mikron dan dengan tebal
0,3-0,6 mikron. Sebagian besar bakteri ini memiliki komponen lemak/lipid. Hal
inilah yang menyebabkan bakteri ini tahan terhadap asam, zat kimia, dan faktor
fisik. Serta bakteri ini bersifat aerob yang menyukai daerah banyak
mengandung oksigen. Adapun karakteristik dari Mycobacterium tuberculosis
ialah sebagai berikut.
a. Bakteri berbentuk batang berukuran panjang 1-4 mikron dengan tebal 0,3-
0,6 mikron.
b. Tidak memiliki kapsul dan spora
c. Akan tampak warna merah dengan latar belakang biru pada pewarna Ziehl-
Nellsen
d. Merupakan bakteri gram positif
9

e. Dengan mikroskop elektron tampak dinding sel tebal, mesosom mengandung


25% lipid, yang menyebabkan tahan terhadap kekeringan, alcohol, zat asam,
alkalis, dan germisida tertentu.
f. Adanya perangkap fuksin intrasel menyebabkan bakteri ini tahan terhadap
asam.
g. Pertumbuhan terjadi sangat lambat sekitar 12-18 jam dengan suhu optimal
370C.
h. Bakteri yang kering tahan di tempat gelap berbulan-bulan dan tetap virulen.
i. Bakteri dapat mati apabila terkena sinar matahari langsung.

Gambar 1. Mycrobacterium tuberculosa

2.1.3 Cara Penularan Tuberkulosis


Mycobacterium tuberculosis ditularkan dari orang yang satu ke orang
yang lain melalui jalan pernafasan. Pada saat penderita batuk/bersin, penderita
menyebarkan bakteri ke udara melalui percikan dahak yang berbentuk doplet.
Droplet yang mengandung bakteri tersebut dapat bertahan dalam suhu kamar
sampai beberapa jam. Orang lain dapat terinfeksi apabila menghirup droplet
yang mengandung bakteri tersebut. Bakteri TB yang masuk kedalam tubuh
melalui pernafasan dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya melalui system
peredaran darah, saluran limfe, saluran pernafasan atau menyebar langsung ke
dalam bagian tubuh lainnya.
10

Gambar 2. Penularan Mycrobacterium tuberculosa

2.1.4 Tanda dan Gejala Tuberkulosis


Penyakit yang disebabkan oleh Mycrobacterium tuberculosa ini
memiliki tanda dan gejala yang cukup mencolok. Tanda dan gejala yang timbul
akan berlangsung lama hingga berbulan-bulan. Berikut tanda dan gejala yang
ditimbulkan (Departemen of Health, 2017).
a. Batuk terus menerus selama berminggu-minggu.
b. Sputum diproduksi secara berlebih yang mana dapat menyumbat jalan napas,
sehingga pernapasan akan terganggu dan menimbulkan sesak napas.
c. Batuk yang terus menerus bisa jadi disertai dengan darah.
d. Demam dalam waktu yang cukup lama, namun suhu tubuh tidak terlalu
tinggi. Pada umumnya demam dirasakan ketika malam hari dan penderita
akan berkeringat.
e. Berat badan menjadi turun seiring batuk yang dialami dikarenakan nafsu
makan penderita juga berkurang.
f. Batuk yang dialami juga mengakibatkan suar amenjadi serak dan dada sering
terasa nyeri serta menyebabkan kelelahan.
11

2.2 Hasil Penelitian tentang Intervensi Komplementer (Tindakan Keperawatan)


Intervensi komplementer dapat diartikan pula sebagai terapi non
farmakologi. Selain terapi obat-obatan medis, terapi komplementer diperlukan
untuk mengoptimalkan terapi pada pasien TB paru. Berikut beberapa intervensi
komplementer yang dapat dilakukan oleh perawat kepada pasien dengan TB
paru.
a. Active Cycle of Breathing Technique (ACBT)
Active Cycle of Breathing Technique atau ACBT merupakan teknik
yang digunakan untuk membersihkan jalan napas dari mukus. Teknik
pernapasan ini dilakukan secara berulang yang melibatkan napas pendek
lembut kemudian diikuti napas dalam. Pasien akan diminta untuk menahan
napas sekitar tiga detik sebagai persiapan untuk mengeluarkan mukus melalui
batuk (Tolomeo, 2012). Dengan melatih pernapasan menggunakan ACBT,
paru-paru akan terlatih untuk mengembang (compliance) dan mengempis
(elastisitas), sehingga akan mempertahankan fungsi paru. salah satu penyakit
yang mempengaruhi elastisitas dan compliance pada paru ialah tuberkulosis.
ACBT juga merupakan kompilasi dari teknik huffing, deep breathing
exercise, dan breathing control (Rachma & Irma, 2014).
Berdasarkan sebuah penelitian, penatalaksanaan ACBT pada pasien
TB paru menunjukkan perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah
perlakuan. Sebanyak 7 responden pasien TB paru diberi perlakuan ACBT
dengan durasi 20-30 menit per hari selama kurun waktu 10 hari diperoleh
penurunan RR dari rata-rata 28,86 menjadi 24,86 kali per menit, yakni yang
semula responden mengeluh sesak napas sedang menjadi sesak napas ringan.
Hasil tersebut menunjukkan ACBT cukup efektif sebagai latihan pernapasan
pada pasien TB paru (Sukartini & Sasmita, 2008)
Hasil penelitian yang telah ada tersebut sejalan dengan penelitian pada
suatu study yang juga menerapkan ACBT pada pasien dengan TB paru.
Peranan teknik huffing dapat membantu pasien TB paru dalam mengeluarkan
sputum. Hal tersebut dibuktikan pada terapi hari pertama hingga ketiga suara
12

ronchi pasien TB masih terdengar keras, namun setelah terapi ACBT hari
keempat dan kelima, suara ronchi menurun. Selain itu, dengan ACBT status
pernapasan pasien TB paru menjadi lebih baik yang mana pada terapi hari
pertama hingga kedua sesak napas masih dirasakan, pada hari ketiga sesak
napas menurun, dan terpai hari keempat hingga kelima sesak napas terus
menurun (Sukartini & Sasmita, 2008). Berdasarkan hasil tersebut, ACBT
dapat diterapkan pada pasien TB paru dikarenakan dapat mengurangi sesak
napas, membantu pengeluaran sputum atau mukus, meningkatkan eskpansi
thorax, dan mempertahankan fungsional paru.
b. Terapi Inhalasi Daun Mint (Mentha piperita)
Pasien TB paru memiliki gejala salah satunya, yaitu sesak napas. Sesak
napas akan mulai dirasakan oleh penderita TB paru ketika Mycrobacterium
tuberculosis telah menginfiltrasi setengah bagian dari paru-paru (Handayani,
2019). Terapi komplementer lain pada pasien TB paru, yakni dapat
menggunakan terapi inhalasi daun mint. Daun mint (Mentha piperita)
memiliki kandungan bahan aktif minyak atsiri pada ujung daunnya (1%),
mentol bebas (78%), mentol dengan ester (2%), dan sisanya berupa tannin,
resin, dan asam cuka (Tjitrosoepomo, 2010). Terapi inhalasi dengan daun
mint diterapkan dengan inhalasi sederhana, seperti penguapan.
Sebuah penelitian melakukan perlakuan kepada 29 pasien TB paru di
Puskesmas Desa Pon Kecamatan Sei Bamban. dengan cara memberikan
minyak esensial aromaterapi daun mint sebanyak 2-3 tetes ke dalam diffuser.
Diffuser tersebut dijadikan sebagai alat bagi responden untuk menghirup
aromaterapi daun mint dengan durasi 15 menit selama 3 kali dalam sehari.
Perlakuan tersebut diimplementasikan selama satu minggu. Setelah perlakuan
tersebut diperoleh perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah
pemberian aromaterapi daun mint. Hasilnya ialah sebelum perlakuan jumlah
responden yang mengalami sesak napas dengan skala sangat berat sebanyak 4
orang, skala berat sebanyak 14 orang, skala sedang sebanyak 8 orang, dan
skala ringan sebanyak 3 orang. Setelah perlakuan, jumlah responden pada
13

skala sesak napas sangat berat dan sedang tetap dalam jumlah yang sama,
namun pada skala berat menjadi hanya satu orang, dan pada skala ringan
menjadi 16 orang (Hutabarat, Sitepu, & Sinambela, 2019)
c. Posisi Semi Fowler dan Orthopnea
Pasien TB paru identik dengan gejala sesak napas. Ketika sesak napas
timbul, pasien belum tentu mengerti posisi yang dapat menurunkan frekuensi
pernapasannya. Terdapat posisi yang merupakan intervensi non farmakologi
atau komplementer yang dapat membantu mengontrol pernapasan pasien TB
paru, yakni posisi semi fowler dan orthopnea. Posisi semi fowler merupakan
posisi dengan sudut ketinggian tempat tidur pada bagian kepala dinaikkan 15-
45 derajat. Posisi tersebut akan membantu pasien TB paru untuk mengatasi
kesulita bernapas. Sementara itu, posisi orthopnea memiliki kesamaan dengan
fowler tinggi yang mana klien duduk dengan posisi 90 derajat ke arah depan
dengan meja atau bantalan di atas tempat tidur. Hal ini bertujuan untuk
memaksimalkan ekspansi dada dan paru, menurunkan upaya dalam bernapas,
meningkatkan ventilasi pernapasan, dan meningkatkan pergerakan sputum
agar dapat dikeluarkan.

Gambar 3. Posisi semi fowler


14

Gambar 4. Posisi orthopnea

Penelitian yang dilakukan pada 32 responden dengan kriteria pasien


TB paru di RS Muhammadiyah Lamongan yang mana 16 responden diberi
perlakuan posisi semi fowler dan sisanya posisi orthopnea. Pada perlakuan
posisi semi fowler, diperoleh hasil penurunan sesak napas pada 14 responden
(93,7%) dan 1 responden tidak mengalami penurunan. Sedangkan, pada
perlakuan posisi orthopnea terjadi penurunan sesak napas pada 14 responden
(87,5%) dan tidak terjadi penurunan pada 2 responden (12,5%) (Zahroh &
Susanto, 2017). Dengan demikian pengaturan posisi semi fowler dan
orthopnea pada pasien TB paru yang mengalami sesak napas memiliki
efektivitas cukup baik untuk menurunkan sesak napas.

d. Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT)


Seseorang yang menderita penyakit-penyakit tertentu bisa mendapat stigma
buruk di lingkungan masyarakat, tidak terkecuali penyakit TB paru yang
notabene dapat mudah ditularkan melalui udara. Stigma yang muncul
membuat penderita TB paru merasa diasingkan di lingkungannya. Hal
tersebut dapat menjadi beban psikologis dan menjadikan penderita enggan
beraktifitas di sosial masyarakatnya. Apabila hal tersebut terjadi terus-
menerus dikhawatirkan menimbulkan kualitas hidup yang rendah bagi
penderita TB paru. Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) dapat
dijadikan cara untuk mengatasi menurunnya kualitas hidup penderita akibat
beban psikologinya. SEFT merupakan pengembangan dari Emotional
15

Freedom Technique (EFT). SEFT diartikan sebagai metode manajemen emosi


dengan cara mengetuk pada 18 titik meridian pada tubuh sembari pasien
diinstruksikan untuk merasakan rasa sakit yangdialami (Astuti, Khoirul, &
Nurul, P. 2018). Terapi SEFT akan memberikan penderita perasaan ikhlas
terhadap masalah yang sedang dideritanya serta menumbuhkan harapan untuk
dapat sembuh dari penyakitnya. Dengan demikian SEFT menjadi berdampak
positif terhadap kualitas hidup pasien TB paru.
Sebuah studi memaparkan keefektifan SEFT untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien TB paru berdasarkan domain fisik, psikologi, sosial, dan
lingkungan. Pada domain fisik, perlakuan SEFT pada 11 responden yang
mengalami peningkatan status fisik dari skala cukup menjadi baik, yaitu
sebanyak 10 responden. Kemudian pada domain psikologis, peningkatan juga
terjadi dari skala cukup stabil menjadi stabil pada 10 responden. Pada domain
sosial juga mengalami peningkatan, yakni sebelum perlakuan SEFT skala
aktif sebanyak 2 responden, kemudian setelah perlakuan terjadi peningkatan
skala aktif menjadi 6 responden. Sementara itu, SEFT tidak berpengaruh pada
domain lingkungan (Kusnanto, Pradanie, & Alifi Karima, 2016). Dengan
demikian, SEFT dinilai cukup baik untuk meningkatkan kualitas hidup pasien
TB paru guna mempercepat penyembuhan dari penyakitnya.

2.3 Kebijakan-kebijakan terkait TB

2.3.1 Nasional (Kemenkes RI, 2017)


a. Strategi
Stregi untuk penanggulangan TB dan eliminasi Nasional TB meliputi:
1. Menguatkan kepemimpinan program TB di setiap kabupaten atau kota
2. Mempromosikan TB yang dilakukan oleh advokad, komunikasi serta
mobilasasi sosial, regulasu, peningkatan pendanaan, serta koordinadi dan
keyakinan program
3. Meningkatkan layanan akses pelayanan TB yang lebih bermutu
16

4. Meningktkan jaringan layanan TB melalui public-private mix (PPM)


5. Bertemu aktif bersama keluarga serta masyarakat membahas TB
6. Meningkatkan kolaborasi layanan bersama TB-HIV, TB-DM, MTBS, PAL,
dan lain-lain
7. Mwnginovasikan diagnosis TB sesuai alat atau saran diagnostik yang sudah
diperbaharui
8. Menigkatkan kepatuhan dan kelangsungan dari pengobatan pasien TB (case
holding)
9. Melakukan kerjasama dengan asuransi kesehatan untuk meningkatkan cakupan
layanan semesta (health universal coverage)
10. Mengendalikan faktor resiko dari TB
11. Mempromosikan lingkungan yang bersih dan hidup sehat
12. Menerapkan pencegahan serta pengendalian dari infeksi TB
13. Melakukan pencegahan dan imunasisi TB
14. Memaksimalkan penemuan TB sejak dini, mempertahankan banyak serta
keberhasilan untuk mengobati TB yang tinggi
15. Meningkatkan keitraan TB melalui forum koordinasi TB di pusat dan daerah
16. Meningkatkan kemandirian dari masyarakat untuk menanggulangi infeksi TB
17. Meningkatkan partisipan pasien, yang pernah mnejadi pasien, keluarga dan
masyarakat

b. Kebijakan
1. Pemerintahan pusat, daerah, dan masyarakat beertanggung jawab dapat
penyelenggaraan penanggulangan infeksi TB
2. Penyelenggaraan dan penanggulangan infeksi TB dilaksanakan dengan upaya
kesehatan masyarakat dan perorangan
3. Penanggulangan infeksi TB harus dilakukan dengan program upaya yang
tinggi dengan penanggulangan dari program kesehatan yang saling berkaitan
seperti program HIV/AIDS, diabetes melitus, dan program kesehatan lainnya
17

4. Penanggulangan infeksi TB harus dilakukan dengan program upaya yang


tinggi dengan kegiatan kolaborasi anatar program yang berkaitan
5. Penanggulangan infeksi TB dilakukan dengan azas desentralisasi didalam
otonomi daerah dengan kabupaten atau kota sebagai manajemen program
meliputi perencana, pelaksana, monitor, dan evalusi dan menjamin
ketersediaan sumber daya yang memadai seperti sarana prasana, sumber daya
manusia sebagai tenaga pelaksana, dan dana untuk melaksanakan program
kesehatan tersebut
6. Penanggulangan infeksi TB dilakukan menggunakan Pedoman Standart
Nasional sebagai dasar dengan memperhatikan kebijakan global
7. Penemuan serta pengobatan guna menanggulangi infeksi TB dilaksanakan oleh
seluruh fasilitas kesehatan pertama yaitu puskesmas, klinik, dokter praktik, dan
fasilitas rujukan tingkat lanjut yang meliputi RSU, RS swasta, RS paru, Balai
kesehatan paru masyarakat
8. OAT (obat anti tuberkulosis) sebagai penanggulangan infeksi TB disediakan
pemerintah dan diberikan cuma-cuma untuk pasien yang terinfeksi TB
9. Pasien TB tidak dipisahkan dengan keluarganya, masyarakat, dan pekerjaanya.
Pasien memiliki hak dan kewajiban seperti umumnya idividu dalam
penanggulangan TB
10. Penanggulangan infeksi TB dilakukan dengan penggalangan kerjasama dan
kemitraan antar pemerintah, non pemerintah, swasta serta masyarakat melalui
forum TB
11. Penguatan manajemen penanggulangan infeksi Tb ditunjukkan dengan
memberikan kontribusi terhadap kesehatan nasional
12. Pelaksanaan program kesehatan nasional dengan menerapkan prinsip nilai
inklusif, proaktif, efektif, responsif, profesional,serta akuntabel
13. Pengauatan kepemimpinan program penanggulangan infeksi TB ditunjukkan
demi penningkatan komitmen pemerintahan daerah serta pusat untuk program
serta pencapain dari target strategi penanggulangan infeksi TB yaitu eliminasi
TB pada tahun 2035
18

14. Melibatkan peran masyarakat dalam promosi, penemuan kasus, serta dukungan
pengubatan infeksi TB
15. Pemberdayaan masyarakat melalui integrasi TB dalam upaya kesehatan
berbasis keluarga dan masyarakat

2.3.2 Internasional
Merujuk pada General Of Work WHO ke 13 pada tahun 2018 tentang strategi
menghentikan Tb didapati hasil:
Target Yang diharapkan
40 juta termasuk 3,5 juta penderita TB dan 1,5 juta TB yang resisten terhadap obat
dapat dikurangi per tahun , untuk tahun 2023 diharapkan terdapat tiga milyar
kelompok tujuan yang artinya padat ahun tersebut terdapat 1 milyar ornag terlindungi
dari kondisi darurat kesehatan, 1 milyar orang memiliki kesehatan dan kesejahteraan
serta yang terakhir banyak masyarakat yang kesehatannya meningkat melalui strategi
Universal health coverage (UHC) dari WHO. Untuk mencapai ketiga tujuan
tergantung pada kepeduliaan bersama dengan upaya oleh Negara-negara Anggota,
WHO dan mitra lainnya.
a. Strategi yang dilakukan
(1) Pemeliharaan atau penguatan informasi kesehatan nasional dan sistem
pendaftaran yang mudah melalui kampanye media dan mobilisasi sosial
Era globalisasi pada saat ini dapat dimanfaatkan dengan mudahnya akses
internet dan pertukaran data , hal ini juga yang mendasari perlunya kampanye
sosial oleh Negara tentang dampak dan cara penanggulangan TB , Negara
perlu memberikan informasi kesehatan ke setiap kalangan agar dapat
mencegah maraknya kasus TB dan terdapat akses data untuk pengaduan
apabila terkena atau mengalami gejala-gejala Tuberkolosis dan segera
merehabilitasi setiap pelapor yang telah melaporkan kondisinya pada media
yang dipakai.
(2) Strategi UHC untuk memberantas TB
19

UHC adalah Universal Health Coverage yaitu merupakan system kesehatan


yang bertujuan untuk membuat setiap warga dapat memiliki akses yang sama
terhadap pelayanan kesehatan baik secara promotif,preventif,kuratif, serta
rehabilitative dengan biaya yang termasuk terjangkau, terdapat dua elemen
dalam system UHC yaitu akses pelayanan yang adil serta perlindungan
terhadap risiko finansial saat warga menggunakan pelayanan kesehatan.
UHC telah dilaksanakan oleh sebagian besar Negara di belahan dunia dengan
berbagai rentang waktu pelaksanaan yang bervariasi. Beberapa Negara
berpenghasilan rendah dan menengah, permasalahan yang harus dihadapi
untuk mewujudkan UHC adalah pertumbuhan ekenomi, pengurangan bantuan
kesehatan internasional yang disebabkan karena penentuan ulang prioritas.
Sistem UHC ini sangat penting untuk mengurangi tingkat TB untuk semakin
banyak nya penderita yang mendapatkan pelyanan yang sama dan tidak
ikucilkan oleh kalangan masyarakat,karena sebagian besar penderita TB
mendapat pengucilan serta banyak penderita miskin yang tak teratasi karena
ekonomi yang tak mendukung.

2.4 Upaya pemerintah


Merujuk Peraturan Menteri Kesehatan Indonesia Nomor 565 tentang strategi
penanganan Tuberkolosis Tahun 2011 yang berisi:

2.4.1 Target yang diharapkan


Jumlah penyedia layanan dalam melakukan advokasi, komunikasi dan
mobilisasi sosial meningkat, meningkatnya sosialisasi mengenai hak-hak dan
kewajiban pasien TB, Pelayanan DOTS (Directly Observed Treatment Short-
Course) yang merupakan program strategi untuk mengatasi TB di masyarakat
dapat tersedia,berkurangnya angka kasus TB.
20

2.4.2 Tindakan yang dilakukan


A. Menciptakan Kebutuhan: Meningkatkan Jumlah Tersangka TB
yang Menjalani Proses Diagnosis dan Pasien TB yang Berobat
dengan Dukungan PMO
Melakukan Peningkatan pelayanan TB dengan mengadvokasi serta
berkomunikasi mengenai hak-hak pasien TB pada kelompok
masyarakat,organisasi masyarakat serta organisasi keagamaan. penyedia
layanan dan pihak terkait dapat melaksanakan gerakan atau kampanye
nasional untuk meningkatkan dukungan serta pengetahuan untuk stop TB
secara nasional. Setelah melakukan gerakan tersebut diharapkam dapat
mengurangi tekanan terhadap penderita TB dan jumlah penderita TB
yang memeriksakan kesehatannya ke pelayanan kesehatan meningkat dan
mendapatkan pelayanan dengan program yang berkualitas serta
pengobatan pasien yang didampingi oleh PMO. Kampanye nasional
dengan materi yang spesifik dan efektif dapat meningkatakan
pengetahuan masyarakat sehingga dapat memunculkan dukungan yang
lebih baik terhadap pasien TB.
PMO memiliki peran terhadap pasien adalah :
- Mengawasi penderita TB untuk meminum obat dengan teratur sampai
selesai pengobatannya. Antara lain menyiapkan dan mengingatkan
pasien saat akan minum obat, memotivasi pasien saat sudah lelah
untuk minum obat setiap hari, dan mengingatkan saat jadwal
pengembalian obat.
- Memberi dorongan kepada pasien agar mau beribat secara teratur
- Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang
telah ditentukan
- Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang
mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memriksa
diri ke puskesmas atau unit pelayanan kesehatan lainnya (Informasi
Dasar PMO TB, 2014)
21

- Dukungan emosial pada penderita agar pasien TB mau melakukan


penobatan dengan teratur
- Mengingatkan pasien untuk selau memeriksakan sputum
- Memberitahu pasien hal hal yang harus atau tidk boleh dilakukan
seperti menggunakan masker saat dirumah maupun keluar rumah dan
harus menutup mulut jika batuk (Erlinda et al, 2013)

B. Mempromosikan Piagam Hak dan Kewajiban Pasien TB


Piagam hak-hak pasien TB (TB patient charter) merupakan sebuah
inovasi baru yang belum banyak dibahas secara luas dan diterapkan di
Indonesia. Untuk itu, kebijakan dan pedoman untuk menerapkan hak-hak
pasien TB dalam memberikan pelayanan perlu disusun, diikuti dengan
analisis situasi mengenai kondisi pada saat ini yang terkait dengan hak-
hak pasien TB. Hasil analisis situasi saat ini akan menjadi dasar dalam
pengembangan rencana operasional untuk mempromosikan hak-hak
pasien TB. Pada tahap awal, promosi hak-hak pasien tersebut akan
diintegrasikan dengan pemberikan pelayanan TB di fasilitas pelayanan
kesehatan dengan tujuan memberikan dukungan kepada pasien TB dan
fasilitas pelayanan kesehatan dalam menerapkan strategi DOTS yang
bermutu. Oleh karenanya, target utama promosi hak-hak pasien TB ini
adalah kepada staf TB di semua tingkatan (kabupaten/kota, provinsi dan
pusat), diikuti dengan penyedia pelayanan kesehatan yang bekerja di
Puskesmas dan rumah sakit, pasien TB yang mencari pelayanan di
fasilitas pelayanan kesehatan tersebut, serta terakhir, masyarakat luas.
C. Upaya Peningkatan Pelayanan Kesehatan: Meningkatkan Mutu
Pelayanan Kesehatan Berfokus pada Pelayanan Kesehatan Primer
Kontribusi program pengendalian TB untuk penguatan mutu pelayanan
kesehatan secara umum, khususnya di pelayanan kesehatan primer dan
congregate setting, dilakukan melalui akselerasi implementasi
22

pengendalian infeksi dan implementasi strategi PAL (practical approach


to lung health) di fasilitas pelayanan kesehatan secara memadai.
PAL merupakan integrated case-management pada pasien dengan
gangguan system respirasi yang menggunakan pendekatan sindromik
untuk tata laksana pasien dengan gejala respirasi yang mengunjungi
fasilitas pelayanan kesehatan primer. Ada dua pendekatan utama yang
digunakan dalam PAL yang berhubungan dengan penanggulangan TB
yaitu Standardisasi diagnosis dan pengobatan pada gangguan respirasi
dan koordinasi diantara para petugas kesehatan. Kedua hal inilah yang
menyebabkan PAL diprogramkan dalam Stop TB strategi sebagai bagian
dari Health System Strengthening. Pendekatan ini menunjang upaya
peningkatan penemuan kasus melalui strategi DOTS. Intervensi yang
akan dilakukan untuk pengembangan dan akselerasi program
pengendalian infeksi di pelayanan kesehatan primer adalah:
 Membentuk kelompok kerja pengendalian infeksi TB di tingkat
nasional/provinsi dan menyusun pedoman pengendalian infeksi TB
 Mengembangkan dan menerapkan rencana aksi nasional
pengendalian infeksi TB dengan mengacu pada kebijakan nasional
 Mengembangkan rencana pengendalian infeksi-TB di fasilitas
pelayanan kesehatan berbasis pada hasil penilaian fasilitas kesehatan
D. Pembuatan rumah singgah untuk penderita TB
Rumah singga ini bernama TB Care Aisyiyah Garut yang bertempat pada
pagajalan desa sukamantri garut daerah kota Jawa barat. Rumah singgah ini di
bangun oleh relawan yang awalnya mempromosikan hidup sehat kepada
warga-warga kampung tetapi ada salah satu rumah tangga yang dikucilkan
karena ada salah satu dari anggota keluarganya yang menderita TB. Rumah
siggah ini di bangun agar orang-orang dengan penderita penyakit TB yang
biasanya dikucilkan oleh masyarakat dapat memperoleh pelayanan TB dengan
baik tanpa harus bolak balik ke rumah sakit. Pendira akan diisolasi selama 2
23

bulan minimal 2 minggu di rumah singgah agar bakteri tidak menyebar yang
selama disana penderita akan terus dipantau mengkonusmsi obatnya.
24

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dengan demikian, bahwa penyakit tuberkulosis ini disebabkan karena adanya
bakteri mikobakterium tuberkulosa. Oleh karena itu untuk mencegah penularan
penyakit ini sebaiknya harus menjaga kesehatan dan kebersihan diri dari lingkungan.
TBC ini juga merupakan penyakit yang harus di tangi dengan cepat.

3.2 Saran
Saran yang paling tepat untuk mencegah penyakit tuberkulosis ini yaitu
meningkatkan daya tahan tubuh karena TBC yaitu penyakit yang bisa di sembuhkan.
Untuk mencapai hal hal tersebut, penderita dituntut untuk meminum obat secara
benar sesui yang di anjurkan olleh tenaga kesehatan serta memeriksakan diri ke
pelayanan kesehatan.
25

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, R. T., M.Khoirul, A., & Nurul, P. 2018. Manajeme nnm,n Penanganan Post
Traumatik Stress Disorder (PTSD) Berdasarkan Konsep dan Peneitian Terkini.
Magelang: UNIMMA Press.Handayani, H. 2019. Metode Deteksi Tuberculosis.
Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia.
Bumbunan, sitorus. 2016. Peran PMO terhadap pengobatan penderita Tuberkulosisdi
wilayah kerja unit paru-paru. Pontianak
Aditama Yoga, Priyanti (2000) Tuberkulosis Diagnosis, Terapi dan Masalahnya,
Edisi III, Lab. Mikobakteriologi RSUP Persahabatan/ WHO Collaborating
Center for Tuberculosis. Jakarta.
“TB DAY” 24 Maret 2000. Amin (2006) Tuberculosis Diagnosis Therapy dan
Masalahnya, Edisi ke empat. Jakarta Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia
Alsagaf, H & Mukty, A. (2005) Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru, Surabaya: Airlangga
University Press
Departement of Health. 2017. Fakta Tuberkulosis. Queensland Government.
Hutabarat, V., Sitepu, S. A., & Sinambela, M. (2019). Pengaruh Inhalasi Sederhana
Menggunakan Aromaterapi Daun Mint (Mentha Piperita) Terhadap Penurunan
Sesak Nafas Pada Pasien Tubercolosis Paru Di Puskesmas. Jurnal Penelitian
Kebidanan & Kespro, 2(1), 11–16. https://doi.org/10.36656/jpk2r.v2i1.173
Kusnanto, K., Pradanie, R., & Alifi Karima, I. (2016). Spiritual Emotional Freedom
Technique (SEFT) terhadap Kualitas Hidup Penderita Tuberkulosis Paru. Jurnal
Keperawatan Padjadjaran, 4(3): 213–224.
Rachma, A., & Irma, A. (2014). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kondisi
Tuberkulosis Paru Dengan Modalitas Infrared Dan Active Cycle of Breathing
Technique (Acbt) Di Bbkpm Surakarta. Pena Jurnal Ilmu Pengetahuan Dan
Teknologi, 31(1), 37–43.
Sukartini, T., & Sasmita, I. W. (2008). Active Cycle of Breathing Menurunkan
Keluhan Sesak Nafas. Jurnal Ners, 3(1), 21–25.
26

Anda mungkin juga menyukai